5 minute read

ENG) India modifies rules for refined palm oil imports BHS) Golden Africa mempunyai gagasan besar di afrika selatan

MINYAK KELAPA SAWIT : GOLDEN AFRICA MEMPUNYAI GAGASAN BESAR DI AFRIKA SELATAN

Setahun setelah peresmiannya pada bulan Desember 2018, pabrik penyulingan dan pengemasan minyak kelapa sawit Golden Africa yang menghadap ke pelabuhan multimodal Doraleh telah meningkatkan kecepatannya. Dan truktruk yang mengarah ke Ethiopia akan segera diberangkatkan, penuh dengan muatan. Lebih dari 30 juta Dolar Amerika telah diinvestasikan pada pabrik penyulingan terbesar di Djibouti. Dengan 500 karyawan, ia akan dapat menghasilkan 8.000 hingga 9.000 ton minyak nabati setiap bulan. Perusahaan yang dipimpin oleh Yemeni Fouad Hayel Saeed, yang juga merupakan konsul kehormatan Djibouti di Malaysia, memiliki pipa sepanjang 3,4 km yang terhubung pada terminalnya sendiri, dimana kapal-kapal dari Malaysia dan Indonesia (produsen dari 85 % minyak kelapa sawit dunia) berlabuh. Dalam waktu satu tahun sejak pembukaannya, perusahaan tersebut telah memperoleh hampir seperlima dari pangsa pasar minyak kelapa sawit di Ethiopia. Tidak diragukan lagi, hubungan sang konsul dengan komunitas yang berpengaruh di Yemen memfasilitasi pendirian Golden Africa di Djibouti. Anak perusahaan dari pedagang asal Malaysia Pacific Inter-Link, menginvestasikan 5 juta Dolar Amerika untuk memperoleh mesin baru yang meningkatkan produksinya menjadi 13,500 ton minyak per bulan. Ia juga berencana mendirikan pabrik sabun. Djibouti, di sisi lain, bermaksud menjadi pusat produksi dan pemrosesan di daerah Tanduk Afrika. “Pabrik kami adalah yang terbesar di negeri ini, namun termasuk kecil jika dilihat dari sudut pandang potensi kawasan ini,” sahut Adnan Hantosh, wakil direktur perusahaan yang merupakan cabang di Djibouti dari Hayel Saeed Aman (HSA), keluarga konglomerat yang memiliki usaha-usaha di daerah Asia Tenggara. Dengan lebih dari 35,000 karyawan dan peredaran bruto bernilai milyaran Dolar Amerika, grup tersebut merupakan salah satu produsen dan penyuling minyak kelapa sawit terkemuka di dunia. Dengan target bulanan 21,000 ton minyak per bulan pada pertengahan tahun, tetap tidak cukup untuk memenuhi permintaan Ethiopia sebesar 50,000 ton per bulan dan sekitar 6,000 dan 8,000 ton di Somalia dan Eritrea. Namun nilai tersebut sudah cukup untuk mendapatkan pangsa pasar 109 juta penduduk yang hanya mengkonsumsi 5.46 kg minyak kelapa sawit per orang (dibandingkan dengan rata-rata global 25 kg per orang) dan dimana angka impor dari Malaysia meningkat dari 76,000 ton di tahun 2014 menjadi 149,000 ton di tahun 2017. Ethiopia, tentu saja merupakan target utama pedagang minyak kelapa sawit dari Malaysia dalam rangka mecari pangsa pasar baru. India selaku pelanggan terbesarnya,

PALM OIL: GOLDEN AFRICA THINKS BIG IN EAST AFRICA

One year after its inauguration in December 2018, overlooking the multimodal port of Doraleh, Golden Africa’s palm oil refining and packaging plant has already picked up speed. And trucks, destined for Ethiopia, will soon be on their way, fully loaded. More than $30m was invested in the refinery, the largest in Djibouti. With 500 employees, it will be able to process between 8,000 and 9,000tn of vegetable oil each month. The company, headed by the Yemeni Fouad Hayel Saeed, Djibouti’s honorary consul in Malaysia, has a 3.4 km pipeline to its own terminal, where ships from Malaysia and Indonesia (producing 85% of the world’s palm oil) dock. Within a year of opening, the company had captured almost a fifth of the palm oil market share in Ethiopia. Undoubtedly, the consul’s links with the influential Yemeni community facilitated the establishment of Golden Africa in Djibouti. A subsidiary of the Malaysian trader Pacific Inter-Link, it is investing $5m in new machinery to raise production to 13,500tn of oil per month. It also has plans to build a soap factory. Djibouti, on the other hand, intends to become a production and processing hub for the Horn of Africa. “Our factory is the largest in the country, but it is small in relation to the region’s potential,” said Adnan Hantosh, deputy managing director of what is also the Djibouti branch of a very powerful family conglomerate with a presence throughout South-East Asia, Hayel Saeed Aman (HSA). With 35,000 employees and several billion dollars in turnover, the group is one of the world’s leading producers and refiners of palm oil. The monthly target of 21,000tn of oil in the medium term, however, is still insufficient to meet Ethiopian demand of 50,000tn per month and between 6,000 and 8,000tn in Somalia and Eritrea. But it is enough to gain a foothold in a market of 109 million people who consume only 5.46kg of palm oil per person (compared to a world average of 25kg) and where imports from Malaysia rose from 76,000tn in 2014 to 149,000tn in 2017. Ethiopia, obviously, is thus a prime target for Malaysian palm oil as it seeks new markets. India, a major customer, suspended imports after statements from Kuala Lumpur about Kashmir. In addition, anti-palm oil campaigns are intensifying around the world. While 90% of the palm oil sold in Ethiopia is imported, the region’s only refinery offers an important advantage. Addis Ababa is spending $500m a year on imports, against a backdrop of foreign-exchange shortages.“By importing from Djibouti, there is no foreign-exchange problem. Since HSA controls the entire chain, it controls prices and can be more competitive,” said one analyst. The Ethiopian authorities, looking to stimulate local production, estimate that refining on the spot could save $80m a year. Already active in Kenya, Golden Africa, which already operates in Kenya, is also considering a facility in Ethiopia. This is attracting other investors: last December, Saudi-Ethiopian billionaire Mohamed Al Amoudi laid the foundation stone of a refinery to process other edible oils, including soya, sunflower and peanut.

telah menangguhkan impor setelah pernyataan yang dikeluarkan dari Kuala Lumpur mengenai Kashmir. Selain itu, kampanye anti minyak kelapa sawit juga semakin meningkat di dunia. Sementara 90% dari minyak kelapa sawit yang dijual di Ethiopia merupakan hasil impor, satu-satunya kilang yang berada di kawasan tersebut menawarkan keunggulan penting. Addis Ababa mengeluarkan biaya 500 juta Dolar Amerika atas impor setahun, dalam kondisi kekurangan valuta asing. “Dengan mengimpor dari Djibouti, tidak akan ada masalah pertukaran valuta asing. Dikarenakan juga HSA menguasai keseluruhan rantai pasokan, ia dapat mengatur harga dan bisa lebih kompetitif,” kata salah satu analis. Pemerintah Ethiopia mencari cara untuk merangsang produksi domestik, dan memperkirakan penyulingan di tempat dapat menghemat sebanyak 80 juta Dolar Amerika dalam satu tahun. Golden Africa, yang telah aktif dan beroperasi di Kenya, sedang mempertimbangkan pembangunan fasilitas di Ethiopia. Hal ini menarik investor-investor lain: pada bulan Desember yang lalu, miliarder Saudi-Ethiopia Mohamed Al Amoudi meletakkan batu pertama untuk sebuah kilang penyulingan yang dibangun untuk memproses minyak nabati yang lain, termasuk dari bahan kedelai, bunga matahari dan kacang tanah.

This article is from: