SCRIPTUM: Verba Volant, Scripta Manent Vol. 2 Jilid 2

Page 1

OARD PLEADS Activity Scriptum: Volume 2 Jilid 2 Kontradiksi dan Konsekuensi Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Persyaratan Pemilu Verba Volant Scripta Manent Menilik Problematika Pengurangan Hak Masyarakat terhadap Akses Ruang Publik Privatisasi Ruang Publik: Find Us On linktr.ee/PLEADSFHUNPAD What's on PLEADS? For God, People Whom We Love, and The Almamater In Partnership with: Yassar Aulia th

TUTUR KITA

Salam sejahtera,

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas dasar rahmat dan karunia-Nya, majalah SCRIPTUM: verba volant, scripta manent Volume 2 Jilid 2 dapat dipublikasikan. Dengan adanya majalah ini, kami harap pembaca mendapatkan kebermanfaatan serta nilai-nilai keilmuan melalui berbagai artikel kajian maupun konten-konten lainnya yang informatif dan menarik.

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Yassar Aulia yang telah bersedia menjadi mitra majalah ini, sehingga berkat dukungannya kami dapat menyelesaikan majalah ini dengan baik dan tanpa hambatan.

Terima kasih pula kami ucapkan kepada tim redaksi yang dengan dedikasi tingginya dapat menyelesaikan majalah ini. Tidak lupa juga kami sampaikan rasa terima kasih kepada seluruh jajaran pengurus PLEADS Board ke-11 dan pihak lainnya yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu.

Akhir kata, kami berharap publikasi majalah ini dapat semakin memperluas jangkauan pembaca terhadap kajian dan konten-konten PLEADS dan dapat menambah wawasan serta pengetahuan bagi pembaca. Kami sadar bahwa majalan ini masih jauh dari kata sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Oleh sebab itu, kritik dan saran kami harapkan dari para pembaca agar kami dapat meningkatkan kualitas majalan ini kedepannya

Terima Kasih

Bentang Sasmita Giawa Pemimpin Redaksi Wassalamualaikum Wr. Wb.
i
Assalamualaikum Wr. Wb.
Isi Tutur Kita KAJIAN POPULIS Patah Harapan Tanda Kegagalan: Refleksi Penurunan Kinerja Polri Sebagai Lembaga Penegak Hukum Selayang Kritik Publikasi Pelaku Pelecehan Seksual: Langkah Penjatuhan Sanksi yang Tepat? Pemberhentian Hakim Konstitusi: Bentuk Pelecehan Frontal DPR terhadap Konstitusi Urgensi Penerapan Cukai Minuman Berpemanis dalam Kemasan sebagai Upaya Penurunan Tingkat Konsumsi Gula Masyarakat Indonesia Eskalasi harga BBM: Bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat Kontradiksi dan Konsekuensi Penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap Persyaratan Pemilu 1 2 6 11 14 18 21 ii i ii
CONTENTS TABLE OF Daftar
CONTENTS TABLE OF PERSPEKTIF KAJIAN Privatisasi Ruang Publik: Menilik Problematika Pengurangan Hak Masyarakat terhadap Akses Ruang Publik Meninjau Pasal Bermasalah pada Permenkominfo No. 5 tahun 2020: Ancaman Kebebasan Berpendapat dan Penyalahgunaan Data Pribadi Pemberian Sanksi Administratif kepada Perusahaan Swasta yang Tidak Memenuhi Kuota Pekerja Penyandang Disabilitas Eksistensi Dewan Pengarah dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional: Potensi Politisasi Sains di Indonesia Penetapan Kawasan Hutan Lindung untuk Program Food Estate: Sudah Tepatkah? Rumusan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi: Sudah Tepatkah? KOLABORASI PLEADS X BEM FH UNPAD 28 32 39 45 49 54 27 53
EKSTRA KAJIAN Urgensi Pengaturan Kesediaan Menyebarkan Data Secara Online Sebagai Bagian Dari Personhood
GET TO KNOW PLEADS Celebrity Politics: Suatu Kebebasan Demokrasi atau Gimmick Belaka? 63 64 81 74
CONTENTS TABLE OF

Patah Harapan

Tanda Kegagalan:

Refleksi Penurunan

Kinerja Polri Sebagai

Lembaga Penegak

Hukum

Problematika Kinerja Kepolisian

Negara Republik Indonesia

Progresif dan regresif merupakan dua diksi maknawi perihal kinerja suatu

lembaga Setiap lembaga tentu memiliki cita-cita mencapai progresivitas kinerja sesuai visi misi lembaga tersebut Namun, tak ayal dalam meraih progresivitas kinerja seringkali menempuh jalan yang berkerikil. Silih berganti datang problematika yang menjadi hambatan, sehingga probabilitas tidak tercapainya

tujuan progresivitas seakan menjadi nyata, dan justru jatuh ke jurang regresif

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai suatu lembaga pun turut menghadapi sejumlah permasalahan bersangkut paut mengenai kinerja dalam melaksanakan tujuan dan fungsi lembaga tersebut.

Oleh: Emillia Isni Maulidina

Nurhidayah Muhcti

Berkaca pada praktiknya, sejatinya masih dijumpai pelanggaran atau

penyelewengan tugas yang dilakukan

oleh anggota Polri. Hal ini dapat dilihat pada kasus Perwira Polda Sulawesi

Selatan (Sulsel) AKBP M yang

melakukan pemerkosaan dan menjadikan seorang remaja putri

sebagai budak seks Kasus tersebut

membuat publik geram karena secara

jelas menunjukkan anggota Polri yang

tidak memenuhi kewajiban untuk

memelihara keamanan, tetapi justru

mengancam masyarakat. Selain melihat pada kasus, sesungguhnya berdasarkan data yang dikeluarkan oleh

Ombudsman Republik Indonesia pun tercatat bahwa Polri merupakan salah satu institusi yang paling banyak dilaporkan karena maladministrasi sepanjang tahun 2020 yang mana

sebanyak 11,34% dari 7 204 laporan yang masuk ke Ombudsman berkaitan dengan kinerja Polri.

Merujuk pada kasus dan data di atas, maka bukan menjadi suatu hal yang ganjil apabila terjadi penurunan kepercayaan dan harapan masyarakat

terhadap lembaga Polri Berdasarkan

survei Indikator Politik Indonesia (IPI) yang dilakukan pada 6–11 Desember 2021, tercatat bahwa tingkat

kepercayaan terhadap Polri karena ma-

2 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

raknya pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri itu sendiri. Selain itu, survei Saiful Mujani

Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan

pada 31 Juli hingga 2 Agustus 2021 turut

menyatakan hal yang sama bahwa Polri dianggap

sebagai lembaga penegak hukum yang memiliki tingkat kepercayaan paling rendah di mata publik

Fakta penurunan kinerja Polri yang beriringan pula dengan penurunan harapan masyarakat

terhadap institusi tersebut dapat dipahami bersama

sebagai kesenjangan atau ketidaksesuaian antara

rumusan yuridis normatif dari tujuan dan fungsi Polri dengan implementasi di lapangan.

Sebagaimana rumusan Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia menyatakan bahwa tujuan adanya Polri adalah untuk mewujudkan keamanan

dalam negeri yang meliputi terpeliharanya

keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan

tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan

menjunjung tinggi hak asasi manusia. Oleh karena itu, penjelasan di atas sejatinya merupakan segelintir contoh dari problematika kinerja yang dihadapi oleh lembaga Polri.

Kendati demikian, problematika kinerja lembaga Polri bukan sesederhana berbicara mengenai hambatan atas niat mulia untuk mencapai progresivitas.

Namun, lebih luas daripada itu, berbicara pula mengenai konsepsi dasar hukum, khususnya aktualisasi nilai keadilan dan kepastian hukum sebagai tiang pancang konstruksi hukum Hal ini disebabkan Polri sebagai lembaga berkaitan erat dengan perwujudan hukum dalam realitas kehidupan bermasyarakat Oleh karena itu, pada tulisan kali ini akan berfokus pada pembahasan mengenai implikasi perwujudan dan aktualisasi pilar pokok hukum dengan situasi kinerja Polri saat ini, dan solusi atas persoalan penurunan kinerja Polri sebagai lembaga penegak hukum.

Pokok Hukum: Akankah Tercapai?

Gagasan hukum menurut Prof Mochtar Kusumaatmadja adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan masyarakat, termasuk didalamnya lembaga dan proses untuk mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Artinya, elemen dasar bangunan hukum dikonstruksikan melalui asas dan kaidah. Namun, agar hukum dapat berperan sebagai sarana pembangunan, maka dibutuhkan elemen lembaga dan proses Sejatinya, keempat elemen tersebut saling bersinergi demi menciptakan ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat Dengan demikian, diharapkan salah satu perwujudan dan keniscayaan hukum dalam kenyataan direalisasikan melalui lembaga penegak hukum. Kedudukan lembaga penegak hukum sesungguhnya memiliki peran vital untuk menciptakan dan menjamin perwujudan daripada pilar pokok hukum, yakni keadilan dan kepastian hukum secara prosedural dan substansial Adapun salah satu lembaga penegak hukum adalah Polri yang mana institusi tersebut dibentuk secara resmi pada tanggal 1 Juli 1946 dengan Penetapan Pemerintah tahun 1946 Nomor 11/S.D.

Konsepsi filosofis mengenai peran hukum dalam realitas sosial akan menjadi angan-angan belaka apabila eksekusi atau pelaksanaan dari elemen lembaga tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pemaparan di muka menjadi pembuka bahwasannya problematika kinerja Polri sebagai lembaga penegak hukum turut berimplikasi pada pengejawantahan peran hukum dalam kehidupan bermasyarakat Sebagai gambaran, Penulis memberikan salah satu

Perwujudan dan Aktualisasi Pilar
3 linktr.ee/PLEADSFHUNPAD KAJIan populis

kinerja Polri perihal penanganan laporan perkara yang diajukan oleh masyarakat.

Dewasa ini, bukan lagi menjadi suatu hal yang ganjil di telinga masyarakat, apabila mendengar fenomena “no viral no justice”. Artinya, kasus atau laporan pengaduan akan segera ditangani oleh Kepolisian apabila kasus tersebut terkuak di ruang publik dan ramai diperbincangkan oleh masyarakat.

Situasi ini dimungkinkan terjadi karena masyarakat dapat dianalogikan sebagai golongan penekan. Pencerminan tekanan tersebut diwujudkan dalam penyampaian kritik dan saran terhadap kinerja Polri. Dengan demikian, tidak jarang apabila terdapat korban yang lebih

memilih menuangkan atau

mencurahkan kasus yang

dialaminya di ranah media

sosial semata-mata demi

memenuhi rasa keadilan yang

tidak ditunaikan oleh institusi

Polri. Cedera tunai pemenuhan

keadilan tersebut terlihat pada

penindakan lanjut proses

hukum terhadap laporan

perkara yang cenderung

lamban, bahkan hingga

mengabaikan dan menolak

laporan pengaduan yang

diajukan oleh masyarakat.

Kilas balik terhadap kasus perundungan, perbudakan, hingga pelecehan seksual yang

dialami oleh seorang pegawai

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) berinisial MS sejak 2012

silam. Selama mengalami

tindakan yang tidak senonoh

tersebut, MS sempat melaporkan kasusnya kepada atasannya dan pihak kepolisian, tetapi laporannya tidak ditangani secara serius MS pertama kali mengadukan kasusnya ke Kepolisian Sektor (Polsek) Gambir pada 2019, tetapi petugas polisi justru menyuruhnya untuk melapor terlebih dahulu kepada atasan di KPI agar diselesaikan secara internal. Berselang satu tahun kemudian, MS kembali mencoba melapor ke Polsek Gambir, tetapi laporan perkara yang diajukannya tidak kunjung ditangani sesuai harapan Putus asa dan sudah menemukan jalan buntu, akhirnya MS menuliskan kasus perundungan dan pelecehan seksual yang dialaminya dalam surat yang kemudian viral di media sosial twitter pada awal September 2021. Berlikunya jalan yang ditempuh oleh MS untuk mendapatkan keadilan menjadi bukti nyata bahwa Polri belum mampu untuk menjadi lembaga pe-

negak hukum.

Terlebih apabila meninjau pada ketentuan yuridis normatif, maka sejatinya fenomena “no viral no justice” bertentangan dengan Pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa anggota Polri dalam pelaksanaan tugasnya harus memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan dengan sebaik-baiknya kepada masyarakat; memperhatikan dan menyelesaikan dengan sebaikbaiknya laporan dan atau pengaduan masyarakat; dan melaksanakan tugas sebaik-baiknya dengan kesadaran dan rasa tanggung jawab.

