Taman Teknik
sebagai
public space
inklusif
lingkungan
MKP Perancangan Kota Inklusif Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Diponegoro
yang
gender di
kampus
Daftar Isi
Introduction 3
The reason behind Taman Teknik 4
Rumusan Masalah 6
Tujuan 6
Sasaran 6
Taman Teknik, Universitas Diponegoro 7
What is inclusive and its relation to women 8
Understanding public spaces in campus area 10
Goods and bads in Taman Teknik, Universitas
Diponegoro 13
What do women needs in a campus public space 14
Design concept in making of gender responsive
public spaces in campus area 16
Implementation design of gender responsive
Taman Teknik 20
Daftar Pustaka 24
Introduction
Gencarnya pembangunan di suatu kota dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk serta kebutuhankebutuhan yang mengikutinya. Pembangunan yang saat ini sedang marak dilakukan merupakan pembangunan inklusif dimana keberagaman kebutuhan penduduk menjadi fokus utama pembangunan.
Inklusif yang berkaitan dengan kesetaraan didefinisikan sebagai tempat yang dapat memfasilitasi seluruh pengguna, terlepas dari latar belakangnya, untuk berpartisipasi dalam peluang ekonomi, sosial, dan politik (Asian Development Bank, 2017). The Commission for Architecture and the Built Environment menegaskan bahwa inclusive design berkaitan dengan menciptakan ruang atau tempat yang bisa digunakan oleh semua kalangan dengan tujuan untuk menghilangkan hambatan bagi penggunanya untuk berpartisipasi pada aktivitas yang ada (Fletcher, 2006).
United Nations telah memberi perhatian khusus terhadap anak-anak, lansia, disabilitas, perempuan, dan kaum marginal yang selama ini dipahami sebagai kaum inklusif karena perlunya inovasi yang melibatkan seluruh kalangan masyarakat tanpa melihat latar belakangnya.
Pada satu sisi, ruang publik yang berperan dalam menjaga kesehatan fisik dan mental merupakan ruang bagi kepentingan publik yang dapat memberikan fungsi sosial, ekonomi, dan budaya, serta dapat meningkatkan kualitas ruang kota (Darmawan, 2005).
Tidak terkecuali di lingkungan kampus, dimana ruang publik bukan hanya sebagai ruang rekreasi dan interaksi, tetapi juga sebagai tempat diskusi yang berperan penting dalam pengembangan diri mahasiswa agar lebih ekspresif dan mampu memahami makna suatu ruang. Ruang publik ini dapat berupa taman kampus yang dipahami sebagai ruang terbuka publik yang memiliki fungsi ekologis dan sosial bagi warga kampus dan sekitarnya (Romantiaulia & Al Ikhsan, 2018).
Di sisi lain, kurang layaknya fasilitas publik seperti kurangnya penerangan, tempat yang tertutup, adanya bangunan kosong, dominasi laki-laki di ruang publik, serta perawatan fasilitas publik yang buruk, menjadikan perempuan sebagai bagian dari kaum inklusif yang lebih rentan atas terjadinya diskriminasi dan kekerasan berbasis gender di ruang publik, yang disebut pula dengan gender-based violence (GBV).
The reason behind Taman Teknik
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro merupakan salah satu lingkup fakultas yang telah menyediakan fasilitas taman kampus bagi warga kampus dan pengunjung lainnya. Taman kampus yang seringkali disebut Taman Teknik berperan sebagai ruang terbuka publik yang berada di tengah gedung-gedung di Fakultas Teknik. Walaupun demikian, taman ini memiliki akses yang cenderung sulit dimana tidak terdapat signage yang menunjukkan akses menuju taman, serta sebagian besar akses menuju taman ini berupa tangga. Selain itu, terlalu rindangnya pohon serta minimnya lampu dan CCTV, sehingga menyebabkan tingkat visibilitas yang rendah.
