Menepis Rangkulan Kawan Lama, Titian Baru Saudi Arabia ?

Page 1

Persoalan Klasik

Pasar Lemabang

Diterbitkan Oleh:

PT MEDIA EXSIS KREATIF

Pimpinan Perusahaan:

Yunani, S.E

Pimpinan Redaksi:

Mayasari

Wakil Pimred:

Siti Soimah

Penanggungjawab:

Ismail

Redaktur Pelaksana:

Sadam Maulana

Wartawan Palembang:

Reza Mardiansyah, Yudiansyah, Kiki Nardance, Ettri Puspita, Suci

Wartawan Pagar Alam:

Delta Handoko

Wartawan Muara Enim:

Refli Antoni

Wartawan Ogan Ilir:

Wiwin Arianto

Wartawan OKU Timur:

Aan

Wartawan Musi Banyuasin:

Hafis Alfangky, Andini Patricka Nora

Wartawan Empat Lawang:

Alfariski

Wartawan Banyuasin:

Irwan

Wartawan Lahat: Ismail

Wartawan Ogan Komering Ilir:

Rasmiadi, Eman Saputra

Wartawan PALI:

Yoga

Sekretaris Redaksi:

Fauziah

Keuangan:

Yunita, S.E

Marketing/Iklan:

Miska Rini

Creative Design/Layout

Inal Sanjaya

Percetakan:

CV. Studiokreasi Indo Citra

Alamat : Jl. Mayor Salim Batubara, Sekip Jaya, Kec. Kemuning, Kota Palembang, Sumatera

Selatan 30114

(IsiataukontenyangadadikoranFocusKinidiluar tanggungjawabpercetakan)

Alamat Redaksi:

Jalan Tegal Binangun RT. 20 Ruko No. 3. Kelurahan

Plaju Darat Palembang Sumatera Selatan 0711 – 5543339 focus.kini@gmail.com

Menepis Rangkulan Kawan Lama, Titian Baru Saudi Arabia ?

Oleh: Arafah Pramasto, S.Pd. (Studie Club ‘Gerak Gerik Sejarah’) dan Ryzky Yan Deriza, S.H., M.Si., C.L.A., C.T.L (Sriwijaya Ius Institute)

A.“Liberalisasi” Saudi Singkirkan Wahabi ?

NEGARA Saudi Arabia – atau dikenal

“Arab Saudi” – sempat menyita perhatian publik di tanah air ketika pada bulan Agustus tahun 2022 lalu, dikabarkan seorang Ulama mantan Imam Masjidil

Haram bernama Sheikh Saleh Al-Talib divonis hukuman 10 tahun penjara. Pasalnya, menurut cnnindonesia.com, Al-Talib dalam sebuah khotbah pada tahun 2018 lalu menentang kebijakan kerajaan yang mengizinkan pencampuran laki-laki dan perempuan di ruang publik melalui sebuah undang-undang. Selain pula ia menyampaikan soal kewajiban Umat Islam dalam menentang kejahatan di depan umum. Belum usai dari berita tersebut, sekira tanggal 27-28 Oktober di tahun yang sama, menyeruak kabar “Kerajaan Saudi Arabia Mengizinkan Perayaan Halloween”. Tentu berita yang kedua terasa lebih “menghentak”. Bagaimana tidak ? Tidak sedikit Umat Islam yang memandangnya sebagai sebuah ironi; Saudi adalah

Kerajaan Islam yang menjadi pelindung

‘Haramayn’ (Dua Kota Suci / Mekkah & Madinah), selama ini dikenal menerapkan Syariat Islam justru memperbolehkan perhelatan yang dianggap “tidak Islami”, karena dalam perayaan itu banyak orang mengenakan pakaian-pakaian menyerupai hantu dan iblis.

