Santannya masih saja terasa nikmat meski tajinya sudah mulai terangkat

Page 1

on October 13, 2011 by Dwi Suprabowo in ESAI, kritik teater

Untuk:

Nano Riantiarno

[bapak yang mencurahkan hidupnya dalam drama]

2010 – dwisuprabowo


Mulai dari liputan stasiun teve, surat kabar, jejaring sosial, situs-situs seni, dan bahkan pengunjung warung-warung angkringan pinggir jalan ibukota. Ada yang berbunyi: “Untuk penyutradaraan awal bolehlah.” Ada pula yang berbunyi tajam namun memang itu faktanya, “Untuk takaran pentas teater Koma itu buruk.”. Saya pribadi berpendapat bahwa tidak adanya sesuatu yang membuat penonton membelalakkan matanya dan berdecak-decak bahkan mengumpat perihal pencapaian estetik dari yang dilakukan teater Koma pada malam gladi bersih (kamis, 6 Oktober 2011 lalu, waktu saya menonton pentasnya). Mulai dari Kenapa Leonardo?, Republik Petruk, Tanda Cinta, Sie Jin Kwe 1, 2, dan terakhirRumah Pasir yang disutradarai oleh Nano Riantiarno saya dibuat bergidik ketika dia berhasil menyeimbangkan semua pencapaian estetik dari segala segi (mulai dari artistik, sampai dramaturginya) dikemas menjadi sebuah labirin yang sebetulnya kita tahu jalan mana yang kita pilih namun selalu diberi kejutan di setiap persimpangan jalannya. Tidak bisa disalahkan juga, sebab saya meyakini bahwa setiap kepala (baca: isi kepala sutradara) memiliki tafsiran terhadap keindahan apa yang ingin dicapainya. Tetapi di tulisan ini saya tidak akan menyoalkan mengenai penyutradaraan Rangga (bukan berarti meremehkan, tetapi semua follow Spot Light sudah menyorotinya gencar-gencaran), melainkan sosok yang sudah mulai tua dan sudah mulai menggunakan alat bantu untuk berjalan, yakni Nano Riantiarno. Ia muncul satu abad sebelum abad ini, tepatnya lima tahun setelah Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan negara ini. Setengah abad lewat dua belas tahun sekarang usianya, tapi lihat permainannya, masih sangat enerjik dan masih sangat terasa santannya meski tajinya sudah mulai termakan oleh usia. Dapat terlihat bagaimana santan itu berupa teknik pernapasannya yang sangat baik, sehingga tiap larik pada dialog tokoh Pak Walikota dapat ia lancarkan dengan konstan pada tiap tarikan nafas. Dialog panjang tanpa ada keteteran dalam melaku peran, meski berjuang untuk tetap ‘berada’ dalam panggung meski terpincang-pincang. Poster Pentas Teater Koma. (maaf saya potong bagian sponsornya.)

Dwi suprabowo |

1


Saya jadi membayangkan bagaimana perjuangan awal proses ia berkesenian (teater) ketika ia seusia saya, 20-an tahun usianya. Yang saya bayangkan adalah segala peluh yang tumbuh dari setiap lekuk tubuh. Kita bisa mengetahui sejarah-sejarah perjuangannya dari buku-buku, dari mentor-mentor (saya pribadi mendapatkannya dari mentor, guru, dosen, yang menurut saya lebih tepat dijadikan ayah: Edi Sutarto), dan dari situs-situs internet. Kita dapat mengetahui ia berteater sejak SMA, melanjutkan sekolah di institusi pendidikan khusus kesenian, pernah bergabung dengan Alm. Teguh Karya pada tahun 1968, dan pada saatnya ia mendirikan teater koma pada tahun 1977 hingga berproses sampai sekarang, sampai pada pementasan yang ke-124, sungguh keseriusan yang teguh. Tetapi yang kita ketahui hanyalah runutan riwayat dan kronologi proses berteaternya, hanya sebatas tahu dan mengingatnya. Idealnya, tidak hanya tahu dan mengingat prosesnya sebagai sejarah, melainkan rasanya, pengalaman ‘rasa’ yang ia nikmati dulu hingga sekarang. Rasa lelah, rasa takut, rasa sakit, rasa kecewa, dan rasa harap yang ia dapat dari cibiran, ancaman orang-orang. Kita semua pasti ingat, setiap seniman yang vokal dalam menyuarakan kebebasan, sama seperti Rendra, predator utamanya adalah para aparatur negara (pada masa itu, yang berdalil bahwa seniman a dalah si pembuat keonaran). Nano pernah mengalami pembredelan tersebut, tepatnya tiga naskah yang disensor dan bahkan dilarang tampil, yakni: Maaf, Maaf, Maaf; Opera Kecoa;dan Sampek Engtay. Kembali kepada awal Nano berproses, saya jadi mengingat perbincangan saya dengan bekas sutradara kelompok kesenian Miss Tjitji yang berlokasi di Cempaka Baru, Jakarta Pusat, yang bersebelahan dengan rumah saya. Kenapa saya menyebut sutradara kelompok ini dengan menggunakan embel-embel ‘mantan’, karena beliau sudah wafat pada hari minggu, 31 Juli lalu. Mang Esek sapaan akrabnya, tetapi bernama asli Maman Sutarman. Dia adalah seorang sutradara, penulis skenario, sekaligus pemain senior di kelompok kesenian ini. Seminggu sebelum kepergiannya, tepatnya sabtu, 23 Juli saya secara tidak se ngaja berjumpa dengan nya di sekretariat ATAP (Asosiasi Teater Jakarta Pusat) ketika ingin mengumpulkan berkas kritik teater FTJ pusat. Selesai dari sana saya berniat untuk pergi menuju kampus UNJ yang berada

