Terbatasnya Ruang – Ruang bagi Pejalan Kaki di Ibukota (Spatial Practice of Everyday Life Theory)

Terbatasnya Ruang – Ruang bagi Pejalan Kaki di Ibukota dan Keterkaitannya dengan Spatial Practice of Everyday Life Theory

https://www.instagram.com/ijoeel

Oleh : Dwi Yunia Arum S.

Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah mada 2014

KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb, Puji Syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya lah saya dapat menyelesaikan Ppaper mengenai keterbatasan ruang bagi pejalan kaki di Ibukota, DKI Jakarta. Paper ini dibuat untuk memenuhi tugas dari mata kuliah Teori Keruangan Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur dan Perencanaan Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada.

Dengan selesainya penulisan Paper ini pula saya haturkan terima kasih sebesar – besarnya pada Bapak Muhammad Sani Roychansyah, S.T., M.Eng., Dr. Eng. sebagai dosen pengampu yang telah memberikan masukan dalam pembuatan Paper ini. Tidak lupa pula ucapan terima kasih saya kepada berbagai pihak yang secara langsung ataupun tidak langsung ikut membantu penyelesaian paper ini.

Saya menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dari Paper ini baik dari materi maupun teknik penyajiannya. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan untuk kedepannya. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.

Wassalamualaikum wr.wb.

Yogyakarta, 16 Desember 2014 Penulis,

LATAR BELAKANG

Kota Jakarta, Ibukota dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kota yang dulunya bernama Batavia menjadi tolak ukur bagi perkembangan Bangsa Indonesia dan tolak ukur pula bagi perkembangan ratusan kota yang ada di Indonesia. Sampai detik ini, wajah Kota Jakarta telah banyak berubah.

Perubahan yang diharapkan oleh berbagai pihak juga diharapkan adalah perubahan yang baik, namun disisi lain tidak dapat dipungkiri bahwa kota Jakarta sendiri telah kebanjiran masalah seiring dari perubahan yang terjadi didalamnya.

Pertumbuhan penduduk di Kota Jakarta bisa dikatakan sebagai akar dari permasalahan – permasalahan yang muncul selama ini. Semakin padatnya penduduk yang berada di ibukota khususnya dengan melihat perbedaan jumlah penduduk Jakarta di siang dan malam adalah bukti dari Pertambahan penduduk yang luar biasa di kota Jakarta. Hal tersebut menghadapkan kita pada permasalahan dan keterbatasan ruang, sehingga masalah baru selalu muncul dalam meningkatkan infrastruktur kota. Hal inilah yang menjadi pokok permasalahan kekumuhan, kemacetan dan masalah sosial lainnya. Perkembangan volume kendaraan yang tidak seiring dengan pelebaran jalan dan semakin banyak polusi di Ibukota kini membuat berbagai pihak tergerak untuk menggunakan transportasi umum, bersepeda juga berjalan kaki selama melakukan kegiatan sehari – hari. Namun sampai saat ini, gerakan – gerakan tersebut belum terfasilitasi dengan baik.

Berjalan kaki memainkan peran penting dalam sistem transportasi setiap kota. Berjalan kaki adalah suatu kegiatan transportasi yang paling mendasar karena hampir semua aktivitas di awali dan diakhiri dengan berjalan kaki. Dari hal tersebut, lantas hak pejalan kaki yang ada di Ibukota dipertanyakan keberadaannya. Sehingga perlu dibahas bagaimana sebenarnya ruang pejalan kaki di jalanan Jakarta seharusnya bekerja dan yang nantinya akan memberikan rasa aman juga nyaman bagi penggunanya

Michel de Certeau

https://www.instagram.com/ijoeel

KONSEP TEORI TERKAIT

Teori yang dijelaskan oleh Michel de Certeau menitik beratkan pada perkembangan kota yang akan membentuk aspek non-fisik kota. Menurutnya kota adalah bagaimana penghuninya bertindak atau berkegiatan bukan hanya sekedar bagaimana penghuni kotanya mengetahui kotanya. Hal tersebut dilihat melalui apa yang ada disana dan yang digunakan kembali sehingga menjadi berarti dan dihuni.(Concept Of the City) Sebuah bidang permukaan bumi dapat dipandang sebagai tempat penataan materi secara geometris sebagaimana layaknya dilakukan perencana tata kota, namun bagi para pengguna bidang tersebut merupakan ruang yang dapat digunakan secara leluasa untuk mengaktualisasikan diri.(The Practice of Everyday Life: 117).

Teori Michel de Certeau dapat pula diakitkan dengan ruang – ruang bagi pejalan kaki di Ibukota.

Dalam membentuk aspek non-fisik yang terdiri dari karakter manusia/penghuni, karakter kegiatan dan karakter networking yang tercipta di dalam Ibukota melalui ruang – ruang pejalan kaki haruslah diawali dengan pendekatan spasial.

Dengan berjalan kaki di ruang yang nyaman di setiap tepian jalanan Ibukota setiap hari, membuat penghuninya lebih mampu mengamati apa yang terjadi di sekelilingnya, kadar “sense of places” bagi penghuni perlahan meningkat sehingga menimbulkan kepekaan yang tinggi diantara masyarakat Ibukota yang “katanya” cenderung individualis.

Adanya ruang yang nyaman bagi pejalan kaki, juga akan semakin menarik anemo masyarakat untuk ikut andil dalam memperbaiki buruknya sistem transportasi yang telah bertahun – tahun seloah stagnan di Ibukota.

PEMBAHASAN KASUS

Pejalan kaki merupakan istilah dalam transportasi yang digunakan untuk menjelaskan orang yang berjalan di lintasan pejalan kaki baik di pinggir jalan, trotoar, lintasan khusus bagi pejalan kaki ataupun penyebrangan. Pejalan kaki berada pada posisi yang lemah jika bercampur dengan kendaraaan sehingga pejalan kaki justru menghambat pergerakan lalu lintas. Salah satu sumbangsih jalur pedestrian bagi lingkungan kota yang berkelanjutan (sustainable neighborhood) adalah mengurangi jejak karbon.

Dengan berjalan kaki kemacetan dapat berkurang dan yang terpenting mengurangi polusi gas karbon dioksida. Sehingga jika sekian banyak orang dalam satu kota mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, maka akan cukup signifikan dalam mengurangi polusi yang berdampak pada pemanasan global.

Pejalan kaki berdasarkan sarana perjalanannya di kategorikan menjadi empat yaitu : 1. Pejalan kaki penuh (Bergantung sepenuhnya pada moda berjalan kaki) 2. Pejalan kaki pemakai kendaraan umum (Moda jalan kaki sebagai moda anatara) 3. Pejalan kaki pemakai kendaraan umum dan kedaraan pribadi 4. Pejalan kaki pemakai kendraaan pribadi penuh (parkir – tmpat tujuan) Pejalan kaki merupakan elemen support yang berperan atau berfungsi sebagai : - Vitalitas ruang perkotaan - Mengurangi frekuensi pemakaian kendaraan bermotor di pusat-pusat kota - Daya tarik pergerakan ke kawasan pusat kota - Menciptakan suasana ruang yang berskala manusia - Menciptakan udara yang bersih, beras dari polusi.

Melihat penjelasan diatas serta mengkorelasikan dengan realita di Ibukota, tampak bahwa pejalan kaki seolah bukanlah prioritas perhatian dari pemerintah DKI Jakarta. Hal tersebut membuat pejalan kaki yang ada di Ibukota merupakan kasta terbawah dalam pengguna jalanan umum di Jakarta. Mantan Gubernur DKI Jakarta sebelumnya yaitu bapak Fauzi Bowo sempat menyampaikan konsep cemerlangnya untuk memberikan ruang bagi pejalan kaki, namun sampai sekarang konsep tersebut baru terealisasi di jalan protocol DKI Jakarta yaitu Jalan MH Thamrin – Sudirman.

“Most roads have no sidewalks whatsoever. Those that do only provide a very narrow space for people to walk on, and those few sidewalks that are large enough are covered with obstacles, preventing comfortable or safe walking, the city cares more about constructing roads than sidewalks. Pedestrians are considered the lowest caste of road users” (Nirwono, The Jakarta Post) Fasilitas yang tidak berfungsi dengan baik semakin memperparah keadaan pejalan kaki yang ada di Ibukota. Ruang pejalan kaki juga telah berubah fungsi dan dipergunakan untuk kegiatan sector informal seperti perdagangan atau bahkan justru digunakan sebagai lahan parkir. Hal ini membuat pejalan kaki harus turun berjalan di jalanan yang tidak seharusnya digunakan untuk berjalan kaki. Hal ini nyata terlihat di di beberapa jalan – jalan Ibukota berikut : 1. Jalan Tb Simatupang, Jakarta Selatan 2. Sepanjang Casablanca 3. Sepanjang Jalan Mampang Prapatan Dan Buncit Raya 4. Sepanjang Jalan Pasar Minggu 6. Sepanjang Jalan Kalibata 7. Sepanjang Jalan Otista 8. Sepanjang Jalan Jatinegara 9.Trotoar Tanjung Barat

Trotoar yang dilalui kendaraan dan menjadi lahan parkir

Trotoar yang tidak nyaman untuk digunakan Sumber : http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1981/08/01/NAS/mbm.19810801.NAS49854.id.html

https://id.pinterest.com/pin/354236326939950446/

Permasalahan pejalan kaki di Jakarta menjadi bertambah pelik karena tidak ada kesadaran masyarakat untuk memberi ruang bagi pejalan kaki.

