Haluan 11 Oktober 2012

Page 11

11

KAMIS, 11 OKTOBERBER 2012 M 25 DZULQAEDAH 1433 H

Fans NOAH ................... Dari Halaman. 1 Kejahatan dan ................. Dari Halaman. 1 terdengar penuh dalam ruangan Pagaruyung itu. Konser yang dimulai dengan judul tembang “Cobalah Mengerti”, Ariel kemudian melanjutkan penampilannya dengan menyanyikan lagu “Walau Habis Terang” dan “Di Atas Normal”. Di konser ini total ada 15 lagu yang dibawakan NOAH. Dalam kesempatan tersebut, Ariel sempat mengajak penonton bernyanyi bersama, khususnya lagulagu yang sudah dihafal Sahabat

NOAH, sebutan bagi penggemar NOAH. Selain mengajak para penonton bernyayi bersama, Ariel juga mengucapkan terimakasih kepada seluruh penonton. “Kalau bukan karena kalian, kami tidak akan sampai di Kota Padang yang begitu fantastik ini,” sebut Ariel. Sementara itu, meski hanya tampil tidak lebih dari dua jam dan juga harga tiket yang tergolong mahal, tidak menyurutkan animo penonton dan sahabat NOAH.

Mereka mengaku puas dengan penampilan NOAH. “Jujur sebetulnya masih belum puas dengan penampilan NOAH, karena waktunya kurang lama. Tapi setelah mendengar suara dan melihat langsung Ariel, rasa kangen selama dua tahun terakhir akibat tidak mendengarkan karyanya, bisa terobati,” kata Rini yang telah menyempatkan datang jauh-jauh dari Pekan Baru, Riau. (h/cw-wis)

Forwana Sumbar ............. Dari Halaman. 1 masukan dalam penyusunan regulasi,” kata Anwar. Kondisi ini sangat berbahaya bagi perkembangan demokrasi di tingkat desa. “Gambaran RUU ini seakan mengembalikan semangat UU No. 5 Tahun 1979 yang sentralistik dan tidak demokratis,” ujarnya. Ia menambahkan, beberapa kesalahan mendasar dengan hilangnya klausul Pemerintahan Desa dalam RUU ini adalah, matinya demokrasi di tingkat desa, karena inti dari demokratisasi adalah adanya pembagian kewenangan dan kekuasaan ditingkat lembaga pemerintahan.”Dengan diamputasinya status BPD sebagai penyelenggara Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa mengakibatkan maka kekuasaan dan kewenangan Kepala Desa menjadi sangat besar,”

jelas Anwar. Dikatakan, hilangnya hak-hak masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yang diartikulasikan dan diagregasikan oleh BPD sebagai penyelenggara pemerintahan bersama Kepala Desa. Kesalahan mendasar lainnya, tambah Anwar, akan terjadinya isntabilitas di tingkat desa dengan muncul kelompok-kelompok oposisi liar di kalangan muda terpelajar desa. “Sehubungan dengan itu, Forwana Sumbar merekomendasikan untuk tetap mempertahankan BPD sebagai penyelenggara Pemerintahan Desa bersama Kepala Desa, UU tentang Desa yang akan ditetapkan hendaknya juga menjamin desa sebagai entitas yang otonom sebagai local self government,” katanya.

Rugikan Sumbar Lebih lanjut ia menegaskan, pengalokasian anggaran pemerintah kepada desa biasanya hanya menghitung jumlah desa per kabupaten/ kota sangat merugikan bagi daerah Sumatera Barat karena jumlah Nagari yang sedikit. “Untuk itu dalam hal ini Forwana Sumbar merekomendasikan dua alternative yakni mengenai penyertaan jorong di Sumatera Barat dengan desa di luar Sumatera Barat dalam hal pengalokasian anggaran dan program pembangunan, serta pengalokasian anggaran dan kegiatan pembangunan secara proporsional dengan mempertimbangkan aspek luas wilayah, jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin dan lain sebagainya,” tandasnya. (h/sam/met)

