Buletin Edisi Khusus Wisuda Ke-73 LPM ASPIRASI

Page 1


Karut-Marut Wajib TOEFL di Tengah

Tuntutan Akademik

Padabeberapa universitas di Indonesia, termasuk salah satunya di Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ), sertifikat hasil uji English Language Proficiency Test (ELPT) atau Test of English as a Foreign Language (TOEFL) merupakan salah satu hal terpenting yang harus dibawa bagi mahasiswa sebagai syarat kelulusannya.

Uji TOEFL dan ELPT dirancang sebagai alat ukur kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa. Melalui tes ini, mahasiswa dihadapkan pada empat aspek pengujian, yaitu mendengarkan, membaca, menulis, dan berbicara. Peran tes ini sangat penting, terutama bagi mahasiswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke tahap yang lebih tinggi atau sebagai pengantarnya dalam membangun jenjang karir pada dunia Industri. Selain itu, bagi universitas, tes ini berfungsi sebagai alat untuk memastikan bahwa lulusan almamaternya memiliki kompetensi berbahasa Inggris yang memadai, sehingga diharapkan dapat berkompetisi dalam dunia yang lebih luas.

Namun, di tengah urgensinya, uji tes ini melahirkan sebuah keluhan mahasiswa yang mengarah pada dugaan bahwa tes TOEFL di UPNVJ diduga sebagai ladang praktik keuangan oleh pihak kampus yang memanfaatkan posisinya dalam mengatur standar kelulusan setiap mahasiswa. Dugaan ini muncul menyusul dari hasil skor TOEFL pada beberapa mahasiswa yang nyaris mendekati pada batas minimum kelulusan. Ini mengharuskan mahasiswa untuk kembali melakukan tes berulang hingga mendapatkan skor yang cukup.

Selain itu, dugaan ladang praktik keuangan juga didasari pada pengadaan kursus yang dilakukan oleh Unit Penunjang Akademik (UPA) Bahasa. Pasalnya, beberapa mahasiswa bersaksi bahwasannya kursus yang diadakan oleh UPA Bahasa dinilai sebagai sebuah jalan tikus untuk meraih kelulusan pada uji tes tersebut. Pun selain dari hal tersebut, dugaan ini diperkuat dengan terbitnya Surat Edaran No. 24

Tahun 2024. Surat ini berisi himbauan bahwasannya pelaksanaan tes TOEFL ataupun ELPT hanya bisa dilaksanakan melalui UPA Bahasa UPNVJ. Menanggapi hal tersebut, UPA Bahasa beralasan bahwa penerapan kebijakan ini ditujukan untuk mencegah kecurangan dan pemalsuan sertifikat. Serta kursus yang diadakan hanya sebagai “pembantu dan pendamping” mahasiswa yang memerlukan pengajaran lebih. Namun, pembatasan yang ketat ini justru menimbulkan kecurigaan di kalangan mahasiswa bahwa kebijakan tersebut hanya menjadi alat untuk kepentingan finansial kampus. Dugaan bahwa tes TOEFL ini sengaja dijadikan kesempatan tersendiri bagi pihak kampus tidak bisa diabaikan begitu saja. Sebagai sebuah institusi pendidikan, seharusnya pihak kampus mengedepankan transparansi dalam segala hal, termasuk dalam proses penilaian dan penyelenggaraan tes. Jika ada ketidakadilan dalam pelaksanaan tes TOEFL, maka integritas universitas mesti dipertanyakan. Jika melihat pada perdebatan yang hadir, jelas bahwa terdapat masalah komunikasi dan transparansi yang kurang antara pihak kampus terkhusus UPA Bahasa dengan Keluarga Mahasiswa (KEMA) UPNVJ. Jika kebijakan ini memang ditujukan untuk memastikan keaslian tes dan integritas akademik, maka pihak kampus perlu membuka ruang komunikasi yang inklusif guna mengatasi keluhan mahasiswa dan menciptakan kebijakan yang adil serta tidak membebani mahasiswa secara berlebihan. Mahasiswa membutuhkan dukungan yang lebih nyata, bukan kebijakan yang dirasa menambah beban tanpa memberikan solusi yang jelas. Rektor dan pihak terkait dalam hal ini UPA Bahasa perlu mengevaluasi ulang kebijakan ini agar selaras dengan kebutuhan dan kemampuan mahasiswa, serta melakukan perbaikan melalui hasil dari evaluasi tersebut pada sistem dan struktur yang sebelumnya dirasa kurang mumpuni dan memihak mahasiswa.[]

Terbagi Dua Sesi, Wisuda ke-73 UPNVJ Berlangsung Meriah

Dinamika jumlah wisudawan yang mencapai 1.995 orang, mengharuskan wisuda ke-73 dibagi dalam dua sesi, namun tidak mengurangi semangat dan euforia para wisudawan untuk mencatat momen bersejarah di penghujung perjalanan mereka sebagai mahasiswa.

Oleh: Hanifah, Azaliya

Sinar

mentari pagi menyisir lembut wajah-wajah penuh harap yang tengah berbaris rapi. Hari ini, sebuah lembaran baru tengah dibuka oleh ribuan wisudawan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ). Balai Sidang Jakarta Convention Center (JCC) Senayan menjadi saksi bisu dari perayaan keberhasilan mereka.

Toga tersampir pada tubuh, berkibar dengan begitu anggun di setiap langkah kaki yang menjejak ke lantai marmer dengan mantap, seakan ikut merayakan kemenangan atas segala rintangan yang telah dilalui.

Di antara ratusan wisudawan yang hadir, Rika Wirasaputri, salah seorang wisudawati dari Fakultas Teknik (FT) prodi Teknik Industri, menginjakkan kaki di Senayan. Tatapan matanya berbinar, memantulkan segala sesuatu mengenai dirinya yang penuh semangat.

Rasa bahagia membumbung hingga tak terbendung. Sumringah. Perayaan wisuda yang jadi penantian panjang selama ia berkutat di bangku kuliah akhirnya terbayar lunas. Pen-

antian Rika akan momentum wisuda ini membuat pikirannya bagai kincir angin yang tak berhenti berputar di malam sebelumnya. Mengisi relung hatinya dengan beribu antusiasme.

“Sebenarnya aku malah lebih ke gak bisa tidur sih semalam, padahal aku gak tahu mikirin apa, excited iya tapi juga takut gitu loh,” ungkapnya kepada ASPIRASI saat diwawancarai pada Sabtu, (12/10).

Antusias Rika terpancarkan ketika ia menceritakan persiapannya untuk wisuda. Wanita cantik tersebut tampak begitu senang dengan senyum yang tak henti terulas pada wajahnya. Pukul 02.00 pagi Rika sudah terjaga walaupun ia baru mulai merias wajah, serta memakai kebaya coklat emasnya pada pukul 03.30. Setelah memastikan semua persiapan matang, ia bersama keluarga bergegas menuju JCC yang hanya berjarak dua puluh menit dari rumahnya. Sesampainya di sana, Rika akhirnya mengikuti dentingan jam delapan pagi yang mengiringi langkah bersama para wisudawan lain menuju aula.

Euforia Wisudawan Meriahkan Setiap

Aula wisuda berubah menjadi lautan manusia yang bergemuruh. Para wisudawan dengan toga yang terbentang, tampak seperti segerombolan kupu-kupu yang siap terbang bebas. Anter Venus selaku Rektor UPNVJ menyambut para wisudawan beserta keluarga yang turut hadir dalam momentum bersejarah ini.

“Saudara dapat menjadi bagian dari generasi yang kompeten, yang mampu mengisi bonus demografi yang menjadi berkah dan pintu masuk Indonesia menjadi negara maju 2045,” tutur Venus dalam pidato pembukaan di Aula JCC, Senayan pada Sabtu, (12/10).

Tepat pukul 08.56, suasana menjadi semakin khidmat saat rektor mulai melantik para wisudawan. Sebelumnya, pembacaan keputusan rektor tentang penetapan yudisium dan lantunan merdu hymne UPNVJ telah menghangatkan suasana.

