

MAHKAMAH
SEKAPUR SIRIH
Setiap pecinta bebas menafsir cinta yang ia pahami dan alami. Mereka boleh saja bertanya apakah yang sedang mereka alami benar-benar cinta atau hanya sekadar nafsu? Sedangkan membedakan keduanya saja mungkin bukan urusan sekali selesai. Karena para pecinta pun mungkin tak tahu perasaan apa yang sedang ia alami.
Cinta menjadi sebuah pengertian yang selama berabad-abad menggetarkan hati dan membingungkan. Ia mudah jadi banal sekaligus merelakan dirinya sendiri. Kita tak bisa merumuskannya. Ia bukan bagian dari yang secara konseptual kita ketahui.
Sudut-sudut perkotaan tempat persetubuhan berlangsung diamdiam mungkin bisa jadi gambaran. Padanya tersemat dendam kesumat, keringat, sampai takbir-takbir pecinta Tuhan. Apa jadinya cinta duduk bersama dengan perhitungan untung rugi serta siasat politik? Belakangan muncul ketegangan para pecinta, seolah-olah Indonesia tengah dibagi oleh tembok besar : antara yang cinta agama dan yang cinta negara.
Linimasa kita sudah bosan melihat ketegangan yang makin memuncak menuju tahun politik. Kekerasan agama sampai isu kriminalisasi ulama punya porsi lebih di masyarakat sampai layar gawai kita. Apakah pembelaan terhadap agama adalah semurni-murninya cinta pada Tuhan? Apakah cinta negara demi kedamaian dengan menangkapi ulama-ulama jauh dari siasat politik? Atau mungkin RUU KUHP tengah berusaha merasuk urusan-urusan selangkangan warga negaranya?
Maka cinta tidak sebatas imaji pria dan perempuan soal sosok ideal yang digambarkan jelas dalam iklan-iklan televisi dan film Dilan. Cinta digambarkan begitu kaya oleh para sastrawan. Ia berdenyut di tiap-tiap kisah nya : agama, negara, sampai tempat-tempat prostitusi. Sehingga BPPM Mahkamah ingin turut serta menceritakan cinta itu pada pembaca yang budiman melalui booklet ini.
Pemimpin Umum
Menjaga Candradimuka Kita
Sering kita menyamakan istilah pluralisme dengan keberagaman. Padahal kenyataannya, kedua hal tersebut berbeda. Dalam esai yang diterbitkan oleh Pluralism Project Harvard University yang berjudul From Diversity to Pluralism, disparitas tersebut digambarkan seperti ini : katakanlah di suatu jalan, terdapat rumah ibadah berbagai agama. Ada gereja Katolik Vietnam, gereja, wihara, Muslim Community Center, dan pura Hindu. Keadaan tersebut sudah pasti merupakan keberagaman, tetapi jika tidak ada hubungan antara kelompok-kelompok tersebut, maka tidak bisa disebut sebagai pluralisme.
Pertanyaan yang mungkin akan diajukan berikutnya ialah : sudah di level manakah Indonesia ini? Apakah hanya sekadar ‘beragam’, atau ‘plural’?
Masih segar dalam ingatan kita, ketika Gereja St.Lidwina diserang seorang bersenjata pada Minggu, (11/02/2018) lalu. Kala itu, jemaat gereja sedang melaksanakan ibadah misa yang dipimpin oleh Romo Karl Edmund Prier. Sebanyak tiga jemaat gereja, seorang romo, dan seorang polisi menjadi korbannya.
Pelaku penyerangan, S, merupakan seorang mahasiswa. Ia seorang diri melakukan penyerangan tersebut den-
gan membawa sebilah pedang. Kemudian terkuak pula bahwa pelaku pernah berencana ke Suriah, tetapi permohonan paspornya ditolak oleh pihak keimigrasian.
Menurut Kadiv Humas Polri, Setyo Wassito, pelaku tercatat sudah tiga kali permohonannya ditolak. Dilansir oleh republika. com, hasil penyelidikan menemukan pria asal Banyuwangi tersebut pernah mengikuti organisasi-organisasi keagamaan yang memiliki pemahaman akidah yang berbeda
Kira-kira seminggu sebelum kejadian tersebut, warganet dihebohkan dengan video seorang biksu di Kabupaten Tangerang yang menjadi korban persekusi warga. Dalam video berdurasi kurang lebih satu menit itu, Biksu Mulyanto Nurhalim membacakan surat pernyataan bahwa dirinya bersedia meninggalkan Kampung Babat, Desa Babat, dalam kurun waktu satu minggu.
Permasalahan ini timbul karena warga desa menolak kegiatan rencana kegiatan kebaktian umat Budha di lahan bekas galian pasir. Warga juga khawatir bahwa Biksu Mulyanto akan mengajak orang-orang untuk memeluk agama Budha.
Persoalan-persoalan intoleransi sebenarnya wajar terjadi di sebuah negara dengan tingkat pluralisme yang tinggi. Negara kita, Indonesia, dikenal memiliki keragaman suku, budaya, ras, dan agama. Isu tersebut juga dijadikan sebagai promosi budaya untuk mendongkrak industri pariwisata. Keberagaman yang ‘katanya’ dan memang menjadi pesona Indonesia. Bahkan, semboyan negara kita pun adalah Bhinneka Tunggal Ika, yang artinya meskipun berbeda-beda, tetapi tetap satu jua.
Agaknya, beberapa dari bangsa Indonesia melupakan makna semboyan tersebut. Ada kelompok-kelompok yang berusaha memecah belah persatuan dengan jalan melakukan aksi-aksi ekstrem terhadap kelompok lain. Interaksi antar kelompok di negara yang mengaku plural ini jauh dari yang diharapkan.
Penyerangan di Gereja St.Lidwina dan tindakan persekusi warga terhadap Biksu Mulyanto merupakan sedikit dari ratusan kasus intoleransi yang terjadi. Komnas HAM mencatat, kasus intoleransi yang dilaporkan terus meningkat tiap tahunnya. Itu pun baru yang tercatat atau dilaporkan. Bisa jadi di lapangan, kasus intoleransi lebih banyak terjadi.
jarang isu-isu tersebut digunakan untuk menjatuhkan lawan politik. Pada pilkada gubernur DKI Jakarta misalnya, isu agama terasa sangat kental. Hal ini berhubungan dengan latar belakang Basuki Tjahaja Purnama yang berasal dari etnis Tionghoa, yang termasuk kelompok minoritas di Indonesia. Tak hanya itu, ia bukan penganut agama mayoritas di Indonesia. Kasus Surat Al-Maidah pun menjadi viral menjelang perhelatan politik berlangsung. Akhirnya muncul kekuatakn politik baru hasil aksi bela Islam besaar-besaran yang penamaannya menggunakan kode angka.
Sebenarnya, kerusuhan itu tidak perlu terjadi apabila kita mampu menyikapi perbedaan ras, agama, dan lainnya secara bijak. Cukup mengherankan, apabila ditilik dari sejarahnya bahwa bangsa Indonesia bukan pertama kalinya hidup dalam keberagaman. Namun kubu Anies-Sandi membangun politik identitas sentimen ras dan agama untuk meraih dukungan konstituen. Sebaliknya kubu Ahok-Djarot turut memainkan isu identitas, terkait isu “kebhinekaan” sebagai tameng dan serangan balik terhadap lawan politiknya. Hasilnya adalah kemunculan dua kekuatan politik besar yang kemungkinan berlanjut mengiringi Pemilu 2019.
Isu-isu rasial dan agama juga sering dipakai sebagai alat politik. Tidak
Menurut Dosen DPP Fisipol UGM, Mada Sukmajati, dengan sentimen ras dan agama tersebut maka garis
demarkasinya adalah “identitas”. Melalui hal itu maka mengaburkan masalah-masalah rakyat. Isu-isu kemiskinan dan kesejahteraan hilang dari peredaran konstituen.
Pada akhirnya, pembaca sendiri yang menentukan jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan di awal tulisan. Yang jelas, contoh-contoh kasus itu menggambarkan bahwa masih ada tindakan-tindakan anti keberagaman di tengah masyarakat. Sebegitu menakutkankah perbedaan tersebut? Sudah bosankah kita dengan kehidupan yang serba beragam?
Momen ini merupakan waktu yang tepat untuk kita menyambut tahun politik. Sebagai bangsa Indonesia, merenungi lagi Bhinneka Tunggal Ika memang nampak lucu tapi perlu. Semboyan tersebut tidak cukup untuk diketahui artinya saja. Apalagi larung dalam manifestasi unyu-unyu atau bahkan sebatas alat politik melawan isu ras dan agama. Saatnya kita mengingat dan merenungi candradimuka kita. Bahwa masyarakat Indonesia sejatinya memang ditakdirkan menjadi bangsa yang beragam. Lalu bagaimana kita menyikapi dan membangun interaksi antar perbedaan menjelang tahun-tahun sulit ini?
Cerita di Balik Video Viral Persekusi Biksu di Legok https://metro.tempo.co/ read/1059993/cerita-di-balikvideo-viral-persekusi-biksudi-legok, diakses 2 Maret 2018.
Penyerang Gereja Santa Lidwina Tiga Kali Gagal Buat Paspor Untuk ke Suriah https://nasional.kompas.com/ read/2018/02/13/15090651/ penyerang-gereja-santa-lidwina-tiga-kali-gagal-buat-paspor-untuk-ke-suriah, diakses 2 Maret 2018.
From Diversity to Pluralism http:// pluralism.org/encounter/todays-challenges/from-diversity-to-pluralism/, diakses 4 Maret 2018.
Komnas HAM Sebut Isu Intoleransi Kerap Jadi Senjata Politik https://nasional.kompas.com/ read/2017/08/29/11323741/ komnas-ham-sebut-isu-intoleransi-beragama-kerap-jadi-senjata-politik, diakses 4 Maret 2018.
Referensi :
Adu Jago Ala Oligarki Politik Identitas https://mapcorner. wg.ugm.ac.id/2018/01/adu-jago-ala-oligarki-politik-identitas-catatan-setahun-paska-pilkada-dki-jakarta/ , diakses 4 Maret 2018.
EDISI 1/XXXIII/2018
DAFTAR ISI //




ARTIKEL
KEKERASAN AGAMA: KEMATIAN TUHAN DAN GENEALOGI
Hal. 8
NASIONALISME CINTA DAN KEMANUSIAAN
Hal. 13
SOSOK
HIBAT DALAM PRAHARA: ROMO YOHANES DWI HARSANTO
Hal. 18
IUS CONSTITUENDUM
SEGUDANG MASALAH AKAN DELIK ZINA DALAM DI RUU KUHP
Hal. 22
SAMPUL
Oleh Aisyah A. Danti dan Ade Wulan Fitriana
Menggambarkan seorang pemeluk suatu agama yang mengalami tindakan-tindakan intoleransi setiap waktu (dilambangkan dengan jam dan darah)
INFOGRAFIS



DARURAT TOLERANSI
Hal. 16
SEPUTAR KAMPUS

DIES NATALIS FAKULTAS HUKUM KE-72: BENTUK CINTA DARI ANGKATAN ‘96
Hal. 20
RESENSI
AMBA, YANG ISTIMEWA
Hal. 30
PUISI
CINTA
Hal. 32
KASIH
Hal. 33
MAWAR MERAH
Hal. 34

PELINDUNG: Tuhan Yang Maha Esa
PENASIHAT:
Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.
Jeremias Lemek, S.H.
DIVISI UMUM
Pemimpin Umum: Parasurama Ardi Tri Pamungkas
Sekeretaris Umum: Btari Kinayungan
Bendhara Umum: Arifah Nur Pratiwi
DIVISI REDAKSI
Pemimpin Redaksi: Arifiana Triesedyawati Puspita Wardhani
Tim Kreatif Booklet : Faiz Al-Haq M Raya, Muhammad Rizal
Tim Kreatif Web : Fariz Muhammad Fajri
Tim Kreatif Majalah : Septiani Pratiwi, Angelina Audrey Ardanentya
Staf Redaksi : Afifah Hasna Lishayora, Audrey Kartisha Mokobombang, Meilya Avelin Yohana, Roshinta Nabella, Etheldreda d’ely Eunice Luzchenny Tenda Wongkar, Ichsan Nur Muhammad Salim, Wiwing Erliana, FatimahAz-Zahrah, Fardi Prabowo Jati, Imam Prabowo, Agnes Sulistyawati, Arsy Aulia
DIVISI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
Kepala Divisi Penelitian dan Pengembangan: Evasolina Lubis
Ketua Sub Divisi PSDM: Audra Shri Ranatika Sutista
Ketua Sub Divisi Diskusi dan Riset: Ajhi Fibrianto
Staf Divisi Penelitian dan Pengembangan:
RM Abi Satria Bhaskara, Raynal Arrung Bua, Amanda Megawati Soestika, Farrah Erifa Roni, Btari Kinayungan, Fitri Isni Ridha, Fatih Alrosyid, Rully Faradhila Ariani, Hans Thioso
DIVISI FOTOGRAFI DAN ARTISTIK
Kepala Divisi Fotografi dan Artistik: Ade Wulan Fitriana
Ketua Sub-divisi Fotografi dan Videografi: Farhan Fauzi
Ketua Sub-divisi Layout dan Desain: Naura Nur Fadila
Ketua Sub-divisi Illustrasi: Aisyah Rizky Aulia Danti
Staf Divisi Fotografi dan Artistik: Afriyanda Setyaning Budi, Desta Pinashika Jananuraga, Khoiruddin Tri Ardiansah, Evangelita Dyah Sekar Arum, Vansona Stalony
DIVISI JARINGAN DAN PEMASARAN
Kepala Divisi Jaringan dan Perusahaan: William Bahari Siregar
Ketua Sub-divisi Jaringan: Nesya Salsabila Ashari
Ketua Sub-divisi Pemasaran: Muhammad Hafizh Akram
Staf Divisi Jaringan dan Pemasaran: Berliana Dwi Arthanti
ISSN: 0854-2160
Nasionalisme Cinta dan Kemanusiaan
Wacana tentang nasionalisme
berhembus kencang ketika Edy
Rahmayadi selaku Ketua Umum
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) memberikan komentar terkait Evan
Dimas yang lebih memilih untuk bermain di klub Liga Malaysia, Selangor FA dibanding klub Indonesia.
Seperti dilansir oleh Tirto.id bahwa meski mengakui aspek profesionalisme pemain sepakbola, Edy tetap berharap Evan
Dimas dan Ilham Udin lebih mengedepankan semangat patriotik dibandingkan hanya mengejar materi. Ia menyarankan Evan
Dimas dan Ilham Udin untuk mensyukuri penghasilan Rp1,5 miliar per tahun di Liga Indonesia daripada menerima tawaran gaji Rp3 miliar per tahun dari Selangor FA.
“Namun untuk 2018, tolonglah bela negara. Dimana nilai-nilai kebangsaan kamu,” ujar Edy Rahamayadi”1
Seringkali kita terjebak dalam pikiran dimana kita mampu menghakimi tingkat nasionalisme seseorang dengan begitu mudah, seperti terjadi dalam hal diatas. Dengan mudahnya kita mampu memberikan cap kepada orang hanya karena dia
1 https://tirto.id/edy-rahmayadi-menilai-evan-dimas-dan-ilham-udin-kurang-patriotik-cDGj, diakses pada tanggal 18 Februari 2018.
menyimpang dari apa yang kita amini saat itu, dalam hal ini nasionalisme. Banyak kasus dimana kita sendiri belum mengetahui apa itu nasionalisme namun terlanjur memberikan cap bahwa orang tersebut tidak nasionalis. Pola pemberian cap seperti ini dijelaskan oleh Howard S. Becker dalam teori penjulukannya. Howard S. Becker menggambarkan orang yang menyatakan dirinya untuk melanggar peraturan hukum dengan menjadikan diri mereka sebagai kriminal. Perilaku yang melanggar hukum/aturan ini bukanlah yang difokuskan oleh teori penjulukan, melainkan ketika penjulukan tersebut mengenai orang-orang yang tidak bersalah dituduh dan diberlakukan seolah-olah devians oleh sistem.2
Dalam kasus diatas, sikap Evan Dimas yang dianggap tidak nasionalis oleh Ketum PSSI tersebut merupakan salah satu bentuk penjulukan atau labelling. Salah satu elemen kunci dalam teori penjulukan tersebut adalah label sosial diberikan pada perilaku tertentu. Teori penjulukan menyatakan bahwa perilaku abnormal pada faktanya diciptakan oleh harapan sosial (Social Expectatios). Ini berarti bahwa kondisi sosial menciptakan norma-norma dan aturan-aturan yang mengharuskan setiap individu untuk mengikutinya, dan apabila tidak 2 H., Dadi Ahmadi dan Aliyah Nur’aini. 2005. “Teori Penjulukan.” Mediator, Vol 6 297306.

