Artikel Opini Dimuat di Tribun Sumsel 13 November 2017 Arafah Pramasto,S.Pd. / email : arafahanakmadura@gmail.com
Memaknai Hari Pahlawan di Masa Kini Oleh : Arafah Pramasto,S.Pd.* Kenangan akan Pertempuran Surabaya pada 10 November 1945 masih selalu dingat dengan khidmat meski telah 72 tahun berlalu. Bagi generasi bangsa masa kini yang tidak lagi harus meraut bambu runcing, Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal itu pastinya membangun kekaguman atas heroisme para pejuang. Kisah itu mungkin telah sangat banyak dimuat dalam berbagai tulisan, namun bagaimana sesungguhnya kita harus memaknai Hari Pahlawan itu dengan mengaplikasikannya pada kehidupan sekarang ? Tanpa mengabaikan esensi gelora nasionalisme dan sifat rela berkorban yang sarat dalam peristiwa 10 November, nyatanya momentum itu turut memberi setidaknya tiga makna yang tampak pada beberapa waktu terakhir semakin “terasing” dalam pribadi manusia Indonesia masa kini. Siap Menerima Kekalahan Baru sebulan setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia mesti menghadapi hinaan oleh sekelompok orang Belanda pimpinan Mr.W.V.Ch. Ploegman yang mengibarkan bendera Belanda (merah-putih-biru) pada 18 September 1945 di atas tiang tertinggi hotel Yamato Surabaya, padahal sejak sebulan sebelumnya pemerintah Indonesia sudah meresmikan pengibaran Sang Saka Merah Putih di seluruh wilayah negara. Mereka menanti kedatangan kembali militer Belanda pasca menyerahnya Jepang dalam Perang Dunia II. Pengibaran itu menyulut peristiwa yang dikenal sebagai ‘Insiden Hotel Yamato’ tanggal 19 September yang menelan korban jiwa di kedua belah pihak saat para pemuda merobek bagian biru bendera Belanda. Benar saja, tanggal 25 Oktober pihak Sekutu Divisi India ke-23 dari Militer Inggris pimpinan Brigjend A.W.S. Mallaby mendarat di Surabaya yang tugasnya ialah melucuti tentara Jepang. Pasukan Sekutu juga memboncengi Netherlandsch Indie Civil Administratie (NICA) yakni organisasi semi-militer yang bertujuan mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia. Di masa kini, perhelatan “Pesta Demokrasi” yang kita sebut sebagai ‘Pemilihan Umum’ mestinya menjadi momen “sakral” bagi rakyat Indonesia di seluruh daerah. Semua kompetisi pasti akan menghasilkan pemenang sehingga konsekuensinya ialah ada pula yang harus kalah. Meskipun setiap calon maupun pendukungnya mengharapkan kemenangan, bukan berarti tujuan itu justru “mengharamkan” kekalahan. Kalau salah satu ataupun semua *
Penulis Lepas dan History Blogger berdomisili di Palembang
1