e-magazine arsitektur. ruang 09|2014, Vol.2 Refleksi

Page 1

ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG KOMUNITAS VOL. 2 R E F L E K S I

1

9


edisi #9: Komunitas

2


ruang | kreativitas tanpa batas

RUANG #9: KOMUNITAS vol. 2: Refleksi

tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari: Dam Hee Kim Ya Han Tu Ahmad Nazmi Ivan Nasution Sigit Kusumawijaya Yoppy Pieter Andrea Fitrianto Robert Dujmovic Yusni Aziz Kamil Muhammad

3


RUANG

PEMBUKA Setiap individu terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang dikenal dengan nama “komunitas.” Secara eksplisit maupun implisit; ilmu, budaya, dan cara hidup sebuah komunitas akan tercetak dalam diri individu. Komunitas terbentuk dari kesamaan latar belakang dan visi untuk mencapai tujuan bersama, dengan bergerak cepat dari bawah ke atas, kadang memangkas jalur birokrasi hirarkis yang berbelit. Kemudian, dialektik ruang maya kini hadir; memecah dan membentuk komunitas pada saat yang bersamaan. Individualisme meningkat, masyarakat makin acuh tak acuh dengan sekelilingnya. Di sisi lain, berkatnya, pembentukan komunitas tidak lagi terbatasi oleh ruang dan waktu. Dalam Ruang edisi 9 kategori “Refleksi”, kami menyuguhkan serangkaian upaya para akademisi, praktisi, pengamat, maupun mereka yang berada di tengah-tengah komunitas untuk memaknai kembali apa yang selama ini mereka catat, rekam, dan rasakan. Sembilan artikel yang akan kami terbitkan sepanjang bulan November ini akan mengantar kita untuk tidak hanya berpikir kembali, tetapi juga mengalami lebih dalam melalui sudut pandang tiap kontributor akan tantangan yang dihadapi komunitas dalam pemahaman mereka. Yusni Aziz dalam artikelnya “Di Balik Pintu Surga Persia” yang dimuat di koran Tempo mengawali wacana dengan pengalamannya mengamati fenomena yang ia amati pada masyarakat Persia dari sebuah bangunan arsitektural khas timur tengah: masjid. Kemudian Robert Dujmovic mewacanakan hal serupa dalam pengamatannya tentang “Architecture and Community”, menitikberatkan hubungan sebab-akibat antara keduanya. Sementara Yoppy Pieter memberi suguhan esai foto bertajuk “Teater Tribal Bumi Takpala” tentang suasana kampung tribal di Alor, dan dinamika di dalam komunitas mereka di tengah arus modernitas. Di artikel “Arsitektur Rizoma”, Andreas Fitrianto membahas seluk-beluk arsitektur akar-rumput dengan pemaknaan dan pengemasan yang unik. Lalu Sigit Kusumawijaya menjabarkan perkembangan ruang publik di dunia maya sebagai wadah baru yang membentuk komunitas-komunitas dalam kategori sosialbudaya tertentu di artikel “Komunitas Online di Era Media Sosial dan Perannya di dalam Menciptakan Ruang Publik”. Ivan Nasution memberikan gambaran komunitas pendatang di negeri asing yang mengokupasi ruang publik dalam jumlah besar sehingga menimbulkan sebuah fenomena dan menghadirkan karakter ruang yang baru, dalam esai foto “Minggu Pagi di Victoria Park: Sebuah Fenomena Eksklusi dan Inklusi”. Pengamatan lebih lanjut tentang tarikmenarik komunitas di antara ruang publik maya dan fisik dengan studi kasus di Jepang dilakukan oleh Dam Hee Kim, Ya Han Tu, dan Ahmad Nazmi dalam artikel “From Cyberspace to Cityscape: Virtual Communities and the City”. Yusni Aziz berupaya mendapat jawaban akan pertanyaan mengenai peranan arsitek dalam komunitas pada “Wawancara dengan Johan Silas”. Di akhir wacana, Kamil Muhammad menutup volume kedua edisi Komunitas ini dengan artikel “Traces”, berisi pemikirannya seputar komunitas dalam pengalamannya menjadi sukarelawan di komunitas Ciliwung Merdeka. Kami berharap serangkaian artikel di atas akan membawa kita semua untuk merefleksikan dan meredefinisi pemahaman tentang “komunitas” dengan lebih bijak, bagaimanapun istilah tersebut dimaknai dalam setiap konteks yang disuguhkan oleh setiap kontributor. Karena pada akhirnya, setiap kita terlahir dalam sebuah kehidupan kolektif yang merepresentasikan ilmu, budaya, dan cara hidup tertentu (dan terkadang, kontradiktif satu dan yang lain) dalam setiap gerak-gerik. Hingga kembali ke diri kitalah, kompromi antara apa yang kita pahami dan apa yang selama ini melatarbelakangi kehidupan kita harus diputuskan. Selamat menikmati Ruang!


ISI

vol.2: Refleksi

7

Di Balik Pintu Surga Persia

esai Yusni Aziz.

19

Architecture: For Elites or Community?

29

Teater Tribal Bumi Takpala

41

Arsitektur Rizoma

53

Komunitas Online di Era Media Sosial

esai Robert Dujmovic.

esai Yoppy Pieter

esai Andrea Fitrianto

esai dan Perannya di Dalam Menciptakan

Ruang Publik

Sigit Kusumawijaya

65

Minggu Pagi di Victoria Park: Sebuah

73

From Cyberspace to Cityscape: Virtual

85

Traces

esai Fenomena Inklusi dan Eksklusi Ivan Nasution

esai Communities and the City Ahmad Nazmi, Dam Hee Kim,Ya Han Tu

esai Kamil Muhammad

Secangkir Teh Bersama Johan Silas: wawancara Peran Bisnis dan Komunitas Untuk Kota

95

Yusni Aziz.


K O N T R I B U T O R 1. YOPPY PIETER

Based in Jakarta, Indonesia. Yoppy Pieter is a photographer who documents social issues and travel. His interests led him to work as an advertising coordinator at a travel magazine in 2004.Three years later he began to pursue photography as a medium to channel his passion. He took some photography training in PannaFoto Institute, Permata Photojournalist Grant, and the Angkor Photo Workshop. Since 2010, he has been working as freelance photographer and also a travel writer. His works are published in www. yoppycture.com

4. DAM HEE KIM

1

5. YA HAN TU

2

3

2. YUSNI AZIZ

Alumnus dari doubledegree bachelor program kerjasama antara ITS dan Saxion Hogeschool of Applied Sciences. Kemudian menyelesaikan riset di Berlage Institute pada tahun 2013. Saat ini menjadi pengajar di UPH, peneliti di RAW dan manager OMAH library.

She graduated from the architecture department of National Cheng Kung University, Tainan, Taiwan where she studied architectural design, history and theory . After working for two years, she joined the postgraduate program at The Berlage, Center for Advanced Studies in Architecture and Urban Design, TU Delft from which she graduated in the spring of 2014.

6.ANDREA FITRIANTO

4

3. IVAN NASUTION

Setelah lulus dari arsitektur ITB, kemudian bekerja di Park+Associates Architect. Telah menyelesaikan riset di Berlage Institute Rotterdam pada tahun 2011. Saat ini menjadi research assistant di Centre for Sustainable Asian Cities, NUS.

She graduated with a bachelor of Architecture from Kyonggi University and had completed an internship at Iroje KHM Architects participating in projects in Korea which had won the ARCASIA AWARDS 2007-2008. She graduated from The Berlage Center for Advanced Studies in Architecture and Urban Design, TU Delft in the spring of 2014.

5

6

Andrea Fitrianto bekerja pada bidang teknologi alternatif bambu, perencanaan komunitas, dan pembangunan urban. Andrea menempuh pendidikan Arsitektur di UNPAR (1994), perkotaan di IHS Rotterdam (2007), dan pengembangan permukiman di HDM Lund (2010). Dia pernah bekerja di Aceh pasca tsunami, di Kenya pada sektor rural, di Jakarta dan di Surabaya tentang advokasi hak atas kota, di Davao dan Yogyakarta untuk perbaikan kampung informal. Saat ini Andrea adalah salah satu koordinator pada Community Architects Network (CAN), sebuah forum bagi arsitektur komunitas dalam konteks Asia.


5. AHMAD NAZMI

He graduated from The Berlage, TU Delft with a thesis on generic architecture. After collaborating with the Brussels-based practice 51N4E, he is now based in Kuala Lumpur, Malaysia where he runs the research and design studio Normal Architecture and collaborates with Veritas Architects on their conceptual and research work. He is a visiting lecturer at the School of Architecture, Building & Design, Taylor’s University where he teaches undergraduate design studio.

10. ROBERT DUJMOVIC

7

8.SIGIT KUSUMAWIJAYA

Lahir di Jakarta pada 14 November 1981, Sigit Kusumawijaya lulus dari Delft University of Technology, Belanda, dan Jurusan Arsitektur dari Universitas Indonesia. Ia pernah bekerja di Ken Yeang; Andra Matin Architects; Mei Architecten & Stedenbouwers BV; dan PT MRT Jakarta. Saat ini Sigit adalah Principal Architect di perusahaan konsultan yang ia dirikan dengan nama sigit.kusumawijaya | architect & urbandesigner (www. sigitkusumawijaya.com). Dengan rekannya ia mendirikan komunitas Belajar Desain, dan menginisiasi Indonesia Berkebun. Ia pernah mendapatkan penghargaan Goggle Awards 2011: “Web-Heroes” dan finalis untuk Ashoka Changemakers 2013 Saat ini menjadi Executive Steering Committee untuk Atap Jakarta – House Vision Indonesia.. 9. M. INSAN KAMIL Muhammad Insan Kamil adalah seorang pelajar arsitektur di University of Melbourne. Tesisnya terfokus ke efek spasial normalisasi sungai, terutama ke salah satu pemukiman bantaran sungai di Jakarta.

8

9

Born in Paris, 1969. I have dedicate most of my life to aiming for improvement of world justice, protection of victims of war crimes, and the most vulnerable ones - women and children. I was actively involved in work of German humanitarian organization, Senegal Hilfe Verein (SHV), with which I contributed to numerous projects, building workshop compound, water towers, schools, kindergartens, hospitals and so on. After the civil war in Balkans has ended, I went back and joined the United Nation peace-keepers. After few years of service in Croatia and Kosovo, I moved to Dili, East Timor , opening a new UN mission, where i worked in the special Court for war crimes. Paralely, with few colleagues I held several workshops related to basic health, and local community empowering leading to faster neighborhood’s recovery. After 5 years, I returned to Europe and have been working for International Criminal Court for the last 8 years, mainly in the area of protection and safety of victims of war crimes.

NARASUMBER 11. JOHAN SILAS 10

11

Lulus dari jurusan arsitektur ITB di tahun 1963, dan kemudian menjadi pengajar dan pendiri Jurusan Teknik Arsitektur ITS Surabaya di tahun 1965. Pencetus KIP (Kampung Improvement Program) ini memperoleh Habitat Scroll of Honour dari UN Habitat atas “penelitian dan pengabdian dalam memberikan tempat bernaung bagi kaum miskin” di tahun 2005.


RUANG Editorial Board : Ivan Kurniawan Nasution Mochammad Yusni Aziz Rofianisa Nurdin web : www.membacaruang.com facebook : /ruangarsitektur twitter : @ruangarsitektur tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com email : akudanruang@yahoo.com segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk keperluan tertentu harus atas izin penulis.

Foto: Yoppy Pieter Desain: Yusni Aziz


DI BALIK PINTU SURGA PERSIA oleh Yusni Aziz

Dua wanita menyusuri sepinya sore di bazar Isfahan. ŠYusni Aziz

ESAI INDONESIA Arsitektur, Iran, Komunitas, Makna Arsitektur, Ruang Publik

Sebuah tulisan tentang perjalanan arsitektur. Pencarian sisi lain masjid di Iran dalam keterkaitannya dengan politik penguasa.


S

ubuh sesampai di depan hotel, saya bergegas menuju medan Imam. Matahari masih enggan membagi seluruh sinarnya. Meski biasnya saja cukup membangunkan kawanan gagak yang ramai menyambut kami di langit pagi itu. Letih sisa perjalanan dari Teheran tidak saya hiraukan lagi. Dengan ransel menggantung di pundak, langkah berlari kencang menuju monumen yang selama ini hanya saya kagumi lewat buku. Saya tidak ingin melewatkan menit saat kubah biru toskanya berubah keemasan oleh sinar matahari pagi. Saya tidak sabar untuk bertemu masjid Shah. Tentu saja penjaga pintu masih tertidur. Saya hanya disambut oleh iwan1 raksasanya yang sangat ayu, bersama pintu gerbang kayu yang tenggelam di lautan keramik biru di sekujur dindingnya. Bibir seketika merekahkan senyum lebar. Kecantikannya langsung menghangatkan hati saya.

Hotel mungil kami di Isfahan hanya sekitar satu menit berjalan dari medan Imam, plasa di pusat kota Isfahan yang berdiri sejak abad ke-17. Pembimbing kami memilih tempat itu karena obyek riset kami banyak terletak di sekitarnya. Alhasil dengan mudah, saya kembali berkunjung di siang harinya. Saya sendiri memilih fokus riset tentang masjid sebagai salah satu tipologi bangunan lokal Iran. Sebagai arsitek dari negara muslim terbesar di dunia, tentu masjid bukanlah bangunan asing. Namun melakukannya di Iran, salah satu dari empat republik Islam dunia, menjadi sangat menantang. 1) ruang dengan langit-langit melengkung yang satu sisinya menghadap area terbuka


ruang | kreativitas tanpa batas

9

Kubah masjid Shah di kala fajar ŠYusni Aziz


edisi #9: Komunitas Masjid Shah terlihat gagah bersanding dengan medan Imam ©Yusni Aziz

Esok pagi, saya ingin menengok untuk ketiga kalinya. Kedatangan kemarin siang belum membuahkan data yang saya harapkan. Kesalnya, saya harus mengalah kepada perayaan Ashura dari pemerintah. Masjid ditutup untuk umum. Reporter dan kamera televisi tersebar di segala penjuru, siap merekam. Bis parkir berbaris di sisi selatan maidan. “Mereka membawa ratusan orang dari luar kota”, sahut Golnar Abbasi, kawan Iran saya. Ia lalu menambahkan, “Umumnya, banyak orang kota tidak mau hadir di perayaan Ashura, karena itu pemerintah membawa orang-orang dari kota kecil dengan bis. Namun tidak hanya terbatas di acara ini saja. Kebanyakan acara keagamaan pemerintah menjadi seperti ini.” Sederetan pertanyaan langsung timbul dalam benak saya.

10

Namun yang pasti, hari itu saya harus puas dengan memandangi gagahnya iwan masjid Shah dari jauh. Saya hanya bisa membayangkan kembali. Pelataran masjid yang banjir dengan keramik dan marmer biru di lantai, dinding, dan langit-langit lengkungnya. Taman cantik dengan pohon meranggas di dua sisi masjid. Kubah utama dengan patri pola floral yang indah, yang menggemakan suara saya ke seluruh penjuru masjid. Jika diijinkan, saya ingin tidur semalam di masjid Shah. Ia adalah rumah umat yang sangat mewah.

Namun, bayangan itu tetap tak dapat menghapus pertanyaan besar dalam pikiran saya. Mengapa masyarakat Iran membangun masjid secantik dan semegah ini? Haruskah? Apakah ada keterkaitannya dengan kepentingan penguasa jaman dulu, seperti yang saya saksikan di perayaan Ashura itu? Saya mencoba awali dari kata masjid itu sendiri. Masjid berasal dari kata Sajada, yang berarti “untuk bersujud”. Kata ini bisa juga berarti ruang seseorang untuk bersujud atau beribadah. Sajada


ruang | kreativitas tanpa batas

Bentuknya sangat sederhana. Dinding lumpur mengelilingi sebuah ruang terbuka sebesar 50 x 50 m, dengan pilar dari batang kelapa yang menopang atap di sisi kiblat dan sisi utara. Ia memiliki tiga pintu di sisi utara, barat dan timur. Nabi dan keluarga juga tinggal didalam masjid ini. Ruang-ruang Kebutuhan pendirian masjid muncul tinggal mereka menempel di sisi timur di era nabi Muhammad SAW untuk masjid. mempersatukan umat. Ia mengawali dengan pembangunan masjid Quba, yang Karen Armstrong dalam “Islam: A disusul oleh masjid Nabawi atau Masjid Short History” menyampaikan bahwa Nabi. Masjid terakhir menjadi embrio bentuk bangunan yang simpel ini dari semua bangunan masjid di dunia. menyimbolkan inti kesederhanaan ajaran Islam. Tidak seperti gereja juga digunakan untuk shalat, yang membatasi area “masjid” dimanapun seseorang ingin beribadah. Di dalam Al-Quran sendiri, ternyata tidak ada ayat yang secara khusus menuliskan karakteristik arsitektural dari bangunan masjid.

