Nofiardi membangun hukum indonesia yang progresif

Page 1

ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 MEMBANGUN HUKUM INDONESIA YANG PROGRESIF Oleh : Nofiardi *

ABSTRACT To cope with the downturn national law which is still the dominant normativedogmatic, repressive, legalistic more aligned to the ruling, it would require the construction of the law is more progressive in favor of the public interest, it is necessary to establish beforehand institutions / legal materials, legal institutions and culture progressive law anyway. Especially for the development of the legal matter should be considered to include Islamic law as an alternative solution to the current law slump, considering Islamic law contains all the rules that humans need. Key Words: Progressive law; Construction law; Legal culture. ABSTRAK Untuk mengatasi keterpurukan hukum nasional yang masih dominan bersifat normatif-dogmatik, represif, legalistik yang lebih berpihak kepada penguasa, maka diperlukan pembangunan hukum yang lebih progresif yang memihak kepada kepentingan masyarakat luas, maka diperlukan membangun terlebih dahulu pranata/materi hukum, lembaga hukum dan budaya hukum yang progresif pula. Khusus untuk pembangunan materi hukum perlu dipertimbangkan untuk memasukkan syariat Islam sebagai alternatif solusi dari keterpurukan hukum saat ini, mengingat syariat Islam memuat semua aturan yang dibutuhkan manusia. Kata kunci: Hukum progresif; Pembangunan hukum; Budaya hukum.

PENDAHULUAN *

*

Staf Pengajar di STIH YPKMI Padang. Sarjana ditamatkan di IAIN Imam Bonjol dan STIH Padang, Magister Hukum ditamatkan di Universitas Andalas.

1


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 Dalam berbagai kasus berkaitan suatu produk hukum, baik yang keluar dari lembaga yudikatif maupun eksekutif, sepanjang menyangkut kepentingan orang banyak, biasanya sering menjadi polemik masyarakat luas, mulai dari para pakar hukum hingga masyarakat awam. Fenomena ini terjadi bisa dipahami sebagai suatu bentuk makin tingginya pemahaman masyarakat terhadap hukum, atau boleh jadi telah terjadi something wrong dengan produk hukum itu sendiri, seiring dengan perkembangan dan tuntutan demokratisasi dan transparansi dalam penyelenggaraan negara. Disamping itu, hal tersebut dapat pula dipahami sebagai adanya sesuatu yang salah pada lembaga hukumnya, dalam menerapkan hukum. Pemikiran positivistis yang menghasilkan aliran hukum normativedogmatic masih dominan dalam berbagai produk hukum di Indonesia, baik yang berupa putusan lembaga peradilan maupun perundang-undangan, di mana aliran tersebut menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk menciptakan kepastian hukum. Dari anggapan ini akhirnya memunculkan pertanyaan kritis, untuk siapa sebenarnya hukum itu dibuat, apakah untuk kepastian hukum dan ketertiban itu sendiri, ataukah untuk kesejahteraan manusia? Lalu pertanyaan berikutnya, bila hukum itu ditujukan semata-mata untuk kepastian hukum, lalu dimana fungsi hukum yang melindungi masyarakat itu? Penerapan dan penegakan hukum sangat dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : faktor hukumnya sendiri, faktor aparatnya, faktor sarana dan prasarana, faktor masyarakat dan, faktor budaya. Faktor-faktor ini satu sama lain kaitmengait. Penerapan dan penegakan hukum yang baik akan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat secara menyeluruh, yang mencakup keadilan hukum (legal justice), keadilan moral (moral justice) dan, keadilan sosial (social justice). Atau dengan kata lain, penerapan dan penegakan hukum dapat dikatakan baik apabila dapat memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi masyarakat disamping kepastian hukum. Sebab yang terjadi dalam praktek, produk hukum dari lembaga peradilan maupun pemerintah lebih sering menekankan asas “kepastian hukum dan ketertiban� daripada asas “keadilan dan kepentingan umum�. Padahal 2


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 lembaga eksekutif maupun yudikatif dalam perspektif sebagai penyelenggara negara sudah semestinya terikat dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), yang berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat (public service) dan mensejahterakan rakyatnya, bukan semata-mata sebagai penjaga ketertiban saja. Realitas hukum di Indonesia yang masih bersifat sentralistik, formalisitik, represif dan, status quo, telah banyak mengundang kritik dari para pakar dan sekaligus memunculkan suatu gagasan baru untuk mengatasi persoalan tersebut, seperti misalnya apa yang sering diperkenalkan oleh Prof. Satjipto Rahardjo dengan ilmu hukum progresif-nya, yaitu yang meletakkan hukum untuk kepentingan manusia sendiri, bukan untuk hukum dan logika hukum, seperti dalam ilmu hukum praktis. Pengertian hukum progresif ini kiranya tidak berbeda dengan apa yang telah diperkenalkan oleh Philippe Nonet&Philip Selznick yang dinamakan dengan hukum responsif, yaitu hukum yang berfungsi melayani kebutuhan dan kepentingan sosial. Bertolak dari pemikiran di atas, makalah ini akan menekankan kajian pada pembangunan pranata hukum, lembaga hukum dan, budaya hukum menuju hukum Indonesia yang progresif. PEMBAHASAN A. Fungsi Hukum Yang Baik Fungsi hukum yang baik adalah untuk melayani anggota masyarakat dalam mengalokasikan kekuasaan, mendistribusikan sumber daya dan melindungi kepentingan mereka. Oleh karena itu, wajar bila munculnya suatu putusan pengadilan atau peraturan perundang-undangan yang di dalamnya terdapat penyimpangan dari fungsi-fungsi ideal tersebut masyarakat bereaksi keras, seiring dengan

