
1 minute read
BAPAKJ.B.SUMARLIN MASA MUDA
Bapak Johannes Baptista
Sumarlin telah diajari pentingnya bekerja keras sejak kecil dengan diajak oleh kakeknya, Kakek Toedjo, untuk bekerja di sawah. Saat berusia 5 tahun, orangtuanya bercerai dan Bapak Sumarlin pun tinggal bersama ibunya, namun, itu tidak menghentikan Bapak
Advertisement
Sumarlin untuk tetap menjaga relasi dengan ayahnya.
Desa Ngadirejo, yang merupakan tempat tinggalnya, tidak ada sekolah dan satu- satunya sekolah yang terdekat berjarak satu kilometer dari rumahnya dan tiap hari Bapak
Sumarlin harus jalan kaki ke sekolah. Namun, sekolah tersebut hanya sampai kelas tiga SD sehingga beliau pun melanjutkan pelajaran di Desa
Sentul yang berjarak lima kilometer dari rumahnya. Akan tetapi, keluarga Bapak J.B. Sumarlin tidak mampu membeli sepatu sehingga beliau harus berjalan dengan kaki telanjang. Walau menghadapi hal tersebut, Bapak Sumarlin tetap bersikap positif dan totalitas dalam menggapai pendidikan sehingga beliau menjadi satusatunya yang dikirim sekolahnya untuk meneruskan kelas 6 SD yang berjarak 10 kilometer dari rumahnya.
Saat itu, Jepang mulai menduduki Jawa sehingga adanya transisi pendidikan.
Bapak Sumarlin yang berusia
10 tahun pun lulus ujian sekolah rakyat Jepang, dan beliau mengikuti ujian untuk menjadi guru secara diam-diam demi membantu ibunya menghidupi keluarganya. Bapak


Sumarlin pun lulus ujian seleksi menjadi murid sekolah guru dengan nilai terbaik. Namun, kakeknya tidak setuju karena
Bapak Sumarlin masih terlalu muda untuk bekerja dan ia ingin cucunya melanjutkan sekolah.
Kondisi keluarga Sumarlin membuatnya dianggap sebagai beban keluarga, terutama oleh ibunya. Beliau dianggap tidak cakap dalam membantu sehingga beliau “dibuang” dan dititipkan ke pamannya, Oom Moekidjam. Selain itu, beliau juga dikirim dengan tujuan untuk meneruskan pendidikan. Syarat agar pendidikan beliau dibiayai adalah dengan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga dengan menyapu halaman dan membantu menyetrika pakaian, seperti menyetrika seragam tentara Oom Moekidjam yang terbuat dari bahan dril tebal. Hal tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah, apalagi Bapak Sumarlin baru berusia 11 tahun. Namun, beliau tetap sabar dan menjalankan tugasnya. Lalu, saat ingin melanjutkan sekolahnya di MULO (sekolah menengah pada zaman penjajahan Belanda), sekolahnya ditutup sehingga beliau harus mengulang kelas enam.
Untuk melanjutkan pendidikannya Bapak Sumarlin harus masuk MULO (sudah disesuaikan dengan sistem pendidikan Jepang) yang hanya ada di Kediri. Untungnya, Oom Moekidjam diangkat menjadi komandan resimen (chundaco) dan ditempatkan di Kediri. Saat awal-awal bersekolah di MULO, prestasi belajar Sumarlin cukup buruk. Oom Moekidjam pun menegurnya, dan pada saat itu Bapak Sumarlin ingin menyampaikan bahwa pekerjaan rumahnya menjadi sangat berat sehingga saat di sekolah, ia sudah terlalu lelah dan susah konsentrasi belajar. Sepulangnya dari sekolah, ia pun harus lanjut mengerjakan pekerjaan rumah lainnya. Akan tetapi, Bapak Sumarlin tidak berani mengungkapkan hal tersebut dan teringat akan pesan kakeknya untuk tidak boleh manja dan malas. Bapak Sumarlin tetap tangguh dan berusaha meningkatkan nilainya dengan memaksakan dirinya belajar sampai malam. Kerja kerasnya pun terbayar saat akhir tahun dengan beliau menjadi siswa dengan nilai tertinggi. Ambisi beliau pun membuatnya dapat mempertahankan posisi tersebut selama tiga tahun.