Penulis menarik benang merah bahwasannya Polri sebagai lembaga penegak hukum belum mampu un-

4 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

tuk mewujudkan dan mengaktualkan nilai keadilan dan kepastian hukum dalam realitas sosial. Argumentasi ini didasarkan pada sudut pandang korban Mereka dianalogikan sebagai yustisiabel atau pihak pencari keadilan yang tidak memperoleh rasa adil atas suatu perkara, sehingga diharapkan upaya pemerolehan nilai keadilan tersebut dimanifestasikan melalui Polri sebagai lembaga penegak hukum. Namun, harapan tersebut seakan pupus menilik kinerja Polri yang lamban dalam menangani laporan perkara yang diajukan oleh korban. Selain itu, sejumlah peraturan tertulis terkait Polri hanya akan menjadi dokumen hampa apabila tidak digunakan sebagaimana mestinya. Nilai kepastian hukum menjadi kosong sebab aturan hukum yang sudah digariskan sedemikian rupa tidak diindahkan untuk ditaati Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa peran hukum khususnya aktualisasi pilar pokok hukum dalam kehidupan bermasyarakat belum tercapai apabila meninjau kinerja Polri saat ini. Pemaparan di atas menjadi suatu kontemplasi bersama bahwa dibutuhkan evaluasi terhadap kinerja Polri sebagai lembaga penegak hukum.

Evaluasi

Penurunan

Sebagaimana yang telah dipaparkan, bahwa empat elemen konstruksi hukum harus saling bersinergi satu sama lain demi menciptakan ketertiban dan keteraturan. Apabila salah satu elemen tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka tidak akan tercipta tertib dan teratur dalam realitas sosial. Berkaca pada problematika lembaga Polri, maka sudah sepatutnya diadakan evaluasi kinerja demi menjamin peran hukum untuk mengejawantahkan tujuan hukum itu sendiri dalam kehidupan sosial masyarakat Oleh karena itu, Penulis memberikan dua solusi, yakni evaluasi badan internal Polri melalui revitalisasi dan adanya peran anggota masyarakat dalam menjamin penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri.

Sebelum membahas revitalisasi, dapat dipahami terlebih dahulu mengenai reformasi birokrasi Menurut Sedarmayanti, reformasi birokrasi adalah upaya pemerintah meningkatkan kinerja melalui berbagai cara dengan tujuan efektivitas, efisien, dan akuntabilitas Artinya, reformasi birokrasi dapat dila-

kukan sebagai berikut: perubahan cara berpikir (pola pikir, pola sikap, pola tindak), perubahan penguasa menjadi pelayan, mendahulukan peranan dari wewenang, tidak berpikir hasil produksi tetapi hasil akhir, perubahan manajemen kinerja dan pantau percontohan reformasi birokrasi, serta mewujudkan pemerintahan yang baik, bersih, transparan, dan profesional, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Ruang lingkup reformasi pun mencakup proses revitalisasi. Sebagaimana yang dituturkan oleh Sedarmayanti bahwa terdapat dua model strategi yang digunakan dalam melakukan reformasi administrasi. Yang pertama, merevitalisasi kedudukan, peran, dan fungsi kelembagaan yang menjadi penggerak reformasi administrasi Yang ke dua, menata kembali sistem birokrasi baik struktur, proses, sumber daya manusia, serta relasi antara negara dan masyarakat Penulis pun memberikan catatan kepada lembaga pengawas kinerja Polri, yakni Inspektorat Pengawasan Umum Polri, Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Biro Pengawasan Penyidikan Bareskrim untuk meningkatkan pengawasan terhadap kinerja Polri.

Selain evaluasi internal badan Polri, sejatinya masyarakat pun mendapatkan jaminan hukum untuk menyampaikan kritik, saran, atau gagasan yang membangun kepada Polri, yakni melalui Peraturan Kepolisian Negara Nomor 9 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Masyarakat di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Melalui peraturan hukum ini, diharapkan anggota masyarakat dapat membantu mewujudkan penegakan hukum yang berkeadilan. Berkaca kepada solusi yang telah dipaparkan, maka sesungguhnya dibutuhkan sinergitas antara badan internal Polri dengan anggota masyarakat demi mewujudkan aktualisasi peran hukum dalam realitas kehidupan bermasyarakat.

dan Solusi atas
5 linktr.ee/PLEADSFHUNPAD KAJIan populis
Kinerja Polri

Pelaku

Pelecehan Seksual:

Langkah Penjatuhan Sanksi yang Tepat?

Fenomena Publikasi Pelaku

Pelecehan Seksual di Lingkungan

Perguruan Tinggi

Paradigma sosial pelecehan dan kekerasan seksual seakan tidak pernah redam dari kobaran konflik yang menjalar ke setiap sudut realitas kehidupan, tidak terkecuali ranah pendidikan di perguruan tinggi. Bayangbayang hitam yang meninggalkan jejak dalam memori korban, serta luka yang sulit terobati, menghantarkan pada satu tujuan mulia bersama, yakni menciptakan ruang aman dari pelecehan dan kekerasan seksual.

Urgensi penanganan dan pencegahan tindakan asusila di ranah pendidikan diaktualisasikan dengan lahirnya

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan

Kekerasan Seksual di Lingkungan

Perguruan Tinggi Layaknya cahaya harapan, peraturan tersebut didukung oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Selain pembentukan peraturan perundang-undangan yang memiliki kekuatan dan sanksi yuridis, pada realitanya diberlakukan pula praktik sanksi sosial terhadap pelaku pelecehan dan kekerasan seksual karena dianggap telah mengancam dan meresahkan kehidupan masyarakat.

Platform media sosial Instagram belakangan ini sedang dihebohkan dengan fenomena kemunculan

sejumlah akun publikasi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual

Selayang Kritik Publikasi
6 Lex
Oleh: Emillia Isni Maulidina Nadira Karisma Ramadanti
Scriptum KAJIAN POPULIS

Namun, ada pula unggahan tangkapan layar yang divalidasi sebagai bukti atau laporan mengenai tindak pelecehan dan/atau kekerasan seksual. Pembentukan akun tersebut semata-mata ditujukan untuk pemberian sanksi sosial kepada pelaku dan rambu-rambu bagi seluruh sivitas akademika demi mewujudkan lingkungan pendidikan yang bebas dari jeratan pelecehan dan kekerasan seksual Berkaca pada fenomena yang sedang marak terjadi saat ini, maka menjadi pertanyaan bersama mengenai efektivitas pemberian sanksi sosial terhadap pelaku tindak kejahatan karena apabila menilik pada fakta di lapangan, sejatinya pemberian sanksi tersebut bertolak belakang dengan idealisme tujuan pembebanan hukum Dengan demikian, tulisan ini akan mengupas tuntas mengenai doktrin hukum memandang praktik sanksi sosial terhadap pelaku kejahatan serta dampak yang ditimbulkan dari praktik sanksi sosial tersebut terhadap korban.

Sanksi Sosial: Validitas Hukum

Menjatuhi Sanksi Kepada Pelaku

Kerangka konseptual sanksi sosial berakar dan dikonstruksikan dengan nilai-nilai ketaatan sosial yang memiliki kekuatan mengikat bagi suatu komunitas kolektif tertentu Apabila ketaatan sosial sebagai kewajiban yang patut dilaksanakan tidak diindahkan, maka sanksi sosial hadir sebagai penghakim demi menjamin keseimbangan dan keselarasan hidup bermasyarakat.

Meninjau pada karakteristik norma sosial yang hanya dibangun atas kepatutan dan kebiasaan kolektif, maka sejatinya kekuatan mengikat aturan sosial dimungkinkan bersifat dinamis karena mengikuti perkembangan kesepakatan-kesepakatan sosial dan tidak diaktualisasikan dalam bentuk peraturan tertulis. Karakteristik ini dapat berimplikasi pada mekanisme penegakan norma sosial yang tidak memiliki aturan atau batasan yang jelas.

nomena di muka merupakan salah satu bentuk egakan norma sosial dengan cara cancel culture mana ditunjukkan dengan adanya praktik batalan massal kepada seseorang sebagai cara k mengungkapkan ketidaksetujuan karena telah anggar aturan sosial. Bentuk cancel culture ebut tentu didukung oleh banyak pihak, tetapi bila dikritisi lebih dalam, sejatinya terdapat haldiluar dari koridor tujuan pemberian sanksi sosial ebut

ertama, praktik cancel culture dalam dunia maya otensi menjadi ruang pengadilan tanpa hakim nya, tidak ada keputusan sanksi yang akurat dan ktif kepada pelaku dimana keputusan tersebut rahkan sepenuhnya kepada penilaian yarakat berdasarkan kaidah sosial yang dianut ditaati.

7 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Hal ini dapat menimbulkan persoalan baru berupa kesewenang-wenangan masyarakat dalam

menghakimi pelaku pelecehan dan/atau kekerasan

seksual, mengingat bahwa penegakan norma sosial tidak memiliki aturan atau batasan yang jelas

Responsi dari penghakiman tersebut justru dapat mengakibatkan pelanggaran hukum berupa

pengurangan hak-hak pelaku, seperti penyerangan hak privasi pelaku. Padahal, realitanya ranah privasi seseorang tidak ada korelasi dengan perbuatan kejahatan yang ia lakukan. Kedua, fenomena budaya pembatalan ini dapat membawa stigmatisasi dan asumsi buruk yang melekat pada diri pelaku sehingga situasi ini berpotensi mendorong pelaku untuk mengulang perbuatan kejahatan yang sama

Hal ini berdasarkan pada salah satu teori penyimpangan sosial yang dipelopori oleh Howard Becker, yakni labelling theory Teori tersebut mengangkat suatu fenomena sosial berupa pemberian cap kepada seseorang untuk dikatakan normal atau tidak menyimpang tergantung pada penilaian masyarakat merujuk pada kategori-kategori yang telah dianggap baku oleh masyarakat. Apabila seseorang telah dianggap sebagai penjahat seksual oleh masyarakat, maka stigma penjahat seksual tersebut akan tetap melekat pada diri pelaku

Apabila isu yang diangkat atas fenomena ini merujuk pada cancel culture yang telah mendapat legitimasi bukti dari organisasi terkait, maka bagaimana dengan penjatuhan sanksi sosial oleh akun yang tidak berdasar pada bukti yang valid?

Meninjau dari kacamata hukum pidana, cancel culture tanpa bukti yang valid dapat melanggar asas praduga tak bersalah. Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya, seseorang belum dapat dikatakan bersalah melakukan tindak pelecehan seksual apabila belum ada putusan inkrah. Terlebih, pemberitaan pelaku pelecehan seksual melalui media sosial dapat dengan mudah mempengaruhi pola pikir, pola sikap, dan pandangan masyarakat, sehingga berpotensi terjadi pencemaran nama baik terhadap tersangka Dengan demikian, pemberitaan yang dilakukan oleh akun publikasi pelecehan seksual tersebut dinilai melanggar hak asasi terdak-

wa atau tersangka.

Konsekuensi penjatuhan sanksi sosial melalui cancel culture tidak seutuhnya menghadirkan pemulihan kejahatan dalam realitas sosial Lantas, bagaimana kacamata hukum memandang praktik cancel culture berdasarkan fakta yang sedang terjadi saat ini? Konsepsi filosofis eksistensi hukum memegang fungsi fundamental dalam menjaga keteraturan dan keseimbangan dalam realitas kehidupan bermasyarakat. Realisasi fungsi hukum tersebut diwujudkan dengan sinergitas di antara serangkaian elemen penegakan hukum. Aktualisasi dari penegakan hukum yang ideal dapat dilihat dengan keberhasilan mencapai tujuan agar suatu tindak kejahatan tidak terulang atau tidak terjadi lagi

dalam realitas sosial Demi mencapai idealisme tujuan tersebut, maka doktrin hukum dikonstruksikan dengan rumusan normatif dengan kekuatan mengikat tetap bagi seluruh masyarakat Peraturan-peraturan baku tersebut menjadi koridor agar penegakan hukum atas suatu tindak kejahatan tidak melahirkan suatu problematika sosial yang baru. Selain itu, doktrin hukum pun menghendaki penjatuhan sanksi yang valid kepada pelaku atas dasar serangkaian proses penghakiman yang telah diatur dan ditentukan dalam peraturan perundangundangan tertulis

Dengan demikian, Penulis memberikan argumentasi bahwa hanya berlandaskan pada pendekatan hukum, sejatinya telah mampu menjawab problema-

8 Lex Scriptum
KAJIAN POPULIS

tika pelecehan dan kekerasan seksual yang tidak kunjung usai. Adapun langkah penjatuhan sanksi sosial melalui publikasi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual di media sosial justru membawa sisi negatif dari sebagaimana tujuan awal pemberian sanksi tersebut

Upaya akun sosial media ini pada intinya bertujuan untuk memberikan sanksi sosial kepada pelaku pelecehan dan kekerasan seksual. Namun, tidak sekedar sampai sini saja, perlindungan terhadap korban pun tidak boleh dilupakan karena dengan eksisnya pelaku hingga kronologi cerita dan tingginya eksposur kasus sangat memungkinkan korban untuk mengalami gangguan secara psikis atau sering disebut dengan rasa trauma. Rasa takut, cemas, malu, dan perasaan-perasaan negatif lainnya merupakan bentuk dari rasa trauma yang sangat umum diderita oleh korban pelecehan dan kekerasan seksual. Perasaan trauma korban yang sangat rentan muncul dapat membahayakan korban tersebut apabila tidak diakomodasi secara seksama sehingga korban sangat membutuhkan pendampingan khusus Bentuk pendampingan yang secara umum sangat diperlukan adalah konseling Konseling merupakan salah satu upaya mengatasi konflik, hambatan dan kesulitan dalam memenuhi kebutuhan seseorang, juga sebagai upaya meningkatkan mental seseorang.

Mengenai hal ini, hukum positif Indonesia telah menyediakan payung hukumnya dalam instrumen Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual Korban berhak mendapatkan penanganan, perlindungan, dan pemulihan sejak terjadinya tindak pidana kekerasan seksual dimana pemenuhan hak atas korban ini adalah kewajiban dari negara dan harus dilaksanakan sesuai kondisi dan kebutuhan korban itu sendiri. Dalam hal ini, korban merupakan bagian dari sivitas akademika entah itu mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, maupun warga kampus lainnya dimana dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi dapat diberikan pendampingan dalam bentuk konseling, layanan ke-

sehatan, bantuan hukum, advokasi, maupun bimbingan sosial dan rohani. Perlu diperhatikan pula, korban maupun saksi memiliki hak untuk dilindungi berupa jaminan-jaminan, seperti jaminan keberlanjutan pendidikan atau pekerjaan, jaminan perlindungan dari ancaman fisik maupun nonfisik, jaminan terjaganya identitas, dan jaminan tersedianya akses informasi terhadap hak dan fasilitas penyelenggaraan perlindungan. Pada dasarnya, korban maupun saksi merupakan pihak yang tidak kalah penting untuk diperhatikan karena korban maupun saksi merupakan pihak yang terdampak langsung oleh pelaku tindakan kekerasan seksual dan membutuhkan pendampingan khusus

Per tanggal 31 Agustus 2021 lalu, telah disahkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi yang didalamnya diatur mengenai Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di tingkat perguruan tinggi yang anggotanya terdiri dari pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa dengan berbagai wewenang salah satunya menindaklanjuti kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi Upaya pemerintah ini diharapkan bisa mengakomodasi kepentingan korban maupun saksi yang terdampak secara psikologis.

Apabila dilihat dari fakta lapangan, maka penggunaan asas praduga tak bersalah bagi pelaku untuk meng-

9 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD
Melihat dari Perspektif Korban

hindari pencemaran nama baik tidak bisa membantu memberantas kekerasan dan pelecehan seksual khususnya di lingkungan kampus apalagi membantu kondisi psikologis korban. Hal ini disebabkan karena penanganan kasus pelecehan seksual di lin kampus masih terhitung cukup lambat apabila diterapkan asas praduga tak bersalah pada pelaku dikhawatirkan tidak ada upaya untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan korban semakin merasa takut karena pelaku masih bisa berkeliaran tanpa ada rasa bersalah atas perbuatannya

Fenomena publikasi pelaku pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi melalui platform media sosial sebenarnya tidak memiliki manfaat terhadap korban secara langsung. Hanya saja, fenomena ini dapat membantu meningkatkan kesadaran, rasa simpati, efek jera pada pelaku, dan memicu solidaritas bagi para pembaca sehingga siapapun yang mengetahui informasi ini tanpa disadari dapat menjadi tokoh yang berperan penting bagi korban Namun, perlu diperhatikan bahwa hal ini tidak sebanding dengan perasaan trauma yang sangat rentan muncul terhadap korban sehingga upaya publikasi pelaku pelecehan seksual juga justru berbahaya bagi kesehatan mental korban.

Kesimpulan

Platform media sosial Instagram akhir-akhir ini sedang kemunculan sejumlah akun publikasi pelaku pelecehan dan kekerasan seksual Akun-akun tersebut mengunggah foto pelaku bahkan tak jarang melampirkan kronologi kejadian. Fenomena ini menyebabkan cancel culture yang mana ditunjukkan dengan adanya praktik pembatalan massal kepada seseorang sebagai cara untuk mengungkapkan

ketidaksetujuan karena telah melanggar aturan sosial Bentuk cancel culture ini tentu didukung oleh banyak pihak namun dalam hukum pidana, cancel culture tanpa bukti yang valid dapat melanggar asas praduga tak bersalah dimana seseorang belum dapat dikatakan bersalah melakukan tindak pelecehan seksual apabila belum ada putusan yang sah.

Meskipun dalam perspektif korban asas ini bisa justru bisa merugikan korban.

Lantas, eksisnya akun sosial media yang mempublikasi pelaku pelecehan seksual khususnya di ranah perguruan tinggi mampu mem memberikan sanksi sosial melalui labelling dan stigma masyarakat. Namun, tidak boleh dilupakan, korban dari pelaku tindakan pelecehan seksual ini memiliki hak untuk didampingi dan dilindungi mengingat rentannya terkena dampak psikologis yang membahayakan. Hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang

Tindak Pidana Kekerasan Seksual khususnya pada Pasal 66 hingga Pasal 70 Tidak hanya itu, dengan adanya pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di tingkat perguruan tinggi yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 diharapkan dapat melakukan penanganan dengan efektif dan fenomena publikasi pelaku pelecehan seksual yang memberikan efek cancel culture terhadap pelaku dan juga mengundang rasa trauma pada korban sudah tidak terlalu relevan lagi saat ini

10 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

Hakim Konstitusi:

Bentuk Pelecehan Frontal DPR terhadap Konstitusi

Oleh:

Bentang Sasmita Giawa

Kamis, 29 September 2022 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI

mengadakan rapat paripurna dan mencopot salah seorang Hakim

Mahkamah Konstitusi (MK), yaitu Aswanto dari jabatannya

Kemudian, Aswanto digantikan oleh Guntur Hamzah selaku Sekjen

MK Hal ini menuai kontroversi di masyarakat karena pencopotan

Aswanto dinilai tidak berdasar Ketua Komisi III DPR RI Bambang

Wuryanto mengatakan alasan pencopotan tersebut karena kinerja

Aswanto sebagai hakim konstitusi mengecewakan lantaran kerap membatalkan produk undang-undang dari DPR sehingga dianggap

tidak memiliki komitmen dengan DPR. Bambang Wuryanto juga

mengeluarkan statement tidak logis dengan mengibaratkan DPR sebagai owner suatu perusahaan dan Aswanto sebagai Direksi. DPR

telah menunjuk Aswanto sebagai Direksi sehingga tugas Direksi adalah untuk mewakili owner, jadi kebijakan Direksi seharusnya

sesuai kemauan owner Oleh karena itu, menurutnya langkah DPR

untuk memberhentikan Aswanto merupakan keputusan politik Hal

tersebut tentu saja membuat masyarakat geram dan menyayangkan

tindakan pencopotan yang dilakukan oleh DPR tersebut. Banyak

pihak yang menyatakan bahwa apa yang dilakukan oleh DPR dapat mengganggu independensi MK. Lantas mengapa pencopotan hakim konstitusi menjadi tamparan keras terhadap realita bobroknya

penyelenggaraan prinsip negara hukum di Indonesia?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu apa tujuan dan fungsi berdirinya lembaga MK di dalam praktik penyelenggaraan negara. MK merupakan lembaga yang berperan sebagai guardian of constitution yang berarti MK berfungsi untuk menjamin dan memastikan bahwa Undang-Undang Dasar NRI 1945 dijalankan dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara negara Adanya MK merupakan realisasi dari prinsip the rule of law, and not of man yang sejalan dengan pengertian nomocratie, yaitu kekuasaan yang dijalankan oleh hukum. Eksistensi lembaga MK memiliki peranan penting sebagai upaya perwujudan checks and balances dalam prinsip pemisahan kekuasaan yang berlaku dan tertera dalam konstitusi negara Indonesia MK berperan untuk memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan oleh lembaga legislatif tidak dibuat dan dimanfaatkan sebagai alat legitimasi kekuasaan atau keperluan politik semata yang minim akan kebermanfaatannya terhadap masyarakat luas. Dengan adanya MK, maka jaminan tidak adanya undangundang yang bertentangan dengan UUD 1945 akan terwujud karena MK memiliki wewenang untuk mengoreksi materi undang-undang Jika melihat peran dan fungsi MK di dalam sistem penyelenggaraan negara di Indonesia, maka independensi lembaga tersebut yang bebas dari campur tangan kepentingan politik menjadi hal yang krusial dan penting untuk terus dijaga.

Pemberhentian
Kontroversi Dibalik Pencopotan Hakim Mahkamah Konstitusi
11 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Apakah Pencopotan Hakim Konstitusi oleh DPR dapat Dibenarkan?

Pernyataan serta alasan yang diungkapkan oleh DPR dalam menghentikan Aswanto merupakan bentuk pemerkosaan secara terang-terangan terhadap hukum Hal tersebut dapat dianalisis dari berbagai aspek Aspek yang pertama, pencopotan Aswanto sungguh menyalahi supremasi hukum Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwasannya MK memiliki peran untuk merealisasikan prinsip rule of law Artinya, MK harus berupaya menegakkan dan menempatkan hukum di posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun, termasuk oleh penyelenggara negara

Salah satu upaya MK untuk menegakkan supremasi hukum tertuang pada Pasal 10

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang telah mengatur tugas dan wewenang untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: menguji undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Ketika sudah ditunjuk sebagai hakim MK, maka kewajiban dari Aswanto adalah menjalankan tugas dan wewenang yang diamanatkan oleh UndangUndang. Keputusan Aswanto untuk menganulir produk-produk hukum buatan DPR sejatinya adalah bentuk menjalankan tugas serta wewenang yang ia miliki sebagai hakim MK dan juga sebagai upaya melindungi masyarakat dari produk hukum yang dianggap tidak konstitusional dan tidak berpihak pada masyarakat Hal tersebut sudah sejalan dengan peran hakim konstitusi, yaitu menilai kesesuaian dan menafsirkan suatu ketentuan atau tindakan pemerintah terhadap konstitusi. Apabila Aswanto tidak meloloskan produk undang-undang milik DPR, maka keputusan tersebut tentu saja sudah melalui berbagai pertimbangan yang matang dan rasional. Oleh karena itu, alasan DPR mencopot jabatan Aswanto karena kerap membatalkan produk undang-undang DPR merupakan sebuah alasan yang menyalahi prinsip supremasi hukum sehingga tidak dapat dibenarkan.

Selain itu, aspek yang kedua adalah alasan yang dikatakan oleh DPR sebagai dasar memberhentikan Aswanto yang tidak logis jika dianalisis dari sisi hukum lembaga negara Pasal 23 ayat (1) dan (2) Undang-undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi telah mengatur mengenai pemberhentian hakim konstitusi, baik secara hormat maupun secara tidak hormat. Pemberhentian dengan hormat dilakukan atas alasan-alasan karena meninggal dunia, mengundurkan diri, berusia 70 tahun, dan sakit jasmani atau rohani. Sementara pemberhentian secara tidak hormat dilakukan apabila hakim konstitusi dipidana penjara sesuai dengan putusan pengadilan yang sudah inkracht Kemudian melakukan perbuatan tercela, tidak menghadiri persidangan tanpa alasan yang sah selama lima kali berturutturut, melanggar sumpah atau janji jabatan, sengaja menghambat MK memberi putusan, rangkap jabatan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi, serta melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi. Alasan pemberhentian Aswanto sama sekali tidak sesuai dengan kriteria pemberhentian hakim konstitusi baik secara hormat maupun tidak hormat yang diatur dalam konstitusi.

12 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

Aspek selanjutnya yang perlu diperhatikan adalah tata cara pemberhentian hakim konstitusi yang dilakukan DPR melanggar Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Berdasarkan Undang-Undang tersebut, hakim konstitusi yang akan diberhentikan memerlukan Keputusan Presiden yang diajukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Sehingga, pencopotan Aswanto melalui rapat paripurna DPR tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan tidak dapat berlaku

Dari ketiga aspek di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pencopotan Aswanto sebagai hakim konstitusi merupakan hal yang bertentangan dengan undang-undang dan tidak masuk akal Pencopotan tersebut seharusnya tidak dapat dibenarkan, baik secara hukum maupun secara moral Secara hukum, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tidak membenarkan pencopotan hakim konstitusi melalui rapat paripurna DPR Secara moral, mengganti hakim konstitusi dalam rangka mempermudah meloloskan undang-undang adalah hal yang tidak etis dan sebuah penghinaan terhadap konstitusi negara

Apabila mengkaji prosedur penunjukkan hakim konstitusi berdasarkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, maka tiga orang hakim konstitusi diajukan oleh DPR Jika dianalisis lebih dalam lagi, nomenklatur yang digunakan dalam pasal tersebut adalah “oleh” bukan “dari” Penggunaan nomenklatur tersebut dapat diartikan bahwasanya peran DPR hanya sebatas pada perekrutan anggota hakim konstitusi saja. Dengan demikian, meskipun DPR berhak mengajukan anggota hakim konstitusi, namun hakim konstitusi tidak bertindak untuk dan/atau dibawah kendali DPR. Ketika ditunjuk, maka selesai sudah anasir politik (penunjukan Aswanto oleh DPR). Prof. Jimly Asshiddiqie juga menyatakan bahwa hakim konstitusi yang diajukan oleh DPR bukan berarti menjadi perwakilan DPR di MK Namun, DPR rasanya tidak paham atas anasir tersebut sehingga sedang berusaha untuk “mengoperasi” hukum dan menegakkan kembali supremasi kekuasaan (machtstaat) sehingga hakim konstitusi dijadikan alat politik bagi DPR

Hal tersebut tentu saja bertentangan dengan doktrin justiciability. Dalam doktrin tersebut terdapat beberapa prinsip kekuasaan kehakiman yang terdapat dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct, yaitu prinsip independensi, ketidakberpihakan, dan integritas. Artinya, hakim konstitusi dalam melakukan tugasnya menguji produk undang-undang yang dihasilkan oleh DPR harus didasari pada kenetralan dan ketidakberpihakan MK harus menjadi lembaga yang bebas dari konflik kepentingan antara lembaga lainnya, terutama lembaga legislatif dan eksekutif

Berkaca pada kasus pencopotan Aswanto oleh DPR, terlihat jelas bahwa DPR salah kaprah dalam menginterpretasikan fungsi dari hakim konstitusi dan lembaga MK secara keseluruhan. Hal ini tentu saja menjadi preseden buruk bagi penyelenggaraan pemerintah yang konstitusional di Indonesia dan bagi lembaga MK itu sendiri. Apabila dibiarkan, maka fenomena seperti ini akan terus tumbuh dan bisa terulang lagi Hal tersebut akan berdampak pada ketidaknetralan lembaga MK sehingga dapat melegitimasi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh DPR Apabila MK kehilangan independensinya, maka tidak menutup kemungkinan di masa depan akan banyak produk undang-undang yang lahir atas dasar kepentingan politik semata tanpa mempertimbangkan prinsip kebermanfaatan bagi masyarakat.

13 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD
Hakim Konstitusi Bukan Alat Politik DPR

Urgensi Penerapan Cukai Minuman Urgensi Penerapan Cukai Minuman

Berpemanis dalam Kemasan Berpemanis dalam Kemasan

sebagai Upaya Penurunan Tingkat Konsumsi Gula Masyarakat Indonesia

Oleh: Salsabiila Tiara Aulia & Bentang Sasmita Giawa

A. Permasalahan Konsumsi Gula

Berlebih pada Masyarakat Indonesia

Beberapa waktu lalu, salah satu brand minuman berpemanis di Indonesia mendapatkan kritik dari konsumennya. Ia mengomentari sekaligus memberikan peringatan perihal kandungan gula yang berada pada produk minuman tersebut. Menurutnya, kandungan gula di dalam minuman tersebut cenderung berlebihan dan berbahaya bagi masyarakat Indonesia Hal ini dilontarkannya bukanlah tanpa alasan, karena menurut penelitian, faktor risiko kematian dan kesakitan tertinggi di Indonesia disebabkan oleh obesitas dan kadar gula darah tinggi.

Ironisnya, fakta tersebut tidak sejalan dengan tingginya konsumsi gula masyarakat Indonesia yang mencapai 5,3 juta ton di tahun 2021. Tingginya konsumsi gula masyarakat Indonesia, tidak terlepas dari keberadaan industri makanan dan minuman kekinian yang tinggi akan kandungan gula. Sayangnya, industri-industri tersebut seolah “menutup mata” akan tingginya angka diabetes

masyarakat Indonesia Mereka terus menerus

mempromosikan minuman dan makanan

berpemanis, tanpa memberikan peringatan akan bahayanya konsumsi gula berlebih.

Menurut penelitian, jenis utama gula yang ditambahkan ke makanan dan minuman

tersebut adalah fruktosa tinggi sukrosa, yang mana kandungan gula jenis ini jika dikonsumsi berlebih berpotensi untuk

menyebabkan tekanan darah tinggi, peningkatan kadar kolesterol dalam darah, hingga jangka panjangnya memiliki implikasi terhadap penyakit ginjal dan jantung

Atas potensi dampak yang berbahaya ini, maka berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji, menghimbau bagi setiap badan usaha maupun perseorangan yang memproduksi pangan siap saji yang mengandung gula, garam, ataupun lemak, dan ia telah memiliki lebih dari 250 juta gerai, maka baginya wajib memberikan informasi kandungan gula, garam dan lemak, serta pesan kesehatan melalui media informasi dan promosi Pangan siap saji disini ditujukan kepada makanan atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan di tempat usaha ataupun di luar tempat usaha atas dasar pesanan. Dengan berdasar pada definisi ini, maka ketentuan dalam Pasal 5 ditujukan bagi minuman berpemanis kekinian maupun minuman berpemanis dalam kemasan, yang kehadirannya telah ada sejak dahulu. Ironisnya, harga minuman berkadar gula tinggi dalam kemasan sangat terjangkau bagi seluruh kalangan masyarakat Bahkan tidak sedikit yang harganya hampir sama dengan harga air mineral Sedangkan, minuman berpemanis kekinian meskipun tidak memiliki harga terjangkau layaknya minuman berpemanis dalam kemasan, tetapi industri ini cermat untuk mencari target pasar. Sehingga tata letak gerai tersebut berada di kawasan masyarakat yang memiliki daya beli yang sesuai. Misalnya saja, Brand Minuman Es Teh Indonesia memiliki program “Es Teh Goes To School,” dan memasang harga sesuai daya beli anak sekolah. Hal ini terasa begitu miris karena brand tersebut seolah memikirkan keuntungan semata tanpa memikirkan efek jangka panjang bagi anak-anak sebagai konsumennya

14 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

Kembali kepada persoalan di atas, yang mana pasca konsumen tersebut memberikan kritik terhadap produk minuman tersebut ia mendapatkan somasi dari brand bersangkutan. Brand tersebut seolah tidak merasa bersalah karena telah memasarkan produk yang mengandung nilai gula yang tinggi karena menurutnya mereka telah memberikan opsi lain dan memberikan hak memilih bagi konsumen. Namun, apakah hak untuk memilih benar-benar telah terlaksana apabila konsumen tidak disuguhkan informasi kandungan gula yang terkandung dalam produk secara utuh? Pasalnya, apabila melihat fakta di lapangan, masih banyak produk-produk minuman berpemanis dalam kemasan yang tidak mencantumkan informasi nilai gizi secara jelas di kemasannya. Padahal, jika kita merujuk pada

Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan

Nomor 22 Tahun 2019 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan, tercantum jelas bahwa setiap produsen dan/atau distributor pangan olahan wajib mencantumkan informasi nilai gizi pada label produk Hal serupa juga tercantum pada Pasal 4

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen yang berisikan hak-hak konsumen, salah satunya adalah hak untuk

mendapat informasi yang benar dan jelas mengenai

suatu produk serta hak atas keselamatan dalam mengkonsumsi suatu produk

Sehingga, sikap produsen minuman berpemanis yang mengacuhkan kesehatan konsumennya dengan alasan bahwa konsumen memiliki hak untuk memilih produk yang akan dikonsumsi juga tidak dapat dibenarkan. Secara logika, bagaimana mungkin konsumen dapat memilih mana produk yang baik dan mana produk yang buruk untuk kesehatannya apabila produsennya saja tidak memberikan informasi secara jelas mengenai kandungan apa saja yang terdapat dalam produk tersebut. Pada intinya, hak memilih yang dimiliki konsumen harus diiringi dengan upaya produsen untuk memberikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang produk yang dijual.

15 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), diabetes yang disebabkan oleh konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan menempati posisi ketiga dalam daftar penyebab kematian tertinggi. Tidak hanya diabetes, mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan terbukti meningkatkan risiko hipertensi, obesitas, kerusakan ginjal, kerusakan hati, penyakit jantung, kanker, dan kurang gizi. Melihat data kematian yang disebabkan oleh konsumsi minuman berpemanis serta banyaknya risiko kesehatan yang ditimbulkan oleh minuman berpemanis menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk melakukan intervensi dalam upaya mengontrol konsumsi gula masyarakat Indonesia.

Hal tersebut semata-mata sebagai tindakan pemerintah dalam menjamin salah satu hak asasi manusia yang paling fundamental, yaitu hak untuk mendapat kesehatan (right to health). Hak untuk mendapat kesehatan bukan hanya berkaitan dengan hak kita sebagai manusia mendapat fasilitas kesehatan yang memadai, tetapi dalam arti luas hak untuk mendapat kesehatan adalah berbagai aspek yang harus didapatkan oleh masyarakat agar dapat tetap hidup sehat Salah satu aspek yang menjadi hak masyarakat agar dapat hidup sehat adalah makanan dan minuman yang berkualitas. Hak untuk mendapat kesehatan ini telah menjadi perhatian dunia internasional, terbukti dengan tertuangnya hak tersebut dalam International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights yang telah diratifikasi ke dalam sistem hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor

11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights. Pada Pasal 12 kovenan tersebut tertuang bahwa,

Artinya, masyarakat memiliki hak mutlak untuk mendapatkan kesehatan yang layak, baik secara fisik maupun secara mental. Sebagai negara pihak dari konvensi, maka Pemerintah Indonesia harus menjamin hak tersebut didapatkan oleh seluruh masyarakatnya tanpa terkecuali. Negara dapat mengambil berbagai macam tindakan untuk meningkatkan ketersediaan dan memudahkan akses terhadap makanan dan minuman yang sehat. Selain itu, negara memiliki peranan penting untuk mendorong masyarakat agar dapat memilih makanan dan minuman yang sehat untuk dikonsumsi.

16 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS
“the right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard of physical and mental health”

Dalam kaitannya dengan tingginya konsumsi minuman berpemanis oleh masyarakat Indonesia, pemerintah harus melakukan intervensi berupa mengeluarkan regulasi untuk membatasi konsumsi gula masyarakat Indonesia. Hal tersebut dilakukan semata-mata agar masyarakat Indonesia mendapatkan haknya untuk mengonsumsi produk yang berkualitas serta mendapat hak untuk hidup sehat. Salah satu regulasi yang dapat diberlakukan oleh pemerintah adalah dengan menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan. Penerapan cukai ini menjadi hal yang krusial disebabkan apabila melihat data yang ada, maka konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan

meningkat 15 kali lipat dalam 20 tahun terakhir.

Minuman berpemanis dalam kemasan sendiri didefinisikan sebagai semua produk minuman dalam kemasan yang berpemanis, yang dapat termasuk namun tidak terbatas pada minuman berkarbonasi, berenergi, isotonik, sari buah kemasan, herbal dan bervitamin, susu berperisa, teh dan kopi kemasan, kental manis, sirup.

Dengan menerapkan cukai terhadap minuman berpemanis, maka akan sangat efektif untuk menekan konsumsi gula masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan yang menyebabkan kenaikan harga produk sebesar 20% dapat mengurangi konsumsi produk tersebut hingga 20% pula. Penurunan konsumsi produk berpemanis ini akan sejalan dengan menurunnya risiko kematian yang disebabkan oleh diabetes dan obesitas. Jika melakukan studi komparasi terhadap negara-negara lainnya, terutama negara-negara eropa, kebijakan pengurangan konsumsi gula dengan menerapkan pajak minuman berpemanis dalam kemasan sudah dilakukan sejak lama. Sebagai contoh, Inggris merupakan negara yang memiliki kebijakan pemerintah untuk mengurangi kadar gula di dalam suatu produk makanan dan minuman. Sejak diberlakukannya kebijakan tersebut pada 2016, kadar gula pada berbagai macam produk makanan dan minuman di Inggris telah berkurang sebanyak 20% pada 2020. Salah satu regulasi yang diimplementasi oleh pemerintah Inggris dalam kebijakan mengurangi konsumsi gula masyarakatnya adalah penerapan cukai gula pada minuman berpemanis dalam kemasan.

Melihat efektivitas penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan yang diterapkan pemerintah Inggris dapat menjadi contoh pemerintah Indonesia untuk segera melahirkan regulasi mengenai cukai tersebut. Pasalnya, selain bermanfaat bagi kesehatan masyarakat banyak, upaya penekanan konsumsi gula terhadap masyarakat Indonesia dapat memiliki dampak positif terhadap situasi sosial dan ekonomi Indonesia. Dengan adanya cukai minuman berpemanis dalam kemasan, maka berpotensi meningkatkan pemasukan negara hingga Rp2,7 triliun sampai Rp6,25 triliun. Selain itu, minuman berpemanis dalam kemasan telah memenuhi kriteria sebagai barang yang dapat dikenakan cukai. Berdasarkan regulasi tentang cukai yang ada di Indonesia, kriteria barang yang dapat dikenakan cukai adalah barang yang konsumsinya dibatasi serta dapat berdampak negatif pada masyarakat. Jika meninjau kriteria tersebut, maka minuman berpemanis dalam kemasan telah masuk dalam kriteria barang yang dapat dikenakan cukai

Dengan berbagai faktor yang telah diuraikan di atas, sudah selayaknya pemerintah mendorong dan mempercepat kebijakan pembatasan konsumsi gula pada masyarakat Indonesia. Harapannya, kebijakan ini nantinya akan mengalihkan konsumsi masyarakat kepada makanan dan minuman yang rendah gula. Selain itu, kebijakan ini juga berperan besar agar industri makanan dan minuman di Indonesia dapat melahirkan produk-produk yang jauh lebih sehat dan berkualitas. Bukan hanya memikirkan keuntungan semata tanpa memikirkan risiko kesehatan atas produknya. Sebab pada hakikatnya, pemerintah sebagai organ of states sudah seharusnya mengambil peran dalam menjamin kesehatan masyarakatnya.

17 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Bentuk ketidakpedulian pemerintah terhadap kesejahteraan rakyat

1Keselarasan Monopoli dengan

Kemakmuran Masyarakat

Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah salah satu unsur vital yang diperlukan dalam pelayanan masyarakat umum baik di negara miskin, berkembang, maupun maju Pemanfaatan BBM dewasa ini, tidak hanya berimplikasi pada kebijakan luar negeri suatu negara yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, tetapi juga dapat mengakibatkan penderitaan bagi umat manusia secara global Oleh karena itu, negara diberikan hak untuk menguasai BBM, dalam bentuk monopoli dan pemusatan kegiatan ekonomi agar dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat

Hal di atas, sesuai dengan Pasal 51 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No 5/99) yang menyatakan, monopoli dan atau pemusatan kegiatan yang berkaitan dengan produksi dan atau pemasaran barang dan atau jasa yang menguasai hajat hidup orang banyak serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara diatur dengan undang-undang dan diselenggarakan oleh Badan

Usaha Milik Negara dan atau badan atau lembaga yang dibentuk atau ditunjuk oleh Pemerintah. Serta ketentuan dalam Pasal 72 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 30 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha

Hilir Minyak Dan Gas Bumi yang menyatakan bahwa Harga

BBM dan Gas Bumi diatur dan/atau ditetapkan oleh Pemerintah.

Meskipun begitu, kenaikan harga BBM selalu menimbulkan pro-kontra di kalangan masyarakat

Baru-baru ini, pada tanggal 3 September tahun 2022 telah diumumkan keputusan pemerintah mengenai kenaikan harga BBM hingga 30% pada

Konferensi Pers Presiden Joko Widodo dan Menteri Terkait Perihal Pengalihan Subsidi BBM

Pemerintah beralasan bahwa kenaikan harga

BBM dipicu oleh semakin besarnya beban subsidi serta ketidaktepatan sasaran pemberian subsidi BBM Kenaikan harga BBM beriringan dengan kenaikan harga bahan-bahan pokok, ditambah keputusan tersebut diumumkan di tengah kondisi pemulihan ekonomi pasca pandemi sehingga menuai banyak protes dari mahasiswa dan masyarakat kecil sebagai kalangan yang sangat menderita atas kebijakan tersebut

Oleh karena itu, keselarasan antara Pasal 51 UU No. 5/99 yang memberikan hak kepada negara untuk monopoli dan atau pemusatan kegiatan terhadap BBM dengan tujuan dari pasal tersebut, yaitu kedaulatan, kesejahteraan, serta kemakmuran masyarakat, perlu dianalisis lebih jauh.

18 Lex Scriptum KAJIAN
POPULIS

2 Kebijakan Eskalasi Harga BBM Di Indonesia Apakah Sudah Tepat?

Secara filosofis munculnya Pasal 51 UU No. 5/99 merupakan bentuk perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengharuskan negara menguasai sumber daya alam yang vital agar dapat digunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Apabila ditinjau dari teori dasar utilitarianisme, maka monopoli dan pemusatan kegiatan yang dilakukan oleh BUMN, dalam hal ini Pertamina, semata-mata karena hal tersebut akan memberikan kebahagiaan bagi masyarakat banyak. Hal tersebut tentu akan menciptakan ketidakadilan bagi perusahaan swasta yang berusaha di bidang BBM.

Oleh karena itu, kami melandaskan hal ini dengan teori utilitarianisme, yaitu ketidakadilan terhadap aspek persaingan usaha dapat ditoleransi selama masyarakat banyak, bisa sejahtera. Greatest good for greatest number.

Teori utilitarianisme, sejatinya menjadi dasar

mengapa Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945 memperbolehkan adanya monopoli yang dilakukan oleh Pertamina terhadap Migas

Pasal 33 ayat (3) jelas menyatakan “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” Pengertian “dikuasai oleh negara” haruslah diartikan mencakup makna

penguasaan oleh negara dalam luas yang bersumber dan diturunkan dari konsepsi kedaulatan rakyat Indonesia, termasuk pula di dalamnya pengertian kepemilikan publik oleh kolektivitas rakyat atas sumber-sumber kekayaan dimaksud Rakyat secara kolektif itu dikonstruksikan oleh UUD 1945 memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

Bahan Bakar Minyak (BBM) adalah salah satu unsur vital yang diperlukan dalam pelayanan masyarakat umum baik di negara miskin, berkembang, maupun maju Pemanfaatan BBM dewasa ini, tidak hanya berimplikasi pada

Namun, melihat fakta sosiologis yang ada, justru saat ini monopoli pasar yang dilakukan oleh Pertamina tidak menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat. Seperti yang kita ketahui, kenaikan harga BBM yang signifikan sangat berdampak terhadap kenaikan harga bahan-bahan pokok, disamping itu situasi dan kondisi masyarakat Indonesia tengah memburuk pasca pandemi COVID-19. Tindakan yang dilakukan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan tersebut justru bertolak belakang dengan dasar falsafah dari Pasal 51 UU 5/99 itu sendiri. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bahwa eskalasi harga BBM pada

September 2022 adalah langkah pemerintah yang kurang tepat

19 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

3 Solusi

Patut diperhatikan bahwa naiknya harga BBM justru terjadi saat harga minyak dunia jatuh sampai lebih dari 5% yang diakibatkan oleh menguatnya mata uang USD. Selain itu, pemicu penolakan masyarakat terhadap kenaikan BBM juga karena sikap pemerintah yang justru mengalihkan subsidi BBM menjadi penambahan bantalan sosial sebesar Rp24,17 triliun. Bantalan sosial yang akan diterima langsung oleh masyarakat tidak mampu disalurkan dalam bentuk BLT (Bantuan Langsung Tunai).

Pemberian BLT memang memberikan manfaat untuk kalangan masyarakat tertentu, akan tetapi dampak akibat kenaikan harga BBM dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan. Ketika harga BBM naik, harga kebutuhan dasar pun juga mengalami kenaikan. Belum lagi potensi ketidaktepatan pemberian BLT yang kerap salah sasaran akan menjadikan bantalan sosial tersebut menjadi sia-sia. Pun, dinyatakan oleh Anggota Komisi VII DPR RI, Nurhasan Zaidi, bahwa kenaikan harga BBM dapat memicu tingginya kenaikan inflasi dan angka kemiskinan di Indonesia.

Hal di atas pasti melahirkan sebuah dilema bagi pemerintah dalam menentukan pilihan kebijakan, antara ‘mengalihkan subsidi BBM, tetapi berpotensi memicu inflasi,’ atau ‘subsidi BBM tetap dilanjutkan, tetapi menambah beban anggaran negara ’

Berdasarkan analisis di atas, penulis paham bahwa harga BBM harus berkaca pada harga minyak dunia yang fluktuatif, penulis juga mengerti bahwa pengurangan subsidi yang dilakukan oleh pemerintah sejalan dengan Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999–2004 yang mengamanatkan pemerintah untuk menyehatkan APBN dengan mengurangi defisit anggaran melalui peningkatan disiplin anggaran, pengurangan subsidi dan pinjaman luar negeri secara bertahap, peningkatan penerimaan pajak progresif yang adil dan jujur, serta penghematan pengeluaran. Terlebih lagi ada potensi resesi ekonomi global yang diprediksi oleh para ekonom akan terjadi pada tahun 2023/2024. Oleh karenanya, penulis setuju terhadap langkah pemerintah untuk mengadakan penghapusan subsidi yang dilakukan secara bertahap untuk meringankan beban negara.

Namun, menurut penulis, kebijakan kenaikan harga BBM saat ini tidak tepat karena terjadi ketidakselarasan antara kegiatan monopoli serta tujuan dari diberikannya hak monopoli tersebut kepada pemerintah Kondisi masyarakat Indonesia yang masih bergelut dengan dampak negatif perekonomian akibat pandemi Covid-19 sehingga masih berada dalam fase pemulihan, maka akan berakibat sangat fatal apabila pemerintah mengeluarkan kebijakan pengurangan 30% bahkan pencabutan subsidi BBM Secara umum, kenaikan harga

BBM akan memiliki imbas yang besar bagi perekonomian Indonesia Kenaikan harga BBM di Indonesia akan berdampak pada daya beli masyarakat yang semakin menurun Kondisi ini tentu sangat menyusahkan

masyarakat yang berdaya beli rendah Lebih parah, hal tersebut dapat menciptakan situasi keos di masyarakat

Besarnya kenaikan harga BBM dapat mempengaruhi

besarnya kenaikan inflasi di Indonesia, mengingat peran BBM yang begitu vital. Oleh karena itu, seharusnya

pemerintah membuat kebijakan yang sebisa mungkin win win solution dengan masyarakat. Penghapus atau

pengurangan subsidi BBM harus dilaksanakan secara bertahap dan juga harus memperhatikan kondisi masyarakat. Selain itu, yang paling penting adalah kenaikan harga BBM harus dibarengi dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Hal tersebut sesuai dengan tafsir Pasal 33 ayat (3). Kenaikan harga BBM yang besar dan terjadi dalam waktu singkat merupakan langkah yang sembrono. Selain itu, perlu dilakukan perhitungan yang cermat oleh pemerintah mengenai perbandingan cost dan benefit dari menaikan harga BBM di kala harga minyak sedang anjlok karena sejatinya norma dikatakan baik apabila berisikan kebahagiaan yang dirasakan oleh masyarakat dominan.

20 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

KONTRADIKSI DAN

KONSEKUENSI PENAFSIRAN

MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP PERSYARATAN PEMILU

Penafsiran Mahkamah Konstitusi

Perpolitikan Indonesia kini tengah diterpa kontroversi baru setelah beberapa waktu lalu Mahkamah Konstitusi (MK) melakukan penafsiran baru Penafsiran tersebut menyangkut persyaratan bagi pejabat negara untuk mengundurkan diri ketika hendak mencalonkan diri sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut dengan UU Pemilu) yang berbunyi:

“Pejabat negara yang dicalonkan oleh Partai Politik Peserta

Pemilu atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan anggota DPR, Pimpinan dan anggota DPD, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota ”

Selanjutnya perlu diketahui yang dimaksud dengan “pejabat negara” dalam pasal di atas apabila melihat Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu salah satunya adalah menteri dan pejabat setingkat menteri Maka dapat disimpulkan bahwa apabila menteri dan pejabat setingkat menteri ingin mencalonkan diri sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden harus mengundurkan diri terlebih dahulu dari jabatannya.

21 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD
Oleh: Nadira Karisma Ramadanti

Penafsiran yang dilakukan oleh MK tertuang dalam

amar Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022 yang

dibacakan oleh Ketua MK Anwar Usman dalam

sidang yang digelar pada Senin 31 Oktober 2022 di Ruang Sidang Pleno MK. Penafsiran ini dilatarbelakangi oleh adanya pemohon, yakni Partai

Garda Perubahan Indonesia (Partai Garuda) yang

memohon atas dasar salah satu fungsi MK dalam

kewenangannya menguji Undang-Undang terhadap

UUD 1945 yaitu MK sebagai Pengawal Konstitusi, Penafsir Akhir Konstitusi, Pengawal Demokrasi, Pelindung Hak Konstitusional Warga Negara, dan Pelindung Hak Asasi Manusia Pemohon beralasan

bahwa dalam kehidupan berdemokrasi melalui pemilihan umum sangatlah wajar apabila kader

terbaik dari partai politik ditunjuk dan diangkat oleh

Presiden terpilih untuk menduduki jabatan menteri

Termasuk juga Menteri tersebut dicalonkan oleh partai politik sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden dalam pemilihan umum.

Alasan lain yang menjadi pertimbangan pemohon adalah menegakkan hak asasi manusia dan menghilangkan praktik diskriminatif manakala menteri harus mengundurkan diri terlebih dahulu apabila ingin mencalonkan diri. Sedangkan Presiden tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya ketika mencalonkan diri kembali untuk menjaga stabilitas dan keberlangsungan pemerintahan padahal keduanya masuk ke dalam rumpun kekuasaan eksekutif.

Perlu dikritisi bahwa ada beberapa syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pemohon dalam pengujian konstitusional. Syarat ini menjadi legal standing agar permohonan berperkara di MK dapat diterima Beberapa syarat terkait yaitu adanya kerugian dari pemohon karena berlakunya suatu undang-undang dan adanya hubungan sebab akibat antara kerugian dan berlakunya suatu undangundang Partai Garuda tidak terdampak kerugian secara langsung akibat adanya persyaratan yang diatur dalam UU Pemilu ini karena tidak ada satupun kader dari Partai Garuda yang menduduki jabatan menteri.

Namun dalam putusan MK Nomor 35/PUUXII/2014 menyatakan bahwa partai politik yang telah ambil bagian dan turut serta dalam pembahasan dan pengambilan keputusan secara institusional melalui perwakilannya di DPR atas pengesahan suatu Undang-Undang, tidak dapat mengajukan permohonan pengujian UndangUndang ke Mahkamah Konstitusi terhadap Undang-Undang tersebut. Pemohon yakni Partai Garuda sebagai Partai Politik “non-parlemen” sebelumnya tidak ikut membahas UU 7/2017 sehingga menurut MK, Partai Garuda memiliki legal standing untuk mengajukan uji konstitusi.

Pada akhirnya, MK dalam putusan a quo mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian dengan menambahkan makna baru terhadap Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu yakni “termasuk menteri dan pejabat setingkat menteri, sepanjang menteri dan pejabat setingkat menteri mendapatkan persetujuan dan izin cuti dari Presiden”. MK pun memberikan pemaknaan terhadap Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu yakni menghilangkan frasa “menteri atau pejabat setingkat” sehingga hal ini berarti menteri dan pejabat setingkat tidak lagi terikat pada persyaratan yang diatur oleh Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu.

22 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

Kontradiksi terhadap Prinsip Pemerintahan

Optimalisasi budaya demokrasi di tengah masyarakat yang menganut ideologi Pancasila sangatlah dibutuhkan bagi para pejabat sebagai bentuk kepekaan moral dan tanggung jawab politik. Bentuk kepekaan moral ini dapat dilihat dari perilaku dalam praktik etika politik bernegara Etika politik pada dasarnya memenuhi pemikiran teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab, objektif dan rasional. Dalam hal ini menteri kabinet tidak seharusnya terlibat secara aktif dalam proses politik negara karena menyalahi etika politik yang terkesan tidak bertanggung jawab. Praktik penyelenggaraan pemerintahan seharusnya tidak lagi hanya bertopang pada prinsip rule of law melainkan juga membutuhkan rule of ethics Hal ini diharapkan dapat meningkatkan iklim pemerintahan yang tidak sekedar memenuhi ritual demokrasi prosedural saja. Sistem demokrasi akan kuat manakalah sistem hukum dan etika dapat tegak dan dihormati secara bersamaan Tanggung jawab politik sudah seharusnya menjadi nilai yang tertanam di setiap diri para pejabat karena nilai ini bukanlah suatu nilai yang memerlukan sebuah aturan tertulis. Etika politik inilah yang menentukan apakah pemerintahan negara berjalan dengan penuh integritas.

Selain itu, Penafsiran MK terkait persyaratan Pemilu mempengaruhi sensibilitas para pejabat yang mengisi susunan tatanan negara. Di sisi lain, pejabat negara sudah sepatutnya memiliki sensibilitas yang tinggi dengan keadaan negara. Presiden Joko Widodo menyampaikan pentingnya sense of crisis yang harus dipegang oleh jajaran pemangku jabatan Presiden Joko Widodo meminta perencanaan yang baik dalam semua kebijakan Sense of crisis di sini dapat diartikan sebagai kepekaan, kewaspadaan, dan kesiapsiagaan yang telah direncanakan sebaik mungkin dalam menghadapi krisis yang dilakukan secara tangkas, tepat sasaran, dan tidak bertele-tele pada sebuah keputusan yang dilandaskan prinsip kemanusiaan dan saling menghargai. Dengan adanya perubahan melalui penafsiran ini pada dasarnya bertentangan dengan sense of crisis karena dapat menurunkan kinerja para menteri sehingga pemangku jabatan tidak bisa mengemban tanggung jawabnya secara optimal

Dengan demikian, penafsiran MK terkait persyaratan Pemilu yang menyebabkan menteri atau pejabat setingkat menteri tidak perlu mengundurkan diri ketika ingin mencalonkan diri bertentangan dengan nilai-nilai prinsipil dalam jalannya roda pemerintahan.

23 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Dampak terhadap Tatanan Negara

Perubahan rumusan Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu melalui penafsiran MK ini berdampak pada stabilitas keberlangsungan

pemerintah yang dapat

mempengaruhi berbagai aspek

kehidupan bernegara Konsep politik dan struktur politik yang

tidak tersistematik dengan baik

dapat mengundang political instability dalam tata

pemerintahan negara

Sebagaimana pendapat Claude

Ake dalam research notenya yakni an attempt to define political stability must begin by clarifying the concepts of politics and political structure Claude Ake menganggap upaya mendefinisikan kestabilan politik harus dimulai dengan

memperjelas konsep sekaligus

struktur politik itu sendiri Dengan munculnya political instability ini, terdapat beberapa dampak buruk

terhadap tatanan negara yang seharusnya menjadi perhatian.

1. Penyalahgunaan Kekuasaan

Dampak yang paling jelas akan timbul dari tidak perlunya menteri mengundurkan diri saat mencalonkan diri sebagai calon Presiden atau Wakil Presiden, yakni penyalahgunaan jabatan dan kewenangan oleh menteri dalam proses politik. menteri dalam susunan tata negara merupakan salah satu jabatan yang memiliki kedudukan dan kekuasaan yang cukup besar. Wewenang yang diberikan sebagai sarana untuk melaksanakan tugas, dipandang sebagai kekuasaan pribadi Karena itu dapat dipakai untuk kepentingan pribadi.

Berdasarkan laporan Lembaga

Survei Indonesia (LSI) terhadap survei mengenai Tantangan Reformasi Birokrasi pada tahun 2021 dengan sampel Pegawai Negeri Sipil (PNS) menghasilkan beberapa temuan Bentuk penyalahgunaan korupsi yang paling banyak terjadi di instansi pemerintah ialah menggunakan wewenang untuk kepentingan pribadi (26 2%), kemudian kerugian keuangan negara (22.8%), gratifikasi (19.9%), menerima suap (14 8%), sementara lainnya kurang dari

5% Faktor yang mempengaruhi

PNS menerima uang/hadiah di luar ketentuan paling besar adalah kurangnya pengawasan, kemudian kedekatan PNS dengan pihak yang memberi uang, dan ada campur tangan politik dari yang lebih berkuasa.

Dengan adanya kekuatan dari pihak yang lebih berkuasa ini, kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh menteri yang mencalonkan diri menjadi cukup tinggi dan dapat mengintervensi urusan pemerintahan yang menyangkut hajat khalayak banyak dengan upaya politisasi yang semata-mata hanya untuk kepentingan pribadi Potensi terbesar penyalahgunaan kekuasaan oleh menteri yang mencalonkan diri namun tidak mengundurkan diri, yakni menjadikan lingkungan kerjanya sebagai sarana untuk melakukan kampanye atau kepentingankepentingan lainnya di luar lingkup tugas dan wewenang yang seharusnya Kekuasaan yang tidak terkendali akan menjadi semakin sewenang-wenang dan pada akhirnya berujung pada penyimpangan. Hal ini tentu saja dapat mengakibatkan suatu keadaan yang dapat mengganggu jalannya pemerintahan akibat mencampuradukkan tugas dan wewenang dengan upaya-upaya politik yang tidak berhubungan

24 Lex Scriptum KAJIAN POPULIS

2. Terganggunya Sektor Pemerintahan

Dampak yang juga tentu saja dapat terjadi yaitu terganggunya stabilitas pemerintahan yang direpresentasikan oleh kementerian Dengan adanya penafsiran oleh MK dan turunnya optimalisasi kerja para pejabat kabinet dapat menghambat semua sektor pemerintahan yang seharusnya berjalan dengan lancar apalagi di tengah rentannya krisis dan permasalahan sosial lainnya. Kementerian yang ada di negara merupakan badan-badan yang mengurus segala aspek vital dalam negara, hal ini tercermin dari banyaknya jumlah kementerian di Indonesia yang mencapai 30 kementerian. Semua badan kementerian ini tidak bisa dikesampingkan secara fungsinya dikarenakan luasnya kepentingan-kepentingan yang harus diatur secara spesifik melalui pembagian sektor-sektornya

Bayangkan apabila para menteri yang membawahi urusan-urusan penting ini justru menggunakan kesempatan untuk penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Sebagai salah satu contoh, perekonomian Indonesia terancam ikut dalam arus resesi yang tengah digembar-gemborkan oleh masyarakat dunia. Isu resesi ekonomi ini membutuhkan perhatian lebih oleh para pemegang kebijakan agar negara tidak terjatuh dalam lubang kehancuran hanya karena kinerja yang tidak fokus dan mementingkan kepentingan lain. Tak hanya itu, aspek lain seperti komunikasi, kesehatan, pertahanan, perindustrian, dan aspek lainnya juga dapat terancam akibat kinerja para menteri yang tidak optimal lagi

3. Hilangnya Independensi terhadap Kebijakan Pemerintah

Independensi diartikan sebagai keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain, tidak tergantung pada orang lain Pemerintah dalam pelaksanaan kebijakannya harus sepenuhnya dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas Hal ini membutuhkan independensi agar kebijakan pemerintah yang seharusnya berorientasi kepada kebutuhan negara dapat terhindar dari campur tangan politik. Dengan adanya ketidakstabilan kinerja pemerintah akibat adanya penafsiran ini maka kebijakan pemerintah dapat dengan mudahnya kehilangan independensi. Akibat dari hilangnya independensi terhadap kebijakan pemerintah ini yaitu tugas dan kewajiban pemerintah akan dipengaruhi oleh pemangku jabatan yang menyalahgunakan kekuasaannya secara pribadi.

Kinerja pemerintah yang dicampuri oleh urusan politik dapat menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan yang menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan Hal ini disebabkan karena pemerintah dianggap sebagai suatu lembaga yang mengemban amanah masyarakat sipil untuk menjalankan urusan kenegaraan. Apabila amanah ini disalahgunakan sehingga mengenyampingkan tugas dan wewenang utama pejabat maka masyarakat akan sulit mempercayai pemerintah. Kepercayaan masyarakat merupakan salah satu komponen penting dalam perjalanan roda pemerintahan. Apabila antara masyarakat dan pemerintah tidak memiliki kepercayaan, maka akan timbul defence mechanism pada individu masyarakat. Teori Freud secara gamblang menjelaskan tentang defence mechanism atau mekanisme pertahanan diri sebagai bentuk dari ketidaksadaran individu dalam menghadapi realita Makna lain dari defence mechanism merupakan suatu keinginan seseorang untuk tidak menerima sesuatu yang tidak diinginkannya walaupun realitanya ada Apabila defence mechanism telah tertanam dalam setiap individu maka akan berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat pada pemerintah Sebagaimana M.J. Herskovits menyatakan bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan.

4. Potensi Hilangnya Indeks Kepercayaan Masyarakat terhadap Lembaga Pemerintahan
25 KAJIan populis linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

KESIMPULAN KESIMPULAN

mendapatkan perhatian lagi oleh pihak yang berwenang. Pemerintah sebagai tonggak jalannya negara sudah sepatutnya menimbang keputusan yang dikeluarkan agar tidak merugikan masyarakat untuk kepentingan pribadi.

26 KAJIAN POPULIS Lex Scriptum

Privatisasi Ruang Publik:

Menilik Problematika Pengurangan Hak Masyarakat terhadap Akses Ruang Publik

Dinamika sosial saat ini menunjukkan

bahwa eksistensi ruang memegang

kedudukan penting untuk menunjang

pemenuhan aktivitas sosial masyarakat.

Kedudukan ini berangkat dari hakikat ruang

sebagai elemen geografis yang saling

berkaitan dengan elemen sosial atau dapat

pula dikatakan sebagai adanya hubungan

timbal balik antara ruang dengan kehidupan

masyarakat Sangkut paut antara dimensi geografis dan sosial mengakibatkan elemen

ruang kian hari dibutuhkan oleh masyarakat demi menunjang kebutuhan hidup, baik secara jasmani maupun rohani. Namun, apabila menilik fakta di lapangan saat ini, sejatinya terjadi peningkatan kebutuhan terhadap ketersediaan ruang, mengingat geografis ruang bersifat statis sedangkan pertumbuhan jumlah manusia bersifat dinamis. Terlebih, peningkatan kebutuhan ruang akan tampak sangat nyata apabila pemanfaatan ruang tersebut tidak sebagaimana mestinya dengan perencanaan tujuan pembangunan ruang

Oleh: Emillia Isni Maulidina
28 Lex Scriptum PERSPEKTIF KAJIAN

Kilas balik terhadap Peristiwa

Pembangunan Hutan Kota

GBK

Kilas balik terhadap peristiwa

pembangunan Hutan Kota GBK yang

dicanangkan akan menjadi taman kota publik layaknya Central Park di New York City. Hutan Kota GBK merupakan area

terbuka hijau, lahan konservasi, dan paruparu kota DKI Jakarta yang dibangun di atas lahan seluas 4,5 hektar Pada implementasi pembangunannya, terdapat

dua pihak yang turut andil dalam proyek

pembangunan Hutan Kota GBK, yakni

Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung

Karno dengan pengelolaan lahan seluas

1,3 hektar, serta Plataran Indonesia

sebagai pihak swasta dengan pengelolaan

lahan seluas 3,2 hektar. Keikutsertaan

Plataran Indonesia dalam proyek

pembangunan tersebut mengakibatkan

sebagian lahan Hutan Kota GBK menjadi

area komersial bagi konsumen premium

atau masyarakat kelas menengah ke atas, seperti fasilitas restoran kelas

internasional yang berkarakter eksklusif dan berbayar. Menilik dari sudut pandang

tata ruang, sejatinya keterlibatan pihak

swasta dalam pembangunan Hutan Kota

GBK mengakibatkan problematika krusial

pada tata ruang perkotaan, yakni

terjadinya privatisasi ruang publik Hal ini

disebabkan Hutan Kota GBK tidak akan

seutuhnya ditujukan sebagai taman kota publik yang dapat diakses oleh seluruh kalangan masyarakat.

Persoalan privatisasi ruang publik memang masih terdengar asing bagi sebagian kalangan masyarakat, namun sejatinya eksistensi fenomena tersebut telah menjadi perhatian bagi pengamat tata kota, penentu kebijakan rencana kota, dan anggota masyarakat lain yang terkait. Oleh karena itu, berkaca pada penjelasan tersebut, maka kajian ini akan berfokus untuk membahas eksistensi ruang publik dalam realitas sosial, serta problematika fenomena privatisasi ruang publik melalui kacamata aspek hukum.

Eksistensi Ruang Publik dalam

Realitas Sosial

Pengertian ruang menurut Pasal 1 Angka

1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU Penataan Ruang) adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Merujuk pada definisi tersebut, maka salah satu unsur pada tata ruang darat adalah ruang perkotaan yang didalamnya meliputi ruang publik

Gagasan ruang publik menurut Stephen Carr, dkk. adalah suatu ruang yang dimiliki secara kolektif untuk melakukan aktivitas sosial dalam ikatan komunitas. Berkaca pada definisi tersebut, maka menurut Purwanto (2008), terdapat beberapa elemen yang harus dipahami mengenai ruang publik Pertama, kedudukan ruang publik tidak dapat dipisahkan dari dinamika sosial karena ditujukan sebagai ruang interaksi antar masyarakat untuk berbagai tujuan, baik individu maupun kelompok. Kedua, ruang publik memiliki sifat dapat dimanfaatkan oleh seluruh anggota masyarakat yang membutuhkan atau aksesibel tanpa terkecuali. Ketiga, pengadaan ruang publik sepatutnya turut mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi seluruh lapisan masyarakat atau universalitas Keempat, kepublikan merupakan makna daripada kedudukan ruang publik dalam sistem sosial karena elemen kepublikan membuktikan adanya

29 PERSPEKTIF KAJIAN linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

tingkat kolektivitas tertentu. Dengan demikian, menjadi terang bahwasannya esensi ruang publik yang ideal bukan hanya elemen tiga dimensi geometri saja, tetapi memiliki makna penting sebagai wadah interaksi sosial masyarakat perkotaan.

Demi mewujudkan pembangunan ruang publik yang ideal dalam realitas kehidupan bermasyarakat, maka sejatinya dibutuhkan instrumen hukum berupa serangkaian sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang Ketiga sistem proses ini harus saling tersinergi dan terintegrasi satu sama lain demi mencapai realisasi pembangunan ruang yang optimal dan berkelanjutan secara ekologi, ekonomi, dan sosial Hal ini dilandasi dengan Pasal 2 UU Penataan Ruang dimana penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas keterpaduan dan keberlanjutan. Oleh karena itu, kebijakan perencanaan dan pemanfaatan ruang publik sekalipun tidak dapat dipisahkan dari tatanan norma hukum untuk mengatur pelaksanaan dan penyelenggaraan pembangunan ruang publik yang ideal dan optimal. Hal ini tentu saja semata-mata agar esensi dari kedudukan ruang publik dalam realitas sosial tidak hilang Lantas, bagaimana dengan ruang publik yang diprivatisasi oleh pihak swasta? Bagaimana solusi problematika tata ruang kota tersebut melalui sudut pandang hukum?

Fenomena Privatisasi Ruang Publik di Indonesia

Privatisasi ruang publik secara sederhana dapat dikatakan sebagai upaya perubahan kepemilikan dari ruang publik menjadi ruang privat atau ketika kegiatan komersial sebagai karakter ruang privat masuk ke ruang publik. Peralihan ruang publik menjadi ruang privat ini kerap mengakibatkan problematika sosial yang sangat kompleks, seperti konflik pemanfaatan ruang. Salah satu contoh dari konflik tersebut dapat dilihat pada kasus privatisasi jalur pejalan kaki yang beralih fungsi menjadi tempat berdagang sektor informal di Kawasan Simpang Lima, Semarang Apabila

ditelaah secara seksama, dalam praktiknya eksistensi atau kehadiran para pedagang informal

di ruang publik dilakukan secara spontanitas tanpa direncanakan secara terintegrasi dalam perancangan kota Sehingga, keberadaan berikut aktivitas dari pedagang informal tersebut menjadi persoalan bagi anggota masyarakat lainnya yang mengalami pengurangan hak dan keterbatasan keleluasan untuk memanfaatkan jalur pejalan kaki Selain itu, dapat dipahami pula bahwa para pedagang informal tersebut melakukan privatisasi untuk kepentingan komersial diri sendiri dan mengorbankan kepentingan anggota masyarakat lain untuk mengakses jalur pejalan kaki yang ada Dengan demikian, privatisasi jalur pejalan kaki telah mengaburkan prinsip dan esensi ruang publik yang harus mengandung nilai demokratis. Makna dari nilai demokratis pada ruang publik adalah suatu ruang yang mampu melindungi hakhak kelompok pengguna, dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat dan memberi kebebasan dalam beraktivitas. Singkat kata, dapat dikatakan pula bahwa pada hakikatnya ruang publik adalah ruang milik bersama yang bebas dari kepentingan pribadi.

Kemudian, sebagaimana yang telah disebutkan di muka, bahwasannya ruang tidak hanya mencakup ruang darat, melainkan juga meliputi ruang udara Sehingga, pada realitanya terdapat pula privatisasi ruang publik di udara tepatnya media ruang luar di Kawasan Simpang Lima, Semarang. Hal ini dapat dilihat pada masyarakat pihak swasta yang memanfaatkan media iklan di udara sebagai tempat usaha, dan pemerintah daerah yang menyewakan ruang udara terbuka kepada perusahaan pemasang iklan dengan dalih untuk Pendapatan Asli Daerah. Dengan demikian, secara tidak langsung telah terjadi perampasan hak-hak masyarakat untuk dapat menikmati pandangan visual ruang kota yang indah. Selain itu, tindakan pemerintah daerah pun seolah-olah membiarkan praktik privatisasi-komersialisasi ruang publik di perkotaan semakin tumbuh subur Merespon praktik privatisasi ruang publik yang terjadi di Kawasan Simpang Lima, Semarang di atas, maka Penulis menarik benang merah bahwasanya telah terjadi pengurangan hak-hak masyarakat untuk menikmati nilai kemanfaatan daripada pembangunan ruang publik Padahal, secara jelas telah dinyatakan dalam

30 Lex Scriptum PERSPEKTIF KAJIAN

PERSPEKTIF KAJIAN

Pasal 60 huruf b UU Penataan Ruang bahwa setiap orang berhak untuk menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang. Artinya, masyarakat memiliki hak untuk mendapat manfaat langsung terhadap peningkatan sosial sebagai hasil dari penataan ruang. Kemudian, apabila berbicara mengenai hak, tentu tidak terlepas dari konteks penunaian kewajiban. Oleh karena itu, para pedagang informal, perusahaan pemasang iklan, dan bahkan pemerintah daerah sekalipun telah melanggar kewajiban penataan ruang.

Ruang Publik

Konflik pemanfaatan ruang akibat praktik privatisasi ruang publik sejatinya penting untuk menjadi perhatian bersama demi mewujudkan tata ruang kota yang berkelanjutan secara ekonomi dan sosial. Implementasi pembangunan Hutan Kota GBK yang secara jelas ditujukan sebagai ruang publik realitanya tidak memenuhi unsur dari hakikat dan esensi ruang publik dalam realitas sosial. Hal ini disebabkan terdapat elemen atau karakter privat yang turut masuk dalam pembangunan taman kota tersebut, antara lain restoran kelas internasional dan seluruh venue Hutan Kota Plataran yang berbasis komersial. Dengan demikian, hadirnya ruang privat di dalam taman kota sejatinya mengurangi luas ruang taman kota yang sungguh-sungguh ditujukan sebagai ruang publik, dan lebih daripada itu mengakibatkan konflik pengurangan hak masyarakat untuk mengakses taman kota publik di kawasan Hutan Kota GBK Pengelolaan taman kota yang dilakukan oleh pihak swasta sangat rentan menghilangkan esensi ruang publik yang sesungguhnya.

Fenomena privatisasi Hutan Kota GBK, praktik pedagang sektor informal di jalur pejalan kaki, serta pengusaha media iklan hanya segelintir contoh dari maraknya praktik privatisasi ruang publik di Indonesia. Oleh karena itu, demi mengurai problematika

krusial tata ruang kota tersebut dibutuhkan sinergitas dan kolaborasi di antara para stakeholder Pemangku kepentingan yang terkait antara lain, perencana kota, perancang tata kota, arsitek, Lembaga Swadaya Masyarakat yang memiliki perhatian khusus terhadap perencanaan, pembangunan, dan pengendalian pemanfaatan ruang publik, masyarakat umum yang menikmati hasil dari pembangunan ruang publik, komunitas masyarakat pelaku usaha, serta pemerintah yang berfungsi sebagai mediator dan pemegang kendali law enforcement

Selain bersandar kepada para pemangku kepentingan, sejatinya dibutuhkan pula perencanaan tata ruang publik yang komprehensif serta pengendalian pemanfaatan ruang yang tegas dan konsisten Hal ini ditujukan untuk menjamin agar pemanfaatan ruang atau lahan dapat tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Terkait pengendalian, terdapat 3 perangkat utama yang harus disiapkan, yakni: 1

Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Fungsi dari RDTR adalah sebagai dokumen operasionalisasi rencana tata ruang wilayah. Penyediaan RDTR dilaksanakan dengan memperhatikan beberapa prinsip dasar Pertama, rencana detail tata ruang harus langsung dapat diterapkan, sehingga rencana dan skala petanya menjadi benar-benar memadai. Kedua, rencana detail tata ruang harus memiliki kekuatan hukum yang mengikat untuk itu harus diamanatkan dalam Peraturan Daerah dan secara tegas dinyatakan sebagai bagian tak terpisahkan dari rencana tata ruang wilayah.

Peraturan Zonasi. Peraturan zonasi merupakan dokumen turunan dari RDTR yang berisi ketentuan yang harus diterapkan pada setiap zona peruntukan. Peraturan zonasi tersebut bersama dengan RDTR menjadi bagian ketentuan perizinan pemanfaatan ruang yang harus dipatuhi oleh pemanfaatan ruang Mekanisme Insentif-Disinsentif Pemberian Insentif kepada pemanfaatan ruang dimaksudkan untuk mendorong pemanfaatan ruang yang sesuai dengan rencana tata ruang Sebaliknya, penerapan perangkat disinsentif dimaksudkan untuk mencegah pemanfaatan ruang yang menyimpang dari ketentuan rencana tata ruang.

3 31
2.
linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Meninjau Pasal Bermasalah pada

Permenkominfo No. 5 tahun 2020:

ANCAMAN KEBEBASAN BERPENDAPAT DAN

PENYALAHGUNAAN DATA PRIBADI

Pada era globalisasi yang serba elektronik ini, aktivitas digital telah menjelma menjadi ruang kedua warga negara untuk menyimpan segala bentuk aktivitasnya, baik yang bersifat publik maupun privat. Kondisi demikian menjadikan platform media sosial menjamur dan berubah menjadi pusat peradaban baru bagi setiap orang. Berdasarkan Laporan terbaru dari agensi marketing We Are Social dan platform manajemen media sosial Hootsuite yang berjudul Digital 2021: The Latest Insights into The State of Digital mengungkap bahwa lebih dari separuh penduduk

Indonesia menjadi pengguna media sosial aktif Kurang lebih 170 juta orang dari total 274,9 juta penduduk di Indonesia, terkonfirmasi telah menggunakan media sosial. Data menarik lainnya adalah rata-rata orang Indonesia memiliki 10 akun media sosial per orang dimana 60 persen digunakan untuk bekerja, seperti menjalin relasi dan menjalankan bisnis Pada perkembangannya, lonjakan arus digital sebagai efek dominasi ekonomi, politik, sosial, dan budaya membuat variasi platform digital tersebut semakin menjamur.

32 Lex Scriptum PERSPEKTIF
KAJIAN

Menyikapi hal ini, pemerintah menghadirkan

Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 tentang

Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada para pelaku usaha di industri digital. Penerbitan peraturan ini diimajinasikan oleh pemerintah sebagai pemenuhan kebutuhan di dalam penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat, serta untuk melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3), Pasal 6 ayat (4), Pasal 97 ayat (5), Pasal 98 ayat (4), dan Pasal 101 Peraturan Pemerintah

Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Penyelenggara Sistem Elektronik (“PSE”) didefinisikan sebagai setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendirisendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain Pada dasarnya, PSE ini dibedakan menjadi dua, yaitu PSE lingkup publik dan PSE lingkup privat. PSE lingkup publik meliputi instansi dan institusi yang ditunjuk oleh instansi, sedangkan PSE lingkup privat meliputi:

PSE yang diatur atau diawasi oleh Kementerian atau Lembaga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;

PSE yang memiliki portal, situs atau aplikasi dalam jaringan melalui internet yang dipergunakan untuk:

Menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan penawaran dan/atau perdagangan barang dan/atau jasa; Menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan layanan transaksi keuangan; Pengiriman materi atau muatan digital berbayar melalui jaringan data baik dengan cara unduh melalui portal atau situs, pengiriman lewat surat elektronik, atau melalui aplikasi lain ke perangkat pengguna; Menyediakan, mengelola dan/atau mengoperasikan layanan komunikasi meliputi namun tidak terbatas pada pesan singkat, panggilan suara, panggilan video, surat elektronik dan percakapan dalam jaringan dalam bentuk platform digital, layanan jejaring dan media sosial;

Layanan mesin pencari, layanan penyediaan informasi elektronik yang berbentuk tulisan, suara, gambar, animasi, musik, video, film dan permainan atau kombinasi dari sebagian dan/atau seluruhnya; dan/atau

Pemrosesan Data Pribadi untuk kegiatan operasional melayani masyarakat yang terkait dengan aktivitas Transaksi Elektronik.

Kewajiban melakukan pendaftaran bagi PSE

Lingkup Privat dilakukan sebelum Sistem Elektronik mulai digunakan oleh Pengguna Sistem Elektronik

Pendaftaran ISP sebagai PSE Lingkup Privat dilaksanakan melalui perizinan yang diselenggarakan oleh Kementerian sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

Masyarakat dapat memberikan pengaduan/informasi terhadap PSE Lingkup Privat yang tidak melakukan kewajiban pendaftaran

Pada dasarnya, PSE dibentuk untuk memberikan regulasi dan memberikan kepastian hukum dalam sistem penyelenggaraan elektronik. Namun, di dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa pasal yang bermasalah dan berpeluang menimbulkan kerancuan serta kekhawatiran di tengah-tengah masyarakat elektronik. Apalagi pasal-pasal yang bermasalah ini adalah pasal-pasal yang sangat mengancam keberadaan Hak Asasi Manusia masyarakat Indonesia.

1
2. a. b.
c. d e f.
1 2 3. 4 5 33 PERSPEKTIF KAJIAN linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Klausula Abstrak yang Berpeluang

Menghambat

Hak Kebebasan

Berpendapat

Pasal 9 ayat 3 Permenkominfo

menjelaskan bahwa :

“PSE Lingkup Privat wajib

memastikan: (a) Sistem

Elektroniknya tidak memuat informasi Elektronik dan/atau

Dokumen elektronik yang dilarang; dan (b) Sistem

Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebaran Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilarang”.

Selanjutnya mengenai klasifikasi

“Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang dilarang” dijelaskan di dalam

Pasal 9 ayat 4 :

“Informasi Elektronik dan/atau

Dokumen Elektronik yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan klasifikasi: (a) melanggar ketentuan peraturan perundangundangan; (b) meresahkan

masyarakat dan mengganggu ketertiban umum; dan (c) memberitahukan cara atau menyediakan akses terhadap

Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang dilarang”.

Berdasarkan pasal tersebut terdapat klausula “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”.

Jika kita analisis lebih dalam, penggunaan klausa semacam ini tanpa disertai dengan penjelasan konkret akan menimbulkan penafsiran yang luas. Sejatinya, klausa ini adalah suatu hal yang bersifat subjektif dan sangat berbahaya jika dimasukkan ke dalam sebuah aturan hukum mengingat setiap orang memiliki subjektivitas yang berbeda-beda Inilah yang menjadi dilema bagi para pengusaha lingkup privat untuk mendaftarkan perusahaan mereka atau tidak. Namun, jika mereka tidak mendaftarkan perusahaan mereka, mereka akan mendapatkan sanksi administratif sebagaimana yang dijelaskan

dalam Pasal 7 ayat (1) dan (2) Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 :

(1) Menteri mengenakan sanksi administratif kepada PSE Lingkup Privat yang:

a. tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 2 dan Pasal 4;

b. telah mempunyai tanda daftar tetapi tidak melaporkan perubahan terhadap informasi pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5;

c. tidak memberikan informasi pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pasal 3 ayat (4), dan Pasal 4 ayat

(2) dengan benar.

(2) Dalam hal PSE Lingkup Privat tidak melakukan pendaftaran sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) huruf a, Menteri memberikan sanksi administratif berupa

Pemutusan Akses terhadap

Sistem Elektronik (access blocking).

Adapun sanksi administratif yang dimaksud sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 :

1. Menteri dapat mengenakan sanksi administratif kepada PSE Lingkup Privat berdasarkan permohonan dari Kementerian atau Lembaga atas dasar pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Kementerian atau Lembaga yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Dalam hal sanksi administratif yang diberikan kepada PSE Lingkup Privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Pemutusan Akses terhadap

Sistem Elektronik (access blocking), Menteri melakukan normalisasi berdasarkan pengajuan rekomendasi oleh

Kementerian atau Lembaga atas dasar layanan PSE lingkup privat yang telah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan

Lex Scriptum 34 PERSPEKTIF KAJIAN

Jika kita perhatikan lebih detail, pasal ini mengandung klausula yang berpeluang besar untuk terciptanya sifat represif dari pemerintah Di dalam pasal tersebut, terdapat klausula yang menyatakan “berdasarkan permohonan dari kementerian atau lembaga yang memiliki wewenang” Inilah yang sangat rawan disalahgunakan oleh para pihak yang berkepentingan dalam hal ini untuk membungkam hak kebebasan berpendapat di dalam sistem elektronik. Jika pemerintah tidak setuju dengan kritikan dan saran yang dipublikasi di dalam suatu PSE lingkup privat, maka pemerintah dengan sangat mudah memberikan sanksi administrasi berupa access blocking kepada PSE lingkup privat tersebut dengan dalih “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu kepentingan umum”

Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan

amanat Pasal 28 E ayat (3) UUD 1945 tentang Hak Asasi Manusia “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Menurut hipotesis John Locke, Hak Asasi Manusia merupakan hak-hak individu yang sifatnya kodrati dan dimiliki oleh setiap insan sejak ia lahir Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum dijelaskan bahwa “Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku.”

Sejatinya kebebasan berpendapat adalah bagian dari demokrasi. Menurut Hans Kelsen, demokrasi yang kuat adalah yang bersumber pada kehendak rakyat dan bertujuan untuk mencapai kebaikan atau kemaslahatan bersama dimana demokrasi pada dasarnya berasal dari kebebasan yang berada dalam benak manusia. Selain itu, mengutip teori Jean Jacques Rousseau, demokrasi adalah sebuah tahapan atau sebuah proses yang harus dilalui oleh sebuah negara untuk mendapatkan kesejahteraan. Penyampaian pendapat merupakan dasar hak warga negara dalam menyampaikan keluh kesah warganya demi kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan. Sehingga, terdapatnya klausula pasal Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 yang melanggar hak kebebasan berpendapat sejatinya

telah melanggar Hak Asasi Manusia dan melanggar prinsip demokrasi.

35 PERSPEKTIF KAJIAN linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

Pasal Riskan untuk Terjadinya Penyalahgunaan Data Pribadi

Pasal 21 ayat (1) dan (2) Permenkominfo menyatakan :

(1) PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Kementerian atau Lembaga dalam rangka pengawasan sesuai dengan peraturan perundangundangan.

(2) PSE Lingkup Privat wajib memberikan akses terhadap Sistem Elektronik dan/atau Data Elektronik kepada Aparat Penegak Hukum dalam rangka penegakan hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Selanjutnya, Pasal 39 ayat (1) : PSE Lingkup Privat memberikan akses terhadap Sistem Elektronik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum dalam hal permintaan tersebut disampaikan secara resmi kepada Narahubung PSE Lingkup Privat.

Adapun proses pemberian akses PSE kepada Aparat Penegak Hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (4) : Pemberian akses terhadap Sistem Elektronik yang diminta oleh Aparat Penegak Hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilaksanakan melalui pemberian hasil pemeriksaan atau audit atas Sistem Elektronik yang ruang lingkup pemeriksaan atau auditnya diminta oleh Aparat Penegak Hukum.

Jika mengacu kepada beberapa pasal di atas, kita bisa melihat bahwa adanya intervensi langsung pemerintah untuk mengakses data pribadi pengguna yang terdapat pada PSE lingkup privat. Adanya aturan ini membuat pemerintah dalam hal ini aparat hukum berpeluang besar untuk mengakses data privasi masyarakat secara bebas Akses data pribadi yang tidak terbatas oleh pemerintah dalam PSE lingkup privat ini membuka peluang penyalahgunaan data pribadi yang cukup besar oleh pemerintah. Cakupan wewenang untuk mengakses data pribadi ini terlalu berlebihan sehingga menghadirkan risiko serius bagi hak kebebasan privasi, kebebasan berbicara, dan akses informasi para pengguna PSE lingkup privat di Indonesia.

36 Lex Scriptum PERSPEKTIF KAJIAN

Apalagi penjelasan data pribadi spesifik yang dimaksud di dalam pasal ini sangat absurd. Sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 1 ayat

(21) :

“Data Pribadi Spesifik adalah data dan informasi kesehatan, data biometrik, data genetika, kehidupan/orientasi seksual, pandangan politik, data anak, data keuangan pribadi, dan/atau data lainnya sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan ”

Berdasarkan hal ini, data pribadi yang

dimaksud terlalu berlebihan. Bahkan terdapat

klausula “orientasi seksual” dan “pandangan politik” yang tidak wajar untuk diakses dan diketahui oleh pemerintah Adanya klausula

“pandangan politik” di dalam sebuah pasal

terkesan aneh dan akan berpeluang

disalahgunakan

oleh pemerintah untuk kepentingan politik dalam hal ini melakukan upaya represif terhadap masyarakat agar memiliki pemahaman politik yang sama Secara singkat, pasal ini akan berpeluang untuk dijadikan sebagai senjata “electronic social control” oleh pemerintah terhadap masyarakat di ranah sistem elektronik. Padahal, perlindungan data pribadi merupakan salah satu wujud dari hak privasi sebagaimana telah diatur dalam Pasal 26 ayat (1) UndangUndang Nomor 19 Tahun 2016 bahwa hak ini mencakup hak menikmati kehidupan pribadi dan terbebas dari segala macam gangguan, hak untuk berkomunikasi dengan orang lain tanpa maksud mencurigai, dan hak mengawasi akses informasi tentang kehidupan pribadi.

Sejatinya Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 juga telah menjamin bahwa hak privasi merupakan salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang menentukan bahwa “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”. Lebih lanjut, di dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang telah disahkan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights juga menegaskan terkait kewajiban pemerintah Indonesia untuk melindungi privasi dan data pribadi warga negaranya Sehingga, adanya kehadiran pasal bermasalah di Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020 akan sangat mengancam privasi dan berpeluang terjadinya penyalahgunaan data pribadi masyarakat pengguna PSE lingkup privat oleh pemerintah. .

37 PERSPEKTIF KAJIAN linktr.ee/PLEADSFHUNPAD

EVALUASI DAN

SOLUSI UNTUK PERBAIKAN PASAL BERMASALAH

Berdasarkan kekhawatiran-kekhawatiran yang timbul dari keberadaan pasal kontroversial di dalam Permenkominfo

Nomor 5 Tahun 2020, pemerintah hendaknya melakukan revisi dan perbaikan terhadap pasal-pasal yang bermasalah tersebut. Pemerintah harus memberikan definisi yang jelas serta konkret untuk membatasi makna dari klausula “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu kepentingan umum” yang terdapat di dalam pasal tersebut. Revisi dan penjelasan secara konkret ini diperlukan guna terciptanya kepastian hukum di dalam masyarakat Indonesia, terutama bagi para pelaku PSE lingkup privat. Pemerintah juga hendaknya menjaga hak-hak warga negaranya, termasuk menjamin hak privasi warga negaranya aman dari penyalahgunaan. Apalagi penyalahgunaan tersebut berpulang besar dilakukan oleh pemerintah itu sendiri.

Selain itu, selama peraturan tersebut belum diperbaiki, pemerintah hendaknya tidak menyalahgunakan kekuasaannya menggunakan peraturan ini untuk mengintervensi arus informasi di PSE lingkup privat Pemerintah harus terus menjaga hak kebebasan berpendapat di Indonesia. Perwujudan kehendak warga negara secara bebas dalam menyampaikan pikiran secara lisan, tulisan dan sebagainya harus tetap dipelihara agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.

38 Lex Scriptum PERSPEKTIF KAJIAN

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
SCRIPTUM: Verba Volant, Scripta Manent Vol. 2 Jilid 2 by PLEADS FH Unpad - Issuu