PALM OIL TODAY INDONESIA MAGAZINE OCT - DES 2025

Page 1


Mobil SHC Cibus™ Series

Lindungi peralatan mesin makanan Anda dengan pelumas yang mempertahankan viskositas dan ketebalan lapisan pelumas, bahkan pada suhu tinggi: Mobil SHC Cibus™ Series.

Pelumas mesin makanan Mobil SHC Cibus™ Series dirancang untuk memberikan perlindungan luar biasa terhadap peralatan, umur pelumas yang panjang, dan operasi bebas masalah dalam aplikasi pengolahan dan pengemasan makanan dan minuman.

Diproduksi di fasilitas bersertifikasi ISO 22000 yang juga memenuhi persyaratan ISO 21469, pelumas Mobil SHC Cibus™ Series — yang terdaftar di NSF H1 — diformulasikan untuk tahan terhadap suhu tinggi dan rendah, beban berat , serta pencucian berulang.

Pelumas hidrolik, kompresor, roda gigi, dan bantalan ini memenuhi persyaratan ketat FDA dan:

• Cocok untuk persiapan makanan Kosher dan Halal

• Diformulasikan bebas dari bahan yang berasal dari he wan

• Diformulasikan bebas dari alergen seperti kacang-kacangan, gandum dan gluten

KUNJUNGI BOOTH KAMI

dan temukan berbagai produk serta layanan untuk menunjang kebutuhan bisnis Anda.

Advancing Productivit y

Helping you reach your Safet y, Environmental Care and Productivit y goals through our innovative lubricant s and services is our highest priorit y. That ’s Advancing Productivit y And that ’s how we help you achie ve your broader vision of success

MANAGING EDITOR

Kenny Yong

PUBLICATIONS MANAGER

Amelia Lim

amelia@fireworksid.com

EDITORIAL CONSULTANT

Kenny Yong

CONTENT EDITOR

Felicia Zhang

Jusmita Sitepu

MEDIA EXECUTIVES

Paulina Shu

Veronica Anugrah

GRAPHIC DESIGNER

Rizki Ilhamdi

PUBLISHER

DISCLAIMER

The content of Palm Oil Indonesia Today Magazine (and website) does not necessarily reflect the views of the editor or publishers and are the views of its contributors and advertisers. The digital edition may include hyperlinks to third-party content, advertising, or websites, provided for the sake ofconvenience and interest. The publishers accept no legal responsibility for loss arising from information in this publication and do not endorse any advertising or products available from external sources. Palm Oil Indonesia Today Magazine and its website does not warrant that the information in it will be error-free or will meet any particular criteria of performance or quality. Your use of the information contained in the Palm Oil Indonesia Today magazine and website is at your own risk. You assume full responsibility and risk of loss resulting from the use of this website or information in it. None of Palm Oil Indonesia Today, PT Fireworks Indonesia or its affiliates, or any partners, principals, stockholders or employees of any thereof will be liable for any special, indirect, incidental, consequential or punitive damages or any other damages whatsoever, whether in an action of contract, statute, tort (including, without limitation, negligence) or otherwise, relating to the use of this website or information contained in it. No part of this publication may be reproduced or stored in a retrieval system without the written consent of the publishers. All rights reserved.

EDITOR’S NOTE

Dear readers,

Welcome to this October – December 2025 edition of Palm Oil Today Indonesia, where we spotlight the shifting tides in the global palm oil landscape.

As we close the year, the palm oil industry continues to evolve rapidly. The spotlight is now on sustainability, innovation, and technology adoption—driving producers, traders, and stakeholders to embrace new standards and opportunities. From green initiatives that reduce environmental impact to digital solutions that enhance efficiency, the sector is moving into a future where responsible growth is no longer optional, but essential.

This issue brings fresh perspectives, inspiring stories, and strategic insights to help you navigate the changing dynamics of the industry. More than ever, collaboration and forward-thinking approaches will shape the path ahead.

We hope this edition sparks new ideas, stronger connections, and concrete action.

Warm regards,

Yours truly, Kenny Yong

Mr. Kenny Yong

CONTENTS

OCTOBER - DECEMBER 2025

06 - REGIONAL NEWS

(BHS) : EROPA SANGAT BERGANTUNG PADA MINYAK SAWIT INDONESIA (ENG) : EUROPE HIGHLY DEPENDENT ON INDONESIA’S PALM OIL

08 - REGIONAL NEWS

(BHS) : ORGANISASI PANGAN DAN PERTANIAN INDONESIA (BPDP) TARGETKAN PRODUKSI KELAPA SAWIT NASIONAL MENCAPAI 60 JUTA TON PADA 2030 (ENG) : INDONESIAN FOOD AND AGRICULTURE ORGANIZATION (BPDP) AIMS FOR NATIONAL PALM OIL PRODUCTION TO REACH 60 MILLION TONS BY 2030

10 - REGIONAL NEWS

(BHS) : PELUANG BIOFUEL DENGAN MINYAK SAWIT INDONESIA: MENDUKUNG MASA DEPAN GLOBAL YANG LEBIH HIJAU (ENG) : BIOFUEL OPPORTUNITIES WITH INDONESIAN PALM OIL: POWERING A GREENER GLOBAL FUTURE

12 - REGIONAL NEWS

(BHS) : PEMINDAHAN TENAGA KELAPA SAWIT: INDONESIA DAN INDIA MENANDATANGANI PAKTA 3 TAHUN UNTUK MENGAMANKAN PANGAN, KEKAYAAN, DAN MASA DEPAN (ENG) : PALM OIL POWER MOVE: INDONESIA & INDIA SIGN 3-YEAR PACT TO SECURE FOOD, FORTUNES, AND THE FUTURE

14 - REGIONAL NEWS

(BHS) : AKIBAT TARIF AS: INDONESIA BISA KEHILANGAN PASAR KELAPA SAWITNYA KE MALAYSIA

(ENG) : US TARIFF AFTERMATH: INDONESIA CAN LOSE ITS PALM OIL MARKET TO MALAYSIA

16 - REGIONAL NEWS

(BHS) : PENURUNAN 70% MEGA-IPO MENUJU PENGHAPUSAN PENCATATAN ADALAH PUKULAN MAHAL BAGI MALAYSIA MASALAH

(ENG) : MEGA-IPO’S 70% FALL TOWARDS DELISTING IS COSTLY BLOW FOR MALAYSIA

24 - REGIONAL NEWS

(BHS) : UNI EROPA IZINKAN MINYAK SAWIT INDONESIA MASUK PASAR DENGAN TARIF 0 PCT

(ENG) : EU TO LET INDONESIAN PALM OIL ENTER ITS MARKET AT 0 PCT TARIFF

28 - REGIONAL NEWS

(BHS) : RI MINTA TARIF IMPOR NOL MINYAK SAWIT MASUK AMERIKA SERIKAT

(ENG) : RI SEEKING ZERO IMPORT TARIFF FOR PALM OIL ENTERING USA

30 - REGIONAL NEWS

(BHS) : PELUNCURAN BIOFUEL B50 INDONESIA MENGHADAPI KETIDAKPASTIAN DI TENGAH KESULITAN PASOKAN MINYAK SAWIT

(ENG) : INDONESIA’S B50 BIOFUEL ROLLOUT FACES UNCERTAINTY AMID PALM OIL SUPPLY WOES

32 - WORLD NEWS

(BHS) : PRESCO AKAN MENGHABISKAN $171 JUTA UNTUK MENGAKUISISI DUA PERUSAHAAN KELAPA SAWIT DI AFRIKA BARAT

(ENG) : PRESCO TO SPEND $171M ACQUIRING TWO OIL PALM FIRMS IN WEST AFRICA

34 - WORLD NEWS

(BHS) : PEMERINTAH MENGUMUMKAN RENCANA UNTUK MEMANGKAS IMPOR KELAPA SAWIT SEBESAR $ 2 MILIAR

(ENG) : GOVERNMENT ANNOUNCES PLANS TO CUT OIL PALM IMPORT BY $2BN

36 - WORLD NEWS

(BHS) : MENINGKATNYA PERMINTAAN GLOBAL MEMPOSISIKAN INDUSTRI MINYAK SAWIT NIGERIA UNTUK LABA US$105 JUTA PADA TAHUN 2025: AFRINVEST AFRIKA BARAT

(ENG) : RISING GLOBAL DEMAND POSITIONS NIGERIA’S PALM OIL INDUSTRY FOR US$105M PROFIT IN 2025: AFRINVEST WEST AFRICA

38 - WORLD NEWS

(BHS) : NIGERIA MELUNCURKAN KERANGKA KERJA KETERTELUSURAN MINYAK SAWIT NASIONAL UNTUK MEMANGKAS TAGIHAN IMPOR US$600 JUTA

(ENG) : NIGERIA UNVEILS NATIONAL PALM OIL TRACEABILITY FRAMEWORK TO CUT US$600M IMPORT BILL

40 - SUSTAINABILITY NEWS

(BHS) : DI JANTUNG KELAPA SAWIT MALAYSIA, PETANI KECIL MENDEFINISIKAN KEMBALI APA ARTINYA TUMBUH SECARA BERTANGGUNG JAWAB

(ENG) : IN MALAYSIA’S PALM OIL HEARTLAND, SMALLHOLDERS ARE REDEFINING WHAT IT MEANS TO GROW RESPONSIBLY

42 - SUSTAINABILITY NEWS

(BHS) : MEMPERKUAT KEPASTIAN HUKUM DI INDUSTRI KELAPA SAWIT (ENG) : STRENGTHENING LEGAL CERTAINTY IN THE PALM OIL INDUSTRY

46 - SUSTAINABILITY NEWS

(BHS) : DEMONISING MINYAK SAWIT TIDAK AKAN MENINGKATKAN KESEHATAN MASYARAKAT

(ENG) : DEMONISING PALM OIL WON’T IMPROVE PUBLIC HEALTH. BETTER FOCUS ON FOOD LITERACY, BALANCED DIET

49 - INNOVATIONS AND TECHNOLOGY

(BHS) : INOVASI RADAR DARI ELECTICS ITS: MENDETEKSI PENYAKIT KELAPA SAWIT DAN TINGKAT STRES MANUSIA (ENG) : RADAR INNOVATION FROM ELECTICS ITS: DETECTING PALM OIL DISEASES AND HUMAN STRESS LEVELS

51 - INNOVATIONS AND TECHNOLOGY

(BHS) : PENYERBUK SERANGGA, PAHLAWAN TERSEMBUNYI DI BALIK KEJAYAAN INDUSTRI KELAPA SAWIT

(ENG) : INSECT POLLINATORS, THE HIDDEN HEROES BEHIND THE GLORY OF INDONESIA’S PALM OIL INDUSTRY

EROPA SANGAT BERGANTUNG PADA MINYAK SAWIT INDONESIA

JAKARTA

- Utusan Khusus

Presiden Prabowo Subianto untuk Energi dan Perubahan Iklim, Hashim Djojohadikusumo menyoroti ketergantungan negara-negara Eropa Barat terhadap kelapa sawit dari Indonesia.

“Negara-negara Eropa sangat bergantung pada minyak sawit. Mereka menggunakannya sebagai bahan baku utama untuk memproduksi berbagai barang konsumsi yang mereka butuhkan sehari-hari,” kata Hashim yang merupakan saudara Presiden Prabowo saat berpidato dalam forum bisnis yang digelar di Paris, Senin (15/07/2025).

“Kita dapat melihat bahwa industri mereka sangat membutuhkan minyak sawit kita. Mereka tidak ingin melihatnya dijatuhkan sanksi, karena mereka bergantung padanya sebagai bahan baku

utama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” kata Hashim saat Forum Sarapan Kadin dan Madef.

Dia mengatakan bahwa banyak produk rumah tangga dan konsumen di Eropa seperti sampo, sabun, makanan kemasan dan produk lainnya— mengandung minyak sawit atau produk turunannya.

“Kalau kita lihat komposisinya, banyak produknya mengandung unsur sawit,” ujarnya.

Hashim juga menyatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menerima sejumlah permintaan yang diajukan oleh perusahaan-perusahaan Eropa untuk mendapatkan pasokan minyak sawit dari Indonesia.

Dia mengatakan Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan kesediaannya

untuk bekerja sama dengan Eropa. “Beberapa di antaranya telah disetujui oleh Presiden Prabowo. Nantinya Menteri Airlangga dan Menteri Perdagangan akan memberikan rincian kesepakatan tersebut,” katanya.

Tulang Punggung Ekonomi

Meski sering dikritik, ekspor minyak sawit mentah (CPO) masih menjadi tulang punggung utama perekonomian nasional Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor CPO selama Januari – Mei 2025 mencapai US$8,90 miliar dengan total volume 8,30 juta ton. Negara tujuan utama termasuk Pakistan, India, dan Cina.

Pada Mei 2025 saja, nilai ekspor CPO melonjak 61,5 persen, jika dibandingkan dengan bulan

sebelumnya, menjadi 1,85 miliar dolar AS.

Namun setiap tahun, tren ekspor mengalami fluktuasi. Setelah mencapai puncaknya pada tahun 2022 dengan nilai total US$27,74 miliar, ekspor minyak sawit menurun selama dua tahun terakhir menjadi US$22,69 miliar pada tahun 2023 dan kemudian menjadi US$20,05 miliar pada tahun 2024

EUROPE HIGHLY DEPENDENT ON INDONESIA’S PALM OIL

JAKARTA

– President Prabowo Subianto’s Special Envoy on Energy and Climate Change, Hashim Djojohadikusumo highlighted the dependence of Western European countries on palm oil from Indonesia.

“European countries are highly dependent on palm oil. They use it as the main raw material to produce a variety of consumer goods they need on a daily basis,” Hashim, who is brother of President Prabowo, said when addressing a business forum held in Paris on Monday (15/07/2025).

“We can see that their industries badly need our palm oil. They don’t want to see it being sanctioned, as they are dependent on it as main raw

materials to meet their daily needs,” Hashim said during the Breakfast Forum of Kadin and Madef.

He said that many household and consumer products in Europe such as shampoo, soap, packaged foods and other products—contain palm oil or derivative products.

“If we see their compositions, many of the products contain palm elements,” he said.

Hashim also stated that the government of Indonesia has received a number of requests filed by European companies to get palm oil supply from Indonesia.

He said President Prabowo

Subianto has expressed his willingness to cooperate with Europe. “Some of them had been approved by President Prabowo. Later Minister Airlangga and Trade Minister will give details on the deals,” he said.

Economic Backbone

Despite being often criticized, the export of crude palm oil (CPO) is still the main backbone for Indonesia’s national economy. Based on data from Statistics Indonesia (BPS), the export of CPO during January – May 2025 reached US$8.90 billion with a total volume of 8.30 million tons. The main destination countries include Pakistan, India, and China.

In May 2025 alone, the export value of CPO surged by 61.5 percent, if compared to that of the previous month, to US$1.85 billion.

But yearly, export trend saw fluctuations. After reaching the peak in 2022 at total value of US$27.74 billion, palm oil exports decreased during the last two years to US$22.69 billion in 2023 and then to US$20.05 billion in 2024.

ORGANISASI PANGAN DAN PERTANIAN INDONESIA (BPDP) TARGETKAN PRODUKSI

KELAPA SAWIT

NASIONAL MENCAPAI 60 JUTA

TON PADA 2030

JAKARTA - Badan Pengelola Dana Perkebunan Indonesia (BPDP) menargetkan produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia mencapai 60 juta ton pada 2030.

Direktur Utama BPDP Eddy Abdurrachman menyatakan target ini ditetapkan seiring dengan meningkatnya permintaan CPO untuk sektor pangan, biofuel (biodiesel), dan industri oleokimia.

“Pada tahun 2030, targetnya produksi CPO mencapai 60 juta ton, yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, oleokimia, dan biofuel,” kata Eddy saat Penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Beasiswa Pendidikan Sumber Daya Manusia Perkebunan Kelapa Sawit 2025 pada Rabu, 20 Agustus.

Eddy menjelaskan bahwa volume produksi CPO Indonesia saat ini masih sekitar 50 juta ton per tahun, sehingga diperlukan upaya tambahan untuk mencapai target produksi ini dalam lima tahun ke depan.

Ia menambahkan, selain memenuhi permintaan domestik, peningkatan produksi juga bertujuan untuk menjaga kinerja ekspor. Hal ini penting karena pungutan dari ekspor minyak sawit merupakan sumber pendanaan utama untuk program BPDP.

“Karena ekspor sangat penting bagi BPDP, dana yang kami kumpulkan berasal dari pungutan ekspor. Jadi jika ekspor menurun, pungutan kita juga menurun, sehingga mengurangi kemampuan BPDP untuk mendanai program,” jelasnya.

Eddy menjelaskan sebagai langkah strategis untuk mendukung peningkatan produksi, BPDP juga melaksanakan program pengembangan sumber daya manusia di sektor kelapa sawit, yang meliputi pemberian beasiswa pendidikan dan pelatihan teknis.

“Kewajiban kita adalah meningkatkan pengetahuan, keterampilan, profesionalisme, kemandirian, dan daya saing SDM perkebunan, baik secara teknis, manajerial, maupun kewirausahaan,” ujarnya.

INDONESIAN FOOD AND AGRICULTURE

ORGANIZATION (BPDP) AIMS FOR NATIONAL PALM OIL PRODUCTION TO REACH 60 MILLION

TONS BY 2030

JAKARTA

- The Indonesian Plantation Fund Management Agency (BPDP) is targeting Indonesian crude palm oil (CPO) production to reach 60 million tons by 2030.

BPDP President Director Eddy Abdurrachman stated that this target was set in line with the increasing demand for CPO for the food sector, biofuel (biodiesel), and the oleochemical industry.

“By 2030, the target is for CPO production to reach 60 million tons, which can be used to meet the needs of food, oleochemicals, and biofuels,” Eddy said at the Signing of the Cooperation Agreement for the 2025 Palm Oil Plantation Human Resource Education Scholarship on Wednesday, August 20.

Eddy explained that Indonesia’s current CPO production volume is still around 50 million tons per year, so additional efforts are needed to achieve this production target in the next five years.

He added that in addition to meeting domestic demand, increased production also aims to maintain export performance. This is important because levies from palm oil exports are the primary source of funding for BPDP programs.

“Because exports are crucial for BPDP, the funds we collect come from export levies. So if exports decline, our levies also decrease, reducing BPDP’s ability to fund programs,” he explained.

Eddy explained that as a strategic step to support increased production, BPDP is also implementing a human resource development program in the palm oil sector, which includes providing educational scholarships and technical training.

“Our obligation is to improve the knowledge, skills, professionalism, independence, and competitiveness of plantation human resources, both technically, managerially, and entrepreneurially,” he said.

PELUANG BIOFUEL DENGAN MINYAK SAWIT INDONESIA : MENDUKUNG MASA DEPAN GLOBAL YANG LEBIH HIJAU

Peluang Biofuel dengan Minyak Sawit Indonesia

Pergeseran global menuju energi terbarukan menghadirkan peluang yang signifikan, dan minyak sawit Indonesia memimpin dalam sektor biofuel yang sedang berkembang. Transisi global ke energi yang lebih bersih telah menempatkan biofuel dalam sorotan, dan posisi agensi dan kepemimpinan Indonesia memanfaatkan pergeseran ini. Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk memimpin revolusi biofuel melalui produksi minyak berkelanjutan. Perjalanan ini berpusat pada merintis praktik produksi minyak berkelanjutan, memanfaatkan produk minyak sawit yang berharga di negara kita untuk hari esok yang lebih hijau.

