PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS ACEH

Page 1

1

KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

TESIS

Sebagai Salah SatuSyaratUntukMemperolehGelar Magister Hukum Pada Program Studi Magister IlmuHukum Program PascasarjanaUniversitasSyiah Kuala

Oleh : TEUKU ISKANDAR SYAFEI 0909200030036

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SYIAH KUALA BANDA ACEH 2012


2

ABSTRAK

KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/KOTA DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH Oleh : TeukuIskandarSyafei1) HusniDjalil EddyPurnama Pasal 179 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) “salah satu pendapatan daerah bersumber dari dana otonomi khusus”. Kemudian secara prinsip mengenai dan aotonomi khusus disebutkan dalam Pasal 183 UUPA. Mengenai teknis bagaimana pengelolaannya diatur dalam Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus. Dengan demikian timbul permasalahan yang perlu dikaji Apakah pengelolaan dana otonomi khusus sudah sesuai dengan Peraturan PerUndangUndangan yang berlaku, dan apakah yang menjadi kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus. Tujuan penulisan tesis ini untuk Mengkaji pengelolaan dan aotonomi khusus apakah sudah sesuai dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku, dan Menemukan kendala Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus. Penulisan tesis ini dilakukan dengan metode pendekatan yuridis normatif yang menekankan pada hukum dan peraturan Perundang-undangan. Jenis-jenis data dan bahan-bahan hukum yang digunakan berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan dan dokumentasi hukum, lalu dianalisis menggunakan metode kualitatif Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa system pengelolaan dana Otonomi Khusus sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dan bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus, yang menyatakan secara tegas bahwa Dana Otonomi Khusus yang menjadi bagian setiap Kabupaten/Kota tidak diberikan secara langsung (tunai) maupun transfer akan tetapi hanya diberikan dalam bentuk pagu, dan untuk pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah Aceh, sehingga Pemerintah 1

Mahasiswa KetuaKomisiPembimbing  AnggotaKomisiPembimbing 


3

Kabupaten/Kota hanya mengusulkan saja berkaitan dengan program yang akan dibiayai oleh Dana Otonomi. Yang menjadi kendala dalam pelaksanaan dana otonomi khsus diantaranya Pengelolaan yang sentralistik, Pembatasan peruntukan, Sumber Daya Manusia, Birokrasi yang panjang, dan intervensi. Disarankan agar Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) harus memprioritaskan pembahasan dan pengesahan perubahan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi, tentunya dengan memperluas kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan Dana Otonomi Khusus dengan memperhatikan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggungjawab, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sebagaiacuanjugaaspirasi dari kabupaten/kota maupun berbagai kajian ilmiah. Dan Pemerintah Kabupaten/Kota harus berupaya mengatasi seluruh kendala yang selama ini dihadapi, tentu bukan sesuatu yang mudah namun dapat dilakukan dengan skala prioritas, agar manfaat dari dana otonomi khusus dapat dirasakan secara nyata dan adil oleh seluruh masyarakat Aceh. Kata kunci : Kewenangan, Pemerintah Kabupaten/Kota, Otonomi Khusus .


4

ABSTRACT AN ASSESSMENT ON DISTRICT/MUNICIPAL GOVERNMENTS PRIVILAGE REGARDING SPECIAL AUTONOMY FUND UNDER THE LAW ON GOVERNING OF ACEH By Teuku Iskandar Syafei* Husni Djalil** Eddy Purnama***

Article 179 paragraph (2) of Law No. 11 Year 2006 on the Governing of Aceh (UUPA) "One of the revenue derived from the special autonomy funds". Then in principle on and Autonomy specifically mentioned in Article 183 UUPA. Technical about how the management set in Aceh Qanun No. 2 of 2008 concerning procedures for the allocation of additional funds from oil and gas and the use of special autonomy fund. Thus, problems arise that need to be studied this special autonomy fund management is in accordance with the legislation in force, and what are the obstacles for District/City Government in the management of special autonomy funds. Purpose of this thesis to Assess the management and special Autonomy if it is in accordance with the legislation in force, and Finding constraints District /City Government in the management and special Autonomy. Thesis was performed with normative juridical approach that emphasizes the legal and regulatory legislation. The types of data and legal materials used are of primary legal materials, secondary and tertiary. Data was collected with the study of literature and legal documents, and then analyzed using qualitative methods Based on the survey results revealed that the management system of special autonomy fund as stipulated in the Qanun No. 2 of 2008 concerning the allocation of additional procedures and for the oil and gas and the use of special autonomy fund, expressly stating that SAF being part of any district / city is not given directly (cash) and the transfer but will only be given in the form of ceiling, and its implementation by the Government of Aceh, so the District / City Government proposes only be associated with a program that will be funded by the SAF. Which is a constraint in the implementation of the autonomy fund particular periodicals including centralized * ** ***

Postgraduate Student of Syiah Kuala Law School The Head of Supervision Commission The Members of Commission


5

management, allocation restrictions, Human Resources, Bureaucracy long, and intervention. It is recommended that the House of Representatives Aceh (DPRA) should prioritize discussion and endorsement changes Aceh Qanun No. 2 of 2008 on the Procedure for Allocation of Additional Funds for Oil and Gas, course by extending the authority of the Government of Regency / City in the management of SAF by observing the principles of autonomy, real and responsible, and law-UndangNomor 11 Year 2006 concerning the Government of Aceh as a reference also the aspirations of the district / city and the scientific literature. Government and Regency / City must try to overcome all obstacles that have been faced, certainly not something easy but can be done with the scale of priorities, so that the benefits of special autonomy funds can be felt in a real and fair by all Acehnese. Keywords: Authority, District / City Government, Special Autonomy


6

KATA PENGANTAR ‫هللا الرَّحْ مٰ ِن ال َّر ِحي ِْم‬ ِ ‫ِبس ِْم‬

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT, karena dengan kuasanya, berkat dan kehendak-Nya, tesis yang berjudul ”Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh” telah dapat diselesaikan dengan baik. Salawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah mengantarkan manusisa kealam yang berilmupengetahuan. Penulisan tesis ini dimaksudkan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Program Pasca sarjana Univesitas Syiah Kuala. Penyusunan tesis ini tidak mungkin berhasil diselesaikan tanpa kesempatan, bantuan bimbingan, arahan serta dorongan semangat dari berbagai pihak. Untuk itu disampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setinggi-tinginya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Husni Djalil, S.H., M.Hum selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Eddy Purnama, SH., M.H, sebagai Angota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan petunjuk, bimbingan dan nasihat dalam penulisan tesis ini


7

2. Bapak Prof. Dr. Syamsul Rizal selaku Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Syiah Kuala, yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan pada program pasca sarjanaUniversitas Syiah Kuala 3. Bapak Prof. Dr. Ir. Samsul Rizal, M.Eng. Selaku Pj. Rektor Universitas Syiah Kuala yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan studi sampai dengan memperoleh gelar Magister Hukum (M.H) 4. Seluruh Staf dan Dosen Pengajar yang telah mendidik dan memberikan ilmu dengan tulus dan ikhlas. 5. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang setiap saat tanpa henti mencurahkan kasih sayang dan melantunkan doa sehingga dapat terselesaikannya tesis ini dan juga kepada Kakak dan Adik tersayang yang senantiasa memberikan pengertian dan dukungan selama studi hingga selesainya tesis ini. 6. Teristimewa ucapan terima kasih kepada keluarga tercinta istri dan kedua putra kami, sebagai sumber motivasi dalam penyelesaian tesis ini. 7. Kepada semua teman-teman Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Syiah Kuala, Khususnya Angkatan 2009 yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terimakasih atas bantuan dan dorongan semangatnya. Semoga segala bentuk bantuan yang telah diberikan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT. Jaza-kumullah ah-sana al-jaza’. Dalam penulisan tesis ini, disadari bahwa kesempurnaan hanyalah Milik Allah sehinga pada akhirnya, segala saran dan masukan atas kekurangan tesis ini, diterima dengan pikiran terbuka dan ucapan terima kasih.


8

Akhirnya mohon maaf kepada semua pihak yang telah berjasa dalam penelitian dan penulisan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, karena tidak sempat mengucapkan terima kasih. Semoga Allah membalas kebaikan mereka dengan rahmat dan karunia-Nya.

Banda Aceh, 29 Oktober 2012 Teuku Iskandar Syafei


9

DAFTAR ISI halaman ABSTRAK ................................................................................................. i ABSTRACT ............................................................................................... iii KATA PENGANTAR ............................................................................... v DAFTAR TABEL...................................................................................... viii DAFTAR GAMBAR ................................................................................. ix DAFTAR ISI .............................................................................................. x BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... A. LatarBelakang ................................................................... B. IdentifikasiMasalah ........................................................... C. TujuandanKegunaanPenelitian ....................................... D. KeaslianPenelitian ............................................................. E. KerangkaPikir ................................................................... F. MetodePenelitian ............................................................... G. Sistematika Penulisan .......................................................

1 1 5 6 7 8 16 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH A. PengertianPemerintahan Daerah..................................... B. Pemerintahan Aceh ........................................................... C. Keuangan Daerah ..............................................................

20 20 28 33

BAB III DINAMIKA PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA A. Pemerintahan Daerah padaMasaOrde Lama ................. B. Pemerintahan Daerah padaMasaOrdeBaru ................... C. Pemerintahan Daerah padaMasaOrdeReformasi ..........

40 40 46 48

BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH A. PengelolaandanaotonomikhususberdasarkanPeraturan Perundang-undangan yang berlaku ................................ B. KendalabagiPemerintahKabupaten/Kota dalampengelolaandanaotonomikhusus

58

58 86

BAB V PENUTUP .................................................................................... A. Kesimpulan ........................................................................ B. Saran ...................................................................................

102 102 103

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................

105


10

DAFTAR TABEL

Halaman 1.

Estimasipenerimaandanaotsus Aceh

2.

Penerimaan Dana OtonomiKhusus Prov. Aceh Tahun 2008 – 2010

70-71

3.

AnggarandanRealisasiPenggunaan Dana Otsusuntuk TA 2008 s.d TA 201

73

4.

RincianPenerimaan Dana Otsus Aceh

87

69


11

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1.

SkemaPengelolaan Dana Otsus

62

2

SkemaPelaksanaKegiatan Dana Otsus

63

3

StrukturOrganisasiPengelola Dana Otsus

65

4

Skemaalokasidanaotonomikhusus

68

5

Skema Hubungan Koordinasi Pemerintah Daerah

80


12

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang disahkan pada tanggal 1 Agustus 2006 telah banyak memberikan kekhususan bagi Aceh dalam mengurus rumah tangganya secara mandiri dengan kewenangan yang istimewa seperti yang disebutkan dalam Pasal 7 UUPA, sebagai berikut : (1) Pemerintahan Aceh dan kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah. (2) Kewenangan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama.

Berdasarkan luasnya kewenangan Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota maka disebut otonomi khusus, tentunya berbeda dengan otonomi daerah pada umumnya, dimana perbedaan antara otonomi khusus dan otonomi pada umumnya adalah pada kewenangan yang diberikan. Otonomi daerah pada umumnya dibatasi pada 6 (enam) kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Politik luar negeri Pertahanan Keamanan Yustisi Moneter dan fiskal nasional Urusan tertentu dalam bidang agama


13

Sedangkan pada otonomi khusus keenam kewenangan Pemerintah Pusat tersebut tidak dibatasi secara mutlak, misalnya di bidang yustisi secara nasional dikenal Pengadilan Agama namun untuk Aceh disebut dengan Mahkamah Syar’iyah, kemudian di bidang keagamaan Aceh juga memberlakukan Syariat Islam. Melalui otonomi khusus Aceh juga diberikan dana otonomi khusus dari Pemerintah Pusat, seperti yang disebutkan dalam Pasal 179 ayat (2) UUPA “salah satu pendapatan daerah bersumber dari dana otonomi khusus�. Penjelasan lebih lanjut mengenai dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal 183 ayat (1), (2), (3), (4) dan (5) UUPA, sebagai berikut : (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. (2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional. (3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (4) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam program pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antarkabupaten/kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi khusus yang pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi Aceh. (5) Penggunaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh.


14

Amanah dari pasal tersebut yaitu terkait dengan penggunaan dana Otsus lebih lanjut diatur dalam Qanun Aceh. Oleh karena itu pada tanggal 22 Januari 2008 Pemerintah bersama DPRA telah mengesahkan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. Melalui ketentuan tersebut disinyalir telah menimbulkan penafsiran berbeda antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota terkait dengan pengelolaan dana Otsus. Penjelasan mengenai dana otsus disebutkan dalam Pasal 8 Qanun No.2 Tahun 2008 (1) Dana Otonomi Khusus bersumber dari APBN dan merupakan penerimaan Pemerintah Aceh. (2) Penerimaan Pemerintah Aceh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk 20 (dua puluh) tahun. (3) Besarnya penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan ketentuan sebagai berikut: a. untuk tahun 2008 sampai dengan Tahun 2022 setara dengan 2% (dua persen) pagu Dana Alokasi Umum Nasional. b. untuk tahun 2023 sampai dengan tahun 2028 setara dengan 1% (satu persen) pagu Dana Alokasi Umum Nasional.

Terkait dengan pengalokasian dana Otsus, sudah cukup rinci dijabarkan dalam Qanun No.2 Tahun 2008, namun ada beberapa hal penting yang diatur dalam Qanun tersebut yang mengakibatkan terhambatnya implementasi atau pengunaan dana Otsus, Tarik menarik kepentingan antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota juga antara Eksekutif dan Legislatif kerap kali mewarnai pemberitaan diberbagai media massa.2

2

Masriadi Sambo, Konspirasi Kepentingan di APBA 2010, Kontras edisi 30 maret 2010


15

Berdasarkan kondisi-kondisi tersebut maka berbagai bentuk protes dari hampir seluruh Kabupaten/Kota di Aceh yang merasa bahwa implementasi dana otsus telah menyimpangi semangat desentralisasi yang telah terbangun karena terkait dengan kewenangan dana tersebut sentralistik atau tidak diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, sebagaimana juga disebutkan dalam Pasal 11 ayat (6) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus . “Pengalokasian anggaran tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA.� Ketentuan tersebut jelas bersifat sentralistik sehingga berdampak kepada semakin panjangnya jalur birokrasi yang mengakibatkan terhambatnya proyekproyek yang dikerjakan dengan sumber dana Otsus, sehingga tidak tercapai tujuan percepatan pembangunan yang diharapkan. Jika mengacu pada Pasal 43 ayat (1) UUPA “(1) Gubernur dalam kedudukannya sebagai wakil Pemerintah, memiliki tugas dan wewenang mengoordinasikan: a. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan pemerintahan kabupaten/kota; b. penyelenggaraan urusan Pemerintahan di Aceh dan kabupaten/kota; c. pembinaan dan pengawasan penyelenggaraan tugas pembantuan di Aceh dan kabupaten/kota; d. pembinaan dalam penyelenggaraan kekhususan dan keistimewaan Aceh; dan e. pengusahaan dan penjagaan keseimbangan pembangunan antar kabupaten/kota di Aceh.


16

Berdasarkan ketentuan tersebut dapat disimpulkan pula bahwa kedudukan Pemerintah Kabupaten/kota bukan bersifat vertikal atau hirarkis sehingga harus tunduk dibawah Pemerintah Aceh, namun keduanya bersifat horizontal atau sejajar

sehingga

Pemerintah

Aceh

hanya

mengkoordinir

Pemerintah

Kabupaten/Kota, begitupun dalam hal pengelolaan keuangan Pemerintah kabupaten/kota. Dimana dana Otsus merupakan salah satu sumber pendapatan daerah seperti yang disebutkan dalam Pasal 179 ayat (2) UUPA “ Pendapatan Daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Dana Otonomi Khusus, dan lain-lain pendapatan yang sah.� Selain Pasal tersebut dalam UUPA juga tidak ditemukan justifikasi terhadap praktik pengelolaan dana otsus yang sentralistik, dikaitkan juga dengan asas-asas pengelolaan Pemerintahan yang baik atau prinsip-prinsip good governance maka salah satu unsurnya adalah pelimpahan kewenangan agar urusan-urusan pemerintah dapat berjalan dengan lancar karena tidak terfokus pada satu tempat saja.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka berikut terdapat beberapa permasalahan yang dapat diteliti : 1. Apakah pengelolaan dana otonomi khusus sudah sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku ?


17

2. Apakah yang menjadi kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus ?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Berdasarkan identifikasi masalah yang telah dikemukakan maka yang menjadi tujuan penelitian adalah : 1. Mengkaji pengelolaan dana otonomi khusus apakah sudah sesuai dengan Peraturan PerUndang-Undangan yang berlaku 2. Menemukan kendala Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus Adapun yang menjadi kegunaan dari penelitian ini adalah : 1. Secara teoritis diharapkan dapat menjadi sumbangsih pikiran dalam kajian ketatanegaraan khususnya berkaitan dengan Kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. 2. Secara Praktis diharapkan dapat menjadi masukan dalam mengevaluasi maupun terhadap perubahan Qanun Aceh yang terkait dengan pengelolaan dana otonomi khusus. Serta penelitian ini merupakan sebuah kontribusi terhadap permasalahan dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.


18

D. Keaslian Penelitian Berdasarkan hasil pengamatan dan penelusuran berbagai literatur dan hasil penelitian yang dilakukan sampai saat ini tidak ditemukan penelitian dengan judul serupa, namun sebuah penelitian yang baik tentunya saling terkait satu sama lainnya untuk itu dari hasil penelusuran pada pustaka magister ilmu hukum terdapat juga beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan. Yaitu Thesis yang disusun oleh Saudari Sutri Yanti pada tahun 2009 yang berjudul “Pembagian Kewenangan Urusan Pemerintahan antara Pemerintah Aceh dan Kabupaten/Kota (Kajian Yuridis Normatif Terhadap Ketentuan UU No. 11 Tahun 2006)� Perbedaan yang paling spesifik adalah pada penelitian tersebut bersifat umum, atau saudari Sutri Yanti meneliti terhadap seluruh urusan yang terkait dengan kewenangan Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, tidak khusus pada salah satu kewenangan semata, kemudian pada bagian rekomendasi juga disebutkan mengenai perimbagan keuangan antara Pemerintah Aceh dengan kabupaten/kota yang masih sentralistik. Sehingga menjadi penting untuk dikaji lagi secara khusus terkait dengan perimbangan dana otonomi khusus antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.


