Literaksi #4

Page 1


Jurnal Kumpulan Tulisan

LITERAKSI #4/Agustus 2016

Kementrian Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan Kabinet KM-ITB 2016/2017


2


“Tidurlah jika kau yakin bahwa di atas bantal terdapat mimpi-mimpi tentang kemajuan Nusantara. Tapi jika tidak, bangkitlah untuk membaca dan berdialektika!�

3


Pengantar Edisi Keempat

Ada yang mengatakan, bahwa semesta bukan terdiri atas atom, tapi terdiri atas kisah. Semua kisah itu tersusun sedemikian rupa dalam rumitnya realitas, dengan beragam dilema, ironi, wujud, dan rupa. Maka lihatlah dunia sekitar kita, begitu banyak kisah terekam dalam alunan waktu dan takdir. Kita berkutat dengan kisah-kisah itu, di antara menjadi tokoh di dalamnya, atau sekedar jadi pembaca yang menikmati. Tapi menjadi apapun kita, kisah lah yang memberi kita semua pengalaman dan pembelajaran. Lantas, apakah cukup semua kisah itu menjadi ilmu bagi mereka yang kebetulan bersentuhan dengannya? Tentu tidak. Di sinilah muncul alasan senderhana, kenapa semua kisah itu perlu dituliskan, agar mengabadi, dan mungkin bisa menjadi teman di tengah malam, atau kawan bagi mereka yang ingin lebih mengerti kehidupan. Di KM ITB, menuliskan kisah bukanlah sebuah kebiasaan yang wajar. Maka sangat sayang, ketika banyak yang kita alami dan amati sebagai mahasiswa, berlalu begitu saja dalam pemahaman individual. Setelah mencoba konsisten sebanyak tiga kali, kami kembali berusaha menghargai merekamereka yang bersedia mengkristalisasi kisah-kisah yang mereka rasakan dalam bentuk kata-kata. Meskipun sempat terputus karena libur yang tidak singkat, konsistensi ini kami mulai kembali pada Agustus ini, dengan beragam kisah yang siap mewarnai wawasan realitas kita lebih luas lagi. Inilah dia, jurnal Literaksi edisi keempat. Ke depannya, akan kami coba buka submisi terbuka agar potensi-potensi tersembunyi dari anggota KM ITB lainnya bisa terdeteksi dan kami hargai untuk kisah-kisah berikutnya.

(mantan) Menteri Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan PHX

4


Daftar Konten

Pengantar ...................................................................................................................... 4 Daftar Konten ............................................................................................................... 5 Enigma Sumberdaya Alam Dan Pelanggaran Ham ............................................... 6 Idiologi sebagai Solusi Otonomi Daerah................................................................ 11 Perempuan dan perempuan. ................................................................................... 21 The Integration Paradox : Commemorating the 49th Anniversary of ASEAN .............................................. 25 Sekolah Hurung Bagian 1 ......................................................................................... 29 Pokemon Go dan Prediksi Liar Kehidupan Urban .............................................. 32 Literasi Mencari Arti ................................................................................................. 40 Pembangunan Aerotropolis: Sekelumit Permasalahan di Baliknya .................. 53 Kesetaraan dalam Film Zootopia dan Novel Animal Farm: Sebuah Review Receh ............................................................................................... 61 Will There Be A Nuclear War? ................................................................................ 64 Stop Crashing Planes: Charlie Munger’s Six-Element System ........................... 67 Polemik Naik Dan Jatuhnya Menteri Energi Sumber Daya Mineral ...................... 72

5


Enigma Sumberdaya Alam Dan Pelanggaran Ham Ardhi Arsy Wardhana

Kaum buruh menuntut hak ketenagakerjaannya, para akademisi menginginkan hak kekayaan intelektulnya, mahasiswa menyerukan haknya atas kampus nonkomersial. Kondisi ini menggambarkan bahwa hak merupakan hal yang takkan pernah luput dari eksistensi manusia dengan beragam identitasnya di dunia. Hak didefinisikan oleh Leif Wenar[1] sebagai, “pemberi kuasa untuk melakukan (atau tidak) suatu perbuatan atau berada dalam sebuah keadaan atau dapat juga berarti pemberian kuasa untuk memerintahkan pihak lain untuk melakukan (atau tidak) suatu perbuatan atau berada dalam sebuah keadaan.� Definisi ini mengambil sudut pandang hak sebagai suatu klaim dari seseorang atau tatanan sistem untuk memberikan kuasa terhadap tindakannya sendiri maupun tindakan orang lain. Banyak definisi lain sebagai antitesis dari pengertian tersebut, tetapi hampir seluruhnya memiliki stuktur internal yang terdiri dari empat komponen dasar yang disebut “the Hohfeldian incidents.�[2] Keempat unsur dasar tersebut adalah : 6


keistimewaan (privilege), klaim (claim), kuasa (power), dan kekebalan (immunity). Struktur ini memiliki konsep bahwa unsur tersebut berada dalam keadaan parsial sehingga suatu hak akan dapat disebut “hak� apabila salah satu unsur sudah terpenuhi. Hak dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori dalam lingkup hukum modern. Salah satu kategori yang paling umum diperbincangkan di khalayak, yaitu hak yang didasarkan pada sumber hak itu sendiri seperti hak asasi manusia (HAM) yang berasal dari natural rights yang berkaitan dengan hak moral[3]. HAM dipandang sebagai salah satu jenis hak yang unik karena didasari bukan karena pemberian kuasa oleh seseorang (mahluk) ataupun suatu sistem melainkan bersandar semata-mata pada martabatnya sebagai manusia yang diberikan kesempatan oleh Sang Pencipta. Sayangnya, ketidakmampuan manusia untuk mendefinisikan hak-haknya berakibat pada persinggungan hak. Friksi ini berujung pada pelanggaran hak oleh suatu sistem atau individu kepada sistem atau individu lainnya. Supremasi hukum merupakan salah satu tuntutan keras yang mendasari reformasi ’98. Soetandyo Wignjosoebroto (2002) menyatakan bahwa secara terminologi, supremasi hukum merupakan upaya untuk menegakkan dan menempatkan hukum pada posisi tertinggi yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat tanpa adanya intervensi oleh dan dari pihak manapun termasuk oleh penyelenggara negara. Agenda besar dari doktrin ini salah satunya adalah perwujudan HAM yang berkeadilan. Sayangnya, pasca delapan belas tahun reformasi dengan mengambil sampel enam tahun terakhir, Indonesia malah cenderung mengalami kenaikan tingkat pelanggaran HAM jika merujuk terhadap jumlah pelaporan berkas ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Dari hampir keseluruhan laporan tahunan, pengaduan terbanyak ditujukan pada lembaga Kepolisian Republik Indonesia dan korporasi.

7


Sumber: Laporan Berkas Pelanggaran KOMNAS HAM 2011–2015[4]

Dilema Sumber Daya Alam Sebagai negara yang dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, Indonesia telah bercita-cita agar bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sesuai pasal 33 ayat 3 UUD ’45. Dari perkamen sakti tersebut, secara filosofis pengelola sumber daya alam dan sistem yang berkaitan merupakan perpanjangan tangan dari negara yang harus membantu memenuhi hak rakyat akan kemakmuran. Sayangnya, di tataran operasional, realita yang terjadi tidak sesuai dengan cita-cita yang dimimpikan. Seperti kita ketahui pemberitaan akhir-akhir ini memberikan ilustrasi bagi kita mengenai perenggutan HAM yang pelakunya jelas-jelas telah mangkir terhadap kewajiban pemenuhan hak kemakmuran kepada rakyat. Belum luput dari ingatan kita penganiayaan terhadap Tosan dan Salim “Kancil” yang berujung kematian terhadap Almarhum Salim pada 26 September 2015. Tragedi yang mencoreng kode lahir dan batin manusia ini terkonstruksi akibat adanya keberpihakan oknum pelaku terhadap pengelolaan sumber daya alam yang buruk karena kondisi ini menjadi “lahan” subur untuk memetik rezeki – kalaupun hasil kotor ini masih layak disebut rezeki- bagi oknum tersebut. Selain kejadian di atas, Pelanggaran HAM juga dilakukan oleh salah satu perusahaan 8


pengelola minyak bumi yang dilakukan sepuluh tahun lalu di Porong, Sidoarjo. Dari wawancara pada Bulan Januari 2016 lalu terhadap salah satu narasumber[5] yang menjadi korban didapatkan bahwa masyarakat mengalami ketidakadilan dari perlakuan pihak korporasi dan pemerintah ketika menuntut hak hidup dengan layak yang sebelumnnya mereka miliki. Padahal kesalahan pengelelolaan eksploitasi minyak bumi di sana telah menenggelamkan enam belas desa, tiga kecamatan, dan dua puluh lima industri rumahan yang menjadi wadah penghasilan masyarakat. Baru-baru ini, tepatnya 11 Juni 2016, juga terjadi penyalahgunaan wewenang dengan terjadinya penembakan terhadap banyak warga Bengkulu yang melakukan aksi demonstrasi terhadap salah satu perusahaan tambang batubara di sana. Kericuhan yang terjadi selama aksi massa memaksa aparat kepolisian mengambil tindakan represif yang berujung pada pelontaran timah panas. Aksi anarkis ini juga menimbulkan korban dari pihak aparat berupa tusukan benda tajam yang dihujamkan oleh warga. Kasuskasus di atas hanya lah “sepotong kue” dari kasus lain yang tidak disebutkan tanpa mengurangi sedikit pun rasa prihatin terhadap terjadinya kasus itu.

Kontemplasi Kejadian-kejadian tersebut hanya lah tip of the iceberg dari cacat besar pemikiran pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Ketidakpahaman pemerintah dan kompeni[6] pada filosofi pemenuhan hak kemakmuran rakyat melalui sumber daya alam menyebabkan tata kelola yang tidak memikirkan hak-hak mendasar manusia. Hal ini menimbulkan konflik horizontal sebagai titik kulminasi dari runtutan kejadian yang sudah terpupuk jauh hari sebelumnya. Selama korporasi yang mengelola sumber daya alam hanya menggunakan rasio-rasio ekonomi sebagai tujuan akhir, maka tidak mungkin tujuan besar “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” dapat terwujud. Dan selama pemerintah yang memegang mandat rakyat lupa dari siapa mandat itu diberikan niscaya Tuhan Yang Maha Esa akan sia-sia memberikan karunia alam yang melimpah. Karena kutukan konflik itu bukan disebabkan oleh sumber daya alam, melainkan aktor-aktor pengelolanya. “Tuhan memberikan sumber daya alam yang terbatas untuk mengajarkan manusia agar menjadi bijak”

9


Catatan Kaki [1] Dalam bahasa aslinya ditulis sebagai berikut: “Rights are entitlements (not) to perform certain actions, or (not) to be in certain states; or entitlements that others (not) perform certain actions or (not) be in certain states”. Leif Wenar.Rights, dalam Standforf Encyclopedia of Philosophy di web:http://plato.stanford.edu/entries/rights yang diakses 16 Juni 2016. [2] Teori “the Hohfeldian incidents” dikenalkan oleh Wesley Hohfeld (1879– 1918), ahli hukum Amerika yang banyak berkarya mengenai hak. [3] Michael J. Perry. 2008. Toward a Theory of Human Rights: Religion, Law, Courts. Cambridge: Cambridge University Press. Hlm. 3–30 [4] Sumber data dari Laporan Pengaduan Berkas Tahunan KOMNAS HAM dari 2011–2016 [5] Beliau adalah warga salah satu desa di Porong, Sidoarjo yang tidak bisa disebutkan identitasnya [6] Sebutan prakemerdekaan terhadap Vereenigde Oostidische Compagnie (VOC)-perusahaan yang pernah memonopoli perdagangan Indonesia- yang lama kelamaan mengalami peyorasi pemaknaannya menjadi seluruh Bangsa Belanda sebagai penjajah

Daftar Bacaan Soetandyo Wignjosoebroto. 2002. Hukum: Masalah.Jakarta: ELSAM dan HUMA

Paradigma,

Metode,

dan

Pranoto Iskandar. 2010 .Hukum HAM Internasional: Sebuah Pengantar Kontekstual. Cianjur: IMR Press Michael J. Perry. 2008. Toward a Theory of Human Rights: Religion, Law, Courts. Cambridge: Cambridge University Press Leif Wenar. 2005. Rights. Standford Philosophyhttp://plato.stanford.edu/entries/rights

Encyclopedia

of

Laporan Pengaduan Berkas Pelanggaran HAM Tahunan 2011–2015. Jakarta: KOMNAS HAM. 10


Idiologi sebagai Solusi Otonomi Daerah Carlos Nemesis

Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo. Sumber : http://jogjadaily.com/2015/12/berkah-bela-beli-kulon-progo-bupati-hastomenangi-regional-marketing-award-2015/

“Saya paling suudzon sama kota yang smart smart gitu, semoga saya bisa menjelaskan lebih jelas pemikiran saya ini.� Sambut Hasto Wardoyo bupati Kulon Progo lulusan spesialis Fakultas Kedokteran UGM, dalam seminar yang diselenggarakan oleh UN-Habitat. Penduduk urban semakin meningkat yang menyebabkan kebutuhan penduduk kota semakin meningkat. Kebutuhan apa yang meningkat ? Kebutuhan akan pangan tentunya, karena penduduk kota butuh makan. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa kota dipenuhi oleh struktur bangunanbangunan padat, dimanakah tempat untuk mengambil sumber makanan itu (daging dan sayuran, beras-beras). Dari desa yang memiliki lahan subur untuk mengkultivasi tanaman dan mengengbiakan ternak.

11


Bermula dari cerita diatas lah terbit sebuah “ketergantungan”. Jakarta dapat dijadikan sebagai sebuah contoh yang baik. Karena rasio ketahanan Provinsi DKI Jakarta pada komoditas beras sebesar 0.0045% (dari 100% hanya 0.4% yang terpenuhi secara mandiri). 2016 Lebih lanjut lagi, penduduk Jakarta dengan jumlah 10.075.300 (BAPPEDA JAKARTA 2014) membutuhkan suplai daging sapi yang tidak hanya berasal dari daerah sekitarnya (misalnya Jabodetabek) namun juga harus disuplai dari daerah luar pulau Jawa.

Selain penduduk kota yang semakin berjuta-juta jumlahnya, terdapat juga sebuah fenomena yang menempatkan pangan “semakin langka” dan kelangkaan yang meningkatkan ketergantungan, yakni alih fungsi lahan.

12


Kedua gambar diatas menunjukan daerah yang mengalami alih fungsi lahan adalah daerah yang memiliki tanah produktivitas tinggi. 13


Pemerintah telah mengeluarkan UU No.41 Tahun 2009 tentang Program Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) untuk penyelesaiannya. Dengan poin-poin sebagai berikut : 

pengembangan infrastruktur pertanian

pembiayaan penelitian dan pengembangan benih dan varietas unggul

penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian

penghargaan pada petani di perkotaan

Pemerintah kabupaten/kota diwajibkan untuk menerapkan LP2B dan mengintegrasikannya dalam RTRW dan RDTR kabupaten/kota, dari 500 kabupaten/kota baru sekitar 107 yang telah menetapkan LP2B dalam rencana tata ruangnya. Undang-undang tersebut menjadi salah satu langkah untuk menjadikan daerah yang berketahanan pangan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa setiap daerah membutuhkan daerah lain untuk suplai sumber daya pangannya. Dikarenakan kesuburan tanah di setiap wilayah berbeda dan peruntukan wilayah yang memang ditujukan untuk daerah kota. Namun yang akan menjadi masalah adalah ketika kota menjadi “black hole” bagi daerah sekitar karena kebutuhan yang “terlalu berat”. Setiap daerah haruslah memiliki kemandirian pangan, yang dibarengi dengan kemandirian ekonomi. Jika pada penjelasan awal saya memaparkan tentang kemandirian pangan yang masih menjadi masalah, saya akan menjelaskan mengenai kemandirian ekonomi yang menjadi masalah, juga.

14


Pada gambar di atas, pada grafik pertama merupakan grafik wilayah perkotaan dengan warna oranye (dana alokasi pusat) yang stagnan dan warna biru (dana asli daerah) yang cenderung meningkat. Berkebalikan dengan grafik kedua yang merupakan wilayah kabupaten (desa) yang warna oranye (dana alokasi pusat) yang meningkat dan warna biru (dana asli daerah) yang stagnan. Hal ini menunjukan bahwa desa masih belum memiliki kemandirian ekonomi dan masih bergantung penuh pada pemerintahan pusat untuk pengembangan daerahnya. Perlu diketahui bahwa setiap daerah mimiliki alokasi dana yang berbeda (untuk beberapa daerah seperti Kulon Progo yang hanya mendapat 1.2 M dari pusat, angka ini sangatlah kurang). Urgensi kemandirian ekonomi semakin dibutuhkan dan mendesak! Otonomi daerah yang digadang-gadang akan menurunkan ketimpangan daerah tampaknya tidak berdampak banyak.

15


Angka Rasio Gini di Indonesia bukannya semakin menurun dengan kebijakan otonomi daerah, namun cenderung meningkat secara stagnan. Apakah yang sebenarnya sedang terjadi? Mengapa otonomi daerah yang telah berjalan selama satu dekade ini tidak memengaruhi kesenjangan kesejahteraan yang dibawa oleh semangat reformasi ? Self-Governance adalah kondisi ideal dari otonomi daerah, ketika daerah bisa berdikari dari setiap aspek penghidupan daerahnya. Tidak selamanya daerah harus bergantung penuh pada pemerintahan pusat, inovasi merupakan kunci dari kesejahteraan. Jika daerah masih “miskin� maka saya bisa mengatakan bahwa itu adalah kesalahan dari kepala daerahnya. Kepala Daerah Kulon Progo, Hasto Wardoyo dapat dijadikan sebagai salah satu daerah yang telah berusaha keras dalam mewujudkan kabupaten yang berdikari.

16


Bupati Kulon Progo ini memiliki prinsip bahwa setiap usaha bisnis haruslah dari daerah dan kembali lagi ke daerah. Sebagai contoh sebut saja merek “AQU*” yang merupakan perusahaan swasta yang keuntungannya tidak mengalir ke daerah. Kekahwatiran ini membuat sang Bupati memutuskan unuk membuat sendiri produk air mineral yang uangnya tentunya akan kembali ke orang-orang daerah itu sendiri.

PDAM Tirta Binangan telah meluncurkan produk Industri Mineral Kemasan “Air Ku” AirKu bisa dimaknai Air Kulon Progo dan menjadi spirit dari kulon Progo untuk Kulon Progo

Uji coba seluas 40 ha, pada saat tanam perdana yang dihadiri oleh Ketua MPR RI di Desa Banjarum 17


Tidak hanya itu Bupati Kulon Progo ini juga mengenjot produksi padi daerah dengan membentuk “Gerakan Tanam Padi Lokal Kulon Progo” dengan membuat MOU dengan bulog untuk menadapatkan sebuah Perjanjian Kesanggupan Pengadaan Beras Miskin yang berarti jika sebelumnya Kulon Progo harus mengimpor” beras dari daerah lain, maka dengan kesepakatan ini Kulon Progo diijinkan untuk memproduksi berasnya secara mandiri. Lebih lanjut lagi Kulon Progo juga memproduksi batu andesit nya sendiri untuk semua trotoar yang ada.

Halaman kantor Bupati Kulon Progo yang lantainya terbuat dari batu andesit lokal sendiri.

“kalau dilihat dari dekat pemasangan batu ini tidak teratur dan agak berantakan, tidak apa-apa. Karena setiap kali saya berjalan diatas bebatuan yang dibuat oleh rakyat saya sendiri saya selalu tersenyum karena ini dari kami untuk kami dan manfaatnya untuk semua orang. Ini bebatuan idiologis ini! Kamu akan jadi orang yang idiologis kalau jalan di atas sini, hehe ” kata Bupati Kulon Progo yang disambut tawa bahagia oleh peserta seminar.

18


Alfamart yang harus berganti nama menjadi ToMiRa (Toko Milik Rakyat) dan didalamnya terdapat produk-produk asli daerah seperti gula merah, air minum airku, dsb. Kulon Progo juga berhasil untuk menjalankan program One Village One Sister Company. Program ini menggandeng 17 perusahaan swasta, BUMN dan BUMD untuk menjadi orangtua asuh dari desa-desa di Kulon Progo. Perusahaan yang menjadi orangtua asuh diharapkan dapat membina desadesa yang menjadi asuhannya sehingga kesejahteraan di desa itu meningkat dan keluar dari angka kemiskinan. Dalam tahun 2012 saja Kulon Progo berhasil membangun 220 rumah dari dana non APBD dan gotong royong masyarakat Salah satu program unggulan yang benar-benar menunjukan adanya partisipasi masyarakat secara nyata adalah “Bedah Rumah�. Program yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan akan kurangnya perumahan layak dilakukan dengan GOTONG ROYONG WARGA, dengan dana tanpa APBD. Lalu darimana saja dana tersebut ? Dana tersebut berasal sumbangan perusahaan swasta, komunitas, alumni lembaga, perseorangan, dan zakat.

19


Di tengah-tengah kondisi dimana rakyat sering menjadi korban kepentingan pribadi pemerintah, terobosan-terobosan yang mengedepankan kepentingan rakyat semakin jarang terlihat. Upaya Bupati Hasto Wardoyo menunjukkan bahwa masih ada pemerintah yang sungguh-sungguh berkomitmen untuk membangun daerahnya dan membela masyarakatnya.

Contoh diatas merupakan kondisi ideal dari otonomi daerah disaat daerah mampu berdiri secara mandiri terlepas dari ketergantungannya. Hal ini juga harus “ditiru� oleh kota-kota besar agar menjadi mandiri juga. Karena sekarang pembangunan bukanlah dari kota, bukan untuk membesarkan kota-kota dan memaksakan desa untuk menjadi kota. Namun sebaliknya bahwa pembangunan harusalah dimulai dari desa sebagai akar dari setiap potensi yang ada. Semoga harapan bahwa semangat reformasi untuk mensejahterakan seluruh masyarakat di semua pelosok negri dapat tercapai dengan kemandirian yang dapat diterapkan di setiap daerah.

20


Perempuan dan perempuan. Ega Zulfa Rahcita

Sudah bertahun-tahun KM ITB menjadi anggota BEM SI. Ya, BEM SI merupakan sebuah aliansi yang berisi organisasi kemahasiswaan tingkat universitas yang tergabung sebagai anggota. Dalam aliansi ini terdapat komponen struktural layaknya sebuah organisasi. Komponen strukturalnya terdiri atas koordinator pusat, koordinator forum perempuan, koordinator wilayah, dan koordinator isu. Pada tulisan kali ini saya akan mencoba bercerita sedikit mengenai salah satu komponen strukturalnya yaitu forum perempuan.