Mengapa Minyak Sawit Indonesia Cocok dengan Pergeseran Biofuel

Biofuel yang berasal dari minyak sawit mendapatkan perhatian sebagai alternatif yang efisien dan terukur untuk bahan bakar fosil. Apa yang membedakan minyak sawit Indonesia adalah kapasitasnya untuk memenuhi permintaan ini dalam skala besar sambil mengintegrasikan praktik berkelanjutan. Program pencampuran biodiesel ambisius pemerintah, saat ini berada di B40 (campuran minyak kelapa sawit 40%) dengan studi untuk implementasi B50 pada tahun 2026, menciptakan pasar domestik yang masif dan stabil. Ini secara signifikan mengurangi risiko investasi di pabrik biodiesel, meningkatkan nilai produk minyak sawit nasional kita.

Tidak seperti tebu atau jagung, produk minyak sawit menawarkan hasil minyak yang lebih tinggi per hektar, menjadikannya sumber biofuel yang lebih hemat lahan. Ini sangat penting di dunia di mana keseimbangan produksi pangan, keanekaragaman hayati, dan kebutuhan energi semakin menantang.

Memperkuat Narasi Keberlanjutan

Di IPOA, kami percaya masa depan industri kami secara intrinsik terkait dengan keberlanjutan. Indonesia membuat langkah signifikan dalam memperjuangkan produksi minyak berkelanjutan, secara aktif bergerak melampaui persepsi yang sudah ketinggalan zaman. Anggota kami semakin mengadopsi Praktik Manajemen Terbaik (BMP) yang mampu mengurangi penggunaan pestisida dan pemupukan presisi untuk mengurangi penggunaan pupuk. Pengelolaan air melalui irigasi yang efisien dan teknik konservasi tanah, seperti tanaman penutup yang dapat mengurangi erosi, juga penting untuk meningkatkan cara produksi minyak sawit.

Skema sertifikasi adalah alat verifikasi yang penting. Produksi minyak sawit bersertifikat IPOA bersama INDEF, secara aktif mempromosikan keberlanjutan, menumbuhkan lingkungan di mana minyak sawit berkelanjutan Indonesia adalah tolok ukur. Dedikasi untuk produksi minyak berkelanjutan ini mengubah industri.

Rantai pasokan yang transparan dan sistem verifikasi independen sekarang tidak dapat dinegosiasikan dalam perdagangan global. Bagi pemasok minyak sawit, ini merupakan tantangan sekaligus pembeda. Dengan menanamkan keberlanjutan ke dalam narasi merek mereka, produsen Indonesia dapat membentuk kembali berita industri kelapa sawit dari kontroversi menjadi kredibilitas.

Pembukaan Pasar Strategis: India dan Sekitarnya

India, sebagai salah satu importir minyak nabati terbesar, merupakan mitra strategis utama. Meningkatnya permintaan minyak sawit di India tidak terbatas pada konsumsi makanan. Dengan tujuan energinya sendiri dan minat yang meningkat pada bahan bakar alternatif, India dapat muncul sebagai pasar vital untuk biodiesel berbasis sawit. Bagi pedagang kelapa sawit di India, ini membuka jalur baru keterlibatan dengan produsen Indonesia.

Inovasi, Investasi, dan Penyelarasan Industri

Industri kelapa sawit sudah mengalami transformasi. Dengan peningkatan teknologi dalam penggilingan, inisiatif limbah menjadi energi, dan sistem ketertelusuran digital, sektor ini memodernisasi dengan cepat. Rekomendasi kebijakan INDEF telah menggarisbawahi perlunya investasi yang lebih besar dalam R&D dan infrastruktur untuk meningkatkan produksi biofuel tanpa mengorbankan ketahanan pangan atau keseimbangan ekologis.

Pemangku kepentingan industri perlu melihat ini tidak hanya sebagai peluang energi, tetapi sebagai strategi pengembangan spektrum penuh. Produksi minyak berkelanjutan selaras dengan komitmen iklim, daya saing perdagangan, dan tujuan pembangunan pedesaan. Dengan insentif yang tepat, produsen minyak sawit dapat meningkatkan produksi biofuel sambil meningkatkan hasil panen dan metrik keberlanjutan.

Kebijakan dan Kolaborasi

Perjalanan menuju sektor biofuel yang sepenuhnya berkelanjutan dan dinamis secara ekonomi, didukung oleh minyak sawit berkelanjutan Indonesia, adalah salah satu kolaborasi aktif. IPOA, dalam kemitraan dengan organisasi seperti INDEF, didedikasikan untuk membimbing pemangku kepentingan melalui lanskap yang berkembang ini. Untuk membuka peluang biofuel sepenuhnya, kolaborasi yang lebih dalam antara industri, pemerintah, dan pemangku kepentingan internasional sangat penting. Kemitraan IPOA dengan INDEF mengakui kebutuhan ini melalui dialog kebijakan bersama, inisiatif penelitian, dan platform advokasi yang menawarkan peta jalan untuk menyelaraskan strategi nasional dengan dinamika pasar global. Dengan memprioritaskan produksi minyak berkelanjutan dan inovasi yang digerakkan oleh pasar, para pemangku kepentingan dapat memastikan bahwa minyak sawit berkelanjutan Indonesia tidak hanya menggerakkan kendaraan, tetapi juga sistem energi global yang lebih tangguh dan bertanggung jawab.

Pada saat yang sama, menyederhanakan prosedur ekspor, menyelaraskan standar, dan memperluas perjanjian bilateral dengan negara-negara seperti India dapat mempercepat akses pasar. Forum regional dan pameran dagang yang akan datang menghadirkan peluang utama untuk memamerkan evolusi sektor kelapa sawit Indonesia.

Bermitra untuk Masa Depan yang Berkelanjutan dengan Indonesian Palm Oil

Peluang biofuel bukanlah prospek yang jauh. Ini adalah jalur saat ini, dan Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia sudah membentuk arah itu.

Apa yang muncul bukan hanya sumber energi alternatif tetapi narasi yang lebih kuat, di mana produksi minyak berkelanjutan berkontribusi secara berarti terhadap aksi iklim, modernisasi industri, dan ekspansi perdagangan strategis. Kami memperjuangkan produksi minyak berkelanjutan sebagai prinsip inti untuk kemakmuran jangka panjang industri kami dan kontribusinya yang signifikan terhadap solusi energi global. Ini bukan hanya komitmen; Ini adalah keunggulan kompetitif di pasar global yang semakin didorong oleh nilai.

BIOFUEL OPPORTUNITIES WITH INDONESIAN PALM OIL : POWERING A GREENER GLOBAL FUTURE

Biofuel Opportunities with Indonesian Palm Oil

The global shift towards renewable energy presents a significant opportunity, and Indonesian palm oil leads in the burgeoning biofuel sector. The global transition to cleaner energy has put biofuels in the spotlight, and Indonesia’s agency and leadership position capitalizes on this shift. As the world’s largest producer of palm oil, Indonesia holds immense potential to lead the biofuel revolution through sustainable oil production. This journey is centered on pioneering sustainable oil production practices, leveraging our nation’s valuable palm oil produce for a greener tomorrow.

Why Indonesian Palm Oil Fits the Biofuel Shift

Biofuels derived from palm oil are gaining attention as an efficient and scalable alternative to fossil fuels. What sets Indonesian palm oil apart is its capacity to meet this demand at scale while integrating sustainable practices. The government’s ambitious biodiesel blending program, currently at B40 (a 40% palm oil blend) with studies for B50 implementation by 2026, creates a massive, stable domestic market. This significantly de-risks investment in biodiesel plants, enhancing the value of our national palm oil produce.

Unlike sugarcane or corn, palm oil produce offers higher oil yields per hectare, making it a more land-efficient biofuel source. This is essential in a world where balancing food production, biodiversity, and energy needs are increasingly challenging.

Strengthening the Sustainability Narrative

At IPOA, we believe the future of our industry is intrinsically linked to sustainability. Indonesia is making significant strides in championing sustainable oil production, actively moving beyond outdated perceptions. Our members are increasingly adopting Best Management Practices (BMPs) capable of cutting pesticide use and precision fertilization to reduce fertilizer use. Water management through efficient irrigation and soil conservation techniques, such as cover crops that can reduce erosion, are also central to improving how palm oil is produced.

Certification schemes are vital verification tools. IPOA’s certified palm oil production alongside INDEF, actively promotes sustainability, fostering an environment where Indonesian sustainable palm oil is the benchmark. This dedication to sustainable oil production is transforming the industry.

Transparent supply chains and independent verification systems are now non-negotiable in global trade. For palm oil suppliers, this is both a challenge and a differentiator. By embedding sustainability into their brand narrative, Indonesian producers can reshape palm oil industry news from controversy to credibility.

Strategic Market Openings: India and Beyond

India, as one of the largest importers of edible oil, represents a key strategic partner. The rising palm oil demand in India isn’t limited to food consumption. With its own energy goals and growing interest in alternative fuels, India could emerge as a vital market for palm-based biodiesel. For palm oil traders in India, this opens new lanes of engagement with Indonesian producers.

Moreover, as global discussions on carbon neutrality intensify, demand is shifting towards sustainably sourced materials. Palm oil suppliers that can prove traceability and environmental compliance will find themselves better positioned. This places Indonesian exporters ahead of the curve, particularly when supported by policy clarity and industry coordination led by bodies like the Indonesian Palm Oil Association (IPOA).

Innovation, Investment, and Industry Alignment

The palm oil industry is already undergoing transformation. With technological upgrades in milling, waste-to-energy initiatives, and digital traceability systems, the sector is modernvizing fast. INDEF’s policy recommendations have underscored the need for greater investment in R&D and infrastructure to boost biofuel output without compromising food security or ecological balance.

Policy and Collaboration

The journey towards a fully sustainable and economically vibrant biofuel sector, powered by Indonesian sustainable palm oil, is one of active collaboration. IPOA, in partnership with organizations like INDEF, is dedicated to guiding stakeholders through this evolving landscape. To fully unlock biofuel opportunities, deeper collaboration between industry, government, and international stakeholders is essential. IPOA’s partnership with INDEF recognizes this need through their joint policy dialogues, research initiatives, and advocacy platforms that offer a roadmap for aligning national strategy with global market dynamics. By prioritizing sustainable oil production and market-driven innovation, stakeholders can ensure that Indonesian sustainable palm oil powers not just vehicles, but a more resilient and responsible global energy system.

At the same time, simplifying export procedures, harmonizing standards, and expanding bilateral agreements with countries like India can fast-track market access. The upcoming regional forums and trade expos present prime opportunities to showcase the evolution of Indonesia’s palm oil sector.

Partnering for a Sustainable Future with Indonesian Palm Oil

The biofuel opportunity is not a distant prospect. It is a present pathway, and Indonesian Palm Oil Association is already shaping that direction. What is emerging is not just an alternative energy source but a stronger narrative, one where sustainable oil production contributes meaningfully to climate action, industrial modernization, and strategic trade expansion. We champion sustainable oil production as a core principle for our industry’s long-term prosperity and its significant contribution to global energy solutions. It is not just a commitment; it’s a competitive advantage in an increasingly value-driven global market.

We invite all industry stakeholders, from investors to palm oil traders in India and global partners, to engage with us. Let’s work together to harness the immense opportunities in biofuel, ensuring that Indonesian palm oil continues to set benchmarks for sustainability and economic empowerment. Be part of a future powered by responsible innovation and true Indonesian sustainable palm oil.

Pemindahan Tenaga Kelapa Sawit: Indonesia dan India Menandatangani Pakta 3 Tahun untuk Mengamankan

Pangan, Kekayaan, dan Masa Depan

New Delhi, Juli 2025 – Dalam langkah strategis dan berwawasan ke depan, Asosiasi Produsen Minyak Nabati India (IVPA) dan Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (IPOA/GAPKI) telah menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) tiga tahun untuk meningkatkan kerja sama bilateral di sektor kelapa sawit. Aliansi dinamis ini tidak hanya memperkuat hubungan perdagangan yang sudah kuat antara kedua negara, tetapi juga menguraikan peta jalan yang ambisius untuk keberlanjutan, ketahanan pangan, dan ketahanan ekonomi.

Dengan India mendapatkan lebih dari 60% kebutuhan minyak nabati dan Indonesia berdiri tegak sebagai pemasok minyak sawit utamanya selama lebih dari satu dekade, pakta ini jauh lebih dari sekadar dokumen. Ini adalah janji untuk membentengi sumber kehidupan perdagangan minyak nabati antara dua kekuatan ekonomi. Pada tahun 2024 saja, perdagangan bilateral menyentuh USD 26 miliar, dengan minyak sawit memainkan peran utama: ekspor dari Indonesia ke India sebesar USD 20,3 miliar, dan impor sebesar USD 5,7 miliar mengalir kembali.

“MoU ini mencerminkan komitmen bersama kami terhadap rantai pasokan minyak sawit transparan yang siap di masa depan yang menguntungkan konsumen dan produsen,” kata Sudhakar Desai, Presiden IVPA, selama IVPA Global Roundtable di New Delhi.

1.

Pertukaran Teknis & R&D: Dari kemitraan penelitian hingga transfer teknologi, kedua belah pihak akan mendorong produktivitas sekaligus meminimalkan kerusakan lingkungan.

Peta Jalan Keberlanjutan: Inisiatif bersama akan meningkatkan produksi minyak sawit berkelanjutan bersertifikat, meningkatkan ketertelusuran, dan melibatkan petani kecil—prioritas inti bagi kedua negara.

2. Kebijakan & Advokasi: Pakta ini mendukung upaya terkoordinasi untuk menyederhanakan peraturan, mempromosikan perdagangan yang adil, dan menstabilkan harga pasar.

4.

3. Langkah-langkah Ketahanan Pangan: Kedua asosiasi akan bersama-sama merencanakan untuk mengurangi risiko rantai pasokan dan memperkuat Misi Minyak Nabati Nasional India.

5.

Intelijen Pasar: Berbagi data perdagangan, harga, dan produksi secara real-time akan memberdayakan kedua belah pihak untuk membuat kebijakan dan keputusan industri yang lebih cerdas

Menggaungkan tujuan tersebut, Dr. M. Fadhil Hasan, Kepala Urusan Luar Negeri, GAPKI, menekankan: “Minyak sawit tetap vital bagi perekonomian Indonesia. Melalui sertifikasi ISPO, konservasi hutan, dan produksi yang bertanggung jawab, kami bertujuan untuk mendukung tujuan ketahanan pangan dan iklim India”.

Dia menegaskan kembali dedikasi Indonesia terhadap pertanian yang tahan iklim dan pasokan minyak sawit yang aman yang bersumber secara bertanggung jawab.

Sementara tantangan seperti kepatuhan petani kecil tetap ada, MoU berjanji untuk mendorong inovasi inklusif dan menciptakan rantai pasokan yang tangguh yang tidak meninggalkan petani di belakang. Eddy Martono, Ketua GAPKI, mencatat: “Kemitraan ini akan memperdalam ikatan ekonomi timbal balik dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan di sektor kelapa sawit. Minyak sawit dan turunannya sendiri menyumbang USD 4,4 miliar, menggarisbawahi kepentingan strategisnya”.

Pakta ini didukung oleh dialog yang sedang berlangsung antara Kementerian Perdagangan & Industri India dan Kementerian Perdagangan Indonesia. Ini juga melengkapi Misi Minyak Nabati Nasional India, dengan kedua pemerintah secara aktif berpartisipasi dalam pembentukan kelompok kerja untuk mengawasi implementasi dan metrik kinerja.

Dari inovasi dan keberlanjutan hingga ketahanan pangan dan stabilitas perdagangan, pakta minyak sawit India-Indonesia lebih dari sekadar perjanjian perdagangan, ini adalah aliansi transformasional yang ditetapkan untuk membentuk kembali masa depan dinamika minyak nabati global.

Palm Oil Power Move: Indonesia & India Sign 3-Year Pact to Secure Food, Fortunes, and the Future

Technical Exchange & R&D: From research partnerships to tech transfer, both sides will push productivity while minimizing environmental harm.

New Delhi, July 2025 – In a strategic and forward-looking move, the Indian Vegetable Oil Producers’ Association (IVPA) and the Indonesian Palm Oil Association (IPOA/GAPKI) have signed a landmark three-year Memorandum of Understanding (MoU) to elevate bilateral cooperation in the palm oil sector. This dynamic alliance not only cements the already-strong trade relationship between the two nations but also outlines an ambitious roadmap for sustainability, food security, and economic resilience.

With India sourcing over 60% of its edible oil needs and Indonesia standing tall as its top palm oil supplier for over a decade this pact is far more than just paperwork. It’s a promise to fortify the lifeblood of edible oil trade between two economic powerhouses. In 2024 alone, bilateral trade touched a whopping USD 26 billion, with palm oil playing a starring role: USD 20.3 billion in exports from Indonesia to India, and USD 5.7 billion in imports flowing back.

“This MoU reflects our shared commitment to a future-ready, transparent palm oil supply chain that benefits both consumers and producers,” said Sudhakar Desai, President of IVPA, during the IVPA Global Roundtable in New Delhi.

2. 3. 4.

Sustainability Roadmap: Joint initiatives will boost certified sustainable palm oil production, improve traceability, and engage smallholder farmers—a core priority for both countries.

Policy & Advocacy: The pact supports coordinated efforts to simplify regulations, promote fair trade, and stabilize market pricing.

Echoing these goals, Dr. M. Fadhil Hasan, Head of Foreign Affairs, GAPKI, emphasized: “Palm oil remains vital to Indonesia’s economy. Through ISPO certification, forest conservation, and responsible production, we aim to support India’s food security and climate objectives.”

He reaffirmed Indonesia’s dedication to climate-resilient agriculture and a secure supply of responsibly sourced palm oil.

While challenges such as smallholder compliance persist, the MoU promises to drive inclusive innovation and create a resilient supply chain that leaves no farmer behind. Eddy Martono, Chairman of GAPKI, noted: “This partnership will deepen our mutual economic ties and support sustainable growth in the palm oil sector. Palm oil and its derivatives alone accounted for USD 4.4 billion, underscoring its strategic importance.”

Food Security Measures: Both associations will jointly plan to mitigate supply chain risks and strengthen India’s National Edible Oil Mission.

5.

Market Intelligence: Real-time trade, price, and production data sharing will empower both sides to make smarter policy and industry decisions

The pact is bolstered by ongoing dialogue between the Indian Ministry of Commerce & Industry and Indonesia’s Ministry of Trade. It also complements India’s National Edible Oil Mission, with both governments actively participating in the formation of a working group to oversee implementation and performance metrics.

From innovation and sustainability to food security and trade stability, the India-Indonesia palm oil pact is more than a trade agreement it’s a transformational alliance set to reshape the future of global edible oil dynamics.

Akibat Tarif AS: Indonesia Bisa Kehilangan

Pasar Kelapa Sawitnya

ke Malaysia

Jakarta. Indonesia mungkin kehilangan pasar minyak sawitnya ke Malaysia jika Jakarta gagal mendapatkan tarif yang lebih rendah dari tetangga dekatnya dalam negosiasinya dengan pemerintah AS, menurut asosiasi produsen.

Dalam putaran tarif barunya yang diumumkan pekan lalu, Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk mempertahankan bea masuk atas barang-barang Indonesia tidak berubah pada 32 persen. Trump, bagaimanapun, memutuskan untuk menaikkan pungutan impor Malaysia sebesar satu poin persentase dalam suratnya yang diformat dengan buruk. Meski begitu, apa yang didapat Malaysia masih jauh lebih rendah iaitu 25 persen.

Indonesia dan Malaysia menyumbang 80 persen dari total produksi minyak sawit global. Amerika Serikat juga membeli minyak sawit dari kedua negara ASEAN ini. Meskipun masih ada waktu untuk negosiasi hingga 1 Agustus, Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) tetap menyilangkan jari bahwa Jakarta akan berakhir dengan tarif yang lebih rendah dari Malaysia.

Kedua negara saat ini tunduk pada tarif dasar 10 persen yang hanya akan naik ke angka yang lebih curam yang disebutkan di atas jika mereka gagal mencapai kesepakatan dengan tim Trump.

Fadhil Hasan, kepala urusan internasional di Gapki, mengatakan pada hari Selasa bahwa sekitar 85 persen impor minyak sawit AS berasal dari Indonesia.

“Jadi jika Trump melanjutkan dengan tarif, AS tentu saja akan mengimpor CPO lebih banyak dari Malaysia daripada Indonesia. Itulah yang kami khawatirkan,” kata Fadhil dalam sebuah forum yang diadakan oleh B-Universe Media Holdings di kantor pusatnya di PIK 2.

Data Gapki menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia menuju AS mencapai 2,2 juta ton pada 2024, senilai sekitar $2,9 miliar.

Statistik resmi menunjukkan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia secara keseluruhan mencapai 8,9 miliar dolar AS antara Januari dan Mei 2025. Dari segi volume, Indonesia menjual sekitar 8,3 juta ton minyak sawit selama periode tersebut. Pakistan, India, dan China tetap menjadi pembeli utama Indonesia. Kantor berita Bernama melaporkan bahwa Malaysia menjual 191.000 ton minyak sawit ke AS tahun lalu.

Pasar Baru

Tarif yang membayangi telah memicu diskusi tentang perlunya memperluas ke pasar baru, sesuatu yang diakui Gapki.

Indonesia baru-baru ini membuat kemajuan besar dalam negosiasi Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) dengan Uni Eropa (UE). Kedua belah pihak telah mencapai kesepakatan politik untuk menyelesaikan CEPA pada bulan September.

Meskipun ini adalah kabar baik untuk upaya diversifikasi Jakarta, Fadhil mengatakan bahwa CEPA belum sepenuhnya menyelesaikan hambatan non-tarif Uni Eropa yang telah menghantui industri kelapa sawit Indonesia. Pengusaha itu menyinggung undang-undang anti-deforestasi blok yang akan mengharuskan operator untuk membuktikan minyak sawit mereka tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi sebelum mereka dapat memasuki pasar Eropa.

Gapki juga meminta Indonesia untuk mencapai pakta perdagangan dengan pasar lain seperti Turki – sesuatu yang telah dikerjakan pemerintah.

“Diversifikasi perdagangan adalah suatu keharusan di tengah ancaman tarif Trump dan langkah-langkah non-tarif Uni Eropa yang belum selesai. Kita dapat mendiversifikasi ekspor minyak sawit kita ke negara-negara Afrika dan Mediterania. Mungkin, kita bisa mendorong pakta perdagangan dengan Turki. Saat itu, Turki terutama mengimpor [minyak sawitnya] dari Indonesia, tetapi kami kehilangan pasar kami ke Malaysia, hanya karena memiliki perjanjian perdagangan bebas dengan Ankara,” kata Fadhil.

Pakta perdagangan itu adalah sesuatu yang telah didiskusikan Presiden Prabowo Subianto dengan mitranya dari Turki, Recep Tayyip Erdogan pada bulan Februari lalu. Kedua pemimpin menyatakan niat mereka untuk mengembangkan kesepakatan perdagangan preferensial terbatas pada tahun 2026. Mereka juga mengincar perjanjian tingkat CEPA yang diharapkan mencakup lebih banyak aspek dalam hubungan ekonomi.

Perjanjian perdagangan bebas Malaysia dengan Turki mulai berlaku pada tahun 2015.

US Tariff Aftermath: Indonesia Can Lose Its Palm Oil Market to Malaysia

Jakarta. Indonesia might lose its palm oil market to Malaysia if Jakarta fails to get a tariff lower than that of its close neighbor in its negotiations with the US government, according to a producers’ association.

In his new round of tariffs announced last week, US President Donald Trump decided to keep the import duties on Indonesian goods unchanged at 32 percent. Trump, however, decided to raise the levy on Malaysian imports by a percentage point in his poorly formatted letter. Even so, what Malaysia gets is still much lower at 25 percent.

Indonesia and Malaysia account for 80 percent of the total global palm oil production. The United States also buys palm oil from these two ASEAN countries. While there is still time for negotiations until August 1, the Indonesian Palm Oil Association (Gapki) is keeping its fingers crossed that Jakarta will end up with a tariff lower than Malaysia.

Both countries are currently subject to a 10 percent baseline tariff that will only rise to the aforementioned steeper figures if they fail to reach a deal with Trump’s team.

Fadhil Hasan, the international affairs head at Gapki, said Tuesday that about 85 percent of the US palm oil imports came from Indonesia.

“So if Trump proceeds with the tariffs, the US will, of course, import CPO more from Malaysia than Indonesia. That’s what we are concerned about,” Fadhil told a forum held by B-Universe Media Holdings in its PIK 2 headquarters.

Gapki data showed that Indonesia’s US-bound palm oil export reached 2.2 million tons in 2024, worth approximately $2.9 billion.

Official statistics showed that Indonesia’s overall palm oil export reached $8.9 billion between January and May 2025. Volume-wise, Indonesia sold about 8.3 million tons of palm oil over the said period. Pakistan, India, and China remained Indonesia’s top buyers. News agency Bernama reported that Malaysia sold 191,000 tons of palm oil to the US last year.

New Markets

The looming tariffs had sparked discussions on the need to expand into new markets, something that Gapki acknowledged.

Indonesia recently made major progress in its Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) negotiations with the European Union (EU). Both sides had reached a political agreement to finalize the CEPA by September.

While this is good news for Jakarta’s diversification attempt, Fadhil said that the CEPA had yet to fully resolve the EU’s non-tariff barriers that had been haunting Indonesia’s palm oil industry. The businessman alluded to the bloc’s anti-deforestation law that would require operators to prove their palm oil did not come from deforested land before they could enter the European market.

Gapki also called on Indonesia to strike a trade pact with other markets like Turkey -- something that the government had already been working on.

“Trade diversification is a must amidst Trump’s tariff threat and the EU’s unfinished non-tariff measures. We can diversify our palm oil exports to African and Mediterranean countries. Perhaps, we can push for a trade pact with Turkey. Back then, Turkey primarily imported [its palm oil] from Indonesia, but we lost our market to Malaysia, simply because it has a free trade agreement with Ankara,” Fadhil said.

The trade pact was something that President Prabowo Subianto had discussed with his Turkish counterpart, Recep Tayyip Erdogan, back in February. The two leaders expressed their intention to develop a limited preferential trade deal by 2026. They are also eyeing a CEPA-level treaty that was expected to cover more aspects in economic relations.

Malaysia’s free trade agreement with Turkey entered into force in 2015.

Penurunan 70% Mega-IPO menuju penghapusan pencatatan adalah pukulan mahal bagi Malaysia

FGV

telah membebani pemegang saham terbesarnya dan, dengan perluasan, pembayar pajak di negara itu [KUALA LUMPUR] Ketika Facebook go public pada tahun 2012, daftar terbesar berikutnya di dunia tahun itu adalah perusahaan dari Malaysia yang terkenal karena memproduksi minyak goreng.

Morgan Stanley, JPMorgan Chase dan Deutsche Bank berbaris dengan bank-bank terbesar di negara itu untuk mengelola penawaran umum perdana (IPO) FGV Holdings senilai US$3,3 miliar, yang mengungguli raksasa media sosial pada bulan-bulan awal perdagangan.

Sejak saat itu, perusahaan komoditas siap untuk menghapus daftar bulan ini dengan harga kurang dari sepertiga dari harga IPO-nya, turun 70 persen.

Investasi yang buruk memakan keuntungan, sementara ketegangan ruang dewan meletus ke depan umum. Di bawah 10 kepala eksekutif FGV sejak 2012, miliaran dolar AS dalam nilai pasar dimusnahkan, mengubah episode yang dimaksudkan untuk menampilkan pembangkit tenaga listrik komoditas yang sedang naik daun menjadi memalukan yang mahal bagi negara.

Skandal keuangan telah menodai reputasi Malaysia selama beberapa dekade, termasuk bailout perusahaan oleh dana milik negara. Dalam kasus FGV, tidak ada bukti kesalahan tetapi menonjol karena perhatian internasional yang ditariknya pada awal dan ketidaknyamanan berikutnya.

Di lingkaran keuangan Kuala Lumpur, berbicara tentang FGV memicu desahan berat di antara analis dan eksekutif, dan kisahnya berfungsi sebagai kisah peringatan bagi investor yang mempertimbangkan eksposur ke perusahaan yang terkait dengan pemerintah.

“Itu adalah kesempatan yang hilang bagi Malaysia,” kata Ahmad Fauzi Abdul Hamid, seorang profesor ilmu politik di Universiti Sains Malaysia. Ini “bisa menjadi usaha yang akan mengubah keberuntungan petani kecil dan posisi Malaysia dalam industri kelapa sawit global”.

FGV memproduksi sekitar 3 persen minyak sawit dunia, digunakan dalam segala hal mulai dari minyak goreng hingga cokelat, meskipun perusahaan tertinggal dari metrik utama seperti berapa banyak buah berwarna kemerahan yang dapat dipanen dari pohonnya dan berapa banyak minyak yang dapat diekstrak dari tandan tersebut.

Pemegang saham pemerintah yang dikenal sebagai Felda, atau Otoritas Pengembangan Lahan Federal, menuduh FGV berkinerja buruk, yang sebelumnya disalahkan perusahaan pada faktor-faktor termasuk jatuhnya harga minyak sawit mentah dan pohon yang menua.

Ini adalah upaya kedua Felda untuk menghapus perusahaan selama lima tahun terakhir, dan berhasil dalam beberapa pekan terakhir ketika agensi tersebut mengakuisisi lebih dari 90 persen saham FGV. Penawaran keluar ditutup pada hari Jumat.

Felda mengatakan bahwa setelah FGV dipindahkan dari pasar umum, mereka akan mengganti pohon untuk meningkatkan hasil panen dan memangkas biaya dengan teknologi. Pejabat tinggi pemerintah mengatakan bahwa perusahaan akan kembali ke etos aslinya untuk membantu petani.

FGV tetap “berkomitmen penuh untuk memastikan kelangsungan bisnis, menciptakan nilai jangka panjang bagi pemegang saham kami, dan memperkuat posisi kami sebagai salah satu perusahaan agribisnis terkemuka di Malaysia”, katanya menanggapi pertanyaan dari Bloomberg. Perusahaan menolak berkomentar lebih lanjut karena penghapusan pencatatan sedang berlangsung. Felda mengatakan bahwa pihaknya tidak dapat membuat pernyataan apa pun dengan alasan yang sama.

Namun, banyak yang skeptis tentang masa depan. “Privatisasi hanyalah langkah simbolis untuk membuatnya terlihat seolah-olah masalah telah terpecahkan,” kata Adib Zalkapli, direktur pelaksana Viewfinder Global Affairs, sebuah konsultan risiko politik. “Tapi itu hanya memecahkan aspek yang ada di mata publik.”

Bank-bank teratas pada IPO, Malayan Banking, CIMB Group Holdings, Morgan Stanley, JP Morgan dan Deutsche Bank, menolak berkomentar atau mengatakan bahwa mereka tidak mengungkapkan atau mengomentari klien tertentu.

Ambisi global

Beberapa dekade sebelum masalah, itu adalah kisah yang lebih sukses. Malaysia telah memulai pengembangan pertanian di jantungnya yang rimbun, dan keluarga miskin diundang untuk pindah dan menanam pohon karet dan kelapa sawit. Yang disebut pemukim menjual hasil bumi ke pemerintah, dijamin penghasilan dan membayar hipotek bulanan.

Skema ini diselenggarakan di bawah Felda dan berkembang menjadi lebih dari 110.000 keluarga pada tahun 1990-an. Skala ini membantu menjadikan Malaysia salah satu produsen minyak sawit terbesar di dunia dan mengangkat orang keluar dari kemiskinan, sedemikian rupa sehingga Bank Dunia memuji Felda sebagai “contoh yang jelas bahwa lembaga yang didanai publik dapat menjadi pengguna sumber daya yang efisien”.

FGV dibentuk pada tahun 2007 sebagai anak perusahaan yang dimaksudkan untuk mengawasi dan meningkatkan pengembalian perkebunannya. Rencana IPO diikuti, sebagian agar perusahaan dapat memanfaatkan pasar modal alih-alih bergantung pada pemerintah untuk pertumbuhan.

Pada saat pencatatan, FGV disebut-sebut sebagai operator perkebunan kelapa sawit terbesar ketiga di dunia dengan lebih dari 340.000 hektar perkebunan di Malaysia, seukuran Rhode Island di AS. Itu juga memiliki jejak di negara-negara luar negeri, dari Cina hingga Afrika Selatan.

Perdana Menteri Najib Razak berjanji sebagian dari hasil IPO akan diberikan kepada petani. Pemilihan umum setahun lagi dan petani Felda merupakan blok pemungutan suara yang penting.

Dalam pidato menjelang IPO 2012, Najib menyatakan pencatatan itu akan menjadi “lompatan kuantum” bagi FGV. Dia juga menggesek Facebook, yang sekarang dikenal sebagai Meta Platforms, yang sahamnya telah tenggelam di bawah harga penawaran, mengatakan dia berharap FGV akan berkinerja lebih baik.

Bankir yang bekerja pada IPO mengingat bagaimana investor berteriak-teriak untuk dialokasikan saham karena mereka tidak ingin melewatkan kesepakatan tersebut. Salah satu pedagang pertanian terbesar di dunia, Louis Dreyfus, mengambil saham kecil, sementara yang lain yang mendukung IPO termasuk dana negara Qatar, AIA Group dan beberapa dana Malaysia.

Saham melonjak lebih dari 16 persen pada debutnya pada Juni tahun itu. Tapi itu tidak bertahan lama. Saham ini belum diperdagangkan di atas harga catatannya sejak Mei 2014.

Louis Dreyfus, dana Qatar dan AIA menolak berkomentar.

Akuisisi

Untuk hampir sepanjang waktunya sebagai perusahaan yang terdaftar, porsi panggilan hold dan sell analis di FGV telah melebihi jumlah panggilan beli, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg. Laporan analis telah menyoroti bahwa perusahaan tertinggal dari rekan-rekan dalam metrik kinerja dan menyatakan skeptisisme tentang alasan manajemen untuk beberapa kesepakatan utama.

FGV melakukan akuisisi setelah pencatatannya, berinvestasi dalam aset dari kondominium mewah hingga perusahaan nanokarbon. Sebuah laporan tahun 2019 dari Kementerian Urusan Ekonomi Malaysia menyimpulkan FGV menghabiskan 73 persen dari hasil IPO-nya, atau RM3,3 miliar (S$1 miliar), untuk taruhan yang tidak menguntungkan tersebut.

Di antara kesepakatan yang paling kontroversial, pembelian Asian Plantations pada tahun 2014 kemudian mengakibatkan perusahaan menggugat mantan CEO-nya serta 13 anggota dewan dan eksekutif lainnya atas akuisisi tersebut, dengan tuduhan pelanggaran kewajiban fidusia yang mengakibatkan kerugian. Para terdakwa telah mengajukan pembelaan mereka dan kasus ini akan diadili pada bulan September, kata FGV dalam pengajuan April.

Investasi yang direncanakan oleh FGV di Perkebunan Tinggi Eagle Indonesia pada tahun 2015 menyebabkan kegemparan, dan para eksekutif harus mempertahankan alasan dan premi yang ditawarkan untuk kepemilikan saham 37 persen. FGV akhirnya membatalkan kesepakatan itu, meskipun sahamnya dibeli oleh Felda lebih dari setahun kemudian.

Pada tahun 2017, mantan ketua dan CEO FGV secara terbuka menuduh satu sama lain melakukan pelanggaran keuangan, yang mengarah pada penggerebekan dan penyelidikan oleh badan anti-korupsi Malaysia. Status penyelidikan tidak jelas, dan agensi tidak menanggapi permintaan komentar tentang hasilnya.

“Alasan mengapa orang begitu marah adalah karena FGV seharusnya membantu meningkatkan kekayaan, bukan berinvestasi dalam sesuatu yang tidak stabil atau sesuatu yang mencurigakan dan tidak mengikuti aturan prosedur,” kata Ahmad Martadha Mohamed, seorang profesor pemerintahan di Universiti Utara Malaysia.

Masalah FGV tidak hanya internal. Keuntungannya berayun seiring dengan perubahan harga minyak sawit global. Fokus investor pada masalah lingkungan, sosial, dan tata kelola juga mengintensifkan pengawasan perusahaan.

Pada tahun 2020, pihak berwenang AS memberlakukan larangan impor produk FGV setelah menemukan bukti kerja paksa di perusahaan tersebut. Perusahaan telah mengatakan bahwa mereka telah mengambil langkah-langkah selama bertahun-tahun untuk memperbaiki masalah ini, dan berkomitmen untuk menghormati hak asasi manusia dan menjunjung tinggi standar ketenagakerjaan. Ia mengajukan petisi pada Juni tahun lalu untuk mengubah larangan yang sedang berlangsung.

Masalah FGV telah membebani pemegang saham terbesarnya dan, dengan perluasan, pembayar pajak di Malaysia.

Spin-off perusahaan dari Felda disertai dengan kewajiban untuk membayar induk dengan biaya tahunan tetap ditambah bagian dari laba operasional. Felda mengatakan bahwa mereka mengharapkan untuk menerima sekitar RM 800 juta setahun.

Selama sembilan tahun pertama setelah IPO, FGV membayar kurang dari setengah jumlah itu secara total, berjumlah kekurangan sekitar RM4,5 miliar, menurut perhitungan oleh Bloomberg News. FGV tidak menanggapi pertanyaan Bloomberg tentang pembayarannya selama empat tahun terakhir, meskipun perusahaan sebelumnya bersikeras telah memenuhi kewajiban keuangan kepada pemegang sahamnya.

Felda mengatakan defisit berkontribusi pada kerugiannya, mendorongnya untuk meminjam banyak dari bank. Pada 2019, pemerintah meluncurkan paket penyelamatan RM6,2 miliar untuk agensi itu, melangkah lagi empat tahun kemudian untuk menjamin pinjaman bernilai miliaran ringgit. Bagi Zhu Hann Ng, pendiri manajer dana Tradeview Capital yang berbasis di Kuala Lumpur, kesimpulannya dari saga ini adalah bahwa investor asing yang melihat Malaysia harus menghindari perusahaan yang terkait dengan pemerintah. “Pemerintah tidak memiliki urusan dalam bisnis,” katanya.

Aspirasi FGV yang dulunya mulia untuk menjadi konglomerat kelapa sawit kelas dunia kini menyusut untuk fokus kembali pada petani yang bekerja keras di perkebunannya. Pada acara baru-baru ini untuk para pemukim, suasana optimis dengan musik lokal yang keras dimainkan dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim berbicara tentang manfaat penghapusan daftar. Namun, bahkan beberapa pemangku kepentingan utama ini bingung dengan peristiwa dekade terakhir.

Masri Salleh, 75, telah menjadi petani di Felda sejak 1972 di Trolak Utara di negara bagian utara Perak. Dia menentang IPO dan tidak membeli saham apa pun. Banyak teman-temannya menggunakan pinjaman, percaya janji bahwa

Mega-IPO’s 70% fall towards delisting is costly blow for Malaysia

FGV’s problems have weighed on its biggest shareholder and, by extension, taxpayers in the country [KUALA LUMPUR] When Facebook went public in 2012, the world’s next-largest listing that year was a company from Malaysia best known for producing cooking oil.

Morgan Stanley, JP Morgan Chase and Deutsche Bank lined up with the country’s biggest banks to manage the US$3.3 billion initial public offer (IPO) of FGV Holdings, which outperformed the social media giant in the initial months of trading.

It’s been a flop ever since, with the commodities company poised to delist this month at less than a third of its IPO price, a drop of 70 per cent.

Poor investments ate into profits, while boardroom tensions erupted into public view. Under FGV’s 10 chief executive officers since 2012, billions of US dollars in market value were wiped out, turning an episode meant to showcase a rising commodities powerhouse into a costly embarrassment for the country.

Financial scandals have tarnished Malaysia’s reputation for decades, including corporate bailouts by state-owned funds. In the case of FGV, there is no evidence of wrongdoing but it stands out for the international attention it attracted at the start and ensuing malaise.

In Kuala Lumpur’s financial circles, talking about FGV prompts heavy sighs among analysts and executives, and its tale serves as a cautionary tale for investors considering exposure to government-linked companies.

“It was a lost opportunity for Malaysia,” said Ahmad Fauzi Abdul Hamid, a political science professor at Universiti Sains Malaysia. This “could have been a venture that would transform both the fortunes of smallholders and Malaysia’s standing in the global oil palm industry”.

The government shareholder known as Felda, or Federal Land Development Authority, has accused FGV of underperformance, which the company has previously blamed on factors including the falling price of crude palm oil and ageing trees. This is Felda’s second attempt to delist the company over the last five years, and it succeeded in recent weeks when the agency acquired more than 90 per cent of FGV. The exit offer closes on Friday. Felda said that after FGV’s removal from public markets, it will replace trees to boost yields and cut costs with technology. Top government officials said that the company will return to its original ethos of helping farmers.

FGV remains “fully committed to ensuring business continuity, creating long-term value for our shareholders, and strengthening our position as one of Malaysia’s leading agri-business companies”, it said in response to queries from Bloomberg. The company declined to comment further as the delisting is in progress. Felda said that it is unable to make any statement for the same reason.

Still, many are sceptical about the future. “Privatisation is only a symbolic move to make it look as though the problems are solved,” said Adib Zalkapli, managing director of Viewfinder Global Affairs, a political risk consultancy. “But it only solves the aspect of it being in the public eye.”

The top banks on the IPO, Malayan Banking, CIMB Group Holdings, Morgan Stanley, JP Morgan and Deutsche Bank, either declined to comment or said that it does not disclose or comment on specific clients.

Global Ambitions

Decades before the problems, it was a more successful tale. Malaysia had embarked on developing farms in its lush heartland, and poor families were invited to move in and grow rubber trees and oil palms. The so-called settlers sold the produce to the government, were guaranteed an income and paid a monthly mortgage.

The scheme was organised under Felda and grew to encompass more than 110,000 families by the 1990s. This scale helped make Malaysia one of the world’s largest producers of palm oil and lifted people out of poverty, so much so that the World Bank praised Felda as “a clear example that publicly funded agencies can be efficient users of resources”.

FGV was formed in 2007 as a subsidiary meant to oversee and improve the returns of its plantations. IPO plans followed, in part so that the firm could tap capital markets instead of rely on the government for growth. At the time of listing, FGV was touted as the third-largest oil palm plantation operator in the world with over 340,000 hectares of estates in Malaysia, about the size of Rhode Island in the US. It also had a footprint in countries abroad, from China to South Africa.

Then-Prime Minister Najib Razak promised part of the IPO proceeds would go to farmers. A general election was a year away and Felda farmers make up a crucial voting blocs. In a speech ahead of the 2012 IPO, Najib declared the listing would be a “quantum leap” for FGV. He also took a swipe at Facebook, now known as Meta Platforms, whose shares had sunk below the offer price, saying he hoped FGV would perform better.

Bankers who worked on the IPO recalled how investors clamoured to be allocated shares as they did not want to miss out on the deal. One of the world’s biggest agricultural traders, Louis Dreyfus, took a small stake, while others who supported the IPO included Qatar’s sovereign fund, AIA Group and multiple Malaysian funds. The shares surged more than 16 per cent on their debut in June that year. But that did not last. The stock has not traded above its listing price since May 2014.

Louis Dreyfus, the Qatar fund and AIA declined to comment

Acquisition Spree

For almost all its time as a listed company, the portion of analysts’ hold and sell calls on FGV has outnumbered the buy calls, according to data compiled by Bloomberg. Analysts’ reports have highlighted that the company lagged peers in performance metrics and expressed scepticism about management’s rationale for some key deals. FGV went on an acquisition spree after its listing, investing in assets from luxury condominiums to a nano carbon company. A 2019 report from Malaysia’s Economic Affairs Ministry concluded FGV spent 73 per cent of its IPO proceeds, or RM3.3 billion (S$1 billion), on such unprofitable bets.

Among the most contentious deals, its 2014 purchase of Asian Plantations later resulted in the company suing its former CEO as well as 13 other board members and executives over the acquisition, alleging breach of fiduciary duties resulting in losses. The defendants have filed their defences and the case is going to trial in September, FGV said in an April filing.

A planned investment by FGV in Indonesia’s Eagle High Plantations in 2015 caused an uproar, and executives had to defend the rationale and premium offered for the 37 per cent shareholding. FGV eventually scrapped the deal, though the stake was bought by Felda more than a year later. In 2017, FGV’s former chairman and CEO publicly accused each other of financial misconduct, leading to a raid and probe by Malaysia’s anti-corruption agency. The status of the investigation is unclear, and the agency didn’t respond to a request for comment on the outcome.

“The reason why people are so angry is because FGV is supposed to help to increase wealth, not invest in something that is unstable or something that is fishy and does not follow the rules of procedure,” said Ahmad Martadha Mohamed, a professor of government at Universiti Utara Malaysia. FGV’s problems were not only internal. Its profits swung alongside gyrating global palm oil prices. Investor focus on environmental, social and governance issues also intensified scrutiny of the company.

In 2020, US authorities imposed an import ban on FGV products after finding evidence of forced labour at the company. The company has said that it has taken steps over the years to fix the issue, and it’s committed to respecting human rights and upholding labour standards.It submitted a petition in June last year to modify the ongoing ban. FGV’s problems have weighed on its biggest shareholder and, by extension, taxpayers in Malaysia.

The company’s spinoff from Felda came with an obligation to pay the parent a fixed annual fee plus a share of operating profits. Felda said that it expected to receive around RM800 million a year. Over the first nine years after the IPO, FGV paid less than half that sum in total, amounting to a shortfall of about RM4.5 billion, according to calculations by Bloomberg News. FGV did not respond to Bloomberg’s query about its payments for the four most recent years, though the firm has previously maintained it has fulfilled the financial obligations to its shareholder.

Felda has said the deficit contributed to its losses, pushing it to borrow heavily from banks. In 2019, the government unveiled a RM6.2 billion rescue package for the agency, stepping in again four years later to guarantee billions of ringgit worth of loans. For Zhu Hann Ng, the founder of Kuala Lumpur-based fund manager Tradeview Capital, his takeaway from the saga is that foreign investors looking at Malaysia should steer clear of government-linked companies. “The government has no business being in business,” he said.

FGV’s once-lofty aspirations of being a world-class palm oil conglomerate have now shrunk to focus back on the farmers who toil on its plantations. At a recent event for the settlers, the mood was upbeat with loud local music playing and Prime Minister Anwar Ibrahim talking up the benefits of delisting. Yet, even some of these key stakeholders are befuddled by the events of the past decade.

Masri Salleh, 75, has been a farmer with Felda since 1972 in Trolak Utara in the northern state of Perak. He opposed the IPO and did not buy any shares. Many of his friends did using loans, believing promises that the stock would soar in value. “I’m stunned by what’s happening,” said Masri. “We are so tired of speaking up and not getting any answers.”

Uni Eropa Izinkan Minyak Sawit Indonesia Masuk Pasar Dengan Tarif 0 Pct

Jakarta. Kepala Menteri Urusan Ekonomi Airlangga Hartarto mengatakan pada hari Senin bahwa Eropa akan membiarkan Indonesia menjual minyak sawitnya dengan tarif 0 persen sebagai bagian dari negosiasi kesepakatan perdagangan di menit-menit terakhir.

Uni Eropa (UE) dan Indonesia baru-baru ini mencapai kesepakatan politik untuk memajukan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA). Perdagangan minyak sawit telah menyebabkan kemunduran dalam hubungan mereka, terutama setelah komoditas ekspor utama Indonesia menghadapi hambatan regulasi. Uni Eropa telah memutuskan untuk membatasi impor minyak sawit dengan mengharuskan pedagang untuk membuktikan produk mereka tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi. Undang-undang ini, yang dijuluki sebagai EUDR, akan mulai berlaku mulai akhir tahun ini untuk perusahaan besar dan menengah. Jakarta mengungkapkan bahwa Uni Eropa telah setuju untuk menurunkan pungutan atas minyak sawit Indonesia menjadi 0 persen di bawah CEPA yang belum ditandatangani.

“Putaran terakhir negosiasi CEPA berfokus pada minyak sawit. Uni Eropa awalnya menolak untuk memasukkan minyak sawit sama sekali dalam perjanjian tersebut. Itu sebabnya mereka datang dengan EUDR, tetapi ternyata mereka benar-benar membutuhkan minyak sawit kita,” kata Airlangga kepada forum Investor Daily Roundtable di Jakarta. “Jadi, mereka telah sepakat untuk memiliki tarif minyak sawit Indonesia sebesar nol persen”.

Menurut Airlangga, kedua belah pihak telah menyepakati pendekatan kuota tarif dalam perdagangan kelapa sawit. Sistem ini akan menetapkan kuota tertentu dari volume minyak sawit terikat UE yang memenuhi syarat untuk tarif 0 persen. Namun, setiap impor minyak sawit di atas batas itu akan menghadapi tarif 3 persen saat memasuki pasar Eropa.

“Uni Eropa telah meminta kami untuk menerapkan sistem semacam itu pada minyak sawit mentah dan minyak inti sawit. … Tarif 3 persen tentu lebih rendah dari 19 persen [pungutan yang akan dikenakan AS pada kami],” kata menteri senior itu.

Airlangga mengklaim bahwa Uni Eropa akan menyederhanakan proses ratifikasi pakta yang sangat ditunggu-tunggu ini karena Jakarta berharap perjanjian tersebut dapat mulai berlaku tahun depan. CEPA akan memiliki 80 persen ekspor Indonesia menuju Uni Eropa yang dikenakan tarif nol. Perdagangan barang Uni Eropa dengan Indonesia berjumlah 27,3 miliar euro (sekitar $ 31,9 miliar) pada tahun 2024, data blok tersebut menunjukkan. Eropa telah mengimpor sekitar 17,5 miliar euro dari Indonesia selama periode tersebut.

EUDR mengharuskan pedagang kelapa sawit untuk menyerahkan koordinat geologis di mana komoditas pertanian ditanam, persyaratan yang diakui Indonesia mengenakan pajak pada petani kecilnya. Pemasok minyak sawit terbesar di dunia telah mendorong UE untuk mengakui standar keberlanjutannya. Pemerintah mengamanatkan produsen minyak sawit negara itu, termasuk mereka yang terlibat dalam pengolahan industri dan produksi bioenergi, untuk mendapatkan sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Airlangga menyinggung bahwa Uni Eropa telah setuju untuk mengakui ISPO, dengan mengatakan bahwa Indonesia telah “menyelesaikan masalah geolokasi”.

Kemajuan terbaru dalam CEPA Indonesia-Uni Eropa menjadi kabar baik di tengah perang tarif yang dilancarkan oleh Presiden AS Donald Trump. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengakui bahwa blok tersebut berusaha untuk mendiversifikasi pasarnya mengikuti kebijakan perdagangan terbaru Trump.

“Jadi kesepakatan politik yang besar dan penting tentang perjanjian perdagangan bebas dengan Indonesia hari ini adalah tonggak besar ke depan. Ini menunjukkan bahwa kami mencari pasar baru dan terbuka,” kata von der Leyen beberapa minggu lalu saat menjamu Presiden Prabowo Subianto di Brussels.

Jakarta. Chief Economic Affairs Minister Airlangga Hartarto said Monday that Europe would let Indonesia sell its palm oil at 0 percent tariff as part of a last-minute trade deal negotiation.

According to Airlangga, both sides have agreed on a tariff-rate quota approach in palm oil trade. This system will set a certain quota of the volumes of the EU-bound palm oil that are eligible for the 0 percent tariffs. However, any palm oil imports above that limit will face a 3 percent tariff when entering the European market.

“The EU has asked us to implement such systems on crude palm oil and palm kernel oil. … A 3 percent tariff is certainly lower than the 19 percent [levy that the US will impose on us],” the senior minister said.

Airlangga claimed that the EU will simplify the ratification process for this much-awaited pact as Jakarta hoped that the agreement could take into effect next year. The CEPA will have 80 percent of Indonesia’s EU-bound exports subject to zero tariffs. The EU’s trade in goods with Indonesia amounted to 27.3 billion euros (around $31.9 billion) in 2024, the bloc’s data showed. Europe had imported around 17.5 billion euros from Indonesia over the said period.

The EUDR requires palm oil traders to submit geological coordinates of where the agricultural commodity is grown, a requirement that Indonesia had admitted to be taxing on its smallholders. The world’s largest palm oil supplier has been nudging the EU to recognize its sustainability standards. The government mandates the country’s palm oil producers, including those involved in the industrial processing and bioenergy production, to secure the Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) certificates. Airlangga alluded that the EU had agreed to recognize the ISPO, saying that Indonesia had “already settled the geolocation issues”.

EU to Let Indonesian Palm Oil Enter Its Market at 0 Pct Tariff

J

akarta. Chief Economic Affairs Minister Airlangga Hartarto said Monday that Europe would let Indonesia sell its palm oil at 0 percent tariff as part of a last-minute trade deal negotiation.

The European Union (EU) and Indonesia recently struck a political agreement to advance the Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA). Palm oil trade has caused a setback in their relations, especially after Indonesia’s top export commodity faced regulatory obstacles. The EU has decided to restrict palm oil imports by requiring traders to prove their products do not come from deforested land. This law, dubbed as the EUDR, will come into effect starting by the end of this year for large and medium companies. Jakarta revealed that the EU had agreed to bring its levies on Indonesian palm oil down to 0 percent under the yet-to-be-signed CEPA.

“The last rounds of CEPA negotiations focused on palm oil. The EU initially refused to include palm oil at all in the agreement. That’s why they came up with the EUDR, but it turns out they really do need our palm oil,” Airlangga told the Investor Daily Roundtable forum in Jakarta. “And so, they have agreed to have the tariffs on Indonesian palm oil at zero percent.”

The latest advancements in the Indonesia-EU CEPA became good news amidst the tariff war waged by US President Donald Trump. European Commission President Ursula von der Leyen admitted that the bloc sought to diversify its markets following Trump’s latest trade policy.

“So this big and important political agreement on a free trade agreement with Indonesia today is a huge milestone forward. It shows that we are looking for a new and open market,” von der Leyen said a few weeks ago when hosting President Prabowo Subianto in Brussels.

RI Minta Tarif Impor Nol Minyak Sawit Masuk Amerika Serikat

JAKARTA

– Pemerintah Indonesia sedang mengupayakan negosiasi

lebih lanjut dengan pemerintah Amerika Serikat untuk mendapatkan tarif impor sebesar 0% untuk sejumlah komoditas utama. Sebelumnya, Amerika Serikat telah memutuskan untuk mengenakan tarif impor 19% untuk komoditas Indonesia yang masuk ke dalam negeri.

Sekretaris Kementerian Koordinator Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan bahwa Presiden Donald Trump baru-baru ini memutuskan tarif timbal balik untuk barang-barang Indonesia sebesar 19%, tetapi masih ada kemungkinan untuk negosiasi lebih lanjut. “Negosiasi dapat diupayakan lebih lanjut untuk komoditas yang benar-benar dibutuhkan oleh AS tetapi tidak dapat diproduksi di sana,” katanya.

“Kemarin, Presiden Prabowo Subianto telah menginformasikan bahwa tarif timbal balik yang diputuskan Presiden Trump untuk Indonesia adalah 19%. Tapi masih ada ruang untuk bernegosiasi. Kami memiliki beberapa komoditas yang sangat dibutuhkan oleh Amerika Serikat tetapi tidak dapat diproduksi di sana. Kita dapat mengekspor komoditas ke negara ini. Untuk komoditas-komoditas itulah yang kami minta tarif nol (0%)”, kata Susiwijono dikutip Antara di Jakarta, Jumat (18/7/2025).

Susiwijono mengatakan, komoditas utama yang diusulkan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan tarif nol dari Amerika Serikat adalah minyak sawit mentah (CPO), kopi, kakao, dan nikel. Ia mengatakan bahwa banyak komoditas yang ditawarkan, yang memiliki daya saing tinggi dan bisa menjadi produk strategis untuk pasar Paman Sam.

Menurutnya, proses negosiasi masih berlangsung antara tim Indonesia yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dengan tim Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR).

Dia mengatakan bahwa semua rincian perjanjian bilateral antara Indonesia dan Amerika Serikat akan tertuang dalam dokumen pernyataan bersama. “Pernyataan bersama akan mencakup semua poin perjanjian bilateral, mulai dari tarif impor hingga solusi hambatan non-tarif, dan komitmen perdagangan dan investasi bilateral mereka. Kami sudah menyiapkan dokumen akhir,” kata Susiwijono.

Sebelumnya, Presiden Trump mengumumkan penurunan tarif impor barang dari Indonesia dari 32% menjadi 19%. Hal itu diputuskan Presiden Trump setelah melakukan negosiasi langsung dengan Presiden Prabowo. Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan bahwa Indonesia bersama beberapa negara lain telah mencapai kesepakatan perdagangan baru dengan AS, sehingga barang-barang Indonesia tidak akan ditampar dengan persentase tarif yang ditetapkan sebelumnya.

“Indonesia telah mencapai kesepakatan perdagangan baru dengan AS. Tarif sebelumnya yang dijadwalkan berlaku efektif sejak 01 Agustus tidak akan berlaku untuk kami dan beberapa negara lain, seperti Inggris, Vietnam, dan China,” kata Airlangga usai bertemu dengan asosiasi pelaku usaha di Jakarta, Senin (21/072025).

Sebelumnya, Amerika Serikat berencana menerapkan tarif timbal balik sebesar 32 persen untuk seluruh produk Indonesia. Namun kemudian, berdasarkan negosiasi terakhir tarif disepakati sebesar 19 persen, dengan sejumlah komitmen perdagangan strategis. Komitmen tersebut antara lain pembelian produk energi dari Amerika Serikat senilai US$15 miliar, produk pertanian senilai US$4,5 miliar, dan pemesanan 50 pesawat Boeing oleh Indonesia, yang sebagian besar berjenis Boeing 777.

Meski demikian, Airlangga mengatakan tarif dasar 10 persen masih diterapkan AS untuk seluruh mitra dagang, termasuk Indonesia, sambil menunggu pengumuman resmi

RI Seeking Zero Import Tariff For Palm Oil Entering USA

JAKARTA

– The Indonesian government is seeking further negotiations with the USA government to get import tariff of 0% for a number of main commodities. Previously, the USA had decided to charge 19% import tariff for Indonesian commodities entering the country.

The economic coordinating ministry’s Secretary Susiwijono Moegiarso said that President Donald Trump had recently decided the reciprocal tariff for Indonesian goods at 19%, but there is still a possibility for further negotiations. “The negotiations can be further pursued for commodities that are really needed by the USA but cannot be produced there,” he said.

“Yesterday, President Prabowo Subianto had informed that the reciprocal tariff decided by President Trump for Indonesia is 19%. But there is still room to negotiate. We have several commodities that are really needed by the USA but could not be produced there. We can export the commodities to the country. It’s for those commodities that we’re seeking zero (0%) tariff,” Susiwijono was quoted by Antara as saying in Jakarta on Friday (18/7/2025).

Susiwijono said that the main commodities being proposed by Indonesian government to get zero tariff from USA are crude palm oil (CPO), coffee, cocoa, and nickel. He said that there are many commodities being offered, which have high competitiveness and could become strategic products for the Uncle Sam market.

According to him, negotiation process was still proceeding between the Indonesian team led by Economic Coordinating Minister Airlangga Hartarto and the team of USA trade representative office (USTR).

He said that all details of bilateral agreement between Indonesia and USA will be contained in a document of joint statement. “The joint statement will cover all points of bilateral agreement, from import tariff to solution of non-tariff barriers, and to their commitment of bilateral trade and investments. We’ve prepared final document,” Susiwijono said.

Previously, President Trump announced to lower the import tariff of goods from Indonesia from 32% to 19%. It was decided by President Trump after having a direct negotiation with President Prabowo. Meanwhile, Economic Coordinating Minister Airlangga Hartarto said that Indonesia, together with several other countries, has reached a new trade agreement with the USA, so that Indonesian goods will not be slapped with the percentage of tariff set before “Indonesia has reached a new trade deal with the USA. The previous tariff scheduled to be effective since 01 August will not apply for us and several other countries, such as UK, Vietnam, and China,” Airlangga said after meeting with business players association in Jakarta on Monday (21/072025).

Previously, the USA planned to apply reciprocal tariff at 32 percent for all products of Indonesia. But then, based on the latest negotiations the tariff is agreed at 19 percent, with a number of strategic trade commitments. The commitments include the purchase of energy products from USA at the value of US$15 billion, agricultural products at the value of US$4.5 billion, and order of 50 Boeing aircrafts by Indonesia, which are mostly Boeing 777 type.

Despite the fact, Airlangga said that the basic tariff of 10 percent is still applied by the USA for all trade partners, including Indonesia, while waiting for a formal announcement.

Indonesia’s

plan to raise its palm oil-based biodiesel blend to 50% next year is now in question. A senior official from the Ministry of Energy and Mineral Resources (ESDM) acknowledged ongoing uncertainty over palm oil feedstock availability and production capacity.

The government is currently consulting with experts to assess the feasibility of the B50 policy. Some analysts also warn that rising renewable fuel demand could pose risks to both the environment and Indonesia’s palm oil export performance.

Uncertainty in palm oil output, delays in biodiesel infrastructure

Eniya Listiani Dewi, Director General of New, Renewable Energy and Energy Conservation at ESDM, stated on July 17 that the government has not yet made a final decision on implementing the B50 policy in 2026 and is still calculating the volume of fatty acid methyl ester (FAME) required.

The B50 mandate is part of Indonesia’s broader energy transition plan, aiming to cut emissions in diesel-reliant sectors by using a 50/50 blend of palm oil and conventional diesel. FAME is the primary component of palm-based biodiesel.

The Indonesian Palm Oil Association (GAPKI) has also raised red flags. With CPO production plateauing and domestic demand climbing, GAPKI warns that without adequate supporting policies, the B50 push could divert financial resources away from replanting and sustainability programs which ultimately undermining Indonesia’s decarbonization goals.

Indonesia’s B50 biofuel rollout faces uncertainty amid palm oil supply woes

Dewi noted that five large-scale biodiesel plants are needed to support the policy, but only three are currently under construction. Infrastructure gaps, especially in eastern Indonesia, also hinder implementation. ESDM estimates that 19.7 million kiloliters of biodiesel will be required annually for B50 to be feasible.

Indonesia has been gradually raising its biodiesel blend over recent years, moving from B35 to B40 this year, with B50 initially scheduled for 2026. However, palm oil output remains a key variable. In 2024, crude palm oil (CPO) production is projected at 48.26 million tons—down 1.81 million tons from the previous year. Palm oil yields are highly susceptible to climate conditions, with both drought and excess rainfall negatively impacting harvests.

Experts call for safeguards amid fears of overreach

CIMB Indonesia forecasts that the B50 policy could drive domestic palm oil demand up by 3 million tons, potentially reducing export volumes. On the other hand, higher domestic demand could stabilize or boost CPO prices in 2026, offsetting the impact of newly raised U.S. tariffs on palm oil.

Still, environmental and legal concerns persist. The Institute for Essential Services Reform (IESR) and other analysts warn that growing demand for biodiesel may incentivize palm plantation expansion, threatening forests and biodiversity. Such expansion could also run afoul of the EU Deforestation Regulation (EUDR), which may restrict exports to Europe.

Presco Akan Menghabiskan

$171 Juta untuk Mengakuisisi

Dua Perusahaan Kelapa Sawit

Raksasa agroindustri Nigeria, Presco Plc, telah mengumumkan rencana untuk mengakuisisi dua perusahaan kelapa sawit besar dalam kesepakatan senilai lebih dari $171 juta sebagai bagian dari strategi ekspansi regionalnya.

Dalam sebuah pernyataan kepada pemegang saham, Sekretaris Perusahaan, Frederick Ichekwai, mengatakan Presco akan mengakuisisi 100 persen ekuitas di Ghana Oil Palm Development Company (GOPDC) seharga $ 124,93 juta dan Saro Oil Palm (SOP) seharga $ 46,71 juta.

Menurutnya, akuisisi tersebut akan memperluas jejak Presco di sektor agroindustri Afrika Barat, meningkatkan kapasitas pemrosesan, dan memperkuat rantai nilai minyak sawit terintegrasinya.

Untuk mendanai akuisisi dan rencana strategis lainnya, dewan perusahaan telah mengusulkan Rights Issue senilai ₦250 miliar kepada pemegang saham yang ada.

Hasil akan digunakan untuk membiayai kembali utang yang ada, membayar akuisisi, dan menciptakan penyangga keuangan untuk pertumbuhan bisnis lebih lanjut.

Presco mengatakan kesepakatan tersebut diharapkan dapat memberikan sinergi operasional dan membantu memenuhi meningkatnya permintaan minyak nabati olahan dan produk terkait di wilayah tersebut.

Pada Rapat Umum Tahunan 2024, pemegang saham menyetujui pembelian GOPDC, tetapi dewan sedang mencari ratifikasi keputusan itu bersama dengan persetujuan untuk akuisisi SOP karena litigasi yang sedang berlangsung.

Presco saat ini mengoperasikan perkebunan kelapa sawit, pabrik kelapa sawit, pabrik penghancuran inti sawit, dan fasilitas penyulingan minyak nabati di Nigeria.

Presco to Spend $171 M Acquiring Two Oil Palm Firms in West Africa

Nigerian agro-industrial giant, Presco Plc, has announced plans to acquire two major oil palm companies in a deal worth over $171 million as part of its regional expansion strategy.

In a statement to shareholders, Company Secretary, Frederick Ichekwai, said Presco will acquire 100 percent equity in Ghana Oil Palm Development Company (GOPDC) for $124.93 million and Saro Oil Palm (SOP) for $46.71 million.

According to him, the acquisitions will expand Presco’s footprint in West Africa’s agro-industrial sector, boost processing capacity, and strengthen its integrated palm oil value chain.

To fund the acquisitions and other strategic plans, the company’s board has proposed a ₦250 billion Rights Issue to existing shareholders.

Proceeds will be used to refinance existing debts, pay for the acquisitions, and create a financial buffer for further business growth.

Presco said the deals are expected to deliver operational synergies and help meet the rising demand for refined vegetable oils and related products in the region.

At its 2024 Annual General Meeting, shareholders approved the purchase of GOPDC, but the board is seeking ratification of that decision along with approval for the SOP acquisition due to ongoing litigation.

Presco currently operates oil palm plantations, a palm oil mill, a palm kernel crushing plant, and a vegetable oil refining facility in Nigeria.

Tetapi tren baru-baru ini menimbulkan keraguan tentang apakah industri dapat pulih di bawah kerangka kerja saat ini. Asosiasi Pengembangan Kelapa Sawit melaporkan bahwa ekspor minyak sawit Ghana anjlok lebih dari 50 persen pada tahun 2024, menyalahkan dukungan pemerintah yang lemah dan masuknya impor berbiaya rendah. Petani dan pengolah memperingatkan bahwa kecuali tantangan struktural ditangani secara langsung, bibit dan insentif baru mungkin tidak banyak membantu meningkatkan produksi ke tingkat yang kompetitif.

Salah satu kelemahan terbesar sektor ini terletak pada infrastruktur pengolahannya. Meskipun mendistribusikan bibit dapat meningkatkan budidaya, tanpa pabrik modern, fasilitas penyimpanan, dan jaringan transportasi yang efisien, sebagian besar hasil ekstra berisiko terbuang-atau dijual dengan harga murah ke perantara. Sifat rantai nilai yang terfragmentasi yang didominasi oleh petani kecil dengan sedikit koordinasi juga merusak skala ekonomi dan daya tawar.

Rezim izin impor yang baru, meskipun menjanjikan, akan dinilai berdasarkan penegakannya. Tanpa transparansi dan pengawasan yang ketat, itu dapat membuka pintu bagi kemacetan birokrasi dan korupsi, mengecilkan hati pemain yang sah. Pada saat yang sama, Ghana harus mencapai keseimbangan antara melindungi produsen lokal dan menghindari langkah-langkah proteksionis yang dapat meningkatkan harga bagi konsumen.

Pemerintah mengumumkan rencana untuk memangkas impor kelapa sawit sebesar

$ 2 Miliar

Industri minyak sawit Ghana sekali lagi menjadi sorotan nasional karena pemerintah meluncurkan rencana ambisius untuk menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi domestik. Angka-angka dari laporan Kementerian Pangan dan Pertanian tahun 2025 menunjukkan bahwa negara itu hanya memproduksi 50.000 metrik ton minyak sawit setiap tahun, namun mengkonsumsi lima kali lipat dari jumlah itu sekitar 250.000 metrik ton. Kekurangan itu ditutup oleh impor, berkontribusi pada tagihan impor pangan yang diperkirakan mencapai US$2 miliar setiap tahun.

Untuk mengatasi ketidakseimbangan ini, pemerintah mengatakan akan memperkenalkan kebijakan industri kelapa sawit nasional yang bertujuan untuk menghidupkan kembali produksi lokal dan mengembangkan seluruh rantai nilai. Rencana tersebut mencakup penyediaan 1,5 juta bibit kelapa sawit untuk petani, insentif untuk budidaya, dan dorongan untuk partisipasi yang lebih besar dalam skema perkebunan out-grower. Para pejabat berpendapat bahwa langkah-langkah ini akan memperkuat sektor ini, meningkatkan lapangan kerja pedesaan, dan memotong tagihan impor.

Menteri Keuangan Cassiel Ato Forson telah menetapkan target untuk mengolah 50.000 hektar di bawah kebijakan tersebut, dengan tahap pertama diharapkan akan menarik investasi swasta sebesar US$100 juta. Mulai Juli 2025, kontrol impor baru juga akan berlaku, mengharuskan importir untuk mendapatkan izin sebelum membawa minyak sawit ke negara itu, sebuah langkah yang dirancang untuk melindungi produsen domestik dari banjir produk asing yang lebih murah.

Di luar kebijakan produksi dan perdagangan, industri harus selaras dengan standar keberlanjutan global jika ingin mengamankan pasar premium. Di seluruh dunia, minyak sawit telah menjadi sorotan karena kaitannya dengan deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, dan praktik tenaga kerja yang buruk. Oleh karena itu, strategi kebangkitan Ghana harus menggabungkan perlindungan lingkungan dan kondisi tenaga kerja yang adil untuk bersaing secara internasional.

Taruhannya tinggi. Kebijakan ini lebih dari sekadar dorongan untuk menanam lebih banyak minyak sawit, ini adalah ujian kemampuan pemerintah untuk mengubah janji politik menjadi hasil yang nyata. Jika berhasil, itu dapat mengubah mata pencaharian pedesaan, mengurangi tagihan impor, dan menjadikan Ghana sebagai pemain yang kredibel di pasar minyak sawit global. Jika gagal, “Emas Merah” akan tetap menjadi kesempatan yang terlewatkan yang mahal, menguras devisa sementara petani terus berjuang.

Government announces plans to cut oil palm import by $2 Billion

Ghana’s

palm oil industry is once again in the national spotlight as the government unveils an ambitious plan to close the gap between domestic production and consumption. Figures from the Ministry of Food and Agriculture’s 2025 report show that the country produces only 50,000 metric tons of palm oil annually, yet consumes five times that amount about 250,000 metric tons. The shortfall is plugged by imports, contributing to a food import bill estimated at US$2 billion each year.

To address this imbalance, government says it will introduce a national palm oil industry policy aimed at reviving local production and developing the entire value chain. The plan includes the provision of 1.5 million oil palm seedlings to farmers, incentives for cultivation, and encouragement for greater participation in out-grower plantation schemes. Officials argue that these measures will strengthen the sector, boost rural employment, and cut the import bill.

Finance Minister Cassiel Ato Forson has already set targets to cultivate 50,000 hectares under the policy, with the first phase expected to attract US$100 million in private investment. From July 2025, new import controls will also take effect, requiring importers to secure permits before bringing palm oil into the country, a move designed to protect domestic producers from the flood of cheaper foreign products.

But recent trends raise doubts about whether the industry can rebound under the current framework. The Oil Palm Development Association reported that Ghana’s palm oil exports plunged by more than 50 percent in 2024, blaming weak government support and the influx of low-cost imports. Farmers and processors warn that unless structural challenges are tackled head-on, new seedlings and incentives may do little to lift

One of the sector’s biggest weaknesses lies in its processing infrastructure. While distributing seedlings can increase cultivation, without modern mills, storage facilities, and efficient transport networks, much of the extra yield risks going to waste or being sold off cheaply to middlemen. The fragmented nature of the value chain dominated by smallholders with little coordination also undermines economies of scale and bargaining power.

The new import permit regime, while promising, will be judged on its enforcement. Without transparency and strict oversight, it could open the door to bureaucratic bottlenecks and corruption, discouraging legitimate players. At the same time, Ghana must strike a balance between protecting local producers and avoiding protectionist measures that could inflate prices for consumers.

Beyond production and trade policy, the industry must align with global sustainability standards if it is to secure premium markets. Around the world, palm oil has come under scrutiny for its links to deforestation, biodiversity loss, and poor labor practices. Ghana’s revival strategy must therefore incorporate environmental safeguards and fair labor conditions to compete internationally.

The stakes are high. This policy is more than a push to grow more palm oil, it is a test of the government’s ability to convert political promises into tangible results. If successful, it could transform rural livelihoods, reduce the import bill, and establish Ghana as a credible player in the global palm oil market. If it fails, “Red Gold” will remain a costly missed opportunity, draining foreign exchange while farmers continue to struggle.

RISING GLOBAL DEMAND POSITIONS NIGERIA’S PALM OIL INDUSTRY FOR

US$105M

PROFIT IN 2025: AFRINVEST WEST AFRICA

Laporan tersebut memproyeksikan pertumbuhan laba sebelum pajak (PBT) 38,8% tahun-ke-tahun dari ₦166,8 miliar (US$108,6 juta) pada tahun 2024 menjadi ₦231,5 miliar (US$150,7 juta) pada tahun 2025. NIGERIA – Perusahaan minyak sawit terkemuka di Nigeria diproyeksikan akan membukukan laba kolektif setelah pajak sebesar US$105 juta (₦161 miliar) pada tahun 2025, menurut perkiraan industri terbaru dari Afrinvest Afrika Barat.

Menurut laporan baru oleh Afrinvest Afrika Barat, perkiraan yang kuat berlabuh pada kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) global dan kinerja operasional yang berkelanjutan dari para pemimpin industri Presco Plc dan Okomu Oil Palm Plc. Laporan tersebut memproyeksikan pertumbuhan laba sebelum pajak (PBT) 38,8% tahun-ke-tahun dari ₦166,8 miliar (US$108,6 juta) pada tahun 2024 menjadi ₦231,5 miliar (US$150,7 juta) pada tahun 2025. Selain itu, laba setelah pajak (PAT) diproyeksikan meningkat sebesar 36,8% menjadi ₦161 miliar (US$105 juta) karena kedua perusahaan menunjukkan kecakapan strategis mereka, memanfaatkan dinamika pasar yang menguntungkan dan keuntungan efisiensi internal.

Afrinvest memproyeksikan harga minyak sawit mentah (CPO) global akan naik menjadi US$1.200 per metrik ton (MT) pada akhir 2025, naik dari US$900/MT saat ini. Peningkatan ini didorong oleh meningkatnya permintaan biodiesel di Asia Tenggara, tantangan rantai pasokan yang sedang berlangsung, dan penguatan hubungan perdagangan antara ekonomi utama seperti China dan Amerika Serikat.

“Nigeria akan mendapat manfaat yang signifikan dari perkembangan ini, terutama karena negara-negara seperti Indonesia dan Malaysia memperketat kebijakan biofuel domestik, membatasi ekspor,” kata Afrinvest dalam Pembaruan Sektor Kelapa Sawit 2025. Pada tahun 2024, harga minyak sawit domestik melonjak sebesar 56,8%, mencapai ₦420.906 (US$274,01) per metrik ton, didorong oleh pergeseran pasar internasional, melemahnya naira, dan meningkatnya beban impor.

Peningkatan tajam ini memicu kenaikan 90,2% dalam pendapatan sektor menjadi ₦337,7 miliar (US$219,8 juta), dengan Presco menyumbang ₦207,5 miliar (US$135,1 juta) dan Okomu ₦130,2 miliar (US$84,8 juta). Meskipun menghadapi tantangan makroekonomi, seperti depresiasi naira sebesar 46,2% dan melonjaknya biaya energi, perusahaan mempertahankan margin keuntungan yang kuat dengan meningkatkan efisiensi produksi dan mengoptimalkan operasi dalam skala besar.

Afrinvest memperkirakan profitabilitas yang kuat untuk sektor kelapa sawit Nigeria pada tahun 2025, didukung oleh nilai tukar yang stabil, pengurangan biaya energi, dan kondisi pinjaman yang lebih terjangkau untuk mendukung pertumbuhan laba. Dengan kenaikan harga minyak sawit mentah (CPO) global dan kesenjangan pasokan domestik sebesar 450.000 metrik ton, industri ini diposisikan sebagai area pertumbuhan non-minyak utama.

Meskipun menjadi produsen terbesar kelima di dunia, Nigeria hanya menyumbang 1,9% dari produksi global dan masih gagal memenuhi permintaan lokal. Pada tahun 2024, produksi terhenti di 1,5 juta MT sementara konsumsi naik menjadi 2 juta MT. Para ahli menyarankan bahwa membuka lebih dari 2,5 juta hektar lahan pertanian yang kurang digunakan, menavrik lebih banyak investasi, dan menerapkan reformasi yang ditargetkan dapat membantu Nigeria menghidupkan kembali warisan “Emas Merah” dan mengintegrasikan minyak sawit ke dalam sektor biofuel.

The report projects a 38.8% year-on-year growth in profit before tax (PBT) from ₦166.8 billion (US$108.6M) in 2024 to ₦231.5 billion (US$150.7M) in 2025. NIGERIA – Nigeria’s leading palm oil companies are projected to post a collective after-tax profit of US$105M (₦161 billion) by 2025, according to the latest industry forecast from Afrinvest West Africa.

According to a new report by Afrinvest West Africa, the strong forecast is anchored on rising global crude palm oil (CPO) prices and sustained operational performance from industry leaders Presco Plc and Okomu Oil Palm Plc. The report projects a 38.8% year-on-year growth in profit before tax (PBT) from ₦166.8 billion (US$108.6M) in 2024 to ₦231.5 billion (US$150.7M) in 2025. Additionally, profit after tax (PAT) is projected to rise by 36.8% to ₦161 billion (US$105M) as both companies demonstrate their strategic prowess, capitalizing on favorable market dynamics and internal efficiency gains.

Afrinvest projects global crude palm oil (CPO) prices to rise to US$1,200 per metric tonne (MT) by late 2025, up from the current US$900/MT. This increase is fueled by heightened biodiesel demand in Southeast Asia, ongoing supply chain challenges, and strengthening trade ties between major economies like China and the United States.

“Nigeria stands to benefit significantly from these developments, especially as countries like Indonesia and Malaysia tighten domestic biofuel policies, limiting exports,” Afrinvest noted in its 2025 Oil Palm Sector Update. In 2024, domestic palm oil prices surged by 56.8%, reaching ₦420,906 (US$274.01) per metric tonne, driven by international market shifts, weakening of the naira, and escalating import expenses.

This sharp increase fueled a 90.2% rise in sector revenue to ₦337.7 billion (US$219.8M), with Presco contributing ₦207.5 billion (US$135.1 M) and Okomu ₦130.2 billion (US$84.8M). Despite facing macroeconomic challenges, such as a 46.2% depreciation of the naira and soaring energy expenses, the companies sustained strong profit margins by enhancing production efficiency and optimizing operations at scale.

Afrinvest forecasts strong profitability for Nigeria’s palm oil sector in 2025, supported by stable exchange rates, reduced energy expenses, and more affordable borrowing conditions to support profit growth. With rising global crude palm oil (CPO) prices and a domestic supply gap of 450,000 metric tonnes, the industry is positioned as a key non-oil growth area.

Despite being the world’s fifth-largest producer, Nigeria only accounts for 1.9% of global output and still falls short of meeting local demand. In 2024, production stalled at 1.5 million MT while consumption rose to 2 million MT. Experts suggest that unlocking over 2.5 million hectares of underused farmland, attracting more investment, and implementing targeted reforms could help Nigeria revive its “Red Gold” legacy and integrate palm oil into the biofuels sector.

Inisiatif ini menandai poros strategis menuju modernisasi sektor dan merebut kembali status Nigeria sebagai pembangkit tenaga listrik kelapa sawit global.

NIGERIA – Dalam langkah berani untuk menghidupkan kembali industri minyak sawit Nigeria yang pernah berkembang pesat, Pemerintah Federal, bekerja sama dengan Solidaridad Nigeria, telah meluncurkan Kerangka Kerja Ketertelusuran Minyak Sawit Nasional dan Komite Antar-Lembaga untuk mendorong implementasinya, yang bertujuan untuk memangkas tagihan impor tahunan negara itu senilai US$600 juta yang mengejutkan.

Inisiatif yang diresmikan di Abuja ini menandai poros strategis menuju modernisasi sektor ini dan merebut kembali status Nigeria sebagai pembangkit tenaga listrik kelapa sawit global.

Pada acara peluncuran di Abuja, Sekretaris Tetap Kementerian, Dr. Marcus Ogunbiyi, berbicara atas nama Senator Abubakar Kyari, Menteri Pertanian dan Ketahanan Pangan, menggambarkan kerangka kerja ketertelusuran minyak sawit nasional sebagai langkah kunci dalam perjalanan Nigeria untuk mengembalikan keunggulannya di industri minyak sawit global.

“Pada tahun 1960-an, Nigeria menyumbang lebih dari 40% dari produksi minyak sawit global. Saat ini, pangsa kami telah turun menjadi kurang dari 2%, hanya memproduksi 1,4 juta metrik ton terhadap permintaan nasional lebih dari 2 juta metrik ton per tahun. Kesenjangan ini merugikan kami lebih dari $ 600 juta setiap tahun dalam impor,” kata Ogunbiyi.

Dibuat dalam kemitraan dengan Solidaridad Nigeria, kerangka kerja yang baru diluncurkan ini menetapkan sistem ketertelusuran yang komprehensif untuk menjamin bahwa semua minyak sawit yang diproduksi secara lokal memenuhi standar kualitas yang tinggi, sumber etis, dan transparansi.

“Ketertelusuran adalah bahasa sekarang dan masa depan. Konsumen dan pasar saat ini menuntut untuk mengetahui asal usul suatu produk dan apakah produk tersebut memenuhi standar etika, kesehatan, dan lingkungan. Dalam pertanian masa depan, ketertelusuran tidak akan menjadi opsional; itu akan menjadi paspor menuju kesuksesan. Produk tanpa cerita asal akan menjadi produk tanpa pasar”, tegas Ogunbiyi.

Menurut Solidaridad Nigeria, kerangka kerja tersebut akan menutup kesenjangan dalam pengaturan domestik Nigeria dan mendorong efisiensi yang lebih besar di seluruh sektor ini.

Nigeria meluncurkan kerangka kerja ketertelusuran minyak sawit

nasional untuk memangkas tagihan impor US$600 Juta

“Ketidakmampuan kami untuk melacak produksi minyak sawit ke pertanian atau pengolah tertentu telah membatasi produktivitas kami. Dengan sistem ketertelusuran yang kuat, kita akan melihat lebih banyak efisiensi dalam produksi, pemrosesan, dan pemasaran. Ini akan memposisikan Nigeria untuk bersaing secara global dan mengurangi impor secara signifikan”, kata Kene Onukwube, Manajer Program di Solidaridad Nigeria.

Solidaridad Nigeria, dengan dukungan dari Belanda dan Inggris, telah berhasil menguji sistem ketertelusuran minyak sawit di empat negara bagian Nigeria: Akwa Ibom, Cross River, Enugu, dan Kogi.

Proyek percontohan ini menunjukkan bahwa adalah mungkin untuk melacak minyak sawit dari pertanian skala kecil melalui fasilitas pemrosesan ke tujuan ekspor, menyoroti kepraktisan dan dampak potensial dari penerapan ketertelusuran di seluruh industri.

Kerangka kerja ini sejalan dengan Kebijakan Teknologi dan Inovasi Pertanian Nasional Nigeria (2022–2027) dan Agenda Harapan Baru Presiden Bola Tinubu, yang memprioritaskan pertanian sebagai komponen sentral diversifikasi ekonomi dan kemakmuran pedesaan.

Komite Antar-Lembaga yang baru diresmikan akan mengawasi implementasi, mengatasi tantangan teknis, dan memastikan keselarasan di seluruh lembaga federal dan negara bagian.

Para pemangku kepentingan percaya inisiatif ini tidak hanya akan meningkatkan keamanan dan transparansi pangan tetapi juga membuka investasi dalam produksi kelapa sawit cerdas iklim, meningkatkan pendapatan petani, dan meningkatkan daya saing Nigeria di pasar regional dan global.

Dengan kerangka kerja ini, Nigeria memposisikan dirinya untuk merebut kembali posisinya sebagai salah satu produsen minyak sawit terkemuka di dunia.

Nigeria unveils national palm oil traceability framework to cut US$600 Million import bill

The initiative marks a strategic pivot toward modernising the sector and reclaiming Nigeria’s status as a global palm oil powerhouse.

NIGERIA – In a bold move to revive Nigeria’s once-thriving palm oil industry, the Federal Government, in collaboration with Solidaridad Nigeria, has launched the National Palm Oil Traceability Framework and an Inter-Agency Committee to drive its implementation, aiming to slash the country’s staggering US$600 million annual import bill.

The initiative, unveiled in Abuja, marks a strategic pivot toward modernising the sector and reclaiming Nigeria’s status as a global palm oil powerhouse.

At the launch event in Abuja, the Ministry’s Permanent Secretary, Dr. Marcus Ogunbiyi, speaking on behalf of Senator Abubakar Kyari, Minister of Agriculture and Food Security, described the national palm oil traceability framework as a key step in Nigeria’s journey to restore its former prominence in the global palm oil industry.

“In the 1960s, Nigeria accounted for over 40% of global palm oil production. Today, our share has fallen to less than 2%, producing only 1.4 million metric tons against a national demand of over 2 million metric tons annually. This gap costs us more than $600 million every year in imports,” remarked Ogunbiyi.

Created in partnership with Solidaridad Nigeria, the newly launched framework establishes a comprehensive traceability system to guarantee that all locally produced palm oil meets high standards of quality, ethical sourcing, and transparency.

“Traceability is the language of the now and the future. Consumers and markets today demand to know a product’s origin and whether it meets ethical, health, and environmental standards. In the agriculture of tomorrow, traceability will not be optional; it will be a passport to success. A product without a story of origin will be a product without a market”, emphasised Ogunbiyi.

According to Solidaridad Nigeria, the framework would close gaps in Nigeria’s domestic arrangements and drive greater efficiency across the sector.

“Our inability to trace palm oil production to specific farms or processors has limited our productivity. With a robust traceability system, we will see more efficiency in production, processing, and marketing. This will position Nigeria to compete globally and cut down on imports significantly”, said Kene Onukwube, Program Manager at Solidaridad Nigeria.

Solidaridad Nigeria, with backing from the Netherlands and the UK, has successfully tested palm oil traceability systems in four Nigerian states: Akwa Ibom, Cross River, Enugu, and Kogi.

These pilot projects demonstrated that it’s possible to track palm oil from small-scale farms through processing facilities to export destinations, highlighting the practicality and potential impact of implementing traceability across the industry.

The framework aligns with Nigeria’s National Agricultural Technology and Innovation Policy (2022–2027) and President Bola Tinubu’s Renewed Hope Agenda, which prioritises agriculture as a central component of economic diversification and rural prosperity.

The newly inaugurated Inter-Agency Committee will oversee implementation, tackle technical challenges, and ensure alignment across federal and state institutions.

Stakeholders believe the initiative will not only improve food safety and transparency but also unlock investments in climate-smart oil palm production, boost farmer incomes, and enhance Nigeria’s competitiveness in regional and global markets.

With this framework, Nigeria is positioning itself to reclaim its position as one of the world’s leading palm oil producers.

Di jantung kelapa sawit Malaysia, petani kecil mendefinisikan kembali apa artinya tumbuh secara bertanggung jawab

Seiring dengan perkembangan industri kelapa sawit, petani kecil Malaysia membantu membentuk masa depan yang lebih berkelanjutan, didasarkan pada kolaborasi dan komunitas.

Di Pulau Carey, Malaysia, matahari bersinar di deretan pohon kelapa sawit di seluruh pertanian seluas 21 hektar. Di sini, Reta Lajah dan suaminya merawat tanah mereka—mengumpulkan buah-buahan tumbang dan memangkas pohon—dan menikmati akhir pekan yang damai bersama anak dan cucu mereka.

Lajah adalah salah satu dari 450.000 petani kecil yang telah menjadi kontributor penting bagi industri yang telah lama didominasi oleh perusahaan besar sejak pertanian kelapa sawit pertama kali berakar di Malaysia pada tahun 1917. Saat ini, lanskap itu telah berkembang, dengan petani kecil menyumbang 26% dari pasokan minyak sawit negara, menyediakan mata pencaharian yang stabil bagi banyak keluarga pedesaan.

Tanah Peluang

Perjalanan Lajah sebagai petani kelapa sawit dimulai ketika dia baru berusia 17 tahun, bekerja di perkebunan terbesar di kampung halamannya. Sebagai anggota Mah Meri—salah satu dari 18 kelompok adat Semenanjung Malaysia—ia menerima sebidang tanahnya sendiri pada awal 2000-an melalui program pemerintah. Tapi jalannya tidak mudah. “Kami membersihkan dan menanam semuanya,” kenangnya. “Tidak ada mesin, hanya tangan dan peralatan kami. Itu adalah kerja yang sangat sulit.”

Ketika pertanian petani kecil secara bertahap menyebar di desanya, masyarakat mulai melakukan diversifikasi di luar ketergantungan tradisionalnya pada penangkapan ikan—sebuah industri yang, seperti yang ditunjukkan Lajah, dapat menjadi tidak stabil selama musim tertentu. Pergeseran tersebut membuka peluang pendapatan baru dan mata pencaharian yang lebih stabil bagi banyak keluarga.

Namun, di seluruh Malaysia, perempuan tetap kurang terwakili secara signifikan, membentuk 20% hingga 25% dari tenaga kerja perkebunan kelapa sawit di negara itu. Di desa Lajah, dia hanyalah salah satu dari dua pemilik pertanian wanita. Dia percaya lebih banyak perempuan dapat melangkah ke ruang ini dengan pelatihan, dukungan, dan akses ke pengetahuan yang tepat.

Pertanian berkelanjutan itu mudah ketika Anda tahu cara melakukannya.

Jalan Panjang Menuju Reformasi

Dalam beberapa dekade terakhir, ekspansi minyak sawit dikaitkan dengan hilangnya hutan, tetapi setelah kampanye perubahan yang berhasil dan upaya reformasi yang ditargetkan, tren itu telah berbalik di Malaysia. Antara tahun 2012 dan 2024, deforestasi di Malaysia turun lebih dari 70%—penurunan yang didorong oleh penguatan peraturan pemerintah, komitmen perusahaan sukarela—termasuk kebijakan Tanpa Deforestasi, Tanpa Gambut, Tanpa Eksploitasi (NDPE)—pelaporan keberlanjutan, dan peningkatan transparansi industri.

Inti dari kemajuan ini adalah sertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO), sebuah skema nasional yang diperkenalkan pada tahun 2013 untuk meningkatkan standar dan mempromosikan praktik yang lebih bertanggung jawab. Sekarang wajib, sertifikasi MSPO mencakup perlindungan lingkungan, hak buruh, dan kemampuan untuk melacak produk minyak sawit ke sumber yang berkelanjutan. Bagi petani kecil seperti Lajah, ini juga membuka akses ke pasar global dengan menunjukkan komitmen terhadap keberlanjutan.

Minyak sawit Malaysia juga merupakan salah satu produsen Minyak Sawit Berkelanjutan Bersertifikat (CSPO) terbesar di dunia, dengan pertumbuhan yang stabil dalam jumlah petani kecil dan area produksi yang diaudit secara independen dan memenuhi standar yang diakui secara internasional. Di Sabah, pemerintah daerah meluncurkan inisiatif satu dekade lalu untuk mendukung petani kelapa sawit dalam mengejar sertifikasi CSPO, dengan tujuan menyelaraskan produksi lokal dengan standar internasional dan meningkatkan akses ke pasar global

Berakar Pada Tanggung Jawab

Sementara dorongan keberlanjutan Malaysia telah membentuk kembali industri kelapa sawitnya, petani kecil—yang sering beroperasi dengan lahan dan sumber daya terbatas—masih menghadapi tantangan, mulai dari fluktuasi harga hingga kompleksitas memenuhi standar yang terus berkembang.

Untuk mendukung mereka, pemerintah telah memperkenalkan program tambahan di luar sertifikasi. Inisiatif seperti ITa (Tanaman Jangka Pendek Terpadu) dan ITe (Peternakan Terpadu) mendorong petani untuk mendiversifikasi hasil mereka, membuat pendapatan mereka lebih tangguh dan meningkatkan penggunaan lahan. Baru-baru ini, upaya nasional telah difokuskan pada penguatan ketertelusuran dan mempersiapkan petani kecil untuk peraturan internasional yang akan datang seperti Peraturan Deforestasi UE.

Di tingkat akar rumput, organisasi seperti Wild Asia memainkan peran penting dalam memberdayakan petani kecil. Bekerja langsung dengan petani, mereka membantu menanamkan keberlanjutan ke dalam praktik sehari-hari— mengurangi penggunaan bahan kimia, mempromosikan pembuangan limbah yang lebih aman, dan memperkenalkan tumpang sari dengan buah-buahan dan sayuran—untuk meningkatkan kesehatan tanah, menarik keanekaragaman hayati, dan menciptakan aliran pendapatan tambahan.

“Kami menemukan bahwa hampir secara konsisten hasil panen mereka sama atau bahkan sedikit lebih baik,” kata pendiri dan direktur eksekutif Wild Asia Reza Azmi. “Anda juga melihat lebih banyak cacing di tanah. Anda mendengar lebih banyak burung. Udaranya terasa lebih segar.” Bagi Azmi, keberlanjutan bukan hanya daftar periksa kepatuhan.

Menerapkan inisiatif berkelanjutan ini bukan hanya tentang sertifikasi. Ini tentang keberlanjutan sejati tanah dan petani.

Minyak sawit memainkan peran penting dalam perekonomian Malaysia, menyumbang hampir 3% dari PDB nasional. Dan sebagai pelayan lahan, petani swadaya diposisikan secara unik untuk memimpin perubahan positif, satu pertanian pada satu waktu. Setelah mendapat manfaat dari dukungan sendiri di masa lalu, Lajah sekarang berharap untuk berbagi pengalamannya dan membantu orang lain, terutama perempuan, melangkah ke lapangan— memastikan bahwa generasi petani berikutnya diperlengkapi dengan lebih baik dan menjadi bagian dari masa depan yang lebih berkelanjutan.

In Malaysia’s

palm oil heartland, smallholders are redefining what it means to grow responsibly

As the palm oil industry evolves, Malaysia’s smallholders are helping shape a more sustainable future, grounded in collaboration and community.

On Carey Island, Malaysia, the sun shines down on rows of oil palm trees across a 21-acre farm. Here, Reta Lajah and her husband tend to their land—gathering fallen fruits and pruning trees—and enjoy peaceful weekends with the company of their children and grandchildren.

Lajah is one of 450,000 smallholders who have become vital contributors to an industry long dominated by large corporations since oil palm farming first took root in Malaysia in 1917. Today, that landscape has evolved, with smallholders accounting for 26% of the country’s palm oil supply, providing a stable livelihood for many rural families.

Land of Opportunity

Lajah’s journey as a palm oil farmer began when she was just 17 years old, working on the largest plantation in her hometown. A member of the Mah Meri—one of Peninsular Malaysia’s 18 indigenous groups—she received her own plot of land in the early 2000s through a government program. But the path wasn’t easy. “We cleared and planted everything,” she recalls. “No machines, just our hands and tools. It was very hard work.”

As smallholder farming gradually spread in her village, the community began to diversify beyond its traditional reliance on fishing—an industry that, as Lajah points out, can be unstable during certain seasons. The shift opened up new income opportunities and a more stable livelihood for many families.

Still, across Malaysia, women remain significantly underrepresented, making up 20% to 25% of the country’s palm oil plantation workforce. In Lajah’s village, she is just one of two female farm owners. She believes more women could step into this space with the right training, support, and access to knowledge.

Sustainable farming is easy when you know how to do it.

A Long Road to Reform

In past decades, palm oil expansion was associated with forest loss, but following successful campaigns for change and targeted reform efforts, that trend has been reversing in Malaysia. Between 2012 and 2024, deforestation in Malaysia dropped by over 70%—a decline driven by strengthened government regulations, voluntary corporate commitments—including No Deforestation, No Peat, No Exploitation (NDPE) policies—sustainability reporting, and increased industry transparency.

Central to this progress is the Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) certification, a national scheme introduced in 2013 to raise standards and promote more responsible practices. Now mandatory, MSPO certification covers environmental protection, labor rights, and the ability to trace the palm oil product to a sustainable source. For smallholders like Lajah, it also unlocks access to global markets by demonstrating a commitment to sustainability.

Malaysian palm oil is also one of the world’s largest producers of Certified Sustainable Palm Oil (CSPO), with steady growth in the number of smallholders and production areas independently audited and meeting the internationally recognized standard. In Sabah, the local government launched an initiative a decade ago to support oil palm growers in pursuing CSPO certification, with the aim of aligning local production with international standards and improving access to global markets

Rooted in Responsibility

While Malaysia’s sustainability push has reshaped its palm oil industry, smallholders—who often operate with limited land and resources—still face challenges, from price fluctuations to the complexity of meeting evolving standards.

To support them, the government has introduced additional programs beyond certification. Initiatives like ITa (Integrated Short-Term Crops) and ITe (Integrated Livestock) encourage farmers to diversify their output, making their income more resilient and improving land use. More recently, national efforts have focused on strengthening traceability and preparing smallholders for upcoming international regulations such as the EU Deforestation Regulation.

At the grassroots level, organizations like Wild Asia play a crucial role in empowering smallholders. Working directly with farmers, they help embed sustainability into everyday practice—reducing chemical use, promoting safer waste disposal, and introducing intercropping with fruits and vegetables—to improve soil health, attract biodiversity, and create additional income streams.

“We found that almost consistently their yields are the same or even slightly better,” says Wild Asia founder and executive director Reza Azmi “You also see more worms in the soil. You hear more birds. The air feels fresher.” For Azmi, sustainability isn’t just a compliance checklist.

Implementing these sustainable initiatives isn’t just about certification. It’s about true sustainability of the land and farmer.

Palm oil plays a significant role in Malaysia’s economy, contributing almost 3% of the national GDP. And as stewards of the land, independent farmers are uniquely positioned to lead positive change, one farm at a time. Having benefited from support herself in the past, Lajah now hopes to share her experience and help others, especially women, step into the field—ensuring that the next generation of farmers are better equipped and part of a more sustainable future.

Memperkuat kepastian hukum di industri kelapa sawit

Ekspektasi sekarang tinggi bahwa Agrinas akan berfungsi sebagai terobosan dan solusi untuk mengatasi ketidakpastian hukum, terutama pada status lahan yang tumpang tindih yang telah menghantui banyak perusahaan kelapa sawit.

Satuan Tugas Pengendalian Kawasan Hutan, yang dibentuk berdasarkan

Peraturan Presiden No.5/2025 khusus untuk menertibkan industri kelapa sawit, telah menyita sekitar 1,2 juta hektar (ha) perkebunan kelapa sawit yang diduga dikembangkan oleh hampir 370 perusahaan di kawasan hutan di sembilan provinsi di Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.

Tetapi alih-alih menghijaukan kembali perkebunan kelapa sawit yang disita, perkebunan itu ditempatkan di bawah pengelolaan PT Agrinas Palma Nusantara, sebuah badan usaha milik negara yang didirikan pada bulan Februari khusus untuk memiliki dan mengoperasikan perkebunan.

Sungguh mengherankan bahwa tindakan penegakan hukum yang berani tidak menyebabkan kegemparan di antara komunitas bisnis. Tidak ada satu pun gugatan yang diajukan untuk melawan tindakan pemerintah. Bahkan Asosiasi Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), yang mengelompokkan perusahaan kelapa sawit di seluruh negeri, tetap diam.

Tetapi juga membingungkan untuk mengamati bahwa Agrinas atau Danantara, kepemilikan utama semua BUMN, tidak memberikan penjelasan lebih lanjut apakah Agrinas telah sepenuhnya mengambil alih kepemilikan hukum dan manajemen operasional perkebunan yang disita.

Kurangnya transparansi ini tidak baik untuk mengembalikan kepastian hukum bagi industri kelapa sawit. Kami tidak berpikir pengalihan pengelolaan berjalan begitu lancar dan damai karena Agrinas yang baru berusia kurang dari enam bulan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola perkebunan. Selain itu, ada masalah tentang utang mantan pemilik perusahaan perkebunan.

Pemerintah perlu menjelaskan bagaimana status perkebunan yang disita telah dibuat bersih dan jelas secara hukum karena proses ini dapat dijadikan model untuk mengatasi ketidakpastian hukum yang dihadapi jutaan perkebunan petani kecil saat ini karena tidak jelas judul tanah mereka.

Tanpa penjelasan resmi, Agrinas, yang akan segera menjadi pemilik perkebunan kelapa sawit terbesar di tanah air, bahkan lebih besar dari kelompok Wilmar, Sinar Mas dan Musim Mas, dapat dilihat hanya sebagai pencari rente yang hanya berfungsi sebagai pemilik perkebunan secara de jure, sementara aset tersebut masih sepenuhnya di bawah pengelolaan mantan pemiliknya

Sebagai produsen minyak sawit terbesar di dunia dengan produksi tahunan lebih dari 50 juta ton, komoditas ini memainkan peran yang sangat penting dalam perekonomian negara, menyumbang sekitar 55 persen dari ekspor global pada tahun 2024 dan sekitar 4,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan mempekerjakan secara langsung dan tidak langsung lebih dari 16 juta orang. menurut Badan Pusat Statistik (BPS).

Harga yang tinggi dan permintaan yang meningkat menggarisbawahi pentingnya ekonomi sektor kelapa sawit Indonesia, tetapi juga membutuhkan urgensi untuk mengatasi tantangan lingkungan. Tata kelola kelapa sawit juga akan mendorong perbaikan dalam pengelolaan komoditas lainnya.

Laporan terbaru BMI Industry Research memperkirakan produksi minyak sawit global mencapai 80,6 juta ton pada musim 2025/26, mewakili peningkatan 2,4 persen tahun-ke-tahun (yoy), difasilitasi oleh perkiraan 0,5 persen yoy di Malaysia, produsen terbesar kedua di dunia dan peningkatan 3,3 persen di Indonesia. BMI memperkirakan konsumsi minyak sawit global pada musim 2025/26 mencapai 78,3 juta ton, mewakili peningkatan yoy sebesar satu persen.

Ekspektasi sekarang tinggi bahwa Agrinas akan berfungsi sebagai terobosan dan solusi untuk mengatasi ketidakpastian hukum, terutama pada status lahan yang tumpang tindih yang telah menghantui banyak perusahaan kelapa sawit.

Pengelolaan perkebunan agak kompleks karena cukup padat karya dan membutuhkan sejumlah besar penyuluh pertanian untuk membimbing dan melatih pekerja. Operasinya juga harus sesuai dengan banyak undang-undang dan peraturan, sambil mematuhi standar industri yang berlaku.

Kurangnya transparansi ini tidak baik untuk mengembalikan kepastian hukum bagi industri kelapa sawit. Kami tidak berpikir pengalihan pengelolaan berjalan begitu lancar dan damai karena Agrinas yang baru berusia kurang dari enam bulan tidak memiliki pengalaman dalam mengelola perkebunan. Selain itu, ada masalah tentang utang mantan pemilik perusahaan perkebunan.

Kebijakan pemerintah yang kuat untuk meningkatkan tata kelola kelapa sawit dan mengurangi deforestasi telah menyebabkan sebagian besar produsen minyak sawit mengadopsi standar keberlanjutan yang ketat dan komitmen tanpa deforestasi.

Kami senang mengetahui bahwa dunia sekarang telah mengakui bahwa sektor kelapa sawit di Indonesia adalah salah satu dari sedikit kisah sukses, menunjukkan bagaimana pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan dapat berjalan beriringan, mematuhi standar hijau global.

Tentu saja meningkatkan produktivitas dan hasil adalah cara yang paling efektif, tetapi sekali lagi, tantangan terbesar dalam aspek ini adalah kebutuhan untuk memberdayakan jutaan pemegang saham yang memiliki hampir 40 persen dari perkiraan 16,5 juta hektar perkebunan kelapa sawit di seluruh negeri. Saat ini, produktivitas petani kecil rata-rata sekitar setengah dari perusahaan.

Tantangan terbesar sekarang adalah bagaimana terus meningkatkan produksi minyak sawit untuk memenuhi peningkatan konsumsi global minyak nabati ini sambil mematuhi standar hijau global dan komitmen kami untuk mencapai nol emisi karbon.

Oleh karena itu, untuk memastikan bahwa produksi minyak sawit kita sepenuhnya memenuhi standar berkelanjutan internasional, pemerintah perlu mengatasi ketidakselarasan dalam pemahaman tentang apa yang didefinisikan secara hukum dan lingkungan sebagai larangan deforestasi.

Dalam konteks ini, pengambilalihan Agrinas atas perkebunan yang disita harus menjadi kesempatan untuk mengubah penggunaan lahan hutan nasional dan tata ruang yang ada untuk mengatasi tuduhan yang terus-menerus terhadap kelapa sawit sebagai penyebab utama deforestasi. Upaya untuk mencapai produksi minyak sawit yang berkelanjutan sepenuhnya selalu terhambat oleh masalah tumpang tindih administrasi sertifikat tanah dengan kawasan hutan.

Keberhasilan Agrinas dalam mengelola perkebunan kelapa sawit secara berkelanjutan akan menjadi tonggak sejarah bagi kepemimpinan pemerintahan Prabowo Subianto dalam menyelesaikan masalah penggunaan lahan dan ketidakpastian hukum yang sangat kompleks dan berkepanjangan, sehingga melindungi industri kelapa sawit sebagai industri strategis.

Strengthening legal certainty in the palm oil industry

Expectation is now high that Agrinas will serve as a breakthrough and solution to address legal uncertainties, particularly on overlapped land status which has been haunting many palm oil companies.

The Forest Area Control Taskforce, set up under Presidential Regulation No.5/2025 specially to bring order to the palm oil industry, has confiscated an estimated 1.2 million hectares (ha) of oil palm plantations allegedly developed by almost 370 companies in forest areas in nine provinces in Sumatra, Kalimantan and Sulawesi.

But instead of reforesting the seized oil palm estates, the plantations were put under the management of PT Agrinas Palma Nusantara, a state-owned enterprise set up in February specially to own and operate the plantations.

It was a great wonder though that the bold law enforcement measure did not cause any uproar among the business community. Not a single lawsuit was filed to counter the government measure. Even the Indonesia Palm Oil Association (Gapki), which groups palm oil companies throughout the country, kept silent.

But it is also mindboggling to observe that Agrinas or Danantara, the superholding of all SOEs, did not give further explanations as to whether Agrinas has fully taken over both the legal ownership and the operational management of the seized plantations.

This lack of transparency is not good for restoring legal certainty to the palm oil industry. We don’t think the transfer of the management had run so smoothly and peacefully because Agrinas, which is only less than six months old, did not have any experience in managing plantations. Moreover, there were issues about the debts of the former corporate owners of the plantations.

Plantation management is rather complex because it is quite labor-intensive and requires a large number of farm extension workers to guide and train workers. Its operations must also conform with many laws and regulations, while adhering to applicable industry standards.

The government needs to explain how the status of the confiscated plantations has been made clean and legally clear because this process can be used as a model for addressing the legal uncertainty the millions of smallholder plantations are now facing due to the unclear title of their land.

Without official explanations, Agrinas, which will soon become the largest owner of oil palm plantations in the country, even larger than the Wilmar, Sinar Mas and Musim Mas groups, could be seen simply as a rent seeker who serves only as a de jure owner of the plantations, while the assets are still fully under the management of their former owners

As the world’s largest palm oil producer with an annual output of over 50 million tonnes, this commodity plays a very important role in the country’s economy, accounting for around 55 percent of global exports in 2024 and about 4.5 percent of the gross domestic product (GDP) and employing directly and indirectly over 16 million people, according to Statistics Indonesia (BPS).

High prices and growing demand underscore Indonesia’s palm oil sector’s economic importance, but they also require the urgency of addressing environmental challenges. Palm oil governance will drive improvements in the management of other commodities as well.

BMI Industry Research’s latest report estimated global palm oil production to reach 80.6 million tonnes in the 2025/26 season, representing a 2.4 percent year-on-year (yoy) increase, facilitated by an expected 0.5 percent yoy in Malaysia, the world’s second largest producer and a 3.3 percent increase in Indonesia. BMI expected global palm oil consumption in the 2025/26 season to reach 78.3 million tonnes, representing a yoy increase of one percent.

Expectation is now high that Agrinas will serve as a breakthrough and solution to address legal uncertainties, particularly on overlapped land status which has been haunting many palm oil companies.

The government’s strong policies to improve palm oil governance and reduce deforestation have led most palm oil producers to adopt a stringent sustainability standard and a no deforestation commitment.

We are glad to know the world has now admitted that the palm oil sector in Indonesia is one of a few success stories, demonstrating how economic growth and environmental protection can go hand in hand, adhering to global green standards.

Certainly improving productivity and yield is the most effective way, but again, the biggest challenge in this aspect is the need to empower the million shareholders who own almost 40 percent of the estimated 16.5 million ha of oil palm estates across the country. Currently, smallholder productivity averages approximately half as high as that of companies.

The biggest challenge now is how to steadily increase palm oil production to meet the steady increase in the global consumption of this edible oil while adhering to the global green standards and our commitments to achieve zero carbon emission.

Therefore, in order to ensure that our palm oil production fully meets international sustainable standards the government needs to address the misalignment in the understanding about what is legally and environmentally defined as no-deforestation.

In this context, the Agrinas takeover of the confiscated plantations should become the opportunity to amend the existing national forest land use and spatial planning to address persistent allegations against palm oil as the main cause of deforestation. Efforts to achieve fully sustainable palm oil production have always been hindered by the issues of overlapping land-title administration with forest areas.

Agrinas’ success in managing the palm oil plantations sustainably will be a milestone for the leadership of the Prabowo Subianto administration in resolving the very complex and protracted land use issues and legal uncertainty, thereby protecting the palm oil industry as a strategic industry.

Demonising minyak sawit tidak akan meningkatkan kesehatan masyarakat.

Lebih baik fokus pada literasi pangan dan pola makan seimbang.

Fokus yang lebih baik pada literasi makanan, diet seimbang Ketika dikonsumsi sebagai bagian dari diet seimbang, minyak sawit tidak lebih berbahaya daripada minyak nabati lainnya. Ini memiliki proporsi lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir sama dan kaya akan antioksidan.

Sebuah artikel opini baru-baru ini di ThePrint, berjudul Minyak membuat India gemuk dan haus impor. Modi ingin mengubahnya, lebih dari sekadar mengkritik minyak sawit karena meningkatkan obesitas di negara ini. Ini bahkan menyarankan bahwa Pemerintah India harus mengecualikan minyak nabati serbaguna ini dari Misi Nasional tentang Minyak Nabati, dengan alasan penggunaannya yang meluas di sektor yang tidak terorganisir, yang mendorong konsumsi yang lebih tinggi dan berdampak buruk pada kesehatan masyarakat.

Namun, Menteri Negara untuk Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga Prataprao Jadhav baru-baru ini menyatakan di Parlemen bahwa “tidak ada bukti ilmiah bulat” yang menghubungkan konsumsi minyak sawit dengan efek kesehatan negatif. Dia juga mencatat bahwa Dewan Penelitian Medis India – Institut Gizi Nasional merekomendasikan penggunaan berbagai minyak nabati, termasuk minyak sawit, karena mengandalkan sepenuhnya pada satu minyak nabati mungkin tidak memberikan keseimbangan asam lemak yang optimal.

Dengan memposisikan minyak sawit sebagai penyebab utama di balik meningkatnya tingkat obesitas dan kadar kolesterol LDL, atau ‘buruk’, di India, artikel ini melewatkan gambaran yang jauh lebih besar dan lebih bernuansa yang melibatkan ketahanan pangan, kesejahteraan petani, swasembada strategis, dan realitas lingkungan. Masalah obesitas di India nyata dan meningkat. Tetapi mengaitkannya sebagian besar dengan konsumsi minyak sawit adalah salah arah. Konsumsi minyak nabati per kapita tahunan India mencapai 19,7 kg, jauh di atas 12 kg yang direkomendasikan ICMR.

Namun, peningkatan ini tidak hanya terjadi pada minyak sawit. Ini mencerminkan pergeseran yang lebih besar dalam kebiasaan makan yang didorong oleh urbanisasi, gaya hidup yang tidak banyak bergerak, dan meningkatnya asupan makanan ultra-olahan (UPF). Menurut laporan WHO 2023, pasar UPF India melonjak dari $900 juta pada tahun 2006 menjadi hampir $38 miliar pada tahun 2019. Makanan ini, kaya akan gula rafinasi, natrium, dan pengawet, menimbulkan risiko kesehatan yang jauh lebih besar daripada media memasak tunggal.

Lebih dari Sekadar Berbagai Macam Diet

Memang benar bahwa minyak sawit mengandung lemak jenuh, tetapi tidak semua lemak jenuh diciptakan sama. Ketika dikonsumsi sebagai bagian dari diet seimbang, minyak sawit tidak lebih berbahaya daripada minyak nabati lainnya. Ini mengandung proporsi lemak jenuh dan tak jenuh yang hampir sama dan kaya akan antioksidan seperti vitamin E. Dampak kesehatannya lebih bergantung pada kuantitas dan konteks konsumsi daripada hanya pada kehadirannya di dapur.

Namun, percakapan harus melampaui dapur dan diet. India mengimpor lebih dari 15 juta ton minyak nabati setiap tahun, termasuk minyak sawit senilai Rs 40.000 crore, yang menyumbang sekitar 56 persen dari total impor. Ketergantungan yang besar pada impor ini membebani cadangan devisa kita dan membuat kita terkena volatilitas harga global dan gangguan rantai pasokan. Misi Nasional Minyak Nabati – Kelapa Sawit (NMEO-OP), didukung oleh pendanaan Rs 11.040 crore, adalah upaya strategis untuk mengurangi ketergantungan impor minyak nabati, meningkatkan produksi dalam negeri, dan meningkatkan pendapatan petani.

Misi ini sudah membuahkan hasil. Di Telangana, petani telah melihat kenaikan harga hingga 50 persen, menghasilkan Rs 21.000 untuk satu ton produk Tandan Buah Segar (TBS). Negara bagian seperti Karnataka, Mizoram, dan Arunachal Pradesh juga telah merangkul budidaya kelapa sawit. Yang penting, di India, lahan hutan tidak direkomendasikan dan digunakan untuk budidaya kelapa sawit, bertentangan dengan kesalahpahaman umum. Hanya lahan yang dapat digarap dari masing-masing petani yang dibudidayakan kelapa sawit terutama sebagai pengganti budidaya padi dan itu juga hanya di daerah yang cocok secara agro-ekologis. Kelapa sawit adalah tanaman menguntungkan yang berkembang pesat di negara-negara bagian timur laut di bawah NMEO-OP, bertentangan dengan kesalahpahaman umum.

Merangkul Minyak Sawit

Dari sudut pandang lingkungan, minyak sawit adalah tanaman minyak paling hemat lahan di dunia, menghasilkan 4-5 ton minyak per hektar dibandingkan dengan hanya 0,4-0,5 ton untuk kedelai. Menurut Our World in Data, minyak sawit merupakan 36 persen dari produksi minyak nabati dunia yang hanya menggunakan 9 persen dari lahan yang dikhususkan untuk tanaman minyak. Menggantinya dengan alternatif seperti kedelai, rapeseed, atau bunga matahari akan menuntut lebih banyak lahan secara signifikan, yang berpotensi memperburuk deforestasi. Kelapa sawit juga membutuhkan lebih sedikit air daripada tanaman padat sumber daya seperti tebu atau padi, faktor penting untuk daerah yang kekurangan air.

NMEO-OP juga menggabungkan perlindungan keberlanjutan. Ketentuan khusus untuk tumpang sari tanaman tahunan di perkebunan kelapa sawit telah dibuat untuk empat tahun awal periode non-bearing kelapa sawit. Sistem agri-hortikultura semacam itu melestarikan sumber daya lahan dan lebih beradaptasi dengan perubahan iklim. Perkebunan kelapa sawit memberikan jaminan pembelian kembali petani, dan menawarkan pendanaan kesenjangan kelayakan untuk melindungi petani dari fluktuasi harga. Misi ini lebih lanjut mendorong kerja sama bilateral dengan negara-negara seperti Malaysia di bidang kelapa sawit, terutama dalam penelitian dan pengembangan, pasokan benih, dan manajemen kemitraan.

Atmanirbhar Bharat lebih dari sekadar slogan; Ini adalah dorongan strategis untuk kemandirian di sektor-sektor penting, termasuk makanan dan minyak nabati. Minyak sawit bukan hanya media memasak lainnya; itu adalah komponen penting dari pengejaran keamanan minyak nabati India. Kesehatan masyarakat harus ditangani melalui literasi pangan yang lebih kuat, regulasi UPF yang lebih baik, dan promosi pola makan seimbang, bukan dengan menjelek-jelekkan tanaman yang menopang ribuan petani dan mengurangi tagihan impor kita miliaran.

Menyalahkan minyak sawit secara tidak adil mungkin menjadi berita utama yang dramatis, tetapi strategi pangan India harus mengatasi narasi yang didorong oleh ketakutan. Apa yang dibutuhkan negara bukanlah mundur dari minyak sawit, tetapi rangkulannya yang cerdas, berkelanjutan, dan terinformasi.

Demonising palm oil won’t improve public health. Better focus on food literacy, balanced diet

Whenconsumed as part of a balanced diet, palm oil is no more harmful than other edible oils. It has nearly equal proportions of saturated and unsaturated fats and is rich in antioxidants.

Arecent opinion article in ThePrint, titled Oil is making India obese and import-hungry. Modi wants to change that, goes beyond merely criticising palm oil for increasing obesity in the country. It goes so far as to suggest that the Government of India should exclude this versatile vegetable oil from its National Mission on Edible Oils, citing its widespread use in the unorganised sector, which drives higher consumption and adversely affects public health.

However, Minister of State for Health and Family Welfare Prataprao Jadhav recently stated in Parliament that there is “no unanimous scientific evidence” linking palm oil consumption to negative health effects. He also noted that the Indian Council of Medical Research – National Institute of Nutrition recommends the use of a variety of vegetable oils, including palm oil, as relying entirely on a single vegetable oil may not provide the optimal balance of fatty acids.

By positioning palm oil as the primary culprit behind India’s growing obesity rate and LDL, or ‘bad’, cholesterol levels, the article misses a much larger, more nuanced picture that involves food security, farmer welfare, strategic self-sufficiency, and environmental realities. The problem of obesity in India is real and rising. But attributing it largely to palm oil consumption is misguided. India’s annual per capita edible oil consumption stands at 19.7 kg, which is well above the ICMR-recommended 12 kg.

However, this increase isn’t unique to palm oil. It reflects a larger shift in dietary habits driven by urbanisation, sedentary lifestyles, and the growing intake of ultra-processed foods (UPFs). According to a 2023 WHO report, India’s UPF market surged from $900 million in 2006 to nearly $38 billion in 2019. These foods, rich in refined sugars, sodium, and preservatives, pose far greater health risks than any single cooking medium.

Beyond Diets

It is true that palm oil contains saturated fats, but not all saturated fats are created equal. When consumed as part of a balanced diet, palm oil is no more harmful than other edible oils. It contains nearly equal proportions of saturated and unsaturated fats and is rich in antioxidants like vitamin E. Its health impact depends more on the quantity and context of consumption than on its mere presence in the kitchen.

However, the conversation must go beyond kitchens and diets. India imports over 15 million tonnes of edible oil annually, including Rs 40,000 crore worth of palm oil, which accounts for about 56 per cent of the total imports. This heavy reliance on imports strains our foreign exchange reserves and exposes us to global price volatility and supply chain disruptions. The National Mission on Edible Oils – Oil Palm (NMEO-OP), backed by Rs 11,040 crore in funding, is a strategic effort to cut edible oils import dependency, boost domestic production, and enhance farmer incomes.

This mission is already bearing fruit. In Telangana, farmers have seen up to a 50 per cent rise in prices, earning Rs 21,000 for a tonne of Fresh Fruit Bunch (FFB) produce. States like Karnataka, Mizoram, and Arunachal Pradesh have also embraced oil palm cultivation. Importantly, in India, forest lands are not being recommended and used for oil palm cultivation, contrary to common misconceptions. Only the cultivable land of the individual farmer is under oil palm cultivation mainly as replacement of rice cultivation and that too in agro-ecologically suitable regions only. Oil palm is a rapidly expanding profitable crop in northeastern states under NMEO-OP, contrary to common misconceptions.

Embracing palm oil

From an environmental standpoint, palm oil is the world’s most land-efficient oil crop, yielding 4-5 tonnes of oil per hectare compared to just 0.4-0.5 tonnes for soybean. According to Our World in Data, palm oil makes up 36 per cent of the world’s vegetable oil production using only 9 per cent of the land devoted to oil crops. Replacing it with alternatives like soybean, rapeseed, or sunflower would demand significantly more land, potentially exacerbating deforestation. Oil palm also requires less water than resource-intensive crops like sugarcane or rice, a critical factor for water-stressed regions.

NMEO-OP also incorporates sustainability safeguards. Special provision for intercropping of annual crops in oil palm plantation has been made for the initial four years of non-bearing period of oil palm. Such agri-horticultural systems conserve land resources and are better adapted to climate change. Palm plantation provides farmer buy-back guarantees, and offers viability gap funding to protect growers from price fluctuations. The mission further encourages bilateral cooperation with countries like Malaysia in the field of palm oil, especially in research and development, seed supply, and partnership management.

Atmanirbhar Bharat is more than just a slogan; it is a strategic push for independence in critical sectors, including food and edible oils. Palm oil isn’t just another cooking medium; it’s a vital component of India’s pursuit of edible oil security. Public health must be addressed through stronger food literacy, better regulation of UPFs, and promotion of balanced diets, not by demonising a crop that sustains thousands of farmers and reduces our import bill by billions.

Blaming palm oil unfairly may make for a dramatic headline, but India’s food strategy must rise above fear-driven narratives. What the country needs is not a retreat from palm oil, but a smart, sustainable, and informed embrace of it.

Inovasi Radar dari ELECTICS ITS: Mendeteksi Penyakit Kelapa Sawit dan Tingkat Stres Manusia

Surabaya, ELECTICS ITS – Memadukan ketepatan teknologi radar dengan permasalahan dunia nyata, Rezki El Arif, S.T., M.T., Ph.D., dosen muda dari Departemen Teknik Biomedis ITS, menjadi salah satu tokoh kunci penggerak penelitian multidisiplin di ELECTICS.

Meski baru bergabung dengan ITS pada Februari 2023, Rezki langsung memulai proyek penelitian inovatif melalui Hibah Riset Kelapa Sawit (GRS) yang diinisiasi oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Pada tahun yang sama, ia mengusulkan penggunaan teknologi radar untuk mendeteksi Basal Stem Rot (BSR), penyakit yang disebabkan oleh jamur Ganoderma yang menyebabkan busuk batang dan merupakan salah satu tantangan utama dalam industri kelapa sawit Indonesia.

Apa yang membuat penelitian ini semakin menarik adalah pendekatannya yang unik, menggunakan radar non-kontak untuk mendeteksi infeksi jamur dan semangat kolaboratifnya yang kuat. Bekerja sama dengan peneliti dari ELECTICS, Unit Marihat Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), dan Universitas Brawijaya, proyek ini menerima pendanaan penuh selama dua tahun dari GRS, yang dijadwalkan selesai pada tahun 2025.

Pada tahun pertama, tim berhasil mengembangkan dan membangun prototipe radar. Sekarang, mereka berada dalam tahap kritis pengumpulan data dari berbagai perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia, dari Sumatera hingga Kalimantan. Salah satu tantangan utama yang mereka hadapi bukanlah teknologi itu sendiri, tetapi menjangkau daerah perkebunan terpencil, yang seringkali membutuhkan perjalanan darat yang panjang melalui hutan.

Terlepas dari rintangan ini, penelitian berlanjut dengan motivasi yang kuat. “Salah satu indikator keberhasilan program GRS adalah implementasi dunia nyata,” ujar Rezki saat diwawancarai oleh tim ELECTICS. Prototipe tersebut diharapkan dapat bermanfaat bagi petani, perusahaan kelapa sawit, dan lembaga penelitian pemerintah di masa depan.

Selain mengerjakan GRS, Rezki juga memimpin proyek penelitian lain di bawah program Indonesia Collaborative Research (RKI), yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam proyek ini, radar digunakan untuk mendeteksi tingkat stres manusia melalui metode non-kontak. Sistem ini dirancang sebagai alat pendukung bagi psikolog, membantu mereka mengukur kondisi mental secara lebih objektif.

Tidak seperti alat tradisional seperti EEG atau EKG, yang membutuhkan kontak langsung dengan tubuh, sistem berbasis radar ini menawarkan alternatif yang lebih nyaman, terutama untuk pemantauan jangka panjang. Perangkat ini tidak menggantikan psikolog tetapi memberikan data kuantitatif yang mendukung penilaian klinis mereka.

Proyek ini melibatkan kolaborasi dengan Universitas Brawijaya dan Universitas Airlangga, dua institusi yang telah mempertahankan ikatan akademik yang kuat dengan Rezki sejak masa mahasiswanya. Dia juga terus berkolaborasi dengan almamater doktoralnya, Universitas Nasional Sun Yat-sen di Taiwan, yang mendukung penelitian sebagai mitra internasional.

Di balik dua proyek penelitian besar ini terdapat fondasi yang konsisten, teknologi radar. Sejak studi master dan doktoralnya, Rezki tetap fokus pada sistem radar. Ia meyakini bahwa konsistensi ini sangat penting untuk pengembangan akademik “Saya tidak melompat dari topik ke topik. Inti saya selalu radar; hanya aplikasi yang berubah,” jelasnya. Meskipun penelitian kelapa sawit dimulai sebagai eksplorasi, Rezki berencana untuk lebih fokus pada aplikasi biomedis radar di masa depan. Meski begitu, dia tetap terbuka untuk kolaborasi lintas bidang, selama itu tetap dalam keahlian radarnya.

Kepada sesama dosen muda dan mahasiswa yang tertarik dengan penelitian, Rezki berbagi pentingnya tetap fokus dan membangun fondasi yang kuat.

“Menghabiskan waktu bertahun-tahun mempelajari satu topik secara mendalam tidak pernah. Dari kedalaman itu, ide-ide baru secara alami akan tumbuh dan berkembang ke berbagai arah,” pungkasnya.

Radar Innovation from ELECTICS ITS : Detecting Palm Oil Diseases and Human Stress Levels

Surabaya, ELECTICS ITS – Combining the precision of radar technology with real-world problems, Rezki El Arif, S.T., M.T., Ph.D., a young lecturer from the Department of Biomedical Engineering at ITS, has become one of the key figures driving multidisciplinary research at ELECTICS.

Although he only joined ITS in February 2023, Rezki immediately started an innovative research project through the Palm Oil Research Grant (GRS), initiated by the Palm Oil Plantation Fund Management Agency (BPDPKS). In the same year, he proposed using radar technology to detect Basal Stem Rot (BSR), a disease caused by Ganoderma fungus that leads to trunk rot and is one of the major challenges in Indonesia’s palm oil industry.

What makes this research even more interesting is its unique approach, using non-contact radar to detect fungal infections and its strong collaborative spirit. Working with researchers from ELECTICS, the Palm Oil Research Center (PPKS) Marihat Unit, and Universitas Brawijaya, the project received full two-year funding from GRS, scheduled to be completed in 2025.

In the first year, the team successfully developed and built a radar prototype. Now, they are in the critical stage of collecting data from various palm oil plantations across Indonesia, from Sumatra to Kalimantan. One of the main challenges they face is not the technology itself, but reaching remote plantation areas, which often require long land travel through forests.

Despite these hurdles, the research continues with strong motivation. “One of the success indicators of the GRS program is real-world implementation,” said Rezki when interviewed by the ELECTICS team. The prototype is expected to be useful for farmers, palm oil companies, and government research institutions in the future.

Besides working on GRS, Rezki is also leading another research project under the Indonesia Collaborative Research (RKI) program, managed by the Ministry of Education, Culture, Research, and Technology. In this project, radar is used to detect human stress levels through non-contact methods. The system is designed as a support tool for psychologists, helping them to measure mental conditions more objectively.

Unlike traditional tools such as EEG or ECG, which require direct contact with the body, this radar-based system offers a more comfortable alternative, especially for long-term monitoring. The device does not replace psychologists but provides quantitative data that supports their clinical assessments.

This project involves collaboration with Universitas Brawijaya and Universitas Airlangga, two institutions that have maintained strong academic ties with Rezki since his student years. He also continues to collaborate with his doctoral alma mater, National Sun Yat-sen University in Taiwan, which supports the research as an international partner.

Behind these two major research projects lies a consistent foundation, radar technology. Since his master’s and doctoral studies, Rezki has stayed focused on radar systems. He believes that this consistency is essential for academic development. “I don’t jump from topic to topic. My core is always radar; only the applications change,” he explained.

Although the palm oil research began as an exploration, Rezki plans to focus more on biomedical applications of radar in the future. Even so, he remains open to collaboration across fields, as long as it stays within his radar expertise.

To fellow young lecturers and students interested in research, Rezki shares the importance of staying focused and building a strong foundation.

“Spending years learning one topic deeply is never a waste. From that depth, new ideas will naturally grow and evolve in many directions,” he concluded.

Penyerbuk Serangga, Pahlawan Tersembunyi di Balik Kejayaan Industri Kelapa Sawit

Indonesia Industri kelapa sawit merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia dengan nilai produksi Rp440 triliun per tahun. Namun, hanya sedikit yang menyadari bahwa pencapaian besar ini sangat bergantung pada jasa serangga penyerbukan.

“Kelapa sawit tanpa adanya serangga penyerbuk akan mengalami penurunan produksi hingga 70-80 persen,” kata Guru Besar Fakultas Pertanian IPB University, Prof Purnama Hidayat, dalam Konferensi Pers Pra Orasi Ilmiah Guru Besar IPB University via Zoom (22/5).

Ia mengatakan bahwa dari total nilai produksi kelapa sawit sebesar Rp440 triliun, sekitar Rp300 triliun berpotensi hilang jika serangga penyerbuk tidak ada dalam ekosistem perkebunan kelapa sawit. Menurutnya, Indonesia beruntung memiliki kondisi ekologis yang mendukung keberadaan serangga penyerbuk alami.

Misalnya, Malaysia bahkan harus mengimpor serangga bernama Elaeidobius kamerunicus dari Afrika untuk memastikan keberhasilan penyerbukan kelapa sawit. “Karena asal usul tanaman kelapa sawit itu sendiri berasal dari Afrika, serangga juga dibawa dari sana,” katanya.

Lebih lanjut, ia mengingatkan bahwa masyarakat sering menganggap remeh keberadaan serangga. Padahal, kata dia, serangga adalah pekerja ekosistem yang vital. “Kalau tidak ada serangga, maka penyerbukan harus dilakukan secara manual, pekerjaan yang hampir tidak mungkin mengingat jutaan hektar perkebunan kelapa sawit tersebar di seluruh Indonesia,” jelasnya.

Selain membahas peran penting serangga penyerbuk, Prof Purnama juga menyoroti potensi serangga sebagai sumber protein di masa depan. Di beberapa negara seperti Thailand, Vietnam, dan Cina, konsumsi serangga telah menjadi bagian dari budaya.

“Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) bahkan telah menyatakan bahwa serangga adalah sumber protein termurah dan paling hemat energi,” katanya.

Dalam konteks pertanian berkelanjutan, penggunaan musuh alami sebagai pengendalian hama juga mulai diadopsi oleh industri, seperti yang dilakukan oleh perusahaan gula tua di Lampung. Mereka berhasil mengurangi penggunaan insektisida hingga 80 persen melalui budidaya serangga predator.

“Ini menunjukkan bahwa serangga tidak hanya penting bagi kelapa sawit, tetapi juga untuk menjaga keseimbangan ekosistem pertanian pada umumnya,” katanya.

Prof Purnama mengajak semua pihak untuk mengapresiasi dan mengembangkan potensi serangga, baik sebagai penyerbuk, pengendali biologis, maupun sumber pangan masa depan. “Mungkin hari ini kita menganggap makan serangga aneh, tetapi dalam 20-30 tahun, itu bisa menjadi hal yang umum,” katanya

Insect Pollinators, the Hidden Heroes Behind the Glory of Indonesia’s Palm Oil Industry

The palm oil industry is one of the backbones of Indonesia’s economy with a production value of Rp440 trillion per year. However, few realize that this great achievement relies heavily on the services of pollinating insects.

“Oil palm without the presence of pollinating insects will experience a decline in production of up to 70-80 percent,” said Professor of the Faculty of Agriculture of IPB University, Prof Purnama Hidayat, in the Press Conference of the Pre Scientific Oration of Professor of IPB University via Zoom (5/22).

He said that of the total palm oil production value of Rp440 trillion, around Rp300 trillion could potentially be lost if pollinating insects were not present in the palm oil plantation ecosystem. According to him, Indonesia is lucky to have ecological conditions that support the presence of natural pollinating insects.

For example, Malaysia even has to import an insect called Elaeidobius kamerunicus from Africa to ensure the success of palm oil pollination. “Because the origin of the oil palm plant itself is from Africa, the insects are also brought from there,” he said.

Furthermore, he reminded that people often take the presence of insects for granted. In fact, he said, insects are vital ecosystem workers. “If there are no insects, then pollination must be done manually, a job that is almost impossible considering that millions of hectares of oil palm plantations are spread across Indonesia,” he explained.

In addition to discussing the important role of pollinating insects, Prof Purnama also highlighted the potential of insects as a future source of protein. In several countries such as Thailand, Vietnam, and China, insect consumption has become part of the culture.

“The Food and Agriculture Organization (FAO) has even stated that insects are the cheapest and most energy-efficient source of protein,” he said.

In the context of sustainable agriculture, the use of natural enemies as pest control has also begun to be adopted by the industry, as done by an old sugar company in Lampung. They managed to reduce the use of insecticides by 80 percent through the cultivation of predatory insects.

“This shows that insects are not only important for palm oil, but also for maintaining the balance of the agricultural ecosystem at large,” he said.

Prof Purnama invited all parties to appreciate and develop the potential of insects, both as pollinators, biological controllers, and future food sources. “Maybe today we consider eating insects strange, but in 20-30 years, it could be a common thing,” he said

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.