MACCAmagz#1_Sept_2021

ISSN 2807 4308

ISSN 2807 4378

Rp50.000

Pengantar Kata

Dr. H. Ajiep Padindang, SE., MM. Anggota DPD RI / MPR RI,

Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan Kurusumange’

A

Salam sehat selalu. lhamdulillah, kita sewajarnya selalu bersyukur pada Allah,

Tuhan yang Maha Kuasa, sebab rahmat kesehatan senantiasa dicurahkan, khususnya dalam menerbitkan Majalah Seni

Budaya MACCA ini. Saya kedepankan kata bersyukur dan kesehatan, sebab saat majalah ini dipersiapkan, suasana Pandemi Covid-19 beserta varian barunya, masih mengganas diberbagai kota dan daerah, termasuk di Makassar yang memasuki PPKM Level-4.

Keberanian sahabat Goenawan Monoharto, M. Kiblat Said, Ahmadi

Haruna berserta kawan-kawan yang lain, untuk menerbitkan Majalah Literasi, Seni, Budaya dan Pendidikan di tengah-tengah kondisi Seni

Budaya mengalami adaptasi baru seiring perubahan sosial karena Pandemi Covid-19, saya sambut baik. Saya berikan dukungan sepenuhnya, sebab

penyajian berita, artikel dan berbagai bentuk materi muatan lainnya, akan menjadi penyemangat bagi pemerhati hingga seniman dan budayawan Dr. H. Ajiep Padindang, SE., MM. Anggota DPD RI / MPR RI, Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan.

dalam menjalani tata kehidupan sosial baru yang mungkin akan

membentuk peradaban baru pasca Pandemi Covid-19, nantinya.

Keberanian adalah salah satu prinsip dan karakter Orang Bugis

Makassar, menjadi ciri dan tekad para pengelola Majalah Seni Budaya MACCA. Berani didasari atas kecerdasaan Macca, tentu akan menjadi

bagian dari visi dan misi dalam mengelola majalah ini. Sebab, diakui atau

tidak, saat ini kebanyakan kita diterpa semacam virus kemalasan membaca

media cetak. Dunia digital dengan informasi yang lebih cepat, lebih mudah dicerna, bahkan cepat tertelan dan akibatnya pula biasa hilang dalam

ingatan. Terlebih media Seni Budaya, selama ini menunjukkan kurangnya peminatnya, sehingga sulit hidup dengan mengandalkan pelanggannya.

Saya percaya dengan berbekal keberanian yang cerdas, sembari berharap kesetiaan pembaca, maka pengelola dapat hidup dan menghidupkan Majalah Seni Budaya MACCA ini. Hiduplah selamanya. Merdeka !!!!

Salamakki Topada Salamak.

Macca No. 1/September 2021 | 1

Apa Kareba

D

ari kota Wuhan, Tiongkok, Coronavirus

disease 2019 atau disebut juga COVID-19 muncul, menyebar ke berbagai

belahan dunia, merenggut jutaan korban jiwa.

Sejak 11 Maret 2010, World Health Organization

(WHO) menetapkannya sebagai pandemi karena penyebarannya cepat meluas.

Begitu populernya kata Pandemi dalam

kehidupan masyarakat sehingga Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menetapkan

‘pandemi’ sebagai Kata Tahun Ini (KTI) pada 2020 dan menambah perbendaharaan kata dalam kamus.

Pandemi bak hantu, pemerintah pusat dan

daerah pun awalnya dibuat bingung, pohon, rumah, kendaraan, jalanan disemprot cairan disinfektan

sterilisasi dan disinfeksi, seolah di situ ada mahluk yang melekat dan dikhawatirkan bertebaran kemana-mana.

Pandemi seolah mengubah peradaban,

kehidupan sosial bergeser, ekonomi krisis, kehidupan makin sulit, pekerja di rumahkan, bangku pendidikan

ditinggal berdebu karena siswa belajar daring, protokol kesehatan bentukan pemerintah mengharuskan umat Islam shalat berjarak seperti sedang bermusuhan,

aktifitas umat di gereja dan tempat ibadah lainnya pun dibatasi. Tempat makan dan pusat keramaian

dirazia, masyarakat diminta rajin mencuci tangan,

hingga ada warga yang menggerutu, ini pemerintah

kerjanya hanya menyuruh cuci tangan dan tidak pernah mengajak makan.

Ironisnya, pasangan yang mau menikah dan

terdeteksi positif covid-19 terpaksa harus akad nikah

secara daring. Tak kalah aneh model salaman berubah menggunakan siku atau kepalan tinju, jelas sangat

bertolakbelakang dengan budaya. Tak sedikit orang

juga dicap angkuh lantaran tak saling mengenal akibat sebagian wajah tertutup masker, tak bermasker justru bermasalah.

Lebih spesifik lagi, pandemi telah menyulap

panggung para seniman menjadi sepi, aktifitas tak boleh berlangsung dengan kumpulan manusia, kreativitas yang sebelumnya menggebu-gebu

bak sudah dininabobokan keadaan, komunikasi

antarseniman pun berjarak, regenerasi tak menemukan wadah, sementara pemerintah sebagai pembina seni

dan budaya dimasing-masing daerah kehabisan akal untuk merangkul sumber daya.

Di tengah kondisi inilah sekelompok seniman,

budayawan dan jurnalis di Sulawesi Selatan (Sulsel) menggagas lahirnya sebuah Majalah Seni, Budaya

dan Literasi yang diberi nama MACCA (bahasa Bugis

berarti pandai). MACCA adalah milik masyarakat yang

berbudaya, media komunikasi, apresiasi, wadah berbagi ilmu dan pengalaman, media dokumentatif serta media untuk memenuhi kebutuhan pelaku seni, budaya dan literasi dalam bentuk luring.

Majalan MACCA terbit setiap awal bulan, dulu

sejenisnya pernah terbit di era 1970-an dimotori Dewan Kesenian Makassar (DKM), bernama ESENSI. Majalah

kebudayaan ini hanya bisa terbit tiga edisi kemudian mangkat. Sekitar 20 tahun kemudian terbit BKKNI

News yang diterbitkan oleh sejumlah seniman dibawah lembaga BKKI Sulsel, sayang hanya bisa bertahan

setahun dan juga ikut mati seiiring berhentinya dana dari APBD Sulsel yang setop mengalir pada lembaga kesenian tersebut.

Majalah MACCA diharapkan dapat tumbuh

mengikuti zaman, terbit rutin per awal bulan berjalan.

Mungkin dianggap mustahil disaat media online

menggempur. Hasil penelitian menyebutkan bahwa

sekitar 400 ribu media online di Indonesia, terdaftar sekitar 40 ribu, jika dipresentasekan berarti hanya

sekitar 10 persen. Luar biasa memang, semoga ini bukan hoaks.

Seorang seniman penggagas majalah ini

mengIbaratkan Majalah MACCA seperti seekor nener, dalam bahasa lokal disebut ikan Beseng-beseng kecil dengan tubuh transparan dan penuh warna-warni

di sebuah kolam atau danau besar yang kaya pakan,

berenang sendiri tanpa ada saingan. Di danau itu tentu juga ada ikan besar, namun tak mau mengganggu

Beseng-beseng tersebut, dimakan pun tak asyik dan tak mengenyangkan, dia biarkan Beseng-beseng ini hidup dan tumbuh di habitatnya.

Begitulah Majalah MACCA, diharap dapat

berumur panjang sesuai dengan takdir dan kodratnya.

Tentu saja tak lepas dari kemitraan dan kerja sama

semua pihak, khususnya para simpatisan yang peduli atas kehadiran Majalah MACCA. Selamat membaca. •

M. Kiblat Said

Macca No. 1/September 2021 | 2

Daftar Isi Pengantar Kata Dr. H. Ajiep Padindang, SE., MM. Anggota DPD RI / MPR RI, Daerah Pemilihan Sulawesi Selatan.

Macca

Majalah Seni. Budaya. Literasi. Pendidikan.

ISSN: 2807 - 4308

Apa Kareba

1 2

Utama KESENIAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN Kreativitas atau Apatis. Berinovasi atau Mati?

Ajiep Padindang 5 PANDEMI: MENCARI VISI TRADISI Halim HD 8 SENI TRADISI, BUDAYA DALAM KRISIS PANDEMI Tini Suraningsi 9 Kematian Seni Tradisi di Masa Pandemi?

Baghawan Kinayungan 10 Melintasi Generasi, Memaknai Perubahan Arya Pandhu 11

Proses Membaca Sastra Lisan Lewat Layar Sinema Literature on Screen “Sawerigading na Pindakati” Ancoe Amar Merawat Sumanga’na Pakarena Dr. Nurlina Syahrir, M.Hum.

Lego-Lego Patung-Patung di Kota Makassar SENI KOTA TAK GETAR Goenawan Monoharto Pameran Seni Rupa L PROJECT di Makassar TIGA BATU & THE DANCE OF LIVE

Sastra SASTRA SABTU SORE RUANG PUBLIK SASTRA Yudhistira Sukatanya Cerpen Kaki-Kaki Telanjang M. Amir Jaya Sajak-sajak Srie Astuty Asdi Ombak Camar dan Kerinduan AJARI HATI - Terlanjur Padam KISAH ITU AKU PINJAM - Kesumat Rindu

14 26 23 27 29 32 34

Sekolah - Sekolah Kepsek Sma 4. H. Syafruddin BEKERJA DENGAN HATI 36 Drs. Baharuddin, M.Pd. SMK 7 Daring Bukan Halangan Raih Prestasi 36 Teropong La Macca Dirgahayu ke 76. Pekik Merdeka di Rumah Saja Esai Majalah Bobo dan Covid ahmadi Haruna Sastra Lisan Tafsir Kelong (Bagian 1) Chaeruddin Hakim

37 38 39

Pembina / Pengarah Dr. H. A. Ajiep Padindang, MM. Pemimpin Umum / Penanggung Jawab Goenawan Monoharto Pemimpin Usaha Festa MF. Goenawan, S.Kom. Pemimpin Redaksi M. Kiblat Said Wakil Pemimpin Redaksi Goenawan Monoharto Redaktur Pelaksana Drs. Ahmadi Haruna Redaktur Senior Yudhistira Sukatanya Arya Pandhu Dr. Nurlina Syahrir, M.Hum. Rusdin Tompo Idwar Anwar Redaksi Maysir Yulanwar Bahgawan Ciptoning, M.Sn. Dr. Asis Nojeng, M.Pd. Muh. Idris Faisa, S.Pd. Redaktur Grafis Ahmad Fausi Achmad Anzul Artistik Faisal Syarif Sekretaris Voniasti Uba Ina Kleden Iklan dan Sirkulasi Dewi Ritayana Tata Usaha Yehezkiel Timpan Penerbit CV De La macca akte No. 06, 19 Juni 2020 Notaris Hj. Nidya Harun Irham, SH., M.Kn. Alamat Redaksi/Tata Usaha Jl. Borong Raya No. 75 A Makassar Sulawesi Selatan - Indonesia 90233 Hotline: 0811 4124 721 - 081 144 25 721 Pos el: Macca38@yahoo.com Rekening: Bank Mandiri KCP Makassar Pettarani No, Rek. 174 000 352 7744 Redaksi menerima bantuan/hibah tulisan dari penulis, kritikus seni dan siapa saja yang berminat pada seni budaya, Literasi dan Pendidikan. maksimal 1100 karakter, ditambah foto-foto penunjang.

Macca No. 1/September 2021 | 3

UTAMA KESENIAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN Kreativitas atau Apatis.

Berinovasi atau Mati?

Pandemi: Mencari Visi Tradisi SENI TRADISI, BUDAYA DALAM KRISIS PANDEMI Kematian Seni Tradisi di Masa Pandemi?

Melintasi Generasi, Memaknai Perubahan

Tari Pakarena Model Nurlina Syahrir Lokasi Stasiun Ikan Beba - Galesong - Takalar Fotografer Goenawan Monoharto Tahun 2021 (masa pandemi) Macca No. 1/September 2021 | 4

KESENIAN TRADISIONAL SULAWESI SELATAN Kreativitas atau Apatis. Berinovasi atau Mati?

Ajiep Padindang Pembina Sekolah Budaya Sulawesi Selatan, Pendiri dan Pembina LAPAKKSS. Sedang menggagas MUSEUM BUDAYA BUGIS. Mantan Anggota DPRD Sulsel dan Kini Anggota DPD RI/MPR RI, periode kedua, 2019 – 2024. Tinggal di Jakarta-Makassar.

Corona Virus Disease – 2019, atau Covid-19, sudah 18 bulan berlalu sejak mengganasnya diakhir Maret, hingga tulisan ini dibuat masih berlaku Pengendalain dan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 4, 3 hingga 2, dihampir seluruh penjuru nusantara. Dunia kesenian, khususnya kesenian tradisional, termasuk kena dampak yang dahsyat. Kreativitas atau apatis. Berinovasi atau mati?

K

esenian tradisioanal, adalah ekspressi jiwa masyarakat. Seni tradisi, adalah salah satu perwujudan dari nilai-nilai yang menjadi ciri individu, komunitas, bahkan suatu rumpun etnis suku bangsa. Merupakan perwujudan dari keluhuran budaya suatu suku bangsa, sebutlah yang menjadi focus penulis adalah Suku Bangsa Bugis dan Makassar, secara khusus dan secara umum Kesenian Tradisional Sulawesi Selatan, sebagai bagian dari Kebudayaan Indonesia.

Pengingat saja, bahwa Kesenian Tradisional Sulawesi Selatan, meliputi seluruh cabang-cabang Kesenian Indonesia. Seni bertutur, dijumpai melalui ‘’massurek dan osong’’ misalnya. Seni tari, sudah jelas cukup beragam, sebutlah “Pakarena”di Makassar, “Pajaga” di Bugis, “ Pagellu “di Tana Toraja. Bahkan ada tarian perang yang disebut ‘’Kaliao” dalam Catatan Harian Raja Bone, La Temmassonge’ dan sudah diperkenalkan penataan geraknya oleh seorang penata tari tradisional Bone, Fitri Pabentengi (Abd. Hamid, almarhum).

Banyak jenis nyanyian dengan alat musik pengiringnya berupa gendang dan kecapi, gambus, suling, dllnya. Seni rupa (seni lukis), tentu Sulawesi Selatan dikenal dengan kekayaan corak dan motifnya.

Seniman tradisional Tana Toraja memainkan alat tiup Toraja. (foto: Goenawan Monoharto)

Arsitektur dengan ukiran yang tidak hanya khas Toraja seperti dikenal secara luas, namun di wilayah Budaya Bugis dan Makassar, juga demikian banyak.

Seni pertunjukan/atraksi, juga demikian banyak masih dijumpai dipedalaman Sulawesi. Tradisi permainan rakyat, sebagai bagian dari tradisi Masyarakat Sulawesi Selatan, tetap pula tumbuh dan berkembang dengan berbagai aktivitas rutinnya, seperti saat pesta panen. Kesenian Tradisional Sulawesi Selatan bagai mengikuti siklus kehidupan sosiol masyarakat dan yang paling penting adalah semua mengandung unsur relegius, kecerdasan, ketrampilan dan nilai sosial.

Kesenian Tradisional Sulawesi Selatan, pada dasarnya saya selalu membagi dengan dua fase Macca No. 1/September 2021 | 5

Kelompok seni tradisional etnis Makassar (foto: Goenawan Monoharto)

utama, yakni sebelum masuknya agama-agama, terutama Agama Islam di Sulawesi Selatan yang dimulai sekitar abad XVI atau XVII. Fase sebelum agama itu, Kesenian tradisional Sulawesi Selatan, bukan berarti tidak mengandung nilai-nilai releigus sebab selalu dilandaskan kepada “Dewata Sewwae” (Tuhan yang Esa) atau pada kekuatan roh-roh leluhurnya. Dalam pandangan animisme, Manusia Sulawesi Selatan itu tidak mati, melainkan hanya pindah alam dari alam nyata ( dunia tengah) kealam tidak nyata ( dunia atas atau bawa). Sebab dalam pandangan Budaya Sulawesi Selatan, tatanan kehidupan terbagi tiga, yakni dunia atas bagi dewa-dewa, roh-roh suci yang penolong, sedang dunia tengah adalah wilayah kehidupan manusia (ale bola) dan dunia bawa, disebut sebagai dunianya para binatang dan roh-roh jahat.

Tatanan sosial ketiga wilayah kehidupan dalam pandangan Budaya Sulawesi Selatan itu, berubah ketika agama-agama, khususnya Islam, diterima sebagai keyakinan bagi mayorita orang- orang Sulawesi Selatan. Masuknya agama di Bum,I Sulawesi Selatan, sekaligus melahirkan fase kedua dalam dunia kesenian

tradisional sekitar abad XV - XVI, khususnya dan sesungguhnya Kesenian Indonesia pada umumnya.

Kesenian tradisional Bugis dan Makassar, sangat dipengaruhi oleh Agama Islam, sebab memang ada bagian-bagian yang wajib menyesuaikan dengan syariat Islam. Penyesuaian yang menyatu menjadi tradisi baru itu, secara awam sulit dikenali karena terjadi sinkritisme secara mendalam.

Bagaimana dengan Covid-19 di Sulsel?

Covid-19 beserta varian terbarunya, menyerang jiwa. Menusuk jantung. Hingga mempengaruhi prilaku dan sikap dalam kehidupan keseharian, hingga harus dihadapi dengan Protokol Kesehatan yang populer dengan 3 M kemudian menjadi 5 M, namun kunci akhirnya pada peningkatan daya tahan tubuh (imun) menuju pembentukan ‘hard immunity’ yakni ketahanan diri secara bersama dalam suatu komunitas hingga lapisan masyarakat.

