Leaflet KHUSUS | Edisi kartini 2016

Page 1

LEAFLET

Edisi Khusus/IV/2016

MAHKAMAH Jalan Socio Justicia No.1 Bulaksumur, Sleman

www.mahkamahnews.org |

@mahkamahnews |

BPPM Mahkamah |

@EGS7125U

BJÖRK DAN INGAR-BINGAR HARI KARTINI Pemerintah Kabupaten Rembang serius menggarap Hari Kartini ke-137 dengan lebih meriah. Sebesar enam ratus juta rupiah dianggarkan untuk rangkaian acara “Gema Kartini” yang dibuka dengan pameran lukisan berskala nasional ini. anti pelukisnya juga Mungkin itulah sebabnya a d a G u s M u s . D i perayaan Hari Kartini di Rembang Lasem kita juga akan harus digemakan dengan suara mengundang Ki Enthus, Bupati laki-laki. Suara itu kira-kira adalah Tegal, untuk memberikan penga- milik Ir. Muntoha, Gus Mus, dan jian budaya,” ujar Pelaksana tugas Ki Enthus. Bila nama Raden Ajeng (Plt) Kepala Dinas Kebudayaan, Kartini disandingkan dengan namaPariwisata, Pemuda, dan Olahraga nama itu, “Kartini” jadi terdengar Ir. Muntoha. (Disadur dari rri.co.id) seperti sekadar legenda atau, setidaknya, nama jalan di Sagan. Membaca berita itu membuat saya teringat Björk, seorang Kisah hidup dan perjuangan musisi asal Islandia. Setelah sepuluh Kartini masih terbelenggu kehalutahun menjadi satu-satunya anggota san dan keanggunan “putri sejati”, perempuan dalam band-nya, ia bela- ditandai dengan ritus parade kebaya jar bahwa agar idenya benar-benar dan riasan tebal di sekolah-sekolah. didengar, ia harus berpura-pura Padahal, Kartini adalah tokoh nonbahwa ide itu adalah milik anggota komformis dengan semangat pembeband yang lain, yaitu anggota band basan yang menggebu-gebu. Emanyang laki-laki. Dari pengalaman- sipasi wanita yang diusung Kartini, nya itu, Björk menyimpulkan bahwa dan juga feminis pada umumnya, segala hal yang dikatakan satu mengandung semangat pembebasan kali oleh laki-laki harus dikatakan bagi seluruh umat manusia, terlepas sebanyak lima kali oleh perempuan. dari gendernya.

“N


Perihal semangat pembebasan membawa kita teringat akan kisah Kartini Sembilan. Yu Sukinah, Martini, Siyem, Karsupi, Sutini, Surani, Ngatemi, Ngadinah, dan Ripambarwati adalah ibu-ibu petani Kendeng yang mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana Negara pada hari Rabu (12/4) lalu. Esoknya, Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki berjanji akan memenuhi harapan mereka, yaitu bertemu Presiden Joko Widodo untuk membahas perihal pabrik semen di Kendeng. Sembilan perempuan itu tidak hanya membawa suara perempuan atau suara laki-laki saja. Mereka menggemakan suara warga Kendeng sebanyak lima kali lipat, atau bahkan berkali-kali lipat lagi, dengan suara mereka. Aksi Kartini Sembilan adalah gema tulus dari perayaan Hari Kartini, yang tidak bisa dinilai bahkan dengan anggaran enam ratus juta rupiah. (Olivia P - Pemimpin Redaksi BPPM Mahkamah)

PAYUNG HUKUM PENANGKAL DISKRIMINASI GENDER Negara menjamin hak setiap orang untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif. Warga negara pun berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28G UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945).

N

egara menjamin hak setiap orang untuk terbebas dari perlakuan diskriminatif. Warga negara pun berhak mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminatif sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 28G UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Menengok pada realitas yang ada, masih terdapat diskriminasi atas dasar jenis kelamin (gender) tertentu, sehingga kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, 2 Mahkamah

dan bernegara di Indonesia belum mencerminkan kesetaraan dan keadilan gender. Belum ada keseimbangan pembagian status dan peran antara perempuan dan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Dalam hal ini, perempuan masih dianggap lebih rendah derajatnya dibandingkan laki-laki. Banyak permasalahan yang timbul, salah satunya adalah kekerasan terhadap perempuan. Pemerintah Indonesia, bersama Kementerian Negara Pem-


www.angermanagement411.com

berdayaan Perempuan dan Per- gender juga menyangkut kepentinlindungan Anak, sejak tahun 2010 gan laki-laki. Apabila ada dominasi membuat Rancangan Undang-Un- baik dari gender perempuan maupun dang Kesetaraan dan Keadilan Gen- laki-laki dalam suatu aspek tertentu, der (RUU KKG). Perancangan RUU rancangan undang-undang inilah KKG bertujuan untuk mencapai ke- yang dapat mengaturnya. setaraan dan keadilan gender yang Secara umum, RUU KKG diatur secara komprehensif dalam memuat hal-hal yang sudah dapat undang-undang. diterima dan berkembang dalam Masih banyaknya masyarakat. Namun, ada beberapro dan kontra pa hal yang perlu yang muncul dari dikritisi secara berbagai pihak serius. Salah menyebabsatunya adalah kan alotnya masih ditemuperumusan kannya hal-hal RUU KKG. yang kontraRancangan produktif denBerikut ini merupakan tabel jumlah terdata kasus undanggan nilai-nilai undang ini kekerasan terhadap perempuan dalam kurun waktu yang ada pada m e n j a d i tahun 2008 sampai dengan 2013. Pancasila. penting unMenutuk dibahas rut Undanglebih lanjut, Undang Nomengingat mor 12 Tahun p en in g k a2011 tentang tan kasus Pembentukekerasan kan Peraturan terhadap Perundangperempuan Tabel Jumlah Kasus Kekerasasan terhadap Perempuan u n d a n g a n , dari tahun Pancasila ke tahun. Namun, RUU KKG tidak menempati urutan teratas sebagai hanya diperuntukkan bagi perem- dasar hukum dan sumber hukum, puan saja. Kesetaraan dan keadilan sebelum UUD NRI 1945 di urutan 1

Mahkamah

3


kedua. Sesuai dengan asas lex superiori derogat legi inferiori, konsekuensinya adalah RUU KKG ini harus memuat nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila. Disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KKG, “Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapat kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol, dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan.” Dr. Adian Husaini dalam Jurnal Islamia Republika (Maret 2012) mengatakan bahwa dari pasal tersebut terlihat jelas bahwa pengusung RUU KKG mengiginkan suatu keadilan yang “adil” yang selanjutnya diartikan sebagai penyamarataan baik itu peran, hak, tanggung jawab, dan hal semisalnya2. Bila diurut-urut kemudian, akibatnya waris disamakan, poliandri dibolehkan, dan perkawinan beda agama bisa menjadi bagian dari undang-undang. Kesemuanya itu akan menjadi sumber masalah, karena selain bertentangan dengan peraturan yang ada, itu juga bukan merupakan jati diri bangsa Indonesia. Lain lagi dalam Pasal 1 ayat (3), “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang meng4

Mahkamah

gambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan lakilaki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara.” Mengenai pasal tersebut, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan berpendapat bahwa definisi keadilan gender perlu diletakkan dalam konteks perlakuan yang adil oleh negara kepada perempuan dan laki-laki agar masing-masing dapat menikmati hak-haknya sebagai warga negara3. Dijelaskan lebih lanjut lagi, yang dimaksud perlakuan adil oleh negara adalah berdasarkan pengakuan terhadap perbedaan biologis dan sosial. Namun, tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai hambatan untuk menikmati hakhaknya sebagai warga negara. Jika tidak demikian, maka akan terjadi kontradiksi dengan Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945 yang menjadikan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum sebagai pembatasan hak dan kewajiban untuk memenuhi tuntutan keadilan. Di satu sisi, memang RUU KKG ini memuat rumusan kesetaraan dan keadilan gender berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Namun, substansi RUU KKG bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan.


Pertentangan ini bisa dicermati pada Pasal 2 RUU KKG tentang asas dan tujuan yang tidak mencantumkan asas ketuhanan. Padahal, pada Pasal 29 ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan, Indonesia adalah negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika ditilik dari segi yuridis, perwujudan kesetaraan dan keadilan gender di Indonesia sudah diatur dalam berbagai hukum positif yang ada. Semangat untuk tidak merampas atau mengurangi hak-hak yang dimiliki setiap warga negara Indonesia telah mendapat perhatian dari pemerintah sendiri. Tuntutan terhadap kesetaraan dan keadilan gender tidak lepas dari misi penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Oleh karena itu, konstitusi negara sudah mengatur tentang HAM di dalam Pasal 28A sampai dengan 28J. Salah satu contohnya yakni Pasal 28C ayat (1) UUD NRI 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan

umat manusia.� Penggunaan kata “setiap� pada pasal tersebut memberikan indikasi bahwa semua warga negara Indonesia memperoleh jaminan untuk mendapatkan kesempatan dalam melakukan berbagai hal dengan porsi yang sama tanpa ada perbedaan perlakuan. Walaupun persoalan mengenai hak-hak sudah diatur, masih saja terjadi diskriminasi gender di berbagai aspek kehidupan. Pada aspek-aspek tertentu, perempuan dirasa tidak begitu maksimal dalam memberikan kontribusinya. Hal ini disebabkan karena masih terdapat pembatasan-pembatasan pada halhal yang semestinya dapat dilakukan oleh perempuan. Sekarang yang menjadi pertanyaan, apakah benar ketidaksetaraan gender disebabkan karena belum terdapat sebuah peraturan yang secara langsung membahas tentang jaminan hal itu? Pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional Presiden Republik Indonesia, sudah ada penjelasan secara terperinci tentang pelaksanaan terciptanya kesetaraan gender. Namun, inpres ini tidak begitu efektif untuk menyelesaikan permasalahan yang ada. Mahkamah

5


Inpres, menurut Jimly Asshiddiqie, merupakan policy rules atau beleids regels, yaitu bentuk peraturan kebijakan yang tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk peraturan perundang-undangan yang biasa4. Disebut policy atau beleids atau kebijakan karena secara formal tidak dapat disebut atau memang bukan berbentuk peraturan yang resmi. Pertanyaan lain pun muncul, apakah diperlukan sebuah peraturan perundang-undangan agar kekuatan hukumnya lebih daripada hanya sekedar instruksi presiden? Pada prinsipnya, setiap penyusunan RUU memilliki tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap warga negara, begitu pula dengan RUU KKG. RUU ini diperlukan sebagai bentuk jaminan dan perlindungan terhadap warga negara pada umumnya serta perempuan pada khususnya5. Meskipun demikian, RUU KKG yang ada saat ini masih sangat membutuhkan banyak masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan. Beberapa ketentuan yang kontroversial, harus dirumuskan ulang dengan lebih hatihati dan tidak multi interpretasi. Sehingga, RUU KKG yang akan diberlakukan kelak diharapkan menjadi terobosan hukum guna menciptakan suasana yang kondusif bagi penghapusan diskriminasi gender di Indonesia. (Hamida Amri Safarina, Rayvo Rahmatullah, Umar Mubdi) 1.

www.komnasperempuan.or.id

2. 3.

Adian Husaini. 2012. RUU Kesetaraan Gender: Unutk Siapa?. Jurnal Islamia Republika. Komnas Perempuan. 2012. Mewujudkan Payung Hukum Penghapusan Diskriminasi Gender di Indonesi. Jurnal Perempuan. Jimly Asshiddiqie. 2006. Perihal Undang-Undang. Â Konpres: Jakarta. Dinar Dewi Kania. 2012. Akar Masalah Konsep RUU Kesetaraan Gender. Jurnal Islamia Republika.

4. 5.

Resensi PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM ASPEK LINGKUNGAN Judul buku: Ekofeminisme II; Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah Penulis (Editor): Dewi Candraningrum Peresensi: Nadia Janu Arista Penerbit: Jalasutra Tahun terbit: Cetakan I, 2014 Halaman: xii+332 halaman

6

Mahkamah


Sebuah percakapan yang demokratis antara manusia dan alam akan banyak membantu manusia membangun diskursus baru untuk melawan episteme yang selama ini sewenang-wenang terhadap alam. Alam merupakan ibu yang menjadi pusat wacana pandangan dunia, vision du monde

I

su kesetaraan gender merupakan salah satu aspek yang penting dalam pengembangan upaya-upaya pengelolaan lingkungan. Namun kenyataannya, kegiatan pengelolaan lingkungan demi memenuhi kebutuhan hidup selama ini hanya didominasi oleh kaum adam. Sehingga, banyak perempuan yang kehilangan hak untuk memiliki pengetahuan demi mengeksplor alam lebih luas. Tidak hanya itu, pembagian kerja yang didasarkan pada jenis kelamin atau gender tradisional menempatkan pembagian kerja secara seksual yang proses kerjanya diatur secara hierarkis dan melahirkan kerja-kerja khas perempuan yang dikaitkan dengan perannya sebagai fungsi reproduksi. Sehingga, munculnya stereotip mengenai jenis kelamin tersebut membuat perempuan dihargai lebih rendah. Ekofeminisme mengalami persoalan mendasar mengenai esensialisme identitas yang mengaitkan antara perempuan dan alam. Salah satunya adalah hubungan perempuan dengan lingkungan berdasarkan mitos-mitos yang ada di masyarakat. Menurut

Arivia, apabila perempuan dan alam diterjemahkan sebagai suatu badan pengetahuan, maka persoalan mitos akan terkikis; kemudian, muncul sebuah sistem interaksi yang memungkinkan untuk memahami epistemologi feminis dalam lingkungan tempat perempuan mempunyai peranan penting. Melanjuti dari seri I Ekofeminisme dalam Tafsir Agama, Pendidikan, Ekonomi dan Budaya, buku ini hadir dengan membahas sisi lain ekofeminisme sesuai dengan judulnya Ekofeminisme; Narasi Iman, Mitos, Air & Tanah. Tujuan dari buku ini tak lain adalah untuk membuka pandangan manusia mengenai keberadaan sosok-sosok perempuan sebagai makhluk yang ‘terabaikan’ di saat alam banyak mengalami perubahan dan tidak mampu lagi menopang kehidupan banyak khalayak. Dikemas melalui pengalaman serta pandangan para dosen dan penelitian dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Pusat Penelitian dan Studi Gender-UKSW, UMS (Universitas Muhammadiyah Surakarta), Universitat Heidelberg, Mahkamah

7


UNS (Universitas Sebelas Maret Surakarta), UNISSULA Semarang, LSM WALHI Semarang, YLSKAR (Yayasan Lingkar Studi Kesetaraan Aksi dan Refleksi, Salatiga), dan Jurnal Perempuan. Buku ini memegang komitmen penuh dalam upaya praktik politik agar tercipta relasi gender yang setara dan keadilan bagi lingkungan. Dalam buku ini, para penulis berusaha menyuarakan melalui tulisannya sesuai dengan fakta empiris bagaimana menggali, memahami, dan mengekspresikan pengetahuan perempuan untuk menjadikannya sumber belajar bersama sebagai upaya awal untuk melakukan pengarusutamaan gender dalam aspek lingkungan. Dewi Candraningrum (Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan & Universitas Muhammadiyah Surakarta), menyampaikan pandangannya melalui mitos gunung merapi yang dipandang sebagai ibu oleh para wanita yang tinggal di sekitarnya. Konon, sang Ibu Merapi memerintahkan kepada penduduk agar tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan atau beliau akan murka. Beranjak dari hal tersebut, sang Ibu menjadi semacam pengetahuan yang mempromosikan ekofeminisme karena reaksi 8

Mahkamah

perempuan yang vokal terhadap berbagai penambangan galian di sekitar Merapi. Mereka memasang beberapa spanduk di pinggir jalan memperingatkan pada para penambang akan bahaya kerusakan lingkungan. Selama ini, banyak konflik sumber daya alam dan model-model pembangunan yang senantiasa melibatkan kekerasan di dalam operasinya, yaitu ketika entitas warga negara yang berjenis kelamin perempuan hampir selalu lepas dari perhatian. Di tahun 2014, sudah ada seorang ibu yang diputus oleh pengadilan di tingkat Mahkamah Agung dengan hukuman penjara karena memperjuangkan tanah masyarakat dari perkebunan kelapa sawit. Kekerasan yang khas dialami oleh perempuan pembela lingkungan dan HAM menjadi bagian bagaimana perjuangan perempuan yang kerap ‘diserang’ fungsi dan peranannya sebagai perempuan. Seperti yang dialami seorang ibu yang memiliki bayi, dia ditahan karena memperjuangkan tanahnya dari perkebunan di Sumatera Selatan, hingga dia dan anaknya sakit karena selama beberapa hari ditahan dia tidak dapat menyusui bayinya. Lalu, ada juga kasus terba-