Apa itu FP (Forum Perempuan)? Dalam profil FP dijelaskan bahwa Forum Perempuan merupakan sebuah supporting system dari aliansi bernama BEM SI (Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia). Berbicara mengenai supporting system mungkin pikiran beberapa anak ITB akan melayang pada hal-hal terkait teknis pendukung seperti administrasi, keuangan, personalia, dan semacamnya. Akan tetapi bukan itu yang dimaksudkan dalam FP ini melainkan supporting dalam hal fasilitas untuk para mahasiswi yang tergabung dalam aliansi. Fasilitas yang dimaksud adalah berupa wadah untuk meningkatkan kapabilitas mahasiswi terkait dengan gerakan mahasiswa dalam menanggapi isu sosial politik nasional dan daerah. “Dalam sebuah gerakan mahasiswa, dibutuhkan keseimbangan gerakan antar anggotanya. Sebuah gerakan yang baik juga memperhatikan setiap anggota gerakannya itu sendiri, baik dalam hal kapasitas maupun kapabilitas anggota sebuah gerakan.� Paragraf di atas ada dalam sejarah kenapa forum perempuan ini muncul. Dalam BEM SI tentu ada beberapa agenda nasional yang dijalankan dan setiap kampus diharuskan mengirimkan perwakilannya minimal 2 orang. Dari perwakilan tersebut ada mahasiswa laki-laki dan perempuan. Tepatnya pada tahun 2009, perempuan-perempuan yang ada di agenda nasional waktu itu menginisiasi forum ini dengan alasan untuk meningkatkan partisipasi aktif perempuan dalam aliansi ini. Dan cerita tentang FP yang sebelum tahun 2010 21


bernama AWSI (Aliansi Wanita Seluruh Indonesia) pun dimulai. Dari tahun ke tahun FP mulai mencoba untuk mendefinisikan arah geraknya sampai pada kesepakatan bahwa forum ini fokus pada isu sosial politik terkait perempuan dan anak. Dalam koordinasi geraknya masih di bawah naungan komando BEM SI. Mungkin ada yang bertanya apa bedanya forum ini dengan koordinator isu, kenapa ga dinamai korsu perempuan dan anak saja. Namun bukan seperti itu yang dituju melainkan FP ini bisa menjadi supporting gerak BEM SI dalam isu yang tidak digarap oleh korsu lain terkait perempuan dan anak. Lagipula sistem korsu anggotanya merupakan beberapa kampus yang terhimpun sesuai preferensi isu masing-masing. Sedangkan untuk forum perempuan ini anggotanya adalah mahasiswa-mahasiswa perempuan dari seluruh kampus yang tergabung sebagai anggota BEM SI. Untuk struktur forum ini pada dasarnya mengikuti pola BEM SI dimana ada koordinator FP dan koordinator FP wilayah.

Seluas perempuan dan anak? Seperti halnya bidang eksternal/sospol/luar negeri/kajian dan apapun itu namanya di kampus masing-masing, FP ini punya fokus isu. Isu kekerasan terhadap perempuan dan anak menjadi garapan wajib nasional dalam beberapa tahun terakhir ini. Dilengkapi dengan isu-isu terkait kasus perempuan dan anak yang khusus terjadi di masing-masing wilayah. Sebagai gambaran detailnya, untuk 2016 ini isu nasional yang akan dibidik adalah RUU mengenai Penghapusan Kekerasan Seksual. Contoh isu daerah Jabar misalnya pembahasan terkait diskriminasi bagi perempuan dalam lingkungan ekonomi. Koordinasi pergerakan dalam FP di masing-masing wilayah diarahkan untuk memulai adanya pencerdasan terkait isu sosial politik mengenai perempuan dan anak ke masyarakat. Kemudian tujuan panjangnya adalah FP dapat digunakan untuk advokasi kebijakan. Rekam pola pergerakan perempuan,  Kumpulan perempuan bersatu dimulai dari kegiatan kerumah tanggaan kemudian merembet ke arah sosio-kultur dan gerakan politik juga. Dimulai pada masa kolonialisme, atas dasar persamaan hak pendidikan, 22


nasib pekerjaan sampai pelecehan pun ada. Hingga terlaksananya Kongres I Wanita pada tanggal 22 Desember 1928. Kemudian perjuangan berlanjut pada masa kemerdekaan dimana perempuan-perempuan turut serta dalam usaha merebut kemerdekaan Indonesia.  Lalu pergerakan mereka pun terdepolitisasi pada era 70-an dan lengkap musnah sudah pada tahun 80-an. Kemusnahan ini karena tindak represif dari pemerintah denga NKK/BKK waktu itu sehingga kelompokkelompok perempuan ini bergabung dengan LSM. Karakteristik baru yang terbentuk pada akhir-akhir ini adalah gerakan perempuan yang kembali ke jaman 30-an. Berkutat pada masalah pendidikan dan pelatihan tanpa upaya untuk mengorganisir perempuan agar bergerak bersama elemen rakyat lain dalam usaha perombakan sistemik.  Pada tahun 90-an gerakan perempuan kembali bangkit bersama beberapa fakta. Pertama bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan ada di angka 18 juta setiap tahunnya. Kedua adanya operasi militer besar-besaran yang meninggalkan berbagai kasus pelecehan seksual. Terakhir, fakta bahwa 60% buruh sektor industri di Indonesia adalah perempuan.  Kemudian perempuan pun berhasil tampil dalam penggulingan rezim ’98 dan pada akhirnya pergerakan sosial politik perempuan berkutat pada perebutan jatah kursi di pemerintahan. Masih dengan tidak adanya tokoh atau organisasi perempuan yang tampil untuk memperjuangkan diri dari sistem yang menindas. Lalu... Pola yang sama pun sebenarnya terjadi dalam forum perempuan BEM SI ini. Berangkat dari isu keterlibatan, dan disambut oleh berbagai informasi mengenai kasus-kasus yang melanda perempuan dan anak. Akan tetapi untuk saat ini, FP rupanya masih mengenali diri seutuhnya sembari mempersiapkan tantangan pergerakan yang entah akan seperti apa nanti. Karena, pada kenyataannya sungguh sangat banyak LSM yang menaruh fokus aktivitasnya pada isu perempuan dan anak. Pun dari pemerintah sudah ada lembaga resmi yang mengurus hal ini baik di hulu maupun hilir. Juga di lingkup kepolisian pun sudah ada bagian yang dikhususkan ada untuk menangani kasus perempuan dan anak oleh polisi-polisi wanita (polwan). Dimanakah FP BEM SI sebagai satu-satunya cabang gerakan mahasiswa yang berisi kaum perempuan akan menempatkan diri? Dapatkah dia menjadi 23


jawaban atas pertanyaan organisasi perempuan untuk pembebasan secara sistemik? ...dan pertanyaan menggelitik selanjutnya adalah : Di saat kampus lain sudah berani memasukkan bidang perempuan ke dalam strukturnya baik di bawah urusan kader, sospol, maupun kepemudaan. Bagaimana prospek isu ini di kampus ganesha? Akankah terjual dengan laris layaknya isu sosial politik lain? Semua akan terjawab ketika ranah teknis terlampaui. Sekian sedikit ketikan saya mengenai forum perempuan semoga bermanfaat untuk dibaca ulang dan dikembangkan secara ide juga praktikal. Dengan apa yang dianugerahkan kepadanya oleh Sang Pencipta, semoga perempuan selalu bisa untuk memulai-merawat-menyelesaikan diri dan lingkungannya.

24


The Integration Paradox : Commemorating the 49th Anniversary of ASEAN Luthfi Muhamad Iqbal

“We do not make trouble. We do not create trouble. But we are not afraid of trouble … [and in relation to the] territory which has passed down from our ancestors into the hands of our generation … China cannot afford to lose an inch.”  — General Fang Fenghui

Background: Lessons Learned from EU and Brexit Last June, 2016 all people of the world were shocked by UK’s withdrawal from the European Union. 52% of British people vote to leave while the others want still remains. This is a turning point for Europe and European unification process. With this decision, Britain has became the first country that leave the 28-member bloc, which also the world’s largest trading zone, consist of 508 million residents and a commitment to the free market: movement of labor, capital, goods and services. Several experts say that this historical event is warning for the EU to rethink the status quo. Incapability of EU government on dealing with 2008 crisis, Euro-zone crisis which change diplomatic landscape from partnering state into lenders-debtors state, and the recently immigration influx, believed as the main and yet strong cause for this British-exit or commonly called as the Brexit. Therefore, the dream about greater, stronger and unite Europe has sink on the English Channel. People believe, what the Britain gets from the EU was lesser that what they give. The 2008 crisis show the proof that Britain which not using Euro currency, recovery its economic performance faster than Euro-zone do, thus the conclusion is the Britain will stronger outside EU. This fact, push the Anti-EU groups in UK to support for leave from the EU. Similar cases were appears in Hungary and Poland with different causes. The Anti-Immigration groups were rising in these countries to against the open-border policy regarding the immigration flow from the Mideast to the Europe, then followed with several countries after. 25


Citing the Ian Bremmer thesis on the G-0 (Government Zero) World, following by this Brexit case, it seems clearer that “Every nation for him-self” be the most expression to describe the phenomenon. The anti-globalist group grow stronger, all nation conscious to put the domestic things first before the foreign things. There are currently no single or several world superpower leadership who take in charge to solve the International issues and conflicts. The one-sided nationalizing process of foreign assets and company in Latin America and third world countries; the isolation of new shale oil technology in USA; the longstanding conflicts in Syria; the ISIS existence; and currently dispute at South China Sea between China and ASEAN claimant nations, show the proof, how egoistic (or nationalist?) every nation at these days are. However, the changes of this behavior, both direct and indirectly will also effects on how countries are interact each other. How about in ASEAN?

From The ASEAN Way to the ASEAN No Way Since its flexible policy –different with the European Union which has the parliamentary, government, judiciary bodies and single currency “Euro”, we have not experience what occurs in EU (Thanks to the slow integration progress). However we deal with different issues like illegal refugee rafts, and most hot conflicts in region: ASEAN-South China Sea dispute. ASEAN have role modeling the EU for a long time and desire to follow the integration process like the EU has done in early 1990. However, the ASEAN is not the EU, even after the ASEAN Community has been signed. We have different “game-play” called ASEAN Way. The ASEAN Way consists of four elements: 

Informality of Interactions

Non-legalistic cooperation

Consensus based approach

Inclusivity in membership and external relation

ASEAN way is attributed to the way that be the identities of ASEAN, also on how ASEAN takes decisions, which achieved by a process of consultation and consensus. However, this ASEAN way brings the ASEAN to the “No Way” condition for current South China Sea dispute. First, the lack of cohesion among the members make the ASEAN has no official position in South China Dispute. 26


Cambodia chairmanship in 2012 fails to issue a joint communiqué about the territorial dispute. Divergent views appeared responding on the mentioned conflict. ASEAN as one region has no business on these conflicts, and it should be seen as bilateral problem, which ASEAN cannot steps too much into any members’ countries problem according to its non-interventionist policy. As a matter of fact, ASEAN is already committed to building an ASEAN Community last year, 2015 and effectively implemented in this year 2016. One of the three pillars of the community is ASEAN Political Security Community (APSC), which have main goals to create a vision of common mechanisms to deal with regional security issues. The absence of unity among ASEAN members show the proof that in fact, the organization as a whole cannot agree on a regional approach to the problem. This indicates that the APSC seems to be very far to achieve, still distant goal and also faces serious challenges. Second, the ASEAN Way of decision making is very slow, because of its decision making mechanism, must be go through the consultation and consensus process. ASEAN failure to issue a joint communiqué on 2012, expose the organization’s inability to reach consensus on key issues. If the consensus cannot be achieved, then an ASEAN Summit will make the decision. However, the decision making in ASEAN Summit is also based on consultation and consensus process, so this will be never ending cyclical problem and we will have never any way out from the conflict mentioned except to solve it bilaterally, like what the China’s preference. Third, the implementation of the Treaty of Amity and Cooperation as a code of conduct has never been adopted to settle any dispute, whether among ASEAN states or between ASEAN states and other signatories to the Treaty. Treaty of Amity is now widely recognized code of conduct between state relations in Southeast Asia even it began as “peace treaty” among its own member states. Therefore, the treaty inability to solve any issue has resulted China percept that the South China Sea dispute is not a matter between China and ASEAN but a bilateral problem with the individual disputants.

The Integration Paradox After 2010, ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA) has been in effect and boosted regional trade ever since. Even in the face of 2008 global 27


economic crisis, this region is well acknowledge as the motor for global economic recovery for its sustainable high growth. According to many liberal theorists, increasing economic interdependence and deepening integration should reduce conflict potentials between state, Integration and Interdependence increase incentives for cooperation and cost of conflict and defection. However, the paradox reveals as we juxtapose the economic relations and the political dynamics of South China Sea affairs. What happens there so far been quite different from what liberal theorist expects. The SCS dispute shows the opposite: the increase in economic integration and interdependence do not automatically cause cooperative gesture in solving dispute. Contrary, tensions between China and ASEAN claimants were heightened recently. Given ASEAN as an institution is not able to handle this prolonged conflict , as Cambodia and Laos slow progress of the peace by rejecting a regional approach to this conflict and prefer to resolved bilaterally among the disputant countries. The initiatives from the Philippine, to file the case to the International Arbitrary Tribunal in The Hague, Netherland 22 January 2013, shows that the Philippine is very frustation to place a hope in the what we called as ASEAN Community.

Epilogue British people had been decided to leave the EU on last June. Will the Filipino or Vietnamese, Malaysians, Bruneians follow the Brexit step to leave the dysfunctional communities, ASEAN at this 50th anniversary? Or instead the leaving action, the ASEAN countries will fix the institutional error “ASEAN Way� which limiting the peacemaking progress, and move forward to the more serious community integration, with not only at Economic pillars, but also in Socio Culture and the most important, Political Security as a whole ASEAN Community? Whatsoever the decision is, well Happy 50th ASEAN Day!

28


Sekolah Hurung Bagian 1 “Lantai Bumi Di Hantam Beton� Yulida Rachma

Pemerintah Indonesia memberikan prioritas yang tinggi kepada pembangunan infrastruktur di Indonesia. Pada APBN 2015, anggaran infrastruktur pun meningkat drastis menjadi Rp 290,3 T. Angka tersebut naik sekitar Rp 84 T dibandingkan APBN 2014. Bahkan dalam APBN 2016, pemerintah menargetkan anggaran infrastruktur lebih tinggi sebesar 313,5 T meski pada tahun 2015, sumber dana untuk anggaran infrastruktur, yaitu pajak dan PNPB jatuh. Maka, untuk mendapatkan dana, diberlakukanlah tiga kebijakan: pengampunan pajak (Tax Amnesty), Pemotongan anggaran dan penambahan utang. Diharapkan pembangunan infrastuktur dapat meningkatkan ekonomi Indonesia agar semakin tinggi. Dikalkulasikan apabila infrastruktur semakin baik, pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa mencapai 7– 8 persen per tahun. Karena infrastruktur yang tidak memadai menjadikan biaya logistik menjadi salah satu yang tertinggi di dunia dan menjadikan daya saing Indonesia rendah. Pemerintah telah menetapkan sejumlah target ambisius yang direncanakan tercapai. Salah satunya adalah proyek KCIC (Kereta Cepat Indonesia China) dengan jalur Jakarta-Bandung. Proyek yang bekerjasama dengan China itu direncanakan akan melewati beberapa stasiun, yaitu: Stasiun Gambir, Stasiun Manggarai, Stasiun Halim, Stasiun Karawang, Stasiun Walini dan berakhir di Stasiun Gedebage. Setiap stasiun akan dijadikan pembangunan sentra ekonomi baru. Seperti Karawang dibangun untuk menjadi Kota Industri, Walini sebagai pusat pendidikan dan agrowisata, dan Bandung sebagai Kota Teknopolis Dalam proses pembangunan yang dilakukan, dibentuk konsorsium BUMN yang terdiri dari WIKA, KAI, Jasa Marga, dan PTPN VIII yang bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI). Presiden mengeluarkan Perpres 107/2015 yang secara tegas mengatakan bahwa pemerintah tidak menjamin proyek ini secara finansial. Sehingga ditandatangani JV Agreement antara PSBI dan China Railway untuk membangun KCIC dengan sistem business to business. Kini KCIC telah memasuki tahap pembangunan. Hal ini termuat dalam Keputusan Direktur Jenderal Perkeretaapian Nomor 29


HK.601/SK.05/DJKA/3/16 tentang Pemberian Izin Pembangunan Prasarana Perkeretaapian Umum untuk Trase Jalur Kereta Api Cepat Jakarta dan Bandung Segmen CK 95+000 sampai CK 100+000. Pada tanggal 28–30 Mei bersama Akar Rumput, dan SOSPOL KM ITB melakukan Ekspedisi trase KCIC yang di sekitar Stasiun Walini. Walini merupakan Kota Baru yang akan dibangun oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat di Cikalong Wetan dengan fasilitas dari KCIC berupa terminal terpadu, 6600 unit apartemen, 2200 kamar hotel bisnis, 3080 kamar hotel ekonomi, 2.208.000 m2 perkantoran, 4049.280 m2 lahan komersial, dan 200 ha lahan perumahan. Dari 11.293 Ha yang dimiliki Walini akan dipakai lebih dari 850 Ha untuk proyek KCIC. Padahal dalam Peraturan Daerah No 1 Tahun 2008 tentang Kawasan Bandung Utara, Kecamatan Cikalong Wetan ditetapan sebagai daerah yang pembangunannya harus dibatasi sesuai pasal 4 yang mengatakan bahwa KBU berfungsi sebagi daerah tangkapan air, peresap dan pengalir air bagi daerah bawahnya (Bandung). Dalam era pembangunan infrastruktur yang diagungkan dalam era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, akan ada harga yang harus dibayar. Termasuk alam yang akan ditutupi oleh beton yang akan menjadikan hujan langsung menyentuh lantai bumi. Dengan demikian, koefisien limpasan tanah akan semakin tinggi dan tentu hal ini akan berdampak tak langsung terhadap kehidupan yang ada di dalam dan disekitarnya yang mengandalkan KBU untuk mendapatkan pasokan air bersih. Di sisi lain, monografi Walini baik dari aspek pendidikan, kesehatan, demografi, dan beberapa hal lainnya belum memenuhi kualifikasi dijadikan sebagai basis kota pendidikan dan agrowisata. Bagaimana bisa sebuah wilayah dijadikan kota pendidikan ketika 4774 orang dari 8384 tidak tamat SD? Bukankah lebih baik memperbaiki pandangan yang mengatakan perlu uang 100 juta untuk bisa sekolah? Atau pikiran untuk apa kuliah agar bisa bekerja sedangkan anak SMA saja sudah bisa bekerja di pabrik? Tapi sungguh. Jangan katakan mereka pemalas karena tidak berusaha mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Mereka bahkan bangun saat ayam pertama berkokok, satu jam sebelum shubuh. Seharian mengurus kebun orang lain, atau ada juga yang mengurus kebun di samping-belakang rumah. Tapi masih juga memikirkan hiasan di jalan desa untuk menyambut 17 Agustus. Saat itu aku memikirkan, dan mengerti bagaimana penduduk ini ekonominya semakin miskin dan semakin miskin dan penduduk kota yang 30


kaya secara ekonomi akan bertambah kaya. Lalu, ketika kereta cepat akan menghantam tanah Panglejar nanti, kekayaan budaya dan keterikatan sosial mereka akan semakin miskin juga. Jika KCIC yang sudah diprediksi tidak akan selesai itu terus berjalan dan memakan korban tanah bumi ini terus dan terus, bukan hanya air yang tak bisa digunakan lagi kurasa. Tapi juga psikologi ruang dan manusia, yang kemudian hanya akan menambah enigma dalam pikiran kita. Kenapa tak habis pikir pemerintah melakukan ini?

31


Pokemon Go dan Prediksi Liar Kehidupan Urban Naufal Rofi Indriansyah

Sumber: http://siliconangle.com/files/2015/09/Pokemon-GO-1080x675.png Malam ini di jalanan, terlihat orang-orang dengan gerak-gerik aneh, celingak celinguk sambil sesekali memperhatikan layar ponsel di tangannya. Sembari lewat, saya sedikit mengintip layar ponsel mereka, dan benar saja: mereka juga Pokemon Trainers. Lucu rasanya mengingat Pokemon Go belum dirilis secara resmi di Indonesia, tapi sudah banyak pemain game ini berkeliaran di jalanan. Dan alangkah lucu lagi, sehabis saya memperhatikan orang-orang tersebut, saya baru sadar saya juga menggenggam layar ponsel dengan tingkah yang sama. Ya, hari ini saya resmi jadi pemain (atau korban) Pokemon Go. Setelah sedikit berkeliling dengan teman yang juga Pokemon Trainer (sebutan untuk mereka yang berkeliling dunia menangkap dan melatih Pokemon), tentunya untuk mencari Pokemon baru, kami singgah sebentar di sebuah kafe. Kepulan asap rokok dan obrolan liburan menghiasi malam yang tidak sedingin biasanya. Sesekali pula kami tetap mengecek ponsel, siapa tahu ada Pokemon baru di sekitar kami. Sebagai perencana muda yang baik hati dan

32


tidak sombong, kami sedikit terbayang dan mendiskusikan bagaimana Pokemon Go berpengaruh terhadap dinamika perkotaan. Hipotesa kami berujung pada bagaimana tarikan dan bangkitan dalam konteks mobilitas masyarakat kota akan meningkat seiring dengan semakin nge-hype-nya game ini. Tapi apa hanya itu saja? Dan mengapa sebenarnya kami merasa Pokemon Go akan berimbas pada kehidupan masyarakat urban? Mungkin sedikit pengantar untuk memahami apa itu Pokemon Go akan membantu memberikan pencerahan.

