Pembunuh Keji - Sanggahan untuk Dua Pendukung Hukuman Mati

Page 1

Komentar: Pembunuh Keji – Sebuah Sanggahan Untuk Dua Pendukung Hukuman Mati Oleh: Patrick Tibke1 BAGIAN 1

Figure 1: Orang-orang mendengarkan musik di sebuah acara di Sydney, Kamis lalu. Lebih dari dua ribu warga negara Australia, dipimpin oleh musisi-musisi lokal, berkumpul di Sydney untuk memohon pengampunan bagi dua terpidana mati kasus narkotika di Indonesia, yang dikhawatirkan akan segera dieksekusi. (AFP Photo/Saeed Khan)

Menurut Astari Anjani dan Dimas Muhamad, dua orang yang bekerja di Kementerian Luar Negeri Indonesia, hukuman mati adalah alat yang “vital” untuk “menyelamatkan Indonesia dari momok narkotika.” Minggu lalu, Anjani dan Muhamad menulis sebuah artikel -yang isinya patut diragukan- untuk Jakarta Globe, di mana mereka merayakan penerapan hukuman mati yang dilanjutkan oleh Presiden Jokowi sebagai “bagian yang amat penting dari strategi komprehensif kita untuk memenangi perang terhadap narkotika.”

1

Patrick Tibke adalah seorang penulis yang tinggal di Jakarta dan alumni SOAS, University of London tempat ia menempuh Studi Asia Tenggara. Ia mendalami hak asasi manusia, hak buruh, dan kebijakan narkotika.


Secara mengejutkan, Anjani and Muhamad tidak membatasi argumen mereka pada kekeliruan klasik “argumentum ad passiones,”2 sebagaimana banyak dilakukan pendukung hukuman mati, termasuk Presiden Jokowi. Para penulis justru berusaha untuk mengajukan sebuah kasus hukum dan empiris mengenai hukuman mati, menyarankan bahwa “walau banyak yang ingin menunjukkan sebaliknya, beberapa studi telah menunjukkan menegaskan efek jera hukuman mati.” Saya akan membahas klaim-klaim lemah yang mudah dipatahkan dari Anjani dan Muhamad di artikel lain, namun dalam respon kali ini, saya ingin menunjukkan beberapa miskonsepsi dari Anjani dan Muhamad tentang pasar ilegal narkotika, dan kegagalan mereka untuk memahami mengapa penggunaan narkotika itu ilegal, paling tidak saat ini, lebih berbahaya dari yang seharusnya. Kekeliruan No.1: Pengedar Narkotika Membunuh Pemakai Narkotika Harus membahas mengenai poin ini lagi dan lagi adalah sebuah pekerjaan rutin. Namun bagi para pembaca, seperti Anjani dan Muhamad, yang masih gagal untuk melihat perbedaan di antara “pembunuhan” dan “kecelakaan” yang terkait dengan narkotika, izinkan saya untuk menjelaskan hal ini kembali. Anjani dan Muhamad memulai tulisan mereka dengan memberikan frasa yang tidak menolong: “Pembunuh tanpa berdarah,” kata mereka, “adalah istilah yang pernah digunakan Kamaluddin Lubis, seorang aktivis terkemuka, untuk mendeskripsikan para pengedar narkotika – untuk mendukung agar mereka dieksekusi untuk kejahatan yang telah mereka lakukan. Bagi beberapa orang label itu mungkin agak berlebihan, namun ungkapan itu dapat menggambarkan dengan ringkas penderitaan seorang pria: penyalahgunaan narkotika mengambil nyawa seorang anak laki-lakinya. Dan ia tidak sendirian.” Memang, penyalahgunaan narkotika telah mengambil nyawa dari sebagian kecil pemakai narkotika ilegal. Namun mari kita perjelas mengapa hal ini dapat terjadi, dan mengapa hal ini nampaknya akan berlanjut. Masalah ini tidak terletak kepada para pengedar; mereka, seperti perusahaan bir dan rokok, hanyalah menyediakan zat berbahaya kepada pasar yang menyetujui dan menginginkannya. Tentu saja, Anda dapat tidak menerima hal tersebut mengingat pengedar narkotika telah melanggar hukum, dan Anda dapat memandang rendah zat yang mereka bawa masuk, namun Anda tak memiliki dasar apa pun untuk mengatakan bahwa mereka adalah “pembunuh”. Di dalam pengadilan, dakwaan “pembunuhan” selalu ditangani secara serius. Sebelum seorang terdakwa dapat diputus bersalah melakukan pembunuhan, pengadilan harus mampu membuktikan, melampaui keraguan yang beralasan, menghilangkan nyawa orang lain sebagai sebuah tujuan yang telah direncanakan adalah motif kejahatan tersebut. Namun demikian, dalam kasus peredaran narkotika, menghilangkan nyawa sebagai tujuan jelas bukan motif kejahatan ini. Kurir yang berusaha untuk menyelundupkan sebuah paket heroin atau metamfetamin melalui bandara Soekarno-Hatta, sebagai contoh, tidak dimotivasi dengan pikiran buruk akan pemakai heroin yang mati, atau pecandu sabu yang bunuh diri. Kurir hanya ingin mencari uang secara cepat – titik.

2

Gaya argumentasi yang memanipulasi perasaan/emosi untuk memenangkan perdebatan argumen.


Seperti yang telah saya sampaikan sebelumnya di Jakarta Globe, pengedar narkotika tidak bermaksud membunuh pelanggan mereka, persis seperti para bos tembakau yang tidak bermaksud membunuh para perokok. Dan jika Anda menerima bagian akhir dari klaim ini, Anjani dan Muhamad, maka Anda sepatutnya juga menerima klain yang awalnya. Pengedar narkotika tidaklah menjadi “pembunuh tanpa berdarah” melebihi CEO perusahaan rokok yang besar – dan mengklaim sebaliknya ialah memegang teguh sebuah standar ganda yang terlalu jelas. Masalah utama yang kita hadapi sekarang bukanlah pengedar narkotika, tapi larangan terhadap narkotika itu sendiri. Larangan telah memberikan kita sebuah kerangka kerja yang sempurna dan tak ternoda untuk pasar narkotika ilegal yang secara total tidak diregulasi, tempat di mana sebagian kecil peristiwa kematian akibat narkotika terjadi, murni disebabkan pengawasan yang kurang. Mari jujur tentang ini: hukum narkotika kita adalah ancaman yang sesungguhnya. Mereka memastikan pasar narkotika rekreasional tetap berada pada kondisi permanen yang anarkis dan mereka memastikan pemakai narkotika tidak pernah benar-benar tahu apa yang sebenarnya berada di dalam produk yang mereka konsumsi. Hal ini justru yang menempatkan nyawa-nyawa tak bersalah ke dalam bahaya, dan hal ini juga yang justru –tanpa disengaja- mengantarkan beberapa pemakai narkotika mengalami overdosis. Tragedi pil “Superman” di Inggris akhir-akhir ini menawarkan sebuah contoh yang amat baik tentang hukum narkotika yang tidak logis dalam tataran praktik, dan bukti yang jelas bahwa pelarangan adalah bagian dari masalah, bukan solusi. (Saya mengambil contoh dari Inggris semata-mata karena kasus ini aktuil dan dikabarkan dengan baik, walau kita juga dapat yakin bahwa hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Kasus Jicky Vay Gumirang langsung muncul di kepala). Tiga pria masing-masing membeli sebuah pil, yang memiliki logo “Superman”, yang dijual kepada mereka sebagai ekstasi (MDMA). Tiga pria tersebut pernah mengonsumsi ekstasi sebelumnya, familiar dengan efeknya dan merasa nyaman untuk mengonsumsinya lagi. Apa yang pria-pria ini tidak tahu adalah pil yang mereka konsumsi mengandung zat pencampur berbahaya yang disebut PMA (para-metoksiamfetamin). Seperti MDMA, PMA juga memiliki sifat stimulan. Namun tidak seperti MDMA, PMA secara signifikan jauh lebih beracun hingga 10 kali lebih berbahaya. Sehingga, setelah mencerna PMA dengan dosis yang tidak diketahui dan mematikan, tiga pria tersebut meninggal dunia akibat panas berlebih dalam tubuh. Tidak perlu dikatakan, jika saja tiga pria tersebut benar-benar mengonsumsi MDMA –zat yang jauh lebih aman dengan fungsi psikoterapi yang telah terbukti– kematian mereka bisa dengan mudah dihindari. Anjani dan Muhamad, tentu kalian dapat melihat sebuah alasan di sini: bayangkan bila masingmasing pria itu membeli ekstasi murni dari apotik yang terlegitimasi, lengkap dengan informasi konten, informasi dosis, dan buku petunjuk penggunaan – seperti obat penghilang rasa sakit yang kita minum saat demam atau flu – apakah pria-pria itu akan menyalahgunakan pil-pil tersebut secara serampangan dan berakibat pada overdosis yang tak disengaja? Sepertinya tidak. Sebaliknya, coba bayangkan juga: jika tiga pria tersebut menyadari bahwa pada pil tersebut terkandung PMA dengan dosis yang dapat mengakibatkan kematian. Apakah kalian pikir bahwa mereka akan tetap menelan pil-pil tersebut? Jelas tidak; kecuali mereka memang ingin membunuh diri mereka sendiri, (yang mana bukanlah pengalaman yang dicari oleh kebanyakan pemakai ekstasi).


Pemimpin-pemimpin di Indonesia harus menyadari bahwa pemakai narkotika adalah orang-orang yang berakal dan rasional seperti kita semua. Mayoritas pemakai narkotika ingin memakai narkotika seaman mungkin (dalam konteks kesehatan), dalam lingkungan yang tepat, dan tentu saja mereka tidak menginginkan terjadinya overdosis. Namun untuk menghindari insiden-insiden tragis seperti itu, pemakai narkotika harus mengetahui secara pasti apa yang ada di dalam pil atau bubuk yang mereka konsumsi. Sayangnya, terima kasih terhadap pelarangan, hal seperti itu sulit sekali terjadi. Regulasi dan Pengurangan Dampak Buruk Saya yakin kalian telah menyadari, Anjani dan Muhamad, bahwa semua yang kita produksi untuk konsumsi manusia –apakah itu daging unggas, jus buah, kacang panjang, atau parasetamol– itu dilegalkan dan diatur, karena potensi dampak buruk yang dapat dialami konsumen. Saya percaya kalian juga telah menyadari bahwa kita cenderung menempatkan zat-zat legal yang paling berbahaya – seperti alkohol dan tembakau – pada regulasi dan restriksi yang paling ketat. Mengapa demikian? Dalam kasus alkohol dan tembakau, kita tentu tidak menginginkan anak di bawah umur memiliki akses yang mudah kepada, misalnya, rokok atau vodka; dan kita juga tidak mau orang-orang yang telah dewasa meninggal dunia keracunan metanol karena mengambil risiko dengan minuman keras racikan rumahan seperti oplosan. Jadi kita telah memiliki peraturan dan regulasi yang dapat menjaga agar substansi-substansi tersebut sulit diakses (setidaknya dalam teori) oleh kelompok masyarakat yang paling rentan, dan kita memastikan bahwa ada pasar yang terkendali untuk alkohol atau tembakau yang diproduksi secara profesional, sehingga warga negara tidak tergoda untuk bereksperimen dengan oplosan atau bentuk aneh dari kretek buatan rumah. Semua ini adalah praktik yang baik, tentu saja, dan tidak ada alasan mengapa regulasi sejenis tidak bisa diperluas pada narkotika ringan seperti ganja dan ekstasi. Pikirkanlah: siapa yang –dengan akal sehat- akan mendukung sebuah sistem di mana anggur atau bir harus diproduksi di sebuah lokasi rahasia, dijual diam-diam, dengan perantara yang sulit diketahui, dan akhirnya disajikan kepada konsumen di dalam botol tanpa tanda apa pun yang dapat datang entah dari mana? Sangat sedikit, dugaan saya. Dan juga sangat sedikit pembuat kebijakan yang akan berpikir demikian. Jadi mengapa, kemudian, ketika kita memiliki semua tindakan pencegahan yang masuk akal untuk obat-obatan seperti alkohol dan tembakau, para pemimpin kita harus tetap memaksa bahwa pasar untuk obat-obatan lain (narkotika) tetap dibiarkan tidak diatur? Di akhir artikelnya, Anjani dan Muhamad memuji pemerintahan Presiden Jokowi yang “tidak membalikkan punggung dari Kamaluddin Lubis dan jutaan orang lain [pemakai narkotika dan keluarganya] yang telah melalui penderitaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata�. Sebuah ironi yang menyedihkan sesungguhnya, sayangnya, bahwa dengan melanjutkan pelarangan, pemerintah sesungguhnya sedang melakukan hal tersebut –membalikkan punggung dari anggota masyarakat yang paling rawan, dan mendorong mereka kepada penjual dan pengedar yang menyambut mereka dengan tangan terbuka. Dengan melanjutkan kebijakan pelarangan narkotika, pemerintah sejatinya telah menyerahkan keseluruhan pasar kepada geng kriminal, dan mengizinkan mereka mencari keuntungan dengan


