BAHAN MASUKAN
BAHAN MASUKAN UNTUK WAKIL KETUA MPR RI, DR. H. JAZILUL FAWAID, S.Q., M.A., PADA DISKUSI EMPAT PILAR BERTAJUK “POKOK-POKOK HALUAN NEGARA”, JUMAT 19 MARET 2021
Pasal 3 UUD NRI 1945 sebelum amandemen menyebutkan bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Berdasarkan aturan tersebut, MPR RI memiliki kewenangan untuk membentuk GBHN, sedangkan Presiden RI sebagai Mandataris MPR RI hanya melaksanakan ketentuan GBHN yang telah ditetapkan. Akan tetapi melalui amandemen ketiga konstitusi, MPR RI tidak lagi berwenang membentuk GBHN dan GBHN tidak berlaku lagi sebagai pedoman perencanaan pembangunan nasional.
Sebagai mekanisme pengganti perubahan konstitusi tersebut, maka kewenangan untuk membentuk perencanaan pembangunan diserahkan kepada presiden dan DPR RI dengan membentuk UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU SPPN). UU SPPN ini pada tataran lebih lanjut diturunkan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Presiden kemudian membuat Perpres tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), serta produk lainnya dalam bentuk Rencana Kerja Pemerintah (RKP). Singkat kata, SPPN inilah yang dianggap sebagai pengganti GBHN untuk menjadi landasan yuridis bagi rencana pembangunan nasional di Indonesia.
Pada level praktik, RPJMN kemudian diturunkan kepada setiap kementerian dan lembaga negara lainnya dalam rangka eksekusi, yang mana eksekusi tersebut akan menyesuaikan dengan kebutuhan tiap-tiap kementerian, seperti pembuatan Rencana Strategis (Renstra) di masing-masing kementerian tersebut. Namun demikian, yang menjadi persoalan adalah adanya kemungkinan terjadinya tumpang-tindih kepentingan antarkementerian yang tidak bisa dipertanggungjawabkan oleh presiden dalam Sidang MPR RI. Yang paling krusial, tumpang-tindih kepentingan ini akan berdampak pada terhambatnya pelaksanaan pembangunan nasional.
Selain adanya celah tidak adanya sinergitas antarkementerian dalam menjalankan pembangunan nasional, ketiadaan GBHN juga melahirkan celah dalam relasi pusat dan daerah. Otonomi daerah yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengurus sendiri daerahnya melalui mekanisme desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas perbantuan, menimbulkan kemungkinan terjadinya ketidaksinergisan antara kebijakan yang diambil di level pusat dengan kebijakan yang diambil oleh daerah. Baik pusat maupun daerah dapat memiliki pandangan dan pertimbangan masing-masing. Hal ini akan membuat daerah dan pusat berjalan sendiri-sendiri.
Sirkulasi elit melalui mekanisme Pemilihan Presiden (Pilpres) secara langsung oleh rakyat secara lima tahunan juga menjadi faktor penyebab perlunya sebuah GBHN seperti masa lampau. Pergantian jabatan presiden dikhawatirkan akan menimbulkan munculnya ketidaksinambungan kebijakan sehingga objektif 1