Sindikat Bandit ................ Dari Halaman. 1 PADANG, HALUAN — Dua dari sepuluh sindikat perampok yang ditangkap jajaran Polresta Padang beberapa hari lalu, tak dapat mengelak ketika dipertemukan dengan empat orang tersangka perampok yang diringkus jajaran Polres Agam dan Pasaman Barat tersebut. Sebelumnya, mereka tak mengaku dan mengelak saling kenal, tetapi ketika polisi menghadirkan dua orang korban yang menderita luka tembak oleh kawanan bandit ini dalam aksi perampokan di Bandar Olo Toko UD Sari Ayu, Senin (1/10) lalu, keenamnya tak bisa lagi berkilah. Maka dengan demikian, polisi telah meringkas sindikat perampok ini dari sepuluh yang diduga terlibat dalam aksi di Bandar Olo itu. Hasil keterangan kawanan bandit ini dan ditambah dengan saksi, keenamnya mengakui peran dan keterlibatan dalam perampokan di UD Sari Ayu dengan menggunakan senjata api, tiga unit motor, dan dua unit mobil jenis Avanza serta Xenia. Dari informasi yang dihimpun Haluan, sindikat yang yang dijuluki polisi dengan sebutan Gembong Rampok Sumatera ini, berawal dibentuk di dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) yang berbeda-beda kota. Ada yang di Jambi, Palembang, dan Padang. Menurut cerita polisi, sebelum mereka ini masuk “kandang situmbin”, satu sama lainnya sudah saling mengenal dan mereka berasal dari berbagai provinsi di Pulau Sumatera dan Jawa. Lapas yang pernah mereka huni di Kota Palembang, Sumatera Selatan dan Jambi. Tiga mantan warga binaan Lapar Muaro Klas II A Padang adalah adalah, Budi (32), Riki (28), dan Devial Putra panggilan Novi alias Ngengeng (28) yang kini masih buron. Setelah jajaran Mapolresta Padang mempertemukan empat orang tersangka itu dengan dua orang tersangka lain, mereka tak berkutik lagi. Empat orang tersangka yang diringkus jajaran Polres Agam dan jajaran Polres Pasaman Barat ini masing-masing Jamaludin (50), Trimo alias Pakde (59), yang keduanya asal Bangka Barat, Provinsi Bangka Belitung, Rasyid (39), asal Jawa Tengah, dan Masni (50), yang merupakan warga Tunggul Hitam, Padang. Keterkaitan perampok lintas provinsi ini tentu membuka banyak pertanyaan, paling tidak, bagaimana cara mereka menjalin komunikasi saat berada di masing-masing Lapas itu? Riki, warga Ulu Gadut, Kecamatan Pauh dan Budi, asal Kampuang Pariuk, Kecamatan Pauh Padang, yang telah diringkus jajaran Mapolresta Padang lebih dahulu awal membantah keras mengenal empat orang tersangka yang dikirim daqri Mapolsek Agam ini. Trimo alias Pakde mengatakan, asal Bangka Barat, sebelum melancarkan aksi di Bandar Olo, mereka terlebih dahulu berkumpul di kawasan Solok Selatan. Di sini, mereka merencanakan aksi dan pematangan pembagian “tugas”. Informasi dari Budi, yang pernah lama berkerja di Toko Sari Ayu, mereka pelajari secara mendalam. “Kami merencanakan perampo-