mengikutinya maka akan didefinisikan sebagai perilaku yang abnormal.3
Kontruksi sosial yang menciptakan suatu anggapan ini dikatakan sebagai
“idola” oleh Sir Francis Bacon, salah seorang filsuf pada zaman rennaissance. Idola adalah unsur-unsur tradisi yang dipuja-puja seperti berhala. Idola ini merasuki juga pikiran kita sehingga kita enggan menggunakan kemampuan berpikir kritis. Salah satu idola yang dijelaskan oleh Sir Francis Bacon di bukunya yang termahsyur Novum
Organum adalah idola fora. Yang dimaksud dalam idola ini adalah pendapat atau kata-kata orang yang diterima begitu saja sehingga mengarahkan keyakinan-keyakinan dan penilaian-penilaian kita yang tak teruji4. Contoh sederhananya adalah bagaimana kita menerima begitu saja anggapan bahwa nasionalisme itu begitu saja tanpa kita
3 Ibid.
4 Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. hlm 28-29.
mencari tahu apa itu nasionalisme, kenapa nasionalisme itu bisa ada dan pada apa nasionalisme itu harus disandarkan.
Sejak dari sekolah dasar kita selalu diajarkan bahwa untuk menunjukkan nasionalisme harus melalui perbuatan patriotik. Anggapan nasionalisme yang sempit inilah yang kemudian menyebabkan kita memiliki anggapan bahwa untuk menunjukkan nasionalisme kita hanya melalui angkat senjata untuk membela negara. Kita juga selalu diajarkan untuk memandang negara kita paling unggul dibanding negara lain yang tentunya hal ini dapat memicu sikap chauvinisme atau sikap dimana kita memiliki fanatisme berlebihan terhadap bangsa kita dan menganggap rendah bangsa lain, contoh sederhananya menganggap orang lain tidak nasionalis hanya karena memilih untuk bermain di klub negara lain.
Padahal dalam awal perjalanan bangsa ini Ir. Soekarno sebagai pendiri bangsa ini meletakkan nasionalisme Indonesia pada nasionalisme yang berlandaskan
Sumber gambar: Istimewa
kemanusiaan. Seperti yang dikatakannya dalam pidato Lahirnya Pancasila 1 Juni 1945:
“....saudara-saudara tetapi memang prinsip kebangsaan ini ada bahayanya! Bahayanya ialah mungkin orang meruncingkan nasionalisme menjadi chauvinisme, sehingga berfaham “Indonesia Uber Alles” inilah bahayanya! Kita cinta tanah air yang satu, merasa berbangsa yang satu, mempunyai bahasa yang satu. Tetapi tanah air kita Indonesia hanya satu bagian kecil saja dari pada dunia! Ingatlah akan hal ini! Gandhi berkata, : Saya seorang nasionalis, tetapi kebangsaan saya adalah perikemanusiaan, My nationalism is humanity...”5
Kemudian jelas sudah bahwa nasionalisme kita yang didasarkan pada kemanusiaan, seharusnya membawa kita pada persoalan pembebasan manusia dari dehumanisasi yang menjadi pokok permasalahan sentral dewasa ini. Tidak bisa kita ingkari bahwa permasalahan dehumanisasi ini memang ada sepanjang sejarah perjalanan bangsa kita. Mulai dari penghilangan orang-orang yang dianggap “Kiri” oleh rezim Orde Baru, stigma dan ketakutan berlebihan terhadap Partai Komunis Indonesia dan keturunannya, atau permasalahan dimana kita menganggap korban penggusuran hanya sebatas angka di statistik dan harus tunduk kepada kepentingan umum, namun melupakan bahwa mereka juga manusia yang memiliki kehendak untuk bebas dan permasalahan lain yang mungkin tidak 5 Ir.Soekarno, Dr.(HC). 2014. Pancasila Dasar Negara: Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada.
ada habisnya untuk dibahas.
Di momen hari kasih sayang seperti ini kiranya refleksi tentang nasionalisme harus kita lakukan juga. Kiranya perlu untuk berpikir mengapa anggapan nasionalisme yang sempit itu bisa terjadi, kapan dan bagaimana perubahan paradigma tentang nasionalisme yang dicita-citakan oleh bapak proklamator kita tiba-tiba berubah. Mengapa semangat atas cinta terhadap kemanusiaan bisa menghilang dari anggapan kita tentang nasionalisme dan berganti kepada sikap chauvinisme. Dan yang paling penting adalah bagaimana menggunakan nasionalisme menjadi suatu cara untuk melakukan pembebasan terhadap masalah dehumanisasi. Siapkah? (Ejak)
Referensi
DH, Agung. 2018. Tirto.id. 23 January. Diakses February 18, 2018. https://tirto.id/edy-rahmayadi-menilai-evan-dimas-dan-ilham-udin-kurang-patriotik-cDGj.
H., Dadi Ahmadi dan Aliyah Nur’aini. 2005. “Teori Penjulukan.” Mediator, Vol 6 297-306.
Hardiman, F. Budi. 2004. Filsafat Modern: Dari Machiavelli sampai Nietzche. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Ir.Soekarno, Dr.(HC). 2014. Pancasila Dasar Negara: Kursus Pancasila oleh Presiden Soekarno. Yogyakarta: Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada.
DARURAT TOLERANSI

Beberapa waktu lalu, tepatnya pada Minggu, (11/02/2018), masyarakat Yogyakarta (dan mungkin luar Yogyakarta) dihebohkan dengan berita penyerangan Gereja St.Lidwina Bedog di Sleman, D.I.Yogyakarta. Penyerangan berbasis agama ini bukanlah yang pertama kali ini terjadi. BPPM Mahkamah merangkum sejumlah kasus penyerangan terhadap tokoh agama yang terjadi di bulan Februari.
Secara normatif, dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, hak kebebasan memeluk agama dan beribadah merupakan bagian dari hak asasi manusia. Indonesia bahkan sudah memplokamirkan diri sebagai negara hukum. Yang mana syarat suatu negara dapat dikatakan sebagai negara hukum ialah perlindungan hak-hak rakyat oleh pemerintah.
“Apabila kita kaji kasus itu (penyerangan Gereja), tentu kita melihat bahwa ada pasal-pasal dalam UUD yang kemudian ditabrak begitu saja oleh si pelaku. Bila saya boleh membuat suatu skema, betul bahwa yang namanya perlindungan dan pemenuhan HAM adalah kewajiban Negara. Negara tidak boleh abai terhadap pemenuhan dan perlindungan HAM bagi warga negaranya,” papar Yogi Zul Fadhli, Kepala Departemen Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta.