Dunia Pokemon adalah dunia yang berisi monster-monster lucu dengan berbagai bentuk dan spesies. Dalam dunia ini, orang-orang dengan sebutan “trainers�, berkeliling dunia untuk menangkap Pokemon dengan suatu alat yang dinamakan PokeBall. Konsep ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk game di platform Nintendo pada akhir 90-an. Game ini langsung meroket, disusul dengan adaptasi anime-nya pada awal 2000-an. Pokemon Go hadir untuk memenuhi mimpi dari semua fans Pokemon di dunia: bagaimana kalau Pokemon benar-benar ada di dunia nyata? Meski memang tidak mungkin benar-benar menjadi nyata (atau belum), setidaknya dengan teknologi GPS dan augmented reality (AR), mahluk-mahluk lucu nan ganas itu bisa hadir di dunia kita. Mereka bisa ada di halaman rumah, sekolah, kampus, bahkan tempat ibadah. Tentunya, mau tidak mau, pemain harus menjelajahi dunia nyata untuk menangkap Pokemon dalam Pokemon Go. Tidak hanya menangkap Pokemon, terdapat pula fitur Pokemon Gym, dimana pemain bisa “mengadu� Pokemonnya dengan pemain lain. Pokemon Gym ini diletakkan di beberapa landmark kota-kota di dunia, terutama di Indonesia. Contohnya Gedung Merdeka di Bandung. Tidak hanya Pokemon Gym, terdapat sebuah fitur yang dinamakan PokeStop, dimana juga diletakkan di lokasi-lokasi tertentu secara random, semisal di gapura, patung-patung, dan terutama yang banyak ada di Indonesia adalah di tempat ibadah.

33


Sumber: http://www.m2now.co.nz/1-stats-behind-pokemon-go-app-completelyinsane/ Grafik diatas menunjukkan perbandingan pengguna harian Pokemon Go dan Twitter dari hari ke hari, terhitung sejak Pokemon Go diluncurkan di Amerika. Menurut data dari Digital Vision, dua hari sejak diluncurkan di Amerika, Pokemon Go sudah diunduh oleh 5,16% ponsel Android di negeri Paman Sam, dimana sudah mencapai dua kali unduhan aplikasi Tinder (dimana Tinder hanya sekitar 3% sejak diluncurkan sampai sekarang), belum lagi jika kita memasukkan total unduhan dari pengguna iOS.

34


Sumber: http://www.m2now.co.nz/1-stats-behind-pokemon-go-app-completelyinsane/ Para pemain Pokemon Go harus terus membiarkan aplikasi ini berjalan untuk mengetahui apakah ada Pokemon di sekitar mereka. Maka dari itu, dengan antusias tinggi untuk terus menangkap Pokemon setiap kali mereka muncul, waktu penggunaan aplikasi ini juga menjadi lebih tinggi, bahkan dibandingkan dengan media sosial seperti WhatsApp ataupun Instagram, seperti yang ditunjukkan oleh grafik di atas. Jika kita lihat jumlah pemain dan frekuensi penggunaan aplikasi diatas, dengan fakta bahwa jumlah pemain terus bertambah tiap waktu, termasuk memperhitungkan seluruh pemain di dunia (yang berhasil memainkan game ini bahkan sebelum dirilis secara resmi di negaranya), maka kita dapat mengetahui bahwa pergerakan masyarakat kota akan terus meningkat. Hal ini terutama mungkin akan terjadi pada para kelas menengah ngehe dan anakanak muda. Manusia-manusia pecinta Pokemon akan lebih mobile, berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk memburu monster-monster lucu ini.

35


Apakah fenomena ini akan berimbas pada kemacetan? Yang tidak banyak diketahui oleh para pemain Pokemon Go adalah terdapat teknologi speedlimiter yang membatasi kecepatan bergerak dari para pemain. Terdapat sebuah fitur Pokemon Eggs, dimana para pemain akan mendapatkan telur Pokemon dari PokeStop. Untuk menetaskan telur ini pemain harus berjalan sejauh jarak yang ditentukan. Banyak yang coba mengakalinya dengan menggunakan kendaraan untuk menempuh jarak yang jauh dengan mudah. Tapi ternyata dengan adanya speed-limiter, tidak semudah itu untuk menetaskan telur tersebut. Jadi para pemain, idealnya, memang harus berjalan kaki. Ya, untuk mendapatkan “kesenangan sejati� dari memainkan permainan ini adalah dengan berjalan kaki. Pertama, jika bergerak dengan cepat (menggunakan kendaraan) pemain akan banyak melewatkan Pokemon liar di sekitar mereka. Kedua, tentunya Pokemon Eggs yang sudah didapat juga tidak akan menetas jika bergerak terlalu cepat. Ketiga, dengan fakta bahwa tidak semua pemain memiliki konektivitas internet yang sama tingginya, jika mereka bergerak terlalu cepat maka pinpoint lokasi mereka relatif terhadap GPS akan menjadi tidak akurat. Namun, tentunya untuk menjangkau Pokemon Gym dan PokeStop yang tidak tersebar merata, pemain tetap harus menempuh jarak yang jauh. Contohnya dalam kasus saya, jarak dari kompleks rumah saya (di daerah Cimahi) ke Pokemon Gym terdekat cukup jauh. Saya harus menggunakan kendaraan bermotor untuk menjangkau tempat tersebut dengan mudah.

Bagaimana dengan penggunaan kendaraan umum? Hmm, mungkin juga akan meningkat. Namun dengan keberadaan jasa sewa-antar kendaraan seperti Go-Jek, maka bisa jadi kendaraan umum akan di-nomordua-kan. Alangkah wajarnya jika akan banyak pelanggan jasa ini yang nantinya cuma akan bilang, “Ke sungai bang, kita cari Gyarados!�.

Jadi, kita mungkin masih cukup jauh dari masalah kemacetan yang akan ditimbulkan dari Pokemon Go. Yang saya yakini, jumlah fans Pokemon di Indonesia jauh lebih sedikit dari Amerika. Indonesia mungkin tidak akan merasakan hype-nya Pokemon Go seperti di Amerika. Di Amerika mungkin

36


saja, beberapa waktu dari sekarang fenomena macet-akibat-Pokemon-Go akan terjadi. Yang paling mungkin terjadi di Indonesia adalah meningkatnya jumlah pejalan kaki. Orang-orang aneh dengan ponsel di tangannya, celingak celinguk bak turis, mungkin akan menjadi pemandangan yang umum nantinya. Untuk sekarang, hal ini saya rasa menjadi keanehan, karena saya juga mengalami hal ini: berhenti tiba-tiba dan mengarahkan ponsel ke wajah orang asing, karena tepat disampingnya ada Nidorina, dan orang tersebut lantas beranjak pergi dengan raut muka “Ini orang kenapa, sih”. Trotoar mungkin saja menjadi berarti lagi buat masyarakat, ya maksudnya bagi masyarakat pecinta Pokemon. Bayangkan saja jika nantinya banyak kasus tabrak lari akibat game ini, semua akibat mereka tidak memiliki akses yang layak untuk berjalan kaki demi memburu Pikachu. Yang saya takutkan, meski fantasi ini cukup liar, adalah penggusuran PKL berkedok Pokemon Go. Bukan secara langsung, tapi saya rasa dengan alasan “hak pejalan kaki” dan “trotoar milik siapa?” maka Pokemon Go akan melanggengkan perlakuan yang selama ini tidak semena-mena terhadap PKL. Apakah mungkin ini menjadi angin segar bagi pemerintah kota? Terlalu jauh memang, tapi mungkin.

Selain itu semua, dengan juga penempatan Pokemon yang terkadang spesifik untuk memburu satu jenis Pokemon “legendaris” seperti Zapdos, Mewtwo, Articuno, dan lainnya. Meski belum ada pernyataan resmi tentang bagaimana menangkap Pokemon jenis tersebut, tapi sudah banyak bermunculan teori-teori mengenai kemungkinan keberadaan Pokemon tersebut, seperti Ho-Oh yang bisa didapatkan di kaki Gunung Anak Krakatau. Maka tidak heran jika jumlah pendatang tempat-tempat wisata akan meningkat. Dan tentunya bukan sejatinya memburu pengalaman dan pemandangan, tapi tujuan utamanya adalah menangkap Pokemon.

37


Katanya, Mewtwo ada di Times Square, New York. Sumber: http://pokemongoglobal.com/pokemon-go-location/ Hal ini mungkin menjadi berkah baik untuk masyarakat lokal dan pemerintah daerah, terutama secara ekonomi. Tapi lagi-lagi, meski prediksi ini sedikit liar, tapi tidak menutup kemungkinan bahwa butuh kesiapan baik secara infrastruktur dan aspek lainnya, untuk menampung wisatawanwisatawan nerdy ini.

Mungkin beberapa dari kalian merasa “Ah, ngaco� atau “Mana mungkin, masih kejauhan mikirnya�, tapi dengan keyakinan saya sebagai perencana muda sekaligus Pokemon Trainer Amatir, saya rasa bukan sesuatu yang tidak mungkin hal-hal diatas akan terjadi. Saya rasa sudah saatnya bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat untuk memperhatikan hal ini (maksudnya Pokemon Go). Meski terdengar lucu, tapi saya rasa akan banyak hal-hal yang harus ditanggapi secara serius dari keberadaan Pokemon Go dan para pemainnya. Akan banyak hal yang secara positif bisa dimanfaatkan dari keberadaan permainan ini, namun juga akan banyak dampak negatif yang terjadi dan harusnya bisa diantisipasi. Simpelnya, Pokemon Go dan para 38


pemainnya mungkin akan menjadi salah satu kontributor dinamika perkotaan baru yang layak diawasi. Saya pribadi tidak bisa melepaskan jati diri sebagai penggemar Pokemon dan seorang yang dikutuk untuk peka terhadap dinamika perkotaan. Sembari terus melangkahkan kaki dan waspada dengan keberadaan Pokemon di sekitar saya, di sela-selanya saya juga terus berimajinasi tentang perubahan-perubahan yang akan terjadi, tentang bagaimana Pokemon Go hadir dalam peradaban dimana saya hidup, dan bagaimana peradaban dan pembangunan berhubungan dialektis, dan keberadaan monster-monster lucu ini di dunia tentunya akan berdampak pada hubungan tersebut. Siapa tahu Pokemon juga perlu perencanaan?

39


Literasi Mencari Arti Aditya Firman Ihsan

“Sebenarnya dalam sejarah peradaban umat manusia, kemajuan suatu bangsa tidak bisa dibangun dengan hanya bermodalkan kekayaan alam yang melimpah maupun pengelolaan tata negara yang mapan, melainkan berawal dari peradaban buku atau penguasaan literasi yang berkelanjutan dari satu generasi ke generasi berikutnya.� – Anonim –

Baca dan tulis sudah menjadi tindakan yang secara wajar terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari yang sesederhana membaca papan reklame di sepanjang jalan, atau menuliskan nama sendiri ketika mengisi suatu formulir 40


tertentu. Mungkin bisa dikatakan lebih dari setengah waktu kita dalam sehari selain tidur dihabiskan dengan dua tindakan tersebut. Tentu, dua tindakan itu bukan lah hal yang aneh. Justru yang aneh adalah apabila tidak bisa melakukan dua tindakan itu. Sayangnya, betapa biasanya dua tindakan itu justru seakan menenggelamkan makna sesungguhnya dan apa kekuatan di baliknya. Baca dan tulis sering dikaitkan dengan satu kata yang mungkin masih tidak terlalu terbiasa pada kebanyakan orang. Ya, literasi. Istilah ini banyak disebut-sebut di dunia akademis, di dunia kepustakaan, dan juga dunia keaksaraan, serta pada beberapa tempat lainnya. Sering dikatakan juga bahwa budaya literasi adalah hal yang paling penting dalam membangun peradaban. Anehnya, dengan semua teori atau teks lain yang berkata banyak mengenai literasi, kata ini bahkan tidak tercantum dalam KBBI edisi IV, yang mana hanya mengandung dua kata ubahannya, yaitu aliterasi dan transliterasi. Lantas apa sebenarnya literasi?

Dunia Teks Karena kamus utama pembendaharaan kata Bahasa Indonesia edisi terbaru sendiri tidak mencantumkan definisi literasi, maka mungkin kita perlu melihat istilah ini secara etimologis. Jika ditarik mundur, literasi merupakan adopsi dari bahasa inggris literacy, yang secara sederhana bisa diartikan sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis. Saudara-saudaranya, literate, literature, literary, dan juga letter, berasal dari akar yang sama, yakni bahasa yunani littera yang berarti teks atau tulisan beserta sistem yang menyertainya. Istilah ini kemudian berkembang ke bahasa-bahasa lain di Eropa sekitar abad pertengahan hingga akhirnya diartikan secara umum sebagai hal-hal terkait baca dan tulis. Dewasa ini, istilah literasi sendiri sudah sangat diperluas menjadi kemampuan menganalisa dan juga menghitung. Pengertian literasi bahkan bertransformasi lebih luas lagi sehingga memunculkan istilah-istilah seperti literasi media, literasi komputer, literasi politik, dan lain sebagainya. Penggunaan terminologi-terminologi ini memang hanya terpakai pada kalangan tertenu saja secara khusus untuk tujuan akademis atau pembahasan tertentu. Walaupun pengertian literasi sendiri sudah meluas dan menciptakan ragam persepektif yang berbeda-beda, namun pada dasarnya ia memiliki inti makna yang sama. 41


Beberapa pakar sudah sering mengungkap mengenai definisi literasi berdasarkan sudut pandang masing-masing. Salah satunya adalah yang dinyatakan oleh Niko Besnier yang mengatakan “literasi adalah komunikasi melalui inskripsi yang terbaca secara visual, bukan melalui saluran pendengaran dan isyarat. Inskripsi visual di sini termasuk di dalamnya adalah bahasa tulisan yang dimediasi dengan alfabet, aksara.”. Pengungkapan lain dinyatakan oleh Richard Kern, yang mana mengatakan, “Literasi adalah penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna melalui teks.” Lain lagi yang dinyatakan oleh Irwin Krisch dan Ann Junglebut yang mendefinisikan literasi dalam konteks kontemporer yang mana merupakan “kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat.” Terakhir, melihat UNESCO, lembaga internasional di bidang pendidikan dan budaya itu mendefinisikan literasi sebagai “kemampuan mengidentifikasi, memahami, menginterpretasi, mencipta, berkomunikasi, dan menghitung, menggunakan material tertulis dan tercetak yang terkait dengan beragam konteks.” Dari semua definisi itu, mungkin lebih baik jika melihat benang merahnya dari asal mula konteksnya. Pada awalnya literasi adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan teks. Pengertian teks dalam hal ini bisa dinyatakan sebagai objek material yang memiliki informasi atau makna yang bisa diambil oleh subjek melalui perantara atau cara tertentu, atau dengan kata lain, teks adalah pembawa informasi. Teks pada awalnya tentu hanya merupakan tulisan di atas kertas atau media lain yang berisi informasi berupa rangkaian torehan tinta berbentuk aksara untuk kemudian diinterpretasikan. Di sini arti dasar menulis dan membaca muncul, yang mana menulis merupakan proses penorehan informasi dan mencipta teks tersebut, dan membaca merupakan proses menginterpretasikan dan menafsir teks dengan mengekstrak informasi yang tertoreh. Teks sendiri tidak sekedar asal dibaca dan ditulis, karena proses menulis atau membaca itu sendiri merupakan kegiatan yang bertingkat. Peter Freebody dan Alan Luke pada 1999 mencetuskan model literasi (dikenal sebagai Four Resource Model) yang menjelaskan bagaimana interaksi antar manusia dengan teks terjadi. Interaksi ini terangkum dalam 4 aktivitas, yakni memahami konteks, mencipta makna, menggunakan teks secara pragmatis, dan 42


melakukan analisis dan transformasi teks.. Keempatnya merentang dari menarik informasi mentah berdasarkan konteks hingga membedah informasi tersebut untuk diinterpretasikan lebih dalam. Sebagai pembawa informasi, berbicara mengenai teks akan menyinggung mengenai sistem yang ada dalam teks itu sendiri, seperti bagaimana informasi itu terekam dan makan apa yang terkandung di dalamnya. Dalam hal ini, teks menghubungkan dua subjek berbeda, antara penulis dan pembaca, dengan media aksara. Aksara sendiri merupakan sistem simbol yang bisa digunakan untuk membawa informasi dan menjadi media komunikasi. Aksara secara kompleks menciptakan rangkaian tata aturan, dari semiotika, sastra, sintaks, semantik, hingga morfologi, yang mana terangkum dalam kesatuan utuh sistem bahasa. Karena itulah berbicara mengenai literasi sesungguhnya berbicara mengenai kebahasaan, karena bagaimana teks itu menyimpan makna melalui sistem bahasa atau linguistik. Itulah sebenarnya yang sejak Sekolah Dasar diajarkan pada anak-anak sekolah sebagai pelajaran “Bahasa Indonesia� sesungguhnya adalah kemampuan literasi.

Antara Tulisan dan Lisan Teks, bila diperluas, sebenarnya bukan lagi hanya kumpulan aksara tertulis ataupun virtual yang terbaca secara visual, namun bisa mencakup segala sesuatu yang menyimpan makna, termasuk audio. Dari suara manusia, rangkaian peristiwa, hingga alam semesta ini bisa dianggap sebagai teks yang bisa dibaca, sebagaimana diperintahkan juga dalam agama Islam untuk Iqra yang mana dalam arti luasnya adalah membaca makna-makna yang terkandung di alam. Tentu saja sistem bahasa yang dipakai tidak hanya sekedar aksara alfabet yang biasa digunakan manusia, namun beragam aspek yang berbeda-beda tergantung teks yang terbaca. Maka bila memakai arti teks secara luas ini, literasi menjadi tidak sekedar melulu mengenai tulisan, namun bisa mencakup segala sesuatu yang terkait dengan penciptaan dan interpretasi makna. Dari sinilah muncul istilah-istilah seperti literasi politik, yang mana merupakan kemampuan membaca keadaan politik, literasi media, kemampuan membaca media, dan literasi-literasi lainnya. Walaupun pemaknaannya bisa seluas itu, ada suatu ciri khas literasi yang menjadi poin utama mengapa literasi adalah hal yang penting dalam peradaban.

43


Mengenai hal ini, perlu dilihat bahwa dalam sistem pertukaran atau penyampaian informasi, terdapat dua pembagian tradisi yang kontras menjadi corak individu, kelompok, atau masyarakat. Dua tradisi ini adalah tradisi tulisan, yang juga sering disebut tradisi literasi, dan tradisi lisan. Pada awalnya, kedua tradisi ini hanya didefinisikan berdasarkan media atau perantara informasi yang digunakan, yang mana pada tradisi tulisan, informasi tersampaikan secara visual melalui teks tertulis, sedangkan pada tradisi lisan, informasi tersampaikan secara audio melalui interaksi langsung. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, tergantung pada corak kultural masyarakatnya. Dikotomi ini tidak menjadi masalah hingga teknologi bernama Radio dan Televisi ditemukan. Ketika radio dan televisi muncul dan mewarnai kehidupan bermasyarakat, ia menciptakan kultur yang ambigu antara lisan dan tulisan. Apalagi ketika kemudian teknologi informasi terus berkembang dan memunculkan media lain seperti SMS (short message service), chat, dan semacamnya. Ambiguitas ini yang kemudian membuat dikotomi tulisan dan lisan perlu diperluas hingga bukan lagi sekedar mengenai perantara informasi yang digunakan, tapi lebih bagaimana interaksi yang tercipta antara pengguna dengan informasi itu sendiri. Tradisi tulisan cenderung menciptakan ruang eksklusif yang mana tercipta dialog kritis antara pengguna dan informasi (dalam teks berbentuk apapun). Ciri khasnya adalah adanya ruang dan waktu khusus untuk mengupas informasi dari teks sesuai dengan konteks dan makna yang dimunculkan oleh pengguna. Contoh sederhana adalah ketika kita membaca buku, kita seakan tenggelam dalam informasi-informasi buku tersebut, menciptakan dialog intim dan intens antara pikiran kita dengan teks, yang mana kita bisa bebas mengimajinasikan dan menginterpretasikan semuanya sebebas mungkin. Hal inisesuai dengan model literasi (four resource model) yang dicetuskan Luke & Freebody. Sedangkan pada tradisi lisan, ruang itu bersifat inklusif sehingga pemaknaan yang muncul akan berupa konvensi atau kesepahaman antar dua atau lebih individu. Secara sederhana, tradisi lisan membuka ruang tanggapan multi arah, ketika pada tradisi tulisan tidak. Dalam tradisi lisan, setiap individu adalah teks yang mana terbaca melalui komunikasi yang tercipta. Karena dalam tradisi lisan tidak ada teks dalam bentuk material yang lain, maka memori menjadi kekuatan utama tradisi lisan. Sekalinya seseorang lupa atau pemilik informasinya meninggal dunia, maka teks itu akan 44


hilang selamanya. Secara singkat, bisa dikatakan bahwa tradisi lisan mengandalkan kemampuan memori dan komunikasi, dan tradisi tulisan mengandalkan kemampuan analisis dan interpretasi. Indonesia pada umumnya merupakan masyarakat bertradisi lisan. Walau pada beberapa tempat sempat ditemukan beberapa bukti lain bahwa tulisan juga sempat mewarnai kebudayaan Indonesia, namun bila dilihat lebih general, ciri khas tradisi lisan menjadi hal yang paling menonjol. Hal ini terlihat dari bagaimana pengetahuan atau wawasan kebudayaan cenderung selalu tersampaikan turun temurun melalui cerita-cerita dan obrolan, bukan melalui teks tertulis. Selain itu, adat-adat atau tata krama yang tercipta dalam suatu kebudayaan masyarakat hanya terjaga melalui rutinitas kehidupan sehari-hari dan tidak pernah tertulis. Ini bukanlah hal yang buruk tentunya, tradisi lisan memiliki kelebihannya sendiri. Namun sayangnya, ketika Belanda masuk Indonesia, masyarakat kolonial membawa tradisi tulisan atau literasi dari peradaban Eropa, membuat adanya transisi tradisi di Indonesia. Ketika Indonesia tidak siap, yang ada akhirnya adalah ketidakjelasan kultural, sebagaimana terjadi hingga saat ini. Kita merasa sudah menjadi masyarakat literasi, namun secara kebiasaan dan sifat dasar, masih terbawa tradisi lisan. Akhirnya, bisa menulis ya enggak, memori kuat ya juga enggak. Salah satu contoh sederhana adalah bagaimana kita lebih mementingkan kebiasaan umum ketimbang hukum tertulis, dari aturan lalu lintas hingga aturan birokrasi.

