Jurnal poltekkes jambi vol 4

Page 1

Pemberitaan Ilmiah

ISSN 2085-1677

Alamat Redaksi : Politeknik Kesehatan Jambi, Jl. Haji Agus Salim No.09, Kota Baru, Jambi

Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Serangan Asma Pada Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi Kaimuddin, Siti Aisyah, Yelliyanda Analisis Status Kesehatan Gigi dan Mulut Pada Murid Kelas Vi SD di Kota Jambi Tahun 2010 David Rudi, Ahmad Khairullah, Junaidi Hubungan Peran Orang Tua Terhadap Tingkat Kemandirian Anak Retardasi Mental Usia 10-14 Tahun di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Kota Jambi Erris Siregar Pengaruh Tehnik Relaksasi Progresif Terhadap Nyeri Post Operasi Sectio Caeseria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mataher Jambi Tahun 2010 Ernawati Hubungan Kepatuhan Pasien Dengan Kejadian Ulkus Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes Mellitus di RSUD Raden Mattaher Jambi Netha Damayantie, Monalisa, Musliha Studi Eksplorasi Diagnosa Keperawatan Pada Pasien Malaria di Propinsi Jambi Gusti Lestari Handayani, Rohaida, Abbasiah Hubungan Perilaku Host Dan Peran Pengawas Minum Obat Dengan Kesembuhan Pasien TB Paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 Vivianti Dewi, Debbie Nomiko, Ary Irfan Efektivitas Penyuluhan Kepada Orang Tua Secara Personal dan Pengolesan Bahan Cpp-Acp Pada Anak Terhadap Resiko Terjadinya Karies Pada Murid SD Islam Al-Falah Kota Jambi Rina Kurnianti, Retno Dwi Sari, Slamet Riyadi Kebutuhan Dan Permintaan Perawatan Orthodonsi Pada Mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011 Naning Nur Handayatun, Valentina,NK, Parlindungan Situmeang

Volume 4 Edisi Juli 2011

Pengetahuan, Motivasi dan Upaya Remaja dalam Menanggulangi Nyeri Haid di SMA Negeri I Kota Jambi Tahun 2009 Indarmien Netty Analisis Faktor Risiko Karies Gigi dan Hubungannya Dengan Indeks Karies Gigi pada Anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi Aida Silfia Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada Ibu Post Partum di Ruang Kebidanan Rsud Raden Mattaher Jambi Tahun 2009 Rosmaria, Diniyati, Maini


Editorial Pembaca Yth,

Puji Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV telah dapat diterbitkan. Penantian yang panjang untuk terkumpulnya naskah ilmiah sebagai materi utama terbitan kita. Untuk itu penelitian ilmiah di lingkup Poltekkes Jambi harus lebih kita galakkan sebagai salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kepada penulis yang telah mempercayakan kepada kami untuk menerbitkan karyanya kami ucapkan terimakasih . Untuk edisi kali ini kita sajikan beberapa karya ilmiah dari bidang kesehatan gigi, kesehatan lingkungan, kesehatan reproduksi serta ilmu keperawatan dan manajemen. Semoga bermanfaat, maju terus dan selamat berkarya.

REDAKSI JURNAL POLTEKKES JAMBI Pelindung : Direktur Poltekkes Jambi Asmmuni HS, SKM,MM Pengarah : Pudir I: Hj.Tati Nurty, S.Pd, M.Kes Pudir II: Rusmimpong, S.pd, M.Kes

Pemimpin Redaksi drg. Naning Nur Handayatun, M.Kes

Konsultan :

Syamsul Ridjal, SKM, MM., M.KES drg. Ahmad Khairullah, M.Kes Krisdiyanta, S.KM, M.Kes Nuraidah, S.Pd, M.Kes

Anggota Redaksi: Erris Siregar, S.KM, M.Kes Dra. Neni Heriani, M.Kes Vivanti Dewi, S.Pd, M.Kes Sekretaris Redaksi drg. Karin Tika Fitria

Pencetakan dan Distribusi Slamet Riyadi, S.KM

Pemimpin Redaksi,

drg. Naning Nur Handayatun, M.Kes email: ningfendi@yahoo.co.id

Alamat Redaksi Politeknik Kesehatan Jambi Jl. Haji Agus Salim No 09 Kota Baru Jambi

ISSN

2085-1677 Vol IV Edisi Juli 2011

i


Pemberitaan Ilmiah

JURNAL POLTEKKES JAMBI ISSN 2085-1677 Politeknik Kesehatan Jambi

Volume IV Edisi Juli 2011

DAFTAR ISI Editorial Daftar Isi Ketentuan Penulisan Jurnal Ilmiah 1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

Analisis Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Serangan Asma Pada Anak di Wilayah Kerja Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi………………….. Kaimuddin, Siti Aisyah, Yelliyanda

1

Analisis Status Kesehatan Gigi dan Mulut Pada Murid Kelas Vi SD di Kota Jambi Tahun 2010.......................................................................................... David Rudi, Ahmad Khairullah, Junaidi

4

Hubungan Peran Orang Tua Terhadap Tingkat Kemandirian Anak Retardasi Mental Usia 10-14 Tahun di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Kota Jambi…………………………………………………………. Erris Siregar

9

Pengaruh Tehnik Relaksasi Progresif Terhadap Nyeri Post Operasi Sectio Caeseria di Ruang Kebidanan Rsud Raden Mataher Jambi Tahun 2010……. Ernawati

14

Hubungan Kepatuhan Pasien Dengan Kejadian Ulkus Kaki Diabetik Pada Pasien Diabetes Mellitus di Rsud Raden Mattaher Jambi……………………….. Netha Damayantie, Monalisa, Musliha

19

Studi Eksplorasi Diagnosa Keperawatan Pada Pasien Malaria di Propinsi Jambi ……………………………………………………………………………….. Gusti Lestari Handayani, Rohaida, Abbasiah

23

Hubungan Perilaku Host Dan Peran Pengawas Minum Obat Dengan Kesembuhan Pasien TB Paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010.................................................................................. Vivianti Dewi, Debbie Nomiko, Ary Irfan Efektivitas Penyuluhan Kepada Orang Tua Secara Personal dan Pengolesan Bahan Cpp-Acp Pada Anak Terhadap Resiko Terjadinya Karies Pada Murid SD Islam Al-Falah Kota Jambi ……………………………………………………………… Rina Kurnianti, Retno Dwi Sari, Slamet Riyadi Kebutuhan Dan Permintaan Perawatan Orthodonsi Pada Mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011.......................................................................................... Naning Nur Handayatun, Valentina,NK, Parlindungan Situmeang

30

37

44

10. Pengetahuan, Motivasi dan Upaya Remaja dalam Menanggulangi Nyeri Haid di SMA Negeri I Kota Jambi Tahun 2009………………………………………………….. Indarmien Netty

49

11. Analisis Faktor Risiko Karies Gigi dan Hubungannya Dengan Indeks Karies Gigi pada Anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi……………………………………………….. Aida Silfia

57

12. Pengaruh Mobilisasi Dini Terhadap Penurunan Tinggi Fundus Uteri Pada Ibu Post Partum di Ruang Kebidanan Rsud Raden Mattaher Jambi Tahun 2009……………………….. Rosmaria, Diniyati, Maini

62

ii


KETENTUAN PENULISAN JURNAL ILMIAH ISSN 2085-1677 Politeknik Kesehatan Jambi

Volume IV Edisi Juli 2011

PERSYARATAN UMUM Naskah diketik dalam bahasa Indonesia atau bahasa inggris dengan lay out kertas A4, batas tepi 3 cm, jarak 1 spasi, menggunakan huruf Arial dengan ukuran 10. Naskah tidak menggunakan catatan kaki di dalam teks, panjang naskah 5-15 halaman termasuk tabel dan gambar. Tabel ditulis dengan huruf Arial ukuruan 8 atau 9 tanpa garis tegak. Gambar tanpa warna. Bila mencantumkan diagram, gunakan diagram lingkaran atau batang dengan arsir. File diketik menggunakan aplikasi Microsoft Word (versi 2000, XP, 2003 atau 2007). Naskah harus sudah sampai di sekretariat

redaksi selambat-lambatnya tanggal 25 bulan Januari dan Juli sebelum penerbitan dan dikirim dalam bentuk CD-ROM disertai print out sebanyak tiga rangkap. Penulis yang naskahnya akan dimuat dikenakan biaya Rp 150.000 per artikel yang dananya diserahkan langsung ke sdri Naning Nur Handayatun, M.Kes. Penulis akan menerima 1 (satu) eksemplar nomor jurnal yang memuat artikelnya. Jika mengiginkan eksemplar tambahan, dipersilahkan mengantikan biaya cetak sebesar Rp.50.000,-.

PERSYARATAN KHUSUS Artikel Kupasan (Review)

Artikel Riset (Research Paper)

Artikel harus mengupas secara kritis dan komprehesif perkembangan suatu topik berdasarkan temuan-temuan baru yang didukung oleh kepustakaan yang cukup dan terbaru,sistematika penulisan artikel kupasan terdiri-dari : Judul Artikel, Nama Penulis (ditulis Dibawah Judul dan tanpa gelar), Abstraks, Pendahuluan (berisi latar balakang dan Tujuan Penulisan) , Bahan dan Cara (berisi tentang jenis penelitian, populasi dan sampel atau subjek penelitian, tehnik pengumpulan dan tehnik analisa data), Hasil dan pembahasan, Hasil penelitian berisikan tabel atau grafik dan hasil uji statistik, kemudian dibahas, Penutup (berisi tentang kesimpulan atas isi bahasan yang disajikan pada bagian inti dan saran yang sejalan dengan kesimpulan), Ucapan terima kasih (bila diperlukan), Rujukan

Naskah terdiri atas judul dan nama penulis lengkap dengan nama institusi dan alamat korespodensi diikuti oleh abstrak (dengan kata kunci) Pendahuluan bahan dan metode hasil dan pembahasan kesimpulan dan saran ucapan terima kasih bila diperlukan dan daftar pustaka

Judul (Title) Judul harus informatif dan deskriptif (maksimum 28 kata) Judul dibuat memakai huruf kapital dan diusahakan tidak mengandung singkatan Nama lengkap penulis tanpa gelar dan nama institusi tempat afiliasi masingmasing penulis yang disertai dengan alamat korespodensi

iii


Abstrak (abstract)

Kesimpulan dan Saran

Abstrak merupakan sari tulisan yang meliputi latar belakang riset secara ringkas, tujuan, metode, hasil dan simpulan riset panjang astrak maksimum 250 kata dan disetai kata kunci

Berisi kesimpulan atas isi bahasan yang disajikan pada bagian inti dan saran yang sejalan dengan kesimpulan Ucapan Terima Kasih (Acknowledgement)

Pendahuluan (Introduction) Justifikasi tentang subjek yang dipilih didukung dengan pustaka yang ada Harus diakhiri dengan menyatakan apa tujuan tulisan tersebut

Dibuat ringkas sebagai ungkapan terima kasih kepada pihak yang membantu riset, penelaahan naskah, atau penyedia dana riset. Daftar Pustaka (Literatures Cited/References)

Bahan dan Cara Kerja (Materials and Method) Harus detil dan jelas sehingga orang yang berkompeten dapat melakukan riset yang sama (repeatable dan reproduceable) Jika metode yang digunakan telah diketahui sebelumnya pustaka yang diacu harus dicantumkan Spesifikasi bahan harus detil agar orang lain mendapat informasi tentang cara memperoleh bahan tersebut Hasil (Result) (Discussion)

dan

Pembahasan

Hasil dan pembahasan dirangkai menjadi satu pada bab ini Melaporkan apa yang diperoleh dalam eksperiment/percobaan diikuti dengan analisis atau penjelasannya Tidak menampilkan data yang sama sekaligus dalam bentuk tabel dan grafik Tidak mengulang data yang disajikan dalam tabel atau grafik satu persatu, kecuali untuk hal-hal yang menonjol Membandingkan hasil yang diperoleh dengan data pengetahuan (hasil riset orang lain) yang sudah dipublikasikan Menjelaskan implikasi dari data ataupun informasi yang diperoleh bagi ilmu pengetahuan ataupun pemanfaatannya (aspek pragmatisnya)

iv

Pustaka yang disitir dalam teks harus persis sama dengan yang ada di daftar pustaka begitu pula sebaliknya Daftar pustaka ditulis dengan lengkap secara alpabetis, sehingga pembaca yang ingin menelusuri pustaka aslinya akan dapat melakukannya dengan mudah


Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

2011

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN SERANGAN ASMA PADA ANAK DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS OLAK KEMANG KOTA JAMBI Kaimuddin, Siti Aisyah, Yelliyanda Dosen Poltekes Jambi Jurusan Keperawatan Abstract Asthma attacks in children is one reason children do not attend school or lazy to learn. In toddler asthma attack will cause side effects such as severe shortness of breath symptoms and impaired growth. In general, up to age 15 years, 2-3% of boys and about 1-2% of girls suffer from asthma. Based on data from the Health Office of Jambi, it is known that the Asthma desease is one problem that attacks children. This research is a quantitative research with cross sectional research designs that aim to correlate family history, allergies and cigarette smoke with the occurrence of asthma attacks. The results were analyzed by univariate, bivariate and while to find out the deciding factor using multiple logistic regression. This research was conducted by interviewing the parents of children with asthma using a questionnaire. The result of bivariate analysis showed p value > 0.05 which means the relationship between family history, history of allergy, and disorders of cigarette smoke on asthma attacks in children while on multivariate analysis at p value 0.004 after disruption of cigarette smoke and family social status issued show that history family history of allergies and together have a relationship with the incidence of asthma attacks. It is suggested in Jambi City Health Office and the parties concerned to convey to the public that the importance of family health, especially in children with asthma attacks and to counseling especially clean and healthy living behavior. Comparing the prevalence of asthma of children and monitor the development of prevalence rates of asthma in the same population. And it was time to conduct a multicenter study with a survey method in accordance with the conditions of Indonesian society. Key words : asthma in children; family history; allergies; smoking and socioeconomic status

PENDAHULUAN Di Indonesia diperkirakan penderita asma berkisar antara 5-10% dari jumlah penduduk Indonesia (Hassan,2002:1203). Secara umum, sampai umur 15 tahun, 2-3 persen anak laki-laki dan sekitar 1-2 persen anak perempuan menderita asma. Dengan perkiraan insidens asma kira-kira 4 persen, berarti sekitar 250.000 hingga 350.000 anak menunjukkan gejala asma setiap tahunnya. Angka ini tidak mencakup anak-anak pra sekolah dimana insiden asma lebih tinggi daripada anak golongan umur 7-9 tahun (Susanto, 2005:3). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Jambi tahun 2007-2009 diketahui bahwa penyakit asma yang terjadi di Kota Jambi rata-rata per tahun adalah sebanyak 6018 orang dan paling banyak diderita oleh anak di bawah usia 15 tahun.

Data tahun 2007 – 2009, diketahui Puskesmas Olak Kemang menempati peringkat terbesar penderita Asma, hasil data penderita asma menunjukkan tahun 2007 sebanyak 1029 orang, tahun 2008 sebanyak 782. sedangkan tahun 2009 terjadi peningkatan kasus menjadi 906 orang penderita. Melihat angka penderita yang begitu besar tersebut di atas maka penulis melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian serangan asma pada anak di wilayah kerja Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi.

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional (potong lintang) yang mengukur variabel independen (bebas) dan variabel dependen

1


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

(terikat) secara bersamaan. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi. Populasi dalam penelitian ini adalah anak yang menderita asma di wilayah kerja Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi. Sedangkan responden adalah ibu dari anak yang menderita asma. Penentuan besaran sampel menggunakan rumus Taro Yamane dan Slovin. (Ridwan, 2007:65) Jumlah sampel yang diambil sebesar 130 responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik random sampling secara undian, dimana semua ibu mempunyai peluang yang sama untuk menjadi sampel. Adapun kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Ibu yang mempunyai anak menderita asma umur ≤ 15 tahun 2) Dapat berbicara/diwawancarai 3) Bersedia menjadi responden Data primer yaitu data yang diperoleh dari subjek penelitian dengan menggunakan kuesioner sebagai alat ukur dan pengambilan data langsung pada ibu yang mempunyai anak yang menderita asma di rumah. Pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara menggunakan alat ukur berupa kuesioner. Hasil wawancara dicatat langsung dalam kuesioner. Data sekunder yaitu pengumpulan data sebagai data penunjang atau pelengkap yang diambil dari Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi serta gambaran umum tempat penelitian. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Pengolahan data ini dilakukan melalui empat tahapan yaitu : editing, codding, entry dan cleaning. Analisis data dilakukan secara univariat dan bivariat sedangkan untuk mengetahui faktor penentu menggunakan uji regresi logistik ganda.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengumpulan data pada 135 responden didapatkan hasil sebagai berikut 29 anak (21,5%) diketahui menderita asma dan 106 anak (78,5%) tidak menderita asma. Hasil pengumpulan data tentang faktor penentu dari 135 responden didapat 50 orang (37,0%) memiliki riwayat keluarga asma, 30 orang (22,2%) memiliki riwayat alergi, 45 orang (33,3%) terpapar asap rokok, dan 68 orang responden (50,4%) memiliki status sosial ekonomi lemah.

2

Dari hasil analisis bivariat di atas terlihat, hubungan riwayat kelaurga, riwayat alergi dan pengaruh asap rokok menunjukkan p value < 0,05 (alpha) sehingga Ho ditolak, berarti ada perbedaan perilaku serangan asma pada anak yang memiliki riwayat keluarga, riwayat alergi dan asap rokok dibandingkan dengan yang tidak. Dengan kata lain ada hubungan antara riwayat keluarga, riwayat alergi dan asap rokok terhadap kejadian serangan asma pada anak. Sedangkan status sosial ekonomi CC p value 0.103 atau lebih besar 0,05 (alpha) sehingga Ho gagal ditolak, dengan kata lain tidak ada hubungan antara status sosial ekonomi keluarga terhadap kejadian serangan asma pada anak. Hasil analisis multivariat variabel riwayat keluarga maupun riwayat alergi mempunyai p value (sig) di bawah 0.05, berarti ke dua variabel tersebut berhubungan secara significan dengan kejadian serangan asma pada anak di wilayah kerja Puskesmas Olak Kemang Kota Jambi setelah variabel gangguan asap rokok dan status sosial keluarga dikeluarkan.

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil analisis bivariat menunjukkan p value > 0,05 yang berarti adanya hubungan antara riwayat keluarga, riwayat alergi, dan gangguan asap rokok terhadap serangan asma pada anak sedangkan hasil analisis multivariat sebesar p value 0,004 setelah gangguan asap rokok dan status sosial keluarga dikeluarkan menunjukkan bahwa riwayat keluarga dan riwayat alergi secara bersama-sama mempunyai hubungan dengan kejadian serangan asma. Disarankan pada Dinas Kesehatan Kota Jambi serta pihak yang terkait untuk menyampaikan kepada masyarakat bahwa pentingnya pemeriksaan kesehatan keluarga terutama pada anak dengan serangan asma serta melakukan penyuluhan terutama perilaku hidup bersih dan sehat. Membandingkan prevalensi asma anak dan memantau angka perkembangan prevalensi asma pada populasi yang sama. Serta sudah saatnya untuk melakukan penelitian secara multisenter dengan metode survey yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia.


Kaimuddin, Analisis Faktor-Faktor

DAFTAR PUSTAKA Abidin, 2002. Mengenal, Mencegah dan Mengatasi Asma Pada Anak Plus Panduan Senam Asma. Puspa Swara. Jakarta Aditama, T, 2006. Rokok dan Kesehatan. Edisi Ketiga. Jakarta Ali, 2006. Hubungan yang Signifikan Antara Adanya Alergi dengan Kejadian Serangan Asma. http://www.alergiasma.com, diakses tanggal 8 Januari 2008 Doenges, 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC. Jakarta Dinkes Kota Jambi, 2010. Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kota Jambi. Jambi Harianto, 2004. Riwayat Keluarga dengan Terjadinya Serangan Asma.http://www.asmapadaanak.co.id, diakses tanggal 17 Januari 2008 Hassan, R, 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta

2011

Lemesshow, 1998. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Mangunnegoro, 2004. Asma, Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Balai Penerbit FKUI. Jakarta Ngastiyah, 1997. Perawatan Anak Sakit. EGC. Jakarta Notoatmodjo, S, 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta Price, S, 1995. Patofisiologi, Konsep Klinis ProsesProses Penyakit. EGC. Jakarta Setiawati, 2002. Pencegahan Serangan Asma. Gaya Baru. Jakarta Smeltzer, S, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah. Edisi 8. EGC. Jakarta Soeparman, 1999. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Balai Penerbit FKUI. Jakarta Susanto, 2005. Asma Pada Anak. Yayasan Essentia Medica. Jakarta Widjaja, 2003. Mencegah dan Mengatasi Alergi dan Asma Pada Balita. Kawan Pustaka. Jakarta

3


2011

Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

ANALISIS STATUS KESEHATAN GIGI DAN MULUT PADA MURID KELAS VI SD DI KOTA JAMBI TAHUN 2010 David Rudi, Ahmad Khairullah, Junaidi Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi

ABSTRAK Salah satu indikator yang ditetapkan dalam rangka mencapai visi Indonesia Sehat 2010 adalah indeks DMF-T anak usia 12 tahun <1. Hasil Riskesdas tahun 2007 menunjukkan bahwa kondisi kesehatan gigi dan mulut pada anak usia 12 tahun sudah cukup baik. Prevalensi karies aktif usia 12 tahun secara nasional sebesar 29,8% dengan indeks DMFT sebesar 0,91, di Propinsi Jambi prevalensi karies aktif usia 12 tahun menunjukkan nilai tertinggi dari seluruh propinsi di Indonesia yaitu sebesar 56,1% dengan Indeks DMF-T sebesar 0,83, sedangkan di kota Jambi prevalensi karies aktif usia 12 tahun sebesar 40,08%. Dari data Riskesdas juga menemukan bahwa secara nasional indeks DMF-T di pedesaan lebih tinggi dari pada di perkotaan, sedangkan di Propinsi Jambi index DMF-T di pedesaan 5,27, dan di perkotaan 5,20(Depkes, 2008). Jenis penelitian adalah penelitian survei dengan rancangan kros-seksional. Populasi penelitian adalah murid kelas VI SD yang ada di Kota Jambi yang dibedakan menjadi daerah rural dan urban. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh murid kelas VI SD di kota Jambi yang berjumlah 8.371 murid. Besar sampel ditentukan dengan rumus Ariawan (1997). Sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan teknik proporsional per SD. Alat ukur yang dipergunakan adalah prevalensi karies dan indeks DMF-T. Analisa data yang dipergunakan adalah uji t-test. Dari hasil penelitian diperoleh hasil Prevalensi karies murid kelas VI SD di daerah urban kota Jambi adalah 76,02%, dengan rata-rata indeks DMF-T sebesar 1,712. Prevalensi karies murid kelas VI di daerah rural kota Jambi adalah 68,77%, dengan rata-rata indeks DMF-T sebesar 1,697. Ada perbedaan yang bermakna antara status kesehatan gigi murid kelas VI SD daerah urban dan rural di kota Jambi. Hasil Riskesdas jauh di bawah temuan dalam penelitian ini baik pada prevalensi karies, maupun indeks DMF-T. Kata kunci : prevalensi karies; DMF-T, urban, rural, kesehatan gigi dan mulut.

PENDAHULUAN

Untuk mencapai Visi Indonesia sehat 2010 ditetapkan 4 strategi pokok yaitu pembangunan berwawasan lingkungan– paradigma sehat, profesionalisme, JPKM dan desentralisasi. Paradigma sehat merupakan model pembangunan yang berorientasi kepada peningkatan, pemeliharaan, dan perlindungan penduduk sehat, sedangkan yang sakit perlu disembuhkan menjadi sehat dan produktif (Depkes, 2000). Untuk mencapai visi Indonesia Sehat 2010 tersebut, maka di bidang kesehatan gigi dan mulut ditetapkanlah indikator-indikator derajat kesehatan gigi dan mulut, antara lain prevalensi karies <50% dan indeks DMF-T <1 pada anak usia 12 tahun (Depkes, 2008). Masalah kesehatan gigi di Indonesia masih merupakan hal menarik karena berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah 4

Tangga (SKRT) 1995, menunjukkan bahwa 63% penduduk Indonesia menderita karies gigi aktif. Penyakit karies dan periodontal mempunyai sifat progresif yaitu bila tidak dirawat maka akan bertambah parah dan bersifat irreversible yaitu jaringan yang rusak tidak dapat utuh kembali, penyakit tersebut juga dapat menimbulkan gangguan fungsi kunyah yang dapat menyebabkan terganggunya penyerapan dan pencernaan makanan yang dapat menimbulkan penyakit pada organ tubuh lainnya (Depkes, 1999). Menurut Survei Kesehatan Nasional (Depkes, 2004), keluhan sakit gigi menduduki urutan ke–IV dari penyakit yang dikeluhkan masyarakat dalam satu bulan terakhir, dimana 62,4% dari yang mengeluh sakit gigi menyatakan terganggunya pekerjaan, sekolah, kegiatan sehari–hari rata-rata 3,7 hari. Survei Kesehatan Rumah Tangga, menunjukkan hanya 9,3 % penduduk yang menyikat gigi sangat sesuai dengan anjuran


David Rudi, Analisis Status Kesehatan Gigi

program (menyikat gigi setelah sarapan pagi dan sebelum tidur malam), 12,6 % penduduk menyikat gigi sesuai anjuran program (setelah sarapan atau sebelum tidur malam), 61,5 % menyikat gigi kurang sesuai anjuran program (menyikat gigi setelah bangun tidur), dan yang tidak menyikat gigi 16,6 %, hal ini menunjukkan perlu ditingkatkannya program promotif. Karies gigi berasal dari bahasa latin yang berarti kerusakan gigi yang ditandai dengan rusaknya email dan dentin oleh aktifitas metabolisme. Karies gigi adalah penyakit jaringan keras gigi yaitu email, dentin dan pulpa yang disebabkan oleh aktivitas jasad renik di dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan dan dapat mengakibatkan terjadinya invasi bakteri dan kematian pulpa serta penyebaran infeksinya ke jaringan periapikal (Kidd dan Bechal, 1991). Menurut Newburn (1978 cit. Suwelo, 1992), karies gigi adalah suatu proses patologis yang terbatas di jaringan gigi mulai dari email terus ke dentin, berat ringannya karies gigi seseorang tergantung dari faktor yang ada disekitar manusia dan lingkungannya. Kidd, dkk. (2000) menyatakan bahwa karies gigi merupakan penyakit pada jaringan keras gigi yang disebabkan oleh kerja mikroorganisme pada karbohidrat yang dapat diragikan, yang ditandai oleh adanya demineralisasi email dan dentin, diikuti oleh kerusakan bahan organiknya. Karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi yang dimulai pada lapisan email, dentin dilanjutkan kearah pulpa yang disebabkan oleh mikroorganisme dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Beberapa jenis karbohidrat misalnya sukrosa, dan glukosa dapat diragikan oleh bakteri dan membentuk asam, sehingga pH menjadi turun sampai dibawah 5 dalam waktu 1-3 menit, penurunan pH yang berulang-ulang dalam waktu tertentu akan mengakibatkan demineralisasi permukaan gigi yang rentan (Kidd dkk., 2000).

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian pada murid kelas VI SD Kota Jambi ini adalah penelitian survei dengan rancangan kros seksional. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan antara dua variabel dan pengukuran variabel-variabel

2011

tersebut dilakukan sekaligus pada waktu yang bersamaan (Pratiknya, 1993). Populasi dalam penelitian ini adalah murid kelas VI SD di Kota Jambi yang berjumlah 8.371 orang. Metode yang digunakan untuk pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan random sampling, dengan rumus Ariawan yaitu untuk menentukan besar sampel untuk mengestimasi beda dua proporsi dengan derajat kepercayaan 90%, dan presisi sebesar 5%.(Ariawan, 1997). Rumus : 2

n =1,64 (0.5(1-0,5)+0,5(1-0,5)) 0,05 Sehingga diperoleh jumlah sampel yang dibutuhkan adalah sebesar 537,92, kemudian dibulatkan menjadi 538 murid. Setelah menentukan besar sampel, maka jumlah sampel dibagi dengan jumlah SD di daerah urban dan rural, sehingga diperoleh sampel yang proporsional untuk tiap SD. Variabel yang digunakan adalah variabel bebas yaitu prevalensi karies dan status DMF–T murid kelas VI SD di daerah urban dan rural Kota Jambi tahun 2010. Karies adalah proses kerusakan permukaan gigi yang biasa dimulai dari lapisan pertama gigi (email) dengan ditandai adanya warna hitam pada permukaan gigi, sonde menyangkut pada gigi saat ditelusuri dengan ujung sonde, adanya perlunakan pada jaringan gigi, dan kadang-kadang ada keluhan apabila ada rangsangan dari benda asing. Prevalensi karies

=

Jumlah responden yang memiliki karies x 100% Jumlah responden yang diperiksa DMF-T adalah indeks yang digunakan untuk pengukuran keadaan gigi geligi seseorang yang pernah mengalami kerusakan, hilang dan perbaikan gigi yang disebabkan karies (Depkes RI, 1995). Indeks DMF-T adalah jumlah elemen gigi yang terkena karies gigi yang hilang dan gigi yang telah ditumpat pada setiap individu yang terdiri dari : D : Decayed - Gigi tetap yang terkena karies yang masih dapat ditambal. Cara menentukannya dengan menggunakan sonde apabila sonde tersangkut dan terasa lunak pada kavitas yang 5


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

terbentuk, dan mahKota masih ada paling kurang 1/3 mahKota gigi. M : Missing - Gigi tetap yang hilang atau telah dicabut karena karies dan gigi yang masih ada dengan mahKota kurang dari 1/3 gigi. F : Filling - Gigi tetap yang telah ditumpat dan tidak ada sekunder karies dan mahKota tiruan. T : Teeth - Gigi tetap.

Tabel 1. Distribusi Sampel Berdasarkan Jenis Kelamin Pada daerah Urban dan Rural Daerah

Jenis Kelamin

n

Urban

Laki – Laki Perempuan

236 302

Rural

Laki – Laki Perempuan

282 256

Total

1.076

DMF-T = ΣD + ΣM + ΣF Daerah urban adalah SD yang berada di wilayah kerja Puskesmas yang tidak berbatasan dengan Kabupaten lain di Propinsi Jambi. Daerah rural adalah SD yang berada di wilayah kerja Puskesmas yang berbatasan dengan Kabupaten lain di Propinsi Jambi. Teknik pengukuran dengan menggunakan alat diagnostik dan formulir penilaian kesehatan gigi dan mulut untuk mengetahui status DMF-T murid SD kelas VI di Kota Jambi. Adapun alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tray, Sonde, Kaca mulut, Eksavator, Pinset dan Nierbekken. Sedangkan bahan yang digunakan adalah Alkohol, Cotton Pellet, Gulungan Kapas dan Formulir. Formulir pemeriksaan diserahkan kepada dokter gigi dan perawat gigi di Puskesmas untuk dilakukan pengambilan data dan menjelaskan teknik pengambilan data. Pengumpulan data dilakukan pada tanggal 4 sampai 16 Oktober 2010. Pencatatan data pasien dan hasil pemeriksaan pada formulir pemeriksaan. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan komputer setelah dilakukan editing, koding dan processing data. Analisis data dilakukan untuk melihat distribusi variabel yang diteliti. Untuk menganalisis data dilakukan analisis univariat dan analisis bivariat. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat perbedaan dua variabel yang diuji, dengan uji t test. Hipotesis dinyatakan ditolak bila nilai p < alpha (0,05).

Berdasarkan tabel 1 di atas terlihat bahwa jumlah sampel murid kelas VI SD di daerah urban relatif lebih banyak perempuan dari pada laki-laki, sebaliknya pada daerah rural relatif lebih banyak laki-laki daripada perempuan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini untuk status kesehatan gigi murid kelas VI SD daerah urban di kota jambi, terlihat pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi Status Kesehatan Gigi Murid Kelas VI SD Daerah Urban Di Kota Jambi Prevalensi karies

Rata-rata

N

%

D

M

F

DMF-T

409

76,02

1,344

0,34

0,026

1,712

Dari hasil pemeriksaan tabel 2 diketahui bahwa prevalensi karies murid kelas VI SD di daerah urban kota Jambi adalah 76,02%, dengan rata-rata indeks DMF-T sebesar 1,712. Data yang diperoleh dalam penelitian ini untuk status kesehatan gigi murid kelas VI SD daerah rural di kota jambi, terlihat pada tabel 3. Tabel 3. Distribusi Status Kesehatan Gigi Murid Kelas VI SD Daerah Rural Di Kota Jambi Prevalensi karies

Rata-rata

N

%

D

M

F

DMF-T

370

68,77

1,340

0,355

0,001

1,697

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari hasil penelitian pada murid kelas VI SD di Kota Jambi, maka diperoleh data sebagai berikut :

6

Dari tabel 3 di atas diketahui bahwa prevalensi karies murid kelas VI di daerah rural kota Jambi adalah 68,77%, dengan ratarata indeks DMF-T sebesar 1,697.


David Rudi, Analisis Status Kesehatan Gigi

Hasil ini masih sama dengan hasil SKRT tahun 1995 prevalensi karies pada anak usia 12 tahun 76,92% (Departemen Kesehatan RI,1999). Hasil penelitian ini juga mendekati hasil survei di propinsi Jambi oleh Siregar dkk.(2000), pada murid kelas enam SD, secara keseluruhan prevalensi karies sebesar 73,2%, dengan indeks DMF-T rata-rata sebesar 1,75. Analisis bivariat yang diperoleh pada perbedaan status kesehatan gigi murid kelas VI SD daerah urban dan rural di Kota Jambi dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Distribusi Perbedaan Status Kesehatan Gigi Murid Kelas VI SD Daerah Urban dan Rural di Kota Jambi Status Kesehatan Gigi

Daerah Perbedaan

P

Urban

Rural

Prevalensi Karies (%)

76,02

68,77

Bermakna

0,000

DMF-T

1,712

1,697

Tidak Bermakna

0,454

Berdasarkan tabel 4 di atas diketahui bahwa ada perbedaan yang bermakna antara prevalensi karies daerah urban dan rural, tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna antara indeks DMF-T pada murid kelas VI SD daerah urban dan rural di kota Jambi. Hal ini dimungkinkan karena di daerah perkotaan sarana komunikasi dan transportasi lebih merata, sehingga tiap pelosok lebih dapat terjangkau program usaha kesehatan umum dan gigi. Orang tua di kota umumnya lebih mengetahui bagaimana menjaga kebersihan gigi dan mulut anaknya serta lebih cepat mendapatkan pelayanan kesehatan gigi bila memerlukan. Jenis makanan juga berpengaruh terhadap perbedaan frekuensi karies di kota dan di desa, di daerah perkotaan lebih banyak tersedia ragam makanan dan minuman kariogenik disbanding pedesaan yang sebagian besar anak menyukainya (Suwelo, 1992). Menurut Suwelo (1992), bahwa dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut anak masih sangat tergantung pada orang dewasa dan belum adanya kesadaran anak dalam menjaga kebersihan mulut, termasuk pengetahuan anak-anak mengenai makanan dan minuman yang merupakan faktor risiko karies.

2011

Untuk melihat perbedaan status kesehatan gigi murid kelas vi di kota jambi, dengan hasil riskesdas propinsi jambi tahun 2007dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Distribusi Status Kesehatan Gigi Murid Kelas VI SD Di Kota Jambi Tahun 2010 Dengan Hasil Riskesdas Propinsi Jambi Tahun 2007 Perbedaan Status Riskesdas Kesehatan Gigi Tahun 2010 2007 Prevalensi Karies (%)

72,39

38,5

DMF-T

1,70

0,83

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa hasil temuan jauh di di atas hasil Riskesdas baik pada prevalensi karies, maupun indeks DMF-T. Perbedaan hasil penelitian dapat terjadi pada teknik pengambilan sampel yang berbeda, oleh karena itu perlu dilakukan penelitan lebih lanjut dan berkesinambungan mengenai besarnya prevalensi karies dan indeks DMF-T baik di kota Jambi, kabupaten bahkan propinsi di seluruh Indonesia agar diperoleh data yang akurat, sehingga masalah kesehatan gigi dan mulut yang sebenarnya dapat terdeteksi.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan tentang analisis status kesehatan gigi dan mulut pada murid kelas VI SD di kota Jambi tahun 2010, dapat disimpulkan bahwa : 1. Prevalensi karies murid kelas VI SD di daerah urban kota Jambi adalah 76,02%, dengan rata-rata indeks DMF-T sebesar 1,712. 2. Prevalensi karies murid kelas VI di daerah rural kota Jambi adalah 68,77%, dengan rata-rata indeks DMF-T sebesar 1,697. 3. Ada perbedaan yang bermakna antara prevalensi karies daerah urban dan rural, tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna antara indeks DMF-T pada murid kelas VI SD daerah urban dan rural di kota Jambi. 4. Hasil Riskesdas jauh di bawah temuan dalam penelitian ini baik pada prevalensi karies, maupun indeks DMF-T. 7


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

_________,

B. Saran 1. Pihak Puskesmas Sebagai pusat pengembangan kesehatan, pembinaan peran serta masyarakat dan pusat pelayanan kesehatan masyarakat, Puskesmas diharapkan dapat menyelenggarakan upaya kesehatan gigi secara menyeluruh, terpadu, merata dan berkesinambungan, serta perlu melakukan peningkatan upaya kesehatan gigi di sekolah hingga pervalensi karies maupun indeks DMF-T murid menurun. 2. Pihak Sekolah Agar dapat bekerjasama dengan lintas sektoral agar dapat melakukan program preventif dan kuratif di SD tersebut. Meningkatkan peran serta orang tua murid dalam pemeliharaan kesehatan gigi anaknya. Melakukan sikat gigi masal pada murid minimal 1 minggu sekali, untuk memotivasi anak dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut. 3. Bagi Peneliti Lain Perlu dilakukan penelitian lagi baik di kabupaten maupun propinsi Jambi untuk mengetahui status kesehatan gigi dan mulut anak usia 12 tahun agar diperoleh data yang akurat tentang permasalahan kesehatan gigi dan mulut di propinsi Jambi.

DAFTAR PUSTAKA

Boedihardjo, 1985, Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Keluarga, Air Langga University Press, Surabaya, hal. 20– 21. Depkes RI, 1999, Profil Kesehatan Gigi dan Mulut Di Indonesia pada Pelita VI, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Jakarta. hal. 1-3.

8

2004, Pedoman Kesehatan Gigi Masyarakat (UKGM), Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Jakarta, hal. 2, 8. _________, 2000, Pedoman Upaya Pelayanan Asuhan Kesehatan Gigi dan Mulut Di Puskesmas, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Jakarta. hal. 1–2, 10. _________, 2008, Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Propinsi Jambi Tahun 2007, Jakarta _________, 1995, Pedoman Pelayanan Kesehatan Gigi Di Puskesmas, Direktorat Jendral Pelayanan Medik, Jakarta. Hal. 1, 23– 27. Ircham., Ediati, S., Sidarto, S., 1993, Penyakit– Penyakit Gigi dan Mulut Pencegahan dan Perawatannya, Liberty, Yogyakarta, hal. 34–35,120–121. Kidd, A. M., Bechal, 1991, Dasar-Dasar Karies, EGC, Jakarta, hal. 1-4, 15-17. Kidd, E. A. M., Smith, B. G. N., Pickard, H. M., 2000, Manual Konservasi Restorative, Widya Medika, Jakarta, hal. 3, 17. __________., 1992, Dasar–Dasar Karies dan Penanggulangannya, EGC, Jakarta, hal. 2, 9-17. Nio, B. K., 1987, Preventif Dentistry Untuk Sekolah Pengatur Rawat Gigi (I), Yayasan Kesehatan Gigi, Bandung, hal. 40-48. Pratiknya, A.W., 1993, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Siregar, I. H. Y., Khairullah, A., Situmeang, P., 2002, Derajat Karies Gigi (DMF-T) dan Derajat Kebersihan Mulut (OHI-S) Siswa Kelas VI SD Berusia 12 Tahun Di Propinsi Jambi, Bina Diknakes Vol. 37, hal. 10-11 Sriyono, N. W., 2005, Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan, Medika Fakultas Kedokteran UGM, Yogyakarta, hal. 11-16. Suwelo, I. S., 1992, Karies Gigi Pada Anak Dengan Pelbagai Etiologi, EGC, Jakarta, hal. 4, 6, 14, 18, 23, 27. Tarigan. R., 1993, Karies Gigi, Hipokrates, Jakarta, hal. 1. Wikipedia, 2010, Urban, Rural, http://id.wikipedia.org/wiki/Urban/Rural , 26 Oktober 2010


Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

2011

HUBUNGAN PERAN ORANG TUA TERHADAP TINGKAT KEMANDIRIAN ANAK RETARDASI MENTAL USIA 10-14 TAHUN DI SDLB PROF. DR. SRI SOEDEWI MASJCHUN SOFWAN, SH KOTA JAMBI Erris Siregar Jurusan Kesehatan Lingkungan Jambi ABSTRACT Mental retardation is mental abilities that not enough, that in symbol by low intelegensi which caused for adaptation impotence which arose in under development ' time age 18 years. The data derivative from SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH. In education year 2007-2008 children that suffering mental retardation as much as 71 children, in year 2008-2009 as much as 79 children and in year 2009-2010 as much as 82 children. This research use correlative analytical method with desain cross sectional, which aims to know the relationship parent attic on survival floor retardation child mental age 10-14 years. The research sample this shall be wholly parent that own retardation child mental age 10-14 years in SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH, are 43 persons. Where data achieved through interview and kuesioner filling by using technics total sampling. The result show that the relationship between old people attic on survival floor retardasi child mental age 10-14 years. Where P-Value are 0,001 (< 0,05) that Ha in accept. Remember still with the existence of adverse parent attic and is still child dependency. Writer suggest old people and instructor collaborating in overcoming pursuer survival development child. Keywords: mental, retardation, children

PENDAHULUAN Kesehatan mental sebagai salah satu bidang psikologi, yang merupakan gabungan semua fungsi-fungsi psikologi yang dikerjakan manusia. Dengan bekal mental atau kecerdasan yang memadai, dinamika hidup menjadi lebih indah dan harmonis sebab melalui kecerdasan mental manusia dapat merencanakan atau memikirkan hal-hal yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Kesehatan mental yang normal sangat berkaitan erat dengan proses tumbuh kembang seseorang dengan suasanasuasana dan pengalaman yang telah dilaluinya dalam masa pertumbuhan tersebut (Langgulung, 2001). Pada dasarnya, manusia dalam kehidupannya mengalami berbagai tahap tumbuh kembang dan setiap tahap mempunyai ciri tertentu. Tahapan tumbuh kembang yang paling memerlukan perhatian adalah pada masa anak-anak. Oleh karena itu, upaya untuk mengoptimalkan perkembangan dan kemandirian anak adalah

sangat penting. Pencapaian suatu kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari pada anak berbeda-beda dan anak perlu dibimbing dengan akrab, penuh kasih sayang, tetapi juga tegas, sehingga anak tidak mengalami kebingungan (Nursalam, 2008). Memiliki anak yang sehat, aktif dan cerdas adalah impian setiap orang tua. Sayangnya, karena beberapa faktor impian ini tak bisa diwujudkan. Sang buah hati lahir dengan kelainan yang mengakibatkan gangguan pada perkembangan kognitif dan perkembangan sosialnya, sehingga menyebabkan dampak keterlambatan dalam bahasa (disleksia), menunjukkan sedikit kelainan fisik dan masalah kesulitan menulis (disgrafia). Namun para orang tua, perlu berkonsultasi lebih lanjut dengan lembaga yang khusus menangani perkembangan anak dengan retardasi mental (Galih, 2008). Penyakit retardasi mental merupakan penyakit gangguan mental dimana fungsi intelegensi yang rendah, disertai adanya kendala dalam penyesuaian perilaku dan gejalanya timbul pada masa perkembangan. 9


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Dimana, fungsi intelektual dapat diketahui dengan tes fungsi kecerdasan dan hasilnya dinyatakan sebagai suatu taraf kecerdasan atau IQ (Intelegence Quotient). Apabila IQ di bawah 70, maka anak dinyatakan mengalami retardasi mental. Anak ini tidak dapat mengikuti pendidikan sekolah biasa, karena cara berpikirnya yang terlalu sederhana, daya tangkap dan ingatannya lemah, demikian pula dengan pengertian bahasa dan berhitungnya juga sangat lemah (Soetjiningsih, 2000). Beban yang ditimbulkan oleh gangguan mental sangat besar. Hasil studi Bank Dunia menunjukkan, Global Burden of Disease akibat masalah kesehatan mental mencapai 8,1 %. Menurut WHO tahun 2001, berdasarkan standar skor dari kecerdasan kategori AAMR (American Association of Mental Retardation) gangguan mental manual klasifikasi penyakit menempati urutan kesepuluh di dunia. Prevalensi retardasi mental pada tahun 2004 menurut laporan kongres tahunan (Annual Report to Congress) menyebutkan 1,92 % anak usia sekolah menyandang retardasi mental dengan perbandingan laki-laki 60 % dan perempuan 40%, dilihat dari kelompok usia sekolah (Siswono, 2001). Prevalensi penduduk di Indonesia yang mengalami retardasi mental menurut data semua propinsi yang ada di Indonesia dan jenis kecacatannya pada tahun 2000 adalah 189.625 anak (12,72 %). 4 insidennya sakit diketahui karena retardasi mental tahap ringan. Insiden tertinggi pada masa anak sekolah muncul dengan puncak umur 10-14 tahun (Profil Kesehatan Indonesia, 2000). Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Jambi (2007), jumlah penderita retardasi mental semua umur sebanyak 42 orang (53,85%). Dan jumlah penderita retardasi mental pada tahun 2008 mengalami penurunan menjadi 29 orang (37,18%), kemudian pada tahun 2009 terjadi penurunan yang sangat drastis pada penderita penyakit retardasi mental yaitu tercatat sebanyak 7 orang (8,7%). Orang tua dengan anak yang menderita retardasi mental sangat berperan dalam melatih dan mendidik dalam proses perkembangannya. Tanggung jawab dan peran orang tua sangat penting terhadap anak yang mengalami gangguan kesehatan mental khususnya retardasi mental untuk membantu mengembangkan perilaku adaptif sosial yaitu kemampuan untuk mandiri, maka dari itu orang tua harus mengetahui cara yang paling

10

efektif digunakan untuk mendidik dan membentuk kemandirian anak. Dimana potensi intelektualnya bisa tumbuh dengan baik dan mampu menghadapi kehidupan yang realistik dan objektif (Langgulung, 2001). Perkembangan kemandirian individu sesungguhnya merupakan perkembangan hakikat manusia. Atas dasar kelemahan yang melekat pada pandangan yang yang berpusat pada masyarakat maka kemandirian perlu di pahami. Proses ini mengimplikasikan bahwa manusia berhak memberikan makna terhadap dasar proses mengalami sebagai konsekwensi dari perkembangan berpikir dan penyesuaian kehendaknya. Kemandirian juga dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu gen atau keturunan orang tua, sistem pendidikan sekolah, sistem kehidupan dimasyarakat serta peran orang tua dimana didalamnya terdapat kebutuhan asuh, asih dan asah. Dengan demikian kemandirian yang dimiliki adalah kemandirian yang utuh (Ali, 2008). Hubungan anak yang cacat mental dengan orang tuanya sangat penting dibandingkan dengan hubungan anak yang intelegensinya normal dengan orang tuanya. Oleh karena itu, Orang tua dari anak cacat mental harus menerima cacatnya dan membantunya untuk menyesuaikan diri dengan cacatnya itu. Di samping itu, mereka harus menghindari tujuan-tujuan yang ditetapkan terlalu tinggi untuk dicapai dan mereka harus menyadari juga bahwa ada banyak hal yang dilakukan untuk membantu memenuhi kebutuhanya. Jika anak mengetahui bahwa orang tuanya benar-benar memperhatikannya dan mereka puas, maka dengan ini ia banyak dibantu dalam menyesuaikan diri dengan dunia luar (Semiun, 2006). Menurut data persemester di SDLB (Sekolah Dasar Luar Biasa) Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi, tahun pelajaran 2007-2008 yang mengalami retardasi mental sebanyak 71 anak (54,36%), dan pada tahun 2008-2009 jumlah siswa yang mengalami retardasi mental terjadi peningkatan sebanyak 79 anak (52,66%), kemudian pada tahun 2009-2010 anak yang mengalami retardasi mental meningkat kembali menjadi 82 anak (45,81%). Menurut data dokumentasi di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi untuk kategori umur 10-14 tahun. Prevalensinya umur 10 tahun berjumlah 13 anak (30,23%), umur 11 tahun berjumlah 10 anak (23,25%), umur 12 tahun berjumlah 9 anak (20,93%),


Erris Siregar, Hubungan Peran Orang Tua

umur 13 tahun berjumlah 7 anak (16,27%) dan umur 14 tahun berjumlah 4 anak (9,30%). Dimana sampai saat ini penyakit retardasi mental masih merupakan masalah kesehatan pada anak di propinsi Jambi, di tinjau dari meningkatnya penyandang cacat mental dari tahun 2007-2010. Dan berdasarkan data persemester di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi dimana jumlah penderita retardasi mental pada anak yang tertinggi adalah di SD, berdasarkan teori penyakit retardasi mental gejalanya muncul pada masa perkembangan yaitu tahap anak-anak. Karena apabila muncul pada tahap dewasa hal tersebut sudah merupakan tahap lanjut dari penyakit retardasi mental. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini merupakan penelitian Analitik Korelatif, dengan rancangan Cros Sectional, artinya penelitian yang pengukuran atau pengamatanya dilakukan secara simultan pada waktu yang bersamaan. Populasi dalam penelitian ini adalah semua orang tua yang memiliki anak retardasi mental usia 10-14 tahun di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi dengan jumlah 43 orang. Besar sampel dalam penelitian dan cara pengambilan sampel dilakukan dengan tehnik Total Sampling, yaitu pengambilan sampel secara keseluruhan pada responden orang tua yang memiliki anak retardasi mental usia 10-14 tahun yang ada di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi yaitu berjumlah 43 orang untuk dijadikan sampel yang akan diteliti. Analisa bivariat yang terdiri dari dua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Dimana bertujuan untuk menguji hipotesa adakah hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan menggunakan program komputer SPSS dengan uji statistik ChiSquare yang digunakan adalah Pearson ChiSquare. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Peran orang Tua Hasil penelitian tentang analisis peran orang tua pada analisa univariat pada tabel

2011

5.3 menunjukkan bahwa dari 43 responden didapatkan sebanyak 29 (67,4%) peran orang tua baik terhadap anaknya dan peran orang tua yang kurang baik sebanyak 14 (32,6%). Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Mubarak (2006), menyatakan bahwa peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam suatu sistem. Peran dipengaruhi oleh keadaan sosial baik dari dalam maupun dari luar dan bersifat stabil, sementara untuk posisi tersebut merupakan identifikasi dari status tentang seseorang dalam suatu sistem sosial dan merupakan perwujudan aktualisasi diri. Menurut Vitale (2007), mengemukakan peran orang tua sangat dibutuhkan dalam perkembangan psikologi anak. Orang tua merupakan pemberi motivasi dan membantu dalam kecemasan dan mencari tahu apa yang mesti dilakukan untuk terus mengembangkan identitas dan kemandirian anak, sehingga diharapkan orang tua dapat memberikan perhatian dan kasih sayang sepenuhnya pada anak. Kedekatan anak dan orang tua memiliki makna dan peran yang sangat dalam setiap aspek kehidupan keluarga. Menurut peneliti, peran orang tua merupakan perhatian dan kedekatan orang tua dalam upaya membantu dan memfasilitasi kebutuhan asuh (fisik), asih (kasih sayang) dan asah (stimulasi mental). Sehingga mampu melatih dan mendidik dalam proses perkembangannya. b. Tingkat Kemandirian Anak Retardasi Mental Hasil penelitian tentang analisis tingkat kemandirian anak retardasi mental pada analisa univariat menunjukkan bahwa dari 43 responden, sebagian besar tingkat kemandirian anak retardasi mental dengan ketergantungan ringan sebanyak 24 responden (55,8%). Hal ini sesuai dengan pendapat Mohammad Ali (2008), menyatakan bahwa mandiri merupakan kemampuan memenuhi kebutuhanya, baik kebutuhan naluri maupun kebutuhan fisik oleh dirinya sendiri secara bertanggung jawab tanpa bergantung pada orang lain Penelitian ini diperkuat oleh teori menurut Deborah (2006), kemandirian (selfrelience) merupakan kemampuan untuk mengelola semua miliknya sendiri, dan 11


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

mampu mengatasi hambatan atau masalah, mempunyai rasa percaya diri dan dapat melakukan sesuatu sendiri tanpa bantuan orang lain. Menurut peneliti, dengan semakin mampunya anak melakukan gerakan motorik, anak terdorong untuk melakukan sendiri berbagai hal dan terdorong untuk bergaul dengan orang lain selain anggota keluarganya sendiri. Orang tua harus melatih usaha mandiri anak, mula-mula menolong kebutuhan anak itu sendiri seperti makan, minum, BAK, berpakaian dan lain-lain. Kemampuankemampuan ini makin di tingkatkan sesuai dengan bertambanya usia. Mandiri adalah anak yang mampu melakukan aktivitas dan dapat bertanggung jawab tanpa bantuan orang lain. c. Hubungan Antara Peran Orang Tua Dengan Tingkat Kemandirian Anak Retardasi Mental Berdasarkan hasil penelitian hubungan antara peran orang tua dengan tingkat kemandirian anak retardasi mental, menunjukkan bahwa sebagian besar peran orang tua baik sebanyak 29 responden (67,4%) dan peran orang tua yang kurang baik sebanyak 14 responden (32,6%). Hasil analisis kemandirian menunjukkan bahwa dari 43 responden untuk tingkat kemandirian anak retardasi mental kategori ketergantungan sedang dengan peran orang tua kurang baik sebanyak 12 responden (85,7%), untuk tingkat kemandirian anak kategori ketergantungan berat dengan peran orang tua yang kurang baik sebanyak 2 responden (14,3%), dan untuk tingkat kemandirian anak kategori ketergantungan ringan dengan peran orang tua baik sebanyak 24 responden (82,8%). Sedangkan untuk tingkat kemandirian anak retardasi mental kategori mandiri dengan peran orang tua yang baik, sebanyak 5 responden (17,2%). Berdasarkan hasil uji statistik ChiSquare dengan menggunakan uji Pearson Chi-Square didapat P-Value sebesar 0,001 (< 0,05) yang berarti Ha diterima, dan dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan atau bermakna antara peran orang tua dengan tingkat kemandirian anak retardasi mental usia 10-14 tahun di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi. Penelitian ini di dukung oleh teori Mohammad Ali (2008), Peran orang tua akan mempengaruhi perkembangan kemandirian anak. Orang tua yang terlalu banyak melarang

12

tanpa penjelasan yang rasional dapat menghambat perkembangan kemandirian anak. Sebaliknya orang tua yang menciptakan suasana aman dalam interaksi keluarga dapat mendorong kelancaran perkembangan dan kemandirian anak. Hubungan di atas didukung oleh pendapat Langgulung (2001), Orang tua dengan anak yang menderita retardasi mental sangat berperan dalam melatih dan mendidik dalam proses perkembangannya. Tanggung jawab dan peran orang tua sangat penting terhadap anak yang mengalami gangguan kesehatan mental khususnya retardasi mental untuk membantu mengembangkan perilaku adaptif sosial yaitu kemampuan untuk mandiri, maka dari itu orang tua harus mengetahui cara yang paling efektif digunakan untuk mendidik dan membentuk kemandirian anak. Dimana potensi intelektualnya bisa tumbuh dengan baik. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian fitriani (2007), yang menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara peran orang tua dengan tingkat kemandirian dan perkembangan sosial anak usia 4-5 tahun di TK Al-Falah Kota Jambi. Di dapatkan sebagian besar peran orang tua baik dan selebihnya peran orang tua tidak baik. Hal ini disebabkan peran orang tua yang selalu memanjakan anak sehingga anak kurang matang secara sosial, kurang mandiri dan kurang percaya diri. Penelitian ini juga sejalan dengan teori Soetjiningsih (2000: 9), yang menyatakan bahwa perhatian dan kedekatan orang tua sangat mempengaruhi keberhasilan anak dalam mencapai apa yang diinginkan. Anak memerlukan kasih sayang dan perlakuan yang adil dari orang tuanya. Tapi, kasih sayang yang diberikan secara berlebihan akan mengarah memanjakan, bahkan dapat menghambat dan mematikan perkembangan kepribadian anak. Akibatnya anak menjadi manja, kurang mandiri dan ketergantungan pada orang lain. Oleh karenanya penulis berpendapat semakin baik peran orang tua maka akan semakin baik pula perkembangan kemandirian anak, tetapi bila peran orang tua kurang baik maka dapat menghambat perkembangan kemandirian anak. Untuk itu orang tua yang memilki peran yang kurang baik sebaiknya bekerja sama dengan tenaga pengajar yang ada di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi tentang cara mendidik anak khususnya anak retardasi mental atau


Erris Siregar, Hubungan Peran Orang Tua

berkonsultasi pada orang yang berlatar belakang psikologi untuk lebih memahami halhal apa saja yang membentuk kemandirian anak.

KESIMPULAN DAN SARAN

2011

Nursalam. 2008. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak_Cetakan 2. Jakarta: Salemba Medika. Parker, Deborah K. 2006. Menumbuhkan Kemandirian dan Harga Diri Anak. Jakarta: Prestasi Pustakaraya. Sabri, L. 2009. Statistik Kesehatan Ed.2. Jakarta: Rajawali Pers. Semiun, Y. 2006. Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Kanisius.

Ada hubungan yang signifikan atau bermakna antara peran orang tua dengan tingkat kemandirian anak retardasi mental usia 10-14 tahun di SDLB Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchun Sofwan, SH Jambi. Bagi para orang tua dan pihak sekolah diharapkan dapat melakukan pembinaan atau pendidikan yang intensif serta memberikan program-program yang mengarah kepada dukungan dan peran, sehingga dapat meningkatkan kemandirian anak dan memberikan kesempatan kepada anak dalam pengembangan kemampuannya.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. DepKes RI. 2001. Profil Kesehatan Indonesia 2000. Jakarta. Efendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelaianan. Bandung: Bumi Aksara. Grahacendikia. 2009. Studi Tentang Peran Orang Tua Memandirikan Anak Retardasi Mental Sedang, http://grahacendikia.wordpress.com. diakses Selasa, 31 Maret 2010. Siswono. 2001. Sangat Besar, Beban Akibat Gangguan Mental. http://Koran Indonesia Sehat.wordpress.com, diakses Jumat, 2 April 2010. Hidayat, A. Aziz. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak 1. Jakarta: Salemba Medika. Langgulung, Hasan. 2002. Teori-Teori Kesehatan Mental. Jakarta: Pustaka Al Husna. Mansjoer, Arif. 2002. Kapita Selekta Kedokteran ed_III Cetakan I. Jakarta: Media Aesculapius. Mubarak, Wahid Iqbal. 2006. Ilmu Keperawatan Komunitas 2. Jakarta: Sagung Seto. Muslim, R. 2006. Diagnosis Gangguan Jiwa. Jakarta: PPDGJ. Notoatmojdo, Soekidjo.2005. Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta.

13


2011

Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

PENGARUH TEKNIK RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP NYERI POST OPERASI SECTIO CAESERIA DI RUANG KEBIDANAN RSUD RADEN MATAHER JAMBI TAHUN 2010 Ernawati Dosen Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi

ABSTRAK Sectio caesaria adalah suatu pembedahan untuk melahirkan janin lewat insisi pada dinding perut (abdomen) dan dinding rahim (uterus). Setiap klien post sectio caesaria akan mengalami rasa nyeri akibat pengirisan pada dinding abdomen dan uterus. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri adalah tindakan farmakologi dan tindakan non-farmakologi. Salah satu tindakan non-farmakologi adalah teknik relaksasi progresif. Di RSUD Raden Mattaher Jambi masih banyak ibu-ibu yang belum melakukan teknik relaksasi progresif sebagai upaya untuk mengurangi rasa nyeri. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh teknik relaksasi progresif terhadap penurunan nyeri pada klien post sectio caesaria di ruang kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 20 September – 5 oktober 2010. Menggunakan desain quasi eksperimen dengan one group pretest-posttest terhadap 20 responden, pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling, dan pengolahan data dengan menggunakan sistem komputerisasi. Hasil penelitian didapatkan sebelum dilakukan teknik relaksasi progresif skor nyeri tertinggi 6 (nyeri sedang) sebanyak 12 responden dan skor nyeri terendah 3 sebanyak 2 responden, dengan rerata nyeri 5,35 dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif didapatkan skor nyeri tertinggi 5 (nyeri sedang) sebanyak 1 responden, dan skor nyeri terendah 1 sebanyak 7 responden dengan rerata nyeri 3,35. Setelah dilakukan uji T dependent didapatkan nilai p-value 0,000 dan ini menunjukkan bahwa relaksasi progresif berpengaruh mengurangi rasa nyeri pada klien post sectio caesaria di ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi. Diharapkan perawat diruang kebidanan dapat menerapkan tehnik ralaksasi progresif pada klien post sectio caesaria dalam upaya mengurangi rasa nyeri untuk memenuhi kebutuhan rasa nyaman pada klien. Kata Kunci: Teknik relaksasi progresif, Nyeri, Sectio Caesaria

PENDAHULUAN Penyebab langsung yang berkaitan dengan kematian ibu adalah komplikasi pada kehamilan, persalinan dan nifas yang tidak tertangani dengan baik dan tepat waktu. Komplikasi penyebab kematian ibu yang terbanyak adalah perdarahan, hipertensi dalam kehamilan (eklamsi) infeksi partus lama dan komplikasi keguguran (Azwar, 2005). Upaya yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka kematian ibu bersalin salah satunya adalah dengan cara operasi atau sectio caesaria sebab tindakan tersebut dapat menangani komplikasi seperti; persalinan lama, perdarahan trimester tiga dan hipertensi berat yang menjadi penyebab umum kematian ibu (Bobak, 2004). Berdasarkan data dari 10 urutan kasus persalinan di ruang kebidanan RSUD 14

Raden Mattaher Jambi terlihat bahwa jumlah pasien post sectio caesaria pada tahun 2009 sebanyak 550 dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 1. Rekam Medik RSUD Raden Mattaher Jambi 2009 Khasus Persalinan Persalinan Normal Sectio Caesaria Penyulit dan Vakum Ekstrasi Prematur Gemely Persalinan Macet Imaturus Ketuban Pecah Dini Perdarahan Post Partum Kehamilan Lewat Waktu

Jumlah

Persentase

1.299 550

43,6% 18,5%

904

30,4%

2 18 62 34 29

0,07% 0,6% 2,08% 1,14% 0,97%

64

2,15%

12

0,4%


Ernawati, Pengaruh Tehnik Relaksasi

Berdasarkan tabel di atas terlihat bahwa kasus persalinan dengan sectio caesaria pada tahun 2009 berada di urutan ke dua dengan jumlah sebanyak 550. Jumlah pasien post sectio caesaria terjadi peningkatan 3 tahun terakhir pada tahun 2007 sebanyak 391 orang, tahun 2008 sebanyak 378 orang, tahun 2009 sebanyak 550 orang. Secara rinci dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 2. Jumlah Pasien Post sectio caesaria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2007 – 2009

No

Tahun

Jumlah penderita

Persentase

1

2007

391

29,64%

2

2008

378

28,65%

3

2009

550

41,69%

Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah pasien post sectio caesaria di ruang kebidanan pada tahun 2007-2008 menurun dengan presentase sebanyak 0,99%, sedangkan di tahun 2008-2009 pasien post sectio caesaria mengalami peningkatan dengan presentase sebanyak 13,04% dan pada tahun 2010 jumlah pasien post sectio caesaria di ruang kebidanan pada bulan Januari-Maret adalah sebanyak 117 (Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi, 2010). Survey awal yang peneliti lakukan pada 8 orang klien post sectio caesaria yang dirawat di Ruang Kebidanan Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi pada tanggal 20 Juli 2010, didapatkan data bahwa 8 pasien post sectio caesaria pada hari pertama mengalami nyeri dengan skala nyeri 9 yang termasuk dalam nyeri tingkat berat yang ditandai dengan klien tampak berkeringat, tangan mengepal, meringis menahan sakit dan pada hari kedua 3 pasien mengatakan nyeri dengan skala nyeri 7 yang termasuk dalam nyeri tingkat sedang dan 2 pasien dengan skala nyeri 5 dan 3 orang pasien dengan skala nyeri 3. Intervensi yang digunakan untuk mengurangi nyeri di ruang kebidanan menggunakan analgetik dan belum menggunakan terapi lain sebagai upaya untuk mengurangi nyeri post sectio caesaria. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa pasien-pasien post sectio caesaria hanya menggunakan obat-obat analgetik

2011

untuk mengurangi rasa nyeri akibat pembedahan sectio caesaria. Sehingga perlu dilakukan upaya untuk mengurangi nyeri non farmakologis salah satunya dengan memberikan teknik relaksasi progresif terhadap penurunan nyeri pada pasienpasien post sectio caesaria. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk meneliti tentang “Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif terhadap Penurunan Nyeri pada Klien Post sectio caesaria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2010”. Rumusan masalah pada penelitian ini adalah Apakah ada Pengaruh Teknik Relaksasi Progresif Terhadap Penurunan Nyeri Pada Klien Post Sectio Caesaria Di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2010. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini menggunakan desain penelitian pre-eksperimen dengan one group pre-post test design, yaitu satu kelompok subjek diwawancari sebelum dilakukan intervensi kemudian diwawancarai lagi setelah dilakukan intervensi. Hal ini dilakukan untuk melihat pengaruh teknik relaksasi progresif terhadap penurunan nyeri pada klien post sectio caesaria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2010. Penelitian ini dilakukan di Ruang kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi pada 20 September sampai dengan 5 Oktober tahun 2010. Sampel dalam penelitian ini adalah semua pasien post sectio caesaria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi yang tercatat pada tanggal 20 September- 5 Oktober 2010 dengan jumlah sampel sebanyak 20 responden. Pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik pengambilan “Accidental Sampling” dimana sampel diambil dari klien post sectio caesaria yang berada di Ruang Kebidanan pada tanggal 20 September- 5 Oktober 2010 Sampel dalam penelitian ini adalah pasien dengan kriteria inklusi sebagai berikut: Klien post sectio caesaria hari ke 2 dengan nyeri sedang dan ringan yang dirawat di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi a) Bersedia menjadi responden. b) Bersedia diwawancarai/dilakukan intervensi teknik relaksasi progresif. c) Tidak mengalami komplikasi. 15


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Analisis data pada penelitian ini menggunakan analisis univariat dan bivariat, untuk mengetahui pengaruh yang timbul sebagai akibat perlakuan tertentu dengan menggunakan uji T dependent. HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum dilakukan teknik relaksasi progresif terlebih dahulu dilakukan pengukuran nyeri dengan menggunakan skala intensitas nyeri numerik, dari hasil penelitian diketahui frekuensi skor nyeri pada klien post sectio caesaria sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif. Berdasarkan hasil penelitian, sebelum dilakukan teknik relaksasi progresif didapatkan skor tertinggi nyeri dengan skala 6 sebanyak 12 responden sedangkan nyeri terendah skala nyeri 3 sebanyak 2 responden dengan nilai mean 5,35. Nyeri yang dirasakan klien disebabkan oleh insisi pada dinding perut dan uterus sehingga mengakibatkan terputusnya saraf reseptor nyeri dan hipoksia pada jaringan kemudian stimulasi terhadap reseptor nyeri akan disalurkan ke sumsum tulang belakang melalui saraf asenden. Apabila informasi telah sampai ke thalamus, maka seseorang akan merasakan adanya sensasi dan akan diteruskan ke korteks serebri, disini sensasi akan diinterpretasikan, kemudian seseorang yang mengalami nyeri akan menjauh dari sensasi tersebut. Hal ini didukung dengan teori Brunner & Suddarth (2001) yang menyatakan bahwa rasa nyeri timbul apabila ada bagian jaringan yang rusak dan dalam hal ini akan menyebabkan individu yang mengalami nyeri juga akan bereaksi sangat berbeda dengan individu lain terhadap nyeri yang dirasakan. Setelah dilakukan teknik relaksasi progresif skor teringgi skala nyeri 5 sebanyak 1 responden sedangkan skor terendah 1 sebanyak 7 responden dengan nilai mean 2,00. Nilai mean antara sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif yaitu 3,35. Hasil ini menunjukkan bahwa skor nyeri menurun setelah dilakukan teknik relaksasi progresif. Namun dalam penelitian ini dari 20 responden, 2 responden masih mengalami skala nyeri sedang namun dilihat dari skor nyeri klien mengalami penurunan skor nyeri sedang yaitu dari skor 6 menjadi skor 5 dan dari skor 6 menjadi skor 4, Hal ini disebabkan mungkin karena faktor lingkungan dimana 4

16

responden ini berada di ruang rawat inap kelas III, dimana lingkungan di ruangan kelas III ini tidak selalu tenang dikarenakan ruang ini terdiri dari beberapa pasien, suasana yang panas, bising, yang akan mempengaruhi konsentrasi responden dalam melakukan teknik relaksasi progresif sehingga efek dari teknik relaksasi dalam menurunkan nyeri kurang maksimal, Sedangkan agar terciptanya relaksasi penuh di butuhkan lingkungan yang tenang. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kusyati (2006), yang menyatakan bahwa ada tiga hal utama yang dibutuhkan dalam teknik relaksasi progresif yaitu; posisi klien yang tepat, konsentari dalam melakukan teknik relaksasi progresif, dan lingkungan yang tenang. Hasil uji statistik sebelum dan sesudah dilakukan teknik relaksasi progresif terhadap nyeri post sectio caesaria dapat dilihat dalam tabel dihalaman berikutnya; Tabel 3. Distribusi Rerata Nyeri Sebelum dan Setelah dilakukan Teknik Relaksasi Progresif pada Klien Post Sectio Caesaria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2010 Variabel Nyeri sebelum dilakukan teknik relaksasi progresif Nyeri sesudah dilakukan teknik relaksasi

Mean

SD

SE

5,35

0,99

0,22

2,00

1,08

Pvalue

N

0,000

20

0,24

progresif

Berdasarkan hasil uji statistik pada tabel menunjukkan nilai mean sebelum dilakukan teknik relaksasi progresif pada klien post sectio caesaria adalah 5,35 dengan standar deviasi 0,99 dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif didapatkan nilai mean adalah 2,00 dengan standar deviasi 1,08. Terlihat nilai mean antara sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif 3,35 dengan standar deviasi 1,089. Dari hasil uji statistik juga didapatkan nilai p=value 0,000, maka dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara sebelum dan setelah dilakukan teknik relaksasi progresif pada klien dengan nyeri post sectio caesaria. Berdasarkan hasil penelitian diatas


Ernawati, Pengaruh Tehnik Relaksasi

maka dapat disimpulkan bahwa relaksasi progresif berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada klien post sectio caesaria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi. Relaksasi progresif merupakan salah satu penanganan nyeri, hal ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Kusyati (2006), yang menyatakan bahwa penatalaksaan nyeri nonfarmakologis meliputi; teknik distraksi, relaksasi, pemijatan (masase), pemberian kompres panas dan dingin, serta teknik relaksasi progresif. Saat klien melakukan pernafasan yang teratur perawat mengarahkan klien untuk melokalisasi setiap daerah yang mengalami ketegangan otot, berfikir bagaimana rasanya menegangkan otot sepenuhnya dan kemudian merelaksasikan otot-otot tersebut. Sehingga saat klien mencapai relaksasi penuh, maka persepsi nyeri berkurang dan rasa cemas terhadap pengalaman nyeri menjadi minimal. Penelitian ini selaras dengan penelitian Lestari (2008) di IRNA A Kebidanan RSUP Dr. M. Djamil Padang, yang menggunakan desain Quasi ekperimen dengan one grop pre-post tes yang menyatakan bahwa teknik relaksasi nafas dalam efektif terhadap penurunan rasa nyeri pada klien post sectio caesaria dengan nilai p=value 0,000. Serta penelitian Rabi’al (2009) Efektifitas Terapi Perilakuk Kognitif (Cognitif Behavior Terapy) Relaksasi dan Distraksi pada Pasien Kanker dengan Nyeri Kronis di RSU Pusat Haji Adam malik Medan dengan menggunakan desain pre-post tes desain dengan kelompok konrol menyatakan bahwa teknik relaksasi dan distraksi terbukti dapat menurunkan rasa nyeri pada pasien kanker dan nyeri kronis dengan nilai p=value 0,000. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teknik relaksasi progresif berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada klein post sectio caesaria sehingga perlu adanya upaya untuk mengurangi rasa nyeri pada klien post sectio caesaria selain tindakan farmakologi pada klien post sectio caesaria yaitu dengan menggunakan teknik relaksasi progresif di Ruang kebidanan RSUD Raden Mattaher jambi. Sehingga diharapkan petugas kesehatan dapat memberikan pendidikan kesehatan pada klien post sectio caesaria dengan menggunakan teknik relaksasi progresif dalam upaya untuk mengurangi rasa nyeri dalam memenuhi kebutuhan rasa nyaman pada klien. Karena relaksasi progresif dapat dilakukan secara mandiri, tidak

2011

memerlukan biaya, sehingga klien dapat memenuhi rasa nyamannya tanpa bergantung dengan perawat dan orang lain serta dengan obat-obatan yang dapat menurunkan rasa nyeri. KESIMPULAN DAN SARAN Teknik relaksasi progresif berpengaruh terhadap penurunan nyeri pada klien post sectio caesaria di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tehnik relaksasi proresif dapat menurun nyeri pasien post op Ssectio Cecaeria , untuk itu perawat diruang kebidanan agar menerapkan dan melaksanakan teknik relaksasi progresif sebagai metode untuk mengurangi rasa nyeri pada klien post sectio caesaria. Penelitian ini sebagai data dasar serta meneliti lebih lanjut dengan metode study komperatif tehnik relaksasi progresif dengan teknik-teknik lain yang dapat mengurangi rasa nyeri. Dengan memperhatikan faktor lingkungan, pengalaman nyeri dan faktor lainnya.

DAFTAR PUSTAKA Anas, T. 2006. Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. EGC. Jakarta. Andriana, Evariny. 2007. Melahirkan Tanpa Rasa sakit. Bhuana Ilmu Populer. Jakarta Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi IV. Rinekka Cipta. Jakarta. Arul, 2008. Sectio caesaria. Http//aroel.nurse.blogspot.com. di akses pada tanggal 16-05-2010. Jam 20.00 wib Azwar, 2005. Angka Kematian Ibu Dan Bayi Masih Tinggi. Http://www.kompas.com. Diakses tanggal 2 Mei 2010 Jam 16.00 Bobak, et al. 2004. Keperawatan Maternitas, Edisi 4, penerbit buku kedokteran. EGC. Jakarta Cunningham,Garry F. et al, 2005. William Obstetri. EGC. Jakarta. Carpenito, 1998. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 6. EGC. Jakarta Derek Powazek, 2008. angka-kematian-ibu-di-asiatenggara-paling-tinggi-di-dunia http://akuindonesiana.wordpress.com/200 8/09/11/di akses pada tanggal 19 Juni 2010 jam 12.30 Dinkes Provinsi Jambi, 2005. Provil Kesehatan Provinsi Jambi. Jambi Donna l, wong. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, edisi 6 volume 2. EGC. Jakarta.

17


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Eni, Kusyati. 2006. Keterampilan Dan prosedur labolatorium keperawatan dasar. EGC. Jakarta. Forggat, W. 2003. Panduan Untuk Mengatasi Kecemasan, Bhuana ilmu Populer. Hidayat, A. aziz alimul. 2008. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisis data, Salemba Medika. Jakarta Hartini, Windari M. 2009. Kiat Mengatasi Masalah Kehamilan & Janin . Yogyakarta. Kasdu, dini. 2003. Operasi Caesar masalah Dan Solusinya. Bekasi. Lestari, Tika. 2008. Efektifitas Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Penurunan Nyeri Pada Pasien Post Op Sectio Caesaria Di IRNA A Kebidanan RSUP. DR. M. DJAMIL PADANG. Mander, R. 2003. Nyeri persalinan. EGC. Jakarta. Notoadmojo, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta. Jakarta. Nunung Purnama sunardi, 2009. sectio-caesar. http://himapid.blogspot.com/html di unduh tanggal 10 Mei 2010 jam 20.00 wib. STIKBA, 2010. Pedoman mata kuliah skripsi. Jambi Price, Sylvia Anderson, 2005. Patofisiologi Konsep klinis Proses-proses Penyakit. EGC. Jakarta. Potter & Perry, 2005. Fundamental Keperawatan. EGC. Jakarta.p Purwandari, 2008. http://www.litbang.depkes.go.id/aktual/klipi

18

ng/html. di akses pada tanggal 19 juni 2010 jam 12.30 wib. Ramli. A. 2000. Kamus kedokteran dan keterangan istilah. Jakarta. Djambatan. Smeltzer, Suzanne C, 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah volume. Jakarta. EGC. Sri Mardiman, penatalaksanaan-fisioterapi-padasectio-caesarea http://binhasyim.wordpress.com/ di akses pada tanggal 01-05-2010 jam 20.00 wib. Sugiono, 2008. Memahami penelitisn kualitatif. CV ALFABETA. Bandung. Sujiati, S.Si.T., M.sc, dkk 2009. Asuhan Patologi Kebidanan Plus Contoh Asuhan Kebidanan. Jakarta. Sustrani, lanny. 2005. Hipertensi. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama. Widodo T, 2009. Penelitian kuantitatif. LPP UNS dan UNS Press. Surakarta, Jawa Barat. Wahit Iqbal Mubarok, 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia Teori dan Praktik, penerbit biku Kedokteran. Jakarta. EGC Winkjosastro, hanifa dkk. 2002. Ilmu kebidanan, edisi 3. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Wong, Donna L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, edisi 6 volume 2. Jakarta. EGC.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

2011

HUBUNGAN KEPATUHAN PASIEN DENGAN KEJADIAN ULKUS KAKI DIABETIK PADA PASIEN DIABETES MELLITUS DI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI Netha Damayantie, Monalisa, Musliha Dosen Poltekes Jambi Jurusan Keperawatan

ABSTRAK Salah satu komplikasi mikrovaskuler, neuropati dan penurunan daya tahan tubuh yang dapat terjadi pada penyakit diabetes mellitus adalah pasien mengalami permasalahan pada kakinya yaitu adanya luka pada kaki yang dikenal dengan ulkus kaki diabetik. Tindakan pencegahan akan dipengaruhi oleh kepatuhan pasien diabetes mellitus dalam merawat atau mengatur dirinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan pasien dengan kejadian ulkus kaki diabetik pada pasien diebetes mellitus di RSUD Raden Mattaher Jambi menggunakan desain penelitian case control, dengan meneliti kepatuhan pasien pada kelompok kasus dan kelompok kontrol, dengan perbandingan jumlah sampel 1 : 4 yaitu 8 pasien dengan ulkus kaki dibetik dan 32 pasien diabetes mellitus tanpa ulkus diabetik. Data dianalisis secara univariat, bivariat (Chi-square). Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar responden patuh dalam pemantauan kadar glukosa darah (70%), sebagian besar (75%) responden patuh pada penyesuaian diet, lebih dari sebagian responden (62,5%) kurang patuh dalam melakukan aktifitas fisik, sebagian besar responden (75%) patuh dalam melakukan perawatan kaki sebagian responden (50%) patuh dalam kunjungan berobat. Hasil analisis bivariat diketahui ada hubungan kepatuhan dalam pemantauan kadar glukosa darah, penyesuaian diet, perawatan kaki dengan kejadian ulkus kaki diabetik (p Value < 0,05). Sedangkan aktifitas fisik, kunjungan berobat tidak ada hubungan dengan kejadian ulkus kaki diabetik (p Value > 0,05). Perawat perlu menerapkan asuhan keperawatan pada gangguan sistem endokrin : diabetes mellitus, dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan dan dapat memenuhi kebutuhan pasien akan perawatan ulkus dekubitus. Perlu disusun dischart planning diabetes melllitus yang diberikan pada saat pasien pulang ke rumah. Kata Kunci : kepatuhan ulkus kaki diabetik, diabetes mellitus

PENDAHULUAN Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok penyakit yang ditandai dengan tingginya tingkat kadar glukosa darah sebagai akibat dari kelainan dalam skresi insulin, aktifitas insulin atau kedua-duanya. Pasien DM dapat dapat mengalami berbagai komplikasi baik akut maupun kronis. Salah satu komplikasi kronis yang dapat terjadi adalah pasien mengalami permasalahan pada kakinya yaitu adanya lesi atau luka pada kaki yang dikenal dengan ulkus kaki diabetik. Luka ini terjadi akibat adanya komplikasi mikrovaskuler, neuropati dan penurunan daya tahan tubuh, dan diduga semua itu akibat efek dari hiperglikemi (Smeltzer & Bare, 2002). Ulkus kaki pada pasien DM dapat dikurangi 44%-85%, dengan upaya

pencegahan yang difokuskan pada pengendalian glukosa darah untuk mengurangi terjadinya neuropati, deteksi dini dan penanganan yang tepat pada pasien dengan kondisi kaki sangat beresiko, pendidikan mengenai perawatan kaki, penggunaan alas kaki yang sesuai dan tindakan untuk meningkatkan perawatan (Aguiar.et al, 2003). Keberhasilan dari tindakan pencegahan akan dipengaruhi oleh kepatuhan pasien DM dalam merawat atau mengatur dirinya untuk mengontrol kadar glukosa darah, melakukan tindakan pencegahan luka serta perawatan kaki seperti yang telah disarankan oleh pemberi pelayanan kesehatan atau oleh tenaga kesehatan. Kondisi hiperglikemi tampaknya berperan dalam proses kelainan neuropati dan komplikasi mikrovaskuler (Smeltzer & Bare, 2002), ditambah dengan adanya 19


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

trauma minor, telah terbukti sebagai faktor resiko ulkus kaki diabetik Berdasarkan data yang diperoleh dari ruangan penyakit dalam RSUD Raden Mattaher Jambi, diperoleh data dua tahun terakhir jumlah penderita diabetes melitus di RSUD Raden Mattaher Jambi yaitu 209 orang pada tahun 2008 menjadi 267 orang pada tahun 2009. Dari data diketahui bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita ulkus kaki diabetik yaitu sebanyak 52 orang pada tahun 2008 dan 67 orang pada tahun 2009. Asuhan keperawatan pada pasien DM mengharuskan perawat mengetahui riwayat kepatuhan atau kemampuan pasien untuk mengikuti rencana terapi atau perawatan, keadaan fisik, psikologis dan diagnostik yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien. Perawat melaksanakan tindakan keperawatan untuk meningkatkan kepatuhan dan kemampuan pasien dalam merawat dirinya melalui pemberian pendidikan kesehatan, memberikan motivasi, mengatasi setiap faktor yang mendasari ketidakpatuhan (Smeltzer & Bare, 2002), mengidentifikasi dan mengkoordinasikan perubahan gaya hidup (Carpenito, 1999). Dari latar belakang tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kepatuhan pasien dengan kejadian ulkus kaki diabetik pada pasien diebetes mellitus di RSUD Raden Mattaher Jambi. BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini menggunakan desain penelitian case control, dengan meneliti kepatuhan pasien pada kelompok kasus dan kelompok kontrol. Kelompok kasus yaitu pasien DM dengan ulkus kaki diabetik, sedangkn kelompok kontrol yaitu pasien DM tanpa ulkus kaki diabetik. dengan perbandingan jumlah sampel 1 : 4 yaitu 8 pasien dengan ulkus kaki dibetik dan 32 pasien diabetes mellitus tanpa ulkus diabetik. Data dianalisis secara univariat, bivariat (Chi-square). Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner tentang pemantauan gula darah, penyesuaian diet, aktifitas fisik, perawatan kaki dan kunjungan berobat.

20

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengumpulan data diperoleh jumlah pasien ulkus kaki diabetik adalah 8 orang (20%) dan pasien diabetes mellitus tanpa ulkus kaki adalah 32 orang (80 %) dengan distribusi responden menurut tingkat kepatuhannya sebagai berikut : Tabel 1 Distribusi Responden Menurut Tingkat Kepatuhan Pasien DM di RSD Rd. Mattaher Jambi Tahun 2010 Item Option F % Kepatuhan Pemantauan Gula Darah

Kurang Patuh Patuh

12 28

30 70

Penyesuaian Diet

Kurang Patuh Patuh

10 30

25 75

Aktifitas fisik

Kurang Patuh Patuh

25 15

62,5 37,5

Perawatan kaki

Kurang Patuh Patuh

10 30

25 75

Kunjungan Berobat

Kurang Patuh Patuh

20 20

50 50

Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square. Tingkat kemaknaan hubungan antar variabel dilihat pada tingkat keyakinan 95% (Îą=0,05), artinya apabila p value hasil uji statistik = 0,05 maka variabel tersebut bermakna atau perbedaan yang diberikan suatu variabel tidak disebabkan oleh faktor kebetulan (by chance). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value = 0,039, maka dapat disimpulkan ada hubungan antara kepatuhan dalam pemantauan kadar gula darah dengan dengan kejadian ulkus kaki. Kontrol glukosa darah merupakan hal yang terpenting di dalam penatalaksanaan DM. Menurut Adnyana Losen (2003), Pada Diabetes Control and Complication Trial (DCCT) dan UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) telah terbukti bafrwa pengendalian glukosa darah yang baik berhubungan dengan menurunnya kejadian retinopati, nefropati, dan neuropati. Kondisi ini merupakan awal terjadinya komplikasi kronik Diabetes yaitu ulus kaki diabetik. Hasil analisis data didapatkan nilai OR = 5,952, artinya responden yang kurang patuh dalam pemantauan kadar gula darah beresiko 5,952 kali untuk mengalami ulkus dibandingkan responden yang patuh. Pemantauan kadar gula darah yg tidak


Netha Damayantie, Hubungan Kepatuhan Pasien

adekuat dapat berdampak kepada pemberian dosis insulin yang tidak tepat sehingga tidak mampu mengatasi masalah hiperglikemi pada pasien DM. Hasil uji statistik hubungan antara kepatuhan dalam penyesuaian diet dengan dengan kejadian ulkus kaki diperoleh nilai p = 0,015, maka dapat disimpulkan ada hubungan. Hasil analisis juga diketahui nilai OR = 9, artinya responden yang kurang patuh dalam penyesuaian diet beresiko 9 kali untuk mengalami ulkus dibandingkan responden yang patuh. Hasil penelitian menunjukkan 62,5% responden yang mengalami ulkus kaki dibetik tidak patuh terhadap penyesuaian diet, dan hanya 37,5% yang patuh. Hasil ini sejalan dengan penelitian Adnyana losen (2003) bahwa hanya 37% pasien diebetes yang mentaati diet dari ahli Gizi. Pada penelitian didapatkan penyesuaian diet yang tidak tepat dikarenakan mereka masih kurang disiplin dalam penggunakan gula murni dalam makanan dan minuman sehari-hari. Kebiasaan ini terjadi sebelum timbulnya ulkus kaki dibetikum. Padahal Diet yang salah akan rentan memicu hiperglikemik. Pada kondisi itu, kadar gula darah meningkat di atas angka normal. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 1.00, maka dapat disimpulkan tidak ada hubungan antara kepatuhan dalam aktifitas fisik dengan dengan kejadian ulkus kaki diabetik. Lebih dari sebagian (62,5%) renponden yang menderita ulkus kaki diabetikun tidak patuh dalam melaksanakan aktifitas fisik dan 37,5 tidak patuh. Hasil ini didukung oleh penelitian Adnyana Losen (2003) tentang penatalaksanan pasien dibetes melitus di RS Sanglah Denpasar, bahwa hanya 36% responden yang berolahraga secara teratur. Meskipun tidak ada dampak langsung aktifitas fisik dengan kejadian ulkus diebetik tetapi olahraga dapat mengurangi stress yang sering menjadi pemicu kenaikan glukosa darah yang menjadi awal gangguan neuroperifer. Selain itu Penderita diabetes yang rajin berolah raga dapat melepaskan diri dari ketergantungan pada obat. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,015 dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara kepatuhan terhadap perawatan kaki dengan kejadian ulkus kaki. Hasil analisis juga diketahui nilai OR = 9,

2011

artinya responden yang kurang patuh terhadap perawatan kaki beresiko 9 kali untuk mengalami ulkus dibandingkan responden yang patuh Hasil penelitian menunjukkan responden masing kurang dalam melakukan pemeriksaan kaki, memberikan lotion. Kebiasaan pasien memeriksa adanya kemerahan dan pembengkakan pada kaki sangat penting untuk mencegah munculnya gangguan integritas kulit, apabila telah terjadi luka pada penderita diabetes mellitus maka akan rentan terhadap infeksi dan sulit untuk disembuhkan. Hasil uji statistik diperoleh nilai p = 0,235 dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kepatuhan terhadap kunjungan berobat dengan kejadian ulkus kaki. Dari responden yang tidak menderita ulkus kaki diabetik terdapat 43,8% yang masih kurang patuh dalam melakukan knjungan berobat. Kunjunan berobat atau follow up pada pasien diabetes mellitus bertujuan untuk memantau status kesehatan pasien termasuk mengidentifikasi kemungkinan adanya komplikasi dari penyakit. Pada penelitian, responden melakukan kunjungan ulang rata-rata 3- 4 minggu sekali dan menurut mereka tergantung dari ada tidaknya keluhan yang dirasakan. Biasanya pasien datang untuk mendapatkan obat. Apabila pasien tidak mempunyai alat untuk mengukur kadar gula darah sendiri, maka pada saat kunjungan berobat inilah mereka mencek kadar glukosa darah.

KESIMPULAN DAN SARAN Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan kepatuhan pemantauan glukosa darah, penyesuaian diet, perawatan kaki dengan kejadian ulkus kaki diabetik pada pasien diebetes mellitus. Dan tidak ada hubungan antara tingkat kepatuhan aktifitas fisik dan kunjungan berobat dengan kejadian ulkus kaki diabetik pada pasien diebetes mellitus di RSUD Raden Mattaher Jambi. Disarankan pada pihak rumah sakit khususnya ruang perawatan penyakit dalam untuk dapat merencanakan dan membuat kebijakan penatalaksanaan pasien dengan ulkus diabetikum dalam bentuk standar 21


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

pelaksanaan asuhan keperawatan di ruang rawat inap. Untuk pasien dengan resiko terjadi ulkus diabetikum perlu dilakukan upaya meningkatkan kepatuhan pasien diabetes mellitus melalui upaya pendidikan kesehatan yang dapat diberikan pada kunjungan di poli penyakit dalam

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana,L.et.al.(2003). Penatalaksa-naan Pasien Diabetes melitus di Poliklinik RS Sanglah Denpasar, Denpasar Aguiar, et al .(2003). Hystory of Foot Ulcer Among Person With Diabetes. United State. http://www.medscape.com/nurse/journals, tgl 25 Mei 2010. Arisman.(2000).Pencegahan Diabetes Mellitus: Laporan Kelompok Studi WHO. Jakarta : Hipokrates

22

Basuki, B. (2002). Aplikasi Metode KasusKontrol. Jakarta : UI Carpenito, L.J. (1998) Diagnos Keperawatan. Edisi 6. Alih Bahaa : Yasmin Asih & Monica Ester. Jakarta : EGC Sjaifoellah. H.M( 2004). Ilmu Penyakit Endokrin dan Metabolik, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.. Smeltzer, S.C. & Bare, B.G (2002). Buku Ajar keperawatan Medikal bedah..Ed 8. Alih Bahasa : Agung Waluyo dkk. Jakarta :EGC Smeltzer, S.C.et al (2008). Text Book of MedicalSurgical Nursing. 11 th ed. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins RNAO. (2005). Nursing best Practice Guideline : Assesment and Management of Foot Ulcer for People with Diabetes. http : //www.mao.org/bestpractice,diperoleh tanggal 25 Mei 2010 WHO (2003). Adherence Long-Term Therapies : Evidence for Action.


Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

2011

STUDI EKSPLORASI DIAGNOSA KEPERAWATAN PADA PASIEN MALARIA DI PROPINSI JAMBI

Gusti Lestari Handayani, Rohaida, Abbasiah Jurusan Keperawatan, Poltekkes Jambi

ABSTRACT Malaria still represent the disease owning high prevalensi enough, almost 90 million people live in the endemic of malaria. Province Jambi happened the make-up of amount of malaria patient. For the minimization of affect the disease to health needed a correct effort and quickly. But conception the nursing diagnosis of malaria patient not yet, either through national and also international so that still be needed by evidence based nursing to make the diagnosa treatment the patient. This Research target is to specify the nursing diagnosis of malaria patient pursuant to found symptom ( Evidence Based) Research Design was cross sectional study, minimum sampel 445 malaria patient with ι=0,05 and β=5%.= 0,05 . Research location was hospital Jambi and Kab. Ma.Jambi. Subjek Research was patient of adult malaria which is taken care of at hospital. Data collected through direct study at patient by using list observe and pursuant to note of medical record year 2006-2007. Data analysis by using knowable frequency distribution so that variation and modus of nursing diagnosis which emerge malaria patient. Characteristic of malaria Patient in Province of Jambi distribution flattenedly was good the than age, gender and work and also natural by place. The symptoms of malaria in Province Jambi is not specific, there was owning fever symptom accompanied by the other;dissimilar symptom but there was also which do not own the symptom of fever. Infeksi parasite was Plasmodium Palciparum and Plasmodium Vivak. Nursing diagnosis of malaria were :Hipertermy, Imbalanced nutrition:less than body requirements, Acute pain, Nausea, activity intolerance. Keywords: Malaria, Nursing diagnosis

PENDAHULUAN

Malaria merupakan penyakit infeksi yang mempengaruhi tingginya angka kesakitan dan kematian serta dapat muncul kembali setelah dilakukan upaya eradikasi maupun eliminasi (Re-emerging deseases). Hampir separuh populasi Indonesia (90 juta orang) tinggal didaerah endemik malaria dan Propinsi Jambi termasuk salah satu diantaranya. Sebagian daerah di Propinsi Jambi merupakan daerah rawa-rawa yang merupakan media yang baik untuk kelangsungan hidup nyamuk Anopheles sebagi vektor penularan penyakit malaria. Jumlah penderita malaria di Propinsi Jambi mengalami peningkatan dengan Annual Malaria Incidence sebesar 13,55 per 1000 penduduk (tahun 2005) menjadi 21,24 per

1000 penduduk (tahun 2006). Propinsi Jambi termasuk salah satu propinsi yang mengalami KLB untuk penyakit malaria di tahun 2005 dengan total kematian untuk seluruh Indonesia sebanyak 97 orang (Departemen Kesehatan RI, 2007 dan Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, 2007). Sedangkan pada tahun 2007 jumlah penderita malaria mengalami penurunan menjadi 17,02 per 1000 penduduk, terlihat jumlah penderita berfluktuasi dari tahun ke tahun (P3M Dinkes Prop. Jambi, 2007) Kasus malaria harus ditangani dengan cepat dan tepat untuk menurunkan angka kesakitan, mencegah komplikasi dan penularan serta meminimalkan dampak penyakit terhadap kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan asuhan keperawatan untuk mencegah hal tersebut. Salah satu tahapan asuhan keperawatan adalah merumuskan diagnosa 23


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

keperawatan yang merupakan suatu upaya dalam memberikan dasar untuk pemilihan intervensi keperawatan agar mencapai hasil yang diharapkan (Carpenito, 2000). Dari beberapa buku yang dijadikan pegangan dan pedoman mahasiswa keperawatan seperti Carpenito, L.J (2000), Brunner & Suddarth (2002), Tucker, S.M (1999) dan Doengoes (2000) belum terdapat asuhan keperawatan pada pasien malaria. Sehingga sampai saat ini belum ada rumusan diagnosa keperawatan yang baku yang dapat dijadikan standar diagnosa keperawatan bagi pasien malaria. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penelitian tentang gejala-gejala, keluhan dan gangguan yang dialami pasien malaria (evidence based) sebagai dasar penegakan diagnosa keperawatan. BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan rancangan retrospektif untuk data sekunder dan cross sectional untuk pasien yang diamati pada saat penelitian berlangsung. Metoda kuantitatif digunakan untuk mendeskripsikan karakteristik dan gejala-gejala yang timbul pada pasien yang menderita malaria kemudian dikelompokan berdasarkan kemungkinan diagnosa keperawatan yang muncul. Lokasi penelitian adalah Kota Jambi, dan Kab. Muaro Jambi. Pengambilan data dilakukan di Rumah sakit Kabupaten Muaro Jambi dan Rumah Sakit yang berada di Kota Jambi (RS. Rd Mattaher, RS. Dr. Bratanata, RS. Bhayangkara, RS. Budi Graha). Pemilihan sampel dengan cara purposif sampling/pemilihan subjek secara nonrandom yaitu semua pasien malaria yang dirawat dalam rentang waktu penelitian dan memenuhi kriteria akan dijadikan subjek penelitian yaitu Kriteria inklusi: Hari perawatan tidak lebih dari 7 hari dan Hasil pemeriksaan laboratorium positif malaria. Jumlah Subjek dalam penelitian ini adalah 452 orang. Pengambilan data langsung pada pasien yang sedang dirawat saat penelitian ini dilaksanakan dan data sekunder dari medical record rumah sakit tahun 2006-2008. Analisis data dilakukan secara deskriptif dengan melihat distibusi faktor umur, jenis kelamin, pekerjaan dan modus diagnosa keperawatan yang muncul

24

sehingga dapat diketahui variasi dan modus diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien malaria.

HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah responden pada penelitian ini 452 orang terdiri dari 44 responden yang sedang dirawat (data primer) dan 408 responden dari data medical record (data sekunder). Berdasarkan tabel 1. Karakteristik responden dapat diketahui bahwa penderita malaria dewasa berumur rata-rata 32 tahun dengan distribusi yang hampir merata pada semua jenis kelamin yaitu 48,34% perempuan dan 51,66% lakilaki. Jenis pekerjaan penderita sebagian besar adalah pegawai swasta yaitu 38,14%, sedangkan alamat penderita sebagian besar berada di luar kota Jambi yaitu 32,67%. Tabel 1. Karakteristik responden N= Karakteristik 452

%

Umur < 32 tahun >32 tahun

218 234

48,34 51,66

Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan

225 227

49,89 50,11

Pekerjaan PNS Swasta Polri Petani Pelajar Lain-lain (Tidak bekerja, IRT)

65 172 50 25 36 104

14,19 38,14 11,09 5,54 7,98 23,06

Alamat Jambi Selatan Jambi timur Pasar Kota Baru Jelutung Danau Teluk Telanaipura Pelayangan Lain-lain (Ma.jbi, Tebo, Bangko,Batanghari)

80 49 9 73 29 7 52 5 148

17,78 10,89 2,00 16,22 6,44 1,56 11,56 0,98 32,67

Hipertemi yang diukur berdasarkan pengukuran suhu tubuh dengan


Gusti Lestari Handayani, Studi Eksplorasi Diagnosa

menggunakan termometer dimana hasil pengukuran diatas suhu tubuh normal (36,5Âş C) terjadi pada sebagian besar penderita malaria yaitu sebanyak 90,91% pada data primer dan 85,54% pada data sekunder, Gejala demam yang dialami penderita umumnya adalah demam paroksisme yaitu demam mendadak dan temporer sebanyak 72,73%, tidak semua penderita mengalami pengulangan demam dengan interval tertentu (Demam periodik). Hanya sebagian kecil penderita yang mengalami demam periodik yaitu pengulangan demam dengan siklus tertentu, jumlah penderita malaria yang mengalami demam periodik pada data primer 36,36% dan 23,77% pada data sekunder. Tanda-tanda vital penderita tidak normal yang dapat dilihat dari perubahan denyut nadi yang lebih dari normal sebanyak 59,09% (data primer) dan 65,93% (data sekunder). Hasil dapat dilihat di tabel 2. Tabel 2. Gejala Yang Dialami Penderita Malaria Primer Gejala Alasan masuk rumah sakit Dengan Demam Tanpa Demam Tidak ada data Apakah responden pernah menderita penyakit yang sama? Pernah Tidak Tidak ada data kapan terakhir sakit < 56 hari >56 hari Tidak ada data/tidak kambuh

Sekunder

N (44)

%

N (408)

%

21

47,73

311

76,23

23

52,27

88 9

21,57 2,21

14 30

1 13 30

31,82 68,18

2,27 29,54 68,66

55 156 197

11 44 353

14,95 38,76 48,28

2,69 10,78 86,51

Nafsu makan Ada Tidak ada Tidak ada data

10 34

22,73 77,27

36 336 36

8,82 82,36 8,82

Mual Ya Tidak Tidak ada data

41 3

93,18 6,82

325 47 36

79,65 11,51 8,82

2011

Muntah Ya Tidak Tidak ada data

27 17

61,36 38,64

226 143 39

55,39 35,04 9,55

Jumlah makanan yang masuk Kurang 1 porsi Satu porsi penuh Tidak ada data

42 2

95,45 4,55

348 17

85,29 4,17

43

10,54

Fluktuasi berat badan 6 bln terakhir Ya Tidak Tidak ada data Aktivitas perawatan diri Mandiri Bantuan dgn alat Bantuan orang bantuan dgn orang dan alat Bantuan penuh Tidak ada data Tingkat kesadaran Komposmentis Samnolen Semicomatus Letarghic Stuporus Coma Tidak ada data Nadi Normal Takikardi Bradikardi Suhu Normal Hipertermi Demam paroksisme Ya Tidak Tidak ada data Demam periodik Ya Tidak Tidak ada data Waktu demam periodik Tidak diketahui 2 hari 3 hari

13 31

29,55 70,45

54 158 196

13,24 38,73 48,04

8 2

18,18 4,55

48 4

11,76 0,98

26 6

59,09 13,64

313 5

76,71 1,23

2

4,55

5

1,23

33

8,09

40 4 -

90,91 9,09

400 3 3 2

98,03 0,73 0,73 0,49

18 26

40,41 59,09

136 269 3

33,33 65,93 0,74

4 40

9,09 90,91

59 349

14,46 85,54

32 12

72,73 27,27

233 105 70

57,10 25,74 17,16

16 28

36,36 63,64

97 137 174

23,77 33,58 42,65

28

63,64

314

76,96

7 9

15,91 20,45

44 50

10,78 12,25

25


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Tabel. 3 Keluhan lain Pada Penderita Malaria Primer

Sekunder

Keluhan n

%

n

%

Pusing

36

81,82

295

75,30

Sakit kepala Nyeri ulu hati Kulit Terasa hangat

22 21

50 47,73

201 245

49,6 60,05

41

93,14

338

82,84

Hasil pemeriksaan penunjang melalui pemeriksaan mikroskopis untuk menentukan plasmodium yang menyebabkan terjadinya penyakit malaria dapat dilihat pada tabel 4, diketahui bahwa ada 2 jenis malaria yang terdapat pada penderita malaria di Propinsi Jambi yaitu malaria palciparum dan malaria vivak. Sebagian besar penderita adalah penderita malaria plasmodium vivak (85,54%). Selain gejala-gejala dari tabel 2, didapat pula data keluhan lain yang mengiringi penyakit penderita malaria. Dari beberapa pertanyaan yang ada pada kuisioner antara lain keluhan pusing, perubahan sklera, sakit kepala, sulit menelan, nyeri dada, edema, c yanosis, gembung, nyeri ulu hati, pembesaran limfa, perubahan turgor, perabaan kulit, maka ada beberapa keluhan yang memiliki persentase lebih besar yang dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Penunjang Primer Karakteristik Jenis Malaria Palcifarum Vivak (+) Vivak+Palcifarum Hemoglobin Rendah Normal Tidak ada data

n

39 5

13 25 6

%

11,36 88,64

29,54 56,81 13,63

Sekunder n

%

36 349 22 1

8,82 85,54 5,40 0,25

61 123 224

14,95 30,14 54,90

Jika dilihat dari hasil distribusi frekuensi tabel 1, 2, 3 dan 4 maka diketahui pula bahwa pada data sekunder ada beberapa responden yang tidak memiliki data yang lengkap. Namun demikian tidak terdapat perbedaan yang mencolok antara data yang didapat langsung dari pasien

26

yang dirawat dengan catatan pada medical record. Secara umum dapat dikatakankan bahwa pada dasarnya semua orang dapat terkena malaria. Pada penelitian ini subjek penelitian adalah penderita malaria dewasa dengan distribusi umur yang hampir merata. Perbedaan jenis kelamin dan umur sebenarnya berkaitan dengan perbedaan derajat kekebalan. Beberapa penelitian menunjukan bahwa perempuan mempunyai respon imun yang lebih kuat dibanding lakilaki (Gunawan, 2000). Namun pada penelitian ini tidak menunjukan perbedaan yang begitu mencolok. Tempat tinggal penderita malaria terdistribusi secara tidak merata, terlihat jumlah pendertita yang cukup besar dengan alamat tempat tinggal selain di Kota Jambi (32,68%). Angka ini tidak dapat diartikan bahwa di Kabupaten memiliki penderita yang lebih besar. Pengelompokan alamat tempat tinggal untuk kabupaten tidak dibuat secara terperinci berdasarkan masingmasing kabupaten karena penelitian ini hanya dilakukan di 1 (satu) kota dan 1 (satu) kabupaten yaitu Ma. Jambi. Sehingga kumulatif dari jumlah penderita terlihat lebih besar dari kelompok yang lainnya. Iklim dan curah hujan di Propinsi Jambi mempengaruhi siklus perkembangbiakan nyamuk anopheles yang merupakan vektor penyakit malaria. Saat musim hujan, genangan air memungkinkan telur, larva dan pupae berkembang menjadi dewasa dalam waktu singkat (9-12 hari). Keberhasilan perkembangbiakan parasit malaria dalam nyamuk (dari gametocyt ke tahap sporozoite) tergantung dari beberapa faktor.Lingkungan dan perilaku dapat mempengaruhi proses terjangkitnya malaria. Pekerjaan diluar ruangan tanpa menggunakan pelindung mempermudah terjadinya kontak dengan nyamuk anopheles (CDC, 2006). Pada penelitian ini sebanyak 38,84% adalah pekerjaan swasta, yang terbanyak adalah pekerja diperusahaan yang berhubungan dengan hutan, Hal ini memungkinkan kontak dengan nyamuk menjadi lebih banyak. Gejala awal dari malaria biasanya tidak spesifik mulai dari sakit kepala, perasaan tidak enak diperut, kemudian diikuti demam. Manifestasi klinis demam malaria yang seringkali tidak khas dan menyerupai penyakit infeksi lain (Demam


Gusti Lestari Handayani, Studi Eksplorasi Diagnosa

dengue, demam tifoid) sehingga tidak jarang menyebabkan penderita mengabaikan penyakit yang dialaminya. Infeksi parasit malaria yang berkembang di eritrosit akan merangsang makrofag dan sel-sel lain untuk memproduksi cytokines yang berfungsi menghasilkan panas. Dengan demikian gejala yang dirasakan pasien saat terinfeksi adalah peningkatan suhu tubuh (demam) (CDC, 2006). Sesuai dengan penelitian Zein, et al.(2003) ditemukan bahwa sebagian besar penderita malaria mengalami gejala demam yaitu sebanyak 89,4%. Pada penelitian ini sebagian besar alasan penderita mencari pertolongan adalah karena adanya demam, ada juga sebagian tidak mengalami demam. Hal ini mungkin disebabkan karena saat mendatangi pelayanan kesehatan proses infeksi malaria tidak pada saat pecahnya skizon dan keluarnya merozoit memasuki aliran darah yang merupakan faktor pencetus terjadinya demam (Ourblogertemplate.com, 2008). Gejala infeksi yang ditimbulkan kembali setelah serangan pertama disebut dengan relaps yang bersifat: a. Rekrudesensi (atau relaps jangka pendek), yang timbul karena parasit dalam darah (daur eritrosit) menjadi banyak. Demam timbul lagi dalam waktu 8 minggu setelah serangan pertama hilang. b. Rekurens (atau relaps jangka panjang) yang timbul karena parasit saur eksoeritrosit (yang dormant, hipnozoit) dari hati masuk dalam darah dan menjadi banyak, sehingga demam timbul lagi dalam waktu 24 minggu atau lebih setelah serangan pertama hilang. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar (80%) penderita yang mengalami serangan ulangan bersifat jangka panjang yang timbul setelah 24 minggu. Pada infeksi malaria, demam secara periodik berhubungan dengan waktu pecahnya sejumlah skizon matang dan keluarya merozoit yang masuk dalam aliran darah (sporulasi). Pada malaria vivaks dan ovale (tersiana) skizon setiap brood (kelompok) menjadi matang setiap 48 jam sehingga periode demamnya bersifat tersian, pada malaria kuartana yang disebabkan oleh plasmodium malariae, hal ini terjadi dalam 72 jam sehingga demamnya bersifat kuartan. Masa tunas intrinsik berakhir dengan timbulnya

2011

serangan pertama (first attack). Tiap serangan terdiri atas beberapa serangan demam yang timbulnya secara periodik, bersamaan dengan sporulasi (sinkron). Timbulnya demam juga bergantung pada jumlah parasit (cryogenic level, fever treshold). Berat infeksi pada seseorang ditentukan dengan hitung parasit (parasite count) pada sediaan darah. Demam biasanya bersifat intermitten (febris intermitten), dapat juga remitten (febris remitens) atau terus menerus (febris continua) (Ourblogertemplate.com, 2008). Sesuai dengan patofisiologi terjadinya demam periodik tersebut pada penelitian ini diketahui bahwa demam periodik terjadi 2 (dua) atau 3 (tiga) hari. Gold standard untuk diagnosa malaria adalah menemukan parasit plasmodium dengan pemeriksaan darah secara mikroskopis. Pemeriksaan ini seharusnya dilakukan secara rutin karena gambaran klinis malaria sangat bervariasi. Di Indonesia malaria tersebar diseluruh pulau dengan derajat endemisitas yang berbeda. Species yang terbanyak yang dijumpai adalah plasmodium Palciparum dan Plasmodium Vivak (Rampengan, 2000). Pada malaria dapat terjadi anemia yang ditunjukan dengan kadar hemoglobin yang rendah. Hasil penelitian ini menunjukan terjadinya anemia pada sebagian penderita. Derajat anemia tergantung spesies parasit yang menyebabkannya. Anemia tampak jelas pada malaria Palcifarum dengan penghancuran eritrosit yang cepat dan hebat. Jenis anemia yang dialami adalah anemia hemolitik, normokrom dan normositik. Pada serangan akut kadar hemoglobin turun secara mendadak yang disebabkan beberapa faktor: a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak mengandung parasit terjadi didalam limfa, dalam hal ini faktor auto imun memegang peranan penting. b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak mengandung parasit tidak dapat hidup lama. c. Diseritropoesis, yaitu gangguan dalam pembentukan eritrosit karena depresi eritropoesis dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dapat dilepaskan dalam peedaran darah perifer.

27


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Berdasarkan hasil analisis maka data pada penderita malaria dapat dikelompokan berdasarkan masalah yang dialami pasien. Pengelompokan data tersebut disesuaikan dengan diagnosa keperawatan menurut NANDA. Pada penelitian ini maka didapatkan beberapa diagnosa keperawatan pada penderita malaria yaitu: 1. Hypertermia Pengertian: Peningkatan temperatur tubuh diatas rentang normal. Batasan karaktristik:Peningkatan suhu diatas rentang normal,Kejang atau konvulsi,Takikardi (Peningkatan denyut nadi), Kulit diraba hangat, Kulit tampak memerah. Faktor yang berhubungan: Penyakit atau trauma,Peningkatan metabolik,Medikasi (Nanda, 2005) Penegakan diagnosa keperawatan hipertermi pada penelitian ini didasarkan pada batasan karakteristik yang harus terdapat yaitu adanya peningkatan suhu tubuh dan kulit teraba hangat. Hasil analasis menunjukan bahwa 88,64% memiliki suhu diatas normal, adanya peningkatan denyut nadi (Takikardi) sebanyak 67,16% dan sebanyak 93,18% perabaan kulit teraba hangat. Faktor yang sesuai dengan penelitian adalah adanya penyakit, dalam hal ini adanya infeksi salah satu spesies palsmodium malaria, dan diketahui bahwa spesies yang terbanyak adalah Placiparum dan Vivak. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan. Pengertian: suatu keadaan dimana individu tidak puasa mengalami atau berisiko mengalami penuruanan berat badan yang berhubungan dengan masukan yang takadekuat. Batasan karakteristik: Individu yang tidak puasa melaporkan atau mengalami masukan nutrisi yang kurang dari yang dianjurkan dengan atau tanpa penurunan berat badan, Kelemahan otot dan nyeri tekan, Peka rangsang dan kekacauan mental, Melaporkan perubahan sensasi rasa, Mudah merasa kenyang. Faktor yang berhubungan: Tidak mampu dalam memasukan, mencerna, mengabsorbsi makanan karena faktor biologi, psikologi atau ekonomi.

28

Sesuai dengan hasil penelitian bahwa sebagian besar subjek penelitian memiliki gejala tidak mempunyai nafsu makan sebanyak 77,27% (data primer) dan 82,26% (data sekunder). Disamping itu porsi makan yang disediakan hanya habis kurang dari 1 (satu) porsi yaitu 95,45%, dan ada sebagian subjek penelitian yang mengalami fluktuasi berat badan. Data-data tersebut menunjang untuk menegakan diagnosa keperawatan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan. 3. Mual Pengertian: Keadaan dimana individu mengalami suatu ketidaknyamanan, sensasi seperti gelombang dibelakang tenggorok, epigastrium atau seluruh abdomen yang mungkin atau tidak menimbulkan muntah. Batasan karakteristik: Melaporkan rasa mual atau sakit pada perut, peningkatan saliva, tidak mau makan Faktor yang berhubungan: biofatofisologis, gastrointestinal, penyakit ulkus peptikum, sakit kepala atau migren Pada penelitian ini mual dialami hampir seluruh subjek penelitian yang dirawat 93,18% dan 79,65% pada data sekunder, dan penderita jugatidak memiliki nafsu makan. 4. Nyeri akut Pengertian: Keadaan dimana individu mengalami sensasi yang tidak menyenangkan dalam berespon terhadap suatu rangsangan yang berbahaya. Batasan karakteristik: Individu memperlihatkan atau melaporkan ketidaknyamanan, Respon autonom pada nyeri akut (Tekanan darah dan nadi meningkat, diaforesis), Posisi berhati-hati, Terasa sesak pada abdomen. Faktor yang berhubungan: Berhubungan dengan inflamasi, Keletihan, Kram abdomen, diare dan muntah-muntah. Subjek penelitian yang melaporkan nyeri epigastrium sebanyak 47,73%, dan adanya gembung sebanyak 20,45%. Sehingga diagnosa keperawatan nyeri akut dapat ditegakan pada penderita malaria.


Gusti Lestari Handayani, Studi Eksplorasi Diagnosa

2011

5. Intoleransi aktivitas DAFTAR PUSTAKA

Pengertian: Penurunan dalam kapasitas seseorang untuk melakukan aktivitas sampai pada tingkat yang diinginkan atau yang dibutuhkan. Batasan karakteristik: Selama aktivitas mengalami kelemahan, pusing, dispnea,keletihan frekuensi nadi dan napas meningkat, Pucat, Vertigo. Faktor yang berhubungan: Gangguan sistem transpor oksigen, Peningkatan kebutuhan metabolisme sekunder akibat infeksi akut atau kronis. Penderita malaria mengalami peningkatan kebutuhan metabolisme akibat infeksi plasmodium. Infeksi yang dialami mengakibatkan peningkatan suhu tubuh yang secara tidak langsung juga menyebabkan kebutuhan metabolisme meningkat. Dari hasil analisis didapatkan data bahwa 59,09% (Data primer) dan 76,71% (Data Sekunder) mengalami kelemahan sehingga aktivitas perawatan dirinya memerlukan bantuan orang lain.

KESIMPULAN DAN SARAN Diagnosa keperawatan pada penderita malaria yaitu: Hipertermi, Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan, Nyeri akut, Mual, Intoleransi aktivitas.

Bruner & Suddart, (2002). Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta Carpenito. L.J (2000), Diagnosa Keperawatan, EGC, Jakarta CDC. (2006) Malaria. Available from : :<http: www.. cdc\Malaria\Disease\Symptome of malaria. CDC. htm> [Accessed 9 August 2008]. CDC. (2006) Human Host and Malaria. Available from : :<http: www.. cdc\Malaria\Disease\Pathofisiology. CDC. htm> [Accessed 9 August 2008]. CDC. (2006) Epidemiologi of Malaria. Available from : :<http: www.. cdc\Malaria\Disease\Pathofisiology. CDC. htm> [Accessed 9 August 2008]. Departemen Kesehatan RI , (2007). Profil Kesehatan Indonesia 2005. Depkes RI, Jakarta Dinas Kesehatan Propinsi Jambi, (2007). Profil Kesehatan Propinsi Jambi 2006, Dinkes Prop.Jambi. Gunawan, (2000), Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto, ed. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan, EGC, Jakarta. Hidayat, A.A (2004), Pengantar Proses Keperawatan, Salemba Medika, Jakarta Ourblogertemplate.com (2008), Malaria Understanding Malaria, Preventing Life Lost. Available from: <http:www.malaria> [Accessed 10 August 2008]. P3M Dinkes Prop. Jambi, (2007). Laporan Tahunan 2007, Dinkes Prop. Jambi Rampengan, (2000), Malaria Pada Anak. Dalam: Harijanto, ed. Malaria Epidemiologi, Patogenesis, Manifestasi Klinis, & Penanganan, EGC, Jakarta. Tucker, S.M, Canibbio, M.M, Paquette, E.V, Wells, M.F, (1999), Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta Zein.H, Hendri.H, Ginting.Y, Pandjaitan.T (2003). Medan Diduga endemic Malaria. Available from:<http:www.malaria> [Accessed 10 august 2008]

29


2011

Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

HUBUNGAN PERILAKU HOST DAN PERAN PENGAWAS MINUM OBAT DENGAN KESEMBUHAN PASIEN TB PARU DI PUSKESMAS PERAWATAN PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2010 Vivianti Dewi, Debbie Nomiko, Ary Irfan Dosen Politeknik Kesehatan Jambi Jurusan Keperawatan ABSTRAK Salah satu penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia adalah Penyakit tuberculosis paru.Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TBC menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Kesembuhan (sembuh) adalah hasil pengobatan penderita yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) paling sedikit 2 (dua) kali berturut-turut hasilnya negatif yaitu pada AP (Akhir pengobatan) dan atau sebulan sebelum AP, dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku host dan peran Pengawas Minum Obat (PMO) dengan kesembuhan pasien TB Paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu tahun 2010. Penelitian ini merupakan penelitian observasional menggunakan rancangan cross sectional / potong lintang yaitu melihat sesaat / mengumpulkan data dan peristiwa pada waktu yang sama, hanya diobservasi sekali saja. Populasi penelitian adalah pasien TB paru yang berobat jalan di Puskesmas Putri Ayu. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara langsung terhadap responden dengan menggunakan kuesioner. 2 Analisis data dilakukan dengan analisis Univariat dan Bivariat, dengan menggunakan uji statistik X (ChiSquare), digunakan untuk melihat hasil kemaknaan antara distribusi frekuensi yang diamati dengan yang diharapkan. Hasil analisis univariat menunjukkan dari 40 responden kontrol, 39 responden (97,5%) patuh dalam minum obat. Sedangkan dari 40 responden kasus, hanya sebanyak 15 responden (37,5%) patuh dalam pengobatan , dan selebihnya 25 responden (62,5%) tidak patuh dalam pengobatan. sedangkan hasil analisis univariat dari PMO menunjukkan dari 40 responden kontrol, 28 responden (70,0%) mengatakan pengawas minum obat aktif , sedangkan dari 40 responden kasus, hanya sebanyak 10 responden (25%) mengatakan pengawas minum obat aktif, dan selebihnya 30 responden (70%) mengatakan pengawas minum obat tidak aktif. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara perilaku host dengan kesembuhan TB Paru serta ada hubungan bermakna antara PMO dengan kesembuhan TB Paru dengan p- value = 0.001 Kata Kunci :Perilaku, Host, Kesembuhan

PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang sedang giat-giatnya melaksanakan pembanguanan yang dilaksanakan di bidang kesehatan. Pembangunan kesehatan sebagai bagian dari Pembangunan Nasional dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan serta ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Program Pemberantasan Penyakit Menular mempunyai peranan dalam menurunkan angka kesakitan dan kematian. Tujuan tersebut dapat dicapai dengan penerapan teknologi kesehatan secara tepat oleh petugas-petugas kesehatan yang didukung positif. (Depkes RI,2005:9).

30

Salah satu penyakit infeksi menular yang masih tetap merupakan masalah kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia adalah Penyakit tuberculosis paru. World Health Organization (WHO) dalam Annual Report on Global TB Control 2003 menyatakan terdapat 22 negara dikategorikan sebagai highburden countries terhadap TB. Indonesia termasuk peringkat ketiga setelah India dan China dalam menyumbang TB di dunia. Menurut WHO estimasi insidence rate untuk pemeriksaan dahak didapatkan basil tahan asam (BTA) positif adalah 115 per 100.000 (WHO, 2003). Hasil survei prevalensi tuberkulosis di Indonesia tahun 2005 menunjukan bahwa angka prevalensi tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 110 per 100.000 penduduk dan Tuberculosis menduduki ranking


Vivianti Dewi, Hubungan Perilaku Host

ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total kematian) setelah penyakit sistem sirkulasi dan sistem pernafasan. (Depkes RI, 2005). Penyakit TBC (Tuberkulosis) termasuk penyakit infeksi menahun/kronis dengan masa pengobatan 6 sampai 8 bulan, bahkan bisa lebih dari 1 tahun bila kuman penyebab TBC yaitu Mycobacterium tuberculosis yang menginfeksi pasien telah menjadi kebal atau resisten terhadap obat anti TB paru yang umum, dan diperlukan obat lebih khusus dan mahal untuk penyembuhannya bahkan ada pula yang memerlukan tindakan operasi pada organ yang terkena infeksi seperti paru, hati, dan lain-lain. Tuberkulosis dapat menyerang siapa saja, dari semua golongan, segala usia dan jenis kelamin dan semua status sosial-ekonomi. Jadi Tuberkulosis bukan penyakit keturunan maupun disebabkan oleh kutukan atau guna-guna (Misnadiarly, 2006:viii). Sejak tahun 1995 program Pemberantasan Tuberculosis paru telah dilaksanakan dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment, Shortcourse) yang direkomendasikan oleh WHO. Kemudian berkembang menjadi Program Penanggulangan Tuberculosis (TB paru) (Depkes RI,2005:1). Saat ini pemerintah dalam program kesehatannya memberikan kemudahan kepada penderita TB paru baik BTA (+) maupun BTA(-) dalam bentuk pengobatan TB paru gratis yang tengah dilaksanakan di setiap puskesmas dan rumah sakit untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010, dengan mengaktifkan segenap kemampuan yang dimiliki untuk memberantas kasus TB paru yang salah satunya dilaksanakan di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi. Berbagai Program telah dilakukan dalam pemberantasan penyakit TB Paru dan peningkatan angka kesembuhan TB paru, di antaranya program pemeriksaan dan pengobatan gratis. Angka kesembuhan pada TB paru dapat dihitung dengan membagi jumlah penderita yang sembuh dibagi dengan jumlah penderita BTA positif yang diobati dikalikan 100%, dan angka minimal yang harus dicapai adalah 85% (Depkes RI,2005:110).

2011

Tabel 1 Data Cakupan Program Penanggulangan TB Paru Se- Puskemas Kota Jambi Tahun 2009 PKM

Penduduk

Putri Ayu

Perkiraan

Pencapaian

Cakupan (%)

BTA (+)

BTA (+)

35921

58

33

56.90

Aur Duri

16364

26

9

34.62

Simpang IV Sipin

32769

53

28

52.83

Tanjung Pinang

38581

62

15

24.19

Talang Banjar

24098

39

9

23.08

Payo Selincah

17888

29

21

72.41

Pakuan Baru

26411

42

17

40.48

Talang Bakung

27139

44

9

20.45

Kebun Kopi

16074

26

13

50.00

Paal Merah I

17892

29

17

58.62

Paal Merah II

17045

27

19

70.37

Olak Kemang

12711

20

16

80.00

Tahutul Yaman

12922

21

6

28.57

KONI

14650

24

19

79.17

Paa1 V

17479

28

21

75.00

Paal X

21939

35

6

17.14

Kenali Besar

26954

43

35

81.40

Rawasari

45985

74

21

28.38

Simpang Kawat

27396

44

23

52.57

Kebun Handil

32846

53

22

41.51

Sumber : Dinas Kesehatan Kota Jambi, tahun 2010

31


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Dari tabel di atas, cakupan program TB Paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu termasuk cukup baik, tetapi walau pun demikian angka kesembuhan pasien TB Paru masih di bawah angka standar minimal nasional untuk kesembuhan TB Paru yaitu 85%. Angka kesembuhan TB Paru di Puskesmas Putri Ayu tahun 2009 yaitu 66,6% Menurut Crofton (2002) faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru yaitu faktor individu (usia dan status gizi). Selain faktor di atas ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru yaitu keberadaan PMO (Pengawas Minum Obat), Perilaku host, Pelayanan kesehatan dan Lingkungan fisik (perumahan). Faktor lain yang juga sangat berperan dalam kesembuhan pasien TB paru adalah Pengawas Minum Obat (PMO) yaitu seseorang yang bertugas dalam mengawasi penderita TB paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur, mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang ditentukan serta memberi penyuluhan pada anggota kelurga penderita TB paru. Dengan adanya PMO ini di harapkan dapat meningkat kepatuhan pasien dalam minum obat sehingga dapat meningkatkan kesembuhan pasien TB paru (Depkes RI, 2005). Pengawasan adalah tindakan untuk memperhatikan dan melihat bagaimana suatu peraturan yang berlaku tersebut dijalankan atau tidak. Pada kepatuhan minum obat, pengawasan dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau keluarga dari pasien yang menderita sakit. Pengawasan tersebut dapat berupa peringatan atau anjuran untuk selalu mematuhi waktu dan dosis yang telah dianjurkan untuk meminum obat tersebut. Sesuai dengan strategi DOTS, setiap penderita yang baru ditemukan dan mendapat pengobatan harus diawasi menelan atau meminum obatnya setiap hari agar tercegah dari kekebalan (resistensi). Untuk itu diperlukan seorang pengawas minum obat (PMO) (Suroto.S,1999). Selain itu faktor yang turut mempengaruhi adalah prilaku host. Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respon seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistim pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan. (Notoatmodjo,S,1997:121-122) Kepatuhan minum obat (medication compliance) adalah mengkonsumsi obat-obatan yang diresepkan dokter pada waktu dan dosis yang tepat. Pengobatan hanya akan efektif apabila

32

penderita mematuhi aturan dalam penggunaan obat (Kusbiyantoro, 2002). Berdasarkan permasalahan di atas, peneliti tertarik untuk meneliti faktor Perilaku host dan peran Pengawas Minum Obat (PMO) terhadap kesembuhan pasien TB paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku host dan peran Pengawas Minum Obat (PMO) dengan kesembuhan pasien TB paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi tahun 2010 BAHAN DAN CARA KERJA Sebagai pedoman dalam penelitian ini, maka dirumuskan kerangka konsep penelitian sebagai berikut : Perilaku Host Kesembuhan TB Paru Pengawas Minum Obat (PMO)

Gambar 1. Kerangka Konsep Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif yang bersifat observasional dengan rancangan penelitian cross secsional / potong lintang. Rancangan potong lintang (melihat sesaat) mengunpulkan data dan peristiwa pada waktu yang sama, hanya diobservasi sekali saja.. Pendekatan ini dilakukan untuk melihat korelasi antara variabel independent dengan variabel dependent. Dengan demikian penelitian ini tidak bermaksud untuk mencari hubungan sebab akibat secara nyata dan langsung, tetapi melihat ada tidaknya hubungan antara variabel bebas dan terikat. Penelitian ini dilaksanakan di rumah-rumah pasien TB paru yang berobat jalan di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi pada bulan September – Oktober 2010. Sampel penelitian menggunakan total sampling pada pasien TB paru yang berobat di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi 2009 dan 2010 dengan kriteria sampel penderita TB Paru BTA (+) yang tercatat pada pengobatan TB Paru tahun 2009 dan 2010 yang masih hidup. Penderita yang telah menjalani pengobatan minimal 6 – 8 bulan, bersedia menjadi responden Dalam pengumpulan data peneliti menggunakan instrumen berupa kueisioner. Kueisioner digunakan untuk mengetahui kesembuhan pasien TB paru, perilaku host dan


Vivianti Dewi, Hubungan Perilaku Host

Pengawas Minum Obat (PMO) pasien TB paru. Untuk masing-masing variabel dan setiap jawaban akan diberikan nilai sebagai berikut : a. Variabel kesembuhan Pada variabel ini ada tabel hasil pemeriksaan dahak, Bila kedua jawabannya negatif penderita dinyatakan sembuh dan bila jawabannya negatif dan positif atau positif keduanya penderita dinyatakan tidak sembuh. (Depkes RI, 2005) b. Variabel perilaku host Pada variabel ini ada tabel observasi, bila bleester obat pada TB 01 nya terisi penuh penderita dinyatakan patuh dalam mengambil obat dan bila bleester obat pada TB 01 nya tidak terisi penuh penderita dinyatakan tidak patuh dalam mengmbil obat. c. Pengawas Minum Obat (PMO) Pada variabel ini terdapat 4 jawaban dengan kategori jawaban (tidak pernah, kadang-kadang, sering, selalu ). Bila jawabannya tidak pernah diberi nilai 1, bila jawabannya kadang-kadang diberi nilai 2dan bila jawabannya sering diberi nilai 3, bila selalu diberi nilai 4. Data dianalisis secara univariat untuk mengetahui gambaran distribusi, frekuensi besarnya populasi dari variabel yang diteliti baik variabel dependent (kesembuhan pasien TB paru) dan variabel independent (perilaku host dan Pengawas Minum Obat), dan secara bivariat yang menggunakan uji statistik X2 (ChiSquare), digunakan untuk melihat hasil kemaknaan antara distribusi frekuensi yang diamati dengan yang diharapkan dengan batas kemaknaan alpha 5% (0,05). Apabila hasil perhitungan menunjukan nilai p-value < alpha (0,05) maka Ho dinyatakan ada hubungan yang bermakna (Ho ditolak), sedangkan jika p-value > alpha (0,05) ini berarti tidak ada hubungan yang bermakna antara kedua variabel (Ho gagal ditolak). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis univariat bertujuan untuk mengetahui frekuensi perilaku host, pengawas minum obat dan kesembuhan pasien TB Paru. Berdasarkan hasil penelitian diketahui distribusi frekuensi kesembuhan pasien TB Paru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut

2011

Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kesembuhan Pasien TB Paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 No

Kesembuhan Pasien TB Paru

Jumlah

% 50

1

Kontrol

40

2

Kasus

40

50

80

100,0

Jumlah

Distribusi frekuensi responden berdasarkan perilaku host ditampilkan pada tabel 3. Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Host di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 No