19

E. Kerangka Pikir Berakhirnya masa orde baru ditandai dengan bergulirnya orde reformasi dimana tuntutan masyarakat akan pemerintahan yang demokratis dan dapat mempercepat kesejahteraan rakyat, praktek pemerintahan pada masa orde baru yang dianggap tidak sesuai dengan harapan masyarakat banyak sehingga kemudian dirasakan perlu untuk menetapkan asas-asas atau prinsip-prinsip pemerintahan yang baik. Asas-asas umum pemerintahan adalah asas yang menjunjung tinggi norma kesusilaan, kepatutan dan aturan hukum. Asas-asas ini tertuang pada Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Peran asas hukum sangatlah penting karena asas hukum adalah jantungnya aturan hukum, menjadi titik tolak berpikir, pembentukan dan intepretasi hukum, dan peraturan hukum merupakan patokan tentang perilaku yang seharusnya, berisi perintah, larangan, dan kebolehan. Umumnya setiap negara memiliki asas-asas penyelengaraan pemerintahan yang baik,3 misalnya: 1. Di Belanda dikenal dengan “Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur” (ABBB) 2. Di Inggris dikenal “The Principal of Natural Justice” 3. Di Perancis “Les Principaux Generaux du Droit Coutumier Publique” 4. Di Belgia “Aglemene Rechtsbeginselen” 5. Di Jerman “Verfassung Sprinzipien” 6. Di Indonesia “Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik”.

3

Nn, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, www.google.com, diakses 4 oktober 2010


20

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, ada beberapa asas umum penyelenggaraan negara, yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalitas dan asas akuntabilitas. a) asas kepastian hukum, adalah asas dalam negara hukum yang mengutamakan landasan peraturan perUndang-Undangan, kepatutan dan keadilan dalam setiap kebijakan penyelenggara negara b) asas tertib penyelenggaraan negara, adalah asas yang menjadi landasan keteraturan, keserasian dan keseimbangan dalam pengendalian penyelenggaraan negara c) asas kepentingan umum, adalah yang mendahulukan kesejahteraan umum dengan cara yang aspiratif, akomodatif dan selektif d) asas keterbukaan, adalah asas yang membuka diri terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur dan tidak diskriminatif tentang penyelenggaraan negara dengan tetap memperhatikan perlindungan atas hak asasi pribadi, golongan dan rahasia negara e) asas proporsionalitas, adalah asas yang mengutamakan keseimbangan antara hak dan kewajiban penyelenggara negara f) asas profesionalitas, adalah asas yang mengutamakan keahlian yang berlandaskan kode etik dan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku g) asas akuntabilitas, adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggara negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.4 Secara Umum asas-asas Penyengaraan Pemerintah yang baik juga telah disebutkan dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Jo. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Yaitu 4

ibid


21

“Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. h. i.

asas kepastian hukum; asas tertib penyelenggara negara; asas kepentingan umum; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; asas profesionalitas; asas akuntabilitas; asas efisiensi; dan asas efektivitas.

Secara khusus UUPA juga mengadopsi hal tersebut, yaitu dalam Pasal 20 disebutkan

“Penyelenggaraan

Pemerintahan

Aceh

dan

pemerintahan

kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas�: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.

asas ke-Islaman; asas kepastian hukum; asas kepentingan umum; asas tertib penyelenggaraan pemerintahan; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; asas profesionalitas; asas akuntabilitas; asas efisiensi; asas efektivitas; dan asas kesetaraan. Selain asas-asas penyelengaraan pemerintahan yang baik, yang telah

disebutkan, secara umum dikenal juga 10 prinsip good governance5, yaitu :

5

local Governance Support Program (LGSP), Reformasi Organisasi Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009. Hlm 14


22

1. Partisipasi 2. Penegakan Hukum 3. Transparasi 4. Kesetaraan 5. Daya Tanggap 6. Wawasan Kedepan 7. Akuntabilitas 8. Pengawasan 9. Efesiensi & Efektifitas 10. Profesionalisme

Kemudian terdapat pula prinsip good governance yang menambahkan syarat Desentralisasi (decentralization) dalam penyelangaraan pemerintah, namun kesemua asas-asas tersebut memiliki esensi maupun tujuan yang sama. Reformasi pemerintahan yang terjadi di Indonesia telah mengakibatkan terjadinya pergeseran paradigma sentralistis ke arah desentralisasi nyata yang ditandai dengan pemberian otonomi yang lebih luas dan nyata kepada daerah. Desentralisasi ini diikuti dengan reformasi kebijaksanaan pemerintahan di berbagai

bidang

yang

mengatur

masalah-masalah

desentralisasi

dan

penyelengaraan pemerintahan daerah secara otonom. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memberikan landasan kuat bagi penyelengaran Pemerintah Daerah secara otonom karena melalui amandemen tersebut, telah ditegaskan mengenai pembagian daerah dalam Negara Republik Indonesia yang meliputi daerah provinsi terdapat daerah kabupaten dan kota.6 Tersebut dalam Pasal 18 ayat (2) “Pemerintahan daerah

6

Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2009. Hlm 302


23

provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan�. Menguatnya

gagasan

memperluas

kewenangan

dalam

konteks

Pemerintahan Daerah berpangkal pada fakta-fakta yang terjadi sebelum era reformasi antara lain : 1. Pengelolaan sumber daya alam yang dirasakan hanya memberikan keuntungan pada sebagian kecil pejabat pemerintahan pusat sehingga terjadi kesenjangan. 2. Tidak terakomodirnya potensi-potensi putra daerah yang berkualitas karena pada faktanya jabatan-jabatan strategis baik jabatan politik maupun profesi didominasi dari pusat. 3. Sulit terciptanya demokrasi karena adanya unifikasi peraturan perUndang-Undangan. 4. Sulitnya mengembangkan budaya-budaya lokal karena semuanya dikendalikan oleh pusat.7 Terikait dengan konsep Otonomi, Abu Daud Busroh mengatakan, negara kesatuan ditinjau dari susunannya adalah negara yang tidak tersusun dari beberapa negara, seperti halnya negara federasi, melainkan negara itu sifatnya tunggal artinya hanya ada satu negara, tidak ada negara dalam negara. 8 Dengan demikian bila dibanding dengan negara federal dan konfederasi, maka negara kesatuan merupakan bentuk negara dimana ikatan serta integrasi paling kokoh.9 Menurut Carl J. Fedreich, pembagian kekuasaan secara vertikal atau pembagian kekuasaan secara territorial (territorial devision of power) adalah 7

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta 2010. Hlm 9 8 Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 64-65. 9 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998, hlm.141.


24

pembagian kekuasaan antara beberapa tingkatan pemerintahan dan pembagian kekuasaan ini dapat dengan jelas jika dibandingkan antara negara kesatuan, federasi dan konfederasi.10 Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, territorial division of power diwujudkan dengan adanya satuan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. 11 Berikut adalah beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan otonomi daerah : 1. Prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan di dalam Undang-Undang. 2. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup, dan berkembang sesuai degan kekhasan daerah. Dengan demikian, isi dan jenis setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. 3. Otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud otonomi yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.12 Menurut Nur Ri’fah Maskur ada tiga perubahan pokok yang dirasakan oleh daerah pasca otonomi daerah yaitu : 1. Perubahan kewenangan pengelolaan sumber daya alam 2. Perubahan kewenangan pengelolaan sumber-sumber keuangan (pajak dan retribusi)

10

ibid. Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia Berdasarkan UUD 1945, Disertasi, Unpad, Bandung, 2004, hlm. 123 12 Widjaja HAW, Penyelenggaraan Otonomi Di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 131. 11


25

3. Perubahan alokasi anggaran dari pusat ke daerah dalam bentuk DAU dan DAK.13 Indonesia sebagai bangsa yang majemuk dan secara geografis merupakan negara kepulauan sehingga sulit tentunya jika penyelengaraan pemerintahan hanya terfokus pada satu titik saja (pusat) sehingga untuk memenuhi asas efisiensi maka perlu untuk melimpahkan kewenangan pada perwakilan atau perpanjangtanganan pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi

dan

selanjutnya kepada pemerintah kabupaten/kota. Juga disebutkan desentralisasi. Untuk itu perlu dilihat mengenai teori-teori pelimpahan kewenangan, diantaranya: 1. Sentralisasi yaitu sistem pemerintahan di mana segala kekuasaan dipusatkan di pemerintah pusat. 2. Desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. 3. Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 4. Tugas Pembantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah propinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.14 Kewenangan adalah kekuasaan yang mendapatkan keabsahan atau legitimasi, Kewenangan diperoleh melalui 2 (dua) cara yaitu dengan atribusi atau dengan pelimpahan wewenang.

13

Nur Ri’fah Maskur dalam Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah Di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta 2010. Hlm 10 14 Sadu Sasistiono, Dkk. 2006. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan Legalistik,Teoritik dan Implementatif. Fokusmedia, Bandung


26

1. Atribusi Atribusi ditunjukan dalam wewenang yang dimiliki oleh organ pemerintah dalam menjalankan pemerintahannya berdasarkan kewenangan yang dibentuk oleh pembuat Undang-Undang. Atribusi ini menunjuk pada kewenangan asli atas dasar konstitusi (UUD) atau peraturan perUndangUndangan. 2. Pelimpahan wewenang Pelimpahan wewenang adalah penyerahan sebagian dari wewenang pejabat atasan kepada bawahan tersebut membantu dalam melaksanakan tugas-tugas kewajibannya untuk bertindak sendiri. Pelimpahan wewenang ini dimaksudkan untuk menunjang kelancaran tugas dan ketertiban alur komunikasi yang bertanggung jawab, dan sepanjang tidak ditentukan secara khusus oleh peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.15 Mengacu kepada teori tersebut maka Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah Kabupaten/Kota memiliki kewenangan atributif, hal itu atas dasar kewenangan yang diberikan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD 1945 “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat�. Maka selayaknya Pemerintah Kabupaten/Kota diberikan kepercayaan dalam mengelola dana otonomi khusus secara mandiri, mengingat Pemerintah Kabupaten/Kota yang lebih dekat serta memahami karakteristik daerahnya sehingga dengan dikelolanya

dana

otonomi

khusus

secara

langsung

oleh

Pemerintah

Kabupaten/Kota bisa lebih terarah dan efektif karena fungsi pelayanan publik (public service) secara langsung ada pada Pemerintah Kabupaten/Kota dibandingkan dengan Pemerintah Provinsi.

15

2011.

Restu Maharani, Teori Kewenangan, www.restumaharani.co.cc, diakses tanggal 19 Agustus


27

F. Metode Penelitian Objek kajian dalam penelitian ini adalah Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Jenis dan Pendekatan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara meneliti terlebih dahulu peraturan perUndang-Undangan yang relevan dengan permasalahan yang diteliti. Dengan kata lain yaitu melihat hukum dari aspek normatif. Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif analitis. Deskriptif dalam arti penelitian ini bertujuan untuk mendekripsikan atau menggambarkan tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dan analitis dalam arti bahwa terhadap hasil yang didapat akan dianalisis dengan berbagai teori-teori maupun asas-asas hukum yang ada, sehingga akan menghasilkan kesimpulan atas permasalahan yang diteliti. 2. Jenis Bahan Hukum Jenis-jenis data dan bahan-bahan hukum yang digunakan, dalam penelitian ini adalah :


28

a. Bahan Hukum Primer Data primer terdiri dari Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus. dan aturan PerUndang-Undangan lain yang terkait dengan objek penelitian ini. b. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan sekunder terdiri dari Buku-buku, surat kabar, majalah, hasilhasil penelitian, hasil karya ilmiah, jurnal-jurnal, artikel dan internet. c. Bahan Hukum Tersier Bahan-bahan hukum yang diambil peneliti sebagai bahan yang dapat memberikan penjelasan data-data primer dan sekunder, yang terdiri dari kamus hukum. 3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Dalam penelitian tersebut teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan, adalah: a.

Studi Pustaka Hal ini dilakukan dengan cara mencari literature, makalah, Koran, dan data yang diperoleh di internet atau bahan hukum yang terkait dengan materi pembahasan.


29

b.

Dokumentasi Hukum Hal ini dilakukan dengan cara mencari peraturan perUndang-Undangan yang mengatur tentang segala hal yang berkaitan dengan materi pembahasan.

4. Analisis Data Setelah data dikumpulkan, data tersebut diidentifikasi, diolah, dan dianalisis, kemudian disusun ke dalam suatu bentuk karya dengan menggunakan metode penelitian kualitatif.16 F. Sistematika Penulisan Guna memperoleh pemahaman terhadap isi tesis ini maka penulisannya dibagi dalam empat bab yaitu sebagai berikut : Pada bab pertama dengan judul pendahuluan berisikan sub-sub judul Latar belakang masalah, Identifikasi masalah, Tujuan dan manfaat penelitian, Keaslian penelitian, Kerangka pikir, Metode penelitian dan Sistematika penulisan Bab kedua dengan judul Tinjauan Umum Tentang Pemerintahan Daerah berisikan sub-sub judul mengenai Pengertian pemerintahan daerah, Pemerintahan Aceh dan Keuangan daerah

16

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hal 2-3. Inti dari buku ini menyebutkan bahwa Sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa pengumpulan kata tertulis maupun lisan dari pihak-pihak yang bersangkutan dengan penelitian dan prilaku yang diamati.


30

Bab ketiga dengan judul Dinamika Pemerintahan Daerah Indonesia Berisikan tentang Pemerintahan daerah pada orde lama, Pemerintahan daerah pada orde baru dan Pemerintahan daerah pada orde reformasi Bab empat dengan judul Kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota Dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh berisikan tentang Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus dan Kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus. Bab lima merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran yang dapat bermanfaat dalam pemecahan masalah.


31

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

A. Pengertian Pemerintahan Daerah Pemerintahan Daerah adalah pelaksana fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Masing-masing badan atau lembaga menjalankan peranannya sesuai dengan kedudukan, tugas pokok, dan fungsinya dalam sistem pemerintahan negara Indonesia. Pemerintah Daerah atau DPRD merupakan kesatuan integral yang memberikan pelayanan publik sesuai dengan ketentuan hukum yang diamanatkan Undang-Undang Dasar. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mendefinisikan Pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluasluasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemerintah Daerah yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Pemerintahan daerah provinsi terdiri atas pemerintah daerah provinsi dan DPRD provinsi.

20


32

2. Pemerintah

daerah

kabupaten/kota

terdiri

atas

pemerintah

daerah

kabupaten/kota dan DPRD kabupaten/kota. Sebagaimana

diketahui

bahwa

Undang-Undang

atau

peraturan

pemerintah daerah yang pernah berlaku dan yang berlaku sejak Indonesia merdeka adalah : 1. Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Ketentuan Keududukan Kominite Nasioanal Daerah 2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah 3. Undang-Undang Negara Indonesia Timur No. 44 Tahun 1950 4. Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 5. Penetapan Pemerintah No. 6 Tahun 1959 Penyerahan Tugas-Tugas Pemerintah Pusat Dalam Bidang Pemerintahan Umum, Perbantuan Pegawai dan Penyerahan Keuangan Kepada Pemerintah Daerah 6. Undang-Undang No. 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah 7. Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah

Era reformasi dikenal Undang-Undang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam menghadapi perkembangan keadaan baik didalam maupun diluar negeri serta tantangan persaingan global dipandang perlu menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, pemanfaaatan sumber daya nasional, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,


33

pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman daerah yang dilaksanakan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.17 Upaya penyelenggaraan pemerintahan daerah harus sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, pemerintahan daerah yang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan , keadilan, keistimewaan, dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi atau autonomie berasal dari bahasa Yunani yaitu kata auto yang berarti sendiri dan nomos yang berarti Undang-Undang.18 Jadi Otonomi berarti mengatur dengan Undang-Undang sendiri. Dengan demikian yang dimaksud dengan otonomi adalah “pemberian hak dan kekuasaan perUndangUndangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahaan ataupun daerah�. Pengertian Otonomi dalam lingkup suatu negara selalu dikaitkan dengan daerah atau pemerintah daerah (local government). Otonomi dalam pengertian ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke

17

Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta 2010, hlm. 13 18 Silalahi, dalam Konsep Good Governance Dalam Konsep Otonomi Daerah, Alwi Hasyim Batubara (Thesis Universitas Sumatra Utara) 2009


34

daerah juga berarti menghargai atau mengefektifkan kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi sistem prosedur pemerintahan negara di daerah.19 Pengertian otonomi daerah berdasarkan UUD 1945 adalah hak dan wewenang daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri dan diberikan oleh peraturan perundangundangan. Otonomi menurut UUD 1945 adalah otonomi yang berkedaulatan rakyat dengan menerapkan pemerintahan daerah yang bersendi atas dasar permusyawaratan rakyat. Daerah yang dimaksud dalam UUD 1945 adalah “daerah propinsi� dan “daerah yang lebih kecil dari daerah propinsi�, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan UndangUndang. Otonomi daerah dalam pengertian UUD 1945 adalah desentralisasi ketatanegaraan atau teritorial. Otonomi daerah juga mengikuti ajaran sistem rumah tangga daerah, dimana sistem rumah tangga daerah adalah tatanan yang bersangkutan dengan cara-cara membagi tugas dan tanggungjawab mengatur dan mengurus urusan pemerintahan antara pusat dan daerah. Salah satu penjelmaan pembagian tersebut yaitu daerah-daerah akan memiliki sejumlah urusan pemerintahan, baik atas dasar penyerahan maupun atas pengakuan ataupun dibiarkan sebagai urusan rumah tangga daerah.20

19

Sumitro, dalam Dasar Hukum, Prinsip Dan Titik Berat Otonomi Daerah, Amsali Sembiring (Thesis Universitas Sumatra Utara) 2008 20 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, hlm. 26.


35

Dalam kepustakaan dikenal tiga sistem rumah tangga daerah, yaitu sistem rumah tangga formal, sistem sumah tangga materiil, dan sistem rumah tangga rill. Sistem rumah tangga formal (fomale huishoudingsbegrip). Menurut bagir manna adalah suatu pembagian wewenang, tugas dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan tidak ditetapkan secara rinci.21 Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa dalam sistem rumah tangga formal, urusan-urusan yang menjadi kewenangan daerah tidak ditentukan secara limitative di dalam peraturan perUndang-Undangan. Otonomi yang di dasarkan pada ajaran rumah tangga formal, dipandang dari isi-sifat urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh pusat dan daerah tidak terdapat perbedaan.22 Hal tersebut disebabkan setiap satuan pemerintahan yang diserahi urusan dapat dipastikan mampu mengerjakannya. Yang lebih ditekankan pada pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam sistem rumah tangga formal adalah didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang rasional dan praktis, sehingga dapat dilaksanakan sebaik-baiknya dan berhasil guna serta dapat dipertanggungjawabkan. Persoalan yang muncul dalam sistem rumah tangga formal adalah tingkat kemampuan dan sumber daya daerah yang berbeda-beda antara satu dan yang lainnya. Padahal secara teoritis, sistem rumah tangga formal itu dapat memperbesar wewenang, tugas dan kewajiban atas urusan-urusan yang berada di 21

idem, hlm. 27. Tjahja Supriatna, Sistem Administrasi Pemerintahan di Daerah, Bumi Aksara, Jakarta, 1993, hlm. 6. 22


36

wilayahnya, sehingga sebenarnya ajaran rumah tangga formal lebih mendukung pelaksanaan desentralisaisi. Namun demikian hasil guna dan daya guna dari sistem rumah tangga formal dalam praktiknya mengalami kesulitan untuk diwujudkan, hal ini disebabkan karena : 1. Tinggkat hasil guna dan sistem rumah tangga formal sangat tergantung pada kreativitas dan aktivitas daerah; 2. Hambatan lain adalah aspek keuangan daerah, meskipun daerah mempunyai peluang yang luas untuk mengembangkan urusan rumah tangga daerah, hal ini tidak mungkin terlaksana tanpa ditopang oleh sumber keuangan yang memadai. 3. tidak pua kalah pentingnya hambatan teknis. Daerah tidak dapat secara mudah mengetahui urusan yang belum diselenggarakan pusat atau Pemerintah Daerah tingkat lebih atas.23 Sistem

rumah

tangga

materill

(materiele

huishoudingsbegrip) berpangkal tolak pada pemikiran bahwa memang ada perbedaan mendasar antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah dianggap memang mempunyai ruang lingkup urusan pemerintahan tersendiri yang secara material berbeda dengan urusan pemerintahan yang diatur dan diurus oleh pusat. Menurut sistem ini, pembagian tugas,wewenang dan tanggung jawab antara pusat dan daerah ditentukan secara pasti atau limitative di dalam peraturan perUndang-Undangan yang menjadi dasar pembentukanperaturan daerah. Otonomi daerah menurut sistem rumah tangga materiil sifatnya terbatas karena Daerah Otonom tidak dapat melakukan sesuatu yang tidak disebut dalam

23

Bagir Manan, Hubungan Antara‌ , op.cit, hlm. 29.


37

Undang-Undang pembentukannya. Langkah kerja dari daerah tidak dapat keluar dari ketentuan ketentuan yang berlaku.24 Berdasarkan hal tersebut, maka segala sesuatu urusan yang tidak tercantum dalam peraturan perUndang-Undangan sebagai urusan daerah, tetap menjadi urusan pusat. Dicantumkannya urusan-urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah, menjadikan daerah yang bersangkutan tidak mempunyaipeluang untuk berinisiatif atas pemanfaatan dan peruntukan sumbersumber keuangan daerah. Hal tersebut disebabkan Daerah “hanya� dapat mengurus dan mengatur hal-hal tertentu saja. Oleh karena itu sistem rumah tangga materiil mempunyai kecendrungan kearah yang tidak menguntungkan untuk mewujudkan hubungan pusat dan daerah yang baik, khususnya yang berkaitan dengan keuangan. Hal tersebut disebabkan sistem rumah tangga materiil memiliki beberapa kelemahan yaitu : 25 a. Sistem rumah tangga materiil berpangkal tolak pada pemikiran yang keliru yaitu menganggap bahwa urusan pemerintahan dapat dirinci dan karena itu dapat dibagi-bagi secara rinci pula. b. Sistem rumah tangga material lebih terasa mengekang, karena terikat pada urusan pemerintahan yang secara rinci ditetapkan sebagai urusan rumah tangga; c. Sistem rumah tangga material akan lebih banyak mengandung spanning hubungan antara pusat dan daerah.

24 25

Tjahja Supriatna, op.cit, hlm. 4. Bagir Manan, Hubungan Antara‌ , op.cit, hlm.31.


38

Sistem rumah tangga rill (riele huishoudingsbegrip) merupakan jalan tengah atau midle range26 antara sistem rumah tangga formal dan sistem rumah tangga materiil. Sistem ini sering disebut sebagai otonomi nyata atau otonomi riil, karena isis rumah tangga daerah didasarkan kepada keadeaan daerah dan faktor-faktor nyata. Persoalan muncul adalah yang manakah yang dominan diantara kedua teori itu ? Apakah keduanya berjalan secara seimbang ? menurut Bagirmanan dari apa yang diuraikan Tresna, timbul kesan bahwa sebagai jalan tengah, sistem rumah tangga riil ini lebih mengutamakan asas formalnya. Dalam sistem rumah tangga formal terkandung gagasan untuk mewujudkan prinsip kemandirian bagi daerah, sedangkan sistem rumah tangga materiil akan merangsang timbulnya ketidakpuasan daerah dan spanning hubungan antara pusat dan daerah.27 Dalam sistem rumah tangga riil ini asas materil berperan memberikan kepastian sejak awal mengenai urusan daerah, karena melalui sistem ini urusan pangkal yang diserahkan untuk kemudian dikembangkan dengan sistem rumah tangga formal yang lebih memberi kebebasan dan kemandirian. Aspek sistem rumah tangga materiil dalam bentuk penyerahan urusan pangakal, disamping aspek sistem rumah tangga formal, menjadi salah satu cirri yang membedakan sistem rumah tangga riil dari teori otonomi lainnya.28

26

Tresna R, Bertamasya ke Taman Ke Tatanegaraan, Dibya, Bandung, tanpa tahun, hlm. 34. Bagir Manan, Hubungan Antara‌ ‌ , op. cit, hlm. 17. 28 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintahan Di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Liberty, Yogyakarta, 1995, hlm. 58. 27


39

B. Pemerintahan Aceh Pemerintahan Aceh adalah pemerintahan subnasional yang setingkat dengan pemerintahan provinsi lainnya di Indonesia. Pemerintahan Aceh adalah kelanjutan dari Pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintahan Aceh dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh, dalam hal ini Gubernur Aceh sebagai lembaga eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh sebagai lembaga legislatif. Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Pengakuan Negara atas keistimewaan dan kekhususan daerah Aceh terakhir diberikan melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (LN 2006 No 62, TLN 4633). UU Pemerintahan Aceh ini tidak terlepas dari Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) antara Pemerintah dan Gerakan Aceh

Merdeka yang

ditandatangani

pada

tanggal 15

Agustus 2005 dan

merupakan suatu bentuk rekonsiliasi secara bermartabat menuju pembangunan sosial, ekonomi, serta politik di Aceh secara berkelanjutan. UU 11/2006, yang berisi 273 pasal, merupakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah bagi Aceh secara khusus. Selain itu materi kekhususan dan keistimewaan Aceh yang menjadi kerangka utama dari UU 11/2006, sebagian besar hampir sama dengan UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Oleh


40

karena itu Aceh tidak tergantung lagi pada UU Pemerintahan Daerah (sepanjang hal-hal yang telah diatur menurut UU Pemerintahan Aceh). Daerah Aceh dibagi atas Kabupaten dan Kota. Kabupaten dan Kota adalah bagian dari Daerah Provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan dalam sistem dan prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Bupati atau Walikota. Kabupaten/Kota dibagi atas kecamatan. Kecamatan adalah suatu wilayah kerja camat sebagai perangkat daerah Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan pemerintahan kecamatan. Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat yaitu urusan pemerintahan yang bersifat nasional, politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Aceh memiliki kewenangan yang bersifat khusus antara lain: 1. Dalam hal rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh Pemerintah Pusat harus dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. 2. Dalam hal rencana pembentukan Undang-Undang oleh DPR yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. 3. Dalam hal kebijakan administratif yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh, seperti pemekaran wilayah, pembentukan kawasan khusus, perencanaan pembuatan dan perubahan peraturan perUndangUndangan yang berkaitan langsung dengan daerah Aceh, yang akan


41

dibuat oleh Pemerintah Pusat dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan Gubernur Aceh. 4. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama secara langsung dengan lembaga atau badan di luar negeri sesuai kewenangannya, kecuali yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut harus dicantumkan frasa “Pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia�. 5. Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional. 6. Pemerintah Aceh dan pemerintah Kabupaten/Kota dapat membentuk lembaga, badan, dan/atau komisi menurut UU 11/2006 dengan persetujuan DPRA/DPRK, yang pembetukannya diatur dengan Qanun. Pemerintahan

Aceh

dan

Pemerintahan

Kabupaten/Kota

menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya yang diatur dan diurus sendiri oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota. Pemerintah Pusat menetapkan norma, standar, dan prosedur serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan tidak dimaksudkan untuk mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, yang terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan, baik pada Pemerintahan di tingkat Aceh maupun pemerintahan di tingkat Kabupaten/Kota, dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar pemerintahan di Aceh. Pembagian urusan pemerintahan yang berkaitan dengan syari’at Islam antara Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota diatur dengan Qanun Aceh.


42

Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Aceh yang merupakan pelaksanaan keistimewaan Aceh: 1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; 2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; 3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; 4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Aceh; dan 5. penyelenggaraan dan pengelolaan ibadah haji sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan. 29 Urusan

wajib

yang menjadi

kewenangan

khusus

pemerintahan

Kabupaten/Kota adalah pelaksanaan keistimewaan Aceh, yang meliputi: 1. penyelenggaraan kehidupan beragama dalam bentuk pelaksanaan syari’at Islam bagi pemeluknya di Aceh dengan tetap menjaga kerukunan hidup antarumat beragama; 2. penyelenggaraan kehidupan adat yang bersendikan agama Islam; 3. penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam; dan 4. peran ulama dalam penetapan kebijakan Kabupaten/Kota.30 Pemerintah Kabupaten/Kota mempunyai kewenangan tambahan dalam hal: 1. menyelenggarakan pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah dengan tetap mengikuti standar nasional pendidikan31 dan 2. mengelola pelabuhan dan bandar udara umum. Dalam menjalankan kewenangan ini Pemerintah Aceh melakukan koordinasi dengan Pemerintah Kabupaten/Kota.32

29

Pasal 16 ayat (2) huruf a sampai e Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah

30

Pasal 17 ayat (2) huruf a sampai d Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah

31

Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh Pasal 172 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh

Aceh Aceh 32


43

Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan Pemerintahan Kabupaten/Kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang memiliki khususan yaitu dimasukkannya asas ke-Islaman. Penyelenggara Pemerintahan Aceh terdiri atas Pemerintah Aceh dan DPRA. Penyelenggara Pemerintahan Kabupaten/Kota terdiri atas Pemerintah Kabupaten/Kota dan DPRK. Susunan organisasi dan tata kerja Pemerintahan Aceh dan Kabupaten/Kota diatur lebih lanjut dalam Qanun. Gubernur atau Bupati/Walikota mempunyai tugas dan wewenang antara lain melaksanakan dan mengoordinasikan pelaksanaan syari’at Islam secara menyeluruh. Wakil Gubernur mempunyai tugas membantu Gubernur antara lain dalam pengoordinasian kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at Islam.

Wakil

Bupati/Wakil

Walikota

mempunyai

tugas

membantu

Bupati/Walikota antara lain dalam: 1. pengoordinasian

kegiatan instansi pemerintah dalam pelaksanaan syari’at

Islam; 2. pemberdayaan 3. pemberdayaan 4. pemantauan

perempuan dan pemuda; adat; dan evaluasi penyelenggaraan 33 kecamatan, Mukim, dan Gampong;

pemerintahan

Qanun dibentuk dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, pemerintahan Kabupaten/Kota, dan penyelenggaraan tugas pembantuan. Qanun Aceh disahkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRA. Qanun Kabupaten/Kota disahkan oleh Bupati/Walikota setelah

33

Pasal 45 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh


44

mendapat persetujuan bersama dengan DPRK. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tulisan dalam rangka penyiapan dan pembahasan rancangan Qanun. Setiap tahapan penyiapan dan pembahasan Qanun harus terjamin adanya ruang partisipasi publik. Dalam hal diperlukan untuk pelaksanaan Qanun,

Gubernur

dan

Bupati/Walikota

dapat

menetapkan

Peraturan/Keputusan Gubernur atau peraturan/keputusan Bupati/Walikota. C. Keuangan daerah Penyelenggaraan fungsi pemerintahan daerah akan terlaksana secara optimal apabila penyelanggaraan urusan pemerintahan diikuti dengan pemberian sumber-sumber penerimaan yangc ukup kepada daerah dengan mengacu kepada Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dimana besarnya disesuaikan dan diselaraskan dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah.semua sumber keuangan yang melekat pada setiap urusan pemerintah yang diserahkan kepada daerah menjadi sumber keuangan. Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan, antara lain berupa kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah sesuai dengan urusan pemerintahan yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan pajak dan restibusi daerah dan hak hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya, hak untuk mengelola kekayaan didaerah dan mendapatkan sumber-


45

sumber pendapatan lain yang sah serta sumber-sumber pembiayaan.Hubungan keuangan pusat dan daerah dalam rangka otonomi daerah dilakukan dengan memberikan kebebasan kepada daerah untuk melaksanakan fungsinya secara efektif.34 Untuk melakukan fungsi tersebut harus ada dukungan sumber-sumber keuangan yang memadai, karena sangat menetukan kemandirian otonomi. Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan pengertian keuangan negara sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Umum UUKN adalah sebagai berikut: 1. Dari sisi objek, yang dimaksud keuangan negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu, baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara yang berkaitan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. 2. Dari sisi subjek, yang dimaksud keuangan negara adalah meliputi seluruh objek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan negara/daerah, dan badan lain yang ada kaitannya dengan keuangan negara. 3. Dari sisi proses, keuangan negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai dengan pertanggung jawaban. 4. Dari sisi tujuan, keuangan negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan, dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau penguasaan objek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan negara.

34

Widjaja HAW Penyelengaraan Otonomi di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2005, hlm. 143


46

Ketika

berbicara

mengenai

hukum

keuangan

negara,

berarti

membicarakan ruang lingkup keuangan negara dari aspek yuridis. Ruang lingkup keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 UUKN adalah : 1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman. 2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga. 3. Penerimaan negara. 4. Pengeluaran negara. 5. Penerimaan daerah. 6. Pengeluaran daerah. 7. Kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah. 8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum. 9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Pengelolaan Keuangan Daerah dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, efisien, efektif, transparan dan ertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan..35 dan Kepala Daerah adalah pemegang kekuasaan umum pengelolaan keuangan daerah. Kekuasaan umum pengelolaan Keuangan Daerah itu meliputi antara lain

35

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Gramedia Jakarta 2001


47

fungsi perencanaan umum, penyusunan anggaran, serta fungsi pengawasan dan pertanggungjawaban.36 Sumber hukum konstitusional keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 adalah sebagai berikut: Pasal 23 (1) Anggaran pendapatan dan belanja negara sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan UndangUndang dan dilaksankan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar kemakmuran rakyat. (2) Rancangan Undang-Undang anggaran dan pendapatan belanja negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah. (3) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara yang diusulkan oleh Presiden, Pemerintah menjalankan anggaran pendapatan dan belanja negara tahun lalu. Pasal 23 A Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-Undang.

Pasal 23 B Macam dan harga mata uang di tetapkan dengan Undang-Undang. Pasal 23 C Hal-hal lain mengenai keuangan negara diatur dengan Undang-Undang. Pasal 23 D Negara memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab dan independensinya diatur dengan Undang-Undang.

36

Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi, Tantangan dan Hambatan, Kemitraan, Jakarta 2005


48

Pasal 23 E (1) Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri. (2) Hasil pemeriksaan keuangan negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah sesuai dengan kewenangannya. (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan/atau badan sesuai dengan Undang-Undang. Adapun Undang-Undang yang terkait dengan keuangan negara adalah: 1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara. 2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 Tentang Perubahan UndangUndang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia. 4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara. 5. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan. 6. Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang ditetapkan setiap tahun. Kecuali ditolak Dewan Perwakilan Rakyat, maka Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang lalu tetap digunakan. Sumber Keuangan Negara Pendapatan negara yang diperkenankan secara yuridis tersebar dalam berbagai jenis. Hal ini dimaksudkan agar mudah dipahami substansi terhadap pendapatan negara tersebut. Adapun jenis pendapatan negara sebagai sumber keuangan negara adalah sebagai berikut:37 1. Pajak negara, yang terdiri dari: a. Pajak penghasilan; b. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa; c. Pajak penjualan atas barang mewah; 37

Muhammad Djafar Saidi, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2008, hlm 13


49

d. Pajak bumi dan bangunan; e. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan; f. Bea materai. 2. Bea dan cukai yang terdiri dari: a. Bea masuk; b. Cukai gula; c. Cukai tembakau. 3. Penerimaan negara bukan pajak yang terdiri dari a. Penerimaan yang bersumber dari pengelolaan dana pemerintah; b. Penerimaan dari pemanfaatan sumber daya alam; c. Penerimaan dari hasil-hasil pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan; d. Penerimaan dari kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah; e. Penerimaan berdasarkan putusan pengadilan dan yang berasal dari pengenaan denda administrasi; f. Penerimaan berupa hibah yang merupakan hak pemerintah; g. Penerimaan lainnya yang diatur dalam Undang-Undang tersendiri.

Perimbangan keuangan pusat dan daerah adalah suatu sistem pembiayaan pemerintah dalam kerangka negara kesatuan yang mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil dan transparan dengan memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah. Dalam

rangka

menyelenggarakan otonomi

daerah, kewenangan

keuangan daerah yang melekat pada setiap daerah menjadi kewenangan daerah. Dimana sumber-sumber penerimaan dalam pelaksanaan desentralisasi adalah sebagai berikut : 1) Pendapatan asli daerah terdiri atas : a. hasil pajak daerah b. hasil restribusi daerah


50

c. hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. 2) Dana perimbangan terdiri dari : a. bagian daerah terdiri dari penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan, dan penerimaan dari sumber daya alam; b. dana alokasi umum c. dana alokasi khusus d. lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.

Perihal keuangan menjadi hal yang sangat penting dan krusial dalam konteks otonomi, oleh karena iti berkaitan dengan keuangan perlu dilaksanakan secara profesional dan betangung jawab sebagaimana prinsip pengelolaan keuangan negara.


51

BAB III DINAMIKA PEMERINTAHAN DAERAH INDONESIA

A. Pemerintahan daerah pada orde lama Formalitas dan secara normatif mengenai pembentukan Negara Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 dan bentuk negara Republik Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945, didasarkan pada: 1. Proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan landasan berlaku

hukum nasional

Indonesia

menggantikan hukum

kolonial

sebelumnya yaitu segenap aturan yang di buat oleh pemerintah Hindia Belanda, dan pemerintah bala tentara Jepang serta peraturan yang melandasi aturan tersebut, yang mulai tanggal 17 Agustus tahun 1945 harus dilaksanakan sebagai aturan yang tunduk pada proklamasi kemerdekaan Indonesia dimaksud (dikukuhkan dengan Peraturan Presiden RI No. 2 Tahun 1945). 2. Pada tanggal 17 Agustus Tahun 1945 telah berfungsi lembaga kenegaraan Indonesia, PPKI yang semula sebagai lembaga kebangsaan Indonesia sejak tanggal 15 Agustus 1945, dengan kompetensi menerima kekuasaan negara dari penguasa sebelumnya yaitu Jepang di Indonesia mewakili penguasa Indonesia pada saat itu telah terbentuk Institusi Pemerintahan di Wilayah/Daerah (Karesidenan, Kabupaten, Kota) dalam wilayah Indonesia yang

dinyatakan

merdeka

dengan

40

proklamasi

tersebut.

Institusi


52

pemerintahan tersebut yang dimaksud telah dibentuk pada dan oleh pemerintah

sebelumnya

yaitu

pemerintah

Hindia

Belanda

sampai

pemerintah bala tentara Jepang. Masa kemerdekaan Indonesia dan masa UUD 1945 sebelum perubahan atau amandemen, meliputi: 1. Saat proklamasi kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, UUD 1945 belum ditetapkan dan belum berlaku. 2. Masa berlaku I (kesatu) UUD negara Republik Indonesia 1945 setelah ditetapkan PPKI, mulai tanggal 18 Agustus 1945 sampai tanggal 27 Desember 1949 berlaku seluruh Indonesia. 3. Masa mulai tanggal 27 Desember 1949 sampai dengan tanggal 17 Agustus 1950, yaitu masa negara Republik Indonesia Serikat, dalam negara bagian Republik Indonesia proklamasi berlaku UUD negara Republik Indonesia 1945, sebagai masa berlaku I (kesatu). 4. Masa mulai tanggal 17 Agustus 1950 sampai tanggal 5 Juli 1959, yaitu masa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD sementara Negara Republik Indonesia. 5. Masa berlaku II (kedua) UUD negara Republik Indonesia 1945, sejak tanggal 5 Juli 1959 (dekrit Presiden Indonesia) sampai tanggal 19 Oktober 1999.


53

6. Masa berlaku III(ketiga) UUD Negara Republik Indonesia 1945, sejak tanggal 19 Oktober 1999, saat MPR RI mulai menetapkan dan menyatakan dan berlaku perubahan atau amandemen terhadap beberapa ketentuan/pasalpasal UUD Republik Indonesia. Landasan pembagian urusan pemerintahan dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945: 1. Pada ketentuan Pasal 1 Ayat (1) BAB I, tentang prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dan pasal 18 lama BAB VI tentang Pemerintahan Daerah, berikut penjelasan pasal-pasal tersebut. Dalam kaitan ini, urusan pemerintah pusat pada dasarnya berlandasan pada pasal-pasal dalam BAB III, kekuasaan pemerintah negara sedangkan urusan Pemerintah Daerah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. 2. Kemudian setelah perubahan/amandemen II dan IV, ketentuan tentang Prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (1) diperkuat dengan penyebutan NKRI dalam rumusan pasal 18 baru Ayat (1), Pasal 18B Ayat (2), Pasal 25A dan kemudian dalam pasal 37 Ayat (5) mengenai pengukuhan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta ketentuan pasal-pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B BAB VI mengenai Pemerintahan Daerah dan Desa atau Prinsip Desentralisasi.


54

Pengaturan mengenai sistem pembagian urusan Otonomi Daerah mulai pengaturan dalam UU No. 1 Tahun 1945 tentang Komite Nasional Daerah/KND sampai dengan UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah mulai tanggal 7 Mei 1999, kemudian mengenai amandemen terhadap pasal 18 lama UUD 1945 sejak tanggal 18 Agustus 2000, dan TAP MPR RI No. IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah, serta TAP MPR RI No. 1/MPR/2003, khususnya rekomendasi tentang perubahan terhadap UU No. 22 Tahun 1999 yang menjadi landasan tentang Pemerintahan Daerah dimaksud, yang kemudian diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku sampai. Setiap

Undang-Undang

yang

diberlakukan

menandai

terjadinya

perubahan dalam sitem pemerintahan daerah dan ini yang sangat erat kaitannya dengan situasi politik nasional. Adapun sekuen perubahan tersebut adalah sebagaimana terurai berikut ini: 1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Undang-Undang ini dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan merupakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang pertama

setelah

kemerdekaan. Undang-Undang tersebut didasarkan pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya pengaturan-pengaturan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh Pemerintah Kolonial Belanda.


55

Sebuah Komite Nasional Daerah didirikan pada setiap level kecuali tingkat Propinsi. Komite tersebut bertindak selaku badan legislatif dan anggotaanggotanya diangkat oleh Pemerintah Pusat. Sistem ini mencerminnkan kehendak

pemerintah

untuk

menerapkan

prinsip

desentralisasi

dan

dekonsentrasi dalam sistem pemerintah daerah, namun penekanan lebih diberikan kepada prinsip dekonsentrasi.38 Status Kepala Daerah adalah diangkat dan diambil dari keanggotaaan Komite. Walaupun terdapat Komite Daerah, mereka mempunyai kewenangan yang terbatas karena status mereka yang diangkat oleh Pemerintah dan bukan dipilih. 2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Dikeluarkan pada tanggal 10 Juli 1948 yang dimaksudkan sebagai pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 yang dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan semangat kebebasan setelah kemerdekaan. Undang-Undang No.22 Tahun 1948 hanya mengatur daerah otonom dan sama sekali tidak menyinggung daerah administratif. Undang-Undang tersebut hanya mengakui 3 tingkatan daerah otonom, yaitu: Propinsi, Kabupaten, atau Kotamadya dan terakhir Desa atau Kota Kecil. Kekuasaan Eksekutif dipegang oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), dan pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Dewan Pemerintahan Daerah (DPD). Kepala Daerah bertindak selaku

38

Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2010, hlm. 147


56

Ketua DPD, Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah dari calon-calon yang diusulkan oleh DPRD. 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 Undang-Undang No. 1 Tahun 1957 ditandai dengan penekanan yang lebih jauh lagi kearah desentralisasi. Undang-Undang ini adalah produk dari sistem parlemen liberal hasil dari Pemilihan Umum pertama tahun 1955. Partai-partai politik di parlemen menuntut adanya pemerintah daerah yang lebih demokratik. Keadaan tersebut telah menimbulkan keresahan dikalangan Pamong Praja yang bertugas melaksanakan urusan-urusan Pemerintahan Pusat di daerah. Kelompok Pamong Praja menurut Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1956 terdiri dari Gubernur, Bupati, Wedana, dan Asisten Wedana atau Camat (Suryaningrat, 1980). 4. Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 6 Tahun 1959 Pada tanggal 16 November 1959, sebagai tindak lanjut dari Dekrit Presiden, Pemerintah mengeluarkan Penpres No. 6 Tahun 1959 untuk mengatur Pemerintahan Daerah agar sejalan dengan UUD 1945. Kepala Daerah mengemban dua fungsi yaitu sebagai eksekutif daerah dan wakil pusat di daerah. Kepala daerah juga bertindak selaku Ketua DPRD. Selaku Kepala Daerah ia langsung bertanggung jawab kepada DPRD, namun tidak dapat dipecat oleh DPRD. Sedangkan sebagai wakil pusat di daerah ia bertanggung jawab kepada Pemerintah Pusat. Penpres No. 6 Tahun 1959 menandai beralihnya kebijaksanaan pemerintahan daerah ke arah prinsip Dekosentrasi.


57

5. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 1965, kepala daerah tetap memegang peran ganda yaitu sebagai pimpinan daerah dan wakil pusat di daerah. Meskipun prinsip desentralisasi dan dekonsentrasi dianut dalam sistem tersebut, namun dekonsentrasi hanyalah dianggap sebagai pelengkap saja walaupun diberi embel-embel vital.

B. Pemerintahan daerah pada orde baru Adapun pokok-pokok pikiran yang tertuang didalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai berikut: a. Otonomi daerah hendaknya memperkuat persatuan bangsa dan mendukung pencapaian kesejahteraan rakyat. b. Otonomi yang diberikan bersifat rill, dinamis dan bertanggung jawab. c. Desentralisasi dan dekonsentrasi diterapkan secara bersamaaan dan tugas perbantuan dapat dilaksanakan apabila diperlukan. d. Pemberian otonomi adalah untuk tujuan yang bersifat administratif maupun demokratis. e. Pemberian otonomi ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas pemerintah daerah terutama dalam pelayanan umum dan pelaksanaan pembangunan di daerah. f. Bahwa suatu daerah administratif dapat menjadi daerah otonom dan juga sebaliknya suatu daerah otonom dapat dirubah menjadi administratif


58

apabila daerah yang bersangkutan tidak mampu menjalankan otonominya sebagaimana mestinya.

Prinsip Pemerintahan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tiga prinsip utama yang diterapkan dalam sistem pemerintahan daerah yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Undang-Undang ini memberikan pengertian desentralisasi sebagai pelimpahan urusan-urusan pemerintahan dari pemerintah pusat atau pemerintah tingakat atasnya kepada pemerintah daerah untuk menjadi urusan daerah yang bersangkutan. Sedangkan dekonsentrasi

diberikan

definisi

sebagai

pelimpahan

kewenangan

dari

pemerintah atau kepala wilayah atau kepala instansi vertikal kepada pejabatpejabatnya di daerah. Tugas pembantuan diartikan sebagai kewajiban dari Pemerintah Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah tingkat atasnya. Terdapat 19 urusan yang menjadi isi rumah tangga (otonomi) daerah tingkat I. Urusan-urusan tersebut sebagai berikut: 1. Pertanian 2. Peternakan 3. Perikanan darat 4. Perikanan laut 5. Perkebunan karet rakyat 6. Kehutanan 7. Pendidikan 8. Kesehatan 9. Pekerjaaan umum

11. Sosial 12. Tenaga kerja 13. Lalu lintas angkutan dan LLAJ 14. Perumahan 15. Pemerintahan umum 16. Pertambangan 17. Perusahaan daerah 18. Perkebunan 19. Pariwisata


59

10. Perindustrian kecil Adapun urusan-urusan yang dilimpahkan kepada daerah tingkat II yaitu: 1.Urusan Pemerintahan Umum 2.Urusan Kesehatan 3.Urusan Pekerjaaan Umum 4.Urusan Pertanian 5.Urusan Perikanan.

6.Urusan Peternakan 7.Urusan Pendidikan 8.Urusan Perindustrian 9.Urusan pariwisata

Secara keseluruhan organisasi pemerintahan daerah terdiri dari : a. Kepala Daerah yang berperan selaku eksekutif daerah dan Wakil Pusat di daerah yang bersangkutan. b. Kantor Sekretariat Wilayah/Daerah yang dikepalai oleh Sekwilda. c. DPRD yang berperan sebagai lembaga legislatif. d. BAPPEDA yang berperan sebagai Lembaga Perencanaan Pembangunan Daerah. e. Dinas selaku unit pelaksana otonomi daerah . f. Inspektorat yang bertindak selaku unit pengawas.

C. Pemerintahan daerah pada orde reformasi Undang-Undang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Ada beberapa permasalahan mendasar yang patut dikemukakan mengenai Undang-Undang Nomor 22 Tahun Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. 1. Pertama , Undang-Undang ini telah menberikan peranan sentral kepada DPRD dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala Daerah dan bahkan Undang-Undang ini telah memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD. Apabila pertanggungjawaban


60

Kepala Daerah tidak memuaskan, DPRD dapat mengusulkan pemberhentian Kepala Daerah. 2. Kedua, kewenangan pemerintah daerah sangat besar bahkan sebagian ahli dan praktisi mengatakan bahwa Undang-Undang No.22 tahun 1999 merupakan semi negara federal. Secara teoritis terdapat 4 urusan pusat yang tidak dapat diserahkan kepada daerah yaitu: pertahanan keamanan, urusan diplomatik luar negeri, urusan peradilan, dan urusan keuangan dalam pengertian mencetak uang. 3. Ketiga, Pemerintah Daerah berhak membentuk kelembagaan daerah. Dengan dikeluarkannya PP No. 88 Tahun 2000 yang diganti dengan PP No. 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Penyusunan Organisasi Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan, maka Pemda akan mempunyai diskresi yang tinggi dalm menentukan kelembagaan yang optimal bagi Pemda. 4. Keempat , Pemerintahan Daerah memiliki kewenangan yang luas dalam manajemen kepegawaian daerah mulai dari rekruitmen, promosi, penggajian, pendidikan dan pelatihan. 5. Kelima, sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi (pasal 3 UU No. 22 Tahun 1999) adalah: a. b. c. d.

Pendapatan Asli Daerah. Dana Perimbangan. Pinjaman Daerah. Lain-lain Penerimaan daeerah yang sah.


61

Dalam pasal 6, 7, dan 8 disebutkan sumber perimbangan sebagai berikut: a. Bagian daerah sebanyak 90% dari penerimaan PBB. b. Bagian daerah sebesar 80% dari Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. c. Bagian daerah sebesar 80% dari sumber daya alam sektor kehutanan, pertambangan umum, dan perikanan. d. Bagian daerah sebesar 15% dari pertambangan minyak bumi ( setelah dipotong pajak). e. Bagian daerah sebesar 30% dari pertambangan gas alam ( setelah dipotong pajak). f. Dana alokasi umum 25% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN dengan perincian 10% untuk Propinsi dan 90% untuk Kabupaten/Kota. g. Dana alokasi khusus untuk membantu membiayai kebutuhan khusus ataupun kebutuhan yang merupakan komitmen atau prioritas nasional. Termasuk dalam dana alokasi khusus adalah 40% bagian daerah penghasil dana reboisasi.

Keenam, Pemerintah memiliki peluang untuk meningkatkan manajemen pelayanan umum. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan akuntabilitas Pemda dalam pelayanan adalah sebagai berikut; a. Mewajibkan Pemda membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan secara umum. b. Melakukan temu wicara dengan masyarakat dan media massa. c. Adanya pejabat yang diberi tugas dan bebas dari pengaruh birokrasi untuk melakukan penilaian pelayanan. d. Menciptakan keterkaitan antara kewajiban pembayar pajak dengan pelayanan Pemda Pada perjalanan pelaksanaan UU No. 22 Tahun 1999, muncul beberapa Undang-Undang dan peraturan pemerintah yang cukup signifikan bagi perkembangan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia. Pertama, UU itu adalah Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam.


62

Undang-Undang ini diterbitkan karena pelaksanaan Undang-Undang No. 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh perlu diselaraskan dengan penyelenggaraan di Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Undang-Undang ini disahkan pada tanggal 9 Agustus Tahun 2001. Butir-butir yang perlu diperhatikan yang lebih besar adalah sebagai berikut: a. Pengertian: 1) Wilayah Propinsi terbagi menjadi daerah-daerah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda. 2) Wilayah Kabupaten terbagi menjadi daerah-daerah Kecamatan/Sagoe Cut atau nama lain. 3) Wilayah Kecamatan/Sagoe Cut terbagi menjadi daerah-daerah Gampoeng atau nama lain. b. Susunan, kedudukan, penjenjangan dan penyebutan pemerintahan ditetapkan dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. c. Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki otonomi khusus dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kewenangan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam selain yang diatur dalam Undang-Undang ini, tetap berlaku sesuai peraturan. d. Keuangan . sumber penerimaaan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi: 1) Pendapatan Asli Daerah yang terdiri atas pajak daerah, restribusi daerah, zakat, hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaaan daerah lainnya dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. 2) Dana perimbangan, bagian untuk Propinsi, Kabupaten dan Kota, yang terdiri dari: a. 90% dari pajak bumi dan bangunan. b. 80% bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. c. 20% pajak penghasilan pribadi. d. 80% penerimaan sumber daya alam dari sektor kehutanan. e. 80% pada sektor pertambangan umum. f. 80% pada perikanan. g. 15% pada pertambanganu minyak bumi. h. 30% pertambangan gas alam, setelah dikurangi pajak. 3) Dana Alokasi Umum ditentukan sesuai peraturan perUndangUndangan.


63

4) Dana Alokasi Khusus ditentukan sesuai peraturan perUndangUndangan. 5) Penerimaaan dalam rangka otonomi khusus, terdiri atas: a. 55% penerimaan dari pertambangan minyak bumi setelah dikurangi pajak. b. 40% penerimaan dari gas alam setelah dikurangi pajak. c. Untuk selama 8 tahun, setelah 8 tahun masing-masing menjadi 35% dan 20%. d. Mahkamah Syar’iyah 1) Peradilan Syariat Islam di Propinsi NAD sebagai bagian dari sistem peradilan nasional dilakukan oleh Mahkamah Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak manapun. 2) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas Syariat Islam dalam sistem hukum nasional yang diatur lebih lanjut dengan Qanun Propinsi NAD. 3) Kewenangan Mahkamah Syar’iyah diberlakukan bagi pemeluk agama islam. 4) Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah Syar’iyah Kabupaten/sagoe dan Kota/Banda atau nama lain sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah tingkat Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding di ibukota Propinsi. 5) Mahkamah Syar’iyah untuk pengadilan tingkat kasasi dilakukan pada Mahkamah Agung Republik Indonesia. 6) Hakim Mahkamah Syar’iyah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden sebagai Kepala Negara atas usul Menteri Kehakiman setelah mendapat pertimbangan Gubernur Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Ketua Mahkamah Agung. 7) Sengketa antara Mahkamah Syar’iyah dan pengadilan dalam tingkat lain menjadi wewenang Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk tingkat pertama dan tingkat akhir. 8) Ketentuan peralihan : semua peraturan perUndang-Undangan yang ada sepanjang tidak diatur dengan Undang-Undang ini dinyatakan tetap berlaku di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. 9) Ketentuan palaksanaan Undang-Undang ini secara bertahap harus telah dibentuk paling lambat dalam masa satu tahun setelah Undang-Undang ini diundangkan. Perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi suatu keniscayaan. Hal itu mendasarkan pada beberapa alasan :


64

a. Penyesuaian dengan perUndang-Undangan yang berlaku terutama setelah adanya amandemen UUD 1945, UU Nomor 12 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU Nomor 22 Tahun 2003 Tentang susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, UU Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, dan UU Nomor 15 Tahun 2004 Tentang Atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara b. Munculnya permasalahan dalam pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999, diantaranya: 1) Friksi antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah yang berkaitan dengan perebutan kewenangan. 2) Munculnya ego-daerah dalam kehidupan politik, kepegawaian, dan ekonomi. 3) Semakin rendahnya mutu pelayanan masyarakat. 4) Kurang harmonisnya hubungan antara Provinsi dengan Kabupaten/Kota. 5) Kurang maksimalnya pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan akibat praktik demokrasi parlementer dalam hubungan antara Kepala Daerah dan DPRD. 6) Terjadinya proliferasi kelembagaan yang ada dilingkungan pemerintahan daerah. 7) Kuatnya intervensi politik dalam penyelenggaraan roda pemerintahan terutama dalam pembuatan anggaran dan kepegawaian daerah. 8) Lemahnya pengawasan dalam pelaksanaan otonomi daerah. 9) Beberapa kebijakan daerah berseberangan dengan kebijakan pemerintah pusat. 10) Adanya produk hukum daerah yang bertentangan dengan peraturan perUndang-Undangan yang lebih tinggi.

Beberapa perubahan mendasar yang terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah setelah diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004, diantaranya: a. Terminologi pemberian kewenangan dirubah menjadi pembagian urusan sehingga muncul urusan pemerintahan wajib atau mutlak yang menjadi urusan pemerintah pusat yaitu: politik luar negeri, pertahan, keamanan,


65

b.

c.

d. e.

moneter, yustisi, dan agama. Serta urusan concurrent atau urusan yang menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. Untuk mewujudkan pembagian urusan yang concurrent secara proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Laporan penyelengaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Pembagian urusan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota lebih eksplisit dikemukakan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Lebih merinci syarat pembentukan daerah yaitu harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

Secara teoritis ada enam elemen utama yang membentuk pemerintahan daerah yaitu; 1) Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2) Adanya kelembagaan yang merupakan perwadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah. 3) Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan. 4) Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. 5) Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakil-wakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah. 6) Adanya manajemen pelayanan umum agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomis dan akuntabel.

Pergeseran yang sangat mendasar dalam pengaturan kewenangan dalam Undang-Undang no. 22 tahun 1999, adalah perubahan dari model penyerahan urusan ke model pengakuan kewenangan. Dengan pengakuan kewenangan ini,


66

daerah di beri kebebasan dan keleluasaan dalam penentuan bidang-bidang pemerintah yang akan dilaksanakan, termasuk untuk kabupaten/kota dan keleluasaan dalam penetapan kebijakan. Dalam penjelasan pasal 9 UU Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota antara lain seperti kewenangan di bidang pekerjaan umum, perhubungan, kehutanan dan perkebunan. Kewenangan yang termasuk kewenangan pemerintahan tertentu lainnya, yaitu: a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan regional secara makro. b. Pelatihan, bidang tertentu, alokasi, sumber daya manusia yang potensial, dan penelitian yang mencakup wilayah provinsi. c. Pengelolaan pelabuhan regional. d. Pengendalian lingkungan hidup. e. Promosi dagang dan budaya/pariwisata. f. Penanganan penyakit menular dan hama tanaman. g. Perencanaan tata ruang provinsi. Beberapa

perubahan

mendasar

yang

terjadi

dalam

penyelenggaraan

pemerintahan dan pembangunan di daerah setelah diberlakukannya UU Nomor 32 Tahun 2004, diantaranya: a. Terminologi pemberian kewenangan dirubah menjadi pembagian urusan sehingga muncul urusan pemerintahan wajib atau mutlak yang menjadi urusan pemerintah pusat yaitu: politik luar negeri, pertahan, keamanan, moneter, yustisi, dan agama. Serta urusan concurrent atau urusan yang menjadi urusan bersama antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten/kota. b. Untuk mewujudkan pembagian urusan yang concurrent secara proposional antara pemerintah pusat, daerah provinsi, daerah kabupaten/kota maka disusunlah kriteria yang meliputi eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan.


67

c. Pemerintah daerah adalah pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Laporan penyelengaraan pemerintahan daerah kepada pemerintah disampaikan kepada presiden melalui Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur untuk Bupati/Walikota 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. d. Pembagian urusan antara pemerintah pusat, propinsi, kabupaten/kota lebih eksplisit dikemukakan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. e. Lebih merinci syarat pembentukan daerah yaitu harus memenuhi syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Secara teoritis ada enam elemen utama yang membentuk pemerintahan daerah yaitu; 1) Adanya urusan otonomi yang merupakan dasar dari kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. 2) Adanya kelembagaan yang merupakan perwadahan dari otonomi yang diserahkan kepada daerah. 3) Adanya personil yaitu pegawai yang mempunyai tugas untuk menjalankan urusan otonomi yang menjadi isi rumah tangga daerah yang bersangkutan. 4) Adanya sumber-sumber keuangan untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah. 5) Adanya unsur perwakilan yang merupakan perwujudan dari wakilwakil rakyat yang telah mendapatkan legitimasi untuk memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah. 6) Adanya manajemen pelayanan umum agar dapat berjalan secara efisien, efektif, ekonomis dan akuntabel.

Pengertian dasar otonomi, yaitu kemandirian. Daerah harus memiliki keleluasaan untuk menentukan sendiri mengenai cara mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Memperbesar sumber keuangan daerah merupakan salah satu cara yang mesti dilakukan. Subsidi senantiasa diperlukan dengan berbagai tujuan samping untuk mencukupi keuangan daerah. Otonomi khusus bagi Nanggroe Aceh Darussalam, memberikan peluang untuk

penyelenggaraan

otonomi

daerah

yang lebih

luas,

nyata

dan


68

bertanggungjawab. Kewenangan yang lebih luas dan kemampuan menggali sumber keuangan sendiri, didukung oleh perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta antara Provinsi dan Kabupaten/Kota merupakan prasyarat sistem Pemerintahan Daerah.


69

BAB IV KEWENANGAN PEMERINTAH KABUPATEN/ KOTA DALAM PENGELOLAAN DANA OTONOMI KHUSUS BERDASARKAN UNDANGUNDANG NOMOR 11 TAHUN 2006 TENTANG PEMERINTAHAN ACEH

A. Pengelolaan dana otonomi khusus berdasarkan Peraturan PerUndangUndangan yang berlaku Tambahan Dana otonomi bagi Provinsi Aceh telah dikenal melalui Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Naggroe Aceh Darussalam tersebut dalam Pasal 4 ayat (1) Sumber penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam meliputi: a. b. c. d. e. f.

pendapatan asli Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; dana perimbangan; penerimaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka otonomi khusus; pinjaman Daerah; dan lain-lain penerimaan yang sah.

selanjutnya pada ayat (4) disebutkan bahwa penerimaan dalam rangka otonomi khusus, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) butir c, berupa tambahan penerimaan bagi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dari hasil sumber daya alam di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam setelah dikurangi pajak, yaitu sebesar 55%(lima puluh lima persen) untuk pertambangan minyak bumi dan sebesar 40% (empat puluhpersen) untuk pertambangan gas alam selama delapan tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini.

58


70

Melalui keberlakuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) yang sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. dimana penyalurannya dimulai sejak tahun 2008 sebagaimana disebut dalam Pasal 183 ayat (2) UUPA “Dana Otonomi Khusus untuk tahun pertama mulai berlaku sejak tahun anggaran 2008�.dan hingga tahun 2011 total dana otsus yang telah diterima oleh Provinsi Aceh adalah sebesar Rp 15,4 triliun. Pengelolaan dana otonomi khusus tidak diatur secara jelas dalam UUPA dan tidak juga diatur dalam Undang-Undang lain, disamping itu juga dalam ketentuan penutup UUPA yaitu pada Pasal 269 disebutkan ; (1). Peraturan perUndang-Undangan yang ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UndangUndang ini. (2). Peraturan perUndang-Undangan di bawah Undang-Undang yang berkaitan secara langsung dengan otonomi khusus bagi Daerah Provinsi Aceh dan kabupaten/kota disesuaikan dengan Undang-Undang ini. Secara umum ketentuan mengenai dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal 183 UUPA (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. (2) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun kelima belas yang besarnya setara dengan 2% (dua persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional dan untuk tahun keenam belas sampai dengan tahun kedua puluh yang besarnya setara dengan 1% (satu persen) plafon Dana Alokasi Umum Nasional.


71

(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk daerah Aceh sesuai dengan batas wilayah Aceh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3. (4) Program pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam program pembangunan provinsi dan kabupaten/kota di Aceh dengan memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antarkabupaten/ kota untuk dijadikan dasar pemanfaatan dana otonomi khusus yang pengelolaannya diadministrasikan pada Pemerintah Provinsi Aceh. (5) Penggunaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk setiap tahun anggaran yang diatur lebih lanjut dalam Qanun Aceh. Pengelolaan dana otonomi khusus dilaksanakan berdasarkan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus yang disahkan pada tanggal 22 Januari 2008 oleh DPRA bersama dengan Gubernur Aceh, Qanun tersebut lahir sebagai amanah dari Pasal 183 ayat (5) UUPA seperti tersebut di atas. Pengelolaan dana otonomi khusus disebutkan dalam Pasal 9 Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus 1. Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 setiap tahunnya ditransfer ke dalam rekening Kas Umum Aceh. 2. Pengelolaan Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diadministrasikan pada Pemerintah Aceh. Ketentuan tersebut sama seperti yang telah disebutkan dalam Pasal 183 ayat (4) UUPA, kemudian mengenai pengalokasian diatur dalam Pasal 11 khususnya ayat (6) “Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk


72

pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA.� Sehingga jelas bahwa dana otonomi khusus yang diterima oleh Pemerintah Aceh yang berada dalam rekening kas umum Aceh tidak diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bentuk dana tunai tetapi hanya berupa Pagu. Sementara pelaksanaannya dilaksanakan dilakukan oleh Pemerintah Aceh, hal itu disebutkan dalam Pasal 13 ayat (1) “Program dan kegiatan pembangunan sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 ayat (1) huruf a yang telah dikaji dan disepakati bersama antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota, dilaksanakan, diawasi dan dipertanggungjawabkan oleh Pemerintah Aceh.� Oleh karena kekhususan Aceh maka pelaksanaan Pemerintah Aceh sepanjang diatur dalam UUPA maka tentu menjadi acuan utama dalam pelaksanaan, sehingga begitupula dengan pengelolaan dana otonomi khusus seperti yang telah disebutkan di atas. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam pengelolaan dana otonomi khusus, hal itu berarti pengelolaan dana otonomi khusus bersifat sentralistik (terpusat pada Pemerintah Aceh), tentunya tidak sejalan dengan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah yang menitik beratkan kewenangan pada Pemerintah Kabupaten/Kota. Pengelolaan dana otonomi khusus dapat digambarkan sebagai berikut :


73 Gambar I Skema Pengelolaan Dana Otsus Rencana pengunaan dana otsus oleh Kabupaten/Kota kemudian dimusyawarahkan dengan Pemerintah Aceh untuk disepakati bersama

Disalurkan oleh Pemerintah Pusat dan termasuk dalam APBA, lalu diberikan PAGUnya kepada Pemkab/Pemkot

Pemerintah Pusat

Salah satu Pendapantan Daerah yang diberikan oleh Pemerintah Pusat yaitu Dana perimbangan dan salah satunya dana bagi hasil minyak dan gas bumi. Disamping itu Dana Otsus juga termasuk dalam Pendapatan Daerah yang diberikan oleh Pemerintah Pusat

Pemerintah Aceh

Pemkab/Kot + DPRK

Pemkab/Pemkot bersama DPRK merumuskan Program sesuai dengan PAGU, lalu dimusyawarahkan dan disepakati bersama Pemerintah Aceh

Pemkab/Pemkot + Pemerintah Aceh

Pemerintah Aceh

Program yang telah disepakti tersebut dijalankan/dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh

61


74 Gambar II Skema Pelaksana Kegiatan Dana Otsus

Dana Otsus

Pemerintah Aceh sbg Eksekutor

Diberikan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota dalam bentuk PAGU.

Pengawasan & Evaluasi oleh DPRA

Pertanggung jawaban dan Pelaporan kpd Pemerintah Pusat

Pasal 16 dan 17 Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus Dilaksanakan, diawasi & dipertanggung jawabkan oleh Pemerintah Aceh


75

Dari ilustrasi diatas maka dapat dijelaskan bagaimana Kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota Dalam Pengelolaan Dana Otonomi Khusus Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. UUPA merupakan landasan yuridis dalam pengelolaan dana otonomi khusus, UUPA hanya mengatur secara prinsip bagaimana pengelolaan dana otonomi khusus tersebut dan secara teknis pengelolaan diatur dalam Qanun nomor 2 Tahun 2008. Berdasarkan Qanun tersebut diketahui bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota tidak diberikan kewenangan untuk mengelola dana otonomi khusus secara penuh, karena Qanun tersebut telah membatasi pengalokasian dana otonomi khusus, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 10 Qanun Nomo2 Tahun 2008 (1) Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ditujukan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan. (2) Selain ditujukan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Dana Otonomi Khusus dapat juga dialokasikan untuk membiayai program pembangunan dalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh. Selain pembatasan tersebut dana otonomi khusus tidak diberikan secara langsung dalam bentuk sejumlah uang kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, tetapi

hanya

diberikan

dalam

bentuk

pagu

yang

telah

ditetapkan

jumlahnyasebelumnya dengan formula pembagian seperti disebutkan dalam Pasal 11 Qanun Nomor 2 Tahun 2008


76

(1) Pengalokasian Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan dengan perimbangan sebagai berikut : a. Paling banyak 40% (empat puluh persen) dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan Aceh; b. Paling sedikit 60% (enam puluh persen) dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan Kabupaten/Kota. (2) Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b. dibagi antar kabupaten/kota setiap tahun dengan menggunakan suatu formula yang memperhatikan keseimbangan kemajuan pembangunan antar kabupaten/kota (3) Formula penghitungan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menggunakan beberapa indikator seperti jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) dan indikator lainnya yang relevan. (4) Formula penghitungan besaran alokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan oleh Gubernur. (5) Dalam memperhitungkan formula sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Pemerintah Aceh wajib menyiapkan data dan informasi yang diperlukan. (6) Pengalokasian anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh Gubernur setelah mendapat persetujuan Pimpinan DPRA. Berdasarkan Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian TambahanDana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, strukturorganisasi pengelola dana otsus adalah sebagai berikut : Gambar III Struktur Organisasi Pengelola Dana Otsus


77

Struktur pengelola dana otsus Aceh terdiri dari : 1. Gubernur Aceh Gubernur Aceh merupakan Kepala Pemerintahan Provinsi Aceh yang memperolehalokasi dana otsus dari Pemerintah Pusat. Gubernur bersamasama dengan DPRAmenetapkan alokasi penggunaan dana otsus untuk Pemerintah

Provinsi

dan

PemerintahKabupaten/Kota

dengan

mempertimbangkan usulan dari Bupati/Walikota dan DPRK. 2. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) DPRA melakukan pembahasan usulan penggunaan dana otsus yang diusulkan olehGubernur Aceh serta melakukan pengawasan penggunaan dana otsus. Tim KoordinasiProvinsi Gubernur DPRA Aceh Bupati/Walikota DPRKPengguna Anggaran(SKPA

Anggaran(SKPA di

Provinsi)Kuasa

di

Provinsi)Kuasa

Pengguna

Pengguna

Anggaran(SKPK

di

Kabupaten/Kota) 3. Pengguna Anggaran (PA) Pengguna Anggaran adalah Kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) yang ditunjukoleh Gubernur untuk mengelola anggaran yang berasal dari dana otsus, baik yang menjadialokasi provinsi maupun kabupaten/kota. Pengguna Anggaran berkedudukan di provinsi dan dibantu oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang berkedudukan di provinsi dan KPA yang berkedudukan di kabupaten/kota.


78

4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Provinsi KPA Provinsi adalah pejabat SKPA yang ditunjuk oleh Gubernur untuk membantuPengguna Anggaran dalam mengelola dana otsus yang menjadi alokasi Provinsi. 5. Bupati/Walikota Bupati/Walikota adalah kepala pemerintahan kabupaten/kota yang bersamasama DPRKmembuat usulan penggunaan dana otsus yang dialokasikan kepada kabupaten/kota. 6. Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) DPRK melakukan pembahasan usulan penggunaan dana otsus yang diajukan olehbupati/walikota dan hasil pembahasan ini akan disampaikan kepada Pemerintah ProvinsiAceh. 7. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Kabupaten/Kota KPA

Kabupaten/Kota

Kabupaten/Kota

adalah

(SKPK)yang

pejabat ditunjuk

Satuan oleh

Kerja

Gubernur

Perangkat berdasarkan

Bupati/Walikota untuk membantu Pengguna Anggaran dalam mengelola dana otsus yang menjadi alokasi Kabupaten/Kota. 8. Tim Koordinasi Provinsi Tim Koordinasi Provinsi adalah tim yang dibentuk oleh gubernur untuk membantuGubernur dalam merumuskan formula penghitungan alokasi dana otsus, menyusun kriteriadan persyaratan seleksi program yang dapat didanai dari dana otsus, menilai kesesuaian program yang diusulkan dan


79

menyediakan bantuan teknis yang diperlukan dalam pengelolaan dana otsus. Tim Koordinasi Provinsi terdiri dari unsur Pemerintah Aceh,Pemerintah Kabupaten/Kota dan tenaga ahli yang relevan.

Skema alokasi dana otonomi khusus dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar IV Skema alokasi dana otonomi khusus

Anggaran dan Realisasi Estimasi Jumlah penerimaan dana otsus Pemerintah Provinsi Aceh dari Pemerintah Pusat dari tahun 2008 sampai dengan 2027 adalah sebagai berikut :


80

Tabel I Estimasi penerimaan dana otsus Aceh39 Estimasi ketersediaan Dana Otsus Hingga tahun 2027 Tahun 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027

Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp

Jumlah 3,590,142,897,000 3,728,282,000,000 3,849,806,840,000 4,400,000,000,000 4,444,000,000,000 4,488,440,000,000 4,533,324,400,000 4,576,657,644,000 4,624,444,220,440 4,670,688,662,644 4,717,395,549,271 4,764,569,504,764 4,812,215,199,811 4,860,337,351,809 4,908,940,725,327 2,479,015,066,290 2,503,805,216,953 2,528,843,269,123 2,554,131,701,814 2,579,673,018,832

Jumlah

Rp

79,614,713,268,078

untuk periode TA 2008 s.d.TA 2010 adalah sebagai berikut :

39

hermawan, makalah kebijakan dana otonomi khusus dan tambahan dana bagi hasil minyak dan gas, dipresentasikan pada kegiatan fgd “review terhadap sistem dan implementasi otonomi khusus di indonesia� oktober 2011


81

Tabel II Penerimaan Dana Otonomi Khusus Prov. Aceh Tahun 2008 – 2010

No. 1

TA

Alokasi Otsus sesuai Permenkeu No. & Tgl. Permenkeu Jumlah

2008 PMK No. 56/PMK.07/2008 Tgl : 22Apr-2008

Rp

3,590,142,897,000.00

Diterima Kas Daerah Provinsi Aceh No. Tgl. Nota Kredit Jumlah (Rp) CN No. 4847/KPO.03/VIII/2008 11Agus-2008 CN No. 4938/KPO.03/IX/2008 26Sept-2008

Rp

538,521,435,000.00

Rp

1,077,042,869,000.00

CN No. 5028/KPO.03/XI/2008 5Nov-2008

Rp

1,436,057,159,000.00

CN No. 5071/KPO.03/XIII/2008 11Des-2008

Rp

538,521,434,000.00

Rp Rp

3,590,142,897,000.00 559,242,300,000.00

CN No.456/KPO.03/VIII/2009 30Apr-2009

Rp

1,118,484,600,000.00

CN No.654/KPO.03/XI/2009 CN No.710/KPO.03/VII/200817 Des 09

Rp Rp

1,491,312,800,000.00 559,242,300,000.00

Jumlah

Rp Rp

3,728,282,000,000.00 577,471,026,000.00

Rp

1,154,942,052,000.00

Jumlah 2

3

2009 PMK No. 204/PMK.07/2008 Tgl : 10-Des-08

2010 PMK No. 160/PMK.07/2009 Tgl : 4-Nov-2009

Rp

Rp

3,728,282,000,000.00

3,849,806,840,000.00

CN No.200/KPO.03/IV/2009 30-Apr2009

CN No. 261/KPO.05/V/2010 Tgl : 1 May 2010 CN No.476/KPO.03/VIII/2010 Tgl : 3 Aug 2010

69


82

3

2011 PMK No. 160/PMK.07/2009 Tgl : 4-Nov-2009

Rp

4,400,000,000,000.00

CN No.607/KPO.03/IX/2010 Tgl 21 Sept 2010

Rp

1,539,922,736,000.00

CN No…../KPO.05/…../2010 Tgl ; 20 Des 2010

Rp

577,471,026,000.00

Jumlah

Rp

3,849,806,840,000.00

Jumlah total

Rp Rp

4,400,000,000,000.00 15,568,231,737,000.00

CN No. CN No. CN No. CN No

Jumlah total

Rp

15,568,231,737,000.00

Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)

70


83

Penyaluran Dana Otonomi Khusus baik Aceh maupun Papua, dan Papua Barat dilaksanakan secara bertahap, yaitu : 1. Tahap I dilaksanakan pada bulan Maret sebesar 15% dari alokasi. 2. Tahap II dilaksanakan pada bulan Juni sebesar 30% dari alokasi. 3. Tahap III dilaksanakan pada bulan September sebesar 40% dari alokasi. 4. Tahap IV dilaksanakan pada bulan November sebesar 15% dari alokasi.

Dana otsus tersebut setiap tahun ditransfer ke rekening Kas Umum Daerah Provinsi Aceh dan pengelolaanya dilakukan oleh Pemerintah Aceh melalui

APBD

untuk

pembangunan/pemeliharaan

membiayai

infrastruktur,

program

pemberdayaan

dankegiatan

ekonomi

rakyat,

pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan serta pembangunandalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh. Pemanfaatan dana otsus tersebut dilakukan melalui mekanisme APBD Provinsi Aceh dan dialokasikan untuk Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota di wilayah Provinsi Aceh. Alokasi dana otsus ditetapkan dengan Peraturan Gubernur setiap tahun. Rincian alokasi,anggaran dan realisasi penggunaan dana otsus untuk TA 2008 s.d TA 2010 adalah sebagai berikut :


84

Tabel III Anggaran dan Realisasi Penggunaan Dana Otsus untuk TA 2008 s.d TA 2010 No

T.A

Pengunaan Dana Otsus

Alokasi Pergub Aceh

1

2

3

Anggaran 4

Realisasi 5

Sisa Dana Pergub 6 = 3-5

Sisa Anggaran 7 = 4-5

1

2008

Rp 3,530,630,000,000.00

Rp 2,191,354,173,567.00

Rp 825,685,125,609.00

Rp 2,704,944,874,391.00

Rp 1,365,669,047,958.00

Rp 3,727,751,407,543.00

Rp 3,035,606,281,103.00

Rp 495,023,718,897.00

Rp 692,145,126,440.00

Rp 3,728,281,999,998.00

Rp 3,833,536,971,042.00

Rp 6,928,250,593,286.00

Rp 5,891,351,145,440.00

No. 50 Tahun 2008 2

2009

Rp 3,530,630,000,000.00 No. 56 Tahun 2009

3

2010

Rp 3,728,281,999,998.00

Rp 3,833,536,971,042.00

No. 903/4803 Th 2009 Jumlah

Rp 10,789,541,999,998.00

Rp 9,752,642,552,152.00

Rp 3,861,291,406,712.00

Sumber: Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA)


85

Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh, BPK memberikan kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan otonomi khusus Provinsi Aceh, oleh Pemerintah Pusat

diberikan sumber-sumber

keuangan kepada Pemerintah Aceh berupa pendapatan daerah dan pembiayaan, termasuk melalui pemberian dana otonomi khusus yang ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh. Sebagai tindak lanjut dari pemberian dana otonomi khusus, oleh Pemerintah Aceh dibentuk Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 yang mengatur pengelolaan dana otonomi khusus dengan sistem pengelolaan secara sentralisasi oleh Provinsi Aceh. “Namun sangat disayangkan, sentralisasi pengelolaan dana otonomi khusus oleh Provinsi Aceh dalam implementasinya tidak berjalan dengan efektif dan proses transparansi keuangan tidakdijalankan sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance yang menunjukkan buruknya pengelolaan dana otonomi khusus di Provinsi Aceh.�40 Dana otonomi khusus pada dasarnya

ditujukan bagi peningkatan

pemberian pelayanan kepada masyarakat (public service). Pemberian pelayanan kepada masyarakat akan berjalan secara efektif dan efesien, apabila proses pelayanan tersebut didekatkan kepada masyarakat dan bukan dijauhkan. Oleh karena itu, proses pemberian pelayanan harus dapat didekatkan kepada masyarakat melalui pelimpahan kewenangan pengelolaan dana otonomi khusus kepada Kabupaten/Kota agar pelaksanaan dana otonomi khusus dapat berjalan 40

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh, laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada Pemerintah Aceh di Banda Aceh dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011.


86

lebih efektif dan efesien sebagaimana tersebut dalam asas-asas umum penyelengaraan pemerintahan yang baik maupun asas penyelengaraan pelayanan publik seperti dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.. Selain itu,mengingat pentingnya fungsi anggaran dalam penyelenggaraan pemerintahan, maka dana otonomi khusus Provinsi Aceh harus dapat dikelola dengan sebaik-baiknya melalui reformasi sistem pengelolaan dana otonomi khusus yang sejalan dengan prinsip-prinsip Good Governance. Pembaruan sistem pengelolaan keuangan diperlukan agar pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan sejalan dengan makna demokrasi berdasarkan konsep value for money sehingga tercipta akuntabilitas publik. Masalah koordinasi terhadap dana Otsus Aceh juga masih lemah. Akibatnya DPRA menyarankan agar Gubernur Aceh dapat menyamakan persepsi dengan pihak kabupaten kota dalam pemanfaatan dana otonomi khusus guna mengarahkan pembangunan dengan terpadu dan terfokus untuk kesejahteraan masyarakat.41 Merujuk Pasal 179 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh. (1) Penerimaan Aceh dan kabupaten/kota terdiri atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. (2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: 41

2012

DPRA, 12 Rekomendasi LKPJ Gubernur Aceh, www.theglobejournal.com diakses 11 Februari


87

a. b. c. d.

Pendapatan Asli Daerah; Dana Perimbangan; Dana Otonomi Khusus; dan lain-lain pendapatan yang sah.

Meskipun pada Pasal tersebut dana otonomi khusus disebutkan sebagai salah satu sumber penerimaan kabupaten/kota, namun dana otonomi khusus menurut pasal 183 ayat (1) dan ayat (4) UUPA, tidak langsung ditransfer oleh pemerintah pusat kedalam penerimaan kabupaten/kota, melainkan ditransfer menjadi penerimaan Pemerintah Aceh. Program pembangunan provinsi dan program pembangunan kabupaten/kota, kewenangan dan tanggung jawabnya berada pada masing-masing pemerintahan. Oleh karena itu Pasal 183 ayat (4) dengan tegas mengatur bahwa dana otonomi khusus harus digunakan untuk membiayai program pembangunan Provinsi, juga program pembangunan kabupaten/kota. Dengan demikian, program pembangunan pemerintah aceh yang didanai dengan dana otonomi khusus adalah dilaksanakan oleh pemerintah aceh, sehingga demikian pula program pembangunan kabupaten/kota yang didanai dengan dana otonomi khusus adalah dilaksanakan oleh kabupaten/kota masingmasing. Pasal 183 ayat (4) UUPA ditegaskan bahwa semua dana otonomi khusus menjadi penerimaan transfer provinsi dari pemerintah pusat, yang kemudian sebagian dari dana itu digunakan untuk membiayai program pembangunan kabupaten/kota

adalah

kewenangan

dari

kabupaten/kota

baik

dari

penganggaranya maupun pelaksanaannya. Dengan demikian ketentuan pasal 183


88

ayat (4) merupakan penegasan terhadap ketentuan dalam Pasal 179 ayat (2) huruf c, bahwa dana otonomi khusus adalah juga penerimaan kabupaten/kota. Untuk melaksanakan program pembangunan kabupaten/kota dengan dana otonomi khusus. Definisi kabupaten/kota berdasarkan pasal 1 angka 3 UUPA. “Kabupaten/kota adalah bagian dari daerah provinsi sebagai suatu kesatuan masyarakat hukum yang diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang dipimpin oleh seorang bupati/walikota.� Pasal 18 UUD 1945 sebagai prinsip penyelengaraan Pemerintah Daerah menyebutkan sebagai berikut : Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan Undang-Undang. **) (2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **) (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **) (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. **)


89

(5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **) (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **) (7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang. **) Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan Undang-Undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. **) (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan Undang-Undang. **)

Asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintah daerah itu sendiri dan juga penugasan oleh pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa. Pengertian Otonomi dalam lingkup suatu negara selalu dikaitkan dengan daerah atau pemerintah daerah (local government). Otonomi dalam pengertian ini, selain berarti mengalihkan kewenangan dari pusat (central government) ke daerah juga berarti menghargai atau mengefektifkan kewenangan asli yang sejak semula tumbuh dan hidup di daerah untuk melengkapi sistem prosedur pemerintahan negara di daerah. “Manifestasi dari terselengaranya otnomi di


90

daerah adalah terwujudnya pemerintahan daerah yang mampu menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat di daerah�.42 Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah adalah : 1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan keanekaragaman daerah. 2. Pelaksanaan otonomi daerah di dasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab 3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah propinsi merupakan otonomi yang terbatas. Muhammad Hatta43 mengemukakan gagasannya tentang Otonomi Daerah sebagai berikut : “ Apabila susunannya otonomi terlalu banyak lapisnya, maka kekuasaan mengurus terlalu banyak tersangkut di atas sedikit yang sampai ke bawah. Dalam ketentuan semacam ini sudah dapat diduga bahwa titik berat daripada otonomi itu akan terletak pada propinsi. Dalam keadaan semacam ini otonomi Kabupaten bisa terjepit, otonomi desa tidak akan hidup. Lambat-laun orang didaerah memandang Propinsi itu sebagai suatu konsentrasi kekuasaan yang begitu hebat, sehingga berbagai bagiannya ingin menjadi Propinsi tersendiri. Lahirnya kebijakan Otonomi Daerah yaitu “untuk menyelamatkan pemerintahan dan keutuhan Negara, membebaskan pemerintah pusat dari beban yang tidak perlu, mendorong kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar kesejahteraan�.44 Sejalan dengan prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab yang diletakkan 42

Johan Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah :Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta Jakarta 2007 43 Muhammad Hatta Demokrasi dan Otonomi (Harian Keng Po, 27 April 1957) 44 Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ; Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press Jakarta 2007


91

pada daerah kabupaten dan kota, maka pembinaaan, pengawasan, dan koordinasi dengan pemerintah desa dan kelurahan sepanjang bukan lintas kabupaten dan kota, dilakukan sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten dan kota yang bersangkutan, termasuk pengawasan terhadap peraturan desa dan kepala desa. Hubungan Provinsi dengan Kabupaten/Kota Sebagai sesame daerah otonom adalah hubungan koordinasi. Jadi bukan hubungan hirarki antara atasan dan bawahan, seperti skema berikut : Gambar V Skema Hubungan Koordinasi Pemerintah Daerah

Garis putus-utus antara pemerintah daerah prvinsi dengan pemerintah Kabupaten/Kota menunjukan hubungan koordinasi sesama daerah otonom


92

sedangkan garis lurus yang diperlihatkan antara wilayah administrasi Provinsi dengan Pemda Kabupaten/Kota menunjukan hubungan hirarkis.45 Berdasarkan prinsip otonomi sebagaimana tersebut dalam UUD 1945 kemudian diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dimana daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membentuk kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Muhamma Hatta juga menebutkan : Desentralisasilah, bukan sentralisasi, yang menjadi dasar bagi citacita tolong-menolong dalam asas kolektivitisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia, pada bagian lain juga disebutkan bahwa Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan, kecil dan besar, mendapatkan hak untuk menentukan nasibnya sendiri.46 Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksankan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Nyata berarti daerah memiliki potensi untuk merealisasikan isi dan jenis otonomi yang dilimpahkan. Dengan demikian isi dan jenis otonomi bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun arti otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam

45

Hanif Nurcholis, Teori danPraktik ; Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo Jakarta

2001 46

2007

Syamsuddin Haris, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, LIPI Press Jakarta


93

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi. Kewenangan

otonomi

luas

adalah

keleluasaan

daerah

untuk

menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenagan bidang lainnya (yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000). Disamping itu keluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan

mulai

dari

perencanaan,

pelaksanaan,

pengawasan,

pengendalian dan evaluasi. Otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan dibidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan berkembang didaerah. Otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam rangka meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan

Pembangunan, maka Undang-Undang tersebut meletakkan titik


94

berat otonomi pada Daerah Kabupaten/Kota yang langsung berhubungan dengan masyarakat sehingga diharapkan dapat lebih mengerti dan memenuhi aspirasiaspirasi masyarakat tersebut. Dalam ketentuan umum, pasal 1 ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004, dirumuskan, “ Otonomi daerah adalah, hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perUndangUndangan�. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak : a. b. c. d. e. f.

Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya. Memilih pimpinan daerah. Mengelola apratur daerah. Mengelola kekayaan daerah. Memungut pajak daerah dan restribusi daerah. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah. g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah, dan. h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perUndangUndangan. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban : a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat. c. Mengembangkan kehidupan demokratis. d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan. e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan. f. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak. g. Menyediakan fasilitas kesehatan.


95

h. i. j. k. l. m. n.