Kesenian tradisional seperti yang saya gambarkan diatas, tentu ikut terkontaminasi, terkooptasi bahkan menjadi ‘lok down’ karena Macca No. 1/September 2021 | 6

Pengalungan sutra dari murid Sekolah Budaya Bugis Latemmamala Kab. Soppeng pada Pembina Dr. H. Ajiep Padindang, SE., MM. (foto dokumentasi)

pertunjukan umum dibatasi hingga dihentikan pada waktu dan tempat-tempat tertentu. Namun demikian, seperti yang menjadi kesepahaman dan cenderung kesepakatan para seniman dan budayawan yang terhimpun dalam Lembaga Kajian dan Pengembangan Budaya dan Kesenian Sulawesi Selatan (LAPAKKSS), bahwa berkesenian harus tetap hidup. “ Kesenian tidak boleh mati karena Pandemi Covid-19,” ujar Dr. Nurlina Syahrir, M.Hum, dosen dan koreografer tari.

Yudhistira Sukatanya, seniman dan budayawan dalam buku, ‘ Membaca Perubahan Sosial dan Peradaban Baru, 2021: ”Corona tak membunuh kreativitas.”

Menurutnya, ‘inovasi disruptif (disruptive innovation), yaitu inovasi yang menciptakan produk baru, pasar baru dan jaringan baru, menggantikan aktivitas yang sudah mapan. Memang kenyataannya, berbagai kegiatan kesenian tetap berjalan di era pandemic Covid-19 dengan berbagai kreativitasnya. Ada pertunjukan secara virtual.

Ada pertunjukan yang memadukan daring dan luring, bahkan yang sedikit berani tetap saja melaksanakan pembacaan karya-karya sastra dipanggung terbuka Dinas Perpustakaan dan Arrsip Provinsi Sulsel, tentu dengan Protokol Kesehatan yang sangat ketat.

Jamal Andi, M.Si, Ketua Yayasan Sulapa Eppae’ menyebutkan, gerakan pembelajaran Budaya Bugis, tetap jalan dengan salah satu puncak kegiatannya adalah penamatan yang disebut ‘Panre Temme’ dengan mempergelarkan karya-karya pesertanya seperti di Sekolah Budaya La Temmamala Soppeng, Sekolah Budaya La Mellong Bone dan Sekolah Budaya La Tiringeng To Taba, Wajo. “ Kami harus melaksanakan pagelaran secara langsung karena kesenian tradisional berkaitan dengan karakter budaya, sulit divirtualkan penyajiannya, walau penontonnya bisa saja dengan zoom meeting, “ ujarnya.

Memang salah satu masalah mendasar bagi Kesenian Tradisional adalah soal nilai-nilai dan karakteristiknya yang hanya bisa ditangkap secara baik, jika dilakonkan dan ditonton secara langsung.

Maestro Tari Dr. Nurlina Syahrir yang menjadikan ‘Pakarena’ sebagai basis disertasinya, juga mengakui betapa sulitnya mengekspresikan nilai-nilai yang fundamental jika wajah harus ditutup sebagian dengan masker, bergerak dengan sosial distancing, dllnya. “Memang kita harus membuat penyajian sedemikian rupa sehingga pesan luhur dari Tari Pakarena, bisa sampai pada penontonnya,” ujar Lina dengan mencontohkan pada gerak tangan, langkah kaki, permainan mata dan gerak badan dengan tarikan nafas sesuai irama musik pengiringnya.

Kesenian Tradisional dengan segala kreativitasnya, ternyata bisa diadaptasi oleh para senimannya secara kreatif tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar yang menjadi pesan luhur Budayanya.

Kreativitasnya dapat dilakukan melalu inovasi penyajian secara daring dan luring dalam satu kolaborasi yang harmonis. Persoalannya pada nilai balik untuk menghidupkan kesenian itu sendiri, masih butuh pula inovasi pemasaran. Salah satunya memproduksi melalui kanal You Tube, bahkan pertunjukan berbayar secara firtual dengan menjual ruang melalui ID dan Passcode.

Maka seperti yang disepahamai para seniman, bahwa Covid-19 tidak boleh mematikan kreativitas. Justru Covid-19, harus menjadi pemicu untuk para pelaku kesenian, memasuki suatu dunia baru, yakni dunia digital.

Digitalisasi kesenian tradisional, perlu untuk terus bertahan, tumbuh berkembang dalam lingkungan sosial baru, membentuk suatu peradaban baru dalam dunia kesenian secara khusus dan kebudayaan secara umum. Namun tidak cukup hanya dengan tekad dan semangat para pelaku di dunia kesenian terutama kesenian tradisional yang penuh keterbatasan penghetahuan dan ketrampilan IPTEK, tetapi kehadiran pemerintah, sangat diperlukan.

Sayang memang sebab terutama pada pemerintah daerah, masih terlalu fokus pada aspek sosial, kesehatan dan ekonomi. Mari bersama memajukan Kesenian Tradisional kita dalam prilaku dan sikap yang modern, adaptif terhadap perubahan dan cerdas dengan teknologi informasi dan komunikasi. Hanya orang cerdas yang tangguh bertahan dalam badai Covid-19. Percayalah. •

Macca No. 1/September 2021 | 7

Pandemi:

Mencari Visi Tradisi Halim HD Net working. Tinggal di Solo.

K

epungan pandemi covid 19 selama dua tahun terakhir ini bukan hanya memberikan isyarat dan sinyal kepada kapasitas kemanusian kita. Tapi lebih dari itu isyarat dan sinyal itu harus dibuktikan melalui tindakan praxis yang menuju kepada wujud dari sikap kita dalam kehidupan sehari hari.

Pandemi covid 19 yang mengepung diri kita dan telah menciptakan keterputusan relasi sosial secara tatap muka membuat kita kian tergantung kepada media sosial. Resiko dari dampak media sosial ini menciptakan eforia kondisi chaos, bermunculannya silang sengkarut informasi tentang asal muasal covid 19 dan cara mengatasinya.

Setiap masyarakat dan setiap orang pada dasarnya memiliki ruang terdalam, yang mempunyai akar di dalam rentang kehidupannya: ruang batin, inner space. Dalam konteks itulah semestinya kita menggali kekedalaman pemikiran dan kapasitas merasakan, bahwa pandemi covid 19 sebagai dampak dari moderenisme dan dampak mobilitas sosial membutuhkan tindakan praxis.

Berkaitan dengan akar tradisi dan religi ini kita akan menemukan ruang dan bahkan secara konkrit tentang fakta kebijaksanaan yang memiliki kaitan kuat dengan rasa hormat, respek, kepada ekosistem tradisi: lingkungan hidup.

Diakui atau tidak moderenis-me dalam satu abad terakhir ini punya dampak yang sangat besar terhadap kerusakan ekologis, dan pada sisi lain sistem produksi pangan juga berdampak kepada daya tahan tubuh, kita makin tergantung kepada obat obatan kimiawi, dan industri medis sudah makin menjajah kehidupan kita atas nama konsep kesehatan moderen.

Mungkin kita harus kembali berpikir ulang secara lebih radikal tentang makna kehidupan tradisi dan religi, menapis dan menyingkirkan sikap dan praktek nostalgis yang cenderung escapism yang bisa mengarah kepada arogansi dan megalomanian yang berujung pada etnosentrisme yang menggusur kapasitas kemanusiaan.

Mempertimbangkan dan memikirkan kembali tentang makna tradisi dan religi berarti kita harus menciptakan daya ulang kapasitas puasa: menolak menjadi hewan pelahap apa saja. •

Macca No. 1/September 2021 | 8

Permainan api rakyat Bone. (foto Goenawan Monoharto)

Situasi dan kondisi chaos ini makin menciptakan dampak yang luas secara sosial dan personal. Dampak personal itulah yang makin terasa, hilangnya daya meditatif dan reflektif, permenungan kian surut bahkan sirna dari percakapan di media sosial. Yang ada hanya berupa informasi yang tergesa gesa dibaca tanpa ada pertimbangan reflektif dan mendalam.

Tindakan praxis bukan sekedar PPKM atau lock down dalam berbagai rentang waktu. Seperti saya nyatakan bahwa memiliki ruang batin sebagai akar potensial dan aktual yang sangat kuat kaitannya dengan sejarah tradisi dan religi.

SENI TRADISI, BUDAYA DALAM KRISIS PANDEMI Tini Suryaningsi Peneliti BPNB Prov. Sulsel.

Tinggal di Makassar

Adegan pertunjukan teater I Tolok karya Rahman Arge, Sutradara Goenawan Monoharto (foto dokumentasi)

S

eni tradisi adalah nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Secara budaya, setiap unsur seni tradisi itu memiliki makna yang mendalam mengenai identitas budaya masyarakat yang bernilai positif, menjadi norma, dan memberikan rasa tenang. Hal ini berkaitan dengan seni tradisi merupakan bagian dari rangkaian kegiatan budaya yang menjadi tradisi turun-temurun.

Mencermati kondisi pandemi covid-19 saat ini, apakah budaya masyarakat berkenaan dengan seni tradisi masih tetap eksis ditengah-tengah aturan social distancing

dan larangan berkumpul. Seni tradisi berkenaan dengan adat-istiadat menunjukkan sebuah tradisi itu hadir sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat pendukungnya karena merupakan bagian dari sebuah ritual, bagian dari aktivitas budaya masyarakat, dan sebagai sarana hiburan. Ketika hal tersebut dibatasi, maka dapat mempengaruhi kondisi masyarakat pendukung tradisi yang ada.

Seni tradisi berkenaan dengan seni pertunjukan tradisional misalnya, memiliki fungsi menghibur masyarakat dari serangkaian ritual yang sudah dilaksanakan. Ketika salah satu rangkaian tidak selesai

maka dianggap tidak sah atau tidak sempurna. Maka hal itu menimbulkan kecemasan di masyarakat.

Untuk menghadapi hal tersebut, dibutuhkan upaya sosialisasi kemasyarakatakan tentang kondisi saat ini. Jika salah satu sarana yang harusnya ada menjadi hilang, maka peran masyarakat mencoba melunakkan tradisi-tradisi yang sudah ada menjadi lebih fleksibel dengan keadaan. Namun yang penting adalah seni tradisi itu tidak melenceng jauh dari akar budaya yang sudah terbentuk, serta fungsinya di masyarakat tetap sama.

Krisis pandemi harus memiliki strategi menghadapi situasi yang terjadi dan mencoba untuk mengkreasikan atau membuat inovasi yang sesuai dengan keadaan yang ada. Bukankah budaya itu bersifat dinamis, tidak statis. Demikian pula seni tradisi di masyarakat. Namun hal itu tidaklah mudah untuk dapat diterima di masyarakat.

Seni tradisi dalam bentuk hiburan di masyarakat dapat dilakukan dengan memanfaatkan media sosial yang ada. Di zaman modernisasi saat ini, dan di masa pandemi yang mengharuskan kegiatan dilakukan dari rumah, maka budaya pun dapat dibawa ke media yang lebih luas, dan jangkauan penikmat lebih besar dan beragam. Hal ini juga dapat memberikan dampak positif di masyarakat. Dunia dapat dengan mudah melihat seni tradisi yang ada di masyarakat dan mendapatkan informasi tentang budaya tersebut.

Dengan demikian, informasi budaya akan cepat tersebar, dan dikenal oleh orang lain. Selain itu, dengan persebaran informasi budaya, maka dengan sendirinya menjaga budaya itu tetap eksis di masyarakat dan patut untuk dilestarikan. Demikian strategi budaya untuk menyebarkan nilai-nilai seni budaya kepada masyarakat umum.

Krisis dapat diubah menjadi optimis, panik dapat diubah menjadi ketenangan, pandemi dapat diubah menjadi kreativitas tanpa batas. Dengan demikian, ketahanan budaya dalam berbagai terpaan dapat diatasi dengan daya dan upaya bersama sehingga identitas masyarakat pendukung kebudayaan tersebut tetap dapat eksis dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. • Macca No. 1/September 2021 | 9

J

umlah suku di Indonesia mencapai 300 kelompok etnik dikutip dari Indonesia.go.id, berdasarkan sensus BPS tahun 2010. Adapun, tepatnya ada 1.340 suku bangsa. Ratarata setiap suku memiliki seni tradisi lebih dari satu, sehingga dapat dibayangkan berapa ribu seni tradisi yang meliputi seni tari, musik, drama dan ragam hias / seni rupa di Indonesia ini, dari Sabang sampau Merauke, dari Miangas sampai Rote. Dari ribu-an seni tradisi tersebut, dalam perjalanan kehidupannya mengalami perubahan baik perkembangan maupun kepunahan sesuai kondisi dan situasi masyarakat pendukungnya.

Harus diingat bahwa seni tradisi (kebudayaan) itu tidak bersifat statis, ia selalu berubah. Tanpa adanya pengaruh dari kebudayaan lain atau asing pun seni tradisi akan berubah dengan berjalannya waktu. Bila tidak dari luar, akan ada pendukung / pemilik seni budaya itu sendiri yang akan mencipta variasi-variasi baru baik dalam bentuk maupun fungsinya, yang akhirnya akan menjadi milik bersama dan dikemudian hari akan menjadi bagian dari seni budayanya (proses transformasi). Dapat juga terjadi karena beberapa aspek dalam lingkungan tersebut mengalami perubahan secara alami dan pada akhirnya akan membuat seni tradisi tersebut secara lambat laun menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi (Proses Evolusi). Jauh sebelum pandemi Covid-19 mewabah di Indonesia (Dunia) seni tradisi sudah banyak mengalami kepunahan (“kematian”) atau tetap hidup tetapi berubah pola penyajiannya.

Sebagai contoh seni tobong atau panggung Kethoprak dan Wayang Wong (Jawa Tengah), ludruk (Jawa Timur), Pelipur Lara (Melayu), Sinrilik (Sulawesi Selatan), Tari pergaulan, maupun seni tradisi di Kerajaan yang berfungsi sebagai upacara banyak yang telah berubah menjadi seni hiburan dan komersial.

Mensikapi perubahan jaman yang terbilang amat sangat cepat, masyarakat dari berbagai lapisan profesi, demikian pula para pendukung dan kreator seni tradisi dituntut dan harus menyesuaikan diri dengan kondisi yang terjadi. Perubahan kehidupan dari pola pikir agraris menjadi industrial dengan tekhnologi (internet) membuat gamang sebagian masyarakat (biasa disebut gaptek). Selagi sebagian masyarakat modern sedang menyesuaikan dengan keadaan, dunia dikejutkan dengan wabah Covid-19 yang meluluh lantakan kehidupan manusia abad ini. Di balik kehancuran sendisendi kehidupan masyarakat karena penyakit menular yang merajalela justru tumbuh kembang inovasi dengan memanfaatkan tekhnologi media informasi untuk tetap

Kematian Seni Tradisi di Masa Pandemi?

Baghawan Kinayungan Pengamat Seni. Tinggal di Makassar

dapat melestarikan bahkan mengembangkan seni tradisi baik dalam konsep maupun pola penyajiannya.

Perubahan pola pikir (mindset) sepertinya memang harus dilakukan agar dapat survive, karena perubahan pola pikir tersebut seseorang dapat menentukan suatu sikap, pandangan hingga masa depannya. Seperti halnya ivent-ivent dan pola garap seni tradisi saat pandemi dikarenakan harus mengikut protokol kesehatan, maka terjadi perubahan besar yaitu dari panggung konvensional (penonton hadir secara langsung di tempat) menjadi panggung media sosial (reality maya).

Sistem presentasi dalam jaringan (daring) seakan menjadi keharusan dalam segala acara, demikian pula acara-acara seni tradisi. Banyak festival maupun pementasan yang diselenggarakan secara virtual baik tingkat regional, nasional bahkan internasional. Pola pergelaran secara virtual justru dapat digelar dan dinikmati dari berbagai daerah atau negara dimana penyaji dan penonton seni berasal selama ada fasilitas computer dan internet. Penyajian seni tradisi secara virtual tentu saja sangat berbeda dibandingkan dengan seni tersebut digelar dan dihadiri penonton secara langsung (live). Efuoria maupun emosi penyaji dan penonton juga sangat berbeda. Komunikasi timbal balik antar penonton, pertunjukan dengan penonton maupun pemain dengan pemain di area pertunjukan itu adalah romantika seni massa yang kemungkinan besar tidak didapatkan untuk penyajian seni secara virtual.

Wabah penyakit Covid-19 dan perkembangan teknologi memang tidak dapat dibendung, sehingga diperlukan kearifan bagi para pendukung, pemilik seni tradisi dan pemangku kebijakan (pemerintah dan lembaga seni tradisi), karena pola pelestarian dan penyajian seni tradisi harus bersinergi dengan teknologi.

Mengatasi wabah penyakit memang harus menjadi prioritas tetapi tidak boleh lengah, karena kelengahan akan berdampak pada kematian yang lebih besar yaitu kematian sendi-sendi kehidupan sosial budaya. • Macca No. 1/September 2021 | 10

Melintas Generasi Memaknai Perubahan Arya Pandhu Pengelola Rumah Budaya Royal House Cultural Activities.

Tinggal di Yogyakarta.

A

pa kabar Seniman Tradisi hari ini?

Pertanyaan sederhana yang terkadang sekaligus acap menjadi judul dalam berbagai kesempatan agenda diskusi online daring itu. Tentunya, perlu kita cermati dan sikapi kembali di tengah situasi dan kondisi pandemi hari ini.

Tak terasa, jika sudah lebih dari setahun pandemi ini kita lewati bersama. Satu-persatu, para seniman-seniwati kita dengar mulai berguguran sebagai imbas dari pandemi ini. Meski, berbagai upaya dan usaha juga tak kurang untuk dilakukan demi menjaga eksistensi dan juga semangat agar tetap bisa berkesenian dengan gaya dan cara kita masing-masing.

Jagat Seni Pertunjukan Tradisi, kini tak lagi bersinar. Dampak pandemi yang kian meluas, membuat berbagai aturan mulai diperketat disanasini oleh pemerintah. Sebagai imbasnya, ruang atau kantong-kantong budaya pun mulai surut dan dunia panggung sebagai arena atau gelanggang tempat berekspresi sekaligus media apresiasi itu pun ikut redup dan akhirnya tenggelam.

Ada pandangan yang mengatakan, Seni itu adalah sebuah karya yang harus bisa dilihat dan dirasakan secara langsung menggunakan Raga, Rasa dan Pikir kita sebagai manusia. Lantas, apa dan bagaimana tantangannya hari ini bagi para pelaku dan penggiat seni di era Pandemi Covid-19?

Seni Virtual Hari ini Saat ini, Transformasi Digital atau Trans Digital di era New Normal ini tak mungkin untuk kita hindari. Agar tidak tertindas atau tergilas oleh jaman.

Mengingat, dunia seni kita juga sudah mulai berbenah.

Apalagi kebutuhan akselerasinya sudah semakin berubah dengan kehadiran teknologi informasi dalam peta dunia hiburan dan menjadi trend melalui sosial media (sosmed).

Harapannya, Trans Digital yang kian tak terbendung, juga harus berjalan bersama menuju ke Transformasi Generation atau Trans Generation sebagai

cara untuk semakin menyiapkan generasi muda seni yang lebih siap dalam beradaptasi mengikuti era jaman-nya. Persiapan Transmisi dan Transformasi ini, hendaknya juga harus kita dikawal sesuai dengan kearifan lokal yang kita miliki. Agar para Pelaku Seni Tradisi sebagai garda depan kebudayaan kita bisa terus hidup lestari dan berkembang bersama.

Hal ini, tak hanya berlaku bagi para pelaku dan penggiat seni tradisi semata. Jagat seni kreasi bahkan seni kontemporer juga mau tak mau harus mampu beradaptasi untuk bisa berkolaborasi bahkan berelaborasi bersama untuk dapat memberi arti dan makna baru. Itu bila mau tetap eksis dan tidak tergilas oleh tuntunan jaman yang serba online.

Sejauh ini, latar belakang Seni Pertunjukan Tradisi yang umumnya lebih Komunal - Kolektif itu sangat memungkinkan untuk menciptakan apa yang hari ini, akrab disebut Seni Kolaborasi - Kolektif yang juga melibatkan keterlibatan lintas seni - multidisipliner dalam membangun ruang jejaring baru melalui jagat Seni Pertunjukan Virtual. Meski untuk mencapai ke titik

Macca No. 1/September 2021 | 11

ini memang masih butuh proses, waktu, integritas dan daya vitalitas.

Boleh jadi, pandemi adalah sebuah Kawah Candradimuka agar bisa tetap bertahan di era Normalitas Baru. Tak pelak, membangun kembali kesadaran, keterlibatan, kepemilikan untuk mengusung isu, wacana dan narasi dalam berkesenian tetap menjadi landasan utama. Sekaligus cara untuk menjaga spirit dan roh yang harus berjalan selaras dalam keberlangsungannya.

Lantas, bagaimana cara agar kegiatan Seni Tradisi bisa tetap bertahan di masa pandemi? Inovasi, kreasi dan kolaborasi menjadi kunci bagi pelaku seni tradisi untuk bertahan dalam masa pandemi ini. Berani melakukan terobosan melalui perubahan pola pikir dengan menguatkan pengembangan potensi diri secara personal dan kolektif menjadi sesuatu yang harus dicoba dan dipelajari lebih lanjut.

Kini, keterbatasan dalam bergerak dan berekspresi dapat tersalurkan melalui media dokumentasi sebagai alat (tools) penyampai pesan audio - visual yang bisa di produksi mandiri atau kolektif melalui format virtual.

Dan dengan seketika pula dapat dibagikan dalam hitungan detik ke semua platform sosial media yang ada secara live maupun tapping - siaran tunda, lebih bebas tanpa batasan ruang dan waktu.

Media rekaman audio - visual ini, tentunya tak sekedar hanya berfungsi menjadi alat perekam peristiwa dokumentari (fungsi dokumenter) seni pertunjukan semata dari luring ke daring semata. Namun, banyak hal yang bisa di olah secara sederhana, murah dan mudah sebagai kesatuan paket produk dokumentari melalui pendekatan audio - visual dan narasi yang memikat melalui konsep desain produksi yang minimalis.

Ulasan tentang kostum, rias, ubo rampe - sesaji, profil para pelaku dan penggiat seni tradisi, dllnya.

Semua itu sangat mungkin untuk bisa di ulas lebih jauh hanya dengan bermodalkan alat yang ringkas praktis dalam teknis operasionalnya. Saat ini, hanya menggunakan telepon pintar android, jejaring sosial media dan jaringan akses data internet. Semua bisa kita lakukan dengan cepat dalam satu genggaman dengan sekali klik.

Revolusi Pemikiran Berkreasi dengan seni melalui sosial media, seperti di Facebook, Instagram, Youtube, dll yang telah menjadi trendsetter jagat media online. Tak lagi menjadi sesuatu tak mungkin untuk tidak

dilakukan saat ini. Beberapa platform media sosial tersebut memang telah menyediakan fitur untuk menyelenggarakan siaran langsung dengan cara yang mudah untuk bisa diaplikasikan secara bersama. Semua itu, kini menjadi cara baru bagaimana mengartikan dan memaknai sebuah peristiwa seni budaya.

Pandemi yang telah menjadi wabah baru yang mengancam semua sendi kehidupan kita. Hendaknya, jangan dijadikan alasan pelaku dan penggiat seni tradisi harus berkonfrontasi melawan keadaan. Justru, di masa pandemi ini seni tradisi harus beradaptasi dengan pengetahuan baru yang mungkin sebelumnya belum tersentuh bahkan terpikirkan sama-sekali.

Meski, pihak pemerintah dan swasta sudah banyak yang ikut menfasilitasi penguatan tradisi pada era pandemi.

Dengan beragam kegiatan yang dirancang khusus untuk menyediakan ruang baru bagi pekerja seni atau masyarakat penikmatnya untuk tetap dapat berkegiatan dan beraktivitas lewat jalur daring - dalam jaringan yang bisa disiarkan secara live - langsung. Baik melalui, agenda Seni Pertunjukan, Lokakarya, Pelatihan - Edukasi - Tutorial, Webinar melalui aplikasi Zoom, dllnya.

Agar bisa tetap eksis, di ranah seni hari ini adalah bertahan dengan aksi kolaborasi untuk membantu sesama, khususnya di bidang seni. Gerakan-gerakan itu, banyak berangkat dari individu sesama pekerja seni yang terus bergaung serentak dimana-mana secara dinamis. Agenda kerja kolaboratif dengan tujuan membantu sesama digagas kemudian oleh bermacammacam institusi - komunitas seni di tanah air.

Hikmah adanya pandemi, keberlanjutan seni menjadi teruji dan relevan untuk diperbincangkan.

Karena, kita semua berada di situasi yang sulit dan serba tidak pasti untuk membicarakan rencanarencana besar yang sudah tersusun rapi sebelumnya.

Tak terhitung, berapa banyak pentas yang terpaksa dibatalkan dari awal PSBB hingga saat PPKM. Tak heran, langkah konkrit untuk bisa bersatu-padu membangun jejaring lintas seni - multidisipliner dengan berkolaborasi untuk saling membantu menjadi sesuatu yang harus terus dikondisikan dan diciptakan.

Dan medium online, menjadi salah satu kanal yang bisa menjadi andalan di situasi dan kondisi seperti ini. Dengan mulai membiasakan diri menggunakan berbagai aplikasi online dengan membuat program solidaritas di bidang seni. Bisa ikut terlibat dan menikmati dinamika baru ini. Menjadi semacam gairah baru dari para pelaku seni dalam menyikapinya.

Macca No. 1/September 2021 | 12

Serentak bergerak, saling bantu bersama, saling dukung membangun jejaring - networking secara luas.

Pada masa pandemi, seni bisa jadi bukan menjadi prioritas bagi orang-orang yang tidak bekerja di ranah seni. Namun, bagi mereka yang berkecimpung dan menggantungkan hidupnya di dunia ini sudah pasti memiliki pendapatnya sendiri. Seni itu stimulus bagi kehidupan masyarakat. Memperkaya kita dalam menjaga kewarasan dalam harmoni kehidupan. Agar bisa tetap berdiri sebagai pilihan dalam hidup di tengah pandemi.

Hendaknya, kita harus yakin bahwa praktik berkesenian bisa membantu mengatasi permasalahan yang saat ini tengah dihadapi. Seni adalah medium kreatif yang sangat fleksibel dan mampu merespons berbagai permasalahan dan situasi. Seni bisa

menginspirasi dan menciptakan alternatif yang kreatif dalam mencari solusi permasalahan. Karenanya, salah satu bagian utama dari seni adalah mendukung kehidupan.

Sesuatu yang pasti adalah saatnya kita untuk terus bergerak menciptakan daya-cipta-kreasi baru dalam ketukan-ketukan kecil jika memungkinkan.

Sembari menunggu keajaiban menuju ke ketukanketukan besar selanjutnya yang mengacu pada perubahan pola pikir, gaya hidup dan kesenangan dalam berkesenian. Agar kita semua menjadi lebih siap dan tetap merdeka dengan semua ide, gagasan dan konsep yang lebih bisa terkondisikan memasuki era New Normal hari ini. •

SELAMAT PELUNCURAN PERDANA Majalah MACCA

Seni.Budaya. Literasi. Pendidikan

Sukses di Tengah Pandemik COVID-19 Makassar 1 September 2021 Pengurus MKKS SLTP, SD, TK. Makassar

Guru dan Staf UPT SMA Negeri 4 Makassar

Hj. Hijriah Enang, S.Pd., M.Pd. Ketua

H. Syafruddin, S.Pd., M.Pd. Kepala Sekolah

Ketua beserta Pengurus IKAPI Daerah Sulsel

Ketua beserta Pengurus IKAPI Kota Makassar

Goenawan Monoharto Ketua Penerbit Garis Khatulistiwa Mono Goenawan Direktur

Drs. H. M. Jurlan Saho As Ketua Dinas Arsip Kota Makassar A.Tenri Ampa Kepala Dinas

Guru dan Staf UPT SMK Negeri 7 Makassar

Dinas Perpustakaan Kota Makassar

Drs. Baharuddin, M.Pd. Kepala Sekolah

H.Fathur Rahim Kepala Dinas Macca No. 1/September 2021 | 13

Proses

Asis Nojeng Pengajar di Unismuh Makassar.

Tinggal di Makassar

Pra Pernikahan Suku Makassar

M

elangsungkan pernikahan merupakan hal yang teramat penting bagi masyarakat. hal ini dianjurkan oleh agama juga dipertegas oleh aturan adat. Namun, acap kali, dalam pelaksanaannya, terkadang sering terjadi pembauran antara aturan agama dan adat istiadat. Bahkan, prosesi adat acapkali dituding menyimpang dari ajaran agama. Namun, dalam tulisan ini belum menjabarkan hal-hal yang dianggap menyimpang dari sudut pandang agama. Pada kesempatan lain akan dibahas.

Di Sulawesi Selatan, khususnya masyarakat suku Makassar, sebelum melangsungkan pernikahan ada beberapa rangkaian yang harus dilewati.

Bukan hanya sekadar prosesi atau ritual adat, ungkapan-ungkapan yang penuh dengan makna juga akan kita jumpai pada rangkaian prosesi sebelum melangsungkan pernikahan.

Dikutip dari halaman Facebook Makassar Internasional

dan dihimpun dari berbagai sumber, berikut ini akan dipaparkan tahap-tahap sebelum pernikahan beserta ungkapan yang digunakan dalam bahasa Makassar.

Tahapan sebelum pernikahan; Accinik Rorong (Penjajakan) Pada tahap ini pihak lakilaki melakukan penjajakan dengan penuh rahasia sehingga pihak

perempuan belum mengetahui maksud kedatangan tamunya. Salah satu cara untuk mengungkapkan maksudnya ialah dengan menggunakan paruntukkana sebuah ungkapan yang mengandung unsur sastra di dalamnya, seperti ungkapan yang disampaikan oleh pihak laki-laki. Misalnya; Lompona anne rappona untia, erokku ampalessoki anakna (Sungguh besar buah pohong pisang ini, saya hendak memindahkan anaknya), pohon pisang bermakna rumah, sehingga isi atau anak dari pohon pisang tersebut ingin dipindahkan.

Ungkapan yang dilontarkan oleh pihak laki-laki juga akan dibalas oleh pihak perempuan. Berikut contoh ungkapan balasan dari pihak perempuan; “Iye, sallomintu erok nipalessok, mingka tenanaji nakke paklamungangku (iya betul, sudah lama pisang tersebut ingin dipindahkan hanya saja saya belum punya lahan).

Makna dari jawaban tersebut merupakan lampu hijau bagi perwakilan laki-laki yang datang ke pihak perempuan. Tahap ini merupakan langkah yang paling awal sebelum mengutarakan maksud yang sesungguhnya.

Appabattu Kana (Melamar)

Pengantin Makassar. (foto: dok)

Setelah mengetahui jawaban dari pihak perempuan, maka perwakilan dari pihak laki-laki akan kembali dan melaporkan respon dari tahap penjajakan tersebut.

Macca No. 1/September 2021 | 14

Setelah melakukan musyawarah, maka ditempuhlah tahapan ini.

Tahap ini merupakan lanjutan dari tahap ‘accinik rorong’ (penjajakan). Seperti tahapan sebelumnya, pembicaraanpun dimulai dengan paruntuk kana sebuah ungkapan yang mengandung nilai sastra yang tinggi. Contoh ungkapan yang digunakan Pihak laki-laki: Niak annae nasuropakkutaknanngang Daeng…(menyebutkan nama bapak/ibu dari calon mempelai pria) Anjo mange bunga sibolloa apa niakmo angkalliki? Na punna tenapa, niak illak takasimbanganna Daeng Nganu…erok ampakabani bellaya, ampaka jarreki takrokaya (ada hal yang ingin dipertanyakan oleh Daeng… Apakah bunga itu sudah ada yang memagarinya?

Kalau memang belum ada, ada maksud dari keluarga Daeng… hendak mendekatkan yang jauh dan mempererat simpul yang masih renggang).

Setelah mengetahui maksud dari kedatangan pihak laki-laki, maka pihak perempuan juga akan menjawab dengan ungkapan yang tidak kalah indahnya dari ungkapan pihak laki-laki. Berikut jawaban dari pihak perempuan; Alhamdulillah, rannu dudumak antu allanngereki ri kabattuanta, mingka takuassengapi anne ri niakna ri tenana angkalliki.

Lanri kammanami anjo na kupauang aseng todok rodok toana siagang purinanna. (Alhamdulillah, saya sangat berbahagia setelah mengetahui maksud dari kedatangan Anda, tapi saya belum mengetahui apakah bunga yang kami miliki sudah ada yang memagari atau belum. Olehnya itu, saya akan menanyakan kepada orang tua dan keluarga terdekat.[5]

Tahap ini menunjukkan bahwa dalam mengambil sebuah keputusan hendaknya dilakukan musyawarah terlebih dahulu. Melibatkan orangorang terdekat sebelum mengambil sebuah keputusan merupakan sebuah tindakan sipakatau (saling menghargai), meskipun juru bicara dari pihak perempuan bisa mengambil keputusan saat itu juga.

Namun, hal tersebut tidak dilakukan agar tidak ada penyesalan terhadapp keputusan yang telah diambil.

Ammolik Kana (Menyimpan Kata) Sebelum meninggalkan rumah pihak perempuan, perwakilan dari pihak laki-laki biasanya

perwakilan tersebut akan menyampaikan waktu untuk kembali mempertegas yang dianggap belum menemukan titik terang.

Ammolik Kana (Menyimpan kata) merupakan tolok ukur keseriusan pihak laki-laki untuk mempersunting perempuan yang dimaksud. Jika dalam waktu yang ditentukan pihak laki-laki tidak kembali untuk mempertegas maka pihak laki-laki dianggap mundur atau tidak serius dalam hal peminangan.

Appakkuling (Mengulangi untuk Mempertegas) Setelah tahap sebelumnya terpenuhi, maka keduanya akan menyepakati waktu untuk datang kembali memperjelas dan meminta ketegasan atas jawaban dari pertanyaan yang telah dilontarkan dari paruntuk kana tersebut.

Appakkuling merupakan taha-pan untuk mempertegas kembali apa yang telah dipertanyakan sebelumnya dengan

maksud untuk mengetahui apakah lamarannya diterima atau ditolak.

Setelah mendapatkan jawa-ban, dan ternyata lamaran dari pihak laki-laki diterima, maka pihaklaki-laki akan datang kembali untuk memenuhi tahapan berikut dari proses sebelum melangsungkan pernikahan.

Appakajarrek/Annyikkok (Mengikat/Menyunting) Appakajarrek merupakan langkah menyepakati atau menyatukan pendapat untuk melaksanakan pesta perkawinan.

Pada tahap ini sudah dibicarakan ‘sunrang’ (mahar) dan doek panaik (uang belanja) dan perlengkapan lainnya. Juga tidak terlupakan untuk dibahas yakni erang-erang atau seserahan yang dibawa serta oleh keluarga mempelai laki-laki saat datang ke rumah mempelai perempuan untk melakukan pernikahan.

Hal utama yang juga tidak kalah pentingnya yakni cincing passikkok yang akan dibawa serta saat proses Appakajarrek/Annyikkok (mengikat/menyunting) telah berlangsung. Cincin tersebut akan menjadi pagar bagi calon mempelai wanita agar menjaga pandangan dan hatinya kepada lelaki lain.

Cincin ini juga menjadi tanra (tanda) kalau perempuan tersebut telah dipinang oleh lelaki yang telah disepakati oleh kedua belah pihak keluarga. Cincing pasikkok ini belum merupakan cincin kawin yang biasanya dipasang pada jari mempelai wanita di kamar pengantin saat appabattu nikka.

Biasanya, cincin kawin dipasangkan setelah proses appabattu nikka telah dilangsungkan oleh anrong bunting yang ditunjuk oleh pihak mempelai wanita. • Macca No. 1/September 2021 | 15

Proses

Membaca Sastra Lisan Lewat Layar Sinema

Literature on Screen “Sawerigading na Pindakati” Ancoe Amar

Pengajar tetap di IKJ. Tinggal di Depok

“Cerita Sawerigading na Pindakati adalah cerita yang luar biasa, melebihi kisah Romeo dan Juliet. Bisa dibayangkan seorang Sawerigading sampai di dunia arwah (Puya) untuk menemui kecintaannya. Cinta yang luar biasa melebihi kisah cinta yang pernah ada.”

Victor Senabua, Budayawan.

K

isah ini tentang Saweri-gading dalam tradisi Toraja. Sebuah kisah “perkawinan historis dan genealogis” antara tradisi Toraja dan tradisi Luwu (baca: Bugis). Di sekitar bukit Kandora – Mengkendek, yang masih memegang teguh tradisi dan adat-istiadat, masih dirawat sebuah kisah turun temurun, yang dalam bahasa setempat disebut: “Tomaqadaq Sawerigading”. Kisah tentang pertemuan Sawerigading dengan permaisuri pertamanya: Pindakati.

Diawali dengan dipisahkannya Sawerigading dengan saudari “kem-bar emas”-nya bernama Tandiabeng. Adat istiadat menetapkan bagi mereka yang dilahirkan kembar lelaki dan perempuan, tabu untuk tinggal serumah. Sawerigading kemudian menetap di dalam istana bersama kedua orang tuanya. Sedang, Tandiabeng dibawa pergi dan menjalani hidup dengan ibu surinya.

Sawerigading yang kemudian tumbuh dewasa dan memiliki kebiasaan bepergian. Ia gemar bertualang. Hal inilah yang membuat orang tuanya mengawinkannya dengan sepupu- sekalinya bernama Pindakati. Setelah memperisitri Pindakati, Sawerigading tinggal bersama isterinya di Biduk, sebuah kawasan lereng di sebelah timur gunung Latimojong.

Saat Pindakati hamil, ia menderita sakit yang sangat parah dan tidak dapat diobati, dan berujung pada wafatnya Pindakati. Sawerigading yang sangat berduka tetap memeluk isterinya itu di dalam pangkuannya sambil meratap dan menyumpahi orang-orang yang tak sanggup mengobati kekasihnya itu. Tujuh hari tujuh malam Sawerigading tenggelam dalam dukanya yang dalam. Hingga datanglah seorang ahli adat (Tominaa) memberinya nasehat agar Sawerigading rela melepaskan kecintaannya. Tominaa memberi keyakinan bahwa bila seseorang yang kita cintai menemui ajal, sesungguhnya pergi tidaklah jauh. Jaraknya, ibarat sehelai daun yang menjadi dinding penyekat antara alam dunia dan alam arwah.

“Bila kita merasa rindu kepadanya, kitab boleh pergi bertemu dengan mereka di alam Puya,” ujar sang Tominaa. Itu membuat Sawerigading akhirnya mengupacarakan dan melepas jenazah Pindakati menuju alam selanjutnya: Puya.

Kisah folklore legenda Saweri-gading di Kandora ini kemudian berlanjut pada kembalinya Sawerigading ke Tanah Luwu. Jejalin kisah mempertemukannya dengan Tandiabeng, sang saudari kembar yang paras wajah dan serta perawakannya mengingatkan Macca No. 1/September 2021 | 16

Sawerigading pada mendiang isterinya Pindakati.

Itu membuat Sawerigading berkeras mengawini saudari kembarnya itu. Namun, jangankan alih-alih mengawininya, bahkan hidup bersama dalam satu naungan istana atau rumah pun, adalah pantang dalam aturan adat dan nubuat.

Tandiabeng, yang sangat patuh pada norma adat-istiadatnya, menasehati Sawerigading untuk pergi ke tanah Cina. Katanya, di sana ada perempuan yang paras dan perawakannya sama dengan dirinya. Maka berangkatlah Sawerigading menemui perempuan yang dimaksud. Lisudaiq, namanya. Anak dari seorang datu di Cina. Sawerigading menikahi Lisudaiq dan tinggal menetap dalam istana datu Cina itu. Keduanya saling mencintai, kasih mengasihi dan pada kelanjutan kisah, rahim Lisudaiq mengandung benih cinta-kasih mereka.

Dalam masa-masa hidup di istana Datu Cina itu, Sawerigading masih sering teringat pada ayah-bundanya di Tanah Luwu, pada saudara kembarnya Tandiabeng

dan juga pada almarhumah Pindakati. Kemudian terbetik pesan perempuan kecintaannya itu, “Janganlah bersusah hati, pantang berulang duka nestapa. Hanya kuncup rerumputan yang memisahkan kita dan sehelai daun semata yang menjadi dinding penyekat antara kita”.

Sontak Sawerigading teringat pesan Tominaa bahwa ia dapat menemui Pindakati di alam Puya kapan saja ia menginginkannya.

Sawerigading lalu pamit pada isteri dan mertuanya.

Ia akan berangkat menuju alam Puya. Namun perjalanan menuju Puya tidak semudah yang dibayangkan Sawerigading. Sejumlah hambatan dan kesulitan ditemui Sawerigading, termasuk menghadapi penguasa Puya, Puang Lalondong. Pada akhirnya Sawerigading bisa bertemu Pindakati dan menetap sejenak di Puya. Bahkan Sawerigading ingin membawa kembali isterinya ke alam dunia. Namun ia diingatkan oleh Pindakati bahwa orang yang masih hidup dapat tinggal di alam Puya, tetapi tidak sebaliknya: bagi yang telah wafat dan menempati alam arwah, tidak dapat kembali ke dunia. Sawerigading tak menghiraukan peringatan itu. Ia tetap memaksakan kehendaknya.

Setiba Sawerigading dan Pindakati di perba-tasan alam Puya dan alam dunia, Pindakati melahir-kan seorang bayi perempuan yang diberi nama: Jamallomo, yang berarti “yang lahir dari kandungan wanita yang telah meninggal dunia”. Agar bisa melewati Puya bersama kedua orang kecintaanya, untuk kembali ke dunia, Pindakati berubah menjadi batu.

Disain Dramaturgi “Sawerigading na Pindakati” Usai mementaskan pertunjukan “Jejak Sawerigading” yang disutradarai Sabilul Razak di Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tahun 2016, muncul gagasan untuk kembali mengusung episode lain dalam menggambarkan kekayaan kandungan epos La Galigo. Tidak hanya epik kisah “mainstream” tentang Sawerigading, We Tenriabeng, dan We Cudai dalam tradisi tutur Bugis. Hal itu yang memantik gagasan untuk mengangkat mitologi tersebut dalam versi Toraja, sebagaimana yang terdapat dalam tradisi tutur tentang Sawerigading dan Pindakati, yang dinukil dari “Tomaqadaq Sawerigading” tersebut.

Penting dicatat bahwa dalam versi Toraja, episode “Sawerigading na Pindakati” memiliki bentuk naratif yang lebih kompleks dibandingkan versi Bugis susunan R. A. Kern.

Maka dimulailah serangkaian proses: riset, observasi, dan wawancara melibatkan tokoh- tokoh adat Luwu hingga Toraja yang bermukim di Jakarta dan sekitarnya. Para tokoh yang ditemui antara lain: Andi Maradang Machkulau Opu To Bau (Datu Luwu Ke-40), Andi Arus Victor (Ketua Umum Kerukunan Macca No. 1/September 2021 | 17

Salah satu adegan yang ada di film Sawerigading na Pindakati. (Foto: Agus Linting)

Keluarga Tana Luwu), Adrial Rumengan (Ketua Tallu Lembangna: Makale, Sangalla’ Mengkendek), dan Victor Senabua (Ketua Masyarakat Adat Kesu’).

Termasuk upaya “berdialog” –dengan tujuan memperoleh pemerkayaan-- dengan referensi prosa lirik terkait folklore tersebut, karya Prof. Cornelis Salombe.

Dramaturgi sebagai teknik penyusunan karya dramatik digunakan dalam meramu sastra lisan “Sawerigading na Pindakati”. Referensi utama pada kisah lisan yang diceritakan pada gelaran “Merok Sawerigading” oleh seorang Tominaa bernama Nek Sando, termasuk –sekali lagi—, prosa lirik karya almarhum Prof. Cornelis Salombe yang berjumlah 470 bait, yang dirumuskan terlebih dulu dalam penyusunan elemen maupun struktur yang terbagi atas lima bagian/babak kisah tutur.

Bagian pertama, berupa ucapan doa memohon berkat, rasa syukur, tentang cerita masa lampau yang menjadi teladan, pegangan hidup turun-temurun, yaitu riwayat Puang Sawerigading. Persembahan seekor kerbau hitam (tedong Samarra) yang putih pada ujung ekor dan kuku kaki belakangnya. Terdapat tari “Maqgelluq”, “Maq-dandan”, “Manimbong”, dan “Maq-bugiq”.

Dihantar dengan hymne “Passomba Tedong”.

Pada bagian kedua, berisi riwayat singkat lahirnya Puang Sawerigading, yang harus dijauhkan dengan saudara kandungnya Tandiabeng karena adat leluhur sebagai pedoman. Bagian ini menceritakan bagaimana Puang Sawerigading menikah dengan Puang Pindakati, yang kemudian hamil lalu sakit hingga meninggal.

Bagian kedua ini ditutup dengan upacara kematian Puang Pindakati untuk melepasnya ke alam Puya.

Bagian ketiga berisi kepulangan Sawerigading ke tanah Luwu, dan pertemuannya dengan saudari kembarnya yang belum pernah dijumpainya sejak lahir, Tandiabeng. Puang Sawerigading yang melihat paras dan sosok dalam diri Tandiabeng, membuat seluruh duka citanya atas kehilangan Pindakati seolah menguap. Lalu berlanjut pada jalinan kisah pertemuan Puang Sawerigading dengan Lisudaiq putri Datu Cina. Bagian ini ditutup dengan perkawinan Puang Sawerigading dan Lisudaiq hingga ia mengandung.

Dalam bagian keempat yang inti kisahnya tentang keberangkatan Puang Sawerigading ke dunia Puya menjumpai Puang Pindakati. Setelah sekian lama bermukim di alam arwah, kisah tiba pada saat Puang Macca No. 1/September 2021 | 18

Sawerigading bersikeras mengajak Puang Pindakati untuk kembali ke dunia yang tak sanggup ditolak oleh arwah istrinya. Puang Pindakati melahirkan Jamallomo di gerbang Puya. Lalu Puang Pindakati berubah menjadi batu mustika “Baloq Peossoran” yang kemudian diberi gelar “Puang Par-ranan”, yang bermakna “Pelindung Sepanjang Masa”.

Pada bagian kelima dikisahkan usai kembalinya Puang Sawerigading ke dunia, ketika ia menyerahkan puterinya Jamallomo dan batu mustika “Baloq Peossoran” kepada Marigallang. Kemudian kisah berlanjut pada perkawinan Puang Jamallomo sang cucu Manurung di Langiq dengan Puang Samang, cucu dari Puang Tamboro Langiq. Perkawinan ini kemudian melahirkan anak-anak yang menjadi leluhur pemimpin-pemimpin adat di daerah Tallu Lembangna (Makale, Sanggallaq, Mengkendek) dan di daerah Tallu Batupapan (Allaq Maluaq dan Buntu Batu di Enrekang).

Menjadikan prosa lirik menjadi karya dramatik adalah dengan menempatkan lima pembabakan di atas ke dalam struktur dramatik alur (plot), yang terbagi dalam tiga babak: awal (prolog), tengah (middle), penutup (epilog).

Pada bagian prolog, menggabungkan bagian satu dan bagian dua yang menceritakan pengenalan para tokoh/karakter di dalam cerita (eksposisi), terutama tokoh protagonis Sawerigading yang memiliki tujuan (objective) berbahagia dengan isterinya Pindakati. Agar nilai dramatik hadir secara naratif, maka hambatan kemudian hadir untuk menghalangi tujuan tokoh protagonis, yaitu kematian Pindakati. Hambatan ini yang membuat tokoh protagonis menghadapi konflik dalam menghadapi perjalanan hidupnya. Konflik adalah bagian penting dalam manifestasi karya-karya dramatik. Hadirnya konflik yang akan

Sutradara Sawerigading na Pindakati Ancoe Amar memberi pengarahan pada Sabilul dramaturgist, sebelum shoting. (Foto: Agus Linting)

menautkan emosi antar karakter dalam cerita, sekaligus upaya pentautan emosional antara karakter/tokoh dalam kisah dengan khalayak.

Bagian kedua (middle) digunakan untuk menunjukkan kualitas tokoh protagonis Sawerigading dalam mengatasi “ketergangguan”-nya pada rangkaian konflik-konflik krusial, antara lain: kehilangan Pindakati, pertemuannya dengan Tandiabeng, perjalanan menuju tana Cina menemui Lisudaiq, perjalanan menuju Puya menemui arwah Pindakati, dan seterusnya. Plot yang menggabungkan dua, tiga, dan empat babak pada prosa lirik yang menjadi bagian klimaks saat tokoh utama kembali ke dunia, setelah menjemput isterinya yang telah menjelma menjadi mustika (batu).

Dalam bagian penutup (epilog), tokoh utama (Saweriga-ding) menitipkan anaknya kepada Marigallang dan kembali ke Luwu. Lalu pengkisahan beralih ke Jamallomo yang menikah dengan Puang Samang.

Struktur dramatik tersebut menjadi mekanisme kerja dramaturgi dalam upaya pengalih- wahanaan karya seni. Dari dimensi sastra tutur yang cenderung abstrak, menjadi pertunjukan yang lebih konkrit.

“Sawerigading na Pindakati”: Dari Konsep Karya Panggung menuju Karya “Layar Literatur” (Literature on Screen) Cerita yang secara konseptual sesungguhnya telah tertuang dalam teks naskah drama ini, awalnya akan dipertunjukkan di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta pada tahun 2020. Persiapan yang telah mencapai sekira 50 persen pada tahap pengembangan

Staff produksi Sawerigading na Pindakati di desa Rongkong Luwu Utara, salah satu lokasi pengambilan gambar. (Foto: Agus Linting)

Macca No. 1/September 2021 | 19

(development). Namun implementasi gagasan pertunjukan secara lebih lanjut terkendala oleh datangnya wabah COVID-19, yang membatasi aktivitas untuk tidak melakukan kegiatan di luar rumah yang berpotensi melibatkan kerumunan orang/publik secara fisik.

Tetapi, di tengah gelombang wabah, jalan bagi gagasan dan upaya mengaktualisasikan gagasan tersebut ke hadapan khalayak kemudian membentang ketika pada tahun 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) RI, melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, membuka peluang dan fasilitasi bagi kreator dan pelaku seni-budaya menunjukkan semangat berkarya di tengah tantangan era normal baru (new normal), yang tak pelak menuntut pelaku senibudaya dan para pemangku kepentingan (stakeholders) melakukan siasat agar denyut dan ekspresi berkesenian tetap dapat bergulir.

Karakteristik ataupun stereotype cerita tradisi epik untuk diwujudkan dalam karya sinematik tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tim produksi “Sawerigading na Pindakati” kemudian mendiskusikan ulang dan menimbang barbagai hal terkait bentuk penyajian, serta hadirnya “kompleksitas baru” untuk memproduksi karya di tengah “era normal baru” dalam situasi bergolaknya pandemi.

“Sawerigading na Pindakati” dalam konsep pertunjukan (stage performance) lalu diramu dan dialiwahanakan ke konsep pertunjukan layar (screen performance) dan di-propose kepada Kemendikbud untuk “berkompetisi” dengan konsep pertunjukan non-konvensional lainnya untuk memperoleh fasilitasi pembiyaan produksi.

Keputusan ini, meski membuka celah peluang menjangkau publik yang lebih luas, namun bukan tanpa tantangan. Karya sinematik memiliki keterbatasan dibandingkan karya sastra, termasuk siasat agar imaji film dapat lebih mengakomodasi luasnya imajinasi yang dapat dilahirkan oleh sebuah karya sastra, apalagi karya sastra lisan/tutur. Medium bersifat dua dimensional pada film (screen) di hadapan penonton, menjadikan karya sinematik mendapat tantangan untuk merepresentasi realitas sastra. Tantangan keterbatasan lain yang harus disiasati adalah menyangkut ketersediaan durasi, sehingga tak bisa mengabaikan untuk memikirkan realitas secara selektif dan terukur, sehingga karya film mampu mengucapkan berbagai premis dan rangkaian kausalitas dalam plot dramatiknya.

Upaya untuk mempertahan-kan esensi epos

La Galigo membuat Tim Produksi sepakat untuk menamakan bentuk penyajian karya dengan pendekatan konsep literature on screen. Konsep yang tetap mengacu pada prosesi upacara Merok Sawerigading dan prosa lirik karya Prof. Cornelis Salombe memungkinkan pertemuan unsur literature sebagai bentuk dan sinematik sebagai gaya (style) penuturan.

Literature on screen mengacu pada genre dokudrama. Karya film jenis ini merupakan penafsiran ulang terhadap kejadian. Selain pada “peristiwa”, hampir seluruh aspeknya (tokoh, ruang dan waktu) cenderung melalui proses rekonstruksi. Ruang (tempat) diupayakan sedemikian rupa mirip dengan tempat aslinya secara imaninatif. Bahkan bila dimungkinkan direka secara sacara khusus untuk keperluan film tersebut. Demikian pula dengan tokoh, dimainkan oleh aktor yang sebisa mungkin dibuat semirip mungkin dengan tokoh aslinya dengan tafsir imaji-subjektif kreator.

Selain menemukan genre yang kecenderungannya lebih aplikatif dengan persoalan atau tema penceritaan. Hal penting lainnya adalah menentukan tipe film agar cenderung lebih dekat pada wujud/rupa (look) yang dapat terlihat secara kasat mata dan dapat dirasakan dampaknya oleh penonton. Dampak atau buah identifikasi penonton ditautkan lebih dekat dengan gaya film seperti unsur mise en scene (yang tampak kasat mata pada frame), sinematografi, penyuntingan (editing) dan penataan suara. Tipe expository dijadikan sebagai pendekatan dalam menyampaikan paparan yang berupa penjelasan (explanation) bersamaan dengan rangkaian gambar dalam film.

Pendekatan “genre” dan “tipe” tersebut menjadi cara untuk tetap mempertahankan kekuatan pada upacara tradisi sastra lisan maupun prosa lirik “Sawerigading na Pindakati”. Proses produksi dengan pemilihan lokasi yang hampir seluruhnya di Kandora, Mengkendek – Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Lokasi ini mempunyai kedudukan khas/ khusus dalam sejarah budaya suku Toraja. Tradisi yang masih memegang teguh adat istiadat legenda “Puang Sawerigading” (“Tomaqadaq Sawerigading”) serta memusatkan tindak tanduk dan penghormatan mereka kepada Puang Parranan yang disematkan kepada Puang Pindakati, sang “Penguasa Pelindung Sepanjang Masa”. Puang Parranan adalah permaisuri pertama Puang Sawerigading. Tampuk pimpinan desa Kandora sejak dahulu berada dalam genggaman keturunan anak cucu Puang Jamallomo, buah cinta-kasih Puang Sawerigading dan Puang Pindakati. Hingga saat ini. • Macca No. 1/September 2021 | 20

Proses

Nurlina Syahrir menari Pakarena di hutan kars - Rammang-Rammang Maros. (Foto: Goenawan Monoharto)

Merawat

Sumanga’na Pakarena Satu Benarkah Pakarena menjadi entitas yang begitu fleksibel ketika dirujuk sebagai landasan konsep karya-karya baru pada saat ini juga masa datang?

Apa yang menarik dalam ketubuhan Pakarena?

Nurlina Syahrir Anrong Guru (Maestro) Pakarena

Dosen Jurusan Seni Tari Fakultas Seni dan Design, di Pasca Sarjana UNM. Tinggal di Makassar.

Seperti apa sesungguhnya gerak ketubuhan dalam Pakarena?

Benarkah ketubuhan dalam Pakarena merefleksikan semangat dari dua karakter pembentuknya (laut-gunung), nampak kokoh mengakar ke tanah, membumi dan terus memberi kehidupan, sekaligus bergelora dengan berbagai macam halangan dan rintangan yang mesti dijinakkan dengan pengalaman, pengetahuan, sikap dan keterampilan seperti itukah roh dan nafas geraknya?

Macca No. 1/September 2021 | 21

Tari Pakarena di Hutan Kars Rammang-Ramang - Maros. (foto-foto Goenawan Monoharto)

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu terus mendesak dalam benak saya ketika setuju untuk berkolaborasi dengan seniman foto berpengalaman Goenawan Monoharto menampilkan karya Refocusing Pakarena Choreography in Collaboration.

sikap kesabaran, kesetiaan, kejujuran, ketangguhan, keluwesan sekaligus kedamaian.

Dua

dalam berbagai penciptaan karya. Itu menjadi upaya utama saya dalam membangun penguatan pada nilainilai sosial, kultural hingga ranah kesehatan phisik dan mental dalam diri dan ketubuhan saya berdasarkan entitas Pakarena yang telah saya serap. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saya coba merekatkan spirit Pakarena dalam diri dan ketubuhan saya agar pantang menyerah, kokoh tak bergeming hanya karena gempuran tantangan dan kritik sambil menyikapi semuanya dengan keluwesan sambil menampilkan wajah manis humanis.

Memanfaatkan bertahun-tahun pengalaman saya mengelaborasi Pakarena, belajar dan berdiskusi secara formal dan informal dari sejumlah empu yang mumpuni seperti Mak Coppong, Mak Cida, Munasih Nadjamuddin, Daeng Manda, Elis Patasik, Andi Ummu Tunru, Sirajudin Daeng Bantang, Andi Abubakar Hamid, pemusik Daeng Mile, dan Daeng Serang Dakko, Basri Baharuddin Sila, Hamrin Samad, juga kolaborasi saya bersama seniman Indonesia; Suprapto Suryo Darmo, BRA Gusti Murtiyah, Rusinih (Solo), Nungki Kusumastuty, Wiwiek Sipala (Jakarta), Ni Sekar Riani (Bali), Diana Buttler (US), begitu pula dengan Chaeruddin Hakim- sang ahli kelong (Makassar) ditambah upaya saya menyelesaikan studi di bidang terkait, itu menjadi modal utama saya untuk coba menjawab pertanyaan di atas.

Bagi saya dalam tubuh Pakarena terjadi pertemuan dan sinergitas antara ruang domestik dan ruang publik. Inilah yang merupakan bentuk interaksi yang kemudian menghasilkan suatu konsep keseimbangan nan harmonis dalam tubuh Pakarena sehingga ia menjadi nampak sangat humanis, artistik, eksotis tanpa harus cerewet bercerita dalam setiap geraknya. Tubuh Pakarena yang memiliki pancaran

Pemahaman saya atas Pakarena tidak lagi merujuk pada sekadar tataran pengenalan bentuk dan penguasan teknik, tetapi bagaimana saya bisa bergerak, berkreasi, berinovasi guna menjelajah ke dimensi lain

Tiga Proses-proses penjelajahan untuk pembentukan atmosfir baru dalam ketubuhan saya itu tentu belum cukup selesai sampai di sini, pada karya ini. Tubuh saya sendiri masih perlu menunjukkan adanya totalitas untuk berkembang dan menyatu ke dalam jiwa dan raga Pakarena. Masih banyak yang perlu saya endapkan lagi dari kontemplasi hidup dan berkreasi saya yang diupayakan tanpa henti mengelaborasi Pakarena hingga kini.

Pesan saya kepada diri sendiri juga pada semua, tetaplah berkarya tanpa meninggalkan sumanga’na ~ spirit ~ taksu “Tari Pakarena”. •

Macca No. 1/September 2021 | 22

Lego-Lego

Begini Nasibnya. Patung Pahlawan Sultan Hasanuddin dibuat masa Walikota Abustam, Karya seniman M.N.Syam. (Foto: Goenawan Monoharto).

P

agi-pagi benar, udara sejuk di anjungan Losari.

Masih sepi. Angin laut hampir tidak bertiup namun terasa sangat segar. Dari anjungan bagian Selatan hanya dua orang perempuan setengah baya, petugas kebersihan menyapu halamannya.

Tiga atau empat orang gadis sedikit “genit” ber-tiktok di depan patung dada warna putih lecet. beberapa pahlawan di Sulawesi Selatan.

Hampir tiga puluh patung dada berjejer, tak heran bila pendapat bijak mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai. Yakni

mengenang para pahlawan dengan membuatkan patung dada-bukan dadaisme. Apakah wajahnya secara anatomi katakanlah mirip atau tidak, itu bukan soal.

Menurut cerita, Anjungan Losari digagas dan dikerjakan

Patung - Patung di Kota Makassar

SENI KOTA TAK GETAR

Goenawan Monoharto Jurnalis. Seniman. Tinggal di Makassar.

pada masa Walikota Makassar ketika masih Walikota Ilham Arief Sirajuddin, kemudian dilanjutkan oleh Walikota Makassar Danny Pomanto terpilih yang seorang arsitek, ahli tata ruang .

Melihat satu persatu patung

pahlawan tersebut, tandanya hanya nama pahlawan misalnya Andi Pangerang Petta Rani dengan tahun kelahiran dan wafatnya. Data bersambung tidak ada lagi, tahun

berapa pembuatannya dan siapa yang membuat tidak diketahui.

Sehingga banyak masyarakat bertanya-tanya apakah pembuatan patung dada itu cetakan atau bukan? Apakah dibuat oleh seniman patung yang di ada Makassar atau hanya tukang. Tak jelas, tidak terdeteksi datanya.

Di antara patung dada di anjugan Loasari ada patung tiga sosok tokoh dunia, masing-masing Macca No. 1/September 2021 | 23

Mathama Gandhi, Syeh Jusuf dan Nelson Mandela.

Patung ini diketahui pembuatnya Amirullah Syam dan timnya (Ahmad Fausi dan Achmad Anzul) konsultan Iwan Adjaradji pada masa Walikota Danny Pomanto periode pertama.

Pembuatannya tahun 2016, setelah kegiatan seni F8 di Losari.

Kemudian ada patung Gadis Toraja menari Panggellu, Patung Becak, Patung seorang wanita menenun. Sekitar itu juga ada prasasti Arsitektur, pada bagian depannya sejumlah nama tertulis.

Beberapa bongkahan seperti tembok runtuh ada di sekitarnya.

Apakah ini karya arsitek yang sengaja dipasang? Entah. Hanya Walikota Danny yang tahu.

Dalam kota Makassar, beberapa patung yang “pantas” disebut patung dada Sultan

Hasanuddin dibuat sebelum tahun 1965 karya Ali Walangadi patung di depan Markas KODIM 1408/BS KotaMakassar di jalan Lanto Dg. Pasewang (Jl. Banteng) makassar.

Patung tersebut masih ada dan sangat terawat.

“Setiap kali ada suara tembakan, patung tersebut menoleh, itu mitos yang dikembangkan anak-anak muda kala itu,” kata Amirullah Syam mengenang. Demikian patung dada Gajahmada warna hitam di depan markas POM di jalan Monginsidi Makassar Kemudian yang cukup tua patung itu, Patung Sultan Hasanuddin naik kuda menunjuk ke laut di depan Benteng Panjua (Fort Rotterdam). Patung ini dibuat pada masa Walikota Abustam oleh seniman yang pernah mengecap pendidikan di Itali, M. N. Syam.

Patung dada Sulthan Hasanuddin di anjungan Losari. (foto: Goenawan Monoharto)

Seonggok batu seperti bongkahan tembok runtuhan. yang digolek di anjungan Losari, apakah ini juga seni kota, memperindah lingkungan?? (foto: Goenawan Monoharto)

Macca No. 1/September 2021 | 24

dimanajemen dan pengetahuan tentang hukum, sehingga terkesan hanya menjadi tukang saja bagi kontraktor. Ini fakta seperti yang saya alami, ” sebut Jendri. pemilik studio seni rupa Artmosphere di Makassar.

Merdeka. Patung Pejuang karya seniman Ali Walangadi tak terurus. ilalang, grafitti menghias, (foto: Goenawan Monoharto)

Monumen Mandala didirikan sebagai petanda Pembebasan Irian Jaya, ketika akhir -akhir jabatan Presiden Soeharto. Dengan memakai lahan yang cukup luas monumen Mandala yang dilengkapi biorama tentang perjalanan Pembebasan Irian Jaya kala itu.

Kemudian di depan monumen tersebut dijadikan titik unjuk rasa oleh berkepentingan.

Yatimayu juga sudah tak ada dan dihancurkan ketika Karebosi diganti modelnya sebagailahan bisnis.

Patung tersebut dibuat pada masa Walikota Malik B. Masri.

“Ada cerita, patung Sulthan Hasanuddin naik kuda itu mirip dengan wajah Walikota Makassar Abustam,” cerita Mahaji Nusa, wartawan senior, yang hadir pada peresmian patung itu.

Setelah era itu, lokasi patung keberadaannya menggusur atau patung dihancurkan oleh karena pengembangan kota disebabkan lokasi patung terlalu dipaksakan atau karena kepentingan pendapatan daerah seperti patung yang ada di gerbang Karebosi jaman dulu.

Sebuah patung semasanya ada di gerbang lapangan Karebosi, beberapa laki-laki memikul balok, namun patung itu sudah tak ada, menurut Jendri Pasassang seorang seniman pematung, kemungkinan patung tersebut sudah dihancurkan.

“Mungkin senasib dengan patung Ramang karya Sakka Ali

“Kalau melihat kota Makassar, H. M. Dg, Patompo adalah seorang visioner dalam memperhatikan perkembangan dan keindahan Kota di Makassar,” kata Jendri Pasassang.

Satu hal yang juga perlu disoroti pengerjaan patung kelak, bisa jadi jebakan bagi seniman patung, terkait dengan hukum. ”Sepanjang saya tahu seniman patung lemah

“Nilainya tidak sebanding yang diterima oleh kontraktor, pengerjaan patung proyek pemerintah “ngeri ngeri sedap”, sama peristiwanya yang menjerat seorang kawan yang harus menghabiskan beberapa tahun di Lembaga Pemasyarakatan yang uang tak diterima seperti tuntutan Jaksa”, ungkap Jendri Ada Patung Pajoga Dg. Ngalle di taman segitiga Jl. Kakatua dengan Ujung Jalan Ratulangi Makassar, Patung pejuang Wolter Monginsidi, dan patung Harimau Indonesia (karena tidak tahuan masyarakat menyebuitkan patung macan) yang dibiayai Yayasan 45 dibuat oleh Edi Suharso dari Jogjakarta.

Sedang patung dan relief di Monumen Korban 40.000 di Sulsel di jalan korban 40.000 di bikin oleh anak-anak Akademi Seni Makassar yang langsung dipimpin oleh Seniman M.N.Syam pada masa Walikota H.M.Patompo, tahun 1970 an.

Patung Ayam di pasar Daya dibuat Yakob Pangorai. Konon, patung tersebut mendatangkan konflik bahwa patung tersebut dibuat dengan menggusur para pedagang. Patung-Patung tersebut cukup baik keadaannya dibuat oleh Yakob Pagorai, murid M. N. Syam ketika di Akademi Kesenian Makassar, seorang seniman patung di Makassar.

Hampir dilupakan, sebab patung “Tentara Pelajar” yang Macca No. 1/September 2021 | 25

ukurannya 1 X 1 terletak di sebuah taman di pengkolan jl. Slamet Riyadi Makassar. Patung dibuat oleh Seniman Ali Walangadi.

Hanya sayang nasibnya kurang menguntungkan.

Ketika pembuatan patung tersebut, perancang dan pemilik proyek tidak memperhitungkan kemajuan kota Makassar baik pertumbuhan pohon maupun gedung-gedung di sekitarnya.

Sehingga patung tersebut kelihatan “imut” sangat kecil sekarang.

Apalagi tidak terpelihara, ditumbuhi rumput. Nasibmu. Kodong.

Ada patung torso “Sultan Hasanuddin” ukuran tidak besar, sehingga nyaris diabaikan untuk dipandang. Bahkan patung tersebut berbahan fiber dibuat di Yogyakarta oleh Pematung/ perupa Dicky Tjandra, mantan dosen UNM. Lulusan S 1 sampai S 3 di ISI Yogyakarta, dikritisi bahwa patung tersebut tidak cocok penempatannya, sebab bisa mendatangkan kecelakaan lalulintas. Memang benar sudah ada korban.

Selain patung torso Sultan Hasanuddin dibuat Pematung Dicky Tjandra, sebuah patung cukup menarik perhatian patung “Selamat Datang” di ujung jl.

Riburane, Patung ini disponsori oleh Bank Mandiri. “Patung itu bahannya hanya sebagian perunggu juga disinyalir tipis karena anggarannya sangat minim dibuat fisiknya di Yogyakarta,” kata Amrullah Syam.

Tak pelak ketika melihat patung Gajah eks Taman Safari di ujung jl. Penghibur, sekarang jalan masuk ke jl. Tanjung Bunga Makassar, tersisa dari kumpulannya,

patung Kerbau, Kanguru dan Buaya.

“Patung itu dibuat Amirullah Syam.

“Patung-Patung di Taman Safari ketika itu disponsori pembuatannya oleh perusahaan Baterei Evereadi untuk tempat bermain anak-anak masa itu,” kenang Amirullah Syam meyakinkan bahwa karya itu sangat kuat dan bagus kualitasnya.

Apakah masih cocok tempatnya dan dipertahankan tempatnya sekarang, atau dicarikan tempat yang pas misalnya lapangan segitiga bertetangga dengan patung Harimau Indonesia.

Patung Sultan Hasanuddin di depan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin dikerjakan oleh pematung Nasional Nyoman Nuarte dari Bandung pernah menuai kritik dari berbagai kalangan ketika didirikan.

Patung tersebut tubuhnya pendek sehingga tampat tidak porposional. Kemudian ada penjelasan bahwa sebagian tubuhnya ketinggalan di Bandung, kemudian dilengkapi patung Sultan Hasanuddin beberapa waktu kemudian. Jadilah patung Sultan Hasanuddin di depan Bandara Internasional Sultan hasanuddin.

Siapakah penguasa patungpatung sekarang di Pemda kota Makassar arti kata siapa yang bertanggungjawab akan kemasalahatannya? Apakah masih Dinas Pertamanan kota Makassar atau Dinas Kebudayaan kota Makassar?

Sebaiknya instansi yang bertanggungjawab tentang taman dan isinya dipikirkan kembali penempatan patungpatung tersebut, sebab ada yang mempertanyakan seperti apa

patung-patung di kota Makassar sebagai SENI KOTA, murni gagasannya pembuatan patungpatung tersebut, seperti di kotakota besar lainnya. atau hanya sebatas politik ruang publik pada setiap walikota yang membangun kota Makassar.

17 Agustus 2021, hari kemerdekaan Bangsa Indonesia ke 76 sudah berlalu, namun patungpatung yang berkaitan dengan kebangsaan – hampir semuanya patung-patung di Makassar berkaitan dengan Kebangsaan, tak juga digubris nasibnya, baik dicat ulang atau direstorasi kembali.

“Bila nantinya mau dicat, sebaiknya satu warna saja, jangan dicat warna warni seperti badut,” tegas Amirullah Syam dan dibenarnya, Ahmad Anzul dan Jendri Pasassang.

“Semuanya patung yang ada tidak terurus dimakan usia.

Tentu diperlukan pemeliharan dan perbaikan jika ada yang diperbaiki.

Merestorasi patung memerlukan biaya besar. Tetapi apa boleh buat demikian adanya, memelihara SENI KOTA memang mahal.

Jangan hanya bisa dibuat, tetapi mengabaikan pemeliharaannya.

Miris jadinya”.

Di masa pendemi ini, Walikota Danny Pomanto dapat memikirkan membuat patung yang bagus, untuk menjadi penanda bahwa Makassar pernah terkena Pandemi yang memakan cukup banyak korban dan dapat dibendung dengan program Danny Pomanto yakni recovery COVID- 19. deh. •

Jangan tanggung-tanggung

Macca No. 1/September 2021 | 26

K

Lego-Lego

ali ini, sebuah mobil pengantar jenazah (oto joli) milik Yayasan Sosial Tionghoa Budi Luhur melintas dengan sirene yang meraung dengan sebuah keranda kayu jati di atasnya. Anehnya di atas mobil itu hanya sopir dan keranda jenasah.

Biasanya di atas mobil jenasah itu ada sekelompok keluarga dari yang meninggal, tapi kali ini kosong dan keluarga ada di mobil pribadi yang lain.

Raja karya Achmad Anzul. Akrilik di Kanvas 80 X 80 cm. (Foto: Goenawan Monoharto).

Saya membuka tulisan ini sebagai prolog suasana hari yang mencekam itu, pada hari kamis setelah hampir sebulan Pameran Seni Rupa yang diprakarsai Pam L Project mengusung beberapa perupa di Sulawesi Selatan masing masing Jendri Pasassang, Faisal Syarif (Ical) memamerkan karyanya di Studio Atmosphare “Kebun Cinta”, Rimba Kasumba di studionya (Rumah Rupa

Pameran Seni Rupa L PROJECT di Makassar

TIGA BATU & THE DANCE OF LIVE KASUMBA), dan Ahmad Fausi (UCI) dan Achmad Anzul (Anzul) memamerkan karya terbarunya di Galeri De La Macca di jalan Borong Raya no. 75a Makassar. Pameran berlangsung mulai tanggal 5 Juli 2021 sampai awal September 2021. Pamernggiat seni Kedua perupa tersebut menanyangkan lima karya dari Ahmad Fausi dan 17 karya dari Achmad Anzul.

Secara keseluruhan lukisan UCI bertema “THE SPIRIT CARRIES ON” Menikmati lima karya lukis perupa UCI berjudul The Dance of Live - Pakarena m# 1 s/d 5, merupakan satu kesatuan. Bila ditarik benang merah dari Pakarena menjadi satu irama melodi yang bila dihilangkan satu karya maka menjadi “cacat”. Hanya saja menurut perupa UCI dari lima karya tersebut terdapat dua karyanya yang tak lolos dari “tangan panas” sang kurator. Sangat menarik. Wow.

Demikian pula dengan lukisan lukisan dari perupa instalasi Anzul yang dikenal sebagai perupa Kampung Garam, dari lima karya ada satu karya lukisnya yang juga tidak lolos dari Kurator.

Namun bila melihat pajangan karya lukis perupa Anzul merupakan karya baru yang rentang waktu penciptaannya tak lepas dari dua minggu. Apa salah bunda mengandung sehingga tak lolos dari tangan sang kurator?

Pameran Seni Rupa L Project yang dilaksanakan pembukaannya secara serentak di beberapa kota di Indonesia diikuti puluhan perupa handal nasional yang sudah bernama. Informasi yang diterima belakangan Mike Turusy juga diikutkan dalam pameran tersebut. Bocoran yang saya terima karya lukis perupa UCI dibandrol Rp. 50 juta dan lukisan Macca No. 1/September 2021 | 27

ANZUL Rp. 30 juta, diaminkan oleh Anzul. semoga karya-karya perupa tersebut dibeli oleh kolektor baik kolektor dalam dan luar negeri.

AHMAD FAUZI, lahir di Makassar 26 MEI 1970, pemilik FINDART SPACE Makassar di Jl. Perumnas Antang Raya No. 116D, Kec. MANGGALA, MakassarSulsel. Mengajar Seni Budaya, di SMP Negeri 20 Makassar 1998-Sekarang. Banyak mengikuti pameran sejak 2014 sampai saat ini. Salah satunya, Binne Solo Art Exhibition (2014), Makassar Biennale 201” di Gedung Menara Phinisi UNM, Makassar (2017).

Bergabung dalam MAIM, (2018 – Sekarang). Kurator senior di Galeri de La Macca.

Achmad Anzul. Lahir di Makassar 11 September 1967. Seniman instalasi seni rupa. Pernah mengajar di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Imigran di Gowa 2016, dan keliling kabupaten mengajar kan membatik pada tahun 2017. Ikut Makassar Binnale 2017 dengan karya Kampung Garam #107. Pada Binnalle 2019 ia terlibat secara tim FindArt Space . Ia juga aktif mengerjakan karya artistic baik di rupa teater dan sastra. Jjuni 2021 ikut mendisplay karya kolaborasi Forografi dan tari yang berjudul: Refocosing Pakarena / Sekarang mempersiapkan 999 karya lukis yang akan di pamerkan dalam waktu singkat. Ia juga adalah co.

Kurator Galeri De La Macca.

Demikian pula dengan lukisan lukisan dari perupa instalasi Anzul yang dikenal sebagai perupa Kampung Garam, dari lima karya ada satu karya lukisnya yang juga tidak lolos dari Kurator. Namun bila melihat pajangan karya lukis perupa Anzul merupakan karya baru yang rentang waktu penciptaannya tak lepas dari dua minggu. Apa salah bunda mengandung sehingga tak lolos dari tangan sang kurator?

Pameran Seni Rupa L Project yang dilaksanakan pembukaannya secara serentak di beberapa kota di Indonesia diikuti puluhan perupa handal nasional yang sudah bernama. Informasi yang diterima belakangan Mike Turusy juga diikutkan dalam pameran tersebut.

Bocoran yang saya terima karya lukis perupa UCI dibandrol Rp. 50 juta dan lukisan ANZUL Rp. 30 juta, diaminkan oleh Anzul . semoga karya-karya perupa tersebut dibeli oleh kolektor baik kolektor dalam dan luar negeri.

Karya yang di pamerkan di Galeri De La Macca:

Dance of Life Pakarena #1 sampai dengan #5. karya Tahun: 2021: Acrylic on Canvas Dimensi : 80 x 80 x 4 cm.

Karya yang di pamerkan di Galeri De La Macca: “Energy Balance #2 “Tiga Batu”, “Bayang, Garis, Dan Saya “Energy Balance #3 “Tiga Batu” Spirit Carries on #2 “Hope” Raja: karya Tahun: 2021 Medium : Acrylic on Canvas Dimensi : 80 x 80 x 4 cm. (mono). •

Pakarena The Dance of Live #4, karya Ahmad Fausi . Akrilik di Kanvas 80 X 80 cm. (foto: Goenawan Monoharto).

Macca No. 1/September 2021 | 28

Dr. Hj. Kembong Daeng, M.Hum, Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Daerah Fakultas Bahasa Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM), di acara “Sastra Sabtu Sore”, Sabtu, 5 September 2020. (kiri) Penyerahan buku puisi “Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil” karya Agus K Saputra kepada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Prop Sulsel, Sabtu 12 Juni 2021., (kanan) (foto dok.)

SASTRA SABTU SORE RUANG PUBLIK SASTRA Yudhistira Sukatanya Sastrawan. Tinggal di Makassar.

A

pa yang sedang terjadi di ruang berkesenian kota Makassar? Pertanyaan itu seperti berjendela dan akan membuka cakrawala sejumlah kenyataan dan impian.

Bagaimana kabar keberadaan Gedung kesenian Gedung Kesenian Societeit de Harmoni yang dulu pernah sangat ramai berfungsi sebagai ruang publik kegiatan kesenian, masihkah membanggakan masyarakat Sulawesi Selatan?

Bagaimana pula dengan fungsi panggung terbuka dan area plaza Fort Rotterdam- Benteng Ujungpandang yang pernah menjadi ajang pertunjukan karya berkualitas dunia I Lagaligo dengan sutradara Robert Wilson, beberapa kali menghadirkan pegiat sastra dalam dan luar negeri saat penyelenggaraan kegiatan Makassar International Writers Festival (MIWF), berkali-kali menjadi venue Festival Teater antar Grup se Sulawesi Selatan, Parade budaya?

Banyak lagi rentetan pertanyaan senada tentang ruang-ruang publik sarana pertunjukan kesenian milik pemerintah provinsi di kota Makassar, kini sepi, hanya menyisakan setumpuk kegundahan. Ditinggalkan para seniman dan pegiatnya karena ruang-ruang publik itu diketahui salah urus. Jadi ruang-ruang yang mati dari aktivitas berkesenian.

Capek mendiskursuskan wacana itu di kota yang mengimpikan sebagai kota dunia.

Karenanya tak heran jika para seniman dan pegiat kesenian mencari ruang-ruang baru, ruang alternatif untuk menyiasati agar kreativitas mereka tidak mati hanya karena pemerintahnya salah urus fasilitas yang tersedia untuk layanan masyarakat.

Nyaris dua tahun di keliling gempuran pandemi Covid-19 dan sulitnya memanfaatkan fasilitas kesenian milik pemerintah, ternyata daya hidup berkesenian para seniman tak mati-mati, kreativitas

para pegiat kesenian tetap nyala dan bernyali. Salah satu siasat mereka yakni dengan memanfaatkan ruang publik Taman Baca Lontaraq di plaza Masjid Ashabul Jannah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Selatan (DPK ) Jalan Sultan Alauddin Kilometer 7 Makassar. Di taman nan asri ini ada panggung berlevel seluas 7 X 5 meter yang secara berkala mulai dimanfaatkan untuk pelaksanaan obrolan santai sambil baca sastra dengan label Sastra Sabtu Sore (S 3) Acara yang dijadwalkan menjadi agenda rutin ini, terlaksana berkat kerja sama DPK Sulsel, Lembaga Pengembangan Kesenian dan Kebudayaan Sulsel (LAPAKKSS), dan Komunitas Puisi (KoPi) Makassar.

Rusdin Tompo salah seorang penggagas dari KoPi Makassar, mengatakan ide mengadakan Sastra Sabtu Sore ini tercetus di sela-sela peringatan 75 Macca No. 1/September 2021 | 29

Tahun Indonesia Merdeka, 18 Agustus 2020 lalu. Saat itu, sejumlah penyair dan pegiat literasi bersepakat mengadakan acara Malam Ramah Tamah yang dikemas dalam bentuk pembacaan puisi bertema kemerdekaan “Puisi Merdeka, Merdeka Berpuisi”, tampil sejumlah penyair membacakan karya sendiri atau sastrawan lain.

Acara dipandu oleh Andika Mappasomba-penggiat literasi Sulawesi Selatan. Tampil pula anak-anak Sekolah Dasar Binaan Dewan Kesenian Gowa dalam puisi dan gerak tari diiringi kesok-kesok oleh Ancu Batara. Basri B. Sila pun menampilkan pertunjukan musik dan sastra liris bersama anak-anak.

Mohammad Hasan Sijaya-Kepala DPK Sulsel, menyambut gembira terselenggaranya acara tersebut.

Dalam sambutannya, Moh. Hasan mengatakan, dirinya rindu akan hadirnya sebuah tempat berkumpul dan berkreasi. Tempat untuk mengekspresikan potensi kesenimanan, baik nyanyi, baca puisi, menari, melukis dan lainnya. Menanggapi antusias para sastrawan dan publiknya maka guna mendorong terwujudnya keinginan itu pihak DPK Provinsi Sulsel siap memfasilitasi “Mimpi saya, taman baca ini jadi tempat nongki kita,” sambung Moh. Hasan.

Dengan merendah dia menambahkan bahwa taman baca yang berada di wilayah kantornya itu memang tempatnya relatif agak sempit. Tapi saya yakin apabila hati kita luas dan terbuka menerima setiap orang yang datang maka panggung ini akan terasa melebihi luasnya lapangan Karebosi. Inilah salah satu cara DPK Provinsi Sulsel sebagai lembaga yang inklusif menyikapi apa yang menjadi pikiran dan kegelisahan seniman serta budayawan di daerah ini. *** Dapat dipahami bahwa ruang publik dalam kehidupan manusia, pada suatu wilayah, adalah tempat untuk bertemu dan berkomunikasi antara manusia yang satu dengan lainnya. Ruang publik yaitu tempat yang dapat digunakan masyarakat secara bebas untuk kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi (Ahmad Fazri: 2015: 13). Karenanya ruang publik mestinya dapat digunakan untuk bersosialisasi atau pun melakukan aktivitas kebudayaan dan perekonomian, mempunyai potensi yang sangat besar sebagai sarana untuk saling mengenal, saling belajar, saling bertransaksi di antara penggunanya.

Ruang publik juga dapat digunakan sebagai tempat untuk saling memberikan informasi, tempat untuk belajar berinteraksi antara seseorang dengan

lainnya. Ketika proses berinteraksi itu terjadi tentu saja menggunakan bahasa lisan, tertulis, gerak, simbol atau media. Jadi keberadaan ruang publik sangatlah penting dalam mendukung keberhasilan proses komunikasi dan interaksi warga.

Acara perdana Sastra Sabtu Sore berlangsung, Sabtu (5/9/2020) dengan agenda pembacaan dan diskusi puisi-puisi berbahasa Makassar karya Kembong Daeng yang terhimpun dalam buku Antologi Puisi Perempuan Makassar.

Prof. Dr. Kembong Daeng, M.Hum. adalah Ketua Prodi Pendidikan Bahasa Daerah FBS UNM, yang dikenal sebagai sosok yang tekun menulis buku ajar Basa Mangkasarak. Buku Puisi Perempuan Makassar dibahas oleh Yudhistira Sukatanya, penulis, sutradara teater, pegiat literasi ketua Harian LAPAKKSS. Ternyata kegiatan S 3 benar berkelanjutan dengan kian memberi ruang untuk para muda. Jika dulu pernah ada ungkapan Chairil Anwar bahwa; “yang bukan penyair tidak ambil bagian, tapi di Sastra Sabtu Sore ini justru yang bukan penyair diajak, silakan terlibat, kata Yudhistira Sukatanya dalam pengantarnya di gelaran acara “Sastra Sabtu Sore” 3 April 2021.

“Terima kasih kepada Pak Hasan Sijaya, Kepala DPK Sulsel, yang begitu responsif terhadap kegiatan yang digagas teman-teman pegiat literasi dan sastra.

Benar saja sambutan para pegiat sastra kian marak. Kemudian S 3 kembali hadir dengan mengusung topik “Yuk, Ngobrol Buku Anak”.

Momennya tepat, karena diadakan dalam rangka Hari Buku Anak Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 2 April.

Acara bincang-bincang di S 3 dalam kesempatan ini menghadirkan Madia S. Nura, penulis buku cerita anak Sulsel, dipandu oleh Shafira Devi Amorita dari Rumah Dongeng, Makassar. Madia, dikenal sebagai aktivis pendongeng, hadir berbagi pengalaman seputar buku-buku yang ditulisnya. Ia mengaku mulai menulis buku cerita anak sejak tahun 2017, setelah menang sayembara yang diadakan Balai Bahasa Sulsel.

“Membaca adalah cara kita menikmati karya dari pengalaman baik orang lain. Menulis adalah implementasi dari bacaan yang pernah dibaca untuk melakukan ritual yang aktual. Dari situlah kita menemukan daya dan energi untuk berpikir, berbicara, kemudian bertindak semampunya” ungkap Madia. Di sesi akhir Madia mengatakan: “Dari tindakan muncullah unsur ritme kebiasaan yang akan melekat jadi karakter.

Macca No. 1/September 2021 | 30

Mau sukses? Membaca dan menulis itulah kunci utamanya. Madia juga menitipkan pertanyaan, berapa buku dalam sebulan yang telah selesai kita baca?

Lagi, Sastra Sabtu Sore terus bergiat, tanggal 12 Juni 2021 membahas buku puisi “Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil” karya Agus K. Saputra adalah buku terbitan tahun 2019, memuat 50 puisi yang ditulis antara tahun 1987-2017 di berbagai tempat seperti Denpasar, Lombok, Ampenan, Sumbawa, dan Yogyakarta. Tema puisinya beragam, mulai persahabatan, persaudaraan, perjalanan, cinta kasih, dan tanah air.

“Sepucuk Surat dan Kisah Masa Kecil” merupakan buku ketiga. Sebelum itu, Agus telah menerbitkan buku “Kujadikan Ia Embun” (2017) dan “Menunggu di Atapupu” (2018). Tentang proses kreatifnya Agus penyair kelahiran Ciamis ini mengungkapkan bahwa “Sekarang, saya menangkap kesan dari obyek melalui foto, lalu diendapkan untuk dibuatkan puisi,” Acara dibuka dengan pembacaan puisi oleh Rezki, murid kelas 4 SD Inpres Paccerakkang. Dia membawakan dua puisi karyanya masing-masing berjudul “Ayah” dan “Terima Kasih Mentariku”. Kemudian penyerahan buku oleh penulis kepada Abdul Hadi, Kepala UPT Layanan Perpustakaan DPK Provinsi Sulsel.

Kemudian bincang buku dipandu oleh Rusdin Tompo -penulis buku dan penggiat literasi dengan narasumber Dr. Asis Nojeng akademisi Unismuh Makassar dan Damar I Manakku, penyair yang juga cerpenis.

Asis Nojeng mengatakan, dalam menulis puisi kita diberi pilihan, apakah akan taat pada konvensi atau mau berinovasi. Hal itu juga tampak pada puisi-puisi Agus K. Saputra, yang dinilai tidak merujuk pada pakem tertentu.

Damar I Manakku memberi apresiasi pada penulis yang tetap berkarya di luar profesinya sebagai pegawai BUMN. “Ada kenyamanan ketika kita membaca puisipuisi Agus. Puisi-puisinya tidak membuat pusing yang membacanya,” kata Damar.

Dilain hari, pada Sastra Sabtu Sore, 26 Juni 2021 ditahbiskan bahwa “Ini langka, ada lagi satu perempuan penyair lahir di Sulsel. Penyair baru, Nur Failia Majid yang masih mahasiswa dan semoga akan terus berproses,” papar Anil Hukma, menanggap karya sang penyair muda usia yang terhimpun dalam buku “Serpihan Tak Tersisa”.

Buku terbitan Rayhan Intermedia, 2020 itu, turut dibahas oleh penyair Muhammad Amir Jaya, dengan moderator Rusdin Tompo.

Failia mengungkapkan, kebanyakan puisi dalam

bukunya kali ini terinspirasi dari serpihan cerita-cerita korban bencana Palu, yang dievakuasi ke Makassar.

Saat itu, dia menjadi relawan di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo. Dia berharap, buku ini akan jadi kenangan bagi kita, terutama penyintas, dalam bentuk puisi yang menggugah.

Menurut Anil Hukma, yang pernah tampil di 9th Kuala Lumpur Poetry Reading, 2002 itu, kita harus mendukung lahirnya penyair-penyair baru dengan menghadirkan iklim yang memungkinkan mereka tumbuh. Termasuk membantu mereka menerbitkan bukunya. Anil Hukma, bercerita bahwa dirinya selalu antusias bila mendiskusikan karya dan kiprah penyair muda, apalagi perempuan.

Kenapa perempuan dan sastra menjadi tema menarik? Karena menurutnya, populasi perempuan

begitu besar, tapi hanya sedikit yang jadi penyair.

Termasuk di Sulawesi Selatan. Tapi kalau bicara sastra, kita bicara tentang rasa dan rasio. Kita bicara kapasitas intelektual tanpa membedakan gender. “Untuk jadi penyair itu juga suatu misteri. Pertama, tentu saja butuh peran keluarga yang sadar menghadirkan iklim bersastra, mendekatkan anak untuk menyukai buku?” gugat Anil.

Penyair Muh Amir Jaya, mengakui puisi-puisi dalam buku Failia, 90 persen soal rasa. Diakuinya bahwa hanya sedikit perempuan di Sulsel yang dikenal sebagai penyair. Sehingga, kita perlu bersyukur jika dikarunia kemampuan menulis, khususnya puisi.

Puisi-puisi karya Failia, dinilai sudah dewasa melebihi usianya yang baru 22 tahun. “Ada 60-an puisi yang dibuat selama kurun waktu 3 tahun itu sudah luar biasa,”puji Amir. Lelaki kelahiran Tanaberu, Kepulauan Selayar itu, mengajak Failia melakukan halhal baru sebelum menulis puisi. Seperti melakukan salat, setelah itu menulis puisi.

Andi Ruhban, pembina Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Seni di Poltekkes menilai Failia memang punya minat yang tinggi pada sastra.

Apakah Sastra Sabtu Sore masih akan terus

menampakkan lukisan keindahan panorama sastra di Makassar? Tergantung pada daya juang para pegiatnya. Maka yang bukan penyair pun silakan terlibat, menunjang daya juang di medan sastra, mengasah karsa estetika, mempercantik diksi serta visi artistik, tapi jangan sekali pun abai pada cita rasa beretika di ruang publik. • Macca No. 1/September 2021 | 31

panjangnya sekitar tiga meter itu telah berpuluh-puluh tahun tak pernah dicuci.

Cerpen

Siapa mereka? Mereka adalah manusia-manusia yang menikmati hidangan Coto di bulan Ramadan. Mereka adalah manusiamanusia yang tidak dipanggil Tuhan untuk melaksanakan ibadah puasa. Siapa mereka-mereka?

Mereka adalah orang-orang yang mengaku muslim tetapi hanya muslim KTP. Mereka tidak salat dan juga tidak puasa.

Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang mungkin masih sempat makan sahur bersama bini dan anak-anaknya, tetapi menjelang siang perutnya keroncongan. Terpaksa mereka membatalkan puasanya.

KAKI-KAKI YANG TELANJANG

A

Oleh: M. Amir Jaya

ku penasaran. Sangat penasaran. Setiap melewati warung coto itu, aku selalu melihat deretan kakikaki telanjang. Padahal warung itu tertutup. Buktinya, ada tulisan spidol berwarna hitam yang ditulis di atas karton yang berukuran 30x20 cm, dan digantung di pintu warung. Bunyinya: Warung Tutup!

Namun mengapa kaki-kaki

telanjang itu tampak nyata? Karena kain penutup warung Coto tersebut tak sampai menjuntai ke lantai.

Ada sekitar tiga puluh centimeter

menjadi celah, sehingga, sekali lagi, kaki-kaki telanjang itu tampak nyata. Sangat nyata. Ada kaki yang putih bersih, dan ada kaki putih berbulu. Ada kaki agak hitam tapi bersih, dan ada kaki agak hitam dan berbulu. Selain itu, ada kakikaki yang dililit celana Levis ketat, dan juga ada kaki yang setengah telanjang karena ada sarung yang melingkarinya.

Siapa mereka? Entah! Kepala dan tubuhnya terlindungi kain berwana hijau tua yang penuh daki. Barangkali karena kain yang

Sebagai pelanggang, walaupun tidak rutin setiap bulan, aku termotivasi untuk ingin mengetahui mengapa warung Coto itu tetap buka di bulan suci Ramadan. Dan juga ingin mengetahui siapa-siapa pemilik kaki-kaki telanjang itu.

Warung Coto itu milik H Dg Gassing. Ia telah berjualan coto selama kurang lebih empat puluh tahun di ujung pasar. Boleh dikata separuh hidupnya dilakoninya dengan menjual coto. Cukup laris.

Banyak pelanggannya dari berbagai tempat. Bukan saja pengunjung pasar, tetapi juga dari pejabatpejabat penting dan anggota dewan. Warungnya itu cukup dikenal di kota ini. Kalau orang menyebut coto pasar, maka pasti yang dimaksud adalah warung Coto Dg Gassing, Lelaki yang selalu berpakaian rapi itu memiliki tiga istri, dan hidup dalam satu rumah. Umurnya sudah mencapai 70 tahun. Tetapi Macca No. 1/September 2021 | 32

ia sangat gesit dan lincah, bahkan kelincahannya mengalahkan anakanak yang masih muda.

“Saya sudah terbiasa dengan pekerjaan ini,”katanya suatu hari.

Ditemani tiga istri membuatnya lebih bersemangat.

Istri pertama usianya sekitar 58 tahun. Istri kedua sekitar 50 tahun, dan istri ketiga masih sangat muda.

Usianya baru mencapai 30 tahun.

Mereka setiap hari bergantian melayani pelanggannya. Warung Coto H Dg Gassing buka pada jam 8.00 pagi dan tutup paling lambat jam 12.30 siang. *** Di hari ke-15 bulan suci Ramadan, pagi-pagi aku sudah bertandang ke warung Coto Dg Gassing. Tujuannya bukan untuk makan coto melainkan ingin mendengar langsung keterangan Dg Gassing, apa alasannya tetap menjual coto di bulan Ramadan.

“Tidak ada alasan lain, selain cari rezeki,”jawab Dg Gassing enteng.

“Tapi kan ini bulan Ramadan, Dg Gassing?”

“Iya, saya tahu ini bulan Ramadan. Tapi saya melayani orang-orang yang tidak puasa.”

“Astagfirullah.”

“Kenapa astagfirullah.

Saya ini juga puasa. Puasa itu hanya urusan Tuhan dengan hambanya,”kata Dg Gassing dengan intonasi suara menekan.

“Betul itu, tapi saya hanya mengingatkan bahwa di bulan Ramadan, sebaiknya Dg Gassing

tidak membuka warungnya. Kan sudah sebelas bulan buka warung.

Ya, satu bulan ini tutuplah,”kataku dengan suara lembut.

“Sudahlah. Kalau mau ceramah di masjid sana,”ketus Dg Gassing sembari menunjuk masjid yang terletak di ujung lorong.

Aku memilih mengalah.

Meninggalkan warung Coto itu dengan hati yang geremang.

Walaupun demikian aku tetap berdoa dalam hati, agar Dg Gassing diberi hidayah oleh Allah swt. Dan aku tidak salah mengingatkannya pada jalan kesadaran. *** Dua hari kemudian, tepatnya di hari ke tujuh belas Ramadan, aku kembali melewati warung Coto Dg Gassing. Aku terkejut. Sangat terkejut. Yang kulihat di dalam warung adalah kaki-kaki yang telanjang. Bedanya kali ini bukan kaki manusia, melainkan yang tampak di bola mataku adalah kaki anjing, kaki babi, kaki kambing dan kaki-kaki binatang lainnya.

Aku segera melompat dari motor bututku, lalu masuk ke warung Dg Gassing. Aku pun menemukan wajah-wajah tetanggaku lagi asyik menikmati coto sedap sajian Dg Gassing. Ada Haji Ambo, Haji Langkara, Haji Dundu dan Haji Gimpe. Merekamereka sangat khusuk menikmati coto Dg Gassing. Tapi anehnya, kaki-kakinya tetap tampak di bola mataku seperti kaki binatang.

“Tolong mataku! Tolong mataku!” Aku berteriak-teriak sembari menutup wajahku.

Dg Gassing, istri-istrinya, dan para tamu warungnya terheranheran melihat kelakuanku yang terus berteriak-teriak.

“Kenapa matamu, Conge?”

“Kenapa?”

“Kenapa””

Aku buka kembali bola mataku. Aku semakin terkejut dan takut. Sangat takut. Kepala tetangga-tetanggaku pun berubah kepala anjing, kepala babi, kepala kambing.

“Tolong mataku! Tolong mataku!” Aku terus berteriak-teriak.

“Ada apa dengan matamu, Conge?”

“Ada apa?”

Tanya mereka penasaran.

“Mataku dipenuhi kaki-kaki telanjang,”kataku.

“Sudah, kau istigfar.”

“Iya, kau istigfar, Conge.”

“Istigfar.”

“Istigfar.”

Semakin aku istigfar, semakin nampak kaki-kaki telanjang dan kepala-kepala binatang di bola mataku.

Aku pun segera di bawa ke rumah sakit terdekat. Namun dari hasil pemeriksaan dokter, aku tidak mengalami kelainan. Aku sehat dan normal. Karenanya, aku kembali di bawa pulang ke rumah. *** Seminggu sebelum lebaran Idul Fitri, warung Coto Dg Gassing dilalap ludes si jago merah. Entah apa penyebabnya, aku tak tahu.

Aku hanya membatin, barangkali itu teguran dari Allah SWT. Hanya Allah yang tahu. •

Muhammad Amir Jaya, lahir di Selayar.

Sejak duduk di bangku SMA sudah aktif menulis cerpen, cerita anak-anak, esei, dan puisi. Belakangan dia pun merambah menulis novel di antaranya “SAMIRI” dan “Embun Cinta di Langit Paguntaka”. Kesehariannya mengurus RUMAH PUISI ARYA STR Macca No. 1/September 2021 | 33

Sajak-sajak Srie Astuty Asdi

Ombak Camar dan Kerinduan

Terlanjur Padam

Dari rahim laut

Ombak pantai tak lepas cumbu

ruah kerinduan yang riuh

tidakkah kau ingin seperti mereka

ombak melahirkan gemuruh

begitupun camar dan kekasihnya

Mengundang camar menangkup buih

Cumbuan itu ayat-ayat teduh

tunaikan rindu mencari temu

kalam kekasih menawar rindu

angin membawa kepak sayapnya

bersabda di dada yang cinta

Serupa cinta yang terjang

Namun dasar laut terlalu dalam

memecah sunyi buncah suara hati

ingin padamu tapi nyala telah padam

ia datang dari palung jiwa

Aku engkau saling memandang

kerinduan menjadi asing dan karam

Makassar, 30 Juni 2021

kegelapan menjelma cahaya

mengakhiri kasmaran yang rahasia Makassar, 28 Juni 2021 .

AJARI HATI Bagaimana cara kumusnahkan rindu biar setiap kisah menjadi tungku

dan nyala mengubah butiran debu Terbang tenggelam ke dasar laut

sebelum camar-camar bersambut

mengucap selamat tinggal padamu Lalu satu-satu menata sepi satu-satu meniup buih api

satu-satu lenyap menjelma sunyi Makassar, 26 Juli 2021

Macca No. 1/September 2021 | 34

Kesumat Rindu Api meniup dan nyala di matamu di mataku

Memercik sabda cinta

menabuh kesumat rindu Melewati jalan sunyi

dengan haru yang rahasia Tuhan bicara menyentuh lara

tentang rasa tentang semesta

KISAH ITU AKU PINJAM Sebab bukan hanya laut yang biru cinta pun hanyut terbawa arus

bersama rindu yang sesat arah padam senja melukis kabut

tanah basah yang memelukmu Embun terlanjur lesap menuju hati terserap mentari hilang nurani

malam meracuni seluruh mimpi

berakhir gelap tak tereja tak teraba

tinggallah huruf yang bisu dan buta Kisah itu aku pinjam

Gemuruh dua sukma

memeluk dalam bara Tak ada cumbu

tak ada rayu di bibir waktu Mencintai sedemikian jauh tinggalkan sisi dunia

Helai-helai rambut retas melepas serapah janji

Jiwa yang menemukan jiwamu meminum anggur senikmat surga

Kita mabuk kita kasmaran

untuk kuberitakan pada hujan

biar menyatu kumpulan kenangan

luput menjadi air mata dan sengketa

tetapi menjelma ruh angin yang puisi

bercinta dalam satu doa

Makassar, 26 Maret 2021

Makassar, 22 Juli 2021

Srie Astuty Asdi lahir di Makassar, 6 Januari. Alumnus UNM Makassar, angkatan 1992 Fakultas Ilmu Pendidikan Jurusan Kurikulum dan Tehnologi Pendidikan. Penulis buku KIDUNG ASMARALOKA, karya-karyanya juga kerap termuat di beberapa event sastra, media sosial, dan buku antologi bersama, baik dalam lingkup grup sastra atau komunitas maupun tingkat nasional dan ASEAN. FB/IG: Srie Astuty Asdi. Email: muflihafra867@gmail.com

Macca No. 1/September 2021 | 35

Sekolah - Sekolah

KEPSEK SMA 4, H. SYAFRUDDIN BEKERJA DENGAN HATI

P

ercepatan kemajuan sebuah lembaga, terutama bidang pendidikan yang begitu Komplex dengan permasalahan sangat ditentukan oleh kreativitas,dan akselerasi seorang kepala sekolahnya.

Setidaknya ini yang dialami SMA negeri 4 Makassar, dibawa komando H. Syafruddin, M.S.Pd. M.Pd, SMA 4 mulai terpoles dan kini telah nampak identitasnya sebagai lembaga sekolah menengah yang pantas direkeng.

SMA 4, yang berlokasi dibilangan utara dan satu satunya sekolah menengah yang diapit dua kecamatan padat penduduk, hingga dalam setiap tahun penerimaan siswa baru, diperlukan aproch yang tidak biasa, tisak normal agar masyarakat yang tidak tertampung dapat menerima kenyataan hingga goncang gancing yang sering mengemuka akan PPDB tidak

terdengar, “ Alhamdulillah, seluruh tahapan PPDB telah berakhir dengan normal” jelas Mantan kepsek SMA 6 Makassar.

