12 minute read

Implementasi SDGs dalam Penanganan Isu Perubahan Iklim

IMPLEMENTASI SDGs DALAM PENANGANAN ISU PERUBAHAN IKLIM

Pembangunan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya secara terencana. Defisini lain menyatakan pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Seiring berjalannya waktu dan dimulainya konsep dan aplikasi ekologi pada setiap tatanan kehidupan, maka pembangunan mengalami beberapa pergeseran paradigma, mulai dari yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dengan GNP atau Gross National Product, sampai pada munculnya ide-ide yang mengintegrasikan antara pertumbuhan ekonomi, partisipasi masyarakat dan perlindungan lingkungan yang dikenal sebagai paradigma pembangunan berkelanjutan. Indonesia pun terkena imbas dan selaku peratifikasi perjanjian Paris, Indonesia juga harus memasukkan paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi cenderung memanfaatkan sumber daya alam dengan semena-mena, tanpa memperhatikan aspek lingkungan yang ada. Akibatnya kerusakan dan pencemaran lingkungan semakin sering terjadi. Dampak-dampak tersebut dapat merugikan atau mengganggu kehidupan manusia. Hal ini memunculkan perhatian dunia terhadap masalah lingkungan yang dimulai dari dilaksanakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Stockholm (Swedia) tahun 1972. Pada konferensi tersebut dicapai kesepakatan tentang hubungan antara masalah lingkungan yang terkait dengan pembangunan berkelanjutan. Sejak saat itu konsep pembangunan yang ramah lingkungan mulai diimplementasikan dalam pelaksanaan pembangunan oleh berbagai negara. Pada tahun 2000, para pemimpin dunia menyepakati tentang 8 tujuan pembagunan global yang spesifik dan terukur yang disebut Millenium Development Goals (MDGs). MDGs adalah tujuan dan tanggung jawab dari semua negara yang berpartisipasi dalam KTT Milenium, baik pada rakyatnya maupun secara bersama antar pemerintahan. Target yang tercakup dalam MDGs sangat beragam, mulai dari mengurangi kemiskinan dan kelaparan, menuntaskan tingkat pendidikan dasar, mempromosikan kesamaan gender, mengurangi kematian anak dan ibu, mengatasi HIV/AIDS dan berbagai penyakit lainnya, serta memastikan kelestarian lingkungan hidup dan membentuk kemitraan dalam pelaksanaan pembangunan. Pencapaian tujuan MDGs memiliki target waktu di tahun 2015 lalu. Gagasan pembangunan berkelanjutan merupakan gagasan yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan masa kini, tanpa mengurangi kebutuhan generasi masa depan. Berpijak dari konsep pembangunan berkelanjutan tersebut, terdapat 3 elemen keberlanjutan yang mendukung masing-masing stakeholders (perusahaan, pemerintah dan masyarakat) yaitu keberlanjutan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan keberlanjutan lingkungan. Pada tanggal 25 September 2015 telah resmi dicanangkan Sustainable Development Goals (SDGs) atau disebut juga Global Goals oleh PBB. Konsep SDGs sendiri lahir pada Konferensi PBB Sustainable Developments Rio+20 pada Tahun 2012 yang menggantikan MDGs (Millenium Development Goals).

Advertisement

KONSEP SDGs Terdapat perbedaan antara MDGs dan SDGs. MDGs lebih bersifat birokratis dan teknokratis, serta ditujukan hanya pada negara-negara berkembang. Sedangkan SDGs lebih inklusif melibatkan banyak pihak termasuk organisasi masyarakat sipil atau civil society organization (CSO); memiliki sasaran yang lebih universal dan tidak hanya ditujukan untuk negara-negara berkembang, tapi juga untuk negara-negara maju. Seluruh tujuan, target dan indikator dalam dokumen SDGs juga perlu mempertimbangkan perubahan situasi global saat ini. Dalam konsep SDGs, terdapat tiga pilar yang sekaligus menjadi indikator, yaitu : 1. Indikator yang melekat pada pembangunan manusia (Human Development), di antaranya pendidikan 2. Indikator yang melekat pada lingkungan social ekonomi manusia (social economic development), di antaranya ketersediaan sarana dan prasarana lingkungan serta pertumbuhan ekonomi 3. Indikator yang melekat pada lingkungan yang lebih besar (environmental development), berupa ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan yang lebih baik. Adapun tujuan SDGs mencakup : 1. Mengakhiri segala bentuk kemiskinan 2. Mengakhiri kelaparan, mencapai ketahanan pangan dan peningkatan gizi, dan mencanangkan pertanian berkelanjutan 3. Menjamin kehidupan yang sehat dan meningkatkan kesejahteraan penduduk di segala usia 4. Menjamin kualitas pendidikan yang adil dan inklusif serta meningkatkan kesempatan belajar seumur hidup untuk semua 5. Mencapai kesetaraan gender dan memberdayakan perempuan dan anak perempuan 6. Menjamin ketersediaan dan manajemen air dan sanitasi secara berkelanjutan

