Darurat Narkotik atau Darurat Data

Page 1

Senin, 02 Maret 2015 | 03:16 WIB Opini: Presiden Jokowi Ditantang Debat Ilmuwan Oxford

CLAUDIA STOICESCU, Kandidat PhD University of Oxford (claudia.stoicescu@spi.ox.ac.uk) *** PERNYATAAN Presiden Joko Widodo mengenai situasi “darurat narkotika nasional” yang mengarah pada keharusan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika didasarkan pada perhitungan statistik yang patut dipertanyakan. Jokowi, baru-baru ini, mengutip beberapa angka yang mengagumkan; Indonesia butuh merehabilitasi 4,5 juta warganya atas penggunaan narkotika secara illegal, dan 40 sampai 50 orang anak bangsa meninggal dunia setiap harinya karena sebab yang sama. Jokowi berargumen untuk memerangi situasi “darurat” yang ditampilkan oleh angka-angka tersebut di atas dibutuhkan penerapan pendekatan tanpa-kompromi dan punitif. Hasilnya adalah bulan lalu ia memerintahkan agar enam pengedar narkotika yang telah divonis hukuman mati untuk dieksekusi oleh regu tembak. Ia juga berjanji akan menolak permohonan grasi 60 lebih terpidana mati lainnya. Jokowi mengabaikan protes dari kelompok-kelompok pembela hak asasi manusia dan permohonan dari pemerintah Australia yang dua warga negaranya, yaitu Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, yang kasusnya dikenal dengan julukan Bali Nine, yang dalam waktu dekat akan menghadapi regu tembak. Padahal, upaya pemerintahan Jokowi untuk menunjukkan bahwa hukuman mati bagi pelaku tindak pidana narkotika sebagai suatu kebijakan yang berbasiskan bukti, gagal karena satu hal yang paling utama: bukti yang mendasari kebijakan tersebut. Angka-angka yang dikutip oleh Jokowi didasarkan pada penelitian yang dilaksanakan dengan metode-metode yang perlu dipertanyakan secara ilmiah serta pengukuran yang tidak spesifik. Para penasihat pemerintah “memilih-milih” data yang tersedia untuk mendukung pernyataan “situasi darurat narkotika”, untuk akhirnya memberikan pembenaran pada kebijakan yang tidak efektif namun menguntungkan secara politis. Senin, 02 Maret 2015 | 03:22 WIB Opini: Dua 'Kesembronoan' Jokowi MARI kita mulai dengan perkiraan tentang 4,5 juta pengguna narkotika yang membutuhkan rehabilitasi yang dikutip Presiden Jokowi. Angka proyeksi itu dikeluarkan oleh Pusat Penelitian Kesehatan Universitas Indonesia (PPK UI) bekerja sama dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) melalui penelitian di tahun 2008. Angka tersebut bukanlah merupakan sebuah estimasi jumlah aktual dari orang-orang yang tidak mampu mengelola penggunaan narkotika mereka dan membutuhkan dukungan; bukan pula merupakan angka yang dapat digeneralisir untuk mewakili prevalensi penggunaan narkotika di antara masyarakat di Indonesia. Aspek paling bermasalah dalam proyeksi ini adalah definisi “kecanduan” yang terlalu disederhanakan, semata-mata hanya berdasarkan pada seberapa sering seseorang


menggunakan narkotika. Penelitian tersebut membagi pengguna narkotika menjadi tiga kategori–pernah mencoba, pengguna teratur, dan pecandu–hanya berdasarkan frekuensi penggunaan narkotika. Orang yang pernah menggunakan narkotika kurang dari lima kali selama hidupnya diklasifikasikan sebagai orang yang “pernah mencoba narkotika”. Orang-orang yang menggunakan narkotika kurang dari 49 kali dalam satu tahun sebelum survey tersebut dilaksanakan dikategorikan sebagai “pengguna teratur”, dan mereka yang menggunakan narkotika lebih dari 49 kali pada satu tahun sebelum survey disebut sebagai “pecandu”. Partisipan survey yang mengatakan mereka pernah menyuntikkan narkotika, bahkan jika hanya sekali saja pada tahun sebelumnya, juga dikategorikan sebagai “pecandu”. Metode estimasi ini dapat mengakibatkan si Anu, yang membawa selinting ganja saat pesta tahun baru dan hanya menggunakan ganja pada beberapa acara tertentu saja termasuk seorang pengguna napza yang wajib mengikuti rehabilitasi selama tiga sampai enam bulan di fasilitas rawat inap rehabilitasi. Ini berarti bahwa orang-orang seperti si Anu pun merupakan fokus pokok “krisis napza” di Indonesia. Hal ini mengakibatkan munculnya proyeksi estimasi sebesar 4,5 juta pengguna narkotika; yang didasarkan pada survey yang sudah lama, serta pengkategorian yang tidak tepat. Versi dilebih-lebihkan dari “krisis napza” inilah yang kemudian menjadi acuan penasihat pemerintahan untuk memberi pembenaran pada keputusan-keputusan kebijakan yang keji/kejam. Senin, 02 Maret 2015 | 03:28 WIB Opini: Jokowi pun Sembrono di Hitungan Ini HAL LAIN yang lebih problematis adalah pernyataan mengenai 40 sampai 50 anak bangsa yang dikatakan meninggal setiap harinya karena narkotika. Angka didapat dari survey pada 2,143 orang dari kelompok populasi siswa/mahasiswa, pekerja dan rumah tangga. Mereka menanyakan kepada kelompok ini, berapa orang kenalan mereka yang menggunakan narkotika; dan dari jumlah tersebut, berapa banyak teman mereka yang meninggal pada tahun sebelum survey ini dilaksanakan. Para peneliti ini kemudian mengalikan median jumlah teman yang meninggal (tiga) dengan estimasi mereka tahun 2008 mengenai jumlah “pecandu”, dan mencapai angka 14.894 orang. Angka tersebut kemudian dibagi 365, sesuai jumlah hari dalam satu tahun, dan sampailah pada jumlah 41 orang “meninggal dunia karena narkotika setiap hari.” Dari sudut pandang metodologis, ini adalah cara yang ambigu dan tidak akurat untuk mengukur tingkat kematian pada populasi manapun, apalagi kematian akibat overdosis – dengan asumsi kematian seperti ini yang dimaksud oleh survey tersebut di atas. Mengingat bahwa Indonesia tidak pernah mengumpulkan data statistik yang dapat diandalkan mengenai overdosis napza, istilah “meninggal karena napza” menjadi tidak jelas dalam konteks survey ini. Apakah yang dimaksud adalah kematian karena gagal napas akibat dari overdosis? Apakah kematian karena terluka akibat dari kekerasan polisi setelah penangkapan terkait napza? Apakah kematian terkait AIDS atau hepatitis C pada mereka yang menyuntik napza? Metodologi penelitian yang hasilnya dipakai Jokowi tidak memberikan definisi operasional apapun mengenai hal ini.