Bias Teknologi Seperti halnya dikotomi lainnya, menjadi ekstrim hanya di satu sisi bukanlah hal yang baik. Terlalu lisan akan membuat informasi tidak terjaga dengan baik dan tidak adanya pengembangan gagasan dari analisis teks yang hanya ada dalam tradisi literasi, sedangkan terlalu literasi akan memicu individualisme dan tidak munculnya pencampuran perspektif untuk memperkaya makna. Menyeimbangkan keduanya pun menjadi hal yang penting. Diskusi mungkin bisa menjadi salah satu cara. Perhatikan bahwa diskusi merupakan tindakan lisan yang tidak akan bisa berjalan dengan baik tanpa dilandasi tradisi literasi dari setiap peserta diskusinya. Sebelumnya disinggung bahwa sejak ditemukannya TV dan radio, dikotomi literasi dan lisan semakin ambigu, yang kemudian membuat kedua 45


tradisi itu harus diredefinisi. Dengan berkembangnya teknologi informasi, ambiguitas-ambiguitas baru bermunculan menciptakan fenomena unik mengenai keadaan kultur masyarakat yang semakin “banci� dan tidak terbaca. Pada tulisan yang lain (Dalam Penjara Teknologi), saya telah membahas beberapa dampak berkembangnya teknologi dan memberikan terminologi virtual mind atau mental virtual sebagai keadaan masyarakat pengguna teknologi pada era informasi seperti sekarang. Apa itu mental virtual? Secara umum ia bisa dikatakan sebagai mental yang cenderung membingkai diri dalam paradigma virtual yang terasing dari realita. Ketika mental virtual terbentuk, seseorang akan cenderung lebih merasa nyaman berada dalam dunia virtual ketimbang hidup dalam realita nyata yang sebenarnya. Salah satu ciri mental virtual adalah daya reaksi yang sangat kuat karena pikiran tidak terbiasa mencerna informasi dengan matang sebagai akibat dari terlalu banyaknya arus informasi yang mengalir setiap harinya. Teknologi informasi menjadi suatu teks raksasa dengan informasi luar biasa banyaknya. Akan butuh daya literasi yang tinggi untuk bisa membaca itu semua dalam pengolahan yang baik. Terkait hal itu, perlu diketahui bahwa literasi memang memiliki 4 tingkatan yang menanjak, yakni performative, functional, informational, dan epistemic. Performative, sebagai tingkat literasi paling pertama, hanyalah kemampuan baca dan tulis secara tekstual, yang mana cukup bisa mengetahui apa yang bisa terbaca dari rangkaian aksara. Functional merupakan tingkat literasi yang mana teks sudah bisa digunakan secara pragmatis oleh pengguna. Informational terjadi ketika informasi bisa terakses dengan bahasa, dan terakhir, epistemic, sebagai tingkatan tertinggi, terjadi ketika informasi itu bisa ditransformasikan dan diinterpretasi lebih lanjut dengan dialog kritis terhadap teks. Tentu ketika berbicara literasi yang sesungguhnya, yang dimaksud adalah literasi tahap epistemic, walau terkadang literasi performative lebih digunakan untuk mengukur tingkat literasi dari suatu negara, seperti indeks literasi yang dimunculkan UNESCO yang mana mengukur berapa persen warga suatu negara berumur 15 tahun yang bisa baca dan tulis. Ketika berbicara mengenai teks sebesar teknologi informasi, jika suatu masyarakat telah mencapai literasi epistemik, hal ini tidak akan jadi problematika, karena informasi akan diserap secara selektif. Namun dalam keadaan dimana masyarakat masih belum terbiasa menganalisis teks, termasuk fenomena teknologi, banjir informasi yang terjadi tiap menitnya akan diserap 46


begitu saja ke dalam pikiran. Padahal, dengan arus informasi yang begitu cepat, tidak akan ada ruang yang banyak untuk berpikir dan berkontemplasi, sehingga segala sesuatu hanya akan mendapat respon singkat dari kepala dengan informasi dan pengetahuan seadanya. Inilah yang kemudian memicu daya reaktif masyarakat yang terpapar teknologi namun daya literasinya masih rendah. Literasi ala teknologi informasi pun berubah menjadi apa yang disebut sebagai lisan tingkat kedua. Bagaimana kita chatting, diskusi di ruang daring, saling komentar dan memberi like, SMS-an, dan semacamnya hanya merupakan lisan yang tertulis. Ciri khas dari tradisi lisan adalah adanya ruang tanggapan multi arah dan tidak adanya ruang ekslusif yang mana pengguna dan teks mencipta makna melalui analisis kritis dan holistik. Teks pada tradisi literasi menampilkan dirinya secara utuh untuk dibaca, sedangkan pada tradisi lisan tidak, ia muncul secara bertahap melalui proses komunikasi. Cuplikancuplikan teks pada tradisi lisan menuntut akan adanya respon. Inilah yang sebenarnya terjadi pada era informasi, khususnya media sosial, yang mana selalu menimbulkan keinginan untuk merespon cepat. Perbedaan utama literasi dalam teknologi informasi adalah lisan yang dilakukan menggunakan perantara ketika tradisi lisan pada awalnya adalah komunikasi langsung. Inilah yang membuat ia disebut sebagai lisan tingkat kedua. Walaupun sama-sama tergolong lisan, tradisi lisan tingkat kedua tidak bisa dilihat sama dengan lisan tingkat pertama. Pertama, lisan tingkat kedua mengaburkan batas antara ruang privat dan ruang publik, yang mana jadi ciri khas lisan tingkat pertama. Lisan tingkat pertama selalu mengutamakan ruang privat antar dua atau lebih individu untuk saling bertukar teks, sedangkan publisitas cenderung jadi milik tradisi literasi. Namun pada era informasi, walaupun ruang privat juga tercipta dengan private chat antar dua orang atau sebuah grup chat yang berisi orang-orang tertentu, ruang privat ini tetap bisa terbawa publik melalui status, post, dan lain sebagainya. Banyak hal yang menurut saya sendiri adalah konsumsi privat, dibuat publik, tanpa sadar bahwa ribuan atau jutaan orang lain bisa melihat itu. Fenomena lain yang saya lihat juga adalah ruang privat berupa grup chat terkadang kehilangan identitasnya dengan ketidakjelasan privasi yang tercipta dalam ruang tersebut. Kedua, lisan tingkat kedua diikuti dengan aliran informasi yang tak terbendung tiap waktunya , sehingga membuat lisan yang tercipta tidak pernah lengkap, hanya cuplikan-cuplikan yang terus berganti. Hal ini sangat 47


berbeda dengan lisan tingkat pertama yang mana teks bisa menampilkan diri dengan lebih lengkap melalui komunikasi yang cukup tanpa ada distraksi teks lain. Jika lisan memiliki tingkat, maka literasi pun juga, yang mana sama-sama dipicu perkembangan teknologi. Pada era informasi seperti sekarang, sumber pengetahuan tidak hanya berupa tulisan beraksara, namun bisa juga video atau suara. Apalagi dengan berkembangnya konsep e-learning, adanya audiobook, atau mulai banyaknya online course, entah sekedar melalui youtube atau situs tersendiri, teks berkembang menjadi sangat luas. Yang tetap perlu diingat adalah ciri utama tradisi lisan,yaitu adanya ruang dialog ekslusif antara pengguna dan teks yang mana interpretasi kritis terhadap makna bisa tercipta. Inilah tradisi literasi tingkat kedua, yang mana cikal bakalnya adalah radio dan televisi, yang mana teks menampilkan diri tanpa membuka ruang tanggapan.

Arsip, Pilar yang Terlupakan Sekarang fokus kembali pada literasi, telah dikatakan sebelumnya bahwa ciri khas literasi adalah interpretasi makna dari teks. Dalam hal ini, teks berwujud dalam suatu objek material, berbeda dengan tradisi lisan yang mana teksnya adalah individu itu sendiri. Inilah kelebihan utama tradisi literasi, yang mana teks bisa diawetkan sedemikian rupa sehingga informasi dan makna yang terkandung di dalamnya bisa terjaga melintasi waktu. Dalam tradisi lisan, karena individu tentu kelak akan meninggal dunia, informasi dan makna dari setiap individu harus ditransfer terus menerus antar generasi agar bisa terjaga, itu pun jika tidak mengalami pergeseran makna. Teks dalam tradisi literasi yang terjaga ini lah yang kemudian bisa dijadikan definisi untuk arsip. Arsip pada KBBI edisi IV didefinisikan sebagai dokumen tertulis yang mempunyai nilai historis, disimpan dan dipelihara di tempat khusus untuk referensi. Karena sebenarnya segala sesuatu yang ada pada saat ini berasal dari masa lalu, maka segala hal di dunia ini pasti punya nilai historis. Nilai historis di sini bisa diartikan sebagai semua informasi yang terkait dengan masa lalu. Ketika fokus pada teks sebagai dokumen tertulis, maka arsip adalah media literasi paling utama untuk merekam dan interpretasi semua informasi. Namun, tentu dokumen tertulis bukan hal yang ada begitu saja, ia diciptakan. Di sinilah pentingnya penciptaan teks itu sendiri ketimbang kemampuan membaca atau interpretasi. Kreasi teks di sini harus berlandaskan pemikiran 48


kreatif, sehingga berpikir kritis dan kreatif merupakan keseimbangan ketika mencipta dan memahami teks. Apapun informasi bisa dienkripsikan dalam bentuk teks, mulai dari gagasan hingga peristiwa. Ketika tradisi lisan terfokus pada memori untuk menyalurkan informasi, maka tradisi literasi terfokus pada arsip yang merekam itu dalam bentuk teks. Hal ini hanya akan terjadi bila tradisi literasi masyarakat sudah mencapai tahap epsitemik. Kenapa? Karena pada hanya pada tahap ini lah dialog kritis antara pembaca dan teks yang awalnya terjadi secara inklusif ditransformasikan lebih lanjut menjadi teks lain. Literasi hingga tahap informatif hanyalah literasi pasif, yang mana hanya melibatkan subjek sebagai pembaca, belum sebagai penulis atau pencipta teks. Ketika kultur untuk mencipta teks tidak tercipta, maka teks tidak pernah terproduksi sehingga tidak ada perkembangan berarti dalam informasi yang beredar. Padahal, berbicara mengenai literasi berarti berbicara bagaimana perannya dalam memicu perkembangan dengan menjaga informasi agar terus berputar dalam siklus reproduksi teks. Setelah kultur membaca dan menulis itu sendiri sudah ada, akan menjadi percuma bila teks yang sudah ada tidak terjaga dengan baik. Di sini peran arsip masuk sebagai pilar ketiga literasi yang sering terlupakan. Membaca sebagai proses interpretasi teks, menulis sebagai proses penciptaan teks, dan arsip sebagai pengaturan terhadap teks, bersama-sama berada dalam siklus untuk menjaga agar arus informasi dan pengetahuan tetap berjalan sehingga peradaban berkembang dengannnya. Dari tiga pilar ini lah kita bisa mengatakan dengan tegas bahwa literasi memang pemicu berkembangnya peradaban. Teks, yang mana terfokus pada dokumen tertulis, sebenarnya bisa diperluas, seperti yang sudah dibahas juga sebelumnya. Dalam hal ini, arsip bertransformasi tidak hanya menjadi kumpulan dokumen, tapi menjadi segala benda yang mengandung informasi masa lalu. Semua benda bersejarah adalah arsip, yang mana mengutuh bersama aspek-aspek lain yang terkait dengannya, apalagi jika hal ini merujuk ke suatu tempat. Misalkan saja borobudur dibuat ulang di tempat lain secara persis tanpa ada perbedaan sedikit pun, maka banyak informasi yang turut hilang juga karena konteks arsip tersebut dengan lingkungan dan tempatnya berubah dengan tempat yang berpindah. Inilah yang menjadi kekurangan teks dalam bentuk benda atau tempat. Ia tidak bisa direproduksi tanpa menghilangkan beberapa makna. Oleh karena itu, ketika 49


berbicara mengenai arsip, kita cukup fokus pada arsip tertulis, atau mungkin jika perlu diperluas sedikit, arsip multimedia dalam bentuk digital. Selain inkripsi maknanya mudah terbaca, ia juga mudah untuk dikonservasi dan dijaga, beda dengan benda yang mana tidak bisa semudah itu “dibaca” dan disimpan.