5 Februari 2018
Biksu Mulyanto Nurhalim diusir dari tempat tinggalnya di Kampung Cakung, Desa Babat, Kecamatan Legok, Kabupaten Tangerang. Masalah muncul ketika warga melakukan penolakan terhadap rencana kegiatan kebaktian umat Buddha di desa tersebut. Selain itu, warga menolak kegiatan peribadatan yang diduga dilakukan di rumah Biksu Mulyanto lantaran banyak umat Buddha yang sering berkunjung ke rumahnya.
11 Februari 2018
Penyerangan umat misa di Gereja St. Lidwina Bedog, Sleman, D.I Yogyakarta. Empat orang mengalami luka-luka akibat diserang pelaku menggunakan pedang. Salah satu korbannya adalah Romo Prier, yang mengalami luka sobek di kepala bagian belakang.

18 Februari 2018

Percobaan penyerangan terhadap Pimpinan Pondok Pesantren Muhammadiyah Karangasem, Paciran, Lamongan, Jawa Timur, KH Hakam Mubarok. Pelaku diduga merupakan orang dengan gangguan jiwa.
Kasus Intoleransi Lainnya
Penyerangan yang terjadi di Gereja St. Lidwina ini bukan merupakan kasus intoleransi pertama di D.I.Yogyakarta. Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta mencatat ada lebih dari 10 (sepuluh) kasus intoleransi yang didasarkan pada agama, ideologi politik, dan orientasi seksual.
Kasus-kasus lainnya :
• 2017 – Pembubaran pameran seni Wiji Tukul di Pusham UII, Bantul
• 2016 – Pengepungan asrama mahasiswa Papua Kamasan, D.I Yogyakarta
• 2016 – Pembubaran diskusi perayaan World Press Freedom Day di Kantor Aliansi Jurnalis Independen
• 2016 – Penutupan Pondok Pesantren Waria Al-Fatah
• 2014 – Penyerangan peserta aksi Transgender Day of Remembrance di Tugu Yogyakarta
Dihimpun oleh Faiz, Audrey, Tata
Infografis: Ade Wulan Fitriana
Sumber : LBH Yogyakarta, Tirto.id, Republika
Hibat dalam Prahara: Romo Yohanes Dwi Harsanto

Sumber Gambar: http://www.katolisitas.org/eksorsisme-pengalaman-yang-tak-terlupakan/
“Siapa yang mengaku beriman tapi tidak mengasihi sama saja bohong.”
Pada hari Minggu, 11 Februari 2018 derasnya prahara menghampiri Gereja Santo Lidwina Bedog, Sleman. Seorang lelaki menyayat kedamaian hari yang dikuduskan itu. Ironinya, penyerangan tersebut terjadi tepat tiga hari sebelum hari Valentine--hari yang katanya merupakan hari kasih sayang. Sekali lagi noda hitam ditorehkan atas sucinya toleransi antar umat beragama di Indonesia.
Tragedi tersebut sejatinya tak mampu mengandaskan kasih. Warga sekitar termasuk umat muslim ikut serta membersihkan gereja; jemaat yang saling menguatkan serta doa-doa yang dilantunkan adalah bukti kuat bahwa kasih bukan menjadi hal yang samar-samar. Hal ini dituturkan sendiri oleh salah satu Pastor yang melayani di Gereja Santo Lidwina Bedog.
Romo Yohanes Dwi Harsanto, Pr dilahirkan prematur pada tahun 1972. Pria yang akrab dipanggil Romo Santo ini lahir di tengah keluarga yang plural. Hal tersebut membuat Romo Santo sangat menjunjung tinggi toleransi. Menurut pria kelahiran Bantul ini, Indonesia sebenarnya merupakan bangsa yang toleran, tetapi muncul pihak intoleran yang pada dasarnya bukanlah budaya dari Indonesia. Mereka hendak mengikis kasih yang hidup di masyarakat. Pihak intoleran ini adalah para pihak yang memiliki egoisme yang tinggi. Romo Santo yakin bahwa ketika egoisme mampu disalibkan, niscaya setiap insan akan mampu mencintai dengan lebih leluasa.
Romo Santo selalu merasakan kasih dan toleransi dalam keluarganya. Kakek dan neneknya yang
melaksanakan perhelatan yang cukup meriah untuk perayaan Ekaristi pembaptisannya, walaupun mereka menganut agama Islam. Kakek serta neneknya pun memberikan dukungan saat Romo Santo memutuskan untuk masuk seminari, yakni ditempa dalam lembaga pendidikan bagi calon rohaniwan Kristiani. Ibunya, yang pada September 1989 menghembuskan nafas terakhir pun ikut serta mendoakan keputusan besar Romo Santo tersebut. Sehingga, tak ayal Romo Santo senantiasa bersikap toleran dalam menyebarkan agamanya dengan penuh kasih.
Pria yang semasa SMA merupakan pendukung fanatik klub voli di kampungnya ini mengamini bahwa ajaran cinta dan kasih juga harus selalu dihidupkan. Kasih adalah sifat Tuhan sendiri, kasih yang tidak mengharap imbalan. “Siapa yang mengaku beriman tetapi tidak mengasihi sama saja bohong,” ujar Romo Santo. Beliau meyakini bahwa untuk dapat mengasihi, seseorang terlebih dahulu perlu merasakan kasih. Cinta dan kasih adalah dua instrumen penting yang dapat menjadi kunci kedamaian dalam menjalani segala aspek kehidupan. Dengan adanya cinta dan kasih, masyarakat akan hidup dalam harmoni, terlepas dari perbedaan-perbedaan yang melatarbelakangi setiap insan.
Prahara yang menimpa Gereja Santo Lidwina bukan menjadi ajang untuk memusnahkan hibat. Romo Santo dapat merasakan kasih yang tulus dibalik kemalangan ini. Kasih antara umat beragama menjadi lebih nyata. Cinta sesama umat semakin kuat. Romo yang ditahbiskan pada tahun 2000 ini melihat adanya blessing in disguise atas kejadian tersebut.
Ketika ditanya apa itu cinta, Romo Santo mengatakan dengan mantap bahwa cinta sejatinya adalah pengorbanan. “Cinta dunia tentu memiliki romantisme, terutama untuk orang-orang yang berpacaran. Namun cinta pada hakikatnya adalah tentang pengorbanan. Cinta adalah menghendaki, memikirkan, dan melakukan yang terbaik bagi yang dikasihi walaupun itu harus dilakukan dengan berkorban. Seperti Tuhan Yesus yang rela disalib untuk umatnya. Ketika yang dicintai bahagia, maka si pencinta ini ikut bahagia pula,” tutur Romo Santo. Jadi masihkah kita, yang sudah dikasihi Tuhan, tidak bisa mengasihi sesama? (Nesya, Evasolina)
Sumber foto: http://www.hidupkatolik.com/2017/02/rip-ayah-dari-romo-yohanes-dwi-harsanto/