7. Menjamin akses terhadap energi yang terjangkau, dapat diandalkan, berkelanjutan, dan modern 8. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang merata dan berkelanjutan, kesempatan kerja penuh dan produktif, serta pekerjaanyang layak untuk semua 9. Membangun infrastruktur tangguh, mempromosikan industrialisasi inklusif dan berkelanjutan dan mendorong inovasi 10. Mengurangi ketimpangan dalam dan antar negara 11. Membuat kota dan pemukiman manusia yang adil, merata, aman, tangguh dan berkelanjutan 12. Menjamin pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan 13. Mengambil tindakan segera untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya 14. Melestarikan samudera, laut dan sumber daya kelautan secara berkelanjutan untuk pembangunan berkelanjutan 15. Melindungi, memulihkan dan meningkatkan pemanfaatan secara berkelanjutan ekosistem darat, mengelola hutan, memerangi desertifikasi, dan menghentikan dan memulihkan degradasi lahandan menghentikan hilangnya keanekaragaman hayati 16. Meningkatkan masyarakat yang inklusif dan damai untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses terhadap keadilan bagi semua dan membangun institusi yang efektif, akuntabel dan inklusif di semua tingkatan 17. Memperkuat sarana pelaksanaan dan merevitalisasi kemitraan global untuk pembangunan berkelanjutan

IMPLEMENTASI SDGs MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DAN DAMPAKNYA

Paradigma pembangunan SDGs seharusnya sudah mengadopsi parameter atau variabel perubahan iklim. Hal ini dikarenakan paradigma SDGs telah memasukkan nilai ekonomi, sosial, dan ekologi serta links atau irisan ke 3 aspek tersebut (ekonomi, sosial, dan ekologi/lingkungan fisik). Perubahan iklim memang merupakan proses fisis, tapi harus dipahami juga secara sosial ekonomi. Fenomena perubahan iklim yang datang mendadak dapat saja merusak hasil-hasil yang telah dicapai dan menghambat pencapaian tujuan pembangunan.

Untuk menyusun rencana pembangunan yang bersifat SDGs maka diperlukan informasi berupa proyeksi, skenario, dan simulasi dari variabel dan indikator perubahan iklim. Gambar 1 menyajikan grafik yang menunjukkan proyeksi tingkat perubahan suhu permukaan dengan menggunakan beberapa skenario perubahan iklim. Paradigma pembangunan SDGs juga bertujuan melindungi komunitas atau masyarakat yang terkena dampak perubahan iklim yang berisiko tinggi dan sangat rentan. Dari 17 tujuan SDGs terdapat 12 tujuan yang memiliki target terkait iklim, terkait dengan energi, kehutanan, ketahanan pangan, dan pendidikan. Laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) terbaru menyebutkan dan mencatat bahwa kelompok termiskin adalah yang kelompok yang paling rentan menerima dampak perubahan iklim. Tanpa adanya pembangunan yang inklusif dan cepat mengintegrasikan aksi terkait perubahan iklim, maka diperkirakan lebih dari 100 juta orang akan berada di bawah garis kemiskinan pada tahun 2030. Demikian pula, analisis UNDP menunjukkan bahwa kurangnya tindakan terhadap perubahan iklim akan menurunkan pendapatan dan mengurangi peluang bagi populasi rentan.

Gambar 1. Time series anomali suhu udara permukaan rata-rata global (relatif terhadap tahun 1986-2005) berdasarkan eksperimen berbasis konsentrasi CMIP5(Sumber : IPCC, 2013)

Dampak yang luas dari perubahan iklim terhadap berbagai sektor telah menyebabkan isu perubahan iklim menjadi persoalan yang harus segera ditangani. Kesepakatan Paris merupakan tonggak sejarah untuk memerangi perubahan iklim, meningkatkan aksi dan investasi menuju masa depan yang rendah karbon, berketahanan iklim, dan berkelanjutan. Gambar 2 merupakan skema konsepsi implementasi SDGs untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya. Pada gambar tersebut dapat dilihat beberapa outcome dari interface aspek sosial-ekonomi, sosial-lingkungan, dan ekonomi-lingkungan.

Gambar 2. Konsep implementasi SDGs untuk memerangi perubahan iklim dan dampaknya (Sumber : Susanti, 2017)

Outcome dari interaksi antara sistem sosial, ekonomi dan lingkungan, adalah :

1. individu dan komunitas yang mampu beradaptasi dan melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim secara efektif karena didukung oleh kemampuan yang tinggi berinteraksi antara sistem lingkungan dan sistem sosial. 2. terciptanya sistem produksi dan transportasi yang rendah emisi atau low carbon ecomomic sebagai hasil interaksi antara sistem ekonomi dan sosial 3. adanya aksesibilitas yang memadai terhadap lapangan pekerjaan, terhadap produk, dan transportasi, sebagai hasil dari interaksi antara sistem sosial dan sistem ekonomi

Adanya individu dan komunitas yang tidak mendapat akses terhadap lapangan pekerjaan, dan produk kebutuhan hidup akan memiliki tingkat resiliensi yang rendah, tidak mampu beradaptasi terhadap perubahan iklim, dan akan cenderung memanfaatkan alam secara tidak bijaksana. Sistem produksi dan transportasi yang beremisi tinggi, akan menghasilkan polutan tinggi di atmosfer, mengubah komposisi atmosfer dan keseimbangan energi radiasi, serta mengganggu kesehatan manusia dan mahluk hidup lainnya, dan mengurangi tingkat kesejahteraan masyarakat.

MEMPERBAIKI RESILIENSI SOSIAL UNTUK MERESPON PERUBAHAN IKLIM Resiliensi sosial dapat didefinisikan sebagai "cara di mana individu, masyarakat dan masyarakat beradaptasi, berubah, dan berpotensi menjadi lebih kuat saat menghadapi tantangan lingkungan, sosial, ekonomi, atau politik". Pemikiran mengenai resiliensi pertama kali berkembang dalam literatur ekologi di tahun 1970an untuk memahami dan menyesuaikan secara adaptif sistem ekologi kompleks di bawah tekanan.

Dalam konteks perubahan iklim global, evaluasi dan peningkatan resiliensi sosial masyarakat diperlukan untuk menghindari atau mengurangi dampak potensial perubahan iklim terhadap ketersediaan sumber daya alam, ekonomi, permukiman, dan kesejahteraan individu dan masyarakat. Saat ini, sebagian besar pendekatan untuk perencanaan dan pengambilan keputusan dalam menanggapi perubahan iklim didasarkan pada pengetahuan biofisik dan rekayasa, sementara pertimbangan sosial sering dipinggirkan, walaupun perubahan iklim merupakan dilema sosial yang inheren. Untuk mengatasi kurangnya strategi yang berfokus pada sosial, Dale (2011) telah mengembangkan kerangka indikator resiliensi untuk menilai resiliensi sosial masyarakat. empat kelompok atribut resiliensi sosial: kelayakan ekonomi, pengetahuan, aspirasi, dan kapasitas masyarakat, vitalitas komunitas, tata kelola.

ADAPTASI DAN MITIGASI PERUBAHAN IKLIM Istilah 'mitigasi' dan 'adaptasi' mengacu pada dua jalur yang berbeda untuk menghadapi perubahan iklim. Mitigasi berkaitan dengan penyebab perubahan iklim dan bekerja untuk mengurangi dampak buatan manusia terhadap sistem iklim. Sebaliknya, adaptasi membuat perubahan untuk mempersiapkan dan meniadakan dampak perubahan iklim, sehingga mengurangi kerentanan masyarakat dan ekosistem. Dengan beradaptasi dapat mengatasi dampak perubahan iklim, masyarakat, perusahaan dan institusi untuk membangun ketahanan terhadap perubahan iklim. Mitigasi adalah tindakan yang dilakukan untuk mengurangi aktivitas yang merupakan penyebab perubahan iklim. Kegiatan yang berkontribusi pada perubahan iklim meliputi pembakaran bahan bakar fosil, penggundulan hutan dan peternakan yang semuanya meningkatkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Dengan mengambil tindakan untuk mengurangi emisi GRK, atau menghapusnya dari atmosfer melalui penanaman hutan atau penyimpanan karbon di bawah dan dalam tanah misalnya, individu dan institusi dapat mengurangi perubahan iklim. Mitigasi memiliki implikasi kebijakan untuk sektor-sektor utama ekonomi seperti energi, transportasi, konstruksi, industri, pertanian, kehutanan dan pengelolaan limbah. Untuk mengurangi aktivitasnya, sektor ini memiliki beberapa pilihan, seperti penggunaan energi terbarukan dan minimalisir penggunaan energi. Instrument perijinan dan insentif diperlukan untuk mendorong perilaku mitigasi seperti ini.

Adaptasi melibatkan tindakan yang diambil untuk mengatasi tantangan lingkungan baru atau perubahan dan mengurangi kerentanan sistem manusia terhadap dampak perubahan iklim. Adaptasi dapat berlangsung dalam mengantisipasi suatu peristiwa atau sebagai tanggapan terhadapnya. Ini mencakup penyesuaian melalui perencanaan iklim dan juga reaksi otonom oleh individu dan badan publik. Terdapat beberapa tindakan yang dibutuhkan untuk memfasilitasi respon adaptasi, diantaranya : 1. Upaya pemantauan iklim dan komunikasi informasi. Hal ini penting untuk meyakinkan pelaku ekonomi bahwa proyeksi perubahan iklim itu nyata dan memerlukan tindakan respons antisipasi. 2. Kebijakan yang mendukung penelitian, analisis sistem, kapasitas penyuluhan, industri dan jaringan regional. Hal ini diperlukan untuk memberi para manajer pengambil keputusan untuk paham dan memiliki kemampuan strategis serta teknis untuk melindungi usahanya. 3. Investasi dalam strategi teknis atau manajemen baru. Hal ini diperlukan agar, jika opsi teknis yang ada tidak mencukupi, maka pilihan yang diperlukan untuk merespons perubahan yang diproyeksikan telah tersedia. Ini termasuk peningkatan pertanaman plasma nutfah, hijauan, peternakan, perikanan dan perikanan. 4. Pelatihan untuk pekerjaan baru berdasarkan penggunaan lahan baru, relokasi industri dan migrasi manusia. Hal ini diperlukan di mana dampak iklim mengarah pada perubahan penggunaan lahan utama. Hal ini dapat dicapai melalui dukungan finansial dan material secara langsung, pilihan mata pencaharian alternatif dengan ketergantungan yang

rendah pada pertanian, kemitraan masyarakat untuk badan logistik dan makanan ternak, pengembangan modal sosial baru dan berbagi informasi, Dalam konteks internasional, terdapat dua area di mana dibutuhkan solusi internasional. Pertama adalah bagaimana mempromosikan penerapan teknologi yang

memastikan bantuan pangan dan lapangan kerja bagi yang lebih rentan, dan pengembangan rencana kontingensi. 5. Infrastruktur, kebijakan dan institusi baru, diperlukan untuk mendukung pengelolaan baru dan pengaturan penggunaan lahan, seperti investasi di infrastruktur irigasi dan teknologi penggunaan air yang efisien, infrastruktur transportasi yang tepat, merevisi pengaturan kepemilikan lahan dan hak kepemilikan, dan penetapan pasar barang dan jasa yang dapat diakses dan efisien, termasuk asuransi, dan masukan termasuk benih, pupuk dan tenaga kerja. 6. Kebijakan harus mempertahankan kapasitas untuk melakukan penyesuaian dan penyempurnaan adaptasi melalui "pembelajaran dengan melakukan" dengan pemantauan adaptasi terhadap perubahan iklim dan biaya, manfaat dan dampaknya.

LOW CARBON ECONOMY

Besarnya dan laju perubahan iklim akan sangat

bergantung pada upaya mengurangi konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer. Transisi menuju low carbon economy penting untuk mengubah basis industri,

termasuk sektor energi, manufaktur, transportasi dan

konstruksi. Sistem ekonomi ini diarahkan untuk mempertahankan konsentrasi GRK pada 450 ppm CO 2 ekuivalen untuk menahan pemanasan global agar tidak lebih 2º Celsius. Pada saat ini, level CO 2 telah mencapai lebih dari 400 ppm. Pengurangan emisi gas rumah kaca

di negara-negara berkembang akan memerlukan komitmen kebijakan yang kuat dan investasi dalam low caron economy atau ekonomi hijau. Beberapa teknologi produksi hemat energi yang sangat efisien harus dapat diimplementasikan tanpa kerumitan teknis. Oleh karena itu, tantangannya adalah bagaimana Indonesia sebagai negara berkembang dengan keterbatasan sumber daya finansial dapat membawa teknologi untuk diterapkan dan menciptakan sistem ekonomi hijau.

Implementasi yang berhasil bisa menghasilkan "triple dividend," yaitu penghematan energi, pengurangan emisi dan penciptaan lapangan kerja. Pakar iklim menunjukkan bahwa kerusakan perubahan iklim akan turun secara tidak proporsional di negaranegara berkembang dan terutama pada masyarakat miskin, yang paling rentan dan paling tidak dapat beradaptasi. Kerusakan tersebut bisa menghambat pembangunan ekonomi. Bank Dunia memperkirakan bahwa negara-negara berkembang akan membutuhkan $ 145- $ 175 miliar untuk mitigasi dan $ 30 - $ 100 miliar untuk adaptasi setiap tahun pada tahun 2030. Namun, jumlah dana internasional saat ini adalah $ 9 miliar untuk kedua kombinasi tersebut. efisien di negara-negara berkembang. Kedua adalah bagaimana membiayai adaptasi perubahan iklim di negara-negara berkembang. Bagian pertama dapat dipecahkan tidak hanya di tingkat politik, namun tingkat tinggi pada tingkat bisnis, terutama oleh perusahaan multinasional. Bagaimana bisa mendorong sektor bisnis dalam implementasi teknologi yang efisien? Apakah cara efektif kemitraan publik-swasta untuk mencapai tujuan tersebut? Untuk mengatasi bagian kedua, diperlukan adanya komunikasi yang intensif antara mitra politik dan pembangunan. Peneliti dari Imperial College London berpendapat bahwa pembuat kebijakan perlu mengintegrasikan langkah-langkah untuk mengatasi perubahan iklim ke dalam kebijakan ekonomi reguler. Hal ini bisa menghasilkan pertumbuhan ekonomi jangka panjang dan meningkatkan produktivitas. Laporan tersebut adalah memiliki konsep “Berinvestasi dalam Iklim, Berinvestasi untuk Pertumbuhan” yang menyarankan agar negara-negara G20 yang menyumbang 85% dari PDB (Produk domestik bruto) global dan 80% emisi karbon dioksida harus mengadopsi kombinasi kebijakan pro-pertumbuhan dan pro-lingkungan, mendorong investasi di bidang teknologi dan infrastruktur yang rendah emisi dan tahan terhadap perubahan iklim. Menurut laporan tersebut, sebuah paket kebijakan yang sesuai dengan target perubahan iklim dapat menambahkan satu persen ke rata-rata output ekonomi di negara-negara G20 pada tahun 2021. Ini akan meningkat menjadi 2,8 persen pada tahun 2050. Langkah-langkah menuju low carbon economy: 1. Mengubah jalur pertumbuhan ekonomi ke jalur dengan carbon footprint yang rendah, dan memperkecil emisi GRK per rupiah produksi (dan konsumsi) 2. Dekarbonisasi ekonomi melalui :  adopsi teknologi rendah karbon dalam industri dan  mengubah gaya hidup konsumen 3. Memanfaatkan teknologi rendah karbon dalam investasi baru Dalam laporan OECD, telah teridentifikasi inovasi teknologi utama yang akan sangat penting untuk mencapai ekonomi rendah karbon. Ini termasuk sequestration dan storage karbon (CCS), yang melibatkan penyerapan karbon dioksida sebelum diemisikan ke atmosfer serta 'emisi negatif' yang menghapus gas rumah kaca dari atmosfer, terutama untuk mengimbangi emisi dari sektoral seperti industri dan penerbangan.

(Penulis : Indah Susanti, Peneliti Perubahan Iklim, PSTA, indahpl@gmail.com)

This article is from: