Remincel tinjauan umum tentang jaksa dalam ilegal loging

Page 1

ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015 TINJAUAN UMUM TENTANG JAKSA DALAM PEMBERANTASAN ILLEGAL LOGGING Oleh: Remincel* ABSTRACT Prosecutors are functional officials authorized by law to act as a public prosecutor and the executor of court decisions that have permanent legal power and other powers under the legislation. Attorney of the Republic of Indonesia as a state institution implementing state power in the field of prosecution should be free from the influence of any party rule, which implemented independent from the influence of government power and the influence of other powers. The prosecutor's office as one of the law enforcement agencies demanded a bigger role in upholding the rule of law and protection of public interest. The practice of illegal logging is one of the problems of Indonesian forest, because it raises a variety of negative impacts that almost in every field. The evidence suggests that the practice of illegal logging is an extraordinary crime and organized because of the vast dimensions of the impact, and involve many parties in the chain kegiatannya.Ketentuan on which the authority of prosecutors in handling cases of illegal logging is the same as the authority over the handling of other criminal acts to the extent not otherwise the other in certain laws. Key Words: Attorney; Illegal Logging; Corruption. ABSTRAK Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undangundang. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum dan perlindungan kepentingan umum. Praktek pembalakan liar adalah salah satu masalah hutan Indonesia, karena menimbulkan berbagai dampak negatif yang hampir di segala bidang. Bukti menunjukkan bahwa praktek illegal logging adalah kejahatan luar biasa dan terorganisir karena dimensi besar dampaknya, dan melibatkan banyak pihak dalam rantai kegiatannya.Ketentuan yang kewenangan jaksa dalam menangani kasus-kasus * * Staf Pengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Padang YPKMI, Sarjana Hukum ditamatkan di Universitas Muhamadiyah Sumatera Barat, Magister Manajemen ditamtakan di Universitas Surapati, Magister hukum ditamatkan di Universitas Andalas.


pembalakan liar adalah sama dengan otoritas atas penanganan tindak pidana lainnya sejauh tidak dinyatakan lain dalam undang-undang tertentu. Kata Kunci: Jaksa; Illegal Logging; Tindak Pidana Korupsi. A. Tinjauan Umum tentang Jaksa 1. Pengertian, tugas dan wewenang jaksa Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menentukan bahwa “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang�. Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan

pihak manapun, yakni

dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya1. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakkan supremasi hukum dan perlindungan kepentingan umum. Di dalam Pasal 1 angka 6 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) disebutkan bahwa: a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Jaksa selaku pejabat fungsional seperti dikemukakan diatas mempunyai wewenang untuk bertindak sebagai penuntut umum. Adapun jaksa selaku penuntut umum menurut Pasal 14 KUHAP mempunyai wewenang sebagai berikut: 1Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Semarang: Sinar Grafika. Hal. 32


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; d. Membuat surat dakwaan; e. Melimpahkan perkara ke pengadilan; f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan; g. Melakukan penuntutan; h. Menutup perkara demi kepentingan hukum; i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; j. Melaksanakan penetapan hakim. Di dalam Pasal 30

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004, juga

disebutkan mengenai tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana sebagai berikut: a. Melakukan penuntutan2;

2Penjelasan Pasal 30 Ayat (1) Huruf a Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004: “Dalam melakukan penuntutan, jaksa dapat melakukan prapenuntutan. Prapenuntutan adalah tindakan jaksa untuk memantau perkembangan penyidikan setelah menerima pem-beritahuan dimulainya penyidikan dari penyidik, mempelajari atau meneliti kelengkapan berkas perkara hasil penyidikan yang diterima dari penyidik serta memberikan petunjuk guna dilengkapi oleh penyidik untuk dapat menentukan apakah berkas perkara tersebut dapat dilimpahkan atau tidak ke tahap penuntutan�.


b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; c. Melakukan

pengawasan

terhadap

pelaksanaan

putusan

pidana

bersyarat, putusan pidana pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang; e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik. Menurut ketentuan di atas, jaksa bertugas sebagai penuntut umum yang melakukan “tindakan penuntutan”. Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 7 KUHAP dinyatakan bahwa “tindakan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Kemudian hal ini dipertegas lagi oleh Pasal 137 KUHAP yang berbunyi bahwa “Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun yang didakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili”. Dari bunyi ketentuan Pasal 137 ini dapat dikemukakan beberapa prinsip3: 1. Hanya penuntut umum saja yang berwenang menuntut atau melakukan penuntutan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana. Instansi atau pejabat lain di luar penutut umum tidak mempunyai wewenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan tindak pidana. 2. Wewenang dan tindakan penuntut umum tersebut dilakukan oleh penuntut umum dengan jalan “melimpahkan”

perkaranya ke pengadilan yang

3Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 386


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

berwenang untuk mengadilinya. Dan sesuai dengan apa yang dijelaskan pada Pasal 1 angka 7, dalam tindakan pelimpahan perkara ke pengadilan inilah penuntut umum meminta kepada pengadilan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputus oleh hakim dalam sidang pengadilan. Berdasarkan pada keterangan di atas, dalam rangka mempersiapkan tindakan penuntutan (Pasal 1 angka 7 KUHAP), penuntut umum diberi berbagai kewenangan dan di dalam KUHAP wewenang tersebut dapat diinventarisasi antara lain sebagai berikut4: a. Menerima pemberitahuan dari penyidik dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana Pasal 109 ayat (1) dan pemberitahuan baik dari penyidik pegawai negeri sipil (PNS), yang dimaksud oleh Pasal 6 ayat (1) huruf b mengenai penyidikan dihentikan demi hukum. b. Menerima berkas perkara dari penyidik dalam tahap pertama dan kedua sebagaimana dimaksud oleh Pasal 8 ayat (3) huruf a dan b. Dalam hal acara pemeriksaan singkat menerima berkas perkara langsung dari penyidik pembantu (Pasal 12). c. Mengadakan prapenuntutan (Pasal 14 huruf b) dengan memperhatikan materi Pasal 110 ayat (3) dan (4) serta Pasal 138 ayat (1) dan (2). d. Memberikan perpanjangan penahanan (Pasal 24 ayat (2), Pasal 25, dan Pasal29), melakukan penahanan kota (Pasal 22 ayat (3)), serta mengalihkan jenis penahanan (Pasal 23). e. Atas permintaan tersangka atau terdakwa mengadakan penangguhan penahanan serta dapat mencabut penangguhan penahanan dalam hal tersangka atau terdakwa melanggar syarat yang ditentukan (Pasal 31). f. Mengadakan penjualan lelang sitaan yang lekas rusak atau membahayakan karena tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap

4Evi Hartanti. Op. cit. Hal. 30


perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap atau mengamankannya dengan disaksikan oleh tersangka atau kuasanya (Pasal 45 ayat (1)). g. Melarang atau mengurangi kebebasan antara penasehat hukum dengan tersangka sebagai akibat disalahgunakan haknya (Pasal 70 ayat (4); mengawasi hubungan antara penasehat hukum dengan tersangka tanpa mendengar isi pembicaraan (Pasal 71 ayat (1)) dan dalam hal kejahatan terhadap keamanan negara dapat mendengarkan isi pembicaraan tersebut (ayat (2)). Pengurangan kebebasan hubungan antara penasehat hukum dan tersangka tersebut dilarang apabila perkara telah dilimpahkan oleh penuntut umum untuk disidangkan (Pasal 74). h. Meminta dilakukan praperadilan kepada ketua pengadilan negeri untuk menerima sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan oleh penyidik (Pasal 80). Maksud pasal ini adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, dan kebenaran melalui pengawasan secara horizontal. i. Dalam perkara koneksitas, karena perkara itu harus diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, maka penuntut umum menerima penyerahan berkas perkara dari oditur militer dan selanjutnya dijadikan dasar untuk mengajukan perkara tersebut kepada pengadilan yang berwenang (Pasal 91 ayat (1)). j. Menentukan sikap apakah suatu berkas perkara telah memenuhi persyaratan atau tidaknya untuk dilimpahkan ke pengadilan (Pasal 139). k. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab selaku penuntut umum (Pasal 14 huruf i). Yang dimaksud tindakan lain adalah meneliti identitas tersangka, barang bukti dengan tindakan lain antara lain meneliti identitas tersangka, barang bukti denga memperhatikan secara tegas batas wewenang dan fungsi antara penyidik, penuntut umum, dan pengadilan.


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

l. Apabila penuntut umum berpendapat bahwa dari hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan, maka dalam waktu secepatnya ia membuat surat dakwaan (Pasal 140 ayat (1)). m. Membuat surat penetapan penghentian penuntutan (Pasal 140 ayat (2) huruf a), dikarenakan: 1) Tidak terdapat cukup bukti; 2) Peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana; 3) Perkara ditutup demi hukum. .

Surat dakwaan dan penuntutan a) Pengertian surat dakwaan Pada saat berlakunya HIR (Herziene Inlandsche Reglement), surat

dakwaan disebut surat tuduhan atau “acte van beschuldiging” atau disebut juga “acte van verwijzing”. Sesudah hukum acara HIR diganti dengan KUHAP, maka istilah tuduhan diganti dengan “surat dakwaan”5. Istilah surat dakwaan ini tercantum dalam Pasal 140, 141, 143, 144, 145 ayat (2), dan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Akan tetapi, di dalam KUHAP tidak disebutkan mengenai pengertian surat dakwaan. Secara umum dikatakan bahwa surat dakwaan adalah suatu surat atau akta yang memuat rumusan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa yang disimpulkan dan ditarik dari hasil pemeriksaan penyidikan, dan merupakan dasar serta landasan bagi hakim dalam pemeriksaan di persidangan6. Tujuan utama surat dakwaan adalah bahwa undang-undang ingin melihat ditetapkannya alasan-alasan yang menjadi dasar tuntutan tindak pidana yang telah dilakukan itu harus dicantumkan dengan sebaik-baiknya. Terdakwa dipersalahkan karena melanggar suatu aturan hukum pidana, pada suatu saat dan tempat tertentu serta dinyatakan pula keadaan-keadaan sewaktu melakukan tindak pidana.7

5Osman Simanjuntak. 2002. Teknik Penerapan Surat Dakwaan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 1 6Yahya Harahap. Op. Cit. Hal. 387 7Martiman Prodjohamidjojo. 2002. Teori dan Praktik Membuat Surat Dakwaan. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal. 32


b) Syarat-syarat surat dakwaan Mengenai syarat-syarat surat dakwaan dapat dilihat pada Pasal 143 KUHAP. Memperhatikan pasal tersebut, ditentukan dua syarat yang harus dipenuhi surat dakwaan8: a) Harus memuat syarat formal Syarat formal memuat hal-hal yang berhubungan dengan; 1. Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh penuntut umum/jaksa. 2. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan tersangka. b) Syarat materiil 1. Uraian cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan. 2. Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan (tempus delicti dan locus delicti). c) Bentuk-bentuk surat dakwaan 1) Dakwaan biasa (tunggal)9 Surat dakwaan biasa adalah surat dakwaan yang disusun dalam rumusan “tunggal� dan hanya berisi satu dakwaan saja. Umumnya perumusan dakwaan tunggal dijumpai dalam tindak pidana yang jelas, sehingga perumusannya cukup berupa uraian yang jelas memenuhi syarat formal dan materil yang diatur Pasal 143 ayat (2) KUHAP. 2) Surat dakwaan alternatif10