11


edisi #9: Komunitas

Kristiani yang mengkhususkan bangunannya untuk beribadah, masjid tidak melarang hadirnya aktivitas kemasyarakatan di dalamnya. Masjid Nabi saat itu menjadi rumah pemimpin dan pusat pemerintahan umat Islam. Ruang terbukanya menjadi area untuk beribadah, perundingan militer hingga tempat tinggal sementara para pengungsi. Lalu, mengapa desain masjid Iran menjadi sangat berbeda dengan masjid Nabi ? Arsitektur merupakan sebuah produk budaya. Seperti bentuk kebudayaan apapun saat dikenalkan di lokasi yang asing, Ia akan melebur bersama nilai, tradisi dan estetika lokal untuk membuatnya menjadi lebih ramah dan bisa diterima oleh lingkungan.

12

Begitu pula dengan masjid. Sejak embrionya tertanam di tanah Persia pada era masuknya Islam di abad ke-7, ia mulai berkembang dengan menyerap gaya arsitektur lokal. Masjid Tarik Khane, masjid tertua peninggalan dinasti Abbasid, menyimpan jejak transisi tersebut. Seperti masjid Nabi, Tarik Khane memiliki konstruksi atap yang ditopang barisan kolom, atau hypostyle, dan tanah lapang di tengah bangunannya. Yang membedakan adalah mulai hadirnya kubah, atau gonbad dalam bahasa Persia, dan iwan yang merupakan ciri khas arsitektur pra-Islam Persia. Hal ini tidak lepas dari pengaruh penguasa. Seiring meluasnya ajaran Islam di Iran, peranan politis masjid

menjadi semakin penting. Agama menjadi tiga komponen simbol kekuasaan kerajaan Islam Persia, disamping perdagangan dan Shah. Semua menjadi jelas ketika saya menyaksikannya di medan Imam. Plaza cantik yang dikelilingi deretan toko setinggi dua lantai ini menggandeng tiga simbol itu di tiga sisinya. Semua diawali pada abad ke-16, saat Shah Abbas ingin menjadikan Isfahan ibukota baru Persia yang kala itu terpecah-pecah. Ia mengusulkan restrukturisasi besar-besaran kota Isfahan, salah satunya dengan membangun medan Imam. Saat itu, medan menjadi tempat bertemunya Shah dengan rakyatnya. Karena guna dan letaknya yang strategis, ia juga menjadi panggung yang tepat untuk menunjukkan bulatnya kekuasaan sang Shah. Medan Imam akhirnya menjadi rantai yang mengikat ketiga simbol tersebut. Mulai dari bazar sebagai simbol perdagangan di utara, Istana Ali Qapu sebagai simbol Shah di barat, dan masjid Shah sebagai simbol agama di selatan. Masjid juga diupayakan menjadi bagian dari kerajaan. Ia diikat oleh elemen yang selama ini hanya dikenakan dalam proyek komisi kerajaan, seperti kubah. Pada era pra-Islam, kemegahan -kubah hadir untuk menyimbolkan kejayaan sang raja. Ia menjadi kepala dari bangunan makam keluarga raja atau kuil Zoroastrian. Tradisi ini kemudian berlanjut di era Islam. Kubah disatukan -dengan badan masjid, meski sejarawan belum menemukan waktu pasti kapan pertama kali ini terjadi.


ruang | kreativitas tanpa batas

Masjid Nabi

Masjid Tarik Khane

Tiga fase evolusi masjid Jame’ Isfahan

Masjid Shah

Masjid bazar Teheran

Masjid Sepahsalar 13

Koleksi denah masjid dengan skala yang sama yang terbahas dalam artikel. ŠYusni Aziz

Di dalamnya turut terlukis dekorasi yang menunjukkan keindahan dunia langit, pengingat betapa kecilnya rakyat di hadapan Allah dan kosmos ciptaanNya. Di masjid Shah, kubah duduk dengan sangat megah. Konon kilau birunya dapat dilihat dari jauh oleh pedagang

yang sedang melewati jalur Sutra. Kemegahan ini juga menjadi simbol kekuasaan sang Shah lewat cipta karya berskala akbar. Setelah selesai dibangun, masjid Shah akhirnya menjadi masjid terbesar di kota Isfahan, hingga sekarang. Skala ini juga menjadi magnet yang menarik jamaah shalat Jumat dari masjid yang lama ke masjid Shah.


edisi #9: Komunitas

Iwan di tengah lapangan masjid Shah yang megah dan lengang ŠYusni Aziz

14

serupa. Bedanya, di sini aksi tidak dimonopoli oleh sang Shah. Penguasa Iwan juga menjadi elemen pengikat lokal, baik individu maupun kolektif, yang masjid. Di era pra-Islam, Iwan berlomba untuk meninggalkan jejak mewadahi kegiatan pertemuan di istana politisnya melalui renovasi masjid. raja, rumah bangsawan, atau bangunan religius. Ia kemudian bermutasi Mereka selalu memberikan sesuatu yang menjadi gerbang monumental yang berbeda, jika perlu, lebih baik dibanding memberi karakter kuat pada masjid renovasi sebelumnya. Setiap penguasa Persia. Di dalam halaman masjid, Iwan tentu tidak ingin kalah, bahkan ada berdiri di empat penjuru, menghadap yang menjadikannya lokasi pertarungan. pusat halaman yang diberi kolam Seperti Taj al-Mulk yang memandatkan wudhu. Komposisi sempurna yang konstruksi kubah di sisi utara demi melambangkan axis mundi, titik yang menandingi rivalnya, Nizam al-Mulk, yang menghubungkan antara dunia fana dan membangun kubah lain di sisi selatan. nirvana. Alhasil, masjid ini menjadi sangat kaya. Dalam riwayat Isfahan, masjid Shah Desain empat Iwan-nya berbeda antara ternyata tidak menjadi satu-satunya satu dengan yang lain. Lebar pilar pusat demonstrasi kekuasaan. Masjid bervariasi dari dua jengkal telapak tangan Jame’ Isfahan, yang menjadi lokasi hingga dua rentang tangan -pria Iran shalat Jumat sebelumnya juga bernasib dewasa. Langitnya pendek hingga sangat


ruang | kreativitas tanpa batas

Bahkan dari koridor bazar, ia hanya dibedakan oleh Iwan setinggi tiga meter. Jika saya sibuk belanja mungkin tidak akan tahu bahwa dibaliknya terdapat sebuah masjid. Tidak ada empat-pintu Iwan, hanya tiga pintu dengan reka bentuk tak seirama. Tidak ada dekorasi berlebih seperti masjid-masjid penguasa. Ia sangat Sekembalinya ke Teheran, saya rendah hati dan sederhana. Ia menjadi segera mencari perbandingan. bagian dari komunitas. Saya menyambangi masjid kecil di bazar Tehran, yang dibangun oleh Semua orang berhak bertamu ke masjid komunitas setempat pada abad ke- tersebut. Ia menyajikan ruang publik 17. Seperti umumnya masjid Iran, untuk semua. Serta kamar mandi dan masjid ini menyerap elemen-elemen tempat sembahyang bagi para pedagang, yang dikenalkan penguasa. Yang yang bekerja di ruang-ruang kecil di membedakan, Ia jauh dari kemegahan sepanjang sudut bazar. Seperti masjid atau kesempurnaan. Masjid melebur Nabi, ia menjadi rumah umat yang sangat sederhana. dengan lingkungan setempat. tinggi, tampil polos hingga penuh dekorasi. Setiap lurus dan lengkung garis ruangnya seakan bercerita pada saya akan selera penguasa dan gaya arsitektur Persia di masa tertentu. Ia menyimpan rapi jejak-jejak sejarah arsitektur Persia.

Skalanya membaur, tidak lebih besar atau lebih tinggi dari bangunan sekitarnya.

Kontras desain dua iwan masjid Jame Isfahan memberi karakter kuat pada ruang ŠYusni Aziz

15


edisi #9: Komunitas

Lapangan masjid Teheran yang selalu ramai dimanfaatkan pedagang ŠYusni Aziz

Berbeda sekali dengan kunjungan saya ke masjid Sepahsalar, yang terletak di sebelah gedung parlemen Teheran. Saya sangat ingin mengunjunginya sejak awal perjalanan. Masjid dari abad ke19 ini mulai menunjukkan pengaruh arsitektur Eropa dalam denahnya yang memiliki bentuk salib atau desain taman gaya eropa di tengah lapangannya. Ya, desain masjid terus berevolusi.

16

Sayangnya, grup riset kami dilarang masuk dengan alasan bukan warga asli Iran. Meski sudah berdebat panjang lebar, bahwa kami hanya ingin melihat dan tidak akan mengambil foto. Namun penjaga masjid tetap teguh bahwa masjid ini milik negara yang harus dilindungi dari pencuri kearifan arsitektur Iran. Masjid yang menjadi rumah umat tiba-tiba menjadi tertutup dan ekslusif. Hal ini juga terjadi di Universitas Teheran. Lapangannya menjadi lokasi utama shalat Jumat sejak Revolusi Islam 1979. Untuk memasukinya, setiap orang

harus melewati pemeriksaan tentara, pintu metal detektor dan pemeriksaan kartu identitas universitas. Pengunjung tidak diperbolehkan masuk, kecuali rela mengurus administrasi berbelit dengan pihak universitas. Arena shalat menjadi penuh ketegangan. Kenapa seseorang harus digeledah untuk menyembahNya ? Saya akhirnya bertanya kembali ke Golnar, rekan Iran saya. Jika masjid dikontrol pemerintah sejauh ini, bagaimana reaksi anak muda di Iran. Dengan gamblang, Ia mengatakan, “Saya tidak pergi ke masjid sama sekali, seperti teman-teman saya yang lain. Saya tahu beberapa teman yang berangkat, tetapi mayoritas dari mereka tidak. Saya ingat kepergian ke masjid dalam 10 tahun terakhir adalah untuk pemakaman, menjemput nenek yang selesai sembahyang, menggunakan kamar mandinya, atau berkunjung karena mereka adalah monumen nasional!�


ruang | kreativitas tanpa batas

“Kebanyakan masyarakat kelas menengah tidak religus. Saya percaya ini datang dari ketidaksukaan mereka terhadap batasan ketat pemerintah yang diaplikasikan dibawah nama Islam.” “Hingga muncul pemikiran, yang tentu tidak sepenuhnya benar, bahwa menjadi religius diasumsikan sebagai tendensi politik. Saya tekankan lagi, tidak sepenuhnya benar! Saya tahu kawan yang sangat religius yang tidak suka juga dengan pemerintah.” Masjid adalah rumah umat. Dia lahir karena kebutuhan untuk mempersatukan umat. Namun masjid di Iran, yang begitu cantik dan megah, tidak dapat mempersatukan umat. Memang indahnya tidak lepas dari peran penguasa terdahulu.Tetapi di era penguasa masa kini, semua seakan sia-

Masjid Sepahsalar terlihat dari sisi jalan yang ramai ©Yusni Aziz

sia jika Ia malah dijauhi umatnya. Saya tidak ingin menyudutkan satu aliran agama tertentu. Tetapi melalui arsitektur, saya hanya mempertanyakan apa agama harus menjadi alat monopoli penguasa. Jika akhirnya perbuatan tersebut malah semakin menimbun dalam-dalam esensi dari agama. Perdebatan mengenai apakah masjid harus megah atau tidak, berkubah atau tidak, berminaret atau tidak, saja seperti benang kusut yang belum bisa terurai. Padahal ‘masjid’ sesederhana meletakkan alas di tanah kosong untuk bersujud menyembah-Nya. Gerak kecil dan tutur kata lembut pasti tak luput dari sang Maha Bijaksana. Saya sendiri ingin mencintai-Nya dengan sederhana.

17


“Saya tidak ingin menyudutkan satu aliran agama tertentu. Tetapi melalui arsitektur, saya hanya mempertanyakan apa agama harus menjadi alat monopoli penguasa.�

Jorge Anzorena Yusni Aziz


ARCHITECTURE: FOR ELITES OR COMMUNITY? by Robert Dujmovic

ESSAY ENGLISH Architecture, Community, Consumerism, Religion, Politics

Architecture has been used as a tool for control and manipulation by the elites. Yet in the other hand, there are acts showing that architecture can be build by and for the community. Thus, for whom we actually build?


edisi #9: Komunitas

Architecture plays one of the most influential roles in the daily life of human society as a tool of expression and as the only kind of art with real practical use. Its highest achievements are seen through history as a "sign of the time" and a measure of development of a civilization with the production of monuments. It is represented by size, height, capacity, construction and materials used.

20

Back in the days, someone build pyramids in Egypt, South America, Europe, and Asia. It is unknown who, how and when it is made, but the life span of these monuments equals to projects the eternity of the "Gods of lost civilizations".Today we still wonder about their builders, their original function, tools used in construction works. They stand in our world today, witnessing the fact that humanity today, similar with the old ages, aims to build towers reaching for the sky. Materials and techniques certainly have changed, but our goals stay the same - to get closer to the sky, closer to the old and the new Gods, to power and fame, by leaving a long lasting signature between the clouds. the constructed buildings and keep on utilizing the spaces. Users build their Why do we build? To live, to enjoy, to opinions; exchange them with friends earn. We need to remember that behind and relatives. And often it causes every curtain of architectural objects little arguments between those who hides the creators and producers. While find positive and others who notice on the public stage, we see users and more negative sides of the same pile accidental viewers that give them alife of concrete. Should the opera house and purpose. have a dome or a flat roof? Should the bridge be like a harp or an arc? As Once users see an object, whether be in users develop an emotion and relate plan, model or the finished building, they to the object of attraction, the mind immediately can relate with it. Positive or behind the curtain starts pulling the negative emotions develop at first glance. strings, and the audience is happily After a while, they usually get used to dancing to the music.


ruang | kreativitas tanpa batas

source: http://www.csmonitor.com/World/Americas/Latin-America-Monitor/2014/0116/Brazil-shopping-malls-New-epicenter-for-social-protest

Tourists come and spend their money because they heard that the place is cool and famous. Local consumers also get a story through commercials and enjoy being a part of the show. They hang at certain places in the city to be seen, to be a part of THE crowd. Architecture's use in mass manipulation is huge yet mainly unnoticed. Visual art builds the desired emotions – attractive or repelling – depending on the nature of the building. Governmental buildings are usually made to trigger respect and

fear. In consequences, people would develop the same feeling and attitude towards the ruling power and reducing risks of civic disobedience. On the other hand, commercial objects are made to attract visitors and make them spend. "There is no doubt whatever about the influence of architecture and structure upon human character and action. We make our buildings and afterwards they make us. They regulate the course of our lives." (Winston Churchill, addressing the English Architectural Association, 1924)

21


edisi #9: Komunitas

22


ruang | kreativitas tanpa batas

Elites can control and manipulate, use and abuse emotions and behaviour of common people using different mediums, including architecture. But firstly, they have to understand how a mind functioned. Shopping malls, for example, use the skills of architects and lighting designers to bring more profit to the owners of the building by manipulating the feelings of visitors offering gold and glitter in sight. It invites customers to spent their money in exchange for some feeling of “being a part of the crowd who can afford”. The appearance of malls automatically repels the poor but accept those who can spend. The more bags one carries, the better they feel. Feeling of power and ability to spend on products that are far from needed is comparable with drug abuse, and many people can’t control it. Knowing that, there’s always “new offer” or “new model” “you must have”. “Individuals may get ‘high’ from an addictive behaviour like shopping. Meaning that endorphins and dopamine, naturally occurring opiate receptorsites in the brain, get switched on, so the person feels good. And if it feels good, individual is more likely doing it. It is reinforced,” says Ruth Engs, EdD, a professor of applied health science at Indiana University. Apart from gathering places and practical resupplying locations, malls are practically legal-drug-distribution centres whereby people are invited to develop a spending addiction. The philosophical difference between the old-fashioned private shops randomly located in the city and shopping malls

is while the former attracts customers because of the NEED, the latter because of WANT. More over the latter encourage spending habit. Once individuals are inside the circles of spending, their social status is threatened by eventual stopping – one may lose friends or role in the community. Therefore, the social pressure maintains the spending habit. Sociological issues related to spending and gathering at commercial locations are numerous. However, they are just one fraction of manipulation by upper layers that have only one goal – power over commoners and their money. Aside from infrastructure, the most important objects are those of the biggest size, the religious ones. Both in representing the centres of power – locations from which the elites control different spheres of life of society – and their size and overall grandeur reflect the status of those paying for the project. Building of the temple of any religion around the globe costs money. These huge amounts come from the pockets of believers who willing to donate. Towers, roofs covered by pure gold, expensive finishing should all reflect the power of the addressed god. Such impression ensures the believers or donors to even more respectful to the organization or mind-management behind the religion. And, of course, it is also to ensure the believers to keep on donating funds. Since no Gods eat, drink, or bath in gold, their representatives are free to enjoy the donations. Therefore, the size and

