FINITO 2.0 "Vocalize Inspiration through Creative Writing"

VOCALIZE INSPIRATION THROUGH

Creative Writing Kumpulan Cerpen, Mini Komik, dan Puisi Diambil dari 10 Besar Finalis Finito 2.0

"Tidak ada langkah awal dari menulis selain mulailah menulis terlebih dahulu"

Bellazmr

Panitia FINITO 2.0 Penanggung Jawab Ziqrillah

Penulis Finito 2.0 Cerita Pendek Dwina Fitriani Dharmawan Rizky Ramadhan

Ketua Pelaksana Anggun Firda R.

Nisa Ramadan Setianingrum Annisa Nurba Iffah'da Baitul Muttaqin Al Majid

Wakil Ketua Arengga Wana Ismail

Sekretaris Oktavia Rosianafi P.

Bendahara Indah Sulistyawati W.

Alvina Briantiningsih Eni Listiowati Diyah Ayu Nur Halimah Maulidiyah Amaliyah Aza Ma'rifatun Niswa Puisi Narendra Brahmantyo K.R. Muhammad Iqbal Khoironnahya

Divisi Acara

Divisi Sponsorship

Koordinator Katarina Siena H. C.

Koordinator Annisa Khairatun Hisan

Staf Alva Putri Yevitayani Bari Fathan Maulana Meylani Yayang Adiningtyas

Staf Fransiska Mustika Asabi Suci Andayani Putri

Fransiskus Julio Alfonso Simbolon Ira Auzira Josua Sitepu Parastri Ratih Nareswari Vania Kharizma Silvia Andri Yanti Fatma Kurniawati Talitha Nabilah Komik Strip

Divisi Media Partner

Divisi Dokumentasi

Miladya Rahmawati

& Publikasi

& Desain

Helena Joan Noven

Koordinator Ghina Aufa

Koordinator Aisyah Nur Rizkyana

Staf Amelia Rosa Taufik Ramadhan

Staf Maraditta Putri Noor Shelly Octaviana Taufik Hidayat

Dandy Satria Damara

Contact : @cognito.ppm vfestivaljurnalistik@gmail.com

Ranessa Nurfadillah Hermon Triberly Karisma Indra Hidayah Ramadhan Felyvia Novianti Maria Nikola Muhammad Farhan Mia Eunice Felice Suprapto

Supported By :

Table of Content CERPEN

1

PUISI

62

KOMIK STRIP

77

Aktivis Lingkungan

2

Meruangi Relief

63

Dari Buku Menjadi

78

Kontemporer

Penjelajah Waktu Sampai Aku Terbakar

8

Sepotong Narasi

Prestasi

65

Seusai Pandemi

Habis

Tuliskan Kreasi

79

Suarakan Inspirasi

Menyetubuhi Bumi Inspiration of The

Percaya Diri dan

21 Kepada Realita Mari

Month

66

80

Positive Thinking

Bersandiwara Eira yang Malang Proses Baskara : Senja

27 Harapan Kalengan

67

Perangkai Sajak

68

33 37

Penjejak Inspirasi

Isi Kotak

81

Konsisten

82

POV

83

Terinspirasi untuk

84

Terakhir di Lili Pemantik

Persuratan

69

Menginspirasi Cahaya di Balik Anak

43

Penghancur Anak

Jangan Lagi Kita

70

Bunyikan Sepi

Istimewa

48

Di Negeri Seribu

72

Gagal

85

Evakuasi Inspirasi

86

Tujuan Menulis

87

Epigraf

Bangsa Flawsome

53

Tergores Angan

74

Cerita di Balik Karya

58

Aku, Sang Nona, dan

75

Sang Tuan

CATATAN Karya di dalam e-book ini tidak melewati proses pengeditan (kecuali kesalahan penulisan) agar terjaga keaslian dari setiap karya

SELAMAT MEMBACA!

CERPEN

1

Aktivis Lingkungan Penjelajah Waktu Oleh: Dwina Fitriani Dharmawan

dengan beberapa temanku yang namanya tidak dapat kusebutkan disini, mereka malu katanya.

Kami hanyalah aktivis biasa namun tidak dapat dikatakan biasa.

Gimana tuh? oke aku sebutkan satu-satu ya, kami biasa menggerakkan hati masyarakat sekitar untuk terus menjaga kebersihan lingkungan dan menerapkan pola hidup bersih dan sehat. Lanjut ke hal tidak biasa, sebelumnya aku ingatkan buat kalian yang membaca untuk tidak terkejut dengan pernyataan selanjutnya, back to the topic, juga hal tidak biasa dari kami yang tidak semua orang dapat mengalaminya adalah… kami bisa menjelajahi waktu alias pergi ke masa depan dan masa lalu, tempat dan waktu yang kami inginkan, di mana pun itu. Kemampuan yang hebat, bukan?

Tidak perlu panjang lebar lagi,

A

ku disini, bersama serpihan kata yang menemani hari-hari, terangkai indah seperti pelangi, yang bertajuk nusantara kini hari. Aku pemuda yang selalu menginginkan lembaran diary dengan catatan dan pengalaman indah yang tak padam dan terus berlanjut.

Menggapai asa dengan usaha optimal, ya, itu adalah salah satu tujuan hidupku di dunia ini, lebih tepatnya di Indonesia tercinta.

Elvan Adhlino adalah seorang aktivis terkenal di zamannya yang mampu menggerakkan hati orang-orang sekitar untuk turut mencintai Indonesia dengan segala potensinya dan upaya untuk mewujudkan potensi tersebut terus tumbuh, dan… perkenalkan ini aku, El. Seperti yang kalian tahu, aku seorang aktivis, oh bukan, lebih tepatnya anggota kelompok aktivis lingkungan bersama

Cerpen

aku ingin teman-teman tahu pengalaman kami dalam menjelajahi waktu. Kita hitung jika saat ini adalah tahun 2000, dan aku ingin pergi 22 tahun setelah ini, maka tahun yang kujelajahi adalah tahun 2022, dan aku mengajak kalian untuk ikut bersamaku pergi ke tahun 2022. Baik, Inilah coretan diary-ku… Pergi ke 22 tahun mendatang.

2

Tanpa persiapan apapun terkecuali kotak ungu yang ku genggam,

Hai diary, izinkan aku menulis cerita pendek di kertasmu yaa, aku janji kok akan menulis dengan untaian diksi yang indah. Agar sahabatmu, penghapus, tidak perlu mengorbankan dirinya untuk menghapus kata-kata salah yang sebenarnya adalah kesalahanku.

Oke aku akan memulai dari hari di mana niat pergi menjelajahi waktu itu terpikirkan. Ketika itu, aku sedang berada di sekolah menunggu papa yang akan mengambil rapor semester. Aku pergi ke rooftop sekolah sendirian, melihat dua burung di angkasa yang sedang menatapku penuh selidik seakan bertanya “Sedang apa disana?”

Lalu, aku melihat awan biru yang melapisi langit dengan sempurna, ya, biru, seperti lukisanku pas masih TK. Aku berpikir, “Apakah ada hari di mana awan biru ini akan berubah warna?

Apakah burung-burung berkicauan itu akan tetap ada di sana? Apakah pohon hijau nan berbuah itu akan tetap ada untuk meneduhkan pandangan yang penat setelah ulangan kimia?” Begitu banyak tanya di benakku kala itu.

Sedetik kemudian aku melihat kotak ungu yang sedari tadi sudah ku genggam, kotak ungu yang biasanya mengantarkan aku dan teman-teman aktivis untuk pergi ke waktu mana pun yang kami inginkan. Setelah sebelumnya rencana itu muncul, “Aku mau pergi ke waktu 22 tahun dari sekarang untuk melihat Indonesia ku mendatang, apakah langit biru beserta pelengkapnya masih ada?”

sepulang mengambil rapot, aku bergegas menuju kamar dan mengganti seragam sekolah dengan pakaian casual.

Sejurus kemudian, “klik,” aku memencet tombol putih di dalam kotak sembari mengucapkan, “Menuju gunung di Jakarta 22 tahun dari sekarang”. Dengan memejamkan mata, dan yap, dalam sekejap aku sudah sampai di tujuan.

Wait… Saat ini aku tidak mengerti, apakah kode tujuanku yang salah atau kotak ungu tersebut telah rusak atau bagaimana. Pasalnya, yang aku datangi adalah lokasi yang sangat kotor, bau, banyak sampah beserta organisme putih ‘menggemaskan’, alias belatung yang berada di sekelilingku.

Aku celingak-celinguk dan segera mundur kurang lebih sepuluh langkah sehingga melihat sebuah tumpukan tinggi menjulang di depanku. Tidak bedanya seperti gunung mini mungkin, menjulang tinggi.

Namun, apa ini? Mengapa begitu kotor? pertanyaanku saat itu. Kemudian, kulihat ada seorang wanita paruh baya sedang mengais botol di pinggir rumah kayu, aku menghampirinya, “Bu, maaf kalau boleh tau ini tempat apa ya?”

“Seperti yang kamu lihat sendiri, Nak, ini gunung sampah.”

“Apa ini di Jakarta, Bu?” “Ya benar, di Jakarta, namanya Bantargebang.”, “Baik terima kasih, Bu.”

3

Cerpen

And see? Tujuanku adalah ke gunung di Jakarta, tetapi aku malah sampai di tempat seperti ini, memang benar sih ini seperti gunung… gunung sampah. Miris melihatnya, kondisi di tempat ini sangat berbeda dari Kota Jakarta di zamanku. Yaa setidaknya kita masih dapat merasakan udara segar, sedangkan disini rasanya ingin tutup hidung saja.

Aku tidak dapat membayangkan bagaimana jika setiap hari ada di sini seperti warga sekitar.

Oke, aku akan berusaha mensejahterakan mereka dengan upaya yang aku bisa, tekadku detik itu.

Menyusuri jalan dengan hati terkikis, miris, histeris, semua bercampur aduk.

Tiba-tiba, terdengar suara menyeramkan dari perut ini, “Kruukk…”

Ups aku lupa belum makan siang sebelum ke sini, kebetulan di seberang jalan ada rumah makan yang bertuliskan ”Sedia makan gratis hari Jumat” kebetulan juga hari ini Jumat dan aku tidak membawa uang sepeser pun, jadi aku memutuskan untuk makan disana.

Begitu masuk, orang-orang menatapku berbeda, mengapa? Apa karena pakaian ku yang terlihat unik? Haha.. Aku memang berasal dari zaman yang berbeda dengan kalian, No, aku hanya mengatakan itu dalam hati.

"Dek, kamu bisa mengambil nasi box disana ya, selamat makan.” Ujar hangat seorang pria yang bisa terbilang tampan. Hei, aku mengatakan itu bukan

“Terima kasih, Kak.” Sembari membawa kotak merah berisi asupan siang.

Tidak membutuhkan waktu lama untukku menghabiskan sekotak nasi beserta kawannya, Korean Chicken Cheese Melt. Lalu, aku keluar dari rumah makan, kembali menatap jalan raya yang dipadati oleh kendaraan. Oh ya, hampir saja aku terlena dengan tujuanku ke tahun ini karena sibuk meminggirkan sampah botol ke pinggir jalan. Diary, apa kamu masih ingat apa tujuanku? Ya, aku kesini pada awalnya tidak lain dan tidak bukan adalah untuk melihat awan biru dan pelengkapnya, apakah masih ada?

Awan biru? Hmm, rupanya awan biru itu kini berubah menjadi awan putih berbalut abu muda, I think itu adalah polusi dari kendaraan yang berlalu lalang tiada henti. Dan dari asap pabrik… apa itu? Hmm, ya aku baru ingat, ‘limbah industri’, aku pernah membaca istilah itu di buku biologi.

Burung berkicauan? Aku sih sedari tadi belum melihatnya menari di angkasa.

karena aku gay ya, ingat itu!. Hanya saja aku juga manusia yang dapat menilai paras seseorang.

Cerpen

4

Sebelum lupa nih, aku ingin menyampaikan hal unik yang belum pernah aku temui di zamanku. Jadi, beberapa menit lalu aku berpapasan dengan seorang anak berseragam putih merah, kalau diperkirakan mungkin ia masih kelas satu SD, apa kalian berpikir kalau aku melewatinya begitu saja?

Tentu tidak, aku dibuat tercengang ketika melihat tangannya memegang dengan hati-hati sebuah kandang sangat kecil yang sekilas isinya adalah anak ayam.

Kalau yang biasa aku lihat anak ayam itu warnanya ya krem, putih, gitu kan? tapi tadi yang dipegang adalah anak ayam berwarna pink… bayangkan, warna pink, astaga kasian sekali anak ayam itu.

“Halo, Dek, kakak mau tanya, kalau boleh tahu kamu dapat ayam kecil itu dari mana ya?”

“Dodo beli kak di abang goreng depan sekolah Dodo.”

“Oh, bang Goreng. Oke makasih ya, Do.” Wow, satu hal yang dapat aku saksikan langsung, oknum yang mencari uang dengan cara apapun meski dengan menyakiti makhluk hidup lainnya, seperti memberikan pewarna pada ayam kecil.

Sabar ya, ayam!...

Aku menduduki batu kecil, masih di pinggir jalan. Tak kuasa aku meneteskan air mata merutuki kondisi Indonesia kini yang bisa dikatakan sangat miris. Apa aku harus memberi tahu semua yang aku lihat hari ini?

Diary, tolong beritahu temanteman yang membaca, apa yang sudah terjadi pada nusantara ini mengenai kebersihan, dan keasriannya yang seperti sudah terganti dengan banyak hal…Tolong!

DIARY POV Teman-teman, apa kalian pernah bertanya, setidaknya pada diri kalian sendiri?

1. Ke mana sampah plastik yang kalian gunakan akan bermuara? Apa kalian tahu dampaknya untuk kehidupan di darat, laut, dan udara?

2. Tidak pedulikah kalian dengan kesehatan makhluk hidup lainnya yang berjuang menahan bau dari sampahsampah kalian setiap hari?

3. Pernah memikirkan sulitnya kehidupan para makhluk laut karena terjaring oleh sampah-sampah busuk kalian? Pernah memikirkan bagaimana kehidupan kami para makhluk hutan ketika rumahnya dibabat habis oleh kalian? Perlahan dari kami, satuper satu anggota keluarga kami MATI, asal kalian tahu itu.

4. Dan dari kami yang dibabat oleh kalian, apakah pernah memikirkan bahwa kami sebenarnya lah -dengan kuasa Tuhanyang menyediakan oksigen dan memfilter air bersih untuk kalian? Kalau kami hanya tersisa sedikit, apa itu saja cukup untuk membersihkan udara yang dipenuhi oleh polutan ini?

Iya, cukup?

Sampai satu novel pun rasanya tak cukup.

5

Cerpen

Kami, hewan dan tumbuhan, juga makhluk hidup yang berhak hidup untuk melengkapi kehidupan para manusia. Kami mengerti kalian, jadi tolonglah mengerti kami!. Bisakah kalian menghemat dalam penggunaan plastik dan barang sekali pakai? Bisakah kalian mengurangi penggunaan kendaraan pribadi? Hei, bahkan pemerintah sudah menyediakan transportasi umum yang memadai lho, salah satu penyebabnya karena polutan disini sudah sangat banyak. Apa kalian sadar itu? Minim langit biru di kota ini.

Sudahlah, Diary hanya ingin teman-teman tahu kondisi nusantara kini

mungkin upayanya dianggap tidak lebih dari sekadar angan-angan mewujudkan Indonesia bersih.

Buktinya masih banyak yang tidak peduli, kan? tidak sedikit yang masih dengan seenaknya menggunakan sampah berbahan plastik dan membuangnya begitu saja tanpa dipilah terlebih dahulu. Teman-teman, setiap jenis sampah memiliki sifat yang berbeda-beda dan harus diperlakukan berbeda pula, untuk apa? Ya untuk menjaga keseimbangan air, tanah, udara, dan ujung-ujungnya untuk kesehatan kita juga, kan?. Karena walau bagaimana pun, lingkungan abiotik

hari, tetapi gak sanggup mengungkapkan semuanya, sehingga Diary bikin pertanyaan dan sedikit pernyataan aja.

Hmmm…Diary gak tahu nih bagaimana kondisi selanjutnya jika teman-teman tetap seperti ini tanpa ingin memulai perubahan… Baik, sepertinya El sudah selesai menyalurkan kesedihannya.

Sebenarnya, itu lah yang dari tadi aku temukan, dengan sample kota ini yang berupa polutan dan sampah dimana-mana, aku menuju ke toko fotocopy yang menyediakan layanan internet gratis. Lalu, berselancar ke Google untuk mencari informasi apakah kondisi seperti ini hanya di Jakarta saja atau sudah ke seluruh penjuru negeri.

Sangat disayangkan, ternyata kejadian serupa sudah tersebar dimana-mana.

Aku masih dapat menemukan sih kehadiran teman-teman aktivis pecinta lingkungan sepertiku. Namun, rupanya kami hanya kaum minoritas yang

tersebut sangat mempengaruhi kelangsungan hidup kita dan generasi kita ke depannya.

Selanjutnya, aku kembali memencet tombol putih di kotak ungu, aku kembali ke tahun 2000 untuk memberitahukan kelompokku perihal apa yang aku lihat sekarang. Setelah sampai, aku menceritakan semuanya kepada mereka tanpa dilebihkan dan dikurangkan.

Kaget… itulah ekspresi pertama dari mereka. Lalu, kami memutuskan untuk kembali menuju tahun 2022 dan menyelesaikan semuanya.

Kami memperbaikinya diawali dari penyuluhan kepada masyarakat sekitar yang tinggal di kawasan bantargebang untuk mulai memilahmilah antarjenis sampah. Di lain tempat, dua orang temanku mengajak kerja sama kelompok aktivis lainnya di zaman ini untuk kembali menggiatkan program “Save Our Earth".

Cerpen

6

Membuat video edukasi yang

Teman-teman, kami memanglah

mencerminkan kondisi nusantara supaya khalayak lebih aware terhadap isu lingkungan. Setelahnya, kami membuat posko bank sampah, mengadakan seminar dari sekolah ke sekolah untuk minimal berupaya mengurangi penggunaan sampah plastik.

Beruntungnya, tindakan yang kami lakukan mendapat respons positif dari masyarakat dan pemerintah, salah satunya ditandai dengan munculnya banyak aktivis serupa. Kami yakin jika keadaannya berlangsung seperti ini terus, maka lambat laun cita-cita kita semua akan tercapai untuk mewujudkan Indonesia bersih dan sehat.

Dengan senyum lebar, aku dan teman-teman berkumpul untuk kembali ke tahun 2000, setelah misi sederhana kami terlaksana dengan cukup baik. Oh, ya, aku belum memberitahukan temanteman pembaca perihal misi kami, misinya yaitu menyadarkan khalayak tentang Indonesia dan segala keasriannya yang seharusnya tetap kita lestarikan.

Senang sekali rasanya pulang dengan masalah yang sudah sedikit tertangani. Kami berharap tahun 2022, baik sebelum maupun sesudahnya akan terus seperti ini.

Menggunakan transportasi umum yang telah disediakan pemerintah, gerakan menanam satu juta pohon, lebih menyayangi hewan, terutama hewan

kaum minoritas, tetapi untuk melihat kenyataan pahit di negara ini kami rasanya tidak sanggup dan kami tidak segan-segan angkat bicara. Pasalnya, ini demi kebaikan kita semua, demi kebaikan negara kita. Nusantara kini hari menuju negara maju yang pastinya harus diiringi dengan support dari teman-teman untuk menjaga lingkungan sekitar. Tentunya malu dong, ya, kalau tamu negara atau turis asing datang tetapi yang pertama dilihat adalah sampah dan polutan.

langka, serta upaya lainnya.

7

Cerpen

Sampai Aku Terbakar Habis Oleh: Rizky Ramadhan

kembali siklus itu. Membuat koloni dan melanjutkan semuanya” ujar sang ratu.

“Semuanya sudah ditentukan.

Terdapat tiga entitas yang saling bekerja sama. Prajurit. Pekerja dan Reproduktif.

Siklus ini harus terus berjalan. Kalian hanya perlu mematuhinya dan mengikuti role kalian masing-masing” ujar sang ratu menambahkan. Seminggu sekali, sang ratu akan mengumpulkan seluruh kelompok dari semua kasta, lalu berpidato untuk mengingatkan pentingnya kerja sama dalam membangun koloni. Sang ratu tidak menginginkan polarisasi dalam koloni yang sudah dibangunnya sejak lama.

“Perpecahan dan kebencian tidak akan membawa kita ke manapun!

Eksistensi dari koloni kita bisa hancur jika kita memainkan identitas! Berbeda kasta bukan berarti saling membenci.

Keberlangsungan spesies kita bergantung pada sejauh mana kita dapat bersatu dan menjawab tantangan yang bisa terjadi kapanpun juga” ujar sang ratu dengan lantang.

Semua mendengar sang ratu dengan baik. Tentu saja kelas pekerja dan prajurit tidak dapat melihat. Mereka buta. Meski begitu, mereka memiliki cara

"

Kalian mengerti?” ujar makhluk itu. Ia mengedarkan pandangan dari kiri kekanan. Mengawasi setiap sudut di ruangan. “Siap mengerti!” ujar seluruh kelompok. Tentu saja suara yang paling keras berasal dari rayap kelas pekerja dan prajurit. Kepatuhan mereka kepada ratu tidak perlu diragukan lagi. Bukan berarti rayap reproduktif atau laron tidak nasionalis atau benci kepada ratu, hanya saja, jika harus bersaing dengan kedua kelompok ini, mereka tidak akan pernah menang.

“Begitulah adanya. Begitulah siklus” ujar ratu. Sekali lagi berpidato kepada koloninya untuk mengingatkan kenapa mereka ada “Dulu sekali, aku adalah keturunan laron. Lantas, aku berjuang dan sampai di titik ini.

Mencapai titik pencerahan, lalu memulai

Cerpen

8

tersendiri untuk menerima pidato sang ratu yang amat luar bisa itu. Sedangkan kelompok laron, mereka dapat melihat meski dalam samar. Mereka tahu betapa menakjubkannya ratu mereka. Semua kelompok sangat menyayangi sang ratu.

“Itu saja. Apa ada pertanyaan?” ujar sang ratu. Ia tersenyum. Kemudian mengedarkan pandangan. Melihat setiap wajah dari semua kasta. Meski sang ratu meminta pertanyaan, tentu saja itu hanya basa basi. Tidak ada yang boleh bertanya kepada ratu. Paling tidak itulah yang ada di benak mereka. Sebenarnya, sang ratu cukup demokratis.

Meski koloni ini sebuah monarki, sang ratu tidak serta merta melakukan apapun yang diinginkannya. Kelompok prajurit lah yang membuat suasana menjadi rumit. Tentu, mereka melakukan ini demi sang ratu. Individu yang mempertanyakan pernyataan sang ratu akan dicap tidak nasionalis dan memiliki semacam kebencian pribadi kepada ratu.

Maka, tidak ada satupun yang berani mengajukan pertanyaan.

Berurusan dengan prajurit bukanlah hal yang menyenangkan. Beberapa rayap yang pernah bertanya tidak diketahui lagi kondisinya. Semuanya berasal dari kasta reproduktif.

Hal tersebut kadang membuat kelas prajurit dan reproduktif mengalami sedikit gesekan. Itulah kenapa ratu terus menerus menekankan pentingnya kebersamaan.

Semua kembali pada posisinya

Ia membungkuk.

Cukup lama.

Kemudian melihat ratu. Ia terlihat agak ragu, tetapi kemudian memberanikan diri untuk bertanya. “Wahai sang ratu, hamba ingin bertanya, sebenarnya apa yang ada di luar sana? Di luar ekosistem kita yang repetitif?” tanya Laron #7597.

Sebetulnya, Ia pernah beberapa kali mengintip keadaan di luar sarang. Tidak seperti prajurit atau pekerja, kelas reproduktif memiliki penglihatan, meskipun agak rabun. Namun, bukan itu yang ingin diketahuinya. Ia ingin mengetahui sesuatu yang lebih luas.

Seorang prajurit di ujung ruangan melihat kejadian itu. Prajurit tersebut menganggap bahwa tindakan tersebut merupakan bukti pemberontakan. Lantas dengan wajah bersungut-sungut Ia segera melangkahkan kaki menuju Laron #7597. Baru beberapa langkah, ratu mengangkat tangannya, pertanda bahwa Ia tidak ingin diganggu. Prajurit itu patuh. Kemudian kembali kepada posisi awalnya.

Sang ratu menyunggingkan senyum. Ia kemudian menatap wajah laron tersebut lekat-lekat.

“Tidak banyak. Paling tidak begitulah dunia untuk kita bangsa rayap. Tidak ada halhal yang benar-benar berarti di luar ekosistem kita. Meskipun terjadi terus menerus, itu bukan berarti hal yang buruk, itu adalah bukti eksistensi kita bangsa rayap. Kita hanya perlu

masing-masing. Kembali bekerja. Kecuali satu, Laron #7597. Ia tak bergeming. Ia diam, kemudian berjalan beberapa langkah menghampiri ratu.

mengikuti pattern yang sama. Maka semua akan baik-baik saja” jawab sang ratu. Mereka sedang membicarakan proses keberlangsungan kehidupan.

9

Cerpen

Laron yang merupakan kelas reproduktif akan pergi ke luar sarang, mencari sumber cahaya yang terang. Itu terjadi karena mereka rabun, kemudian mereka harus mencari pasangan dalam satu malam. Ini adalah tugas yang sudah ditulis di dalam DNA mereka. Setelah mendapatkan pasangan, mereka berdua akan pergi membuat sarang dan menjadi raja dan ratu baru di koloni tersebut.

Siklus tersebut terjadi berulang-ulang selama jutaan tahun. Hal ini membuat Laron #7597 menjadi gelisah. Perasaan aneh seting menghampirinya.

Laron #7597 mendengarkan jawaban sang ratu dengan seksama.

Sangat jarang seorang laron memiliki kesempatan untuk berbicara dengan sang ratu. Tentu saja ini bukan kesempatan yang mudah untuk didapatkan. “Saya mengerti, tetapi kenapa hamba harus menjadi laron?

Kenapa semuanya sudah ditentukan?

Bagaimana dengan pilihan dan keinginan hamba? Bagaimana jika hamba ingin menjadi seorang prajurit? Kenapa pilihan tidak pernah ada di koloni ini wahai sang ratu?”

Laron #7597 mendengar jawaban tersebut dengan serius. Ini adalah jawaban normatif yang selalu dikeluarkan oleh ratu. Ia mengerti. Pada dasarnya, semua yang ada di sini adalah keturunan ratu. Ratulah yang memilih siapa yang menjadi prajurit, menjadi pekerja atau reproduktif.

Semua berdasarkan keputusan ratu. Meski begitu, Ia hanya menginginkan kebebasan. Ia tidak ingin role tersebut

Ia mau agar memilih sendiri apa yang diinginkannya. Sebetulnya, di dalam hati yang paling dalam, Ia memiliki keinginan untuk menjadi prajurit. Meski itu mustahil.

Laron #7597 sadar bahwa prajurit-prajurit penjaga yang berdiri di depan pintu sedari tadi mendelik ke arahnya. Itu pertanda bahwa Ia tidak boleh berlama-lama di tempat ini. Ia harus kembali. Jika tidak, sesuatu yang buruk akan menghampirinya.

Laron #7597 membungkuk.

Memberikan hormat yang mendalam kepada sang ratu. Kemudian, Ia berdiri dan berjalan menuju pintu keluar.

Sebelum benar-benar keluar, sekali lagi Ia membungkuk. Kemudian menutup pintu dan pergi. *** Ini adalah hari itu. Hari penentuan. Hari yang penting untuk kelas reproduktif, seperti Laron #7597.

Hari ini mereka harus keluar dari sarang dan mencari pasangan untuk melanjutkan ekosistem yang sudah ada.

Mereka tidak boleh kembali ke sarang.

Kembali adalah mati.

Pada kenyataannya, hanya 10% saja yang berhasil bertemu dengan pasangannya dan memulai kehidupan baru. Laron lainnya mati, menjadi tumbal dari ekosistem yang tidak akan pernah berhenti ini.

diberikan sebelum Ia dapat berpikir.

Cerpen

10

Laron #7597 menengadah dari bawah tanah. Ia berdiri di dekat pintu keluar dari sarang. Pintu itu selalu dijaga dengan ketat oleh prajurit. Ini sangat penting. Tidak boleh ada predator yang masuk ke sarang, apalagi sampai menyerang sang ratu. Biasanya, kelas reproduktif tidak diperkenankan untuk berdiri sedekat ini dengan dunia luar, tetapi karena hari ini adalah hari yang penting untuk mereka, prajurit mengizinkannya.

Dari jauh Laron #7597 melihat ke arah jendela yang berada persis di seberang sarangnya. Lantai dua. Itu adalah manusia. Manusia itu tampak

Sinar matahari sore perlahan meredup. Berganti dengan dinginnya malam. Cerahnya cahaya bulan seakan menuntun laron-laron muda untuk keluar dari sarang mereka dan mencari pasangan. Para prajurit berdiri tegap, kemudian salah satu dari mereka memberikan instruksi singkat. Seperti biasa, prajurit mengingatkan bahwa tujuan mereka untuk keluar sarang adalah untuk mencari pasangan.

Kemudian, buatlah keturunan sebanyakbanyaknya. Ikutilah siklus. Ajarkan nilainilai tersebut kepada keturunan kalian.

Begitu selamanya.

Laron-laron muda tersebut

terkulai. Ia menyandarkan kepalanya di atas meja. Menggunakan tangan kirinya sebagai bantal. Meski tidak pernah pergi ke dunia luar sebelumnya, Ia tahu persis apa itu manusia.

Berbagai pengetahuannya selama ini berasal dari prajurit maupun pidato sang ratu.

Semerbak aroma aneh menghampirinya. Apa ini? Laron #7597 bertanya-tanya.

Ia belum pernah sekalipun mencium aroma ini sebelumnya. Terasa asing dan memikat disaat yang bersamaan. Laron #7597 tidak bergeming. Ia terus menerus menatap manusia itu.

mengangguk paham. Laron #7597 di sisi lain, tidak bisa berhenti memikirkan aroma aneh tersebut. Ia tidak begitu tertarik dengan ekosistem dan keturunan. “Sejak aku dilahirkan, aku memang selalu seperti ini” gumam Laron #7597 dalam hati.

Prajurit membuka gerbang selebar-lebarnya. Mempersilakan laronlaron muda untuk keluar dan berpetualang.

Lantas, laron-laron tersebut langsung beterbangan dengan semangatnya, menuju sebuah cahaya lampu yang tergantung di dekat jendela gedung seberang sarang mereka.

11

Cerpen

Suara-suara rayuan terdengar

Ia menjadi sangat bersemangat

samar, bercampur dengan kepak sayap.

Durasi satu malam membuat mereka sedikit gugup.

Mencari pasangan bukanlah hal yang sederhana. Ada banyak faktor yang mereka pertimbangkan. Laron #7597 ikut larut dalam lautan tersebut. Perlu diakui, sedari tadi Ia sudah melihat berbagai macam laron betina yang sangat menarik. Mereka memikat. Laron #7597 berdiri beberapa centimeter dari lampu tersebut.

Cahaya terang tersebut membuatnya luruh. Ada rasa nyaman lain yang dirasakannya.

Seekor laron betina menghampirinya. Dia sangat memikat.

Dari semua laron yang sudah dilihatnya, barangkali inilah yang terbaik. Ia berjalan perlahan, menghampiri Laron #7597. Ia tersenyum manis. Laron #7597 merasa gembira. Ini belum tengah malam dan keberuntungannya sudah sebaik ini.

“Hai!” ujar laron betina tersebut.

“H-hai!” Laron #7597 menjawabnya dengan tergagap. Sampai hari ini, barangkali sang ratu adalah satu-satunya betina yang pernah diajaknya bicara.

Tentu saja ini adalah situasi yang berbeda.

“Aku cukup tertarik dengan mu, kau mengerti kan?” tanya laron betina tersebut. Laron #7597 kagum. Dia sangat berterus terang. Tadinya, Ia berpikir ini akan menjadi percakapan panjang.

“Aku mengerti” jawab Laron

dan mulai bercerita tentang masa depan yang akan mereka lalui. “Sudah lama aku menantikan ini. Aku sangat ingin menjadi ratu. Seperti ratu kita yang agung. Kau akan menjadi rajanya. Tentu aku yang akan memegang kekuasaan lebih.

Kemudian menghasilkan keturunan. Menciptakan koloni dan melanjutkan ekosistem ini selamanya, seperti yang selalu diajarkan ratu kita.

Dia sangat luar biasa” ujar laron betina.

Matanya berbinar-binar. Ia tampak sungguh-sungguh.

Laron #7597 tersihir dengan semua itu. Senyumannya. Caranya bicara. Apapun. Sangat luar biasa pikirnya. Barangkali ini adalah takdir yang sudah ditulis dan harus dilaluinya.

Disaat Laron #7597 terbuai dengan pikirannya sendiri, angin malam datang membawa aroma asing tersebut. Laron #7597 tersentak, seperti Doctor Strange yang keluar dari raganya. Laron #7597 memicingkan matanya, sementara laron betina tersebut masih saja bercerita.

Laron #7597 membuka matanya perlahan, menatap wajah laron betina tersebut. “Aku mengerti” ujarnya.

“Mengerti apa?” jawab laron betina dengan bingung. Keheningan terjadi selama beberapa saat. Keduanya hanya saling memandang. Laron betina itu tersenyum tulus kepada Laron #7597.

Laron #7597 melirik salah satu sayapnya, kemudian merobeknya secara

#7597, kemudian tersenyum. Laron betina tersebut tersenyum lebar, Ia terlihat sangat menawan.

paksa.

Cerpen

12

Suara jeritan terdengar jelas.

Sangat kuat dan nyaring. Itu bukan suara Laron #7597, melainkan suara laron betina yang tidak mengerti apa yang baru saja terjadi.

“Apa yang kau lakukan?

Bukankah kita akan menjadi keluarga?

Kenapa kau menyakiti dirimu sendiri?

Siapapun tolong dia!” ujar laron betina tersebut. Ia terlihat linglung. Laron-laron lain yang sibuk dengan dunia mereka masing-masing memandang laron betina tersebut beberapa saat, lantas kemudian kembali pada tujuan mereka masingmasing. Satu malam adalah waktu yang singkat. Mereka tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang di luar diri mereka sendiri. Kembali ke sarang bukan pilihan, itu sama saja mati. Maka, satusatunya cara adalah mencari pasangan dan memulai kehidupan baru.

Laron #7597 tidak peduli dengan rasa sakit yang dialaminya. “Hampir saja aku melupakan tujuanku” gumam Laron #7597. Ia kemudian berjalan perlahan, meninggalkan laron betina tersebut.

Suara isak tangis terdengar jelas.

“Kenapa kau meninggalkanku? Apa aku melakukan hal yang buruk? Aku berjanji akan membagi kekuasaan yang adil dengan mu, tolong jangan tinggalkan aku” ujar laron betina tersebut sambil memohon.

Laron #7597 sangat mengerti.

Laron betina ini memiliki sifat yang tulus.

Hanya saja, Ia tidak sanggup untuk memenuhi keinginannya. Saat ini, Ia sudah memiliki tujuan lain. Itu saja.

“Terima kasih” ujar Laron #7597.

Kemudian berbalik. Berjalan menjauhi cahaya lampu, lalu terbang menuju jendela, menuju aroma asing yang mengundangnya. *** Ia sampai di sana. Laron #7597 berdiri di jendela yang sedari tadi masih saja terbuka lebar. Angin malam berhembus santai. Laron #7597 terbang dengan hati-hati. Manusia itu masih saja tidur. Ia tidak ingin membuat gaduh dan mengganggu siapapun. Laron #7597 melihat sebuah mok antik. Warna putih polos tanpa ada gambar dan hiasan apapun. Sensasi aroma kuat yang sedari tadi mengundangnya kini tercium semakin dekat. Ia memberanikan diri untuk lepas landas di atas meja, lalu berjalan santai menuju mok tersebut.

Laron #7597 melihat pantulan bayangannya sendiri. Baru pertama kali Ia melihat warna cairan begitu pekat seperti ini. Berwarna hitam. Berbau tajam dan khas. Laron #7597 sedikit ragu, tetapi Ia sudah pergi sejauh ini, tidak mungkin kembali kepada komunitas dan bertingkah seperti tidak ada yang terjadi. Ia pun mencelupkan diri, berenang dengan bebasnya di dalam air berwarna hitam tersebut.

Sembari sesekali mencicipi keruhnya cairan tersebut, Ia merasakan sensasi yang aneh. Tidak pernah sekalipun Ia merasa adrenalinnya terpacu sedemikian kencang.

13

Cerpen

Ia merasa dapat melakukan apapun saat ini. Laron #7597 kembali mencelupkan kepalanya, meminum cairan hitam tersebut sebanyak yang Ia bisa.

“Ah, sial!” ujar Laron #7597.

Suaranya menggema. Menggelegar di seluruh ruangan. Ia tidak sadar akan hal tersebut. Lantas, Laron #7597 pun buruburu keluar dari mok tersebut. Entah karena apa, Laron #7597 merasa sangat gugup, salah satu sayapnya kembali putus dan tertinggal di dalam mok, bercampur dengan keruhnya cairan hitam pekat itu. Susah payah Laron #7597 keluar, pada akhirnya berhasil juga. Napasnya terengah-engah. Baru kali ini Ia pergi sangat jauh, kini sayapnya hanya tersisa dua buah, tidak banyak yang bisa dilakukannya. Ia tersungkur lemah di atas meja, basah kuyup dan berbau pekat.

Hoaaaammmm! Manusia yang sedari tadi tertidur tampak menguap. Ia mengucek-ucek matanya. Tangannya meraba-raba dengan malas.

Ia mengambil kaca mata dan memakainya.

Manusia tersebut menatap Laron #7597 lekat-lekat. Keheningan terjadi beberapa saat. Laron #7597 hanya bisa pasrah, tersungkur di sana dalam keadaan basah.

Manusia tersebut kembali menguap. “Kau menyukainya?” ujar manusia tersebut tiba-tiba.

Laron #7597 merasa asing. Tidak pernah terbayangkan olehnya seorang manusia akan menanyakan pendapat

tersenyum lebar. “Itu adalah kopi. Lebih tepatnya kopi Aceh Gayo” jawab manusia tersebut.

Laron #7597 mengangguk-angguk tanda mengerti. Ini pertama kalinya Ia mencoba minuman manusia. Selama ini, Ia hanya menerima apapun yang dibawa oleh kelas pekerja di sarangnya.

“Apa manusia selalu meminum kopi?” tanya Laron #7597 penasaran.

Manusia tersebut mengerutkan keningnya.

Ia berpikir sejenak.

“Bagaimana aku harus mengatakannya?

Beberapa manusia memang meminum kopi. Aku adalah salah satunya. Saya tidak bisa berpikir sebelum meminum kopi, begitulah kira-kira” jawab manusia tersebut. Laron #7597 tampak semakin bingung sekaligus penasaran.

Bagaimana mungkin seseorang tidak bisa berpikir hanya karena tidak meminum cairan berwarna hitam?

Pikirnya.

Meski begitu, Ia tidak menanyakannya.

Laron #7597 kemudian mengajukan pertanyaan lain. “Hei, apakah ada jenis kopi yang lain?” tanya Laron #7597. Manusia itu kembali tersenyum dengan ramah. “Tentu saja, ada banyak jenis kopi. Pertama kopi dibedakan menjadi arabika dan robusta.

Kopi yang kau minum tersebut adalah arabika” ujar manusia. Laron #7597 tidak menjawab, Ia mendengarkan manusia tersebut dengan saksama.

pribadi tentang sesuatu yang baru saja dicobanya. “Ya, tidak terlalu buruk.

Baunya sangat pekat. Apa ini?” tanya Laron #7597. Manusia tersebut

Cerpen

14

“Aku sendiri belum pernah mencoba semua kopi, tetapi dari yang aku tahu, ada banyak sekali ragam kopi, seperti kopi Aceh Gayo, kopi Lampung, kopi Toraja, kopi Jawa, kopi Bali, kopi Flores dan kopi Papua” ujar manusia tersebut. “Meski begitu, sebetulnya sampai saat ini aku hanya pernah mencoba kopi Aceh Gayo” tambah manusia tersebut.

Laron #7597 kembali mengangguk-angguk. Ia merasa sangat tertarik dengan manusia ini. “Hei, jika kau belum pernah mencoba kopi-kopi tersebut, bagaimana mungkin kau mengetahui jenis-jenisnya?” tanya Laron #7597 dengan wajah penasaran.

Manusia tersebut memicingkan mata, kemudian kembali tersenyum hangat. “Begini, kami manusia memiliki sebuah alat yang sangat canggih.

Namanya adalah smartphone. Kau hanya perlu mengetikkan sesuatu dan semua informasi yang kau butuhkan akan tampil” jawab manusia tersebut dengan gamblang.

Laron #7597 mendekati alat aneh yang disebut smartphone tersebut.

Ini pertama kalinya Ia melihat alat manusia. Terasa sangat berbeda dengan arsitektur tanah yang ada di dalam sarangnya. Benda ini tersusun dari materi yang tidak pernah diketahuinya.

“Aneh sekali rasanya, seumur hidup, aku mendapatkan informasi dari sang ratu.

Ratu kami mengetahui segalanya” ujar Laron #7597. Manusia tersebut hanya tertawa pelan.

“Barangkali, itu bukan hal yang perlu kau khawatirkan, lagi pula dunia yang kita lihat sangat berbeda” ujar manusia tersebut.

Laron #7597 mengangguk setuju.

Keheningan kembali terjadi.

Angin malam sesekali menggoyangkan gorden yang terpasang di jendela. Laron #7597 berpikir panjang. Ia melamun.

Memikirkan manusia yang tidak perlu meminta informasi dari sang ratu hanya untuk memuaskan keingintahuannya.

“Hei, ini tidak ada kaitannya dengan kopi, tetapi kenapa aturan ada?

Kenapa aku harus mengikutinya? Ratu terus-menerus mengatakan hal tersebut dan aku tidak mengerti” tanya Laron #7597.

Manusia tersebut menggosokgosok dagunya. Ia memicingkan mata, berpikir sejenak. “Hmm ... Tentu saja aku bukan ahli hukum, tetapi mudahnya aturan dibuat untuk menghindari konflik. Untuk menciptakan lingkungan yang aman, begitu. Kenapa harus ditaati? Tentu saja karena kau bagian dari kelompok yang lebih besar. Karena kau bagian dari sesuatu” jawab manusia tersebut, “Ah, koloni?” tanya Laron #7597. “Ya, pada kasusmu, itu disebut dengan koloni” jawab manusia tersebut.

Laron #7597 menganggukangguk tanda mengerti. Di sini, pada akhirnya dia paham, baik di dalam sarang maupun di luar sarang.

Kebebasan yang sebenarnya tidak pernah ada. Pada akhirnya, semua akan tunduk kepada sistem. Siapapun itu.

Entah rayap, entah manusia.

15

Cerpen

lama?” tanya Laron #7597. Manusia tersebut menguap panjang, menggosok matanya dan menggaruk kepala bagian belakangnya. “Bukannya aku tidak ingin berbicara lebih lama dengan mu, hanya saja, aku merasa sangat mengantuk saat ini” jawab manusia tersebut.

“Aku tidak bisa menemanimu, tetapi barangkali alat ini bisa” ujar manusia tersebut. Ia mengeluarkan smartphone-nya. “Baterainya masih dalam kondisi penuh, kau dapat menikmati berbagai macam informasi melalui platform bernama YouTube ini.

Aku dengar laron itu cenderung rabun, ini pasti akan membantumu” tambah

"Hei, lalu bagaimana dengan kasta?” tanya Laron #7597 lagi. Manusia tersebut melipat tangannya di depan dada. Ia kembali berpikir.

“Menurut pendapat pribadi ku, kasta akan selalu ada. Aku mengerti, kau pasti tidak ingin mendengar itu. Tetapi, pada prinsipnya, tidak ada yang benarbenar setara. Kau mengerti kan, posisimu dengan ratu sangat berbeda?

Begitulah, ada yang di bawah, di atas atau di tengah. Aku rasa, kita hanya perlu menerimanya. Barangkali, itulah hidup” jawab manusia tersebut.

Laron #7597 menggaruk-garuk kepalanya. Jika Ia tidak salah mengerti,

manusia itu lagi.

Laron #7597 merasa sangat terbantu. “Terima kasih. Dunia manusia memang luar biasa” ujar Laron #7597. Ia terpukau dengan perbedaan sarangnya yang sempit dan kecil dibandingkan dengan dunia manusia yang luas dan kaya. Manusia hanya tersenyum masam mendengarnya. “Aku rasa, itu tidak sepenuhnya benar, tetapi tidak sepenuhnya salah juga. Kau nikmati saja informasi yang kau butuhkan” ujar manusia. Manusia tersebut membuka aplikasi YouTube, lalu melakukan setting play video otomatis dan satu-per-satu video demi video terus bermunculan.

Laron #7597 merasa sangat takjub.

Semua informasi dan kegilaan ini belum pernah dirasakannya.

sang ratu sebetulnya memiliki kemampuan untuk menunjuk keturunannya untuk menjadi apapun yang Ia inginkan. Artinya, kehidupannya sekarang merupakan mandat langsung dari sang ratu. Sang ratu ingin agar Ia menjadi seorang laron reproduktif. Satusatunya yang tidak dipahaminya adalah kenyataan bahwa Ia tidak pernah meminta semua itu. Hari ini, Ia mendengar jawaban dari manusia. “Kau hanya perlu menerimanya, barangkali itulah hidup” ujar manusia tersebut.

Pesan ini terngiang-ngiang di kepala Laron #7597. Ia terus memikirkannya.

Suasana kembali hening. Angin malam terdengar berdesir singkat. Gelapnya malam semakin tampak, seiring menipisnya cahaya bulan yang terangbenderang.

“Hei, aku rasa aku masih memiliki banyak pertanyaan mengenai kehidupan ini, aku tahu latar belakang kita berbeda, bisakah kita berbicara lebih

Cerpen

16

Barangkali

Ratu memanglah hebat, meski

bagi

kelas

demikian ratu selalu mengulang informasi yang sama. Ia merasa sangat bosan. Informasi dari dunia manusia ini terasa seperti air yang sangat menyegarkan di tengah padang pasir yang hampa.

“Apa kau ingin aku menutup gorden dan jendela?” tanya manusia sambil setengah menguap. Sedari tadi angin malam yang dingin terus menerus menggoyangkan gorden. Laron #7597 merasa tidak perlu. Ia menggelengkan kepala. Manusia mengerti, kemudian Ia segera tidur, meninggalkan Laron #7597 yang sibuk dengan smartphone-nya.