kan Toko UD Sari Ayu berdasarkan informasi dari Budi. Karena Budi pernah berkerja di sana. Kami detilkan, dan sekaligus membagi tugas masing-masing,” kata Pak De kepada Haluan, Rabu (10/10). Setelah semua direncanakan dengan matang, pada tanggal 28 September 2012, tambah Pak De, kawanan ini masuk Kota Padang. Basis berkumpul di rumah Riki. Kelompok Gembong Sumatera ini telah memiliki dua senjata rakitan jenis revolver, dan satu pucuk senjata api jenis FN dengan kaliber 9 milimeter buatan Pindad Indonesia. “Pistol jenis FN itu milik oknum anggota TNI bernama Kadar yang saat ini tengah berdinas di Palembang,” kata Pakde meyakinkan. “Dua senjata rakitan dibeli dari teman saya bernama DT Ami,” tambahnya. Pak De pun mengisahkan, kedua senjata api rakitan itu, dibeli dengan harga masing-masing Rp2 juta. “Saya gadaikan sepeda motor saya. Sepeda motor itu akan ditebus jika dengan uang rampokan,” kisah Pak De. Pakde sendiri merupakan salah seorang residivis karena tersangkut kasus pencurian tahun pada 1981 lalu dan pernah ditahan di daerah Bandar Lampung. Saat beraksi di Bandar Olo dirinya dan sembilan temannya lain, menggunakan tiga unit sepeda motor serta dua unit mobil rental. Setelah beraksi di Bandar Olo, kata bapak tiga anak ini, dirinya dan kawanannya balik lagi ke Kabupaten Solok Selatan. Kemudian esok harinya, Selasa (2/10) ia mengaku mendapat telepon dari salah seorang temannya bernama Ucok, asal Madina, Sumut, mengatakan bahwa di Madina, tepatnya di daerah Manisak, Kecamatan Manisak, Kabupaten Madina, Sumut ada target bagus, yakni salah seorang toke emas yang memiliki bongkahan emas yang cukup banyak. “Setelah kami mendapatkan informasi tersebut, saya menanyakan kepada rekan-rekan siapa yang mau ikut dalam aksi besar di Sumut itu. Saat itu, delapan orang teman saya diluar tersangka Riki dan Budi, yang tinggal di Padang, tidak ikut dengan kami setelah aksi perampokan di kawasan Bandar Olo itu,” ujarnya. Dilanjutkannya, setelah ada kata sepakat malam itu juga mereka berangkat ke Madina, dengan menggunakan dua unit mobil rental. Mereka sampai di Madina, Sumut, Rabu (3/10) setiba di sana mereka sempat berputarputar dan memetakan lokasi, dan mencari jalur untuk kabur setelah usai beraksi nantinya. Pada Senin (8/10), mereka beraksi dengan target seorang toke emas, namun dalam aksinya kawanan ini tidak membuahkan hasil dan sempat menembak korban dengan satu kali tembakan. Setelah itu mereka kabur meninggalkan lokasi kejadian, saat itu jajaran kepolisian di Madina langsung melakukan koordinasi dengan aparat kepolisian Pasaman Barat dan jajaran Polres Agam, dimana kawanan rampok yang tergabung dalam Gembong Rampok Sumatera ini diringkus. Kasus Terus

Dikembangkan Kapolresta Padang, Kombes Pol Moch Seno Putro menyebutkan, kawanan rampok kelompok Sumatera ini terkenal sangat sadis dan nekat. Mereka tidak segan melumpuhkan korban atau masyarakat yang menghalangi mereka dengan tembakan. Kelompok Gembong Sumatera yang telah diringkus dan mengaku sebagai pelaku perampokan di daerah Bandar Olo ini seluruhya adalah resedivis atau orang-orang yang pernah di penjara karena kasus pencurian. “Defial Putra yang sampai saat ini masih buron adalah salah seorang pelaku pencurian dan belum bebas murni. Dirinya masih dalam percobaan atau bebas bersarat. Ia masih menyisakan masa hukumannya sebanyak 10 bulan lagi. Defial baru bebas pada 5 Desember 2013 tahun depan,” kata Seno didampingi Direktur Reskrim Umum Polda Sumbar Kombes Pol. Adi Karya Tobing, saat jumpa pers dengan wartawan di Mapolresta Padang, Senin (10/10). Kawanan rampok yang tergabung dalam Kelompok Gembong Sumatera ini, kata Seno, diduga memiliki jaringan yang sangat luas seperti dengan kelompok Jambi, Bandar Lampung, Palembang, Bangka Belitung, Bengkulu, Solok Selatan, serta Kota Padang. “Kemudian Pakde ini merupakan sebagai eksekutor sehingga dia ini yang melakukan penembakan kepada korban,” kata Kapolres. Dengan adanya pengakuan kawanan rampok itu, polisi terus melakukan pengembangan terhadap kelompok ini, yang diduga sebagai pelaku perampokan di Dharmasraya, Solok Selatan, Kabupaten Solok, Kota Bukittinggi, Pasaman Barat, dan di Kota Padang sendiri. Terlibat Pencurian Motor Selain melakukan kasus perampokan, lanjut Seno, kawanan ini juga diduga terlibat dan merupakan pelaku curanmor di beberapa daerah Sumbar. Untuk aksi perampokan di Sumbar, yang acap melakukannya adalah Defial Putra panggilan Novi alias Ngengeng, Pakde, dan inisial “UJ”, warga Solok, yang saat ini masih buron. Diakui Adi Karya Tobing, walaupun dua dari tiga orang gembong rampok yang sering beraksi di Sumbar telah diringkus, namun tidak tertutup kemungkinan masih ada gembong rampok lain diluar jaringan yang masih mencari mangsa di Sumbar. Namun guna meringkus dua orang kawanan rampok kelompok Sumatera yang berhasil kabur, dan saat ini masih berada di ladang sawit, di daerah Bawan, Kabupaten Agam. Saat ini kata Adi Karya Tobing, sebanyak 20 orang anggota Resmob Polda Sumbar telah menutup seluruh jalur masuk dan keluar dari tempat itu, anggota Resmob Polda Sumbar ini dibantu oleh jajaran Reskrim Polsek dan Mapolres setempat, untuk sementara dari laporan petugas yang masih dilapangan dua perampok tersebut masih berada dalam kawasanan hutan itu. Kapolres dalam jumpa pers itu memperlihatkan barang bukti berupa, dua pucuk senjata api rakitan jenis revolfer, satu senjata api jenis FN, 31 butir peluru, kunci T, beberapa senjata tajam, serta foto buronan Defial. (h/nas)

Gedung Abdullah Kamil, Padang, Rabu (10/10). Puluhan tokoh tigo tungku sajarangan itu bertemu atas undangan Ketua Umum Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar Drs M Sayuti Dt Rajo Pangulu, MPd, untuk menyikapi berbagai tindak kejahatan dan maksiat yang begitu masif terjadi di Ranah Minang, sejak beberapa bulan belakangan. “Bayangkan, hampir tiap hari kita membaca, mendengar dan melihat di televisi berbagai kasus kejahatan dan maksiat di daerah ini. Jambret, perampokan, pencurian, pembunuhan, perkosaan dan beragam tindak maksiat lainnya menjejali pemberitaan di media massa. Kita sesak dan gerah dibuatnya,” ujar Sayuti. Ketua LKAAM dan para ninik mamak sependapat, bahwa masyarakat Sumatera Barat tidak cukup lagi hanya mengandalkan aparat seperti polisi dan satpol untuk mengatasi masalah, yang dinilai sudah masuk tahap kejadian luar biasa (KLB) ini. “Kejahatan, perbuatan tercela dan maksiat yang terjadi sudah masuk kategori kejadian luar biasa atau KLB. Perbandingan jumlah polisi dengan masyarakat sudah tidak berimbang lagi. Makanya, kita semua harus mengaktifkan para dubalang adat untuk memagari wilayah dan nagari di Ranah Minang,” kata Ketua LKAAM Sumbar ini. Prof Nur Anas Jamil, Chairul

