
4 minute read
Problematika Fasilitas Kampus
DEVI / DKV 2022
Satu tahun sudah berlalu sejak resmi berakhirnya pandemi Covid-19 di Indonesia. Sektor pendidikan-terutama perguruan tinggi-yang terdampak dan tadinya melaksanakan perkuliahan secara daring pun sekarang sudah melaksanakan perkuliahan secara luring. ISI Yogyakarta telah melaksanakan perkuliahan secara luring sejak dimulainya tahun ajaran baru 2022/2023 setelah kurang lebih dua tahun lamanya melaksanakan perkuliahan daring. Bersamaan dengan itu, dibutuhkan fasilitas kampus yang memadai untuk menunjang kegiatan mahasiswa selama berada di lingkungan kampus ISI Yogyakarta.
Advertisement
Fasilitas sarana seperti ketersediaan kertas gambar, pensil, cat, kelengkapan studio fotografi, dll. Mengingat kegiatan perkuliahan di kampus ini didominasi oleh praktik menggunakan alat-alat tersebut. Fasilitas prasarana seperti ketersediaan dan pemeliharaan gedung serta ruangan untuk perkuliahan teori maupun praktik. Lantas, bagaimana kondisi fasilitas yang ada di kampus ini? Apakah fasilitas sarana dan prasarana yang ada di ISI Yogyakarta ini sudah memadai untuk menunjang kegiatan perkuliahan?
Kami menanyakan pendapat beberapa mahasiswa mengenai hal ini. Salah satunya adalah Laily, mahasiswa Jurusan Seni Murni angkatan 2022, Fakultas Seni Rupa. Ia mengatakan bahwa fasilitas sarana dan prasarana yang ada di jurusannya kurang memadai untuk menunjang kegiatan perkuliahan sehingga membuat pembelajaran selama di kampus terganggu, “Yang paling mendasar yaitu tong sampah yang masih kurang. (Di) 1 lantai hanya (ada) 1 tong sampah, (tetapi ukurannya) kecil dan terletak di pojok sehingga kurang terlihat. Yang kedua toilet. Kalau ada air, toiletnya rusak, sebaliknya kalau ada toilet, keran/airnya tidak mengalir/bermasalah. Jadi tidak ada yang benar-benar dalam keadaan baik.”
Selain itu, ia juga menambahkan bahwa di gedung jurusannya tidak terdapat fasilitas mushola untuk melaksanakan ibadah. Sehingga mahasiswa yang ingin beribadah harus pulang dulu untuk melaksanakan ibadah dan kembali lagi ke kampus setelahnya, “…Tempat sholat/ibadah tidak ada. Tidak ada gudang (untuk) tempat arsip karya. Perpustakaan fakultas/jurusan ada namun tidak bisa dimasuki, padahal sejatinya ada. Bangku di depan kelas tidak ada, untuk sekedar berkumpul-kumpul. Meja praktik kurang, fasilitas pendukung pembelajar kurang proper seperti AC dan WC kelas. Masalah utamanya karena dicuri/rusak, Bahan praktik tidak diwadahi/disediakan.”
Beberapa mahasiswa lain juga merespons hal yang sama terutama mengenai masalah keberadaan tempat sampah sebagai alat penunjang kebersihan di kampus ISI Yogya. Jumlah tempat sampah yang tersebar di Fakultas Seni Rupa sendiri tidak begitu banyak dan hanya tersedia di beberapa titik saja, seperti di plaza Fakultas Seni Rupa, kantin, dan beberapa titik di gedung prodi/jurusan yang ada di Fakultas Seni Rupa. Di sejumlah gedung bahkan hanya ditemukan sedikit tempat sampah, sehingga beberapa mahasiswa membuat tempat sampah sendiri menggunakan barang yang ada seperti kardus atau tripleks yang disusun, dll. Adanya inisiatif para mahasiswa ini memunculkan pertanyaan lain, yaitu jika ada laporan atau keluhan dari mahasiwa mengenai fasilitas sarana dan prasarana di kampus, bagaimana pihak kampus memproses laporan dan keluhan tersebut? Apa solusi yang ditawarkan oleh pihak kampus untuk mengatasi permasalahan ini?
Kami mengonfirmasi keluhan-keluhan yang disampaikan para mahasiswa -terutama di Fakultas Seni Rupa- kepada pihak dekanat yang mengurus pengadaan dan pemeliharaan fasilitas di Fakultas Seni Rupa, Bapak Jumari. Beliau mengatakan bahwa sebenarnya setiap masalah mengenai fasilitas yang ada di prodi/jurusan merupakan tanggung jawab para penjaga/karyawan
Sayangnya, upaya untuk mengatasi masalah ini belum dapat dilakukan karena adanya kendala dalam pengadaan dana yang memerlukan proses yang panjang dan terbilang rumit. yang ada di prodi/jurusan tersebut, “Sebetulnya prosedurnya seperti ini, mereka yang bertugas di prodi/jurusan, jika memang ada kendala dan bukti yang jelas dan dengan adanya tunjangan kinerja, beliau-beliau yang bekerja di sana ibaratnya bekerja kan sudah dihargai, yang namanya sarana prasarana paling tidak mengetahui tentang teknikal kendala dan pengatasannya (atas masalah yang terjadi). Namun jika kendala tersebut memang tidak bisa diatasi, harus memberikan keluhan yang jelas terkait masalah yang dihadapi dan memberikan laporan ke pihak kami.” Selanjutnya jika ada kendala mengenai fasilitas, mahasiswa melaporkan hal tersebut ke karyawan yang bertugas. Jika tidak ditemukan solusi, maka setelahnya baru dibuat laporan kepada dekanat mengenai permasalahan yang dialami. Jadi, koordinasi dan kerja sama antara mahasiswa, karyawan, dan pihak kampus harus terjalin dengan baik agar komunikasi demi kesejahteraan dan kenyamanan bersama dapat tercipta.
Lainnya, beliau menambahkan bahwa beberapa masalah fasilitas seperti lampu kamar mandi dan tempat sampah sudah beberapa kali ditangani tetapi sering kali ada oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang mengambil/menghilangkan barang-barang tersebut, entah apa motifnya. Misalnya, ketika lampu kamar mandi/tong sampah baru saja diganti, tak lama setelah itu hilang tanpa jejak. Ketika ditemukan lagi sudah berubah wujud menjadi karya dan diletakkan di tempat lain.
Selain itu, masalah tentang ketersediaan dan kebersihan air di beberapa gedung yang ada di Fakultas Seni Rupa sendiri merupakan masalah penting. Pak Jumari mengatakan hal ini disebabkan oleh adanya jalur pembuangan sampah ke limbah di daerah Bantul. Air yang dialirkan pagi hari sudah berubah menjadi keruh dan kotor ketika sore hari. Sehingga membuat kualitas air di sekitarnya tidak layak pakai. Sayangnya, upaya untuk mengatasi masalah ini belum dapat dilakukan karena adanya kendala dalam pengadaan dana yang memerlukan proses yang panjang dan terbilang rumit.
Bapak Age Hartono selaku Pembantu Rektor II menanggapi permasalahan ini dan mengakui adanya kekurangan pada beberapa fasilitas sarana dan prasarana yang ada di ISI Yogyakarta, “…Pembuatan fasilitas-fasilitas dan gedung di kampus pada dasarnya berasal dari dana mahasiswa sendiri, BNBP. Seperti gedung Mediarta dan TKS, dan Animasi masih belum memiliki gedungnya sendiri. Untuk pemeliharaan gedung dan lingkungan, pengadaan dilakukan per tahun. Sehingga keluhan yang didapatkan dari dosen maupun mahasiswa pun tidak dapat disetujui secara tiba-tiba…” Beliau juga mengatakan bahwa semua keluhan tersebut nantinya akan dibahas di rapat perencanaan tahunan. Perencanaan pembangunan dan pengadaan fasilitas pun tidak bisa dilakukan sekaligus karena perlu mempertimbangkan pengalokasian dana dan skala prioritas setiap tahun.
Adanya TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) juga menjadi salah satu alasan mengapa sulit melakukan pembaruan dan pengadaan fasilitas sarana seperti perlengkapan untuk pembelajaran mahasiswa. Beberapa barang yang akan dihadirkan sebagai penunjang sarana pembelajaran mahasiwa seringkali mendapatkan kendala karena sistem ini. Pak Age berujar, “Yang juga menjadi salah satu problem kita saat itu yaitu adanya TKDN, sehingga semua produk harus melalui tahap legalisasinya. Sementara terdapat banyak alat-alat penunjang kegiatan pembelajaran mahasiswa, seperti kamera, yang belum TKDN. Hal ini menjadi salah satu penghambat, terutama untuk produk-produk impor yang melalui proses perizinan masuk yang panjang. Hal ini kemudian memunculkan keluhan mahasiswa karena alatalat kampus yang mungkin sudah tidak layak pakai atau tidak terbarukan.” Adanya hambatan dalam pengadaan dana dan sistem TKDN yang memerlukan proses lama, membuat permasalahan fasilitas kampus di ISI
Yogyakarta semakin pelik.
Pak Age menuturkan bahwa solusi untuk mengatasi permasalahan ini adalah meminimalisir penggunaan produk-produk impor supaya produsen dalam negeri terpacu untuk meningkatkan kualitasnya. Beliau juga berharap fasilitas yang ada di kampus segera melewati masa transisi dan tahun depan sudah di TKDN, sehingga dapat menunjang kegiatan para mahasiswa dengan maksimal.