1 minute read

AZAM dan MARYAM

Karya: Hilwa Raisa Socheh (VIIIF)

“Aku pernah kecewa telah lahir di keluarga yang tidak pernah memberikan suasana hangat, selalu panas dengan banyaknya masalah dan perdebatan,” lirih Azam, menahan tangisnya untuk tidak meleleh. Perempuan yang ada di sampingnya itu—yang lebih muda darinya—tak tahu harus berkata apa lagi, ia iba melihat teman karibnya itu dilanda kesedihan. “Jangan patah semangat Zam, jangan putus asa. Apa yang Azam hadapi selama ini itu keren, belum tentu orang lain mampu merasakan,” kata Maryam, si perempuan yang rela mendengar keluh kesah Azam selama ini. Mendengar ucapan Maryam, Azam menyangkal “Mar, ini musibah, bukan anugerah. Kenapa kamu bilang keren? Nggak ada musibah yang keren, Mar.” Azam mulai bingung dengan perkataan Maryam. “Keren, Azam.” Ucap Maryam. “Musibahlah yang membuat Azam jadi sabar, bertahan, mengingat Allah, berdoa, dan terus menjalani ujian Allah tanpa putus asa. Lantaran, Azam tahu, kalau Allah nggak akan kasih ujian kepada hamba-Nya kalau ia nggak mampu menyanggupinya,” jelas Maryam sambil tersenyum lebar, menghangatkan suasana saat itu selepas Isya’. Melihat Maryam yang selalu bahagia, membuat Azam juga ingin bahagia. Melihat senyum Maryam yang tulus, menulari Azam untuk ikut tersenyum pula. “Kamu lebih muda dari aku, kisah hidupmu belum sebanyak yang ku lalui, tapi bisa menasihati dengan sedewasa itu. Sementara aku, usiaku yang lebih tua yang membuatku memiliki rintangan hidup sangat menyeramkan, tak bisa mengendalikan diriku sendiri untuk tidak emosi. Bagaimana bisa?” tanya Azam heran. Maryam yang mendengarnya hanya tersenyum, lantas bicara kembali. “Lebih muda bukan berarti nggak punya ujian hidup. Aku dianggap anak jadah dan memang, tetapi aku milik Allah. Ucapanku lebih dewasa dari usiaku berkat trauma hidup yang aku dapat. Banyaknya kutukan orang-orang padaku membuatku sekokoh sekarang,” kata Maryam masih tersenyum.

Advertisement

This article is from: