Energy Analysis #1 Menelaah Pengalihan Skema PSC ke Gross Split

Page 1

Menelaah Pengalihan Skema PSC ke Gross Split dalam Sharing Kontrak Migas

Perubahan Skema PSC ke Gross Split Pada awal tahun 2017, Kementrian ESDM dibawah kepemimpinan Menteri ESDM Ignasius Jonan mengeluarkan Permen ESDM Nomor 8/2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split. Skema kontrak bagi hasil Gross Split ini akan menggantikan skema kontrak bagi hasil terdahulu dalam sharing kontak migas yang sudah digunakan di Indonesia sejak 1964, yaitu Production Sharing Contract (PSC). Dalam wawancaranya dengan indopetronews.com, Ignasius Jonan mengatakan bahwa Skema Gross Split dapat mengurangi beban APBN pemerintah. Beban APBN yang ditanggung pemerintah berbentuk cost recovery, atau dalam bahasa lainnya adalah biaya operasi, yang ada dalam skema PSC. Cost Recovery dalam Skema PSC Dalam skema sharing kontrak migas Production Sharing Contract (PSC), terdapat dana cost recovery. Cost recovery adalah dana pengembalian biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh kontraktor dalam memproduksi migas oleh pemerintah. Biaya operasi yang dimaksud berupa biaya untuk eksplorasi dan produksi. Cost recovery ini merupakan bagian dari kontrak perjanjian sehingga besarnya dana cost recovery harus “dibayarkan� oleh pemerintah sebelum pembagian profit dari produksi migas. Pemerintah dalam pengembalian cost recovery ini membebankan pada dana APBN. Sebenarnya, dana cost recovery dahulunya sudah diatur pembagiannya, yakni 60% dari pemerintah, dan 40% dari kontraktor. Namun, dikeluarkannya Undang-undang No. 22 Tahun 2001 menghapuskan batas atas cost recovery, sehingga semua cost recovery ditanggung pemerintah. Niat pemerintah pada awalnya adalah menggairahkan investasi di bidang migas. Namun, ketiadaan batas atas cost recovery ini menimbulkan masalah yaitu naiknya cost recovery secara signifikan. Kenaikan cost recovery ini dapat dikarenakan kontraktor migas tidak menekan biaya eksplorasi dan produksinya, dikarenakan semua biaya akan diganti oleh pemerintah, dan tidak ada batas atas dari cost recovery tersebut. Selain itu, proses persetujuan cost recovery juga rumit dan panjang. Kedua


hal ini menjadi alasan utama mengapa Kementrian ESDM mengubah skema PSC ke Gross Split. Dikutip dari situs Badan Pemeriksa Keuangan RI dan Kementrian Keuangan, dana cost recovery dari tahun 2011 sampai 2016 cenderung naik. Rincian data tersebut adalah dana cost recovery pada 2011 sebesar US$ 15,52 miliar, pada 2012 sebesar US$ 15,51 miliar, pada 2013 sebesar US$ 15,92 miliar, pada 2014 sebesar US$ 15,32 miliar, pada 2015 sebesar US$ 16,1 miliar, dan pada 2016 sebesar US$ 16,5 miliar. [2[[3]Tren kenaikan cost recovery ini menjadi alasan utama mengapa skema PSC pantas diubah ke Gross Split.

Data Kenaikan Cost Recovery Tahun 2011-2016 Cost Recovery (miliar US$)

16,6

16,4 16,2 16 15,8 15,6 15,4 15,2 15 2010

2011

2012

2013

2014

2015

2016

2017

Tahun

Grafik 1: Kenaikan Cost Recovery Tahun 2011-2016 Sumber: http://www.kemenkeu.go.id/en/node/47651

Perhitungan dalam Skema PSC Dalam Skema PSC sebelumnya, pemerintah mendapat bagi hasil sebesar 85% dari pendapatan hasil minyak dan 70% dari pendapatan hasil gas. Namun, tentunya besar pendapatan ini belum dikurangi dengan cost recovery. Besarnya pendapatan negara sangat bergantung pada besarnya cost recovery yang digantikan. Secara lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan berikut


Sumber: http://www.bpn.go.id/Publikasi/Siaran-Pers/gross-split-lebih-baik-untuk-mewujudkan-energiberkeadilan-di-indonesia-66488

Menurut data Kementrian ESDM melalui siaran pers pada 31 Desember 2016, rata rata produksi minyak bumi sebanyak 831.000 barel per hari selama tahun 2016[5]. Jika dimisalkan biaya cost recovery yang harus diganti negara ke kontraktor sebesar 40% dari total produksi, yaitu 332.400 bph, maka bagian yang akan dimiliki oleh negara adalah 85% dari 831.000 bph dikurangi 332.400 bph, atau 85% dari 498.600 bph, yaitu sebesar 423.810 bph. Sedangkan bagian bersih yang akan dimiliki kontraktor sebesar 15% dari 498.600 bph, yaitu sebesar 74.790 bph. Jika bagian kontraktor ditambah dengan cost recovery yang diganti oleh negara, maka kontraktor akan mendapat 407.190 bph. Secara rincinnya dalam dilihat sebagai berikut: đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘‘đ?‘˘đ?‘˜đ?‘ đ?‘– đ?‘‡đ?‘œđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘™ = 831.000 đ?‘?đ?‘?â„Ž đ??śđ?‘œđ?‘ đ?‘Ą đ?‘&#x;đ?‘’đ?‘?đ?‘œđ?‘Łđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘Ś = 332.400 đ?‘?đ?‘?â„Ž đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘‘đ?‘˘đ?‘˜đ?‘ đ?‘– đ?‘?đ?‘’đ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–â„Ž = 831.000 đ?‘?đ?‘?â„Ž − 332.400 đ?‘?đ?‘?â„Ž = 498.600 đ?‘?đ?‘?â„Ž đ??ľđ?‘Žđ?‘”đ?‘–đ?‘Žđ?‘› đ?‘›đ?‘’đ?‘”đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Ž = 85% đ?‘Ľ đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘‘đ?‘˘đ?‘˜đ?‘ đ?‘– đ??ľđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–â„Ž = 85% đ?‘Ľ 498.600 đ?‘?đ?‘?â„Ž = 423.810 đ?‘?đ?‘?â„Ž đ??ľđ?‘Žđ?‘”đ?‘–đ?‘Žđ?‘› đ?‘˜đ?‘œđ?‘›đ?‘Ąđ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘˜đ?‘Ąđ?‘œđ?‘&#x; = 15% đ?‘Ľ đ?‘ƒđ?‘&#x;đ?‘œđ?‘‘đ?‘˘đ?‘˜đ?‘ đ?‘– đ??ľđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘ đ?‘–â„Ž = 15% đ?‘Ľ 498.600 đ?‘?đ?‘?â„Ž = 74.790 đ?‘?đ?‘?â„Ž đ??ľđ?‘Žđ?‘”đ?‘–đ?‘Žđ?‘› đ?‘˜đ?‘œđ?‘›đ?‘Ąđ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘˜đ?‘Ąđ?‘œđ?‘&#x; + đ?‘?đ?‘œđ?‘ đ?‘Ą đ?‘&#x;đ?‘’đ?‘?đ?‘œđ?‘Łđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘Ś = 79.650 đ?‘?đ?‘?â„Ž + 332.400 đ?‘?đ?‘?â„Ž = 407.190 đ?‘?đ?‘?â„Ž


Jika dihitung dari hasil akhir pembagian, dengan biaya cost recovery sebesar 40% dari total produksi, negara hanya akan mendapat 51% pendapatan dan kontraktor mendapat total pendapatan 49%. Hal ini menunjukkan bahwa pendapatan negara sangat bergantung pada besarnya cost recovery, semakin besar cost recovery, semakin sedikit untung yang didapat negara. Mengapa Skema Gross Split Berbeda? Dalam skema bagi hasil Gross Split, biaya operasi berupa biaya eksplorasi dan produksi tidak dibebankan kepada pemerintah dalam bentuk cost recovery. Biaya produksi ditanggung sendiri oleh pihak kontraktor migas. Karena biaya produksi ditanggung oleh kontraktor itu sendiri, secara otomatis kontraktor akan berusaha lebih efisien dalam mengeluarkan biaya produksi demi keuntungan yang lebih tinggi. Selain itu, dalam menentukan biaya operasi, kontraktor juga tidak perlu melalui proses yang rumit dan panjang seperti halnya pengajuan cost recovery. Dalam skema gross split, pemerintah akan mendapat bagi hasil sebesar 57% dan kontraktor sebesar 43%. Nilai bagi hasil ini disebut base split, atau dasar bagi hasil. Secara lebih jelasnya dapat dilihat dari bagan berikut:

Sumber: http://www.bpn.go.id/Publikasi/Siaran-Pers/gross-split-lebih-baik-untuk-mewujudkan-energiberkeadilan-di-indonesia-66488

Base split ini dapat berubah sesuai perundingan tergantung dari keadaan eksplorasi dan produksi. Menurut data Kementrian ESDM, dikutip dari bpn.go.id, ada 10 variabel yang dapat mengubah base split, yaitu status lapangan, lokasi lapangan (offshore atau onshore),


kedalaman reservoir, ketersediaan infrastruktur mendukung, jenis reservoir, kandungan CO2, kandungan H2S sebagai zat asam pengotor, berat jenis minyak bumi, tingkat komponen dalam negeri, dan tahapan produksi. Selain itu, base split juga dapat berubah sesuai dengan harga minyak dan jumlah produksi. [6] Jikalau berkaca pada rata-rata produksi minyak bumi pada tahun 2016 sebesar 831.000 barel perhari seperti yang dilakukan pada perhitungan PSC, maka pendapatan negara dan kontraktor menggunakan skema gross split dengan acuan base split adalah: đ?‘ƒđ?‘’đ?‘›đ?‘‘đ?‘Žđ?‘?đ?‘Žđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘› đ?‘›đ?‘’đ?‘”đ?‘Žđ?‘&#x;đ?‘Ž = 57% đ?‘Ľ 831.000 đ?‘?đ?‘?â„Ž = 473.670 đ?‘?đ?‘?â„Ž đ?‘ƒđ?‘’đ?‘›đ?‘‘đ?‘Žđ?‘?đ?‘Žđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘› đ?‘˜đ?‘œđ?‘›đ?‘Ąđ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘˜đ?‘Ąđ?‘œđ?‘&#x; (đ?‘?đ?‘’đ?‘™đ?‘˘đ?‘š đ?‘Ąđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘šđ?‘Žđ?‘ đ?‘˘đ?‘˜ đ?‘?đ?‘–đ?‘Žđ?‘Śđ?‘Ž đ?‘œđ?‘?đ?‘’đ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘ đ?‘–) = 43% đ?‘Ľ 831.000 đ?‘?đ?‘?â„Ž đ?‘ƒđ?‘’đ?‘›đ?‘‘đ?‘Žđ?‘?đ?‘Žđ?‘Ąđ?‘Žđ?‘› đ?‘˜đ?‘œđ?‘›đ?‘Ąđ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘˜đ?‘Ąđ?‘œđ?‘&#x; (đ?‘?đ?‘’đ?‘™đ?‘˘đ?‘š đ?‘Ąđ?‘’đ?‘&#x;đ?‘šđ?‘Žđ?‘ đ?‘˘đ?‘˜ đ?‘?đ?‘–đ?‘Žđ?‘Śđ?‘Ž đ?‘œđ?‘?đ?‘’đ?‘&#x;đ?‘Žđ?‘ đ?‘–) = 357.330 đ?‘?đ?‘?â„Ž Dari data perhitungan tersebut dapat dilihat bahwa skema gross split lebih menguntungkan negara daripada kontraktor, dengan kondisi cost recovery sebesar 40% dari total produksi. Namun gross split tidak eksak selalu menguntungkan negara, ada kalanya juga menguntungkan kontraktor. Hal ini bergantung pada jumlah cost recovery yang berbeda-beda pada tiap kontrak jika masih menggunakan PSC, dan perubahan base split pada gross split saat persetujuan awal kontrak. Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan pada skema gross split, dana cost recovery ditanggung sendiri oleh kontraktor, sehingga dalam eksplorasi dan operasinya tentu pihak kontraktor akan dapat menentukan dana cost recovery seefisien mungkin sesuai kebutuhan untuk mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya, berbeda dengan pada PSC dimana cost recovery ditanggung negara. Hal ini juga membuat penerimaan negara akan sektor migas lebih pasti karena tidak tergantung besarnya cost recovery yang ditanggung. Selain itu, pada kontrak gross split birokrasi untuk melakukan operasi dan produksi migas menjadi lebih cepat. Hal ini dikarenakan tidak ada lagi skema rumit saat negosiasi persetujuan cost recovery. Namun di lain sisi, kontraktorf memang sedikit dimudahkan dengan dipotongnya birokrasi, namun perhitungan biaya operasi yang ditanggung sendiri oleh kontraktor migas tentu membebankan kontraktor tersebut. Dari segi


Referensi: http://www.bpk.go.id/news/cost-recovery-migas-ditetapkan-rp-192-triliun http://katadata.co.id/berita/2016/06/15/anggaran-cost-recovery-turun-jadi-us-8-miliar http://www.kemenkeu.go.id/en/node/47651 http://www.kemenkeu.go.id/en/node/47167 http://www.migas.esdm.go.id/post/read/siaran-pers--produksi-dan-lifting-migas-tahun-2016melebihi-target,-menteri-esdm-apresiasi-untuk-kerja-keras-seluruh-pihak https://finance.detik.com/energi/d-3401561/jonan-bagi-hasil-migas-dengan-skema-grosssplit-lebih-adil http://katadata.co.id/telaah/2016/12/19/hitung-hitungan-skema-baru-kontrak-migas-grosssplit http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170119075845-85-187331/jonan-resmi-telurkanaturan-kontrak-migas-gross-split/


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.