Darwis Dt Rangkayo Mangkuto Alam dari pengurus LKAAM Sumbar serta Buya Bagindo M Letter dan sejumlah pengurus KAN dari Pasaman Barat, Agam, 50 Kota, Pariaman dan Padang, mendukung dan sepakat dengan rencana pengaktifan para dubalang adat untuk menumbuhkan rasa aman dan tentram di daerah ini. “Saya sepakat. Tapi, sejalan dengan pengaktifan para dubalang adat, fungsi dan peranan dari tigo tungku sajarangan di nagari-nagari harus dihidupkan lagi. Pemerintah dan aparat jangan menjadikan ninik mamak seperti tamu di negerinya sendiri. Kalau ada masalah dan persoalan hukum dengan anak kemenakan, tolonglah diajak baiyo, aparat jangan main cokok begitu saja,” kata mantan Ketua Muhammadiyah Sumbar ini. Pengurus KAN Kotobaru, Pasaman Barat Syahrul Ramadhan Tanjung, mendukung penuh pengaktifan dubalang adat ini. “Kami di Kotobaru, Pasaman Barat punya 41 dubalang yang sudah kami aktifkan diam-diam di kampung kami untuk membantu memecahkan berbagai masalah yang terjadi. Jika LKAAM dan pemerintah Sumbar sepakat membentuk dubalang, kami di Pasbar tinggal memproklamirkannya,” kata Syahrul didampingi Pengurus IPSI Pasbar Pramana Yose. Peserta rapat juga setuju, jika dubalang bisa dibentuk dan diaktifkan secara baik, maka ini diharapkan akan bisa mengurangi

konflik adat. Selama ini, jika terjadi konflik di tengah masyarakat yang berkaitan dengan adat, maka kewenangan pihak kepolisian untuk menyelesaikan hal tersebut akan terbatas. Karena itu perlu peran dubalang untuk terjun langsung ke tengah konflik adat agar tidak terjadi pertikaian yang berujung kepada pelanggaran hukum. Di samping itu, dubalang bisa menjadi personil pengamanan nagari untuk mengendalikan masyarakat yang berbuat melanggar hukum. “Tugas mereka untuk menjaga keamanan nagari. Jika ada orang maling, berbuat mesum dan sebagainya, mereka bisa kita andalkan,” kata Sayuti. Dalam mengembalikan eksistensi dubalang, rapat sepakat untuk membuat Barisan Dubalang Paga Nagari (Badupari) di seluruh kabupaten/kota dan mengirimkan untuk pelatihan mental dan fisik di SPN Padang Besi. “Kita sepakat untuk membuat pelatihan mental dan fisik para dubalang yang tergabung dalam Badupari di SPN Padang Besi dengan koordinasi terlebih dahulu kepada gubernur,” kata Ketua LKAAM Sumbar itu. Dalam keanggotaan Badupari tersebut akan direkrut dubalang yang telah dipilih oleh suku di setiap nagari. Dalam setiap nagari diperkirakan dihuni oleh lima sampai tujuh suku. Jadi akan ada tujuh anggota Badupari di setiap nagari. (h/ang/ze)

Taman Bacaan ................ Dari Halaman. 1 Penghobi cerita silat Kho Ping Hoo di era 70-an, penghobi novelnovel seperti Karmila, Cintaku di Kampus Biru, Ali Topan Anak Jalanan, Lupus, Balada Si Roy, Jejak-jejak Jejaka, Peluang Kedua, Pintu Terlarang, Istana Kedua atau novel popular lainnya di era setelah itu tentu punya kenangan tersendiri dengan taman bacaan ini. Barangkali di tahun itu ada yang berusaha bolos dari sekolah untuk melampiaskan rasa penasarannya membaca cerita Kho Ping Hoo terbaru. Ada yang mengajak kekasihnya kencan sambil membaca novel kasmaran di taman bacaan tersebut. Atau sekadar melihat-lihat karena penasaran lalu ngutang membaca karena uang saku habis. Orang-orang yang punya kenangan di taman bacaan Amran sampai sekarang masih ada yang suka datang meminjam beberapa bacaan di sana. “Ada mereka yang sudah jadi dokter, jadi hakim, jadi pengusaha, kadang masih datang ke sini pinjam novel,” kata Amran pemilik taman bacaan tersebut ketika diwawancara Haluan, Rabu (10/10). Bahkan kini yang mengunjungi taman bacaan tersebut adalah cucu dari orang-orang dulu. Amran lalu bercerita banyak sejak kapan dia memulai usaha taman bacaan tersebut. Ia juga berkisah bagaimana perjuangannya dimulai dari membuka penjualan buku di daerah Kampung Jawa (depan Bioskop Rio dulu) pada saat pergolakan (PRRI) 1956, sampai membuka usaha taman bacaan di sekitar Taman Melati.

“Kalau mengingat membangun taman bacaan ini, banyak kisah harunya, ada kisah serunya,” terang bapak delapan anak ini. “Kisah saya membangun usaha taman bacaan sudah saya tulis, baca saja di sana,” kata Amran sembari menyodorkan empat lembar kertas berukuran A4 yang beruliskan ‘Riwayat Hidup Amran”. Dan di dalam kertas tersebut, Amran mencatat bagaimana ia memulai usaha dengan salah seorang kakaknya pada saat terjadi pergolakan PRRI. Ia ceritakan seseorang dari Jakarta menawarkannya bukubuku, sampai pada seorang China di sekitar tahun 1966 menawarkan komik Kho Ping hoo padanya. “Waktu itu, saya punya tempat masih berukuran 3 x 3 meter, masih agak ragu menyewakan buku,” terang Amran. “Awalnya saya beli buku sebanyak 200 eks, seharga kira-kira 300 ribu rupiah, saaat di pajang ternyata banyak anak sekolah yang minat,” kata Amran mengingat. Mulai dari saat itulah anakanak sekolah Don Bosco, SMP Frater, anak kuliahan dari Unand dan UNP penghobi bacaan mulai berdatangan ke Taman Bacaan Amran—sebelum tahun 2000 masih bernama Taman Bacaan Melati. Pasang-surut usaha taman bacaan Amran tentu dialaminya. Di tahun 1974 taman bacaannya digusur hansip dari Balai Kota karena di tempatnya tersebut akan dibangun Museum Adityawarman. Kini museum itu berdiri kokoh. “Sehari sesudah penggusuran itu, saya minta izin pada Ketua

Pengadilan Tata Usaha Negara (Jalan Diponegoro), dekat Taman Melati, dan ketuanya mengizinkan,” kata Amran. Dari sanalah usaha taman bacaan Amran kembali menarik banyak peminat. Karena permintaaan akan bacaan semakin banyak, di tahun 1990 Amran bolakbalik dari Padang ke Jakarta untuk mencari koleksi buku terbaru. “Saya naik kapal Kerinci dari Teluk Bayur, kadang naik bus,” ingatnya. Barulah di tahun 2000, sejak perpindahan taman bacaannya di depan SMA Don Bosco, atau di belakang tempat sembelumnya, ia menamakan ‘Taman Bacaan Amran’. “Dari taman bacaan saya bisa berbagi banyak pada orang, juga bisa membesarkan anak,” terang Amran yang mengatakan bahwa sampai saat ini masih banyak yang mengunjungi taman bacaannya. “Terkadang yang meminjam buku dalam sehari ada 10 orang, mereka bawa sekantong buku,” tambahnya. Kini sudah puluhan tahun dan puluhan ribu buku tersusun di taman bacaan tersebut. Mulai dari komik, novel, majalah, dan lainlain. Tentu, di antara puluhan ribu buku yang tersusun tersebut banyak kenangan dari orang-orang yang dulu pernah menghabiskan hari-harinya dengan membaca di taman bacaan milik Amran. Taman bacaan tersebut juga seakan berusaha bertahan dari terpaan generasi gadged yang kini seakan bisa membaca isi dunia dari dalam ponsel genggam. (Laporan Esha Tegar Putra)

Warga Ketaping............... Dari Halaman. 1 hektar dan lahan garapan Kelompok Tani Tunas Muda Ketaping pada program peremajaan pohon kelapa rakyat. “Bila tidak ditanggapi juga, maka bandara itu tidak akan aman. Kami akan berladang di tanah kami yang belum dibayar itu. Saat ini saja, kami sudah bertanam sawit di sana, silakan dilihat,” ujar Koordinator Aksi Lapangan, Masri Tanjung. Rombongan masyarakat Ketaping ini diterima Asisten I Bidang Pemerintahan Febri Erizon, Asisten III Sudirman Gani, Kepala Kesbangpol Linmas Irvan Khairul Ananda dan Kepala Biro Pemerintahan Syafrizal di ruang rapat Kantor Gubernur. Namun Pemprov Sumbar mengklaim pembayaran sudah dilakukan seluruhnya. Hal itu tertuang dalam bukti dokumen pembayaran yang mereka miliki. Meski demikian, bila memang ada bukti baru yang menunjukkan adanya lahan yang belum dibayar, masyarakat dapat mengajukan tuntutannya. Menurut Masri Tanjung, mewakili Unit Perkebunan Pepabri, BPN setempat mengatakan masih ada kelebihan tanah Pepabri seluas 39,9 hektar yang kini digunakan sebagai areal komersil BIM. Tanah ini belum diterima pembayarannya. Namun karena Pemprov Sumbar mengklaim sudah dibayarkan, maka kepada siapa ganti rugi itu dibayarkan.

“Kami minta kelebihan tanah itu dibayarkan ganti ruginya. Bila tidak, maka kawasan bandara itu tidak akan aman. Kami akan berkebun di areal komersil itu,” ujar Masri. Sedangkan wakil Bachtiar cs, Syamsurizal mengatakan, lahan mereka yang belum diterima pembayaran ganti ruginya seluas 50 hektar. Bupati Padang Pariaman dulu berjanji akan membayarkannya bagi penggarap. Tetapi ketika diminta bayarannya, juga disebutkan sudah dibayarkan. Tetapi lagi-lagi siapa yang menerimanya. Sabri, mewakili Keltan Tunas Muda juga menuntut tanah garapannya. Mereka dulu menanam kelapa pada areal seluas 50 hektar, tetapi yang sudah ditanami baru 26 hektar. Program pemerintah Proyek Rehabilitasi Pengembangan Tanaman Ekspor (PRPTE) ini dihentikan karena di kawasan itu akan dibangun bandara. Mereka juga minta ganti rugi. Kelompok masyarakat ini bahkan minta Asisten III Bidang Administrasi Umum Sudirman Gani ikut bertanggung jawab karena saat itu menjabat sebagai Sekdakab Padang Pariaman. Menurut Kepala Biro Pemerintahan Setdaprov Sumbar, Syafrizal, tuntutan masyarakat Ketaping ini, khususnya kasus tanah Pepabri dan Bachtiar cs dan sudah sampai ke pengadilan. Namun Pengadilan Negeri Pariaman menyatakan kedua

perkara tersebut tidak dapat diterima atau Niet Ontvankelijk verklaard (NO). Persoalan dikembalikan kepada para pihak. Pada prinsipnya, sesuai data yang ada seluruh lahan yang disengketakan itu sudah dibayar ganti ruginya. Pemprov Sumbar tidak bisa membayar 2 kali untuk objek yang sama. Meski demikian, bila masyarakat memiliki bukti baru terkait tuntutan tersebut, silakan diajukan. Pihaknya nanti akan menelusuri kembali data yang diberikan itu dengan data yang dimiliki. “Bila memang ada bukti baru untuk minta ganti rugi itu, silakan disampaikan. Kita akan telusuri nanti kebenarannya. Sebab kita tidak mungkin membayar 2 kali untuk objek yang sama. Bisa-bisa kita pula yang dipenjara nantinya,” terang Syafrizal. Sedangkan Sudirman Gani menyebutkan, dia menjabat Sekda Padang Pariaman November 2011 ketika masalah ini sudah bergulir juga. Data-data yang diperlukan untuk pembuktian itu ada di BPN Padang Pariaman dan para anggota Panitia 9. Namun dari tuntutan yang diajukan itu, lanjutnya, ganti rugi hanya bisa dibayarkan untuk tanah ulayat. Sedangkan tanah negara yang digarap masyarakat, tidak ada ganti rugi tanah kecuali tanaman dan bangunan yang ada diatasnya. (h/vie/met)

Editor : Ismet, Nasrul Azwar

Penata Halaman: David Fernanda


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.