Kuliah Umum KMMH UGM
Kuliah umum berjudul “Progresivitas KPK Terhalang Hak Angket DPR” telah diselenggarakan oleh Keluarga Mahasiswa Magister Hukum (KMMH) UGM pada sabtu (19/8). Tak tanggung-tanggung, acara ini menghadirkan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M. Syarif, S.H., LL.M., Ph.D., Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., dan Guru Besar FH UGM Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej, S.H., M.Hum. yang dimoderatori oleh Resti Dian Luthviati, S.H., Mahasiswa Magister FH UGM.
L
aode M. Syarif mengawali acara yang bertempat di 331 FH UGM itu dengan menceritakan kronologi lahirnya panitia khusus angket KPK. Ia mengatakan bahwa cikal bakal angket berasal dari rapat dengar pendapat yang berlangsung dua hari dua malam bersama Komisi III Dewan Perwkilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Beberapa hari sebelumnya telah diadakan sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta terkait kasus korupsi KTP Elektronik. Dalam sidang tersebut, terdapat tiga penyidik KPK, yakni Novel Baswedan, Ambarita Damanik, dan Irwanto serta Miryam S. Haryani. Miryam menyebutkan nama-nama di Komisi III DPR RI yang menekan dirinya agar tidak mengungkap kasus tersebut.
Ketika rapat dengar pendapat tersebut hampir selesai, Laode melanjutkan, Komisi III meminta KPK untuk menyerahkan rekaman proses pembuatan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang dilakukan oleh saksi Miriam S. Haryani. “Lalu saya bilang, Saya tidak bisa serahkan karena itu akan melanggar hukum saya, KPK, sendiri”, ungkap Laode. Oleh karena itu, Komisi III berujar akan membentuk Pansus Angket. Pria yang memperolah gelar sarjana hukum dari Universitas Hasanuddin ini mengatakan bahwa KPK menolak angket ini. Alasannya adalah bahwa independensi KPK sudah dinyatakan jelas oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006. Selain itu, Laode menyatakan ada argumentasi yang salah mengenai penolakan angket, yaitu bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif. “Untuk sementara, kami merasa bukan bagian dari itu (eksekutif),” terangnya. Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M. pun sependapat dengan Laode. Dosen FH UGM ini memaparkan bahwa lembaga negara independen bukan merupakan lembaga eksekutif, walaupun memang menjalankan eksekutif. Lembaga negara independen di Indonesia, jelasnya, ‘merampas’ kewenangan eksekutif. “Sebagai contoh, KPU, mengambil kewenangan Kemendagri. KPK mengambil kewenangan kejaksaan dan kepolisian,” kata Zainal. “Kalau atas dasar mengambil kekuasaan eksekutif, disebut lembaga eksekutif, salah besar menurut saya. Karena yang namanya lembaga independen, kalau memakai istilah Jimly dalam bukunya, dia mengatakan ‘campursari’ memang. Ada bau eksekutifnya, ada legislatifnya, ada yudikatifnya,” lanjut pria kelahiran Makassar ini. Menurutnya, begitulah model kerja lembaga negara independen.
Got some Advertisement, dude? Kindly contact BPPM MAHKAMAH Marketing representative 0812-803-9955 (Rizal)
KUNJUNGI WEBSITE KAMI www.mahkamahnews.org
mahkamah www.mahkamahnews.org |
@mahkamahnews |
BPPM Mahkamah
Cover: flickr.com/adactio | Ilustration: Evangelita
Progresivitas KPK Terhalang Hak Angket DPR
PPSMB UGM Satu-satunya Kegiatan Mobilisasi Maba? Kuliah Umum KMMH UGM Progresivitas KPK Terhalang Hak Angket DPR
Zainal mengingatkan seluruh peserta kuliah umum mengenai awal sejarah angket yang pada mulanya diterapkan dalam sistem pemerintahan parlementer. Angket dalam sistem tersebut digunakan sebagai alat untuk menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Perdana Menteri. “Dalam Sistem Presidensiil, angket tidak digunakan untuk menjatuhkan sebetulnya. Di ujung angket itu baru bisa digunakan hak menyatakan pendapat yang dalam sistem pemerintahan kita kemudian dikirim ke MK untuk mendapatkan jawaban,” jelas Zainal.
Kemudian, di dalam UNCAC ada sebelas perbuatan yang dikriminalkan sebagai tindak pidana korupsi. Sebelas persoalan itu terbagi dua dimana lima perbuatan bersifat mandatory offenses dan enam lainnya bersifat non mandatory offenses. Lima perbuatan yang bersifat Mandatory Offenses itu haruslah memasukkannya ke dalam undang-undang nasionalnya, sedangkan enam lainnya bersifat fakultatif. Salah satu perbuatan yang bersifat mandatory offenses adalah obstruction of justice.