meningkatnya

pemahaman

hukum

mereka

disamping

tuntutan

demokratisasi dan transparansi dalam penyelenggaran negara. Salah satu contoh konkrit baru-baru ini adalah seperti misalnya munculnya Perpres (Peraturan 3


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 Presiden) Nomor 14 Tahun 2007 Tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Sebab Perpres tersebut dipandang telah melanggar undangundang, karena hanya menguntungkan PT. Lapindo Brantas Inc dan tidak memihak korban. Sehingga warga korban lumpur lapindo dari lima desa di Sidoarjo, yaitu Desa Besuki, Kedung Jangkring, Pejarakan, Jatirejo, dan Renokenongo akan mengajukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Agung.1 Di sini nampak bahwa pemerintah lebih membela kepentingan kapitalis dibanding dengan kepentingan masyarakat sendiri yang menjadi korban. Sebaliknya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tanggal 23 Juli 2007, yang memberikan peluang bagi calon perseorangan (independen) dalam pemilihan kepala daerah, justru mendapat respon positip dari sebagian besar masyarakat Indonesia termasuk para pakar hukumnya. Sebab putusan a quo dinilai telah memberikan hak-hak dasar warganegara yang selama ini dikangkangi partai politik (Parpol), sehingga dipandang telah memenuhi rasa keadilan dan sekaligus memberikan harapan untuk meraih kesejahteraan yang merata. Terlebih bila hal ini dikaitkan dengan terpilihnya pasangan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh sebagai calon independen, yang ternyata mereka memiliki komitmen lebih besar bagi kesejahteraan masyarakatnya dibandingkan dengan gubernur-gubernur terpilih lainnya yang diusung parpol, sebagaimana pemberitaan akhir-akhir ini yang menyebutkan bahwa ketika Gubernur Aceh akan dibangunkan rumah dinas yang mewah, ternyata beliau menolaknya, sehingga pejabat dari kemendagri pun yang berkunjung di sana merasa salut atas keteladanan tersebut. Hal ini dimungkinkan 1

Republika, Kamis, 16 Agustus 2007, hlm. 12. Lebih lanjut dalam kasus Perpres tersebut, Direktur Advokasi YLBHI yang menjadi kuasa hukum korban lumpur Lapindo, Taufik Basari menjelaskan bahwa Perpres 14 Tahun 2007 melanggar beberapa aturan, yakni UU No.5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria, asas perjanjian dalam KUH Perdata serta kovenan hak-hak sipil dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya. Lalu ganti rugi dalam bentuk pembelian tanah sesuai Perpres 14 Tahun 2007 tidak memberi kebebasan pilihan atau kesetaraan kepada warga korban sesuai asas kebebasan berkontrak (pacta sun servanda) dalam KUH Perdata.

4


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 karena Gubernur Nanggro Aceh Darussalam tersebut tidak dalam posisi tidak terikat deal-deal dengan parpol, yang biasanya setiap ada proyek, orang-orang parpol ini biasanya berusaha untuk mengeruk keuntungan tanpa memikirkan dampaknya bagi masyarakat sendiri. Prof. Satjipto Raharjo melukiskan bahwa di Indonesia banyak contoh tentang kegagalan hukum untuk membawa koruptor ke penjara oleh pengadilan. Hampir sama dengan yang terjadi di Amerika, kegagalan tersebut disebabkan oleh sikap submisif terhadap kelengkapan hukum yang ada, seperti prosedur, doktrin dan asas. Akibatnya, hukum justru bisa menjadi safe heaven bagi para koruptor.2 Sebagai ikhtiar untuk mengatasi persoalan hukum nasional di atas, dalam pembahasan di bawah ini penulis mencoba memberikan jawaban atas permasalahan-permasalahan hukum sepanjang berkaitan dengan pranata, lembaga dan, budaya hukumnya untuk mewujudkan hukum yang progresif. B. Membangun Pranata Hukum Progresif Gagasan mengusung pembangunan hukum nasional yang progresif sebetulnya bertolak dari keprihatinan bahwa ilmu hukum praktis lebih menekankan paradigma peraturan, ketertiban dan kepastian hukum, yang ternyata kurang menyentuh paradigma kesejahteraan manusia sendiri. Prof. Sajtipto Raharjo mengatakan bahwa perbedaannya terletak pada ilmu hukum praktis yang menggunakan paradigma peraturan (rule), sedang ilmu hukum progresif memakai paradigma manusia (people). Penerimaan paradigma manusia tersebut membawa ilmu hukum progresif untuk memedulikan faktor perilaku (behavior, experience). Bagi ilmu hukum progresif, hukum adalah untuk manusia, sedang pada ilmu hukum praktis manusia adalah lebih untuk hukum dan logika hukum. Disinilah letak pencerahan oleh ilmu hukum progresif. Oleh karena ilmu hukum progresif lebih mengutamakan manusia, maka ilmu hukum progresif tidak bersikap 2

Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif Sebagai Dasar Pembangunan Ilmu Hukum, dalam buku Menggagas Hukum Progresif Indonesia, Penyunting Ahmad Gunawan, BS dan Muammar Ramadhan, Cet. 1, Kerjasama Pustaka Pelajar, IAIN Walisongo dan Program Doktor Ilmu Hukum UNDIP, Semarang, 2006, hlm. 1-17.

5


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 submisif atau tunduk begitu saja terhadap hukum yang ada melainkan bersikap kritis.3 Hampir senada dengan tesis Prof. Satjipto di atas, Abdul Kadir Audah, seorang hakim, pemimpin dan pengarang Mesir, jauh sebelumnya telah mengkritisi undang-undang sekuler Mesir yang sering tidak menggambarkan idetujuan yang tinggi, karena materi undang-undang tersebut tampaknya hanya menggambarkan pikiran-pikiran para pembesar dan pembentuk undang-undang itu, melukiskan pendapat-pendapat mereka, dan membayangkan egoisme mereka itu. Dan bila pun undang-undang tersebut memiliki ide tujuan yang tinggi dan diterima masyarakat, tetapi sering para hakim dan para pembentuk undangundang itu merusak serta mengacaukannya, dan menukarkannya dengan apa yang lebih buruk yang ada pada diri mereka.4 Pembangunan pranata atau materi hukum yang progresif, di luar pemikiran-pemikiran yang telah digagas Prof. Satjipto Rahardjo, perlu kiranya mempertimbangkan beberapa pemikiran sebagaimana tersebut di bawah ini : 1. Perlunya memasukkan pertimbangan kajian filsafat hukum, yaitu suatu pemikiran yang metodis sistematis dan radikal mengenai hakekat dan hal-hal fundamental dan marginal dari hukum dalam segala aspeknya, yang peninjauannya berpusat pada empat masalah pokok, yaitu : 1) hakekat pengertian hukum; 2) cita dan tujuan hukum; 3) berlakunya hukum dan; 4) pelaksanaan/pengamalan hukum.5 Atau perlunya pula menekankan aliran etis dan utilistis dalam pembangunan materi hukum tersebut, yaitu yang menganggap bahwa pada asasnya tujuan hukum adalah semata-mata untuk mencapai keadilan (aliran etis) dan untuk menciptakan kemanfaatan atau 3

Ibid. Abdul Kadir Audah, Islam dan Perundang-Undangan, Cet. 7, Bulan Bintang, Jakarta, 2004, hlm. 20. 5 Soejono Koesoemo Sisworo, Mempertimbangkan Beberapa Pokok Pikiran Pelbagai Aliran Filsafat Hukum Dalam Relasi Dan Relevansinya Dengan Pembangunan/Pembinaan Hukum Indonesia, Pidato Pengukuhan diucapkan pada peresmian Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Hukum (Filsafat Hukum) pada Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip) di Semarang pada hari Kamis, tanggal 30 Maret 1989. 4

6


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 kebahagiaan warga (aliran utilistis).6 Hal ini dilakukan dengan maksud agar pembangunan materi hukum tersebut dapat mewujudkan suatu keadilan dan kemanfaatan bagi manusia itu sendiri, bukan semata-mata untuk ketertiban dan terlebih untuk kepentingan penguasa. Dan proses pembangunan materi hukum tersebut harus mengacu pada Grundnorm, yaitu Pancasila sebagai sumbernya dari segala sumber hukum dan landasan filosofis dari keseluruhan bangunan hukum nasional, 2. Perlunya memasukkan tahapan sosiologis dan politis sebelum mamasuki tahapan yuridis, karena sesungguhnya produk hukum bukan semata-mata suatu proses yuridis. Dengan memasukkan tahapan sosiologis dan politis, sebagai bagian dari kegiatan penyusunan produk hukum yang demokratis, proses tersebut banyak melibatkan berbagai komponen sistem yang rumit dan beragam. Pemahaman yang demikian akan menjadi titik tolak untuk menilai, apakah suatu produk hukum yang dihasilkan itu berkualitas atau tidak, apakah didukung oleh sikap dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat atau ditentang, dan seterusnya.7 3. Perlunya memasukkan unsur-unsur hukum transendental yang bersumber dari kitab suci, yang dalam hal ini adalah syariat Islam. Memang disadari, bahwa sejak awal penyusunan konstitusi negara, dimana pada saat para tokoh Islam ingin mencantumkan tujuh kata, yaitu “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya� dalam preambule Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesaia Tahun 1945 ternyata mendapat penolakan dari nonmuslim, sehingga dengan kebesaran jiwa tokoh-tokoh muslim tersebut akhirnya mereka rela untuk mencoret tujuh kata tersebut. Hal ini nampaknya hingga saat ini, phobia atau tepatnya kecurigaan terhadap syariat Islam itu masih menonjol di kalangan non-muslim, bahkan di kalangan Islam sendiri yang berpandangan bahwa ajaran agama itu tidak perlu mencampuri urusan 6

Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet. 1, Chandra Pratama, Jakarta, 1996, hlm. 84. 7 Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Editor : Korolus Kopong dan Mahmutarom HR, PT.Suryandaru Utama, Semarang , 2005, hlm. 46.

7


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 negara, atau biasanya dengan argumen lain, bahwa Nabi Muhammad SAW tidak memberikan contoh bentuk pemerintahan Islam yang baku. Akan tetapi penulis punya keyakinan kuat bahwa phobia tersebut pada akhirnya akan hilang dengan sendirinya apabila syariat Islam yang kekal itu dapat diformulasikan pemahaman dan pengaplikasiannya (dalam bentuk hukum fikih) secara tepat sesuai dengan misi utamanya sebagai “rahmatan lil 'alamin�, sebagaimana munculnya formulasi fikih muamalah yang mewujud dalam bentuk lembaga ekonomi syari'ah modern, yang dapat diterima dan dipraktekkan di Indonesia dan di berbagai negara barat yang mayoritas penduduknya bukan Islam. Dari pemikiran inilah yang menjadi alasan perlu digunakannya syariat Islam sebagai bahan baku penyusunan hukum nasional yang progresif, yaitu hukum yang mengutamakan manusia dan memberikan kesejahteraan serta pencerahan bagi manusia. Dengan bahan baku hukum yang bersumber dari syariat Islam dapat diharapkan bahwa masyarakat akan lebih mematuhi dan menerima secara baik, karena produk hukum itu terikat dengan ajaran agamanya, dan menjalankan atau mematuhinya terkandung makna ibadah atau ancaman di akhirat bila tidak mengindahkannya. Busthanul Arifin pada saat mengajukan RUU Pengadilan Agama sebagai wakil pemerintah pada tahun 1989 mendapat banyak tantangan dari berbagai kalangan, khususnya kalangan non-muslim, yang mendalihkan berbagai alasan, seperti misalnya : bahwa RUU tersebut bertentangan dengan unifikasi hukum di Indonesia; bersifat diskriminatif terhadap kelompok lain; agama harus dipisahkan dari negara (sekuler); hingga tuduhan kalau RUU tersebut sebagai upaya menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Tetapi Busthanul dengan tegas menyampaikan

argumennya,

bahwa

alasan-alasan

tersebut

selain

tidak

konstitusional, juga berbahaya jika umat Islam dipersilahkan melaksanakan sendiri syariat Islam tanpa keterlibatan pemerintah, apakah umat Islam harus dibiarkan memotong sendiri tangan para pencuri, katanya. Munawir Syadzali ketika menjabat Menteri Agama pernah ditanya, apakah RUU Pengadilan Agama 8


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 yang diajukan ke DPR saat itu adalah tanda sedang menuju ke arah negara Islam? Beliau dengan tangkas menja wab, bahkan di negeri-negeri seperti Singapura, Philipina, Sri Langka, dan Muang Thai mempunyai pengadilan-pengadilan agama (Mahkamah Syari'ah). Tuduhan yang menyatakan bahwa RUU Pengadilan Agama bersifat diskriminatif karena dikhususkan bagi orang Islam saja di Indonesia, seolah-olah kelompok ini tidak ingin membandingkan permasalahan ini dengan Burgerlijke Wetboek (BW) yang diwarisi dari masa kolonialisme Belanda, dimana BW ini sampai sekarang dinyatakan masih berlaku, padahal nilai-nilai moral yang terkandung di dalam BW tersebut berasal dari etika Kristen. Seyogianya pula segala peraturan dari perundang-undangan yang bersumber dari etika Kristen tersebut seharusnya hanya berlaku bagi agama Kristen saja. Begitu pula peradilan negeri yang nota bene peraturannya dari etika Kristen itu harus pula dikhususkan untuk umat Kristiani saja. Hal-hal seperti inilah yang kurang diperhatikan intelektual dan ahli hukum non-muslim di Indonesia.8 Mengenai masuknya syariat Islam ke dalam hukum nasional atau dengan kata lain keharusan negara untuk memfasilitasi umat Islam dalam mengamalkan hukum agamanya karena dengan alasan bahwa hukum Islam itu mengikat setiap individu yang beragama Islam. Tahir Azhary menegaskan bahwa setiap muslim dan muslimah wajib melaksanakan hukum Islam. Hukum Islam dapat dilihat dalam dua perspektif : 1. Ketentuan-ketentuan tentang hukum ibadah yang dilaksanakan oleh setiap individu tanpa memerlukan campur tangan negara, misalnya: inisiatif melaksanakan kewajiban shalat, puasa, dan lain-lain. Dalam pengertian ibadah mahdlah sebagai orang yang beriman, setiap muslim memiliki kesadaran

yang

tinggi

untuk

melaksanakan

kewajibannya

untuk

mengamalkan perintah Allah sebagai wujud pemeliharaan hubungan 8

Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia : Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Cet.2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 134-135.

9


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 manusia dengan Allah secara vertikal (hablun minallah). Namun dari segi lain campur tangan negara sangat diperlukan misalnya dalam kaitan dengan penyediaan fasilitas-fasilitas ibadah oleh negara seperti masjid, fasilitasfasilitas untuk menunaikan ibadah haji, dan lain-lain. 2. Implementasi ketentuan-ketentuan hukum Islam dalam bidang muamalah

atau kepentingan masyarakat baik yang bersifat perdata maupun bersifat publik harus melibatkan kekuasaan negara. Secara mutlak negara berkewajiban untuk menyediakan dana dan fasilitas misalnya Peradilan Agama, pegawai, pencatat nilah (KUA), pengelolaan zakat (UU No. 38 Tahun 1999), penyelenggaraan ibadah haji, dan lain-lain.9 Mencermati pencarian Prof. Satjipto Rahardjo dalam berbagai tulisan beliau yang mengusung gagasan hukum progresif untuk menggantikan hukum normatif-dogmatic dan represif yang ada sekarang, termasuk di dalamnya pernyataan beliau tentang perlunya hukum yang mampu menjawab totalitas kehidupan dengan cara mengerahkan seluruh potensi hukum, seperti konsep, paradigma, dan manusia tanpa harus memusingkan protes dunia internasional, seperti contoh cara Amerika membangun Amerika moderen sekian ratus tahun lalu yang berani membuat sendiri “American concept of law”, “American approach to law”; “distincly American development”10. Kiranya hal tersebut, menurut hemat penulis adalah

kegamangan beliau akan mendesaknya upaya

mencari alternatif hukum yang baru. Terlebih pula dalam tulisan-tulisan beliau yang mengarah cara berfikir spiritual, dengan misalnya mengacu kepada pemikiran-pemikiran Danah Zohar dan Ian Marshall yang mengenalkan pendekatan SQ (Spiritual Quotient) maupun Daniel Goleman yang mengenalkan pendekatan EQ (Emotional Intelligence), yang intinya menganggap bahwa manusia tidak cukup diukur dari kecerdasan intelektualnya saja atau IQ (Intellectual Quotient), karena meskipun kecerdasan intelektual tersebut meskipun 9

Tahir Azhary, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999: Perspektif Hukum Masa Datang, dalam buku laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Perdilan Agama, Kerjasama Ditbinbapera, Fakultas Hukum UI dan PPHIM, Jakarta, 1999, hlm. 121. 10 Satjipto Raharjo, Hukum dan Totalitas Kehidupan, Harian Kompas, tanpa tanggal.

10


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 telah banyak menyumbang kepada perkembangan peradaban manusia, tetapi bekerja tanpa makna.11 Bertolak dari alternatif yang diajukan penulis sebagaimana tersebut di atas, yaitu dengan menjadikan syariat Islam sebagai sumber hukum secara tegas serta menjawab kerisauan Prof. Satjipto Raharjo dalam pencariannya akan produk hukum yang mampu menjawab totalitas kehidupan, maka penulis sampai pada kesimpulan bahwa upaya membangun hukum progresif, dalam pengertian hukum yang mengabdi kepada kemaslahatan manusia dalam kehidupan profan maupun kehidupan setelah mati hanya dapat dilakukan dengan upaya “ekplorasi” dan “elaborasi” syariat Islam secara cerdas dan kreatif yang menghasilkan hukumhukum praktis (fikih), karena realitas telah membuktikan bahwa syariat Islam mampu membawa kemaslahatan manusia tanpa terkecuali dalam abad informasi, seperti digunakannya syariat Islam sebagai SOP (Standard Operational Procedure) dan acuan nilai dalam lembaga keuangan, atau yang dikenal dengan perbankan syariah/ lembaga keuangan syariah. Dimana syariah sebagai sistem operasional lembaga perbankan telah diterima dan diakui oleh dunia sebagai sistem yang memberikan keadilan dan kemitraan yang baik antara pemilik modal, pihak bank, dan masyarakat pengguna dana, yang jelas berbeda dengan sistem kapitalis. Bahkan Tahir Azhary dalam disertasinya menemukan 9 (sembilan) prinsip umum tentang negara hukum dilihat dari segi hukum Islam, yaitu : 1) prinsip kekuasaan sebagai amanah, 2) prinsip musyawarah, 3) prinsip keadilan, 4) prinsip persamaan, 5) prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap HAM, 6) prinsip peradilan bebas, 7) prinsip perdamaian, 8) prinsip kesejahteraan, 9) prinsip ketaatan rakyat.12 C. Membangun Lembaga Hukum Progresif 11

