Ruang#11 fiksi volume 1 cermin

Page 1

# 11 FIKSI cermin rorrim

RUANG Endhy Prasetyo - Christian Parreno - Hiroki Muto - M. Shamin Sharum Avianti Armand - Laras Primasari - Tania Chumaira - Annisa Nur Ramadhani Yusni Aziz - Savitri Sastrawan - Nazmi Anuar - Shreyank Khemalapure

juli 2017


edisi #11: Fiksi

2


RUANG #11: FIKSI v o l. 1 : Ce r m i n tidak akan terwujud tanpa kontribusi dari: Endy Prasetyo Christian Parreno Hiroki Muto M Shamin Sharum Avianti Armand Laras Primasari Tania Chumaira Annisa Nur Ramadhani Savitri Sastrawan Yusni Aziz Nazmi Anuar Shreyank Khemalapure


RUANG

PEMBUKA Fiksi adalah cerita rekaan, penuturan subyektif tentang hasil imajinasi yang berakar dari fakta. Ia diasosiasikan dengan “ketidaknyataan” dan “kebohongan”, sementara fakta terkait dengan “kenyataan” dan “kebenaran”. Sepanjang sejarah, karya fiksi terbukti mampu mendorong batas imaji ruang dan pemikiran di sebuah jaman. Seperti bagaimana Archigram mengenalkan kota yang dapat bergerak atau pemikiran utopis para Metabolis yang mendorong lahirnya Nakagin Capsule Tower diTokyo. Edisi kesebelas RUANG ini berangkat dari pertanyaan kami tentang apa yang akan terjadi jika hubungan arsitektur dan fiksi didekatkan kembali dalam diskursus arsitektur. RUANG sangat berterima kasih atas respon positif para kontributor dari dalam dan luar negeri yang ikut mempertanyakan, membahas, atau bahkan meredefinisi kembali pertanyaan tersebut; dan menerjemahkannya dalam sebuah karya. Sebanyak sebelas dari total sembilan belas artikel akan mengisi volume 1:“Cermin”. Endhy Prasetyo akan membuka volume “Cermin” dengan “Realitas Arsitektur Fiksi”. Ia membahas batasan realitas, arsitektur, dan fiksi; serta hubungan di antara ketiganya. Selanjutnya Christian Parreno bercerita bagaimana fiksi, yang dilihat sebagai sesuatu yang nyata, telah mendasari proses mendesain dan diskursus arsitektur melalui “Fiction as Truth in Architecture”. Hiroki Muto kemudian membahas apa yang fiksi telah lakukan pada kota melalui “Fictional City”. Dilanjutkan oleh M. Shamin Sharum, melalui “Media Fiction / Media Futures”, yang melihat bagaimana media dewasa ini telah memberi kesempatan bagi pengguna untuk menikmati peran ksional sebagai arsitek. Tim RUANG juga berkesempatan untuk mewawancara Avianti Armand, arsitek praktisi yang juga terkenal lewat karya-karya fiksinya, dalam “Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur”. Setelah itu, Laras Primasari menyelidiki bagaimana drama dan idealisme sebuah proyek dapat saja gagal jika tidak ada dukungan politik di baliknya melalui “From Mies, For Detroit”. Sesudahnya, Tania Chumaira mengkritisi tren hunian masa kini yang sebetulnya didominasi oleh ruang virtual lewat “Distopia Hunian Kekinian”. Masih dalam konteks tempat tinggal, Annisa Nur Ramadhani memeriksa eksistensi ruang sosial dalam rumah susun melalui “Ruang Sosial dalam Rumah Susun: Fiksi(kah)?”. Yang dilanjutkan oleh pengamatan Yusni Aziz tentang workshop Alter Shelter yang menggunakan fiksi untuk mengkritisi isu hunian. Savitri Sastrawan lalu menceritakan bagaimana arsitektur telah memicu mimpi dan memorinya di “My Dream – Architecturally”. Dan sebagai penutup, Nazmi Anuar dan Shreyank Khemalapure akan mendiskusikan bagaimana karya Mies van der Rohe ditampilkan di berbagai film lewat “Mies at the Movie”. Melalui edisi ini, kami mengajak pembaca untuk lupakan sejenak klien, keterbangunan, konteks ataupun tektonika; mari kita berandai-andai atas ruang dan kota. Selamat menikmati RUANG!


ISI

vol.1: Cermin

8

Realita Fiksi Arsitektur

esai Endy Prasetyo

20

Fiction as Truth in Architecture

26

Fictional City

32

Media Fiction

40 esai

Antara Fiksi, Kritik, dan Arsitektur

52

From Mies, From Detroit

60

Distopia Hunian Kekinian

66 esai

Eksistensi Ruang Sosial dalam Rumah Susun: Fiksi(kah)?

essay Christian Parreno essay Hiroki Muto

essay M Shamin Sharum

Avianti Armand

essay Laras Primasari

esai Tania Chumaira

Annisa Nur Ramadhani

78

Alter Shelter

88

My Dream - Architecturally

98

Mies at the Movies

esai Yusni Aziz

essay Savitri Sastrawan

essay Nazmi Anuar & Shreyank Khemalapure


K O N T R I B U T O R ENDY PRASETYO Lulus dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember tahun 2007 dan menjadi staff pengajar pada tahun berikutnya. Minat yang mendalam dalam arsitektur konseptual dan manifestasinya telah membawa ia memimpin studio arsitektur eksperimental dari 2014 yang menekankan pada pemikiran kritis pada arsitektur sebagai masalah konseptual. Dia menolak untuk percaya adanya batas antara konsep dan perwujudan dalam arsitektur. Saat ini ia memulai penelitian tentang pendekatan teoritis terhadap arsitektur sebagai masalah konseptual. Mendirikan ordes arsitektur adalah tindakan nyata untuk lebih jauh membaurkan batas antara akademis dan praktek dalam arsitektur. CHRISTIAN PARRENO is a Research Fellow and PhD candidate at the Oslo School of Architecture and Design, investigatin the relation between boredome, space, and modern architecture. His research, published in this issue, has been carried out partly at the Bartlett School of Architecture and at the University of California, Los Angeles. He holds an MA in Histories and Theories from the Architectural Association, and a degree in Architecture from Universidad San Fransisco de Quito.

EP

CP

HM

MSS

HIROKI MUTO Born in 1983, Nagano, Japan. He finished his bachelor in Department of Science and Engineering at Waseda University and then continued his Graduate School of Creative Science and Engineering at the same institution. From 2011 to 2013, he had the opportunity to continue his study at Berlage Institute, the Netherlands. Currently, he is one of the partners of theWorkshop,inc. M SHAMIN SHARUM A partner at no-to-scale studio and founding partner of Sesiseni. Shamin created these platforms as a way to mediate between architecture and other fields such as writing and fabrication. He also writes in his spare time and finds no differentiation between the word count on Word or the black background on AutoCAD. Obtained a MArch RIBA Pt. 2 from the University of Greenwich, London specializing in design curation, exhibitions and creative publishing. Currently based in Kuala Lumpur, Malaysia.


AA

ARVIANTI ARMAND Arsitek, kurator dan penulis yang telah melahirkan berbagai karya. “Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian” miliknya memenangkan Cerpen Terbaik Kompas tahun 2009. Dua tahun kemudian, “Perempuan Yang Dihapus Namanya” meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Di bidang arsitektur, Rumah Kampung karyanya bersama sang suami, Terry Armand, memenangkan penghargaan IAI tahun 2008. LARAS PRIMASARI lulus dari Arsitektur ITB tahun 2010, lalu memulai karirnya sebagai penulis di IAAW dan ELLE Decoration Indonesia sambil berpraktik sebagai arsitek. Setelah itu Ia memutuskan untuk memperdalam ilmu real estate dan rancang kota di UNSW Australia. Saat ini Laras bekerja sebagai penulis lepas dan asisten akademik di almamaternya di Bandung. Ia sedang tertarik untuk mendalami topik hyperdensity serta studi cross-genre antara real estate dengan morfologi kota.

LP

TC

ANR

TANIA CHUMAIRA adalah peneliti dengan afiliasi Universitas Indonesia yang menaruh minat terhadap ruang, kebertubuhan, serta bagaimana era digital membuat keduanya berubah. Ia juga tertarik akan fabrikasi, analog maupun digital. Hal tersebut memotivasinya untuk melanjutkan studi di The Bartlett School of Architecture di jurusan Design for Performance and Interaction. Fabrikasi selalu membantu Tania untuk menguji hipotesanya terhadap ruang dan manusia melalui model studi 1:1. Ia selalu percaya bahwa ruang adalah proyeksi dari manusia, sehingga segala perubahan lingkung bangun yang ada berasal dari perilaku kita sendiri. ANNISA NUR RAMADHANI adalah mahasiswi arsitektur penggemar wacana dan isu-isu tentang permukiman dan perkotaan. Setelah menyelesaikan studi sarjana arsitekturnya di ITS pada tahun 2016 lalu, saat ini Annisa sedang mengenyam pendidikan pasca-sarjana di kampus yang sama ITS Surabaya.


YA

YUSNI AZIZ Alumnus dari double-degree bachelor program kerjasama antara ITS dan Saxion Hogeschool of Applied Sciences. Kemudian menyelesaikan riset di Berlage Institute pada tahun 2013. Saat ini sedang sibuk dengan riset independen dan mengasuh blog pribadi di www. yusniaziz.com D.A.E. SAVITRI SASTRAWAN is a Balinese nomad, DewaAyuEka Savitri Sastrawan is an ar ts and language freelancer. She is an ar tist, a Bahasa Indonesia - English translator, and currently completing Master s in Global Ar ts at Goldsmiths, Univer sity of London. She previously studied Fine Ar t Painting at ISI Denpasar, Bali and Chelsea College of Ar t and Design, UAL, UK. Her research interest is to explore the interdisciplinar y possibilities in the ar ts and language within the global society and culture .

DSS

NA

SK

NAZMI ANUAR runs the collaborative research and design office Normal Architecture and teaches at the School of Architecture, Building & Design, Taylor’s University, Kuala Lumpur. He believes that architecture should not be limited to the job of designing buildings but should be practiced as a discipline of knowledge and a process of cultural production. He holds a Bachelor of Architecture from UPM, Kuala Lumpur and a Masters in Architecture and Urban Design from The Berlage, Delft. SHREYANK KHEMALAPURE teaches Humanities and History of Architecture at L. S. Raheja School of Architecture, Mumbai since 2015. He also develops projects ranging from architectural research to documentary film making at Room for Architecture mostly in collaboration. He graduated from The Berlage, Center for Advanced Studies in Architecture and Urban Design in 2014.


RUANG Editorial Board : Ivan Kurniawan Nasution Yusni Aziz Rofianisa Nurdin Fath Nadizti Laras Primasari

web : www.membacaruang.com facebook : /ruangarsitektur twitter : @ruangarsitektur tumblr : ruangarsitektur.tumblr.com email : akudanruang@yahoo.com

Segala isi materi di dalam majalah elektronik ini adalah hak cipta dan tanggung jawab masing-masing penulis. penggunaan gambar untuk keperluan tertentu harus atas izin penulis.

Desain sampul: Ivan Nasution


Maria Sheherazade Giudici & Davide Sacconi


REALITA ARSITEKTUR FIKSI Endy Yudho Prasetyo

Apakah itu fiksi, realita dan arsitektur; dan apa hubungan yang terjadi di antara ketiganya. Apa kita sebetulnya butuh arsitektur fiksi? Apa gunanya untuk keilmuan arsitektur? Kenapa eksistensinya masih saja relevan? Dalam tulisan singkat ini, saya akan membahas aspek realita yang ada pada arsitektur fiksi. Terbagi menjadi tiga bagian, saya akan mulai dengan mengajukan pertanyaan kritis mengenai realita, lalu berlanjut ke pembahasan mengenai arsitektur, dan diakhiri dengan elaborasi tentang arsitektur fiksi. Beberapa pembahasan yang termuat merupakan sudut pandang yang saya miliki, dalam hal ini saya lebih berperan sebagai pemerhati amatir akan hubungan antara fiksi dan realita. Meski tidak dapat dipungkiri, sudut

pandang tersebut sudah tertanam dan menjadi bagian dari diri saya ketika berperan sebagai seorang arsitek praktisi dan pengajar arsitektur. Kita mulai dengan pembahasan pertama, apakah sesungguhnya realita itu?. Sebagian mungkin akan menghubungkan kata realita dengan kondisi sekarang dan masa lalu yang sedang atau telah terjadi. Yang telah diterima oleh reseptor panca indera untuk diteruskan ke otak dan diproses sebagai informasi dan pemahaman. 9

Gambar kiri: Plug-in City karya Archigram. Sumber: http://megaestructuras.tumblr.com/ page/10


edisi #11: Fiksi

Urutan proses itu melibatkan dua elemen yang sama penting. Objek atau kejadian yang berlangsung, dan pemahaman oleh subjek pengamat. Satu elemen tersebut tidak akan berarti tanpa bagian yang lain.

Ilustrasi akan perbedaan pemahaman. sumber: pinterest.com, 2016

bingung banyak penonton, karena tipisnya batasan (dan tidak jarang dicampur-adukkan) antara kejadian yang sesungguhnya dengan kejadian yang fiksional. Kontradiksi dan kekacauan tersebut semakin memperkuat persepsi saya akan realita yang sebenarnya.

Dalam A Monster Call, Conor berimajinasi tentang monster pohon raksasa yang membantunya menerima kenyataan bahwa ibunya sakit dan mungkin tidak lama lagi meninggal. Sangat kontradiktif, dimana seorang anak menciptakan sebuah tokoh imajiner untuk membantunya menerima realita. Menariknya, tidak hanya Conor, tetapi saya sebagai penonton juga berhasil disadarkan monster itu bahLalu kemudian muncul pertanyaan, wa dunia ini tidak pernah sempurna. dari kedua hal tersebut, manakah Bad things do happen sometimes. realita itu? Kejadian yang sedang berlangsung, atau pemahaman oleh Pertanyaan yang kemudian timbul, subjek ? apakah sosok monster rekaan tersebut hanyalah fiksi yang bisa kita kesaSeperti ilustrasi di atas, pemaha- mpingkan, atau bagian dari realita? man oleh subjek pengamat dapat sama sekali berbeda antara subjek Hal tersebut dapat dikorelasikan satu dengan yang lain. Kedua orang dengan istilah pseudo-emotion dan itu memiliki pendapat berbeda akan pseudo-reailty. Sebuah emosi dan kenangka yang tergeletak di lantai ka- yataan semu. Seperti saat kita menrena perbedaan sudut pandang. Fak- dapat perasaan menegangkan ketika tanya, angka yang tergeletak hanya menonton film horror atau bermain satu. Oleh karena, itu salah satu dari video game yang penuh monster dan mereka pasti salah. Tapi, apa betul re- darah. Meskipun kejadian tersebut alita adalah sesuatu yang tunggal? tidak secara langsung kita alami, namun ada informasi yang diterima oleh Kata ‘realita’ mengingatkan saya akan otak. Dan kejadian yang dialami otak beberapa judul film yang mencam- kita adalah sebuah kenyataan, meski pur adukan fiksi-imajinasi, dan re- kita mendapatkannya dari sesuatu alita, seperti Big Fish, A Monster Call, yang semu. dan Birdman. Jalan cerita membuat 10


RUANG | kreativitas tanpa batas

Pemahaman realita oleh sensor panca indera telah dibahas Socrates dan diteruskan muridnya, Plato. Menurut mereka, indera fisik yang kita miliki pada dasarnya menghalangi kita untuk memahami kebenaran realita yang sesungguhnya1. Dan realita akan lengkap ketika kita melibatkan apa yang disebut knowledge2.

Sebagai contoh, jika terdapat dua orang yang berdikusi akan kata “jeruk”, bagaimana kita yakin bahwa mereka berdiskusi akan jeruk yang sama? Dengan demikian, kita perlu mempertanyakan akan realita jeruk yang mereka diskusikan. The realm of form yang diyakini oleh Socrates dan Plato merupakan sebuah alam, dimana terdapat data akan pemahaman akan “ke-jeruk-an” sebuah jeruk. Ia dapat dilihat sebagai bank data imajiner yang dimiliki semua orang akan pemahaman objek dan kejadian. Sehingga jika kita melihat atau membayangkan sebuah jeruk, pada dasarnya kita hanya melakukannya pada perwakilan dari sebuah jeruk, bukan jeruk yang sebenarnya.

11

Atas: Monster pohon dalam film a Monster Call. Sumber: alisoneldred.com, 2016 Kiri bawah: Perwakllan sebuah jeruk sumber: google image, 2016 1) Socrates dan Plato berkeyakinan bahwa kebenaran sesungguhnya berada pada alam Form, (The realm of Form) dimana alam tersebut adalah alam abstraksi, bukan alam fisikal yang kita lihat saat ini. 2) Saya yakin bahwa Knowledge yang dimaksud oleh Socrates dan Plato, lebih dekat ke arah kata ‘pemahaman’ ketimbang kata ‘pengetahuan’.


edisi #11: Fiksi

3) Sir Nikolaus Bernhard Leon Pevsner, seorang ahli sejarah arsitektur dan seni menjelaskan pemahaman akan arsitektur dalam buku yang berjudul ‘An Outline of European Architecture’, yang diterbitkan pada tahun 1942.

Plato menyampaikan bahwa kita hendaknya melihat tidak dengan panca indera, namun dengan knowledge. Hal tersebut membawa kita pada pemahaman bahwa realita, sesungguhnya adalah apa yang kita yakini, dengan objek, dan kejadian, yang secara fisik terjadi, berperan sebagai pemicunya. Lalu bagaimanakah dengan realita dalam arsitektur? Sebelum menjawab pertanyaan itu, sebaiknya kita bertanya lebih dahulu tentang apa itu arsitektur. Banyak sekali pendapat berbeda akan kata arsitektur, di samping fakta bahwa kata arsitektur tercipta dari penggabungan dari dua kata dari bahasa Yunani, “chief ” dan “builder”. Secara literal, keduanya dapat diterjemahkan sebagai “kepala tukang”. Pembahasan arsitektur juga tidak bisa lepas dari konsep klasik ‘triad’ arsitektur yang dipaparkan oleh Marcus Vitruvius Pollio (81SM-15). Bahwa arsitektur terdiri dari venustas (keindahan), utilitas (kegunaan), dan firmitas (kekokohan). Tidak mengherankan jika kemudian Pevsner (1942)3 menyatakan bahwa segala jenis naungan atau perlindungan yang memungkinkan manusia untuk beraktivitas di dalamnya adalah bangunan. Dan kata arsitektur ditasbihkan pada bangunan yang dibuat dengan intensi keindahan. Jika kita mengambil kesimpulan sementara bahwa arsitektur adalah sebuah objek fisik berupa bangu12

nan yang memiliki intensi keindahan, maka sesungguhnya hampir mustahil membuang objek terbangun dalam pembahasan arsitektur. Tapi benarkah demikian? Ide bahwa arsitektur sebagai sebuah objek fisik tampaknya sangat bertolak belakang dengan apa yang dikemukakan oleh Peter Eisenman. Ia beranggapan bahwa perwujudan arsitektur sesungguhnya adalah ide. Ide dibalik rancangan suatu objek, sebuah abstraksi, tanpa wujud fisik. Sehingga objek fisik yang dapat kita amati sesungguhnya adalah sebuah media, sebuah wadah dimana ide tersebut tertuang. Eisenman bahkan menyebut bahwa


RUANG | kreativitas tanpa batas

bangunan yang ia rancang sesungguhnya hanyalah model fisik dengan skala 1:14 tidak lebih ‘penting’ dari maket model dengan skala berapapun dalam perannya sebagai media ide. Bahwa arsitektur sesungguhnya adalah hal (ide) yang tertuang di kertas gambar (bukan gambar dan kertasnya) dan bukan pula benda yang terbangun di atas tanah5. Sehingga pertanyaannya bukanlah ‘apakah benda itu adalah sebuah arsitektur?, namun ‘bagaimanakah arsitektur benda itu?.

menuliskan “Model of House II” untuk foto bangunan House II miliknya. Hal itu tampaknya sangat menghibur Eisenman karena foto tersebut secara tidak langsung memaparkan ide Eisenman bahwa objek terbangun tidak lebih adalah sebuah maket model skala 1:1.

Arsitektur sebagai sebuah ide mungkin sebuah gagasan yang tidak mudah untuk diterima. Materialitas, dan proses membangun ide itu juga tidak dapat dipisahkan dari diskursus arsitektur. Namun kemudian sebuah Dalam wawancara bersama Iman pertanyaan muncul di benak saya, Ansari, Eisenman mengatakan salah Apakah seorang arsitek akan hilang satu majalah Prancis tanpa sengaja ke-arsitek-an-nya jika rancangannya tidak pernah dibangun? Hal tersebut mengingatkan saya pada seorang seniman yang juga seorang arsitek bernama Giovanni Battista Piranesi, yang selama hidupnya hanya sempat memiliki satu bangunan yang terbangun. Begitu juga dengan salah satu arsitek eksperimental Lebbeus Woods, yang juga hanya memiliki satu karya terbangun, berupa karya instalasi yang menempel pada bangunan yang dirancang oleh Steven Holl. Apakah Zaha Hadid bukan seorang arsitek sebelum Vitra Fire House terbangun? Apakah Archigram juga hanya sekelompok anak muda yang banyak memiliki waktu luang? Pemahaman Eisenman akan arsitektur nampaknya cukup sejalan dengan Bernard Tschumi. Menurutnya, arsitektur pada dasarnya adalah sebuah bentuk ilmu pengetahuan, dan bukan 13

4) Skala 1:1, saya sengaja menggunakan kata ‘skala 1:1’ dan bukan kata ‘skala sebenarnya’ dikarenakan skala berapapun menurut pemahaman Eisenman adalah ‘sebenarnya’. 5) Wawancara Peter Eisenman dengan Iman Ansari yang dipublikasikan pertama kali pada Hamshahri Architecture di Iran pada tahun 2013.

Keterangan foto: Foto House II, Peter Eisenman. sumber: www. architectural-review. com


edisi #11: Fiksi

6) Bernard Tschumi, Red is Not a Color, 2012 7) Pembahasan mengenai abstraksi arsitektur merupakan pembahasan lanjutan yang pernah saya paparkan dalam topik Dematerialization of Architecture, sebuah paparan singkat pada komunitas deMaya, Surabaya, pada tahun 2012 yang lalu.

bentuk ilmu pengetahuan, dan bukan ilmu pengetahuan akan bentuk6. Pendapat Tschumi memperkuat pendapat Eisenman, bahwa arsitektur adalah hal yang abstrak, dan bukanlah hal yang fisikal, dan materialistik.

“arsitektur fiksi pada dasarnya memiliki esensi yang sama dengan arsitektur yang non-fiksi.� Andrea Palladio (1508-1580) menghabiskan sisa waktu hidupnya untuk menggambar ulang semua bangunan yang ia rancang selama hidupnya dan menuangkan pemahamannya tentang arsitektur dalam buku berjudul “I quattro libri dell’architettura�, atau The Four Books of Architecture. Palladio menyatakan bahwa ia ingin dikenang sebagai arsitek yang merancang bangunan-bangunan yang ada di dalam buku yang ia tulis, bukan sebagai arsitek yang merancang bangunan yang telah terbangun. Ia merasa bahwa gagasan yang ada di buku, jauh lebih murni dibandingkan bangunan yang terbangun. Hal tersebut menurut saya menunjukkan keyakinannya bahwa semakin abstrak media yang digunakan untuk menunjukkan ide arsitektur, semakin murni arsitektur tersebut7.

Dari pembahasan yang saya kemukakan, saya ingin memperkenalkan sudut pandang yang menunjukkan bahwa arsitektur adalah suatu hal yang abstrak, bukan fisikal dan materialistik. Hal tersebut penting untuk disadari sebelum kita membahas topik ketiga, arsitektur fiksi. Arsitektur fiksi mungkin akan mudah

dikorelasikan dengan rancangan arsitektur yang sifatnya eksperimental, spekulatif, dengan konteks sebagai sesuatu yang imajinatif, dengan seting waktu yang tidak mengekang. Kekuatan dari arsitektur tersebut kemudian Kita kembali ke pertanyaan semula, terletak pada pemikiran dan proses apakah arsitektur itu? eksperimen dari sang perancang, dan bisa saja tidak berorientasi kuat pada 14


RUANG | kreativitas tanpa batas

objek yang dihasilkan. Sebuah arsitektur yang bermula dengan pertanyaan “Bagaimana jika?”. Pertanyaan tersebut jelas menandakan bahwa setting dan konteks yang menjadi dasar berpijak adalah sebuah proses imajinasi. Jika kita amati lebih jauh, arsitektur

Archigram, Super Studio, dan Lebbeus Woods adalah sekian dari banyak pionir yang memulai pergerakan akan arsitektur eksperimental. Meski dalam sudut pandang saya, arsitektur eksperimental bukanlah pergerakan arsitektur yang mungkin bisa kita bandingkan dengan arsitektur klasik, modern, dan postmodern. Namun lebih kepada pergerakan untuk mengembalikan peran arsitektur sebagai wadah dari ide dan inovasi. Hal tersebut didukung dengan pernyataan oleh Archigram. Mereka berkiprah di era pesatnya perkembangan teknologi dan peradaban manusia8, yang sayangnya menurut mereka tidak diikuti oleh perkembangan keilmuan arsitektur. Archigram lalu memulai ‘kampanye’ dengan menuangkan ide-ide yang pada masa itu, dan mungkin sampai dengan sekarang, dianggap nyeleneh dalam dunia arsitektur. Salah satu karya Archigram yang fenomenal adalah Moving Cities yang

pada dasarnya tidak pernah lepas dari hal yang bersifat spekulatif, secermat apapun prediksi dan kalkulasi sang perancang. Dengan demikian, arsitektur fiksi pada dasarnya memiliki esensi yang sama dengan arsitektur yang non-fiksi. Firma dan studio arsitek semacam 15

8) Archigram didirikan pada tahun 1960an, sebuah era dimana teknologi pada masa tersebut mengalami perkembangan yang sangat pesat, pendaratan manusia ke Bulan yang pertama kali adalah salah satunya. Foto tengah: Karya Instalasi Lebbeus Woods “The Lights Pavillion”. sumber: dezeen.com Foto bawah: Media kampanye Archigram yang berbentuk majalah. sumber: arcspace.com


edisi #11: Fiksi

Atas: Moving Cities, karya Ron Herron, Archigram, 1964 sumber: archigram.net

fenomenal yang dirancang Ron Herron di tahun 1964. Ron memaparkan ide tentang sebuah (mungkin lebih tepatnya, beberapa) kota yang dapat berpindah layaknya sebuah kendaraan yang sangat besar. Dalam karya tersebut Ron mempertanyakan kondisi statis dari sebuah kota. Fleksibilitas lokasi dari sebuah kota yang dapat berpindah diyakini memiliki keunggulan dibanding sebuah kota yang statis. Sebagian mungkin akan berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Ron adalah suatu hal yang sia-sia, karena toh sampai dengan saat ini karya tersebut belum terbangun, dan kemungkinan besar tidak akan terbangun. Pertanyaannya, apakah betul itu adalah sesuatu yang sia-sia? Mungkin itu sebuah pertanyaan yang tidak mudah untuk dijawab, satu hal yang pasti bahwa karya tersebut mampu men16

ciptakan sebuah diskusi baru dalam dunia arsitektur. Sebuah firma arsitektur Meksiko yang berbasis di Guadalajara, Estudio 3.14 merancang sebuah dinding raksasa berwarna merah muda keunguan yang memisahkan Amerika dengan Meksiko. Karya tersebut baru-baru ini hangat dibicarakan, karena diilhami dari pernyataan presiden Amerika terpilih, Donald Trump, yang ingin mendirikan dinding pemisah dua negara tersebut. Meski sesungguhnya tidak terlalu spekulatif (dikarenakan sampai saat ini Donald Trump masih bersikukuh untuk mendirikan dinding tersebut, sehingga konteks dan setting-nya jelas), namun bersifat sangat eksperimental. Rancangan dan visualisasi Estudio 3.14 menjadi viral dan banyak didiskusikan. Apalagi mereka juga memperkirakan


RUANG | kreativitas tanpa batas

program apa saja yang ada di dalam struktur tersebut. Menariknya, juga muncul diskusi yang memperkirakan biaya yang mungkin akan dihabiskan apabila dinding tersbut terbangun, dan hal tersebut menjadi pertanyaan kritis para pembayar pajak di Amerika Serikat. Banyak pengamat dan diskusi yang menyebutkan bahwa mendirikan dinding tersebut adalah tindakan yang hampir mustahil, dengan segala pertimbangan, terutama pembiayaan, dan kemanfaatannya. Dengan demikian, apakah yang dilakukan oleh Estudio 3.14 adalah sia-sia? Setidaknya, karya tersebut menciptakan diskusi baru yang telah saya sebutkan sebelumnya. Berbicara mengenai ke-‘sia-sia’-an arsitektur eksperimental, Lebbeus Woods dalam sebuah diskusi menyatakan bahwa, “dari segi ekonomi, waktu

dan sumber daya, arsitektur eksperimental adalah hal yang mungkin terlihat tidak memiliki arah yang jelas dan mungkin sia-sia9, namun dampak yang dihasilkan, dalam hal ini diskusi, dan timbulnya pemikiran-pemikiran dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam bidang arsitektur maupun bidang lain adalah sesuatu hal yang sangat esensial dalam perkembangan keilmuan arsitektur. Arsitektur fiksi pada dasarnya menuntut dan melatih sang perancang untuk berpikir kritis dalam segala hal, baik dalam hal menentukan konteks dan setting yang imajinatif maupun menyusun hipotesa dari kemungkinankemungkinan yang terjadi. Selain itu, sang perancang juga dituntut untuk secara konsisten mempertahankan apa yang telah ditentukan menjadi parameter pada langkah sebelumnya. Pada dasarnya, arsitektur fiksi bukan-

17

9)Pernyataan Lebbeus Woods dalam sebuah wawancara yang dipublikasikan secara online. Foto bawah: Dinding pemisah antara Amerika dan Meksiko, karya Estudio 3.14, 2016


edisi #11: Fiksi

bukanlah pekerjaan mudah yang dengan mudah dimanipulasi, semua imajinasi dan spekulasi yang terjadi memiliki dasar yang kuat, sehingga rancangan tersebut menjadi runtut dan konsisten. Untuk menutup tulisan ini, saya mengangkat kembali pembahasanpembahasan sebelumnya dan mencoba untuk menarik benang merah hubungan antara ketiganya, pembahasan mengenai realita, serta hubungannya dengan arsitektur dan arsitektur fiksi.

“karya tersebut mampu menciptakan diskusi baru dalam dunia arsitektur� Dari pembahasan pertama dapat kita simpulkan bahwa realita, pada dasarnya sangat bergantung dengan persepsi pengamat, dan objek fisik, ‘hanyalah’ pemicu yang menghasilkan informasi dan pemahaman. Dalam hal ini arsitektur fiksi memiliki peran yang penting, dimana kita perlu mempertanyakan, apakah media

18

arsitektur fiksi yang kemungkinan besar adalah gambar bukanlah suatu arsitektur, jika pada kenyataannya gambar tersebut mampu menghasilkan informasi dan pemahaman terhadap pengamat. Jika kita kaitkan dengan arsitektur pada pembahasan kedua, dimana keterbangunan dalam arsitektur, adalah hal yang tidak esensial, maka peran arsitektur fiksi sudah seharusnya berada di garda depan dalam perkembangan keilmuan arsitektur. Sifat arsitektur fiksi yang mampu memancing kemungkinan timbulnya diskusi dan pengetahuan baru dapat kita gali, serta sifat arsitektur fiksi yang mengedepankan ide tanpa membutuhkan media fisik berupa obyek terbangun merupakan instrumen yang efisien dalam mendorong keilmuan arsitektur, terutama di masa sekarang untuk menghindari kemungkinan buruk yang mungkin terjadi dikarenakan posisi arsitektur yang cenderung hadir untuk melayani pasar. Akhir kata, arsitektur fiksi memang memiliki konteks dan setting yang imajinatif, fiksional, dan mungkin dalam sudut pandang tertentu sia-sia, namun dampak yang di terima oleh pengamat adalah sebuah realita. Sebuah realita arsitektur fiksi.


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Sebuah arsitektur bermula dengan pertanyaan “Bagaimana jika?”. Pertanyaan tersebut jelas menandakan bahwa setting dan konteks yang menjadi dasar berpijak adalah sebuah proses imajinasi.” Endy Yudho Prasetyo

19


edisi #11: Fiksi

20


RUANG | kreativitas tanpa batas

FICTION AS TRUTH IN ARCHITECTURE Christian Parreno

When my love swears that she is made of truth, I do believe her though I know she lies, That she might think me some untutored youth, Unlearn’d in the world’s false subtleties. Thus vainly thinking that she thinks me young, Although she knows my days are past the best, Simply I credit her false-speaking tongue: On both sides thus is simple truth suppressed. But wherefore says she not she is unjust? And wherefore say not I that I am old? O, love’s best habit is in seeming trust, And age in love loves not to have years told. Therefore I lie with her and she with me, And in our faults by lies we flattered be.

Left Images: “Ring” Instalation at Place Vendome, Paris, France, by Arnaud Lapierre. Copyright: Arnaud Lapierre.

(William Shakespeare, Sonnet 138) 21


edisi #11: Fiksi

[1] Harry O. Frankfurt. On Truth. London: Phaidon, 2007. 87-89 [2] Antonio Negri. Negri on Negri. In http:// www.christianhubert. com/writings/index. htm

Harry O. Frankfurt refers to the Sonnet 138 by William Shakespeare to describe truth as a construction of fiction. 1 In the story, the intimacy of two lovers is mediated by a tacitly agreed artifice that bases their relationship. While the woman feigns to believe that her companion is younger than she knows he is, the man realises that she is aware of his deceit but — exchanging sympathies — he assents to the portrayal of her as truthful. Their arrangement turns away from the factual to aspire to the ideal, as a flexible tale of desire, without the need of exterior approval. The possibilities of their future are thus delineated by the unverifiable limits that they have established. The illusion is operational — a condition to be assembled — as Antonio Negri declares, ‘the sole criterion of truth… is action. Truth is itself an action… a confrontation. When one acts, one goes beyond solitude because to act is to search for the truth, and truth always appears in common’. 2 If truth is action, then fiction as truth has the capacity of structuring any system of interiority — the space of sentiments and reason — and exte-

“Ring” Instalation at Place Vendome, Paris, France, by Arnaud Lapierre. Copyright: Arnaud Lapierre. 22


RUANG | kreativitas tanpa batas

riority — the space of the world and society. Simultaneously, it tests and challenges the boundaries of its field of action through the creation of the new or the obliteration of the old. These attempts of positive or negative transcendence not only expose the strengths and the vulnerabilities possessed by the performing agent but also contributes to the formation of identity and the environment, as when mythical stories inspire actions and reactions. In this manner, the truth of fiction turns into a methodology of design that supports and organises expression, with the aim to avoid capricious detours by establishing intrinsic regulations that delineate potential engagement, saving the designer from the sabotage of arbitrariness.3 In architecture, these operations manifest in the sequence of its ideation and encounter. In the first instance, what emerges is the philosophical and ethical question of how form is ought to be conceived. Fiction serves as an instrumental and valuable truth that mobilises the parameters and intentions of patterns and motifs, which can serve to trace back the premises of design once it has been represented or materialised. The resulting construct can elude the rational and appeal to the emotional, uncovering the truth of fiction as a mood rather than as a function — even if function is the chosen style or attitude. In the second stage, the presence of the individual establishes a rapport with the surroundings in which new narratives about dwelling emerge. Although these revelations are informed by accumulated knowledge and dormant expectations, they are modified by the mutual influence between the involved forces, generating other truths or destabilising existing ones, in a moment of collision of fictions. As such, the intentions of architecture change with inhabitation and inhabitation is coloured by the gestures of architecture.

23

[3] For Adam Phillips, this truth is scientific since it avoids unnecessary desire. On Kissing, Tickling and Being Bored. London: Faber and Faber, 1993. xvii-xviii.


edisi #11: Fiksi

[4] Anthony Vidler. ‘The Third Typology’. In Kate Nesbitt (ed.), Theorizing a New Agenda for Architecture. London: Princeton Architectural Press, 2000. 261-263

The architectural search for the ultimate fiction not only problematizes the autonomy of form and its experience but also its relation to history. For instance, creating a chronological account based on the understanding of the past as truth, Anthony Vidler identifies three main typologies in the development of modern architecture. The first goes back to the rationalist philosophy of the Enlightenment, with a natural unit of design based on the ‘primitive hut’ (1755) by Marc-Antoine Laugier. Subsequently, the second arises at the end of the nineteenth century in response to conditions of mass production and technological development, epitomized in the work of Le Corbusier. Finally, the third stands free of determined roles, enabling architectural design and urban planning to become ontological entities, as in the ‘stararchitecture’ of Zaha Hadid, OMA, and Peter Eisenman, among others.4 This classification appears as a historical fictionalization of architectural fictions, connecting nodes of the past as episodes of the discourse of the discipline — indicative rather than undisputable.

“Fiction as truth projects architecture as fiction” Under this light, fiction in architecture turns into a dynamic truth, as a topological enabler that combines function and expression through various techniques of design, in intertextual coexistence with other phenomena. Analogous to the literary — like in the lovers of the Sonnet 138 — it provides systematization and order, with a beginning and an end yet articulating multiple and concurrent spaces and temporalities.

24


RUANG | kreativitas tanpa batas

“If truth is action, then fiction as truth has the capacity of structuring any system of interiority — the space of sentiments and reason — and exteriority — the space of the world and society.”

Christian Parreno

25



FICTIONAL CITY Hiroki Muto

In our contemporary urban narratives, fictional city has been existed in many types. The next question is : how can we take into account their potential to reconnect the society back with their genuine culture? Story From the word “fictional city”, you might imagine some books written by Italo Calvino and Jonathan Swift, or sometimes Franz Kafka and Jorge Luis Borges. In the stage of their works, generally categorized as “Fantasy Literature”, practical causal relationships and dynamics are distorted, even making readers dizzied. However, any cities as the stage of stories are originally fictional, even if those cities are named and function the same as they are in the real world, in the sense that events and human lives occurred there are fictional. And in the most of cases, readers enjoy those fictions as something independent, detached from the real urban lives. Project Not only cities, which are created by individual imagination and presented as the form of stories, are the fictional cities. From Le Corbusier or Russian 27

Left: Illustration by J.J. Grandville for the 1856 edition of “Gulliver’s Travels” by Jonathan Swift. source: hubpages.com


edisi #11: Fiksi

Avant-garde to radical urbanisms in 60’s (mainly characterized by Archigram and Metabolism) and even early OMA in 70’s, there have been many urban projects regarded as fictional, because of their unfeasibility and absurdity (at least for general public). However, any projects on a city by architects, urbanists, and artists with urban vision, regardless of whether they are imaginary or realistic, are started as fictional, in order to represent the collective imagination of a society. They “project” on a city as fictions social requests and desirable futures, which are not yet clearly formed, and ask its actuality to the citizens. The represented collective imagination is given back to citizens, becoming a devise to arouse more imagination. If a story is a fiction disconnected from the reality, a project is a fiction connected with the reality. When it is actually connected with the reality, or realized as urban development, the fictional aspect of the project finishes its role. Rem Koolhaas, OMA, “Exodus, or the Voluntary Prisoners of Architecture”, 1972. source: not-for-them. blogspot.com

Database It is not easy to differentiate reality from fiction in the contemporary cities, driven by information technology and global capitalism. In a sense, a contemporary city itself is already fictional.
This fictionality is characterized especially by the lack of the immediacy and originality of the place and human body in the cities, which are filled with numerous amount of stories. Although those stories are sometimes related with certain places, they are limitlessly rewritable on the places. And although they are sometimes connected with physicality, our perception stays superficial because of the sev28


RUANG | kreativitas tanpa batas

eral layers of virtual body. Therefore the stimulating experience of immediacy and originality doesn’t exist anymore, which was the essence of the reality.
 The main cause of this fictionality lies on the process of how the contemporary city generates stories. The contemporary city is a database which stores every information, and users gets any desirable stories by picking and combining any information out of it. Regardless of whether those stories serve purely entertainment purpose (games or communication through information technology), or help us to easily establish our identity by holding differences from others in a symbolic way (any branding strategy form fashion to urban development), the consumption of these stories is already necessary for contemporary urban lifestyle.
 The stories generated from the database allow infinite simulation, resulting into the distortion of time and space in our perception. Furthermore the absence of imagination or subjectivity promotes the disappearance of immediacy and originality. This contemporary city with full of stories is the 3rd type of fictional city.
It should not necessarily be denied to enjoy the small narratives generated by the database, in the age where the “Grand Narratives” (Jean-François Lyotard) doesn’t exist anymore. However, if those stories are disconnected from our places and bodies, and exclude the possibility of our subjectivity and imagination, the urbanity or urban culture that consists of those stories will end up just as a temporal commodity, which is copied and consumed all over the world. Food Culture and 4th Fictional City In order to create genuine culture based on place and body, it will be a good way to start from basic fundamentals for human life: food, shelter, and clothing. Especially among these three, food has been deeply related with place and body, through the process of production, distribution, and consumption, and played an important role as one major aspect of urban culture. (These days, clothing has too much of symbolic feature as fashion, and shelter is also being absorbed in real estate image strategy, both losing its purity.)

29

Location-based online game “Ingress” by Niantic, Inc. (2013- ). source: i.imgur.com


edisi #11: Fiksi

However, the more food is regarded as fundamental for human life, it tends to be operated in a more systematic way: the rule that it should be produced, processed, and distributed with the maximum sufficiency based on the latest science and technology, and also should be circulated and consumed through the best market principle. As a result, food issue including food culture is absorbed in the contemporary fictionality: simulation of stories by the database, or the condition that the whole process is compressed in a story and presented to customers without the real value of food.Then it loses the sufficient power to intervene the reality as a fundamental element for human life. What we propose now is the 4th fictional city as the miniature of the contemporary city. This sanctuary generates stories of a city through every type of fictionality: the strong subjectivity of the first type, the representation of collective imagination of the 2nd, and the utilization of the database of the 3rd. The story (=fiction) gains the immediacy and originality by the connection with place and body through the mediation of food. The paradox, or fiction as the platform of reality bridges to the new urban culture.

Conceptual diagram of 4th fictional city = “Crack of Urbanity”. ©The Workshop

What was described above is the conceptual sketch of the project “Crack of Urbanity”, which we, theWorkshop is planning now. This theoretical project takes the form of food festival and is temporary inserted in the urban space. A collective story is generated there by the interactive communication based on information technology, while holding the physical and cultural experience of food as the main axis.The site is planned to be in Bangkok, the global city with full of vitality and desirable nodes of several powers.

30


RUANG | kreativitas tanpa batas

“However, any projects on a city by architects, urbanists, and artists with urban vision, regardless of whether they are imaginary or realistic, are started as fictional, in order to represent the collective imagination of a society.� Hiroki Muto

31



MEDIA FICTION / MEDIA FUTURES Muhammad Shamin bin Sahrum

Media Fiction discusses how the new forms of media that empower users to embrace fictional roles of the architect. However, paradoxically, will the advancement of media that evolved from mere representation towards collaborative, interactive, network and user-oriented slowly dismantled the autonomy of

Cedric Price famously scolded to a bickering husband and wife when designing their new house, saying ”You don't need a new house, you need a divorce!” Which goes to show that a new building isn't always the answer. It also serves as a point of departure for architects to consider non-building solutions as a medium, as an agent of change. Before we delve in further, this essay wishes to bring the reader into seeing to what extent does architectural media play a role within the contemporary society. What its future possibilities are. Also touching on what we previously imagined to be fictional and what may well be the future of architectural media. Architectural media varies in medium and form and includes, but is not limited to, drawings, models, diagrams, films, text/writings, websites and installations to name a few. With some mediums lending itself more towards the cultural production of architecture such as drawings, imagery and models. Now, let us dissect the definition of 'architectural media'. The word 'Media', which is Latin, is the plural of 'Medium', with its nouns meaning 'vehicle', 33

Left : ‘Cedric Price – Wish We Were Here’, Portrait of Cedric Price. (Source: Cedric Price Estate)


edisi #11: Fiksi

[1] Papamichael, K., 1999. Digital Media in Architecture: Opportunities and Challenges. Berkeley, University of California. Avaliable at: https:// buildings.lbl.gov/sites/ all/files/43080.pdf

'method', and 'avenue'. From that, Kostantinos Papamichael1 defines architectural media as ”anything used in architectural practice, not only with respect to documents, but the equipment used for their production as well.” Here, she further states that if we were to distill it down, it can be abstracted as ”essential media”, which are images and messages. ”Images come in the form of pictures, drawings, paintings, scale models, plots, etc. While messages can contain three information elements: text, sound and gestures.” In effect, these 'mediums' function as transmitting elements for the dissemination of architecture to a wider audience. The digital sphere has further added and expanded upon the already existing forms of architectural media. Changing how we interact, organize and respond to the environment, as individuals and as communities.cted with the reality. When it is actually connected with the reality, or realized as urban development, the fictional aspect of the project finishes its role. An example worth discussing is the growing role of open source software and now, hardware, in dissolving the traditional roles of the architect. Globally we are witnessing a resurgence of maker 'communities' emerging from fabrication labs, do-it-yourself drone building groups to DIWO, do-it-with-eachother movements like Wikihouse. What the 'networked society' managed to do, is use existing architectural media and democratize it to everyone and anyone with internet access. Take the Wikihouse movement for example by London architecture firm 00:/ (pronounced, zero-zero). They took the

Detail joint of a ‘Wikihouse’. (Source: WikiHouse.cc)

34


RUANG | kreativitas tanpa batas

same underlying principal from open source software, i.e. Wikipedia; an open source platform, and applied this to built structures. Alastair Parvin2 of 00:/ who spearheaded the project, asks the audience during a TED talk what would happen if everyone could print their own house? 30 years ago this idea of everyone 'printing' their own house would seem highly fictional. Wikihouse enables anyone to download the house plans, have it CNC manufactured and self-assembled. A full scale prototype was built in 2012, with improvements subsequently made by the community. Questions of authorship arise and blur the boundaries between production and designer, professional and amateur. How will this affect the role of the professional 'architect' if everyone can build? Questions similar to this and more will force the profession to think its roles differently and adapt.

[2] Parvin, A., 2013. Architecture by the People for the People. [TED] February 2013. Available at: https:// www.ted.com/talks/ alastair_parvin_architecture_for_the_people_by_the_people

Indy Johar, author and founding architect of 00:/, in their report Compendium for the Civic Economy3, underlies that an overall emerging recurrent theme in all of the self-building communities is ”self-organization & collaborative management built on user-centric and open scale-free platforms.” An opening passage of the report summarizes the current movement, ”A civic economy is emerging, one which is fundamentally both open and social. It is an economy which is fusing the culture of Web 2.0 with civic purpose”. Here, the expanded role of architectural media has been pushed further, not merely as a representation, but as a platform of creating agency.The real change is in letting people from beyond the architecture/design field to utilize mediums often associated with architectural production. It transcends its former role and becomes a tool for social construct.information, and users gets any desirable stories by picking and combining any information out of it. Regardless of whether those stories serve purely entertainment purpose (games or communication through information technology), or help us to easily establish our identity by holding differences from others in a symbolic way (any branding strategy form fashion to urban development), the consumption of these stories is already necessary for contemporary urban lifestyle.

[3] Ahrensbach, T., Beunderman, J., and Johar, I., 2011. Compendium for the Civic Economy. 00:/ Publishers: London.

Through the increasingly important role of the internet and the mobile device, the separation between information and ourselves becomes thinner. Jeremy Hight4 in his article, A New Area for Collective Activism, explained it brilliantly by saying ”The breadth and coverage of our realities keep expanding, but they are converging in our awareness of space and time”. If we talked about 'information and reality converging in our awareness of space and time' 20 years back, people would have surely thought of the fictional future that Ridley Scott envisioned through his 1982 film Blade Runner. ”This is augmented reality, a new and emerging level of interaction. Augmented

[4] Hight, J., 2008. A New Arena for Collective Activism, Volume Magazine #16: Engineering Society, July 2008.

35


edisi #11: Fiksi

Above: Opening title scene from ‘Blade Runner’ (1982)

reality is a system of technology and visualization that allows information to be placed in the field of vision as one moves,” explains Hight. A recent cultural phenomenon would be the Pokemon GO! craze to best describe the immense potential of augmented reality.

[5] Mattern, S., 2012. Media and Architecture. Words in Space Shannon Mattern. Avaliable at: http:// www.wordsinspace. net/wordpress/teaching/course-list/mediaand- architecture/

Our built environment, however, has not managed to evolve spatially to follow the vast improvements in digital media. A critical question raised by Shannon Mattern5, Assistant Professor at the Department of Media Studies and Film at The New School, New York, was, ”If our media and our built spaces do not follow the same evolutionary paths, what is the relationship between these two fields of production and experience?” Mattern understands that there is a possible future where we could become disconnected from our physical surroundings if it continues to develop in the same way spatially. That our built environment plays an equally important role. Our spaces around us should make us more aware and require us to interact using our other tactile senses such as touch and smell. Force us to move fast and slow, and at varying speeds through the landscape. The environment should be just as engaging as the media. A possible scenario as written by Martin de Waal6 in his book, The City as Interface is the ”deployment of digital and mobile media as 'territory device': an appliance or systems that can influence the experience of an urban area.” Essentially digital information is specifically geo-tagged onto the location, embedded with previous data such as history and past visitors to the place. A sort of urban ghost gets left behind and it is possible for visitors to continue updating the 'ghost' with new experiences. That scenario is gradually unfolding itself through digital

[6] Waal, M.D., 2014. The City as Interface. NAi010 Publishers:

36


RUANG | kreativitas tanpa batas

‘Surveillance Camera’ by Ai Wei Wei (2010)

applications such as Uber and Airbnb that utilizes the local network to engage with a specific geographical location. A convergence of the physical and digital realm in our own 'awareness of time and space'. Despite the positivist view of cyber-utopianism; of a networked society free from legal jurisdiction and governance, the digital realm, unfortunately, does not belong to individuals only. State powers and multinationals have also been utilizing the full potential of the 'networked society'. The Big Brother image is further fuelled by the increasing ability of technology to keep a tab on any data as long as it is recorded. Again what was considered fiction as imagined by George Orwell (1949) in his dystopian novel Nineteen EightyFour, is now the future that we're currently inhabiting. Political artist and activist, Ai Weiwei is among those on the frontline negotiating between state powers and the freedom to voice out opinions via social media. Due to being vocal with regards to the People's Republic of China's regime, Ai Weiwei has been detained multiple times to the point of not being able to leave his home country. Out of this restraining order, however, some amazing projects have emerged such as Project Moon. Moon is a collaborative project with Danish-Icelandic artist Olafur Elliason as a virtual meeting place to exchange ideas. As quoted by Robin Cembalest in his ARTNews review, ”Moon is a place where people from anywhere on Earth can connect through drawing. It exists beyond the art world, beyond borders, beyond traditional ideas of authorship and value”. A virtual site (https://www.moonmoonmoonmoon.com ) literally left open to the public, the 37


edisi #11: Fiksi

‘Moon’ by Ai Wei Wei & Olafur Eliasson. (Source: www.moonmoonmoonmoon.com)

organizers of moon saw users evolving from leaving scribbles and doodles to ”collaborations, and clusters, and virtual versions of the Surrealist game Exquisite Corpse”. If we were to speculate on possible futures for project Moon, collaborations could be done on the scale of the objects, installations, and buildings even. Whole databases available, not just of good ideas but of the mundane and obscure too. Couple that with the endless possibilities of augmented and virtual reality, we would see a truly fluid architectural media emerge. The infinite Library of Babel as Jorge Luis Borges could have never imagined happening. It is clear through points discussed above that architectural media is evolving from a method of representation to an empowering medium. Able to give agency to individuals and communities beyond the field of architecture and design. At its current trajectory, architectural media may evolve into an autonomous framework. Eventually not requiring a 'central actor' for the cultural production of architecture to occur. Blurring the role of the creator and the end user. Authorship entitlement will become secondary next to unimportant. What matters is the desired outcome, whether physical or non-physical. The 'architect' as a profession may cease to exist in the future, as we see vast shifts in the role that society plays within the built environment. In its most extreme, we can almost imagine the 'architect' as a fictional role. Reduced to a romantic, glorified version of the 'Grand Author'. Cast along with fabled roles such as the alchemist. A role silently waiting for someone to make it a reality again. 38


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Authorship entitlement will become secondary next to unimportant. The 'architect' as a profession may cease to exist in the future.... In its most extreme, we can almost imagine the 'architect' as a fictional role.� Muhammad Shamin bin Sahrum

39



RUANG | kreativitas tanpa batas

Avianti Armand:

Antara Fiksi, Kritik dan Arsitektur Yusni Aziz Rofianisa Nurdin

Cincin perak polosnya sesekali berkilau memantulkan lampu kafe. Dan hanya itu perhiasan yang ia pakai untuk menemani tank top abu dan rok hitam semata kakinya. Leher dan dua telinganya bersih dari segala macam aksesori. Gelang hitam di tangan kanannya lebih mirip ikat rambut daripada logam mulia. Untuk wawancara RUANG, ia datang dengan sederhana. Sore itu, kami yang berencana akan mengorek latar belakangnya, malah banyak membicarakan perihal fiksi dalam praktik arsitektur Indonesia. Sembari menyeruput kopi hitam, ia mulai membagi kegelisahannya. Narasi fiksi sudah semakin sering disalahgunakan untuk mengangkat prestise proyek arsitektur, ujarnya. Padahal arsitektur harusnya bisa lebih membumi untuk menyelesaikan hal-hal mendasar.

Ia sendiri sangat mencintai narasi fiksi. Di sela kesibukannya praktik sebagai arsitek dan kurator, ia juga rutin meluangkan waktu untuk menuangkan imajinasinya. Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian miliknya memenangkan Cerpen Terbaik Kompas tahun 2009. Dua tahun kemudian, Perempuan yang Dihapus Namanya meraih penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa. Di bidang arsitektur, Rumah Kampung karyanya bersama sang suami, Terry Armand, memenangkan penghargaan IAI tahun 2008. 41


edisi #11: Fiksi

Avianti Armand, yang biasa dipanggil Vivi, akhirnya menjadi sosok yang diperhitungkan di bidang arsitektur dan sastra. Sebelumnya hanya ada Romo Mangun yang juga terkenal lewat novel-novelnya. Di Kopi Manyar, kami menemui Avianti sebagai narasumber utama edisi Fiksi. Setelah obrolan singkat untuk membuka pertemuan, wawancara kami mulai.

Yusni (Y): Tapi sebagai penulis fiksi yang juga arsitek, apakah Mbak Vivi ada usaha untuk mengkaitkan keduanya? A: Sebetulnya, mereka adalah dua hal yang berbeda. Namun, saya menemukan kesamaan antara sastra dan arsitektur. Mereka sama-sama punya struktur, dan mempunyai dua muka. Satu muka untuk komunikasi, lainnya untuk ekspresi.

* Rofianisa (R): Bagaimana perjalanan Mbak Vivi sebagai lulusan arsitektur yang juga berpraktik sebagai arsitek, akhirnya dikenal melalui tulisan? Avianti (A): Saya selalu tahu bahwa saya bisa menulis. Cuma kepercayaan diri itu muncul belum lama. Saya tidak merasa menemukan suara pada saat menjadi seorang arsitek; mungkin memang harusnya saya tidak menjadi arsitek. Karena terlalu banyak yang saya kritik saat berpraktik, saya jadi sering merasa bersalah. Kemudian sekitar tahun 2007, saya mulai aktif menulis. Sebenarnya, saya sudah cukup lama menulis artikel-artikel bertemakan arsitektur. Tetapi lebih seperti in-house, misalnya untuk karya Andra Matin yang dimuat di Laras atau membantu merangkum kuliahnya Mas Aang (panggilan kecil Andra Matin.red). Tapi, yang benar-benar menulis serius, ya tahun 2007 itu, dan itu mulai menulis fiksi.

42

Prosesnya juga tidak terlalu beda. Tulisan juga membutuhkan sesuatu yang visual. Pada saat menulis, penulis perlu menceritakan detail-detail yang meyakinkan untuk membangun sebuah cerita. Dan akan menjadi sangat kuat kalau dia mempunyai imajinasi visual. Seperti, misalnya, jika ingin menceritakan seorang tokoh yang muncul, karakter orang tersebut bisa dibangun dengan menggambarkan hal-hal visual. Sepatunya mengkilat, bajunya disetrika rapi, hingga celananya yang bergaris. Detail visual seperti itu akan memperkuat sebuah cerita, dan dalam arsitektur hal-hal seperti itu juga akan memberi dampak yang sama. Y: Kalau begitu, apakah menuangkan imajinasi visual dalam sketsa membantu Mbak Vivi dalam menulis? A: Hmm, beberapa kasus memang saya gambar, sih. Seperti puisi di Perempuan yang


RUANG | kreativitas tanpa batas

Dihapus Namanya. Ada satu puisi yang kalimat pertamanya lahir dari sebuah sketsa. Jadi gambar itu betul-betul saya terjemahkan ke kata-kata. “Malam adalah sebuah kubus. Di dasarnya, seorang perempuan….” Karena waktu itu saya tidak sengaja menggambar sebuah kotak.

A: Hmm, mungkin ya.Yang jelas, dalam presentasi jadi lebih meyakinkan (tertawa).

Pada saat kita menulis kan ada struktur yang jelas. Dengan begitu, saat presentasi kita bisa melihat yang mana yang akan kita highlight, mana yang akan menjadi argumen penguat. Tapi dalam desain sendiri, Y: Apakah kemudian menulis I don’t know. mempengaruhi Mbak Vivi dalam berarsitektur?

43

Foto: Avianti Armand ©Ruang


edisi #11: Fiksi

Tiga buku karya Avianti Armand. Sumber: Goodreads. com & Dailysylvia.com

R: Sekarang Mbak kan sudah punya empat karya. Apakah mereka adalah media untuk mengkomunikasikan pesan tertentu? Seperti semacam kritik atau pembelaan terhadap sesuatu?

Sebenarnya saya selalu melihat, jika kita bicara masyarakat arsitektur, seolah ada dua jalur paralel yang tidak saling ketemu. Satu adalah jalur akademisi, satu lagi jalur praktik. Yang lain jalan sendiri, yang satunya sok asyik sendiri. Padahal, di luar negeri, yang A: Hmm... buku mana dulu? dirangkul dalam arsitektur sudah luas Kalau buku terakhir sebenarnya sekali. Bahkan, sejarah dan teori sudah cuma kumpulan puisi, yang sifatnya menjadi sesuatu yang sehari-hari. impulsif. Maksudnya tidak dihasilkan dalam rentang waktu tertentu, tapi Orang awam juga dibekali hal-hal panjang sekali dan sifatnya insidentil. arsitektural. Jadi, masyarakat bisa Itu tidak ada tujuan khususnya. mengakses isu-isu tersebut dengan mudah. Saya ingat di tahun 1999, saat AMI mau pameran di Belanda. R: Bagaimana dengan “Arsitektur Yang menyelenggarakan adalah yang Lain�? Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang khusus membahas isu A: Oke. Kalau itu iya. perkotaan. Nah, waktu saya datang 44


RUANG | kreativitas tanpa batas

Misalnya, dapur. Bagaimana kita berbicara tidak hanya sebatas tata letak, ataupenggunaan material, tetapi juga sejarahnya. Atau tentang jendela. Jendela ini apa? Kenapa di rumah limasan nggak ada jendela? Kenapa arsitektur modern punya jendela? Hal-hal itu kan dibicarakan para akademisi, tapi harusnya juga dibicarakan awam dan praktisi. Jadi, saat itu, saya justru melihat adanya peluang untuk kita bisa menarik arsitektur menjadi sesuatu yang wajar dibicarakan siapapun juga. Tanpa itu, arsitektur kita nggak akan ke mana-mana, kecuali sebatas eksplorasi bentuk. Atau sesuatu yang akhirnya dibangun berbekal fiksi dan uang klien. Ya kan? Cuma dibangun dari itu. Gila. Arsitektur itu profesi yang asyik banget, kan? (tertawa) ke kantornya, ada bapak tua yang sedang bertanya mengenai rencana pembangunan jalur kereta baru. Jadi, arsitektur yang berupa bangunan, atau lingkup kota sudah menjadi diskusi sehari-hari orang awam. Semua orang adalah ahli, dan memang betul kita semua ahli! Tiap hari kita bersentuhan dengan ruang, kok.

R: Di Amerika, artikel arsitektur bahkan sudah masuk ke koran seperti New York Times. Kenapa dalam konteks Indonesia, kita masih seberjarak itu? A: Sebetulnya ini PR banyak orang. Banyak institusi. Bukan cuma arsitek atau akademisinya. PR asosiasi profesi juga, IAI. Kalau kita melihat IAI, seolah yang di depan itu arsitek-arsitek yang memang memiliki klien besar. Yang dimunculkan arsitek yang ituitu lagi. Apakah arsitek yang berkiprah di konservasi juga akan dikedepankan? Atau yang berkiprah di komunitas? Jangan-jangan malah tidak diakui?

Cuma, di sini (Indonesia.red), sama sekali tidak ketemu. Praktisi arsitektur punya bahasa sendiri saat bicara, juga para akademisi. Saat saya menulis untuk U Magazine, saya sadar siapa pembaca saya, yaitu orang awam. Tapi, apakah mungkin untuk bicara konsep-konsep ruang pada mereka? Tapi, itu satu hal ya, hal lain mengenai media. Media arsitektur Bisa, loh. 45


edisi #11: Fiksi

kita memang, sejauh ini, yang laku dijual adalah yang bersifat dekoratif. Kegiatan ASF (Architecture Sans Frontieres) di kampung Tongkol apa kemudian masuk majalah Laras? Tidak ada kan di majalah Dewi? Ya tentu tidak. Kalau dilihat memo tahunan-IAI tahun kemarin itu sebetulnya sudah langkah yang bagus. Kegiatan konservasi sudah mulai dikedepankan, begitu juga yang bernuansa komunitas. Tapi, itu juga masih butuh langkah

Foto tengah: Kanagawa Institue of Technology Workshop karya Junya Ishigami. Source: Archeyes.com

Y: Kalau selama ini menggunakan narasi, kemudian dalam “Buku Tentang Ruang� metodenya berbeda: puisi. Orang lain mungkin sulit mengaitkan dirinya dengan karya tersebut. Selain budaya membaca puisi kita masih kurang, juga ruang untuk interpretasinya bisa sangat luas. Kenapa Mbak Vivi memilih bentuk itu? A: Hmm... Sebenarnya itu sederhana banget. Untuk judul Buku Tentang Ruang itu sebetulnya salah satu judul puisi, yang kemudian saya pakai sebagai judul buku. Kenapa juga saya mau menggunakan itu sebagai judul buku? Karena catchy, gitu. Jadi, yaa... (tertawa)... alasannya nggak mulukmuluk, kok. Tapi setiap puisi itu menyusun dunianya sendiri. Dia punya ruang interpretasinya sendiri. Jadi, kalau di buku ini saya menjejerkan puisi saya, saya sebetulnya mengajak pembaca masuk ke ruang interpretasi dan dunia mereka.

46

Y: Di buku yang sama, ada dua tokoh yang disebutkan secara eksplisit. Wong Kar Wai dan Junya Ishigami. Kenapa mereka? A: Selain senang baca, saya juga suka nonton film. Dan film yang engga pernah gagal menurut saya itu karya Wong Kar Wai. Dia hampir tidak pernah menceritakan sesuatu secara gamblang, tapi menggunakan simbolsimbol. Misalnya, untuk menceritakan orang sedang kangen, ia menggambarkannya dengan langit senja yang berwarna oranye. Sebagai perbandingan, lihat saja sinetron Indonesia. Penggambarannya benar-benar literal gitu. Misalnya, mau menggambarkan anaknya kecelakaan. Bapaknya telepon ibunya, “Bu, anak


RUANG | kreativitas tanpa batas

kita kecelakaan!” Terus ibunya merespon, “Apa!? Anak kita kecelakaan!?” Terus bapaknya jawab lagi, “Iya, anak kita kecelakaan!” Mampus! (semua tertawa) Gitu, kan? Kalo di Wong Kar Wai cuma orang angkat telepon, lalu dia dengarkan. Terus teleponnya ditaruh. Shoot mukanya sebentar, trus kameranya tembus jendela, tunjukkan pemandangan di luar. Kaya’ gitu, loh! Jadi, sebenarnya tidak perlu literal. Menurut saya, hal itu tidak pernah gagal untuk mengoyak-ngoyak perasaan... (semua tertawa) Nah, Junya Ishigami menurut saya adalah arsitek dengan level kepekaan yang sama. Kalau kita bicara modernisme kan mengusung “form follows

function” yang semuanya diselesaikan secara rasional. Seperti, misalnya, KAIT (Kanagawa Institute of Technology Workshop). Menurut saya, itu luar biasa, semua aspek fungsionalnya diselesaikan dengan baik dan dengan cara yang sangat sensitif. Dia bisa saja menaruh kolomnya mengikuti sebuah grid. Tapi, malah diatur secara acak dengan ukuran yang sekecil mungkin, dan banyak. Akhirnya itu memberi kita pengalaman yang baru. Karena ruang itu bukan “apa yang direncanakan” tapi “apa yang dialami”. Setiap kali kita bergerak, kita nggak pernah ketemu kualitas ruang yang sama.Tapi, kita juga tahu bahwa ada rasionalitas di balik semua ini. Setiap orang punya cerita yang beda. Sama sekali tidak ada yang pasti. Sebenarnya, saat saya datang ke bangunan itu, saya nggak tahu mengenai narasi konsepnya. Baru setelah dari sana, saya baru cari-cari ceritanya untuk kemudian dituliskan. Ya, yang diceritakan akhirnya praktis sekali, tentang bagaimana dia merencanakan strukturnya. Atau saat dia mendesain meja dari besi 9 milimeter dengan panjangnya 9 meter itu. Apakah dia menceritakan “saya mau menciptakan sebuah dunia yang suriil,” gitu? Tentu tidak! Dia nggak ngomong gitu. Dia cuma cerita, “Bisa nggak sih, saya bikin meja panjangnya 9 meter, tebelnya 9 mili?” Tujuannya hanya mau tes titik ekstrim dari sebuah material. Itu doang, iya kan?

47


edisi #11: Fiksi

Foto bawah: Menguatnya peran media online arsitektur semakin menyuburkan narasi fiksi sebagai strategi penarik perhatian. Source: archdaily.com

Tapi, jika kemudian saat kita melihat meja itu kita akan merasakan sebuah fenomena suriil, itu lebih seperti impact.

arsitek dari masalah utamanya. Dan sering juga kita lihat bahwa akhirnya fiksi itu merupakan justifikasi dari intensi desainnya.

Merinding nggak sih lihat di atas meja itu diletakkan benda-benda kecil sehari-hari, yang kalau kita angkat mejanya juga ikut gemetar? Itu kan jadi bikin deg-degan (tertawa).

Saya berharap, sebetulnya justru sebelum mulai mengarang fiksi, arsitek berusaha sama kerasnya untuk mencari akar permasalahan atau problem yang sesungguhnya dari penugasan yang dia dapat.

Y: Kalau kita berbicara konteks Indonesia, apakah sekarang banyak Y: Yang dimaksud dengan mengarang praktik arsitektur yang menggunakan fiksi dalam berpraktik arsitektur itu narasi fiksi tapi tidak tepat sasaran? seperti apa? A: Sebenarnya bukannya tidak tepat A: Basically adalah pembuatan konsep sasaran, tapi kadang kita melihat itu. Dewasa ini, kita kalau mau melbahwa fiksi itu malah mengalihkan akukan riset kan mudah sekali. Tapi,

48


RUANG | kreativitas tanpa batas

sering sekali arsitek tidak melakukan kesimpulan seperti itu? riset yang cukup untuk melandasi desainnya. Lebih mudah mengarang A: Sebetulnya kalau kita lihat sejarah cerita. kan selalu bergerak dari ekstrim ke ekstrim. Modernism, dengan kredo Saya sih tetap berpendapat “form follows function” akhirnya membahwa arsitektur adalah solusi dari buat bangunan dipretelin dari semua masalah tertentu. Jadi, masalahnya ornamen dan dekorasi. Jadi dingin, dan harus ditemukan dulu. Nanti dalam beberapa merasa bangunan menjadi proses mendesainnya, tentu tidak soulless. bisa lepas dari imajinasi. Dan itu tidak salah, sepanjang imajinasi itu tidak Nah, makin kesini, mengalihkan kita dari masalah sesungguhnya. dengan adanya media,

orang kemudian Apakah nanti pendekatan fiksi itu bisa menimbulkan masalah? Kita berlomba untuk sering lihat di majalah, di media mengeksplor online. Dari tampilan fotonya saja, dekorasi-dekorasi kita sudah bisa menduga masalah yang akan timbul. Misalnya, borosnya tersebut. Kredonya penggunaan energi oleh AC, karena sekarang jadi “yang bangunannya banyak menggunakan kaca. Itu sudah terlihat. Daripada dia penting tampil”. mengarang cerita mengenai konteks lingkungan yang stagnan, kenapa dia tidak mencoba mengatasi dahulu Kemudian akhirnya timbul semacam penggunaan energi yang hemat di pemberontakan yang dilakukan rumah itu. Venturi dan teman-temannya. Lalu oleh Charles Jencks diberi label postR: Jadi apa intensi narasi fiksional modernisme, atau sesudah modernitu sebenarnya untuk menciptakan isme. Semua dekorasi dan fiksi seobunga-bunga yang memperindah lah dikembalikan lagi. Menjadi menu proyek? utama. Nah, makin kesini, dengan adanya media, orang kemudian A: Ya, bisa. Di era saat yang visual itu berlomba untuk mengeksplor lebih laku dijual, ya… itu bisa sekali. dekorasi-dekorasi tersebut. Kredonya sekarang jadi “yang penting tampil”. Y: Sebelumnya Mbak Vivi juga menyatakan bahwa tren narasi fiksional ini Apalagi sekarang konteks tidak hanya mungkin bentuk postmodernisme berupa yang riil, tapi juga yang virtual. yang terlalu jauh. Kenapa mengambil Media online cepat sekali berganti 49


edisi #11: Fiksi

informasinya. Akhirnya kita ditantang untuk menarik perhatian sebisa mungkin, supaya orang tidak lupa dengan eksistensi kita. Caranya? Ya, dengan membuat fiksi segila-gilanya, seheboh-hebohnya. Y: Terakhir. Bagaimana harapan Mbak Vivi terhadap dunia penulisan fiksi dalam relasinya dengan dunia arsitektur? A: Nah, ini loh. Di Indonesia, orang kalau bikin cerita itu seperti kena penyakit novel-novel Rusia.

Everybody wants to be a big hero. Padahal, what we need is actually an everyday Sama seperti film India. Minimal ada tiga generasi, kan. Dari bapaknya punya anak, lalu nanti akhirnya musuhan, trus cucunya ketemu, langsung kawin gitu kan? (tertawa). Jadi, nggak pernah simpel. Padahal berapa banyak sih orang-orang yang drama begitu? Yang minum kopi hitam biasa aja kan jauh lebih banyak? Dan apakah cerita orangorang yang biasa-biasa itu tidak menarik? Menarik, loh!

50

Nah, karena itu kalau lihat di Buku Tentang Ruang, atau puisi saya yang lain, obyek atau subyeknya adalah hal-hal yang sederhana. Peristiwa yang sehari-hari. Karena kalau kita nggak menarik perhatian ke yang sehari-hari, akhirnya kita selalu bermimpi tentang hal-hal yang besar. Dan kemudian kehilangan kepekaan untuk mendeteksi masalah-masalah yang riil, itu kan yang akhirnya juga terjadi di arsitektur. Everybody wants to be a big hero. Padahal, what we need is actually an everyday hero. Dan itu gampang sekali, kok. Kita selesaikan saja masalah pagar karena itu berhubungan sama keamanan, tukang sampah, dan tetangga. Kita selesaikan saja masalah tempat parkir. Atau masalah ketersediaan air; bagaimana supaya nggak membebani lingkungan. Hal-hal seperti itu, yang remeh, tapi sebetulnya masalah kita sebenarnya. Jadi cara kita menulis, memandang dan membaca fiksi itu terkait juga dengan bagaimana cara kita memandang kehidupan. Dan itu harus terus-menerus diingatkan kembali.


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Sebenarnya, bukannya (praktik arsitektur yang menggunakan narasi fiksi) tidak tepat sasaran, tapi kadang kita melihat bahwa fiksi itu malah mengalihkan arsitek dari masalah utamanya. Dan sering juga kita lihat bahwa akhirnya fiksi itu merupakan justifikasi dari intensi desainnya.� Avianti Armand

51



FROM MIES, FOR DETROIT The Non-Contextual: Fiction Of Modern Laras Primasari Idealism alone is insufficient to create a perfect work or at least a long lasting one. Money and, of course, power and politics are paramount for an architectural work to strive, despite the host city failed to thrive. However, are they also usefult to stimulate a formation of a close-knitted community? My days in architecture school were filled with words of wisdom about locality, contextuality, and connectivity towards whatever present within a radius of probably 60km. Everything must be considered: people, plants, animals, environment, history, economy. Everything. Otherwise, a design might not be successful nor attracted the right market. Upon the aforementioned principles, then a polemic begins, the lack of rooms given to students to experiment and exercise ideas freely, especially the ones related to Utopist ideology. The dream of Utopia, they say, is the pinnacle of the non-contextuality, born by the many unsatisfied hearts of aristocrats and academics by how the 'real world' is working. Thus, inserting utopist ideas into the student's perspective might stretch their view on projects they will be designed in real life, thus decrease the rate of successfulness of their architecture and urban designs. Even if students get a chance to do such interesting exercises, never in their wildest dreams that designing a project based on a non-contextual utopist 53

Left: The Townhouses (Source: Dwell.com, 2008, photo by Raimund Koch)


edisi #11: Fiksi

dream would be manifested into a real project in the future. The idea of disregarding many local elements and basing a design on the assumption of what we deem good is sounded dangerous enough in the academic world. The current teaching – and the 'real world' demands objective designers who take clients' well-being into priority. Eventually, putting a pure utopian dream and ideology into some three-dimensional forms is just a fictional drawing we made to fulfill the school's credits. [1] Ordos crowned as the largest ghost city in China, housed futuristic-styled architecture enveloping its premium real estate (including Ordos 100, villas designed by 100 prominent architects from all over the world). Photo series on Ordos, captured by French photographer Raphael Olivier, take us inside into the grandeur architecture of Ordos while missing the essential element: human.

More discouragement in developing these non-contextual designs (might or might not be based on utopian ideas) was told informally amongst people in the industry. Only the designs backed by a strong political power and resourceful funding would manifest into a reality. Interesting enough, we find it rare to find the phrase ”political power” and ”resourceful funding” printed in books and journal. It did not appear even on the footnotes. In reality, whether we like it or not, these two subjects are the key points in realizing the non-contextual and further the ”fictional utopian designs”. Bandung, for example, only when an architect and urban designer, Ridwan Kamil became its Mayor then the city could get the long-needed improvements in the built environment. Power and money are the top ”must need items” for architects and planners who are hoping for their non-contextual and utopian designs to be built. Whether the designs are based on a locality or two-century-old idealism, it does not matter. Take the example of China. Over the last three decades,

Row houses (Source: Dwell.com, 2008, photo by Raimund Koch) 54


RUANG | kreativitas tanpa batas

power and money help the construction of ambitious and non-contextual designs of ghost cities all over China. It Includes the famous Ordos in Inner Mongolia1, the Manhattan duplicate or Yujiapu Financial District in Binhai New Area near Tianjin2, and Meixi Lake City. Watching images of these ghost cities feels like reading an imaginary tale that of The Matrix, minus Keanu Reeves. Let say minus all the humans. I even doubt Agent Smith(s) will be willing to make these cities as his headquarters. Visually, there is nothing wrong. Everything is constructed beautifully and precisely as planned, following the very rules of modernist urban design. But, the non-contextuality made the design failed, as people were reluctant to move there. No income resources, no attraction, no whatsoever. The modern mega-scale ghost cities were built in the middle of nowhere, disregarding the potential and issues of the locations or region. No economic activities, no social interaction, and no reason for people to live there, thus, no humans in sight in the ghost cities. But does it matter? No. Until present, China is still building new ghost cities despite the lack of inhabitants, failure of its national economy, and the acknowledgment of ”missteps” from its planners3. The government's higher-ups still demand it be built in realizing the dream of civilizing the rural areas and put people in a better environment. Hence, the money keeps pouring in. Power and money could also bring forth a seemingly simple idealistic, noncontextual project into reality. Take Lafayette Park in Detroit for example. It

[2] Yujiapu’s planning was said to be very inspired by the worldfamous Manhattan borough and initially built to be one of the new economic centers in China. It is one of three objects captured by Chicago photographer Kai Caemmerer for his “Unborn Cities” series which depict the eeriness of empty urban landscape of China’s ghost cities formed by tens of skyscrapers. [3] In an article titled “Inside China’s ghost towns: Developers run out of money” (Steve Chao, Al-Jazeera), one of the government agency did make a rare admission about many planners’ in China have made “monetary missteps” in planning these new urban environments. Most of the ghost cities’ construction processes are now sit idle due to national economic decline and capital shortage from the developers.

Lafayette Pavilion Apartments (Source: Dwell.com, 2008, photo by Raimund Koch) 55


edisi #11: Fiksi

[4] Lafayette Park Development, as part of the bigger Gratiot Park Redevelopment, became fast-tracked projects due to Mayor Albert Cobo favor, flourishing oppositions concerned of the neglection of public housing projects.This housing shortage especially affected most Black Bottom residents which were low-income households (Goodspeed, 2004). [5] In the book “Thanks for the View Mr. Mies: Lafayette Park, Detroit”, editors Danielle Aubert, Lana Cavar, and Natasha Chandani restated the finding of several parties that linked the Black Bottom raze in 1950 and its residents’ relocation to a demographically unbalanced neighborhood to the riots culminating in 1967. Due to the aforementioned shortage of public housing, many families temporarily relocated to a more prominent white families neighborhood, thus further sparked the increase in racial segregation and even resulted in physical rejection or altercation (Da Via, 2012).

is the ultimate example of how non-contextual yet applauded as successful in The States a neighborhood design can be towards its host city. Be it from the perspective of political power, financial, even design. First, Lafayette Park is sited strategically next to downtown Detroit. It was initiated with a showcase of unfair political power. More than 140,000 lowincome African American dwellers (mostly manufacture worker emigrants) were razed and relocated from Black Bottom area to make space for Lafayette Park urban regeneration project4. Riots were inevitable back then. It was even said thatLafayette Park and other urban regeneration projects responsible for the riots happened across Detroit one or two decades after. It was said to be one of the projects responsible for helping to further distribute racial discrimination and segregation5. But then the issue died down, as the existing dwellers of the area were forcedly and sparsely sent out to public housings around Detroit neighborhoods. The razed was forgotten over time as if it never happened. Sounds all familiar, it happens in almost every capital cities around the world. Second, it was erected gracefully at the mercy of both federal grant and municipal budget. It was not even a fully titled public housing; mostly was coop type. So, for the government to take the burden in becoming a financier sounded a little extraordinary. But USA was in the height of urban regeneration implementation in post-World War II era, which is the similar program as the one who threatened Jane Jacob's beloved neighborhood. Moreover,

Townhouses and The Landscape in between (Source: Dwell.com, 2008, photo by Raimund Koch) 56


RUANG | kreativitas tanpa batas

this financial control had further become an understandable justification for the government to agree on the design team's proposal of un-American-like modern utopist concept.This was turned into a dream-like state that any designer would ever wish for; liberty to employ and direct their own concept and idea, flat and empty site, and financially guaranteed. The financial security (and recommendation) successfully brought in Herbert Greenwald, a Chicago-based visionary real estate developer. Described as a mentor by Mies van de Rohe, Greenwald then asked the architect himself to join his team and responsible for designing Lafayette Park. Mies was putting his very signature international style architecture in Lafayette Park. Hence, it becomes the biggest collector of Mies' buildings in the world.

[6] The display of creativity was perfectly captured also in the aforementioned book through series of photographs, displaying various appealing interior design from its residents: starting from the sleek international design, exotic tropical island design, to the 2000’s trendy, eclectic shabby chic.

In the midst of Detroit's typical mansion-styled landed houses, Mies offered the Detroit citizen to stay in cold, modern, glass high-rise apartment. Many voiced out their doubts in this seemingly odd invitation. However, the Lafayette Park residents eventually loved these ”out-of-place” buildings.They cited that the views offered from the units' floor-to-ceiling windows were oneof-a-kind and the interior neutral design invited creativity from its residents. Those who could find Mies true intention all along chose to stay in in the high-rise apartment (and Lafayette Park) for a long time6. Next, Mies brought in his colleague Ludwig Hilberseimer, urban planner and fellow lecturer in Illinois Institute Technology (IIT). Hilberseimer played a key role by offering the idea of housing taxonomical clustering or ”unit settlement” as the main concept in the project. He grouped the housing typology as high rises, row houses, and courthouses, which connected together by the beautiful natural landscape designed by Alfred Caldwell. The display of Garden City Movement concepts was very apparent here, not to mention the utopian dream which emphasizes the importance of urban and nature to coexist together peacefully. A closer look, this type of design was deemed as unfit for Detroit by many; fenceless community, barrier-less residential quarters, and open

The Townhouses (Source: Dwell.com, 2008, photo by Raimund Koch) 57


edisi #11: Fiksi

layout. It was somewhat the exact opposite of Detroit's nature and reputation: crime-ridden city decorated with economic fallacy. More concerns were thrown into the shade afterward, as Downtown Detroit was left by its inhabitants out of fear of the ever-increasing drug-related crimes.

Staircases (Source: Dwell.com, 2008, photo by Raimund Koch)

What everybody failed to predict at the time was the noncontextuality of Lafayette Park design layout and architecture wise is what makes it successful. It brought in its targeted main residents: a multiracial, multigenerational, economically-diversified community. Lafayette Park's progressively bold layout and futuristic look attracted similarly open-minded and visionary residents from a variety of classes and circles. The openness of Lafayette Park further governed their open-mindedness into a more advanced behavioral and interaction pattern.The residents became a close-knit community that friendly towards and take care of each other. Friendly neighborhood and community watch were just several examples of how good this community are and how much they love Lafayette Park.Their devotion and admiration towards Lafayette Park even gone to the length of holding an exhibition of Mies' architecture collection there. Also, even composing the most elaborate ”post-occupancy assessment” book called ”Thanks for the View Mr. Mies: Lafayette Park, Detroit” presenting history, memorabilia, testimonies, and facts about their beloved neighborhood. This successfulness then further assessed by academia through the book ”CASE: Lafayette Park Detroit, Hilberseimer/Mies van der Rohe” with Charles Waldheim–a professor of Landscape Architecture at Harvard University's Graduate School of Design as editor. The dream of democratic leveling in a city famous for its crime and inequality through a plain-looking, fenceless housing complex sounded like a make-up fiction written by a dreamy third-grader. But, Mies van de Rohe had proven that a non-contextual, utopian design might actually work in breaking the bad nature and image of its host city, thus helping it to heal in the process. Of course, please, do not leave out the political power, funding, and timing that came as ingredients in making this idealistic design to life. 58


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Mies van de Rohe had proven that a non-contextual, utopian design might actually work in breaking the bad nature and image of its host city, thus helping it to heal in the process.� Laras Primasari

59



DISTOPIA HUNIAN KEKINIAN Tania Chumaira

Perkembangan teknologi informasi dan media telah mengubah persepsi dan cara kita berinteraksi dengan ruang. Saat ini kita sudah mulai menghuni ruang virtual, dan relasi tersebut semakin dalam. Jika demikian, apa yang akan terjadi antara kita dengan ruang realitas? Kita dan Ruang Salah satu episode serial Big Bang Theory membuat saya berpikir bahwa cara kita menempati ruang dan tempat sudah banyak berubah karena perkembangan media dan teknologi informasi. Di salah satu episodenya, Sheldon, si karakter utama, memilih untuk merasakan pengalaman ruang hutan melalui Oculus Rift (perangkat virtual reality). Meskipun pengalaman yang disampaikan hanya sebatas visualisasi dan suarasuara alam buatan melalui speaker komputer, Sheldon, tetap bergerak seolah dirinya berada di hutan dengan menggerakan badan dan tangannya. Bahkan ketika dia melihat kupu-kupu, dia menjulurkan jemarinya seolah mendekati kupu-kupu yang sebenarnya hanyalah sekumpulan data. Episode tersebut membuat saya berpikir bahwa cara kita menempati dan menikmati ruang dan tempat telah banyak berubah. Perlahan, kita bermigrasi ke ruang virtual yang tersusun oleh data. 61

Left: Pengalaman ruang di hutan buatan (Sumber: Netflix, kompilasi penulis)


edisi #11: Fiksi

Seringkali kita tidak benar-benar merasakan pengalaman first-hand lagi dalam konteks ruang dan tempat. Lebih jauh lagi, kita seakan bisa membawa ruang eksterior ke dalam ruang interior melalui pengalaman Virtual Reality tersebut. Meyrowitz (1985) dalam bukunya yang berjudul No Sense of Place memberikan introduksi yang belum apa -apa sudah membuat saya berhenti sejenak dan berpikir keras. Pada bukunya Meyrowitz memberikan sebuah contoh bagaimana perkembangan media dan teknologi informasi telah mengubah cara kita menempati ruang dan tempat sekaligus bagaimana kita mempersepsikannya. Contoh yang pertama berupa peristiwa penembakan salah satu Presiden Amerika yang ditembak di sebuah acara publik yang mana warganya menyaksikannya entah itu secara langsung maupun di televisi. Ternyata mereka yang menyaksikan di televisi tetap saja memiliki reaksi yang sama dengan mereka yang menyaksikan secara langsung. Karena, menurut Meyrowitz, televisi memberikan pengalaman pertama (first hand) kepada penontonnya. Yaitu berupa ruang yang terbentuk dari kombinasi pengalaman visual, dan audio di lokasi kejadian. Terlepas ruang tempat masyarakat menonton lewat televisi sama sekali berbeda dengan tempat kejadian langsung. Lagi-lagi perkembangan media dan teknologi informasi mampu membuat kita merasakan pengalaman ruang publik di dalam ruang yang lebih privat semisal living room di mana biasanya kita menyaksikan televisi. Contoh yang kedua diambil dari kejadian sehari-hari di rumah ketika orang tua di tahun 1980-an seringkali memberikan hukuman anaknya dengan tidak memperbolehkan mereka keluar kamar atau keluar rumah. Meyrowitz mengatakan bahwa saat media dan teknologi informasi belum mumpuni, hukuman mengisolasi anak di dalam kamar berimbas signifikan. Dalam artian anak menjadi terisolasi dengan apa yang terjadi di luar kamarnya, terisolasi dari berbagai informasi dan dunia sosialnya. Anak menjadi jera karena dengan dihukum, kebutuhannya untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan bersosialisasi akan diputus. Namun, dengan adanya teknologi, hukuman seperti itu tidak lagi memberikan pengalaman isolasi bagi anak. Di cyber-age seperti sekarang ini, sekalipun seorang anak mendapat hukuman untuk tinggal di kamarnya saja, dia tetap mampu berkomunikasi dengan temannya melalui pesan singkat atau telepon. Saya pun berpikiran bahwa saya tidak akan merasa terisolir dengan sanksi seperti itu. Telepon genggam saya tetap bisa membuat saya berkomunikasi dengan teman saya, dengan dunia sosial saya. Sehingga, barangkali, tidak ada ruang yang benar-benar publik dan tidak ada ruang yang benar-benar privat. 62


RUANG | kreativitas tanpa batas

Matsuda (2010) mengungkapkan lebih lanjut bahwa saat ini terjadi dislokasi dalam ruang privat dan publik di mana keduanya saling mengekspansi. Seseorang di kendaraan umum (ruang publik) bisa dengan mudahnya mengganti moda ruang menjadi ruang privat hanya dengan mengenakan headsetnya. Mendengarkan lagu pilihan sambil menatap layar ponsel yang familiar baginya membuat dia merasakan pengalaman ruang tertentu yang personal tanpa harus terpengaruh dengan apa yang terjadi di sekelilingnya. Begitu pula sebaliknya, ruang privat pun terekspansi oleh ruang publik. Adanya akses dari dunia luar di dalam ruang privat entah itu internet dan media elektronik membuat kita tidak benar-benar berada di ruang privat (Spigel, 2005). Kita bisa mengambil contoh ketika kita melakukan tele-conference via Skype untuk berdiskusi soal pekerjaan di ruang kamar di malam hari. Di waktu di mana biasanya kita beristirahat di rumah, tekologi masih menjangkau kita dan menariknya ke ruang publik bersama dengan kolega yang lainnya. Ruang privat-publik, ruang eksterior-interior, ruang fisik-virtual; teknologi seperti menghapus batas antara ruang-ruang tersebut. Lebih jauh lagi, teknologi mengubah perilaku kita dalam menempati dan mempersepsikan ruang. Menghuni Data Perkembangan teknologi khususnya di bidang telekomunikasi kerap menjadi bagian dari keseharian kita. Ponsel, koneksi internet, dan aplikasi memberikan makna yang lebih dari sekadar penghubung. Mereka yang tersusun atas material nyata dan data membentuk ruang lain di luar ruang fisik yang kita tempati. Ada sebuah argumen yang menarik bahwa perangkat elektronik kecil saat ini dinilai sebagai sebuah rumah atau hunian (Caldwell, 2000). Benda-benda tersebut memiliki aspek domestik karena wujudnya yang bisa dipersonalisasi maupun diinjeksi kepribadian. Kita menginjeksi benda-benda tersebut sesuai dengan kepribadian kita. Kita mengatur bagaimana tampilannya, penyusunan data di dalamnya, dan bagaimana benda-benda tersebut tampak di mata kita atau orang lain. Barangkali sama seperti mendekor sebuah ruang hanya saja dengan pendekatan yang berbeda, utilisasi data. Tanpa sadar tampilan antarmuka dan juga laman sosial media nampak seperti sebuah fasad. Sebuah elemen arsitektural yang kita bagi kepada publik. Kita mendekorasinya, membuatnya tematik, semua disesuaikan dengan cita rasa estetika empunya. Laman dibuat sedemikian rupa merefleksikan siapa pemiliknya.

Hiroki Muto Lebih jauh lagi, ruang tersebut, yang sejatinya hanyalah kumpulan data menjadi sebuah ruang yang sangat nyaman untuk dihuni. Kita menghabiskan banyak waktu di sana dan berbicara dengan teman atau keluarga melalui media tersebut. 63


edisi #11: Fiksi

Sebuah proyek yang dibuat oleh Pew Internet dan American Life bahkan mengatakan bahwa dalam periode tahun 1985-2004 jumlah teman dekat (atau katakanlah sahabat) yang dimiliki oleh responden berkurang dari tiga orang ke dua orang. Dan tiga puluh persen orang-orang yang sangat gemar menggunakan Facebook cenderung tidak mengenal tetangganya. Morin (2013) yang merupakan CEO dari sosial media Path kerap mengutarakan bahwa Indonesia merupakan pengguna terbesar sosial media tersebut dengan persentase sekitar lima puluh persen. Tidak hanya Path, Indonesia pun cukup dominan di jejaring sosial lain seperti Facebook (Novianto, 2013). Teknologi dan internet tidak hanya menghapuskan batas antara ruang privat dan publik atau juga membuat interaksi yang terjadi antar individu berpindah ke ruang virtual. Igauan Barangkali secara perlahan kita bermigrasi ke ruang virtual yang tersusun atas sekumpulan data. Kita beranjak untuk menghuni data, berinteraksi melalui data, dan juga beraktifitas menggunakan data. Pikiran dan jiwa kita sejauh ketikan jari mampu mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan dunia tanpa harus badan kita bersusah payah bergerak. Kita menghuni data tersebut. Hal ini membuat saya berpikir tentang distopia dari teknologi, internet, dan rekan-rekannya. Apakah nanti peran ruang fisik mampu tergantikan dengan ruang virtual yang tersusun atas data? Apakah nanti kecanggihan representasi data mampu benar-benar menggantikan semua pengalaman first-hand penginderaan? Ketika “Model K� Adder diciptakan sebagai purwarupa komputer yang pertama kali, tidak terbayangkan perpindahan data bisa menjadi secepat dan sepraktis sekarang. Tanpa kabel. Barangkali seiring dengan terjadinya perkembangan teknologi, representasi sempurna akan sebuah data pun bisa semakin mumpuni. Bisa jadi tidak hanya representasi audio dan visual saja yang bisa disajikan. Dan ketika keterikatan kita terhadap ruang virtual tersebut semakin dalam, apa yang akan terjadi dengan kita dan ruang fisik? Apakah manusia tidak akan bertegur sapa lagi dan semakin sibuk dengan laman media sosialnya? Apakah diskusi keluarga akan terjalan melalui grup sebuah aplikasi? Apakah nilai seorang teman terlihat dari seberapa banyak kita mengunggah foto bersama di sebuah media sosial? [1] Matsuda, K. 2010. Domesti/City:The Dislocated Home in Augmented Space.Thesis (M.Arch.). 64


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Apakah nanti peran ruang fisik mampu tergantikan dengan ruang virtual yang tersusun atas data? Apakah nanti kecanggihan representasi data mampu benar-benar menggantikan semua pengalaman firsthand pengindraan?� Tania Chumaira

65


edisi #11: Fiksi

66


RUANG | kreativitas tanpa batas

Eksistensi Ruang Sosial pada Rumah Susun, [fiksi]kah? Annisa Nur Ramadhani

Hunian horizontal vs vertikal: topik yang nampak telah berpuluh tahun menggema di masyarakat. Saat transisi menuju hunian vertikal sudah tak bisa dielakkan lagi di zaman moderen, muncul pertanyaan baru: apakah kualitas lingkungan dan hunian yang sama dapat dihadirkan untuk penduduk yang sama? Dunia semakin berkembang. Dalam dimensi waktu, perubahan tak terelakkan. Perkembangan dalam lini manapun menjadi lumrah, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Penduduk berkembang, padat merayap di perkotaan. Sudah tentu hal ini akan mengakibatkan pertambahan kebutuhan, sebut saja yang primer; sandang, pangan, dan papan.

nya padat dan sesak, hingga terkadang golongan masyarakat kurang mampu dan terpinggirkan mendapatkan yang tidak layak. Dan ketika berbicara hunian untuk masyarakat berpenghasilan rendah, sudah hampir dipastikan mereka kurang berdaya dan kebanyakan menjadi pihak yang lebih dirugikan. Banyak terjadi kasus sengketa lahan permukiman yang pada akhDalam era urbanisasi ini, kebutuhan irnya berujung pada penggusuran dan akan hunian di perkotaan semakin kurang terpenuhinya hak-hak mereka hari semakin meningkat, menjadikan- akan sebuah hunian yang layak. 67

Gambar kiri: Rusunawa Sombo, Surabaya. Sumber: dokumentasi penulis.


edisi #11: Fiksi

Padahal, dalam forum Habitat III di Quito September lalu, bukankah terdapat penjanjian akan pentingnya “adequate shelter for all�? Apakah ini hanya akan menjadi pasal pasal normatif yang tercetak namun miskin implementasi? Memang, bukan hal mudah untuk mewujudkannya, bahkan mungkin sangat sulit mengingat dinamika masalah yang terjadi pada negara berkembang seperti Indonesia. Problematika tersebut menjalar menjadi sebuah masalah multidimensional, bahkan bercabang ke segala penjuru. Menyentuh aspek aspek vital seperti ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lainnya.

land itu benar benar ada, atau hanya faktor kebijakan yang tidak bisa membagi peruntukan lahan dari kotanya secara seimbang. In Situ Development or Relocation? Pada awalnya, ketidaksetujuan akan penggusuran dan ide relokasi ke rumah susun tercetus karena menurut saya rumah susun tidak akan pernah bisa melahirkan ruang sosial yang dibentuk seperti halnya di sebuah kampung. Tipologi vertikal dan keterbatasan ruang dalam rumah susun membuatnya kurang bisa mewadahi dinamika aktivitas sosial yang terjadi. Lain halnya di kampung, dimana sebuah gang kampung dapat menjelma menjadi fungsi yang beraneka ragam dan sarat makna sosial. Karena itu, sebuah kampung memiliki makna yang lebih dari sebuah ruang sosial, ruang budaya, ruang ekonomi, ruang hidup, kenangan, sejarah, dan cita-cita.

Scarcity of land. Apakah benar terjadi? Lahan, salah satu elemen terpenting untuk membangun sebuah hunian. Tanpanya, rumah tidak akan bisa berpijak. Namun yang menjadi permasalahan adalah menipisnya ketersediaan lahan di perkotaan yang diperuntukkan (murni) untuk hunian. Kampung menjadi identitas dari Menipisnya lahan atau kelangkaan lahan ini biasa disebut dengan scarcity sebuah kota tempat budaya lahir dan tumbuh berkembang. Tempat of land. masyarakat khususnya yang berpengNamun, benarkah scarcity of land hasilan rendah dapat memiliki ruang untuk lahan permukiman ini benar- sosial dengan permaknaan yang palbenar terjadi? Karena bisa jadi per- ing maksimal. Kampung juga bisa masalahan scarcity of land itu non- menjelma menjadi sebuah bentuk roexistent dan merupakan sebuah mantisme sosial masa lalu yang dipermisreading atau mistreatment dari tahankan dan terus berkembang. Dan para pemangku kepentingan. Dima- ketika kampung masih memungkinkan na sebuah kota bisa jadi tidak benar untuk dipertahankan sebagai sebuah benar mengalaminya, melainkan han- kampung, berbagai pihak harus bahu yalah permainan peruntukan lahan membahu untuk memperjuangkan yang disalahfungsikan untuk hal-hal dan memperbaiki kualitasnya, mukomersial, yang menurut hitungan lai dari pihak pemerintah, akademisi, ekonomis lebih menghasilkan keun- NGO, praktisi, dan sudah tentu partungan. Entahlah. Apakah scarcity of tisipasi masyarakat sendiri. 68


RUANG | kreativitas tanpa batas

Namun sekarang muncul pertanyaan lain, bagaimana ketika itu sudah bukan lagi sebuah kampung yang berpredikat slum, tapi squatter? Dimana slum adalah daerah yang sifatnya kumuh dan tidak beraturan yang terdapat di perkotaan, yang umumnya dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Namun dalam hal ini, slum masih merupakan hunian legal namun kondisinya kurang memadai. Sedangkan squatter adalah suatu pemukiman liar dan ilegal yang digambarkan sebagai suatu wilayah hunian yang telah berkembang tanpa meminta ijin kepada otoritas yang terkait untuk membangun; merupakan pemukiman yang tidak sah atau semilegal status, infrastruktur dan jasa pada umumnya juga tidak memadai. Bagaimana apabila kampung tersebut berupa squatter atau permukiman liar dan ilegal yang berdiri bukan di tanah mereka sendiri namun tanah pemerintah ataupun tanah swasta? Dan bagaimana ketika tanah

tersebut milik pemerintah yang rencananya akan difungsikan untuk halhal vital seperti fasilitas perkotaan nantinya? Atau bagi pihak swasta, tanah tersebut berharga sangat mahal dan akan dikembangkan menjadi kawasan real estate dengan keuntungan berjuta dollar? Tentunya dalam beberapa kasus tertentu masyarakat penghuni tersebut tak akan berdaya, pihak pihak pemilik tanah pasti akan memperjuangkan hak miliknya. Dan rumah penduduk tersebut hanya akan tinggal puing puing yang diratakan, sama ratanya dengan kenangan dan sejarah didalamya.

“Ketika menghadapi kondisi tersebut, jawaban satu-satunya adalah into the vertical, alias relokasi

69

Salah satu contoh squatter. Sumber: Dokumentasi penulis.


edisi #11: Fiksi

[1] Lang, Jon, 1987, Creating Architectural Theory: The Role of the Behavioral Sciences in Environmental Design. Van Nostrand Reinhold Company. [2] Rolalisasi, A., Santosa, H., Soemarno, I., 2013, “Social Capital of Urban Settlement”, Psychology and Behavioral Sciences 2(3), p. 83-88. [3] Funo, Shuji,. 1985, “Dominant Issues of Three typical Kampungs in Surabaya and Consideration on Kampung Housing System, Studies of Transitional Process of Kampungs and Evaluation of KIP”, Proc. Symposium Peran Perbaikan Kampung Dalam Pembangunan Kota di Indonesia.

Menggali Ruang Sosial Hunian di tengah Keterbatasan. Ketika satu satunya jawaban adalah relokasi ke rumah susun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana lingkungan rumah susun tersebut dapat menjadi sebuah jelmaan representasi kampung yang sarat makna. Bagaimana sebuah tipologi rumah susun dapat menjadi pengganti fungsi hunian di kampung yang mewadahi ruang sosial penghuninya? Juga sebagai ruang ekonomi, budaya dan bahkan ruang bersama untuk menggalang secercah asa perubahan. Lalu pertanyaannya, bagaimana? Sebelum membahas permasalahan tersebut, marilah kita mengenal hakikat ruang dalam permukiman terlebih dahulu. Dalam definisinya, space atau ruang, termasuk outdoor space, adalah salah satu hasil dari arsitektur dan urban design (desain perkotaan). Space atau ruang ini dipengaruhi oleh geografi, lingkungan terbangun, sosial, budaya yang dapat mengarahkan (affordance) perilaku manusia ke dalam suatu pola tertentu.1 Selain itu, space juga dipengaruhi oleh persepsi, pengalaman, perilaku spasial, dan makna yang dirasakan oleh user atau pengguna. Persepsi sesorang terhadap space juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Budaya terbentuk secara kontekstual dan memiliki ke khas an masing-masing di berbagai konteks wilayah dan setting. Ketika berbicara tentang konteks, permukiman di Indonesia memiliki dua tipologi, dimana terdapat horizontal housing dan vertical housing. Apabila dikerucutkan lagi untuk 70

konteks masyarakat berpenghasilan rendah, horizontal housing mayoritas berupa kampung dan vertical housing berupa rumah susun. Sepertinya merupakan hal lumrah apabila kita berbicara tentang social space pada tatanan hunian kampung, dimana dalam tipologi ini social stpace yang dihadirkan dapat meraih kondisi optimalnya. Dimana social space yang dapat dihadirkan di kampung beragam, mulai dari ruang sosial antar penghuni, ruang ekonomi, ruang budaya, ruang bermain anak, dan fungsi-fungsi lainnya. Shared outdoor space dalam konteks Kampung terutama pada situasi perkotaan di Indonesia merupakan gang atau jalan kecil yang berada di Kampung. Juga area-


RUANG | kreativitas tanpa batas

menjadi bahasan lebih lanjut yakni tentang kemungkinan penghadiran eksistensi ruang sosial pada hunian vertikal.

area lain di sekitar permukiman yang digunakan bersama untuk kegiatan komunitas warga dan membangun sense of neighborhood.2 Selain itu, open space diluar rumah memiliki peran yang signifikan terhadap kehidupan di kampung. Terutama gang kampung yang digunakan untuk berbagai kegiatan, antara lain memasak, mencuci, bermain, mandi, dan community gathering. Mengurangi luasan shared outdoor space di kampung berarti mematikan kehidupan dan budaya di kampung.3 Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah tipologi hunian vertikal yaitu rusun dapat mewadahi fungsi ruang sosial selayaknya yang terjadi pada kampung? Hal ini akan

Eksistensi Ruang Sosial dalam Rumah Susun, apakah hanya fiksi? Ruang sosial di kampung terbukti bukan menjadi sebuah cerita fiksi belaka. Ia memang ada, nyata, dan dapat dirasa. Lalu bagaimana dengan ruang sosial di rumah susun? Karena bagaimanapun, perkembangan peradaban khususnya di perkotaan akan membawa kita pada satu budaya baru kedepannya, yakni budaya hunian vertikal, rusun salah satunya. Mau tidak mau. Namun yang menjadi kekhawatiran adalah, masyarakat Indonesia belum terbiasa dengan budaya dan pola tipologi rumah susun. Hal ini sama seperti yang terjadi pada Singapura di era 1960an, dimana saat itu terjadi masa transisi masyrakat ke hunian vertikal. Namun usaha tersebut membuahkan hasil, dimana dapat kita lihat sekarang masyarakat Singapura sudah terbiasa dengan budaya hunian vertikal. Hal tersebut menjadi salah satu concern utama pemerintah Indonesia. Bagaimana membiasakan masyarakat Indonesia untuk terbiasa dengan budaya hunian vertikal. Salah satunya dengan upaya penyediaan ruang sosial pada rumah susun, mengingat budaya Indonesia yang terkesan “guyub� menyebabkan kebutuhan akan ruang sosial menjadi penting. Namun hal yang terjadi di lapangan adalah sebaliknya. Koridor rumah susun yang tergolong sempit dan susunan permukiman vertikal kurang dapat mewadahi kebu 71

Gang kampung sebagai ruang sosial dan bermain anak di kampung Candirejo, Genteng, Surabaya. Sumber: Dokumentasi penulis.


edisi #11: Fiksi

Atas: Koridor rusunawa yang relatif sempit di Rusun Randu . Bawah: Rusun Penjaringan, Surabaya. Sumber : Dokumentasi Penulis.

tuhan akan ruang sosial dan budaya masyarakat. Seperti contohnya pada rusunawa Penjaringan dan rusunawa Randu di Kota Surabaya berikut. Dimana rusun tersebut memiliki koridor yang relatif sempit, yakni sekitar 1,5 – 2 meter. Lalu dengan kondisi koridor seperti ini, apakah ketercapaian pengadaan ruang sosial tersebut dapat terpenuhi? Rasanya sulit untuk menghadirkan ruang sosial yang sarat makna tersebut dengan keterbatasan ruang ini. Lalu, [fiksi]kah eksistensi ruang sosial pada rumah susun? Belajar pada Rusunawa Sombo, Surabaya. Tidak perlu terburu-buru untuk mendefinisikan sesuatu. Seperti tentang pertanyaan apakah ruang sosial pada rumah susun hanyalah sekedar fiksi belaka. Karena semua pertanyaan pasti dirancang untuk menemui sebuah jawaban. Agar jawabannya bukanlah sebuah fiksi belaka, kini muncullah satu pertanyaan penting tentang bagaimana peran arsitek yang harus sebisa mungkin mendesain koridor rusunawa sehingga dapat mengakomodir ruang sosial penggunanya seperti di kampung. Karena koridor rusun adalah ruang sosial yang memiliki jangkauan terdekat dengan unit hunian, sehingga masyarakat seperti ibu-ibu dan anakanak lebih cenderung menghabiskan waktu untuk bersosialisasi di koridor rusunawa dari pada harus turun ke bawah di area playground umum. Pola kecenderungan aktifitas tersebutlah yang harusnya ditangkap oleh arsitek sehingga dapat menciptakan ruang sosial di koridor yang terjangkau, nyaman, dan tepat guna. 72

Dalam hal ini kita bisa belajar pada rusunawa Sombo di Kota Surabaya. Rusunawa Sombo yang dibangun sejak tahun 1989 ini didesain dengan koridor lebar dengan tujuan mewadahi behaviour setting penggunanya sama seperti karakteristik gang di Kampung. Koridor yang sangat lebar 3m-9m memberikan kesan sangat longgar, dipakai sebagai ruang bersama dengan bentuknya yang dinamis.


RUANG | kreativitas tanpa batas

Atas: Rusunawa Sombo, Surabaya. Bawah: Kegiatan ruang sosial di koridor rusunawa Sombo, Surabaya. Sumber: Dokumentasi penulis.

73


edisi #11: Fiksi

[4] Silas, Johan, (1996) Kampung Surabaya Menuju Metropolitan, Permukiman Marjinal Amat Liar. Surabaya. [5] Silas, Johan,. 1993, Pidato Pengukuhan untuk Jabatan Guru Besar Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. Surabaya.

Mayarakat rusun Sombo ini merupakan masyarakat permukiman kumuh Sombo yang direlokasi ke rusun. Permukiman kumuh tersebut mempunyai tingkat kepadatan yang sangat tinggi dan sangat kumuh.4 Dalam sejarahnya, rumah susun Sombo merupakan hasil urban renewal dan relokasi dari warga yang tinggal di kampung kumuh dengan lokasi yang sama sebelumnya. Pola budaya masyarakat yang terbiasa tinggal di kampung dengan aktifitas sosial yang tinggi mengakibatkan pola setting lingkungan yang diharapkan pada rusunawa dapat mewadahi aktifitas sosial seperti di kampung. Namun tentunya terdapat perbedaan yang dipengaruhi oleh setting lingkungan, dimana rusunawa yang bersifat vertical space dan kampung yang bersifat horizontal space. Untuk mengatasi hal tersebut, dilakukan 74

pendekatan partisipatif yang tujuannya yaitu mempertahankan gaya hidup yang sudah biasa dianut masyarakat kampung yaitu guyub dan bersama. Lalu diusahakan juga agar pola komunitas terjaga dengan baik. Penduduk juga diberi peluang untuk tidak saja berpartisipasi dalam menyetujui pola perencanaan yang ditawarkan, tetapi diberikan pula kesempatan untuk berpartisipasi dalam finishing kekhasan di masing-masing blok, seperti perumahan di kampung. Hal ini membuat masyarakat lebih menyatu dengan rumah dalam standar yang lebih tinggi.5 Dengan adanya pendekatan ini, dapat diidentifikasi aktifitas masyarakat yang terjadi di rusun Sombo hampir sama dengan aktifitas penduduk di kampung. Dengan desain koridor yang cukup lebar dan luas tersebut, banyak dinamika aktifitas ruang sosial yang dapat terwadahi. Dalam hal


RUANG | kreativitas tanpa batas

ini, koridor menjadi sebuah tempat penghubung kegiatan bersama penghuni rumah susun. Seperti contohnya kegiatan primer yang selalu dilakukan penghuni setiap hari yakni makan, mandi, mencuci, menjemur pakaian, dan memasak. Juga kebutuhan aktifitas sekunder seperti bersosialisasi, bermain, berdagang, dan lain sebagainya.

Dan apabila sebuah hunian seperti rusun tidak ramah terhadap anak dalam bentuk penyediaan ruang bermain, tentu dapat dibayangkan betapa buruk dampaknya terhadap perkembangan anak. Karena seperti statement Lynch yakni “a good world for children is a good world for all� (Lynch,1984).

Meskipun pada implementasinya, mendesain rumah susun secara partisipatif tentunya tidak mudah, butuh waktu dan proses yang panjang. Bahkan mungkin biaya yang juga tidak murah. Namun apabila masyarakat bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukankah proses yang panjang tersebut patut untuk diperjuangkan? Koridor pada rusunawa Sombo juga dapat dimanfaatkan sebagai ruang bermain anak yang nyaman. Karena bagaimanapun, anak akan menghabiskan waktu terbanyaknya berada di rumah. Mulai dari bermain, bersosialisasi, bercengkrama, belajar, sampai pembentukan karakter dasar pribadi masing-masing anak.

Selain itu yang menjadi menarik, banyak personalisasi yang dilakukan penghuni terhadap koridor dalam rangka memenuhi aktifitas sehariharinya. Akibatnya bukan hanya ruang sosial yang terbentuk, melainkan fungsi lain seperti ruang ekonomi juga dapat dilakukan di koridor rusunawa Sombo. Mulai dari aktifitas

75

Kiri: Ruang ekonomi yang terjadi pada koridor rusunawa Sombo, Surabaya. Sumber: Dokumentasi penulis. Bawah: Kegiatan ruang sosial di koridor rusunawa Sombo, Surabaya. Sumber: Dokumentasi penulis.


edisi #11: Fiksi

ekonomi individu penghuni, aktifitas jasa seperti menjahit, sampai koridor rusunawa dapat menjadi tempat berdagang pedagang kaki lima. Meski tak seharusnya seperti itu, namun aktifitas ekonomi tersebut terbukti mendapat respon positif dari penghuni. Hal ini dikarenakan desain rusunawa yang menyerupai pola hidup mereka saat masih di hidup di Sombo yang berbentuk kampung dulu. Dimana para penghuni dapat memiliki bisnis keluarganya sekaligus menjadi konsumen untuk produkproduk yang dijajakan tanpa harus keluar dari blok rusunawa. Namun sayangnya kondisi dan aktifitas sosial ini jarang kita temui pada rusunawa relokasi yang ada di Jakarta saat ini. Salah satu contohnya adalah yang terjadi pada warga rusun relokasi eks Kampung Pulo yang mengeluhkan banyak kebiasaan warga Kampung Pulo yang berubah setelah dipindahkan ke Rusunawa Jatinegara Barat. Banyak hal-hal yang tidak bisa didapati lagi di rusun, seperti para tetangga yang setiap sore berkumpul di pinggir sungai untuk sekadar mengobrol atau arisan, anak-

76

anak mengaji dan pergi ke masjid, juga aktifitas berdagang warung di depan rumah yang tidak bisa dilakukan lagi di rusun dan menyebabkan penurunan penghasilan warga yang cukup signifikan (tempo.co/03-09-2015). Dalam studi kasus ini, terlihat bahwa koridor rumah susun juga dapat menjadi sebuah penjelmaan dari gang kampung dengan turut serta membawa permaknaannya sebagai ruang sosial yang paling optimal bagi penghuni. Sehingga menjadi bukti, bahwa apabila rumah susun didesain dengan strategi desain yang baik serta melibatkan partisipasi masyarakatnya, ruang sosial yang dihadirkan bukan hanya sebuah fiksi dan klise belaka. Ruang sosial tersebut dapat menjelma menjadi suatu makna yang nyata. Meskipun pada implementasinya, mendesain rumah susun secara partisipatif tentunya tidak mudah, butuh waktu dan proses yang panjang. Bahkan mungkin biaya yang juga tidak murah. Namun apabila masyarakat bisa mendapatkan apa yang mereka inginkan, bukankah proses yang panjang tersebut patut untuk diperjuangkan?


RUANG | kreativitas tanpa batas

Pendekatan partisipatif yang dilakukan saat pembangunan Rumah Susun Sombo berhasil mempertahankan gaya hidup yang sudah biasa dianut masyarakat kampung: Guyub dan Bersama. Pola komunitas terjaga dengan baik dan banyak aktifitas yang biasa terjadi di kampung terlihat pula hadir di lingkungan rusun Sombo.

Annisa Nur Ramadhani

77



RUANG | kreativitas tanpa batas

ALTER SHELTER FIKSI HUNIAN METROPOLITAN Yusni Aziz

Di saat kota semakin melebar, akses ke hunian terjangkau semakin menyempit. Pembangunan hunian di tengah kota tak kunjung berhenti, tapi tiap harinya penduduk semakin terpinggirkan dari sana. Mayoritas kelas menengah dan bawah sudah hanyut dibawa arusnya, sehingga janji manis untuk melepas jeratan biaya rumah jadi senjata ampuh politikus di kala pemilihan gubernur. Johan Silas telah menuliskan realita ini secara rinci di “Perumahan Dalam Jejak Paradoks�. Ia berpendapat para pengembang memang tidak memiliki prioritas untuk membuat ruang yang dihuni, tetapi untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya. Akhirnya yang mampu membeli, belum tentu mau. Dan yang mau, malah belum tentu mampu. Situasi yang ironis lalu tersibak saat malam menjelang. Lampu unit-unit apartemen dan banyak perumahan tetap mati, meski mereka ada yang memiliki. Semua sengaja dibiarkan kosong, menunggu dijual lagi dengan harga yang lebih tinggi. Di tahun 2014 saja, Bappenas sudah mencatat ada sekitar 200 ribu unit hunian tidak ditinggali di Jabodetabek, dan mayoritas adalah hunian mewah. Pengembang tentu senang dengan cepatnya para investor dan spekulan melahap hunian yang mereka sediakan, namun awam hanya bisa meratapi saat harga rumah dan tanah meroket karena kompetisi yang tak berkesudahan. 79

Kiri: Koridor publik dalam rusun Sombo. ŠYusni Aziz


edisi #11: Fiksi

Generasi milenial sudah terkena imbasnya. Riset Rumah123.com dan Karir. com menemukan hanya sekitar 17% dari mereka yang mampu membeli rumah tapak sekunder di Jakarta. Standar gaji minimal digunakan dalam penelitian dimana seseorang harus memperoleh sekitar 7,5 juta per bulannya agar dapat mencicil rumah. Lambatnya kenaikan upah karyawan tentu tidak dapat mengimbangi lonjakan harga properti dari waktu ke waktu. Tuntutan hunian akan semakin mencekik calon penghuninya. Berbagai opsi bermukim lalu muncul sebagai siasat, baik formal maupun informal. Di Surabaya, area pergudangan kosong dihuni secara komunal oleh 20-30 keluarga. Sedangkan di Jakarta, gaya hidup Co-Housing sudah mulai mewabah di kalangan muda.Tidak ketinggalan, gaya hidup Co-Living juga mulai diujikan di perkampungan melalui rumah contoh Tongkol. Setelah ini, alternatif apa lagi yang akan muncul? Bergerak dari kegelisahan serupa, Orange House Studio mengadakan Alter Shelter pada tanggal 6-11 Februari 2017 di Surabaya. Workshop ini mengajak para pesertanya untuk membedah kembali narasi hunian metropolis dan menggali alternatif yang tidak hanya hadir sebagai sebuah ide, tapi juga kritik terhadap realita. Selama seminggu, peserta berkesempatan untuk melakukan riset dan studi lapangan, didampingi oleh lima mentor. Mereka juga dapat berdiskusi langsung dengan pakar dan praktisi di bidang permukiman, seperti Johan Silas (Lab. Permukiman ITS), Retno Hastijanti (UNTAG), dan Epriyanta Hermawan (perwakilan developer properti syariah). Dari kegiatan ini, lahir empat proyek yang dipresentasikan dalam berbagai media. “Extreme Privacy” muncul dari refleksi Niti Anggarajati akan pengaruh teknologi pada gaya berhuni di masa depan. “Mall Sudah Suratan” datang dari keinginan Salanura Amini untuk menceritakan terhapusnya kampung Plemahan Surabaya, dengan keterlibatan sukarela dari para penghuninya. Faisal Rizaldy mencoba mempertanyakan apakah kaum freelancer membutuhkan hunian yang luas saat sebagian besar aktivitasnya dihabiskan di luar rumah lewat “Kapsul Musafir”. Dan “Minimal-is” karya Shalim T.R.Y. mengusulkan sistem okupasi ruang-ruang kosong kota melalui hunian temporer yang diselenggarakan secara komunal. Di hari terakhir, para peserta membahas karya mereka bersama Johan Silas dan Retno Hastijanti. Saat merespon “Extreme Privacy”, Johan menyatakan gaya hidup smart living tak akan berfungsi baik di kota Indonesia jika masyarakatnya belum smart. Karena itu Surabaya tidak hanya berusaha membangun infrastruktur dan pemerintahan yang smart, tapi juga menyebar Broadband Learning Center dan seribu perpustakaan di berbagai kampung. Jika masyarakat sudah mampu, maka gaya hidup akan otomatis mengikuti.

80


RUANG | kreativitas tanpa batas

Menanggapi “Minimal-is”, Johan berujar sistem okupasi yang diusulkan sangat potensial karena kota masih punya banyak ruang kosong yang bisa diolah kembali. Ia menambahkan, “kita harus berubah pikiran bahwa hunian membutuhkan tanah. Ia hanya butuh ruang kok. Kalau kita bicara ruang yang tentu masih banyak kesempatan. Seperti di atas sebuah bangunan, area-area sisa di dalam kota, dan sebagainya”. Retno Hastijanti mengatakan “Kapsul Musafir” berpotensi menjadi permukiman sederhana daerah rawan bencana, dan area bantaran sungai karena strukturnya yang temporer. Saat membahas “Mall sudah Suratan”, ia berpendapat arsitek dan ahli tata ruang tidak bisa menghalangi warga untuk menjual rumah mereka karena ingin kondisi ekonomi yang lebih baik. Apa yang kemudian bisa dilakukan adalah pemberdayaan komunitas, dan usulan inovasi pada program dan tipologi rumah kampung. Sesederhana mengenalkan ruang-ruang produksi yang dapat mendatangkan keuntungan ekstra seperti kos, hotel untuk pelancong, atau lainnya. Hal itu dapat memberi alasan warga untuk mempertahankan rumahnya, dan tidak menjual pada pengembang. Pada akhirnya, keempat proposal masih membuka diri untuk menjadi wacana lebih lanjut dengan berbagai pihak. Orange House Studio juga berencana untuk membuka Alter Shelter II, yang juga akan mengupas problematika sekitar cara berhuni di metropolis. Untuk mencari narasi baru hunian, untuk kita dan anak cucu kita nanti. Extreme Privacy Oleh Niti Anggarajati Visualisasi Extreme Privacy. ©Niti Anggarajati

81


edisi #11: Fiksi

Ada hal kontras yang bisa kita temukan di dua tipe tempat bermukim masyarakat. Ketika di kampung, permukiman padat dengan luas tiap unit yang terbatas: aktivitas komunal seperti mengobrol, mencuci baju bersama, mandi di sungai, dan anak-anak bermain, adalah pemandangan umum yang dapat dengan mudah kita temui. Namun tidak ditemukan jika kita berada di perumahan formal. Rumah berpetak rapi, halaman-halaman asri dengan tatanan apik tanaman di fasilitas umumnya ternyata tidak dibarengi dengan semarak kegiatan manusia di dalamnya. Kemana mereka? Sebuah temuan akan ketidaksempurnaan ruang yang terjadi di setiap unit tinggal di perkampungan menggelitik kami untuk menggali lebih dalam bagaimana cara hidup mereka dalam merespon ketidaksempurnaan tersebut. Luasan rumah yang terbatas, tidak memungkinkan untuk menyediakan seluruh fungsi ruang yang dibutuhkan. Sehingga muncul lah ruang-ruang berbagi seperti dapur bersama, toilet bersama, halaman dengan susunan-susunan kursi dan meja untuk mengobrol yang pada akhirnya dapat melengkapi kebutuhan ruang mereka yang belum tercapai. Di sisi lain, perkembangan teknologi menawarkan kemudahan hidup bagi manusia saat ini. Mesin cuci yang menggeser kebiasaan mencuci bersama di tepi sungai, pagar rumah yang menggantikan sistem siskamling demi keamanan, semakin banyaknya teknologi informasi (smartphone, tablet, televisi, dsb) yang mengurangi usaha orang untuk mencari informasi.

Mockup Extreme Privacy. ŠOrange House Studio

Pada akhirnya, kemudahan teknologi ini mengurangi intensitas dan luasan gerak manusia oleh karena kebutuhan dapat didatangkan dengan mudah ke tempat mereka berada. Ditambah dengan teknologi VR yang marak saat ini, yang menyajikan pengalaman secara virtual (imajinatif) dan memungkinkan bagi penggunanya untuk dapat berinteraksi dengan lingkungan sekitar tanpa perlu hadir secara langsung di tempat. Menjadi semakin tak terelakkan, jika manusia di masa depan tidak lagi membutuhkan perpindahan tempat jika suatu tempat yang ia ingin kunjungi dapat terepresentasi secara virtual (imajinatif). Bisa jadi juga jika keberadaan ruang-ruang bersama di masa mendatang tidak lagi berwujud fisik namun secara virtual.

82


RUANG | kreativitas tanpa batas

Kapsul Musafir Oleh Faisal Rizaldy Seiring bertambahnya tahun, biaya hidup di Surabaya jadi makin menyesakkan. Harga tanah dan rumah selalu meroket, sementara pendapatan yang saya peroleh tidak kunjung naik. Jika kondisi ini masih masih berlanjut hingga puluhan tahun ke depan, saya lalu ingin bertanya: Di kota masa depan, apakah kaum seperti saya masih butuh rumah? Saya adalah pekerja lepas kelas menengah yang banyak menghabiskan waktu berpindah-pindah di dalam kota Surabaya. Kafe, restoran, warung kopi atau kos teman dapat menjadi tempat kerja sesuai kebutuhan. Terima kasih pada koneksi virtual. Saya tidak perlu alamat kantor, atau rumah untuk menyediakan tempat surat menyurat. Alamat rumah saat ini hanya penting untuk legalitas. Selebihnya, ia hanya menjadi tempat tidur, dan makan seperlunya. Seperti mayoritas pekerja seumuran, saya juga belum memiliki rumah sendiri. Yang dapat saya jangkau, jika memaksakan diri dengan gaji saat ini, hanya hunian yang berada jauh di pinggir kota. Mungkin saya akan menghemat di biaya cicilan rumah, tapi saya harus siap menghabiskan waktu dan biaya untuk komuter setiap harinya. 83

Kapsul Musafir ŠFaisal Rizaldy


edisi #11: Fiksi

Padahal di tengah kota, banyak hunian yang masih kosong. Mereka tidak menunggu untuk dibeli. Sang pemilik memang tidak melihatnya sebagai tempat tinggal, tapi alat investasi. Masih juga banyak tanah kosong, gedung mangkrak yang (entah kenapa) tidak dialihfungsikan untuk jadi hunian kaum saya. Jika ini terus terjadi, lantas apa yang bisa pemerintah masa depan lakukan? Semakin mekarnya jumlah pekerja di bidang jasa, berarti semakin banyak jumlah kaum nomaden yang akan datang di masa depan. Kami sadar, kami tidak butuh banyak. Kami dapat kerja di mana saja. Kami juga bisa bertemu teman dan klien di mana saja. Kami hanya berharap agar hidup kami lebih efisien. Supaya alat untuk kebutuhan dasar kami (mandi, makan, kerja) dapat kami bawa setiap harinya. Supaya mobilitas kami difasilitasi. Dan juga, agar tempat beristirahat dekat dengan area tempat kami bekerja. Pemerintah dapat memanfaatkan data, koneksi virtual, daya wirausaha masyarakat dan ruang-ruang potensial di tengah kota untuk mewujudkan kemungkinan tersebut. Mereka akan memproduksi rumah kapsul untuk kemudian dapat disebar dan disewakan ke kaum nomaden. Kamar mandi, dapur dan ruang makan akan menjadi fasilitas komunal yang disediakan oleh masing-masing pemilik properti. Dengan ini, para pengembara di masa depan mungkin tidak lagi butuh rumah untuk diri mereka sendiri. Mall Sudah Suratan Oleh Salanura Amini Kampung Plemahan Surabaya. ŠOrange House Studio

Di masa depan, kampung Surabaya mungkin hanya tinggal kenangan. Pembangunan sedang menghapus mereka secara perlahan. Kebijakan pemerintah kota Surabaya untuk melindungi kampung dari penggusuran, ternyata tidak cukup untuk menahan eksistensinya. Perkembangan Tunjungan Plaza saat ini sedang mendesak kampung Plemahan tanpa ada huru hara media. Banyak rumah di dalam kampung yang terus dibeli dengan harga yang dirasa layak oleh kedua belah pihak: investor dan pemilik rumah. Apakah realita ini sedang menunjukkan batas resiliensi kampung kota? 84


RUANG | kreativitas tanpa batas

Realita ini menunjukkan bahwa ternyata pembangunan tidak selalu hitam putih, tetapi abu-abu. Mimpi untuk kondisi ekonomi lebih baik selalu menjadi garda depan pembangunan. Lantas memudahkannya menghilangkan memori semangat komunal dan kepedulian warga terhadap kondisi kota dan sekitarnya. Jika ini terus berlanjut, seberapa besar harga yang kita bayar untuk pembangunan?

Instalasi Mall Sudah Suratan Tusuk Gigi: tiang pancang pembangunan. Benang: Simbol menyambungkan namun dapat terputus (kondisi dimana TP menyokong kebutuhan fisik kampung namun juga dapat memutus eksistensi kampung). Gradasi tusuk gigi dan benang yang semakin renggang ke arah kampung merupakan gradasi kondisi fisik kampung saat ini dalam perkembangan kota. ŠSalanura Amini

Minimal-is Oleh Shalim T. R. Y. Arus promosi tren properti yang begitu kuat membutakan masyarakat akan cara menghuni alternatif dalam kota. Masyarakat diyakinkan bahwa cara menghuni terbaik adalah dengan membeli dari sektor formal, menciptakan ketergantungan dan menghilangkan kesadaran akan potensi bahwa mereka dapat membangun hunian mereka sendiri. Pemerintah pun mendukungnya dengan tidak pernah memperhitungkan potensi perumahan swadaya dalam kebijakan nasional, serta memberi banyak subsidi dan deregulasi untuk melancarkan perkembangan sektor properti. Kehidupan komunal kampung juga tidak pernah dipromosikan sebagai mimpi masa depan oleh para developer. Begitu juga karakter fisiknya yang menyesuaikan kebutuhan penghuninya. Padahal efisiensi dan komunalitas ini bisa menjadi jawaban untuk menghuni lahan kota yang makin mahal dan sempit. Terutama untuk kalangan ekonomi yang tidak terlalu mumpuni.

85

Brosur promosi hunian Minimal-is ŠShalim T.R.Y.


edisi #11: Fiksi

Atas: Mockup Minimal-is ŠShalim T.R.Y. Bawah: Visualisasi Minimal-is ŠShalim T.R.Y.

Eksploitasi lahan kota oleh pemerintah dan developer juga sudah sangat membahayakan. Hunian masyarakat semakin terpinggirkan, sementara investasi yang mereka beli dan bangun di pusat kota malah banyak yang cenderung kosong dan mangkrak. Minimal-is kemudian dapat menjadi alternatif hunian masa depan. Ia juga hadir sebagai resistan terhadap eksploitasi lahan berlebih. Minimal-is harus dipromosikan secara setara dengan produk sektor formal, dan didukung oleh pemerintah setempat. Unit minimal-is akan didirikan secara organik oleh sekelompok komunitas di properti kosong yang banyak tersebar di pusat kota, dan telah dijaminkan oleh pemerintah setempat. Dengan Minimal-is, masyarakat akan merebut kembali lahan kota di masa depan.

86


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Berbagai opsi bermukim lalu muncul sebagai siasat, baik formal maupun informal... Setelah ini, alternatif apa lagi yang akan muncul?�

Yusni Aziz

87



MY DREAM ARCHITECTURALLY Savitri Sastrawan

Imagining what lies behind cities will lead us to question: what are we experiencing? Is it really reality?

My Dream in London It was shocking. Suddenly I saw the Gherkin was hidden behind the Shard and the Cheesegrater in 2013. While since 2004, I always think that the Gherkin was the tallest in London. How could those London skyscrapers grow that fast? Still, it was not the end. I cannot help but the Shard does look like Sauron’s Tower from the Lords of the Rings. Does it represent evil and power? Is this some kind of nightmare? One poster in Shoreditch made my heart sunk too– not just deeply, but to the abyss. It seemed that more of these skyscrapers are coming. It was still some kind of brown field, but the poster showed how these buildings would have been high up in the sky above the clouds. Not sure if this is a prediction of a pollution that will cover the city of London and that you have to be in these mountain height of buildings in order to survive. Or is it some sort of the man made creation of many Mount Olympus for the gods of finances? 89

Left: 30 June 2015. Building advertisement in Shoreditch, London (Source: Author).


edisi #11: Fiksi

After just one year and half of going through readings of arts, culture and philosophy, primitive capital accumulation flashes back in front of me. My understanding of it having money as your divine seemed reflected on this poster. These finances related buildings have been around for a while in the heart of East London, the (river) Bank of the banks – it grows. Just like mountains, they never stop growing, yet will these buildings explode? I have known London for the past 12 years. I watch it near and far. Even I have left it again for the second time, I still think it was one of my habitat. During my A Level Art class in 2006 we walked through East London to see our habitat, the city of London. I wrote: First time in London which is quite like 3 years ago, I never knew London will be so full of people either weekdays or weekends. Since I did my work experience in central, I get to witness how HECTIC it could be everyday being around it. This fascinates me and really get me thinking all the time. No matter how HECTIC it is PEOPLE CAN SURVIVE with it especially working people and tourists. As I experienced both, being a tourist and worker IN LONDON, I survived it too, which surprises me.

Sometime in 2006 – Going around Habitat London in A Levels (Source: Author)

Hectic, the business people working and walking around those streets, while the general public – the local community - was surrounding them too. One of the pictures I took during that trip, was then later sort of repeated, which I posted on my Instagram:

90


RUANG | kreativitas tanpa batas

Who knew That a route you took as an A Level Art trip Got repeated on your Postgraduate trip How we got fascinated with the glass of Gherkin in 2006 And the glass of One New Change in 2015 City of #London has changed so much - no wonder we always want to learn and go back to it - surprisingly on the arts, learning our habitat then and now Still, never knew that I would be witnessing this There I was within the dreams and hopes of a growing city – if I may say, capitalistically. It seems Londoners gather and agreed that having many Olympus for the god of finances are their dreams and hopes. But who are the Londoners? The elites? Are these dreams and hopes just for the elites? Who am I, then? An immigrant who owned a student Tier 4 Visa? Can I feel or react on these buildings? Is that too high? Meanwhile, on a free newspaper, the real estates said “History in the Making” on their advertisements. Which past are they trying to pursue? The colonisation days? What history are they trying to make through property development? Whose houses or buildings are they building? So what is this narrative of architecturally story they are trying to tell?

Above – 2006 school trip in London – below 2015 uni trip in London – both fascinated with building glasses (Source: Author)

Real Estate advert in London – 2015 – history in the making (Source: Author)

My Dream in Bandung In the end of 2016, it was the first time I went to Bandung by train – the first time I even tried a train journey in Indonesia. The view was just sublime when the train went fast on the high up bridges and crossing the valleys. It was the aesthetics that Immanuel Kant or John Ruskin’s-gothic-inspiration would talk about,. I could see the bunch of hills and mountains, the sunset, the rice fields, and the reflections on the water in one go. It’s a no wonder Bandung was named Paris Van Java (Read: Paris in Java Island) by the Dutch Colonials after all.

91


edisi #11: Fiksi

Trip to Bandung by train 2016 (Source: Author).

That train journey put my eyes on the same level with the hills. Looking down from above the clouds, it is surprisingly to my realisation that this could be the possible view I imagined to be seeing from inside the London’s skyscrapers. I am not sure whether the colony meant to create the feeling of having control or emphasizing the beauty of Javanese Paris. A question pops up again: does this mean that human naturally needs to get this feeling being high up above and reaching a desire of owning the world? However, the city of Bandung was the turning point for one’s narrative of the third world countries. As Vijay Prashad explained under his article “Planetary Thinking”: Anti-colonialism was for survival. The virulence of colonial power brought together people from across the world into a massive movement. It was this movement that drew their popular leaders to Bandung, Indonesia in 1955, where they proclaimed the origin of the Third World Project [1].

Trip to Gedung Asia Afrika, Bandung, 2016 (Source: Author)

It was at Bandung that humanity tried to re-create itself, not in the solemn chambers of the West’s salons. It was at Bandung as well that the post-colonial powers began to articulate alternative trajectories – less arms spending, more social spending, less conspiracy against economic development and more concern for the needs of the new nations.This was the Bandung Spirit, the holy ghost of the Third World Project.

92


RUANG | kreativitas tanpa batas

In Bandung, I managed to visit that space of Asia Africa Conference building where it all happened, where all that Bandung Spirit happened. I said on this particular Instagram post: In the heart of the third world countries - In the heart of a revolution Where did all that Bandung Spirit go, is it just a memory, where people just take photos now That architecture and interior still existed, of course it was not as tall as those finance buildings in London and not as tall as the sublime hills around Bandung, yet it was another dream come true. A dream that it did not die, but flourished as a weapon to decolonise one self, to get our independence. The dream of being independent. The trip to Bandung offered me two narratives of dreams and hopes: a story of the sublime for the colonies and the story of a some sort of a colourful political activism for those decolonising. The two narratives counter each other and have put Bandung in a state where colonisation and decolonisation coexisted. So what is Bandung now? It seems that none of these narratives stopped developing either. Or did they complement each other? Are both architectural narratives still worth to be pursued? So, Are We Just Dreaming?

It is a panorama picture I took of London one day. It has all the buildings that become landmarks of London today. And I wonder, when this whole skyscraper competition will end. But at the same time, this is London’s willingness to create an open gallery of the architectural object, of what it is able to do. So here I arrive in a question: are we just dreaming? Following Nicholas Mirzoeff, I see architecture perform together with humans. He stated, “Performance, in the classic definition of scholar Richard Schechner, is ‘twice-performed behavior’”. Thus, “all forms of human activity are a performance, assembled from the actions we have taken in the past to create a new whole.” [2] The tall glass buildings in London perform greater financially and still to be imagined. Meanwhile, in Bandung there is the Asia Africa Conference building that have fulfilled the desire of decolonization – which seems to be a dream being erased, while having its train rails to be above the valleys and leveled with the mountains - which brings us to dream beyond the beauty and enjoy the sublime like the colonials. 93

The Architectural Object of London, 2014 (Source: Author).


edisi #11: Fiksi

Mirzoeff also explained “the glass towers are built to illustrate the presumed transparency of global capitalism,” yet “the glass only allows those within to see out.” [3] He also shared how Sze Tsung Leong’s photographs of China “rarely show people, concentrating on the buildings” which is trying to show: …the absence of histories in the form of construction sites, built upon an erasure of the past so complete that one would never know a past had existed. And they are of the anticipation of future histories yet to unfold, in the form of newly built cities. [4]

La La Land Epilogue Scene, 2017 (Source: Author)

The view put above reminds me of an award-wining movie called La La Land (2016).The built environment in the movie seems to serve as spatial settings to Sebastian and Mia’s relationship. Towards the ending, their story as a couple that love and supported each other - including in chasing their dreams and careers in the arts – ended. Yet, they were met again in the movie’s dreamy staged epilogue – only actions and music, no dialogue between the two characters. Not only the couple went through the reality they could have, they also encountered bits and pieces of the built environment during their blossoming relationship – interestingly, after exiting a Stage Door. Again, have these characters also questioned and tickle the reality? Have they been in reality or in some sort of dream state for their financial and relationship needs? Both Mirzoeff ‘s arguments and a part of La La Land’s Epilogue have shown that in order to live one’s (human) life, there has to be a space of built environment – a theatre to perform – so is that living or fixated? Is it fact or fiction? Is it really reality? [1] Vijay Prashad, “Planetary Thinking,” in A Story Within A Story Within A Story... catalogue, Ed. Elvira Dyangani Ose, p. 198-207, Stockholm: Art and Theory Publishing, p. 201 [2] Nicholas Mirzoeff, How to See the World, p. 56, Penguin Random House: United Kingdom, 2015. [3] Nicholas Mirzoeff, How to See the World, p. 200. [4] Ibid, p. 200-201. 94


RUANG | kreativitas tanpa batas

“So here I arrive in a question: are we just dreaming?�

Savitri Sastrawan

95



MIES AT THE MOVIES A conversation between Nazmi Anuar (NA) and Shreyank Khemalapure (SK)

We decided to try and unpack an interesting phenomenon where architecture is appropriated into the realm of fiction through the medium of film. In the best interest of presenting a concise discussion of this topic we have taken the liberty to eschew an exhaustive analysis or a general overview of architecture in films and will focus our discussion on the works of one architect, Mies van der Rohe. This discussion will be divided into three Acts to explore several appearances of Mies's work in films, the themes and meaning associated with their presence. We will begin by discussing Mies's work when casting as the lair of the villain and the anti-hero, in Act 1. Act 2 will address the contradictions and duality in Mies's work and their relations to characters inhabiting the buildings in films, while Act 3 will explore how Mies's architecture disappears into the background.

ACT 1 – WHITE HOUSES NA: Let's start with Mies's houses. In the 2007 film Hannibal Rising, Mies's Tugendhat House appeared as the house of the villain, which is somehow paradoxical, since modernism was supposed to be the cure for society's ills. SK: But why Tugendhat? NA: Maybe it was used to portray decadence and violence? In the film, it served as the house a former war criminal who escaped justice and is living a comfortable life. During its time, the actual house was an example of luxurious modern living of the bourgeois. SK: True‌Wasn't it abandoned by the owners? NA: During the war, the owners had to flee Europe, and the house was subsequently occupied by German officials and then badly damaged by Soviet bombing. It was even used as a stable for horses. So, it was in a way subjected 97

Left: The lobby of the Toronto Dominion Center in American Psycho (Source: Lionsgate Films 2000)


edisi #11: Fiksi

Above: The Tugendhat House in HanniAbal Rising (Source: Momentum Picture 2007)

[1] At the time of publishing it seems the Farnsworth House affair might turn into a movie after all. See http:// archinect.com/news/ article/149990523/ jeff-bridges-and-maggie-gyllenhaal-to-starin-a-new-movie-aboutmies-van-der-roheand-edith-farnsworth

to a lot of violence. In the film, Hannibal's family had to leave behind their comfortable bourgeois life and into a life of suffering, strangely mirrored in the fate of the Tugendhat House. It would have been maybe more fitting as Hannibal's house. SK: Other Mies's house that suffers the portrayal of an anti-hero's lair, was carbon copied version of Farnsworth House as the Wayne Manor in Batman vs. Superman (2016). NA: But in black, of course. SK: Batman must have had a great Miesian student to design it. NA: Do you think painting black the Farnsworth House was simply an aesthetic choice? SK: I think so. I think that Farnsworth House should have been, black, thereby truly going into the background. NA: I think that by being white, it becomes a frame. Farnsworth is probably the only Mies building of that period where the steel elements weren't painted black, right? SK: Absolutely! I wonder if it is because of Dr Farnsworth. NA: Well, there's that back-story to the whole Farnsworth House affair. Client met architect at a dinner party, requested a house, their relationship bloomed but got complicated during the design and construction, inevitable fallout and lawsuits. I mean, if they made that into a film, it'll be more interesting than the Batman-Superman bromance1. SK: Totally. In speaking of the two houses, it is interesting to note that the chrome finished columns in the Tugendhat House are on the inside. It was as if to clear the way to peep into the house as clearly as possible – like into the mind of Hannibal preoccupied with a singular purpose. But it is with the Farnsworth House Mies goes full throttle with his Gothic project and the 98


RUANG | kreativitas tanpa batas

structure is revealed as if to take a stance. On the one hand, the Tugendhat House could be placed in a context of the discussions of Modern Psychology and on the other Farnsworth House emphasising the Gothic, ethical, side of Modernism.

Above: Wayne Manor – a black Farnsworth House – in Batman vs Superman: Dawn of Justice (Source: Warner Bros. 2016)

ACT 2 – DARK TOWERS NA: In American Psycho (2000) Mies's Toronto Dominion Center appeared as the office of the anti-hero Patrick Bateman (played by Christian Bale), a corporate yuppie in the daytime and serial killer at night. What is it about Mies's architecture that lends itself for these depictions? Its cold perfection and ruthless precision? Mies's architecture is obviously a rational architecture, devoid of any obvious expressions. A similar depiction of modern architecture as cold and rational was at the center of Jacques Tati's Playtime (1967)2. SK: Wasn't it Mies's project in a way to bring into his architecture the will of the epoch? NA: Detlef Mertins argued that Mies was continuously struggling with the role of architecture in modernity: to make architecture that is the translation of the will of the epoch but also to somehow transcend the idea of modernity. In this sense, his work could be said to embody a set of contradictions3. SK:The thing about Mies was that he was, in many ways, an ascetic being yet one who chose to live and work in the very heart of capitalism. NA: In the film, Patrick Bateman was trying to transcend the banality of the corporate existence power lunches, flashy suits, comparing business cards – by addressing his homicidal impulses. In that sense, Mies's architecture was perhaps the ideal background for those impulses to unfold? SK: This form of psychosis is very evident also in the much graphic versions of the DC Comics which we can address later. One of the key aspects of the 99

[2] The modern Paris as depicted in Playtime was fictional, a gigantic stage set known as ‘Tativille’ was actually built to act as the background for the film. [3] “Like this new modernity, Mies has become more complex and contradictory, less black or white; in fact he now appears both black and white, dark and light, complicit and resistant, classical and modern, ordinary and extraordinary.” Detlef Mertins, MIES (London: Phaidon, 2014) p.6.


edisi #11: Fiksi

[4] “Nathan Crowley Constructs a Beautifully Grim Future in Space for Interstellar� by Caroline Chamberlain in KCRW Design and Architecture, accessed January 18, 2016 http:// blogs.kcrw.com/dna/ nathan-crowley- constructs-a- beautifullygrim- future-in- spacefor-interstellar

modern metropolis, which most of the fictions are obsessed with, is the process of alienation, a process of disassociation from any and every previous reference or association or influence, a form of tabula rasa of associations. NA: Yes, and I think that this process of disassociation was amusingly played out towards the end of the film where we find Bateman running lost in the lobbies and plaza of Mies's Toronto Dominion Center, which somehow also recalled the scene in Playtime where some of the scenes unfolded in the indistinguishable lobbies of modern office buildings. SK: Is it a sheer coincidence that Christian Bale would play both Bateman and Batman? Both shot in the presence of Mies, both working in the night? NA: Maybe Mies's architecture is nocturnal architecture? SK: Totally! NA: But even in daylight his buildings are dark buildings, silhouettes almost. SK: It's dark in the day and bright in the night as if it awakens in the night. NA: That's an interesting take on the duality of his architecture. SK: Is it possible to say that about the work of any other architect? NA: Probably not. It is interesting to see how Mies's presence was all over Dark Knight (2008). The Richard J Daley Center, by Mies's former student Jacques Brownson acts as the Wayne Enterprise Headquarters. Wayne's boardroom, as well as the offices of Harvey Dent and the Commissioner, was shot in Mies's IBM Building, while Wayne's penthouse was shot in the lobby of Mies's One Illinois Center. The gridded ceiling of the Batcave meanwhile is almost an exact copy on the interior of Mies's Federal Center.That's a lot of Mies in one film. SK: Nolan's a big fan of Mies that's well established. NA: His production designer Nathan Crowley is a big fan as well. It was specifically mentioned that Crowley referred to Mies's work when designing the robots in Nolan's Interstellar (2014)4. Do you think that Crowley and Nolan took the Gothic out of Gotham?

The lobby of the Toronto Dominion Center in American Psycho (Source: Lionsgate Films 2000)

100


RUANG | kreativitas tanpa batas

The plaza of the Toronto Dominion Center in American Psycho (Source: Lionsgate Films 2000)

SK: I would argue that they precisely got the Gothic back into Gotham. In most Batman movies, and comics, artists go back to Art Deco which in a way was also a project to revive Gothic practices and sentiment and it has to be either Chrysler Building or the Empire State Building on their cover pages. But it's mostly Chrysler in the case of Batman with its Gothic gargoyles and others. NA: It was always the more decorative aspects of Gothic that was depicted in those comics weren't it? SK: Absolutely. The completion of the Chrysler Building also coincides with the time of the first Batman comics. Coming back to Nolan's Gotham, it may appear that he is trying to take out the Gothic from Gotham, but in fact, you cannot take the Gothic out of Mies. So in that sense, if most of Chicago is the home for the Miesian school of modernism, then it cannot be anything else but Gothic and hence a perfect home for the Batman of our times5. NA: Again, Mies's architecture was perfectly cast as the representation of an idea although this time in a more hopeful vein. Mertins's reading of the bound and unresolved dualities in Mies's work is captured perfectly through its depiction in these films. SK: The unresolved duality of Batman. NA: Exactly. As if the filmmakers totally understood the architect's work and

[5] For more details refer, Detlef Mertins’s Mies (London:

The Richard J Daley Center – designed by Mies’s former student Jacques Brownson- as the Wayne Tower in Dark Knight (Source: Warner Bros. 2008)

101


edisi #11: Fiksi

The Batcave, influenced by the Chicago Federal Center in Dark Knight (Source: Warner Bros. 2008)

what it was striving to embody. SK: Yes, It is very touching to see such homage. NA: I think it is interesting to read the towers through the vein of the duality in Mies's work and how that is related to the duality of Batman. Especially the earlier point you mentioned about the differences between his architecture at night and day; dark tower during the day and tower of light at night SK: Interestingly Mertins's chapter on the Seagram in his book on Mies is titled the Seagram Building Dark Building. I always wondered would we have ever imagined of all these superheroes without the existence of the skyscraper. NA: The skyscraper is the epitome of larger than life ambitions as exemplified by superheroes. So no, you can't have superheroes without skyscrapers. SK: That means you can't have a superhero in Russia? NA: Well, maybe they have supervillains.

ACT 3 – BACKGROUND NA: In Breakfast at Tiffany's (1961) Audrey Hepburn and George Peppard are shown sitting on the green marble ledge of the Seagram Plaza. Effectively the building is only seen as a background, contrary to the other previous examples where Mies's architecture was always inhabited. According to Mertins, ”the film testifies that it (the building) was widely appreciated as the imminent fulfilment of its context the most elegant, glamorous and successful of New York's skyscrapers”6. So finally, we get to the idea of glamour, I mean it can't get any more glamorous than Audrey Hepburn and Mies, can it? SK: It would be hard to compete. It brings out the humanistic side of the project. There's certainly still some confusion of course especially in the scene where the couple is sitting on the bench, facing their back to the Seagram's. She going to marry someone else; the guy doesn't know how to deal with it; suddenly you pay attention to the fountain, the bench, the sunshine 102


RUANG | kreativitas tanpa batas

The Seagram Building plaza in Breakfast at Tiffany’s (Source: Paramount Picture 1961)

The Chicago Federal Center plaza in Ferris Bueller’s Day Off (Source: Paramount Picture 1986)

and the tension between two people who can't really express their love. NA: But does this mean that the architecture is somehow generic that it could be a background for anything? Or any meaning ascribed to architecture is fictional? SK: It is so much in the background, that it also makes a platform to look back at the city and appreciate it. Like Audrey says ”I will bring them back alright because I must see this. Oh! I love New York”. I don't think you can say the same from the edge of any other building in New York, even the Lever House. NA: The image of the Miesian public space also came across in the scene from Ferris Bueller's Day Off (1986), although perhaps in less glamorous circumstances. SK: Yes, but certainly in very festive circumstances. `It is a representative of a very important idea which needs some attention even in our times; the public spaces within public building premises. NA: You mean private building premises? SK: Well, of course in the case of Seagram's, it is private property. But, in the case of Chicago Federal Courts building, it's a public space anyways. NA: Perhaps the appearance of the spaces in films, and the way they are celebrated are a testament to their success? SK: Absolutely. In fact, after the completion of Seagram's the Building Laws of New York were modified incentivising private developers to provide pub103


edisi #11: Fiksi

lic space within their property 1 sqft of public space = 10sqft of more commercial space. It generated some 8 hectares of ”the most expensive” open spaces within a decade. Do you think it is a question of ethics? NA: It's about social responsibilities I guess, in the sense that your developments give something back to the public. Let's go now to Ferris Bueller's Day Off (1986), which was in a way John Hughes's love letter to Chicago. The film also featured the Miesian Ben Rose house, designed by Mies's former students A. James Speyer and David Haid. SK: Yes. In fact, there is no point to the movie but to muse with Chicago. There's also a scene where their expensive car is taken for a drive by the valets without the knowledge of Ferris and his friends. While on their way back you see them driving at full speed and the car taking flight after a steep climb. I think it was shot just so that you can see the skyline of Chicago. Interestingly, the crime rates went up since Mies started building in Chicago. NA: The by-product of modernity? John Hughes vision of Chicago is then very different than Christopher Nolan's. SK: Totally. Interestingly, in Kenneth Frampton's book Studies in Tectonic Culture; he was somehow hopeful that by reintroducing the notion of tectonics we could in a way be able to build towards a better society to put it simplistically. NA: That somehow what we build reflects what we are as a society? SK: In many ways, yes. It is no secret that Chicago is the home for the Miesian Modernism NA: Yes, the so-called Second Chicago School SK: Yet somehow either there were too many 'blind-Mies' or as Corbusier would say it ”it is life that's always right and the architect who is wrong”. NA: Maybe Hughes's projection is a city in which modernist architecture is absorbed into the existing fabric whereas in Nolan's conception modernist architecture is somehow seen as an alienating presence or a rupture in the fabric? SK: I think in Nolan's it shows those unfortunate times in which Gothic architecture was present in Europe, the Black Death, corruption, the Dark Ages. In the construction of Cathedrals, you would see a complete resolution of the construction techniques and the hope to make a better society – of course, they were also to assert the presence of the powers of the Church on the other hand. NA: There you see how the images of architecture can never embody a single meaning, not in real life, nor in fiction. Meanings are in some ways always fictional. SK: At best, we can only hope to build a fragment of that fiction a fragment of Utopia. 104


RUANG | kreativitas tanpa batas

“Effectively the building is only seen as a background, contrary to the other examples where Mies's architecture was always inhabited. It brings out the humanistic side of the project. It is so much in the background, that it also makes a platform to look back at the city and appreciate it. � Nazmi Anuar and Shreyank Khemalapure 105


FIKSI VOL. 1

CERM


MIN


edisi #11: Fiksi

RUANG KREATIVITAS TANPA BATAS

108

©2017


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.