Tidak sedikit pula yang menganggap bahwa berita tersebut hanyalah sebuah framing untuk membuat buruk citra Saudi Arabia. Dikatakan bahwa kejadian di atas bukan merupakan Halloween, sebagaimana di dunia Barat diperingati setiap tanggal 31 Oktober. Dilansir dari saudinesia.id, foto-foto warga Saudi yang berkostum hantu itu merupakan perhelatan ‘Scary Weekend’ sebagai promo dari penyelenggara festival Riyadh Season untuk mendapat tiket masuk gratis jika pengunjung memakai kostum yang menakutkan. Akhirnya dua berita ini hanya melengkapi maraknya keyakinan tentang “liberalisasi” (pembebasan / pelonggaran) yang terjadi di sana. Diberitakan bahwa Sang Putra Mahkota kerajaan, Mohammed bin Salman (MbS) tengah melancarkan reformasi di negerinya untuk “menghapus” paham Wahabi sebagai doktrin tunggal keislaman yang kaku, terutama melalui pembatasan pengaruh Ulama garis keras yang mengampanyekan pandangan “Islam Tanpa Kompromi” di Saudi. Syafiq Hasyim, akademisi UIN Syarif Hidayatullah, memandang perkembangan tersebut merupakan titik balik. Tidak hanya di Saudi sendiri, melainkan pula melintasi batas kenegaraan. Saudi, tulis Syafiq, dahulu melakukan “internasionalisasi Wahabi(sme)” – singkatnya ialah “mengekspor paham Wahabi” – sejak negara itu mengalami kedigdayaan sebagai sumber minyak terbesar, penyebaran ajarannya dilakukan dengan “politik sumbangan” ke negeri-negeri Islam lain.

Lalu apakah yang dimaksud dengan Wahabisme dan bagaimana hubungannya dengan Kerajaan Arab Saudi sebagai sebuah otoritas politik ? Kita perlu memahaminya dari sudut pandang sejarah.

B. Masa Saling Merangkul

Nama dari gerakan “Wahabi” diambil dari seorang tokoh yakni Muhammad bin Abdul Wahab, seorang Ulama di abad

ke-18 yang memiliki gagasan utama bahwa

Umat Islam telah melakukan kesalahan besar dan menyimpang dari jalan / ajaran agama yang lurus, sehingga Abdul Wahab melalui semangat puritannya hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti ajaran Islam, di antaranya adalah Tasawuf (Sufisme), doktrin perantara (Tawassul), rasionalisme, ajaran Syiah, serta banyak praktik lain yang dinilainya sebagai “inovasi” bid’ah (membuat praktik keagamaan baru yang tidak berdasar – Pen). Nasab

dari dari tokoh ini ialah Muhammad bin

Abdul Wahab bin Sulaiman bin Ali bin

Muhammad bin Rasyid bin Rasyid bin

Bari bin Musyarif bin Umar bin Muanad

Rais bin Zhahir bin Ali Ulwi bin Wahib, lahir pada tahun 1703 dan meninggal pada tahun 1787 M di Uyainah, daerah Nejd Saudi Arabia. Sejak kecil ia telah belajar ilmu agama dari ayahnya yang seorang

Qadhi (Hakim Agama) di Uyainah dan mampu menghafal Qur’an di usia 10 tahun. Berbagai tempat ia pun singgahi melanjutkan studi seperti ke Mekkah, Basrah (± 4 tahun), ke Baghdad (± 5 tahun), ia mengembara lagi menuju Kurdistan selama setahun, di Hamedan dua tahun, serta pernah berkunjung ke Isfahan dan Qom di Iran.

Selama studinya di Baghdad, ia menikahi seorang perempuan kaya-raya dan setelah wafat istrinya ia memperoleh warisan yang cukup banyak sejumlah 2000 Dinar. Ia akhirnya kembali ke Uyainah, tempat di mana ia memulai dan mendirikan gerakan berdasarkan pemikirannya pada tahun 1740 M yang dikenal terpengaruh oleh gagasan Ulama pada abad ke-13 bernama Taqiyuddin

Ahmad Ibnu Tamiyah (1263-1328 M) dalam menyerukan kembali kepada sumber Islam, Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta

meniru para nenek moyang pada zaman

Nabi Muhammad Saw (Salafus Shalih / Salaf). Sedangkan dalam Fiqh, Wahabi

mengklaim mengikuti Madzhab Ahmad bin Hanbal (Imam Hambali). Gerakan

Wahabi terbutki segera memperoleh

tentangan, bahkan dari lingkaran keluarga. Sulaiman bin Abdul Wahab, kakaknya, menulis sebuah risalah yang ditujukan untuk mengkritisi sikap, pendidikan, dan ajaran-ajaran saudaranya yang puritan. Tak hanya itu, seorang mufti Madzhab Hanbali di Mekkah, Ibnu Humaydi (wafat 1878 M), sebagai pemegang kuasa otoritatif ketika

itu mengisahkan bahwa ayah Muhammad bin Abdul Wahab kesal dengan anaknya karena tidak menjadi murid yang baik di bidang yurisprudensi Islam (Fiqh) dan dengan arogan menentang guru-gurunya. Dikabarkan Abdul Wahab muda tidak menyelesaikan pelajaran di bidang Syariah, entah putus studi atau dikeluarkan, demikian tulis Abou El Fadl dalam buku Sejarah Wahabi & Salafi. Ibnu Humaydi mengimbuhkan, karena takut akan kemarahan ayahnya, si pendiri Wahabi tidak berani untuk menyebarkan ajaran puritannya hingga sesudah wafatnya sang ayah. Sesudahnya, Abdul Wahab berani memimpin para pengikutnya dalam sejumlah aksi publik yang menunjukkan semangat “reformasi puritan”. Tindakan yang paling berani ialah meratakan dengan tanah makam Zaid bin Al-Khattab, saudara Khalifah Umar (memerintah 634-644 M) serta salah satu Sahabat Nabi. Kelakuan ini membuat geram penguasa setempat, Sulaiman bin Muhammad bin Ghurayr yang memilih mengusir Abdul Wahab serta pengikutnya dari Uyainah. Kemungkinan ide-ide Wahabi tidak akan meluas, bahkan di Arab, andai saja tidak memperoleh momentum secara politis dan militer. Abou El Fadl dalam bukunya mensinyalir keduanya dapat mencegah Wahabisme menemui jalan kepunahan seperti gerakan ekstrimis lain di dalam Islam. Kejadian yang dimaksud ialah terbentuknya aliansi Wahabi dengan Keluarga As-Saud (Saudi) semenjak tahun 1745 M. Aliansi ini berbuah menjadi gerak pemberontakan melawan Khilafah Utsmani. Memadukan semangat keagamaan dan nasionalisme Arab yang kuat, pemberontakan ini sangat besar dampaknya.

Muhammad bin Saud sebagai penguasa Kota Al-Dir’iyyah, tempat pengasingan Abdul Wahab, memberikan dukungan pada gerakan yang akan berakibat sangat besar hingga ke wilayah Damaskus di utara dan kawasan Oman di selatan. Abdul Wahab sepakat menjadikan Bin Saud dan keluarganya pemimpin sementara gerakannya, asalkan Keluarga Saudi menerapkan ajaran-ajarannya setelah berkuasa. Selama 150 tahun berikutnya, Muhammad bin Saud dan para pewarisnya melancarkan seragkaian panjang serangan militer guna merebut kekuasaan di Jazirah Arab. Singkatnya, tulis Yusran Asmuni dalam ‘Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam’, Bersambung ke Hal. 15