Satu demi satu wisudawan dipanggil namanya. Tali toga mereka dipindahkan dari kiri ke kanan, melambangkan lepas jeratan kaki mereka dari kampus tercinta. Membawa pulang gelar Magister, Sarjana, ataupun Diploma.

Suasana semakin menghangat ketika salah seorang wisudawan dari Fakultas Ilmu Komputer (FIK), Rizky Yaomal Malik, maju ke podium sebagai perwakilan seluruh wisudawan hari itu untuk melisankan pidato terima kasih.

Laki-laki yang sekarang menyandang gelar sarjana tersebut mengajak wisudawan lain menundukkan kepala dan memeluk diri mereka. Ia melantunkan bentuk terima kasih kepada keluarga yang sudah mendukung.

“Teruntuk ayah, ibu, dan keluarga yang selalu mendukung kami. Kami persembahkan gelar ini untuk kalian,” ucapnya mendalam di depan para audiens pada Sabtu, (12/10).

Pengadaan Dua Sesi sebagai Respon

Atas Membludaknya Wisudawan

Gedung JCC hari itu dipenuhi dengan kebanggaan dan harapan, saat 1.995 wisudawan UPNVJ yang hadir dari berbagai fakultas memenuhi kursi dengan wajah penuh ambisi yang siap melangkah sebagai bagian dari generasi emas.

Di bawah sorot lampu dan tepuk tangan riuh, Anter Venus menyampaikan dengan lantang, “Ini wisudawan terbesar sepanjang UPN Veteran Jakarta berdiri,” lontar Venus diiringi tepukan meriah dari para wisudawan.

Namun, kebingungan sempat terlintas dalam benak wisudawan. Pasalnya edaran pembagian sesi wisuda baru diumumkan dua minggu sebelum acara. Terlebih kepastian penempatan waktu sesi untuk tiap fakultas belum diberikan. Salah satu wisudawati Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) prodi Hubungan Internasional, Nisyanti Yahya, turut melontarkan kebingungannya.

“Tapi yang masih agak bikin bertanya-tanya atau gambling gitu, ternyata ada dua sesi. Ada sesi pagi sama sesi siang,” tutur Nisya kepada ASPIRASI pada Selasa, (24/9). Keluhan hadir dari wisudawan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Maria Chantica, yaitu dalam distribusi informasi wisuda yang disebar oleh universitas terkesan kurang lengkap dan terpisah-pisah, tidak dalam satu edaran yang jelas.

Adanya pembagian sesi juga sempat mengejutkan Maria yang telah mempersiapkan banyak hal untuk persiapan wisuda.

“Pastinya udah ada planning misalkan kayak foto atau nanti makan sama keluarga dan MUA (Make Up Artist) kayak gitu-gitu. Kebanyakan akhirnya kita banyak reschedule gitu,” kata Maria kepada reporter ASPIRASI pada Sabtu, (5/10).

Hal itu juga dirasakan oleh wisudawan dari Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES) prodi Kesehatan Masyarakat, Dimas Heryunanto, yang mengharapkan ketepatan waktu atas informasi wisuda dan sosialisasi yang jelas dari pihak kampus.

“Mungkin itu sih lebih ke info-infonya kalau bisa merata ya, karena kan kalau di FIKES ini kebetulan kalau misalnya kita ngandelin info dari FIKES doang telat banget kan h-1 apa kita baru tahu,” pungkas Dimas kepada ASPIRASI di Ubin Coklat FEB pada Kamis, (3/10).

Wakil Rektor (Warek) III Bidang Kemahasiswaan dan Kerja Sama, Ria Maria Theresa, mengungkapkan alasan di balik pembagian wisuda tahun ini menjadi dua sesi karena melonjaknya jumlah wisudawan UPNVJ.

“Total wisudawannya terlalu banyak, jadi gak mungkin satu sesi. Tempatnya gak cukup, orang tuanya nanti gak cukup,” ucap Ria kepada ASPIRASI pada Jumat, (18/10).

Terlepas dari hiruk pikuk sebelum wisuda. Acara tahun ini berlangsung dengan lancar, susunan acara dilewati sesuai dengan susunan acara yang telah diatur. Berlangsung meriah dan memenuhi aula dengan haru biru dan euphoria yang membuncah.

“Soalnya kalau waktunya gak tepat nanti yang siang akan bergeser. Makanya semua harus on time, termasuk yang siang juga harus on time, kan ada batas waktu sewa,” tukas Ria.[]

Polemik Kebijakan ELPT & TOEFL Jadi Beban yang

Menghimpit Mahasiswa Akhir UPNVJ

Sebagian besar mahasiswa UPNVJ mengeluhkan kebijakan yang mengharuskan mereka mengikuti tes ELPT dan TOEFL sebagai syarat kelulusan di UPA Bahasa yang dinilai menyulitkan.

Oleh: Azzahwa, Tia

Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) mewajibkan mahasiswanya mengikuti English Language Proficiency Test (ELPT) atau Test of English as a Foreign Language (TOEFL) sebagai salah satu syarat kelulusan. Seperti yang telah tertulis pada Peraturan Rektor No 24 Tahun 2024 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Bahasa Inggris bagi Mahasiswa UPNVJ, yang memutuskan bahwa semua tes, baik ELPT ataupun TOEFL Institutional Testing Program (ITP) harus dilakukan di Unit Penunjang Akademik (UPA) Bahasa untuk menjaga keaslian hasil tes. Namun, kebijakan ini menimbulkan keluhan di kalangan mahasiswa, lantaran hanya sertifikat yang diperoleh dari UPA Bahasa yang diakui dan diterima. Anggrek (nama telah disamarkan), seorang mahasiswa Program Studi (prodi) Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) angkatan 2019, mengeluhkan terkait sertifikat tes bahasa Inggris selain dari UPA Bahasa yang tidak dapat diterima, karena perlu adanya penyetaraan. “Pokoknya istilahnya dia (UPA Bahasa)

menyarankan untuk yang di UPNVJ karena katanya kalau misalkan pakai sertif di luar UPN, nanti harus ada penyetaraan,” ungkap Anggrek kepada ASPIRASI melalui Google Meet pada Sabtu, (28/9).

Sementara itu, Anggrek bersama teman-temannya sempat meminta keringanan kepada Kepala Program Studi (Kaprodi) untuk menggunakan sertifikat lembaga luar, namun ditolak.

“Jadi intinya enggak bisa pakai sertifikat luar, tetap harus tes (di UPA Bahasa),” tutur Anggrek. Selaras dengan hal itu, seorang mahasiswa prodi Akuntansi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) angkatan 2020, Fitto Ramadhan, mengungkapkan bahwa banyak temannya yang sudah melakukan tes di lembaga terakreditasi di luar UPA Bahasa, namun harus tetap melampirkan sertifikat kepada UPA Bahasa.

“Padahal kan udah akreditasi gitu ya sertifikatnya, tapi mereka harus ngajuin sertifikat lagi ke UPA bahasa gitu buat hitungannya kaya ngeklaim bahwa lu udah ngelakuin tes TOEFL di luar,” ujar Fitto kepada melalui Google Meet pada Selasa, (24/9).

Ilustrasi: Syifa & Anastasya

Polemik UPA Bahasa yang Kian Menggantung

Kabar simpang siur di kalangan mahasiswa menciptakan polemik tentang kursus UPA Bahasa yang dianggap satu-satunya cara untuk lulus. Fitto mengungkapkan teman-temannya yang gagal ELPT akhirnya lulus setelah mengikuti kursus, meskipun harus remedial.

“Mereka juga dikasih bocoran gitu sama tutornya kalau ya emang dipastikan lulus gitu loh setelah remed,” ujar Fitto.

Menanggapi hal ini, Sekretaris UPA Bahasa, Tuti Ismawati menjelaskan bahwa kursus tidak menjamin kelulusan, tetapi merupakan fasilitas untuk membantu mahasiswa yang kesulitan namun serius dan ingin berusaha dengan mengikuti kursus selama 48 jam.

“Kita bantu luluskan ya bukan diluluskan. Kita enggak jamin lulus, kalau anaknya enggak masuk (kursus) masa mau kita lulusin, kan enggak,” ujar Tuti saat ditemui ASPIRASI pada Jumat, (18/10).

Meski begitu, berdasarkan Pasal 12 Peraturan Rektor No 24 Tahun 2024 dijelaskan bahwa mahasiswa diperbolehkan mengikuti kursus TOEFL di lembaga luar, namun tes harus tetap dilakukan di UPA Bahasa UPNVJ.

Sementara itu, ketidakpuasan atas transparansi penilaian tes dari UPA Bahasa meningkat. Anggrek menyatakan bahwa hasil tes ELPT tidak memberikan rincian area yang perlu diperbaiki, sehingga sulit untuk memperbaiki diri.

Tidak hanya itu, Anggrek juga menge luhkan mengenai hasil skor ELPT di UPA Bahasa yang selalu mendekati batas minimum, sehingga dirinya harus beberapa kali mencoba tes dan mengeluarkan beban biaya yang tidak sedikit.

“Jadi, pas awal tuh enggak lolos skor aku tuh, beda 13 atau 8 poin. Aku 440-an gitu loh kayak bener bener tipis banget dan akhirnya aku remedial jadi 453,” ungkap Anggrek.

Gelombang Kekecewaan Mahasiswa

Alami Kendala yang Tak Kunjung

Reda

Selain polemik wajib ELPT dan TOEFL di UPA Bahasa, Muhammad Raehan Safitroh, seorang mahasiswa prodi Sistem Informasi, Fakultas Ilmu Komputer (FIK) angkatan 2022, mengeluhkan minimnya fasilitas selama ujian berlangsung, terutama kualitas audio.

“Aku ngerasa speaker pada saat kita tes listening gak kedengaran. Jadi cuma kayak kresek-kresek,” keluh Raehan kepada ASPIRASI melalui Google Meet pada Sabtu, (24/8).

Lebih lanjut, pembahasan kuota minimal 12 peserta dalam tes di UPA Bahasa juga menjadi sorotan mahasiswa. Raehan menyatakan bahwa syarat ini sering menjadi kendala, terutama saat tes harus diundur karena kekurangan peserta dan malah menghambat mahasiswa.

“Tes bisa dilaksanakan pada saat jumlah orangnya dalam satu kuota itu minimal 12 orang. Nah dari situ sebenarnya hal yang bermasalah menurutku,” ujar Raehan. Menjawab mengenai kurangnya kualitas tes audio, Kepala UPA Bahasa, Ayunita Ajengtyas Saputri, meluruskan bahwa peralatan termasuk speaker untuk tes listening sudah diperbarui sejak dua tahun lalu.

“Sudah lama digantinya, mau lihat boleh, dicek, audio kita speaker yang

Sumber Foto: Website

besar kok,” tegas Ayunita kepada ASPIRASI di ruang kerjanya pada Jumat, (18/10).

Ayunita juga menjelaskan bahwa alasan kuota minimal ini diberlakukan ialah untuk memastikan efisiensi dalam operasional, termasuk pembayaran pengawas dan sumber daya lainnya.

“BEP (Break Even Point) ini yang menentukan pembiayaan kita untuk yang mengawas. Kan pengawas harus dibayar gitu, jadi dari situlah unsurnya kenapa kami harus lakukan 12 orang,” jelas Ayunita.

Kebijakan Tes TOEFL Sentralis Guna Meminimalisir Kecurangan

Merespons regulasi keharusan pelaksanaan tes di UPA Bahasa, Wakil Rektor (Warek) I, Henry Binsar Hamonangan Sitorus, menjelaskan bahwa pada tahun 2021, mahasiswa UPNVJ sempat diizinkan menggunakan sertifikat dari lima lembaga TOEFL kredibel, namun sering ditemukan pemalsuan sertifikat.

“Sempat berjalan tetapi di perjalanannya ternyata ditemukan banyak sekali pemalsuan,” ungkap Henry saat diwawancarai oleh ASPIRASI pada Rabu, (23/10).

Senada dengan itu, Sekretaris UPA Bahasa, Tuti Ismawati juga mengungkapkan pernah menemukan mahasiswa menyontek saat tes TOEFL ITP di lembaga luar.

“Ngaku bahwa dia (mahasiswa) memang bisa nyontek karena dengan mengambil

tes di luar walaupun itu resmi TOEFL ITP, kan kita tidak ada di sana,” ungkap Tuti menjelaskan. Sehingga, dikonfirmasi pula oleh Ayunita, kebijakan keharusan mahasiswa untuk melakukan tes di UPA Bahasa ditetapkan untuk mencegah kecurangan dan pemalsuan tersebut.

“Kami sempat akan dituntut (oleh lembaga TOEFL luar), karena jika ini (pemalsuan) berjalan terus-menerus maka ini akan menjadi ke dalam ranahnya hukum,” ujar Ayunita menambahkan. Di sisi lain, Ayunita membantah klaim bahwa sertifikat dari UPA Bahasa hanya dapat digunakan dalam lingkungan UPNVJ, sebaliknya Ayunita menjelaskan bahwa sertifikat tersebut dapat digunakan di beberapa institusi, meski penggunaannya bergantung pada kebijakan institusi yang bersangkutan.

Kebingungan yang terjadi dikalangan mahasiswa terkait aturan dan proses yang berlaku di UPA Bahasa tampaknya dipicu oleh kurangnya informasi yang disampaikan. Ayunita menjelaskan bahwa mereka menyampaikan sosialisasi setiap bulan kepada pimpinan fakultas, namun penyebaran informasi yang lebih intens seharusnya dilakukan oleh fakultas dan Dosen Pembimbing Akademik (DPA).

“Setiap pimpinan itu selalu kami informasikan bahwa, boleh kok bu mahasiswanya itu ikut ujian dari semester 3 atau 4, bisa bu ini (sertifikat) digunakan untuk di luar,” jelas Ayunita

“Misalnya ada mahasiswa ‘Oke bu saya kurang, kenapa nilai saya kurang’ datang aja ke UPA Bahasa kita akan jelaskan

Ayunita pun mengklarifikasi bahwa hasil nilai yang mendekati skor minimum tergantung pada sifat dari prediction test itu sendiri. Karena pada dasarnya, tes prediksi berfungsi untuk memperkirakan kemampuan bahasa mahasiswa berdasarkan sejumlah parameter standar, bukan untuk memberikan nilai akhir yang sifatnya mutlak.

“Ya namanya juga prediction test, anything is happen, bisa dibilang apapun akan terjadi. Kami punya bank soal, jadi tidak bisa mengharapkan soal akan selalu sama bentuknya. Hasilnya tergantung pada kemampuan mahasiswa,” pungkas Ayunita.[]

Website Resmi UPA Bahasa

Kisruh Masa Studi FISIP UPNVJ: Mahasiswa Bingung, Sosialisasi Minim

Alami kebingungan mengenai masa tempuh studi akibat kurang jelasnya sosialisasi hingga regulasi dari pihak kampus, tumbuhkan asumsi liar mahasiswa FISIP tak dapat lulus dalam 3,5 tahun.

Oleh: Fabiana, Calvin

Desas-desus

mengenai masa studi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) yang tidak bisa lulus lebih cepat, yaitu selama tiga setengah tahun masih banyak tersebar di kalangan mahasiswa FISIP.

Kurangnya kejelasan terkait kabar yang beredar, memicu berbagai tanggapan dari mahasiswa. Tidak adanya peran fakultas sebagai pemberi informasi akan ketidakjelasan masa studi semakin membuat mahasiswa semester akhir kelimpungan.

Sebagian besar dari mereka merasa cukup dirugikan apabila tidak dapat lulus 3,5 tahun, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang mahasiswa dari Program Studi (prodi) Ilmu Politik angkatan 2021, Adisti Rahmadiany.

“Jujur ngeberatin sih ya kalau menurut aku, karena kampus lain tuh kayaknya ngasih hak untuk mahasiswanya gitu, kan. Maksudnya kayak lulus 3,5 atau 4 tahun itu hak mahasiswa,” ungkap Adisti saat diwawancarai ASPIRASI pada Senin, (7/10).

Keberatan utama juga diakui oleh salah satu mahasiswa dari prodi Hubungan Internasional angkatan 2021, Savinka Putri Andini, yang mengeluhkan dari segi ekonomi. Pasalnya, mahasiswa akhir tetap masih harus

membayar Uang Kuliah Tunggal (UKT) di semester delapan hanya untuk menyelesaikan tugas akhir. “Enggak efisien gitu loh. Kenapa kita gak dipadetin dengan skripsian gitu. Apalagi menyangkut biaya itu sangat menyayangkan sih,” keluh Savinka saat diwawancarai secara langsung oleh ASPIRASI pada Jumat, (4/10).

Ketidakjelasan Informasi Imbas Kurangnya Sosialisasi

Ditengah-tengah simpang-siur akan kejelasan masa studi tersebut, sosialisasi yang diberikan oleh pihak kampus, utamanya dalam lingkup FISIP, terkait waktu kelulusan dirasa tidak menjawab kebingungan mahasiswanya.

Hal itu juga diakui oleh satu mahasiswa prodi Hubungan Internasional angkatan 2021, Farid Gibran, yang mengungkapkan bahwa informasi mengenai regulasi kelulusan kerap berubah-ubah.

“Informasinya sudah diterima jelas, hanya saja berubah-ubah gitu dan mungkin setiap semester ada perubahan gitu dan itu terkesan mendadak,” jelas Farid ketika dimintai keterangan oleh ASPIRASI pada Senin, (30/9).

Berbeda dengan Farid, Adisti menyoroti bahwa sosialisasi secara lebih lanjut terkait

Ilustrasi: Syifa & Anastasya

tugas akhir dan waktu kelulusan yang diberikan oleh FISIP masih kurang jelas. Menurutnya, informasi tersebut hanya didapatkannya melalui grup, padahal seharusnya perlu diadakan sosialisasi lebih lanjut saat pergantian semester.

“Kayak jadwal sidang aja tuh bingung kalau misalkan dari dospem (dosen pembimbing) itu nggak ngasih petunjuk. Misalkan kayak aku tuh baru tahu kemarin kalau kita mau lulus 3,5 itu maksimal sidang harus di tanggal 4 Januari, lewat dari tanggal 4 Januari itu kita harus lanjut semester depan dan itu kan kayak sayang banget,” jelas Adisti.

Selaras dengan pernyataan Adisti, mahasiswa prodi Ilmu Politik angkatan 2021, Muhammad Athallah, turut merasakan masih kurang jelasnya informasi yang didapat melalui grup koordinasi yang disediakan fakultas.

“Saran gua gitu, kalau misalkan memang ada grup seperti itu untuk proses kelulusan, lebih baik dibuatnya perjurusan, gak semua angkatan dimasukin di situ, karena jujur ya numpuk informasinya,” ungkap Athallah ketika diwawancarai oleh ASPIRASI pada Jum’at, (4/10).

Tak Selarasnya Masa Studi Antar Prodi FISIP dalam Adaptasi Kurikulum Baru

Meluasnya keluhan mengenai informasi simpang siur ini didukung dengan pengalaman salah satu mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi angkatan 2021, Atria Solehandayani Hayat, yang mendapatkan mata kuliah wajib tambahan di semester ke-7.

Perempuan yang akrab disapa Atria itu mengungkap bahwa alasan dari beredarnya kabar mengenai masa studi yang hanya memungkinkan lulus dalam waktu 4 tahun atau 8 semester karena mahasiswa masih dibebankan mata kuliah wajib.

“Aku juga sempat dengar dari temanteman aku, kita enggak bisa lulus 3,5 tahun gitu karena buktinya ada salah satu mata kuliah yang kita tuh baru dikasih tahu kalau kita wajib ikut setelah kita semester 7,” ungkap Atria ketika diwawancarai secara langsung oleh ASPIRASI pada Kamis, (26/9).

Mendukung pernyataan tersebut, Savinka juga mendapatkan penjelasan serupa ketika sedang melakukan bimbingan dengan dosen pembimbing akademiknya.

“Nah, waktu itu bahkan ada yang nanya, ‘Bu, ini kita nggak bisa lulus 3,5 tahun ya?’ dan katanya dosen pembimbing yang kebetulan juga (menjabat sebagai) Kaprodi, jadi dia (rangkap) 2 jabatan. (Jawabannya) gak bisa karena HI itu tadi empat tahun alasannya karena kita masih ada matkul (mata kuliah) wajib di semester 7,” ungkap Savinka.

Savinka menambahkan, dengan beban SKS kelulusan yang sama, yaitu 144 SKS, justru memberikan anggapan kepada para mahasiswa FISIP, bahwa regulasi yang ada seharusnya dapat lebih diselaraskan.

“Kalau kita ngeliat dari anak-anak prodi lain bisa (lulus) tiga setengah tahun. Jadi lebih efektif, menurutku mungkin ini hal yang sebetulnya bisa jadi evaluasi kedepannya, khususnya buat prodi HI karena ini lebih ke mekanisme dari kurikulumnya aja sih,” imbuhnya. Mengonfirmasi hal tersebut, Ketua Program Studi (Kaprodi) S1 Hubungan Internasional, Wiwiek Rukmi Dwi Astuti, menyatakan bahwa kurikulum yang dirumuskan dan diresmikan pada tahun 2020 silam merupakan adopsi dari kebijakan kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang setiap wewenangnya ada di program studi masing-masing.

Kurikulum MBKM yang memungkinkan mahasiswa berkegiatan di luar kampus dengan sistem konversi Satuan Kredit Semester (SKS), diimplementasikan bagi mahasiswa semester 5 dan 6. Wiwiek mengatakan bahwa hal tersebut mengakibatkan adanya ketertinggalan mata kuliah kompetensi yang seharusnya dimiliki sarjana di FISIP, utamanya pada prodi Hubungan Internasional (HI).

“Lalu bagaimana kita mengakalinya untuk ketertinggalan ketika mereka berkegiatan di kampus itu adalah kita tetap menambahkan mata kuliah di semester 7,” ungkap Wiwiek ketika diwawancarai ASPIRASI pada Senin, (14/10).

Wiwiek juga mengungkapkan jalan alternatif bagi mahasiswa HI untuk lulus 3,5 tahun, yaitu dengan menginisiasikan tulisan artikel jurnal semenjak memasuki awal semester 5 atau 6, maka skema untuk lulus dalam kurun waktu 3,5 tahun menjadi lebih mungkin tercapai.

“Tapi kalau mahasiswanya masih tetap memilih jalur yang konvensional ataupun skripsi, (lulus) 7 semester ini menjadi tidak memungkinkan,” timpalnya.

Dalam proses pengumpulan informasi dan konfirmasi dari pihak FISIP lainnya, ASPIRASI telah berusaha menghubungi Kaprodi Ilmu Komunikasi, Azwar dan Kaprodi Ilmu Politik, Restu Rahmawati sejak 3 Oktober 2024, serta mencoba menghubungi Dekan FISIP, Bekti Istiyanto pada 8 Oktober 2024 untuk meminta keterangan melalui wawancara mengenai desas-desus masa studi tersebut. Namun, tak kunjung mendapat kabar sampai berita ini akhirnya dipublikasikan.[]

Akreditasi Unggul Prodi UPNVJ: Realitas Sarana dan Prasarana yang Tak Selaras

Akreditasi unggul yang didapatkan UPNVJ untuk sembilan program studi menuai kritik dari beragam mahasiswa terkait sarana dan prasarana yang ada, karena dinilai tidak selaras dengan akreditasi tersebut.

Oleh: Safira, Ummu Hanni

Universitas

Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ) kini telah berhasil mengantongi akreditasi unggul untuk sembilan program studi, di antaranya S1 Teknik Perkapalan, D3 Akuntansi, S1 Akuntansi, S1 Ekonomi Syariah, S1 Kedokteran, Profesi Kedokteran, S1 Teknik Mesin, S1 Teknik Industri, dan S1 Kesehatan Masyarakat. Pencapaian ini menunjukkan peningkatan kualitas akademik UPNVJ menjadi kebanggaan tersendiri bagi civitas akademikanya. Akreditasi yang telah didapatkan tersebut diberikan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), Lembaga Akreditasi Mandiri Pendidikan Tinggi Kesehatan (LAM-PTKes), dan Lembaga Akreditasi Mandiri Teknik (LAM-Teknik) dengan penilaian berdasarkan sembilan kriteria, termasuk salah satunya sarana dan prasarana. Namun, hal itu kemudian memicu polemik di kalangan mahasiswa yang menilai bahwa akreditasi yang diraih belum sejalan dengan kualitas sarana dan prasarana di kampus hijau itu. Beberapa mahasiswa merasa bahwa pencapaian akreditasi tersebut seharusnya diirin-

gi dengan perbaikan fasilitas yang lebih memadai. Salah satu mahasiswa Fakultas Kesehatan (FIKES), Program Studi (prodi) S1 Kesehatan Masyarakat angkatan 2022, Nadia Nugrahani mengaku turut merasa senang atas akreditasi yang diraih oleh prodi tempatnya menuntut ilmu. Tapi, di saat yang bersamaan, ia juga merasa bahwa pencapaian tersebut belum sepenuhnya selaras dengan fasilitas yang ada, terutama fasilitas akademik, seperti perpustakaan. Hal ini menjadi miris, dengan jumlah mahasiswa yang saat ini tidak seimbang dengan kapasitas yang tersedia.

“Aku bisa jawab belum memadai (fasilitas akademik), karena dari perpustakaannya pun, perpustakaan FIKES tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mahasiswa yang ada saat ini. Jadi, kapasitas perpustakaannya lebih kecil dari jumlah mahasiswa yang ada,” terang Nadia kepada ASPIRASI pada Rabu, (2/9).

Nadia yang juga aktif dalam kegiatan kampus pun mengeluhkan fasilitas lain, terutama tempat sekretariat Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) yang belum tersedia di Kampus Limo.

Hal selaras pun diungkapkan oleh salah satu mahasiswa prodi Teknik Mesin, Fakultas

Teknik (FT) angkatan 2021, Ridwan Bambang Rianto, yang memberikan penilaian 5 dari 10 terhadap akreditasi unggul yang dianugerahkan.

Ridwan berpendapat bahwa meski sudah ada perbaikan bertahap saat ini, fasilitas laboratorium dinilai masih kurang memadai, terutama untuk prodi di Fakultas Teknik yang membutuhkan alat praktek setiap harinya. Ia juga mengeluhkan fasilitas mesin yang sejak dahulu rusak dan belum diperbaiki hingga saat ini.

“Dari mesin sendiri, itu ada alat yang mungkin bisa dibilang agak fatal kalau memang tidak dibenarkan, itu dari zaman swasta sudah diajukan, dan itu nggak pernah jebol (terwujudkan), nggak tahu kenapa,” ungkap Ridwan pada ASPIRASI melalui Google Meet pada Senin, (23/9).

Ruang Kelas yang Tidak Memadai Menuai Kritik Tajam dari Mahasiswa

Penambahan kuota mahasiswa baru setiap tahun membawa permasalahan baru di kampus, salah satunya adalah ketidakcukupan ruang kelas di UPNVJ. Hal ini menuai banyak kritik tajam dari mahasiswa terhadap keterbatasan kelas yang ada untuk menunjang pembelajaran.

Ridwan mengungkapkan bahwa hingga tahun 2023, jumlah mahasiswa prodi Teknik Mesin sudah mencapai batas maksimum, yaitu 80 hingga 90 mahasiswa setiap angkatannya. Angka tersebut sudah cukup membuat kelas terasa terlalu penuh dan masalah baru muncul ketika jumlah mahasiswa mencapai di angka 136 mahasiswa pada tahun 2024.

“Saat mata kuliah berjalan, angkatan gue tuh sampai ada yang narik kursi dari kelas sebelah yang kosong, ada yang ngemper di lantai buat belajar. Mungkin dari sisi kondisi, emang ruang kelasnya aja yang sempit,” keluh Ridwan.

Keluhkan hal serupa, Adira Putri Muktiara, mahasiswa Fakultas Hukum (FH) angkatan 2021 pun menyatakan bahwa ketidakcukupan kelas berimbas mengharuskan mahasiswa melakukan pembelajaran di gedung lain atau secara daring.

“Sebenarnya, di dua semester lalu, itu kita tuh pernah sampai kekurangan kelas, jadi kayak pinjam ke MH (Magister Hukum) dan lain sebagainya kalau misalkan di FH sendiri, gitu,” terang Adira kepada ASPIRASI pada Kamis, (3/10).

Tidak hanya FT dan FH, hal yang sama pun turut dirasakan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) prodi Ilmu Komunikasi angkatan 2020, Aulia Wendhi Putro, yang juga mengeluhkan kekurangan ruang kelas yang ada.

“Kita sempat ada kelas yang kekurangan

kursi sampai harus ngambil kursi panjang yang ada di luar kelas. Setahuku hal-hal kayak gitu sampai sekarang masih terjadi. Thats why banyak juga kelas-kelas yang pada akhirnya dijadikan online ya, banyak juga minggu-minggu yang dijadikan KB (Kelas Besar),” jelasnya kepada ASPIRASI pada Rabu, (25/9).

Kampus UPNVJ Hadapi Masalah Keterbatasan Lahan

Menanggapi keluhan yang ada, Rektor UPNVJ, Anter Venus menerangkan bahwa upaya dari kampus untuk menyelaraskan fasilitas yang ada adalah dengan mengikuti kebutuhan syarat akreditasi saat ini, seperti kebutuhan perpustakaan dan standar ruang kelas. “Jadi, jangan ribut-ributin. Kantin itu sudah ada, bersyukur saja dulu. Nanti kita perluas di bawah, di bawah kan mau digarap ke kita. Di sana kan kita 2,5 hektar, di Limo,” ujar Venus. Namun di sisi lain, Venus juga menambahkan bahwa pembangunan tersebut masih terhambat karena perizinan tanah yang masih dipegang oleh Kementerian Pertahanan (Kemhan), “Kalau bicara tentang pembangunan nanti aja. Nanti kita ceritakan sama kalian (mahasiswa), rencana-rencana pembangunan UPN ke depan tahun 2025.”

Ketua Lembaga Penjaminan Mutu dan Pengembangan Pembelajaran (LPMPP) UPNVJ, Satria Yudha Wijaya, juga mengatakan bahwa tantangan dari sarana prasarana ini adalah keterbatasan lahan yang ingin dibeli serta perizinan pembangunan gedung, seperti Gedung Kuliah dan Kegiatan Mahasiswa (GKKM), yang hanya boleh dibangun 6 lantai, padahal sebelumnya direncanakan 8 lantai.

“Sebetulnya, beli tanah itu gampang, uangnya ada karena kita (kampus) negeri. Cuman, tanah di samping ini nggak mau dijual, dan tanah di samping sana juga nggak mau dijual,” ucap Satria di ruangan meeting kepada ASPIRASI pada Selasa, (15/10).

Terakhir, Satria menjelaskan bahwa dalam dokumen baru, sarana dan prasarana bukanlah fokus utama penilaian akreditasi karena terjadi perubahan arah dari input, proses, dan output menjadi input, proses, output, dan outcome. Meskipun demikian, para pimpinan tetap memperhatikan sarana dan prasarana yang ada, tetapi, dihadapi dengan keterbatasan lahan yang ada.

“Sarana-prasarana sekarang itu tidak menjadi fokus utama (penilaian), karena berbeda antara dokumen lama dengan dokumen baru. Kalau dokumen lama itu ditanyakan tentang sarpras. Berapa jumlah buku perpustakaan, berapa jumlah alat laboratorium, itu ditanyakan. Tapi di instrumen yang baru itu nggak ditanyakan lagi,” tukas Satria.[]

Di Tengah Krisis Lahan Parkir, Kampus Limo UPNVJ

Bangun Lapangan dan Kantin Kontainer

Keterbatasan fasilitas di Kampus Limo UPNVJ masih menghantui kalangan mahasiswa sebelum akhirnya dibangun kantin dan lapangan olahraga. Pihak kampus sebut rencana peningkatan fasilitas sedang dijalankan.

Oleh: Ihfadzillah Yahfadzka

Persoalan

fasilitas masih menjadi mimpi buruk bagi mahasiswa kampus Limo, Depok, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta (UPNVJ). Terutama berdampak sangat signifikan bagi para mahasiswa Fakultas Teknik (FT), Fakultas Kedokteran (FK), dan Fakultas Ilmu Kesehatan (FIKES). Terpisah dari kampus utama UPNVJ di Pondok Labu, Jakarta Selatan, ketiga fakultas tersebut belum disuguhkan fasilitas memadai yang mendukung kenyamanan mahasiswa. Fasilitas mendasar, seperti lahan parkir dan kantin masih mengundang protes dari mahasiswa, karena kondisi yang dinilai kurang layak. Merespons hal tersebut, Rektor UPNVJ, Anter Venus, secara resmi meresmikan lapangan multifungsi dan Kantin bersama (Kantin Bestie) di kampus UPNVJ Limo pada hari Jumat, 26 September 2024, seperti yang ditulis pada website resmi Humas UPNVJ. Lapangan tersebut diharapkan dapat menjadi sarana penunjang bagi berbagai kegiatan keluarga besar UPNVJ meliputi mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan mulai dari olahraga, kegiatan seni, hingga acara akademik.

Pembangunan Lapangan Olahraga di Tengah Kebutuhan Lahan Parkir dan Keterbatasan Kantin Kontainer

Pembangunan lapangan olahraga di tengah karut-marut pemanfaatan lahan mengundang tanda tanya. Pasalnya, kampus tampak tutup telinga dari berbagai keluhan mahasiswa tentang keterbatasan dan tidak layaknya lahan parkir di Kampus Limo. Mahasiswa FIKES prodi Kesehatan Masyarakat angkatan 2022, Weni Nur Aisyah, menyebutkan bahwa mutu lahan parkir belum sebanding dengan tarif yang dipasang seharga Rp 3.000. Tidak tersedianya atap penutup serta pengelolaan tanah yang tidak maksimal membuat mahasiswa jengkel.

“Lahan parkir di Limo ini sangat amat tidak layak untuk dipakai karena kalau hujan beceknya naudzubillahimindzalik, ngotor-ngotorin sepatu dan ban motor. Dia kan jadi nempel, tanah merahnya itu. Apalagi bayarnya itu lebih mahal dari (Kampus) Pondok Labu,” ucap Weni kepada ASPIRASI pada Selasa, (24/9).

Di sisi lain, mahasiswa FT prodi Teknik Mesin angkatan 2020, Muhammad Alfayad Mahmud

mengaku lebih mengharapkan adanya pemindahan atau peningkatan lahan parkir, ketimbang pembangunan lapangan olahraga yang urgensinya kurang.

“Yang dibangun malah lapangan, kalau dari gue pribadi sangat disayangkan. Karena harapannya itu buat parkiran tentunya bisa dipindahkan atau ada peningkatan, entah itu seperti bagian lahan yang diperbaiki,” keluh Fayad saat diwawancarai ASPIRASI pada Selasa, (1/10).

Tidak berhenti sampai di situ, Fayad juga menyinggung perihal ketidaksetaraan fasilitas kampus dengan besaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang harus mahasiswa bayar.

“Karena kalau dilihat UKT kita (mahasiswa FT) itu menyumbang UKT yang lumayan besar di UPN, cuma fasilitas yang diberikan enggak setara banget sama UKT yang kita bayarkan,” imbuh Fayad.

Nada kekecewaan serupa dilayangkan pula oleh mahasiswa FT angkatan 2021 lain dari prodi yang berbeda, yaitu Teknik Elektro, Joseph Agrivaldi Silalahi. Ia menyayangkan sekaligus mempertanyakan prioritas utama pembangunan lapangan olahraga dibanding kebutuhan mahasiswa terkait lahan parkir.

“Kita bukan cukup kecewa, tapi sangat kecewa. Di tengah masalah parkir yang cukup mendesak, kenapa malah lapangan tenis yang dibangun?” ungkap Joseph merasa heran ketika diwawancarai ASPIRASI pada Minggu, (22/9).

Tidak hanya lapangan, kantin dengan konsep dua lantai berbadan kontainer yang berisi empat kedai tenant (penyewa) juga menjadi fasilitas baru yang dibangun pihak kampus.

Kantin kontainer menjadi satu-satunya opsi kantin dengan akses terjangkau di dalam Kampus Limo. Kendati Begitu, kantin tersebut dinilai belum mampu mengakomodasi kebutuhan mahasiswa.

Selain perihal lahan parkir, Joseph cukup mengeluhkan kapasitas kantin. Ia berpendapat bahwa tempat yang tersedia belum memenuhi kebutuhan mahasiswa di Kampus Limo.

“Kalau misalnya untuk kantin di kampus itu menurutku kurang proper (pantas) sih, karena mahasiswa kalau misalnya beli makan

atau minuman kan pasti harapannya bisa sekalian duduk. Tapi sayangnya, kursi atau meja yang disediakan kantin itu gak terlalu banyak,” keluh Joseph. Tidak hanya itu, salah satu mahasiswi FIKES prodi Kesehatan Masyarakat angkatan 2022, Nadia Nugrahani, mengeluhkan keterjangkauan harga yang belum merata di kedai-kedai kantin. Hal itu membuat beberapa mahasiswa, termasuk Nadia, memilih untuk jajan di luar kantin.

Selain itu, Nadia juga mengeluhkan keamanan kantin kontainer yang baginya berisiko membahayakan mahasiswa, seperti permukaan tidak rata serta bangunan yang tidak paten.

“Terus juga menurutku kalau diliat dari segi safety-nya containter juga kurang (aman), karena ada beberapa tempat yang menurutku hazard-nya tinggi kayak misalnya rawan tersandung dan sebagainya,” kata Nadia kepada ASPIRASI pada Rabu, (25/9).

Rencana Peningkatan Fasilitas Parkir

dan Kantin Tahun 2025

Menanggapi beragam keluhan dari mahasiswa, Muhammad As’adi sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus perpanjangan tangan rektor berdalih bahwa pembangunan Lapangan Olahraga Multifungsi (LOM) awalnya juga akan digunakan sebagai area parkir. Hanya untuk saat ini kebijakan tersebut masih dikaji terlebih dahulu. Pun maksud lain akan adanya pembangunan LOM ini, ialah sebagai sarana guna melatih kesehatan fisik bagi civitas akademika di Kampus UPNVJ Limo.

“Kita tahu bahwa di Limo kan gak ada lapangan olahraga sama sekali, pada ke sini (Kampus Pondok Labu) semua gitu, ya. Sehing-

ga dengan adanya lapangan olahraga multifungsi, ya, (Kampus) Limo mulai hidup,” tutur As’adi saat diwawancarai ASPIRASI pada Senin, (7/10).

Dalam upaya menanggapi pembangunan kantin kontainer, As’adi juga menuturkan bahwa keputusan kantin berbahan kontainer didasari oleh keterbatasan lahan serta estetika.

“Ya, karena lahannya sempit terus biar kelihatan agak kekinian, saya ngajuin kontainer dan akhirnya disetujui oleh Pak Rektor (Anter Venus),” jelas As’adi.

Menyikapi keluhan yang dilemparkan, As’adi menyatakan bahwa pembangunan kantin dan lahan parkir direncanakan akan rampung di tahun 2025 bertepatan dengan penerimaan mahasiswa baru.

Saat ini, menurut pernyataan As’adi, pembangunan sudah dilakukan bermula dari pemagaran lahan bawah. Rencananya lahan parkir dan kantin akan dibangun di bawah gedung Medical Education and Research Centre (MERCe).

“Di bawah nanti akan dibuat parkir, parkir mobil, lapangan olahraga, juga dibuat kantin. Insyaallah tahun ini pagar selesai. Nan-

ti setelah pagar semua selesai, 2025 mungkin kita akan ada pengolahan lahan,” ungkap As’adi.

Sebagai tindakan mengonfirmasi dan memperkuat pernyataan pihak kampus, ASPIRASI beberapa kali telah menghubungi Wakil Rektor II Bidang Perencanaan, Keuangan dan Umum, Netti Herawati untuk diwawancarai dengan keluhan mahasiswa dan peningkatan fasilitas, akan tetapi hingga berita ini terbit tidak kunjung mendapatkan kejelasan.[]

Sumber
Foto: ASPIRASI /Ihfadzillah
Oleh: Primananda

Ketika Ketimpangan

Ekonomi dan Kelalaian Pemerintah

Menghalangi Masa Depan Pendidikan

Pendidikan yang seharusnya menjadi pemutus kesenjangan dan kemiskinan di masyarakat, justru masih terkekang kesenjangan yang membuat kalangan pelajar sulit untuk memperoleh pendidikan.

Oleh: Zhufar Athalla

Pendidikan termasuk hak asasi yang dimiliki seluruh lapisan masyarakat, dan untuk itu masyarakat juga wajib memperoleh pendidikan yang layak sesuai dengan minat dan bakat tanpa memandang strata sosial, ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender. Merujuk pada penelitian berjudul “Pembangunan Pendidikan dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia” karya Saripudin di tahun 2003, disebutkan bahwa rendahnya pertumbuhan ekonomi diakibatkan karena rendahnya kualitas dan tingkat pendidikan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi suatu negara untuk memprioritaskan pemerataan pendidikan. Kendati demikian, masih terlihat dengan jelas ketimpangan yang terjadi di Indonesia. Rendahnya angka partisipasi sekolah yang terjadi disebabkan faktor penghasilan atau ekonomi yang menjadi penghalang masyarakat dalam mengakses pendidikan. Padahal, pendidikan merupakan suatu hal yang penting untuk meningkatkan kehidupan bagi masyarakat itu sendiri. Dalam hal ini, pemerintah memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan ke masyarakatnya, seperti

yang sudah diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945. Pasal 31 ayat (1) UUD NRI 1945 telah mengatur hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan. Lanjutan dari Pasal 31 UUD NRI dalam ayat (2) tersebut berbunyi “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”

Jika merujuk pasal tersebut, pemerintah berperan sebagai penunjang utama kebutuhan masyarakat yang memiliki keterbatasan ekonomi agar mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya harus memberikan hak masyarakat dalam mengakses pendidikan karena sudah diatur dengan jelas dalam UUD 1945 terkait hak tersebut. Meski begitu, masih terdapat banyak faktor lain yang dapat mempengaruhi ketimpangan dalam pendidikan, seperti kemiskinan, pendapatan, gender, wilayah, dan juga ekonomi.

Rendahnya Perekonomian Halangi Masyarakat Akses Pendidikan Tinggi

Anastasya

Ilustrasi:

Ekonomi yang tidak merata serta tingginya tingkat kemiskinan menyebabkan belum terpenuhinya kesejahteraan dalam masyarakat, yang kemudian merambat pada terbatasnya kemampuan masyarakat kelas bawah dalam mengakses pendidikan. Tentu, hal ini membatasi esensi pendidikan yang seharusnya dapat diakses bagi seluruh masyarakat tanpa pandang bulu. Hal ini juga membawa hilangnya potensi yang dimiliki oleh anak tersebut karena tidak mempunyai kesempatan untuk menduduki bangku pendidikan. Dilansir dari data yang diperoleh Badan Pusat Statistik (BPS), angka partisipasi untuk pendidikan tinggi di kelompok pendapatan kuintil 1 hanya sebesar 17,54 persen. Sementara, kelompok pendapatan kuintil 5 sebesar 52,65 persen.

Jika melihat dari data yang mengungkapkan perbedaan yang signifikan, menunjukan disparitas yang cukup tinggi antara keluarga yang berpendapatan tinggi dan berpendapatan rendah dalam mengakses pendidikan tinggi.

Oleh karena itu, masyarakat yang tergolong kuintil 1 dengan pendapatan rendah akan sangat sulit untuk menyekolahkan anaknya dengan layak, terlebih dengan kesulitan tersebut anak-anak yang berasal dari masyarakat kuintil 1 tergerak untuk membantu perekonomian keluarganya dan mengenyampingkan pendidikan yang seharusnya di prioritaskan.

Pemerintah

Belum Sepenuhnya Jalankan Amanat Konstitusi Pendidikan

Permasalahan ketimpangan pendidikan ini adalah isu yang kompleks dan signifikan dalam kemajuan pendidikan di Indonesia, dan sudah seharusnya menjadi urgensi yang diselesaikan oleh pemerintah.

Selain karena hal tersebut telah diatur dalam UUD NRI 1945, penting juga untuk memajukan kesejahteraan dan meningkatkan ekonomi dari sebuah negara melalui pendidikan yang layak dan dapat diakses secara merata. Pemerintah seharusnya berperan sebagai jembatan bagi masyarakat untuk mengakses pendidikan. Meski begitu, pemerintah juga harus bisa mengawasi berjalannya sistem pendidikan agar tidak terjadi penyalahgunaan ataupun bantuan pendidikan yang salah sasaran. Kendati demikian, anggaran yang diberikan pemerintah untuk pendidikan justru pada kenyataannya tidak dapat mengatasi ketimpangan dan akses pendidikan yang merata. Padahal, anggaran tersebut telah diatur sebagai amanat konstitusi, tepatnya pada Pasal 31 ayat (4) UUD NRI 1945 sebesar 20 persen dari ang-

garan pendapatan dan belanja negara (APBN). Namun dalam praktiknya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) periode 2019-2024 hanya mengelola sebesar 15 persen saja untuk anggaran pendidikan yang diberikan oleh pemerintah. Angkanya berbeda jika merujuk kepada amanat UUD NRI untuk anggaran pendidikan yang sekurang-kurangnya sebesar 20 persen dari APBN. Mengutip dari website E-Media DPR-RI dalam berita yang berjudul “Amanat Konstitusi, Anggaran Pendidikan 20 Persen Harusnya Sepenuhnya Dikelola Kemendikbud Ristek,” Wakil Ketua Komisi X DPR-RI, Abdul Fikri Faqih dalam wawancaranya mengatakan bahwa alokasi anggaran fungsi pendidikan lebih banyak digelontorkan ke daerah dalam bentuk Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD).

Sementara, Kemendikbud Ristek RI hanya mengelola 15 persen dari anggaran pendidikan di tahun 2024 yaitu sebesar Rp 98,99 triliun dari total anggaran fungsi pendidikan sebesar Rp 665,02 triliun. Tidak sesuainya jumlah anggaran tersebut juga menjadi faktor utama sulitnya masyarakat untuk mengakses pendidikan tinggi, hal ini mempengaruhi besarnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) sehingga biaya pendidikan sangat sulit dijangkau oleh masyarakat kecil.

