Bestari Edisi 269/Desember/2010

Page 17

BESTARI No. 269/TH.XXIII/Desember/2010

PERNIK MALANG

17

Sejak 1937 Belum Ada Pemugaran Lagi Nama Sumberawan diduga berasal dari nama desa lokasi candi, Sumberawan. Akan tetapi, ada juga yang menganalisis bahwa nama Sumberawan berasal dari kata sumber (mata air) dan rawan (rawa-rawa atau telaga). Hal ini karena di dekat stupa tersebut banyak sumber air yang terkumpul membentuk rawan. Dulu, penduduk sekitar menyebutnya sebagai candi Rawan. Sementara itu, para ahli purbakala memperkirakan Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan atau “taman bidadari”, sebuah nama yang terkenal dalam kitab Negarakertagama. Tempat tersebut telah dikunjungi Hayam Wuruk pada tahun 1359 Masehi sewaktu ia mengadakan perjalanan keliling. Dari bentuk-bentuk yang tertulis pada bagian batur dan dagoba (stupa), dapat diperkirakan bahwa bangunan Candi Sumberawan didirikan sekitar abad 14 sampai 15 Masehi yaitu pada periode Majapahit. Bentuk stupa pada Candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan yang bersifat Buddisme. Candi Sumberawan pertama kali ditemukan pada tahun 1904 oleh penduduk pribumi setempat. Kemudian, keberadaan candi ini dilaporkan kepada pemerintahan Hindia Belanda sehingga pada tahun 1904 baru disebut-sebut oleh orang Eropa (Belanda). Mulai tahun 1928, candi ini mendapat perhatian yang akhirnya mengarah pada upaya penggalian. Setelah itu, dilakukan perencanaan dan pembangunan kembali. Pada tahun 1935, Candi Sumberawan kembali dikunjungi oleh peneliti dari Dinas Purbakala. Pada tahun 1937, diadakan pemugaran pada bagian kaki candi, sedangkan sisanya direkonstruksi secara darurat. Pemugaran pada tahun tersebut dipimpin oleh seorang ahli

USIF L K S EK Mendengar nama Candi Sumberawan, bisa jadi tidak akan banyak bedanya dengan candi lainnya. Namun, candi pun ternyata memiliki ciri khusus yang membedakan apakah ia merupakan p e n i n gga l a n s u a t u

purbakala dari jawatan purbakala Hindia Belanda yaitu Ir. Van Rosomonoh. Sampai sekarang belum ada pemugaran untuk yang kedua kalinya. Berdasarkan penelitian dan penggalian pada 1935-1937 tersebut, tidak ditemukan benda apapun di dalam bangunan stupanya maupun di bawah tanah. Memang, di tubuh stupa itu tidak didapatkan rongga atau ruang di dalamnya. Dengan demikian, fungsinya tidak dapat dikatakan sebagai tempat penyimpanan tulang belulang dan abu jenazah para bhiksu atau tidak dapat disebut sebagai datugarbha (stupa). Para peneliti tersebut menduga fungsi Stupa Sumberawan adalah sebagai lambang suci agama

deden / Bestari

Simbol Religius: Tempat pemujaan umat beragama Budha pada jaman dahulu yang terletak di komplek candi Sumberawan.

B dh yang di b h d Budha dianggap bertuah dan memiliki kekuatan gaib. Simbol Religius Dalam perkembangannya di Jawa, bangunan-bangunan suci agama Hindu maupun Budha fungsinya seringkali disesuaikan dengan kebutuhan setempat. Umumnya fungsi tersebut berkenaan dengan hal-hal yang bersifat religius ataupun magis. Pembagian dhatu pada stupa Sumberawan (termasuk pada Candi Borobudur di Magelang) berkonsep pada gambaran stupa secara teknis yang mempunyai bentuk dari bawah ke atas antara lain kamadhatu, rupadhatu dan arupadhatu. Kamadhatu digambarkan dengan

ba bangunan paling dasar berbentuk segi da em empat. Bangunan ini be bermakna alam bawah at atau alam dunia yang m masih dikuasai oleh ke keinginan-keinginan yang rendah, yaitu dunia manusia biasa. Rupadhatu digambarkan bangunan berbentuk segi delapan. Bangunan ini bermakna dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari ikatan nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Dalam hal ini adalah dunianya orang suci dan merupakan alam antara yang memisahkan alam atas dengan alam bawah. Sementara itu, arupadhatu yang digambarkan bangunan berbentuk lingkaran bermakna alam atas atau nirwana yaitu tempat kebebasan mutlak telah tercapai. Makna bebas dari keinginan dan bebas dari ikatan bentuk dan rupa ini digambarkan dengan tidak adanya relief. Inti makna dari tingkatan

bangunan stupa adalah menuju kepada kesempurnaan hidup dan bersatu dengan zat yang tanpa awal dan tanpa akhir (digambarkan dalam bentuk lingkaran). Menurut pengelola sekaligus juru kunci Candi Sumberawan, Nuryadi, ada dua tempat di wilayah situs yang melambangkan tempat beribadatan agama Budha tersebut, yakni pemandian Ken Dedes dan Ken Arok. Lokasi pemandian yang terpisah itu sampai saat ini masih terpelihara. Menurut Nuryadi, air tersebut dijadikan sebagai alat atau media transformasi untuk mensucikan atau air amerta. Amerta dalam bahasa Sansekerta diartikan sebagai air yang tidak mati. Konsep ini diambil dari India yang pada jaman duhulu menurut cerita terdapat Gunung Mandara dan Samudra Mantana yang menjadi perpaduan air amerta yang diperebutkan para Dewa. Konon katanya, siapa saja yang meminum air amerta itu tidak akan bisa mati atau kekal selama-

lamanya sehingga Candi Sumberawan diibaratkan sebagai Gunung Mandara dan sumber airnya diibaratkan sebagai Samudra Mantana. Oleh karena itu, air tersebut memberi sumber penghidupan seperti pertanian, kebutuhan air minum, dan juga sebagai sarana beribadah. “Sumber air ini yang terbesar di sini dan 90% digunakan masyarakat daerah Singosari,” ungkapnya. Setiap Waisak, pemeluk agama Budha berkunjung ke Candi Sumberawan untuk melakukan ritual kelahiran kehidupan Sang Budha. “Akan tetapi agama Hindu juga pernah melakukan ritual di candi dan orang kejawen pun hampir setiap hari dan malam suro melakukan ritual di sini. Bentuk pemujaan orang Budha disebut paradaksina yaitu mengelilingi candi sebanyak tiga kali, sedangkan pada orang kejawen bentuk pemujaannya biasa disebut ngelilingi jagat sebanyak tujuh kali dan membawa dupa serta bunga,” tambahnya di sela-sela menerima tamu yang lain. fbr/p_stw

Sebisa Mungkin Perlu Direvitalisasi agama dan kepercayaan tertentu. Berikut hasil wawancara reporter Bestari, Isna Hidayati Effendi dengan salah satu sejarawan Malang, Drs. Ismail Lutfi. Seberapa jauh latar belakang didirikannya Candi Sumberawan dapat ditelisik sejarawan? Para sejarawan belum bisa memastikan apa yang melatarbelakangi terbangunnya Candi Sumberawan. Namun, menurut informasi dalam kitab Negarakertagama candi ini pernah dikunjungi Hayam Wuruk, raja keempat Kerajaan Majapahit, pada abad ke-14 M. Berarti perkiraan pembangunan Candi Sumberawan sekitar abad 13 M atau sebelum itu. Pada periode Singosari, masyarakatnya menganut agama Budha dan Siwa (Hindu). Jadi, tidak mengherankan jika dibangun sebuah candi yang

deden / Bestari

Ismail Lutfi

berbentuk stupa sebagai tempat peribadatan. Pada waktu itu Kerajaan Singosari mencapai puncak kejayaan yang ditandai dengan banyaknya tempat peribadatan umat Budha dan Hindu. Hal itu terbukti dengan berdirinya candi-candi sebagai pusat kegiatan keagamaan. Itu pula yang mendorong masyarakat kala itu untuk menghasilkan seni pahat berupa arca-arca. Bahkan, arca-arca tersebut juga dikirim ke Melayu seperti arca Paramitha dan Bairawa. Bagaimana cerita ditemukannya candi kembali? Awal mula ditemukan kembali berupa reruntuhan. Saat itu Indonesia masih di bawah pemerintahan kolonial Belanda. Setelah diteliti oleh Dinas Purbakala ternyata candi tersebut berbentuk stupa tunggal yang menandakan latar belakang keagamaan Budha. Restorasi yang berarti pembangunan kembali ke bentuk semula dilakukan sekitar abad ke 20 M. Namun restorasi tersebut tidak penuh karena banyak batu yang belum ditemukan sehingga sejauh ini upaya yang dilakukan hanya sebatas pemeliharaan dan penjagaan. Kalau dari bentuknya, bagaimana struktur Candi Sumberawan? Ada empat komponen stupa. Stupa sendiri merupakan simbol dari kehadiran Sang Budha yakni Sidharta Gautama. Komponen tertinggi disebut chattra yang bermakna payung

Sang Budha. Komponen kedua bernama harmika yang menunjukkan tongkat Sang Budha, komponen di bawahnya disebut anda menunjukkan tempurung yang dipakai sebagai alat makan Sang Budha. Sementara itu, komponen paling bawah dinamakan pelipit atau dasar sebagai simbol alas Sang Budha. Sejauh ini, bagaimana Bapak melihat peran pemerintah? Kabupaten Malang memiliki 20 situs purbakala, dengan 13 candi, satu museum, dan enam situs lain. Kabupaten Malang tidak ada konsentrasi pengembangan dan pelestarian situs seperti halnya yang ada di Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Perhatian pemerintah daerah sendiri saat ini sangat minim. Sebenarnya, pemerintah memandang Candi Sumberawan sebagai aset wisata budaya. Sayangnya, pandangan tersebut belum diimbangi dengan peran maksimal pemerintah terhadap peninggalan sejarah tersebut. Sampai sejauh ini, belum ada perhatian khusus kecuali saat ada hari-hari besar. Namun, perhatian justru datang dari Balai Penyelamat dan Peninggalan Purbakala (BP3) Trowulan Mojokerto yang notabene memiliki wilayah gerak untuk area Jawa Timur. BP3 tersebut mengirim juru pelihara yang senantiasa menjaga dan memelihara daerah Candi Sumberawan.

Bagaimana dengan Bapak sendiri selaku sejarawan? Candi Sumberawan masih menjadi teka-teki yang belum terjawab bagi sejarawan. Keberadaan Candi Sumberawan yang tidak jauh dari Candi Singosari yang berlatar belakang Siwa (Hindu) dapat menjadi petunjuk bahwa dua ajaran tersebut terdapat harmoni. Teka-teki lain yakni mengapa Candi Sumberawan letaknya jauh di daerah pegunungan sedangkan Candi Singosari berada di daerah pemukiman. Di samping itu, dengan keberadaan candi tersebut kita bisa melihat tingkat keberagamaan masyarakat pada zaman kuno yang dikenal sebagai bangsa religius. Candi tersebut tidak mungkin terbangun tanpa ada motivasi keagamaan yang tinggi, seperti halnya motivasi yang tinggi dalam mendatangkan batu ke atas bukit yang jauh dari pemukiman. Apa harapan Bapak? Sebisa mungkin dilestarikan dan bisa direvitalisasi. Candi Sumberawan dipandang sebagai sarana peribadatan umat Budha dan salah satu bentuk toleransi antar umat beragama sehingga bisa menjadi simbol dan menjauhkan dari hal-hal yang bersifat merusak.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.