23


edisi #9: Komunitas

24

quality of temples do not reflect “the power of god�, but the amount of money the priests collected out of the pockets of followers. Not all of the collected money is spent; some particular priests are ensuring their big share is safely kept in Switzerland. Although dressed in assigned clothes of spiritual leaders,

they are businessmen followed by bodyguards, drive expensive limos, enjoying the glitter and light of gold someone else worked for them. They act exactly the same way as the owners of shopping malls. The difference is in merchandise. In a mall, individuals buy something, put them in a bag, and he/she will flash down the street. On the other hand in the


ruang | kreativitas tanpa batas

merely as cultural monuments. Many of them being an expression of power of rulers from the time of building, the peak of the art expression, style, and of course – peak of architectural period. ----Architecture affects the quality of life of the community, regardless the use of the final products. It can influence social conditions simply by installing object to where it is needed – or not. There is always a huge difference in development of communities where we DO have or DON’T have roads, bridges, schools, hospitals.

http://www.asce.org/CEMagazine/ArticleNs. aspx?id=23622324819#.VFs8RxzNomo

temple, we get invisible portion of magically given inner peace (or hatred towards “the others” depending on what’s popular today and what will bring more donations). The truth is - people will always need something to believe in, and why not utilizing that? It is one of the oldest businesses. In the end, temples stay

Depending on the model of governing applicable in a certain country, region or a city, there are different ways of improving life conditions in the community. In open societies, communities can decide to work together on fixing the problems affecting their community crowdfunding becomes more popular and brings visible results. By agreeing on a target, community collects funds and proceeds with realization of the project. It can be a playground for children, a new park, bridge, school, etc. One of the interesting examples from Rotterdam (Netherlands) is the wooden bridge that has reconnected the city centre with the part that was for few decades cut-off by a very busy road. The history of the project, mechanisms of creating it, and its development and realization make

25


edisi #9: Komunitas

the project interesting. Community is allowed to express their needs and ideas, choose a solution and collect the funds for the building. It is “from people to people from A to Z”. Luchtsingel Bridge consists of 17,000 wooden planks. Each donor was entitled to have a message inscribed on the plank he donated. The bridge is a true, public piece of collaborative architecture. The bridge is just an example that anyone can find the community needs, clean-up an unused plot of land in the neighbourhood and create a playground and/or a park, an openair gym, or organize actions to clean the neighbourhood.

26

For any project, funding and keeping the costs of building, and future maintenance should be kept on realistic levels. So we come to the point of architecture and cooperation of the architects with local communities. Call them for help, many of them live right in our local communities - tell them your ideas and find a solution together! However, in some communities, people have no rights to organize their life even on a local scale. Government may claims private owned lands and displaces a village into new skyscrapers in the top-down manner. In this case, there’s practically nothing people could do to decide on their living conditions.

But in other countries, certain freedoms and decision-making powers are granted to citizens. People can express their interest and learn what they can do for their community. They can demand different material being used in building, decide on power sources – natural (wind, solar) or classical – fire-made by more polluting use of gas, oil, wood or coal. In the best case, with the help from local architects, people could get information and suggestions on how to build, what to build, and what to observe when building in cases when they decide to start own projects. To return to the earlier arguments, the systems of manipulation that elite use to ensure their gain – we can’t stop or control their eternal game and there’s no point in stopping it – is a part of social living that determines our society since the very beginning of civilization. Such levels of control are far too complicated for common people to understand, control and take part. We need not only to build and enjoy the luxury as a status symbol, but also to teach about respect, appreciation, and value of what we leave to those to come. However, living in the world we live in, we do have powers, abilities and responsibilities not to forget about it. It is up to us to make small but important changes in our local


ruang | kreativitas tanpa batas

environment, changes that count and will leave a trace on the quality of life of our community. One thing that doesn’t cost much is meeting with people, communicate the ideas, discuss and agree on what to do together. There are always things to do to make our children recognize their parents. Things that their parents have made for them and will smile once they bring their children to the same place. Without any doubt, happy life of future generations should be our most important common goal. We

must work together to ensure it. We not only need to build and enjoy the luxury as a status symbol, but also to teach about respect, appreciation, and value of what we leave to those to come.

27


“We need not only to build and enjoy the luxury as a status symbol, but also to teach about respect, appreciation, and value of what we leave to those to come.� Robert Dujmovic


Teater Tribal Bumi Takpala oleh Yoppy Pieter

Menggantung kain-kain tenun untuk persiapan pasar tradisional. ŠYoppy Pieter

ESAI INDONESIA Arsitektur, Alor, Komunitas, Tradisional, Nusa Tenggara Timur

Sebuah perjalanan ke desa kecil di Nusa Tenggara Timur. Menyaksikan perjuangan suku Abui dalam mempertahankan budaya nenek moyang di tengah gencarnya modernitas.


edisi #9: Komunitas

30


ruang | kreativitas tanpa batas

Cakrawala yang berganti jingga menjadi latar langkah saya menuju Kampung Adat Takpala di kabupaten paling timur gugusan Nusa Tenggara Timur. Mimpi yang sudah hadir sejak dua tahun lalu. Sejak saya terhipnotis oleh kesahajaan orang Abui dalam layar televisi. Ragu yang berlomba dengan detak jantung menemani saya berjalan menanjak. “Sudah terlalu sore ini, semoga orang-orang Abui masih mengizinkan saya untuk singgah,” ucap saya dalam hati. “Halo, selamat sore,” sapa seorang pria berambut putih dan berperawakan kurus kekar. Ia kemudian mengenalkan diri sebagai Martinus. “Bermalam saja di sini, besok ada tamu dan kita ada tari penyambutan,“ tegasnya sambil mengunyah sirih. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk bisa bermalam di sini. Untuk merebahkan diri di lantai-lantai bambu fala foka, rumah adat Alor, yang sesekali berdernyit mengikuti gerakan tubuh saya. Malam begitu menyita kesunyian. Takpala memang sebuah kampung yang tidak terlalu dipenuhi penduduk. Melonjakknya jumlah keluarga telah memaksa sebagian besar dari mereka berpindah ke kampung-kampung di bawah bukit yang lebih luas.

Jajaran bangku tamu menghadap mesbah. ©Yoppy Pieter

Menyambut pagi, seorang perempuan muda menyeduh sejumput kopi pada gelas bermotif bunga. Saya duduk tertegun di tepian fala foka memandang saujana biru di atas laut Flores. “Selamat pagi,” sapa Martinus dengan senyum ramah. Kami mulai membicarakan jati diri mereka sebagai orang Abui dan kampung adat Takpala, tempat lahirnya para ksatria. Lima tahun sebelum Indonesia merdeka, Piter Kafilkae, ayah Martinus mewakafkan tanahnya sebagai lahan berdirinya kampung adat Takpala. Eksodus tersebut dilatarbelakangi sebuah aturan kerajaan tentang balsem, atau pajak kerajaan. Tidak mudah bagi raja untuk menerapkannya ke suku Abui yang tinggal di pegunungan Alor. Akhirnya ia menetapkan pemindahan ini untuk mempermudah pelaksanaan kebijakan tersebut. Menurut Martinus, eksodus tidak sontak mengubah tatanan hidup suku Abui yang hidupnya bersandar pada alam. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa pergeseran zaman juga membawa dampak pada hidup mereka. Walaupun babi hutan masih banyak tersedia di hutan, orang-orang Abui akan berpikir ulang untuk hidup seutuhnya dari berburu. Mereka sudah mendapatkan bekal bagaimana menghasilkan uang dari sektor pertanian, dan sektor pariwisata dengan memberdayakan seluruh kerabat Abui di Kampung Adat Takpala.

31


edisi #9: Komunitas

32


ruang | kreativitas tanpa batas

33

Fala foka, rumah adat suku Abui ŠYoppy Pieter

Fala Foka, rumah adat suku Abui ŠYoppy Pieter


edisi #9: Komunitas

Kiri: Perempuan Abui di sebuah Fala Foka miliknya dilatari oleh jerami yang menjadi atap dan dinding bangunan ŠYoppy Pieter

34

Kanan: Menyalakan cahaya temaram pelita ŠYoppy Pieter


ruang | kreativitas tanpa batas

Tidak ada yang tahu pasti kapan Takpala berganti nama menjadi kampung adat Takpala, sebuah kampung yang menampung hajat hidup yang secara perlahan mengalami pergeseran fungsi sebagai tujuan wisata. Penambahan kampung adat semakin menegaskan bahwa Takpala mentasbihkan dirinya sebagai destinasi kultural di zaman yang sudah modern. Hal ini tidak dipandang sebagai ancaman, bahkan perannya telah memberikan sumbangsih kepada kekayaan nusantara sebagai living museum. Seperti jajaran fala foka yang menyita pandangan saya sejak datang di sini. Rumah adat yang ditopang pilar-pilar kayu dengan atap limas dengan tiga lapisan ruang di dalamnya. Saya kalahkan ragu untuk melihat ke dalam, dan seorang perempuan mempersilahkan saya untuk masuk.

Saya berdiri di lantai dua. Di dalam ruangan yang tidak teraba dimensinya tanpa bantuan pelita. Saat ia dinyalakan, kedua mata saya mulai dapat menangkap detail-detail kayu dan rumbia yang saling bersimpul, jajaran piring di lantai, sebuah tikar dengan selimut di dekat tungku api. Suasana tempat di mana perempuan menghabiskan waktu mereka saat malam, juga memasak. Saya mengadahkan kepala ke lantai tiga yang ukurannya menyempit. Di dalam terlihat tumpukan jagung masih terbungkus kulit bernoda asap, dan tumpukan pusaka pemilik rumah tersemat di ruang paling atas. Pengapnya asap dan cahaya yang temaram mendekap saya dengan pengap, saya kemudian memutuskan keluar untuk menyambangi rumah tetangga. Walau tidak begitu luas, Takpala sangat kaya dalam tatanan kehidupan sosial Abui. Kristen Katolik dan Protestan mendominasi kartu identitas penduduk, meski kepercayaan terhadap alam masih mengalir deras di diri mereka. Tidak sepenuhnya konsep trinitas dipandang sebagai pegangan hidup. Fala foka sendiri tidak didirikan tanpa aturan. Mereka berdiri mengelilingi sebuah situs peninggalan zaman Megalitikum yang disebut mesbah. Sebuah mikro kosmik dalam kepercayaan nenek moyang yang diamini Abui.

35


edisi #9: Komunitas

36


ruang | kreativitas tanpa batas

37

Martinus menarikan Cakalele ŠYoppy Pieter


edisi #9: Komunitas

Udara hangat mengiringi kerabat yang datang. Para perempuan telah berbalut kain tenun dengan rambut yang dibiarkan mengembang, disusul kerabat lelaki dengan rangkaian senjata sebagai identitas kesatria. Takpala yang sunyi kini berubah menjadi panggung pertunjukan, sebuah teater tribal. Tali diikatkan pada batang-batang pohon asam, dan kain-kain tenun berkibar dihembus angin dari laut Flores. Dalam sekejap, pasar tradisional hadir di samping teater itu. Para perempuan berkumpul menggelar dagangan. Cendramata khas Alor, kerajinan tangan dan kain tenun menggoda saya untuk berbelanja. Ketika saya kembali melihat Martinus, ia sudah mengenakan pakaian ksatria Abui, lengkap dengan pedang dan perisai perang. Ia bukan lagi sosok yang sama seperti beberapa menit lalu. 38

Saya kemudian teringat dengan kisah para ksatria yang ia sampaikan tadi malam. Bagaimana leluhur mereka berperang dengan suku lain dari pulaupulau di sekitar Alor. Saya hampir percaya dengan seni perang para leluhur yang terkadang di luar nalar logika saya. Seperti saat ia menyatakan kemampuan terbang ke pulau-pulau tetangga demi mempertahankan harga diri dengan berperang.

Mesbah kini dikelilingi putaran perempuan yang membentuk simpul lingkaran Lego-lego. Gemerincing gelang kaki, gigi-gigi mereka yang berwarna burgundi, rambut keriting, serta tangan yang saling bertautan membentuk simbol eratnya persaudaraan , lembut, dan kokoh. Lantunan syair Abui tidak hentihentinya membahana. Ketulusan mereka mengisi udara yang semakin hangat. Walau menari di hadapan tamu kerap mendapat cibiran miring sebagai pentas eksploitasi, atau penistaan autentitas adat leluhur. Namun tidak adil jika kita tetap mengamini cibiran tersebut, mereka hanya mempertahankan hidup lama di tengah dunia yang semakin tidak menghargai masa lalu. Kompromi mempertahankan ajaran leluhur dan menyambung hidup adalah pilihan mutlak suku Abui di bumi yang melahirkan mereka, Alor.

Perempuan-perempuan Abui dalam formasi lego-lego yang melambangkan persatuan ŠYoppy Pieter


ruang | kreativitas tanpa batas

39


“Namun tidak adil jika kita tetap mengamini cibiran tersebut, mereka hanya mempertahankan hidup lama di tengah dunia yang semakin tidak menghargai masa lalu. Kompromi mempertahankan ajaran leluhur dan menyambung hidup adalah pilihan mutlak suku Abui di bumi yang melahirkan mereka, Alor.� Yoppy Pieter


ARSITEKTUR RIZOMA oleh Andrea Fitrianto

ESAI INDONESIA Arsitektur Komunitas, Akar Rumput, Kolektivitas

Rizoma adalah struktur yang menyediakan elemen kekagetan dan ketakterdugaan. Elemenelemen tersebut menghidupkan sifat regeneratif, menyediakan ruang-ruang bagi proses kreatif. Komunitas adalah simpul pada Rizoma. Demikian, komunitas yang tumbuh secara organik pada saat momen kegagalan pembangunan monolitis terencana.


edisi #9: Komunitas

”Seruas rizoma tanpa henti menciptakan hubungan di antara rantai semiotik, organisasi kuasa, dan keadaan sekitar terkait seni, sains, dan perjuangan sosial.” –Gilles Deleuze & Felix Guattari, A Thousand Plateaus, 1987. Hal. 7

42

Awal musim hujan. Tunas menyeruak, membuncah pecah tanah. Rebung bambu tumbuh tegak penuh percaya diri. Seruas rizoma lahir dari indungnya, batang bambu yang sudah mencapai ketinggian dan sudah berdaun penuh. Pada dedaunan sari pati diolah dengan sinar matahari, fotosintesis, di dalam mesin-mesin yang otonom, automata, sehingga sari pati menjadi nutrisi bagi pertumbuhan. Pada irisan rebung jumlah keseluruhan ruas bambu terekam sebagai kode untuk pertumbuhan yang teleskopis; hampir satu meter dalam 24-jam, tinggi menjulang dalam hitungan empat bulan.

Di bawah permukaan. Rebung tumbuh dari indung, indung tumbuh dari nenek, nenek tumbuh dari buyut, dan seterusnya. Demikian akar rizoma berkembang jalin-menjalin membentuk labirin di bawah tanah, berlika-liku seperti novel Kafka; jalinan yang tidak memiliki awal maupun akhir, tidak ada pusat ataupun tepi, tidak ada pintasan Ariadne, juga tidak ada Minotaur. Dengan demikian tak ada singularitas, tanpa hirarki, nonotoriter secara elementer maupun sebagai kolektif. Labirin yang ideal seperti Tlön dalam cerita pendek Jorge Luis Borges.