Dwi suprabowo |

2

Nano Riantiarno – Tuti Hartati Dwi

remehan, dan bahkan


di rawamangun, belum sempat menaiki sepada motor saya melihat sosok pria paruh baya yang sangat segar bugar sedang berbincang dengan kawannya di pintu keluar barang gedung kesenian Miss Tjitji. Wajahnya tidak asing, dan akhirnya saya beranikan diri untuk menegurnya. Ternyata benar, dia adalah ayah kawan SD saya dulu. Saya sebetulnya sudah sejak SD mengetahui bahwa Mang Esek (ayah Anggi/ kawan saya) adalah sutradara kelompok kesenian itu, tetapi saya masih tidak peduli apa profesinya karena saya baru mengenal teater saat menduduki bangku kuliah. Awalnya kami membicarakan tentang kenangan saya dengan masakan pizza mie/ mie cock (telor dadar yang di dalamnya ada mie instan) atau apalah namanya yang dibekalkan kepada Anggi (Ayahnya yang memasak), lalu beralih pada pekerjaan

Dalam percakapan ini kami membahas mengenai sejarah perjalanan Miss Tjitji, Kejayaan dan Kemundurannya, dan yang paling menarik adalah Primadona. Banyak wacana yang menjadi primadona, namun satu wacana primadona yang masih melekat di kepala saya, yakni hubungan langsung dan tidak langsung antara Nano dan Miss Tjitji. Mengapa saya membahas Miss Tjitji dalam tulisan untuk Nano ini karena memang sangat berkaitan erat dengan sejarah ke-teater-an Nano pula. Memang Nano dan Primadona: Miss Tjitji tidak berada pada zaman yang sama, terlebih Miss Tjitji wafat pada 1936 sedangkan Nano terlahir pada tahun 1949. Di sinilah hubungannya. Menurut perbincangan saya dengan Mang Esek, bahwa saat Nano muda –yang masih mendalami teater di sebuah institusi seni–, sering datang dan menyaksikan tiap minggunya pementasan yang diadakan oleh kelompok seni ini, sedang Mang Esek sendiri belum menjadi apa-apa saat itu, ia hanya sebagai anak karcis atau penjajah tiket pertunjukan. Keduanya sama-sama berasal dari ‘tidak ada’ menjadi ‘ada’, yang membedakannya adalah Mang Esek dengan komunitas kesenian Miss Tjitji dengan kedaerahan sundanya, sedang Nano dengan teater modern yang modern (Pada

Alm. Maman “Mang Esek” Suratman – Sutradara dan Aktor senior komunitas kesenian Miss TjiTji

foto gedung Miss TjiTji dan saya ketika 1995/1996, tepatnya saya lupa

anaknya, dan pada akhirnya masuklah pada wacana dunia kesenian.

perkembangan dunia teater kisaran tahun 1900 adalah masa berkembangnya kelompok kesenian/ teater modern barat, seperti stamboel dan lain-lain. Kenapa saya menyebut teater modern yang modern karena hampir keseluruhan cara penciptaannya berasal dari barat/ pendidikan barat, sedangkan teater modern Indonesia saat itu berasal dari pengalaman empiris). Hubungan tidak langsungnya adalah ketika Nano membuat sebuah lakon yang berjudul Opera Primadona yang berasal dari benih teater modern Indonesia, kemelut dan dilematik, cinta dan problematik, antara kelompok-kelompok kesenian (baca:

