“Mang juga dituduh BTI* oleh orang-orang itu. Kasihan si bibi. Sejak saat itu tiap tidur pasti ngigau ketakutan karena terlalu sering diancam. Mau dibakarlah rumah, mau didoser, sampai mau dibunuh segala, tidak hanya oleh mereka, tapi juga sama pak kades dan anak buahnya. Mang lama-lama ngga kuat, Jang. “ (Dulu di desa saya ada semacam guyonan tentang BTI dan katanya bisa jadi
cara yang ampuh, bahkan bisa untuk membuat pencuri mengakui perbuatannya. Begini biasanya kami melukiskan: “Kamu maling ayam, ya?”, bentak ronda. “Ampun, kang, bukan, kang. Sumpah, bener saya bukan maling!”, seru pencuri itu. “Ngaku kamu! Kamu pasti maling!!!” “Ngga, kang, bukan. Bener, sumpah.” “Ooo, kalau bukan maling kamu pasti BTI, ya?!” “Tobat, saya bukan BTI, kang. Sumpah tujuh turunan! “Ngaku, kamu BTI’kan?! “Bukan, kang, bukan, saya memang maling.” Akhirnya si pencuri mengaku. Karena lebih baik mengaku maling ketimbang dituduh BTI. Bisa celaka 7 turunan)
Saya hanya diam. Ada banyak yang tidak bisa saya pahami. Saya teringat ketika ibu menjual sawah pada mang fulan untuk biaya obat bapak. “Kenapa harus menjual sawah? Apa obat-obat bapak itu seharga sawah?” Tanya saya. Ibu hanya menjawab lirih saat itu, “obat-obat, rumah sakit itu mahal, jang.” Tapi saya tetap tidak mengerti terlebih ketika melihat obat-obat bapak kecil-kecil, tidak sebesar sawah. Atau ketika banyak tetangga saya yang menjual sawahnya pada mang fulan agar mereka bisa beli radio, beli tv saat pertama kali listrik ke desa saya. “Kenapa harus menjual sawah? Kenapa mereka baru bisa beli radio, beli tv kalau mereka menjual sawah?” Ibu hanya menjawab lirih saat itu, “radio, tv itu mahal, jang.” Tapi saya tetap tidak mengerti terlebih ketika melihat radio-tv kecil-kecil, tidak sebesar sawah. Atau ketika banyak tetangga saya yang menjual sawahnya ke mang fulan agar mereka bisa menyekolahkan anak-anaknya ke kota. “Kenapa harus menjual sawah? Kenapa mereka baru bisa sekolah kalau mereka menjual sawah?” Ibu hanya menjawab lirih saat itu, “sekolah itu mahal, jang. Kalau sekolah kita jadi pintar.” Tapi saya tetap tidak mengerti terlebih ketika melihat buku-buku yang mereka