“Pohon adalah filial, namun rizoma adalah aliansi unik. Pohon menyertakan kata kerja ‘menjadi,’ namun jalinan rizoma adalah konjungsi, ‘dan…dan…dan.’ Konjungsi ini mengandung cukup daya untuk mengguncang dan mencabut akar kata kerja ‘menjadi’…” –Deleuze & Guattari, ibid, hal. 25


ruang | kreativitas tanpa batas

Now you see, now you don’t. Stereogram hutan bambu di Nankin, Cina. (Sumber: James Ricalton, 1990)

Rizoma adalah struktur lorong prosesi yang lebih banyak memiliki pintasan dan putar-balikan daripada jalur yang lurus dan langsung. Ia adalah sistem lorong yang menyediakan ceruk-ceruk bagi tabir-tabir, bagi ruang kontingensi, bagi pertemuan-pertemuan tak-terduga. Koneksi dan heterogenitas adalah prinsip. Ia adalah ruang multiplisitas yang melipat-ganda, mencerap stimuli, merespon tantangan, di tengah susutnya kausalitas. Tanpa desain sistem terbuka atau mutasi, evolusi tidak akan berlangsung. Tanpa pertemuan tak-terduga, kejutan, surprise, atau kekagetan, maka tidak akan ada peluang untuk regenerasi. Dengan demikian elemen kekagetan menjadi krusial dalam menjaga inersia sistem untuk terus menyediakan potensi penuhnya; ruang-ruang bagi proses kreatif. Tetapi, dia juga lantas menghadirkan paradoks dan situasi ambigu; dia bisa menghasilkan kesepahaman, juga ketidaksepahaman.

Baik atau buruk hanyalah hasil dari seleksi aktif dan sesaat, maka kesempatan harus terus diperbaharui, dan dengan demikian tak ada tempat bagi dualisme Manichaean [1] yang hitam-putih. Metafisika rizoma adalah tataran yang imanen, membedakannya dengan yang transenden. Pada tataran tersebut berlaku sebuah proses yang disebut misapropriasi, yang digambarkan seperti pencurian tanpa akuisisi. Tidak seperti prosesi pencurian konvensional yang melibatkan akuisisi, perpindahan kepemilikan untuk meningkatkan akumulasi kapital, proses misapropriasi menjelaskan suatu proses ekstraksi yang sementara dari sebuah konteks ke konteks lainnya, dari milieu ke milieu. Demikian dinamika internal menciptakan kapasitas baru untuk menghasilkan. Inilah proses kreatif rizomatis, seperti ribuan bengkel kerja, ribuan dataran tinggi, ribuan plato.

43


edisi #9: Komunitas

Setiap plato adalah sebuah orkestrasi yang terdiri dari elemen-elemen layaknya kepingan batu bata yang diekstrak dari setiap situs-situs reruntuhan, sumber informasi, pengetahuan, dan pengalaman lain. Dia adalah sebuah rakitan, brikolase, yang di dalam dirinya terkandung vektor-vektor dan segala bentuk potensi untuk terus hidup, berkembang, dan mengorganisasi diri. Sebagaimana halnya sebutir telur, dia adalah Tubuh tanpa Organ (TtO) dalam proses menjadi. TtO bukan sebuah organisme, juga bukan sebuah organisasi, melainkan sebuah ruang bagi eksperimen organ yang berlainan dan organisasi yang berlainan. Kinerja moda berpikir rizomatis berkaitan dengan cara-cara mentransfer satu konsep ke konsep lain, dari satu disiplin ke disiplin lain. Dengan demikian suatu fungsi dapat dicangkokan ke konteks atau

milieu lain; prinsip dekalkomania [2]. Proses ini melibatkan transgresi antar teritorial, dalam melintasi batasbatas konvensional. Maka proses deteritorialisasi dan reteritorialisasi menggerakkan arus material, sosial, dan mikropolitis secara terusmenerus, konstan; sebuah flux. Seperti pengalaman imajiner saat membaca biografi seorang pengelana muka bumi, sebagaimana alur pikiran orang nomaden; nomadologi. Arus perpindahan menemukan relevansi pada geografi dan demografi.Tercatat lebih dari separuh penghuni bumi termasuk dalam kategori urban. Kampung kota, yang seringkali digusur, adalah kemenangan atas individualisme yang melazim di kota, ia menjadi benteng terakhir bagi kemandirian, nilai-nilai lokal, kultural, tentang identitas, kolektivitas, modal sosial, dan lain-lain. Pembenaran moral akademiknya ada pada traktat Balai warga di Kampung Jatimulyo,Yogyakarta. (Andrea Fitrianto, 2012)

44


ruang | kreativitas tanpa batas

Hak atas Kota dan Keadilan Spasial. Dan perlawanan dari kampung kota, klaimnya atas ruang kota, sudah menjadi fenomena global; Claiming the City. Seperti halnya kampung miskin kota, sebagai komunitas akar rumput, menjadi sebuah simpul pada sistem rizoma. Demikianlah cara entitas sosial bernavigasi di kota-kota pada masa kini. Kampung kota yang miskin, padat, dan informal hadir dan akan selalu hadir. Mereka terus dan terus berkembang biak, melipat ganda, dan bertukar posisi dengan eksterioritasnya; konstan tanpa akhir. Dalam setiap kampungada kohesi yang dinamis dengan kota sebagai lingkungannya. Kampung kota adalah sebuah plato. Kampung kota adalah ruang berkreasi seorang arsitek, seniman, warga, guna menjadi manusia pembuat, si tukang, homo faber. Maka, perlu pengetahuan tersendiri untuk bekerja di ruang rizoma, seperti studi tentang gerak, tentang menanti, dan etos dalam mengantisipasi. Karenanya, peta lokal akan lebih berguna dibanding peta global. Prosesi adalah lazim dan perubahan adalah sebuah kepastian, maka untuk menentukan arah perlu mata-ketiga, intuisi, atau mata batin; kontemplasi. Komunitas tumbuh secara organik di setiap momen kegagalan pembangunan terencana. Hunianhunian ad-hoc, spontan, irregular, atau informal terbentuk atas dasar kebutuhan. Misalnya, oleh mereka yang mengisi relung-relung kosong,

seperti ruang-ruang sisa di kotamonumen Chandigarh, The White Building di Phnom Penh, The Walled City di Kowloon, atau konstruksi pencakar langit yang tidak selesai, karena pemodalnya keburu bangkrut terinterupsi oleh resesi ekonomi, Torre David di Caracas. Di Torre David, kaum miskin kota mengokupasi lantai-lantai pencakar langit dengan meletakkan dan menata sekat-sekat, memberi kehidupan di antara kerangka kolom-lantai beton yang usang. Kampung miskin memenuhi kebutuhan dasarnya untuk bertahan hidup di kota. Rancangan dan penataan mereka jauh dari sempurna. Karenanya tidak jarang mereka menyertakan mafia, meminggirkan akuntabilitas, institusi, dan demokrasi pada kategori utopia, bersama-sama dengan negara serta segala rezim perencanaannya. Maka, kegagalan perencanaan dan arsitektur adalah kejayaan populer atau kemenangan rakyat dan sama sekali bukan anomali. Maka, Rem Koolhaas membawa serombongan mahasiswa Harvard berkunjungan-belajar ke Lagos, Nigeria demi menyaksikan kegagalan kota-terencana dengan perspektif helikopter yang sinis-nyarisfatalis; membaca Lagos dari ketinggian sebagai sebentuk ketangguhan, kesempatan, inspirasi, bagi masa depan yang spekulatif. Lewat sebuah percakapan, Nenek Dela, warga kampung kota, tampil sebagai tokoh sentral pada film dokumenter Jakarta Disorder karya Ascan Breuer dan Victor Jaschke

45


edisi #9: Komunitas

sudah tiga kali digusur selama berada Jakarta. Rasdullah, penarik becak yang di tahun 2002 mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta, bahkan sudah tujuh kali digusur. Di sini kita mesti cermat: bertahan hidup adalah prinsip, sedangkan digusur adalah konsekuesi. Bersama kaumnya, Nenek Dela dan Rasdullah tinggal di bantaran sungai, bantaran kanal, waduk, rel kereta, di bawah sutet, di kolong tol, di lahan terlantar, di lahan spekulasi, yang semuanya merupakan tataran, strata, khusus bagi kampung miskin di Jakarta. Terkait kelangkaan lahan sebagai sumber daya kota yang paling krusial, Nenek Dela, Rasdullah, dan keluarga termiskin kota umumnya hidup nomaden. Setiap saat mereka harus siap berhadapan, bertukar teritori, bertukar penguasaan dengan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP),

aparat rezim keindahan dan ketertiban sekaligus aparatus otoritas formal kota. Pada ruang komunitas, organisasi setempat, arsitek, dan warga bersekutu untuk mengadakan eksperimen kreatif, seringkali dengan bahan lokal dan organik, dengan teknik-teknik yang juga bagian dari tradisi. Misalnya, pada sekolah yang dirancang Diébédo Francis Kéré di Gando, Mali; pusat interpretasi Mapungubwe di Afrika Selatan rancangan Peter Rich yang menggunakan teknik kubah yang merupakan warisan kultural berumur 600 tahun; museum yang dibangun dari puing-puing karya Wang Shu di Cina; redefinisi arsitektur bambu yang modern lewat tangan dingin Simón Vélez di Kolombia; dan taktik menghidupkan kembali tradisi sekaligus mitigasi bencana à la

Potongan sekolah alam di Bogor. (Andrea Fitrianto, 2013)

46


ruang | kreativitas tanpa batas

Hunnarshala di India dan Yasmeen Lari di Pakistan, dan banyak lagi arsitektur dengan kompleksitas, arsitektur yang peka-konteks. Sedangkan yang bebal-konteks juga ada; di London, sebuah gedung baru menjelma menjadi suryakanta raksasa dan melelehkan mobil-mobil yang parkir di bawahnya; di Dubai, di balik kemilau arsitektur mewah, terungkap eksploitasi terhadap pekerja bangunan migran. London dan Dubai mungkin sudah terlanjur menjadi poros bagi rezim Arsitektur yang hirarkis, singular, monolitik, dan totaliter yang tujuan akhirnya definit; akumulasi kapital adalah eskatologi. Di sana, moda kreativitas ditandai dengan kecintaan akan permukaan, mekanisasi proses yang mengebiri arsitektur menjadi sebentuk ritual digitasi prosedural.

“Kadangkala kami bekerja secara ilegal, bukan untuk menyakiti seseorang. Kebalikannya, justru kami lakukan untuk menolong banyak orang. Keputusan untuk bekerja secara ilegal berarti bekerja dengan pendekatan lain� - Santiago Cirugeda Santiago Cirugeda mendapat julukan arsitek pembangkang dan subversif. Ia tergabung dalam sebuah kolektif arsitektural Recetas Urbanas di Sevilla. Mereka berarsitektur lewat aksi langsung, salah satunya dalam merancang-bangun ruang seni sirkus kultural independen La Carpa dengan profil-profil baja yang diekstrak dari bangunan lain. Saat ada yang mencibir La Carpa sebagai arsitektur yang

AraĂąa, sirkus dan ruang seni pos-apokaliptis La Carpa di Sevilla. (Woody James, 2014)

47


edisi #9: Komunitas

48

menarik tapi juga buruk rupa, Santi menjawab �Siapa yang gak punya teman buruk rupa? Setiap orang punya teman buruk rupa.� Mereka sudah tinggalkan estetisasi obsesif kaum pemodal, untuk arsitektur yang ekonomis dan fungsional. Di Sevilla, La Carpa adalah antitesis bagi Metropol Parasol, sebuah folly dari kayu laminasi yang menguras biaya $130 juta dari kantung para pembayar pajak di tengah situasi resesi.

Recetas Urbanas juga harus menyiasati formalisme aturan membangun dan meniti di antara batas-batas legal-ilegal. Pembangunan dilakukan dalam waktu sesingkat satu-setengah hari. Secara klandestin mereka bergerilya di bawah bayangan rezim ruang dan waktu sang kota; seperti Sulaiman memindahkan istana Ratu Sheba, seperti Sangkuriang, Bandung Bondowoso, juga seperti ribuan gecekondu [3] yang tumbuh dalam


edisi #9: Komunitas

Bayanihan Power: gotong-royong menghela rangka jembatan di Davao. (Andrea Fitrianto, 2011)

semalam di kota-kota di Turki. 49

Di Davao, Mindanao, warga kampung informal membangun jembatan pedestrian sepanjang 23 meter. Dana terkumpul dari kelompok tabungan para ibu di tiga kampung. Lantas mereka meminjam $10.000 untuk membiayai pembangunan jembatan pedestrian dengan teknologi alternatif; bambu. Setelah setahun menabung sekaligus menggalang

kolektivitas, relawan warga bekerja membangun jembatan lewat arahan Suyadi dan Sunarko (alm.), dua perajin bambu asal Cebongan, Yogyakarta. Sepanjang April 2011, tujuh hingga sepuluh relawan warga bekerja enam hari dalam seminggu. Pada satu akhir pekan, lebih dari seratus-lima-puluh warga kampung dikerahkan untuk menghela rangka utama menuju posisi pondasi beton; bayanihan paralel dengan gotong-royong. Sekurangnya


edisi #9: Komunitas

duaratus bambu petung dan seratus bambu legi dan bambu ori, dirangkai menjadi jembatan bambu modern pertama di Filipina. Pembangunan inklusif/partisipatif dan teknologi alternatif merupakan paralelisasi dua strata yang membentuk rizoma.

50

Dalam rangka kontekstualisasi dengan kota, arsitek menjadi agen penggubah untuk misapropriasi ruang-ruang mati, ruang-ruang sisa, residual, dan menjadikannya alternatif dan potensi. Di bawah hemisfer Utara ada Pet Architecturenya Atelier Bow Wow di Jepang, Raumlabor di Jerman, dan Atelier d’architecture autogĂŠrĂŠe (AAA) di Perancis. Kelompok-kelompok lain memberi fokus kerja mereka di Selatan, seperti Urban-Think Tank (U-TT) di Swiss/Venezuela, Elemental di Chile,TYIN tegnestue di Norwegia. Grup arsitektur pro-bono seperti Architecture for Humanity (AFH) adalah jaringan sumber daya arsitektural yang berawal dari penerbitan sebuah buku, Architecture Sans Frontières (ASF) terdiri dari simpul-simpul yang independen di banyak negara Eropa, dan Community

Architects Network (CAN) menjadi platform bagi kelompok-kelompok arsitek komunitas di tujuh-belas negara Asia. Arsitek-arsitek dan kolektif arsitektural tersebut tumbuh sporadis, trans-nasional, nomaden, melampaui batas-batas teritorial, dan berjarak kritis dengan aparatus kekuasaan. Maka, wilayah kerja mereka tidak ditentukan oleh konvensi: apa yang boleh, tapi oleh intensi: apa yang harus, dalam pengetian masingmasing. Maka, tidak akan kita temukan agenda-agenda besar, melainkan etos dan disiplin berkarya yang realistis, taktis, dan penuh improvisasi. Maka, apapun sebutannya, arsitek komunitas, arsitek sosial, pembangkang, visioner, revolusioner, pada prakteknya adalah arsitek yang menanggapi perkaraperkara sosial dan lingkungan di sekelilingnya. Mereka bekerja secara militan, kadang bergerilya dengan penekanan pada proses. Ini akan melibatkan polinasi-lintas antarelemen yang heterogen, teknis, sosial, kultural, ekologis, dan mikropolitis; sehingga tiba pada capaian-capaian arsitektural yang tak-terduga.


ruang | kreativitas tanpa batas

”Jadi apa itu Tubuh tanpa Organ? Tapi kamu sudah di dalamnya, menggeliat seperti kutu, meraba-raba seperti orang buta, atau berlari seperti orang sinting; pengelana gurun dan nomaden stepa. Di dalamnya kita tidur, menghidupi hidup yang terbangun, melawan-lawan dan melawan-mencari tempat bagi kita, mengalami kebahagiaan tak terbilang dan kekalahan hebat; didalamnya kita menerobos dan diterobos; di dalamnya kita mencinta… TtO: ia datang saat tubuh telah berkelebihan organ dan dia ingin menanggalkan, ingin melepaskan.” Deleuze & Guattari, ibid, hal. 150 Dari ribuan teritori, ribuan plato, tentunya ada cukup daya untuk mengguncang, mencabut, menerobos ruang-ruang berruam, menjadikannya ruang-ruang mulus bagi Tubuh tanpa Organ dalam rangka mengantisipasi arsitektur yang akan hadir.

[1] Manichaeism adalah paham yang percaya dengan dualisme dalam kosmologi, pertarungan antara baik dan buruk. [2] Delcacomania atau decalcomanian (Perancis) adalah sebuah teknik dekoratif yang mentransfer desain yang tercetak di atas medium kertas yang dilipat ke medium kaca atau porselen. [3] Gecekondu (Turki) secara harfiah berarti “dibangun semalam” adalah pemukiman spontan di kota-kota besar di Turki.

51


“Pohon adalah filial, namun rizoma adalah aliansi unik. Pohon menyertakan kata kerja ‘menjadi,’ namun jalinan rizoma adalah konjungsi, ‘dan… dan…dan.’ Konjungsi ini mengandung cukup daya untuk mengguncang dan mencabut akar kata kerja ‘menjadi’…” Gilles Deleuze & Felix Guattari


Komunitas Online di Era Media Sosial dan Perannya dalam Menciptakan Ruang Publik oleh Sigit Kusumawijaya

ESAI INDONESIA Komunitas Online, Media Sosial, Ruang Publik

Perkembangan informasi dan teknologi komunikasi mempengaruhi pola interaksi sosial antar individu, juga dalam pembentukan sebuah komunitas. Lebih jauh lagi, hal ini juga telah mengubah cara pembentukan ruang-ruang publik di kota oleh komunitas urban.


edisi #9: Komunitas

Ruang publik adalah sebuah ekosistem yang dapat memberi ruang tumbuh bagi peradaban manusia. Ruang ini menjadi modal sosial dan ekonomi bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan produktif. Menurut Jurgen Habermas, ruang publik memiliki peran yang berarti dalam proses berdemokrasi. Ruang publik merupakan wadah diskursus masyarakat, tempat warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka secara diskursif. Sifatnya harus bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi pemerintah di dalamnya; dengan kata lain otonom. Ruang publik harus mudah diakses oleh semua orang. Melalui ruang publik ini masyarakat atau warga dapat menghimpun solidaritas dan kekuatan untuk melawan mesinmesin pasar atau kapitalisme dan mesin-mesin politik.

RUANG KREATIF PUBLIK 54

Ruang publik kreatif dapat bekerja dengan baik jika dapat mengakomodasi ekspresi komunitas-komunitas. Ada sebelas prinsip untuk menciptakan sebuah ruang komunitas (ruang bersama) yang baik yang dirangkum oleh Project for Public Space (PPS). Dengan menerapkan prinsipprinsip ini ruang publik akan bertransformasi menjadi sebuah ruang bersama yang kaya dan hidup, tempat taman, plaza, lapangan

terbuka, jalan kendaraan, area pejalan kaki, atau segudang ruang outdoor dan indoor lainnya yang memiliki kesamaan kegunaan publik. Prinsip-prinsip tersebut yaitu: 1. Komunitas atau masyarakat lokal adalah ahli 2. Menciptakan tempat, bukan merancangnya 3. Mencari mitra untuk bekerja sama 4. Melakukan pengamatan secara mendalam 5. Mempunyai sebuah visi jangka pendek, menengah, dan panjang 6. Mulai dengan hal-hal yang mudah, cepat, dan murah 7. Triangulate: menyediakan peluang bagi orang yang sama-sama asing untuk melakukan kontak dan berbicara dengan memberi stimulus eksternal, misalnya, penempatan bangku taman, tempat sampah, dan telepon umum yang berdekatan 8. Mulai dengan skala kecil komunitas/warga secara bersama untuk memelihara perbaikan �tempat� 9. Bentuk yang mendukung fungsi ruang publik tersebut 10. Uang bukan masalah 11. Kelestarian ruang publik karena tidak pernah berujung


ruang | kreativitas tanpa batas

Intervensi ruang publik oleh Cepot dan kawan-kawan, Jakarta. (Foto: Sigit Kusumawijaya)

KOMUNITAS ONLINE DI ERA MEDIA SOSIAL Sejalan dengan perkembangan jaman, ruang publik telah meluas melampaui ranah fisik dan geografis yang dapat dinikmati secara langsung. Informasi dan teknologi komunikasi telah berkembang pesat di kota-kota besar di Indonesia dalam dua dekade terakhir. Saat ini, dengan kecanggihan teknologi, ruang publik juga hidup di dunia maya. Hal ini membuat perubahan

dalam berkegiatan sosial-budaya ekonomi, sosial, dan kelembagaan terutama di perkotaan. Terciptakah bentuk konektivitas baru antar manusia yang tidak lagi terbatas oleh kehadiran fisik dan letak geografis. Muncullah fenomena komunitas yang semakin umum dikenal sebagai komunitas jejaring. Kemudahan mengunduh aplikasi di internet mempermudah penggunanya untuk membentuk komunitas online berdasarkan

55


edisi #9: Komunitas

kesamaan kepentingan dan ketertarikan. Komunitas online adalah kumpulan orang (masyarakat) yang melakukan kegiatan dalam bentuk pertukaran informasi dan pengetahuan dengan bantuan Information and Communications Technology (ICT). Komunitas online dapat dibentuk dengan hanya beberapa orang atau anggota yang terbatas. Beberapa contoh komunitas online misalnya komunitas alumni atau hobi. Komunitas ini menjadi contoh bahwa konektivitas tidak terbatas oleh pertemuan secara fisik, bisa juga melalui dunia maya. Ini adalah fenomena menarik untuk dikaji karena jenisnya beragam, walaupun pada kenyataannya, kegiatan ini

masih memerlukan pertemuan fisik secara real time dan ruang. Keberadaan komunitas online ada yang bertahan lama atau hanya sementara. Minat yang mendorong pembentukan komunitas online adalah representasi dari aktualisasi diri manusia yang tidak cukup dengan memenuhi kebutuhan primer dan sekunder di dunia nyata (Maslow dalam Williams, 1995). Kecenderungan terhadap penggunaan facebook, twitter, path, mailing list, whatsapp, dan lainnya memperlihatkan bahwa anggota kelompok online tidak tunggal, namun bisa terdiri dari berbagai macam latar belakang. Beberapa komunitas online yang akan dibahas selanjutnya adalah

Fenomena adiksi penggunaan gadget dan media sosial di kota-kota besar di Indonesia. (Foto: internet)

56


ruang | kreativitas tanpa batas

komunitas-komunitas yang menggunakan teknologi media sosial untuk berkomunikasi dan berinteraksi, kemudian melakukan pertemuan secara langsung untuk menciptakan ruang publik kreatif yang baru untuk menciptakan kota yang lebih nyaman dan layak huni.

Indonesia Berkebun Indonesia Berkebun adalah komunitas yang bergerak melalui jejaring sosial (baik itu twitter, facebook atau blog) untuk menyebarkan semangat positif agar lebih peduli terhadap lingkungan dan perkotaan dengan program urban farming. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan lahan tidur di kawasan perkotaan yang diubah fungsi menjadi lahan

pertanian/perkebunan produktif dengan peran serta masyarakat sekitar. Semangat ini berawal dari media sosial twitter @Idberkebun yang disambut baik oleh para netizen yang menginginkan kota yang lebih sehat, lebih hijau, dan lebih membawa manfaat. Dengan semangat untuk berbagi, para �sahabat berkebun� menjadi buzzers dan influencers, baik di twitter maupun jejaring sosial lainnya. Sehingga saat ini Indonesia Berkebun sudah berkembang di lebih dari 31 kota & 9 kampus di Indonesia, tergabung dalam jejaring Indonesia Berkebun yang memiliki visi dan tujuan yang sama. Selain kegiatan-kegiatan berkebun di lapangan, dalam mengedukasi,

Penyebaran beberapa jejaring komunitas Indonesia Berkebun di seluruh Indonesia. (Grafis: Sigit Kusumawijaya)

57


edisi #9: Komunitas

Indonesia Berkebun mengembangkan kelas @akademiberkebun untuk belajar berkebun dan bisnis tentang agrikultur yang diberikan kepada publik secara cuma-cuma. Kelas ini biasa dilakukan secara offline di beberapa tempat yang membutuhkan edukasi, seperti kelompok masyarakat, perusahaan maupun sekolah-sekolah TK ataupun SD.

Indonesia Berkebun bercita-cita untuk menularkan semangat urban farming ini kepada warga lainnya untuk lebih peduli terhadap lingkungan perkotaan. Agar kota menjadi lebih hijau, bersih, sehat nyaman dan mempunyai nilai dan kualitas yang tinggi untuk ditinggali oleh generasi penerus, dan memiliki kemandirian pangan.

Indonesia Berkebun sudah banyak mendapatkan apresiasi, baik dari media ataupun penghargaan berskala nasional hingga internasional, seperti Google Asia Pacific Awards 2011 (kategori: �Web Heroes�), Nutrifood Inspiring Movement 2014, ataupun shortlisted di Ashoka Changemakers 2013.

Keuken adalah festival makanan sehari yang membahas isu pemanfaatan ruang publik kota melalui kebijaksanaan budaya yang terinspirasi dari jalanan. Keuken adalah gabungan dari beberapa komunitas yang mencintai kuliner lokal dan sebuah upaya untuk memecahkan kemonotonan

Keramaian acara Keuken Bandung. (Foto: internet)

58

Keuken Bandung


ruang | kreativitas tanpa batas

kehidupan perkotaan dengan cara mereklamasi ruang publik. Komunitas ini mempertanyakan kembali peran kota dan kejujuran kota di dalam kehidupan sehari-hari. Keuken juga berusaha mengungkapkan kesenjangan yang hilang di antara dua hal menarik antara kenikmatan nafsu makan sehari-hari dan kebutuhan ruangnya pada waktu yang sama. Keuken merayakan perebutan ruang kota dengan kemeriahan kebutuhan dasar manusia, yaitu makan. Keuken berusaha mengumpulkan kaum muda kota dengan memangaatkan potensi laten dari budaya nongkrong dalam masyarakat Indonesia dikombinasikan dengan atraksi makanan jalanan. Keuken mempertemukan masyarakat lokal dan komunitas kreatif untuk berkomunikasi dan bertukar pikiran. Setidaknya untuk satu hari, kota dengan warga dan masyarakatnya dapat mempertontonkan bakat dan potensinya masing-masing. Lebih dekat untuk berbicara dan melakukan sesuatu yang memungkinkan untuk kota.

KEMUDAHAN PENYEBARAN KOMUNITAS ONLINE DI INDONESIA Belajar dari kasus komunitaskomunitas online di atas, dapat dilihat bahwa gerakan atau aksi komunitas dapat dimobilisasi dengan jaringan yang besar. Kemajuan informasi dan teknologi komunikasi di era ini

telah memfasilitasi berbagai gerakan sosial. Beberapa ”Buzz” gerakan sosial memiliki jangkauan yang luas, namun langsung dan personal. Menurut Pontoh (2012),seorang pakar media sosial, Indonesia adalah satusatunya ”negara maritim kepulauan terbesar di dunia”. Ini menentukan perilaku sosial masyarakatnya yang unik yang berbeda dari seluruh dunia. Masyarakat Indonesia memiliki perilaku orang maritim yang sangat ramah dan terbiasa saling membantu orang di sekitarnya serta berkolaborasi dalam keragaman yang damai. Itulah sebabnya masyarakat Indonesia cenderung senang untuk berkumpul. Ini dapat dilihat melalui warisan kearifan lokal seperti pada arisan, pengajian, atau sekedar nongkrong di warung kopi. Seperti halnya keramahan dan sambutan selamat datang untuk tamu yang tercermin melalui pembagian dapur yang kering dan dapur yang basah pada rumahrumah masyarakatnya. Dengan alasan tersebut, masyarakat Indonesia cenderung sangat mudah untuk dikumpulkan atau diminta bantuan jika ada sesuatu yang menarik, yang lain pun ikut bergabung, dengan kata lain sering disebut ”latah”. Fenomena ini juga yang timbul di era media sosial sekarang ini, yang membuat pembentukan komunitas online dan mengumpulkan anggotanya untuk bertemu secara fisik sangatlah mudah di Indonesia. Hal ini juga menunjukkan bahwa aktivitas komunitas online telah membawa konektivitas baru manusia.

59


edisi #9: Komunitas

60


ruang | kreativitas tanpa batas

61

Ruang publik alternatif: kebun komunitas yang tercipta oleh komunitas Indonesia Berkebun. (Foto: Indonesia Berkebun)


edisi #9: Komunitas

PENCIPTAAN RUANG PUBLIK BARU OLEH KOMUNITAS ONLINE

62

Komunitas-komunitas online kreatif seperti di atas, selain menciptakan ruang publik di dunia maya juga menciptakan ruang-ruang bersama secara fisik di ranah publik sesuai dengan tujuan dan visi mereka masing-masing. Melalui dunia maya seperti media sosial, anggota komunitas saling berinteraksi dan berkomunikasi yang membentuk dialog dan diskursus hingga akhirnya mereka memutuskan untuk melakukan aktivitas atau gerakannya secara offline. Dengan pertemuan secara offline tersebut, ruang bersama di ranah publik tercipta. Indonesia Berkebun dan Keuken Bandung mengampanyekan visi masing-masing melalui media sosial. Dan setelah diputuskan oleh penggiat ataupun hasil diskusi dengan anggota-anggota komunitasnya, mereka berkumpul dan melakukan kegiatannya masingmasing. Indonesia Berkebun dengan 40 jejaring-nya di seluruh Indonesia memanfaatkan lahan di area perkotaan untuk dijadikan lahan pertanian kota sebagai sebuah ruang publik bersama yang baru untuk dimanfaatkan warga sekitarnya. Keuken Bandung

memakai area jalanan ataupun taman untuk dimanfaatkan para anggota komunitasnya maupun warga kota Bandung secara keseluruhan sebagai ruang publik bersama dengan merayakannya dengan cara membuat festival kuliner dan acara-acara menarik lainnya. Ruang-ruang publik baru tercipta oleh komunitas-komunitas online tersebut yang masing-masing mempunyai tujuan dan visi yang positif. Mereka menggunakan kekuatan komunitas dengan perencanaan bottom-up yang akan terus tumbuh, setelah perencanaan dengan metode topdown terus-menurus �gagal� untuk memberikan kebutuhan ruang publik. Namun secara intuitif, seharusnya gerakan akar rumput ini tetaplah bersifat informal. Komunitaskomunitas ini harus tetap berbentuk komunitas dengan aksi mereka yang walaupun bersifat informal namun harus dapat mempengaruhi kebijakan dan legalitas yang sifatnya formal. Karakter ini harus tetap dipertahankan sebagai sebuah sistem bipolar dan oposisi: komunitas dan pemilik modal dengan pemerintah. Dengan dualisme ini, kedua entitas akan terus tumbuh dan saling mengevaluasi kota dan kebijakannya; sebagai sebuah putaran apropriasi, evaluasi dan perancangan kota kembali yang menerus..


ruang | kreativitas tanpa batas

KESIMPULAN Sejalan dengan perkembangan jaman, ruang publik pun telah meluas melampaui ranah fisik dan geografis yang dapat dinikmati secara langsung, namun ruang publik juga terdapat di dunia maya dengan kecanggihan teknologi. Masyarakat Indonesia cenderung senang untuk berkumpul, ini dapat dilihat melalui warisan kearifan lokal seperti di dalam arisan, pengajian, atau sekedar nongkrong di warung kopi. Fenomena ini juga yang timbul di dalam era media sosial sekarang ini, di mana membentuk

komunitas online dan kemudian mengumpulkan anggotanya untuk kopi darat atau bertemu secara fisik sangatlah mudah di Indonesia. Dengan pertemuan secara offline tersebutlah akhirnya ruang bersama di ranah publik tercipta. Mereka menggunakan kekuatan komunitas dengan perencanaan memakai metode bottom-up yang akan terus tumbuh, setelah perencanaan dengan metode top-down terus-menurus ”gagal” untuk memberikan kebutuhan ruang publik.

DAFTAR PUSTAKA 1) BASUKI, Yudi., PRADONO, AKBAR, Roos., and MIHARJA, Miming. (2012). Online Community: Human Connectivity in a Virtual Space and its Implications to Human Movement. Bandung. Proceeding of Arte-Polis 4 International Conference. 2) HARDIMAN, Fresco Budi. (2009). Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta. Penerbit Kanisius. 3) HUTAPEA, Hodlan. (2012). Mengembalikan Fungsi Ruang Publik. Harian Analisa. http://www. analisadaily.com. Accessed on 5 December 2012. 4) INDONESIA BERKEBUN, (2011). Indonesia Berkebun Concept. Jakarta 5) JULIANERY, BE. (2007). Kembalikan Ruang Publik. Klik Nusa. http://kliknusa.blogspot.com. Accessed on 1 December 2012. 6) NASUTION, Ivan. (2012). Open Source City:Towards Collective Place Making. Bandung. Proceeding of Arte-Polis 4 International Conference. 7) KUSUMAWIJAYA, Sigit. (2012). Urban Farming as an Act for Community Empowerment. Bandung. Proceeding of Arte-Polis 4 International Conference. 8) PONTOH, Shafiq. (2012). How Conversation Become a Movement. Jakarta. Provetic. 9) PROJECT FOR PUBLIC SPACE (PPS). Eleven Principles for Creating Great Community Places http:// www.pps.org. Accessed on 1 December 2012. 10) TANUWIDJAJA, Gunawan. Menciptakan Ruang Kreatif Publik di Surabaya. http://diy.c2o-library.net. Accessed 5 December 2012. 11) WILLIAMS, RN and Slife BD. (1995). What’s behind the research: Discovering hidden assumptions in the behavioral sciences, Sage Publikations, Inc, Printed in the United Stated of America.

63


“Ruang publik adalah sebuah ekosistem yang dapat memberi ruang tumbuh bagi peradaban manusia. Ruang ini menjadi modal sosial dan ekonomi bagi masyarakat untuk tumbuh dan berkembang secara sehat dan produktif.� Sigit Kusumawijaya


Minggu Pagi di Victoria Park: Sebuah Fenomena Eksklusi dan Inklusi oleh Ivan Nasution

ESAI INDONESIA Apropriasi Ruang Publik, Inklusi dan Eksklusi, Komunitas

Fenomena inklusi dan eksklusi menjadi awal dalam mengidentifikasi sebuah komunitas. Peminggiran terhadap identitas sebuah komunitas akan memaksa komunitas tersebut mendefinisikan kembali identitasnya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengapropriasi ruang-ruang publik di kota.


edisi #9: Komunitas

Komunitas berawal dari mengidentifikasi ”eksklusi” (siapa yang berada di luar) dan ”inklusi” (siapa yang termasuk di dalam). Komunitas berakar dari kata commune (bahasa Prancis) atau communis (bahasa Latin), yang artinya berkumpulnya orangorang yang memiliki nilai-nilai dan cara hidup yang sama. Komunitas akan tumbuh jika ada kesadaran akan ”kami” dan ”mereka”. Kesadaran ini lama kelamaan akan membentuk ”mayoritas” dan ”minoritas” – orang-orang yang memiliki kesamaan dan orang-orang yang terpinggirkan. Dalam konteks perkotaan, peminggiran ini dijumpai pada dikotomi ”penduduk” dan ”pendatang”. Walaupun kota awalnya dibentuk oleh sekumpulan pendatang. Pendatang yang tinggal lebih lama akan membangun asosiasi terhadap kota dan

Bertemu teman (Foto: Ivan Nasution, 2014)

66


ruang | kreativitas tanpa batas

mengklaim sebagai �penduduk�. Mereka akan meminggirkan para pendatang lain, terutama mereka yang benar-benar asing atau dengan status sosial dan ekonomi yang dianggap lebih rendah. Kota dan mayoritas akan menekan identitas minoritas melalui �alienasi (pengasingan)�. Sebagai contoh, para pekerja domestik asal Indonesia dan Filipina yang hidup di tengah-tengah hingar-bingar metropolis Hong Kong. Mereka hidup dalam keadaan tidak stabil. Kota yang padat dan sesak memaksa mereka tinggal bersama majikannya, sehingga tidak memiliki ruang privat dan ruang gerak yang terbatas. Keterbatasan waktu luang membuat mereka tidak dapat berpartisipasi dengan kehidupan sehari-hari di ruang kota.

Peragaan busana tanpa kurator (Foto: Ivan Nasution, 2014)

67


edisi #9: Komunitas

Pengamanan Minggu pagi di Victoria Park (Foto: Ivan Nasution, 2014)

68

Hilangnya identitas karena peminggiran secara ekonomi, sosial, ataupun kultural; membuat minoritas melakukan perlawanan. Mereka mendefinisikan kembali identitasnya di ruang publik; membangun hubungan dan jejaring atas kesamaan etnis, nilai-nilai, dan aspirasi. Jejaring ini membesar dan membutuhkan sebuah teritori. Ruang-ruang publik diapropriasi. Sekitar 300.000 lebih pekerja domestik berkumpul setiap hari Minggu di ruang-ruang publik (dua diantaranya Plaza HSBC dan Victoria Park). Pada awalnya mereka mendapat penolakan karena dianggap mengganggu kemanan dan kenyamanan. Namun, lama-kelamaan aktivitas tersebut diterima bahkan diakomodasi dengan penambahan berbagai fasilitas publik, aparat, dan regulasi untuk menjaga keamanan dan kenyamanan. Event yang berulang membentuk sebuah kebiasaan. Minggu pagi di Victoria Park [1] menjadi tradisi mingguan bagi para pekerja domestik asal Indonesia untuk berekspresi. Ekspresi ini muncul dalam berbagai bentuk, salah satunya busana. Hari itu menjadi sebuah pentas peragaan busana tanpa kurator. Tiap-tiap [1] Minggu Pagi di Victoria Park (2010) adalah sebuah judul film layar lebar yang disutradarai dan dibintangi oleh Lola Amaria. Cerita film ini berpusat kepada kehidupan para pekerja domestik di Hong Kong yang penuh pergulatan terhadap ketidakadilan, pelecehan fisik dan seksual, peminggiran oleh mayoritas, minimnya ruang privat, atau terikat utang dengan rentenir.


ruang | kreativitas tanpa batas

Grup Rebana sedang berlatiih (Foto: Ivan Nasution, 2014)

individu mengekspresikan keunikannya. Grup pengajian muslimah dengan pakaian tertutup, dandanan ala 80-an yang menyerupai instruktur senam, wanita-wanita yang berlagak pria, dan setelan imut-imut ala pelajar Jepang. Identitas muncul dan partisipasi dengan kehidupan kota terbina. Dengan kehadiran yang lain di ruang publik, performa-performa ini menjadi sebuah tindakan politis dan ruang-ruang ini disebut ”ruang-ruang penampakan”[2]. Tindakan-tindakan di ruang penampakan ini melekatkan simbol pada Minggu pagi di Victoria Park. Victoria Park menjadi lokus perlawanan terhadap ketidakadilan. Para pekerja domestik menyuarakan pendapat mereka di ruang publik: protes terhadap peraturan ketenagakerjaan yang merugikan, meminta keadilan atas pelecehan fisik atau seksual yang dialami rekan sesama pekerja domestik, hingga terakhir soal pandangan terhadap pemilu presiden baru-baru ini. Victoria Park menjadi sebuah simbol perlawanan, kebebasan berpendapat, dan demokrasi.

[2] Konsep “politik” dijabarkan oleh Arendt sebagai aksi dan interaksi antar manusia. Politik menurut Arendt erat dengan aksi dihadapan orang lain. Ini erat kaitannya dengan konsep “ruang-ruang penampakan” (spaces of appearance) yang dibahas dalam buku karya Hannah Arendt yang berjudul The Human Condition (1958) dan Crises of the Republic (1972).

69


edisi #9: Komunitas

70

Mengaji (Foto: Ivan Nasution, 2014)


ruang | kreativitas tanpa batas

Kuda Lumping (Foto: Ivan Nasution, 2014)

Pengaruh simbolisme ini menyebar ke penduduk lokal yang juga menjadikan Victoria Park sebagai sebuah instrumen. Protes besar terhadap pemusatan pemerintahan di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) oleh penduduk Hong Kong yang pro-demokrasi (dikenal dengan Occupy Central) bermula dari Victoria Park. Secara praktis Victoria Park memiliki area yang luas dan dekat dengan pusat kota sehingga menjadi tempat ideal. Namun, tak hanya para pemrotes pro-demokrasi, para pemrotes pro-RRT yang juga penduduk Hong Kong juga memulai aksi penolakan terhadap Occupy Central dari Victoria Park. Simbol ini tidak lantas dimiliki oleh sebagian kelompok, namun, menjadi titik awal pendefinisian ulang sebuah inklusi dan eksklusi. Proses ini berulang secara terus menerus, sehingga dapat dikatakan bahwa komunitas bukanlah sesuatu yang kaku. Ia adalah sesuatu yang temporer dan dinamis. Identitas sebuah komunitas akan terus dipertanyakan dan didefinisikan kembali dengan proses inklusi dan eksklusi. Bahkan ia dapat mempengaruhi keadaan sekitarnya. Hal ini menjadikan komunitas sebagai sesuatu yang oportunistik, politis, dan penuh perlawanan.

71


“Komunitas akan tumbuh jika ada kesadaran akan ”kami” dan ”mereka”. Kesadaran ini lama kelamaan akan membentuk ”mayoritas” dan ”minoritas” – orangorang yang memiliki kesamaan dan orang-orang yang terpinggirkan.” Ivan Nasution


FROM CYBERSPACE TO CITYSCAPE: VIRTUAL COMMUNITIES AND THE CITY by Dam Hee Kim, Ya Han Tu and Ahmad Nazmi

ESSAY ENGLISH Architecture, Otaku, Akihabara, Online Community, Cyberspace

Nowadays, we have been witnessing the massive proliferation of virtual communities. However, is there possibility for them to give impact to the physical space of our city?


edisi #9: Komunitas

PART I: VIRTUAL COMMUNITIES AND THEIR (DIS)CONTENTS “The shrinking of distance and the speed of movement that characterize the current era find one of its most extreme forms in electronically based communities of individuals or organizations interacting in real time and simultaneously”

Saskia Sassen, Globalization and Its Discontents

74

In his seminal 1993 book The Virtual Community; Homesteading on the Electronic Frontier, Howard Rheingold defined virtual communities as “social aggregations that emerge from the Net when enough people carry on those public discussions long enough, with sufficient human feeling to form webs of personal relationship in cyberspace”.1 From his experience as the member of WELL (Whole Earth ‘Lectronic Link), one of the pioneering virtual community, he wrote, “Norms were established, challenged, changed, reestablished, rechallenged, in a kind of speeded-up social evolution”.2 It is clear from Rhinegold’s observations that virtual communities are viewed as evolutionary form of the traditional communities, which is founded on assumptions about consensus, rationality and connectivity. 3


ruang | kreativitas tanpa batas Facebook World Map (2011) source: https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/ hphotos-ak-prn1/163413_479288597199_8388607_n.jpg

A key distinction of virtual communities from the traditional one is that they are formed independently of physical confines, i.e. neighbourhoods or work places. The key infrastructures to the formation of communities in this virtual space are the speed and flexibility of the process of communication and collaboration.They enable a community which are spontaneous in construction, whose memberships are loose – you can join and leave as you please – and are always constantly redefining their identities. Another central discussion in virtual communities and the internet is the notion of choice. For what the internet provides, apart from the almost limitless possibilities of collaboration and exchange, are essentially choices. On the internet, you chose your community and you leave when you please. In most cases, virtual communities are communities of interest, formed out of common needs or a sense of shared mission. They address both the need for an extension of existing connections into global networks and the need of escaping the confines and morality of the traditional physical community. The internet brings together individuals and groups who are ostracised from society because their interests might be considered as unacceptable to the accepted norms. For these people the internet is a liberating platform to indulge in, expand and share their interests with like-minded (often anonymous) peers from all parts of the world. Careful browsing on the internet can lead you to a community of people who are obsessed about chewing ice to something as criminal as a hard-core paedophile ring.

75


edisi #9: Komunitas

NOW REVERSE THE FILM: FROM VIRTUAL TO PHYSICAL In her essay Cyberspace, Virtuality, and the Real: Some Architectural Reflections (2001), Elizabeth Grosz wrote that one of the “regulating assumptions” in the discussion of the impact of the virtual on the physical is “the belief that the technological development of virtual communities and networks surpasses, displaces, and problematizes the body and, with it, identity and community as we currently know them”. 4 Of course (as correctly pointed out by Grosz) the assumption ignores that the physical form of communities will continue to be relevant, albeit as “converted into a different order in which mind/will/desire are the ruling terms…The transformation of the real through the concept of the virtual”.5

Co-dependence between virtual and physical communities. ©Nazmi, Kim, Tu

76

Among of the key characteristics in the construct of virtual communities are: a set of common interests, non-hierarchical structure and organization, relative anonymity between the members and temporality of the community (due to the flexibility of joining and leaving). These characteristics could be observed in the phenomena of flash mobs, where the actions of a group of anonymous people could be organized through the internet to stage an event in physical space. It can be argued that the well known demonstrations and protest movements such as the Egyptian Revolution and the Occupy Wall Street were carefully coordinated flash-mob events with ideological leanings and political purposes. These two examples are a strong argument for the continuing relevance of the physical realm as the platform for expression despite the anti-geographical nature of the virtual realm.


ruang | kreativitas tanpa batas

Top: Physical community endowed with the characteristics of the virtual. ŠNazmi, Kim, Tu Bottom: General characteristics of online communities. ŠNazmi, Kim, Tu

From here we can see, how could the crystallization of virtual communities in the physical (urban) space affect the city? Does the ephemeral nature of virtual constructs prevent lasting and meaningful intervention on the urban landscape? Or is there evidence of a virtual community inhabiting and actually shaping the character of a city? And if there is, what makes them successful and how can we define their relationship with the city? Could they possibly point the way for communities to inhabit cities in the future? The truth as it turns out, is stranger than fiction.

77


edisi #9: Komunitas

PART II: STRANGER THAN FICTION (OR THE CURIOUS CASE OF AKIHABARA) “What is not found in Akihabara is not worth looking for” - Otaku dictum The district of Akihabara is one of a series of subcentres6 of Tokyo. What makes Akihabara strangely different is that the aesthetic image of the whole district has been shaped by its association with the community of the Japanese subculture of otaku. In Learning from Akihabara:The Birth of a Personapolis architectural historian Kaichiro Morikawa wrote; “The exodus of the otakus into Akihabara is comparable to the formation of ethnic enclaves such as Chinatown or Little Italy, with a critical difference that the otaku is a tendency in personality and taste, unrelated to any ethnic race or social class”. 7 Walking through Akihabara and into the various different shops catering to the myriad of eccentric obsessions is akin to a journey through otaku culture. What was once virtual has gone physical. Like a stage set on an urban scale, the district of Akihabara became the platform for the transformation of a virtual subculture into a physical community, an otaku playground. But what exactly is an otaku? OTAKU CONFIDENTIAL Otaku is one of the most well known forms of Japanese youth subcultures, prevalent mainly among males. In Japanese, otaku is a polite and formal way of saying “you”, although if translated literally, it means “your house”, with connotations of impersonality and detachment.8 78

As a social phenomenon, the image of the otaku in Japanese media has been treated with both fear and fascination. Otaku were an underground subculture throughout the 80’s, largely unknown by the public and ignored when noticed.This ambivalence however, was shattered by the 1989 arrest of Miyazaki Tsutomu, a serial killer responsible for the murder and mutilation of four young girls in Tokyo.11 Miyazaki became a poster boy, albeit a negative one, for otaku subculture after photos and footage of his bedroom – crammed to the ceiling with pornographic and paedophilic collection of anime videos and manga - was splashed in the mainstream press. 12 The ensuing media frenzy saw the otaku being vilified as social outcasts, eventually being pushed to the center of the debate surrounding the supposed moral decay among Japanese youth.13


ruang | kreativitas tanpa batas

The 2000’s however, has seen an increasing acceptance of otaku culture in mainstream society. Part of this is due to the success of the 2004 book Densha Otoko (Train Man), which based on the true story of an otaku who relied on the support of an online community to win the love of a woman in real life. It was adapted into manga, stage play, television series and film. 14 Ito wrote: ‘by representing otaku as harmless and endearing, both dramas helped to remove the subculture’s historically more negative and sociopathic connotations and to recast it in a much more sympathetic light’.15 If Miyazaki had demonized otaku culture, Densha Otoko had Hello Kitty-ised them.

PERSONAPOLIS : FROM THE DESKTOP TO THE CITY 16

Akihabara’s growth as the center of otaku community gained momentum after the burst of Japan’s economic bubble in the late 1980’s.The otaku embrace of the internet in the early 1990’s, coinciding with the reinvention of Akihabara as the center of Japan’s IT industry led to the crystallization of a virtual community in physical space, a “Personapolis”. Capitalizing on the IT infrastructure of Akihabara, otakus began to emerge from their bedrooms and gather in the district in numbers. In turn, establishments related to otaku culture also began to take up space in the district, attracting even more otakus.These establishments range from conventional shops selling otaku paraphenilia (DVDs, manga comics,character figurines) to ‘rental showcases’ shops. An Otaku’s vision for Akihabara district (photo montage). Source: http://postbubbleculture.blogs.wm.edu/files/2010/08/Akihabara_Rail.jpg

79


edisi #9: Komunitas

80

The aesthetics of these internal spaces and gradually of Akihabara streetscape also began to mimic the aesthetics of an otaku room. Morikawa added, “Akihabara has come to be more an extension of private space, an otaku rooms blown up into the city”. 17 A prime example of this is the iconic Radio Kaikan building, the barometer for changing trends in Akihabara18 with its seven floors dedicated to different aspects of otaku fetishes. 19 Akihabara’s own (mini) version of Delirious New York’s Downtown Athletic Club. 20 In his Venturi referencing Learning from Akihabara, Morikawa observed; “The facades became filled with otaku icons, as well as the skyline” .21 He also referred to the architecture of Akihabara as “the architecture of otaku taste”. 22 The growth of the otaku community was reflected in the aesthetics of the entire Akihabara district, leading to the whole area becoming “a veritable otaku theme park; plastered with posters of cute anime characters and dotted with maid cafés, where young women dress up as fantasy maid characters”. 23


ruang | kreativitas tanpa batas

Left: An Otaku’s daily routine. ŠNazmi, Kim, Tu Right: From the screen to the city. ŠNazmi, Kim,

What essentially happened in Akihabara is a phenomenon where a subculture, linked through virtual communities, crystallized themselves in physical space, eventually shaping the character of a city district. The physical as the second life of the virtual. Where a city in the traditional sense acquires character and identity through the accumulation of history, the identity of Akihabara is a literal representation of the tastes, fetishes and aesthetic preferences of its inhabitants, which gained momentum in virtual communities. The constant shifts in otaku tastes also means that the aesthetics of Akihabara is constantly evolving, like a stage set, perhaps in itself a fitting tribute to the spontaneous and ephemeral nature of a physical manifestation of a virtual community.

81


edisi #9: Komunitas

A typical cross section throu

EPILOGUE: VIRTUAL COMMUNITIES AND THE CITY 82

Discourses related to the place of the community in the city is more often than not tinted with a sense of nostalgia and loss as summarized by Harold DeRienzo in The Concepts of community: Lessons from the Bronx (2008); “There may be little room for community in this global political economy, where society values consumption, mobility, and the concentration of wealth, and where the rewards of society are geared towards individual achievement�. 25 What is implied by DeRienzo is the incompatibility between the climate and culture of consumerism in cities to the construct of communities. How then could we interpret the community of otaku in Akihabara as a form of community within the city?


ruang | kreativitas tanpa batas

By looking at the embrace of extreme consumption as one of the underlying trait of otaku subculture, the relationship between their community and the city could be established. The simple logic is that communities based on consumption (to whatever extent) would be able to form in and be a part of the consumerist landscape of cities. At the same time, the subcultural nature of the community provides a barrier against total assimilation with the larger mainstream consumer system. The virtual and physical is also not mutual, but interlinked and interdependent since the physical maintains its relevance as a platform for expression due to the ubiquity of the virtual.

ugh Akihabara. ©Nazmi, Kim, Tu

The novelist William Gibson, who coined the term “cyberspace”, observed that “Japan is the global imagination’s default setting for the future”.27 If the curious case of Akihabara could be defined as such, it is interesting to imagine that through virtual communities, other subcultures, in other parts of the world would be able to mobilize and form physical communities within cities. For various economic reasons28, cities would continue to benefit from the latest developments in IT infrastructure, making them the perfect platform for the crystallization of new forms of alternative communities, fostered in the virtual domain. What this could possibly lead to are a totally new ways in which the characteristics and identities of our cities are shaped in the future, by communities empowered through the Internet. While this projection would greatly benefit from further exploration of the subject matter, we can be assured that the second life of communities has only just begun.

references: 1. Howard Rheingold , The Virtual Community (AddisonWesley, 1993):p.5. 2. Ibid 3. Linda Carroli, “Virtual Encounters: Community or Collaboration on the Internet” Leonardo, Vol. 30, No. 5 (1997): p.359. 4. Elizabeth Grosz, “Cyberspace, Virtuality ans the Real Some Architectural Reflections” in Architecture from the Outside: Essays on Virtual and Real Space by Elizabeth Grosz (Cambridge: MIT Press, 2001):p.80. 5. Ibid.,p.81. 6. Kaichiro Morikawa, “Learning from Akihabara: The Birth of A Personapolis” Wissenschaftliches Kolloquium, Volume 19 Number 22 (2007): p.123. 7. Ibid., p.124. 8. William M. Tsutsui, “Nerd Nation: Otaku and Youth Subcultures in Contemporary Japan” Education About Asia, Volume 13 Number 3 (2008): p.14. 9. Ito, Fandom Unbound, p.xiv. 10. Morikawa, “Learning from Akihabara: The Birth of A Personapolis” 11. Ibid 12. Rem Koolhaas “Definitive Instability: The Downtown Atheltic Club” in Rem Koolhaas, Delirious New York: A Retroactive Manifesto for Manhattan New ed. (New York: Monacelli Press,1994):152-159

13. Morikawa, “Learning from Akihabara”, p.124. 14. Ito, Fandom Unbound, p.xxiv. 15. Ibid 16 Morikawa, “Learning from Akihabara: The Birth of A Personapolis” 17 Morikawa, “Learning from Akihabara”, p.124. 18 Patrick Galbraith, “Akiba on the Run” Metropolis (Japan) (February 2008):p.15. 19 Nabuoka, “User Innovation ”, p.212 20 Rem Koolhaas “Definitive Instability: The Downtown Atheltic Club” in Rem Koolhaas, Delirious New York: A Retroactive Manifesto for Manhattan New ed. (New York: Monacelli Press,1994):152-159 21 Morikawa, “Learning from Akihabara”, p.124. 22 Ito, Fandom Unbound, p.xxiv. 23 Ibid. 25 Harold DeRienzo,. The Concepts of community: Lessons from the Bronx. (Vimodrone: IPOC di Pietro Condemi, 2008),p.223. 27 Tsutsui, “Nerd Nation”, p.17. 28 Saskia Sassen, “Locating Cities on Global Circuits” in Global Networks, Linked Citie, edited by Saskia Sassen (New York: Routledge, 2002):p.1-34.

83


“What this could possibly lead to are a totally new ways in which the characteristics and identities of our cities are shaped in the future, by communities empowered through the Internet.“ Ahmad Nazmi, Dam Hee Kim, Ya Han Tu


TRACES by Insan Kamil Muhammad

ESSAY ENGLISH Architecture and Kampong, Community Traces, Local Intelligence

Disaster often becomes a reason to form a community. However, the communities living in informal settlements that vulnerable to disasters are highly adaptive to the changes in the surrounding environment. They develop a local intelligence to deal with the problems in daily life.


edisi #9: Komunitas

When did I hear the word “community”? I do not remember. But, what I do remember is how it sounds.Wholesome, familial and conveying a sense of belonging. In other words, it sounds good! In the absence of a greater narrative and direction in the act of doing (and the act of designing), the idea of ”community” seems to answer the missing “why” . But why must it be?

86


ruang | kreativitas tanpa batas

In his book Sociology: A Brief but Critical Introduction (1983), Giddens recalled Tönnies (1887) on distinguishing elements between ”community” (Gemeinschaft) and ”association” (Gesellschaft). While the former denotes cohesiveness dominated by ”spontaneous self-expression”, the latter brings impersonal yet instrumental social relationship. Any group of people may belong to one, and the individuals within may form another bond with another set of groups. But the distinctive quality of community is the sense of purposefulness that reflects a common basic (or even instinctual?) unity of will an implicit endorsement of individual diversity within a set of group. Disasters often become a point in time when people find their commonalities to overcome the disaster itself and to rebuild their community. To put it simply, their (the article will unfolds how problematic the word ‘they’ is) desire to rebuild is a shared aspiration that bonds the individuals. However, where and how they take their aspiration is another matters, but the genuineity of purposefulness is there, and thus the sense of community is born. The above mentioned argument was clearly proven in Bukit Duri and Kampung Pulo during the massive flood in the late 2013 in Jakarta. I took the opportunity Satellite view of the flooded area in Bukit Duri and Kampung Pulo. (Map adapted from Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), 2013)

87


edisi #9: Komunitas

88

Diagram of food and aid delivery into Bukit Duri. (Source: Kamil, 2014)


ruang | kreativitas tanpa batas

to volunteer in logistics distribution in the area. And the event unfolds. On that day, the area along the main road of Jl. Jatinegara is surrounded by people from media, long stretch of ad-hoc emergency evacuation points and public kitchens (among them are associated to political parties). The formation was located outside the actual flood site. Yet, it relays an image of a disastrous environmental effect, as well as people’s reaction to it that, unfortunately but rightly, befalls upon unified bodies of the helpless, needy and powerless. However, this is far from the truth. There were numerous impressive attempts to mitigate the disaster from within, particularly the efforts by Ciliwung Merdeka (for which I volunteered). Although their roles were quite ambiguous, yet the sense of leadership was present. Volunteers are freely partakes in any role that motivates him/her. Fortunately, it was not a chaos, in fact, it is applied quite evenly throughout the volunteers. It is also coupled with pro-active involvement of many of Bukit Duri and Kampung Pulo young people who are well versed in their areas. It somehow resembled what Orwell wrote in his book Homage to Catalonia (1938) that ‘revolutionary’ discipline depends on political consciousness – an understanding of why orders must be obeyed. At the spatial level, as commonly seen in informal settlements, Bukit Duri and Kampung Pulo settlements are highly adaptive. One particular local intelligent is the use long stretch of ropes tied connecting different houses at different levels and zigzagging along the street. The rope serves two practical purposes. First, its purpose during major floods. The water level often rise to up to 3 meters off the street, which submerges all single storey houses and left only the upper floors. The rope acts as a guide to help the rescue boat to deliver food and emergency kits to people who are trapped in the upper floors of their houses. Moreover, it helps to define the structure of the built environment. It is crucial for people who are not familiar with the area that may find difficulties to discern the environment, especially during the night due to the extremely low availability of street lamps. Thus, it is not a coincidence that the rope is bright red in colour. Additionally, it also helps to maintain stability against the water current. The second practical purpose is as a collective clothes hanger to dry when the flood subsides. Thus, the presence of the rope is increasing already

89


edisi #9: Komunitas

The red rope traversing above the street. (Source: Kamil, 2014)

90

intensified community togetherness on the street. It was perhaps an ad hoc decision – an improvisation to brace for what has become a routine. Ad hocism described as the tendency to establish temporary and improvisational procedures to deal with specific problems. It is a common framework in spatial expansion within informal settlements context. In Bukit Duri and Kampung Pulo, the street appears to be the generator of activities. The river is less so. The scale and interfaces of the houses reflect the fluctuating street intensity. No structures towers the street, and the combination of upper floors (balcony) and lower level (front porch) activities creates a volumetric inter-relationship that fills the public space. The amalgamation of different ideas without a particular aesthetic direction characterise the area. It is a layer upon layer of intervention, a process of continual addition and erasure. A palimpsest.


ruang | kreativitas tanpa batas

Typology of street and river interfaces in Bukit Duri and Kampung Pulo. (Source: Kamil, 2014)

There is a highly functional order in what appears to be chaos. And here lies the difficulty: how does one design for community? My problematic use of the word “they” earlier signifies detachment. Communities are certainly of many types, and the above is just one example. But the point is that design arises out of a common understanding and purpose of why certain things must be done, hence its potential result in an aesthetic of patchwork. It is worth comparing this briefly, though, to the development of Modernism that has dogmatically pervades the design discourse: the singularity of authorship that results in fixed aesthetic and spatiality. If one is about the individual genius, the other is about the collective agency. If one sees a client, the other sees stakeholders. The aesthetic is one thing. By just looking at the flood, the missing “why” in the first question is to reveal that “community” is no longer a singular entity to design for, but a living condition comprised of a diverse set of networks

91


edisi #9: Komunitas

92


ruang | kreativitas tanpa batas

93

A street view of Bukit Duri. (Source: Kamil, 2014)


“There were numerous impressive attempts to mitigate the disaster from within, particularly the efforts by Ciliwung Merdeka. Although their roles were quite ambiguous, yet the sense of leadership was present.� Kamil Muhammad Kamil Muhammad


Secangkir Teh Bersama Johan Silas : Peran Bisnis dan Komunitas untuk Kota oleh Yusni Aziz

WAWANCARA INDONESIA Kampung, Kota, Perencanaan Partisipatif, Arsitektur

Johan Silas, penggagas KIP (Kampung Improvement Program) dan peraih Habitat Scroll of Honour dari UN Habitat, memberikan perspektifnya bagaimana kepentingan bisnis dan komunitas harus saling bersinergi untuk kemaslahatan masyarakat kota.


edisi #9: Komunitas

96

Ia duduk tenang di kursi kayu berlapis kulit itu. Di ruang tamu yang penuh cinderamata dan penghargaan perjuangannya. Matanya memandang tegas. Posturnya masih tegap untuk orang seusianya. Sesaat ia terhiraukan oleh perempuan muda berparas indo yang datang membawa teh untuk kami. “Terima kasih�, ujarnya. Lalu kami melanjutkan pembicaraan.

Namanya Johan Silas, salah satu tokoh arsitektur Indonesia yang aktif di bidang permukiman dan kota. Di tahun 2005, Ia memperoleh penghargaan Habitat Scroll of Honour dari UN Habitat atas kiprahnya selama bertahuntahun dalam menyediakan rumah yang terjangkau untuk kaum miskin. Ia termasuk salah satu pencetus KIP (Kampung Improvement Program) dan juga aktif dalam rekonstruksi paska gempa dan tsunami di Aceh dan Nias.


ruang | kreativitas tanpa batas

Y: Menurut bapak, untuk apa dan siapa profesi arsitek dan arsitektur itu sendiri?

JS: Jika dilihat dari proses perkembangan, arsitektur itu kan sebenarnya karya masyarakat. Sebagai contoh, mari kita lihat arsitektur tradisional. Ada pemimpin dalam pengerjaan arsitektur tradisional, misalnya ada undagi di Bali. Mereka hadir bukan sebagai ahli ilmu pengetahuan, melainkan ahli dalam menjaga aturan-aturan adat yang sudah ada. Arsitektur tradisional itu dimulai dari sebuah keinginan. Setelah ada keinginan biasanya mereka mulai mengumpulkan resources­dari sekitar daerah tinggalnya. Dari situ kemudian mereka membentuk bangunan yang menurut mereka sedang diperlukan waktu itu.

Johan Silas menyambut saya di kediaman pribadinya. ŠYusni Aziz

Lampu hijau menyala ketika saya utarakan ajakan berbincang untuk mengisi RUANG edisi Komunitas. Akhirnya siang itu, ia menyambut saya di kediamannya yang hangat. Dalam tutur kata yang lembut, ia membagi ilmu dan pengalamannya dengan cuma-cuma. Yang didalamnya banyak tersirat harapan untuk generasi muda Indonesia.

Pasti terjadi banyak kegagalan.Tapi dari sini mereka mencari penyebab dan berusaha menghindari kegagalan berikutnya. Nah, pengalaman inilah yang menjadi dasar terbentuknya aturan. Pada saat itu belum ada pendekatan rasional dan filosofis, maka aturan tersebut selalu dikaitkan dengan kepercayaan. Keterkaitan dengan budaya dan agama ini juga membuat aturan yang sudah baik itu tidak mudah dilanggar. Namun, tidak berarti arsitektur tradisional itu beku. Setiap kali proses berulang, selalu ada tambahan baru dan peluang untuk dikembangkan. Arsitektur mengikuti keadaan dan kepentingan hidup manusia. Saya kira arsitektur muncul sebagai “ilmu� pada saat renaissance. Era itu

97


edisi #9: Komunitas

menyebabkan orang mulai berpikir dan melakukan rasionalisasi. Dari situ kemudian ilmu pengetahuan, termasuk arsitektur, lepas dari ikatan agama dan budaya. Jadi pada dasarnya arsitektur itu adalah sebuah produk untuk memenuhi keinginan manusia yang bersifat budaya. Saat budaya berkembang, arsitektur berkembang. Tapi kemudian dalam perjalanannya arsitektur dan budaya ditarik dan dikaitkan oleh agama dan kekuasaan. Inilah yang kemudian melahirkan arsitektur yang terlepas dari harkatnya yaitu masyarakat. Lalu akhirnya timbul dua aliran arsitektur, yaitu yang terlepas harkat dan menjadi bidang kerja keprofesian arsitek dan arsitektur yang masih dikerjakan masyarakat sendiri.