Perilaku Host

Jumlah

%

54 26 80

67.5 32.5 100,0

1 Patuh 2 Tidak Patuh Total

Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 80 responden, 26 responden diantaranya (32.5%) pasien tidak patuh minum obat. Tabel 4 Distribusi Responden Berdasarkan Peran Pengawas Minum Obat di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 No 1 2

PMO

Jumlah

%

38 42

47.5 52.5

80

100,0

Aktif Tidak aktif

Total

Berdasarkan tabel 4 diketahui frekuensi responden berdasarkan pengawas minum obat yaitu dari 80 responden, 38 responden (47,5%) responden mengatakan bahwa PMO aktif. Hasil analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Hasil analisis bivariat sebagai berikut : Tabel 5 Distribusi Hubungan Perilaku Host dengan Kesembuhan Pasien TB Paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 Kesembuhan Pasien TB Paru Perilaku Host

Kontrol

Kasus

Jumlah

Jml

%

Jml

%

Jml

%

Patuh

39

97,5

15

37,5

54

67,5

Tidak Patuh

1

2,5

25

62,5

26

32,5

40

100

40

100

39

100

Pvalue

0,001

33


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Dari tabel di atas diketahui hasil analisis hubungan perilaku host dengan kesembuhan pasien TB Paru, diperoleh bahwa dari 40 responden kontrol, 39 responden (97,5%) patuh dalam minum obat. Sedangkan dari 40 responden kasus, hanya sebanyak 15 responden (37,5%) patuh dalam pengobatan , dan selebihnya 25 responden (62,5%) tidak patuh dalam pengobatan. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 0,000, dapat disimpulkan ada perbedaan proporsi kesembuhan TB Paru antara responden yang patuh dan tidak patuh ( ada hubungan yang bermakna antara perilaku host dengan kesembuhan pasien TB Paru), dengan kata lain semakin patuh perilaku host maka akan semakin besar kemungkinan responden untuk mengalami kesembuhan. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR= 65 artinya responden yang patuh mempunyai peluang 65 x untuk sembuh dibandingkan responden yang tidak patuh. Tabel 6 Distribusi Hubungan Pengawas Minum Obat dengan Kesembuhan Pasien TB Paru di Puskesmas Perawatan Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2010 Kesembuhan Pasien TB Paru Kontrol

PMO

Kasus

Jumlah

Jml

%

Jml

%

Jml

%

Aktif

28

70,

10

25,0

38

47,5

Tidak Aktif

12

30,

30

75,0

42

52,5

40

10

40

100

39

100

pvalue

0,001

Dari tabel di atas diketahui hasil analisis hubungan pengawas minum obat dengan kesembuhan pasien TB Paru, diperoleh bahwa dari 40 responden kontrol, 28 responden (70,0%) mengatakan pengawas minum obat aktif , sedangkan dari 40 responden kasus, hanya sebanyak 10 responden (25%) mengatakan pengawas minum obat aktif, dan selebihnya 30 responden (70%) mengatakan pengawas minum obat tidak aktif. Hasil uji statistik diperoleh nilai p-value = 0,000, dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara peran pengawas minum obat dengan kesembuhan pasien TB Paru, dengan kata lain semakin aktif peran pengawas minum obat maka akan semakin besar kemungkinan responden untuk mengalami kesembuhan. Dari hasil analisis diperoleh nilai OR= 7 artinya pengawas minum obat yang aktif dalam 34

menjalankan perannya mempunyai peluang sebanyak 7 kali berkontribusi untuk kesembuhan responden TB Paru dibandingkan pengawas minum obat yang tidak aktif. Angka kesembuhan adalah angka yang menunjukkan prosentase pasien TB paru BTA positif yang menyelesaikan pengobatan (baik yang sembuh maupun pengobatan lengkap) diantara pasien baru TB paru BTA positif yang tercatat (Depkes RI, 2008:92). Kesembuhan pasien TB paru bukan hanya karena faktor dari pemerintah dan petugas kesehatan saja, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor dari penderita itu sendiri dan adanya peran serta PMO. Menurut Crofton (2002) faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru yaitu faktor individu (usia dan status gizi). Selain faktor di atas ada beberapa faktor yang mempengaruhi kesembuhan TB paru yaitu keberadaan PMO (pengawas minum obat), perilaku host, pelayanan kesehatan dan lingkungan fisik (perumahan). Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kesembuhan penderita TB paru salah satunya adalah perubahan perilaku host (penderita TB paru) itu sendiri dan adanya peran pengawas menelan obat (PMO). Perilaku host dalam hal ini berhubungan dengan keteraturan pasien TB Paru dalam mengambil obat karena diketahui bahwa dengan teraturnya pasien minum obat dalam jangka waktu 6-8 bulan dapat meningkatkan kesembuhan pasien TB paru. Begitu juga dengan adanya peran PMO yang aktif dalam mengawasi pasien TB paru minum obat juga dapat mempengaruhi kesembuhan pasien TB Paru. Kepatuhan merupakan bagian dari perilaku seseorang. Perilaku manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan (Sarwono, 2007:1). Peningkatan jumlah penderita TB disebabkan oleh berbagai faktor yakni kurangnya tingkat kepatuhan penderita untuk berobat dan meminum obat, timbulnya resistensi ganda (Depkes RI, 2008:2). Ketaatan atau kepatuhan terhadap program terapeutik, mengharuskan individu untuk membuat satu atau lebih perubahan gaya hidup untuk menjalankan aktivitas spesifik seperti meminum obat, mempertahankan diet, membatasi aktivitas, pemantauan mandiri terhadap tanda gejala penyakit, melakukan tindakan higiene spesifik, melakukan evaluasi kesehatan secara periodik dan ambil bagian sebagai pelaksana tindakan terapeutik dan


Vivianti Dewi, Hubungan Perilaku Host

tindakan pencegahan lain. Fakta bahwa banyak orang tidak mentaati program yang diharuskan tidak dapat diabaikan atau diminimalkan, angka ketaatan umumnya sangat rendah terutama jika program tersebut rumit dan dalam jangka waktu lama (Smeltzer, 2002:48). Perilaku pasien TB dalam mengkonsumsi obat TB masih rendah, hal ini menunjukkan pasien TB belum patuh dalam mengkonsumsi obat TB. Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat antara lain usia, pekerjaan dan waktu luang, pengawasan. Pengawasan adalah tindakan untuk memperhatikan dan melihat bagaimana suatu peraturan yang berlaku tersebut dijalankan atau tidak. Pada kepatuhan minum obat, pengawasan dapat dilakukan oleh petugas kesehatan atau keluarga dari pasien yang menderita sakit. Pengawasan tersebut dapat berupa peringatan atau anjuran untuk selalu mematuhi waktu dan dosis yang telah dianjurkan untuk meminum obat tersebut. Kepatuhan minum obat pun dapat dikaitkan dengan usia, sebagai contoh untuk usia yang kurang dari 5 tahun kepatuhan minum obat untuk suatu penyakit akan lebih sulit dibandingkan dengan orang yang lebih dewasa. Begitu pun pada seseorang yang mempunyai usia lanjut akan mempunyai kesulitan dalam kepatuhan meminum obat. Suatu aktivitas rutin pada seseorang memungkinkan untuk menghabiskan waktu dengan pekerjaannya sehingga waktu luangnya pun terbatas. Bagi seseorang yang termasuk sibuk dalam pekerjaannya akan sangat sulit untuk meluangkan waktu, walaupun sekedar untuk meminum obatnya sendiri. Hal ini akan berbeda dengan seseorang dengan pekerjaan yang mempunyai waktu luang yang cukup akan memungkingkan untuk lebih teratur dalam meminum obat sesuai waktunya. Jenis dan dosis obat serta jangka waktu pengobatan yang lama obat pada seseorang menderita suatu penyakit akan berbeda dalam jenis dan dosisnya, semakin parah suatu penyakit pada seseorang makan jenis dan dosisnya akan semakin banyak atau besar. Banyaknya jenis obat untuk diminum dalam suatu waktu akan mengakibatkan seseorang sulit untuk mematuhi minum obat tersebut dengan berbagai alasan dan begitu pula halnya dengan jangka waktu paengobatan yang lama akan menimbullkan kebosanan pada penderita dalm mengambil bahkan meminum obat. Menurut Smet (1994) berbagai strategi telah dicoba untuk meningkatkan kepatuhan

2011

diantaranya adalah dengan dukungan profesional kesehatan, dukungan sosial, perilaku sehat dan pemberian informasi. Intervensi yang dapat dilakukan di Puskesmas Perawatan Putri Ayu adalah dengan pemberian informasi yang jelas pada pasien dan keluarga mengenai penyakit yang diderita serta cara pengobatan. Karena penyuluhan atau pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita, keluarga dan lingkungan dapat meningkatkan angka kesembuhan pasien TB paru. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi yang merupakan faktor penghambat dari kesembuhan pasien TB paru. Penelitian ini sejalan dengan pendapat Misnadiarly (2006) yang mengatakan bahwa, pentingnya pengawasan minum obat secara intensif untuk mengurangi jumlah drop out dan ketidak teraturan berobat. Dengan demikian sangat pentingnya peranan PMO terhadap penderita TB paru, dalam upaya peningkatan kesembuhan pasien TB paru. Untuk menjamin keteraturan penderita minum obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung oleh seorang pengawas menelan obat (PMO). PMO adalah seseorang yang bertugas untuk mengawasi, memberikan dorongan dan memastikan penderita TB menelan obat anti TB (OAT) secara teratur sampai selesai (Depkes RI, 2008:29). Tugas seorang PMO adalah 1) mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, 2) memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, 3) mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan, 4) memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejala-gejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan (Depkes RI, 2008:30). Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya antara lain : 1) TB disebabkan kuman, bukan penyakit keturunan atau kutukan, 2) TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur, 3) cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya, 4) cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan), 5) pentingnya pengawasan supaya paisen berobat secara teratur dan 6) kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK (Depkes RI, 2008:30).

35


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Peran PMO dalam penelitian ini menurut responden masih tidak aktif, dimana PMO belum melakukan pengawasan minum obat secara teratur. Hal ini kemungkinan karena PMO adalah seseorang yang tidak mengetahui tugas seorang Pengawas Minum Obat. Sebagian besar yang menjadi PMO adalah keluarga pasien yang pada umumnya bekerja sebagai petani dan PMO menganggap pasien sudah cukup mengerti mengenai aturan minum obat yang dianjurkan. Untuk itu perlu peningkatan peran PMO dengan tujuan agar kepatuhan pasien TB paru meningkat, Sehingga angka kesembuhan pasien TB paru akan meningkat. Adapun langkah-langkah yang perlu dilakukan adalah dengan memberikan penjelasan kepada PMO mengenai tugas dan perannya dalam meningkatkan kepatuhan pasien TB Paru. Penjelasan yang diberikan kepada PMO dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas yang berada di wilayah penderita TB Paru.

KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa hasil analisis bivariat menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara perilaku host dengan kesembuhan TB Paru serta ada hubungan bermakna antara PMO dengan kesembuhan TB Paru dengan p- value = 0.001 Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan dan Instansi terkait serta Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas pada khususnya dalam upaya peningkatan angka kesembuhan pada pasien TB paru.

36

UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini dapat dilaksanakan dengan baik berkat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penelti mengucapkan terima kasih kepada Kepala BPPSDM Kementerian Kesehatan RI, Direktur Politeknik Kesehatan Jambi, Ketua Jurusan Keperawatan, Pihak Puskesmas Keperawatan Putri Ayu Kota Jambi yang telah memberikan kerjasama yang baik dalam penelitian ini, Tim Risbinakes Poltekes Jambi. DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian. Jakarta : Rineka Cipta Arif Mansyur dkk, Kapita Selekta kedokteran Edisi Ke3, FKUI. 1999 Azwar, Azrul. 2002. Epidemiologi. Jakarta : Binarupa Aksara. Crofton , John.dkk. 2002. Tuberculosis Klinis. Jakarta : Widya Medika Depkes RI. 2005. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberculosis : Jakarta Enjtang, Indan. 1982. Ilmu Kesehatan Masyarakat : Bandung Misnadiarly, 2006. Mengenal, Mencegah, Menanggulangi TBC Paru, Extra Paru, Anak, dan Pada Kehamilan, Jakarta : Pustaka Populer Obor Noor, Nur Nasri.2006. Mengenal, Mencegah, Menanggulangi TBC Paru, Extra Paru, Anak dan pada kehamilan, Jakarta : Pustaka Populer Obor. Notoatmodjo,Soekidjo. 2000. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta : Rineka Cipta Nyoman, I dewa,dkk.2001. Penilaian Status Gizi : Jakarta EGC Pratiknya, Ahmad Watik, Dr. 2001. Dasar-Dasar metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan . Jakarta : Raja Grafindo Persada Soemirat, Juli. 2000. Epidemiologi lingkungan, Yogyakarta : Gajah mada university Press


Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

2011

EFEKTIVITAS PENYULUHAN KEPADA ORANG TUA SECARA PERSONAL DAN PENGOLESAN BAHAN CPP-ACP PADA ANAK TERHADAP RESIKO TERJADINYA KARIES PADA MURID SD ISLAM AL-FALAH KOTA JAMBI

Rina Kurnianti, Retno Dwi Sari, Slamet Riyadi Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi

ABSTRAK Peran orang tua sangat diperlukan dalam pemeliharaan kesehatan anak, khususnya kebersihan gigi dan mulut. Pencegahan gigi berlubang dimungkinkan asal kita bisa menjaga lingkungan mulut agar tidak asam, yakni dengan menjaga frekuensi makan, makan harus seimbang, memberikan anak makan besar, snack diantara makan besar hanya satu kali, anak tidak ngemut makanan, dll. Selain itu, ada teknologi baru yakni terapi remineralisasi dengan menggunakan CPP-ACP (Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate) untuk mengembalikan gigi yang sudah hamper berlubang menjadi sehat. Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental kuasi dengan desain (one group pre and post test). Sampel diambil dari 30 anak SD kelas I yang gigi molarnya sudah tumbuh besarta ibunya untuk dilakukan wawancara. Anak dilakukan pengukuran pH plak dan pH saliva juga pengolesan CPP-ACP, sedangkan ibunya dilakukan wawancara sertaa dilakukan analisa resiko karies dengan program Donut’Irene. Analisa data dilakukan uji statistic non parametric dengan uji Wilcoxon Signed Rank Test, dan parametric dengan uji T (Paired). Hasil uji beda rata-rata skor pH plak, pH saliva dan hasil analisis resiko karies menunjukkan ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara pengukuran pH plak post 1 dengan pH post2, sedangkan antara pre dengan post1 dan pre dengan post2 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Ada perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara pengukuran pH saliva pre dengan post1 serta pH saliva post1 dengan post2, sedangkan antara pengukuran pH saliva pre dengan post2 tidak ada perbedaan bermakna (p<0,05). Tidak ada perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara pengukuran analisis resiko karies pre dengan post1, pre dengan post2 serta analisis resiko karies post1 dengan post2 Kata Kunci : CPP-ACP, analisis risiko karies, Program Donnut’s Irene, pH plak, pH saliva

PENDAHULUAN Pengenalan dan perawatan kesehatan gigi anak sejak dini merupakan sesuatu hal yang kadang-kadang menimbulkan rasa kekhawatiran pada setiap ibu. Para ibu mempunyai kekhawatiran bagaimana cara mempersiapkan anak untuk mempersiapkan anak-anaknya saat menerima perawatan gigi. Selain itu para ibu juga merasakan kekhawatiran apabila telah melihat ada kelainan pada gigi anaknya. Rasa khawatir tersebut dapat ditanggulangi dengan cara mempersiapkan para calon ibu, dan para ibu dalam mengambil langkah-langkah apa yang dapat dilakukan di dalam mengenalkan perawatan gigi pada anaknya serta menambah pengetahuan para ibu mengenai kelainankelainan pada gigi dan mulut anak yang sering ditemukan (Riyanti.E.,2005). Peran orang tua sangat diperlukan dalam pemeliharaan kesehatan anak,

khususnya kebersihan gigi dan mulut karena anak masih bergantung pada orang tua. Orang tua mempunyai kewajiban dalam menjaga kesehatan anak. Pendidikan kesehatan gigi dan mulut harus diperkenalkan kepada anak sedini mungkin agar mereka dapat mengetahui cara memelihara kesehatan gigi dan mulut secara baik dan benar. Pengabaian perawatan gigi sangat penting dikenali karena hal ini berhubungan dengan pengabaian kesehatan secara umum. Alasan orang tua yang mengabaikan perawatan kesehatan gigi anaknya adalah banyak orang tua yang memiliki pemahaman yang salah bahwa gigi yang tanggal tidak penting dan perawatan gigi dapat diabaikan (Pertiwi,A.S.P, dkk.,2008). Hasil study morbiditas Survey Kesehatan Rumah Tangga dan Survey Kesehatan Nasional 2001 menunjukkan bahwa dari sepuluh kelompok penyakit terbanyak yang dikeluhkan masyarakat, penyakit gigi dan mulut 37


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

menduduki urutan pertama (60 % penduduk). Kondisi ini tentunya mempengaruhi kualitas hidup jika dikaitkan dengan gangguan produktivitas kerja (Depkes RI., 2004). Indikator derajat kesehatan gigi dan mulut pada program Indonesia diantaranya adalah kelompok usia 5-6 tahun bebas karies sebesar 90%. Hasil pemeriksaan terhadap anak di beberapa Sekolah Dasar di Kota Jambi tahun 2006 ditemukan prevalensi karies pada murid kelas VI sebanyak 94,74%, dan rata-rata tiap anak mempunyai 4 gigi yang mengalami karies. Prevalensi karies pada murid kelas I sebesar 97,3% dan tiap anak rata-rata mempunyai 7 gigi yang karies (Kurnianti.R,dkk.,2010). Kondisi ini menunjukkan bahwa status kesehatan gigi dan mulut di kota Jambi masih jauh dari yang diharapkan. Pada usia 6 tahun, gigi susu mulai tanggal satu persatu dan gigi geraham pertama mulai tumbuh. Dengan adanya variasi gigi susu dan gigi permanen bersama-sama di dalam mulut, menandai masa gigi bercampur pada anak. Namun, gigi yang baru tumbuh tersebut belum matang sehingga rentan terhadap kerusakan. Gigi berlubang pada anak dapat dicegah dengan peran serta dari orang tua. Pencegahan gigi berlubang pada anak dimungkinkan asal kita bisa menjaga lingkungan mulut agar tidak asam, yakni: dengan menjaga frekuensi makan, makan harus seimbang, memberikan anak makan besar, snack diantara makan besar hanya satu sekali, anak tidak ngemut makanan, dll. Selain itu, ada teknologi baru yakni terapi remineralisasi dengan menggunakan CPP-ACP (Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate) untuk mengembalikan gigi yg sudah hampir berlubang menjadi sehat. Peran inilah yang dapat diambil orang tua untuk dilakukan di rumah (Adyatmaka.I.,2009) Dalam rangka mencapai target Indonesia Sehat 2010, maka perlu dilakukan penelitian dengan cara memberikan penyuluhan kepada orang tua secara personal dan pengolesan bahan CPP-ACP pada murid SD Islam Al-Falah Kota Jambi yang berguna untuk mencegah terjadinya penyakit jaringan karies gigi dan penyakit jaringan periodontal yang lebih parah lagi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektifitas penyuluhan kepada orang tua secara personal dan pengolesan abhan CPP-ACP pada anak terhadap risiko terjadinya karies pada murid SD Islam Al-Falah Kota Jambi

38

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian adalah penelitian eksperimental kuasi dengan desain one group pre and post test). Populasi penelitian adalah seluruh murid kelas I Sekolah Dasar Islam Al-Falah yang beralamat di Jl.Sultan Thaha No.58 B Telanaipura Kota Jambi. Sampel diambil secara purposive sampling dengan cara penjaringan murid yang memenuhi kriteria gigi dengan kasus white spot pada gigi susu, gigi yang mempunyai fissure yang dalam pada gigi permanen, gigi yang mempunyai kasus poin 1 dan 2 dan orang tua yang bersedia menjalankan komitmen. Sampel diperoleh sebanyak 30 anak dan 30 orang tua murid (ibu). Instrumen Penelitian yang digunakan adalah: (1).Kuesioner program Donut’s Irene yang berisi 20 pertanyaan mengenai perilaku anak sehari-hari yang berhubungan dengan kesehatan gigi dan mulut, dimana hasil dari analisa akan memperlihatkan gambaran resiko karies gigi anak; (2). pH saliva adalah nilai range pH saliva yang didapat dari hasil pemantauan dengan mempergunakan kertas lakmus yang dicocokkan pada universal indicator; (3). pH plak adalah nilai range pH plak yang didapat dari hasil pemantauan dengan mempergunakan pH plak indikator kemudian dicocokkan pada universal indikator Penelitian dimulai dengan pemeriksaan pH plak dan pH saliva, kemudian dilakukan analisa resiko karies anak per individu dengan pedoman program Donut’s Irene sebagai pre test. Orang tua murid diberikan penyuluhan secara personal mengenai hal yang kurang baik dari kondisi gigi anaknya. Kemudian gigi anak diolesi dengan bahan CPP-ACP yang digosokkan dengan kapas dan selama 30 menit responden tidak boleh makan ataupun minum. Kemudian diperiksa lagi pH saliva dan pH plaknya. Dari hasil wawancara dicatat kesediaan orang tua untuk mengubah kebiasaan buruk anak. Hasil analisa resiko karies dicatat sebagai post test I. Selanjutnya bagi orang tua yang anaknya bermasalah dengan pH saliva dan pH plak dianjurkan untuk mengoles bahan CPP-ACP 2 kali sehari dirumahnya. Dua minggu kemudian dilakukan analisis faktor resiko karies dengan program Donut’Irene dan diperiksa pH plak dan pH saliva dan hasilnya dicatat sebagai post test II. Pada setiap akan dilakukan penelitian responden tidak diberitahu sebelumnya.


Rina Kurnianti, Efektivitas Penyuluhan Kepada Orang Tua

Analisa data dilakukan uji statistik dengan melakukan uji normalitas data pH plak, pH saliva dan hasil analisis resiko karies terlebih dahulu. Pada data pH plak (pre, post1 dan post2) dan pH saliva (pre, post1 dan post2) setelah uji normalitas, hasilnya tidak normal sehingga uji beda nya memakai uji non parametrik yaitu uji Wilcoxon Signed Rank Test. Kemudian untuk hasil analisis resiko karies setelah dilakukan uji normalitas hasilnya normal dan selanjutnya dilakukan uji beda memakai uji parametrik dengan uji T (Paired). Kemudian untuk hasil analisis resiko karies setelah dilakukan uji normalitas hasilnya normal dan selanjutnya dilakukan uji beda memakai uji parametrik dengan uji T (Paired).

Penelitian dilaksanakan di SD Islam AlFalah pada murid kelas 1 beserta ibunya, dan responden yang memenuhi kriteria sebanyak 30 responden murid dan 30 responden orang tua murid. Pada tabel 1. terlihat jenis kelamin murid, pendidikan orang tua murid serta kelompok usia orang tua murid. Tabel 1. Data Responden Variabel Murid : a. Laki-laki b. Perempuan Pendidikan Orang Tua : a. Bukan Sarjana b. Sarjana Usia Orang Tua : a. = 36 tahun atau kurang b. > 36 tahun

Tabel 2. Rata-rata pH Plak, pH Saliva Serta Hasil Analisis Resiko Karies Sebelum dan Sesudah diberikan Penyuluhan Kepada Orang Tua Secara Personal dan Pengolesan CPP-ACP pada Anak Analisis pH pH Plak Resiko Saliva Karies N Pre

Post1

Post2

HASIL DAN PEMBAHASAN

n

%

12 18

40 60

14 16

46,7 53,3

10 20

33,3 66,7

Responden kelompok murid terdiri dari 12 (40%) murid laki-laki dan 18 (60%) murid perempuan, sedangkan pada kelompok orang tua murid yang berpendidikan tidak mencapai sarjana sebanyak 14 (46,7%) dan berumur > 36 tahun sebanyak 20 orang (66,7%). Hasil penelitian memperlihatkan ratarata pH plak, pH saliva serta hasil analisis resiko karies sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan, serta pengolesan Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) yang nampak pada tabel 2. di bawah ini.

2011

Ratarata Standar deviasi Ratarata Standar deviasi Ratarata Standar deviasi

30

30

30

6,5500

6,7000

83,2817

0,4424

0,7020

9,1011

6,9170

6,9000

81,9817

0,1895

0,4810

10,0613

6,8000

7,0300

64,1227

0,3620

0,4900

16,1080

Dari tabel tersebut menunjukkan adanya kenaikan rata-rata pH plak dari pengamatan pertama (pre) dan kedua (post1), kemudian terjadi penurunan dari pengamatan kedua (post1) dan ketiga (post2). Namun untuk ratarata pH saliva terjadi kenaikan antara pengamatan 1(pre) dengan pengamatan kedua (post1), juga kenaikan rata-rata pada pengamatan kedua (post1) dengan pengamatan ke3 (post2). Kemudian untuk rata-rata hasil analisis resiko karies terjadi penurunan antara pengamatan 1(pre) dengan pengamatan kedua (post1), juga penurunan rata-rata pada pengamatan kedua (post1) dengan pengamatan ke3 (post2). Hasil uji normalitas pada ph plak, ph saliva serta hasil analisis resiko karies sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan kepada orang tua secara personal dan pengolesan CPP-ACP pada anak tampak pada tabel 3 di bawah ini: Tabel 3. Hasil Uji Normalitas Pada pH Plak, pH Saliva Serta Hasil Analisis Resiko Karies Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan Kepada Orang Tua Secara Personal dan Pengolesan CPP-ACP pada Anak

N

Pre (Sig.)

Post1 (Sig.)

Post2 (Sig.)

pH Plak

30

0.000

0.000

0.000

pH Saliva

30

0.000

0.000

0.000

Resiko karies

30

0.200

0.056

0.028 39


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Tabel tersebut menunjukkan hasil uji statistik untuk melihat normal tidaknya sebaran data. Dari hasil uji statistik tersebut ternyata menunjukkan untuk data pH plak serta pH saliva sebelum (pre) dan sesudah (post1 dan post2) tidak berdistribusi normal (p<0,05). Namun untuk hasil analisis resiko karies menunjukkan berdistribusi nomal (p>0,05). Dari hasil uji normalitas yang terlihat dalam Tabel 3. dapat ditentukan macam uji statistik nya yang dalam hal ini untuk melihat uji beda rata-rata. Untuk hasil uji normalitas yang menunjukkan distribusi normal atau mendekati normal maka dipakai uji statistik parametrik, sedangkan yang mempunyai distribusi tidak normal memakai uji statistik non parametrik Pada penelitian ini, untuk melihat perbedaan pH plak, pH saliva serta hasil analisis resiko karies sebelum dan sesudah diberikan penyuluhan kepada orang tua serta pengolesan CPP-ACP pada anak dilakukan Uji Beda Ratarata yang tampak pada tabel 4. berikut ini: Tabel 4. Hasil Uji Beda Rata-rata Pada pH Plak, pH Saliva Serta Hasil Analisis Resiko karies Sebelum dan Sesudah Diberikan Penyuluhan Kepada Orang Tua Secara Personal dan Pengolesan CPP-ACP pada Anak Pre – Uji Post1 Statistik (Sig.)

Pre – Post2 (Sig.)

Post1 Post2 (Sig.)

Uji Wilcoxon 30 Signed 0.001 Rank Test

0.034

0.118

Uji Wilcoxon pH Saliva 30 Signed 0.153 Rank Test

0.008

0.248

0.000

0.000

N

pH Plak

Risiko karies

30

Uji T

0.004

Uji statistik untuk melihat beda rata-rata pada pH plak dan pH saliva memakai uji satatistik non parametrik yaitu Wilcoxon Signed Rank Test karena mempunyai distribusi tidak normal. Kemudian untuk melihat beda rata-rata hasil analisis resiko karies memakai uji statistic parametrik uji T (Paired) yaitu uji yang dilakukan terhadap dua sampel yang berpasangan. Uji statistik pH plak (Tabel 4.) memperlihatkan ada perbedaan yang bermakna antara pH plak post1 dengan pH plak post2 (p>0,05), artinya antara pH plak post1 dengan post2 terjadi penurunan. Pada uji statistik pH 40

saliva ada perbedaan yang signifikan (p>0,05) yaitu pada pH saliva antara pre dan post1 serta antara post1 dengan post2. Namun uji statistik pada hasil analisis resiko karies, secara keseluruhan tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Pada tabel 4. terlihat bahwa hasil uji beda pengukuran pH saliva pre dengan post1 serta pH saliva post1 dengan post2 mempunyai perbedaan yang bermakna (p>0,05). Kondisi tersebut juga didukung data rata-rata pH saliva (Tabel. 2) yang menunjukkan pH saliva rata-rata pada pre sebesar 6,7 dan post1 sebesar 6,9, sedangkan pH saliva rata-rata pada post1 sebesar 6,9 dan post2 sebesar 7,03. Kemudian pada pH saliva antara pre dan post2 tidak mempunyai perbedaan bermakna (p<0,05). Terjadinya perbedaan bermakna tersebut menunjukkan adanya kenaikkan pH saliva rata-rata antara pre dan post1 serta antara post1 dan post2. Kenaikkan pH saliva tersebut dapat disebabkan adanya pengolesan Casein Phosphopeptide Amorphous Calcium Phosphate (CPP-ACP) yang merupakan bahan remineralisasi terhadap kekerasan gigi dan mempengaruhi juga saliva. Pengaruh pengolesan CPP-ACP adalah membuat suasana pH saliva kearah normal karena bersifat remineralisasi. Remineralisasi bisa didefinisikan sebagai suatu penempatan mineral anorganik di daerah yang sebelumnya telah kehilangan mineral-mineral tersebut (Kidd, 1992). Derajat keasaman saliva dalam keadaan normal antara 5,6–7,0 dengan rata-rata pH 6,7 (Nolte, 1982, cit. Soesilo dkk, 2005), sedang menurut Rider (1982, cit. Suwelo, 1992), pH saliva normal diantara 6,0 – 7,0. Dalam penelitian ini, memang sejak awal pH saliva sudah menunjukkan pH normal karena rata-rata pH saliva pre sebesar 6,7. Kondisi tersebut dapat disebabkan adanya pengaruh buffer saliva yaitu kemampuan saliva mempertahankan pH konstan. Kondisi tersebut sangat menguntungkan bagi responden, karena dikatakan oleh Ariningrum (2000), bahwa saliva yang mempunyai daya kerja buffer dapat berfungsi untuk menetralkan asam, sehingga dapat mencegah kerusakan gigi akibat rangsangan kimia. Pengaruh buffer saliva ini sangat kuat, karena dalam kaitannya dengan kebersihan gigi dan mulut tidak terpengaruh dengan metode menyikat gigi, memakai pasta maupun tidak. Hal ini dibuktikan dengan hasil penelitian Sari (2009) yang menyatakan bahwa tidak ada perbedaan pengaruh dari metode menyikat gigi dari kelompok pemakai pasta maupun tanpa pasta terhadap skor pH saliva.


Rina Kurnianti, Efektivitas Penyuluhan Kepada Orang Tua

Jadi adanya pengaruh buffer saliva sangat besar manfaatnya, apalagi ditambah dengan adanya pengolesan CPP-ACP, sehingga akan bertambah efektif dalam mencegah kerusakan gigi. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yudith dkk (2009), bahwa penggunaan bahan remineralisasi CPP-ACP dapat meningkatkan kembali kekerasan email gigi (hingga 22,4%) walaupun kekerasannya tidak mencapai kekerasan email awal (normal). Tabel. 4 memperlihatkan hasil uji statistik pada uji beda pengukuran analisis resiko karies pada pre dengan post1, pre dengan post2 serta analisis resiko karies pada post1 dengan post2 tidak mempunyai perbedaan yang bermakna (p<0,05). Apabila melihat tabel 2. tentang rata-rata hasil analisis resiko karies pada pre sebesar 83,2817, post1 sebesar 81,9817 dan post2 sebesar 64,1227, kondisi ini memperlihatkan bahwa penurunan rata-rata hasil analisis resiko karies pada pre, post1 dan post2 adalah tidak bermakna. Walaupun sudah mendapatkan intervensi berupa penyuluhan pada orang tua serta pengolesan CPP-ACP pada anak, akan tetapi penurunan analisis resiko karies masih kurang banyak karena masih berada diatas 50%. Tabel 5. Jumlah komitmen yang disanggupi orang tua murid serta komitmen yang belum dilaksanakan Komitmen Komitmen yang yang Jumlah disanggupi dilaksanakan

komitmen

Komitmen yang belum dilaksanakan

n

tot

n

tot

n

tot

0

0

0

3

0

0

0

1

0

0

3

3

6

6

2

2

4

11

22

6

12

3

4

12

7

21

10

30

4

6

24

3

12

4

16

5

3

15

2

10

3

15

6

7

42

0

0

0

0

7

6

42

0

0

0

0

8

1

8

0

0

0

0

TOTAL

29

147

29

68

29

79

Ratarata

5,069

2,345

2,724

2011

Dari hasil wawancara terhadap orang tua, diperoleh data komitmen orang tua yang tampak pada tabel 5. terlihat rata-rata komitmen yang disanggupi oleh orang tua dalam merubah perilaku anaknya dalam rangka memperkecil terjadinya resiko karies sebanyak 5,1 komitmen, kemudian rata-rata komitmen yang bisa dilaksanakan 2,3 dan yang belum di laksanakan sebesar 2,7. Pada pelaksanaan kegiatan promotif, responden melakukan komitmen kepada peneliti tentang kesanggupan orang tua untuk mematuhi adanya perubahan-perubahan perilaku berdasarkan pertanyaan-pertanyaan yang ada dalam kuesioner. Tabel 5 merupakan hasil akhir dari komitmen yang dapat dilaksanakan . Perbedaan bermakna pada pengukuran pH plak post1 dengan pH plak post2 adalah perbedaan negatif atau terjadi penurunan pH plak, karena kalau dilihat pada tabel 2. nampak hasil rata-rata pH plak post1 sebesar 6,9170 dan pH plak post2 sebesar 6,8. Keadaan yang menunjukkan terjadinya penurunan pH plak antara post1 dan post2 tersebut juga didukung oleh data tentang komitmen orangtua (Tabel. 5). Pada tabel tersebut terlihat bahwa dari jumlah rata-rata komitmen mengenai perubahan perilaku anak yang disanggupi oleh orangtua sebesar 5,1, dan komitmen yang dilaksanakan hanya sebesar 2,3 dan yang belum dilaksanakan sebesar 2,7. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa untuk merubah perilaku anak tidaklah mudah, perlu proses atau waktu serta ketelatenan orangtua dalam mendukung terjadinya perubahan perilaku anak. Dan peranan ibu sangat menentukan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak (Boesro dan Sagala, 1990, cit. Margareth dan Lestari, 2004). Menurut ahli psikologi yang menganut teori sosial perkembangan anak, bahwa merubah perilaku perlu penguatan. Dikatakan Andlaw dan Rock (1992), bahwa penguatan dapat diartikan sebagai pengukuhan pola tingkah laku, yang akan meningkatkan kemungkinan tingkah laku tersebut terjadi lagi dikemudian hari. Dikatakan juga bahwa tingkah laku anak merupakan pencerminan respon terhadap penghargaan dan hukuman dari lingkungannya, bentuk hadiah yang penting (merupakan faktor motivasi yang sangat penting untuk perubahan tingkah laku) adalah kasih sayang dan pengakuan yang diperoleh pertama dari orang tua nya dan kemudian dari sebayanya. Oleh karena itu, tingkah laku yang baik pada perawatan gigi, apakah itu menggosok giginya dengan baik atau bersikap 41


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

kooperatif pada perawatan operatif, harus diberi penghargaan. Pada tabel. 5 tentang komitmen orangtua, memperlihatkan bahwa dari jumlah rata-rata komitmen mengenai perubahan perilaku anak yang disanggupi oleh orangtua sebesar 5,1, ternyata komitmen yang dilaksanakan hanya sebesar 2,3. Hal ini ada kemungkinan berkaitan dengan pendidikan orang tua khususnya ibu (Tabel. 1), yaitu yang berpendidikan tidak mencapai sarjana sebanyak 14 orang (46,7%) dan yang mencapai sarjana sebanyak 16 orang (53,3%). Keadaan ini kemungkinan mempengaruhi pengetahuan mereka tentang hal kedisiplinan. Dalam merubah perilaku juga perlu disiplin diri. Menurut Schaefer (1996), cara efektif mendidik dan mendisiplinkan anak adalah membangun kerutinan dan kebiasaan yang baik yang baik antara orang tua dan anak secara persahabatan. Pelaksanaan kerutinan yang terbiasa dalam kehidupan sehari-hari adalah bentuk disiplin yang paling awal dari anak-anak, dalam mengembangkan kontrol terhadap diri sendiri dan merupakan bentuk pelatihan dasar dalam membentuk karakter anak untuk menjaga kesehatan gigi dan mulutnya sejak dini. Dan bukti nyata kedisiplinan ada kaitannya dengan jenis kelamin. Hal ini dibuktikan dengan penelitian Alvin dkk (2004), yang menyebutkan bahwa murid perempuan lebih disiplin dalam memelihara kesehatan gigi dan mulut dibandingkan murid laki-laki. Padahal pada penelitian ini responden terdiri dari 12 (40%) murid laki-laki dan 18 (60%) murid perempuan (Tabel. 1). Jadi ada kemungkinan perbandingan jumlah responden laki-laki dan perempuan tersebut juga ikut mempengaruhi pada penelitian ini. Dan masa usia sekolah dasar sebenarnya adalah masa usia yang mudah dibentuk. Menurut Soesilowindradini (1994, cit. Alvin dkk, 2004) dikatakan bahwa pada usia sekolah dasar anak sudah mampu menyesuaikan diri pada lingkungan dan mereka berada di masa pemantapan intelektual, karena pada umur ini mereka haus pengetahuan. Meskipun cara berpikirnya masih bersifat dasar, anak makin pandai dalam mengendalikan dan mengontrol dirinya sendiri (Maghie, 1996, cit. Alvin dkk, 2004). Pada masa ini anak akan memiliki rasa keingintahuan yang besar dan akan mulai belajar untuk percaya kepada orang lain dan menirukan orang lain dan memperhatikan sekitar (Hadisubrata, 1988, cit. Alvin dkk, 2004).

42

Penurunan hasil analisis resiko karies yang tampak pada tabel 4 di atas sebenarnya sangat dipengaruhi oleh perubahan perilaku itu sendiri, baik perilaku orang tua maupun anak. Ketidak bermaknaan hasil analisis resiko karies ini, disebabkan tidak konsistennya dalam berkomitmen. Hal ini didukung hasil penelitian pada tabel. 5 bahwa lebih banyak komitmen yang belum di laksanakan yaitu sebesar 2,7 dibandingkan dengan komitmen yang bisa dilaksanakan yaitu 2,3. Keadaan ini menunjukkan bahwa perubahan perilaku orang tua dalam membimbing anak serta perilaku anak itu sendiri dalam menjaga kesehatan gigi dan mulut belum optimal. Padahal perubahan perilaku anak sangat dipengaruhi oleh orang tuanya. Menurut Boesro dan Sagala (1990, cit. Margareth dan Lestari, 2004) dikatakan bahwa anak masih sangat perlu bimbingan dan dorongan dari orang tua dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan mulut, karena orang tua adalah orang pertama kali yang mengajarkan mengenai berbagai hal. Sifat anak dipengaruhi oleh orang tua dalam memberikan contoh dalam berperilaku yang baik. Untuk itu peranan orang tua khususnya ibu harus memiliki kesabaran dalam menghadapi sifat anak. Hal ini juga dikarenakan ibulah yang pertama kali mengetahui keadaan kesehatan anak. Begitu pula dengan kesehatan gigi anak masih sangat ditentukan oleh kesadaran, sikap dan perilaku serta pendidikan ibunya. Jadi dapat dikatakan bahwa pendidikan kesehatan gigi perlu peran serta masyarakat (termasuk orang tua murid). Pendidikan Kesehatan Gigi (PKG) melalui Total Quality Management (TQM) adalah kegiatan untuk menfasilitasi masyarakat sekolah sedemikian rupa sehingga akhirnya mereka dengan kemauan sendiri akan mengubah perilakunya yang meliputi pengetahuan, sikap dan ketrampilan (Astoeti, 2006)

KESIMPULAN DAN SARAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p>0,05) antara pengukuran pH plak post1 dengan pH post2, sedangkan antara pre dengan post1 dan pre dengan post2 tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Kemudian ditemukan perbedaan yang bermakna pula (p>0,05) antara pengukuran pH saliva pre dengan post1 serta pH saliva post1 dengan post2, sedangkan antara pengukuran pH saliva pre dengan post2 tidak ada perbedaan


Rina Kurnianti, Efektivitas Penyuluhan Kepada Orang Tua

bermakna (p<0,05).Sementara itu, tidak ada perbedaan yang bermakna (p<0,05) antara pengukuran analisis resiko karies pre dengan post1, pre dengan post2 serta analisis resiko karies post1 dengan post2. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat dampak jangka panjang pada pemakaian CPP-ACP. Bagi penyelenggara UKGS dan pelayanan asuhan kesehatan gigi sebaiknya mengevaluasi kegiatan promotif mengenai kesehatan gigi dan mulut yang diajarkan ke masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Adyatmaka,I.,2009, Seminar Kesehatan Gigi dan Mulut, Penabur Dental Festival, http://www.google.com/html, 6 Juni 2009. Alvin, M., Lestari, S., dan Gondhoyoewono, T., 2004, Perbedaan Disiplin Diri Anak Usia Sekolah Dasar Dalam Perawatan Kesehatan Gigi dan Mulut Ditinjau Dari Jenis Kelamin, Jurnal PDGI, Vol. 54 No. 2, Jakarta, hlm 24 – 27. Andlaw,R.J., dan Rock, W.P., 1992, Perawatan Gigi Anak, Penerbit Widya Medika, Jakarta. Ariningrum, R., 2000, Beberapa Cara Menjaga Kebersihan Gigi dan Mulut, Cermin Dunia Kedokteran, No. 126, Hal. 45 – 51. Astoeti, T.E., 2006, Total Quality Management Dalam Pendidikan Kesehatan Gigi Di Sekolah, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Carranza,E.A., 1990, Newman MG: Clinical Periodontology. 9th Ed.Philadelphia.W.B.Saunders.Hal.76 Depkes RI., 2004, Pedoman Upaya Kesehatan Gigi Masyarakat (UKGMD), hal.1,2 dan 7, Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Jakarta. Desiyanti I, 2007., Pengaruh Pasta CPP-ACP Terhadap Kekerasan Mikro Permukaan Email Gigi Tetap.Tesis, Jakarta;FKG UI, 2007 Frencken,dkk., 1999, Pedoman Perawatan Restoratif Atraumatik, hal.26, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Ismiyatin., 2002, Hubungan Efektivitas Buffer Saliva dengan Intensitas Karies, library@lib.inair.ac;libunair@indo.net.id Kidd, E.A.M., Bechal,S.J., 1992, Dasar-dasar Karies Penyakit dan Penanggulangannya, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Kurnianti,R.,Rosmawati., 2010, Status Kesehatan Gigi dan Mulut Murid Taman Kanak-Kanak di Kota Jambi Th 2009, Majalah Pemberitaan Ilmiah Percikan (Ikatan Keluarga Besar Universitas Jambi-Bandung,Vol 115,Edisi Agustus 2010,Hal.77-84

2011

Machfoedz,I., Suryani, E., 2007, Pendidikan Kesehatan Bagian dari Promosi Kesehatan, hal.20, Fitramaya, Yogyakarta. Margareth, I., dan Lestari,S., 2004, Gambaran Keadaan Kebersihan Mulut Dan Karies Gigi Pada Anak Pra Sekolah Di TK Wijaya Kusuma, Jakarta Selatan, Jurnal PDGI, Vol. 54 No. 2, Jakarta, hlm 19 – 23. Notoatmodjo.S.,2007, Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku, hal.8-11, 18,133-134, 136, 139144,Rineka Cipta, Jakarta. Nyoman,S., 2002, Penilaian Status Gizi, Kedokteran Jakarta, EGC, Jakarta Pertiwi,A., 2007, Gambaran Pola Karies Gigi Permanent Ditinjau Dari Dental Neglect, http://www.google.com/html, 25 Oktober 2010. Pratiwi,D., 2007, Gigi Sehat , hal.64-65, Kompas, Jakarta. Riyanti, E., 2005, Pengenalan dan Perawatan Kesehatan Gigi Anak Sejak Dini, http://www.google.com/html, 25 Oktober 2010. Roeslan, B.O, Sudjana, M.R., 1996, Pola pH Air Liur Setelah Mengunyah Permen Karet dengan Pemanis Sorbitol dan Pemanis Sukrosa, Majalah Ilmiah Kedokteran Gigi FKG Usakti, Edisi Khusus Forum Ilmiah V, hal.477-82 Santoso, S., 2008, Panduan Lengkap Menguasai SPSS 16, PT Elex Media Komputindo, Jakarta. Sari, D.S., Rudi, D., dan Kurnianti, R., 2009, Efektifitas Metode Menyikat Gigi Terhadap Skor Plak Serta pH Saliva, Jurnal Poltekkes Jambi, Jambi, hlm 1 – 9. Schaefer,C., 1996, Cara Efektif mendidik dan Mendisiplinkan Anak, Edisi ke-3 Mitra Utama, Jakarta. Schuurs,H.B, 2001., Patologi Gigi-Geligi: Kelainankalainan Jaringan Keras Gigi, Gadjah Mada University Press Soesilo, D., Santoso, R.E., Diyatri, I., 2005, Peranan Sorbitol Dalam Mempertahankan Kestabilan pH Saliva Pada Proses Pencegahan Karies, Majalah Ked. Gigi (Dent. J.), Vol. 38, No. 1, Hal. 25 – 28. Sriyono,N.W.,2005, Ilmu Kedokteran Gigi Pencegahan, hal:54-56, Medika Fakultas Kedokteran UGM, Yokyakarta. Suwelo, I.S., 1992, Karies Gigi Pada Anak Dengan Faktor Etiologi, Penerbit Buku Kedokteran (EKG), Jakarta. Tarigan.R,1990.,Karies Gigi, hal.1, 47-49, Hipokrates, Jakarta. Yudith, A., Eriwati, Y.K., dan Noerdin, A., 2009, Efek Bahan Remineralisasi Terhadap Kekerasan Email Gigi Setelah Pemutihan Dengan Hidrogen Peroksida 38% (Penelitian In Vitro), Jurnal PDGI, Vol. 58, No.3, Jakarta, hlm 110 – 115.

43


2011

Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

KEBUTUHAN DAN PERMINTAAN PERAWATAN ORTHODONSI PADA MAHASISWA POLTEKKES JAMBI TAHUN 2011 Naning Nur Handayatun, Valentina NK, Parlindungan Situmeang Jurusan Kesehatan Gigi Politeknik Kesehatan Jambi ABSTRAK Maloklusi perlu diperbaiki dengan perawatan orthodonsi. Perlunya memperbaiki fungsi rongga mulut serta penampilan pribadi berkaitan dengan kebutuhan dan permintaan perawatan orthodonsi pada usia remaja yang dipengaruhi oleh banyak faktor. Saat ini data mengenai maloklusi di propinsi Jambi belum ada sama sekali. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kebutuhan (need) dan permintaan (demand) perawatan orthodonsi pada mahasiswa Poltekkes Jambi tahun 2011. Jenis penelitian berupa survei analitik. Populasi adalah mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011 dengan jumlah sampel sebanyak 163 orang yang diambil secara proposional random sampling dari Jurusan Kesehatan Lingkungan, Kesehatan Gigi, Kebidanan dan Keperawatan. Pengambilan data dilakukan dengan mencetak gigi rahang atas dan rahang bawah kemudian dianalisa dengan menggunakan HLD Index dan HMA Index serta wawancara. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa Poltekkes Jambi yang memerlukan perawatan orthodonsi berdasarkan HLD Index dengan phisical handicap, sebanyak 46,9%. Mahasiswa Poltekkes Jambi yang memerlukan perawatan orthodonsi berdasarkan HMA Index dengan kelainan gigi dalam satu rahang sebanyak 98,8%, berdasarkan kelainan oklusi pada gigi anteriorsebanyak 51,9%, berdasarkan kelainan oklusi pada gigi posterior sebanyak 87,7%. Besarnya permintaan akan perawatan orthodonsi pada mahasiswa Poltekkes Jambi sebanyak 69,1% dan faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap perawatan ortodonti pada mahasiswa Poltekkes Jambi adalah dana 55,6%, waktu 25,3 %, lain-lain17,9% dan jarak1,2 % Kata kunci : maloklusi,kebutuhan, permintaan,HLD Index, HMA Index,

PENDAHULUAN

Pada tahun 1962, WHO telah memasukkan topik maloklusi sebagai anomali dentofasial yang menyebabkan cacat dan mengganggu fungsi serta memerlukan perawatan jika cacat atau gangguan fungsi tersebut dapat menyebabkan atau kemungkinan dapat menyebabkan rintangan bagi kesehatan fisik maupun emosional dari pasien. Prevalensi maloklusi di Indonesia tahun 2006 adalah 89% dan pada remaja di Medan 60% (Dewi, 2007). Menurut Dewanto (1993), penelitian pada remaja di Hungaria th 2010 ditemukan bahwa angka DMFT/DMFS dan skor plak pada responden yang maloklusi secara signifikan lebih tinggi dari pada yang tidak ada maloklusi. Hal ini berkaitan dengan kerentanan terhadap karies dan retensi plak pada gigi yang crowded (Masdin, 2010). Pada usia 18 th remaja sudah dapat memutuskan kebutuhan untuk diri sendiri termasuk penampilan pribadi. Pada umur tersebut pertumbuhan gigi pada rahang atas dan rahang bawah sudah lengkap. Penelitan Tod 44

dan Taverne (1997) menunjukkan bahwa kejadian gigi berjejal posterior dan cross bite anterior meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Saat ini, data mengenai kejadian maloklusi yang membutuhkan perawatan orthodonsi di Propinsi Jambi belum ada. Orthodonsi merupakan salah satu cabang ilmu Kedokteran Gigi yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari pertumbuhan struktur jaringan pendukung gigi (kraniofasial), perkembangan oklusi gigi geligi serta mempelajari cara pencegahan dan perawatan kelainan dentofasial termasuk maloklusi untuk mendapatkan oklusi yang sehat, seimbang, stabil dan estetik menyenangkan. Maloklusi adalah segala keadaan yang menyimpang dari oklusi yang diterima sebagai bentuk standar yang normal. Pada umumnya manusia lebih mudah mengenal keadaan yang abnormal dari pada yang normal, padahal untuk bisa menilai atau menyatakan keadaan yang abnormal harus terlebih dahulu memahami keadaan yang normal. Jadi untuk bisa menilai malokusi harus mempelajari oklusi normal.


Naning N.H., Kebutuhan dan Permintaan Perawatan Orthodonsi

Oklusi normal menurut Angle (cit Dewanto,1993) adalah apabila tonjol mesiobukal gigi molar pertama permanent maksila berkontak dengan lekuk bukal gigi molar pertama permanen mandibula, dan apabila disertai lengkung gigi maksila dan mandibula dalam keadaan baik, maka didapat oklusi yang ideal. Selanjutnya Angle mendefenisikan oklusi normal sebagai hubungan dari bidang-bidang inklinasi tonjol gigi pada saat kedua rahang atas dan bawah dalam keadaan tertutup, disertai kontak proksimal dan posisi aksial semua gigi yang benar dan keadaan pertumbuhan, perkembangan posisi dan relasi antara berbagai macam jaringan penyangga gigi yang normal pula. Maloklusi dapat menjadi faktor pencetus terjadinya penyakit gigi dan mulut antara laian masalah periodontal yang potensial atau berat ada hubungannya dengan tumpang gigit yang sangat dalam dan malposisi gigi individual yang sangat berat (Ramfjord & Ash, 1981 cit Dewanto, 1993). Adapun pengertian oklusi ialah berkontaknya permukaan oklusal gigi geligi di rahang atas dengan permukaan oklusal gigi geligi di rahang bawah pada saat rahang atas dan bawah menutup. Indeks HLD (Handicapping Labio-lingual Deviation Index) digunakan untuk menilai kebutuhan akan perawatan orthodonsi. Indeks ini disusun oleh Draker pada tahun 1960, sebagai cara penilaian yang obyektif bagi epidemiologi maloklusi. Menurut Draker (1960, cit Dewanto,1993), menyatakan bahwa metode ini sederhana, objektif, dan penilaian maloklusi dapat dilakukan langsung pada subyek yang diteliti atau pada model gigi tanpa menggunakan alat khusus. Penilaian maloklusi dengan Handicapping Malocclusion Assesment Index (HMA Index) digunakan untuk melengkapi cara menentukan prioritas perawatan orthodonsi menurut keparahan maloklusi yang dapat dilihat pada besarnya skor yang tercatat pada lembar isian tersebut. Saat ini, data mengenai kejadian maloklusi yang membutuhkan perawatan orthodonsi di Propinsi Jambi belum ada. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya kasus maloklusi dan kebutuhan perawatan orthodonsi pada mahasiswa Poltekkes Jambi serta mengetahui seberapa besarnya permintaan akan perawatan orthodonsi dan faktor – faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap perawatan orthodonsi tersebut.

2011

BAHAN DAN CARA KERJA Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Politeknik kesehatan Jambi dari empat jurusan yaitu Jurusan Kebidanan, Jurusan Keperawatan, Jurusan Kesehatan Gigi, dan Jurusan Kesehatan Lingkungan dengan jumlah 1082 mahasiswa. Pengambilan sampel dilakukan secara proporsional random sampling dengan jumlah sampel sebanyak 15% dari populasi (Surakhmad) yaitu sebanyak 162 orang untuk semua jurusan. Jumlah sampel untuk mahasiswa Jurusan Kesehatan Gigi sebanyak 26 orang, Jurusan Keperawatan 46 orang, dari Jurusan Kebidanan 63, dan 27 orang mahasiswa dari Jurusan Kesehatan Lingkungan. Variabel dalam penelitian ini adalah1) kebutuhan perawatan orthodonsi (need). 2) Permintaan perawatan orthodonsi (demand) adalah kebutuhan perawatan orthodonsi dilihat dengan pengukuran adanya tidaknya phisical handicap dan maloklusi dengan cara mencetak gigi responden dengan alat sendok cetak dan bahan alginate kemudian dilakukan pengisian dengan gips stone. Studi model yang diperoleh dianalisa untuk melihat phisical handicap dengan Handicapping Labio Lingual Deviation Index (HLD Index) oleh Draker (1960. cit Dewanto 1993). Ciri maloklusi dinilai dengan pemberian skor sbb: Tabel 1. Format Pengukuran dengan Handicapping Labio Lingual Deviation Index (HLD Index) oleh Draker (1960. cit Dewanto 1993). Macam/ciri maloklusi

Skor

Celah langit Penyimpangan traumatik berat Jarak gigit (dalam mm) Tumpang gigit (dalam mm) Protusi mandibula Gigitan terbuka (dalam mm) Erupsi ektopik,hanya gigi depan (tiap gigi) Gigi berjejal anterior: Maksila,Mandibula.....tiap rahang Penyimpangan labio lingual (dalam mm)

Skor 15 Skor 15 ............ ............ X5 X4 X3 ............

............

Jumlah skor

45


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Jika skor sama atau lebih besar dari 13 berarti ada phisical handicap yang memerlukan perawatan orthodonsi Besarnya / keparahan maloklusi dinilai dengan Handicapping Malocclusion Assesment Index (HMA Index) oleh Salzman (1967, cit Dewanto 1993). Penyimpangan gigi dalam 1 (satu ) (intra arch deviation): gigi absen, gigi berjejal, gigi rotasi, gigi renggang. Skor untuk setiap gigi anterior rahang atas (4 gigi incisivus) yang terkena : 2. Skor untuk setiap gigi posterior atas dan setiap gigi rahang bawah : 1 Kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi: Pada segmen anterior : jarak gigit (over jet), tumpang gigit (over bite), gigitan silang ( cross bite), Gigitan terbuka ( open bite). Setiap segmen anterior yang terlibat skor 2. Segmen posterior: Kelainan antero posterior,Gigitan silang, gigitan terbuka. Untuk setiap gigi yang terlibat diberi skor 1 Permintaan perawatan orthodonsi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya diukur dengan menggunakan pedoman wawancara HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengukuran dengan HLD Idex ditemukan tidak ada satupun mahasiswa Poltekkes Jambi yang mempunya skor 0, artinya setiap mahasiswa mempunyai kelainan meskipun sangat kecil. Rekomendasi perawatan berdasarkan HLD Index disajikan pada tabel 2. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Besarnya Kasus Maloklusi Yang Memerlukan Perawatan Orthodonsi Berdasarkan HLD Index Pada Mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011 Skor IAD

N

0

2

% 1,2

>0

160

98,8

Total

162

100

Tabel 3. Distribusi Frekuensi Besarnya Kasus Penyimpangan Gigi Pada Satu Rahang (IAD) Pada Mahasiswa Poltekkes Jambi tahun 2011 Skor HLD

N

%

0

0

0

<13

86

53,1

>13

76

Total

162

Keterangan Tidak ada kasus

46,9

Ada kasus

Berdasarkan Tabel 2 ternyata meskipun seluruh responden mempunyai kelainan pada rongga mulutnya namun tidak semuanya memerlukan perawatan orthodonsi. Uji Mann Whitney untuk melihat perbedaan antara yang perlu perawatan dan tidak perlu perawatan ternyata dihasilkan sig = 000. Dengan demikian bahwa mahasiswa yang perlu perawatan

46

terbukti lebih sedikit dibanding yang perlu perawatan. Hasil ini bukan berarti semua mempunyai kelainan karena di dalam HLD Index terdapat item pemeriksaan jarak gigit dan tumpang gigit dalam ukuran mm sedangkan ukuran normal jarak gigit dan tumpang gigit normal adalah 0-3 mm sehingga untuk responden Untuk melihat adanya kasus pada masing-masing gigi geligi dan hubungan antara ke dua rahang maka digunakan juga HMA Index. Pada penilaian dengan Handicapping Malocclusion Assesment Index (HMA Index)dinilai Intra Arch deviation danmenilai Inter Arch deviation pada segmen anterior dan Posterior. Penyimpangan gigi pada satu rahang (Intra Arch deviation) yang meliputi jumlah gigi absen,gigi berjejal, gigi rotasi dan gigi renggang(Dewanto,1993). Hasil penilain pada responden diperoleh hasil yang tampak pada tabel 3. Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat bahwa hanya ada 2 (dua) mahasiswa yang tidak mempunyai gigi absen, gigi berjejal maupun gigi yag rotasi dan gigi renggang. Gigi yang sudah dihitung berjejal maka tidak dimasukkan lagi pada gigi rotasi, demikian juga sebaliknya. Pada penelitian ini kasus gigi absen juga banyak ditemukan pada segmen posterior dimana gigi sudah dicabut atau sudah menjadi radiks dan harus dicabut.

Keterangan Tidak ada kelainan Ada kasus tetapi Tidak perlu perawatan Ada kasus dan Perlu Perawatan

100

Selain itu HMA Index juga menilai kelainan hubungan gigi kedua rahang dalam keadaan oklusi (Inter Arch Deviation) pada segmen anterior yang meliputi jarak gigit, tumpang gigit, gigitan silang dan gigitan terbuka. Hasil pemeriksaan ada tidaknya malposisi pada segmen anterior dengan IAD dapat dilihat pada tabel 4.


Naning N.H., Kebutuhan dan Permintaan Perawatan Orthodonsi

Tabel 4. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Maloklusi Pada Segmen Anterior (IAD segmen Anterior) pada Mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011 Skor IAD Anterior 0 (Tidak ada kasus maloklusi) >0 (Ada kasus maloklusi)

N

%

78

48,1

84

51,9

162

100

Dari tabel 4 terlihat bahwa pada segmen anterior tenyata ada 48,1% mahasiswa yang tidak mempunyai kelainan jarak gigit, tumpang gigit, gigitan silang dan gigitan terbuka. Hasil uji Mann Whiteney menunjukkan bahwa kelompok yang maloklusi lebih banyak dari pada yang normal secra signifikan (sig=0,000) Inter Arch Deviation pada segmen posterior ada tidaknya maloklusi hubungan gigi rahang atas terhadap rahang bawah yang dilihat pada relasi gigi molar satu dan gigi caninus, gigitan silang dan gigitan terbuka. Hasil pengukuran pada segmen posterior dapat dilihat pada tabel 5. Tabel 5. Distribusi Frekuensi Hasil Pemeriksaan Maloklusi Pada Segmen Posterior (IAD Segmen Posterior) pada Mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011 Skor HMA

Skor HMA secara keseluruhan dilakukan dengan menjumlahkan Intra Arch Deviation dani Inter Arch Deviation pada segmen anterior dan posterior yang disebut dengan Skor Kasus. Data mengenai skor kasus disajikan pada tabel 6. Tabel 6. Distribusi Frekuensi Skor Kasus HMA Index pada Mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011 Skor IAD Posterior

Total

N

%

0 (Tidak ada kasus maloklusi/normal) <25 ( maloklusi tidak perlu perawatan) >25 (maloklusi perlu perawatan)

2

1,2

145

89,5

25

9,3

Total

162

100

Hasil pemeriksaan pada segmen posterior ternyata hanya 12,3% mahasiswa yang tidak mempunyai kelainan hubungan gigi rahang atas terhadap rahang bawah, gigitan silang dan gigitan terbuka. Setelah diuji dengan Uji Mann Whiteney ternyata kelompok yang normal terbukti lebih sedikit dari pada yang kelompok maloklusi (sig=0,000).

2011

0

(Tidak ada kasus maloklusi/normal) >0

(Ada kasus maloklusi) Total

N

%

20

12,3

142

87,7

162

100

Dari tabel 6 terlihat bahwa hanya ada 2 (dua) atau 1,2% mahasiswa yang benar benar mempunyai gigi normal tanpa kasus maloklusi. Selain dilakukan pemeriksaan juga dilakukan wawancara mengenai pengetahuan mahasiswa mengenai kegunaan kawat gigi, kesadaran mhasiswa akan adanya maloklusi pada dirinya, kesadaran akan perlunya perawatan orthodonsi pada dirinya, motivasi untuk mencari perawatan dan factor apa yang mengahambat pencarian perawatan tersebut. Bila dibandingkan dengan penilain mahasiswa terhadap dirinya sendiri mengenai keadaan gigi-geliginya, ternyata hanya 24,7 % yang merasa giginya kurang rapi dan hanya 14 yang merasa merasa memerlukan perawatan orthodonsi. Hal ini menunjukkan persepsi yang berbeda antara praktisi kesehatan gigi dan masyarakat pada umumnya dalam menilai maloklusi. Responden tidak melihat kasus maloklusi yang ada pada gigi posterior seperti relasi molar satu dan gigi absen. Penilaian responden terhadap kelainan susunan gigi hanya pada gigi anterior yang berhubungan dengan nilai estetis saja. Hasil wawancara mengenai pengetahuan mahasiswa mengenai kegunaan kkawat gigi tersebut ternyata sebagian besar mahasiswa sudah mengetahui kegunaan perawatan orthodonsi (87%) namun ternyata ada juga yang menganggap bahwa kawat gigi hanya digunakan sebagai aksesori saja (6%).Seabnayak 1,2% menganggap bahwa selain untuk merapikan gigi kawat gigi juga dapat digunakan sebagai aksesori dan sisanya 11,1% tidak mengetahui kegunaan kawat gigi.