Dwi suprabowo |

3


stamboel) merubah namanya menjadi nama aktor primadonanya, yakni antara kelompok Miss Riboet Orion, kelompok Dardanella, dan Miss Tjitji.[i] Kembali kepada masalah permainan Nano dalam pentas Antogoneo karya Evald Flisar (yang menghususkan untuk datang ke Indonesia yang menurut saya sebagai suatu dukungan penuh terhadap pementasan ini) yang diadaptasi oleh sang sutradara sendiri, bahwa ada satu hal lagi yang betul-betul mendominasi pikiran saya, yakni pembentukan karakteristik dari tokoh yang dimainkan oleh Nano. Pembentukan yang terbaca oleh saya adalah pencarian dari segi psikologi, yakni gangguan tic/ tourette syndrome. Gangguan tic adalahgangguan neuropsikiatri atau syaraf, terjadi pada fisik maupun vokal. Secara fisik terjadinya gerakan otomatis pada salah satu atau beberapa syaraf, misalnya berkedip, batuk, berdehem, menggeleng.[ii] Sedangkan pada vokal adalah ketika mengeluarkan kata-kata, biasanya cabul (baca: latah). Jika kita mengingat film Jackie Chan yang kembar identik, satu diasuh oleh keluarga asli dan satu lagi diasuh oleh lingkungan kriminal, nah Jackie Chan yang kriminal digambarkan penyandang gejala tic fisik/ motorik, yaitu menghirup udara seperti sedang berlendir karena flu dibarengi dengan gerakan kedua tangannya yang menekan kemaluannya ke atas. Dalam kasus pencapaian Nano ialah ketika tokoh Pak Walikota memegang dagunya yang sesekali dan secara cepat namun jelas terlihat bahwa jari telunjuknya mengusapusap pipinya. Atau malah penangkapan lain saya bahwa Nano yang terkenal dengan teater yang sangat realisnya malah memilih karakterisasi tokoh Pak Walikota dengan gaya karikaturial, maksudnya adalah jika benar pemilihan ‘gesture’ ketika tidak berdialog-nya sang tokoh selalu menyentuh dagunya yang acapkali jari telunjuknya bermain di sana, yang sedikit menyimpang dari hakekat realis itu sendiri, atau bahkan suatu bentuk mimikri[iii]terhadap para petinggi/ pejabat atau kaum elit negeri ini yang disimbolkan dengan bentuk ‘berpikir’ namun tidak melakukan apa-apa. Entahlah. Penonton sebagai penikmat hanya bisa menafsirkan apa yang ia lihat, dan saya adalah salah satu penonton itu, yang berusaha menafsirkan apa yang disajikan dalam pentasAntigoneotersebut. Sebetulnya ada juga beberapa pertanyaan mendasar mengenai segi artistik dalam pementasan kali ini, yaitu masalah

Dwi suprabowo |

4


kemunculan patung Hermess, patung ratu adil versi Eropa, patung kepala terbenam yang selalu menjadi tempak duduk pemain, patung bayi telanjang yang diinjak-injak dengan seenaknya oleh para pelaku, kapel yang tidak difungsikan sebagai kapel padahal ditampilkan di atas panggung secara utuh. Itu adalah hal asing bagi makhluk-makhluk (baca: penonton) awam, seperti saya, seperti para pekerja yang tidak bisa menyempatkan waktunya untuk mengisi daya intelektual semacam ini dengan membaca ataupun menontonnya dari acara televisi. Pementasan yang begitu asik sekaligus asing bagi khalayak masyarakat Indonesia kebanyakan. Tetapi tetaplah berkarya Koma, tetaplah bertahan Nano, tetaplah berjuang para anggota Koma, dan tetaplah berproses Rangga, karena Koma dan Nano telah menorehkan sejarah teater di Indonesia, karena Koma dan Nano telah menorehkan sejarah teater Indonesia di dunia, karena kalianlah yang membuat kami (saya dan mungkin kawan-kawan yang tertarik dengan dunia teater) mendapatkan spirit berkesenian yang luhur. Cempaka baru, 13 Oktober 2011 [06.13]

[i] Oemarjati, B.S. 1971. Bentuk lakon dalam sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung. [ii] http://www.news-medical.net/health/What-is-Tourette-Syndrome-(Indonesian).aspx [iii] Baca Poskolonial yang diungkapkan oleh Bhabha, bahwa poin penting dari kajian poskolonial/ pascakolonial adalah: Hibriditas, Mimikri, dan Resistensi. Hibriditas = percampuran dari dua kelompok masyarakat yang pada akhirnya menghasilkan the third space of emunciation. Mimikri = bentuk peniruan (ejekan/ sindiran) yang bertujuan untuk menyerang balik kaum superior terhadap dirinya yang inferior. Resistensi = bentuk perlawanan secara langsung. Aschroft ,Bill; Gereth Griffiths, dan Hellen Tiffin. 2001. Key Consepts In Post-Colonial Studies. New York: Routlegde.

Dwi suprabowo |

5


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.