Sebagai contoh, ketika pejalan kaki menyebrang di zebra cross masih ada pengguna kendaraan bermotor yang tidak mengalah dan malah membunyikan klakson. Selain itu, pengguna motor yang naik ke trotoar dan merampas hak pejalan kaki merupakan contoh nyata tidak adanya kesadaran tersebut.

Berdasarkan data yang diungkapkan dalam Majalah Tempo, korban kecelakaan terbesar di Jakarta adalah pejalan kaki. Terutama yang menyeberang jalan secara ceroboh tidak di jembatan penyeberangan atau di zebra cross. Jumlahnya sepertiga, (33%), dari berbagai jenis kecelakaan lalulintas.

Tidak terlepas pula dari peliknya masalah banjir di Ibukota, trotoar yang tersedia bagi pejalan kaki di musim hujan penuh dengan genangan air terutama saat hujan dan setelah hujan. Dari kenyataan tersebut perlu digunakan material yang baik di trotoar Jakarta agar tetap nyaman digunakan saat musim hujan. Salah satu solusinya adalah penggunaan paving block. Dengan beberapa pertimbangan, jika melihat dari aspek sustainable area ruang pejalan kaki ini sudah memperhatikan teori tentang sustainable, dikarenakan: a. Material paving block yang memiliki daya serap hingga 10% yang berarti memperhatikan aspek lingkungan. b. Menggunakan material paving block yang memiliki daya tahan terhadap cuaca yang berhubungan dengan maintenance material itu sendiri, yang berarti bisa menekan biaya terhadap maintenance kawasan dan itu sangat memperhatikan dari segi aspek ekonomi.

Selain itu, vegetasi – vegetasi yang sudah tua di trotoar Jakarta di musim hujan juga memberikan bencana dan rasa tidak aman tersendiri bagi pejalan kaki dikarenakan rasa takut vegetasi besar tersebut akan tumbang.

Kemacetan di jalanan Ibukota sendiri juga ikut membahayakan pejalan kaki di ruangnya. Kondisi jalan yang sempit namun volume kendaraan semakin bertambah memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi pengguna kendaraan bermotor di jalanan dan kerap kali khususnya bagi kendaraan bermotor merasa tidak sabar sehingga mengambil jalur pejalan kaki untuk lewat belum lagi melawan arus dan selain merampas jalur pejalan kaki juga menerobos lampu lalu lintas saat berhenti, padahal pada saat lampu merah tersebut, pejalan kaki harusnya dapat menggunakan haknya untuk menyebrangi ruas jalan. Kalau sudah seperti itu, apakah warga Jakarta masih tetap ingin berjalan kaki? Jawabannya tentu saja tidak.

Namun tidak disadari jika seperempat saja dari warga Jakarta sudah menjadi pejalan kaki, kemacetan Jakarta dapat terurai.

Dibutuhkan pembangunan infrastruktur dan sarana prasarana yang memfasilitasi pejalan kaki dengan baik. Berbagai upaya juga harus dikerahkan oleh Pemda DKI Jakarta seperti penertiban PKL dan parkir liar di trotoar, penambahan fasilitas seperti tempat duduk, halte bis, pergola zebra cross, revitalisasi jembatan penyebrangan serta vegetasi peneduh yang aman bagi pejalan kaki. Semua hal yang dibutuhkan tersebut berujung pada regulasi yang juga harus kuat, agar tidak terjadi pelanggaran yang dapat dilakukan dengan mudah.

Dengan upaya tersebut, berjalan kaki akan memberikan makna dan rasa tersendiri bagi manusianya. Sejalan dengan teori De Carteau yang telah dijelaskan sebelumnya dan dihubungkan dengan konsep pejalan kaki sendiri bahwa ruang pejalan kaki yang baik akan memberikan perubahan bagi masyarakatnya dan juga kotanya yaitu Ibukota DKI Jakarta.

https://id.pinterest.com/pin/353814114459515737/

KESIMPULAN

Munculnya karakter pada suatu kota adalah berdasarkan bagaimana perilaku dari penghuni kota itu sendiri. Bersama dengan pemerintahan yang ada, adalah pekerjaan bagaimana caranya agar setiap lapisan masyarakat terfasilitasi dengan baik. Melihat masalah di Ibukota yang tak pernah usai, sudah sepantasnya setiap penghuni sadar dan harus melakukan sebuah perubahan. Salah satunya untuk mengatasi transportasi yang mengalami stagnasi di Jakarta yaitu dengan memutuskan untuk berjalan kaki di jalanan Ibukota.

Dengan berjalan kaki penghuni dapat merasakan detail yang terjadi di kotanya serta dengan adanya ruang pejalan kaki di Ibukota yang cukup, tentu akan memperbaiki kualitas manusia penghuni kota dan tentunya pelaku pejalan kaki sendiri.

Namun, untuk berjalan kaki di Ibukota merupakan keputusan yang perlu dipertimbangkan. Ada beberapa hal yang dibutuhkan untuk ruang pejalan kaki yang lebih baik antara lain : perbaikan fasilitas dan infrastruktur, penataan kembali ruang bagi pejalan kaki termasuk penertiban bagi pkl ataupun parkir liar yang berada di area tersebut, perbaikan material dari trotoar ruang pejalan kaki, penataan vegetasi dan street furniture, dan tentu saja regulasi yang sangat kuat dari pemerintah DKI Jakarta sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

LESSON LEARNED

Melalui studi yang telah penulis gali, berjalan kaki adalah suatu pilihan bagi warga Ibukota sendiri.

Sesungguhnya bagi tubuh sendiri berjalan kaki sudah membantu melancarkan metabolisme tubuh dan penulis juga memahami bahwa berjalan kaki adalah sebuah perubahan yang sangat dibutuhkan di Kota besar seperti DKI Jakarta. Dengan berjalan kaki, polusi yang seolah menaungi langit Jakarta akan jauh berkurang. Walaupun sampai saat ini berjalan kaki di ruang yang nyaman dan aman masih amat jauh dari mata pejalan kaki, namun seiring berjalannya waktu setiap warga Jakarta harus sadar bahwa berjalan kaki merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki parahnya system transportasi di Jakarta.

Dengan semakin banyak pejalan kaki, maka sarana dan prasarana bagi pejalan kaki tentu akan terus ditingkatkan dan diperhatikan oleh pemerintah.

Jika sudah tercipta ruang yang nyaman dan aman bagi pejalan kaki tentu akan meningkatkan kualitas dari setiap individunya. Karena dikembalikan lagi kepada teori Michel de Carteau yang menyatakan kota adalah bagaimana penghuninya bertindak atau berkegiatan bukan hanya sekedar bagaimana penghuni kotanya mengetahui kotanya. Hal tersebut dilihat melalui apa yang ada disana dan yang digunakan berkali - kali sehingga kota menjadi berarti dan layak dihuni.

Hubbard, Phil and Rob Kitchin.2011. Key Thinkers on Space and Place.London: Sage.

Elemen Urban Design, Arsitektur Kota Presentation Diakses pada hari Rabu, 10 Desember 2014 pukul 12.33 WIB

B. Jacobs, Allan.1985.Looking At The City.London : Harvard University Press

Lo, Ria S. Hutabarat. 2011. Walkability Planning in Jakarta.

California:University of California Transportation Center.

Diakses pada hari Rabu, 10 Desember 2014 pukul 12.33 WIB

h t t p : / / m a j a l a h . t e m p o i n t e r a k t i f. c o m / i d / a r sip/1981/08/01/NAS/mbm.19810801.NAS49854.id.html Diakses pada hari Rabu, 10 Desember 2014 pukul 09.00 WIB http://www.thejakartapost.com/news/2012/01/25/pedestrian-safety-yet-see-improvement.html Diakses pada hari Rabu, 10 Desember 2014 pukul 09.21 WIB http://ejurnal.itenas.ac.id/index.php/rekakarsa/article/view/449 Diakses pada hari Rabu, 10 Desember 2014 pukul 09.30 WIB Kajian Fasilitas Pedestrian, Open Space, dan Ruang Di Antara Bangunan pada Kawasan Cihampelas Walk.

Diakses pada hari Rabu, 10 Desember 2014 pukul 12.30 WIB

Dr. Ir. M. Danisworo,m Arch,mup,Rangkuman Buku Ajar Teori Perancangan Urban. Itb. Bandung.1999 Diakses pada hari Rabu, 10 Desember 2014 pukul 12.33 WIB Kevin Lynch. 1969.The Image Of The City. Cambridge:MIT Press.

Skripsi Pengembangan Jalur Pejalan Kaki Yang Ramah (Manusiawi) Studi Kasus Kawasan Pecinan Semarang Oleh Jamilla Kautsary Jurnal Penataan Jalur Pejalan Kaki Berdasarkan Persepsi Dan Perilaku Pejalan Kaki Di Kawasan Pusat Kota Malang (Jalan Semeru, Jalan Tugu, Jalan Kahuripan Dan Jalan Kertanegara Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Brawijaya