2 KOLOM
KORAN MINGGUAN EDISI 86 MINGGU PERTAMA MEI 2023
Foto Cover: Situasi Pasar Lemabang, Senin pagi 1 Mei 2023, pedagang tumpah ruah ke jalan hingga menimbulkan kemacetan di sepanjang Jalan Yos Sudarso Palembang. Pedagang enggan menempati lapak di dalam karena beban biaya yang tinggi selain itu pedagang khawatir sepi pembeli. Foto: reza/FK
Rumah Karyawan RS Fatimah Dibobol Pencuri 16 HALAMAN EDISI 86 Minggu Pertama Mei 2023 Harga Bundling: Rp.15.000,CERDAS, BIJAK DAN OBJEKTIF MELAHIRKAN ANAK PERTAMA DI ATAS 35 TAHUN BERESIKO KANKER PAYUDARA
Bisnis
Boneka Capit, Hasil Menggiurkan Pemilik Toko Bergairah

dua orang bernama Muhammad bergabung, karena masing-masing mempunyai kepentingan. Muhammad bin Abdul Wahab ingin mendapat bantuan menyebarkan ide-ide pembaharuan pemikiran (puritan) dalam bidang keagamaan, dan Muhammad bin Saud ingin menguasai Jazirah Arab dengan bantuan gerakan Wahabi. Keduanya saling merangkul dalam meniti “petualangan” keras mewujudkan cita-cita manis dalam biduk yang sama.

C. “Titian Juang” Saudi-Wahabi

Eksistensi gerakan Wahabi yang lalu berubah menjadi aliansi “Saudi-Wahabi”, mau tidak mau membuatnya menjadi bagian integral dalam dinamika yang bersifat kompetisi geopolitis di Timur Tengah. Penguasa Dir’iyyah berikutnya, Abdul Aziz bin Muhammad As-Saud, memerintahkan anaknya yang bernama Saud untuk memimpin pasukan Wahabi dari Nejd pada tahun 1801-1802 M untuk menyerang kota-kota pemeluk Syi’ah, Najaf dan Karbala di Irak. Di sana, tulis Raana Bokhari dan Mohammad Seddon dalam Ensiklopedia Islam, kaum Wahabi menistakan makam menantu

Rasululllah Muhammad Saw, Ali bin

Abi Thalib dan cucunya, Husain bin Ali yang dihormati oleh kalangan Syi’ah. Kaum Ahlus Sunnah / Sunni pun sangat menghormati kedua sosok itu. Ironisnya, Wahabi yang mengampanyekan untuk ber-Islam ala generasi awal Islam (Salaf), justru menghancurkan makam-makam para tokoh Salaf dan Sahabat Nabi. Tetapi kampanye militer ini, menurut para sejarawan, ditujukan untuk mengonsolidasikan legitimasi “Negara Saudi Pertama”.

Abou El Fadl menerangkan dalam bukunya bahwa pada 1802 tentara Wahabi membantai penduduk Karbala yang menganut Syiah, sedangkan pada 1803, 1804, serta 1806, mereka juga banyak mengeksekusi sesama penganut Sunni di Mekkah dan Madinah, yang dipandang olehnya sebagai pelaku bid’ah , termasuk para pengamal Sufi / Tasawwuf. Sikap keagamaan

Kaum Wahabi ini, kata Alwi Shihab dalam buku Examining Islam in the West, bahkan turut melarang suatu jenis perayaan bernuansa keagamaan yang datang belakangan.

Contohnya ketika Shalahuddin

Al-Ayyubi (di Barat dikenal sebagai “Saladin), figur Islam pada abad ke-11 yang berinisiatif mengadakan peringatan kelahiran Rasulullah

Muhammad Saw (Maulid Nabi-Pen) dengan membacakan biografi Sang

Nabi, sebagai usaha menyatukan

kekuatan Islam dalam melawan pendudukan Jerusalem oleh

Pasukan Salib (Crusaders), Abdul Wahab menafsirkannya sebagai

sikap “keliru” dan bid’ah, hingga ia pun melarang peringatan / perayaannya. Gerakan Wahabi enggan memandang aspek intrinsik dalam perhelatan Maulid Nabi tersebut, meski memiliki aspek historis serta spirit heroisme.

“Pencapaian” Kaum Saudi-Wahabi di Timur Tengah tentu mencemaskan bagi Turki Utsmani, maka Sultan Mahmud II menugaskan kepada Khedive (Rajamuda

Perwakilan Khalifah) Mesir, yakni

Muhammad Ali Pasha supaya mematahkan gerakan Wahabi tersebut. Khedive Muhammad Ali berhasil mengambil alih kendali wilayahwilayah tersebut pada 1818. Perlu beberapa kali kampanye militer sebelum akhirnya dapat menekuk-lututkan aliansi Wahabi-Saudi dan tatkala militer Mesir-Turki menghancurkan Dir’iyyah, ibukota Negara Saudi Pertama, terjadi pembantaian balasan yang membekas dalam memori kaum Wahabi dan membakar semangat kelompoknya dengan menjadikannya simbol penderitaan dan pengorbanan mereka.

Kehancuran Negara Saudi Pertama tidak lantas memupuskan serta mengeliminasi Wahabi sepenuhnya. Motif pembalasan serta sisa penyebaran pemikiran yang ditinggalkan telah menunggu untuk bangkit lagi di masa berikutnya. Negara Saudi Kedua diciptakan pada 1824 namun ditumbangkan pada 1891 oleh klan-klan Arab pesaing As-Saud. Pada abad ke-20 Wahabisme bangkit kembali di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Saud, hal ini menandai akhir dari kampanye panjang Keluarga / Dinasti As-Saud yang berpuncak pada pendirian Kerajaan Arab Saudi oleh Abdul Aziz pada bulan September tahun 1932. Ibarat perjalanan jauh nan melelahkan dalam meniti laluan curam nan terjal, kedua-duanya telah berhasil memuncak ke tujuan di titik paling tinggi; benarkah sedemikian ? Apakah “kawan seiring” ini akan berkomitmen mengecap manis bersama, setelah getir perjuangan memenuhi lidah mereka ?

D. “Menepis Rangkulan” ala Saudi-Wahabi Aliansi tidak berarti bahwa komponen yang mengisinya dapat melebur menjadi identitas yang satu-padu. Ialah Abdul Aziz dari Keluarga Saudi yang disebut di atas, pada tahun 1912 membentuk kekuatan militer yang dikenal

dengan sebutan “Ikhwan” (artinya “Persaudaraan”-Pen), pasukan ini terdiri atas orang-orang fanatik dari Nejd yang sangat berkomitmen dalam membela dan meluaskan ajaran Wahabi. Guna mengimbangi kekuatan militer Utsmani, pada tahun 1915 Abdul Aziz menandatangani sebuah pakta “persahabatan dan kerjasama” dengan Inggris. Percik ketegangan terpantik saat Ikhwan dengan gagasan kolotnya membenci keputusan pemakaian penemuan modern di dalam teritori Saudi seperti telegraf, telegram, mobil, dan pesawat udara. Ikhwan pun berani membantai penduduk Muslim yang wilayahnya masuk protektorat Inggris dan bahkan mengakibatkan sejumlah prajurit Inggris tewas. Belum lagi kebiasaan para Ikhwan menghukum, dan tak segan mengeksekusi jamaah Haji karena melakukan ritual yang bertentangan dengan Wahabisme.

Tak heran polah tingkah Ikhwan menyebabkan Abdul Aziz dalam dilema. Keluarga Saudi yang berada di bawah perlindungan Inggris, harus menggeliat bangun dan menyusun kembali kekuasaannya.

Belum lagi ia menerima tunjangan hidup bulanan yang sangat besar dari pemerintah London, Abdul Aziz harus memikirkan ancaman krisis diplomatik akibat sayap militer yang ia bentuk, tidak hanya dengan Inggris tapi juga dengan negara-negara Muslim lainnya. Ikhwan yang merasa tersakiti dengan langkah Abdul Aziz karena dianggap berkompromi dengan “para pelaku bid’ah”, akhirnya mengobarkan pemberontakan melawan Saudi pada tahun 1929. Mungkin bagi Abdul Aziz hal ini merupakan momen yang ia nantikan untuk mengeliminasi “benalu” dalam pemerintahannya. Dengan bantuan militer Inggris dan superioritas Angkatan Udara, ia berhasil membantai, menumpas, dan akhirnya membubarkan kelompok tentara Ikhwan. Ganjaran loyalitas Abdul Aziz ialah keksatriaan Ordo Bath, yang membuat penerimanya digelari “Sir” / “Dame” oleh Inggris pada tahun 1935.

Pembubaran tentara Ikhwan tidak berarti Saudi menanggalkan Wahabisme. Untuk beberapa saat, Saudi kembali “rujuk” dengan paham itu, sampai kemudian pada tanggal 20 November 1979. Kejadian yang mungkin tidak pernah disangkakan akan terjadi kepada Kerajaan Saudi. Juhayman Al-Otaybi, pria kelahiran 1936 yang merupakan cucu seorang tokoh Ikhwan. Sultan bin Bajad Al-Otaybi, kakek Juhayman, dipenjara hingga mati pada 1932 setelah kegagalan

pemberontakan. Pandangan bahwa

pihak kerajaan telah mengkhianati

ajaran sejati Wahabi telah tertanam

dalam diri Juhayman sejak kecil.

Pada Musim Haji 1979, komplotan

Juhayman mencoba merebut

kekuasaan pemerintah Arab Saudi

di Mekkah dengan mengangkat seorang Khalifah, yakni saudara ipar Juhayman yang bernama Mohammed

Abdullah Al-Qahtani. Kekhalifahan

bagi mereka lebih Islami ketimbang

bentuk kerajaan ala Keluarga Ibn

Saud. Akibatnya penguasa Arab

Saudi, Raja Khalid bin Abdul Aziz, segera memerintahkan tentaranya

agar menghabisi Kaum Wahabi

kendati harus menerobos Ka’bah

dengan sepatu lars dan senjata. Keputusan lebih jauh dalam

menindak Kaum Wahabi tidak

dapat dilakukan oleh Saudi pasca

tragedi yang disebut “Pendudukan Masjidil Haram” di bawah

Juhayman itu. Ibarat terkungkung

paranoia lama, atmosfer geopolitik

Timur Tengah lagi memanas akibat

Revolusi Iran di tahun yang sama.

Perkaranya ialah revolusi itu dimotori kalangan Ulama Syiah yang

sukses menumbangkan monarkhi

Shah Mohammad Reza. Arab Saudi menganggap dirinya sebagai penjaga

tempat-tempat tersuci Islam di Mekkah dan Madinah, tetapi revolusi Kaum Syiah di Iran menantang otoritasnya dan menjadi pesaing sekaligus alternatif dari apa yang

dikhotbahkan Saudi (paham Wahabi-Pen). Maka, hubungan kerajaan dan pengikut Wahabi sempat akur lagi ketika ada rekrutmen mujahidin pada 1980. Saat itu hampir 25.000 orang mendaftar sebagai mujahidin yang dilatih oleh Pusat Intelijen

Amerika (CIA) untuk melawan tentara Rusia di Afghanistan. Pihak Kerajaan Saudi menyumbangkan banyak dana dalam kerjasama dengan CIA tersebut. Apabila dahulu Inggris melengkapi aliansi Saudi-Wahabi, pada era ini Amerika Serikat telah mengambil alih posisi tersebut.

Ibarat rasa percaya serupa

kaca, yang apabila retak tiada dapat kembali utuh, begitupun hubungan Saudi dan Wahabi. Baru di awal abad ke-21, sebuah bom meledak di Riyadh yang menewaskan 39 orang, sembilan di antaranya adalah warga Amerika Serikat. Belum lagi sekira 200 orang terluka. Polisi berhasil membekuk 10 orang dalang pengeboman. Ali Abdul Rahman

Al-Ghamdi ialah salah satu dari

19 orang pelaku yang wajahnya

dipajang oleh Kementerian Dalam

Negeri Saudi Arabia kepada publik. Saudi segera menggegas langkah konkret memburu orang-orang

Wahabi, meski sebelumnya, tulis

Nino Oktorino dalam buku Konflik Bersejarah : Pedang Sang Khalifah, Riyadh memainkan peranan utama dalam kemunculan gerakan pejihad modern dengan menyediakan pendanaan bagi kelompok-kelompok Islamis di seluruh dunia, sampai pada akhirnya pihak kerajaan melihat gerakan tersebut sebagai sebuah ancaman pasca peristiwa itu, yakni Wahabi dalam bungkus gerakan Al-Qaeda binaan Osama bin Laden, yang melakukan pengeboman di dalam negeri Saudi Arabia pada 12 Mei 2003. Kejadian ini hanya mengingatkan kita tentang gerakan Ikhwan era 1920-an yang menewaskan pasukan Inggris sebagai Sekutu bagi kerajaan Saudi.

“Kiprah” Saudi dalam persaingan geopolitik di Timur Tengah masih dapat kita temukan pasca meletus Perang Saudara Suriah (2011). Kala itu Saudi diyakini terlibat konflik di “Bumi Syam” (Suriah) dengan memasok persenjataan bagi kaum Jihadis dalam melawan rezim Al-Assad yang “Syiah” dan dibekingi Iran. Tidak sampai itu saja, tahun 2015 Saudi Arabia menggempur Yaman karena ingin melindungi pemerintahan Mansour Hadi dari Pemberontak Houthi yang beraliran Syiah. Riyadh juga memilih memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran pasca kedutaan besarnya di Tehran diserang demonstran, mereka memprotes eksekusi mati Syaikh Baqir Nimr seorang Ulama Syiah oleh otoritas Saudi pada 2016. Mungkinkah berita mengenai “Liberalisasi Saudi” terhadap Wahabisme di tahun 2022 itu, ada kaitannya dengan langkah “tiba-tiba” Saudi bernegosiasi damai dengan musuh ideologisnya yakni Iran pada triwulan pertama 2023 melalui mediasi Republik Rakyat Cina (RRC) ?. Apakah ini titian baru untuk Kerajaan Saudi Arabia menuju kemoderatan yang kini tengah menjadi buah bibir masyarakat dunia ? Atau mungkin Saudi akan kembali melirik si “Kawan Lama” (Wahabi), merangkulnya, dan mengajaknya lagi dalam sebuah petualangan baru ?. Sumber :

• Asmuni, H.M. Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam , Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2001.

Bokhari, Raana, Mohammad Seddon, Ensiklopedia Islam, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2011.

• El-Anis, Imad, dkk. (Ed.), Security and Insecurity in the Middle East, Newcastle : Cambridge Scholar Publishing, 2018.

• Fadl, Khaled Abou El, Helmi Mustofa (Penj.), Sejarah Wahabi & Salafi : Mengerti Jejak Lahir dan Kebangkitannya di Era Kita, Jakarta : Serambi, 2015.

• Fibri, Rommy, “Habis Manis, Kawan Diburu”, Tempo, Jakarta, 8 Juni 2003. Hasyim, Syafiq, “Perubahan di Arab Saudi dan Wahabi di Indonesia”, dalam geotimes.id.

• Dan lain-lain.

Redaksi Focus Kini menerima opini pembaca dengan tema beragam. Kirimkan naskah, foto diri dan foto KTP Anda melalui email redaksi kami. redaksi.spid@gmail.com. Kami tidak memberi batasan jumlah kata pada naskah Anda. Silakan Anda berpartisipasi. Terima kasih Redaksi

15 SAMBUNGAN KORAN MINGGUAN EDISI 86 MINGGU PERTAMA MEI 2023
Informasi Langganan dan Pemasangan Iklan Hubungi 0711 - 5543339 Menepis... SAMBUNGAN HAL. 2
https://suarapublik.id
Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.