
7 minute read
RINGKASAN RIWAYAT KELUARGA
Anies adalah anak sulung dari empat bersaudara, lahir pada Rabu Kliwon 7 Mei 1969 di Kuningan, Jawa Barat. Tumbuh besar di lingkungan keluarga pendidik di Yogyakarta. Pendidikan sejak pra-TK hingga kuliah S1 ditempuh di Yogyakarta. Dalam kesehariannya, Anies tumbuh dan bergaul menggunakan bahasa Jawa dengan teman-temannya. Anies juga menguasai bahasa Sunda karena ibu dan keluarganya menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa keseharian di rumahnya di Yogyakarta.
Anies lahir dari orang tua yang berlatar belakang akademisi dan aktivis. Ayahnya, Drs. H. Rasyid Baswedan, SU adalah seorang dosen di Fakultas Ekonomi, Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta sejak tahun 1964 hingga tahun 2009. Ayah Anies pernah menjabat sebagai Dekan FE-UII dan Pembantu Rektor UII bidang Manajemen dan Keuangan. Beliau wafat tahun 2013 dan dikuburkan di kompleks Kampus UII di Sleman, Yogyakarta. Ibunda Anies, Prof. Dr. Hj. Aliyah Alganis, M.Pd., merupakan guru besar Fakultas Ilmu Sosial Ekonomi, Universitas Negeri Yogyakarta. Ibu Anies mengajar sejak tahun 1966 hingga pensiun di tahun 2015 dan hingga saat ini menjadi Guru Besar Emeritus dan tetap aktif memberikan kuliah secara rutin di program pascasarjana.
Ayah Anies lahir tahun 1934 di Kudus, Jawa Tengah dan tumbuh besar berpindahpindah kota mengikuti perjuangan ayahnya (A.R. Baswedan) hingga akhirnya menetap di Yogyakarta sejak ibu kota Republik Indonesia pindah ke Yogyakarta di masa perang kemerdekaan. Ibu Anies lahir tahun 1940 dan besar, serta menyelesaikan pendidikan SD dan SMP di Kuningan, Jawa Barat. Karena ketiadaan pendidikan SMA di Kuningan saat itu, tahun 1956 Ibu Anies melanjutkan SMA di Kota Cirebon, lalu kuliah di Fakultas Pedagogi, Universitas
Padjajaran yang kemudian dimekarkan menjadi IKIP Bandung. Ibu Anies sempat menjadi dosen di IKIP Bandung. Beliau merupakan salah satu dari beberapa anak perempuan generasi pertama di kampungnya di kaki Gunung Ciremai pada masa itu, yang pergi meninggalkan kampung halamannya untuk mengenyam pendidikan lebih tinggi di kota.
Pasangan Bapak Rasyid dan Ibu Aliyah dikaruniai empat anak, 3 laki-laki dan 1 perempuan, yaitu Anies (1969), Haiva (1971), Ridwan (1973), dan Abdillah (1980). Haiva wafat pada usia 7 tahun karena kecelakaan, dan Ridwan wafat tahun 2017.
Anies dan keluarganya bertempat tinggal di Gang Grompol, Padukuhan Karangwuni, di sekitar Jalan Kaliurang Km 5, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Orang tua Anies aktif di lingkungan. Ayah Anies adalah tokoh agama, seorang mubaligh, dan ibu Anies aktif melakukan kegiatan sosial keagamaan. Rumah mereka adalah tempat kegiatan pengajian rutin warga hingga sekarang.
Semua anak Bapak Rasyid dan Ibu Aliyah bersekolah di sekolah negeri di Yogyakarta. Anies, Alm. Ridwan, dan Abdillah berprestasi sejak masa mudanya dan aktif berkegiatan bersama teman sebayanya. Mereka bertiga terpilih sebagai Ketua OSIS jenjang SMA di eranya masing-masing. Ketiganya terpilih dari Yogyakarta untuk berangkat mengikuti pertukaran pelajar dan bersekolah di sana selama satu tahun: Anies ke Amerika Serikat (1988), Alm. Ridwan ke Selandia Baru (1992), dan Abdillah ke Belgia (1998).
Anies menikah dengan Fery Farhati, S.Psi. M.S. pada tanggal 11 Mei 1996. Fery, sapaan akrab istrinya, merupakan konsultan pendidikan pengasuhan (parenting education consultant). Fery mendapatkan gelar Sarjana Psikologi dari almamater yang sama dengan /47
Anies, Universitas Gadjah Mada. Anies dan Fery satu angkatan di UGM yaitu 1989, yang kebetulan gedung kampusnya bersebelahan. Fery meraih gelar Master di Bidang Applied Family & Child Study, dari School of Family, Consumer & Nutrition Science, Northern Illinois University, Amerika Serikat.
Anies dan Fery dikaruniai empat orang anak: Mutiara Annisa (1997) mendapatkan gelar sarjana dari Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Mikail Azizi (2000), Kaisar Hakam (2005) dan Ismail Hakim (2009) yang masing-masing masih mengenyam pendidikan tinggi dan tingkat menengah.
Anies merupakan cucu dari seorangPahlawan Nasional dan Perintis Kemerdekaan Abdurrahman Baswedan (A.R. Baswedan). Beliau merupakan seorang jurnalis, diplomat, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. A.R. Baswedan lahir tahun 1908 dan besar di Ampel, Surabaya, ia merupakan anggota Badan Penyelidik Usaha dan Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Wakil Menteri Muda Penerangan RI, Anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), Anggota Parlemen dan Anggota Dewan Konstituante. A.R. Baswedan menikah dengan Barkah, seorang tokoh pergerakan perempuan di masa-nya. Barkah merupakan salah satu perempuan yang mendapatkan kesempatan sekolah di zaman kolonial karena diaku anak oleh pamannya yang menjabat Wedana di Slawi, Tegal. Barkah bersama tokohtokoh perempuan asal Tegal adalah peserta Kongres Perempuan di Yogyakarta.
Pada usia 26 tahun, Kakek Anies mencetuskan Sumpah Pemuda Keturunan Arab (1934) dan pembentukan Persatuan Arab Indonesia (PAI) yang menyatukan para keturunan Arab di Indonesia untuk berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. Sejak ratusan tahun yang lalu, pendatang dari Hadramaut di Nusantara hanyalah laki-laki karena perempuan di Arab pada masa itu tidak pernah ikut bepergian jauh. Para pendatang ini kemudian menikah dengan wanita setempat. Sehingga, semua buyut, nenek dan ibu dari keturunan Arab di Indonesia adalah perempuan asal Nusantara. Anak-anak dari pernikahan Arab-Indonesia tersebut tumbuh besar dengan bahasa ibu dan budaya ibu. Kedekatan budaya dan emosional yang terbangun di Nusantara ini, bukan hanya terbangun karena kesamaan agama, tapi justru jadi lebih kuat karena faktor ibu yaitu bahasa dan budaya ibu.
Di era 1930-an, melalui tulisan-tulisannya dan sosialisasi keliling berbagai kota, A.R. Baswedan menyebarkan gagasan Nasionalisme dan ke-Indonesiaan. Dia mengubah pandangan masyarakat keturunan Arab dari yang awalnya melihat tanah airnya adalah di negeri leluhur Ayah yaitu Arab, menjadi tanah airnya adalah di negeri leluhur Ibu, yaitu Indonesia. Di era kolonial Belanda, berdasarkan Indische Staatsrgeling, masyarakat Nusantara dibagi jadi 3 kelas: Kelas satu adalah golongan Eropa, kelas dua adalah golongan Timur Asing (Arab, Cina, India, Jepang) dan kelas tiga adalah pribumi. Perjuangan nasionalisme A.R. Baswedan ini berhasil membentuk kesadaran baru hingga terjadi Sumpah Pemuda Keturunan Arab (1934) yang menyatakan Indonesia sebagai Tanah Airnya. Ini juga berarti mendeklarasikan diri untuk turun status menjadi kelas 3. Keberhasilan ini membuat keturunan Arab di seluruh Nusantara berkomitmen dan menyatakan Indonesia sebagai Ibu Pertiwinya, sebagai tanah airnya, serta ikut berjuang bagi kemerdekaan Indonesia. AR. Baswedan dikenal sebagai Nasionalis sejati dan penyebar Nasionalisme yang gigih.
Kakek Anies merupakan anggota misi diplomasi Indonesia pertama (H. Agus Salim, A.R. Baswedan, H.M. Rasjidi, Nazir Pamuntjak). Misi diplomasi ini berhasil mendapatkan pengakuan de jure dan de facto pertama terhadap eksistensi Republik Indonesia sebagai sebuah negara baru. Pengakuan tersebut didapat dari Kerajaan Mesir pada tahun 1947.
Setelah selesai bertugas di konstituante, A.R. Baswedan tidak lagi sibuk di Jakarta /47 dan Bandung, tetapi lebih banyak berada di Yogyakarta. Rumah Kakek Anies di Taman Yuwono 19 di Yogyakarta dijadikan tempat berkumpulnya aktivis era 1960-an hingga 1980-an. Beliau menjadi mentor para aktivis mahasiswa seperti Ahmad Wahib, Djohan Effendi, Dawam Raharjo, Syu’bah Asa di era 1960-an hingga Lukman Hakim di era 1980-an. Di rumah itulah tercetus pembentukan Jamaah Shalahudin oleh mahasiswa-mahasiswa UGM.
Kakek Anies bersahabat amat dekat dengan semua kalangan di Yogyakarta seperti Sri Sultan Hamengkubowono IX, K.H. Ali Ma’sum, K.H. AR Fachrudin, K.H. Mukti Ali, Djarnawi Hadikusuma, Karkono Kamajaya, Romo Dick Hartoko, Romo Mangunwijaya atau Dr. Yap Hong Joen. Dia juga dekat dengan budayawan era itu seperti Rendra, Arifin C. Noer, Muhammad Diponegoro, Pedro Sujono, Umar Kayam, ataupun Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Bahkan garasi rumahnya biasa dipinjam untuk kegiatan latihan oleh Teater Muslim pada era itu.
Di kalangan jurnalis pada masa itu, Kakek Anies disebut sebagai “Wartawan Tiga Zaman” yaitu era kolonial Belanda, era pendudukan Jepang, dan era merdeka. Hingga akhir hayatnya, A.R. Baswedan masih terus aktif menulis sebagai wartawan. Ia mewariskan sekitar empat ribuan buku berbahasa Arab, Belanda, Indonesia, dan Inggris, mayoritas terbitan era 1890-an1960-an, koleksi buku itu kini disimpan di joglo rumah Anies di Lebak Bulus.