Zainal berpandangan bahwa angket ini tidak terlalu serius baginya. Hal ini dikarenakan hasil akhir dari angket ini yang berupa rekomendasi menjadi jelas ketika ditujukan kepada pemerintah. Apabila rekomendasi tersebut tidak dilakukan oleh presiden, maka muncul hak menyatakan pendapat untuk menjatuhkan presiden. Sedangkan, jika ditujukan ke lembaga seperti KPK, hal itu menjadi tidak relevan menurutnya. “Mau hak menyatakan pendapat apa? Karena rekomendasi ini tidak harus ditindaklanjuti. Sebagian rekomendasi sebenarnya bukan KPK yang menindaklanjuti, melainkan pembuat undang-undangnya”.
Prof Eddy menjelaskan bahwa obstruction of justice adalah tindakan menghalangi, merintangi, dan mengganggu proses peradilan. “Kalau bicara proses peradilan sebagai suatu intergreted criminal justice system, maka itu mulai dari lidik, sidik, tuntut, adili, eksekusi”, terangnya.
Selanjutnya, Prof. Dr. Edward O.S. Hiariej, S.H., M.Hum. memaparkan bahwa korupsi itu adalah kejahatan luar biasa yang berdimensi internasional. Korupsi disepakati di dalam United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) yang sudah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 sehingga harus patuh terhadap prinsip-prinsip hukum pidana internasional. Karakteristik dari hukum pidana internasional tersebut melahirkan tanggungjawab individu yang tidak mengenal relevansi jabatan resmi.
Hal tersebut tidak terlepas dari asas legalitas karena tujuan negara itu adalah untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Menurutnya, hak angket DPR RI sudah mengalami cacat sejak lahir karena tujuan awalnya untuk membuka rekaman BAP Miriam. Karena itu, Prof Eddy mengatakan bahwa hak angket merupakan obstruction of justice sehingga tujuannya adalah untuk melemahkan KPK. Sebelum acara berakhir, terdapat sesi tanya-jawab. Sesi ini dibagi dalam dua panel yang masing-masing memberi kesempatan kepada tiga penanya. Salah satu pertanyaan diberikan oleh Arya, Mahasiswa Magister Kenotariatan UGM. Ia menanyakan bagaimana Laode mengevaluasi kerja tim KPK agar kejadian yang dialami Novel Baswedan tidak terulang kembali dan cara mahasiswa untuk tidak takut dalam menyuarakan kebenaran. Laode menjawab bahwa Arya berada ditempat yang tepat untuk mempelajari anti korupsi di UGM. (Arifiana T P W, A Wulan F)
PPSMB UGM
Satu-satunya Kegiatan Mobilisasi Maba? Menjelang dimulai Pelatihan Pembelajar Sukses Bagi Mahasiswa Baru Universitas Gadjah Mada (PPSMB UGM), Rektor mengeluarkan Surat Edaran Kegiatan Nomor 4953/UN1.P.I/DKM/PKM/KM/2017.
S
urat tersebut menerangkan bahwa pelaksanakan kegiatan PPSMB harus mengedepankan siap intelektual yang mengandalkan kecerdasan berpikir, kedewasaan dalam bertindak, dan mampu mengendalikan emosi, anti kekerasan (fisik, verbal, mental), menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, dan bhinnekaan yang berbudaya. Hal ini berdasar kepada Surat Keputusan Rektor Nomor 138/UN1.P/SK/HUKOR/2017 yang diubah dengan Surat Keputusan Rektor Nomor 621/UN1.P/SK/HUKOR/2017 tentang Pelatihan Pembelajar Sukses Bagi Mahasiswa Baru Universitas Gadjah Mada Tahun 2017. Selain itu, Surat Edaran tersebut juga memberitahukan bahwa kegiatan PPSMB merupakan satu-satunya kegiatan dalam proses orientasi dan pengenalan kampus bagi mahasiswa baru yang diselenggarakan pada semester I. Sehingga, kegiatan lain terkait mobilisasi mahasiswa baru akan dilaksanakan semester berikutnya.