mencampur narkotika dengan bahan-bahan lain, yang kadang-kadang memiliki konsekuensi yang mematikan. Namun yakinlah, Anjani dan Muhamad, bahwa jika setiap pemakai narkotika memahami betul substansi, dosis, dan tingkat kemurnian dari apa yang akan ia konsumsi, kita akan memiliki sedikit sekali kematian akibat narkotika, dan juga sedikit “pembunuh tanpa berdarah” di antara kita. Banyak cara untuk “menyelamatkan pemakai narkotika”, sebagaimana yang dikatakan oleh Badan Narkotika Nasional, namun jelas bahwa hukuman mati bukan salah satu di antaranya. *** BAGIAN 2 Ketidaktahuan atau Penipuan? Sebuah tulisan dari dua staf Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia yang membela penerapan hukuman mati, sama sekali gagal dalam upayanya menyajikan data empiris dan pemahamannya terhadap hukum internasional –yang sejatinya jelas-jelas tidak menganggap peredaran narkotika sebagai pelanggaran hukum yang dapat dihukum mati-, yang coba dibantah Penulis.

Figure 2: Seorang pejabat dari Kejaksaan Agung mengumumkan bahwa tidak akan ada grasi bagi Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. (AFP Photo/Bay Ismoyo)

Di awal artikel mereka, Anjani dan Muhamad mengatakan bahwa pemakaian narkotika “mengambil nyawa”, dan pengedar narkotika sudah seharusnya dihukum mati sebagai pembalasan. “Pembunuh tanpa berdarah,” para penulis tersebut menjelaskan, tidak berhak untuk hidup, setelah semua kematian terkait narkotika yang telah mereka sebabkan.