47


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Kesadaran mahasiswa akan adanya maloklusi pada dirinya yaitu dengan menanyakan apakah responden merasa ada kekurangan pada susunan giginya dan adakah gangguan yang dirasakan sehubungan dengan keaadaan gigi geliginya Dapat dilihat bahwa 70,4% mahasiswa yang merasa bahwa susunan giginya sudah rapi/ tidak ada kelainan,4,9% tidak tahu dan 24,7% merasa giginya tidak rapi. Persepsi mahasiswa entang maloklusi berbeda degan pengeukuran dengan HMA Index yang ternyata hanya 1,2% mahasiswa yang bener benar tidak mempunyai kelainan pada giginya. Untuk itu perlu diberikan penyulukan tentang oklusi normal dan akibat dari oklusi yang tidak normal. Kesadaran akan perlunya perawatan orthodonsi pada masing-masing responden disajikan pada tabel 8. Tabel 7 Kesadaran Mengenai Perlunya Perawatan Pada Diri Mahasiswa Poltekkes Jambi Tahun 2011. Kesadaran akan perlunya perawatan n Persen orthodonsi Tidak tahu

7

4,3%

Perlu perawatan

131

80,9%

Tidak perlu

24

14,8%

Total

162

100%

2. Berdasarkan kelainan gigi dalam satu rahang, sebanyak 98,8% mahasiswa Poltekkes Jambi memerlukan perawatan orthodonsi. 3. Berdasarkan kelainan oklusi pada gigi anterior, sebanyak 51,9% mahasiswa Poltekkes Jambi memerlukan perawatan orthodonsi 4. Berdasarkan kelainan oklusi pada gigi posterior, sebanyak 87,7% mahasiswa Poltekkes Jambi memerlukan perawatan orthodonsi. 5. Besarnya permintaan akan perawatan orthodonsi pada mahasiswa Poltekkes Jambi sebanyak 69,1%. 6. Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan terhadap perawatan ortodonti pada mahasiswa Poltekkes Jambi adalah dana 55,6%, waktu 25,3 %, lain-lain17,9% dan jarak 1,2 % Saran 1. Bagi mahasiswa yang masuk dalam kategori ada Phisical handicap disarankan untuk berkonsdultasi dengan dokter gigi untuk mendapatkan perawatan orthodonsi. 2. Perlu penelitian selanjutnya tentang maloklusi dengan index yang lain dan dengan digabungkan dengan pemeriksaan klinis. DAFTAR PUSTAKA

Meskipun banyak yang merasa bahwa giginya rapi namun 80,9% mahasiswa merasa perlu perawatan orthodonsi. Namun ada juga yang tak menginginkan perawatan tersebut. Dalam hal ini dilakukan wawancara mengenai motivasi responden untuk mencari perawatan orthodonsi. Dari 80,9 % yang merasa perlu perawatan ternyata hanya 69,1% yang berkeinginan untuk mencari perawatan. Faktor terbesar yang menyebabkan responen belum mencari perawatan รกdalah dana yaitu 90% ,waktu 41% jarak 1% dll17,9%

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Berdasarkan phisical handicap, sebanyak 46,9% mahasiswa Poltekkes Jambi memerlukan perawatan orthodonsi

48

Dewi,O..2007, Analisis Hubungan Maloklusi Dengan Kualitas Hidup pada Remaja SMU di Kota Medan Tahun 2007, http//library.usu.ac.id/index .php Foster.TD, 1999, Buku Ajar Orthodonsi, Penerbit Buku Kedoktern EGC, Jakarta. Fedi, P.F, Vernino, A.R., Gray, J.L., 2005, Silabus Periodonti, EGC, Jakarta. Masdin 2010, Prevalensi Maloklusi Pada Remaja di Hungaria, www.pajjakado.co.tv/2010/02/prevalensi Nazir, M, 1985, Metoda Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. Pratiknya, A.W., 1993, Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Dewanto,H, 1993, Aspek-Aspek Epidemiologi Maloklusi,Gadjah Mada University Press, Yogyakarta


Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

2011

PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN UPAYA REMAJA DALAM MENANGGULANGI NYERI HAID DI SMA NEGERI I KOTA JAMBI TAHUN 2009

Indarmien Netty Staf Pengajar Jurusan Kebidanan Poltekkes Jambi

ABSTRAK Nyeri haid (dysmenorhe) merupakan salah satu gangguan haid yang sering dialami wanita yang timbul sebelum dan sesudah haid, dapat bersifat subyektif dan intensitasnya sukar dinilai. Pada waktu peneliti melakukan survey awal terhadap 30 orang siswi, didapat 25 orang siswi tidak dapat mengatasi nyeri haid, 4 orang harus meninggalkan aktifitas sehari-hari dan 1 orang harus mengkonsumsi obat untuk mengurangi nyeri haid. Faktor pendukung terjadinya nyeri haid adalah faktor kejiwaan, konstitusi, obstruksi kanalis servikalis, endokrin dan alergi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat Gambaran Pengetahuan, Motivasi dan upaya Remaja dalam Menanggulangi Nyeri Haid di SMA Negeri 1 Kota Jambi Tahun 2009. Rancangan penelitian ini bersifat deskriptif, besarnya sampel diperoleh dengan menggunakan teknik total sampling pada populasi yang berjumlah 202 orang dengan total sampel 202 orang. Data yang diperoleh merupakan data primer melalui pengisian kuesioner oleh responden. Selanjutnya data diolah dan dianalisis secara univariat. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 6 -11- 2009. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 202 responden didapatkan 131 (64,9 %) masih berpengetahuan rendah tentang nyeri haid, 71 responden (35,1%) memiliki pengetahuan tinggi tentang nyeri haid, dan 130 responden (64,36%) yang memiliki tingkat motivasi tinggi dan 72 responden (35,64%) memiliki tingkat motivasi rendah, adapun upaya mengatasi nyeri haid masih kurang yaitu sebanyak 85 responden (42,08%) dan 117 responden (57,92%) mempunyai upaya yang baik dalam menanggulangi nyeri haid.Adapun responden yang tidak minum obat walaupun mengalami nyeri haid 65,3 %, dan 16,3% minum Feminax, 7,4 % minum Kiranti dan 4,5% minum jamu, selanjutnya masih ada 10 jenis obat yang diminum dan dibeli langsung oleh siswi baik di apotik maupun toko. Untuk meningkatkan pengetahuan, motivasi dan upaya siswi dalam menanggulangi nyeri haid, bimbingan dan binaan dari orang-orang terdekat sangat berperan dalam hal ini, pada saat disekolah teman ataupun guru sedangkan di lingkungan rumah orang tua ataupun saudara sehingga siswi dalam menghadapi nyeri haid merasa aman. Bagi peneliti lain agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dengan variabel yang berbeda dan dapat mengembangkan hasil penelitian ini menjadi lebih sempurna. Kata kunci : Nyeri haid, pengetahuan, motivasi, upaya menanggulangi

PENDAHULUAN Pada remaja terjadi perubahanperubahan emosi, pikiran, lingkungan pergaulan dan tanggung jawab yang dihadapi. Pada masa ini remaja akan mulai tertarik pada lawan jenis. Perubahan yang biasanya terjadi pada remaja perempuan pada saat sebelum menstruasi adalah mereka akan menjadi sangat sensitif, emosional dan khawatir tanpa alasan yang jelas (Diane, dkk, 1995:70). Pada masa pubertas, hormon-hormon wanita yang kuat “estrogen dan progesteron� mulai menciptakan sebuah siklus fertilitas. Setiap bulan, ovarium melepaskan sebuah telur yang keluar melalui salah satu dari dua tuba

falopii yang menghubungkan ovarium dengan rahim. Jika telur tidak dibuahi maka telur tersebut akan dikeluarkan dari dalam tubuh pada saat menstruasi / menarche (Owen, 1995:152). Menstruasi yaitu meluruhnya jaringan endometrium karena tidak adanya telur matang yang dibuahi oleh sperma. Peristiwa ini sangat wajar dan alami karena setiap wanita normal pasti akan mengalami proses ini (Http://www.Ipin4.esmartstudent.com/2009/05/1 8/haid.Htm). Pada kenyataannya banyak wanita yang mengalami masalah pada saat menstruasi, diantaranya adalah rasa nyeri yang timbul tak lama sebelum atau bersama-sama dengan haid 49


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

dan dapat berlangsung untuk beberapa jam sampai beberapa hari. (Http://Asrina1986.blongs.Friendster.com/18/05/ 2009). Nyeri haid mungkin merupakan suatu gejala yang paling sering menyebabkan wanitawanita muda pergi ke dokter untuk konsultasi dan pengobatan. Karena gangguan ini sifatnya subyektif, berat atau intensitasnya sukar dinilai. Menurut sebuah penelitian epidemiologi, prevalensi kejadian nyeri haid di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 45-90%. Dari penelitian yang sama juga didapati nyeri haid berpengaruh terhadap tingkat ketidakhadiran baik dalam pekerjaan maupun proses belajar mengajar. 1351% juga didapati wanita absen dalam aktivitasnya. (Http://Asrina1986.blongs.Friendster.com/ 18/05/2009). Hal ini terjadi juga pada siswi di SMA 1 Jambi, siswi yang rata rata usia antara 15- 17 tahun adalah termasuk remaja yang sudah mengalami mens secara teratur. SMA Negeri 1 Kota Jambi dipilih sebagai lokasi penelitian karena masih ada terdapat beberapa siswi yang mengaku mengalami nyeri haid pada saat haid dan belum mengetahui bagaimana cara mengatasinya dengan benar, juga pernyataan beberapa guru yang mengatakan bahwa sering siswi yang sedang haid menahan kesakitan sampai kadang tidak bisa mengikuti pelajaran. Selain itu SMA Negeri 1 merupakan salah satu SMA terbaik di Kota Jambi dan memiliki tingkat kecerdasan yang cukup tinggi serta jumlah siswi yang ada relatif besar karena memiliki kelas reguler, kelas cerdas istimewa, kelas Unggulan dan memiliki Kelas Berstandar Internasional. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di SMA Negeri 1 Kota Jambi dengan menggunakan kuesioner pada tanggal 11 Juli 2009 terhadap 30 orang siswi 25 orang siswi tidak dapat mengatasi nyeri haid, 4 diantaranya mengaku harus meninggalkan aktivitas seharihari pada hari pertama datang haid dan 1 siswi mengaku rutin mengkonsumsi obat untuk mengurangi rasa nyeri pada saat haid. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya Gambaran Pengetahuan, Motivasi dan Upaya Remaja dalam menanggulangi Nyeri Haid di SMA Negeri 1 Kota Jambi tahun 2009” BAHAN DAN CARA KERJA Sebagai bahan acuan dalam penelitian ini, kerangka teori yang digunakan adalah teori

50

Green ( 1980 ) yang dapat digambarkan sebagai berikut :

Bagan 1 Kerangka Teori Faktor Predisposisi :  Pengetahuan  Motivasi  Sikap  Tradisi  Kepercayaan  Nilai 1 Faktor Enabling :  Tersediannya Sarana Kesehatan  Akses Sarana Kesehatan  Prioritas dan Komitmen Masyarakat atau Pemerintah Terhadap Kesehatan

Perilaku Kesehatan

2

5 4 3

Faktor Reisforcing :  Keluarga  Teman  Guru  Majikan  Petugas Kesehatan

Sumber : Lawrence W.Green, (1980:71, Health Education Planning A Diagnostic Approach dalam Notoatmodjo 2005:60. Catatan : Garis utuh menunjukan pengaruh langsung dan garis putus-putus menunjukan pengaruh tidak langsung, nomor menunjukan kira-kira urutan terjadinya tindakan

Berdasarkan kerangka teori di atas, kerangka konsep pada penelitian ini disesuaikan dengan teori Green (1980:120) bahwa perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu faktor predisposisi (predisposing faktor) meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, motivasi, keyakinan nilai, faktor pendukung (enabling faktor) meliputi ketersediaan sumber dan fasilitas, keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat atau pemerintah terhadap kesehatan dan faktor pendorong (reinforcing faktor) meliputi sikap dan


Indarmien Netty, Pengetahuan, Motivasi dan Upaya Remaja

perilaku petugas, dukungan keluarga, dukungan tokoh masyarakat dan dukungan teman sebaya. Karena keterbatasan penulis dari segi waktu dan kemampuan dalam melakukan penelitian maka penulis hanya memasukan faktor predisposisi yaitu variabel motivasi dan pengetahuan, tidak memasukan faktor pendukung dan faktor pendorong sehingga yang menjadi variabel penelitian hanya dibatasi pada teori Green, yaitu perilaku khusus yang dipengaruhi oleh faktor pengetahuan (knowledge), Motivasi dan upayanya dalam mengatasi nyeri haid. Bagan 2 Kerangka Konsep Penelitian - Pengetahuan

- Motivasi

Remaja dalam menanggulangi Nyeri haid

- Upaya

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui oleh responden tentang hal yang berkaitan dengan menstruasi, dysmenorhea atau nyeri haid, upaya penanggulangan dysmenorhea atau nyeri haid yang diukur menggunakan angket kuisioner. Skala ordinal hasil pengukuran dibagi menjadi rendah (<76%) dan tinggi (≼76%). (arikunto,1997:246). Motivasi adalah dorongan responden tentang hal yang berkaitan dengan menstruasi, dysmenorhea atau nyeri haid dan upaya penanggulangan dysmenorhea atau nyeri haid. Hasil pengukuran dibagi menjadi rendah jika nilai < median dan tinggi jika nilai > median. Upaya adalah segala sesuatu usaha remaja dalam penanganan nyeri haid. Hasil pengukuran dibagi menjadi kurang baik jika nilai < median dan baik jika nilai > median. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang di teliti (Notoatmodjo, 2002:79). Berdasarkan pengertian di atas dapat di simpulkan bahwa populasi yang di maksud dalam penelitian ini adalah semua siswi SMA Negeri 1 Kota Jambi tahun 2009 yang pernah mengalami nyeri haid yaitu sebanyak 202 orang siswi. Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto, 2002:131). Sampel dalam penelitian ini adalah, semua siswi

2011

yang ada pada hari Jumat tanggal 6 November 2009 dan pernah mengalami haid dan bersedia menjadi responden, Kelas X 79 responden, Kelas XI 67 responden dan XII 56 responden, di SMA Negeri 1 Kota Jambi tahun 2009 yang pernah mengalami nyeri haid yaitu sebanyak 202 orang siswi, dan diambil secara keseluruhan atau total sampel. Cara pengambilan sampel pada penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik total sampling, yang dilakukan dengan menggunakan kuesioner pada hari Jumat tanggal 6 November 2009 pada siswi SMA Negeri 1 Kota Jambi, penulis dibantu mahasiswa jurusan kebidanan dalam medistribusikan kuesioner. Kriteria Sampel yaitu siswi SMA Negeri 1 Kota Jambi Tahun 2009, kelas X, XI dan XII yang pernah mengalami nyeri haid dan bersedia menjadi responden. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi data primer yaitu data yang didapatkan langsung dari responden yang mengalami nyeri haid dengan cara pengisian kuesioner di SMA Negeri 1 Kota Jambi. Instrumen penelitian yang digunakan adalah kuesioner dengan menggunakan pertanyaan terstruktur, dan satu pertanyaan terbuka untuk mencari informasi yang lengkap mengenai gambaran Pengetahuan, Motivasi dan Upaya remaja dalam menanggulangi nyeri haid di SMA Negeri 1 Kota Jambi. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yaitu suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk mengetahui gambaran Pengetahuan, Motivasi dan upaya Remaja dalam Menanggulangi Nyeri Haid di SMA Negeri 1 Kota Jambi. Data diperoleh melalui pengisian kuesioner secara langsung sehingga kualitas data sangat tergantung dari kemampuan peneliti serta persepsi responden dalam menjawab pertanyaan maupun kemampuan untuk memahami setiap pertanyaan yang diajukan. Pada penelitian ini hanya variabel yang terdapat dalam kerangka konsep saja yang diteliti, dikarenakan keterbatasan kemampuan peneliti. Kualitas data yang diperoleh tetap dijaga, maka pada permulaan pemberian kuesioner kepada responden disampaikan bahwa identitas responden tidak akan dipublikasikan, instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dengan pertanyaan terstruktur. Untuk menjaga validitas data, maka peneliti langsung mendampingi responden dalam pengisian kuesioner.

51


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini bersumber dari data primer yang diperoleh melalui pengisian kuisioner oleh 202 responden yang berasal dari siswi SMA N 1 Kota Jambi yang terdiri dari kelas X, XI dan XII mengenai pengetahuan, motivasi dan upaya dalam menanggulangi nyeri haid. Pengumpulan data berlangsung 1 hari, tanggal 6 November 2009. Kualitas data tergantung dari kejujuran dan ketelitian responden dalam mengisi kuisioner yang diajukan oleh peneliti. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diperoleh gambaran umur responden yang mendapatkan menstruasi pertama kali dengan variasi umur yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan didapat hasil berdasarkan umur pada saat umur 10 tahun jumlah yang mendapat haid pertama kali 21 (10,396 %) orang, pada umur 11 tahun sebanyak 32 (15,841%) orang, pada umur 12 tahun sebanyak 43 (21,6 %) orang, pada umur 13 tahun sebanyak 77 (38,118 %) orang, pada umur 14 tahun sebanyak 17 (8,415 %) orang, pada umur 15 tahun sebanyak12 (5,94 %) orang. Pada saat penelitian juga didapat semua responden menyatakan mengalami nyeri haid. Diagram. 1 Mendapatkan Menstruasi Pertama Kali di SMAN 1 Kota Jambi Tahun 2009 Distribusi Responden Berdasarkan Umur

12 tahun; 21,60%

13 tahun; 38,10%

11 tahun; 15,80%

15 tahun; 6,00%

14 tahun; 8,20%

10 tahun; 10,30%

Distribusi responden berdasarkan hasil penelitian pengetahuan remaja tentang nyeri haid di SMA N 1 Kota Jambi tahun 2009

52

diperoleh dari 10 pertanyaan adalah sebagai berikut : Tabel 1 Distribusi Gambaran responden berdasarkan Pengetahuan Remaja Terhadap nyeri Haid di SMUN I Jambi Tahun 2009 ( n =202) Benar

Salah

Pernyataan f

%

f

%

Pengertian menstruasi

95

1 6.5

9 7

3.5

Nyeri haid dapat disebabkan

94

1 6.0

9 8

4.0

53

1 5.7

7 49

24.3

1 1.6

9 7

1

85

1 3.3

7 4

5 6.7

2

48

1 0.9

6 9

7 9.1

3

23

8 9.6

3 22

1 0.4

6

0

1 7.8

6 5

6 2.2

3

37

6 2.7

3 36

1 7.3

6

6

8 2.1

4 17

1 7.9

5

5

Faktor yg menyebabkan nyeri haid dari segi alat reproduksi ‌. Kebutuhan minum perhari 8 gelas Pada saat nyeri haid sebaiknya minum Mandi paling sedikit 2 x sehari, bila sedang menstruasi Pemberian kompres hangat bisa mengurangi rasa sakit Ketika mengalami nyeri haid sebaiknya periksa ke petugas kesehatan Aktifitas tetap dapat dilakukan ketika mengalami nyeri haid Faktor primer penyebab nyeri haid Faktor sekunder penyebab nyeri haid

8 .4


Indarmien Netty, Pengetahuan, Motivasi dan Upaya Remaja

Pengetahuan yang diperoleh berdasarkan jawaban atas pertanyaan kepada responden mayoritas mereka dapat menjawab tentang pertanyaan pengertian menstruasi yaitu sebesar 96,5 %. Adapun responden secara minoritas yang dapat menjawab pertanyaan tentang faktor primer penyebab nyeri haid sebanyak 32,7 %. Untuk Pengetahuan secara keseluruhan dapat dikatakan pengetahuan remaja tentang nyeri haid adalah masih rendah yaitu 64,9%. Diagram. 2 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Remaja tentang nyeri haid di SMA N 1 Kota Jambi Tahun 2009

Tinggi; 35,1%

Rendah; 64,9%

Pada diagram 2. diketahui bahwa terdapat 131 responden (64,9%) yang memiliki tingkat pengetahuan kurang dan 71 responden (35.1%) memiliki pengetahuan tinggi. Gambaran hasil penelitian yang dilakukan selama 1 hari di SMA N 1 Kota Jambi dengan jumlah 202 responden. Tabel 2 Distribusi Gambaran responden berdasarkan Motivasi Remaja Terhadap nyeri Haid di SMUN I Jambi Tahun 2009 (N : 202) Pernyataan Mengatasi nyeri haid dengan obat pereda nyeri Mengompres dengan air hangat di bagian perut ketika nyeri haid

Benar

Mencari informasi kepada tenaga kesehatan tentang nyeri haid Kebutuhan minum air hangat Âą perhari 8 gelas, ketika nyeri haid Mandi air hangat sebanyak 2 kali, ketika nyeri haid Ketika nyeri haid, akan terdorong untuk rileksasi dengan melakukan tarik nafas Untuk mengurangi nyeri haid akan tidur dengan posisi menungging

2011

108

53.5

94

46.5

158

78.2

44

21.8

130

64.4

72

35.6

174

86.1

28

13.9

70

34.7

132

65.3

Data tentang motivasi responden diperoleh dari hasil jawaban responden terhadap 7 pertanyaan yang terdapat dalam kuesioner. Motivasi responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu motivasi baik yang nilainya > median 57.14 berjumlah 32 (15,8 %) dan motivasi kurang 170 orang (84,2%) yang nilainya < median (57.14). Motivasi yang diperoleh berdasarkan jawaban atas pertanyaan kepada responden, ketika nyeri haid responden akan rileksasi yaitu sebesar 86,1%. Adapun responden secara minoritas ketika nyeri haid sebaiknya tidur dengan posisi menekuk lutut sebanyak 34,7%.Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram 1.3 berikut ini.

Salah

f

%

f

%

72

35.6

130

64.4

92

45.5

110

54.4

53


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

Diagram. 3 Distribusi Responden Berdasarkan Motivasi Remaja Dalam Menanggulangi Nyeri Haid Di SMA N 1 Kota Jambi Tahun 2009

Rendah; 35,64% Tinggi; 64,36%

Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa terdapat 130 responden (64,36%) yang memiliki tingkat motivasi tinggi dan 72 responden (35,64%) memiliki tingkat motivasi rendah. Gambaran Upaya Remaja Dalam Menangulangi Nyeri Haid dilakukan selama 1 hari di SMA N 1 Kota Jambi dari jumlah 202 responden siswi. Data tentang upaya responden diperoleh dari hasil jawaban melalui 6 pertanyaan terstruktur dan satu pertanyaan terbuka yang terdapat dalam kuesioner. Upaya responden dalam penelitian ini dikategorikan menjadi dua, yaitu upaya baik yang nilainya > median (66,67) dan upaya kurang baik yang nilainya < median (66,67). Tabel 3 Distribusi Responden Berdasarkan Upaya Remaja Dalam Menanggulangi Nyeri Haid Di SMA N 1 Kota Jambi Tahun 2009 (n=202)

Distribusi

Penyataan Upaya Mengompres bagian yang terasa sakit dengan menggunakan botol yang berisi air hangat Minum minuman hangat pada saat nyeri haid 54

Dilakukan

Tidak dilakukan

5

2,1

8 17

4 7,9

49

3,8

1 3

7 6,2

Mandi dengan air hangat pada saat nyeri haid Posisi tidur dengan menekuk lutut pada saat nyeri haid Mengurangi nyeri haid dengan menarik nafas dalam dan rileksasi Berkonsultasi ke tenaga keehatan saat mengalami nyeri haid

7 1,3

2

8,7

1 3

4

59

4 8,4

5

1,6

8 18

1

4

8 4,9

1

5,1

1 0

3

72

5 6,0

4

4,0

1 3

9

09

Pengetahuan responden tentang Nyeri Haid di SMA Negeri 1 Kota Jambi dilakukan melalui pengisian kuesioner oleh 202 responden dengan 10 pertanyaan terstruktur tentang nyeri haid. Berdasarkan hasil penelitian sebagian kecil remaja memiliki pengetahuan baik tentang nyeri haid namun masih ada beberapa remaja yang belum mengetahui tentang nyeri haid terutama pengetahuan tentang faktor primer dan faktor sekunder penyebab nyeri haid, dan tempat yang sebaiknya dikunjungi ketika nyeri haid. Dari hasil di atas diketahui bahwa masih ada remaja yang tidak melakukan pemeriksaan ke tenaga kesehatan disaat mengalami nyeri haid padahal Penyebab kurang baiknya pengetahuan remaja tentang nyeri haid dikarenakan kurangnya informasi dari petugas kesehatan mengenai nyeri haid. Sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2007:139) bahwa pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu, pernyataan ini dapat diartikan bahwa baik buruknya atau tinggi rendahnya pengetahuan seseorang tergantung dari sumber informasi yang tersedia baik dalam bentuk penyuluhan kesehatan maupun media yang mendukung dalam penyebaran informasi tersebut termasuk juga pengalaman diri sendiri dan orang lain. 1 5 Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 1 hari di SMA N 1 Kota Jambi dengan jumlah 202 responden, diketahui bahwa mayoritas remaja memiliki motivasi yang baik dalam menanggulangi nyeri haid. 5 2 Hasil penelitian menunjukkan masih ada beberapa remaja yang memiliki motivasi kurang dalam menanggulangi nyeri haid terutama


Indarmien Netty, Pengetahuan, Motivasi dan Upaya Remaja

menaggulangi nyeri haid dengan tidur dalam posisi yang benar, mengkonsumsi obat pereda nyeri, dan minum air hangat. Masih adanya remaja putri yang belum memiliki motivasi yang baik dalam menanggulangi nyeri haid dikarenakan belum adanya motivasi dari dalam diri atau motivasi instrinsik, yaitu motivasi yang berfungsi tanpa rangsangan dari luar tetapi sudah dengan sendirinya terdorong untuk berbuat sesuatu (Notoadmodjo.2007:225) Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa, sebagian besar remaja memiliki motivasi positif dalam menanggulangi nyeri haid. Motivasi menurut Notoatmodjo (2003:132) adalah dorongan atau tindakan untuk mencapai tujuan tertentu. Kemudian Wahjosomidjo (1992: 174-175) menambahkan faktor dorongan tersebut dapat bersumber dari orang lain, lingkungan, dan kebiasaan. Tingginya motivasi responden dalam menganggulangi nyeri haid menjamin perilakunya dalam menanggulangi nyeri haid, hal ini dibuktikan bahwa responden yang mempunyai motivasi positif dalam menanggulangi nyeri haid, dikarenakan pengetahuan yang baik tentang nyeri haid itu sendiri ataupun faktor lain seperti dorongan dari teman ataupun keluarga untuk menanggulangi nyeri haid. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Siagian (2004:138) bahwa suatu kebutuhan tertentu yang belum terpuaskan menciptakan “ketegangan� yang pada gilirannya menimbulkan dorongan tertentu dalam diri seseorang. Untuk menghilangkan ketegangan itu mereka melakukan usaha tertentu. Untuk itu diperlukan suatu langkah yang tepat guna untuk mempertahankan motivasi suatu responden dalam menanggulangi nyeri haid seperti pemberian informasi tentang pengertian, gejala, penyebab dan penatalaksanaan nyeri haid untuk menghindari masalah-masalah yang mungkin terjadi pada saat nyeri haid. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 1 hari di SMA N 1 Kota Jambi dengan jumlah 202 responden, diketahui bahwa mayoritas remaja memiliki upaya yang baik dalam menanggulangi nyeri haid. Hasil penelitian menunjukkan masih ada beberapa remaja yang memiliki upaya yang kurang baik dalam menanggulangi nyeri haid terutama menaggulangi nyeri haid dengan tidur dalam posisi yang benar, mengompres bagian perut yang kram dengan air hangat, serta tidak melakukan konsultasi ke tenaga kesehatan.

2011

Sementara itu menurut Wiknjosastro(2006:228) dismenorhoe atau nyeri haid mungkin merupakan suatu gejala yang paling sering menyebabkan wanita-wanita muda pergi ke dokter untuk berkonsultasi dan pengobatan. Demikian juga nyeri haid memaksa penderita untuk istirahat dan meninggalkan pekerjaan atau cara hidupnya sehari-hari, maka dari itu posisi tidur yang benar sangat menentukan dalam menanggulangi nyeri haid. Kemudian dari hasil penelitian diatas ditemukan masih adanya remaja putri yang mengkonsumsi obat-obatan seperti kiranti, feminax, jamu tradisional dan bahkan ada yang remaja yang mengkonsumsi antibiotik seperti amoxillin. Sementara itu antibiotik seperti amoxillin merupakan sejenis obat yang digunakan dalam pengobatan infeksi yang disebabkan oleh virus dan bakteri. Penggunaan antibiotik yang benar adalah sesuai dengan anjuran dokter sehingga mendapatkan dosis yang sesuai. Penggunaan antibiotik yang salah dapat menyebabkan resistensi terhadap antibiotik tersebut.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan sesuai dengan analisis pada penelitian ini tentang pengetahuan, motivasi dan upaya remaja dalam menanggulangi nyeri haid di SMA Negeri I Kota Jambi tahun 2009 dapat diambil kesimpulan bahwa: Sebagian besar remaja putri di SMA N I Kota Jambi memiliki pengetahuan yang kurang baik namun memiliki motivasi dan upaya yang baik dalam menanggulangi nyeri haid. . Saran Bagi institusi Pendidikan Politeknik Kesehatan Kemenkes Jambi Jurusan Kebidanan Diharapkan dapat menjadi masukan dalam penerapan penyuluhan mahasiswa pada kelompok remaja dalam kegiatan penyuluhan tentang kesehatan reproduksi terutama dalam hal penanggulangan nyeri haid. Bagi SMA N 1 KOTA JAMBI Diharapkan para guru khususnya guru biologi dapat memberikan pelajaran ekstra tentang kesehatan reproduksi dan 55


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

penanggulangan nyeri haid dan diharapkan agar bekerja sama dengan orang tua siswa untuk mendekatkan dan memberikan solusi kepada remaja putri, sehingga dapat meningkatkan pengetahuan remaja putrid tentang nyeri haid dan dapat menanggulangi nyeri haid dengan benar. Bagi Peneliti Selanjutnya Diharapkan dapat melanjutkan penelitian ini dengan variabel, metoda, tempat yang berbeda.

DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta:xvi + 342 hlm. Azwar, Azrul, 2006. Pengantar Adsministrasi Kesehatan. Edisi III. Binarupa Aksara. Jakarta : xi + 347 hlm. BKKBN, 2004. Materi Konseling dan KIE Kesehatan Reproduksi Remaja. Jambi:v + 40 hlm. Dahlan, Djawad, 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja cetakan ke-6.Remaja Rosdakarya.Bandung : xii + 220 hlm. Dinkes Kota Jambi, 2006. Modul untuk Fasilitator proses Belajar Aktif Kesehatan Reproduksi. Jambi Depkes RI, 2001. Kumpulan Materi Pertumbuhan dan Perkembangan Remaja.Jakarta. _________,2001. Rencana Srategis Nasional Making Pregnancy Safer (MPS) di Indonesia 20012010 _________, 2006. Kesehatan Reproduksi. Ford Foundation. Jakarta:x + 133 hlm. Linda V.Walsh, 2001. Midwifery Community-Based Care During the Childbearing Year.Usa Mansjoer,Arief. 2000. Kapita Selekta Kedokteran edisi 3 jilid I. Media Aescolapius. Jakarta: xxi + 716 hlm.