Dies Natalis Fakultas Hukum ke-72 :
Bentuk Cinta dari Angkatan '96
Puncak perayaan Dies Natalis Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) ke-72 pada Sabtu (17/02/2018) berlangsung meriah. Pasalnya, grup musik Padi diboyong langsung dari Surabaya khusus untuk memeriahkan perayaan tahun ini. Grup musik yang beranggotakan Piyu, Fadly, Ari, Rindra, dan Yoyo ini sengaja diundang karena tembang-tembangnya yang dapat dinikmati penonton dari berbagai generasi.
“Pertama, lagu-lagunya dikenal oleh generasi dulu dan sekarang. Kedua, lirik-liriknya juga pantas disuguhkan di kampus. Ketiga, cara penyajian musik mereka pas untuk situasi Dies Natalis,” jelas Sigid Riyanto, S.H., M.Si. selaku wakil ketua panitia Dies Natalis FH UGM ke-72.
Pria yang juga merupakan dosen hukum pidana ini bercerita bahwa pemilihan Padi sebagai salah satu pengisi malam puncak itu murni inisiatif dari alumni angakatan ’96. Mereka sengaja memilih grup musik tersebut karena dinilai dapat menjembatani selera musik alumni angkatan ’96 dengan mahasiswa FH zaman sekarang.
Tak mau kalah dengan Padi, para dosen pun ikut unjuk kebolehan. Guru besar hukum pidana Prof. Dr. Edward O. S. Hiariej, S.H.,M.Hum memukau penonton malam itu dengan men-
yanyikan dua buah lagu, yakni Beautiful Now dan Despacito. Penampilan tersebut diiringi oleh grup musik yang beranggotakan dari kalangan dosen dan mahasiswa.
“Pendidikan Hukum yang Berintegritas” diusung menjadi tema Dies Natalis tahun ini. “Dies Natalis itu selain memperingati dalam arti seremonial, tetapi juga ada pola pemikiran yang ingin ditanamkan di tiap-tiap jiwa mahasiswa dan alumni, yaitu, moralitas dan rasa cinta akan kampus dan fakultas,” tutur Sigid.

Sumber foto: Istimewa
Nilai-nilai ini bisa terlihat dengan aktivitas-aktivitas yang diadakan saat memperingati acara Dies Natalis. Nilai moralitas itu terlihat di acara penandatanganan Pakta Integritas. “Salah satu isi pakta integritas tersebut adalah menjunjung tinggi nilai moralitas dalam tiap-tiap profesi hukum.” ujarnya.
Perayaan Dies Natalis merupakan suatu bentuk rasa cinta civitas akademik kepada FH UGM. Keterlibatan alumni pada acara ini merupakan bentuk kasih sayang mereka kepada fakultas hukum. “Kita udah dikasih contoh sama alumni, kan mereka udah jauh-jauh, mereka udah sukses-sukses dan mereka tetap kembali ke FH dan bikin acara ulang tahunnya FH, berarti kan mereka cinta sama FH,” terang Yuliana Ryan Sita, selaku panitia acara.

Sita menambahkan, dengan adanya acara ini hubungan antara dosen, staf, mahasiswa dan alumni FH bisa menjadi lebih dekat. Ini disebabkan oleh kerjasama yang harus dilakukan untuk keberhasilan acara serta dilaksanakannya rangkaian acara yang mencakup semua civitas akademika.
Malam puncak Dies Natalis sendiri terbilang mewah, meskipun muncul pandangan bahwa konser kali ini kurang kekinian.
“Padi itu terlalu old school, nggak zaman now, karena itu, mahasiswa yang datang juga sedikit. Seharusnya, kalau mau mengadakan konser seperti ini bisa menggunakan polling (mengenai siapa bintang tamu yang diinginkan) Kemarin kan sempat di akun instagram FH UGM ngomongin mau undang siapa aja,” ujar Sita.
Terlepas dari segala kekurangan dan kelebihan pada Dies Natalis kali ini, terselip harapan besar untuk FH UGM yang lebih baik.
“Semoga para alumni bisa menempati pos-pos seusai dengan profesi. Fakultas dapat meningkatkan fasilitas dan SDM sehingga kita terjaga dan tetap dipercaya. Kedepannya, dosen-dosen muda dapat memiliki potensi yang lebih tinggi.
Muda-muda ini harapan saya harus melihat persaingan secara skala internasional. Kampusnya ndeso, tapi kelas internasional,” tutup Sigid. (Mega, Audra, Akram)
Segudang Masalah Akan Delik Zina Di RUU KUHP
Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana batal disahkan pada masa sidang sekarang. Pada rapat paripurna Senin (12/2/2018)
lalu, DPR justru memperpanjang pembahasan Undang-undang tersebut[1]. Ketua
DPR Bambang Soesatyo mengatakan
RUU KUHP diperpanjang karena tidak realistis jika disahkan sekarang. Sebabnya, masih ada sejumlah pasal yang diperdebatkan dalam Panitia Kerja (Panja)
RUU KUHP. Salah satu pasal yang menjadi perdebatan panas di dalam dan luar parlemen adalah adanya rumusan delicht overspel atau delik zina dalam rumusan Pasal 484 ayat (1) dan (2)[2].
Sebelum lebih lanjut masuk ke delik zina dalam RUU KUHP, ada baiknya kita membahas delik zina pada, WvS
1 http://nasional.kompas.com/ read/2018/02/13/09292631/dpr-perpanjang-pembahasan-rancangan-kuhp diakses pada tanggal 22 Februari 2018 Pukul 20.00.
2 http://www.hukumonline.com/pusatdata/downloadfile/lt537f027062c6c/ parent/17797 (Draft RUU KUHP) diakses pada tanggal 20 Februari 2018 Pukul 19.00.
(Wetboek van Straafrecht) alias KUHP yang berlaku saat ini. Pasal 284 Ayat (1) KUHP berbunyi, “Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan” bagi orang yang melakukan overspel atau zina[3]. Pasal ini hanya berlaku bagi pria dan perempuan yang telah terikat perkawinan seperti yang dimaksud dalam Pasal 27 BW atau KUHPerdata serta bagi pria yang belum menikah tapi melakukan zina dengan perempuan yang telah terikat perkawinan. Selanjutnya, Pasal 284 Ayat (2) menyatakan bahwa, “Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW dalam tempo tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah meja dan tempat tidur, karena alasan itu juga.”
Lain WvS lain pula draf RUU KUHP yang sedang dibahas di DPR. Zina dalam RUU KUHP diatur di Buku Kedua RKUHP Bagian Keempat tentang Zina dan Perbuatan Cabul. Menurut 3 KUHP.
Pasal 484 Ayat (1) RUU KUHP, perbuatan lebih lanjut yang termasuk kategori tindak pidana perzinahan adalah:
a. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
b. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki- laki yang bukan suaminya;
c. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
d. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan
persetubuhan dengan laki laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
e. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.
Selain memperluas makna zina sehingga juga melingkupi persetubuhan yang dilakukan oleh pasangan yang
mana kedua-duanya belum menikah, Pasal 484 Ayat (1) juga memperberat ancaman pidana maksimal terhadap perbuatan zina dari 9 bulan menjadi 5 tahun. RUU KUHP Pasal 484 Ayat (2) juga memperluas pihak yang bisa melakukan aduan terhadap perbuatan zina. “Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan suami, istri, atau pihak ketiga yang tercemar”, begitulah bunyi Pasal 484 Ayat (2). Beberapa perubahan atas delik zina sendiri menimbulkan pro kontra di berbagai kalangan dan tentunya problematikanya sendirinya. Oleh karena itu penulis berusaha mengupas permasalahan yang mungkin timbul dari perluasan delik zina dalam RUU KUHP itu sendiri.
Ancaman Penjara Maksimal 5 Tahun. Adilkah ?
Selain permasalah orang ketiga, delik zina juga masih menyisakan kontroversi terkait dengan ancaman pidana pelaku tindak pidana tersebut. Pasal 484 ayat (1) secara eksplisit menegaskan bhwa pelaku perzinahan dapat dipidana penjara selama maksimal 5 tahun. Lain dengan ketentuan akan delik zina yang lama, Pasal 284 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa ancaman pidana bagi pelaku tindak pidana perzinahan maksimal hanya 9 bulan penjara. Merujuk pada Pasal
21 ayat (4) huruf a menyatakan bahwa penahanan terhadap tersangka atau terdakwa dilakukan apabila ancaman pidananya 5 tahun penjara atau lebih.
Apabila pasal perzinahan dalam RUU KUHP tersebut disahkan, maka hal tersebut akan menjadi overkriminalisasi. Polisi dapat melakukan penahanan terhadap pelaku zina dan tentunya ini dapat digunakan sebagai alat politik bagi pihak-pihak tertentu. Apalagi definisi dari pihak ketiga masih lah belum jelas sehingga dapat memberi celah delik zina digunakan sebagai cara seseorang untuk melakukan penahanan terhadap musuh pribadinya. Cukup dengan mengorek kehidupan pribadi dari yang bersangkutan dan melaporkannya ke polisi tanpa pertimbangan dari suami atau istri yang bersangkutan. Selama pelapor dapat mencoba membuat garis penghubung yang membuat mereka menjadi pihak ketiga yang tercemar akan perbuatan pelaku.
Dilain pihak, sudah menjadi rahsia umum bahwa Rumah Tahanan yang ada di Indonesia sering mengalami kelebihan kapasistas yang berakibat pada kerusuhan dan konflik antar tahanan[4]. Tidak manusiawinya banyak 4 http://www.bbc.com/indonesia/ indonesia-39836857 diakses pada tanggal 22 Februari 2018 Pukul 20.30.