Seharusnya Kemendikbudristek memaksimalkan 20 persen anggaran untuk membiayai program pendidikan gratis kepada masyarakat agar permasalahan ketimpangan dan sulitnya mengakses pendidikan di masyarakat dapat diselesaikan dengan baik. Orang miskin akan cenderung tetap menjadi miskin jika tidak mendapatkan pendidikan yang layak. Hal ini karena pendapatan yang mereka dapat hanya akan cukup untuk makan saja, sehingga mengesampingkan pendidikan yang seharusnya menjadi prioritas bagi kehidupan. Sangat disayangkan jika masyarakat masih sulit dalam mengakses pendidikan juga merasakan ketimpangan pendidikan yang masih sangat terlihat nyata. Hal itu seharusnya dapat diselesaikan dengan baik oleh pemerintah karena kewajiban tersebut telah diatur dalam UUD NRI untuk mewujudkan cita-cita dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Diharapkan, pemerintah dapat dengan konsisten menjalankan program pendidikan gratis kepada masyarakat yang membutuhkan, serta mengetatkan pengawasan selama program berjalan. Mengingat, masih banyaknya oknum yang dapat memanfaatkan program pendidikan gratis untuk disalahgunakan sehingga program tersebut menjadi tidak efektif dan justru merugikan negara.[]

Rasa Takut dan Harapan Proses Pendewasaan melalui Melodi Lagu ‘Mungkin Takut Perubahan’

Judul : Mungkin Takut Perubahan

Durasi : 3 menit 8 detik

Penyanyi : Lomba Sihir

Label : Sun Eater

Rilis : 2021

Sebuah lagu dari Lomba Sihir dengan judul “Mungkin Takut Perubahan” mengisahkan dilema antara kenyamanan dan keberanian untuk melangkah maju, menawarkan harapan di tengah keraguan, dan mengajak pendengar untuk terus berproses mengenali diri.

Lagu “Mungkin Takut Perubahan” dari band yang dikenal dengan Lomba Sihir merupakan sebuah eksplorasi sonik yang sarat akan emosi, mencerminkan kegelisahan universal yang dialami oleh manusia ketika dihadapkan pada ketidakpastian.

Karya ini menyoroti rasa takut akan perubahan, sebuah tema yang sangat relevan di tengah kehidupan modern yang bergerak cepat dan sering kali dipenuhi dengan ketidakpastian, khususnya ketika seseorang memasuki fase kehidupan pasca kelulusan.

Setiap gelombang dalam kehidupan membawa serta keputusan, sementara angin yang berhembus senantiasa membuka jalur baru. Perubahan yang datang pada fase ini dirasakan bagaikan arus yang deras. Fase pasca kelulusan menjadi titik awal untuk memulai perjalanan baru.

Salah satu lagu dalam album Selamat Datang yang dirilis pada Maret 2021 ini menggambarkan bahwa terdapat banyak hal yang mungkin tidak dapat diraih, serta sejumlah hal yang harus ditinggalkan karena berbagai alasan. Kehidupan pasca kelulusan seringkali disertai dengan rasa takut dan keraguan. Fenomena ini kerap kali mengharuskan lulusan untuk meninggalkan zona nyaman yang telah dibangun selama masa studi di kampus. Lagu ini secara mendalam merekam dinamika perasaan kontradiktif yang dialami banyak lulusan, di mana terdapat ketegangan antara optimisme terhadap prospek masa depan dan ketakutan yang muncul akibat ketidakpastian yang menyertai perjalanan tersebut. Dengan durasi lagu tiga menit delapan detik, “Mungkin Takut Perubahan” men-

Oleh: Khaila Adinda
Sumber
Foto: Spotify

gajak kita untuk merenungkan perjalanan hidup yang sering kali dipenuhi ketidakpastian. Lagu ini mengingatkan bahwa langkah-langkah yang kita ambil mungkin tidak selalu pasti, namun penting untuk tetap terus melangkah.

Dari Ketakutan Perubahan Menuju Harapan

Lagu “Mungkin Takut Perubahan” dari Lomba Sihir menawarkan eksplorasi mendalam mengenai emosi ketakutan dalam menghadapi perubahan. Dengan lirik yang tulus dan melankolis, lagu ini mencerminkan perasaan manusiawi saat menghadapi ketidakpastian dan perubahan yang tidak dapat dihindari.

Rayhan Noor bersama Natasha Udu selaku vokalis Lomba Sihir membuka lagu ini dengan lirik yang terjalin. Lirik tersebut menggambarkan perjuangan batin seseorang yang merasa terperangkap dalam zona nyaman.

“Banyak alasan ku tetap di sini, Kamu tak pernah suka dengan orang di dalamnya. Tumbuh berkembang, terlahir di sini, Kau banyak alasan.”

Dengan bahasa yang sederhana dan mendalam, lirik lagu ini menonjolkan sifat rapuh dari manusia dalam menghadapi transisi hidup seolah berusaha memahami dirinya sendiri di tengah-tengah perubahan yang terjadi.

Ketika mahasiswa meninggalkan lingkungan kampus yang sudah mereka kenal selama bertahun-tahun, mereka dihadapkan pada tantangan dunia kerja, harapan dari keluarga, hingga ekspektasi pribadi. Lirik seperti, “Banyak alasan ku tetap di sini,” dan “Kamu tak pernah suka dengan orang di dalamnya,” menjadi refleksi dari ketakutan dan kecemasan terhadap perubahan yang mungkin membawa mereka keluar dari zona nyaman yang sudah terbentuk selama masa studi.

“Semoga semuanya teraih, Semoga tak patah hati.”

Melalui pembuka chorus, Lomba Sihir menghadirkan bait yang penuh harapan di tengah refleksi negatif pasca kelulusan yang telah diungkapkan sebelumnya dalam bagian verse. Hal itu menyatukan perasaan cemas, ketidakpastian, dan keinginan untuk maju menuju masa depan. Lirik tersebut memberikan harapan bagi mereka

yang merasa cemas menghadapi kehidupan pasca perguruan tinggi. Meskipun tidak ada jaminan bahwa segalanya akan berjalan sesuai harapan, Lomba Sihir dengan karyanya menyemangati pendengar untuk tidak menyerah pada rasa takut akan kegagalan.

Antara Zona Nyaman atau Melangkah Maju?

Lagu “Mungkin Takut Perubahan” dari Lomba Sihir sangat relevan dengan fenomena yang sering dialami oleh mahasiswa pasca kelulusan. Ketika seseorang baru lulus, ia kerap kali dihadapkan pada dilema antara bertahan di zona nyaman atau menghadapi tantangan baru.

“Mungkin sudah yang terbaik, Mungkin kar’na kakak adik, Mungkinkah terlalu nyaman? Mungkin takut perubahan.”

Lirik di atas menggambarkan perasaan lulusan baru, zona nyaman yang mereka alami selama masa studi bisa menjadi penghambat dalam mengejar impian atau menghadapi dunia kerja yang kompetitif. Lomba Sihir berusaha memahami berbagai ketakutan yang dimiliki oleh setiap individu. Mereka menilai wajar bahwa sebagian dari kita mungkin memilih untuk tetap berada di tempat yang sama, dan itu bukanlah hal yang salah. Melalui lagu ini, tergambar perasaan terjebak yang kerap dialami oleh mahasiswa pasca kelulusan. Zona nyaman yang sebelumnya memberikan rasa aman dan nyaman kini terasa seolah telah ‘mengambil hati,’ membuat impian-impian besar yang dulu ada perlahan memudar, tertutupi oleh rutinitas dan kenyamanan yang sifatnya sementara. Bagi banyak lulusan baru, fase pasca kelulusan seringkali disertai dengan pertanyaan yang sama: Apakah memilih untuk tetap bertahan di zona nyaman, misalnya dengan mencari pekerjaan yang familiar atau tinggal di kota asal, adalah pilihan yang terbaik? Atau apakah langkah berani untuk mengeksplorasi dunia baru, meskipun menakutkan, lebih menjanjikan? Pada akhirnya, keputusan untuk bertahan atau melangkah adalah pilihan yang harus dinilai dan diputuskan oleh individu masing-masing. Setiap individu, terutama mahasiswa pasca kelulusan, memiliki proses dan perjalanan hidup yang unik. Risiko yang menyertai kedua pilihan tersebut sangat nyata—apakah itu risiko kehilangan kesempatan, atau risiko terjebak dalam rutinitas yang menjemukan.[]

Turn static files into dynamic content formats.

Create a flipbook
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.
Buletin Edisi Khusus Wisuda Ke-73 LPM ASPIRASI by LPM ASPIRASI - Issuu