“KONTRIBUSI INDONESIA BERBASIS POLITIK LUAR NEGERI BEBAS AKTIF DALAM MENYIKAPI KONFLIK LAUT CHINA SELATAN” Pendapat kaum realis klasik dalam studi hubungan internasional yang menyatakan bahwa dalam suatu sistem internasional yang bersifat anarkis, negara-bangsa sebagai sebuah entitas politik selalu bergerak berdasarkan kepentingan nasional yang dimiliki, tampaknya menemui relevansinya apabila melihat situasi dan kondisi di Laut China Selatan dewasa ini.
Wilayah yang
disinyalir memiliki sumber kekayaan alam melimpah dalam bentuk minyak bumi dan gas alam ini menjadi rebutan antara Tiongkok, Taiwan, serta beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Malaysia, Vietnam, Filipina, serta Brunei Darussalam. Keterlibatan Tiongkok dalam konflik Laut China Selatan tidak terlepas dari faktor historis negara tersebut terhadap kawasan ini. Pada 1947, saat Tiongkok masih dikuasai oleh Partai Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek, mereka sudah menetapkan klaim teritorialnya. Pemerintahan Kuomintang menciptakan garis demarkasi yang mereka sebut sebagai “eleven dash line”. Berdasarkan klaim ini, Tiongkok menyatakan telah menguasai mayoritas Laut China Selatan, termasuk Kepulauan Pratas, Macclesfield Bank, serta Kepulauan Spratly dan Paracel yang didapat Tiongkok dari Jepang pasca Perang Dunia ke-II.1 Pada 1953, pemerintahan Partai Komunis Tiongkok menyederhanakan klaim mereka menjadi “nine dash line” yang saat ini digunakan sebagai dasar historis untuk mengklaim hampir semua wilayah perairan seluas tiga juta kilometer persegi tersebut. Hanya saja klaim ini bersinggungan dengan kedaulatan wilayah negara-negara tetangga di kawasan tersebut. Filipina misalnya, mengklaim bahwa wilayah barat Laut China Selatan beserta segala sumber daya yang ada di bawahnya merupakan kedaulatan Filipina. Bahkan Filipina, melalui Menteri Luar Negeri Alan Peter Cayetano mengatakan bahwa Filipina siap berperang dengan
“Ini Sejarah Klaim China di Laut China Selatan Hingga Berbenturan dengan Lima Negara Lain”, diunduh dari http://bangka.tribunnews.com/2016/07/14/ini-sejarah-klaim-china-di-laut-china-selatan-hingga-ber benturan-dengan-lima-negara-lain, pada tanggal 6 April 2019, pukul 13.10 WIB. 1