8Yahya Harahap. Op. Cit. Hal. 391 9Ibid. Hal. 398 10Ibid. Hal. 399-340


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

Surat dakwaan ini bersifat alternatif, antara dakwaan yang satu dengan yang lain saling “mengecualikan”, atau one that subtitutes for another, dan memberikan “pilihan” kepada hakim atau pengadilan untuk menentukan dakwaan mana yang tepat dipertanggungjawabkan kepada terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang dilakukannya. 3) Surat dakwaan subsidair (subsidiary)11 Yakni terdiri dari dua atau beberapa dakwaan yang disusun dan dijejerkan secara berurutan (berturut-turut), mulai dari dakwaan tindak pidana “terberat” sampai kepada dakwaan tindak pidana “teringan”. Dakwaan subsidair sering disebut dengan dakwaan “pengganti”. Artinya, dakwaan subsidair menggantikan dakwaan “primair” (dakwaan urutan pertama), sehingga sering dijumpai bahwa dakwaan primair adalah dakwaan terhadap tindak pidana terberat. Disusul kemudian kemudian dakwaan tindak pidana yang semakin ringan (dakwaan subsidair) dan di bawah urutan dakwaan subsidair dapat diurutkan lagi dakwaan tindak pidana yang semakin ringan (lebih subsidair lagi), dan “lebih-lebih subsidair lagi”. 4) Surat dakwaan kumulasi12 Bisa juga disebut bentuk dakwaan multiple, yakni surat dakwaan yang disusun berupa rangkaian dari “beberapa dakwaan” atas kejahatan atau “pelanggaran”, atau ada juga yang mengartikan “gabungan” dari beberapa dakwaan sekaligus. Tata cara pengajuan surat dakwaan ini dimungkinkan berdasar ketentuan Pasal 141 KUHAP dan Penjelasan Pasal 141 huruf b KUHAP, yang disebut “penggabungan perkara” dalam “satu surat dakwaan”. Ketentuan ini memberikan kewenangan pada penuntut umum mengajukan dakwaan yang bersifat kumulasi, baik “kumulasi perkara tindak pidana” maupun 11Ibid. Hal. 402 12Ibid. Hal. 404


sekaligus ”kumulasi terdakwa” dengan kumulasi dakwaannya. Sehingga, akan ada penghubungan Pasal 141 KUHAP dengan pasal-pasal KUHP yang berkenaan dengan ”penyertaan” dalam tindak pidana atau “pengambilan bagian” (deelneming) sebagaimana diatur dalam Pasal 55 KUHP. Begitu pula yang berkenaan dengan “pembarengan” (samenloop) sebagaimana diatur dalam pasal 63, 64, 65, 66, dan Pasal 70 KUHP. d) Penuntutan Penuntutan merupakan proses pemeriksaan lanjutan setelah tahapan proses pemeriksaan penyidikan, yaitu kegiatan melimpahkan perkara ke pengadilan negeri yang berwenang agar dapat diperiksa dan diputus. Pelaksanaan penuntutan ini dilakukan oleh jaksa penuntut umum setelah semua berkas suatu perkara tindak pidana lengkap. Adapun yang dimaksud dengan penuntutan ini dikemukakan oleh beberapa ahli13 diantaranya: 1) Sudarto Yang dimaksud dengan tindakan penuntutan adalah berupa penyerahan berkas perkara si tersangka14 kepada hakim dan sekaligus agar supaya diserahkan kepada sidang pengadilan. 2) Wirjono Prodjodikoro Menuntut seorang terdakwa di muka hakim pidana adalah menyerahkan perkara seorang terdakwa15 dengan berkas perkaranya kepada hakim, dengan permohonan supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu kepada terdakwa. 3) S. M. Amin Menuntut adalah penyerahan berkas perkara ke sidang pengadilan. 13Evi Hartanti. Op. cit. Hal. 30 14Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Lihat Pasal 1 angka 14 KUHAP 15Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. Lihat Pasal 1 angka 15 KUHAP


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

Secara yuridis mengenai penuntutan diatur di dalam BAB XV, mulai dari Pasal 137 sampai dengan Pasal 144 KUHAP. Sedangkan, mengenai defenisi penuntutan terdapat dalam Pasal 1 angka 7 KUHAP dan Pasal 1 angka 3 Undangundang Nomor 16 Tahun 2004. Penuntutan menurut kedua pasal tersebut adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (KUHAP) dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Jika melihat pada beberapa defenisi penuntutan di atas, terdapat sedikit perbedaan antara defenisi menurut Wirjono Prodjodikoro dengan defenisi penuntutan secara yuridis. Di dalam defenisi penuntutan menurut Wirjono Prodjodikoro disebutkan dengan tegas kata “Terdakwa”. Menurutnya, menuntut seorang dengan terdakwa adalah dengan menyerahkan terdakwa itu dengan berkas perkaranya kepada hakim agar diperiksa dan diputus. Sedangkan defenisi secara yuridis tidak menyebut kata “terdakwa” akan tetapi “hanya pelimpahan perkara pidana saja”. Memperhatikan bunyi ketentuan pasal di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa penuntutan berarti tindakan penuntut16: 1) Melimpahkan perkara pidana ke pengadilan yang berwenang; 2) Disertai permintaan supaya perkara tersebut diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Di samping itu, jaksa dalam melakukan tindakan penuntutan tersebut tidak terlepas dari asas-asas dalam bidang penuntutan. Dalam hukum acara pidana dikenal dua asas penuntutan yaitu17: 1) Asas legalitas Yaitu penuntut umum diwajibkan menuntut semua orang yang dianggap cukup alasan bahwa yang bersangkutan telah melakukan pelanggaran

16Yahya Harahap. Op. cit. Hal. 385 17Evi Hartanti. Op. cit. Hal. 35-36


hukum. Dalam arti, penuntut umum wajib menuntut seseorang yang didakwa melakukan tindak pidana. 2) Asas oportunitas Yaitu penuntut umum tidak diharuskan menuntut seseorang, meskipun yang bersangkutan sudah jelas melakukan suatu tindak pidana yang dapat dihukum. Maksudnya, penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan suatu tindak pidana jika menurut pertimbangannya apabila orang tersebut dituntut akan merugikan kepentingan umum. .