ru yang dialami oleh seorang anak perempuan yang mengalami kejahatan seksual dengan target agar orang tuanya berhenti melakukan perlawanan terhadap perusahaan tambang dan sawit. Hal tersebut menegaskan bahwa perempuan dalam hal pergerakan, pengelolaan, dan pelestarian lingkungan kerap diintimidasi oleh sistem kapitalisme yang melanggengkan budaya patriarki. Adanya ketidakberdayaan dan ketidakadilan melahirkan ekofeminisme demi usaha penyelamatan bumi, dengan berbasiskan pada kekhasan perempuan yang memiliki pengetahuan pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan. Hal itu dikarenakan bumi merupakan ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang telah dilakukan oleh berbagai pihak yang tidak bertanggung jawab. Banyak terdapat realita-realita lain yang dikuak mengenai sisi ekofeminisme di dalam buku ini. Mulai dari peran ganda perempuan yang tidak hanya menjadi ibu rumah tangga, tetapi juga di masyarakat sebagai pekerja untuk meringankan beban keluarganya. Perempuan bangkit melawan kemiskinan dengan cita-cita utuh peran tradision-

al—ingin keluar dari kemisikinan dan kelaparan karena kondisi alam yang dirawat bertahun-tahun tidak lagi mampu menopang kehidupan. Dalam perspektif ekofeminisme, kedekatan perempuan dengan alam terpaksa harus dilepas menghadapi alam lain yang asing. Perempuan secara tersirat menjadi simbol-simbol alam dari cerita legenda masyarakat, yang mana banyak dari kita belum mengetahuinya. Buku ini berhasil mengumpulkan bagian penting dari isu-isu ekofeminisme yang seharusnya mendapat perhatian dari publik. Berbagai dampak buruk dari kehadiran berbagai aktivitas manusia mengelola alam pada akhirnya mengusik para perempuan untuk mencari kembali dan menjadikan alam sebagai bagian dari gerakan mereka melindungi ruang domestiknya. Bersama dengan laki-laki yang sensitif gender, gerakan ini menjadi usaha transformasi masyarakat untuk membangun relasi yang adil gender dan adil terhadap lingkungan. Gerakan perempuan ini pada prinsipnya berupaya untuk menjadikan pengetahuan dan pengalaman perempuan sebagai bagian yang setara dengan laki-laki, dan secara bersama menjadikan alam sebagai partner dalam kehidupan yang luas. Mahkamah 9


Sastra

APA YANG DAPAT KU LAKUKAN? Oleh: Ayu Tika Pravindias

A

na memahami bahwa ibunya tak sepenuhnya salah, dia hanya terjebak pada situasi yang tidak tepat. Bukan karena ibunya tak tahu bukti pembayaran atau sejenisnya, tetapi ini transaksi antar pedagang pasar yang notabene berasaskan kepercayaan. Siang itu saat dua sahabat baik ibu Ana datang, berbicara dengan sedikit berbisik, memasang muka kasihan pada anak yang baru saja masuk SMK itu. “Nduk, ibumu kena kasus sama lintah darat. Kamu jaga adikmu ya, kalau ibumu ditangkap polisi,� begitu tutur Mbak Rin. Seketika tangis Ana pecah, bukan takut tak bisa mengurus kedua adiknya yang masih SD, tetapi takut ibunya merasakan dinginnya penjara. Sementara, Ana di sini hanya menjaga adiknya dan membersihkan rumah. Ibu Ana memeluk anaknya yang menangis tertahan, berusaha menenangkan tetapi tak sanggup 10 M a h k a m a h

dan akhirnya ikut terbawa tangisan anak bungsunya. Ibu bercerita pada Ana setelah merasa anaknya sudah cukup tenang, masih diawasi dengan saksama oleh kedua kawannya. Samar-samar cerita itu dicerna oleh Ana, pikirannya masih berkutat pada suatu hal yang entah apa. Matanya menerawang. Sekitar setahun yang lalu, ibu Ana berjualan ikan asin di pasar dekat rumahnya, ayahnya berjualan di pasar di tengah kota Yogyakarta. Setiap hari pulang sore dan malamnya pergi lagi ke tengkulak untuk mengambil ikan. “Dulu ibu berniat menolong Bu Sri, menjualkan emas sama ibuibu yang sering beli ikan asin,� jelas Ibu Ana, mengusap sisa air matanya. Ana mulai teringat jerih payah ibunya, membawa rombong penuh dengan ikan di belakang sepeda ontel tuanya, menyusur jalan memutar dan menanjak untuk sampai ke pasar karena Jembatan Rondo runtuh.


“Tiap hari ibu nagih kreditan emas itu, besoknya uang itu ibu setor sama Bu Sri. Ibu percaya sama Bu Sri, ibu gak minta nota, gak minta bukti bayar. Tapi sekarang dia malah mau menjebloskan ibu ke penjara, bilang ibu gak mau bayar utang, belum setor sama sekali.” Air mata ibunya berlinang lagi, perlahan. “Utang tinggal satu juta, sekarang jadi sepuluh juta.” Juga ketika sepeda motor bebek merah yang baru dibeli ibunya seharga delapan ratus ribu rupiah itu oleng karena terlalu banyak membawa ikan dan jatuh ke tumpukan pasir di tepi jalan dekat jembatan. Terbayang wajah ibunya, yang lebih tua kelihatannya dibandingkan dengan umur sebenarnya, menyisihkan ikan-ikan yang masih bersih dengan yang sudah kotor terkena pasir, membuangnya satu per satu ke sungai sambil menangis. Pikiran Ana yang melayang ke masa-masa sulit keluarganya terpecah saat sadar Mbak Rin dan Mbak Nur mulai beranjak dari tempat duduknya dan berlalu pergi. Ibunya mengusap lagi matanya dan melanjutkan kerjanya di dapur, entah untuk memasak atau sekedar mencari-cari sesuatu untuk dikerjakan.

Kayuhan sepeda Ana setiap hari menuju sekolah barunya terasa tak segembira biasanya. Pikirannya terpaku pada pertanyaan ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Namun semakin sering ia pikirkan, pertanyaan itu semakin sulit dijawabnya. Hal terbaik yang dapat dilakukannya saat ini hanya berdoa dan bersedih, ‘tapi apa cukup dengan itu semuanya selesai? Apa gunanya rangking satu selama sembilan tahun berturut-turut, jika di saat sulit seperti ini otaknya tak bekerja sama sekali?’ Ternyata kasus itu sudah bergulir lama sebelum ibu Ana mengatakan yang sebenarnya. Selang beberapa hari, ibunya dipanggil untuk disidang. Ana berangkat sekolah dengan keadaan kalut, dan pulang dengan tergesa. Ibunya dikamar, tergolek lemah dengan selimut merah menutupi tubuhnya yang semakin hari semakin kurus. “Ibumu pingsan waktu sidang, sedari pagi sudah diare, bolakbalik kamar mandi,” begitu cerita singkat ayahnya. Semua ini membuat Ana tersiksa, otaknya masih terus bertanya ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Semua orang yang ikut membantu, atau hanya pura-pura membantu, membuat hati Ana begitu murka, Mahkamah

11


Pak Lurah membuat ibunya memberi kesaksian palsu, bahwa uang lintah darat itu digunakan untuk ibu Ana sendiri. Merasa pemimpin pasti benar, ibu Ana menurut saja tanpa berpikir. Hasilnya hari itu, tas coklat besar diletakkan di tengah ruang keluarga. Ana yang berangkat sekolah pagi itu memeluk ibunya erat dan berkata lirih “Ibu jangan sakit di sana ya.” Sekuat apapun Ana menahan air matanya, tangisan itu meluap juga. Dalam hati Ana terus mengumpat, ‘Anak macam apa aku! Ibuku menghadapi hukum, dan aku hanya duduk manis disini?’ Otaknya berpikir keras, mencoba menjawab pertanyaan yang sama. ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Muka sembabnya berubah cerah ketika melihat ibunya duduk berselonjor di sisi tas coklat besar di depan pintu ruang tamu, saat Ana pulang dari sekolah. Singkatnya, pertemuan ibu Ana dengan seorang Ketua Kejaksaan Negeri membuat-

nya berstatus tahanan kota, namun dengan beberapa syarat. Mulai dari syarat memberikan uang terima kasih kepada hakim yang menangani kasus sampai membayar sejumlah denda yang dibebankan sang lintah darat dilakukan ibu Ana dengan berhutang sana-sini. Meski begitu, selama tiga tahun Ana masih belum menemukan jawaban telak atas pertanyaan ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Memerlukan waktu lama untukku menjawab pertanyaan ‘Apa yang dapat ku lakukan?’ Namun pertanyaan sulit itu membawaku ke tempat ini, sebuah tempat yang katanya melahirkan banyak pemimpin di negeriku. Sebuah tempat menimba ilmu di mana banyak penegak hukum di negeriku pernah belajar di sini. Aku ingin menjadi salah satu di antara banyak pemimpin dan penegak hukum itu. Semua itu kumulai dari sini, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. *diadopsi dari kisah nyata.

“ wanita berpendidikan tinggi

BUKAN untuk menyaingi laki-laki

TAPI untuk membekali diri

mendidik generasi hebat pengemban amanah negeri”


Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.