
2 minute read
Athan Sang Penulis


Advertisement
Karya: Hilwa Raisa Socheh (VIIIF)
Athan menyerahkan rapor sisipannya pada kedua orang tuanya dengan malas-malasan. Setelah rapor mendarat di tangan Papanya, Athan berbalik badan. Dia ingin segera kembali ke kamar dan tak ingin mendapat ocehan yang selalu ia terima dari Papa maupun Mamanya. Tapi usahanya sia-sia. “Athan! Duduk di sini dulu,” panggil Papa Athan sambil membuka rapor. Papanya menatap Athan yang sempoyongan kembali duduk di sofa. Mata Athan sayu ketika melihat kepala Papanya mengggeleng-geleng. Sementara raut muka Mamanya tampak kecewa setelah mengintip nilai anaknya sekilas. Papa Athan menutup rapor itu dengan kasar, kemudian melemparnya ke arah Athan. Dengan sigap Athan mengambilnya. Meski pipi Athan tergores, terkena ujung rapor yang agak tajam. Athan menghela napas, ia tahu ini yang akan terjadi. “Papa heran sama kamu. Selama ini kamu di sekolah itu belajar apa nggak sih? Malumaluin Papa sama Mama kamu! Nilai 20-30-40 kayak gitu! Nilai apa itu, Than!” bentak Papa masih sambil berdiri, ingin menampar anaknya yang menunduk. Mama Athan hanya bisa diam, tak bisa mencegah suaminya untuk meredamkan emosi. “Nilaimu udah kayak sampah, Than. Papa itu lulusan universitas favorit, sastra Indonesia! Malu Papa punya anak kayak kamu,” sambung Papa Athan. Uratnya tampak jelas, serta rahangnya mengeras. Suasana ruang keluarga terasa panas. Sementara Athan, masih diam. Ingin mendongak, menunjukkan mukanya yang baret dengan bangga. Tetapi, lagi-lagi Papanya menyahut. “Papa udah peduli buat bayar sekolahmu yang mahal, tapi sia-sia.” Athan menarik napas, hendak berani berbicara. “Pa, Papa lulusan sastra Indonesia ‘kan? Apa Papa pernah nemuin tulisantulisan Athan di koran atau di majalah? Apa pernah Papa peduli dengan ngajarin Athan belajar? Athan emang bodoh, Pa. Tapi Athan bangga bisa belajar menulis sendiri biar jadi kayak Papa. Tapi sayang, kemampuan Athan nggak pernah terlihat oleh Papa dan Mama. Bahkan yang memuji dan membanggakan tulisan Athan bukan Papa Mama, tapi guru dan temen-temen Athan. Athan emang payah pelajaran matematika, tapi kalau masalah puisi, esai, ataupun yang lainnya, temen-temen Athan datang ke Athan untuk minta bantuan,” ucap Athan, berdiri dari duduknya. Ini yang Athan ingin ucapkan sejak lama, tetapi selalu ia pendam karena orang tuanya selalu mau menang sendiri. Tak pernah dengarkan Athan. “Athan nggak pernah diberi kesempatan sama Papa Mama untuk ngobrol dan cerita. Itu kenapa, Athan lebih baik menulis, cerita sama pembaca Athan. Papa Mama tau? Athan nulis surat buat Pak Presiden, biar Papa Mama sadar kalau suatu saat nama Athan disebut Pak Presiden, Papa Mama tahu kalau Athan nggak sepayah yang Papa Mama bilang.” —prangko lama