Menyediakan sistem jaminan sosial. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah. Melestarikan lingkungan hidup. Mengelola administrasi kependudukan. Melestarikan nilai sosial budaya. Membentuk dan menerapkan peraturan perUndang-Undangan sesuai dengan kewenangannya, dan. o. Kewajiban lain yang di atur dalam peraturan perUndang-Undangan.

Sebagai daerah otonomi propinsi dan kabupaten adalah dua bentuk otonomi yang setara, tidak bersifat hirarkis atau subordinasi. Dalam kedudukan sebagai daerah otonom, keduanya dapat melakukan kerjasama dalam hubungan yang setara pula.Propinsi selain merupakan daerah otonom, juga berkedudukan sebagai wilayah administratif yang memperoleh pelimpahan kewenangan dari pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah. “Otonomi untuk daerah Provinsi

diberikan

secara

terbatas

yang

meliputi

kewenangan

lintas

Kabupatendan Kota, dan kewenangan yang tidak atau belum dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan bidang pemerintahan tertentu lainnya�.47 Mengenai

prinsip

koordinasi

antara

Pemerintah

Aceh

dengan

Pemerintah Kabupaten/Kota juga disebut dalam Pasal 14 ayat (1) “Pembagian dan pelaksanaan urusan pemerintahan, baik pada Pemerintahan di Aceh maupun pemerintahan di kabupaten/kota dilakukan berdasarkan kriteria eksternalitas, 47

Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Membangun Format Baru Otonomi Daerah Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001


96

akuntabilitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antarpemerintahan di Aceh.� Selain itu juga berdasarkan asas-asas umum penyelengaraan pemerintahan yang baik good governance dan UUPA juga menyebutkan dalam Pasal 20 Penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan kabupaten/kota berpedoman pada asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang terdiri atas: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.

asas ke-Islaman; asas kepastian hukum; asas kepentingan umum; asas tertib penyelenggaraan pemerintahan; asas keterbukaan; asas proporsionalitas; asas profesionalitas; asas akuntabilitas; asas efisiensi; asas efektivitas; dan asas kesetaraan. Tujuan otonomi daerah adalah meningkatkan pelayanan

dan

kesejahteraan masyarakat. Ukuran keberhasilan otonomi daerah adalah terwujudnya kehidupan yang lebih baik, lebih adil dalam memperoleh penghasilan/pendapatan terlindungnya dari segala gangguan, dan tercipta rasa aman serta lingkungan hidup yang lebih nyaman Salah satu aspek penting otonomi daerah adalah pemberdayaaan masyarakat sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan , dan pengawasan serta memberikan pelayanan publik.


97

B. Kendala bagi Pemerintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan dana otonomi khusus Implementasi dana Otonomi Khusus sampai saat ini belum dapat berjalan dengan baik tentunya terdapat hambatan dalam pengelolaannya sehingga tidak terlaksana apa yang diharapkan yaitu

untuk membiayai program dan

kegiatan pembangunan, terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan. Disamping itu, dana otsus dapat juga dialokasikan untuk membiayai program pembangunan dalam rangka pelaksanaan keistimewaan Aceh yang dituangkan dalam program Pembangunan Provinsi dan Kabupaten/Kota.. Misalnya yang terjadi di Kabupaten Aceh Utara yang tidak terealisasi. Total anggaran tahun 2009 mencapai Rp 32 miliar. Pada tahun 2008 lalu sebetulnya persoalan dana Otsus ini telah mencuat, namun belum banyak pihak yang mengetahui kendala utama dalam implementasinya. Kepala Dinas Pendidikan Aceh Utara, M Jamil, menyebutkan persoalan teknis menjadi kendala utama dana itu. Penelusuran Kontras, awalnya seluruh dinas di kabupaten mengusulkan anggaran itu ke provinsi, termasuk disain dan rancangan anggaran biaya (RAB) yang dibutuhkan.48 Setelah proses pengusulan tersebut selesai, maka dinas Provinsi yang hanya memiliki wewenang. Mereka yang akan menyempurnakan RAB dan disain 48

Kontras, Gagalnya Realisasi Dana Otsus, Edisi 4 Januari 2010


98

bangunan. Menjadi permasalahan karena dinas pendidikan provinsi tidak hanya menangani satu kabupaten saja. Namun, sebanyak 23 kabupaten/kota di Aceh juga harus dilayani. Akibatnya, banyak disain dan RAB yang tidak selesai dikerjakan sampai akhir tahun49. Padahal sejak tahun 2008 sampai saat ini alokasi dana otsus selalu meningkat sebagaimana digambarkan dalam tabel berikut : Tabel IV Rincian Penerimaan Dana Otsus Aceh Tahun

Nominal

2008

Rp 3,5 triliun

2009

Rp 3,7 triliun

2010

Rp 3,8 triliun

2011

Rp 4,4 triliun

Jumlah yang telah diterima

Rp 15,4 triliun

2012

Rp 5,4 triliun

Sumber ; Data Olahan Bahkan banyak pihak yang mempertanyakan pengelolaan dana otsus dan memberikan penilaian negatif terhadap Pemerintah Aceh karena dianggap tidak serius dalam memanfaatkan dana Otsus.50 Seperti yang disebutkan oleh Mirwan Amir, Wakil Ketua Badan Anggaran DPR RI. “ Aceh sudah menerima dana Otsus sejak 2008 sampai 2010 dengan total Rp 11 triliun lebih. Namun, sampai saat ini tidak kelihatan pembangunan signifikan yang dibiayai oleh dana Otsus dimaksud. “Angka kemiskinan

49 50

2010

ibid Serambi Indonesia, Pemerintah Aceh Belum Serius Kelola Dana Otsus, Edisi 8 Februari


99

Aceh masih tetap tinggi. Ini membuktikan bahwa dana Otsus selama ini tidak berhasil menurunkan angka kemiskinan�.51

Dari hasil penelitian diketahui juga beberapa faktor penghambat diantaranya : 1. Pengelolaan yang sentralistik Pelaksanaan dana Otsus oleh Pemerintah Aceh merupakan bentuk yang sentralistik karena Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dilibatkan secara langsung dalam pelaksanaannya, atau tidak adanya pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kabupaten/Kota sehingga terdapat beberapa permasalahan yang dapat menghambat dalam pengelolaan dana otsus di Aceh, yaitu : a. Kewenangan dan tanggung jawab pengelolaan dana otsus secara keseluruhanberada pada Pemerintah provinsi sehingga apabila terdapat dana otsus yang tidak terserap, maka akan menjadi SiLPA bagi Pemerintah provinsi Aceh. Pemerintah kabupaten/kota diberikan kewenangan memanfaatkan dana otsus melalui mekanisme pengusulan program kegiatan bukan pengelolaan dana otsus serta menjadi pelaksana kegiatan program yang diusulkan melalui penunjukan KPA pada masing-masing kabupaten/kota. Pembagian wewenang dan tanggung jawab seperti ini berpotensi menimbulkan permasalahan, yaitu apabila

51

Serambi Indonesia, DPR dan DPD minta BPK Audit www.aceh.tribunnews.com, diakses tanggal 21 januari 2011.

Dana

Otsus

Aceh,


100

pemanfaatan SiLPA yang berasal dari dana otsus tidak diatur secara tegas, maka Pemerintah provinsi berpotensi akan memanfaatkan SiLPA yang berasal dari dana otsus untuk membiayai kegiatan di luar bidangbidang yang menjadi sasaran kegiatan otsus. Apabila hal ini terjadi, maka target pembangunan seperti yang dirancang dalam rencana induk akan sulit tercapai dan akan banyak kegiatan pembangunan yang dibiayai dari dana otsus menjadi terbengkalai. b. Apabila terdapat permasalahan dalam realisasi kegiatan dana otsus yang menjadi alokasi kabupaten/kota, maka pihak pemerintah provinsi akan cenderung menyatakan bahwa masalah tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah

kabupaten/kota

yang

bersangkutan,

sementara

itu

pemerintah kabupaten/kota yang bersangkutan menganggap bahwa permasalahan tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi. Sebagai contoh apabila dalam pelaksanaan kegiatan dana otsus yang dialokasikan kepada kabupaten/kota untuk pembangunan gedungsekolah dan puskesmas, dan pembangunan gedung menjadi tidak tuntas dan terbengkalai, maka pemerintah provinsi menyatakan bahwa yang harus bertanggung

jawab

adalah

pemerintah

kabupaten/kota

yang

bersangkutan karena usulan program dan pelaksanaannya dilakukan oleh pemerintah kabupaten/kota,begitu pula pemerintah kabupaten/kota juga akan menyatakan bahwa pemerintah provinsi yang harus bertanggung jawab karena pemerintah provinsi yang berwenang


101

mengalokasikan

anggaran

untuk

melanjutkan

kegiatan

pembangunanyang terbengkalai tersebut. c. Status aset yang berasal dari kegiatan dana otsus yang dialokasikan kepada pemerintah kabupaten/kota sebelum ada serah terima aset dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota adalah milik pemerintah provinsi dan apabila telah diserahterimakan (dihibahkan) kepada pemerintah kabupaten/kota, maka status aset akan menjadi milik pemerintah kabupaten/kota. Sebagian besar asset-aset hasil kegiatan dana otsus yang dialokasikan kepada pemerintah kabupaten/kota belum dilakukan proses serah terima, sehingga pihak kabupaten/kota belum dapat mencatat aset tersebut dalam Neraca pemerintahkabupaten/kota dan alokasi biaya pemeliharaan belum dianggarkan oleh pemerintah kabupaten/kota. Kondisi ini berpotensi menimbulkan masalah pada pemanfaatan aset-aset hasil kegiatan dana otsus yang akan diserahkan kepada kabupaten/kota, yaitu aset-aset tersebut akan cenderung terbengkalai dan tidak diberikan biaya pemeliharaan oleh pemerintah kabupaten/kota. d. Jangkauan Pemerintah Aceh sangat terbatas karena dengan SDM yang terbatas harus menjangkau 23 Kabupaten/Kota di Aceh, hal tersebut berakibat tidak efektifnya proyek yang dikerjakan.hal itu terbukti dari pengamatan Gubernur saat melakukan peninjauan secara langsung


102

keseluruh Kabupaten dan Kota di Aceh dan menemukan beberapa proyek yang terlantar, telat rampung, tidak sesuai dan lain sebagainya. 52 Kondisi tersebut juga berakibat pada hasil yang dikerjakan tidak sesuai sebagaimana mestinya, tidak adanya kerjasama antara Pemerintah Aceh dengan Pemerintah Kabupaten/Kota juga menyebabkan banyaknya kebocoran atau penyalahgunaan dana tersebut. Sehingga dana yang telah dianggarkan

tersebut

tidak

dapat

dimanfaatkan

dengan

baik.

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Dana Otonomi Khusus yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh yang mengungkap beberapa temuanya, diantaranya :53 1) Dinas Bina Marga dan Cipta Karya a) Pekerjaan Lanjutan Pembangunan dan Rehabilitasi Drainase Perkotaan Kabupaten Nagan Raya Lebih Bayar Sebesar Rp157.666.980,00 b) Pembangunan Rumah Sederhana Sehat pada Kabupaten Simeulue Sebanyak 46 UnitMengalami Keterlambatan c) Realisasi Belanja Modal TA 2009 Sebesar Rp4.000.000.000,00 Dipergunakan untukBantuan Pembangunan Masjid Agung Kabupaten Aceh Tamiang dan Sampai Dengan31 Desember 2010 Pembangunan Fisik Masjid Belum Terealisasi d) Biaya Pemancangan pada Pembangunan Lanjutan Asrama Mahasiswa IpelmajaKabupaten Aceh Jaya Lebih Bayar Sebesar Rp17.431.555.20 e) Pelaksanaan Dua Paket Pekerjaan TA 2009 Senilai Rp1.913.764.000,00 di KabupatenAceh Jaya Terbengkalai dan

52

Harian Serambi Indonesia, 11 Hari Memburu Kontraktor Nakal, (Edisi 2 Desember 2011) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Ace, laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada Pemerintah Aceh di Banda Aceh dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011 53


103

f) g)

h) i) j)

k)

l)

m)

n)

Satu Paket Pekerjaan TA 2010 Senilai Rp1.727.411.000,00di Kota Langsa Tidak Dapat Dimanfaatkan Pekerjaan Pemeliharaan Jalan Nyak Adam Kamil Senilai Rp1.269.596.000,00Terbengkalai Hasil Pekerjaan Pembangunan Jalan dan Jembatan Senilai Rp47.353.494.000,00 TidakDapat Dimanfaatkan Secara Optimal Kemajuan Fisik Paket Pekerjaan Pembangunan Jalan dan Jembatan SenilaiRp3.397.917.000,00 Masih Rendah Kekurangan Volume Pekerjaan Pembangunan Jalan dan Jembatan TA 2010 SenilaiRp67.615.910,64 16 Paket Pekerjaan Pembangunan Jalan Multi Years Diselesaikan Tidak Sesuai denganNilai Kontrak Induk dan Alokasi Anggaran yang Telah Ditetapkan Terdapat Pekerjaan Pembangunan Jalan Panteraja–Cubo–Jiem– Jiem-Pagu SenilaiRp158.575.361,00 pada TA 2010 yang Telah Dikerjakan pada TA 2009 Pembangunan Dua Buah Tiang Pilar Untuk Rangka Baja Jembatan Alue WakiKabupaten Nagan Raya Tahun 2008 senilai Rp859.571.995,46 Dipergunakan UntukJembatan Balley Tidak Sesuai Rencana Awal Terjadi Kelebihan Pembayaran Sebesar Rp118.969.196,50 atas PekerjaanPembangunan Jalan Jantho-Bts. Aceh Jaya (Tahun Jamak) Pekerjaan Pembangunan Jembatan dan Gedung TA 2008 Sebanyak Tujuh PaketSenilai Rp29.851.098.000,00 pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya Provinsi Aceh Terbengkalai

2) Dinas Pengairan a) Pada 14 Paket Pekerjaan Sektor Pengairan Terdapat Kekurangan Volume PekerjaanSenilai Rp116.095.692,87 dan Pembayaran Melebihi Nilai Kontrak SebesarRp66.520.383,37 b) Enam Paket Pekerjaan Sektor Pengairan Terlambat Diselesaikan dan BelumDikenakan Denda Keterlambatan Senilai Rp176.724.958,00 c) Jaminan Pelaksanaan, Jaminan Uang Muka serta Jaminan Pemeliharaan dari EmpatRekanan yang Wanprestasi Senilai


104

Rp1.388.316.450,00 Belum Dicairkan danDisetorkan ke Kas Daerah d) Dua Paket Hasil Pekerjaan Sektor Pengairan TA 2009 Senilai Rp3.352.261.920,00Terbengkalai e) Hasil Pekerjaan Senilai Rp1.840.371.223,23 dari Sembilan Paket Pekerjaan SektorPengairan Mengalami Kerusakan 3) Dinas Pendidikan a) Pembangunan Sarana dan Prasarana Pendidikan Pada Lima Kabupaten TerjadiKelebihan Bayar/Kekurangan Volume Pekerjaan Minimal Senilai Rp111.110.557,86 b) Penyelesaian Paket Pekerjaan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Gayo LuesTerlambat dan Belum Dikenakan Sanksi Denda Keterlambatan SebesarRp84.592.200,00 c) Hasil Pekerjaan Pembangunan Gedung yang Dibiayai dari Dana Otsus DinasPendidikan Provinsi Aceh TA 2008 senilai Rp1.700.605.000,00 Terbengkalai 4) Dinas Kesehatan a) Pembangunan Sarana dan Prasarana Kesehatan TA 2010 pada Delapan KabupatenKota Mengalami Kelebihan Bayar/Kekurangan Volume Pekerjaan SebesarRp834.674.069,01 b) Tagihan Pembayaran Kegiatan Non Fisik Yang Bersumber Dari Dana Otsus padaDinas Kesehatan Kabupaten Aceh Tamiang Sebesar Rp1.154.006.800,00 HanyaDidukung dengan Bukti Pertanggungjawaban Proforma dan Berindikasi Fiktif c) Hasil Pekerjaan Pengadaan Alat Kesehatan Rumah Sakit Tidak Sesuai KetentuanPerjanjian Kontrak dan Berpotensi Merugikan Keuangan Daerah SebesarRp201.935.489,00 d) Hasil Pekerjaan Pembangunan Sarana dan Prasarana Bidang Kesehatan pada LimaKabupaten/Kota Senilai Rp20.556.764.200,00 Belum Dimanfaatkan e) Penyelesaian Pekerjaan Penataan Lingkungan RSU Kota Jantho Kabupaten AcehBesar Terlambat dan Belum Dikenakan Sanksi Denda Keterlambatan Minimal SebesarRp25.609.446,00


105

f) Biaya Langsung Non Personil pada Pekerjaan DED Perencanaan dan Master PlanRSIA Subulussalam Kelebihan Penganggaran dan Pembayaran SebesarRp6.387.500,00 5) Dinas Pertanian Tanaman Pangan a) Kegiatan Konstruksi Perluasan Baku Sawah TA 2010 pada Dinas Pertanian Tanaman Pangan Kota Subulussalam Senilai Rp1.191.441.000,00 Tidak Dapat Diselesaikan TepatWaktu b) Pembayaran Biaya Upah Kerja Kegiatan Optimasi Lahan Pola Padat Karya SektorPertanian di Kabupaten Aceh Selatan Sebesar Rp2.847.880.000,00 Tidak didukungdengan Bukti Pertanggungjawaban yang Sah 6) Dinas Kehutanan dan Perkebunan a) Pekerjaan Pengadaan Instalasi Jaringan Air Penyiram di Kabupaten Aceh TimurTidak Sesuai Ketentuan dan Terjadi Kelebihan Pembayaran Sebesar Rp35.617.000,00 b) Pembebanan PPN dalam Pengadaan Bibit Tanaman Pada Dinas Perkebunan danKehutanan Memboroskan Keuangan Daerah Sebesar Rp254.080.000,00 c) Perencanaan Pengadaaan Bibit Jernang pada Dinas Kehutanan dan PerkebunanKabupaten Pidie Tidak Sesuai dengan Kebutuhan sehingga Memboroskan KeuanganDaerah Sebesar Rp181.350.000,00 d) Perencanaan Pekerjaan Pengadaan Tanaman Kopi pada Dinas Kehutanan danPerkebunan Kabupaten Bener Meriah Mengandung Kelemahan Sehingga TerjadiKelebihan Pengadaan Bibit Kopi dan memboroskan Keuangan Daerah SebesarRp4.990.227.000,00 e) Pembebanan PPh dalam RAB Pengadaan Barang pada Dinas Kehutanan danPerkebunan Kabupaten Bireuen sebesar Rp34.225.932,00 Tidak Sesuai Ketentuan f) Enam Perusahaan Rekanan Tidak Dapat Menyelesaikan Pekerjaan Land ClearingSesuai dengan Kesepakatan dalam Kontrak dan Jaminan Pelaksanaan SenilaiRp1.213.912.850,00 Tidak Dicairkan dan Disetor Ke Kas Daerah


106

g) Pekerjaan Pembangunan Kebun Kelapa Sawit TA 2008 dan TA 2009 pada 13Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh Senilai Rp29.340.000.000,00 Tidak Mencapai Targetdan Bibit Sawit Senilai Rp2.542.263.975,00 Belum Disalurkan kepada Masyarakatpada Empat Kabupaten/Kota h) Pengadaan Bibit Kelapa Sawit TA 2008 dan 2009 pada Kabupaten Aceh Timur SenilaiRp2.996.610.000,00 dan Pengadaan Bibit Kelapa Sawit TA 2009 pada Kabupaten AcehSelatan Senilai Rp3.388.649.550,00 Tidak Sesuai dengan Spesifikasi dalam Kontrak danBerindikasi Merugikan Keuangan Daerah

7) Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) a) Serah Terima Aset Tetap Hasil Pengadaan TA 2008 s.d. 2010 yang Dibiayai DanaOtonomi Khusus Senilai Rp22.393.362.075,00 kepada Pemerintah Kabupaten/KotaBelum Disertai dengan Bukti Kepemilikan yang Sah b) Penyerapan Dana Otonomi Khusus Tidak Mencapai Target dan Sisa DanaDipergunakan untuk Membiayai Kegiatan Di Luar Sasaran Kegiatan Otonomi Khusus 2. Pembatasan peruntukan Selain Pengelolaannya yang sentralistik peruntukan dana Otsus mupun dana Migas yang telah dibatasi juga disebut sebagai salah satu kendala karena pada akhirnya Pemerintah Kabupaten/Kota dalam merumuskan program/proyek harus merujuk pada pembatasan tersebut, sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota tidak boleh mengunakan dana tersebut diluar batasan yang ada.