Surat Edaran ini berdampak pada kegiatan perkenalan mahasiswa baru UGM selain kegiatan PPSMB, termasuk di Fakultas Hukum (FH) UGM. Acara yang biasanya dihadiri oleh mahasiswa baru untuk ajang berkenalan satu sama lain mengalami beberapa kendala. Acara tersebut antara lain meet up mahasiswa baru dan “Kerabat FH UGM 2017”. Pembubaran Meet Up Maba FH 2017 Meet Up mahasiswa baru yang diselenggarakan beberapa minggu lalu (4/8) sempat menjadi buah bibir mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM). Acara ini digelar atas inisiatif para mahasiswa baru yang lebih akrab dipanggil Maba. Mereka berpendapat bahwa adanya pertemuan sebelum masa orientasi adalah suatu hal yang terbilang cukup penting. Terciptanya suatu kedekatan dan satu rasa antar mahasiswa baru merupakan hal-hal yang mendorong mereka untuk menyelenggarakan acara Meet Up 2017. Tak salah, terhitung total 220 orang hadir pada acara tersebut. Namun, acara yang di gelar di Jambon Restoran ini harus dihentikan. Salah satu dosen Fakultas Hukum mendatangi mereka dan menyampaikan beberapa kata. Ia menginginkan agar seluruh mahasiswa mengakhiri acara perkenalan itu dan segera pulang. Sontak kejadian tersebut membuat peserta dan juga panitia kebingungan. “Saya sebenarnya masih bingung sama landasannya. Saya sendiri sebelum bikin acara juga udah liat di peraturan PPSMB, dalam peraturan tidak tertera sama sekali kalau tidak boleh mengadakan acara, tapi juga tertera jelas apapun yang tidak ada di website bukan menjadi tanggung jawab panitia PPSMB. Itulah landasan kenapa saya membuat acara ini,” ujar Nisrina selaku ketua acara.
Menurut Nisrina, awalnya acara berjalan lancar sesuai rundown, yaitu dimulai sekitar setengah satu siang. Saat acara masuk ke sesi permainan, tiba-tiba dari kalangan panitia ada desas-desus bahwa acara akan dibubarkan. Lalu benar, saat ketua panitia menyampaikan hal tersebut, seorang dosen datang dan menyampaikan bahwa acara pertemuan bagi mahasiswa baru hanyalah PPSMB. Dosen ini tetap mempersilakan peserta acara untuk makan, berfoto, lalu segera pulang sebelum pukul setengah tiga sore. Sumber yang sama mengatakan bahwa dosen yang diketahui merupakan pemantau PPSMB ini juga menanyakan campur tangan pihak lain dalam menginisiasi acara tersebut. Ia menekankan bahwa mahasiswa baru hanya berkumpul dalam PPSMB. Karenanya, acara seperti itu tidak diperbolehkan. Kapasitas Pemantau PPSMB 2017 Gati Prasulistiyo, salah satu pemantau PPSMB dari unsur mahasiswa, mengatakan bahwa pemantau sendiri sebetulnya sudah ada di tahun-tahun sebelumnya, hanya pada tahun 2017 diperbesar kapasitas dan kapabilitasnya. Ketika menjalankan tugasnya, pemantau mengawasi panitia dan peserta. Dalam mengawasi panitia, Tio mengutamakan empat hal, yaitu: kesesuaian penugasan, kesesuaian jadwal, memperhatikan adanya kekerasan fisik maupun verbal, dan apakah ada kepentingan-kepentingan tertentu yang dimasukkan di dalam acara PPSMB. Untuk peserta, pengawas memperhatikan kesesuaian dengan norma susila maupun Peraturan Rektor Universitas Gadjah Mada Nomor 711/P/SK/HT/2013 tentang Tata Perilaku Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. Keberadaan pemantau ini pun tidak terlepas dari tujuan diadakannya PPSMB.
Dibalik Kebijakan PPSMB 2017 BPPM Mahkamah pun mewawancarai Dr. Drs. Senawi, M.P. selaku Ketua Pelaksana PPSMB terkait pembubaran acara tersebut. Direktur Kemahasiswaan ini menjelaskan bahwa semangat PPSMB sejak tahun 2012 ialah untuk menyatukan seluruh mahasiswa dari latar belakang suku, agama, ras, dan antar-golongan yang berbeda menjadi satu mahasiswa UGM, bukan mahasiswa fakultas. “Peraturan PPSMB ini bertujuan agar mahasiswa baru terbebas dari intervensi dan kepentingan-kepentingan lain baik ditingkat universitas maupun fakultas,” ujarnya saat ditanyakan mengenai pelaksanaan SK Rektor tersebut. Selain itu, ia juga menekankan bahwa mahasiswa baru butuh menyesuaikan diri terlebih dahulu selama satu semester untuk mengetahui keadaan dan perpolitikan di kampus. Sehingga, mahasiswa tersebut dapat merasa aman dan memiliki pegangan terlebih dahulu. Davin, Kepala Departemen Advokasi DEMA Justicia, menyayangkan sikap rektorat dalam melarang adanya kegiatan meet up maba karena dikhawatirkan akan menumbuhkan ideologi baru pada maba. “Meet up bukan untuk mencari organisasi, yang sebenarnya tidak etis pula bagi suatu organisasi untuk mencari pengkaderan dalam perkumpulan maba. Namun, di sisi lain, kegiatan itu sangat penting. Selain untuk menjaga solidaritas antar mahasiswa baru, hal tersebut juga mampu menjadi wadah bagi mereka untuk mengenal lebih jauh akan fakultasnya sendiri,” tegas Davin. SK rektor ternyata tidak hanya berimbas pada dibubarkannya meet up angkatan 2017, namun berakibat pula pada penundaan pelaksanaan “Kerabat FH UGM 2017”. M Muhawwin Nur yang akrab disapa Win membenarkan bahwa
telah mengkonfirmasi rumor penundaan kerabat tersebut kepada Heribertus Jaka Triyana, Ketua Program Studi Sarjana Ilmu Hukum. Mahasiswa FH UGM 2016 ini menjelaskan bahwa pihak fakultas akan menyetujui acara tersebut setelah proses perkuliahan berjalan satu semester. Win menuturkan bahwa penundaan tersebut memang berkaitan dengan keluarnya SK rektor, yang melarang adanya kegiatan perkenalan bagi mahasiswa diluar PPSMB. “Menurutku nih ya, kan kalo kita kebut nih pelaksanaan Kerabat satu minggu setelah ppsmb, kan konsep dari acaranya masih dianggap sama dengan makrab yang memang dilarang, tapi kan kalau udah satu semester persepsi dari konsep acaranya nanti udah beda,” keluh Win. Sebagai panitia yang seharusnya memegang kepanitiaan “Kerabat FH UGM 2017”, mahasiswa FH UGM 2016 telah melaksanakan peretemua pada 16/08. Dalam pertemuan tersebut direncanakan akan menyatukan persepsi angkatan 2016 terkait kerabat 2017. “Jika seandainya persepsi angkatan 2016 udah satu, yah dilanjutkan dengan pembentukan susunan panitia sih”, imbuh Win saat ditanya terkait rencana pertemuan angkatan 2016. Win juga menuturkan bahwa angkatan 2016 berencana untuk menghibahkan sisa anggaran “Meet Up FH UGM 2016” untuk pelaksanaan “Kerabat FH UGM 2017”. Mahasiswa semester tiga ini berharap agar kerabat nantinya bisa terlaksana. “Walaupun waktunya diundur satu semester nggak apa-apalah, sebab sebagai orang yang pernah disambut dengan kerabat mengapa kita nggak menyambut” tutur Win. (Adik, Ade, Evasolina, Evangelita, Fitri, Rully)
Upaya Hukum terhadap SK Rektor
B
erbicara mengenai SK Rektor, lantas apa yang dapat dilakukan mahasiswa UGM jika kepentingannya dirugikan oleh keputusan tersebut. Bagaimana pula kasusnya bila terjadi pada keputusan yang diterbitkan oleh fakultas. Dalam ranah Hukum Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), SK Rektor UGM sebenarnya dapat diajukan upaya hukum. Hal ini dikarenakan SK Rektor merupakan penetapan tertulis yang dibuat oleh pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN berdasarkan peraturan perundang-undangan. Selain itu, SK tersebut juga menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata serta bersifat konkret, individual, dan final (Wiyono, 2014,p. 18). Begitu pula halnya dengan SK Dekan. Namun, sebelum masuk ke tahap peradilan, pihak penggugat dapat menempuh upaya administratif terlebih dahulu. Dalam penjelasan Pasal 48 ayat (1) Undang – Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. Upaya administratif ini terdiri dari keberatan administratif dan banding administratif. Menurut Dwi Haryati S.H., M.Hum. dalam kuliahnya, PLKH: PTUN. Jika ada mahasiswa yang keberatan dengan SK Rektor ataupun Dekan, maka mahasiswa tersebut dapat mengajukan upaya hukum berupa keberatan administratif. Upaya tersebut dapat ditempuh sendiri oleh mahasiswa yang bersangkutan. Pengajuannya langsung ditujukan kepada rektor atau dapat melalui dekan terlebih dahulu. Jika upaya itu telah ditempuh namun masih terdapat keberatan, maka penyelesaian selanjutnya adalah dengan mengajukan gugatan ke PTUN. (Fitri)