Sebagai fakultas yang didominasi oleh perempuan, Fakultas Teknik perlu meminimalisir ketidaksetaraan gender dalam aksesibilitas dan keamanan ruang publik melalui pengadaan fasilitas responsif gender yang ramah lingkungan. Dalam hal ini, Taman Teknik, yang memiliki potensi sebagai ruang berkumpul bagi civitas akademika Fakultas Teknik, perlu diarahkan sebagai ruang publik kampus yang inklusif terhadap gender agar dapat dimanfaatkan oleh seluruh komunitas dengan aman dan nyaman. Dengan demikian, perlu dikajinya rancangan Taman Teknik sehingga bersifat inklusif yang accessible, comfortable, dan safe bagi seluruh pengguna di Fakultas Teknik, yang nantinya turut berperan dalam pengembangan diri mahasiswa dengan menjadi lebih ekspresif serta mampu memahami Taman Teknik sebagai ruang publik yang bermakna.
Gender inclusive in SDGs
Pembangunan inklusif tertuang dalam Sustainable Development Goals poin 11 yang dirumuskan oleh United Nations, yakni “Make cities and human settlements inclusive, safe, resilient and sustainable” yang bergerak dalam penyediaan fasilitas yang safe dan accessible bagi anak-anak, lansia, disabilitas, dan perempuan. Perempuan yang dinilai lebih rentan daripada laki-laki, juga termasuk dalam Sustainable Development Goals poin 5 dengan tujuan “Achieve gender equality and empower all women and girls”, yang bermaksud meminimalisir ketidaksetaraan gender dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Rumusan Masalah
Bagaimana konsep desain Taman Teknik sebagai ruang publik ramah perempuan di lingkungan kampus?
Dalam pertanyaan tersebut, termasuk pembahasan mengenai accessibility, comfortability, dan safety bagi perempuan khususnya di lingkungan Taman Teknik, Universitas Diponegoro.
Tujuan Sasaran
Menyusun konsep desain taman kampus yang ramah perempuan dan penerapannya di lingkungan Taman Teknik, Universitas Diponegoro.
Mengidentifikasi potensi dan masalah Taman Teknik dalam konteks ruang publik ramah perempuan.
Mengidentifikasi kebutuhan perempuan dalam ruang publik.
Menyusun konsep desain ruang publik yang inklusif gender pada Taman Teknik. Mensimulasi penerapan konsep desain ruang publik yang inklusif gender pada Taman Teknik.
Taman Teknik, Universitas Diponegoro
Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, telah menyediakan Taman Hutan
Teknik, atau dikenal juga sebagai Taman Teknik, sebagai ruang rekrasi sekaligus ruang diskusi bagi mahasiswa. Taman ini terletak di sekitar Gedung Kuliah Bersama (GKB) dan terkoneksi dengan beberapa gedung departemen di Fakultas Teknik, yaitu Teknik Geodesi, Teknik Komputer, Teknik Kimia, Teknik Industri, Teknik Mesin, Teknik Elektro, Teknik Lingkungan, dan Teknik Perkapalan.
Diresmikan pada tahun 2020, taman dengan luas sekitar 0,96 ha ini telah dilengkapi oleh fasilitas seperti gazebo, amphitheatre, toilet, dan kantin.
Selain itu, Taman Teknik ini juga terletak di sekitar Gedung Serbaguna Prof. Soedarto SH yang memungkinkan pengunjung selain mahasiswa Teknik mendatangi Taman Teknik.
What is inclusive and its relation to women
Building and sustaining a learning environment for inclusive design
Desain inklusif, atau dapat dilihat sebagai lingkungan inklusif, merupakan ruang yang dapat digunakan oleh semua orang tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau disabilitas, serta kondisi lainnya seperti ras, pendapatan, pendidikan (Morrow & Manley, 2002).
The principles of inclusive design. (They include you.)
Desain inklusif memiliki beberapa nilai, antara lain aman, responsif, fleksibel, mudah digunakan, welcoming, realistis, dan mampu mengakomodasi semua kalangan masyarakat (Fletcher, 2006).