Setelah menguraikan kekeliruan pemahaman tersebut di artikel sebelumnya, saat ini saya mengusulkan agar kita menengok beberapa argumen yang disampaikan penulis dengan tidak terlalu emosional terkait efektivitas dan keadilan daripada hukuman mati. Ingatlah, bahwa seluruh argumen Anjani dan Muhamad mengenai hukuman mati sepertinya bergantung pada klaim yang telah disebut di atas – bahwa semua pengedar narkotika yang telah terbukti bersalah, entah bagaimana, bertanggung jawab atas ribuan kematian dan harus dihukum setimpal. Bagi saya, jika kita menolak klaim awal Anjani dan Muhamad di atas –yang patut kita lakukanmaka poin-poin mereka selanjutnya tidaklah berlaku dan kosong. Namun, mengetahui bahwa Anjani dan Muhamad akan menolak pernyataan kemenangan yang terlalu dini, saya pikir adil bila kita mendengarkan keseluruhan argumen mereka, semata-mata agar tidak ada satu pun hal yang tertinggal. Klaim Hukum dan Empiris Setelah menyebutkan “pembunuh tanpa berdarah” pada pembukaan mereka, Anjani dan Muhamad mendukung pelaksanaan hukuman mati dengan dasar: satu, memberikan bukti empiris, dan dua, sesuai dengan norma hukum internasional. Kedua argumen tersebut gagal memberikan dukungan yang kuat terhadap hukuman mati, walaupun dengan alasan yang berbeda. Pertama, Anjani dan Muhamad berusaha menunjukan empirisme –yakni dengan klaim Figure 3: Halen Chan, tengah belakang, ibu darin terpidana mati Andrew Chan, berjalan bersama putranya Michael bahwa hukuman mati telah terbukti memberikan Chan, kanan, setelah mengunjung Andrew di Lapas “efek jera”- yang sungguh sulit untuk dibuktikan Kerobokan di Bali, 29 Januari 2015. (EPA Photo/J. Chris) dan dengan cukup jelas digantikan dengan bukti lain yang lebih meyakinkan namun justru membuktikan sebaliknya. Kedua, Anjani dan Muhamad yang berusaha menunjukkan kesesuaian hukuman mati dengan hukum internasional sesungguhnya –untuk mengatakannya dengan agak lembut- melandaskan keseluruhan argumennya pada fantasi belaka. Para penulis memberikan poin-poin argumen pertama dan kedua secara berurutan, namun dengan tujuan memberikan sajian yang terbaik di akhir, saya akan memulai dari poin yang kedua mengenai hukum internasional. “Seseorang bisa saja berpendapat bahwa hukuman mati tidak cukup efektif atau tidak manusiawi,” Anjani dan Muhamad secara jujur mengakui, “namun demikian setiap negara tetap memiliki kedaulatan untuk menuntut penjahat menurut hukum nasionalnya dan hukum internasional yang disepakati negara tersebut.” Semuanya tepat. Hingga fiksi ini datang: “Pasal 6 Kovenan Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi Indonesia, memperkenankan penerapan hukuman mati dengan kondisi-kondisi tertentu, yang telah dipenuhi Indonesia… “Hukuman mati hanya boleh diberlakukan pada kejahatan-kejahatan paling serius, dan Indonesia menganggap peredaran narkotika berada pada kategori ini. Walau ada perdebatan mengenai apa itu ‘kejahatan-kejahatan paling serius,’ tahap persiapan Kovenan Hak Sipol menunjukkan


bahwa tidak didefinisikannya terminologi tersebut memang dimaksudkan untuk memberi ruang bagi negara pihak untuk menginterpretasikan hal tersebut secara spesifik bagi negaranya [tambahan penekanan oleh penulis].” Anggapan bahwa masih ada perdebatan yang berjalan mengenai pengertian terminologi “kejahatan-kejahatan paling serius” dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik adalah kebohongan besar. Pada faktanya, seluruh entitas hukum Persekutuan Bangsa-Bangsa telah menegaskan bahwa peredaran narkotika adalah kejahatan ekonomi, dilakukan demi keuntungan finansial, dan tidak mengakibatkan kematian secara langsung. Kejahatan narkotika, dengan demikian, tidak memenuhi kriteria “kejahatan-kejahatan paling serius.” Pada tahun 1984, di dalam dokumen berjudul “Jaminan Perlindungan Hak-hak Seseorang yang Berhadapan dengan Hukuman Mati,” Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengajukan definisi yang jelas dari terminologi “kejahatan-kejahatan paling serius.” Definisi tersebut, yang kemudian disahkan oleh Sidang Umum PBB, menetapkan bahwa “kejahatan paling serius” haruslah “secara sengaja” dan mengakibatkan kematian secara langsung, dengan demikian mengecualikan kejahatan-kejahatan ekonomi seperti peredaran narkotika. Kemudian, di tahun 1997, Pelapor Khusus PBB untuk Eksekusi Ekstrayudisial, Cepat, dan Sewenang-wenang memberikan klarifikasi bahwa terminologi “secara sengaja” seharusnya “…dimaknai sebagai adanya perencanaan terlebih dahulu dan dimengerti sebagai [sebuah] niat untuk membunuh dengan sengaja.” Bahkan Kantor PBB untuk Narkotika dan Kejahatan (UNODC) telah lama menganggap bahwa peredaran gelap narkotika bukanlah kejahatan yang mematikan, dan bahwa perbedaan mengenai hal tersebut telah jelas di dalam hukum internasional. Pada tahun 2010, sebagai contoh, Direktur Eksekutif dari UNODC menegaskan: “UNODC mendukung penghapusan hukuman mati dan menyerukan kepada negara-negara pihak untuk mengikuti standar internasional mengenai pelarangan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan terkait narkotika atau yang memiliki sifat dasar ekonomi.” Sebagai tambahan bagi tiga contoh yang telah disebutkan di atas, tiga entitas hukum PBB yang lain telah mempertegas bahwa eksekusi mati para pelaku kejahatan narkotika adalah bertentangan dengan Pasal 6 ayat 1 dan Pasal 6 ayat 2 Kovenan Hak Sipol. Sikap ini telah dikumandangkan, selama bertahun-tahun, oleh Komite HAM PBB (2005 dan 2008); Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan (2009); dan Pelapor Khusus PBB untuk Hak atas Kesehatan (2010). Kovenan Hak Sipol, sebagaimana –saya yakini- disadari oleh Anjani dan Muhamad, diadopsi hampir setengah abad yang lalu, pada tahun 1966 dan berlaku secara efektif tahun 1976. Tidak perlu dikatakan, bahwa dalam lima puluh tahun itu PBB telah dengan serius mempertajam dan memperdebatkan terminologi-terminologi dalam Kovenan Sipol. Namun perdebatan itu telah berakhir –sejauh mengenai hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan narkotika- dan jika Anjani dan Muhamad mengklaim sebaliknya, hal itu entah menunjukkan ketidaktahuan yang polos atau penipuan yang penuh perhitungan. Yang manapun yang benar, baik kata-kata maupun semangat dari Kovenan tersebut pun telah terang benderang: tidak ada kondisi yang dapat membenarkan negara pihak Kovenan Hak Sipol untuk mengambil nyawa seorang warga negara karena melakukan kejahatan narkotika.


Statistik Mari kita bergerak cepat ke argumen Anjani dan Muhamad yang berikutnya –dalam usahanya menunjukkan bukti empiris- di mana kita berhadapan dengan sebuah kerangka kekeliruan berpikir yang baru.

Figure 4: Raji Sukumaran, tengah, ibu dari terpidana mati Myuran Sukumaran, pergi setelah mengunjungi anak lakilakinya di Lapas Kerobokan di Bali, 29 Januari 2015. (EPA Photo/J. Chris)

Anjani dan Muhamad percaya bahwa eksekusi mati pengedar narkotika sungguh “bekerja.” Mereka percaya bahwa hukuman mati memiliki “efek jera” terhadap (orang lain yang akan menjadi) pengedar narkotika, dan mereka merujuk pada Singapura sebagai sebuah contoh sukses bagi klaim ini.

“Walaupun akan banyak yang mengklaim sebaliknya,” dijelaskan oleh penulis, “beberapa studi telah menegaskan efek jera daripada hukuman mati. Sebuah artikel di Wall Street Journal menyebutkan bahwa setiap eksekusi mati seorang pembunuh mencegah terjadinya 74 pembunuhan di tahun berikutnya. Dan di Singapura, yang menerapkan hukuman mati, angka penjahat narkotika telah turun dua per tiga sejak 1990-an“. Klaim awal Anjani dan Muhammad adalah keliru sepenuhnya. Di Amerika Serikat, hukuman mati untuk pembunuh ternyata tidak memiliki korelasi dengan angka pembunuhan. Pada faktanya, jika memang ada hubungan antara eksekusi mati dan angka pembunuhan di Amerika Serikat, hubungan tersebut justru menunjukkan kesimpulan yang amat berbeda. Pada tahun 2000, misalnya, New York Times melaporkan bahwa “10 dari 12 negara bagian yang menghapus hukuman mati memiliki angka pembunuhan di bawah rata-rata nasional […] sementara setengah dari negara bagian yang masih memiliki hukuman mati memiliki angka pembunuhan di atas ratarata nasional.” Hal itu sudah cukup memberikan gambaran mengenai dampak efek jera walaupun kita tetap harus melihat sebuah poin bahwa menghukum mati pembunuh sungguh berbeda dengan menghukum mati pengedar narkotika. Dengan mudah, para pendukung hukuman mati bagi pembunuh cukup melihat satu statistik dan mencoba “membuktikan” bahwa hukuman mati memang bekerja, misalnya: angka pembunuhan. Apakah meningkat, menurun, atau tidak ada perubahan? Dalam banyak cara –untuk konteks narkotika-, “efek jera” yang dibangga-banggakan itu bukan saja sangat sulit dibuktikan; lebih dari itu, hal tersebut tidak mungkin dibuktikan. Bagaimana cara kita untuk mengetahui bahwa eksekusi mati terhadap seorang pengedar narkotika telah berhasil “menjerakan” orang lain dari melakukan kejahatan serupa? Pembela hukuman mati bagi pengedar narkotika tengah dihadapkan pada sejumlah besar “indikator keberhasilan” yang dimungkinkan, semuanya berdasarkan statistik, namun tidak ada satu pun yang dapat benar-benar menunjukan bahwa hukuman mati benar-benar bekerja. Pertimbangkan pertanyaan berikut: hal apa yang dapat menandakan bahwa hukuman mati telah membuat jera pengedar narkotika?


Penurunan jumlah pemakai narkotika? Turunnya jumlah penangkapan dan peristiwa sakaw? Kombinasi dari kedua hal tersebut? Atau apakah lebih aman mengatakan bahwa dengan lebih banyak pengedar narkotika yang kita hukum mati, lebih banyak pengedar narkotika yang kita jerakan? Tidak ada indikator keberhasilan yang dapat dipercaya sebagai pembenaran kebijakan eksekusi mati pengedar narkotika. Bahkan jika kita telah menangkap seratus pengedar esok hari, dan dengan cepat mengeksekusi mati semuanya, pada titik apa kita dapat dengan jujur berkata pada diri sendiri: “Aha! Sekarang kita telah mengetahui dengan pasti bahwa hukuman mati bekerja! Sekarang kita tahu dengan pasti bahwa ratusan orang lainnya telah jera!” Sesungguhnya, sebuah hal yang tidak mungkin untuk menyatakan bahwa hukuman mati membuat jera pengedar narkotika, karena sangat sulit untuk memperlihatkan hubungan kausalitas –pikirkanlah contoh berikut- antara eksekusi mati terhadap A si pengedar narkotika, dan efek menjerakan terhadap B si calon pengedar narkotika-. Bayangkanlah: bagaimana sebuah laporan penelitian hendak menunjukkan eksistensi hubungan kausailitas tersebut? Di mana kemudian para peneliti dapat mengumpulkan sebuah grup sampel dari pengedar narkotika yang “jera”? Dan bagaimana nantinya mereka akan bertanya kepada sampel tersebut: “Dalam skala satu sampai sepuluh, seberapa besar hukuman mati meyakinkan Anda bahwa pengedar narkotika bukanlah pekerjaan impian Anda?” Jelas, bahwa “efek jera” yang diharapkan muncul dari hukuman mati kepada pengedar narkotika yang lain bukanlah hipotesis yang dapat diuji. Sehingga perdebatan mengenai apakah hukuman mati “menjerakan” calon pengedar narkotika seharusnya berakhir di sini, di sebuah kebuntuan yang amat jelas. Namun, sekali lagi, untuk memastikan agar tidak ada lagi argumen yang tertinggal, saya akan mencoba melihat isu ini melalui lensa yang sama dengan Anjani dan Muhamad, dan menggunakan indikator keberhasilan yang mereka buat dengan sama meyakinkannya. Cukup untuk dikatakan, bahwa kasus yang dibangun Anjani dan Muhamad runtuh setidaknya karena dua hal: pertama, seperti sudah dijelaskan di atas, Anjani dan Muhamad melakukan kekeliruan dengan menganggap korelasi menciptakan hubungan sebab-akibat. Dan kedua, mereka hanya dapat menunjuk kepada bagian yang amat kecil dari masyarakat untuk menguatkan hipotesis mereka. Agar Anjani dan Muhamad dapat memenangkan kasus empiris ini, mereka perlu untuk menunjukan bahwa kebanyakan negara yang menerapkan hukuman mati untuk kejahatan narkotika juga memiliki tingkat pemakaian narkotika dan/atau penyitaan barang bukti narkotika yang amat rendah, sebagaimana Singapura. Namun cukup jelas bahwa kenyataannya tidak demikian. Mayoritas statistik di dunia mengenai pemakaian narkotika dan penyitaan barang bukti narkotika menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara hukuman mati dan prevalensi pemakaian atau peredaran narkotika. Iran, sebagai contoh, adalah salah satu negara dengan penerapan hukum anti-narkotika yang paking keras dan brutal di dunia. Pada 2010 dan 2011, Iran mengeksekusi lebih dari 500 orang setiap tahunnya karena peredaran narkotika. Namun, pada 2014 sebuah laporan UNODC menyebutkan bahwa 6 persen dari warga Iran –sekitar 4,6 juta orang- memiliki masalah adiksi


dengan obat-obatan ilegal. Ini kemungkinan besar merupakan tingkat adiksi paling tinggi dari berbagai masyarakat di dunia, dan Iran hanya berada di belakang China untuk urusan jumlah penjahat narkotika yang dieksekusi setiap tahunnya. (China memandang segala statistik terkait hukuman mati sebagai rahasia negara, walau terdapat bukti yang menunjukkan bahwa China memang mengeksekusi lebih banyak penjahat narkotika daripada Iran). Lebih banyak lagi contoh yang tidak memenuhi tuntutan hipotesis Anjani dan Muhamad yang jauh lebih dekat dengan rumah; di bawah hidung kita, ternyata, di daratan Asia Tenggara. Myanmar, sebagai contoh, masih memiliki hukuman mati yang bersifat wajib bagi pengedar narkotika, namun pada tahun 2013 tetap mampu memproduksi 89 persen dari seluruh opium Asia Tenggara, dari ladang tanaman candu seluas 60.000 hektar. Thailand, sama halnya dengan Myanmar, juga mempertahankan ketentuan hukum untuk mengeksekusi mati pengedar narkotika, namun masih memiliki masalah dengan penyelundup narkotika yang masuk dari Myanmar, dan tingkat adiksi metamfetamin yang membumbung tinggi. Tahun lalu, Kantor Dewan Pengendalian Narkotika (ONCB) Thailand memperkirakan bahwa 1,3 juta warga negara Thailand -2 persen dari total populasi- memiliki masalah adiksi dengan obatobatan ilegal. Sebagai informasi tambahan, Thailand diketahui memiliki 150.000 orang, yang disebut sebagai “pecandu narkotika”, yang menjalani perawatan kontroversial yang bersifat wajib, serta latihan militer atas nama “rehabilitasi.” Masalah sejenis mengenai betapa tidak berkaitannya hukuman mati dan tingkat pemakaian narkotika dan peredaran narkotika juga dapat ditemui di Laos, Vietnam, China, dan Malaysia. Negara-negara ini mempunyai hukuman mati bagi pengedar narkotika, namun negara-negara ini memiliki pasar yang berkembang untuk obat-obatan ilegal, terutama sabu. Jelas sekarang, bahwa hukuman mati tidak memiliki dampak yang dapat diamati terhadap tingkat pemakaian narkotika, dan tidak terlihat “menjerakan” pengedar narkotika untuk menyasar pasarpasar yang berbahaya ini. Lalu, mengapa Indonesia menjauhi tren penghapusan hukuman mati? Anjani dan Muhamad — juga Presiden Jokowi — mohon perhatikan ini. -Versi asli tulisan ini berbahasa Inggris dan sudah diterbitkan di harian The Jakarta Globe, 30 Januari 2015, dan dapat dilihat di: http://thejakartaglobe.beritasatu.com/opinion/commentary-bloody-murderers-rebuttaldeath-penalty-advocates-1/ dan http://thejakartaglobe.beritasatu.com/opinion/commentary-bloodymurderers-rebuttal-death-penalty-advocates-2/ Versi Bahasa Indonesia ini diterjemahkan oleh Yohan David Misero (LBH Masyarakat).


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.