Kembali soal wajah sekolah yang akhir akhir pihak pemerintah dalam hal ini, Dinas pendidikan Provinsi Sulsel banyak memberikan apresiasi atas kerjanya dalam melakukan penataan menurut putra Kota Kalong ini, tidak ada yang luar biasa, tidak ada resep khusus, ini kerja bareng-pergerakan seribu jari dari seluruh guru dan staf Administrasi sekolah, katanya sambil tersenyum.

“Di SMA 6 juga saya bekerja demikian, malaj lebih sulit rasanya penataannya karena arealnya sangat luas sedang rumputnya saat baru saya tiba setinggi manusia,tapi karena kordinasi dengan komunikasi yang apik, akhirnya menjadi sekolah yang begitu segar.Nah, sekarang di SMA 4, pola komunikasi yang

K

ondisi pandemi yang membumi, tak dapat dipungkiri H. Baharuddun. M.pd. Virtual tidak halangi prestasi telah mempengaruhi perkembangan berbagai faktor, diantaranya kehidupan sosial, ekonomi maupun pendidikan .

Drs H Baharuddin M.Pd., Kepsek SMK 7

Persoalan ini tentunya menuntut kerja keras dan strategi khusus seorang pimpinan agar dampak yang ditimbulkan tidak begitu terasa pengaruhnya .

H. Syafruddin, S.Pd., M.Pd, SMA 4

saya gulirkan juga demikian, semua sendi saya dekati dengan hati dan ketulusan, menurut saya sangat efektif dan inilah hasilnya” tandas mantan Wakasek SMA tiga Makassar.

Wajah SMA 4, hari ini memang pantas kita berikan acungan jempol, begitu segar ketika memasuki area l sekolah - demikian pula soal aura dinding kelas nampak bersih dengan kombinasi warna setiap ruang sangat artistik. Kurang percaya, silahkan kunjungi.

Meski demikian H. Syarifuddin, diakhir perbincangan tetap mengakui, apa yang nampak hari ini disekolah yang dipimpinnya merupakan kerja sinambungan dari kepsek terdahulu. • (Ahmadi Haruna).

Drs. Baharuddin, M.Pd.: SMK 7 Daring Bukan Halangan Raih Prestasi Untuk dunia pendidikan, kepala sekolah SMK 7 Makassar Drs. H. Baharuddin M.Pd. yang ditemui pekan lalu diruang kerjanya mengungkapkan kondisi pandemi memang sangat besar pengaruhnya, khususnya di awal awal menerpa belahan dunia, namun saat ini tidak bisa lagi menjadi alasan karena pandemi covid 19 kita atau lembaga terhalang untuk berprestasi “ saat sudah memasuki tahun kedua ujian Allah SWT turun, lantas jika kita tidak mencari solusi maka dunia pendidikan Macca No. 1/September 2021 | 36

akan anjlok . Khusus untuk di SMK 7 saya selalu aktif mengontrol proses belajar jarak jauh atau secara virtual, pokoknya meski pembelajaran secara Daring, kami bersama para guru dan personil tata usaha berupaya agar siswa meraih prestasi sesuai jurusan yang digeluti “ jelas H. Baharuddin kepsek yang terus melakukan renovasi kecil disekolah yang dipimpinnya.

Hasil pemantauan penulis SMK 7, saat ini tampak begitu hijau

dan segar jika kita memasuki areal Sekolah ruang kelas dan lab serta ruang- ruang lainnya tampil dengan warna yang seragam,sehingga memyemburkan suasana nyaman.

Ditambahkan, Drs H. Baharuddin, M.Pd. yang sebelum memimpin SMK 7 menjabat wakil kepsek di SMK Negeri 1, situasi yang menerpa tanah air, tidak bisa dihadapi secara pasrah namun perlu kreativitas dan akselerasi yang disesuaikan dengan keadaan.”

Hal ini yang selalu kami tekankan

Dirgahayu ke 76, Pekik Merdeka di Rumah Saja

M

enghadapi situasi saat ini, paling tidak ada dua kata yang tepat untuk dihayati secara bersama “ikhlas dan Sabar” ikhlas menerima dari segala ujian yang diturunkan Sang Pencipta dan Sabar menjalani kondisi yang telah mengubah berbagai kebiasaan dalam hidup seharisehari.Jika keduanya ini bisa di maklumi tentunya segalanya teratasi dan tidak perlu cemas dalam setiap harinya yang bukan mustahil justru menjadi pemicu diri kita diserang berbagai penyakit,tidak terkecuali terpapar dengan covid 19.

Pada peringatan Hari ulang tahun tanah air kita tahun ini bahkan untul kali kedua telah dilaksanakan dengan merayakan kegiatan yang

pada tenaga pengajar dan para siswa, untuk secara disiplin mengitu kegiatan sekolah sehingga tidak kedodoran dalam hal target pembelajaran yang ingin dicapai yang selanjutnya bermuara pada prestasi” tandasnya.

Apa yang diungkapkan H. Baharuddin akan resepnya menghadapi kondisi tentunya diharapkan dapat pula diterapkan disekolah lain, khususnya disekolah menengah kejuruan. • (Ahmadi Haruna).

Teropong La Macca sangat sederhana dan terbatas. Qadar ke-semarakan sangat jauh dari yang pernak kira saksikan di tiga tahun yang lalu dimana warga masyarakat dengan sepontan melaksanakan kegiatan dengan spontan di wilayah masing-masing, berbagai lomba telah mewarnai dirgahayu dan inilah yang dirindukan oleh segenap warga kita.

Pembatasan kegiatan dan sikap ini, menjadi salah satu tantangan, satu pihak ‘ rindu’ akan kebiasaan melakukan pesta penyambutan disisi lain ada aturan dari pemerintah untuk disiplin mengikuti protokol kesehatan dengan berbagai istilah agar terhindar dari paparan penyakit yang telah menelan korban berjuta yakni Corona.

Para pekerja seni, terkhusus para penyair dan pecinta memberikan tanggapan berupa catatan maupun karya sastra berupa puisi, isinya rasa keprihatinan, edukasi dan sedikit terselip protes akan berbagai kebijakan yang diambil pemerintah dalam mengatasi pandemi.

Sejumlah karya penyair baik yang domisili Jakarta, seperti Taufik Ismail, Aspar Paturusi dan penyair domisili di Sulsel, seperti Yudistira Sukatanya, Syahrir patahkaki, Ahmadi Haruna, pada muara puisinya yang ingin disampaikan bermateri akan hilangnya “ ruh “ teriakan merdeka di situasi pandemi, artinya Pekik Merdeka Di rumah saja lebih aman untuk mensiasati kondisi agar tidak terjangkiti dari penyebaran penyakit yang telah membumi dan mematikan ini. •Ahmadi Haruna).

Macca No. 1/September 2021 | 37

Esai

BOBO dan VIRUS CORONA Ahmadi Haruna Jurnalis. Tinggal di Makassar.

P

ada suatu hari di planet korona, berkumpul semua penduduk. Raja Corona berdiri ditengah lapangan. “ Rakyatku para Virus, saat ini kita bisa membuat ketakutan.

Gejala virus ini biasanya muncul setelah 10 hari mendekati dalam tubuh. Istilahnya masa Inkubasi.Jadi bisa virus ini sudah Ada dalam tubuh nanun belum tetlihat gejalanya.

Lihatlah, ini adalah tentara virus corona dengan senjata yang lebih canggih. “Horee” teriak seluruh rakyat.

Menjengkelkan, virus ini bisa menyebar dengan mudah lewat udara dan cairan. Coba lihat mana ada tempat tidak punya udara. Jadi virus ini bukan saja dapat berpindah dari RT ke RT tapi juga antara negara. Lalu bagaimana dengan Cairan. Orang yang terserang pilek dan batuk, biasanya kalau batuk mengeluarkan butiran cairan nah ini dengan tidak sengaja kita bisa hirup atau terhirup.

Sementara di planet bumi berkumpul juga orang mendengar pidato raja corona. Betulkah viruscorona akan menyerang manusia di bumi? Acara televisi kemudian beralih ke China, Hongkong dan Singapura. Wouw, ternyata banyak manusia terserang SARS atau Sindrom

pernapasan akut parah. Ribuan orang yang terserang penyakit ini dan puluhan yang meninggal dunia. para ahli menyimpulkan bahwa penyebabnya adalah viruscorona.

Jadi ucapan raja Corona, benar bukan cuma pura-pura.

Bagaimana ini? Manusia pun jadi panik.

Apakah Itu Virus Corona ?

Virus corona adalah virus yang menyebabkan penyakit pernafasan, juga batuk dan filek dan virus ini mudah mutasi dan perubahan Gen. Apabila ia berada dalam tubuh manusia bersama virus lain.Mereka sering bertukar-tukar gen hingga terbentuklah virus lain.

Nah, virus yang dimaksud raja Corona adalah virus corona yang dulunya hanya mengganggu pernapasan namun karena mengalami mutasi gen hingga memiliki kekuatan menyiksa manusia dengan mengalami demam diatas 38 derajat C, nyeri otot dada dan dapat membuat paru-paru mengeras.

Mulanya virus ini hanya berada di propinsi Guangdong Cina di tahun 2002. Namun mudahnya penyebarannya sekarang sudah ada di beberapa negara.

Apa yang Harus Dilakukan?

Tenang tenang. Tidak usah panik Karena virus ini tidak visa bertahan lama dibawa sinar matahari.virus ini juga tidak bisa bertahan hidup ditempat yang kering, dia hanya mampu bertahan tiga jam.Meski kita harus waspada. Caranya kita harus menjaga fisik agar tetap hidup sehat.Sebab dengan hidup sehat virus ini tidak dapat berkembang biak.

Semoga para ahli cepat mendapatkan penangkalnya.Tapi meski ada penangkalnya tetap kita harus hidup sehat Siapa tahu virus lain di planet berniat juga menyerang bumi. Ayo kita hidup sehat. •

Macca No. 1/September 2021 | 38

Sastra Lisan

Tafsir Kelong

(Bagian 1)

Oleh Chaeruddin Hakim

N

aisbit dalam Ambo Enre (1991: 1-2), mengungkapkan bahwa keperluan akan pengungkapan, penerapan, dan pemantapan nilai-nilai luhur budaya bangsa pada akhir-akhir ini, terasa kian mendesak, tidak hanya karena menurut kenyataan, ia semakin tercecer ke belakang dan sering terlupakan, melainkan juga karena munculnya gaya hidup global yang semakin meluas pada penghujung abad ke–20 ini.

Wajar jika semakin homogen gaya hidup manusia semakin teguh pula ia menggenggam nilainilai yang lebih dalam, seperti agama, bahasa, seni, dan kesusastraan. Pada saat dunia luar semakin menjadi serupa, sewajarnyalah jika manusia semakin menghargai pula tradisi yang bersemi dari dalam, yang tentu saja kebudayaan dasarlah yang akan menjadi salah satu sumbernya.

Ambo Enre menguraikan, pembicaraan mengenai kebudayaan dalam hubungannya dengan nilai-nilai, penekanannya terutama diletakkan pada unsur-unsur materialistiknya sesuai dengan idenya yang menojol, yang dalam satu lingkungan masyarakat dipelihara dan diperlakukan sebagai suatu kebajikan, berupa ketentuan tentang cara berprilaku dan menetapkan sesuatu yang ideal

mengenai bagaimana seseorang harus membawa diri agar ia dapat diterima sebagai anggota mayarakat.

Sedangkan yang dimaksudkan dengan nilai-nilai, ialah sesuatu yang sangat dihargai serta diyakini akan kebenarannya. Sebagai akibatnya, tentu sangat diharapkan pula perwujudannya dalam kehidupan seharihari, melebihi hal-hal lainnya. Nilai menyangkut masalah seleksi dan preferensi di antara banyak pilihan yang lain.

Kesusastraan sebagai bagian hidup masyarakat, khususnya kesusastraan tradisional (baca sastra kelong Makassar), merupakan salah satu bentuk pengungkapan nilai-nilai kesenian tradisional yang diharapkan dapat menjadikan manusia semakin menjadi manusia.

Kesuastraan dalam kaitannya dengan tata nilai kehidupan, merupakan sebuah fenomena sosial, keduanya saling melengkapi dalam kedirian mereka sebagai sesuatu yang eksistensial. Sebagai bentuk seni, pelahiran sastra bersumber dari kehidupan yang bertata-nilai. Pada gilirannya yang lain, sastra akan memberikan sumbangan bagi terbentuknya tata-nilai. Hal ini terjadi karena setiap cipta seni yang dibuat dengan kesungguhan dan mengandung keterikatan yang kuat dengan kehidupan, karena manusia sebagai pelahir cipta tersebut adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. Sastra sebagai produk kehidupan, mengandung nilai-nilai sosial, Macca No. 1/September 2021 | 39

falsafah religi, dan nilai-nilai lainnya, baik yang bertolak dari pengungkapan kembali, maupun yang merupakan penyodoran konsep baru. Semuanya dirumuskan secara tersurat dan tersirat. Hal inilah yang melahirkan sifat ambiguitas sastra, (Suyitno, 1986).

Kesusastraan Makassar khususnya kelong Makassar, memiliki sifat-sifat seperti yang telah diuraikan di atas, terlebih dalam kaitannya dengan tata-nilai moral-religius kehidupan masyarakat.

Kesuastraan Makassar pada saat ini dapat dikatakan tengah mengalami satu fase kemunduran, terlebih jika tidak dilakukan upaya-upaya nyata untuk melestarikannya di tengah-tengah kehidupan masyarakatnya. Pelestarian ini diharapkan dapat melestarikan nilai-nilai yang terkandung di dalam kelong.

Kelong bentuk kesusastraan Makassar, di dalamnya mengandung renungan dan kearfian, tergambar melalui kesatuan dan kepadatan makna.

Kesatuan dan kepadatan makna tersebut, setidaknya dapat dilihat di dalam fungsi-fungsi sastra pada umumnya.

Selain itu juga sebagai karya sastra Makassar yang sangat tua. Bagi masyarakat Makassar, kelong mendapat tempat tersendiri karena segala perasaan suka dan duka yang dialami oleh masyarakanya disampaikannya melalui kelong, (Basang, 1997: 20).

Menurut Basang (1997:19), bentuk kelong dapat dibandingkan dengan pantun, masing-masing terdiri atas empat baris dalam satu bait. Namun demikian, terdapat juga perbedaan.

1. Kelong tidak mementingkan sajak, akan tetapi tidaklah berarti bahwa di dalam kelong tidak terdapat sajak sama sekali.

2. Tidaklah menjadi syarat bagi kelong bahwa baris pertama dan kedua merupakan sampiran, seperti pada pantun.

3. Ditinjau dari sudut kesatuan suara yang terdapat pada tiap-tiap baris, kalau diteliti kesatuan suara itu terwujud pula dalam kesatuan sintaksis yang berupa kata atau kelompok kata, maka kelong itu tergolong ke dalam puisi. Jika ditinjau dari segi jumlah suku kata setiap baris maka kelong berpola suku kata 8.8.5.8 Contoh Kuminasaiko sunggu Kutinjakiko matekne Manna pucuknu Tangkennu mateknengaseng

Artinya Saya inginkan engkau sejahtera Saya nazarkan engkau bahagia Walau pucukmu Rantingmu bahagia semua Fungsi kelong sebagai karya sastra Makassar, tidak terlepas dari fungsi-fungsi sastra pada umumnya.

Menurut Finnegan dalam Hakim (1998: 7), hal terpenting memahami tujuan dan fungsi karya sastra lisan adalah hubungannya dengan kepercayaan, agama, pengalaman, dan lambang-lambang. Hakim (1998: 7) mengatakan, kelong Makassar mempunyai fungsi merekam peristiwa, pengalaman masa lampau dan masa kini. Masa kini karena sifat sastra yang mampu membayangkan kehidupan akan datang – Kelong yang menimbulkan kesenangan dapat juga memberikan pengetahuan dan

pengalaman sangat berharga bagi kehidupan.

Secara umum, kelong mempunyai lima fungsi,: (1) kelong sebagai media pendidikan; (2) kelong sebagai sebagai media hiburan; (3) kelong sebagai pembangkit semangat juang; (4) kelong sebagai media komunikasi; dan (5) kelong sebagai produk dan pelestari budaya.

Memandang fungsi sastra, terdapat dua pandangan yang bersifat dikotomis satu sama lainnya.

Demikian dengan keberadaan kelong Makassar.

Pertama, pandangan beranggapan bahwa sastra semata-mata hanya memberi hiburan, kenikmatan batin, atau hanya sesuatu yang bersifat indah dan menyenangkan. Pandangan ini sering diistilah dengan “art for art’s sake”. Kedua, pandangan yang beranggapan, sastra harus bermanfaat, mengangkat derajat manusia, mengajarkan moral yang baik, dan sastra mempunyai tugas dalam masyarakat.

Sehubungan kedua pandangan tersebut, Teew berpendapat, fungsi sastra haruslah memberi nikmat, mengajar, dan menggerakkan.

Terlepas dari pandangan dikotomis di atas, sastra hendaknya dapat dijadikan sebagai bahan apresiasi bagi terbentuknya prilaku moral generasi kini, khususnya anak pada usia pendidikan dasar. Sebagian ahli mengatakan, sebagai satu masa terakumulasinya berbagai nilainilai pada diri anak usia tersebut yang diserapnya dari berbagai pengaruh kebudayaan, baik kebudayaan internal maupun kebudayaan eksternal dari anak tersebut. • (Bersambung).

Macca No. 1/September 2021 | 40