Prinsip-prinsip desain inklusif oleh The Commission for Architecture and the Built Environment (CABE), yaitu sebagai berikut: Mengedepankan sustainable community
Mengakui keberagaman dan perbedaan dari penggunanya.
Mengakomodasi semua pengguna tanpa memandang usia, jenis kelamin, atau keadaan lainnya.
Menerapkan prinsip sustainable dan mampu beradaptasi dalam desain.
Menjadi tempat yang nyaman bagi semua orang serta mudah dipahami oleh penggunanya dalam menemukan arah.
Dalam pembahasan mengenai desain inklusif, pihak-pihak yang
seringkali disinggung, atau disebut juga dengan kaum inklusif, mencakup aspek usia seperti anak-anak dan lansia, aspek gender seperti perempuan dan ibu hamil, serta aspek lainnya seperti disabilitas, ras, dan budaya.
Karakteristik perempuan dalam publikasi Gender Equity in Design Guidelines
(The City of Whittlesea, 2017) antara lain:
Lebih cenderung mengasuh anak, disabilitas, dan lansia dibanding laki-laki
Lebih sering merasa tidak aman di ruang publik dibanding laki-laki
Lebih jarang berpartisipasi di ruang rekreasi aktif
World Bank menyatakan terdapat enam isu utama ketidaksetaraan perempuan pada lingkungan binaan, yaitu access, mobility, safety and freedom from violence, health and hygiene, climate resilience, dan security of tenure (Terraza et al., 2020).
Telah dipahami bahwa perempuan, disabilitas, dan minoritas lainnya seringkali mengalami kerugian dalam aspek sosial dan ekonomi. Kaitannya dengan sistem patriarki, perempuan memiliki tingkat kerawanan pelecehan seksual dan kekerasan yang tinggi, sering disebut dengan gender-based violence (GBV).
Atas karakteristik dan kerawanan perempuan terhadap kekerasan, United Nations menggerakkan konsep Women and Girls Safe Spaces (WGSS) untuk membentuk ruang yang aman dan nyaman bagi perempuan sekaligus meminimalisir terjadinya gender-based violence (GBV).
Oleh karena itu, untuk mewujudkan ruang yang ramah perempuan, perlu adanya perhatian khusus terhadap faktor-faktor berikut (Listyaningsih et al., 2018):
Universal utilization, dapat dimanfaatkan oleh laki-laki, perempuan, dan kelompok lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Safety, security, convenience, memberikan keamanan, keselamatan, dan kenyamanan bagi penggunanya.
Gender equity for basic needs, memberikan kesetaraan aksesibilitas terhadap laki-laki, perempuan, dan kelompok lainnya.
Environmental friendly, bersifat ramah lingkungan sesuai kebutuhan penggunanya.
Understanding public spaces in campus area
Global Public Space Toolkit: From Global Principles to Local Policies and Practice
Ruang publik dipahami sebagai area multifungsi yang mencakup interaksi sosial, kegiatan ekonomi, serta ekspresi budaya di antara orang-orang yang beragam, yang dalam prosesnya dapat meningkatkan sense of identity dan sense of belonging (Martinez-Bäckström et al., 2016).
SDG Indicator 11.7.1 Training Module: Public Space
UN-Habitat dalam modulnya mengenai Public Space menganggap ruang publik sebagai ruang kebersamaan dalam sebuah hunian, dimana berperan sebagai wadah multifungsi yang terhubung dengan area lainnya, serta mampu mencerminkan perbedaan gender, usia, etnis, dan golongan lainnya (UN-Habitat, 2018).
Vital Public Spaces: Designing and managing public spaces for inclusive, safe, resilient and sustainable cities
The Charter of Public Space yang mendefinisikan ruang publik seperti jalan, taman dan fasilitas publik lainnya sebagai tempat yang dimiliki dan digunakan oleh umum, dapat diakses dan dinikmati oleh masyarakat tanpa adanya motif keuntungan (The Charter of Public Space, 2015).