Satjipto Rahardjo, Menggagas Pendidikan Hukum Progresif, dalam Jurnal Hukum Khairah Ummah, Vol I No. 1, Maret 2006, Sultan Agung Press, Semarang, hlm. 6-7. 12 Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992, hlm. 77-109.

11


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 Aparatur penegak hukum yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, yang ditunjang dengan sarana dan prasarana yang memadai akan menentukan baik atau tidaknya penegakan hukum. Agar para penegak hukum tersebut dapat menjalankan tugas dengan baik sebagai unsur-unsur lembaga hukum yang progresif, diperlukan pembinaan dengan baik pula. Sebetulnya, dalam menjalankan tugas dan fungsinya, setiap unsur aparat penegak hukum telah dilengkapi seperangkat peraturan dan kode etik profesi sebagai pedoman yang harus diikuti. Untuk aparat hakim misalnya, harus memahami dengan baik tugas dan kewajibannya sebagaimana yang telah diatur secara normatif dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman antara lain : 1. Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (Pasal 5 ayat 1), 2. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan (Pasal 5 ayat 2), 3. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (Pasal 14 ayat 1), 4. Memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga negara lainnya apabila diminta (Pasal 25), 5. Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat 1). Disamping kelima hal di atas, terdapat hal prinsip yang menjadi ikatan batin antara hakim dengan tuhannya setiap kali memutus perkara, yaitu irah-irah “Demi keadilan berdasarkan Ketuhahan Yang Maha Esa�. Irah-irah ini wajib diucapkan saat memutus perkara, karena bila tidak atau lupa membacanya, putusannya batal demi hukum. Irah-irah tersebut menggambarkan rasa kebatinan bahwa sebelum hakim mengetukkan palu, maka berarti ia telah berkomunikasi intens dengan Tuhannya. 12


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 Selanjutnya dalam memeriksa dan mengadili perkara, hakim biasa menempuh beberapa cara dalam penemuan hukum yang disebut dengan peristilahan sebagai berikut : 1. Rechtsvorming (pembentukan hukum), yaitu merumuskan peraturanperaturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang, 2. Rechtstoepassing (penerapan hukum), yaitu menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan, 3. Rechtshandhaving (pelaksanaan hukum), dapat berarti menjalankan hukum baik ada sengketa/pelanggaran maupun tanpa sengketa, 4. Rechtschepping (penciptaan hukum), berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada, 5. Rechtsvinding (penemuan hukum atau law making-Inggris), dalam arti

bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali dan diketemukan.13 Disamping hal tersebut di atas, untuk mewujudkan hakim yang progresif dalam menerapkan hukum, sudah seharusnya ia menyadari akan kedudukannya sebagai wakil penguasa yang mestinya terikat kontrak secara tidak langsung dengan masyarakat guna memberikan pengayoman, yaitu dengan memberikan putusan yang adil. Sebab dalam peradilan Islam dikatakan, hakim (qadhy) itu adalah orang yang diangkat oleh kepala negara untuk menjadi hakim dalam menyelesaikan gugat menggugat, perselisihan-perselisihan dalam bidang perdata. Di luar dari semua yang terurai di atas, kiranya tak kalah pentingnya adalah masalah kesejahteraan para penegak hukum di atas, terutama hakim, agar mereka dapat menjalankan tugas sebaik-baiknya tanpa mudah terpengaruh oleh godaan uang dari pihak-pihak yang berkepentingan, sebagaimana yang hingga 13

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah Pengantar, Liberty, Yokyakarta, 1998, hlm. 36-37.

13


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 saat ini masih sering ditemukan kasus “mafia peradilan” melalui laporan masyarakat ke Mahkamah Agung. Sehingga isu kenaikan gaji/ tunjangan hakim yang telah lama muncul ke permukaan hampir satu dasa warsa itu perlu mendapatkan perhatian pemerintah untuk merealisasikannya, agar terwujud pemerintahan yang “good governance” dan “clean government” melalui putusanputusan hakim yang menghukum serta menyita harta hasil korupsi para koruptor untuk negara. D. Membangun Budaya Hukum Progresif Pranata hukum yang baik dan lembaga hukum yang baik tanpa budaya hukum yang baik menjadikan penegakan hukum (law enforcement) tidak dapat berjalan dengan baik. H. M. Laica Marzuki menjelaskan bahwa betapapun ideal suatu produk substansi hukum serta didukung oleh struktur aparatur hukum, namun kedua komponen dimaksud tidak lebih dari sekedar “blue print” atau “desain” hukum manakala tidak didukung oleh budaya hukum (legal culture) para warga masyarakat.14 Sebab ketiga komponen ini idealnya harus integral, berjalan paralel dan simultan. Akan tetapi realitas di lapangan berkata lain, sehingga misalnya, meskipun materi hukum dan penegaknya sudah baik tetapi sering terlihat kesaadaran masyarakat yang masih rendah, misalnya berkaitan dengan tertib lalu lintas jalan raya. Bahkan di sisi lain, masyarakat dalam menghadapi pelaku kejahatan yang tertangkap tangan, mereka tidak segan-segan main hakim sendiri, yang justru melanggar HAM. Fenomena tersebut kiranya tidak terlepas dari kristalisasi pengalaman masyarakat sendiri yang sering melihat bahwa aparat hukum ternyata masih mudah disuap, seperti misalnya ketika seseorang melakukan pelanggaran tertib lalu lintas ia cukup mengeluarkan puluhan ribu rupiah sebagai “uang damai” tanpa harus menghadiri sidang yang memakan waktu lama itu. Atau juga misalnya, 14

T. M. Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung, hal.32.

14


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 kasus yang terjadi di ruang sidang pengadilan negeri beberapa tahun lalu dimana salah seorang pengunjung mengacung-acungkan uang puluhan ribu rupiah kepada majelis hakim. Dari peristiwa-peristiwa di atas kiranya cukup memberikan penjelasan kepada kita bahwa budaya hukum masyarakat belum mendukung penegakan hukum yang baik. Hal ini menurut hemat penulis disebabkan oleh beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain : 1. Belum adanya keteladanan dan budaya malu para aparat penegak hukum dalam bentuk sikap yang komitmen di dalam menjalankan peraturan perundang-undangan, sehingga dapat dengan mudah para aparat ini membelokkan hukum, seperti banyaknya putusan bebas bagi para koruptor, 2. Masih meluasnya budaya “jalan pintas� di kalangan masyarakat dalam setiap mengurus atau menyelesaikan masalah, seperti misalnya ketika menyelesaikan

kasus

tindak

pidana

ringan

(tipiring)

dalam

pelanggaran lalu lintas atau mengurus suatu perizinan, masyarakat cenderung menempuh jalan pintas dengan memberikan tip (uang pelicin) kepada aparat agar mereka tidak harus antri berlama-lama, 3. Akhirnya, untuk mewujudkan pembangunan hukum nasional yang progresif, yaitu hukum yang berfungsi untuk memberikan keadilan, kemanfaatan

dan

kesejahteraan

masyarakat

sendiri,

kiranya

dibutuhkan terlebih dahulu pembangunan pranata hukum, lembaga hukum dan, budaya hukum yang progresif pula sebagaimana dimaksud dalam uraian di atas. Sebab untuk membangun suatu sistem hukum yang baik, diperlukan 3 (tiga) aspek pendekatan, yaitu segi 'structure', 'substance' dan 'legal culture' yang ketiganya layak berjalan secara integral, simultan dan paralel.15 Hukum progresif di 15

H. M. Laica Marzuki, Legal Human Resources dalam Konteks Komponen Sistem Hukum, makalah dalam lokakarya Penyajian Diagnostik Assesment of Legal Development in Indonesia, BAPPENAS, tanggal 8-9 September 1997 di Jakarta, dalam Majalah Varia Peradilan, hal. Tahun XIII. No. 149 Februari, 1998, Jakarta, hlm. 120-121.

15


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 sini menurut penulis dapat dikatakan sebagai padanan dari pengertian hukum responsif, yaitu hukum sebagai sarana respons terhadap kebutuhan-keutuhan sosial dan aspirasi-aspirasi masyarakat. Dan hukum progresif merupakan perkembangan dari hukum represif dan hukum otonom sebagaimana yang diintrodusir oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick, dimana hukum represif adalah sebagai alat kekuasaan, sedangkan hukum otonom sebagai suatu sarana yang mampu menjinakkan represi dan melindungi integritasnya sendiri.16 E. Kesimpulan Sebagai penutup dari tulisan ini, berikut ini disampaikan simpulan dan saran-saran sebagai berikut : 1. Bahwa untuk mengatasi keterpurukan hukum nasional yang masih dominan bersifat normatif-dogmatik, represif, legalistik yang lebih berpihak kepada penguasa, maka diperlukan pembangunan hukum yang progresif sebagaimana uraian pada bab-bab di muka, 2. Bahwa untuk membangun hukum progresif, yaitu hukum yang memihak kepada kepentingan masyarakat luas atau yang memenuhi legal justice, moral justice, dan social justice, maka diperlukan membangun terlebih dahulu pranata/materi hukum, lembaga hukum dan budaya hukum yang progresif pula sebagaimana uraian di atas, 3. Bahwa khusus untuk pembangunan materi hukum perlu memasukkan syariat Islam sebagai bahan baku dan sekaligus sebagai alternatif keluar dari keterpurukan, mengingat syariat Islam memuat semua aturan yang dibutuhkan manusia. Mengingat hukum Islam yang bersumber dari syariat Islam melalui jalan ijtihad itu memiliki segi-segi yang tidak dimiliki hukum positif buatan manusia, dimana hukum Islam : 1) merupakan kehendak Tuhan yang tidak mengalami kekurangan-kekuarangan seperti 16