56

Manuaba, Ida Bagus Gde, 1999. Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita, Penerbit Arcan, Jakarta:vii + 240 hlm. Ministry of Health Republic of Indonesia,The World Health Organization 2003. Indonesia Reproductive Health Profile 2003 Jakarta Notoatmodjo, Seokidjo, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta.Jakarta:ix + 214 hlm. ___________, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. __________ , 2002. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta : viii + 389 Varney Helen, 1997. Varney�s Midwifery. Third Edition. London Nugraha, Boyke Dian, 2004. Pendidikan Seksual untuk Anak. Pustaka Zahara. Jakarta : vi + 210 hlm. Owen, Elizabeth, 2005. Panduan Kesehatan bagi wanita. Prestasi Pustaka. Jakarta:vi + 232 hlm. Prawiroharjo, Sarwono, 1999. Ilmu Kandungan, Jakarta. ___________, 2005. Ilmu Kebidanan, Jakarta. ___________, 2007. Ilmu kandungan, Jakarta Prayetni, 1996. Asuhan Keperawatan Ibu Dengan Gangguan Sistem Reproduksi, Penerbit Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan, Depkes RI, 1996 Siagian, Sondang.2004. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Rineka Cipta. Jakarta :xvii +238hlm. Sikok, 2007. Laporan Penelitian Survei Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Remaja SMU/SMK Kota Jambi.PKBI Jambi.2007 Http://www.Ipin4.esmartstudent.com/2008/05/18/haid. Htm. Http://Asrina1986.blongs.Friendster.com/18/05/2008 Http://www.KeluargaSehat.com/kliniksisi.php?news_id Http://www.Menstruasi.com/2008/08/10 www.kespro.com/2008/01.html http://www.yuastroki.co.id/2008/08/10/ink2.html

Http://www.bkkbn.go.id/2007/08/10


Aida Silfia, Analisis Faktor Risiko Karies

2011

ANALISIS FAKTOR RISIKO KARIES GIGI DAN HUBUNGANNYA DENGAN INDEKS KARIES GIGI PADA ANAK SDN 214/IV PAAL X KOTA JAMBI TAHUN 2009

Aida Silfia Staf Pengajar Jurusan Kesehatan Gigi Poltekkes Jambi ABSTRAK Masalah kesehatan gigi di Indonesia masih merupakan masalah kesehatan masyarakat karena keadaan kesehatan gigi dan mulut yang diharapkan dapat dicapai sesuai dengan indikator derajat kesehatan gigi menurut WHO untuk anak usia 12 tahun pada tahun 2010 dengan nilai skor DMF-T £ 1. Tujuan Penelitian untuk menganalisis faktor risiko karies gigi dan hubungannya dengan indeks karies gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi. Desain penelitian dengan studi cross sectional. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi Tahun 2009, yakni N= 175 anak. Cara pengambilan sampel random sampling dengan secara proporsi, teknik pengambilan dengan sistem undi. Cara Penelitian dengan pemeriksaan kesehatan gigi dan pengisian kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan distribusi frekuensi Indeks karies gigi, OHI-S, pengetahuan dan sikap pada anak usia 12 tahun ke atas di SD Wilayah Kerja Puskesmas Paal X Kecamatan Kota Baru Kota Jambi Tahun 2009 sebanyak 39,4% anak berkategori baik, sedangkan sisanya sebesar 60,6% berkategori kurang baik. Ada hubungan antara OHI-S, pengetahuan dan sikap dan tindakan menyikat gigi dengan indeks karies gigi. Kata kunci: Faktor Resiko Karies Gigi dan Indeks Karies Gigi

PENDAHULUAN Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia Sehat 2010 adalah terciptanya masyarakat Indonesia yang hidup dan berperilaku dalam lingkungan sehat dan mampu menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu. Di pihak lain pelayanan kesehatan yang diberikan di seluruh wilayah Indonesia harus dilakukan secara adil, merata dan optimal (Depkes, 2007: 4). Kesehatan gigi dan mulut merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Kesehatan gigi juga merupakan salah satu komponen kesehatan secara menyeluruh dan tidak dapat diabaikan terutama pada tingkat Sekolah Dasar, karena kesehatan gigi dan mulut ikut mempengaruhi tumbuh kembang anak yang sempurna bertujuan untuk mewujudkan manusia sehat, cerdas dan produktif serta mempunyai daya juang yang tinggi (Depkes, 2004:1). Masalah kesehatan gigi merupakan salah satu problema kesehatan secara keseluruhan, kondisi ini menunjukkan bahwa penyakit gigi walaupun tidak menimbulkan kematian tetapi dapat menurunkan produktifitas kerja, untuk itu dalam rangka mencapai visi

program kesehatan ”Indonesia Sehat 2010”, dibidang kesehatan gigi dan mulut mengacu pada indikator Oral Health Global Goal WHO, disesuaikan dengan kemampuan sumber daya dan kondisi kesehatan gigi masyarakat pada tahun 2001, Indonesia menetapkan indikator derajat kesehatan gigi masyarakat yang harus dicapai pada tahun 2010, dimana pada kelompok umur 12 tahun ke atas indikatornya DMF-T atau Indeks yang menyatakan jumlah gigi (Tooth=T), Gigi tetap yang berlubang (Decay=D), Gigi tetap yang sudah dicabut (Missing=M), Gigi tetap yang sudah ditambal (Filled=F) perorang adalah ≤ 1 gigi. Artinya dalam mulut seseorang maksimal 1 gigi yang yang berlubang/sudah dicabut/sudah ditambal. Namun keadaan kesehatan gigi penduduk Indonesia pada tahun 2001 menunjukkan bahwa status kesehatan gigi kelompok umur 12 tahun masih melebihi batas sasaran 2010, dengan indeks DMF-T = 1,1 (Depkes, 2004:7). Berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Propinsi Jambi tahun 2007 menunjukkan sebagian besar (92,8%) penduduk umur 10 tahun ke atas mempunyai kebiasaan menggosok gigi setiap hari, pada saat mandi dan sore (94,5%) dan hanya sedikit yang melakukan sesuai anjuran pada saat setelah 57


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

makan pagi (6,6%) dan sebelum tidur malam (17,1%) dan persentase penduduk yang berperilaku benar menggosok gigi masih rendah yaitu 3,7% (Depkes, 2008: 104, 106). Upaya kesehatan gigi perlu ditinjau dari aspek lingkungan, pendidikan, kesadaran masyarakat dan penanganan kesehatan gigi termasuk pencegahan dan perawatan. Aspek tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi; baik cara pencegahan dan perawatan gigi masyarakat (upaya kesehatan gigi masyarakat) maupun keadaan kesehatan gigi masyarakat (pencegahan penyakit gigi), perlu diketahui masalah yang berkaitan dengan proses terjadinya kerusakan gigi (karies) termasuk etiologi karies gigi, resiko yang menyebabkan timbulnya karies gigi, dan juga faktor distribusi penduduk, lingkungan serta perilaku masyarakat terhadap kesehatan gigi (Suwelo, 1992:1). Penyelenggaraan upaya kesehatan gigi dan mulut yang merupakan salah satu kegiatan pokok Puskesmas yang bersifat menyeluruh, terpadu dan meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan, kegiatan tersebut dapat dilaksanakan di dalam gedung maupun di luar gedung Puskesmas, salah satunya adalah program Usaha Kesehatan Gigi Sekolah (UKGS) yang sampai saat ini masih memprioritaskan kepada anak Sekolah Dasar (usia 6-12 tahun). Dipilihnya kelompok anak Sekolah Dasar (SD) karena kelompok ini sangat potensial untuk menanamkan kebiasaan berperilaku hidup sehat. Disamping itu kelompok ini juga lebih mudah untuk dibentuk mengingat anak SD ini selalu dibawah bimbingan dan pengawasan para guru dan usia 12 tahun menjadi sangat penting karena merupakan usia anak-anak yang mudah dijangkau sebelum anak-anak tersebut meninggalkan SD, juga kemungkinan besar semua geligi tetap pada usia ini telah tumbuh kecuali gigi molar ketiga atau gigi geraham ketiga (Depkes, 2002:6). Karies gigi adalah proses patologis yang terjadi karena adanya interaksi faktor-faktor di dalam mulut. Faktor di dalam mulut (faktor dalam) yang berhubungan langsung dengan proses terjadinya karies gigi antara lain struktur gigi, morfologi gigi, susunan gigi geligi di rahang, derajat keasaman (pH) saliva, kebersihan mulut, jumlah dan frekuensi makan makanan kariogenik. Selain itu ada beberapa faktor luar sebagai faktor predisposisi dan penghambat yang berhubungan tidak langsung dengan proses terjadinya karies antara lain usia, jenis kelamin, suku bangsa, letak geografis, tingkat

58

ekonomi, kultur sosial, serta pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap pemeliharaan kesehatan gigi (Suwelo, 1992:. 4). Hasil RISKESDAS Propinsi Jambi tahun 2007 menunjukkan Indeks DMF-T di Propinsi Jambi sebesar 5,25. Ini berarti rata-rata kerusakan gigi 5 gigi perorang. Komponen yang terbesar adalah gigi dicabut/M-T sebesar 3,66, dapat dikatakan rata-rata penduduk di Propinsi Jambi mempunyai 4 gigi yang sudah dicabut atau indikasi pencabutan. Performed Treatment Index atau motivasi untuk menumpatkan gigi yang berlubang dalam upaya mempertahankan gigi tetap sangat rendah hanya 2,1% dan Required Treatment Index atau besarnya kerusakan yang belum ditangani dan memerlukan penumpatan/pencabutan sebesar 91%. Pada prevalensi karies aktif umur 12 tahun ke atas sebesar 56,1% dan mempunyai pengalaman karies sebesar 77,9% (Depkes, 2008: 108, 110, 112). Menurut Khairullah (2000:11), menyatakan bahwa Indeks DMF–T pada siswa berusia 12 tahun yaitu 1,75 gigi, dengan prevalensi karies menyerang 73,2% anak. Sedangkan di Kota Jambi, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Jambi tahun 2008 menunjukkan bahwa prevalensi karies pada anak SD tertinggi adalah anak SD di wilayah kerja Puskesmas Paal X yakni pada tahun 2007 (61,72%) dan 2008 (74,2%). Tujuan penulisan untuk mengetahui gambaran faktor risiko karies gigi dan hubungannya dengan indeks karies gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi tahun 2009.

BAHAN DAN CARA KERJA Jenis penelitian adalah penelitian Cross Sectional Study. Analisa yang digunakan bersifat deskriptif analitik yang akan menggambarkan hubungan kebersihan mulut, pengetahuan, sikap dan tidakan kesehatan gigi dengan indeks karies gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi. Populasi penelitian ini adalah seluruh anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi, yakni N= 301 orang dengan teknik pengambilan sampel secara acak dengan jumlah 66 orang. Variable penelitian pada penelitian ini adalah kebersihan mulut, pengetahuan, sikap, tindakan kesehatan gigi dan indeks karies gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi. Alat penelitian yang digunakan adalah formulir pemeriksaan kesehatan gigi


Aida Silfia, Analisis Faktor Risiko Karies

untuk variabel kebersihan mulut dan indeks karies gigi, kuesioner untuk variabel pengetahuan dan sikap, pedoman pengamatan untuk variabel tindakan kesehatan gigi. Untuk variabel indeks karies gigi dibagi menjadi 2 kategori yaitu baik dan kurang baik. Dimana kategori baik, jika tidak terkena karies dengan indeks DMF-T ≤ 1 gigi dan kurang baik, jika terkena karies dengan indeks DMF-T > 1 gigi (Depkes, 2004: 7). Pada lembar pemeriksaan kesehatan gigi dan mulut, setiap kotak diberi kode huruf ”D”, apabila gigi tetap terdapat karies (termasuk tambalan sementara dan sekunder karies) satu gigi dihitung satu karies. Kode ”M”, jika terdapat gigi tetap yang telah dicabut. Kode ”F”, jika terdapat gigi tetap yang telah ditambal. Untuk variabel kebersihan mulut dibagi 2 kategori baik dan kurang baik, jika nilai OHI-S ≤1,6 maka kebersihan mulutnya baik, sedangkan > 1,6 maka kebersihan mulutnya kurang baik. Untuk variabel pengetahuan tentang kesehatan gigi dijabarkan ke dalam 10 item pertanyaan kuesioner dengan pilihan jawaban ”Ya” dan ”Tidak”, setiap item pertanyaan akan dberikan skor yang berbeda. Jika jawaban benar, diberi skor 1 dan jawaban salah, diberi skor 0. Pada variabel ini terdapat lima jawaban unfavourable pada pertanyaan nomor 2, 4, 5, 8, 9. Dari hasil pengisian kuesioner, pengetahuan responden tentang kesehatan gigi berkategori baik (diberi kode angka 0), jika menjawab benar (diberi kode ≥ median), sedangkan berpengetahuan kurang baik (diberi kode angka 1), jika menjawab benar < median. Untuk variabel sikap terhadap kesehatan gigi dijabarkan ke dalam 10 item pertanyaan kuesioner dengan pilihan: Jika menjawab Sangat Setuju, maka skor 4. Jika menjawab Setuju, maka skor 3. Jika jawab Kurang setuju, maka skor 2. Jika menjawab Sangat Kurang Setuju, maka skor 1. Dari hasil pengisian kuesioner, sikap responden terhadap kesehatan gigi berkategori baik (diberi kode angka 0), jika menjawab ≥ median, sedangkan sikap kurang baik (diberi kode angka 1), jika menjawab < median. Untuk variabel tindakan setiap objek pengamatan akan diberikan skor yang berbeda. Responden menyikat gigi sesuai dengan kebiasaan mereka lakukan di rumah/sekolah. Dengan pilihan jawaban ”Ya”, jika menyikat gigi sesuai dengan yang dianjurkan diberi skor 1 dan jawaban ”Tidak”, jika menyikat gigi tidak sesuai dengan yang dianjurkan diberi skor 0. Dari hasil pengamatan,

2011

responden melakukan tindakan kesehatan gigi berkategori baik (diberi kode 0) bila ≥ median, sedangkan responden melakukan tindakan kesehatan gigi berkategori kurang baik (diberi kode 1) bila < median. HASIL DAN PEMBAHASAN Setelah dianalisis indeks karies gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi, kategori indeks karies gigi yang terbanyak adalah kurang baik (60,6%). Menurut Kidd (1991, 1) menyatakan bahwa karies merupakan suatu penyakit jaringan keras gigi, yaitu email, dentin dan sementum, yang disebabkan oleh aktivitas suatu jasad renik dalam suatu karbohidrat yang dapat diragikan. Hasil analisis kebersihan mulut pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi, kategori kebersihan mulut yang terbanyak adalah kurang baik (74,2%). Menurut Suwelo (1992) Faktor di dalam mulut (faktor dalam) yang berhubungan langsung dengan proses terjadinya karies gigi antara lain struktur gigi, morfologi gigi, susunan gigi geligi di rahang, derajat keasaman (pH) saliva, kebersihan mulut, jumlah dan frekuensi makan makanan kariogenik. Gambaran tentang pengetahuan responden tentang kesehatan gigi pada tabel 4.3 menunjukkan bahwa kategori pengetahuan tentang kesehatan gigi anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi yang terbanyak adalah baik 34 anak (51,5%). Menurut Benyamin Bloom (1908) dalam Notoatmodjo (2007: 139) pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kategori sikap terhadap kesehatan gigi anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi terbanyak adalah kurang baik 41 anak (62,1%). Sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek (Notoatmodjo, 2007: 144). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa kategori tindakan kesehatan gigi anak 59


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

SDN 214/IV Paal X Kota Jambi terbanyak adalah kurang baik 45 anak (68,2%). Menurut Setiawati (2008: 53), Perilaku kesehatan adalah tindakan/aktivitas kegiatan baik yang bisa diobservasi secara kasat mata ataupun tidak terhadap stimulus/rangsangan yang berkaitan dengan kesehatan. Gambaran tentang kebersihan mulut anak dengan indeks karies gigi adalah sebagai berikut termasuk kategori kebersihan mulut baik sebesar 94,1% yang kategori indeks karies gigi baik, sedangkan kategori kebersihan mulut kurang baik sebesar 20,4% yang kategori indeks karies gigi baik. Dari hasil pengujian Chi square antara kebersihan mulut anak dengan indeks karies gigi ternyata ada hubungan yang bermakna antara kebersihan mulut dengan indeks karies gigi. Menurut Suwelo (1992) Faktor di dalam mulut (faktor dalam) yang berhubungan langsung dengan proses terjadinya karies gigi antara lain struktur gigi, morfologi gigi, susunan gigi geligi di rahang, derajat keasaman (pH) saliva, kebersihan mulut, jumlah dan frekuensi makan makanan kariogenik. Gambaran tentang pengetahuan anak dengan indeks karies gigi adalah sebagai berikut termasuk kategori pengetahuan baik sebesar 70,6% yang kategori indeks karies gigi baik, sedangkan kategori pengetahuan kurang baik sebesar 6,3% yang kategori karies gigi baik. Dari hasil pengujian Chi square antara pengetahuan anak mengenai kesehatan gigi dengan indeks karies gigi ternyata ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan indeks karies gigi. Menurut Ronger dalam Notoatmodjo (2007: 140) menyimpulkan apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting) sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak dengan sikap baik ternyata 92% indeks karies gigi baik, yang bersikap kurang baik hanya 7,3% anak yang indeks karies gigi baik. Dari hasil uji Chi square ada hubungan yang bermakna secara statistik nilai p< 0,05 antara sikap terhadap kesehatan gigi dengan indeks karies gigi anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi. Menurut Budiharto (1995) dalam Veriza (2002), pembentukan sikap pada umumnya dipengaruhi oleh pengetahuan seseorang terhadap objek. Sikap merupakan suatu evaluasi

60

seseorang dalam hal menanggapi suatu objek sosial, artinya hasil evaluasi baik, maka seseorang akan cenderung mendekati objek misalnya hasil mengenai manfaat menyikat gigi, ternyata membuat gigi bersih akan menayatakan sangat setuju bahwa menyikat gigi 2 kali sehari mampu menjaga kebersihan gigi dan mulut serta membuat percaya diri, begitu juga sebaliknya bila menyikat gigi tidak memberi manfaat dan keuntungan bagi dirinya maka orang tersebut tidak setuju menyikat gigi. Hasil penelitian memberikan informasi bahwa responden yang tindakan kesehatan gigi dalam hal ini melakukan sikat gigi dengan baik 85,7% indeks karies gigi baik, sedangkan responden yang praktik menyikat giginya kurang baik 17,8 % indeks karies gigi baik. Pengujian secara statistik dengan Chi square menunjukkan ada hubungan antara tindakan kesehatan gigi dengan indeks karies gigi pada nilai p< 0,05. Menurut Suwelo (1992: 27), menyatakan bahwa pengetahuan, sikap terhadap kesehatan gigi dan kebiasaan pemeliharaan kesehatan gigi mempunyai hubungan yang erat dengan terbentuknya karies gigi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Distribusi frekuensi indeks karies gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi tahun 2009 yakni sebanyak 39,4% anak yang termasuk kategori baik, sedangkan sisanya 60,6% anak berkategori kurang baik. Distribusi frekuensi kebersihan mulut pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi tahun 2009 yakni sebanyak 27,6% anak yang termasuk kategori baik, sedangkan sisanya 72,4% anak berkategori kurang baik. Distribusi frekuensi pengetahuan tentang kesehatan gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi tahun 2009 yakni sebanyak 51,5% anak yang termasuk kategori baik, sedangkan sisanya 48,5% anak berkategori kurang baik. Distribusi frekuensi sikap terhadap kesehatan gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi tahun 2009 yakni sebanyak 37,9% anak yang termasuk kategori baik, sedangkan sisanya 62,1% anak berkategori kurang baik. Distribusi frekuensi tindakan kesehatan gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi tahun 2009 yakni sebanyak 31,8% anak yang termasuk kategori baik, sedangkan sisanya 68,2% anak berkategori kurang baik. Ada hubungan yang bermakna antara kebersihan mulut, pengetahuan tentang


Aida Silfia, Analisis Faktor Risiko Karies

kesehatan gigi, sikap terhadap kesehatan gigi dan tindakan kesehatan gigi dengan indeks karies gigi pada anak SDN 214/IV Paal X Kota Jambi tahun 2009.

2011

DAFTAR PUSTAKA Arikunto,

Saran 1. Untuk lembaga institusi SDN 214/IV Paal Kota Jambi, agar berkerjasama dengan Puskesmas Paal X serta menganjurkan orang tua agar lebih memperhatikan kesehatan gigi anaknya, antara lain anak harus menyikat gigi minimal 2 kali sehari yakni pagi sesudah sarapan dan malam sebelum tidur serta periksakan kesehatan gigi anaknya minimal 6 bulan sekali ke Poliklinik gigi atau dokter gigi. 2. Untuk Politeknik Kesehatan, khususnya Jurusan Kesehatan Gigi Jambi, agar mengembangkan ilmu perilaku kesehatan di bidang kesehatan gigi, seperti perbanyak literatur dan buku perpustakaan tentang perilaku kesehatan gigi. 3. Untuk Puskesmas Paal X, agar melaksanakan program UKGS meliputi penyuluhan kesehatan gigi, sikat gigi massal dan pemeriksaan kesehatan gigi yang dilakukan 4 kali dalam setahun. 4. Untuk Dinas Kesehatan Kota Jambi, agar lebih memprioritaskan program di bidang kesehatan gigi terutama program UKGS di Sekolah Dasar.

S. 2006. Prosedur Penelitian suatu Pendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta, Jakarta: xi + 369 hlm. Budiharto, 2008. Metodologi Penelitian Kesehatan dengan Contoh Bidang Ilmu Kesehatan Gigi. Penerbit Buku Kedokteran EGC Jakarta: vii + 115 hlm. Depkes, 2002. Pedoman Survei Dasar Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia. Jakarta: i + 55 hlm. ----------, 2004. Pedoman Upaya Kesehatan Gigi Masyarakat (UKGM). Jakarta: iii + 61 hlm. -----------, 2007. Kebijakan Pelayanan Kedokteran Gigi Keluarga. Jakarta: viii+36 hlm. -----------, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Propinsi Jambi tahun 2007. Jakarta: i + 235 hlm. Dinas Kesehatan Kota Jambi, 2008. Distribusi Prevalensi Karies Anak SD di Puskesmas Kota Jambi Tahun 2007 dan 2008. Herijulianti, E. et.al, 2001. Pendidikan Kesehatan Gigi. EGC, Jakarta: x + 150. Khairullah, A. 2000. Derajat Karies Gigi (DMF-T) dan Derajat Kebersihan Mulut (OHI-S) Siswa Kelas VI SD Berusia 12 Tahun di Propinsi Jambi. Bina Diknakes 37: 10-11S. Machfoedz, Ircham. 2005. Menjaga Kesehatan Gigi dan Mulut Anak-Anak dan Ibu Hamil. Penerbit Fitramaya, Yogyakarta: ix + 89 hlm.

61


2011

Jurnal Poltekkes Jambi Vol IV Edisi Juli ISSN 2085-1677

PENGARUH MOBILISASI DINI TERHADAP PENURUNAN TINGGI FUNDUS UTERI PADA IBU POST PARTUM DI RUANG KEBIDANAN RSUD RADEN MATTAHER JAMBI TAHUN 2009 Rosmaria, Diniyati, Maini Dosen Jurusan Kebidanan Poltekkes Jambi ABSTRAK Mobilisasasi dini merupakan suatu aspek terpenting dalam proses pengembalian alat – alat reproduksi ke fungsi fisiologis bagi ibu post partum. Bila ibu post partum tidak segera melakukan mobilisasi dini maka akan mengakibatkan kontraksi uterus menjadi kurang baik sehingga innvolusi uterus menjadi lambat yang mengakibatkan terjadinya infeksi dan menimbulkan perdarahan yang abnormal pada masa nifas. Penelitian ini bertujuan untuk mendapat pengaruh dari mobilisasi dini terhadap penurunan tinggi fundus uteri. Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh ibu post partum normal di ruang Kebidanan Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi. Analisa data yang di univariat dan bivariat. Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2009. Hasil penelitian menunjukkan pada kelompok yang melakukan mobilisasi dini terdapat sebagian mengalami penurunan tinggi fundus uteri yaitu 13 responden (65%), sedangkan pada kelompok yang tidak melakukan mobilisasi dini hanya sebagian kecil yang mengalami penurunan tinggi fundus uteri yaitu 7 responden (35%). Tidak ada pengaruh yang signifikan antara mobilisasi dini dengan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum dengan nilai P= 0,083. Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penurunan tinggi fundus uteri terjadi pada kelompok yang melakukan mobilisasi dini dan tidak ada pengaruh yang signifikan antra mobilisasi dini dengan penurunan tinggi fundus uteri. Diharapkan kepada petugas ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi untuk lebih meningkatkan pelaksanaan mobilisasi dini bagi ibu post partum segera setelah bersalin dan mengajarkan tahap – tahap mobilisasi dini sesuai dengan teori.

Kata Kunci: Mobilisasi dini, tinggi fundus uteri, ibu pust partum

PENDAHULUAN Tingginya angka kematian merupakan salah satu indikator status kesehatan di masyarakat. Angka Kematian Ibu (AKI), dan Anka Kematian Bayi (AKB) telah ditetapkan sebagai indikator – indikator derajat kesehatan dalam Indonesia Sehat 2010 hal ini merupakan suatu fenomena yang mempunyai pengaruh besar terhadap keberhasilan pembangunan kesehatan (Depkes 2003). Diperkirakan bahwa 50% kematian ibu terjadi pada masa nifas dalam 24 jam pertama salah satu upaya untuk mengatasi komplikasi yang timbul dari persalinan adalah perawatan masa nifas dimana masa nifas merupakan hal penting untuk diperhatikan guna menurunkan angka kematian ibu dan bayi (Syaifuddin 2002). Masa nifas merupakan masa setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat – lat kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil, masa nifas berlangsung kira – kira 6 62

minggu. Salah satu kegiatan pemeliharaan kesehatan pada ibu nifas adalah mobilisasi dini, dimana mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena hal itu essensial untuk mempertahan kan kemandirian sedini mungkin dengan cara membimbing ibu nifas mempertahankan fungsi fisiologis dan selekas mungkin keluar dari tempat tidurnya dan membimbing selekas mungkin berjalan (Sarwono prawiraharja 2006). Dampak bila tidak melakukan mobilisasi dini bagi ibu post partum dapat menimbulkan kesulitan buang air kecil selama 6 jam setelah persalinan. Involusi uterus yang tidak baik terjadi karena tidak melakukan mobilisasi secara dini sehingga akan menghambat pengeluaran darah atau lochea dan sisa plasenta yang mengakibatkan kontraksi uterus menjadi tidak baik (Mariani 2002). Selama masa nifas alat–alat genetalia eksternal maupun internal berangsur–angsur


Rosmaria, Pengaruh Mobilisasi Dini

kembali seperti keadaan sebelum hamil. Perubahan keseluruhan alat–alat genitalia ini disebut dengan involusi dimana salah satu perubahan penting yang terjadi pada masa nifas adalah infolusi uterus dimana posisi fundus uteri berada kurang lebih pertengahan antara umbilikus dan simpisis atau sedikit lebih tinggi dan setelah 2 hari kemudian uterus mulai menyusup sehingga dalam 2 minggu telah turun masuk kedalam rongga panggul (Siti Saleha 2009). Tujuan penelitian adalah diketahuinya pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum di ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi. Rumusan masalahnya adalah sejauh mana pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum di ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi.

BAHAN DAN CARA KERJA Penelitian ini menggunakan metode Quasi Eksperimen dimana ada 2 kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Kelompok kontrol adalah kelompok yang tidak melakukan mobilisasi dini dalam 2 – 6 jam kemudian di ukur tinggi fundus uteri dari hari pertama sampai hari ke tiga. Sedangkan kelompok intervensi adalah kelompok yang mendapatkan perlakuan dalam 2 – 6 jam post partum dimana sebelum melakukan mobilisasi dini TFU di ukur terlebih dahulu baru kemudian di ukur lagi tinggi fundus uteri dari hari pertama sampai hari ketiga. Penelitian dilakukan di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi. Penelitian dilakukan pada bulan November tahun 2009. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu post partum normal yang dirawat di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi. Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah ibu post partum normal mulai hari pertama post partum dengan jumlah sampel 40 orang, 20 orang untuk kelompok kontrol dan 20 orang untuk kelompok intervensi. Rumus sampel dalam penelitian ini adalah karena populasinya tidak di ketahui maka digunakan rumus populasi infinit menurut Notoatmojo (2002). Penelitian ini menggunakan instrumen berupa alat ukur sentimeter, kedua tangan peneliti, dan alat tulis. Setelah dilakukan

2011

intervensi kemudian tinggi fundus uteri diukur sampai 3 hari post partum. Pada kelompok kontrol dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri pada hari pertama post partum dan diikuti pada hari kedua dan ketiga. Begitu juga dengan kelompok intervensi terlebih dahulu dilakukan pengukuran tinggi fundus uteri kemudian dilakukan intervensi baru kemudian diukur lagi pada hari kedua dan ketiga. Setelah itu data dianalisis dengan univariat dan bivariat untuk melihat pengaruh atau hubungan antar dua variabel dengan menggunakan rumus uji T (uji beda 2 mean).

HASIL DAN PEMBAHASAN Dari data yang diperoleh, distribusi frekuansi berdasarkan gambaran tinggi fundus uteri pada kelompok intervensi tampak pada tabel 1. Dari tabel tersebut dapat di lihat bahwa tidak terjadi penurunan tinggi fundus uteri pada hari ke tiga ( 3 ) di mana TFU pada hari ke dua dan ke tiga masih tetap sama yaitu 2 cm sebanyak 7 orang responden (35 %). Dan 3 cm sebanyak 3 orang responden (65%). Tabel 1 Gambaran penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok intervensi TFU Dalam Centimeter (CM)

Jumlah

Presentase

TFU Sebelum intervensi 26 cm 27 cm

9 11

45 55

TFU Setelah intervensi/ hari I 26 cm 27 cm

9 11

45 55

TFU Hari II 26 cm 27 cm

12 8

60 40

TFU Hari III 26 cm 27 cm

7 13

35 65

TFU yang melakukan mobilisasi dini :

Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terjadi penurunan tinggi fundus uteri 63


Jurnal Poltekkes Jambi Vol. IV Edisi Juli 2011

pada hari ke tiga yaitu hasil pengukuran 26 cm sebanyak 7 orang responden ( 35% ) dan hasil pengukuran dengan 27 cm sebanyak 13 orang responden ( 65% ). Dimana TFU hari ke dua dan ketiga masih masih tetap sama meskipun telah melakukan mobilisasi dini segera setelah post partum sesuai dengan tahap – tahap yang telah di ajarkan. Apa bila ini tidak dilakukan maka akan terjadi involusi uterus yang tidak baik sehingga sisa darah tidak dapat di keluarkan dan dapat menyebabkan infeksi dan satunya tanda dari infeksi tersebut peningkatan suhu tubuh. Serta bila mobilisasi dini tidak dilakukan akan menghambat pengeluaran darah dan sisa placenta sehingga menyebabkan terganggunya kontraksi uterus. Dengan adanya mobilisasi dini kontraksi uterus akan baik sehingga fundus uteri keras, maka resiko pendarahan yang abnormal dapat di hindarkan, karena kontraksi membentuk penyempitan pembuluh darah yang terbuka (Siti Saleha, 2009). Mobilisasi dini telah terbukti sukses dalam mengurangi peristiwa tromboemboli dan memajukan kecepatan proses pengembalian kekuatan ibu setelah periode istirahat pertama berakhir biasanya sekitar 2 jam, ibu dianjurkan untuk sering – sering melakukan mobilisasi dini. Latihan – latihan post partum dimulai segera setelah ibu siap (Bobak, 2000 ). Distribusi Frekuansi Berdasarkan Gambaran Tinggi Fundus Uteri Pada Kelompok kontrol tampak pada tabel 2. Tabel 2 Gambaran penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok kontrol TFU dalam centimeter (cm)

jumlah

Persentase

Tabel 3 Pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan tinggi fundus uteri Variabel

Mean

Sd

Se

TFU yang melakukan mobilisasi dini

1,100

0,64072

0,14327

TFU yang tidak melakukan mobilisasi dini

TFU yang tidak melakukan mobilisasi dini : TFU Hari I 26 cm 27 cm

10 10

50 50

TFU Hari II 26 cm 27 cm 28 cm

2 13 5

10 65 25

TFU Hari III 27 cm 28 cm

13 7

65 35

64

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa tinggi fundus uteri pada hari ke tiga ( 3 ) masih tetap sama dan tidak terjadi penurunan dimana TFU 2 cm sebanyak 13 orang responden ( 65% ) dan TFU 3 cm sebanyak 7 orang responden ( 35% ). Hasil penelitian menunjukkan sebagaian responden mengalami penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok kontrol dimana hasil pengukuran pada hari ketiga ( 3 ) terdapat 27 centimeter sebanyak 13 orang responden ( 35% ). Dimana pada kelompok kontrol ini tidak terdapat perlakuan atau tidak melakukan mobilisasi dini. Bila mobilisasi dini tidak di lakukan maka akan terjadi sub infolusi uteri, dimana proses infolusi rahim tidak berjalan sebagaimana mestinya sehingga proses pengecilan uterus terhambat. Hal ini sejalan dengan teori Mariani (2002) bila tidak melakukan mobilisasi dini maka akan memperlambat proses infolusi uterus dalam hal ini adalah penurunan tinggi fundus uterus. Hasil analisis yang dilakukan untuk melihat pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan tinggi fundus uteri tampak pada tabel 3. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa tidak ada pengaruh mobilisasi dini penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum berdasarkan uji statistik nilai P=0,083.

0,300

0,73270

P. Value

N

0,083

20

0,16384

Hasil penelitian menunjukkan tidak ada pengaruh terhadap mobilisasi dini terhadap perubahan tinggi fundus uteri dengan nilai P = 0,083. Meskipun responden telah melakukan mobilisasi dini sesuai dengan tahap – tahap yang telah di ajarkan namun tidak menunjukkan adanya pengaruh terhadap perubahan tinggi fundus uteri.


Rosmaria, Pengaruh Mobilisasi Dini

Hal ini tidak sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Mariani ( 2002 ) dimana salah satu dampak bila tidak melakukan mobilisasi dini adalah dapat mengakibatkan kontraksi uterus menjadi lambat. Dalam penelitian ini moblisasi dini tidak berpengaruh terhadap penurunan tinggi fundus uteri hal ini disebabkan oleh masih ada faktor lain yang menyebabkan penurunan tinggi fundus uteri yaitu proses menyusui. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi Dinas Kesehatan dan Instansi terkait serta Masyarakat di wilayah kerja Puskesmas pada khususnya dalam upaya peningkatan angka kesembuhan pada pasien TB paru.

2011

Saran 1. Bagi RSUD Raden Mattaher Jambi Diharapkan bagi petugas untuk lebih meningkatkan pelaksanaan mobilisasi dini dan mengajarkan tahap – tahap mobilisasi dini sesuai dengan teori.

2. Dengan Ibu Post Partum Diharapkan dapat melakukan mobilisasi dini segera setelah post partum sesuai dengan kemampuan ibu.

DAFTAR PUSTAKA

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh mobilisasi dini terhadap penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum di Ruang Kebidanan RSUD Raden Mattaher Jambi Tahun 2009, maka dapat di simpulkan sebagai berikut : 1. Tidak ada penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok yang melakukan mobilisasi dini ( kelompok kontrol ) dimana TFU pada hari ketiga masih tetap sama yaitu 2 cm sebanyak 13 responden ( 65% ). 2. Ada penurunan tinggi fundus uteri pada kelompok yang tidak melakukan mobilisasi dini ( kelompok kontrol ) dimana pada hari ketiga TFU 3 cm sebanyak 7 orang responden ( 35% ). 3. Tidak ada pengaruh yang signifikan antara mobilisasi dini dengan penurunan tinggi fundus uteri pada ibu post partum dengan nilai P = 0,083.

Ambarwati, 2009. Asuhan Kebidanan Nifas, Mitra Cendiakia press Bobak, Irene, 2000. Perawatan Materrnitas dan Ginekologi.Bandung Depkes, 2003. Kajian Kematian Ibu Dan Anak Di Indonesia Manuaba, IBG. 1998. Ilmu Kebidanan Dan Penyakit Kandungan dan KB Untuk Penelitian Bidan.Jakarta Notoatmojo, Soekidjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta Saleha, Sitti, 2009-12-21. Asuhan Kebidanan Pada Masa Nifas.Salemba Medika. Jakarta Syaifudin, Abdul Beri, 2006 Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo. Jakarta Prawiro, Harjo, 2006. Ilmu Kebidanan.Yayasan Bina Pustaka. Jakarta (http :// indonesiannursing.com/ page / 55 /).

65


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.