Terdapat tiga kualitas utama sebuah ruang publik, yakni tanggap (responsive), demokratis (democratic), dan bermakna (meaningful) (Carr et al., 1993). Ruang publik yang tanggap (responsive) dipahami sebagai ruang yang dikelola dengan mempertimbangkan kebutuhan penggunanya, ruang publik yang demokratis (democratic) berarti pengguna memiliki hak yang terlindungi dan bebas berekspresi, serta ruang publik yang bermakna (meaningful) mampu memberikan kesan dari fungsi ruang publik tersebut.
Ruang publik di lingkup kampus bukan hanya sebagai pemenuhan elemen estetika, tetapi juga menjaga kehidupan kampus yang sehat. Pemahaman dasar dalam penyediaan ruang publik di lingkup kampus merupakan pemenuhan kebutuhan dasar mahasiswa seperti kenyamanan, relaksasi, dan interaksi sosial dimana mahasiswa dapat lebih berekspresi sekaligus memahami makna dari suatu ruang (Hanan, 2013).
Adanya ruang publik yang mengakomodasi seluruh pengguna tanpa melihat gender dan ras di lingkup kampus dapat meningkatkan nilai toleransi dan kebersamaan dari penggunanya. Ruang publik di lingkungan kampus dapat berupa taman yang mampu menjadi wadah pengembangan diri serta komunitas yang berkelanjutan.
Dengan demikian, ruang publik sebagai wadah interaksi sosial, ekonomi, dan budaya harus dapat diakses secara baik oleh publik, mampu menjadi tempat yang menarik dan bermakna, mampu memberikan lingkungan sosial yang positif, mampu memberikan kenyamanan kepada penggunanya, serta mampu beradaptasi dengan perubahan yang ada (Carmona, 2019).
Berdasarkan hal tersebut, didapatkan bahwa ruang publik di lingkungan kampus harus
mampu diakses oleh seluruh civitas akademika, serta ruang publik yang bermakna mampu
membuat mahasiswa menjadi lebih ekspresif dan relaks.
Dalam lingkungan kampus, ruang publik yang inklusif dapat berupa taman kampus yang
dilengkapi oleh ruang diskusi dan fasilitas sosial lainnya yang dapat diakses oleh seluh
kalangan mahasiswa dan mampu menjadi ruang pengembangan diri bagi mahasiswa.
Taman Teknik, Universitas Diponegoro, yang dikelilingi oleh delapan dari dua belas
departemen di Fakultas Teknik, telah berperan
sebagai ruang diskusi untuk mahasiswanya setelah diresmikan pada tahun 2020. Walaupun demikian, letaknya yang berada di belakang
gedung tanpa adanya papan informasi menghambat aksesibilitas dari taman itu sendiri.
Di satu sisi, ruang publik di lingkungan kampus yang memiliki peranan besar sebagai ruang rekreasi dan ruang diskusi bagi penggunanya
seharusnya dapat diakses oleh seluruh
mahasiswa dan pengajar tanpa melihat latar belakangnya. Selain itu, ruang publik ini juga harus mampu menjadi wadah pengembangan diri bagi mahasiswa agar lebih ekspresif dan mampu memaknai ruang di sekitarnya.
Di sisi lain, perempuan yang lebih cenderung mengalami ketidaksetaraan atas access, mobility, serta safety and freedom from violence merupakan pihak yang lebih banyak ditemukan di Fakultas Teknik dengan perannya sebagai mahasiswa, tenaga pendidik, dan lainnya.
Oleh karena itu, Taman Teknik sebagai taman kampus perlu diterapkan sebagai ruang publik yang responsif gender dengan tingkat aksesibilitas dan tingkat visual yang tinggi
untuk dapat mengatasi ketidaksetaraan gender yang telah disebutkan sebelumnya.
Goods and bads in Taman Teknik, Universitas Diponegoro
Pemilihan dan peletakan vegetasi serta kurangnya penerangan berdampak pada rendahnya tingkat visual pengunjung terhadap sekitar.
Akses yang terbatas bagi pengunjung, dimana sebagian besar aksesnya berupa tangga serta tidak adanya papan informasi penunjuk arah.
Membrane Gazebo
Bad view berupa blower AC serta sisa konstruksi akibat lokasi Taman Teknik yang berada di belakang gedung.
Membrane Gazebo
Kantin
Amphitheatre dan Membrane Gazebo Toilet
Dilengkapi oleh fasilitas sosial seperti gazebo, toilet, dan kantin.
Telah digunakan sebagai ruang diskusi dan kegiatan lainnya bagi mahasiswa Teknik, Universitas Diponegoro.
Gazebo
Lokasinya terkoneksi dengan berbagai departemen di Fakultas Teknik dan Gedung Prof. Soedarto.
Dept. Teknik Industri
Gedung Kuliah Bersama
Dept. Teknik Lingkungan
What do women needs in a campus public space
Dapat dipahami bahwa perempuan yang memiliki kemungkinan lebih kecil dalam berpartisipasi dalam rekreasi aktif, justru lebih cenderung merasa tidak aman di ruang publik dibandingkan laki-laki (The City of Whittlesea, 2017).
Untuk menitikberatkan kesetaraan gender dalam ruang publik, diperlukan fasilitas yang adil dan inklusif, yang dapat mendukung kebutuhan perempuan, dapat berupa pengadaan fisik atau rekayasa desain sehingga sesuai dengan kebutuhan untuk beraktivitas di ruang publik (Esariti et al., 2020).
Oleh karena itu, dihasilkan faktor-faktor yang menimbulkan rasa aman bagi perempuan di ruang publik, yaitu mudah dijangkau oleh pengguna yang beragam, memiliki ruang terbuka yang luas dan koneksi visual tinggi, serta mampu mendorong berbagai aktivitas seperti olahraga dan bersantai (Soraganvi, 2017).
Pengadaan fasilitas responsif gender yang memperhatikan kebutuhan dan hambatan laki-laki dan perempuan, termasuk juga anak-anak, lansia, disabilitas, dan kaum lainnya dapat mengurangi ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki di ruang publik (Indrarini, 2020).
Fasilitas inklusif gender yang dapat diterapkan di ruang publik kampus antara lain sebagai berikut:
Keberadaan toilet yang sesuai dengan kebutuhan laki-laki, perempuan, dan disabilitas
Keberadaan tangga yang tidak curam dan tidak terlalu tinggi
Keberadaan ramp atau bidang miring yang landai
Untuk menimbulkan rasa aman dan nyaman bagi perempuan dalam ruang publik, perlu adanya perhatian khusus terhadap faktor-faktor sebagai berikut (Mahadevia et al., 2016):
Penerangan yang cukup pada setiap sudut dan ruas jalan
Ruang yang terbuka sehingga dapat dilihat dan didengar
Perawatan fasilitas publik yang baik
Akses toilet bersih yang mudah
Dalam rancangannya sebagai taman kampus yang ramah perempuan, Taman Teknik harus dapat memenuhi kebutuhan penggunanya sebagai “mahasiswa” yaitu sebagai berikut (Samsudin, 2014):
Ruang diskusi yang memadai
Amphitheatre
Bangku taman
Tempat berteduh
Design concept in making of gender responsive public spaces in campus area
Berkaitan dengan hambatan perempuan dalam ruang publik, a place where everyone can participate diterapkan sebagai konsep dengan tiga indikator utama, yaitu Accessible, Comfortable, dan Safe.
Accessible
Prinsip accessible menurut Asian Development Bank merupakan sebuah peluang yang aman dan terjamin, serta layanan yang andal untuk individu maupun komunitas (Asian Development Bank, 2017).
Accessible mencakup physical access, social access, access to activities and discussion, dan access to information (Akkar dalam Il’alamien & Kameswara, 2020).
Konteks accessible juga berkaitan erat dengan prinsip safe, dimana ruang publik dengan tingkat keamanan rendah akan menjadi ruang publik yang inaccessible bagi penggunanya.
Taman Teknik yang mudah dijangkau diwujudkan dengan pengadaan signage sebagai penunjuk arah serta tangga dan ramp.
Comfortable
Prinsip comfort menurut UN-Habitat berkaitan dengan persepsi dan perasaan pengguna yang dapat mempengaruhi kesejahteraannya dan waktu yang dihabiskan di ruang publik (UN-Habitat, 2020).
Comfortable mencakup variabel-variabel antara lain human scale, active and passive engagement, lighting units, natural elements, serta stay, walk, and stand opportunities (Gümüs & Erdönmez, 2021).
Prinsip comfortable dipengaruhi oleh environmental comfort seperti sinar matahari dan angin, physical comfort seperti ketersediaan fasilitas penunjang, dan psychological comfort yang berarti kenyamanan batin pengguna ruang publik.
Kondisi Taman Teknik yang nyaman diwujudkan dengan adanya pavillion, gazebo, dan bangku taman untuk mewadahi aktivitas aktif dan pasif di ruang publik.
Safe
Prinsip safe berkaitan dengan visibility, legibility, dan surveillance. Dalam hal ini, desain yang aman berkaitan dengan penglihatan dan keterbacaan yang jelas, serta memaksimalkan aktivitas di ruang publik untuk meminimalisir kejahatan (Department of Sustainability and Environment Victoria, 2005).
Europian Forum for Urban Security merumuskan enam indikator ruang publik yang aman berdasarkan konsep Crime Prevention Through Environmental Design (CPTED), yaitu attendance, diversity, the penetrability of a space, clarity and visibility, sufficient lighting, dan attractiveness (Valerio, 2020).
Kondisi ruang publik yang aman dapat diupayakan melalui pengadaan CCTV, pemotongan vegetasi yang overgrown, pencahayaan yang memadai, serta desain ruang terbuka yang luas.
Implementation design of Gender Responsive Taman Teknik
Accessible
Tangga dan ramp
Akses yang sebelumnya berupa tangga
dan tanjakan yang curam, didesain menjadi tangga yang dilengkapi dengan ramp untuk mewadahi mobilisasi kaum disabilitas.
Orientasi bangunan
Gedung Kuliah Bersama yang sebelumnya
membelakangi Taman Teknik berdampak
timbulnya bad view berupa blower AC dan sisa konstruksi. Untuk meminimalisir hal ini, Gedung Kuliah Bersama didesain
memiliki akses terbuka menuju Taman Teknik.
Before
Before After
After
Comfortable
Amphitheatre dan membrane gazebo
Amphitheatre dan membrane gazebo yang sebelumnya sudah ada, didesain menjadi lebih terbuka dengan adanya akses view dari level 2 Taman Teknik.
Before After
Ruang diskusi
Ruang diskusi yang sebelumnya berupa gazebo, didesain menjadi semi-library pavillion dengan sirkulasi udara yang alami serta bisa menjadi tempat berteduh.
Toilet
Fasilitas toilet yang sebelumnya memiliki kesan kurang private dan sulit diakses, didesain untuk memiliki akses mudah bagi laki-laki, perempuan, serta disabilitas dengan adanya relokasi. Before After
Before After
Safe
Ruang Terbuka
Ruang terbuka yang luas dapat menambah tingkat visual pengguna. Desain Taman Teknik yang sebelumnya dihiasi oleh pohon-pohon, didesain menjadi ruang terbuka yang luas agar meningkatkan penglihatan pengguna sehingga ruang publik terasa lebih aman.
Before After
Vegetasi
Penanaman vegetasi yang sebelumnya dinilai terlalu rindang atau overgrown sehingga menghambat tingkat visual pengunjung. Vegetasi didesain untuk meningkatkan tingkat visual pengunjung dalam rangka penerapan prinsip safe
Before After
Daftar Pustaka
Asian Development Bank. (2017). Enabling Inclusive Cities: Tool Kit for Inclusive Urban Development. https://doi.org/10.22617/
TIM157428
Carmona, M. (2019). Principles for public space design, planning to do better. Urban Design International, 24(1), 47–59. https://doi. org/10.1057/s41289-018-0070-3
Carr, S., Francis, M., Rivlin, L. G., & Stone, A. M. (1993). Public Space (Cambridge Series in Environment and Behavior). Cambridge University Press.