Kalau kita memang memahami ide backlog, apa yang akan kita lihat? Di terminal bus numpuk orang, di stasiun kereta api numpuk orang, itu backlog. Tapi itu kan harus diselesaikan, dan sekarang sudah tidak ada lagi penumpukan di terminal bus, stasiun kereta api, atau bandara. Jadi konsep backlog itu salah kaprah atau sengaja tidak dimengerti untuk kepentingan tertentu. Tapi itu adalah hakikat di lapangan, dan tinggal individu lebih cenderung kemana. Kecenderungan pada yang punya modal atau dia ingin dekat dengan masyarakat untuk membangkitkan mereka.

Seperti di Surabaya, kampung-kampung bahkan bisa lebih bagus dari yang disebut low cost housing-nya pemerintah. Jadi artinya masyarakat itu sebetulnya Pertanyaan yang mungkin menarik punya potensi, dan mereka tidak perlu itu jika mau berbicara arsitektur, yang menunggu bantuan pemerintah. mana?

98

Kata arsitektur juga muncul tadi karena pemisahan, dari proses semula yang ada di masyarakat menjadi proses di kalangan elit. Sah-sah saja jika ada dua aliran. Ini ada di semua bidang, misalnya perumahan. Banyak statement mengenai perumahan yang sebenarnya adalah bukan perumahan yang dimiliki masyarakat. Di Indonesia, saya kira sekitar 80-85% rumah yang digunakan masyarakat hadir tanpa pelayanan seorang arsitek. Munculnya ide housing backlog itu berangkat dari anggapan bahwa rumah itu yang benar adalah yang buatan swasta, bukan dibuat oleh masyarakat. Padahal 85% rumah yang ada adalah dari masyarakat.

Y: Tapi menurut bapak, apakah seorang arsitek harus menyeimbangkan diri untuk aktif dalam kedua aliran tersebut?

JS: Saya kira penyeimbang itu adalah pasar. Misalnya sekarang pasar bergeser menuju ke bagian high end dan middle class, karena munculnya the new middle class menunjukkan sebuah kekuatan baru. Sebagai illustrasi adalah budget airlines seperti Air Asia. Meskipun pesawatnya jenis terbaru, tetapi yang dilayani adalah rakyat kecil. Handphone sekarang juga bukan milik kelompok atas saja. Di sini menurut saya letak asli arsitek itu, customer­-nya tidak hanya kelas atas tapi juga kelas menengah kebawah. Kita mau melihat dunia ini dalam kacamata


ruang | kreativitas tanpa batas

99

Menurut Johan Silas, sekitar 80-85% rumah di Indonesia hadir tanpa pelayanan arsitek. ŠChristopher Little


edisi #9: Komunitas

yang sempit atau melihat dunia ini dalam sebuah perspektif yang luas dengan berbagai warna. Y: Sebagai contoh, Shigeru Ban adalah pemenang Pritzker Prize yang berpraktik secara komersil tapi juga menjalankan proyek kemanusiaan. Menurut bapak apakah arsitek komersial harus memiliki misi sosial seperti ini?

JS: Saya melihatnya agak sulit, kecuali jika yang dilakukan benar-benar berpihak ke masyarakat. Banyak yang menggunakan - teknologi bangunan terbaru dan tercanggih, namun tidak memiliki perhatian terhadap masalah masyarakat. Jika kita harus melayani rakyat kecil, tidak harus dengan pola pikir kasihan. Mereka tidak minta dikasihani. Mereka minta diberi kesempatan yang sama seperti semua, buktinya mereka bisa bangkit sendiri.

100

Jadi menurut saya, seorang arsitek sebaiknya memilih. Tetapi tidak dengan anggapan bahwa saya adalah arsitek besar, maka saya merasa kasihan. Kita bisa melayani rakyat kecil secara bisnis, contohnya Air Asia itu tadi. Jadi jika saya melihat ada aliran-aliran, ini masih belum nampak dalam pelayanan arsitektur. Sekarang kondisi sudah sangat berkembang, dan membentuk ide yang hanya dimengerti oleh arsitek sendiri sudah bukan masanya. Jadi saya setuju sekali jika anda mengatakan bahwa RUANG diusahakan sebanyak mungkin orang bisa men-download, untuk memperluas kesempatan membacanya. Sedikit berbicara tentang konservasi, semua bangunan cagar budaya sudah menjadi milik kita, termasuk bangunan belanda. Like it or not itu adalah sejarah. Tapi kita juga harus forward looking. Saya sering mengkritik, apakah Gubernur JawaTimur masih harus tinggal di rumah


ruang | kreativitas tanpa batas

yang dibangun Daendels? Di mana untuk membangun itu dia membakar dan merusak Keraton Surabaya. Dia ingin menghilangkan kekuasaan Jawa, dengan menghilangkan simbol. Kenapa tidak membangun kantor atau rumah karya anak bangsa, kemudian bangunan itu jadi museum saja?

sebenarnya media.

JS: Iya. Kita bisa belajar dari Steve Jobs, Microsoft, atau Air Asia yang bisa merubah trend. Masalahnya tinggal mau dan berani tidak? RUANG berani tidak keluar dari keterikatan seperti itu? Sebagai arsitek yang katanya mengampu budaya, apa kita hanya mau Kita merdeka. Kenapa kita masih menjadi kaya tetapi tidak peduli? memakai simbol penjajahan itu? Baiknya kita meneruskan cita-cita Kenapa tidak seperti Air Asia yang kemerdekaan, bukan kepentingan dan memiliki pesawat paling modern tetapi keinginan sejarah Belanda. Kembali lagi menyesuaikan pelayanannya kepada disini peranan arsitek sebaiknya ada semua lapisan masyarakat. Make them unsur nasionalisme yang perlu kita happy. bangun. Lihat saja perumahan mewah di sekitar surabaya yang bergaya Tidak benar jika kita meninggalkan klasik, dan sebagainya. Itu bukan 100% laba maka kita akan gagal. Lihat salahnya arsitek, tetapi dia mengikuti saja Steve Jobs yang memberontak keinginan owner. Namun kita sebagai akhirnya dipecat, tapi ujung-ujungnya arsitek, demi laba tetap dikerjakan saja. memang dia yang benar. Jika dia tidak memutuskan untuk membongkar Y: Tapi bukankah owner hanya Apple yang dulu, kita tidak akan punya mengikuti yang digalakkan oleh - Apple yang sekarang. Perombakanmedia, Pak? Jadi akar penentunya perombakan itu yang harus dilakukan

101

Rumah dinas Gubernur Jawa Timur. ŠWikipedia


edisi #9: Komunitas

di bidang arsitektur. Jika Garuda itu isinya business class semua tanpa economy, akan bangkrut dia. Sebaliknya jika kita melayani economy class tanpa business bisa tetap untung, seperti Lion Air atau Air Asia. Disana adalah kesempatan kita untuk membantu middle class menjadi bermutu, kuat dan maju. Bukan hanya ngurusin desain bergaya aneh-aneh itu. Misalnya ada rumah yang seperti dari jaman kaisar Nero, untuk apa? Kenapa tidak baju dan kendaraannya sekalian? Seperti ada split personality, apakah arsitek mau menjadi seperti itu? Harusnya kan tidak.

bayar yang aneh-aneh dan ekstra. Jika kembali ke middle class, restoran besar di Surabaya banyak yang asalnya dari Pedagang Kaki Lima (PKL). Mereka bisa berdiri sendiri. Mereka kan tidak jual steak, tidak jual pasta, hanya soto lamongan, pecel madiun, dan laku. Kelas menengah seperti itu banyak. Tetapi dia tidak bisa dipaksa disuruh bayar yang dia tidak merasakan.

Y: Jadi sebetulnya sektor informal seperti PKL itu dibutuhkan oleh kota. Karena pembangunan kota sangatlah formal, dengan gencarnya perumahan swasta atau bangunan mixed use. Pemerintah seakan masih belum melihat pentingnya sektor ini. Bagaiman Y: Kemudian untuk perencanaan menurut bapak? partisipasi yang melibatkan masyarakat, bagaimana dengan JS: Sebenarnya jika ditinjau kembali, konteks Indonesia? Apakah kita sudah cukup melek untuk itu dan sektor-sektor itu tidak semuanya kalau dituruti apakah mereka informal. Kampung itu tidak dibuat tanpa perencanaan, buktinya ada jalan cenderung meminta lebih?

102

JS: Sebetulnya tidak juga. Misalnya di Nias mereka bisa mengikuti target kita dalam setahun anggaran, jadi harus selesai pembangunannya. Meski rumah adat yang besar itu tidak bisa 100% selesai, dan itu tugas mereka sendiri untuk menyelesaikan. Menurut saya yang penting kita percaya bahwa mereka bisa mendesain. Di Nias, bantuan kita hanya 65 juta meskipun saya tahu bahwa rumah itu akan memakan lebih dari 100 juta. Mereka sadar dan mereka juga menyiapkan rencana kerja. Akhirnya semua juga bisa selesai sesuai jadwal.

dan sebagainya. Kampung itu juga tidak dibuat tanpa izin bangunan, meski hanya izin masyarakat. Jika bikin rumah, apa berani jika tidak selametan? Selametan itu kan meminta persetujuan tetangga. Jika mereka tidak setuju, mereka tidak datang, dan sebaliknya. Itu kan sama. Y: Bagaimana dengan formalitas yang terkait dengan birokrasi?

JS: Yang harus dirubah ya birokrasinya, bukan orangnya. Seperti perumahan 80% dari rakyat yang tadi harus diwadahi pemerintah. Pada kenyataannya penambahan itu tidak ada, jadi kita anggap backlog. Angka yang dipakai Sama seperti Air Asia, jika tidak bawa media pun masih angka lama, yang bagasi kenapa bayar bagasi, jika tidak masih tidak masuk akal. Misalnya hari ini makan kenapa bayar, jadi jangan backlog足足-nya 7 juta, seminggu kemudian


ruang | kreativitas tanpa batas

Diskusi bersama warga dalam program Musrenbang. ŠSolokotakita

15 juta.Tetapi tidak ada yang melakukan juga punya di Surabaya. Anda bisa hadir cek dimana itu 7 atau 15 juta berasal. langsung atau melalui online. Jadi kota menyediakan anggaran yang bisa dikelola Kemudian arsitek itu juga harus berani masyarakat melalui program ini. Surabaya blusukan. Anda tidak bisa jadi arsitek sudah lama punya dan menganggarkan hanya tinggal di ruang kelas. Anda sekitar 750 juta per kelurahan. Program harus mengerti di mana dan apa yang ini bagus, cuma di banyak tempat seakan diinginkan oleh masyarakat. Mereka hanya menjadi formalitas saja. Di sini yang tinggal di perkampungan itu jenius musrenbang-nya sudah dikemas dan karena masih tetap bisa survive meski diawasi ketat pemerintah kota. Sehingga dalam tekanan atau ancaman. Jokowi mereka juga menjadi pelancar kegiatan. juga sudah melakukan blusukan, dan makin serius seperti walikota Surabaya. Kemudian mengenai PKL tadi, mereka itu Blusukan itu untuk silaturahmi. Dari penting. Di Surabaya sudah ada sekitar tiap blusukan itu dia bisa tahu siapa 30 cluster PKL. Jika mereka PKL makanan rakyatnya. maka diletakkan dekat keramaian, tetapi jika bukan PKL makanan ada di dekat Y: Mengenai Jokowi, menurut tempat parkir. Jadi sebetulnya Surabaya bapak program Musyawarah sudah berbuat banyak, tetapi kita tidak Perencanaan Pembangunan gila publikasi. (MUSRENBANG)[1] Solo Kota Kita itu apa sudah baik atau Y: Sepertinya Surabaya juga perlu diperbaiki ? memiliki potensi kampung yang baik namun seperti kurang JS: MUSRENBANG ini bagus, kita dipublikasikan. Kenapa seperti itu?

103


edisi #9: Komunitas

Salah satu sudut kampung Peneleh, Surabaya. @Yusni Aziz

104

JS: Ya silakan saja, kita open kok. Namun jika kita harus membayar publikasi tersebut seperti Jokowi, ya jangan. Jangankan publikasi, pasang foto saja bu Risma tidak mau. Coba keliling Surabaya, di mana fotonya? Mungkin di kampung karena ada inisiatif warga. Jika kota ingin mempublikasikan kan tentu tidak gratis. Dan sebetulnya sudah ada beberapa media yang meliput Surabaya dan walikotanya. Y: Kembali ke MUSRENBANG, berarti program ini sangat diperlukan oleh kota?

JS: Menurut saya itu perlu sekali. Saya ambil contoh Surabaya. Di kota ini,

perencanaannya sudah sampai RT – RW. Jadi benar-benar hingga ke layer terbawah. Permasalahannya biasanya di definisi structure plan yang akan dibuat itu. Apa mungkin plan ini hanya menyangkut unsur utama dari kota? Menurut saya, ketika struktur kota hanya mengatur hal-hal yang penting, infill-nya harus fleksibel. Karena kita tidak bisa memprediksikan masa depan, maka sebaiknya setiap 5 tahun infill boleh berubah. Tetapi struktur utama seperti jalan, saluran, bentuk kota harus tetap. Sebetulnya di masa depan, kota Indonesia baiknya menjadi seperti kota-kota Jepang. Y: Kenapa harus Jepang?


ruang | kreativitas tanpa batas

JS: Karena di Jepang budaya lokal dan lifestyle global masih bisa tetap eksis bersama. Tempat sesajen masih ada, meskipun yang dahulu menggunakan makanan segar sekarang diganti makanan kaleng. Master bedroom masih menggunakan tatami, meski dapur, kamar mandi atau kamar anak sudah modern. Esensi itu yang harus kita pakai. Yang berubah adalah teknologi.

dan kota itu saling membutuhkan. Di kampung, orang dari luar kota mulai membangun kehidupannya. Tentu ada yang gagal, tapi banyak juga yang berhasil.

Kita perlu kampung. Karena masih ada orang miskin yang ingin mengembangkan diri. Tapi apakah kita perlu membentuk kampung baru? Menurut saya tidak. Kampung itu dibentuk masyarakat sendiri. Jika mereka merasa perlu maka Mereka juga kaya sekali, namun mereka akan berusaha lagi. apakahnya rumahnya mewah-mewah dan bertingkat? Enggak. Indonesia Jika kembali ke Jepang, di Kyoto kedepan harus seperti itu. Belajar saja kampung-kampungnya masih sangat dari Jepang. dijaga. Budaya kekeluargaan di dalam kampung pun masih ada. Sekarang saya Y: Jadi disini apakah peranan tanya, bagaimana budaya suatu kota bisa arsitek menjadi penting juga didapat dari real estate? untuk mengarahkan visi kota kedepan pak?

Yang membuat budaya kota itu kan kampung. Jika tidak ada kampung, siapa JS: Pasti. Jadi pengetahuan itu akan yang memutuskan budaya kotanya. dibawa oleh arsitek. Tetapi arsitek tidak Jadi menurut saya, selama masyarakat menganggap dia yang paling tahu, dia masih memerlukan kampung, adalah masih perlu masyarakat. tugas pemerintah untuk menjaga dan memperbaiki kampung tersebut. Y: Jadi sebetulnya arsitek dan arsitektur bisa membantu mengarahkan masa depan dan budaya. Mengenai budaya sendiri, gotong royong yang sudah mengakar di kita berasal dari kampung. Tapi kampung seakan stagnan, tidak tumbuh lagi. Apakah menurut bapak kita memerlukan kampung baru atau bagaimana?

JS: Sekarang di Surabaya kampung sudah jauh lebih bagus dan berkembang, bahkan lebih bagus dari perumahan swasta. Kampung akhirnya tidak sesuai dengan istilah “kampungan� yang dulu suka digaungkan. Kemudian kampung

Surabaya bisa maju dan kampungnya masih banyak. Bahkan kampung di kota menjadi cagar budaya, termasuk namanya. Anda tidak boleh mengubah nama kampung. Berbeda seperti Yogya, dimana nama-nama tradisional dihilangkan. Itulah warna khas dari kota-kota kita. Coba kita lihat kota-kota baru, seperti Alam Sutera, BSD. Apakah bisa bertemu budaya Betawi? Tidak ada. Di sini pelaku tari remo, reog masih ada di kampungkampung. Itu yang memberi ciri khas, tanpa itu tidak akan bisa bersaing. Hanya akan menjadi kota yang generik.

105


KOMUNITAS VOL

RE


LUME 2

EFLEKSI


edisi #9: Komunitas

108

RUANG KREATIVITAS TANPA BATAS ©2014


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.