Wewenang jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara illegal logging Di dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak ada pengaturan

secara khusus mengenai kewenangan jaksa penuntut umum (JPU) dalam melakukan penuntutan dalam perkara illegal logging. Penuntut umum hanya menerima pemberitahuan penghentian penyidikan dari Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPPNS) jika tidak terdapat cukup bukti tentang adanya suatu tindak pidana18, dan menerima pemberitahuan mengenai dimulainya penyidikan dan menerima hasil penyidikan dari PPPNS19. Lebih lanjut, hal ini diperjelas pada Penjelasan Pasal 77 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil memberitahukan dimulainya penyidikan kepada Pejabat Penyidik Polri. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan jaminan bahwa hasil penyidikan telah memenuhi ketentuan dan persyaratan. Ketentuan yang menjadi dasarnya kewenangan JPU dalam penanganan perkara illegal logging adalah sama dengan kewenangan penanganan atas tindak pidana yang lain sepanjang tidak dinyatakan lain dalam undang-undang tertentu. Artinya, ketentuan dasar mengenai wewenang jaksa penuntut umum tetap 18Lihat Penjelasan Pasal 77 ayat (2) huruf h Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 19Lihat Pasal 77 ayat (3) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

mengacu pada KUHAP. Hal ini dijembatani oleh Ketentuan Peralihan yang diatur Pasal 82 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa: “Semua peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang telah ada, sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini, tetap berlaku sampai dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yang berdasarkan undang-undang ini”. Pasal 82 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 ini merupakan penjabaran dari ketentuan peralihan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Pasal 284 ayat (2) KUHAP menyatakan: “Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi”. Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 menyebutkan bahwa: “Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada Undangundang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa, dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan”. Supaya lebih mudah memahami, sebaiknya dihubungkan dengan Penjelasan Pasal 284 ayat (2) KUHAP dan Penjelasan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983: Penjelasan Pasal 284 ayat (2) KUHAP; a. Yang dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang dilimpahkan ke pengadilan. b. Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana dimaksud tersebut pada undang-undang tertentu” ialah ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain:


1. Undang-undang tentang Pengusutan, Penuntutan, Tindak Pidana ekonomi (Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955) 2. Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971), dengan catatan bahwa semua ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu akan ditinjau kembali, diubah atau dicabut dalam waktu sesingkat-singkatnya. Penjelasan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 menyebutkan; “Wewenang dalam tindak pidana tertentu yang diatur secara khusus oleh undang-undang tertentu dilakukan oleh penyidik, jaksa, dan penyidik yang berwenang lainnya yang ditunjuk berdasarkan peraturan perundang-undangan�. Yang dimaksud dengan tindak pidana khusus (tertentu) ialah tindak pidana yang diatur di luar KUHP. Pada garis besarnya hukum acara pidana yang berlaku untuk tindak pidana khusus adalah hukum acara pidana umum, dan dalam hal ini KUHAP. Akan tetapi, tidak semua demikian halnya. Adakalanya hukum acara pidana yang berlaku bagi tindak pidana khusus adalah:20 1. Merupakan gabungan antara hukum acara pidana umum (KUHAP) dengan hukum acara pidana khusus yang diatur sendiri dalam hukum pidana khusus tersebut. Bila terjadi penggabungan yang seperti ini biasanya ditegaskan dalam hukum pidana khusus dengan jalan menyebutkan, bahwa di samping ketentuan hukum acara pidana khusus yang terdapat didalamnya, diperlakukan juga hukum acara pidana umum dengan cara menggabungkannya. 2. Hukum pidana khusus mengatur sendiri hukum acara pidana dalam tingkat penyidikan dan pembuktian. Dengan demikian dalam beberapa tindak pidana khusus, masih ada wewenang jaksa melakukan penyidikan, jika undang-undang tindak pidana khusus itu sendiri menyebut secara tegas tentang wewenang jaksa melakukan penyidikan. 20Yahya Harahap. Op. cit. Hal. 368


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

Walaupun demikian, perlu diingat bahwa adanya pengecualian sama sekali bukan berarti mengurangi keabsahan penerapan KUHAP sebagai hukum acara pidana bagi semua tindak pidana termasuk tindak pidana khusus sepanjang hukum pidana khusus tersebut tidak mengatur sendiri hukum acaranya secara keseluruhan 21, termasuk bagi perkara illegal logging dimana pada ketentuan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tidak ada mengatur ketentuan acara secara khusus mengenai wewenang jaksa penuntut umum. Sehingga, wewenang jaksa penuntut umum dalam penanganan perkara illegal logging tetap mengacu pada KUHAP. Wewenang Kejaksaan selaku lembaga penuntutan terhadap penanganan tindak pidana illegal logging ini kemudian dipertegas lagi dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di Seluruh Wilayah Republik Indonesia. Berdasarkan Inpres tersebut bahwa kejaksaan harus melakukan tuntutan yang tegas dan berat terhadap pelaku tindak pidana kehutanan dan mempercepat proses penanganan dan penyelesaian perkara di setiap tahap baik penyidikan, penuntutan, maupun eksekusi putusan22. B. Tinjauan Umum tentang Illegal Logging 1. Pengertian illegal logging Bila berbicara mengenai hutan dan kehutanan, maka tidak bisa lepas dari permasalahan seputar pembalakan kayu secara liar atau lebih dikenal dengan illegal logging. Praktik illegal logging merupakan salah satu problematika kehutanan Indonesia, karena menimbulkan berbagai dampak negatif yang hampir di segala bidang. Fakta menunjukan bahwa praktik illegal logging merupakan kejahatan luar biasa dan terorganisir karena luasnya dimensi dampak, serta melibatkan banyak pihak dalam mata rantai kegiatannya. 21Ibid. Hal. 369 22Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. November 2006. Report Panel 2 Tahun Pemberantasan dan Penegakan hukum terhadap pelaku illegal logging di Sumatera Barat. Padang: Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Hal. 2


Pengertian illegal logging dalam perundang-undangan yang ada tidak secara eksplisit didefenisikan secara tegas. Namun, terminologi illegal logging dapat dilihat dari pengertian secara harfiah dalam bahasa inggris. Dalam The Contemporary English-Indonesian dictionary, “illegal” artinya tidak sah, dilarang atau bertentangan dengan hukum, haram. Dalam Black’s Law Dictionary, illegal artinya “forbidden by law; unlawful” artinya yang dilarang menurut hukum atau tidak sah. “Log” dalam bahasa Inggris artinya batang kayu atau kayu gelondongan, dan “logging” artinya menebang kayu dan membawa ke tempat gergajian. Dari terminologi di atas dapat dikatakan bahwa illegal logging berarti menebang kayu kemudian membawa ke tempat gergajian yang bertentangan atau tidak sah menurut hukum.23 Pengertian illegal logging menurut istilah dapat dilihat dari defenisi yang dikemukakan oleh EPIQ atau Natural Resources Management Program (USAID) bahwa ”illegal logging is all forestry practices or activities connected with harvesting, processing and trade that do not conform to the law”. Pengertian ini mempunyai ruang lingkup yang amat luas tentang illegal logging yakni seluruh proses mulai dari penebangan, processing dan perdagangan kayu yang bertentangan hukum.24 Pengertian yang lebih sempit dikemukakan oleh Alam Setia Zain, menurutnya

illegal logging atau kayu ilegal adalah kayu yang

diperoleh atau diambil secara tidak sah dari hutan negara atau hutan lainnya 25. Oleh karena itu, illegal logging merupakan pelanggaran peraturan yang mengakibatkan ekploitasi sumber daya hutan yang berlebihan. Pelanggaranpelanggaran ini terjadi di semua lini tahapan produksi kayu, misalnya pada tahap 23IGM. Nurdjana, dkk. Op. Cit. Hal. 13 24Ministry of Forestry from Annual Report, (2001) Hal. 112, Dikutip dari tulisan M. Jhon dan Ferdi., Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Delicti Volume III No. 5/Pebruari s/d Juli 2006. Aspek Hukum Pemberantasan Illegal Logging ditinjau dari Hukum Internasional dan Implementasinya di Indonesia. Padang: Bagian Hukum Pidana fakultas Hukum UNAND. Hal. 18 25Alam Setia Zain. 1998. Aspek Pembinaan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 34


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

penebangan, tahap pengangkutan kayu gelondongan, tahap processing dan tahap pemasaran; dan bahkan meliputi penggunaan cara-cara yang korup untuk mendapatkan akses ke kehutanan dan pelanggaran-pelanggaran keuangan, seperti penghindaran pajak.26 Jika dikaitkan dengan praktik di lapangan, pengertian illegal logging terbagi atas 2 (dua), yaitu pengertian secara sempit dan pengertian secara luas. Pengertian secara sempit hanya menyangkut penebangan kayu secara liar, sedangkan pengertian secara luas menyangkut setiap perbuatan/tindakan pelanggaran dalam kegiatan kehutanan yang meliputi perizinan, persiapan operasi, kegiatan produksi, pengangkutan, tata usaha kayu (TUK), pengolahan dan pemasaran.27 Oleh karena itu, bisa dipahami bahwa illegal logging merupakan semua kegiatan proses lanjutan terhadap hasil tebangan secara illegal, terdiri dari: Pertama, hak kepemilikan, menguasai atau memiliki atau menyimpan kayu hasil tebangan secara illegal. Kedua, pergerakan kayu, meliputi kegiatan mengangkut atau mengeluarkan kayu dari kawasan hutan negara dari hasil curian. Ketiga, pengolahan kayu. Sementara, illegal trade merupakan proses lebih lanjut yang dapat memicu atau menjadi alasan kegiatan eksploitasi kayu secara illegal tetap berjalan,

meliputi

kegiatan perdagangan, penyelundupan, perizinan

dan

pelanggaran.28 Defenisi lain dari illegal logging adalah berasal dari temu karya yang diselenggarakan oleh LSM Indonesia Telapak tahun 2002, yaitu “Illegal logging adalah operasi/kegiatan kehutanan yang belum mendapat izin dan yang merusak�. Menurut FWI dan GFW, Illegal logging identik dengan istilah “pembalakan liar� yaitu menggambarkan semua praktik atau kegiatan kehutanan yang berkaitan dengan pemanenan, pengelolaan dan perdagangan kayu yang tidak sesuai dengan 26Alam Setia Zain. 2006. Strategi Nasional untuk Pemberantasan Penebangan dan Peredaran Kayu. Hal. 2. http://www.fkt.ugm.ac.id. Diakses 29 April 2015 pukul 22.30 WIB 27Abdul Hakim. Op. cit. Hal. 165 28Rusdianto Ismail. 2006. Kerusakan Hutan di Aceh: Fakta Penyimpangan dan Solusinya. http://www.hupelita.com. Diakses 7 Januari 2015 Pukul 22.00 WIB


hukum Indonesia. Lebih lanjut FWI membagi illegal logging menjadi dua yaitu; pertama, yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan dalam izin yang dimilikinya. Kedua, melibatkan pencuri kayu, pohon-pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal untuk menebang pohon.29 Berdasarkan pada beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa illegal logging (penebangan liar) adalah rangkaian kegiatan di bidang kehutanan dalam rangka pemanfaatan dan pengelolaan hasil hutan kayu yang bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku dan atau berpotensi merusak hutan. Esensi yang penting dalam praktik illegal logging ini adalah perusakan hutan yang akan berdampak pada kerugian baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial budaya30. 2. Faktor penyebab illegal logging Persoalan illegal logging bukan merupakan sesuatu yang sederhana dengan faktor penyebab yang bersifat tunggal. Maraknya praktik illegal logging jelas memiliki berbagai faktor penyebab yang saling terkait satu sama lain baik secara langsung maupun tidak langsung, antara lain: a. Kesenjangan antara supply dan demand, yaitu tidak seimbangnya antara kebutuhan bahan baku industri pekayuan dengan jumlah produksi kayu dari Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Tanaman Industri (HTI). Kebutuhan industri diperkirakan 63,48 juta m3 per tahun, sedangkan produksi kayu bulat hanya 22,8 juta m3 per tahun.31

29Sukardi. Op. cit. Hal. 72 30Ibid. Hal. 73 31Departemen Kehutanan. Pelatihan Investigator CSO Kasus Illegal Logging Tahap I 26 Mei 2006. Kebijakan Nasional dalam Pengembangan Strategi Penegakan Hukum dalam Penanganan Kasus Illegal Logging. Jakarta: Departemen Kehutanan. Hal. 4


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

b. Kuatnya permintaan pasar di luar negeri yang menampung kayu illegal, dan keuntungan yang diperoleh dari kegitan ini cukup besar.32 c. Lemahnya upaya penegakan hukum. Hal ini ditandai dengan gejala bahwa pada setiap proses hukum kasus illegal logging terjadi kolusi antara oknum aparat pemerintah (kehutanan, perhubungan, penegak hukum, dll) dengan para pelaku atau cukong penebangan liar.33 d. Mentalitas para pemilik modal yang mengedepankan sikap aji mumpung (moral hazzard). Dengan kekuatan modal, para cukung menyuplai oknum aparat dan memanfaatkan kemiskinan masyarakat lokal untuk memuluskan aktivitas penebangan dan pencurian kayu.34 e. Kondisi sosial dan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di kawasan hutan yang pada umumnya miskin. Masyarakat yang semula hidupnya tergantung kepada alam, tergiur dan terlibat kegiatan penebangan liar dan sangat sulit kembali pada perilaku kehidupan semula.35 Rumitnya persoalan illegal logging yang tercermin dari berbagai faktor penyebab di atas membutuhkan suatu format dan instrumen solutif. Komitmen dan kemauan yang kuat dari berbagai pihak yang terkait sangat menentukan dalam upaya pemberantasan sekaligus pencegahan praktik pengelolaan hutan yang telah mengakibatkan kerugian ekonomi, kehancuran ekologis, dan dehumanisasi sosial kultural berbagai komunitas lokal. Dengan demikian diharapkan akan dilahirkan berbagai upaya dalam rangka pemberantasan kegiatan illegal logging secara tepat, cepat dan efektif. .

Pelaku dan modus operandi illegal logging 32Ibid. Hal. 5 33Ibid.

34Soetino Wibowo. 2006. Rehabilitasi Hutan Pasca Operasi Illegal Logging. Jakarta: Wana Aksara. Hal. 24 35Departemen Kehutanan. Loc.cit.


Berdasarkan data dari Mabes Polri tahun 2003, pelaku dalam tindak pidana illegal logging dapat dikelompokkan sebagai berikut36: a. Masyarakat setempat dan masyarakat pendatang. Pelaku ini melakukan kegiatan penebangan secara langsung baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk dijual kepada pengusaha kayu atau pemilik modal. b. Pemilik modal (cukong) atau pengusaha. Pelaku ini berperan sebagai fasilitator atau penadah hasil kayu curian, bahkan menjadi otak dari pencurian kayu. c. Pemilik industri kayu atau pemilik HPH. Pelaku ini bisa bertindak sebagai pencuri kayu dan bisa bertindak sebagai penadah kayu. d. Nahkoda kapal. Pelaku ini bisa berperan sebagai turut serta melakukan atau membantu melakukan penyelundupan kayu atau penebangan liar. e. Oknum pejabat pemerintah atau oknum aparat penegak hukum. Pelaku ini bisa berasal dari oknum TNI, oknum Polri, Jagawana/PNS kehutanan, aparat bea dan cukai, oknum pemerintah daerah , oknum anggota DPRD, dan oknum politisi baik dari pusat maupun daerah. f. Pengusaha asing. Pelaku ini kebanyakan berperan sebagai pembeli atau penadah hasil kayu curian. Pelaku-pelaku yang dapat terlibat dalam kegiatan illegal logging sebagaimana dijelaskan di atas, terutama dalam kasus yang berdimensi luas memiliki hubungan yang sangat kuat dan rapi. Pemilik modal dan pengusaha kayu mempunyai kepentingan untuk mendapatkan lahan konsesi37 penebangan yang bisa didapatkan dari pejabat lokal atau bantuan oknum pejabat pemerintah, dan memiliki modal dan dana untuk mendukung kepentingannya tersebut. Pengusaha dapat mempengaruhi oknum pejabat pemerintah pusat ataupun lokal untuk melakukan kerja sama illegal dalam bentuk penebangan liar, dan dalam rangka 36Sukardi. Op. cit. Hal. 94-96 37“Konsesi adalah izin untuk membuka tambang, menebang hutan, dan sepengumpulan di suatu tempat untuk menggarap pekerjaan secara intensif... “. Lihat Sudarsono. Op.cit. Hal. 227


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

melaksanakan kegiatannya itu pengusaha mengupah tenaga kerja dari penduduk setempat atau mendatangkannya dari luar daerah. 38 Selanjutnya, modus operandi dalam kegiatan illegal logging adalah sebagai berikut39: a. Modus operandi yang dilakukan di daerah hulu: 1) Melakukan

penebangan

tanpa

izin,

biasanya

dilakukan

oleh

masyarakat dan hasil tebangannya dijual kepada cukong kayu atau pengusaha atau kepada industri pengolahan kayu. 2) Melakukan penebangan di luar izin yang telah ditetapkan konsesinya oleh pemerintah, biasanya dilakukan oleh pemegang HPH dan pemegang Izin Penebangan Kayu (IPK) yang sah. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk mempercepat tercapainya target produksi atau dalam rangka meningkatkan keuntungan perusahaan. .

Modus operandi yang dilakukan di daerah hilir: 1) Pengangkutan kayu tanpa dilengkapi dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH). Modus ini dilakukan untuk memanfaatkan sistem pengawasan terhadap hasil hutan yang relatif masih lemah seperti di daerah-daerah pedalaman yang belum memiliki sarana dan prasarana yang lengkap. 2) Pengangkutan kayu dilengkapi dengan dokumen palsu; a) Blanko dan isinya palsu. Modus ini berkembang seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

38Sukardi. Loc. cit. 39Ibid. Hal. 96-97


b) Blanko asli tetapi isinya palsu. Modus ini dimungkinkan oleh adanya kerja sama (kolusi40) antara pengusaha kayu dengan pejabat yang berwenang menerbitkan dokumen kayu. c) SKSHH

dari

daerah

lain.

Modus

ini

dilakukan

untuk

memanfaatkan peluang kelemahan dari aparat penegak hukum terutama

ketidakpahaman

aparat

penegak

hukum

tentang

dokumen-dokumen kayu. )

Jumlah kayu yang diangkut tidak sesuai dengan data yang ada dalam SKSHH.

)

Penggunaan satu dokumen SKSHH yang berulang-ulang.

)

Menggunakan dokumen pengganti SKSHH, seperti surat tilang di darat atau di laut sebagai pengganti SKSHH yang disita, faktur kayu yang digunakan sebagai pengganti SKSHH, perizinan peralatan untuk kegiatan penebangan kayu, atau surat-surat lain. Modus ini lebih banyak terjadi karena adanya praktik-praktik kolusi antara oknum pejabat pemerintah dengan pengusaha kayu.

Modus lain yang bisa muncul adalah melalui kebijakan-kebijakan yang saling tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah pusat melarang ekspor kayu bulat yang diatur dalam SKB Menhut

Nomor

1132/Kpts-II/2001

dan

Menperindag

Nomor

292/MPP/KEP/10/2001 tentang Penghentian Ekspor Kayu Bulat / Bahan Baku serpih yang kemudian ditetapkan dalam pasal 76 Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, serta Surat Edaran Dep. Kehutanan Nomor 406/Menhut-VI/2003 Tanggal 4 Agustus 2003 tentang Larangan Penerbitan IPK oleh Pemerintah Daerah. Akan tetapi, pemerintah daerah 40Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antarPenyelenggara Negara atau antara Penyelenggara Negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Lihat Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

menerbitkan IPK dan ekspor kayu yang merupakan kebijakan yang dilakukan berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang otonomi daerah dan undang-undang otonomi khusus. Hal inilah yang menjadi kontroversi antara kebijakan pemerintah pusat dan daerah dalam pemberian konsesi penebangan yang berimplikasi pada orientasi kebijakan masing-masing pihak, sehingga dapat memberi insentif bagi pelaku illegal logging dan dapat menghambat proses penegakan hukum terhadap kasus-kasus illegal logging oleh karena identifikasi kasus illegal logging sangat terkait dengan kewenangan alokasi konsesi penebangan kayu. Ketidakjelasan kewenangan pemberian konsesi penebangan kayu berdampak pada ketidakjelasan suatu kegiatan penebangan itu sendiri. Kondisi ini menjadi celah bagi pelaku illegal logging termasuk oknum-oknum aparat tertentu.41

.

Ketentuan-ketentuan pidana dan sanksi terhadap pelaku tindak pidana illegal logging berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 199942 Ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 50 dan sanksi pidana dalam

Pasal 78 merupakan salah satu dari upaya perlindungan hutan dalam rangka mempertahankan fungsi hutan secara lestari. Maksud dan tujuan pemberian sanksi pidana yang berat terhadap setiap orang yang melanggar hukum di bidang kehutanan adalah agar dapat menimbulkan efek jera. Uraian tentang ketentuan pidana dan sanksinya terhadap kegiatan illegal logging menurut Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 adalah sebagai berikut: 1)

Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan

hutan (Pasal 50 ayat (1)). Barang siapa dengan sengaja merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan diancam dengan pidana penjara paling lama

41Sukardi. Op. cit. Hal. 99-100 42IGM. Nurdjana, dkk. Op. Cit. Hal. 108-114


10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (1): Yang dimaksud dengan orang adalah subyek hukum baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Prasarana perlindungan hutan misalnya pagar-pagar batas kawasan hutan, ilaran api, menara pengawas, dan jalan pemeriksaan. Sarana perlindungan hutan misalnya alat pemadam kebakaran, tanda larangan, dan alat angkut. 2)

Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan (Pasal 50 ayat (2)). Barang siapa yang melanggar ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (1)). Penjelasan Pasal 50 ayat (2): Yang dimaksud dengan kerusakan hutan adalah terjadinya perubahan fisik, atau hayatinya, yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan sesuai dengan fungsinya. 3)

Merambah kawasan hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf b). Setiap orang

dilarang melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan: a)

500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;

b)

200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di

daerah rawa; c)

100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;

d)

50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;

e)

2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;

f)

130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang

terendah dari tepi pantai (Pasal 50 ayat (3) huruf c).


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (2)). Perbuatan yang dilakukan dalam Pasal 78 ayat (1), (2), dan (3) tersebut jika dilakukan oleh badan hukum atau badan usaha tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya sesuai dengan ancaman pidananya masingmasing ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan (Pasal 78 ayat (14)). Yang dimaksud dengan badan hukum atau badan usaha dalam pasal terebut antara lain Perseroan Terbatas (PT), perseroan comanditer (Commanditer

vennotschaap-CV),

firma,

koperasi,

dan

sejenisnya

(Penjelasan Pasal 78 ayat (14)). 4)

Setiap orang dilarang untuk menebang pohon atau memanen atau

memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf e). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (5)). 5)

Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan,

menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah (Pasal 50 ayat (3) huruf f). Pelanggaran terhadap ketentuan ini, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (5)). 6)

Mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan yang tidak

dilengkapi bersama-sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan (Pasal 50 ayat (3) huruf h). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (7)).


7)

Membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau

patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf j). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (9)). 8)

Membawa

alat-alat

yang

lazim

digunakan

untuk

menebang,

memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan hutan tanpa izin pejabat yang berwenang (Pasal 50 ayat (3) huruf k). Pelanggaran terhadap ketentuan ini diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) (Pasal 78 ayat (10)). Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf k: tidak termasuk dalam ketentuan ini adalah masyarakat yang membawa alat-alat seperti parang, mandau, golok, atau yang sejenis lainnya, sesuai dengan tradisi budaya serta karakteristik daerah setempat. 9)

Negara melakukan perampasan terhadap hasil hutan dan alat-alat

termasuk alat angkutnya yang dipergunakan untuk melakukan kejahatan dan atau pelanggaran (Pasal 78 ayat (15)). Berdasarkan uraian tentang rumusan ketentuan pidana dan sanksinya yang diatur oleh Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 di atas, maka dapat ditemukan unsur-unsur yang dapat dijadikan dasar hukum untuk penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana illegal logging yaitu sebagai berikut: 1) Merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan; 2) Kegiatan yang keluar dari ketentuan perizinan sehingga merusak hutan; 3) Melanggar batas-batas tepi sungai, jurang, dan pantai yang ditentukan undang-undang; 4) Menebang pohon tanpa izin; 5) Menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga sebagai hasil hutan ilegal; 6) Mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan tanpa Surat Keterangan


ADVOKASI: Volume 5 Nomor 1 (Januari - Juni) 2015

Sahnya Hasil Hutan (SKSHH); 7) Membawa alat-alat berat dan alat-alat lain pengelolaan hasil hutan tanpa izin. Melihat rumusan unsur-unsur ketentuan pidana dan sanksi dalam Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tersebut di atas, mencerminkan adanya sifat selektifitas dari ketentuan hukum ini. Sasaran penegakan hukum belum dapat menjangkau seluruh aspek pelaku tindak pidana illegal logging. Demikian juga dengan subjek hukum tindak pidana, hanya terbatas pada orang dalam pengertian baik orang pribadi, badan hukum, maupun badan usaha. Akan tetapi, belum mengatur perbuatan yang dilakukan oleh korporasi dan pegawai negeri, dan belum terdapat sanksi tambahan terhadap pelaku individu dan korporasi. Oleh karena itu, jika dikaitkan dengan perkembangan tindak pidana illegal logging, maka tidak dapat lagi hanya diakomodasi dalam ketentuan pidana Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999.

DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Alam Setia Zain. 1998. Aspek Pembinaan Hutan dan Stratifikasi Hutan Rakyat. Jakarta: Rineka Cipta. Alam Setia Zain. 2006. Strategi Nasional untuk Pemberantasan Penebangan dan Peredaran Kayu. Departemen Kehutanan. Pelatihan Investigator CSO Kasus Illegal Logging Tahap I 26 Mei 2006. Kebijakan Nasional dalam Pengembangan Strategi Penegakan Hukum dalam Penanganan Kasus Illegal Logging. Jakarta: Departemen Kehutanan Evi Hartanti. 2006. Tindak Pidana Korupsi. Semarang: Sinar Grafika. Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. November 2006. Report Panel 2 Tahun Pemberantasan dan Penegakan hukum terhadap pelaku illegal logging di Sumatera Barat. Padang: Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.


Martiman Prodjohamidjojo. 2002. Teori dan Praktik Membuat Surat Dakwaan. Jakarta: Ghalia Indonesia. M. Jhon dan Ferdi., Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Delicti Volume III No. 5/Pebruari s/d Juli 2006. Aspek Hukum Pemberantasan Illegal Logging ditinjau dari Hukum Internasional dan Implementasinya di Indonesia. Padang: Bagian Hukum Pidana fakultas Hukum UNAND. Osman Simanjuntak. 2002. Teknik Penerapan Surat Dakwaan. Jakarta: Sinar Grafika. Soetino Wibowo. 2006. Rehabilitasi Hutan Pasca Operasi Illegal Logging. Jakarta: Wana Aksara Yahya Harahap. 2000. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Data Internet http://www.fkt.ugm.ac.id. Diakses 29 April 2015 pukul 22.30 WIB Rusdianto Ismail. 2006. Kerusakan Hutan di Aceh: Fakta Penyimpangan dan Solusinya. http://www.hupelita.com. Diakses 7 Januari 2015 Pukul 22.00 WIB.


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.