“Bad faith occurs when we lie to ourselves in order to spare ourselves short term pain, but thereby suffer from long term psychological impoverishment.

We force ourselves to believe something which we’re not really convinced by, because it’s easier”. Suara dari speaker smartphone tersebut menggema di ruangan. Sayup-sayup terdengar suara dengkuran manusia yang sudah terjatuh dalam mimpinya. Laron #7597 benarbenar memusatkan pikirannya pada video tersebut. Ia tidak benar-benar dapat memperhatikan setiap gambar, tetapi suara yang jernih dari smartphone itu benar-benar menghipnotisnya.

Jauh lebih jelas dan menggetarkan dari suara ratu, pikir Laron #7597. Ini adalah pembahasan mengenai bad faith yang dikemukakan oleh Jean Paul Sartre.

reproduktif sepertinya, mencari pasangan dan menciptakan koloni baru merupakan pilihan yang masuk akal untuk diambil. Kembali ke sarang bukan pilihan, lagi pula, selama ini kelas pekerja selalu memberinya makan.

Mereka bekerja keras untuk itu. Laron #7597 selalu bertanya-tanya, apakah kedua kelas ini benar-benar patuh kepada ratu atau jangan-jangan, mereka juga jatuh kepada konsep bad faith.

“Aku dilahirkan untuk menjadi seperti ini”, apakah itu yang selalu ada di dalam pikiran kedua kelas tersebut? Laron #7597 bertanya-tanya.

Mengenai pilihannya ini, Laron #7597 tidak menyesalinya.

“We constantly lie to ourselves about is that we don’t have other options. We always do, but find it curiously more reassuring to say we don’t”. Laron #7597 menganggukanggukkan kepalanya. Ia benar-benar mengerti momen ini. Baru beberapa jam yang lalu hal tersebut terjadi. Terbuai oleh kesempatan untuk menciptakan sebuah koloni bersama laron betina yang sangat menarik itu. Ia bertanyatanya, bagaimana kondisinya saat ini. Ia merasa benar-benar bersalah karena sudah membuat laron betina tersebut berteriak histeris. Meski demikian, ini adalah kebebasan yang dipilihnya.

“Being precedes essence. Who we are can’t be pinned down to one

Laron #7597 menangkap konsep ini dengan cukup baik.

particular job or relationship”. Suara dari video tersebut terus menerus berbunyi.

Menyampaikan informasi demi informasi.

17

Cerpen

Di sisi lain, kelas reproduktif sepertinya harus mendengar doktrin sang ratu berulang-ulang.

Ini membuatnya bosan, harus diakui, terkadang Ia berharap agar tidak ada di dunia ini. Mendengarkan hal yang sama secara repetitif membuat Laron #7597 benar-benar jenuh. Namun begitu, kematian bukanlah hal yang muncul begitu saja di dalam pikirannya. Apakah ini berarti Laron #7597 tidak termasuk makhluk yang mengerti akan hal-hal yang mendalam dan spesifik? Ia bertanya-tanya.

“Meursault doesn’t play the game. He refuses to lie, he says what she is, he refuses to hide his feelings and so society immediately feels threatened”. Suara dari smartphone tersebut kembali menggelegar, Laron #7597 tidak terlalu paham mengenai teknologi ini. Ia membiarkannya begitu saja. Ia tidak terganggu dengan ini dan itu. Seluruh rasa fokusnya dikerahkan untuk mendengarkan informasiinformasi baru yang tidak pernah didapatkannya.

Kali ini sebuah video dari Albert Camus. Laron #7597 mengingat-ingat percakapannya selama ini. Ia sangat mengerti tentang satu hal ini. Di dalam sebuah komunitas yang kompleks, terkadang kebohongan bukan saja yang perlu, tetapi dibutuhkan. Terkadang, makhluk tidak ingin mendengar kebenaran, maka mereka dipaksa untuk masuk ke dalam kemunafikan.

Laron #7597 mulai memainkan imajinasinya. Apa yang akan terjadi jika sang ratu tahu mengenai kegiatannya hari ini?

Akankah sang ratu memerintahkah prajurit untuk menghancurkan alat ini karena Laron #7597 tidak lagi meminta informasi darinya? Dari awal, Laron #7597 tidak pernah meminta untuk menjadi laron, begitu juga kasta reproduktif. Ini terjadi begitu saja. Meski demikian, rasarasanya semua pihak selalu melihatnya sebagai tulang punggung penyebar benih dan kunci keberlangsungan ekosistem.

“One of the first signs of the beginning of understanding is the wish to die”.

Suara dari smartphone mengembalikan Laron #7597 lamunannya. Rupanya, video sudah berganti.

Ia tidak benar-benar menyadarinya. Suara dari sang narator benar-benar bagus.

Laron #7597 memujinya. Tidak seperti suara sang ratu, pikirnya. Meski demikian, Ia tetap berterima kasih atas segala hal yang sudah diajarkan sang ratu kepadanya.

Kali ini, video tersebut membahas mengenai Franz Kafka. Laron #7597 tidak pernah benar-benar berpikir untuk bunuh diri. Meski demikian, selama ini, auh sebelum pergi keluar dari sarang, Ia selalu merasa hampa. Kelas pekerja dan prajurit memiliki tugasnya masing-masing. Baginya, mereka terlihat sangat menawan. Penuh integritas dan tujuan yang jelas.

Cerpen

18

manusia dan meminum seteguk kopi Gayo Aceh. Apakah ini semua memiliki arti yang bermakna? Jika demikian adanya, bukankah artinya merasa takut untuk memilih merupakan hal yang buruk? Pada dasarnya, semua makhluk dapat melihat bunuh diri sebagai exit plan.

“Ini akan menyelesaikan segalanya”. Apakah benar demikian?

Laron #7597 memikirkan egoisme yang dilakukannya malam ini.

Pikirkan tentang kasta pekerja yang selalu memberinya makan, lalu sekarang Ia membatalkan proses penciptaan siklus yang seharusnya bisa saja terjadi jika Ia menerima ajakan laron betina itu dengan senang hati. Bukankah itu artinya Ia merampas kesempatan hidup jutaan rayap dan laron baru? Atau justru itu artinya mendatangkan mereka kepada siklus neraka yang tidak akan pernah berhenti. Laron #7597 berpikir panjang. Lama sekali. Ia menatap langitlangit. Melihat lampu berwarna putih yang sangat terang. Tidak ada kawanan laron di sana, hanya ada beningnya cahaya, gema suara dan dirinya sendiri.

Itulah yang terjadi. Kebohongan menjadi pondasi untuk beramah-taman, sebuah tradisi saling menipu yang tidak benar-benar diperlukan. Laron #7597 mengingat percakapannya dengan ratu.

Bagaimana Ia harus menjaga tata cara berbicara dan gestur tubuhnya. Semua itu dilakukannya semata-mata agar prajurit tidak marah. Terkadang, Ia bertanya-tanya apakah Ia benar-benar menghormati sang ratu? Apakah selama ini Ia selalu berbohong untuk memenuhi ekspektasi masyarakat? Masyarakat yang tidak mampu menerima kejujuran pada akhirnya melahirkan individu-individu munafik. Siklus ini berjalan terusmenerus. Laron #7597 membayangkan jika seandainya Ia menjadi seorang raja.

Apakah tradisi ini akan lahir di dalam koloninya? Pikirannya kembali melayang jauh.

“Can you no longer see a road of freedom? It’s right in front of you. You only need turn over your wrists. Suicide is always an option”. Sekali lagi, suara menggema ke seluruh ruangan. Rasanya seperti dinding-dinging putih ini ikut mengamini setiap video yang diputar secara otomatis oleh aplikasi bernama YouTube tersebut. Laron #7597 kembali dari lamunannya.

Ia benar-benar memikirkan hal ini. Mengenai konsep bunuh diri. Sebetulnya, setiap makhluk yang bernyawa dapat melakukannya jika mereka mau, lantas kenapa tidak? Pada akhirnya, semua adalah pilihan.

*** “Kringgggggggggggggggggggggg-" Terdengar suara keras yang kemudian menghilang begitu saja.

Layar smartphone tampak menghitam. Dari seberang sana, terdengar manusia menguap. Kemudian menggeliat dan merenggangkan otot-ototnya.

Ia kemudian berdiri, berjalan menuju Laron #7597.

Apakah tindakannya kali ini termasuk bunuh diri? Ia mengabaikan laron betina yang menangis terisak-isak tersebut dan justru bertemu dengan 19

Cerpen

perbedaan cahaya yang mereka bawa.

Angin subuh berubah menjadi angin pagi yang hangat.

Sedikit demi sedikit cahaya tersebut mulai menjalar menuju meja tempat Laron #7597 bertapa. Ia memejamkan mata. Sinar mentari tersebut menjilati tubuhnya perlahan-lahan.

Seluruh cairan di dalam tubuhnya mendidih. Memanas dan mongering dengan cepatnya. Kepalanya terasa sangat panas, nanar dan terbebani.

Entah matahari yang semakin agresif atau bagaimana, Laron #7597 tidak lagi dapat merasakan koneksi terhadap kedua sayapnya.

Perlahan-lahan kesadarannya mulai menipis.

Matahari tampak tidak bersahabat, berbeda dengan lampu yang bijak. Di ujung kesadarannya, Laron #7597 bergumam pelan, “Sampai aku terbakar habis”. Kegelapan total menghampirinya, membuat matanya yang sedari tadi telah memicing melihat apa itu gelapnya gelap. Angin pagi yang bercampur dengan hangatnya cuaca hari ini membawa Laron #7597 pergi.

Seakan matahari dan angin merasa bersalah dan mengantarnya menuju belahan lain dari dunia ini. “Sampai aku terbakar habis” ujar manusia mengulanginya. Melihat Laron #7597 kini tengah menikmati petualangan barunya.

"Kau benar-benar menyukai alat ini?

Berapa banyak video yang sudah kau lihat?” ujar manusia tersebut sambil setengah menguap. Laron #7597 yakin sudah pernah melihat ini sebelumnya.

“Aku tidak tahu, aku berhenti menghitung setelah menonton empat video. Pikiran ku tidak lagi ada di dalam ragaku, aku merasa seperti itu. Aku tidak mampu mengendalikannya” jawab Laron #7597. Manusia tersebut hanya tertawa.

“Aku mengerti, terkadang aku merasakan hal yang sama. Aku terpancing dan tanpa sadar waktu sudah berjalan lama sekali” ujar manusia tersebut.

Keheningan terjadi sejenak. Suara angin subuh membawa rasa dingin yang lain daripada malam. Manusia tersebut mengatupkan kedua tangannya. Ia merasa kagum dengan Laron #7597 yang tidak beranjak dari tempat tersebut. “Hei, apa kau ingin aku menutup gorden dan jendelanya?” ujar manusia itu lagi. Sekali lagi, Laron #7597 merasa sudah pernah mendengar ini sebelumnya. Ia hanya menggelengkan kepala. Manusia itu mengerti. Kemudian, Ia mengambil kursi, membalikkannya, menyandarkan kedua tangan di atas sandaran kursi, lalu meletakkan dagunya.

Matahari pagi mulai terbit. Sinarnya perlahan-lahan mulai tampak. Ruangan ini terasa lebih cerah dari sebelumnya.

Rasanya seperti matahari berusaha mempermalukan sang lampu mengingat

Cerpen

20

Inspiration of The Month Oleh: Nisa Ramadan Setianingrum

di lantai. Bungkus sari roti yang ia makan dua hari lalu, ikut berkumpul bersama tisu-tisu yang mengenaskan tersebut.

Batinnya mengumpat setiap mengingat hari itu. Hari dimana ia dipermalukan di depan banyak orang.

Hari pertamanya kerja, namun malah menjadi trauma.

Bos itu sudah gila.

Mempermainkan seorang perempuan berusia dua puluh tahun ini dengan kejam. Awalnya, Trisa, nama perempuan itu- sudah pesimis tidak diterima di perusahaan jurnalistik tersebut, karena memang ia belum memiliki pengalaman kerja, namun dengan brengseknya pria itu mengangkatnya menjadi editor in chief, untuk dipermalukan dan dipecat di hari pertama bekerja.

Bodoh, ucap Trisa kesekian kalinya. Kenapa Trisa sama sekali tidak curiga ketika ia ditempatkan di posisi tersebut. Tentu saja itu termasuk jabatan yang tinggi. Butuh bertahuntahun bagi seseorang agar bisa mendapat jabatan tersebut. Namun, dengan mempercayai baiknya takdir dan nasib, Trisa malah dipermalukan keadaan.

T

iga hari sudah berlalu sejak kejadian tak mengenakkan terjadi pada seorang perempuan yang saat ini sedang tidur telungkup di sebuah ranjang.

Keadaannya sungguh mengenaskan.

Kasur busa di atas ranjang besi minimalis yang ia tempati sudah tak karuan. Sprei menggulung di bawah kakinya, selimut menjuntai ke lantai, sarung guling sudah lepas dari benda panjang empuk tersebut.

Wajah yang biasanya terpoles make up, kini sudah tak karuan. Lipstik yang ia oles ke bibirnya tiga hari yang lalu, masih samar-samar terlihat. Blush on pink di pipinya kini mewarnai hampir keseluruhan pipi. Jangan lupakan pula kemeja putih yang awalnya dimasukkan ke rok span selutut, kini telah keluar, seolah ikut merasakan sesak di sana.

Tak cukup sampai disitu, bagian bawah ranjangnya lebih tidak karuan.

Tisu bekas ingus dan air mata berceceran 21

Cerpen

Tangis dan jeritan itu kembali

Langit terlihat mendung, namun

keluar dari bibir yang tadinya terisak. Jika seperti ini terus, Trisa pasti akan gila.

Mengingat wajah orang-orang yang mengolok dan merendahkannya, sampai memandang jijik ke arahnya. Fix, Trisa menandai perusahaan itu sebagai perusahaan para berandal.

Bunyi perut menginterupsi tangisannya. Meringis karena perut yang kosong memberontak semakin menjadi.

Mencoba bangun dari posisi telungkup, kini Trisa duduk bak zombie yang tidak makan satu tahun. Rambutnya sudah seperti reog yang siap melakukan atraksi di lapangan. Membuka mata lebih lebar, perempuan itu mengambil ponselnya, 15.00, sudah sore ternyata.

Membuka aplikasi Go-Food di ponsel, sembari memilih makanan yang kira-kira masih sanggup dibeli berdasarkan sisa uang di kantongnya, Trisa membeli paket ayam geprek level satu untuk mengisi perut. Setelah makanan terpesan, niat untuk membuka aplikasi Whatsapp pun terurungkan setelah melihat notifikasi di pop up layar.

Membuang ponsel ke belakang, Trisa duduk melorot ke lantai sambil mengulas senyum, yang malah terlihat mengerikan. Mengapa juga channel youtube jurnaliskita mengupload video baru? Ah tidak, maksudnya, kenapa Trisa tidak unsubscribe channel itu terlebih dahulu?

Dan ya, lagi-lagi Trisa mengumpat disela senyum

mau tidak mau, Trisa harus keluar dari kamar kosannya untuk pergi ke bank, demi kelangsungan hidup. Sepanjang perjalanan, Trisa memikirkan sisa saldo di rekeningnya yang mungkin tidak cukup untuk seminggu ke depan.

Menunduk, Trisa kesal karena kepalanya berdenyut memikirkan akhir dari hidupnya.

Berjalan sejauh enam ratus meter, Trisa akhirnya sampai di bank.

Mengantri di urutan ketiga, ia dikejutkan dengan tepukan di bahunya. “Mbak, maaf saya boleh duluan?” Tanya seorang lelaki yang sepertinya seusia dengannya, sambil menunjuk posisi Trisa saat ini.

Trisa sebenarnya kesal, sambil mencebikkan bibir, ia mempersilahkan dengan cara menggeser tubuh ke kanan. Tenang saja, cebikan bibirnya tidak terlihat karena saat ini memakai masker.

Berdiri di belakang lelaki itu, Trisa mengernyitkan kening melihat kerepotan yang terjadi di depannya.

Lelaki itu sesekali membenarkan tas ransel di pundak kanannya, berganti dengan tote bag di pundak kirinya. Tak hanya itu, keranjang di tangan kanan dan setumpuk kertas di tangan kirinya juga semakin membuatnya menjadi pusat perhatian. Seperti orang pindahan antar provinsi, batin Trisa.

Masih punya hati nurani, Trisa pun menepuk pelan lengan lelaki

mengerikannya.

tersebut hingga menoleh ke arahnya. ***

Cerpen

22

Trisa bernapas lega ketika kendaraan beroda dua yang ia tumpangi memelankan lajunya. Dengan sekuat tenaga, Trisa menginjakkan kaki ke tanah dengan hati-hati, seraya memberi energi pada bahu dan punggungnya agar kuat menopang tas ransel yang sepertinya berisi beton. Sedikit limbung, Trisa akhirnya dapat berdiri tegak dengan kedua tangan yang terisi penuh.

Ya, tidak salah lagi, Trisa masih bersama lelaki yang ditemui di bank tadi, sampai lokasi ini. Dan ya, Trisa masih membantu lelaki tersebut sampai detik ini. “Bayaranku mahal, Bara” ucap Trisa dengan nada rendah yang memicu tawa lelaki yang berjalan ke arahnya setelah selesai memarkirkan motor.

“Tenang Trisa, nanti seporsi bakso siap jadi buah tangan kamu.”

Ujarnya santai sambil mengambil alih ransel super berat di punggung Trisa.

Trisa berjalan di belakang Bara, mengikuti langkah lelaki tersebut. Mulai dari jalan becek, gang sempit, hingga jalan menanjak yang membuat Trisa beristighfar di sepanjang jalan. Trisa tidak menanyakan kemana tujuan lelaki ini, karena itu bukan urusannya, siapa tahu Bara ingin menemui kekasihnya yang selama sewindu tidak bertemu. Itu privasi, bukan?

“Sampai.” Trisa mendongak kala Bara berseru dengan riang. Mengangkat kepala yang sedari tadi menunduk melihat jalan, kini Trisa disuguhkan dengan pemandangan anak-anak kecil yang berlarian menuju Bara. Panggilan dari segala penjuru meneriakkan nama

“Iya mbak, kenapa? Plis, jangan suruh saya kembaliin posisi mbak ya, saya terburu-buru.” Ujar lelaki itu sambil memohon.

Trisa menggelengkan kepala cepat lalu berkata “Nggak, mas. Cuma tanya masnya butuh bantuan tidak?

Sepertinya, barangnya cukup banyak.”

Trisa menekan kata cukup dengan jelas.

“Alhamdulillah, akhirnya ada yang peka.” Ucap lelaki tersebut mendramatisir. “Tahu nggak mbak? Saya tuh nungguin ada orang yang menawarkan diri membantu saya.”

Lanjut lelaki tersebut sambil menyerahkan setumpuk kertas di tangan kirinya kepada Trisa.

“Saya senang kalau ada yang mau membantu dengan sepenuh hati.”

Tangan Trisa semakin berat ketika ransel di pundak kanan lelaki tersebut beralih ke pundak kiri Trisa.

“Kalau gini kan, saya bisa fokus ambil uangnya.” Dan tas keranjang ikut beralih ke samping badan Trisa.

“Makasih ya mbak, bentar doang kok, nitip ya, saya percaya mbak akan jagain barang saya.” Pungkasnya lalu masuk ke ruangan kecil tempat penarikan uang tunai, meninggalkan Trisa yang memelototkan matanya dengan badan membatu. Ya, sekarang ia bukan lagi seperti orang pindahan, tapi seperti orang yang diusir dari rumah karena hamil duluan. ***

yang sama, Kak Bara. Tanpa sadar, rasa 23

Cerpen

kesal

yang

dari

tadi

Seperti saat ia SMK dulu, ketika menjuarai berbagai lomba kepenulisan.

Trisa tidak tahu apa yang dilakukannya kemarin, hingga hari ini dikejutkan dengan dunia baru yang lebih indah.

Trisa sangat suka mengarang, menulis, membaca, dan menulis bait lagu ataupun quotes. Trisa pikir, puluhan sertifikat perlombaannya dapat membantunya mencari kerja di perusahaan. Jujur, saldo di rekeningnya kebanyakan dari hadiah perlombaan yang ia ikuti. Oleh karena itu, ketika ia diterima di perusahaan jurnalistik, ia begitu senang, namun langsung jatuh ketika tahu ia dipermainkan. Mengapa juga Trisa harus mengingat kejadian itu lagi?

Lamunan Trisa terinterupsi oleh sebuah pesawat kertas kecil yang menabrak pipi sebelah kirinya. Sedikit terkejut, namun langsung tertawa ketika melihat seorang anak laki-laki yang ia duga sebagai pemilik benda itu lari terbirit-birit setelahnya. Trisa pun memungut mainan cilik itu. Berniat menerbangkan lagi, namun terurungkan ketika melihat sederet kalimat disana.

“Hai kakak cantik, kata Kak Bara, kakak namanya kak Trisa. Makasih udah mau main di tadika. Jangan benci Kak Bara, ya. Dia emang ngeselin, tapi baik kok.

Sama kayak abangku.” Trisa tertawa pelan seusai membaca tulisan yang masih terlihat berantakan tersebut.

“Aldo nulis apa? Pasti ngomongin aku

menggelendot

berubah menjadi antusias.

Sudah hampir setengah jam mereka disini. Selama tiga puluh menit, Trisa telah paham mengenai Pondok Tadika, ruang baca yang Bara adakan sejak dua tahun yang lalu. Bara mendekati Trisa dan ikut duduk di kursi panjang yang sama. Napas lelaki itu masih ngos-ngosan setelah mengangkat dan menata barang yang ia bawa tadi.

“Akhirnya, selesai juga.” Bara membuka suara setelah beberapa saat. “Jadi ya gitu, tiap tiga hari sekali aku kesini, ngurus tadika. Ngajarin anak-anak baca dan mengembangkan bakat literasi mereka. Kebetulan juga aku kuliah di sastra, jadi ini semua murni karena hobi.” Bara menyerahkan sebotol air mineral kepada Trisa.

“Miris Sa, lihat anak-anak kelas tiga SD bahkan ada yang kelas dua SMP belum bisa baca. Apalagi di kondisi pandemi kayak gini, banyak banget tantangannya. Terlebih anak-anak yang ikut nenek atau kakek, pasti kurang perhatian tentang pelajaran dan teknologi.” Trisa menganggukkan kepala tanda paham. “Dengan adanya tadika ini, mereka senang. Bermain sambil belajar.

Mengasah kemampuan baca dan literasi mereka. Sangat menyenangkan.” Ujar Bara lalu pamit dan berdiri menghampiri seorang gadis cilik berambut sebahu yang sedari tadi memanggilnya.

Jujur Trisa ikut senang melihat

kan?”

Suara itu membuat mengalihkan pandangannya dari

kegembiraan ini. Dunia kepenulisan dan jurnalistik yang sebelumnya ingin ia enyahkan, menyembul lagi keluar.

Cerpen

24

Trisa

Bara sambil meringis. “SM tuh Secret Massage terus IOTM tuh Inspiration of the Month. Hal ini menurutku efektif banget buat nerima kritikan dan saran dari anak-anak sama cara untuk menumbuhkan inspirasi mereka.”

Seru, batin Trisa bergejolak senang. Ia ikut tak sabar dan antusias melihat anak-anak yang kini berjalan untuk kembali berkumpul. Dua puluh lima menit berlalu, dan Trisa sangat menikmatinya.

“Oke, selesai.

Ayo semua kumpul.”

Teriak Bara sembari membenturkan dua botol kosong di tangan kanan dan kirinya.

Anak-anak pun langsung mendekat dan menuju dua lembaran karton yang tergelar di tikar, kemudian menempelkan sticky note mereka disana.

Tenang, karena Bara memberi arahan kepada anak-anak untuk menulis di balik sticky note yang terdapat lem, jadi semua tulisan tidak terlihat. Setelah selesai, Bara menggulung pelan kartonkarton tersebut dan menyerahkan satu untuk Trisa. Trisa agak terkejut saat menerimanya dan melihat namanya tertulis di karton itu. Namun segera terenyahkan ketika anak-anak mengatakan untuk membaca semua dengan pelan-pelan. Trisa terharu, sungguh, dia tidak jadi gila kalau seperti ini.

pesawat kertas yang kini telah berbentuk seperti semula. “Enggak kok, bukan apaapa.” Jawab Trisa sambil tertawa geli.

Mata Bara memicing “Nah kan, kebiasaan nih anak-anak.” Kesalnya sambil melipat kedua tangan di depan, namun posisi itu hanya bertahan beberapa detik, setelahnya tubuh itu menjadi condong ke arah Trisa yang tentunya membuat si perempuan sedikit terkejut dan memundurkan badan. “Hari ini ada yang spesial lho. Agenda sebulan sekali. Beruntung banget kamu hari ini.”

Bara menjeda ucapannya tatkala melihat jam tangan “Ayo, kita ke tengah halaman.” Ajak Bara dan beranjak ke halaman tadika yang lumayan lapang.

“Adik-adik semua, tolong dengerin Kak Bara sama Kak Trisa bentar ya. Jadi seperti agenda bulan-bulan sebelumnya, kita akan adakan SM dan IOTM. Waktunya tiga puluh menit, kalau sudah selesai, berkumpul lagi disini, oke?” Papar Bara dengan semangat.

Semua langsung bersorak senang, berlari ke pinggir kanan halaman untuk mengambil sticky note warna-warni yang tadi dibeli Bara, dan berpencar menyendiri. Trisa kebingungan, agenda apaan ini? SM IOTM? Misi rahasia?

“Bara, agenda apa sih ini?” Tanya Trisa penasaran sembari membuntuti Bara yang kini mengatur alarm pada jam tangannya.

“Ah ini tuh cuma nulis pesan sama inspirasi apa yang anak-anak dapat

***

selama satu bulan ini. So simple. Ingat waktu MOS SMA dulu? Nah hampir kayak gitu, tapi bukan surat cinta loh ya." Jelas 25

Cerpen

"Maaf, saya titip ini ke Aldo, adik saya. Saya sangat menyesal atas kejadian yang tidak megenakkan dua bulan lalu.

Begitu kekanakan. Saya sungguh minta maaf dengan tulus. Dan, terimakasih telah memberi banyak motivasi pada Aldo.

Sampaikan juga kepada Bara. Saya janji akan membuka lebar pintu kantor saya untuk anda. Maaf sekali lagi.” Trisa berdesis.

Memaafkan memang mudah, namun melupakan adalah hal mustahil yang dapat Trisa lakukan. Kembali ke tempat jahanam itu katanya? Tidak, terimakasih. Itu hanya akan menambah trauma bagi Trisa.

Trisa membuka kamar kosannya dengan gembira sambil memegangdua gulungan karton di tangannya. Ia tak sabar membaca surat dari anak-anak.

Sudah dua bulan ini, ia kembali dengan riang ketika memeluk gulungan karton.

Membaca pesan sangat menyenangkan dan menghibur baginya.

Lembaran pertama yang dibaca Trisa cukup mengejutkan, tulisan tegak bersambung yang sepertinya sengaja dibuat sulit untuk dibaca, menarik perhatian Trisa. “The moon is beautiful, isn’t it?” Trisa pun menghela napas kasar dan menggeleng kepala pelan.

Siapa coba yang mengajari anak-anak

Mencoba mengenyahkan, Trisa kembali membaca SM dan IOTM yang lain. Ia bersyukur bisa memberikan inspirasi dan motivasi anak-anak dalam dunia literasi, for this month and in the future.

menulis kata gombalan seperti ini? batinnya.

Tawa, haru, terenyuh, bangga, dan ekspresi lain Trisa keluarkan selama membaca sticky note dari anak tadika.

Namun, baru kali ini Trisa merasa marah dan kesal ketika membaca satu sticky note diantara puluhan yang lain. Tanpa sadar, tangan kanannya meremas pelan kertas kecil tersebut dan menjatuhkannya ke bawah ranjang.

Cerpen

26

Eira yang Malang Oleh : Annisa Nurba Iffah'da

Hal itu membuat kepalanya dipenuhi dengan banyak ide.

Dering ponsel mengacaukan konsentrasi Kara. Gadis berambut panjang itu menerima panggilan telepon, lalu meletakkan ponsel di atas meja dan mengaktifkan pengeras suara.

“Ada apa, Wil?” tanya Kara sembari menguncir rambutnya.

“Kau sudah makan? Atasanku memberi dua kotak piza. Kau mau?” tawar Wili, teman sekolah Kara yang kini bekerja di salah satu perusahaan media sebagai penyiar.

“Tentu! Aku belum makan sedari pagi.”

Tidak lama setelah panggilan telepon terputus, Wili datang dengan dua kotak piza. Satu kotak pizza dia berikan untuk Kara, dan satu kotak lainnya masih berada di dalam kantung plastik untuk dibawanya pulang.

K

ara menutup laptopnya, lalu beranjak dari kasur. Dia menatap dirinya di cermin. Rambutnya acak-acakan, wajahnya kusam, dan baju tidur masih melekat di tubuhnya meski hari sudah siang.

Gadis yang tinggal di rumah susun itu mulai meraih selembar kertas dan satu buah pena dari atas meja.

Sebelum membuat coretan hitam di atas kertas putih itu, dia menatap rak buku yang sudah kelebihan muatannya.

Beberapa buku koleksi Kara tergeletak begitu saja di atas lantai, kasur, meja,

“Kamar ini selalu berantakan.

Kau benar-benar betah ternyata.”

Kara hanya mengangguk, mulutnya dipenuhi dengan pizza. Atmosfer kamar

dan kursi. Bahkan, posisi rak buku itu miring ke kiri karena salah satu kakinya patah. Untungnya lemari baju kuat

ini membuatku terus bermalasmalasan,” ucap Kara setelah mulutnya kosong.

menahan rak itu agar tidak roboh.

Kara mulai menulis di kertas putih itu. Belakangan ini, dia melewati hari harinya hanya dengan menonton film.

27

Cerpen

Wili mengangguk paham. “Ada yang bisa kubantu?”

“Aku perlu riset sebelum menulis. Kalau kau senggang, mungkin kau bisa temaniku untuk mengunjungi tahanan kriminal, membeli beberapa buku tentang kriminal, dan mencari laboratorium forensik yang bisa dikunjungi.”

Wili menganga mendengar kalimat yang dilontarkan Kara, “sedetail itu? Kau mau membuat cerita fiksi atau menulis sebuah berita? Bahkan penulis berita saja tidak sampai harus mengunjungi tahanan kriminal ketika menulis berita tentang kriminal.”

“Ya, karena aku bukan penulis berita.”

“Sepertinya untuk mengunjungi tahanan kriminal dan membeli buku, kau bisa lakukan sendiri tanpa harus kutemani. Aku seorang penyiar, waktuku tidak sebebas penulis sepertimu.

Tentang laboratorium forensik, mungkin aku bisa membantu,” ucap Wili.

Kara menunggu Wili melanjutkan kalimatnya, dia terlihat sangat tertarik dengan hal ini.

“Aku pernah mewawancarai tim forensik. Salah satunya Ocha, kami berteman sampai hari ini. Nanti akan aku coba hubungi.”

Sembari menunggu kabar dari Wili terkait laboratorim forensik, Kara mengunjungi tahanan kriminal dan membeli beberapa buku tentang kriminal seorang diri.

Wili menjentikkan jari, “itu dia!

Kau harus merapikan kamar ini.

Bagaimana laki-laki bisa tertarik kalau tempat tinggalmu berantakan sekali.”

Kara mengerutkan dahinya, “apa hubungannya?! Padahal kau yang selalu bilang jangan bawa laki-laki ke dalam rumah, tapi kau baru saja bilang kalau tidak ada laki-laki yang tertarik denganku jika tahu keadaan tempat tinggalku. Apa bedanya dengan memperbolehkannya masuk?”

Wili menghela napas panjang, “bukan begitu maksudku.”

“Ini tidak akan kupermasalahkan karena kau membawakan piza. Jangan pernah membicarakan laki-laki lagi sampai kau sudah menikah dengan pacarmu nanti.”

Wili tertawa geli, “aneh. Tidak boleh membicarakan laki-laki, tapi sudah dua puluh buku yang kau tulis tentang laki-laki.”

“Dua puluh satu,” koreksi Kara.

Kara menuangkan air putih dari teko ke gelas kaca. Gelas berisi air putih yang ada di tangan kanannya ia letakkan di atas meja, tepatnya di depan Wili duduk.

Satu gelas lainnya ia minum.

“Bicara tentang buku, sepertinya bukuku selanjutnya tidak akan membicarakan tentang laki-laki lagi,” ucap Kara.

“Hanya karena ucapanku tadi?”

“Bukan,” jawab Kara sembari menggeleng. “Beberapa hari terakhir aku menonton film tentang kriminal.

Kepalaku penuh sekali dengan itu,” lanjutnya.

Cerpen

28

"Dia tidak melewati laboratorium forensik. Aku tidak enak hati kalau menyuruhnya menjemputku sejauh itu.”

Kara dan Wili berhenti di persimpangan jalan setelah Wili menerima pesan dari pacarnya untuk menunggu di sini. Gadis kecil yang tengah berjalan dengan kantung plastik di tangan kirinya itu menarik perhatian Kara.

“Dik, kenapa jalan sendirian malam-malam?” tanya Kara. Gadis kecil itu tersenyum dan sedikit menundukkan kepalanya, “disuruh nenek beli telur sama mi instan di warung.”

Kara merogoh tasnya dan mengeluarkan satu bungkus roti, “ini ambil,” ucapnya sembari menyodorkan satu bungkus roti kepada gadis kecil itu.

Tanpa ragu, gadis kecil itu mendekat dan menerima roti pemberian Kara.

“Roti dari mana, Ra?” tanya Wili setelah gadis kecil itu mengucapkan terima kasih dan berjalan pergi.

Bukannya menjawab, Kara justru menimpanya dengan seruan, “Wil, lihat itu!”

Wili menyamakan pandangannya dengan apa yang dilihat oleh Kara.

Mereka bisa melihat dari kejauhan ada seorang pria menghampiri gadis kecil itu. Namun, fokus mereka buyar ketika mendengar klakson mobil pacarnya Wili.

Setelah Wili dan pacarnya pergi, Kara kembali melihat ke jalan dengan maksud ingin kembali melihat gadis kecil itu. Akan tetapi, gadis kecil itu

Saat mengunjungi tahanan kriminal, dia banyak mencatat dan mengabadikan beberapa ruangan dengan kamera ponselnya. Tidak hanya itu, Kara berhasil mewawancarai beberapa tahanan dan merekamnya.

‘Besok sore kosongkan waktumu untuk bertemu Ocha.’

Membaca pesan dari Wili, Kara melempar buku yang tadi ia baca ke sembarang tempat dan berteriak tanpa suara. Karya kali ini akan sangat menakjubkan, pikirnya. Dia sangat tidak sabar menanti hari esok.

“Menggunakan blazer hanya untuk bertemu Ocha?” tanya Wili setelah mendapati Kara dengan setelan rapi layaknya pekerja kantor saat membukakan pintu untuknya.

“Kesan pertama menentukan langkah selanjutnya,” jawab Kara santai.

Pertemuan pertama antara Kara dan Ocha terasa begitu cepat. Ocha harus pulang ke rumah setelah mendapati kabar bahwa anaknya yang berusia dua tahun sakit. Ditambah lagi, Wili harus kembali ke kantor untuk siaran. Sebenarnya Kara sudah sempat melihat beberapa ruangan yang ada di laboratorium forensik. Namun, ia masih butuh banyak penjelasan mengenai ruangan itu.

“Kau hubungi saja sendiri kalau mau datang ke sana lagi. Sudah minta nomor ponsel Ocha, kan?” tanya Wili setelah turun dari bus.

sudah hilang dari pandangannya.

“Sudah.

Tapi kenapa kau menyuruh pacarmu untuk menjemput di rumahku?”

29

Cerpen

Kara tersontak kaget ketika melihat wajah korban belum sepenuhnya tertutup kain.

“Dia gadis kecil…,” ucap Kara sembari menutup mulutnya dengan kedua tangannya.

“Kenapa, Ra? Kau mengenalinya?” tanya Ocha.

“Tidak. Aku pernah bertemu dengannya secara tidak sengaja di jalan bersama Wili. Aku sempat menawarinya roti. Setelah itu, aku melihat seorang pria menghampirinya,” ucap Kara terbata-bata. Gadis dengan rambut dikuncir satu itu masih tidak percaya dengan apa yang baru dia lihat.

Ocha menatap Kara, “kau bisa menjadi saksi,” ucapnya.

Beberapa minggu kemudian, Kara dan Wili bersaksi di pengadilan atas tindakan pembunuhan. Seorang pria yang menghampiri gadis kecil itu pada malam kejadian, ditetapkan sebagai tersangka. Polisi masih mencari bukti-bukti yang kuat untuk menetapkan pria itu sebagai terdakwa.

“Aku sama sekali tidak membunuhnya. Aku hanya mencuri satu bungkus roti dari gadis itu,” ucap pria itu dalam pembelaannya.

Ocha sebagai tim forensik memberi kesaksian, “gadis itu sudah memakan rotinya.”Lalu, Kara dan Wili dipersilakan untuk menceritakan apa yang terjadi pada malam itu oleh jaksa.

Kara mulai menceritakan apa yang terjadi tanpa dilebih-lebihkan.

Dua hari setelah malam itu, Kara kembali ke laboratorium forensik tanpa ditemani Wili untuk melanjutkan risetnya. Ocha mengenali satu per satu kegunaan dari ruangan dan alat yang biasa digunakan saat melakukan autopsi.

Kara menyimak dengan baik bahkan dia tidak lupa untuk mencatat bagian-bagian penting dari penjelasan Ocha.

Tiba-tiba sirine ambulan terdengar. Ocha langsung bergegas menghampiri. Sedangkan Kara terus mengekori Ocha.

“Ra, sepertinya akan dilakukan autopsi. Ada pasien yang baru datang.

Kau bisa tunggu di sini?” ucap Ocha.

“Apakah aku bisa ikut?”

“Tidak, ini akan menyalahkan prosedur.

Nanti akan kujelaskan langkah-langkah dalam autopsi jika kau perlu dalam risetmu.”

“Aku tidak akan mengacau, sungguh. Anggap saja aku patung. Aku tidak akan bertanya, aku tidak akan memotret apa pun, aku tidak akan menceritakannya pada siapa pun,” ucap Kara.

“Maaf, Ra. Aku harus menaati peraturan yang ada.”

Kara mengikuti perintah Ocha untuk menunggu di ruang tunggu.

Sampai berjam-jam lamanya, Kara tetap menunggu sampai Ocha keluar dari ruangan autopsi.

“Kenapa dilakukan autopsi, Cha?” tanya Kara.

“Diduga korban pembunuhan.

Aku tidak bisa menceritakan semuanya karena bersifat rahasia.”

Cerpen

30

Kami sempat melihat ada seorang pria menghampiri gadis itu. Fokus kami teralihkan ketika pacarku datang. Aku benar-benar merasa bersalah karena waktu itu aku langsung pergi begitu saja.

Aku buru-buru pergi karena aku harus melanjutkan pekerjaanku. Seharusnya kami mengecek gadis itu terlebih dulu setelah mendapati seorang pria menghampirinya. Aku sangat merasa

Saya menyuruhnya karena saya harus menanak nasi. Gadis yang malang.”

Suara nenek Eira terdengar dengan jelas di ruangan ini. Dia menangis tak karuan di depan Ocha. Aku dan Wili turut membantu untuk menenangkan.

Kara menitipkan tasnya pada Wili sebelum dia pergi ke toilet. Setelah membuang air kecil, penulis itu kembali.

Wili menatapnya penuh dengan kecurigaan. Kara, sebagai objek yang ditatap Wili, terlihat kebingungan.

Tasnya yang berada di pangkuan Wili tidak tertutup seperti pertama kali ia titipkan.

“Ini bisa menjadi bukti!” pekik

bersalah ketika mengingat bahwa ada nyawa seseorang yang lebih penting daripada pekerjaanku,” ucap Wili.

“Kami menemukan pisau berlumuran darah di pembuangan sampah. Darah yang ada di pisau adalah milik Eira, korban pembunuhan. Tapi kami sama sekali tidak menemukan sidik jari yang tertinggal pada pisau itu.

Dugaan sementara adalah pelaku menggunakan sapu tangan atau kain untuk melapisi gagang pisau sebelum menggunakannya,” jelas seorang perempuan yang mengenakan seragam polisi.

Sidang ditunda sampai empat jam ke depan. Kara dan Wili masih belum beranjak pergi dari kantor pengadilan.

“Saya benar-benar menyesal memaksa Eira untuk pergi ke warung pada malam itu. Kami sempat beradu mulut karena dia terus-menerus menolak.

Wili sembari memegang buku catatan Kara di tangan kanannya.

Ocha yang masih berada di ruangan itu langsung menghampiri Wili, “ada apa, Wil?” “Dia menuliskan semuanya di sini!” ucap Wili menunjuk Kara.

Kara kebingungan, “maksudmu apa, Wil? Risetku? Aku memang menuliskan semuanya di sana. Apa yang kau permasalahkan?”

“Kau pembunuh! Kau yang membunuh gadis kecil itu! Kau membunuh Eira!” pekik Wili.

Karena hal itu, Kara yang awalnya datang sebagai saksi, kini dirinya ditetapkan sebagai tersangka.

“Bagaimana bisa sebuah catatan dijadikan barang bukti atas tindakan pembunuhan?

Aku penulis.

Aku memang sedang melakukan riset terkait kriminal dalam tulisanku. Jelas-jelas pria itu yang membunuhnya!

Kara juga mengatakan alasan dirinya memberi sebungkus roti pada gadis kecil itu karena keramahan gadis itu saat menjawab pertanyaan yang dilontarkan olehnya.

“Yang diucapkan Kara benar.

31

Cerpen

Untuk

apa

orang

dewasa

ucap

mencuri

ucap Kara.

“Saudari Kara, status Anda sebagai tersangka berubah menjadi terdakwa atas tindakan pembunuhan,”

Cerpen

jaksa.

Berita

mengenai

kasus

pembunuhan Eira beredar luas di berbagai media pemberitaan. Kara adalah penulis yang sangat digemari para remaja. Tentu saja hal ini membuat para pembacanya berubah menjadi membencinya.Selain karena namanya yang memang sudah besar, Kara menjadi sorotan publik setelah video pengakuannya tersebar.

Di dalam video itu dia mengatakan, “aku melakukannya tanpa sengaja. Pada saat aku berjalan pulang, aku melihat gadis itu menangis di jalan.

Aku hampiri. Dia mengaku roti yang kuberikan sebelumnya telah dicuri oleh seorang pria. Gadis itu menangis bukan karena roti yang dicuri, tapi dia ketakutan karena diancam. Kebetulan sekali, ada satu roti lagi di dalam tasku.

Tanpa berpikir panjang, aku langsung menyuruhnya untuk makan itu.

Menyaksikannya makan roti, pikiranku menjadi liar. Aku berniat membelikan roti lagi untuknya supaya bisa dibawa pulang. Seperti yang kukatakan tadi, saat itu pikiranku menjadi liar. Bukannya roti yang kubeli, aku membeli pisau.

Wili, kau membantu risetku sampai akhir. Tapi sayangnya risetku menjadi kacau lantaran seorang polisi itu!

Teruntuk para pembacaku, aku ingin menyampaikan permintaan maaf karena karya yang menakjubkan ini terpaksa ditunda.”

sebuah roti dari anak kecil?!” ucap Kara dalam pembelaannya.

“Dalam empat jam terakhir, polisi menemukan satu barang bukti baru di TKP. Sebuah pena yang hampir terkubur.

Setelah diselidiki, pena itu milik tersangka Kara,” ucap jaksa.

“Hanya karena sebuah pena?!

Yang benar saja! Aku setiap hari melewati jalan itu! Bisa saja penaku tidak sengaja terjatuh!” ucap Kara kesal.

“Kami masih sedang dalam pencarian barang bukti lainnya. Fokus kami adalah mencari sapu tangan atau kain yang digunakan sebagai alas penutup gagang pisau,” ucap polisi.

Kara menyeringai.

“Apa yang membuat Anda lucu, saudari Kara?” tanya jaksa.

“Sudah berapa lama kau bekerja?” tanya Kara menatap polisi itu.

“Tersangka Kara tidak diperbolehkan bicara, kecuali menjawab pertanyaan saya,” ucap jaksa.

“Kau selalu membicarakan sapu tangan dan kain, jelas-jelas itu sama sekali tidak ada! Kau mengacaukan risetku! Kau paham?!”

Semua manusia yang ada di ruangan itu kaget mendengar kalimat yang dilontarkan Kara. Jaksa sengaja diam dan membiarkan Kara bicara.

“Bungkus roti.

Kau menghilangkan bukti itu.

Aku meletakkannya tepat di samping pisau,”

32

Proses Oleh : Baitul Muttaqin Al Majid banyak makhluk lainnya membutuhkan uluran tangan kita. Disusul dengan komentar dari akun yang lain, sedekah kok dipamerkan! Ada juga yang urun gambar jempol terangkat ke atas mulai dari satu sampai ada yang menjejerjejerkannya hingga panjang sekali; ada juga yang menyokong dengan gambar jempol menunjuk ke bawah dan gambar-gambar lainnya.

Tidak ketinggalan, ada juga yang menulis komentar yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan foto tersebut, yakni iklan penjualan sebuah produk atau layanan jasa disertai nomor telepon, dan lain sebagainya; dan lain sebagainya.

Pada satu kesempatan, foto yang mengendap dalam benak sampean dalam tempo cukup lama tersebut menjadikan sampean berpikir selama berhari-hari mencari ide foto diri sampean dalam hal apa yang bisa

P

ada satu kesempatan, sampean mengamati status medsos seseorang yang menampilkan foto orang tersebut berpose duduk dengan posisi kepala menunduk sementara pandangan mengarah ke sisi kanannya yang mana seekor siput tampak nikmat menyesap seiris buah melon yang terpegang tangan kanannya. Sementara tangan kirinya, demikian sampean memperkirakan, digunakan orang itu untuk menjepretkan kamera. Dalam pengamatan sampean, dalam waktu yang tidak lama postingan tanpa kata-

menandingi atau lebih dramatis ketimbang foto itu. Mula-mula sampean kepikiran mencari binatang yang lebih kecil daripada siput, semut misalnya,

kata tersebut mendapat sambutan yang luar biasa dari para warganet; mulai dari sanjungan hingga kritik dan saran serta berkali-kali dibagikan.

Sedekah memang sebaiknya tidak hanya untuk manusia, demikian satu akun menulis komentar, sementara akun yang lain, sembari mencolek akun

untuk sampean beri gula dan memotretnya bersama sampean; karena, menurut sampean bentuk tubuh semut yang lebih kecil—lebih lemah— ketimbang siput, menjadikannya lebih patut ditolong.

tersebut, menambahkan: setuju, masih 33

Cerpen

Namun,

setelah

serta reranting kering kerontang.

Namun sayangnya, sepertinya cukup sulit menemukan pohon dengan kondisi seperti itu di sekitar tempat tinggal sampean, karena sedang musim hujan.

Haruskah sampean mencari ke suatu tempat yang jauh—yang barangkali sedang kemarau?

Pada satu kesempatan, saat sampean masih mencari-cari ide tersebut, tampaklah seorang yang, menurut sampean, bertampang cukup memprihatinkan berjalan menuju rumah sampean yang sampean perkirakan seorang peminta-minta.

Betul dugaan sampean. Kendatipun kemudian ada satu suara dalam benak sampean untuk mengurungkan niat sampean tersebut, begitu orang itu meminta pemberian pada sampean, sampean mengiyakan dengan satu syarat ia bersedia berswafoto bersama nanti saat menerima uang sembari menunjukkan wajah terharu sekali atas pemberian sampean. Atas permintaan sampean, orang itu hanya mengangguk lesu.

Namun kemudian, karena sampean rasa hal tersebut masih kurang dramatis, sampean—seusai memintanya menunggu sebentar dan setelah sampean mengambil seember air dari dalam rumah—mengajaknya menuju pohon mangga itu.

mempertimbangkan

ukuran tubuh semut yang terlampau mungil—yang boleh jadi sukar diambil gambarnya bersama sampean—, sampean coba mencari alternatif binatang lain. Tidak lama kemudian, sampean rada senang begitu melihat seekor capung menclok di tali jemuran yang merentang di halaman rumah sampean.

Akan tetapi sekonyongsonyong timbul persoalan: bagaimana cara sampean memberinya makanan?

Lagi pula sampean tidak tahu apa makanan kesukaan capung itu dan barang tentu susah sekali mengajaknya ber-selfie ria.

Pada satu kesempatan, sembari memandangi sebatang pohon mangga yang tumbuh di pekarangan rumah sampean, sampean rasa satu ide cemerlang merekah dalam kepala sampean: berswafoto sembari menyiram pohon itu. Menurut sampean, hal ini pasti bakal lebih dramatis ketimbang foto siput tersebut, karena tumbuhan yang tidak bisa berpindah tempat lebih patut ditolong daripada binatang yang bisa bergerak mencari makanan sendiri.

Namun kemudian, setelah sampean menyangking seember air berikut sebilah gayung dan menaruhnya di dekat pohon itu; saat sampean mencari-cari angle alias sudut pengambilan foto, sekonyong-konyong sampean kepikiran bahwa apa yang bakal sampean lakukan kurang dramatis, karena kondisi pohon itu cukup subur dengan daun-daun hijau merimbun. Supaya lebih dramatis, demikian benak sampean, harusnya sebatang pohon yang sedikit daunnya

Cerpen

34

Sambil

berjalan

Kemudian, sekonyong-konyong sampean meminta maaf pada orang itu; tanpa jadi berswafoto, sampean memberikan seluruh uang di saku kepadanya—padahal awalnya sampean tadi bermaksud memberinya sedikit uang, itu pun sembari berswafoto. Dan, sekali lagi sampean meminta maaf kepada orang itu atas kelakuan sampean tadi.

Orang itu, yang menerima uang tersebut masih dalam keadaan bingung, menyatakan bahwa jumlah uang itu terlaluR banyak untuknya. Atas pernyataan tersebut, sampean menjawab dengan memintanya untuk menerima saja; anggaplah sebagai sebentuk permintaan maaf sampean padanya. Kemudian, dengan wajah senang orang tersebut menerimanya sembari menyatakan terima kasih serta telah memaafkan sampean.

Pada satu kesempatan, sampean mendatangi seorang tunawisma di pinggir jalan yang biasa sampean lewati —memberinya sebungkus nasi dan sebotol air minuman, dan barang tentu, tanpa ada maksud untuk berswafoto. Itu sampean lakukan setelah ngobrol dengan beberapa teman, ngaji dengan seorang kiai sehingga sampean dapat pengetahuan bahwa dalam beramal baik, sedekah misalnya, memang sebaiknya ada yang dilakukan secara terang-terangan—bukan dengan maksud pamer, melainkan untuk syiar, memberi contoh, mengajak orang lain bersedekah—dan ada juga yang dilakukan dengan cara sembunyi-

mengiringi

langkah sampean, lagi-lagi orang itu hanya mengangguk lesu. Kemudian, sesampai di dekat pohon itu sampean mengatur posisi dan posenya demi mendapat foto terbaik. Mula-mula sampean rada bingung siapa yang bakal menjepret kamera, karena—demikian benak sampean—satu tangan sampean bakal sampean gunakan untuk mengulurkan uang pada orang itu, sementara tangan lainnya bakal sampean gunakan untuk mengguyurkan air pada pohon itu.

Karenanya, mula-mula sampean bakal meminta orang itu memotret menggunakan satu tangannya, sementara satu tangan yang lain menerima uang pemberian sampean.

Namun, seusai berpikir apakah orang itu bisa menggunakan hape dan jika pun bisa bagaimana nanti hasilnya, sampean memandang kesana kemari mencari seseorang yang kadang lewat di jalan depan pekarangan sampean untuk memotret. Akan tetapi, seorangpun tidak ada yang datang. Yang datang malah semilir angin menyejukkan tubuh sampean bersamaan dengan satu kesadaran menukik dada sampean hingga sekonyong-konyong sampean menyatakan, “Astaghfirullahal ‘Adzim” sebagai permohonan ampun kepada Gusti Allah Ta’ala yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang sembari benak sampean menyatakan: sebetulnya apa yang sedang saya lakukan?

sembunyi untuk melatih diri ikhlas, 35

Cerpen

sampean bisa melakukan kebaikan pun diciptakan dan dipelihara oleh Gusti Allah Ta’ala; ajaran kebaikan—sehingga sampean tahu dan bisa melakukannya— yang sampean dengar lewat para ulama yang mana para ulama tersebut mendapatkannya lewat para ulama sebelumnya terus sambungmenyambung ke atas sampai pada para Sahabat yang mendapat ajaran langsung dari Kanjeng Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam pun merupakan perintah Gusti Allah Ta’ala; bahkan, ketika sampean bisa melakukan kebaikan, bermula dari bisikan dalam benak sampean yang sampean yakini

lillahi ta’ala—hanya karena Gusti Allah Ta’ala;itu sampean lakukan, setelah sampean mengalami kejadian demi kejadian tersebut seiring dengan perenungan sampean, bahwa memberi yang lebih lemah, tunawisma misalnya, lebih baik daripada memberi pada seorang peminta-minta. Ini bukan berarti memberi pada peminta-minta tidak atau kurang baik—memberi keduanya samasama baik—hanya, apabila dilihat dari kadar kemampuan mereka—pemintaminta masih dapat mendatangi rumah seseorang, sedangkan seorang tunawisma hanya duduk menanti pemberian seseorang.

sebagai bisikan dari malaikat berikut kekuatan dan kesempatan melakukannya pun tidak lepas dari anugerah dan pengaturan Gusti Allah Ta’ala. Pada titik ini, “Subhanallah!” demikian sampean berulang-ulang mengucapkannya sembari benak sampean menyadari sepenuhnya bahwa kebaikan yang sampean lakukan tidak lain adalah karena Kebaikan Gusti Allah Ta’ala.

Kemudian, “Alhamdulillah,” demikian sampean berulang-ulang mengucapkannya sembari benak sampean menyatakan terima kasih yang dalam kepada Gusti Allah Ta’ala yang mentakdir sampean melakukan kebaikan.

Pada satu kesempatan, seiring sampean semakin sering melakukan kebaikan, pikiran-perasaan sampean semakin peka: tiap kali sampean melakukannya, mula-mula sampean merasa senang telah melakukannya, dan ini kadang-kadang membersitkan semacam perasaan bangga dalam diri sampean bahwa sampean telah melakukan kebaikan. Namun, setelah sampean merenungkan lebih dalam, dan ini sebagaimana yang sampean yakini, bahwa sampean sampai sekarang masih hidup sehingga sampean bisa melakukan kebaikan, karena ada yang menciptakan dan memelihara sampean, yakni Gusti Allah Ta’ala; sarana hidup—baik yang ada pada diri sampean seperti tubuh dan seluruh pancaindranya dengan fungsi yang sungguh luar biasa serta jiwa berikut pikiran dan rasa ataupun tempat sampean hidup: langit-bumi dan seluruh isinya seperti tanah, air, udara, rezeki makanan dan lain sebagainya—sehingga

Cerpen

36

Baskara : Senja Terakhir di Persuratan Oleh : Alvina Briantiningsih

K

au berdiri di depan sebuah makam dengan tangan menggenggam keranjang bunga yang telah kosong. Menatap hampa nama yang tercetak di batu nisan di hadapanmu. Air matamu sesekali merembes, membasahi wajah sawo matangmu yang tak lagi muda. Rasa rindu kembali membuncah dalam dada, membakar semangatmu yang sudah lama padam.

Usai memanjatkan doa, kau berbalik meninggalkan pemakaman. Hari ini, tepat di hari kematiannya, kau berhasil mencapai mimpimu. Mimpi yang kau perjuangkan, dan akan selalu kau perjuangkan. Membuka sebuah kantor redaksi, bekerja dengan banyak orang, dan menjadi manusia yang merdeka untuk mengangkat suara.

Mobil yang membawamu ke kantor redaksi berhenti, kau terdiam sesaat seraya memandang sebuah foto usang yang robek sana-sini. Tampak dirimu yang tersenyum dengan piala besar di genggamanmu. Kau tersenyum, entahlah mungkin udara dingin, suara tawa dari luar mobil, atau barangkali Tuhan yang membuatmu mengingat sosok itu. ***

37

Cerpen

Kampus masih sangat sepi saat kau menginjakkan kaki di kelas, hanya terdengar suara detik jam dan embusan napasmu.

Tapi tak mengapa, karena kau memang sengaja berangkat lebih awal untuk melaksanakan tugas UKM. Berbekal map berisi selebaran kertas, kau mulai memasangnya di setiap mading yang kau temui. Menempel selebaran kertas berisi opini, saran, cerita, puisi, atau sekadar kutipan motivasi mahasiswa yang kau kumpulkan.

Tangan kurusmu berhenti saat menempel selebaran opini yang tidak tau ketahui siapa penulisnya. Kau pun membacanya, dan kontan mengangkat alis saat melihat topik yang diambil penulis anonim itu. Sebuah topik yang tak pernah kau duga akan ditulis oleh mahasiswa kampus tertinggal di pelosok negeri. Entah mengapa, tapi lima paragraf opini itu membuatmu bersemangat, sampai kau lupa jika semua selebaran yang kau tenteng kemana-mana sudah habis dipasang.

Kau tersenyum, lalu melangkah menuju kelas untuk mengikuti perkuliahan.

Senja sore itu terasa begitu spesial bagimu, ditambah suasana kampus yang cukup sepi membuat jiwamu merasa tenang.

Kakimu melangkah pelan ke perpustakaan, dan menemukan seorang mahasiswa di sudut ruang yang tengah tertidur di sofa.

Kau bimbang untuk melanjutkan langkah.

Sebelum sebuah suara menyadarkanmu dari berbagai pikiran

“Masuk saja, tidak baik kalau berdiri di ambang pintu begitu.” ujar laki-laki yang kini menatap matamu lekat.

Kau tersenyum canggung, lalu menduduki kursi di dekat meja peminjaman, cukup jauh dari posisi lakilaki yang kau duga sebagai kakak tingkat.

Beberapa jam berlalu, dan kau tenggelam dalam deretan kata di novel yang tengah kau baca dengan seksama.

Tak sadar bahwa laki-laki tadi kini berdiri empat langkah di depanmu.

“Aku tak pernah lihat ada orang yang membaca buku membosankan seperti itu.” sahutnya santai. Mendengar ucapan kakak tingkatnya itu agaknya membuatmu cukup kesal, bagaimana bisa ada orang yang menyebut buku Pramoedya sebagai buku yang membosankan? Kurang ajar.

Mungkin karena melihat raut wajahmu yang berubah masam, laki-laki itu tertawa pelan dan berkata bahwa ia hanya bercanda. Kau menghela napas, setidaknya amarahmu mereda karena ia hanya bergurau. Karena kalau tidak, kau pasti sudah angkat kaki dari perpustakaan. Penghinaan terhadap karangan Pramoedya sama saja penghinaan terhadapmu, begitu kau pikir.

Tak berhenti di situ, orang di hadapanmu itu lalu duduk di depanmu.

Mengajak berkenalan, dan tanpa diminta mulai bercerita mengenai ketertarikannya pada karya sastra lawas.

untuk kembali saja.

Cerpen

38

Kau tersenyum, seperti menemukan manusia langka di dunia. Barangkali karena teman-temanmu tidak ada yang menyukai sastra sepertimu, bertemu dengan laki-laki itu terasa menyenangkan.

“Aku belum tau namamu, boleh kutau?” tanyamu antusias, tapi laki-laki itu hanya tersenyum.

“Panggil saja Senja.”

Cukup lama kau dan Senja berbincang-bincang soal novel Samanyang kau baca semalaman.

Semakin lama bercengkrama dengan Senja, rasanya semakin akrab dengannya. Membaca tulisan-tulisannya di HP, kau merasa akrab dengannya.

Kau merasa mengenalnya, lewat barisan kata dan sajak yang ia tulis di puluhan dokumen.

Entah sudah berapa kali kau bertemu dan berbincang dengan Senja sejak senja kala itu di perpustakaan.

Selama itu pula kau dibuat penasaran dengan penulis anonim yang terus menerus mengirim karya opini dan puisi ke UKM. Berbagai tema ditulisnya, politik, ekonomi, budaya, bahkan feminisme dan kesehatan mental. Dua topik yang cukup jarang kau temui di kampus. Dari tulisannya, kau bisa simpulkan kalau penulis itu pasti seorang perempuan.

Mengingat tulisannya mengenai feminisme yang begitu detail dan unik. Tak lupa dengan patriarki, dan topik-topik sejalan yang terus membuatmu penasaran.

*** Adzan Maghrib berkumandang, kau segera menunaikan salat, kemudian duduk manis di depan sebuah buku berjudul Saman karangan Ayu Utami.

Bukunya cukup usang, mengingat buku itu sudah ada sejak bertahun-tahun lamanya di sudut perpustakaan kampus.

Dan tak pernah tersentuh sama sekali, tampak dari lembarannya yang masih rapi. Sejujurnya kau ragu untuk membaca novel itu, namun Senja memaksa untuk membaca dan mengajakmu bertemu setelah menamatkan novel yang kini kau genggam. Kau menarik napas, sebelum akhirnya tenggelam dan menyelami dunia baru dalam novel itu.

Seperti yang sudah Senja janjikan, kau bertemu lagi dengannya di perpustakaan kampus. Beda dari saat pertama kali bertemu, perpustakaan kini cukup ramai dengan mahasiswa yang berlalu-lalang.

Laki-laki bertubuh jangkung itu lantas

*** “Coba kau ikut, kalau menang ‘kan kuberitau namaku.” ujar Senja di pagi sebelum kuliah dimulai.

mengajakmu untuk duduk di kursi taman perpustakaan, agar tak mengganggu pengunjung di dalam.

39

Cerpen

Kau menggelengkan kepala sambil menyerahkan selebaran kertas berisi informasi lomba essay nasional.

Meski hadiahnya tak tanggung-tanggung, terlebih bagimu yang seorang perantau di kota asing.

Senja berdecak, menyuruhmu untuk ikut dan mengimingngiming dengan hadiah kecil berupa nama aslinya.

Dasar! Mentang-mentang kau penasaran dengan namanya, laki-laki beriris mata itu langsung menjadikannya iming-iming. Kau menggeleng, menolak dengan seribu satu alasan. Meski alasan sebenarnya adalah karena rasa malas dan ketakutan akan kegagalan yang mungkin menanti kalau kau ikut.

“Kalau kau ikut, aku akan beritau nama penulis anonim di mading kampus yang kau cari selama ini.”

Sontak, netramu membulat dan bersinar. Memandang laki-laki di depan dengan tatapan tak percaya dan penasaran. Senja tertawa dan berkata akan memberitahumu jika memenangi lomba itu. Tanpa pikir panjang, kau langsung menyetujui Senja. Dan laki-laki itu hanya tersenyum, menampilkan lesung pipinya yang membuat parasnya menjadi cukup tampan.

Sang baskara kembali ke peraduannya saat kau sampai di kos.

Tanganmu menenteng beberapa buku besar soal feminisme, buku-buku itu yang akan kau gunakan untuk membuat essay. Ya, meski kau cukup lelah dengan beban di pundakmu saat ini, tapi tak mengapa. Kau takkan membiarkan kesempatan emas ini berlalu begitu saja.

Cerpen

Apalagi setelah gagal berkali-kali mencari tau siapa penulis anonim itu lewat teman-temannya di UKM. Berminggu-minggu kau kerjakan essay yang penuh dengan pemikiranmu mengenai feminisme dan tetek bengeknya, sebelum bulan depan kau akan mempresentasikannya di hadapan dewan juri secara virtual. Selama itu pula kau tak bertemu dengan Senja.

Seakan-akan laki-laki itu lenyap ditelan bumi, diseret ke dunia antah berantah.

Sampai akhirnya, di kala senja sore itu kau datang untuk bertemu dengan Senja di taman perpustakaan kampus. Menanti hingga sang surya nyaris kembali ke peraduan. Kau menoleh ke berbagai arah, netramu lalu menangkap beberapa mahasiswa yang meninggalkan perpustakaan. Padahal kau sudah mengirim SMS pada laki-laki itu, tapi sampai sekarang ia tak muncul juga.

Hari silih berganti, tapi Senja tak kunjung datang ke perpustakaan.

Berkali-kali kau menghampiri taman hanya untuk menjemput kekecewaan.

Penantiannya setiap hari terasa sia-sia.

Padahal essay mu sudah selesai, dan minggu depan kau akan berjuang setengah mati untuk merebut juara 1 lomba essay di tahap final.

Hingga empat hari sebelum presentasi essay, kau datang untuk yang terakhir kalinya ke taman perpustakaan.

40

Berharap agar setidaknya laki-laki itu menunjukkan batang hidungnya sekali saja sebelum presentasi. Namun seperti yang sudah-sudah, Senja tak juga muncul. Gantinya, seorang perempuan dengan kemeja hitam mendatangimu dengan sebuah kotak berukuran sedang.

Kau yang dihampiri begitu saja hanya bisa kebingungan, terlebih saat perempuan itu tampak berantakan dengan wajah yang putih pucat.

Belakangan, kau mengetahui kalau perempuan itu-Rina-adalah adik dari lakilaki yang kau kenal sebagai Senja. Dan senja itu rupa-rupanya menjadi senja yang sangat pahit bagimu. Karena

Seakan-akan

ada

buan

jarum

yang

rupanya, Senja takkan pernah datang lagi ke taman perpustakaan. Laki-laki humoris itu takkan pernah bisa kau dengar lagi suaranya, takkan bisa kau lihat lagi wajahnya. Karena laki-laki ituSenja-sudah berpulang ke Tangan Tuhan.

Layaknya baskara yang kembali ke peraduannya ketika senja tiba. Pada hari itu, baskaramu telah direnggut oleh Tuhan.

menusuk jantung, dan meloloskan tulang-tulang yang menopang tubuh kurus keringmu. Entah sudah berapa banyak air mata yang menetes sejak mendengar kabar itu, mungkin saja air matamu sudah habis terkuras. Entahlah, pertemuan yang tak bisa dibilang singkat ataupun lama dengan Senja dan segala perbincangan yang terjadi, menjadi sebuah kenangan manis sekaligus pahit bagimu. Pedih, marah, sedih, bingung, takut, semuanya bercampur aduk menjadi air mata.

Netramu menyapu kamar dan menemukan kotak abu-abu yang Rina berikan padamu kala itu. Rasanya hatimu belum siap untuk membukanya, namun didorong rasa penasaran yang berkobar, kau beranjak dari kasur dan membawanya ke atas kasur. Menimangnimang kotak itu sebelum mengelusnya, merasakan tekstur kasar kotak. Kau ucapkan bismillah, lalu membukanya.

Dan detik itu juga, tanpa kau sadari sedikit pun, hidupmu akan berubah.

***

***

Dua hari sebelum presentasi dan kau masih tergeletak lemas di kasur, memandangi langit-langit kamar kos berukuran 3x4 yang rasanya semakin sempit dan engap saja. Air matamu sesekali menetes, dengan tangan yang menggenggam kertas-kertas berisi materi essay yang sejak tadi berusaha kau hapalkan.

Kalbumu begitu sakit ketika

Suara pintu yang terbuka membuyarkanmu dari lamunan panjang di dalam mobil. Buru-buru kau simpan foto lawas itu, sebelum keluar dari mobil dan berjalan penuh sambutan dari sekelilingmu menuju kantor mewah yang kau impikan sejak lama. Sejak Senja melalui sajak-sajak puitis, opini soal media massa, dan puluhan karya berisi suaranya yang tak sempat

mendengar Senja.

diperdengarkan

kabar

kematian 41

kepada

orang-orang

Cerpen

menggetarkan hatimu. Puluhan kertas,

Tapi kau tau, Senja melihatmu.

catatan, dan buku laki-laki yang kau tau berasal dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang kau terima dari Rina-adiknya.

Semalam suntuk kau membacanya bertahun-tahun silam, ditemani suara tangis tertahan, dan denting jam di kamar kosmu saat itu. Membaca dan menyelami dunia seorang Senja yang tak pernah kau tau sebelumnya, mengenai impiannya soal kantor redaksi, isu sosial, feminisme yang tak pernah habis dibahasnya, dan harapannya untuk seorang teman yang Senja temui di perpustakaan-dirimu.

Mungkin laki-laki itu tak lagi hadir, mendengarkanmu berbicara soal novel Pram, atau sekadar kekagumanmu mengenai penulis anonim yang rupanya adalah Senja sendiri. Atau cerita kemenanganmu dalam lomba essay saat itu.

Dan kau yakin, laki-laki itu pasti bangga melihat temannya yang kini sudah melanjutkan mimpi dan harapannya.

Kau tersenyum saat melihat rekan-rekannya yang datang menyambut, tampak antusias dengan senyum merekah di wajah. Kau mendongak, menatap langit pagi yang cerah. Tersenyum simpul sebelum mengikuti rekan-rekanmu yang memasuki kantor.

“Sampai jumpa lagi di kala senja di taman Suaka, Baskara.”

Cerpen

42

Cahaya di balik Anak Istimewa Oleh : Eni Listiowati

K

alian pernah bertemu dengan seorang Ibu yang memiliki empat orang anak dan tiga diantaranya termasuk anak berkebutuhan khusus?

Dia Ibuku, hanya satu orang dari keempat anak itu yang bisa dikatakan terlahir dalam keadaan normal, dan itu aku. Usiaku berbeda 7 tahun dengan adikku yang pertama. Waktu aku kecil tugasku hanya sekolah dan membantu Ibuku untuk mengurus adik-adikku. Bisa kalian bayangkan, betapa sulitnya mengasuh anak-anak istimewa itu? Anakanak yang terlahir normal saja sangat

ingin memiliki anak-anak istimewa yang dititipkan Tuhan untuknya itu. Entah kata apa yang cocok ditunjukkan untuk manusia seperti itu. Dulu Ayahku masih mau untuk merawat kedua adik pertamaku dan saat ia mengetahui bahwa anak keempatnya juga anak berkebutuhan khusus, dia memilih menyerah dan pergi meninggalkan ibuku dan keempat anaknya. Aku sempat menjadi rebutan kedua orang tuaku, Ayahku ingin membawaku pergi dari Ibuku karena akulah satu-satunya yang dia anggap anaknya. Namun, aku

sulit dirawatnya, apalagi anak-anak seperti adikku. Ditambah lagi Ibuku single parent semenjak adik terakhirku lahir.

Suaminya yaitu Ayahku memutuskan

menolaknya aku hanya ingin bersama dengan Ibu, aku akan sangat dibutuhkan oleh ibu dibandingkan dengan Ayah.

untuk bercerai karena tidak 43

Cerpen

Padahal kami juga manusia, bukan kami yang memilih mereka untuk menjadi anak-anaknya. Tetapi takdirlah yang sudah berkata seperti itu.

Setelah setahun orang tuaku berpisah, Ayahku tiba-tiba mengabari kami bahwa dia akan menikah lagi. Dia tidak bermaksud untuk mengundang kami, dia hanya ingin kami tahu bahwa kami benar-benar sudah tidak dibutuhkan olehnya lagi. Ibuku yang sudah muak dengan Ayahku itu tidak pernah lagi sekalipun membahas tentangnya.

Meskipun aku tahu, ibu pasti sedih ditinggal oleh orang yang paling pernah dia sayang. Tapi dia ingat, masih ada kami, keempat anaknya yang masih membutuhkannya.

Perjalanan ini dimulai saat semuanya baru saja terjadi. Ibuku mulai membangun hatinya lagi yang awalnya sudah rapuh dan tidak bisa kokoh lagi.

Dia yang dulu saat masih bersama Ayahku bekerja sebagai ibu rumah tangga, saat itu mulai mencari pekerjaan. Mulai dari buruh cuci di keluarga sendiri, karyawan SPBU, karyawan di rumah makan, hingga menjadi admin di sebuah perusahaan ternama semua dia lakukan. Tetapi titik terberat yang pernah dialaminya yaitu dimana adik keduaku yang menyandang penyakit autism spectrum disorder atau yang biasa dikenal autis hilang selama hampir seminggu. Dio namanya, usianya saat itu baru 12 tahun. Dia menghilang

Saat adikku yang pertama mulai balita, keluarga cenderung tertutup dengan orang lain. Adikku mengalami down sindrom saat usianya memasuki dua tahun. Segala pengobatan sudah dilakukan, tetapi itu tidak bisa menyembuhkan down sindrom yang dialaminya.

Orang tuaku selalu menghindar jika orang lain ingin bertemu dengan adik-adikku. Bahkan tak jarang aku mendengar percakapan mereka atas penyesalan yang mereka rasakan karena sudah memiliki anakanak spesial itu. Akan tetapi, semenjak orang tuaku berpisah Ibuku mulai percaya diri untuk mengenalkan anakanaknya di hadapan semua orang. Ibuku tidak bisa berhenti membahas tentang perkembangan kami setiap harinya kepada semua orang yang dia temui.

Ibuku manusia yang paling kukagumi.

Betapa kuatnya dia menghadapi segala cobaan yang diberikan. Sudah tidak bisa dihitung lagi berapa kali dia menangis didepan anakanaknya. Bukan dia lemah, tapi hanya karena rasa sakitnya sudah tidak bisa disembunyikan lagi di depan kami, anaknya. Sebelum aku lahir, orang tuaku termasuk dalam “pejuang garis dua”. Aku lahir setelah usia pernikahan mereka mencapai usia lima tahun. Betapa diidam-idamkan kami di dalam ikatan suci mereka. Tetapi kenapa setelah kami ada, Ayahku malah bersikap seperti dia tidak pernah mengharapkan kami

saat bersamaku, di taman. Aku mengajaknya untuk pergi ke taman agar pikirannya tidak semakin jenuh karena dirumah saja.

datang? Kami hanya dianggap seperti benda yang ketika dia bosan dengan gampangnya kami ditinggalkan.

Cerpen

44

“Sebelumnya maaf bu, boleh kita bicara sebentar?” Kata pak polisi sambil mengarahkan jarinya menuju tempat duduk dipinggir pemakaman.

Setelah kami mulai tenang salah satu dari sekelompok polisi itu mulai membuka pembicaraan. Dio ditemukan.

Itulah kalimat pertama yang diuapkan oleh polisi kepada kami. Kaget, gembira, bahagia campur aduk rasanya.

Dio yang sudah hampir seminggu tidak bertemu kami akan segera bertemu. Akan tetapi, saat ibuku menanyakan keberadaan Dio, pak polisi seperti tidak sanggup mengucapkannya.

Pelan sekali dia berkata.

“Dio kritis. Saat ini ada di rumah sakit yang cukup jauh dari sini. Dia mengamuk saat hendak dibawa ke salah satu rumah warga untuk diamankan dan dia berusaha melarikan diri. Tapi karena keterbatasan Dio itu, dio kurang memperhatikan jalanan dan ditabrak oleh sebuah mobil yang melaju cukup kencang”.

“Astaghfirullah” ibu mengucap lemas dengan air mata yang mengalir lebih deras dibandingkan saat pemakaman rina tadi. Ibu pingsan tidak sadarkan diri.

Aku berusaha menyadarkan ibu dengan terus memberikan aroma-aroma menyengat di hidungnya. Setelah hampir 10 menit ibu sadar dan kami langsung diantarkan ke rumah sakit dimana Dio dirawat.

Tetapi karena kelengahanku, Dio hilang tidak tau ada dimana. Adikku yang mengidap autis sangat sulit untuk dimintai keterangan oleh orang-orang yang menemuinya. Dia sulit untuk memahami apa yang dikatakan oleh lawan bicaranya. Tak jarang dia juga sering mengamuk atau marah-marah saat dia tidak merasa nyaman. Selama hampir tujuh hari itu juga adikku yang terakhir mengalami sakit dan diharuskan dia dirawat di rumah sakit, karena itu jugalah yang menyebabkan ibuku menyuruhku untuk menjaga Dio sementara.

Belum sempat Dio ditemukan adik terakhirku Rina yang saat itu dirawat di rumah sakit dinyatakan meninggal oleh dokter karena sakit demam tinggi yang dialaminya. Ibuku tidak bisa berhenti menangis saat itu. Dia ditinggalkan oleh anak bungsunya dan anak tengahnya pun menghilang. Betapa terpukulnya kami mengetahui Rina pergi untuk selama-lamanya.

Aku hanya bisa menenangkan Ibu, karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan selain menenangkan diri. Sehari setelah diketahui bahwa Dio hilang, kami langsung melaporkannya ke kantor polisi dan tepat setelah pemakaman Rina, polisi datang menghampiri aku, Ibu dan, Faisal, adik keduaku yang masih bersimpuh dimakan Rina.

“Maaf, bu.” Ucap pak polisi dengan seragam lengkapnya sambil mencolek pundak ibuku. Kami yang mendengar itu langsung menoleh dan menatap sendu pak Polisi dengan air mata yang masih mengalir.

45

Cerpen

Dio dinyatakan sembuh dari luka-luka bekas kecelakaannya dan diperbolehkan untuk pulang ke rumah.

Lagi-lagi ibu mulai menata lagi hatinya.

Ibu selalu bersikap baik kepada kami, meskipun kami sering menyusahkannya.

Kini kami hanya berempat untuk bisa merasakan bahagia lagi. Aku tau Rina juga disana lebih bahagia. Banyak malaikat yang bisa lebih baik menjaganya dibandingkan kami.

Kehidupan kami perlahan sudah mulai kembali normal. Adik-adikku sudah melakukan terapi rutinnya lagi, Ibu juga sudah kembali ke kantor untuk bekerja seperti awal. Kisah perjuangan

Pintu ICU tertutup rapat, dan tidak boleh ada satupun orang yang masuk sebelum diberikan izin. Terlihat dengan jelas dari luar jendela ruangan, badan Dio dipasang dengan alat-alat yang mungkin akan membantunya agar tetap terus hidup. Pandangan Ibu tidak bisa lepas sedetikpun dari Dio. Disana Dio sedang berjuang agar tetap terus bisa bersama Ibu. Kami pun mengharapkan hal yang sama.

Sekitar hampir 8 jam kami menunggu, dokter baru saja mengizinkan kami memasuki ruang ICU. Dokter menjelaskan bahwa Dio sudah melewati masa kritisnya dan sisa

Ibu ini sudah tidak asing lagi ditelinga karyawan satu kantornya.

Bahkan sudah terdengar hingga telinga CEO perusahaannya itu. Hari pertama dia datang ke kantor setelah Dio dinyatakan benar-benar sembuh, dia diberikan salah satu penghargaan sebagai “best mom” di kantornya dan dihadiahi naik jabatan menjadi manager salah satu bidang di perusahaannya. Selain karena gigihnya perjuangan yang dilakukannya sebagai Ibu kami, dia juga dianggap sebagai Ibu di kantornya.

Maka sudah sepantasnya Ibu menerima semua itu. Saat ini aku berusia dua puluh tahun dan sedang sibuk kuliah disalah satu universitas ternama di kotaku. Meskipun tugasku banyak, aku tak pernah sedikitpun merasa malas untuk mengasuh kedua adikku. Karena selain Ibu akulah yang memiliki tanggung jawab kepada mereka karena aku kakak tertua

menunggu dia sadarkan diri. Betapa leganya hati kami setelah menunggu lama. Tidak ingin sekali rasanya kami kehilangan dua anggota keluarga dalam satu hari.

Seminggu sudah setelah kejadian melelahkan itu, tidak hanya fisik tetapi juga mental kami diuji. Ibu harus banting tulang dan berusaha mencari uang untuk pengobatan Dio. Aku dan Faisal juga berusaha mencari uang dengan bekerja di warung kelontong. Meskipun uang yang kami dapat tidak banyak tapi setidaknya kami ada usaha untuk membantu Ibu. Bangga sekali rasanya aku memiliki adik seperti Faisal, dengan keterbatasan yang dia punya tetapi dia masih bisa menyadari akan tanggung jawabnya sebagai anak.

Memang terkadang dia hanya membuat pekerjaanku di warung semakin sulit tapi aku bahagia bisa bekerja bersamanya.

mereka.

Cerpen

46

Setiap hari ibu selalu memujiku

Untuk orang tua yang dititipkan

atas semua yang kulakukan. Padahal pengorbanannya untuk mengasuh kami lebih besar dari apa yang kulakukan setiap harinya. Aku tau betul bagaimana perjuangannya hingga sampai di titik ini.

Semua anaknya sudah bahagia, sudah bisa merasakan kenikmatan yang tiada taranya ini. Takdir yang dulunya dikira tidak dapat dilewati nyatanya sudah terlewati.

Kita tidak pernah tahu tentang apa yang akan terjadi di masa depan nanti. Banyak hal-hal misterius yang akan menimpa kita. Sebagai manusia tugas kita hanya bersyukur dan menjalani setiap cobaan yang diberikan.

oleh Tuhan anak-anak istimewa yakinlah bahwa kalian kuat. Kalian bisa menjaga mereka hingga akhir. Belajar mulai menerima segala apa yang sudah diberikan. Jangan pernah merasa malu dengan semua hal yang kita punya.

Mana tau yang kita anggap memalukan akan menjadi hal yang berdampak besar bagi kehidupan kita nantinya.

47

Cerpen

Penghancur Anak Bangsa Oleh : Diyah Ayu Nur Halimah

babnya.

A

“Na, lo mau sampai kapan di depan laptop? Nggak kuliah?” Siska yang merupakan teman satu kamar Hana mengingatkan. Gadis maniak pakaian serba jeans itu duduk di ujung ranjang sembari melipat kedua tangannya di depan dada.

“Bentar.

Gue lagi lihat perkembangan novel gue. Tanggung nih.” Hana tak melepas pandangannya dari layar laptop. Senyum langsung mengembang begitu mendapat royalti dari bab yang telah ia publish di platform menulis tersebut. Sangat memuaskan untuk dirinya yang hanya bermodalkan laptop dan jari untuk mengetik.

“Novel lo apaan sih? Nggak pernah tahu gue.”

“Cari aja sendiri.” Siska memutar bola matanya malas. Entah apa alasannya, Hana selalu merahasiakan identitasnya sebagai penulis novel.

yo dong, Thor. Tambahin

Nagih banget ceritanya, Thor.

Double up, please.

Gila! Bab ini bagus banget. Up yang banyak, Thor!

Author kesayanganku. Hari ini double up, ya!

Nggak mau tahu! Hari ini harus up! Kalau bisa double up!

Gadis berponi dengan panjang rambut sebahu itu tersenyum membaca beragam pujian di kolom komentar yang ditulis para pembacanya. Sebagai penulis

Padahal, jika mau, Siska akan merekomendasikan novel Hana ke teman-temannya di Instagram.

Mumpung follower-nya sudah puluhan

novel di platform online, memiliki pembaca setia adalah kebahagiaannya.

Apalagi jika pembacanya memberi waktu luang untuk menulis komentar. Suatu kebangaan untuknya yang mendamba apresiasi. Bagi Hana, like dan komentar sangatlah penting, itulah mengapa ia

ribu. Lebih banyak daripada milik hana yang Cuma ratusan.

“Done.” Hana menutup laptopnya, lalu meletakkannya ke dalam tas. “Yuk, berangkat.”

sering memantau jumlahnya.

Cerpen

*** 48

“Eh, novelnya Cleo bakal terbit, “Kayaknya sih gitu.

Udah dipinang sama penerbit, kan?”

“Kemarin sih gue lihat gitu di salah satu akun penerbit. Semoga deh.

Nggak sabar gue baca novelnya.”

“Apalagi gue. Baca novelnya Cleo tuh bikin gue semangat. Jadi makin bergairah tahu nggak.”

Hana tersenyum mendengar pembicaraan dua gadis berseragam SMA yang tak ia kenal itu. Mendengar nama penanya dibicarakan sebuah hal yang sangat ia nantikan. Ia tak sabar menantikan novel onlinenya diterbitkan.

Ya, novel yang ditulisnya di platform online memang sudah dipinang penerbit, tapi ia tidak tahu pasti kapan terbitnya.

Jika sudah terbit, yang pasti Hana akan mendapatkan popularitas. Momen yang paling ia nantikan sepanjang karir kepenulisannya.

“Dasar bocil,” gumam Siska tak suka. Mengejutkan Hana di sampingnya.

“Lo kenapa , Sis?” tanya Hana sembari berbisik.

“Itu bocil. Masih SMA aja bacaannya nggak bener.”

“Maksud lo?”

“Lo nggak tahu? Lo kan penulis novel.” Siska mengambil smartphone di saku bajunya. “Cleo itu penulis novel nggak bener. Kalau lo baca tulisannya, duh parah. Salah satu penulis yang ngrusak anak bangsa.”

Selama ini Hana merasa bangga dengan pujian yang ada di kolom komentar. Begitu dikritik Siska, dunianya seakan runtuh. Ia sakit hati dengan ucapan Siska yang menganggapnya sebagai penulis perusak anak bangsa.

Memang apa yang salah dengan tulisannya? Hingga dicap perusak bangsa.

“Nih, akunnya Cleo.” Siska memperlihatkan layar smartphone yang menunjukkan akun Cleo di salah satu platform menulis online.

“Cleo ini udah nulis banyak cerita, tapi semua tulisannya rata-rata banyak adegan dewasa. Mulai dari cerita genre teen sampai horor, tulisannya pasti ada adegan dewasa. Mana nulis adeganya tersurat lagi. Apa coba kalau nggak ngrusak bangsa? Penulis kayak gini tuh harusnya di buang ke laut, bukan makin tenar!” geram Siska kala mengingat setiap tulisan Cleo yang selalu menuliskan adegan dewasa di setiap cerita.

Hana tersenyum kecut. Rupanya itu hal yang membuat Siska geram padanya. Ia jadi berpikir tentang ucapan Siska. Memang apa salahnya jika ia membubuhi adegan dewasa ke dalam setiap cerita? Apa masalahnya? Banyak penulis di luar sana yang membubuhi adegan dewasa. Dan itu tidak pernah dipermasalahkan.

“Kok lo diam aja. Lo nggak ada komentar gitu?”

Jantung Hana seakan berhenti berdetak begitu mendapat kritikan dari Siska yang tidak tahu jika Cleo adalah nama penanya.

“Emang salahnya di mana?

Bukannya biasa ya adegan dewasa kayak gitu?” ***

ya?”

49

Cerpen

Setelah mengambil beberapa buku di rak perpustakaan, Hana duduk di salah satu kursi. Diletakkannya buku di atas meja. Dikeluarkan laptopnya dari dalam tas. Hana membuka laptop untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosennya. Baru mengarahkan kursor ke Chrome, ia kembali teringat perdebatannya dengan Siska.

“Astaga, Na! Kok lo bisa mikir gitu!” pekik Siska hingga membuatnya mendapat perhatian dari orang di sekitar halte. Merasa malu dengan tatapan orang-orang, ia pun menunduk. Lalu berbisik, “Na, selama ini lo nggak nulis adegan vulgar di novel, kan?”

“Ya, nggaklah,” kilah Hana tak mengaku. Mana mungkin ia mengaku di depan orang yang tak menyukainya.

“Syukur deh.” Siska merasa lega.

“Gini deh, Na. Coba lo logika. Lo tahu kan efek nonton video porno? Ngrusak otak.

Sama kayak kalau kita baca cerita dewasa, kita bisa kebayang-bayang sama ceritanya, yang akhirnya bisa ngrusak otak juga. Gimana Cleo nggak ngrusak anak bangsa lewat tulisannya? Satu novelnya aja dibaca jutaan orang. Itu baru satu loh, Na. Dia udah nulis lima novel. Bisa lo bayangin, berapa juta orang yang otaknya dirusak?”

Hana bergeming.

Perasaan bersalah mulai menyelimuti dirinya. Ia tak pernah berpikir akan segila itu efek dari tulisan yang mengandung adegan dewasa.

“Yang baca cerita Cleo bukan cuma orang dewasa, Na. Lo tahu sendiri, kan, sekarang jamannya online. Anak SD,

gue, pembaca novel online itu merata dari SMP sampai pekerja kantoran.

Kalau yang baca orang dewasa sih nggak masalah. Gimana kalau yang baca anak SMP atau SMA? Apalagi di usia mereka yang kayak gitu, penasarannya masih tinggi.”

Hana menghembuskan napas panjang. Ucapan Siska tadi pagi membuat pikirannya buntu. Ia dilema, tidak tahu harus bagaimana. Jika ia menulis tanpa membubuhi adegan dewasa ke dalam ceritanya, pembacanya akan menurun. Namun, jika ia terus membuat cerita dewasa, dirinya akan menjadi salah satu penulis yang merusak bangsanya sendiri.

Hana sendiri pernah menulis tanpa ada adegan dewasa. Murni hanya percintaan biasa, tapi ia tak mendapat respon yang baik. Pembacanya sedikit, tidak ada like bahkan komentar. Ia baru mendapatkan pembaca dan menjadi penulis terkenal di platform online tidak lain karena adegan dewasa yang ia masukkan ke dalam ceritanya.

Memang tidak ada yang tahu nama penanya, tapi tetap saja Hana merasa bersalah. Haruskan ia menjadi penulis visioner?

Sanggupkah ia kehilangan pembaca? Tentunya juga kehilangan penghasilan jutaan rupiah. ***

SMP udah pada punya hp. Dan setahu

Cerpen

50

“Halo, Kak Hana. Saya Laras, editor yang ditugaskan untuk mengedit naskah Kak Hana. Silakan revisi naskah kakak dulu, ya. Jadwal terbit naskah kakak dua bulan yang akan datang, detailnya akan segera kami informasikan.”

Hana tersenyum kala membaca pesan Whatsapp dari editor. Perasaan bahagia dan bangga menyeruak dalam hatinya. Akhirnya, ia akan menerbitkan buku. Momen yang selama ini ia tunggu selama menjadi penulis online.

Naskahnya dipinang penerbit dan dicetak. Tak bisa ia bayangkan, saat pre order nanti, berapa banyak uang yang

“Revisi apaan?”

"Naskah gue.”

“Ngapain lo revisi? Kayak mau terbit aja.”

“Emang.”

Hana tersenyum bangga.

“Serius?!” Siska yang tak percaya langsung mendudukkan diri. “Novel lo judulnya apa? Nama lo juga? Pakai nama pena, kan? Sini gue promosiin. Eh, minta tanda tangannya dong. Masa novel lo terbit, gue nggak dapat tanda tangan.”

“Boleh. Mana kertasnya? Gue tanda tangani.” Siska mengambil buku tulis di dalam tas yang masih menggantung di pundaknya. Kemudian

akan ia peroleh dan popularitas yang akan didapatkan.

“Hai, Kak Laras. Baik, Kak, akan segera saya revisi. Terima kasih.” Hana membalas pesan dari Laras secepat kilat.

Tak akan ia lewatkan kesempatan emas kali ini.

Hana yang sudah duduk di atas ranjang membuka laptop. Gadis berkaca mata itu membuka file naskah yang harus ia revisi. Sejujurnya ia bingung tentang revisian naskah. Apa yang perlu ia revisi? Ia sendiri sudah merasa novelnya sempurna.

Pintu terbuka, Siska datang dan membanting tubuhnya di ranjang. Ia terlalu lelah setelah seharian berada di kampus. “Gila, capek banget. Mana tugas pada nggak manusiawi,” keluhnya. Lalu melirik Hana yang sedang sibuk berkutat pada laptop. “Lagi ngapain lo? Tugas juga?”

Hana menggeleng. “Gue lagi

menyerahkannya pada Hana. Hana penuh semangat meraih buku tersebut.

Baru menulis huruf C, Hana buru-buru menyerahkan kembali buku ke Siska.. Ia tak jadi memberi tanda tangannya pada Siska.

“Loh kenapa? Kok nggak jadi?”

“Ntar, kalau novel gue udah terbit. Gue kasih gratis sekalian tanda tangan.”

“Bener, ya. Gue catat nih.”

Siska mencatat ucapan Hana.

Sementara Hana diam menatap Siska yang kegirangan. Ia kembali dilema dengan keadaan.

Tetap merevisi novelnya atau menolak penerbit untuk menerbitkan tulisannya. ***

revisi.”

51

Cerpen

“Na. Novel lo terbit kapan sih?

“Lo lihat novel apa, Na?” Siska

Lama amat. Udah dua bulan, loh.” Siska bingung dengan Hana yang tak lagi membahas novel.

Hana yang sedang membaca buku terdiam. Wajahnya mendadak lesu.

“Loh, lo kenapa? Kok mendadak nggak semangat gini?”

“Novel gue... nggak jadi terbit, Sis.” Siska melotot. “Kenapa?!”

“Kata penerbitnya sih, nggak cocok sama market.”

“Loh, kok bisa gitu. Penerbit apaan sih itu. Waktu minang naskah lo, kan pasti udah tahu marketnya ke mana.

Kok malah tiba-tiba gitu.”

“Dah lah, Sis. Mungkin emang belum rezeki gue.”

“Nggak bisa gitu, Na. Sebutin penerbit mana. Biar gue senggol. Lo tahu kan berapa follower gue sekarang.”

Hana menggeleng. “Apaan sih.

Dah, yuk, jalan-jalan. Gue pengen refreshing.”

menghampiri Hana. “Oh, si Cleo. Jadi tuh novel terbit.” Siska melirik sinis novel yang dipegang Hana.

“Lo mau sampai kapan sinis gitu ke Cleo?”

“Sampai dia tobat!” ketus Siska.

“Kalau gue jadi dia, udah pasti gue nggak akan muncul. Cukup nama pena aja yang terkenal. Malu jadi perusak bangsa.”

“Itu mulu yang lo omongin, Sis. Lo baca apa tuh? Koran?” Hana mengalihkan pembicaran.

“Nih, koran lagi beritain. Dua anak SMP dipaksa nikah karena si cewek hamil. Hampir tiap hari gue baca berita kayak ginian. Anak SMP-lah, SMA, ada juga yang SD. Heran gue. Mereka mau jadi apa coba? Kebanyakan nonton sama baca yang nggak bener ya gini.”

Siska memperlihatkan halaman yang memberitakan anak SMP sedang menikah lantaran si perempuan hamil duluan.

Membuat Hana miris melihatnya. “Lo jadinya mau beli buku apa?”

“Beliin gue es krim aja, Sis.” Hana meletakkan novel milik Cleo. Tanpa sadar, ia meneteskan air mata. Pedih rasanya saat ia menjadi bagian dari penulis yang merusak mental anak bangsa.

Tak bisa dibayangkan, kontribusi kerusakan yang akan ia berikan di masa mendatang setelah novel miliknya yang lain dicetak.

*** Hana dan Siska memutuskan pergi ke toko buku. Siska sendiri berkoar jika ia akan mentraktir apa pun yang Hana mau, sebagai ganti untuk menghiburnya. Hana mengambil salah satu novel yang terpajang di rak buku.

Nama Cleo tertulis di cover depan. Hana tersenyum memandang novelnya yang telah terbit. Sesuai keinginannya dengan nama pena.

Cerpen

52

FLAWSOME Oleh : Maulidiyah Amaliyah

hati mereka. Oscar tidak lagi berada dalam radarku sesaat mereka membawaku ke dalam lubang kelinci.

Menghitung hari demi hari, bulan demi bulan atau mungkin saja sebenarnya sudah bertahun-tahun aku terjebak di dalam kubus membosankan ini.

Kupikir aku akan selamanya di sini, tanpa Oscar, tanpa pena bulu dan lembaran kulit pohon. Namun kotak tanpa cela itu tiba-tiba terbuka separuh hingga secara keseluruhan menampilkan orang asing berkemeja garis putih-biru tua yang tersenyum kepadaku.

Garis matanya mengingatkanku pada ketajaman pena yang kupakai. Kulitnya secokelat sampul buku sketsaku yang sekarang entah di mana. Mungkin sudah menjadi isi orangorangan sawah.

Lalu sudut senyumannya mengingatkanku akan Oscar. Sedikit.

"

Kebahagiaan seperti apa yang kamu inginkan? Aku akan mewujudkannya, meski Penyihir Utara menjadi jahat atau Kota Zamrud menjadi Kota Abu. Sudah satu bulan semenjak Oscar melontarkan kalimat paradoks itu kepadaku. Sudah satu bulan pula aku terkurung dalam kubus serba putih tanpa cela, dikelilingi oleh bayangbayang Oscar, karakter fiksi yang kuciptakan. Sebetulnya aku tidak tahu bagaimana sosok itu muncul dari dalam lubang teratu.

Atau bagaimana pembicaraan waktu itu dimulai dan diakhiri dengan senyuman lebar misteriusnya yang menebarkan euforia dalam diriku. Senyuman itu tidak pernah sepalsu milik mereka.

Siapa sangka bahwa dengan

"

Pria itu menghampiriku dengan membawa buku di tangannya.

Kemudian mengambil tempat di depanku. “Halo, Annette. Hari ini kita akan berteman baik.”

Aku mengangkat sebelah alis sebelum kembali terfokus dengan lukisanku. Ku goreskan kuku jemariku,

mengenal Oscar lebih dekat dan kerajaannya di Kota Zamrud malah membangkitkan perasaan dengki dalam

menekannya lebih dalam pada permukaan kubus hingga rasa sakit sudah tak terasa lagi.

53

Cerpen

Sementara jalan aspal ditumbuhi dengan bunga aster tiap pria itu melangkahkan kakinya. Selain memiliki senyuman semirip Oscar, pria itu juga memiliki kemampuan serupa milik Proserpina dalam tulisanku.

“Seberapa jauh lagi hingga kita bertemu dengan Oscar?” tanyaku menuntut.

“Tidak jauh dan tidak dekat.

Namun kita akan segera bertemu dengan taman miliknya.”

Aku mempererat genggaman tangannya.

“Sejak kapan kamu mengenal Oscar?”

“Semenjak dia mengenalkan dirinya kepadaku di Kota Zamrud. Nah kita sudah sampai di tamannya.”

Sejujurnya aku tidak pernah mendeskripsikan dengan jelas rupa taman kesayangan Oscar. Aku selalu menyebutnya sebagai “tempat peristirahatan paling bahagia”. Taman itu dipenuhi akan kincir angin yang diapit oleh dua sungai berhiaskan lampion. Anak sungai mengalirkan air semurni ambrosia dengan ikan-ikan sebening kaca dan berkilauan ditempa cahaya matahari. Bunga warna-warni tumbuh indah saat pria itu melintas.

Dengan tangan yang masih bertaut, kami memilih beristirahat di bangku melingkar berwarna hijau di bawah naungan pohon akasia. Dari tempat itu, aku dapat melihat bagaimana sekawanan hewan yang tadi berkerumun di sekeliling kami

“Apa itu Oscar, si pujangga cerdik di Kota Zamrud?”

Aku tersentak, lalu menoleh kepada-nya dengan mulut menganga.

“Bagaimana kamu bisa mengetahuinya?”

“Aku pernah bertemu dengannya.

Dia juga bercerita banyak hal tentangmu,” katanya dengan bangga kepadaku.

Aku memajukan badanku, memang-kas jarak di antara kita. “Apa yang dia katakan?”

“Dia mengatakan bahwa dia akan sangat bahagia jika kamu mau mengunjungi taman miliknya di Kota Zamrud.”

“Benarkah? Bukankah dia sangat membenci orang-orang yang masuk ke dalam tamannya?”

Pria itu menggeleng. “Dia ingin kamu bahagia lebih dari siapapun di dunia ini, Annette.” Diulurkannya tangan itu kepadaku. “Apa kamu bersedia pergi bersamaku ke Kota Zamrud untuk menemui Oscar di tamannya?”

Tanpa berpikir panjang, aku langsung meraih tangannya.

Dia menuntunku perlahan menjauhi kubus putih monoton hingga memasuki lorong panjang putih. Para tikus berdasi di depan meja menyapanya dengan senyuman formalitas semata. Sementara beberapa babi mengais bekas sol sepatu pria itu. Mereka tergila-gila kepadanya.

Kubus putih itu perlahan semakin menghilang dari pandanganku

termanifestasi menjadi sekumpulan manusia dengan gawai di tangannya.

dan kini tergantikan dengan kubuskubus berlubang berwarna zamrud.

Payung jamur penuh dengan makanan dan minuman.

Cerpen

54

“Bukankah itu sangat aneh?

Mereka bertindak membenarkan tiap perbuatan tercela hanya untuk merampas kebahagiaan orang lain.

Bahkan mereka tidak peduli dengan

Mereka hanya terdiam ketika sekelompok berandalan yang berlindung di balik baju sekolah sedang mempermainkan sesama spesiesnya sendiri. Anak-anak itu saling melemparkan kacamata yang kuyakini adalah milik siswa yang berlarian ke sana kemari. Sementara itu, buku dan tasnya telah mengapung di kolam air mancur.

Siswa tak berdaya itu hanya bergelung laiknya trenggiling, tak berdaya. Aku mengerutkan dahi, merasa jengah dengan pemandangan di taman milik Oscar. “Di mana Oscar?”

“Dia akan segera ke sini. Apa kamu meragukan perkataannya?”

Aku menggelengkan kepala secepat mungkin. Tidak mungkin aku meragukan sedikitpun perkataan Oscar.

Aku menciptakannya menjadi seseorang yang akan lebih memilih menghilang ketika tidak menepati janjinya. Dia adalah karakter yang kuciptakan dengan sejumput kebahagiaan yang tersisa dariku. “Tidak. Oscar pasti akan datang.”

“Apa kamu tahu mengapa mereka melawan lelaki kurus itu?”

“Apakah mereka takut dengannya?

Takut jika anak itu mendapatkan kebahagiaan fananya?” Pria berkemeja garis putih-biru tua itu melirikku dan sudut bibirnya terangkat sebagian.

“Hampir benar. Mereka takut jika anak itu menemukan kebahagiaan sejatinya, anak itu akan bertambah semakin kuat tiap harinya dan berakhir berada di atas mereka. Pada dasarnya mereka hanya tidak ingin seseorang menjadi lebih bahagia dibandingkan dengan mereka.”

kenestapaan anak mereka sendiri.

Apakah mereka pikir dengan merampas kebahagiaan anak mereka dapat mengakhiri fase pemberontakannya?”

Senyuman merekah lebar.

pria “Itu

itu semakin tidak akan

mengakhiri fase pemberontakan anak itu, melainkan justru membangkitkan fase lain dalam dirinya. Apa kamu tahu fase apa itu?”

“Balas dendam?”

“Sedikit mirip. Namun ini lebih berbahaya jika dibandingkan dengan balas dendam.”

“Aku tidak tahu. Memangnya seberbahaya itu, ya?”

“Iya. Fase ini akan mengubah hidup anak itu sepenuhnya. Fase ekspresionisme. Anak itu membentuk suatu perlindungan diri dengan mendistorsi kenyataan sesuai dengan perasaannya. Anak itu akan menjauhi kenyataan yang ada dan menggantikannya dengan komponen lain.” Aku menopangkan dagu tidak mengerti.

“Komponen lain seperti apa?”

“Arti kebahagiaan menurut versinya sendiri.”

“Kebahagiaan seperti apa yang kamu inginkan?” celetukku. Tanpa sadar aku menggunakan kata yang selalu diucapkan oleh Oscar kepadaku tiap kali aku mulai menyalahkan diriku sendiri.

55

Cerpen

Lihatlah di sekitarmu dan perhatikan bagaimana komponen lain di dunia ini bisa membuatmu bahagia dengan berbagai cara yang tidak pernah kamu sangka. Hal yang paling penting lagi adalah kamu harus lebih mencintai dan percaya dengan dirimu sendiri terlebih dahulu.

“Tidak ada satu pun manusia yang tidak pernah merasakan kebahagiaan. Mereka pasti pernah merasa bahagia pada momen-momen tertentu. Apakah kamu tahu mengapa Oscar tidak kunjung datang saat kamu sedih?”

“Aku tidak tahu.” Pipiku telah

Mungkin sudah beratus kali Oscar menanyakannya kepadaku, tetapi aku tak kunjung membaik.

“Aku bahagia bila aku sudah mau menerima dan mencintai diriku sendiri.

Bagaimana denganmu, Annette?”

Ketika pertanyaan itu berbalik kepadaku, isi kepalaku seolah hanya berupa ruang hampa. Sejak kapan aku pernah merasa bahagia?

Apakah semenjak Oscar kuciptakan di atas lembaran kulit pohon? Atau saat mereka semua tidak ada? Bukan. Sejak awal akar permasalahannya ada padaku. Mengapa aku dilahirkan jika pada akhirnya aku tidak bahagia?

basah. Sapu tangan milik pria itu hanya menjadi angin lalu bagiku. Aku tidak ingin Oscar menghilang lagi.

“Oscar menghilang karena kamu selalu menyangkal kebahagiaan yang dia berikan kepadamu.

Kamu terlalu memikirkan pendapat orang lain tentang dirimu. Pendapat orang-orang yang ingin merampas kebahagiaanmu.”

“Mengapa Oscar tidak pernah kembali lagi meskipun aku berusaha untuk bahagia?”

“Kamu tahu sifat Oscar. Dia lebih memilih menghilang ketika dia tidak bisa menepati janjinya. Dan dia berjanji untuk membuatmu bahagia. Bukan kebahagiaan yang palsu dan dibuatbuat.”

Ku gelengkan kepalaku berulang kali, tidak bisa menerima kenyataan bahwa sifat Oscar akan menjadi bumerang bagiku.

Oscar adalah segalanya bagiku.

“Aku tidak tahu,” jawabku pada akhirnya. Bulir air mata mulai mengintip dari sudut mataku. Kapan pun akan siap meluncur keluar sederas air terjun di Kota Safir.

Pria itu menyadari kepanikanku dan memberiku sehelai sapu tangan bertuliskan O di salah satu sudutnya.

“Kamu bukan tidak pernah bahagia, Annette.

Hanya saja kebahagiaan sejati itu masih belum kamu dapatkan. Yang perlu kamu lakukan saat ini adalah mencoba untuk memandang dunia dengan cara yang berbeda dari sebelumnya. Duniamu tidak hanya terpusat akan Oscar dan Kota Zamrud.

Cerpen

56

Dia beserta karakter lain ciptaanku lah

“Memangnya kenapa? Mengapa

yang selalu menemaniku selama kebahagiaan perlahan direnggut oleh orang-orangku sendiri.

Aku meremas sapu tangan pemberian pria itu hingga buku-buku jariku memutih.

“Apakah Oscar akan kembali jika aku mendapatkan kebahagiaan sejatiku?”

“Dia tidak pernah kembali lagi.”

Tangisanku semakin pecah hingga kedua telingaku berdenging. Pita suaraku kelelahan dan yang tersisa hanya sesenggukan tanpa suara. Aku meremas rambutku, menariknya hingga tercerabut.

Setelah orang-orangan sawah tertutupi tanaman jagung di ladang, Pandai Besi menjadi berkarat, dan Proserpina dibawa pergi oleh orangorangku, kini giliran Oscar yang menghilang karena perbuatanku sendiri.

Pria itu menepuk pundakku untuk menenangkanku. Dengan lembut dia menguraikan kedua tanganku yang semakin kuat menjambak rambut.

“Kamu tidak boleh menyalahkan dirimu lagi, Annette,” katanya dengan nada suara yang lembut.

kamu sangat peduli kepadaku dibandingkan pria berjas putih lainnya?

Memangnya kamu siapa?!” teriakku frustasi.

“Kamu benar-benar meragukan perkataanku, Annette? Padahal tadi kamu mengatakan bahwa kamu sangat mempercayaiku.”

Kontan aku termenung dalam diam, mencerna setiap perkataan yang baru dilontarkan pria itu. Kutolehkan kepalaku, menatap intens ke kedalaman matanya dan menelusuri setiap garis wajahnya. Mulutku menganga secara refleks.

“Sebenarnya kamu sudah menemukan kebahagiaan sejatimu sejak dulu, Annette. Namun kamu tidak kunjung menyadarinya. Kamu selalu mencintai kita, karya ciptaanmu sendiri.

Itu berarti kamu juga menghargai dirimu sendiri.”

“Oscar?”

Sekali lagi Oscar hanya memberikanku senyuman misteriusnya.

- FIN -

57

Cerpen

Cerita Di Balik Karya Oleh Aza Ma'rifatun Niswa

A

wan kelabu yang tampak menutupi langit membuat Ayodya mendesah pelan karena tak cukup waktu baginya untuk meneruskan perjalanan pulang ke rumah. Ayodya memutuskan meneduh di sebuah halte, karena tak lama setelah itu rintik hujan mulai jatuh di atas tanah menimbulkan bau petrichor yang menyenangkan bagi Ayodya.

Ayodya terdiam dalam lamunannya memikirkan hal yang akhirakhir membuatnya tak fokus dalam melakukan aktifitasnya.

Entah sudah berapa lama Ayodya

Mungkin, satu keputusan ini akan membawa satu hal besar dalam hidupnya.

Tak butuh waktu lama bagi Ayodya sampai di tempat yang dia tuju.

Dengan menguatkan tekadnya Ayodya mulai melangkahkan kakinya memasuki gerbang sebuah rumah yang terlihat sepi. Memasuki halaman rumah yang terdapat banyak tanaman sehingga memberikan kesan sejuk dan asri saat mata memandang.

Dia memasuki rumah dan hanya mendapat keheningan. Suasana yang

tenggelam dalam lamunannya hingga tanpa dia sadari hujan telah reda membuat suasana perlahan menjadi hangat dengan pancaran sinar sang

hening membuat hati Ayodya seakan kosong. Melangkah lebih dalam, Ayodya berjalan menuju pintu sebuah kamar.

Dia memasuki kamar itu dan melihat

surya. Kemudian, Ayodya mulai beranjak dari sana untuk memutuskan satu hal yang telah ia pikirkan baik-baik.

ibunya yang sedang terlelap di atas tempat tidurnya. Ayodya memilih lebih menunggu di sisi samping kasur ibunya.

Cerpen

58

sang ibu bangun. Dia menatap putrinya yang berada di sisi lain dengan pandangan bertanya.

“Maaf, ibu jadi terbangun karena Ayodya.” Kata Ayodya pelan. Ibunya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya sambil berkata, “Tidak, ibu memang sudah terbangun dari tadi.”

Ayodya tau jika ibunya memang benarbenar terlelap tapi namanya juga seorang ibu pasti akan sangat sensitif dengan suara apalagi jika itu menyangkut buah hatinya. Ayodya mengambil tangan ibunya dan mengusapnya perlahan.

“Ibu, Ayodya ingin berbicara sesuatu yang penting. Ibu, kita memang bukan seperti keluarga yang semuanya bisa kita beli dan dapatkan dengan mudah. Kita harus terlebih dulu memperjuangkan hal itu dengan keras.

Hari ini Ayodya mendapatkan informasi yang benar-benar ingin Ayodya dapatkan. Pihak sekolah memberi kesempatan untuk Ayodya mendapat beasiswa dengan mengikuti seleksi lomba di festival sastra. Ayodya meminta restu ibu untuk mengikutinya.”

Ibu ayodya merasa bimbang dengan permintaan putrinya.

Dia menatap mata Ayodya dengan ragu tapi, melihat mata putrinya yang penuh dengan tekad dan semangat dia tersenyum sambil berkata, “Ibu selalu berharap yang terbaik untuk anak-anak

apalagi dengan kondisi ekonomi kita yang seperti ini nak. Memang ibu juga tau kapasitas kamu seperti apa, mimpimu seperti apa. Tapi, sekalipun beasiswa itu bisa kamu dapatkan maka tanggungjawab kamu juga akan semakin besar begitupun dengan tekanan yang akan kamu dapatkan apalagi kamu harus siap dituntut untuk memenuhi nilai standar dari mereka untuk mempertahankan beasiswa kamu.”

Ayodya hanya menganggukan kepalanya paham sambil berkata, ”Ayodya tau akan resikonya bu dan siap menanggung semuanya.

Ayodya memang tidak tau seperti apa masa depan yang akan terjadi tapi, setidaknya Ayodya pernah mencoba dan berusaha sekalipun gagal Ayodya akan bangga karena Ayodya berani untuk mengambil langkah dan keputusan. Ayodya akan selalu berusaha yang terbaik untuk ibu.

Maka, Ayodya sangat memohon restu ibu sebagai jalan Ayodya untuk mengambil langkah.”

“Ibu merestuimu.

Ambil keputusan terbaik untuk dirimu karena masa depan kamu adalah milik kamu sendiri. Kejar itu.” tutur ibu sambil mengusap rambut Ayodya dengan sayang.

Ayodya melihat ibunya dengan tak kuasa menahan tangis yang sedari tadi dia tahan. Dia memeluk ibunya dengan erat sambil mengucapkan terima kasih. Ayodya akan berusaha dan

ibu nak. Tapi, ibu ingin bertanya pada kamu. Kamu tau bukan harapan ibu padamu. Ibu ingin kamu masuk ke sekolah kedinasan milik pemerintah saja

memberikan terbaik yang dia bisa untuk ibunya. Sekarang, dia berharap terbaik rencana Tuhan untuk dirinya dan masa depannya.

Pergerakan Ayodya, membuat

59

Cerpen

Pagi menjelang

dengan

“Maaf mengganggu waktu anda bu. Saya hanya ingin menyampaikan bahwa saya ingin mengikuti festival sastra. Saya mohon bimbingan dari ibu.”

“Atas dasar apa kamu ingin festival sastra itu? bukankah waktu itu kau mengatakan bahwa kau tidak ingin mengikutinya.” Guru itu masih menatap mata Ayodya dengan intens lalu tak lama tersungging senyum di bibirnya mendengar jawaban Ayodya.

“Saya salah waktu itu. Saya memutuskan terlalu cepat tanpa berpikir dan mempertimbangkan beberapa hal penting yang bisa saya lakukan dengan mengikuti festival sastra. Saya terlalu overthinking dengan memikirkan hal-hal yang mungkin saja bisa tidak terjadi. Saya ingin mengikuti festival sastra karena saya ingin memperjuangkan potensi yang saya miliki.”

“Pilihan yang bagus anak muda, festival sastra akan dilakukan dua bulan lagi. Bersiaplah dengan maksimal. Aku berharap kau bisa mendapatkan beasiswa sebagai pemenang dan karyamu akan banyak dikenang untuk inspirasi.”

sang

surya yang tampak bersinar di ufuk timur membawa harapan dan mimpi baru bagi setiap insan, begitu pula dengan mimpi Ayodya. Dengan semangat, hari ini Ayodya akan memberitahu gurunya mengenai kehadirannya untuk mengikuti kegiatan lomba beasiswa festival sastra.

Senyum merekah sempurna di bibirnya.

Wajahnya berseri dan dengan riang gembira dia mengayuh sepedanya.

Jarak sekolah dengan rumah tidak membentang jauh sehingga tak butuh waktu lama bagi Ayodya untuk sampai ke sekolah. Sekolah yang dimana dia belajar selama hampir 3 tahun ini. tahun ini adalah tahun terakhir dia berada di sekolah ini. Langkahnya membawa dia menelusuri lorong sekolah hingga sampai pada sebuah ruangan.

Ruangan seni dan sastra di mana gurunya selalu berada di sana setiap pagi. Ayodya mengetuk pintunya dan setelah mendapat sahutan dari dalam baru dia memasuki ruangan tersebut.

Dari tempatnya berdiri Ayodya bisa melihat wanita paruh baya yang sedang fokus membaca sebuah novel milik Victor Hugo „Les Misérables’.

Beberapa saat hening hingga sebuah suara yang berkata,” apakah kau memiliki kepentingan disini? Jika tidak, kau bisa keluar sekarang.” Seketika rasa gugup menyerang Ayodya. Raut wajah gurunya terasa dingin ditambah dengan hawa mendadak beku di sekitarnya semakin menambah jelas kegugupanya.

Dia berusaha menatap mata gurunya sambil menyunggingkan senyum sopan.

Cerpen

60

dan dia berharap bisa untuk menginspirasi orang lain melalui sastra.

Hari ke hari terus berlalu hingga tanpa terasa festival sastra akan dilaksanakan kurang lebih dua minggu lagi. Tentunya Ayodya sudah menyiapkan semaksimal mungkin karya yang dia buat dan sekarang Ayodya dan beberapa anak yang lain sedang berkumpul di ruang seni menyerahkan karya mereka kepada

Ibu Arunika menatap Ayodya dengan senyuman sambil menerima karya Ayodya. Ibu Arunika menatap file itu dengan heran, sekali lagi dia memandang Ayodya dengan pandangan bertanya.

“Judul itu mungkin sesuai dengan keadaan saya ataupun anakanak lain bu. Dari judul Perjuangkan Mimpi Hadapi Konsekuensi, saya sangat berharap bahwa saya dan anak-anak lain yang memiliki mimpi harus mempertahankan dan perjuangkan untuk mencapai mimpi itu dengan menghadapi segala konsekuensi kedepannya karena itu adalah

Ibu Arunika selaku guru sastra dan yang bertanggungjawab terhadap murid yang mengikuti kegiatan festival sastra ini.

Ayodya di barisan terakhir menyerahkan karyanya. Dia melihat teman-temanya yang lain sangat bahagia karena telah menyelesaikan karya mereka begitupun dengan Ayodya.

Kegiatan Festival Sastra ini adalah kegiatan Festival besar yang diadakan dua tahun sekali dengan banyaknya antusias dari siswa siswi sekolah yang yang sangat mencintai sastra.

perjuangan hidup yang berharga.”

Setelah mengatakan hal itu, Ayodya berpamitan untuk undur diri sedangkan Ibu Anika menatap punggung Ayodya yang perlahan menghilang dengan pandangan yang sulit untuk dijelaskan.

Saya berharap bahwa tulisan ini bisa menginspirasi untuk orang lain, saya percaya kamu bisa entah sekarang ataupun masa depan tekad kamu untuk mimpimu tidak pernah padam. Batin ibu Arunika.

Setelah pembicaraan selesai, Ayodya menuju kelasnya dengan semangat dan tekad yang semakin kuat terpancar dalam matanya. Bukan semata hanya karena beasiswa, dia mencintai segala hal yang berkaitan dengan sastra

61

Cerpen

PUISI

62

Meruangi Relief Kontemporer Oleh: Narendra Brahmantyo K.R.

Kerap kami kabarkan berita-berita di suatu riwayat penandusan sejarah mengenai gundulnya watak, pula banjirnya manifesto yang mencampuri partitur luka Juga, demi menangguhkan tebing kulawangsa, akan kami singsingkan ratapan dari dahi-dahi lapang—syahdan, separuh wabah di musim dasawarsa kedua segera kami gencarkan maklumatnya /Kabar pertama/ Kami riwayatkan tembok-tembok puisi merupa amsal bijana, bilamana wacana yang memakzulkan musim niskala ialah jentaka pada watak kulasentana Sebermulanya puisi menjelma katarsis, dan melangkatnya sunyi pada denyut kabar, kami siasati kefakiran dari punggung kota yang tulangnya merupa tangga-tangga kecil menuju leher kerakusan dari rahim kolong jembatan menyusu pada puting oligarki mementaskan tangisan pada gelanggang hukum

63

Puisi

/Kabar kedua/ Saujana tersauh kabar pada materai pengampunan, kami ceritakan hikayat makrifat kebakaran sejarah abad kontemporer Cerita-cerita silam akan kami dongengkan pada lelapnya negeri, juga heningnya nyalang suar ketika orang-orang enggan bermonolog pada lembaran tagihan Kami kenangkan kawula, sebab baginda ialah putra yang dipertuankan negeri. Enggankah engkau berdalih pada cekik suara kesenjangan dari kau yang berkelit pada cekikikan suara kesenangan? /Kabar ketiga/ Pada senarai bilur, acap kami urungkan berang sebab kebengisan ialah watak dan perlawanan ialah muasal kekalahan Lalu kami pasangkan lambang filantropi yang memagut diorama wabah, pula kami guratkan esai pada tepian remang ibukota, Berita kekalahan ialah sejarah fiksi yang terpahat pada relief para pemenang, sementara bentala ialah ruam-ruam keji yang kerap diperanakkan para tuan.

Sebab setelah hymne perdamaian kerap dianggurkan, kami nyalakan ode dari sayat-sayat lidah pula ruam-ruam leher, supaya derita ialah musabab muskil dari riwayat palung wijaya Maka, setelah kami tuliskan derita dari sejarah fiksi, kami layangkan lembaran-lembaran putih pada almanak para raja, biarpun senarai obituari mustahil kami ubah partiturnya mengurai legit kunarpa

Yogyakarta, 28 Maret 2022

64

Puisi

Sepotong Narasi Seusai Pandemi Menyetubuhi Bumi Oleh : Muhammad Iqbal Khoironnahya I. Di rusuk bumi, jemala-jemala manusia telah limbung menaruh arah tuju lantaran terlampau riuh disesaki api dari tungku rahim pandemi yang menggeragau menikam dinding usia yang sibuk mengasuh nasib —memanjangkan kemarau nelangsa; keharsaan pun perlahan raib : melahirkan sepotong narasi dari pandemi yang menyetubuhi bumi.

II. Narasi-narasi itu pun terjelma menjadi sebuah kias derana tatkala manusia-manusia terpasung dalam bilik kamar temaram yang menyuguhkan noktah-noktah hitam.

Namun dalam rahim pandemi yang masih giat meranggaskan masa terintis karsa dari sebilah pena: menyusun sajak-sajak pengharapan ditulis dalam tubuh doa yang ranum menatang secercah asa.

III. Hingga, pena-pena pun berdansa; menggelar gelayut pinta yang prasaja diseduh saban hari di rusuk buana, dibumbungkan ke langit Widiwasa saban detak usia mencipta potongan daya cipta yang menginspirasi sarwa insan semesta bahwasanya, menaruh jabat saling jaga serupa menggembala sukma agar lekas buih nuraga tersemai ke seluruh penjuru buana melalui tinta-tinta aksara —sebuah sajak yang disusun dari gumpalan benih derana yang mengisi petak dada.

IV. Perlahan menjelmakan sendi hayat tak berona kabung hamparan karunia dan dosa pun tak lagi disabung kita lekas membahu; menyerkap rahim wabah niskala mendedah tabir-tabir yang kerap membawa muram malam mencipta album memoar sebuah juang di tanah perkulakan air mata.

Sleman, 28 Maret 2022

65

Puisi

Kepada Realita Mari Bersandiwara Oleh: Fransiskus Julio Alfonso Simbolon

Kita, kemudian adalah sibuk Ayatnya seraya mengisi gubuk Pada si tua yang bergelimang dengan niscaya Menanti sang kakala di tiup dari sorga Entah suaranya sumbang namun berirama Atau bergelombang tetapi tidak berdinamika Aku tahu "baru" tidak senantiasa eksklusif dengan kata yang merdu Begitu pula "lama" bukan berarti kita dijauhkan dari dusta Semua tentang bagaimana kita mendewasakan realita Atau cinderamata apa yang tersirat dari kenangan lama Lantai tidak pernah jemu saat dirinya di injak ratusan orang Jendela tidak pernah jemu saat ditimpa angin serta hujan Masyhurkan dirimu seraya berkata kepada realita, Mari bersandiwara

Puisi

66

Harapan Kalengan Oleh: Ira Auzira Lihatlah anak lusuh di pinggir rel itu Nafas bapak ibunya berhenti karenamu Tangan imutnya harus meraba kasarnya hidup untuk makan Langkah mungilnya harus terseok-seok untuk mencari tempat tinggal Tubuh kecilnya harus legam terbakar matahari untuk bahagia Mungkin sekarang ia lebih percaya undian daripada harapan Karenamu pemakaman lebih ramai dari pasar Orang membeli banyaknya bunga seperti membeli sayur Mencari tanah kosong untuk jenazah sama sulitnya dengan mencari lapak jualan Tidakkah kau prihatin?

Karenamu menangis sudah menjadi rutinitas Mata yang sembab kini menjadi tren di wajah Dan air mata lebih deras dari air hujan Tidakkah kau sedih?

Karenamu jutaan orang kelaparan Manusia harus berusaha keras untuk berhenti bergelut dengan perut Bahkan harga sebutir nasi lebih mahal dari harga kemanusiaan Tidakkah kau kasihan?

Entah kapan koran pinggir jalan menulis berita bahwa kau telah pergi Entah kapan radio lama mengatakan bahwa tak ada lagi yang mati Entah kapan televisi usang menunjukkan bahwa bumi sudah pulih Jika saja di toko-toko sembako menjual harapan kalengan Mungkin manusia tak disapu terlalu jauh oleh kesengsaraan

Puisi

67

Perangkai Sajak Penjejak Inspirasi Oleh: Josua Sitepu S.Si

Kini kuberi diri untuk mengabdi pada negeri yang berdikari Mencintai melalui puisi yang terpatri dalam literasi yang tak mati Memuja kata-kata bermakna dalam umpama yang bergema Merupa megahnya aksara dalam prosa-prosa berirama Kutak mampu bersuara lantang dikala petang akan datang Atau berpetualang menjadi pemenang dalam perang yang menjelang Aku hanya mampu memberi diri menjadi inspirasi melalui tulisanku kini Kata-kata berambisi dan penuh misteri membangun NKRI Bersuara merangkai sajak yang mewarnai melalui ketikan jemari Mengilhami sebuah keindahan abadi dalam hati yang tersisipi Penulis kreatif yang kian agresif saat ini menjadi semakin inspiratif Ekspresif dan aktif menginisiatif semangat-semangat yang generatif Perangkai sajak penjejak inspirasi membuahi aliansi penikmat seni Berdiri mengisi sejarah generasi pelahap seni literasi yang mengisi tamahku kini Bersuara melalui nada-nada dan retorika akan sebuah kata Merangkai salut dan suratnya akan asa dan cerita bermakna Aku tak diam, bahkan jika dibekam aku akan menerkam dan menerjam akan kejam yang kian seram merajam malalui alam Aku berdiri dan menginspirasi melalui tulisan-tulisan berbukti Membela negeri dengan caraku sendiri untuk menjadi kunci inspirasi

68

Puisi

Lili Pemantik Oleh: Parastri Ratih Nareswari

Ibukota rupanya bukan ibu yang baik Ia sibuk memelihara munafik Lupa menemani kartininya Yang berjuang agar dunia tidak merampas napasnya Ibukota rupanya bukan ibu yang baik Ibukota tidak peduli penghidupan yang kartininya pilih Di tempat penuh dosa di sudut kota Mustahil untuk santai karena bahaya selalu mengintai Apa guna fisik bak mona Jika mata binar kecilnya berubah nanar seiring besar Jentik lentiknya hanya untuk menghidupkan pemantik Pipi merahnya menjadi muara kecup buaya Tak ada bunga seindah dirinya Malang nasibnya tak seindah bunga

Puisi

69

Jangan Lagi Kita Bunyikan Sepi Oleh: Vania Kharizma

Tidak lagi kita jual aneka hening pada niceso tidak lagi kita belajar apa-apa mengenai sosial dan budaya negeri ibumu di unesco segalanya ialah akhir yang sani, pada isi kepala kita yang tumbuh miana, telah kuutarakan pada matahari bahwa malam merindukan hangatnya, tapi jiwa kita telah gersang pada ganasnya dan kemarau yang menghanguskan bara di kepala kita.

Dan pada kesepian ini, ia tengah merajai kota, tubuhnya ialah waktu yang melawan kematian haru menjelma hura, suri menjelma sara orang-orang yang wafat sekian detik, memelihara dan menyelamatkan hidup bagi tamu yang tengah bersedih, jangan lagi kita suarakan hening! hendak kutanam fantom yang meramai jemala inspirasi yang tumbuh menjadi kelopak krisan : kesukaan nenenda yang gemar ditenggerkan pada liang vas bunga.

Pada catatan mungil, memoar kecil, biar kita beritakan sumpah dan janji dan inspirasi melalui ala kadarnya kata melalui aku yang membenci jangkrik dan angin, melalui dirimu yang membenci lolong rottweiler dan oceh gagak tua.

70

Puisi

Bila kita temui pungguk di malam, beritahukan padanya bila bulan tengah menantinya walau telah disepakatkan pada senyap yang maha, bahwa, jangan lagi kita bunyikan sepi, dan sepi, dan sepi, dan seluruh ode mengenai kesepian! bukankah kita mampu menuliskannya? setidaknya bila tak bisa bicara, kita mampu membahasakannya melalui tulisan sederhana.

Jadi, demikianlah kukabarkan pada bumi bahwa cara kita dalam menyiasati sepi begitu ugahari. setidaknya dengan sepi, inspirasi lahir melalui kata dan goresan pena.

Solo, 28 Maret 2022

Puisi

71

Di Negeri Seribu Epigraf Oleh: Silvia Andri Yanti

//Fragmen I// Tuan Di sini, kami tunas-tunas penopang negeri telanjang kaki menggemburkan wajah pertiwi Padi-padi menguning terbentang mengundang jari-jemari datang meminang Di sini, samuderanya kaya raya Arung kapal-kapal bernaung ikan-ikan berlalu lalang sambil bersenandung sesungguhnya tanah kami subur kendati ditimbun berbukit lumpur //Fragmen II// Tuan kau tak perlu risau perihal sepi apalagi larut sebab sedu sedan kami cukup dengan senyum ramah pada sesiapa yang ingin bertandang kami jamu sepenuh hati tanpa syarat gono gini sesungguhnya kami ialah satu dari berbagai kekariban yang menanti kedatangan dengan hangat pelukan //Fragmen III// Tuan Tak perlu resah dengan puisi-puisi sanjungan yang belum usai mereka tidak tersesat dan hilang arah Sebab kelahiran adalah dunia baru dari segenap harapan mereka tak berhenti melainkan belajar untuk mengerti Bahwa bahasa kami adalah satu dari macam-macam perbedaan Dari pulau-pulau kukuh Dengan serba-serbi keunikannya

72

Puisi

//Fragmen IV// Tuan kami hidup dari sulur-sulur daun dari kayu dan batu yang menjelma tanaman kami baris-berbaris dan melanglang apapun yang ibu sajikan dan hidang kami adalah satu dari sekian ribu dari keberagaman yang diharapkan menjaga warisan dan tradisi sang ibu tanpa mengenal titik jemu (panjang umur BHINNEKA TUNGGAL IKA)

Bangka, 22 Maret 2022

Puisi

73

Tergores Angan Oleh: Fatma Kurniawati

Dalam lataran putih yang bermula lapang Melalui tinta hitam yang kokoh menjulang Kugoreskan asa yang ku harap melambung Kugoreskan angan ketakutan yang tak terhitung Berawal dari larik yang tergoreskan Kuharap dapat tergenggam semua angan Kuharap kisah yang panjang berakhir menyenangkan Kuharap hati selalu penuh akan ketabahan dan kelapangan Jikalau penghujung waktu tidak membaik pada akhir Setidaknya masih tersisa lataran putih sebagai memori Setidaknya masih tersisa tinta hitam sebagai saksi Setidaknya masih ada ruang berkata yang mengundang ikhlas pada akhir

74

Puisi

Aku, Sang Nona, dan Sang Tuan Oleh: Talitha Nabilah

/1/ Di atas lantai ubin yang teramat dingin, Tubuh gadis itu, aku, terluka kembali Puncak lara yang dirasa, tak lebih pedih dari sebuah patah hati Setegar karang perisainya, namun seperti titik hujan, Air suci netra itu tak lagi tertahankan /2/ Serasa tak ada giliran Karya – karya usang penuh coretan Untaian diksi selaras yang mengambang Kepada Sang Bentala disampaikan, “Sudah, cukup di sini, aku, membumikan binar asa bumantaraku” /3/ Di bawah pendar kirana matahari yang menyakiti, Sukma gadis di sana, sang nona, terbakar kembali Menari – nari tanpa alas kaki, bersama gundukan besar jerami padi pagi ini Tak sempat menangisi, perut adik sang nona sudah harus segera terisi Kepada Sang Bentala disampaikan, “Raya karsaku akan selalu kulitanikan. Tuhan, izinkan aku untuk terus memperjuangkan”

Puisi

75

/4/ Di selesa lautan suara ombak yang semilir, Sosok perjaka di sana, sang tuan, tertatih kembali Senandung hangat terumbu karang, membersamai ikan – ikan memasuki jaring tangkapan Terbesit untuk berhenti, namun ratapan ayah ibu setiap malam, selalu tak bisa diabaikan Kepada Sang Bentala disampaikan, “Mimpiku tidak hanya untukku, tapi untuk mereka juga. Tuhan, aku tak akan menyerah” /5/ Tubuh gadis itu, aku, tersadar kembali.

Kepada Sang Bentala disampaikan, “Tidak, ini belum disudahi. Terlalu dini untuk berhenti di sini.

Aku, akan terus membumikan binar asa bumantaraku”

76

Puisi

KOMIK STRIP

77

Dari Buku Menjadi Prestasi Oleh Miladya Rahmawati https://bit.ly/Komik_FINITO_DariBukuMenjadiPrestasi

78

Komik Strip

Tuliskan Kreasi Suarakan Inspirasi Oleh Helena Joan Noven https://bit.ly/Komik_FINITO_Komik_FINITO_TuliskanKreasiSuarakanInspirasi

Komik Strip

79

Percaya Diri dan Positive Thinking Oleh Dandy Satria Damara https://bit.ly/Komik_FINITO_PercayaDiridanPositiveThinking

80

Komik Strip

Isi Kotak Oleh Ranessa Nurfadillah https://bit.ly/Komik_FINITO_IsiKotak

Komik Strip

81

POV Oleh Indra Hidayah Ramadhan

https://bit.ly/Komik_FINITO_POV

82

Komik Strip

Terinspirasi untuk Menginspirasi Oleh Felyvia Novianti

https://bit.ly/Komik_FINITO_TerinspirasiuntukMenginspirasi

Komik Strip

83

Gagal Oleh Maria Nikola https://bit.ly/Komik_FINITO_Gagal

84

Komik Strip

Evakuasi Inspirasi Oleh Muhammad Farhan

https://bit.ly/Komik_FINITO_EvakuasiInspirasi

Komik Strip

85

Tujuan Menulis Oleh Mia Eunice Felice Suprapto

https://bit.ly/Komik_FINITO_TujuanMenulis

86

Komik Strip

Biodata Penulis (Cerpen) Nama : Dwina Fitriani Dharmawan Judul Karya : Aktivis Lingkungan Penjelajah Waktu Email : dwina.fitriani@ui.ac.id Nomor Telepon : 0895364471047

Nama : Rizky Ramadhan Judul Karya : Sampai Aku Terbakar Habis Email : rizkydorable48@gmail.com Nomor Telepon : 089524247028

Nama : Nisa Ramadan Setianingrum Judul Karya : Inspiration Of The Month Email : nisaramadan016@gmail.com Nomor Telepon : 082138685415

Nama : Annisa Nurba Iffah'da Judul Karya : Eira yang Malang Email : annisanurbaiffahda@gmail.com Nomor Telepon : 085155257868

Nama : Baitul Muttaqin Al Majid Judul Karya : Proses Email : taqinmajid25@gmail.com Nomor Telepon : 087885993060

Nama : Alvina Briantiningsih Judul Karya : Baskara : Senja Terakhir di Persuratan Email : alvinabrian06@gmail.com Nomor Telepon : 081225751208

Nama : Eni Listiowati Judul Karya : Cahaya Dibalik Anak Istimewa Email : enilistiowati0@gmail.com Nomor Telepon : 085386180299

Nama : Diyah Ayu Nur Halimah Judul Karya : Penghancur Anak Bangsa Email : adiyah902@gmail.com Nomor Telepon : 085713384552 Nama : Maulidiyah Amaliyah Judul Karya : Flawsome Email : Amaliyahlidya@gmail.com Nomor Telepon : 085730458368

Nama : Aza Ma'rifatun Niswa Judul Karya : Cerita Di Balik Karya Email : aza805849@gmail.com Nomor Telepon : 085604147599

Biodata Penulis (Puisi) Nama : Narendra Brahmantyo K.R. Judul Karya : Meruangi Relief Kontemporer Email : rendra.buyung2003@gmail.co Nomor Telepon : 088215277606

Nama : Parastri Ratih Nareswari Judul Karya : Lili Pemantik Email : rateaapie05@gmail.com Nomor Telepon : 085921535829

Nama : Muhammad Iqbal Khoironnahya Judul Karya : Sepotong Narasi Seusai Pandemi Menyetubuhi Bumi Email : Muhammadiqbalkhoironnahya@gmail.com Nomor Telepon : 087847710077 Nama : Vania Kharizma Judul Karya : Jangan Lagi Kita Bunyikan Sepi Email : vaniakharizma@gmail.com Nama : Fransiskus Julio Alfonso Simbolon Nomor Telepon : 082133751185 Judul Karya : Kepada Realita Mari Bersandiwara Email : fransiskusjulio.2020@student.uny.ac.id Nomor Telepon : 08179060701

Nama : Ira Auzira Judul Karya : Harapan Kalengan Email : iraauzira@gmail.com Nomor Telepon : 0895324874298

Nama : Josua Sitepu Judul Karya : PERANGKAI SAJAK PENJEJAK INSPIRASI Email : josuasitepu08@gmail.com Nomor Telepon : 085271895395

Nama : Silvia Andri Yanti Judul Karya : Di Negeri Seribu Epigraf Email : silviaandryn26@gmail.com Nomor Telepon : 088269421097

Nama : Fatma Kurniawati Judul Karya : Tergores Angan Email : fatmaniaa3@gmail.com Nomor Telepon : 085730799111

Nama : Talitha Nabilah Judul Karya : Aku, Sang Nona dan Sang Tuan Email : talithan3@gmail.com Nomor Telepon : 082334453085

Biodata Penulis (Komik Strip) Nama : Miladya Rahmawati Judul Karya : Dari Buku Menjadi Prestasi Email : miladyarahmawati@gmail.com Nomor Telepon : 082322338808

Nama : Helena Joan Noven Judul Karya : Tuliskan Kreasi Suarakan Inspirasi Email : helenajoan11@gmail.com Nomor Telepon : 081335268260

Nama : Dandy Satria Damara Judul Karya : Percaya Diri dan Positive Thinking Email : dandysdamar@gmail.com Nomor Telepon : 085784464988

Nama : Ranessa Nurfadillah Judul Karya : Isi Kotak Email : ranessa.nurfadillah@gmail.com Nomor Telepon : 082215424184

Nama : Hermon Triberly Karisma Judul Karya : Konsisten Email : hermonkarisma@gmail.com Nomor Telepon : 082150246420

Nama : Indra Hidayah Ramadhan Judul Karya : POV Email : droymcdanny@gmail.com Nomor Telepon : 082257515226

Nama : Felyvia Novianti Judul Karya : Terinspirasi untuk Menginspirasi Email : felyvianovianti@gmail.com Nomor Telepon : 083857707415

Nama : Maria Nikola Judul Karya : Gagal Email : marianvangelina@gmail.com Nomor Telepon : 0818170806

Nama : Muhammad Farhan Judul Karya : Evakuasi Inspirasi Email : arahhan.farhancv@gmail.com Nomor Telepon : 0895414764489

Nama : Mia Eunice Felice Suprapto Judul Karya : Tujuan Menulis Email : miaunicefelice@gmail.com Nomor Telepon : 085608784164

"Belajar menulis adalah belajar menangkap momen kehidupan dengan penghayatan paling total yang paling mungkin dilakukan oleh manusia"

- Seno Gumira Ajidarma -

Sampai Jumpa di

FINITO 3.0