107

3. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia khususnya aparatur Pemerintah Kabupaten/Kota juga diakui belum sepenuhnya memadai sehingga tidak dapat bekerja dengan optimal khususnya dalam menyusun program-program Kabupaten yang akan diajukan kepada Pemerintah Aceh. Kebijakan dan praktik yang terkait dengan sumber daya manusia Rekrutmen dan penempatan pegawai di lingkungan pemerintah provinsi dankabupaten/kota belum sesuai dengan kebutuhan masing-masing dinas/unit kerja,sehingga tidak sedikit beberapa pegawai menempati posisi yang tidak sesuai dengan keahlian dan latar belakang pendidikannya. Selain itu, pola rotasi dan penggajian pegawai yang berbeda-beda juga turut mendorong penyebaran pegawai yang tidak seimbang, yaitu terdapat jumlah pegawai yang berlebihan/menumpuk pada suatu dinas/unit kerja tertentu atau kabupaten/kota tertentu, namun di lain pihak terdapat dinas/unit kerja atau kabupaten/kota yang mengalami kekurangan. Kondisi ini akan menghambat pencapaian tujuan kegiatan dana otsus karena dana otsus dikelola oleh pegawai yang tidak memiliki keahlian (tidak profesional). 4. Birokrasi yang panjang Birokrasi yang panjang juga dirasa sebagai hambatan dalam implementasi dana otsus, karena sebagaima telah digambarkan diatas bahwa seluruh program yang akan dibiayai melalui dana otsus harus terlebih dahulu


108

diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dimana pengajuan tersebut harus telah melalui persetujuan bersama dengan DPRK, baru kemudian akan dipelajari oleh Pemrintah Aceh. Sebagaimana diketahui bahwa pada tingkat perumusan kegiatan oleh Pemerintah Daerah dan DPRK saja bisa memakan waktu yang panjang belum lagi dengan Pemerintah Aceh.Contoh permasalahan yang terjadi yaitu di Kabupaten Aceh Selatan, dimana DPRK Aceh Selatan meminta agar Gubernur meninjau kembali usulan kegiatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah karena dinilai menyalahi prosedur. 54 Persetujuan bersama antara Pemerintah Daerah dengan DPRK harus dituangkan secara tertulis sebagai bukti tanda persetujuan yang harus dilampirkan dalam pengajuan Program yang akan dibiayai oleh dana Otsus. Pengajuan oleh setiap Kabupaten.Kota tersebut akan dibahas bersama oleh Pokja Pemerintah Aceh dengan DPRA, jika tidak terdapat bukti persetujuan bersama antara Pemerintah Kabupaten/Kota dengan DPRK maka usulan tersebut akan ditolak oleh DPRA. 55 5. Intervensi Kendala lain yang dialami oleh Pemerintah Kota/Kabuten adalah adanya intervensi dari Pemerintah Aceh dalam pemanfaatan dana otsus, hal ini 54

Harian Analisa, Pemprov diimbau Tinjau Ulang Usulan Kegiatan Otsus 2012 Aceh Selatan, www.analisadaily.com (diakses Minggu 29 Januari 2012) 55

Gerak Aceh, Dokumen Pendukung Tak Tersedia: DPRA Tolak Bahas Proyek Otsus 2011,

www.gerakaceh.org


109

terjadi karena adanya ketergantungan dari Pemkab/Pemkot terhadap Pemerintah Aceh yang berkuasa terhadap dana otsus, seperti halnya yang terjadi pada Pemerintah Kabupaten Aceh Barat, dimana Seorang oknum pejabat di Dinas Bina Marga Provinsi Aceh di Kota Banda Aceh, diduga telah melakukan pemerasan terhadap Pemerintah Kabupaten Aceh Barat khususnya panitia pelaksana pembangunan di setdakab setempat sebesar Rp 1,2 miliar atau sekitar 4 persen dari total pagu proyek dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar Rp 40 Miliar, yang dianggarkan dalam tahun 2011.56 Intervensi lain yang sangat krusial adalah setiap usulan program yang diajukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dapat saja ditolak baik seluruhnya ataupun sebagaian juga dapat direvisi oleh Pemerintah Provinsi,

padahal

program

yang

diajukan

oleh

Pemerintah

Kabupaten/Kota tersebut sudah melalui pembahasan bersama dengan DPRK dan telah disetujui bersama. Sehingga Pemerintah Kabupaten/Kota merasa bahwa pembahasan bersama DPRK prihal program atau kegiatan yang akan dibiayai dengan dana otsus tidak terlalu berarti. 6. Tidak adanya RPJM Hingga saat ini Rencana Pembangunan Jangka Menengah Provinsi Aceh belum tuntas sehingga pemanfaatan dana otonomi khusus belum maksimal 56

Harian Serambi Indonesia, Oknum Bina Marga Aceh Peras Pemkab Aceh Barat Rp 1,2 miliar (edisi rabu, 27 juli 2011).


110

hal tersebut karena tidak terdapat acuan mengenai arah pembangunan yang sinergi sehingga program-program yang ada tidak memiliki visi keberlanjutan. 7. Tidak adanya pengaturan tentang SILPA Tidak adanya pengaturan yang jelas mengenai sisa dana yang tidak habis terserap atau terpakai dalam tahun setiap tahun yang telah dianggarkan menyebabkan banyaknya program yang tidak tuntas hal tersebut karena sisa dana otsus yang tidak habis pakai menjadi silpa Pemerintah Aceh, dan tidak adanya ketentuan mengenai bagaimana seharusnya silpa tersebut dimanfaatkan sehingga menjadi silpa umum dan dapat digunakan untuk keperluan apa saja tanpa ada keterikatan pengunaannya. Berdasarkan

kondisi-kondisi sebagaimana tersebut di atas maka

Seluruh Kabupaten/Kota sejak lama telah mengupayakan agar adanya perubahan dalam

sistem

pengelolaan

dana

otonomi

khusus

dimana

Pemerintah

Kabupaten/Kota diberikan kewenangan penuh untuk dapat mengelola dana tersebut. Melalaui Forum Kabupaten Kota Aceh (FKKA) yang telah terbentuk sejak tahun 2003 upaya-upaya agar pengelolaan dana otonomi khusus bisa terlaksana dengan baik telah dilakukan sejak tahun 2009 sampai dengan saat ini, tentu setelah melakukan evaluasi terhadap implementasi program yang dibiayai oleh dana otsus tahun 2008, adapun upaya yang telah dilakukan diantaranya :


111

1. Advokasi Advokasi yang dilakukan seperti melalui media masa, melalui diskusidiskusi baik skala nasional seperti dengan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) juga dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), juga seperti Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Kementerian Keuangan maupun Kementrian Dalam Negeri. Sedangkan dalam skala local, yang melibatkan banyak unsur Pemerintah Daerah, Pemerintah Provinsi, SKPA, DPRA, Akademisi/Pakar, NGO maupun kalangan masyarakat sipil. Dimana berdasarkan diskusi maupun rapat dengar pendapat oleh berbagai pihak kesimpulan yang didapat adalah “Kabupaten Kota dapat mengelola dana otonomi khusus secara penuh dan hal tersebut sudah merupakan haknya�. 2. Mengajukan legislative review Sejak tahun 2009 FKKA telah berupaya untuk mengajukan perubahan terhadap Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus, namun baru pada tahun 2010 Qanun tersebut masuk dalam Prioritas (Proleg) namun sampai dengan saat ini perubahan atas Qanun tersebut juga belum rampung, bahkan belum dilakukan pembahasannya sama sekali.


112

Sekalipun sampai saat ini perjuangan Pemerintah Kabupaten Kota yang dimotori oleh FKKA belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan, namun upaya-upaya tersebut tetap dilakukan karena sebagaimana amanah UUPA bahwa terkait dengan teknis pengelolaan dana Otonomi Khusus diatur dalam Qanun Aceh, dan hal tersebut merupakan kewenangan Pemerintahan Provinsi (DPRA dan Gubernur) sehingga upaya Advokasi dan Lobi-lobi politik tetap dilakukan.


113

BAB V PENUTUP

Berdasarkan hasil pembahasan dari permasalahan, maka telah didapat beberapa kesimpulan yang diambil guna menjawab permasalahan dari penelitian. Dalam bab ini juga berisikan saran yang merupakan solusi hukum terhadap permasalahan yang diteliti secara akademik. A. Kesimpulan 1. Pengelolaan dana otonomi khusus yang sentralistik sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata cara pengalokasian tambahan dana Bagi hasil minyak dan gas bumi dan penggunaan Dana otonomi khusus, disebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota tidak diberikan dalam bentuk transfer namun diberikan dalam bentuk pagu, tentu sistem seperti itu sangat bertentangan dengan prinsip otonomi seluasluasnya, nyata dan bertanggung jawab sebagaimana telah diadopsi dalam peraturan-perundang undangan seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Demikian juga dalam Undang-Undang Pemerintah Aceh yang menyebutkan bahwa Dana otonomi khusus juga merupakatan penerimaan kabupaten/Kota yang disalurkan oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Aceh sebagaimana disebutkan dalam pasal 179 UUPA. 2. Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki kendala dalam praktik pengelolaan dana otonomi khusus, hal itu diketahui dari banyaknya temuan Badan

102


114

Pemeriksa Keuangan (BPK) Wilayah Aceh yang menunjukan belum efektifnya pengelolaan Dana Otonomi Khusus yang telah berjalan sejak tahun 2008 sampai dengan 2010. Beberapa kendala diantaranya, sistem pengelolaan yang sentralistik, Pembatasan Peruntukan, Tidak adanya Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP/M), Birokrasi yang panjang, Intervensi Pemerintah Aceh, sisa dana otsus yang tidak habis pakai oleh setiap Kabupaten/Kota menjadi Silpa Pemerintah Aceh, dan juga kendala klasik yaitu Sumber Daya Manusia (SDM). Kendala-kendala tersebut tidak terlepas dari pengaturan sistem pengelolaan yang tidak aspiratif atau tidak menggakomodir kepentingan pemerintah daerah.

B. Saran 1. Dewan

Perwakilan

Rakyat

Aceh

(DPRA)

harus

memprioritaskan

pembahasan dan pengesahan perubahan Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus, tentunya dengan memperluas kewenangan Perintah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan Dana Otonmi Khusus dengan memperhatikan prinsip otonomi seluas-luasnya, nyata dan bertanggung jawab, serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh sebagai acuan juga aspirasi dari kabupaten/kota maupun berbagai kajian ilmiah.


115

2. Pemerintah Kabupaten/Kota harus berupaya mengatasi seluruh kendala yang selama ini dihadapi, tentu bukan sesuatu yang mudah namun dapat dilakukan dengan skala prioritas, agar manfaat dari dana otonomi khusus dapat dirasakan secara nyata dan adil oleh seluruh masyarakat Aceh.


116

DAFTAR PUSTAKA A. Buku-buku Abu Daud Busro, Ilmu Negara, Bumi Aksara, Jakarta, Tahun 1993 ---------------, Hukum Tata Negara Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta 2009. Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Otonomi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Gramedia Jakarta 2001 Arief Mulyadi, Landasan dan Prinsip Hukum Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan RI, Prestasi Pustaka, Jakarta 2005. Deddy Supriady Bratakusumah dan Dadang Solihin, Membangun Format Baru Otonomi Daerah Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2001 Frits Bernard Ramendey, dkk, Profil Otonomi Khusus Papua, Aliansi Jurnalis Independen Papua, 2005. Hanif Nurcholis, Teori danPraktik ; Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Grasindo Jakarta 2001 Husni Jalil, Eksistensi Otonomi Khusus Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Kesatuan RI Berdasarkan UUD 1945, CV. Utomo Bandung 2005 Johan Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah :Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta Jakarta 2007 Komaruddin Hidayat dan Putut Widjanarko, Reinventing Indonesia : Menemukan Kembali Masa Depan Bangsa, Mizan, Jakarta 2008 Local Governance Support Program (LGSP), Reformasi Organisasi Pengelolaan Keuangan Daerah, 2009 Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010 Proses & Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 2010 Miftah Thoha, Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana, Jakarta 2009 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1998 105


117

Muhammad Djafar, Hukum Keuangan Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2008 Murtir Jeddawi, Negara Hukum, Good Governance, dan Korupsi di Daerah, Total Media Yogyakarta 2011 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah : Filosofi, Sejarah Perkembangan, dan Problematika, Pustaka Pelajar, 2005 Nomensen Sinamo, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Pustaka Mandiri, Jakarta 2010 Nyoman Sumaryadi I, Otonomi Daerah Khusus dan Birokrasi Pemerintah Indonesia, 2006 Pheni Chalid, Keuangan Daerah, Investasi dan Desentralisasi, Tantangan dan Hambatan, Kemitraan, Jakarta 2005 Piran Wiroatmojo, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Lembaga Administrasi Daerah R.I 2005 Ridwan, Hukum Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta 2010 Rizal Alfian, Otonomi Daerah : Perspektif, Teoritis dan Praktis, Bigraf, Malang 2001 Sadu Wasistiono, dkk. Memahami Asas Tugas Pembantuan Pandangan Legalistik, Teoritik dan Implementatif. Bandung, Fokusmedia. 2006

Salamoen Soeharyo dan Nasri Effendi, Sistem Penyelengaraan Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Lembaga Administrasi Negara R.I 2004 Satya Arinanto dan Ninuk Triyanti, Memahami Hukum dari Kontruksi sampai Implementasi, Rajawali Pers, Jakarta 2009

Syamsuddin Haris, Desentralisasi dan Otonomi Daerah ; Desentralisasi, Demokrasi dan Akuntabilitas Pemerintah Daerah. LIPI Press Jakarta 2007 Syamsuddin Haris, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, LIPI Press Jakarta 2007 Sujamto, Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, GI Jakarta 1983


118

Widjaja HAW, Penyelenggaraan Otonomi di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005

B. Peraturan PerUndang-Undangan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi dan Penggunaan Dana Otonomi

C. Majalah dan Surat Kabar Kontras, Gagalnya Realisasi Dana Otsus, edisi 4 Januari 2010 Masriadi Sambo, Konspirasi Kepentingan di APBA 2010, Kontras edisi 30 Maret 2010 Serambi Indonesia, Pemerintah Aceh Belum Serius Kelola Dana Otsus, Edisi 8 Februari 2010

D. Internet Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Provinsi Aceh, laporan Hasil Pemeriksaan atas Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Dana Otonomi Khusus Tahun Anggaran 2008 s.d. 2010 pada Pemerintah Aceh di Banda Aceh dan Kabupaten/Kota terkait. Agustus 2011 DPRA : 12 Rekomendasi LKPJ Gubernur Aceh, www.theglobejournal.com diakses 11 Februari 2012


119

Gerak Aceh, dokumen pendukung tak tersedia: dpra tolak bahas proyek otsus 2011, www.gerakaceh.org Harian Analisa, Pemprov diimbau tinjau ulang usulan kegiatan otsus 2012 Aceh selatan, www.analisadaily.com (diakses minggu 29 januari 2012) Harian Serambi Indonesia, 11 Hari Memburu Kontraktor Nakal, (edisi 2 Desember 2011) Harian Serambi Indonesia, Oknum Bina Marga Aceh Peras Pemkab Aceh Barat Rp 1,2 miliar (edisi rabu, 27 juli 2011). Muhammad Hatta demokrasi dan otonomi (harian keng po, 27 april 1957) NN, Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik, www.google.com, diakses 4 Oktober 2010 Restu Maharani, Teori Kewenangan, www.restumaharani.co.cc, diakses tanggal 19 Agustus 2011.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.