Darmawan, E. (2005). RUANG PUBLIK DAN KUALITAS RUANG KOTA. Seminar Nasional PESAT, A35–A43.
Departement of Sustainability and Environment Victoria. (2005). Safer Design Guidelines for Victoria.
Esariti, L., Ariyanti, K. E., & Putri, M. D. (2020). PENYEDIAAN FASILITAS RESPONSIF GENDER PADA RUANG TERBUKA PUBLIK DI KOTA LAMA SEMARANG. Jurnal Riptek, 14(2), 108–114. http:// riptek.semarangkota.go.id
Fletcher, H. (2006). The principles of inclusive design. (They include you.). www.cabe.org.uk
Gümüs, I., & Erdönmez, E. (2021). Impact of spatial configuration to spatial quality: Venice and Istanbul. Journal of Architecture and Urbanism, 45(2), 205–216. https://doi.org/10.3846/ jau.2021.14306
Hanan, H. (2013). Open Space as Meaningful Place for Students in ITB Campus. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 85, 308–317. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2013.08.361
Il ’alamien, K., & Kameswara, B. (2020). Inklusivitas Ruang Publik Berdasarkan Persepsi Pengunjung (Studi Kasus: Lapangan Gasibu, Taman Lansia, dan Jalur Pedestrian Jl.Ir.H.Djuanda).
Indrarini, I. (2020). GENDER DALAM INFRASTRUKTUR.
Listyaningsih, Arenawati, & Ismanto. (2018). Responsifitas Gender Pada Fasilitas Umum di Kota Serang. JAKP) Jurnal Administrasi Dan Kebijakan Publik, 3(2), 143–157.
Mahadevia, D., Lathia, S., & Banerjee, S. (2016). How safe are public spaces for women in Ahmedabad? www.cept.ac.in/cue
Manley, S. (2016). INCLUSIVE DESIGN IN THE BUILT ENVIRONMENT: WHO DO WE DESIGN FOR?
Morrow, R., & Manley, S. (2002). Building and sustaining a learning environment for inclusive design.
Romantiaulia, W. I., & Al Ikhsan, A. (2018). Pola Aktivitas berdasarkan Setting Ruang Terbuka Publik di Kawasan Kampus UHO. Temu Ilmiah Ikatan Peneliti Lingkungan Binaan Indonesia (IPLBI), D077–D081. https://doi.org/10.32315/ti.7.d077
Samsudin, N. K. I. (2014). Evaluasi Fungsi Taman Kampus Edu Park Universitas Muhammadiyah Surakarta sebagai Open Space Kampus. Sinektika, 14(2), 269–283.
Soraganvi, S. (2017). Safe Public Places: Rethinking Design for Women Safety. International Journal on Emerging Technologies, 8(1), 304–308. www.researchtrend.net
Terraza, H., Orlando, M. B., Lakovits, C., Janik, V. L., & Kalashyan, A. (2020). Gender-Inclusive Urban Planning Design.
The Charter of Public Space. (2015). Vital Public Spaces: Designing and managing public spaces for inclusive, safe, resilient and sustainable cities.
The City of Whittlesea. (2017). Gender Equity in Design Guidelines. UN-Habitat (2016). Global Public Space Toolkit: From Global Principles to Local Policies and Practice. United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat). www.unhabitat. orgHSNumber:HS/034/15E
UN-Habitat. (2018). SDG Indicator 11.7.1 Training Module: Public Space.
UN-Habitat. (2020). Public space site-specific assessment: Guidelines to achieve quality public spaces at neighbourhood level. www.unhabitat.org
Valerio, E. (2020, December). Designing safer public spaces : A PACTESUR guide. Europian Forum for Urban Security. https:// efus.eu/topics/public-spaces/designing-safer-public-spaces-apactesur-guide-by-eric-valerio/