Urgensi Kajian Tentang Keturunan Nabi Saw Ahmad Fadhil Kajian tentang kehidupan keturunan Nabi Muhammad saw secara objektif, akademis, dan ilmiah sangat penting. Pertama, setiap bangsasenantiasa memperhatikan kajian tentang orang-orang besar dalam sejarah mereka. Barat, misalnya, sangat memperhatikan pemikirpemikir mereka seperti Plato, Aristoteles, Descartes, Kant, dan lain-lain. Sebagai contoh, masa hidup Plato telah berlalu lebih dari 2200 tahun, saat tulisan masih sangat jarang sehingga para peneliti mendapat kesulitan oleh sedikitnya rujukan yang menerangkan figur ini. Meskipun demikian, Barat telah memproduksi banyak sekali riset, buku, artikel ... yang menceritakan biografi, pemikiran, dan pendapat tokoh ini. Keturunan Nabi Muhammad saw adalah orang-orang besar bagi umat Islam. Riwayat hidup dan perkataan mereka perlu diajarkan di pesantren-pesantren, perguruan-perguruan tinggi, dan tempat-tempat lainnya. Di berbagai perguruan tinggi terdapat banyak sekali ceramah, seminar, diskusi, sesi pelajaran untuk mengenalkan para pemikir. Para guru besar dan spesialis ditetapkan untuk mengajarkan kehidupan tokoh-tokoh dunia dan menjelaskan pemikiran dan pendapat mereka. Ada guru besar yang berspesialisasi Aristoteles, Heidegger, dan lain-lain. Apakah urgensi Aristoteles, Descartes, dan Heidegger dalam budaya kita—umat Islam—melebihi urgensi Nabi Muhammad saw dan keturunannya, para pemimpin agama kita? Apakah pemikiran mereka lebih mendalam dan sumbangan mereka bagi peradaban lebih besar daripada Nabi Muhammad saw, Ali bin Abu Thalib, al-Hasan, al-Husain ...? Setelah terjadinya Revolusi Rusia, kita melihat teori komunisme mempengaruhi budaya internasional hingga nyaris menguasai setengah dunia. Nyaris seluruh elemen budaya terpengaruhi oleh sastra dan pemikiran komunisme, bahkan novel, film, drama, ekonomi, politik, hubungan internasional, filsafat, serta bidang-bidang lainnya bercampur dengan komunisme yang telah menawarkan dirinya dan mengklaim adanya budaya komunisme. Tulisan ini tidak memenuhi tujuan besar mengangkat riwayat hidup dan pemikiran keturunan Nabi saw, melainkan hanya mengungkap beberapa fragmen dari kehidupan mereka. Al-Hasan Dan Al-Husain Mengajar Wudhu Di dalam kitab Thaharah ar-Ruh, h. 230-231, diceritakan bahwa pada suatu hari al-Hasan dan al-Husain, ketika masih kanak-kanak, melihat seseorang yang sudah tua sedang sibuk mengerjakan wudhu, tapi ia tidak mengetahui cara berwudhu dengan benar. Al-Hasan dan alHusain, meskipun masih kecil, menyadari bahwa ajaran agama yang sangat penting ini harus diajarkan kepada orang yang belum mengetahuinya. Tapi, pada saat itu tidak ada orang dewasa yang dapat mengajarkan orang itu, sehingga mereka memutuskan mereka sendiri yang akan melakukannya. Nah, bagaimana caranya? Jika dikatakan secara langsung kepada orang itu bahwa wudhunya salah, maka selain akan menyakitkan hatinya, juga akan memberikan dampak psikologis yang buruk pada dirinya tentang wudhu. Tambahan lagi, boleh jadi orang itu akan merasa diremehkan oleh anak kecil, lalu kesombongan menguasai hatinya, dan menolak apa yang diajarkan. Kedua anak itu berpikir bagaimana cara mengajari orang itu secara tidak langsung. Lalu mereka pun berkata-kata dengan suara keras. Salah seorang dari mereka berkata, “Wudhuku lebih baik dari wudhumu.” Yang lain berkata, “Tidak, wudhuku yang lebih baik dari wudhumu.” Lalu, mereka bersepakat untuk meminta orang tua itu yang memutuskan wudhu siapa yang lebih baik. Maka, mereka berwudhu dengan cara yang sempurna di hadapan orang tua tersebut. Setelah melihat wudhu kedua anak itu, dengan firasatnya, orang tua itu paham bagaimana cara berwudhu yang benar dan sadar bahwa mereka bermaksud mengajarinya. Ia sangat tersentuh oleh kecintaan, kelembutan, dan kecerdasan mereka. Ia berkata, “Wudhu kalian berdua sama-sama sempurna. Wudhu paman kalian inilah yang tidak benar. Dan, rasa cinta kalian kepada umat kakek kalianlah yang mendorong kalian untuk mengingatkan aku.” Bagaimanakah cara berwudhu yang benar? Asy-Syahid al-Muthahhari (Thaharah ar-Ruh, h. 229) mengatakan, kita tidak boleh tergesa-gesadalam mengerjakan wudhu. Kita harus meneladani wudhu Rasulullah saww. Dalam riwayat tentang wudhu yang dilakukan oleh Imam Ali as, ketika mulai mencuci tangan dengan air—disunnahkan memulai wudhu dengan mencuci tangan—Imam Ali as
1