Rumah Tahanan di Indonesia ditambah dengan potensi dimasukannya tahanan baru terkait pelanggaran delik zina, sudah pasti hanya akan menambah masalah terkait kapasitas Rumah Tahanan[5].
Apalagi perbuatan zina sendiri yang dimasukan ke dalam delik aduan, sudah pasti merupakan kejahatan yang lebih ringan daripada kejahatan pada delik biasa. Akan tetapi, Pasal 484 memberikan ancaman pidana yang sama dengan Pasal 5 https://news.detik.com/berita/d-3378069/rancangan-kuhp-baru-dorong-penjara-over-kapasitas diakses pada tanggal 22 Februari 2018 Pukul 20.30.
Sumber foto: Istimewa

600 yang mengatur kematian akibat kealpaan seseorang atau Pasal 587 Ayat (1) yang mengatur seseorang yang melakukan tindakan aborsi atas persetujuan dari sang ibu. Sudah pasti, pelanggaran Pasal 484 tidak menghasilkan akibat seburuk pasal yang disebut diatas sehingga layak dirumuskan dengan ancaman maksimal 5 tahun penjara.
Problematika Orang Ketiga
Perluasan dari pihak yang dapat mengadukan perbuatan zina dari hanya suami atau istri yang bersangkutan menjadi termasuk juga orang ketiga
yang tercemar menimbulkan permasalahan yang cukup serius. Pasal 484 Ayat (2) memberikan hak pengaduan atas orang ketiga yang tercemar. Definisi orang ketiga yang tercemar ini belumlah jelas dan menimbulkan tanda tanya. Apakah orang ketiga itu hanya termasuk orang yang memiliki hubungan darah atau malah juga termasuk masyarakat sekitar yang tidak memiliki hubungan darah masih belum dapat dipastikan.
Perluasan dari pihak yang dapat melakukan pengaduan juga merupakan kemunduran dari KUHP yang ada sebelumnya.
Pasal tentang delik zina dalam WvS lebih mengedepankan keutuhan keluarga dalam kasus perbuatan zina daripada penjatuhan pidana itu sendiri[6].
Hal ini terlihat dari perumusan pasal yang bersifat delik aduan absolut dimana pemidanaan hanya dapat terjadi jika ada aduan dari suami atau istri yang tercemar. Jika kedua suami dan istri dapat menyelesaikan permasalahn tersebut di luar ruang sidang, maka tidak perlu diadakan penjatuhan pidana. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi konflik di dalam keluarga. Masalah perihal perzinhan ini diharapkan bisa diselesaikan bersama antara suami dan istri sebagai dua pihak yang terikat dalam perkawinan.
6 Eddy Os Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, 2014: Yogyakarta
Oleh karena itu, pemasukan frasa pihak ketiga dalam RUU KUHP, mengancam semangat untuk menjaga keutuhan keluarga seperti yang ada di KUHP yang lama[7]. Sekarang, pihak ketiga yang tidak terikat dalam perkawinan dengan pihak yang melakukan perzinaan dan bahkan tidak berhubungan darah sama sekali, dapat melaporkan yang bersangkutan ke polisi. Ini tentunya melangkahi pendapat dan hak pengaduan dari suami atau istri yang bersangkutan, padahal belum tentu sang suami atau istri mau melakukan pengaduan ke polisi.
Apapun alasanya, suami atau istri dari pasangan tersebut seharusnya menjadi satu-satunya yang memiliki hak pengaduan absolut terhadap perbuatan zina pasangan mereka dan tidak ada pihak lain yang dapat memiliki hak tersebut. Apalagi jika mereka menggunakan hak tersebut tanpa memikirkan pendapat dari suami atau istri yang bersangkutan. Bukankah yang terikat dalam perkawinan dan merasakan kerugian langsung akan perbuatan pasangan mereka adalah sang suami atau istri? Lalu mengapa pihak ketiga diluar perkawinan yang tidak merasakan kerugian secara langsung menjadi mendapat hak pengaduan dalam delik zina RUU KUHP? 7 http://www.mahkamahkonstitusi. go.id/index.php?page=web.Berita&id=13400&menu=2 diakses pada tanggal 23 Februari 2018 Pukul 17.00.
Pernikahan Yang Sah
Permasalahan selanjutnya yang menjadi masalah adalah terkait rumusan pasal perzinahan yang terdapat pada Pasal 484 ayat (1) huruf e yang berbunyi, “laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan yang sah melakukan persetubuhan.” Ayat tersebut mengharuskan adanya suatu perkawinan yang sah, padahal seperti yang kita ketahui di Indonesia terdapat bermacam-macam prosesi perkawinan yang tidak diakui secara sah oleh negara seperti halnya nikah siri dan nikah adat.
Secara yuridis-normatif nikah siri memang tidak sah dan tidak diakui oleh negara, tetapi secara teologis (ajaran agama) diakui dan dianggap sah. Dalam masyarakat Indonesia, pernikahan siri masih merupakan sesuatu yang sering terjadi. Pernikahan siri juga sering terjadi untuk pernikahan kedua dan selanjutnya. Menurut Komisi Nasional Untuk Perempuan (Komnas Perempuan), seringkali praktik perkawinan beristri lebih dari satu tidak memenuhi syarat, alasan dan prosedur berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam untuk melakukan poligami[8]. 8 https://www.komnasperempuan. go.id/file/pdf_file/2018/RHK%20
Dalam hal ini, perempuan yang menjadi istri kedua berpotensi untuk ikut dkriminalisasi oleh delik zina sehingga Komnas Perempuan dengan jelas menolak delik zina dalam RUU KUHP.
Padahal, melihat pada angka statistik dari Australian Indonesia Partnership Justice, ada lebih dari 55% masyarakat miskin di Indonesia yang tidak memiliki akta nikah[9]. Faktor yang mempengaruhi rendahnya kepemilikan akta nikah dapat diakibatkan karena faktor ekonomi dan faktor pendidikan dair masyarakat miskin. Apapun faktornya, delik zina telah memberikan celah pada upaya kriminalisasi rakyat kecil yang telah menikah secara sah menurut agama tetapi tidak mampu membuktikan secara otentik bukti hukum telah melakukan perkawinan yang sah menurut hukum positif nasional.
Selain itu, hal ini juga menjadi permasalahan yang cukup merugikan kepada para penganut aliran kepercayaan yang sering kali tidak diakomodasi oleh petugas pencatatan sipil setempat dalam
2018/Infografis%20Pasal%20488%20 RUU%20KUHP.pdf diakses pada tanggal 23 Februari 2018 Pukul 21.30. 9 http://www.cpcnetwork.org/wp-content/uploads/2015/02/AIPJ-PUSKAPA-BASELINE-STUDY-ON-LEGAL-IDENTITY-Indonesia-2013.pdf diakses pada tanggal 23 Februari 2018 Pukul 21.30.
pernikahan mereka karena kolom agama dalam KTP mereka disi dengan tanda sambung[10]. Faktor ini menyebabkan banyak penganut aliran kepercayaan sulit mendapatkan akta pernikahan. Jika delik zina terus dilegalisasi oleh DPR dan Pemerintah, maka akan ada potensi kriminalisasi terhadap penganut aliran kepercayaan.
Kriminalisasi Korban Perkosaan Dan Pernikahan Paksa
Perluasan delik zina juga dapat menjadi cara untuk melakukan kriminalisasi terhadap korban pemerkosaan. Dalam RUU KUHP yan baru, semua hubungan persetubuhan diluar ikatan pernikahan yang sah diancam dengan pidana. Dengan definisi ini, pemerkosaan dan kekerasan seksual bisa termasuk di dalamnya. Korban pemerkosaan oleh karena ini dapat dipidana karena melakukan hubungan seksual diluar pernikahan[11].
Hal ini dapat membuat korban
10 http://regional.liputan6.com/ read/3157592/perjuangan-penghayat-kepercayaan-kala-menikah-dan-cari-kerja diakses pada tanggal 23 Februari 2018 Pukul 22.00. 11 http://nasional.kompas.com/ read/2018/02/01/10145771/dalam-pasal-zina-rkuhp-korban-pemerkosaan-berpotensi-dipenjara-lima-tahun diakses pada tanggal 23 Februari 2018 Pukul 22.30.
kekerasan dan pelecehan seksual semakin berdiam diri dan takut melapor karena takut dipidana. Menurut survei yang dilaksanakan oleh Magdalene. co dan Lentera Sintas Indonesia, hanya sekitar 1% dari total 25.214 penyintas kekerasan dan pelecehan seksual yang kasusnya berhasil dituntaskan secara hukum[12]. Bahkan tanpa ada RUU KUHP yang baru, jumlah kasus kekerasan dan pelecehan seksual yang berhasil selesai perkarannya pun sangat minim
Lalu kita andaikan saja bahwa korban pemerkosaan dikecualikan dari pemidanaan delik zina. Apakah hal ini dapat menutup celah kriminalisasi korban pemerkosaan? Menurut Direktur Pelaksana Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, korban pemerkosaan tetap berpotensi menjadi tersangka tindak pidana zina jika si pelaku pemerkosaan mengaku hubungan mereka didasari suka sama suka. Dalam situasi ini, korban pemerkosaan juga malah dibebani beban pembuktian untuk membuktikan bahwa hubungan seksual yang dia lakukan dengan pemerkosanya adalah pemerkosaan. Padahal korban pemerkosaan sendiri sudah pasti berada dalam posisi yang ti12 http://youthproactive.com/201607/ reportase/satu-persen-korban-perkosaan-diusut-pihak-berwajib/ diakses pada tanggal 23 Februari 2018 Pukul 22.30
dak menguntungkan dari segi psikologi dan sosiologi. Jika pelaku pemerkosaan menang di dalam pengadilan karena kurangnya bukti, malah sekarang korban pemerkosaan dapat dijerat dengan pidana atas dasar delik zina[13].
Dalam kasus ini, delik zina bahkan dapat menimbulkan masalah baru karena pelaku pemerkosaan malah dapat memaksa korban untuk menikahi dia dengan ancaman bahwa jika tidak menikah dengannya, dia akan diadukan karena melanggar delik zina. Keadaan yang sama juga bisa saja terjadi kepada anak-anak dan remaja yang melakukan hubungan persetubuhan di luar nikah. Orang tua dapat memaksa anak mereka melakukan pernikahan anak secara paksa untuk menghindari jerat hukum dari delik zina.
Kesimpulan
Perluasan dari delik zina merupakan suatu kemunduran besar dalam pembahasan RUU KUHP kita. Sudah memiliki banyak pasal bermasalah lainnya, seperti soal penghinaan presiden, kesehatan reproduksi, kebebasan pers, tindak pidana korupsi, dan pelanggaran hak asasi manusia berat, delik zina hanya menambah daftar pasal bermasalah 13 http://icjr.or.id/rkuhp-masih-over-kriminalisasi-dan-belum-berpihak-pada-perempuan/ diakses pada tanggal 23 Februari 2018 Pukul 23.00
dalam RUU KUHP.
Selain itu RUU KUHP juga
sudah merambah ranah privat dari warga negara dengan melakukan perluasan delik zina terhadap semua hubungan persetubuhan di luar nikah dan terhadap hak pengaduan oleh pihak ketiga. Masuknya frasa pihak ketiga dapat berakibat orang luar ikut campur rumah tangga orang lain dan berbagai intervensi atas masalah pernikahan yang dilakukan oleh orang lain diluar pernikahan tersebut
Dilain pihak, perzinahan yang dilakukan dua orang dewasa tidak terikat dalam pernikahan bukan di tempat umum bukanlah kejahatan yang menimbulkan korban jiwa, kerugian terhadap fisik dan materil orang lain, bahkan kerugian terhadap masyarakat dan negara. Bandingkan dengan penggunaan narkoba untuk yang tidak merugikan pihak lain secara langsung tetapi merugikan masyarakat dan negara karena hilangnya angkatan kerja yang sehat karena narkotika.

Perzinahan seperti dimaksud paragraf sebelumnya hanyalah permasalah moralitas dan bukan urusan Pemerintah Indonesia, yang notabene sebuah negara berdasarkan ketuhanan bukan berlandaskan agama tertentu. Apalagi jika perluasan delik zina ini berusaha didorong oleh beberapa pihak dari golongan dan latar belakang tertentu untuk berlaku terhadap seluruh rakyat Indonesia dari berbagai golongan dan latar belakang Perzinahan dalam hal ini hanya urusan moral sang pelaku dengan Tuhan Yang
Maha Esa, dan urusan moral belaka bukan perhatian dari Hukum Pidana. Mengutip kata-kata dari Pierre Trudeau, Perdana Menteri Kanada 1968-1979 dan 1980-1984, yang juga pernah menjabat menjadi Menteri Kehakiman Kanada dan bekerja menjadi seorang pengacara.
“Tidak ada tempat untuk negara di dalam kamar tidur dari rakyat mereka. Apa yang dilakukan oleh orang dewasa dalam privasi mereka bukanlah perhatian dari Hukum Pidana.” (Ajhi Fibrianto, Raynal Arrung Bua)
Kirimkan Opini Anda!
Ingin tulisan opini anda dimuat di Mahkamah?
BPPM MAHKAMAH membuka tempat untuk mempublikasikan tulisan-tulisan anda!
Kirimkan ke buletin.mahkamah@gmail.com Nama file dan subjek email Opini_Nama
Ketentuan:
- 500 - 900 kata
- Ms. Word format .rtf atau .doc
- tidak pernah dimuat di media lain baik cetak maupun online, termasuk blog pribadi
Kami tunggu tulisan anda!