Ali Mansyur, Perspektif Pembangunan Hukum yang Responsive di Indonesia, dalam buku Aneka Persoalan Hukum/Masalah Perjanjian, Konsumen&Pembaruan Hukum, Cet. 2, Teras, Semarang, 2007, hlm. 139-145.

16


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 kehendak manusia, 2) teks-teks (nash) dari Al-Qur'an dan Hadits dijamin dari kesalahan, 3) hukum Islam yang bersumber dari wahyu itu memperoleh penghormatan yang tinggi dan suci berbeda dengan hukum buatan manusia. Hukum sekuler atau hukum buatan manusia itu berbahaya karena selalu dipengaruhi oleh kelompok-kelompok yang dominan dalam penyusunan produk hukum, seperti misalnya penguasa, pengusaha dan parpol. Berbeda dengan syariat Islam yang memang sudah teruji keberpihakannya bagi kemaslahatan umum meskipun bisa terjadi adanya penyimpangan nash-nash syar'i demi kepentingan penguasa. Akhirnya, dengan munculnya berbagai kasus hukum yang dipandang tidak adil oleh mayoritas masyarakat saat ini, seperti kembalinya terpidana korupsi, seorang anggota Komisi Pemilihan Umum Pusat yang telah menjalani masa tahanan kepada profesi semula sebagai anggota. Dengan alasan bahwa yang bersangkutan menjalani hukuman pidana kurang dari pidana 5 (lima) tahun, sehingga keanggotaannya tidak dengan sendirinya hilang/dicabut. Disinilah tampak kesan bahwa hukuman pidana tidak serta merta mempunyai akibat terhadap hukum administratif. Sehingga hal ini menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum di Indonesia, dan dapat membuka peluang mafia peradilan, agar para koruptor yang merugikan keuangan negara itu berusaha sekuat mungkin tidak dijatuhi hukuman pidana lebih dari 5 (lima) tahun, sehingga setelah habis masa tahanan mereka bisa kembali bekerja tanpa merasa malu. Hal yang serupa juga pernah terjadi yaitu pada saat mantan ketua DPR RI, Ir. Akbar Tanjung dijatuhi hukuman pidana dalam kasus �Bulog Gate� II dengan tanpa harus masuk rumah tahanan, kemudian yang bersangkutan melakukan upaya hukum banding hingga kasasi. Selama itu pula sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka yang bersangkutan masih merasa berhak memimpin DPR, sekalipun banyak mendapatkan protes saat itu.

17


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015

DAFTAR PUSTAKA Abdul Halim, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia : Dari Otoriter Konservatif Menuju Konfigurasi Demokratis-Responsif, Cet. 2, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. Abdul Kadir Audah, Islam dan Perundang-Undangan, Cet. 7, Bulan Bintang, Jakarta, 2004. Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Cet.1, Chandra Pratama, Jakarta, 1996.

18


ADVOKASI: Volume 6 Nomor 1 (Januari – Juni) 2015 Ali Mansyur, Perspektif Pembangunan Hukum yang Responsive di Indonesia, Aneka Persoalan Hukum/Masalah Perjanjian, Konsumen & Pembaharuan Hukum, Cet.2, Teras Pustaka, Semarang, 2007. Esmi Warassih, Pranata Hukum, Sebuah Telaah Sosiologis, Editor : Karolus Kopong Medan dan Mahmutarom HR, PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005. H. M. Laica Marzuki, Legal Human Resources dalam Konteks Komponen Sistem Hukum, Majalah Varia Peradilan, Tahun XIII. No. 149 Februari 1998, Jakarta, 1998. Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum/Suatu Studi Tentang Prinsipprinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada Periode Negara Madinah Dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992. Satjipto Rahardjo, Menggagas Pendidikan Hukum Progrsif, Jurnal Hukum Khaira Ummah, Vol I No. 1, Maret 2006, Sultan Agung Press, Semarang, 2006. Sudikno

Mertokusumo, Penemuan Yogyakarta, 1998.

Hukum

Sebuah

Pengantar,

Liberty,

Tahir Azhary, Posisi Peradilan Agama dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999: Perspektif Hukum Masa Datang, Laporan Seminar 10 Tahun Undang-Undang Peradilan Agama, Kerjasama Ditbinbapera, Fakultas Hukum UI dan PPHIM, Jakarta, 1999.

19


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.