Para peneliti pada umumnya sepakat bahwa metode paling baik untuk mengukur tingkat mortalitas terkait narkotika adalah dengan cara mengikuti satu kelompok/cohort pengguna narkotika yang mewakili populasi tertentu selama beberapa waktu. Peneliti harus mengukur berbagai faktor perilaku, fisiologis dan struktural yang dapat memengaruhi mortalitas; seperti penyakit atau akses pada layanan kesehatan. Analisis dan perhitungan atas jumlah kematian dalam kelompok tersebut beserta faktor-faktor yang memengaruhi kematian dapat menghasilkan angka tingkat kematian yang relatif lebih dapat diandalkan. Senin, 02 Maret 2015 | 03:34 WIB Opini: Bapak Jokowi, Data Anda Untuk Soal Hidup-Mati PARA praktisi klinis serta akademisi masih terus memperdebatkan definisi adiksi yang paling akurat secara klinis. Meskipun demikian, terdapat banyak perangkat pengukuran dan diagnostik terstandarisasi yang diterima luas untuk menentukan tingkat adiksi, yang memerhitungkan lebih dari sekedar frekuensi dan metode penggunaan napza. Pengukuran ini melibatkan dimensi-dimensi biologis, psikologis serta sosiologis. Sebagai contoh, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menggunakan International Classification of Diseases and Health Problems (ICD-10) atau Klasifikasi Internasional Penyakit dan Masalah Kesehatan versi 10 untuk menentukan adiksi. Beberapa alat pengukuran/asesmen adiksi lain yang terstandarisasi, dapat diandalkan, dan disetujui oleh WHO juga tersedia dan dapat digunakan untuk mengukur tingkat penggunaan napza yang bermasalah. Yang membedakan alat-alat ini dengan kategorisasi “kasar� dari BNN-UI adalah aplikasi dan penekanan elemen-elemen perilaku, kognitif dan fisiologis yang kompleks pada adiksi, sesuai sejatinya. Elemen-elemen ini meliputi kualitas hidup pengguna, gejala putus zat, relapse/penggunaan kembali yang kronis, serta bukti-bukti jelas yang menunjukkan efek merusak akibat penggunaan zat secara tidak terkendali. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia mengestimasikan adanya 74.326 orang pengguna napza suntik di Indonesia, dengan konsentrasi pengguna terbanyak berada di Jakarta dan sekitarnya, Jawa Timur, serta Jawa Barat. Organisasi-organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-bangsa dan WHO juga merujuk pada angka/data ini. Angka ini mencerminkan perkiraan jumlah pengguna napza suntik dalam survey lain yang dilakukan oleh BNN-UI pada tahun 2011. Survey ini juga mengidentifikasi sekitar 1,1 juta pengguna napza non-suntik di Indonesia. Kebanyakan dari mereka menggunakan ecstasy dan crystal methamphetamine (shabu) sebanyak lebih dari 49 kali pada tahun sebelum survey dilakukan. Meskipun demikian, seperti yang telah dijabarkan di atas, indikator seperti metode atau frekuensi penggunaan napza saja tidak cukup untuk menentukan apakah seseorang membutuhkan rehabilitasi atau tidak, atau bahkan apakah rehabilitasi merupakan metode yang tepat. Di antara para pengguna ini, mungkin hanya beberapa yang siap atau memilih untuk menjalani program rehabilitasi di pusat rehabilitasi BNN. Yang lainnya mungkin memilih untuk mengikuti program terapi rumatan metadon; sebagian lagi mungkin dapat terus hidup


mandiri secara produktif sambil mengelola sendiri penggunaan napza mereka. Perkara Hidup dan Mati Para analis dari dalam maupun luar Indonesia telah dengan jelas berargumen menentang hukuman mati bagi tindak pidana narkotika dengan dasar keberpihakan pada hak asasi manusia. Berbagai bukti dari Singapura, Malaysia, dan berbagai negara lainnya menunjukkan bahwa hukuman mati tidaklah efektif dalam menimbulkan efek jera untuk menghalangi peredaran maupun menekan tingkat penggunaan narkotika. Harus diakui bahwa setiap penelitian pasti memiliki ambang kesalahan, tidak semua penelitian dirancang dan dilaksanakan dengan baik. Dalam situasi terburuk, penelitian dapat dimanipulasi sedemikan rupa untuk memberi pembenaran kebutuhan politik tertentu, menyulut ketakutan publik dan memberikan kredibilitas semu untuk mendukung kebijakankebijakan yang punitif, tidak etis dan tidak populer. Keputusan maupun kebijakan apapun, apalagi yang menyangkut hidup atau mati seseorang harus diambil berdasarkan bukti yang baik dan dapat diandalkan. *) Claudia Stoicescu adalah kandidat PhD di University at Oxford, peneliti Centre for Evidence-Based Social Intervention, dan visiting researcher yang tengah melakukan kolaborasi dengan Atma Jaya HIV-AIDS Research Center dan Persaudaraan Korban Napza Indonesia untuk menginvestigasi risiko HIV di antara pengguna narkotika suntik perempuan. -Keterangan: Tulisan Claudia Stoicescu di atas telah diterbitkan di Koran Tempo pada hari Sabtu, 28 Februari 2015, dalam satu kesatuan artikel opini dengan judul “Darurat Narkotik atau Darurat Data?�. Tulisan lainnya bisa juga dibaca di The Conversation.


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.