Amba, yang Istimewa
NJudul Buku : Amba
Penulis : Laksmi Pamuntjak
Jumlah halaman : 577
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : Keenam, 2017
ISBN : 978-979-22-9984-7
ovel ini dimulai di Pulau
Buru, dimana Amba, seorang wanita paruh baya,
mencari kekasihnya yang telah lama hilang. Sang kekasih merupakan
salah satu dari ribuan orang yang dibawa ke Pulau Buru sebagai tahanan politik karena dianggap mendukung gerakan kiri.
Di tengah pencarian tersebut, alur cerita membawa kita kembali ke puluhan tahun yang telah lewat.
Mengenalkan kita akan Amba, seorang perempuan mandiri yang berpendirian teguh, meskipun kehidupannya terguncang, oleh salah
satu peristiwa besar dalam sejarah Indonesia, di tahun 1965.
Amba lahir dan tumbuh di kota kecil Kadipura. Berayahkan seorang guru, Amba tumbuh menjadi pribadi yang mencintai buku. Kegemarannya akan membaca membuat pola pikirnya jauh berbeda dibandingkan perempuan pada masanya.
Karena itu, Amba memilih untuk melanjutkan pendidikan tinggi, mempelajari sastra Inggris di UGM (Universitas Gadjag Mada). Meskipun telah bertunangan, Amba memilih untuk bekerja daripada bersiap untuk pernikahannya. Pekerjaannya sebagai penerjemah membawa hidupnya ke Kediri. Di
sana ia bertemu Bhisma, seorang dokter muda dari metropolitan Jakarta. Dalam waktu singkat, keduanya jatuh cinta.
Hingga akhirnya Bhisma hilang, dalam kekacauan yang muncul setelah
Gerakan 30 S ditumpas. Meninggalkan Amba, namun tidak sendirian. Ia meninggalkan Amba dengan seorang janin, buah dari percintaan mereka. Puluhan tahun pun lewat, namun Bhisma tidak kunjung kembali. Meski demikian, Amba tidak menyerah untuk mencari dan mencintai Bhisma. Pencariannya membawa Amba hingga ke Pulau
Buru. Dimana ia menemukan Bhisma, atau paling tidak, yang tersisa darinya.
Novel ini kental dengan unsur sejarah Indonesia yang hingga kini belum jelas kebenarannya. Laksmi Pamuntjak menyajikan sejarah tersebut melalui Amba, seorang perempuan yang tidak ada artinya dalam arsip-arsip Negara. Namun hidupnya terjungkir balik oleh permainan politik dimana ia tidak pernah melibatkan diri. Nasib Amba, mala peta-
ka yang menimpanya, juga dialami ribuan orang lainnya sebagai akibat dari guncangan politik. Kisah Amba, hanyalah bagian kecil dari sejarah.
Dan seperti yang dikatakan Bhisma; “Sejarah adalah langkah seorang raksasa yang tidak punya hati” (hal. 444). Apa yang membuat kisahnya begitu istimewa?
Kisah ini bersih dari segala macam propaganda. Sudut pandangnya tidak tercuci oleh berbagai macam ideologi. Melainkan, memaparkan apa yang terjadi sebagaimana adanya.Untuk sebuah novel sejarah, ia menawarkan perspektif baru. Bahwa hidup adalah rangkaian sebab dan akibat. Dan dalam rangkaian itupun, kita masih punya pilihan.
Buku ini tidak pernah meletakkan batasan, menentukan benar ataupun salah. Melalui kata-kata, terlihat jelas bagaimana kita, sebagai manusia, selalu mengelompokkan diri menjadi “aku” dan “dia”, “kita” dan “mereka”, namun dalam batasan yang begitu rancu, menjadi bibit yang menuai berbagai macam konflik di Tanah Air. (Btari Kinayungan)
Cinta
(A Danti)
sore itu seorang Polisi baru saja pulang dari tempat kerjanya
angin berdesau desau pada seragamnya yang tetap necis tak bergeming
di balik lebat kumisnya senyum simpul bahagia
di dalam saku celananya mobil-mobilan buat si anak lanang
setelah satu jam habis di jalan, barulah ia sampai di depan pintu dua anak gadis melongok dari jendela lantas mencium tangan ayahnya
diusap kepala mereka satu-satu, lalu ia panggil si bungsu yang dirindu hening agak lama, sebab tiada terdengar sahutan anaknya
sang Polisi memutuskan untuk segera masuk ke dalam rumah
rupanya si bocah lelaki sedang asyik menyantap makanan hingga tandas
susah dipercaya tapi memang jarang keluarga itu bermewah-mewah cukuplah diatas meja lauk pauk sederhana menemani nasi yang masih panas
dari dapur seorang wanita paruh baya muncul membawakan tambahan nasi di sebuah bakul
aroma kuah tengkleng dalam mangkuk masih mengepul sungguh masakan Mama paling enak betul!
seperti halnya cahaya kota suci kala senja mungkin cinta memang selalu ada
dalam hal-hal kecil yang tak tampak istimewa namun menjalar hangat hingga ke dalam dada

Kasih
(A Danti)

pagi itu para malaikat turun bersama hujan deras di balik awan lamat lamat semburat cahaya tangan tangan mulai menurunkan gelas beberapa menjatuhkan pedangnya; seolah kebencian sedang dicabut dari semesta..
kemudian turunlah Dia menatap umat satu persatu kepala kepala tertunduk takut, atau malu?
lantas Yang Agung merogoh sesuatu dari kantong bajuNya itulah kasih, tunas kecil yang lalu Ia selipkan ke dasar jiwa
saling bertatap kami dalam kebingungan kian bertambah
tercium bau busuk hati yang lama mati oleh ego dan dendam!
namun hari itu Kau nyatakan diri tak butuh dibela merah padamlah wajah dungu kami yang tak juga paham!
mencari kasih di ribuan lembar kitab suci sia sia saja sebab menuhankan pikiran sendiri; membunuh, menyiksa sembari menyeruMu nurani menjerit-jerit, tak dirisaukan bak angin lalu
ampuni kami, o Gusti! yang selama ini terlalu dipusingkan oleh definisi meski sejatinya kasih masih termangu sendiri bukan di keramaian namun dalam sepi,
MAWAR MERAH
Oleh Fariz M.
Ada sekuntum bunga terindah di jagad raya ini
Tumbuh bermekaran ketika musimnya tiba
Ciptaan Tuhan yang sama indahnya dengan wanita
mawar merah
Namanya pun sama indah dengan bunganya
Kadang kau gunakan sebagai lambang asmara
Menyatakan rasa kepada tambatan hati
Menggenggam batangku yang penuh duri
Hanya demi sebuah kalimat sederhana
“Aku mencintaimu“
Kadang juga kau gunakan sebagai lambang nestapa
Meletakkanku pada sebidang tanah kecil
Tertancap papan tertulis nama dan tanggal lahir
Diam membisu menahan tangis
“Selamat jalan”
Tuhan memang begitu adil

Mampu memadukan kedua hal kontras menjadi satu
Antara ada dan tiada
Mawar merah






www.mahkamahnews.org
@mahkamahnews
@mahkamahnews
@mahkamahnews
BPPM Mahkamah
buletin.mahkamah@gmail.com

Kami adalah bagian dari mereka yang menyebut dirinya mahasiswa. Kami masih mencari makna ata “maha” dan mungkin ini salah satu jalan untuk menemukannya.
Satu untuk meniti dan berbagi informasi. Satu untuk belajar mengawasi, sisanya menyemangati diri untuk berkreasi, selebihnya mencoba bersosialisasi dengan kawan-kawan satu visi.

MAHKAMAH
Jalan Socio Justicia No. 1 Bulaksumur, Sleman
© BPPM Mahkamah 2018
All Rights Reserved