Indonesia dan Literasi Berbicara mengenai negeri ini tentu tidaklah mudah. Permasalahan yang ada di negeri ini begitu kompleks dan terkait satu sama lain sehingga sukar berbicara satu aspek tanpa menyinggung aspek yang lain. Hal yang paling mudah ditarik mundur dari akar permasalahan Indonesia adalah sumber daya manusianya, yang mana jika melihat keadaan sekarang ke belakang, memiliki tingkat literasi yang rendah. Hanya sedikit dari masyarakat Indonesia yang telah mencapai tahap epistemik. Kenapa tingkat literasi menjadi poin penting dalam permasalahan Indonesia? Karena tingkatan literasi terkait dengan bagaimana subjek merespon teks secara luas. Ketika Indonesia hanya bisa mencapai tahap informasional, maka sudah menjadi hal yang wajar bila kita menjadi masyarakat yang pasif dan tidak bisa memahami keadaan secara kritis. Beragam perubahan kita tanggapi dengan gagap dan bingung, bahkan cenderung reaktif. Kita akan dengan mudah mengikuti begitu saja semua tren yang ada karena kita cenderung menerima semua informasi apa adanya tanpa mencipta dialog kritis dengan pikrian. Hal ini menjadikan kita bangsa yang sangat mudah diperalat dan dipermainkan oleh bangsa-bangsa bertingkat literasi epistemik. Ketika melihat secara kultural, Indonesia memang dari awal telah berada dalam simalakama. Tradisi lisan yang mengakar dalam tubuh masyarakat Indonesia ditransformasi ‘paksa’ menjadi tradisi tulisan dengan terbentuknya republik dengan sistem yang sangat literasi. Kenapa bisa saya bilang ‘paksa’, karena pada dasarnya ketika republik ini dibangun oleh kelompok intelektual (yang bertradisi literasi tentunya), tidak semua masyarakat siap untuk sistem itu. Menjadi dilema memang, karena melawan penjajah yang literatif tentu saja harus dengan senjata literasi juga. Ketika kemudian masyarakat berusaha untuk beradaptasi dengan sistem literasi, belum sempurna transisi ini, Indonesia sudah ditawarkan dengan ragam pembangunan dan impor 50


teknologi dari luar sebagai hasil dari orde baru. Tentu ketika masyarakat tidak siap secara mental dan kultural, kemajuan teknologi akan ditanggapi dengan gagap dan sekali lagi menciptakan transisi yang tidak sempurna, bahkan hingga saat ini. Ketika di atas sana Indonesia diproyeksikan untuk banyak hal, seperti MEA dan lain sebagainya, di bawah sini masyarakat tertatih-tatih mengikuti transisi yang tidak pernah terkejar. Lalu bagaimana? Ya melihat akar utama dari hal ini, tentu yang paling penting adalah memperbaiki literasi masyarakat Indonesia. Tapi sayang, hal ini justru diperparah oleh sistem, yang mana sejak Sekolah Dasar murid dibiasakan untuk menerima informasi begitu saja, bukan diajarkan “membaca� dalam arti dialog kritis terhadap teks. Kultur kita yang masih terbawa tradisi lisan pun juga tidak mendukung tumbuhnya literasi. Tradisi literasi yang sesungguhnya baru benar-benar ditemui di dunia pendidikan tinggi. Namun, ketika 19 tahun dibiasakan untuk pasif terhadap teks, bukan hal yang mudah untuk kemudian dalam 4 tahun kuliah membangun jiwa literasi dalam diri. Dapat saya lihat sendiri di ITB, yang seharusnya merupakan representasi kampus ideal di Indonesia, budaya literasi di mahasiswanya tidak terbentuk banyak. Hal ini diperparah dengan paradigma pembelajaran kampus yang mulai pragmatis. Tidak ada alasan untuk kampus teknik sebenarnya, karena semua ilmu merupakan teks yang selalu bisa diliterasikan. Literasi sudah mencakup banyak hal mengenai kualitas dasar manusia, bagaimana kita berpikir kreatif untuk mencipta teks dan bagaimana kita berpikir kritis untuk memahami teks. Pengetian teks di sini memang bisa diperluas, namun ada kelebihan utama lain dari teks tertulis, bahwa ia mengabadikan gagasan secara eksplisit. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, teks tertulis merupakan teks yang paling mudah dibaca maknanya ketimbang yang masih terenkripsi dalam bentuk audio atau visual lain. Teks tertulis mengejawantahkan makna-makna yang tak terbaca pada teks lain sehingga ia akan lebih awet dan terabadikan, apalagi jika ia berupa ciptaan gagasan. Maka seperti kata pram atau penulis-penulis lainnya, menulis berarti memperpanjang hidup. Tapi, seperti apa kata pak Acep Iwan Saidi dalam diskusi tempo hari lalu, hal ini sudah menjadi permasalahan sistemik dan bukan hal yang mudah untuk mengubahnya karena pasti akan berbenturan dengan banyak kepentingan. Maka seperti hasil diskusi tersebut, mulailah perubahan dari akar rumput! Bermula dari diri sendiri, bagaimana mulai menulis untuk yang belum pernah 51


menulis dan menjaga konsistensi untuk yang sudah, lalu kemudian ke lingkungan, bagaimana kita secara perlahan mengajak, menginspirasi, dan memberi contoh, agar orang-orang sekitar mengikuti hal yang sama, baru kemudian bertahap terus hingga lingkaran pengaruh ini meluas. Maka apa yang bisa saya lakukan sebagai anak matematika? Ya terus konsisten menulis, dengan harapan teruntai di tiap kata-katanya, bahwa akan ada orang yang terinspirasi dan mengikuti, dan kelak bangsa ini akan terbangun dengan sendirinya melalui budaya literasi yang tumbuh bersama beradaban! Mari berliteraksi! Salam Pembebasan.

52


Pembangunan Aerotropolis: Sekelumit Permasalahan di Baliknya Rizqi Ramadhan

Apa itu Aerotropolis? Aerotropolis adalah sebuah ‘kota’ yang dibangun di sekitar bandar udara, baik yang baru maupun yang sudah ada. Konsep pembangunan aerotropolis pada dasarnya merupakan kebalikan dari pembangunan sebuah bandara. Biasanya bandara dibangun untuk menyokong dan memenuhi kebutuhan dari suatu kota yang sudah ada. Namun, kali ini sebuah kota baru dibangun untuk melengkapi kebutuhan dari bandara tersebut. Salah satu pemicu didirikannya aerotropolis adalah angka pertumbuhan pariwisata global yang meningkat dengan cepat. Pusat perbelanjaan, hotel, restoran, tempat rekreasi, dan fasilitas informasi kebudayaan setempat didirikan dengan tujuan utama untuk melayani 53


pergerakan dan kebutuhan penumpang pesawat. Pusat fabrikasi dan pemasangan komponen pesawat, fasilitas logistik, dan kompleks distribusi juga didirikan agar terintegrasi dengan fasilitas kargo yang ada. Pembangunan fasilitas dilakukan dengan konsep clustered development. Yaitu, bangunan ditempatkan ke dalam kompleks-kompleks terpisah sesuai dengan fungsi utamanya masing-masing. Pembangunan bergugus-gugus ini dirancang berdasarkan kebutuhan penerbangan (aviation-dependent). Hal ini dilakukan agar memenuhi perkembangan dan pertumbuhan bandara dengan cara memaksimalkan lalu lintas penumpang dan kargo.

Bagaimana cara kerja Aerotropolis? Salah satu rahasia kesuksesan pembangunan aerotropolis-aerotropolis besar di dunia – seperti Schiphol, Frankfurt, Hong Kong, Incheon, Dallas/Fort Worth dan Kuala Lumpur – adalah bandara memiliki lahan yang sangat luas di sekitarnya dan mendapatkan pendapatan non-aeronautical revenue (pemasukan dari sisi aktivitas darat) dari pembangunan wilayah komersial di atas lahan tersebut. Para perintis aerotropolis mendapatkan kas pemasukan dari hotel, restoran, dan fasilitas kebudayaan dan hiburan seperti pusat-pusat pameran dan galeri, serta fasilitas lain di luar bandara yang menarik bagi penumpang untuk mengeluarkan uangnya. Kompleks perkantoran, ruangruang pertemuan, dan pusat konferensi juga didirikan untuk membuat business travelers memanfaatkan dan memberikan keuntungan bagi area bandara. Aerotropolis menggunakan pendapatan dari sisi darat sebagai subsidi silang atas pendapatan dari maskapai penerbangan yang hanya bersumber dari sewa lahan untuk landing dan navigasi. Bahkan bisa dikatakan lahan untuk landing dan fasilitas navigasi dapat dibebaskan dari biaya apapun karena merupakan pelayanan untuk publik. Dengan demikian, terjadi hubungan simbiosis antara pertumbuhan bandara dan perkembangan wilayah aerotropolis di sekitarnya.

Sudah tepatkah pembangunan Aerotropolis? Indonesia sudah mencanangkan pembangunan aerotropolis. Salah satunya adalah di sekeliling Bandara Kertajati, Majalengka, yang saat ini sedang dibangun. Banyak klaim dilontarkan seperti peningkatan pendapatan 54


negara, kemajuan sektor ekonomi lokal, pertambahan lapangan kerja, dan seterusnya selalu digembar-gemborkan agar pembangunan aerotropolis ini dapat segera dilaksanakan. Namun, dibalik segala kecanggihan dan keuntungan yang ditawarkan oleh konsep kota bandara ini masih terdapat beberapa permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Berikut penulis coba paparkan satu per satu. 1. Penyumbang Emisi Gas Karbon Emisi gas buang pesawat terbang memicu kontroversi terkait kontribusinya bagi perubahan iklim. Gas buang mesin pesawat terbang memiliki dua komponen utama, yakni gas karbon dioksida serta uap air. Selain itu juga terkandung nitrogen oksida, yang memiliki kaitan dengan pembentukan sekaligus penguraian lapisan ozon. Gas karbon dioksida, uap air, serta ozon merupakan gas infra merah aktif. Dalam artian, gas ini memiliki kemampuan menyerap sekaligus memantulkan kembali pancaran panas. Berdasarkan data yang ada, sektor penerbangan menyumbang kontribusi sekitar 2.2%-3.0% dari konsentrasi gas rumah kaca. Dengan begitu, lalu lintas udara dapat dikatakan memiliki peranan dalam dalam perubahan iklim global. Kesuksesan satu aerotropolis di suatu daerah dapat memicu maskapai penerbangan untuk menambah frekuensi penerbangan ke daerah tersebut. Bahkan maskapai-maskapai penerbangan pun besar kemungkinan akan membuka jalur penerbangan baru. Dan aerotropolis pun tentu akan mengikuti pembangunan bandara dari jalur-jalur baru tersebut. Dengan bertambahnya frekuensi penerbangan tentu akan berdampak dengan semakin banyaknya gas buang pesawat terbang. Bertambahnya frekuensi penerbangan juga bahwa kita berada pada tingkat yang lebih tinggi akan pemakaian bahan bakar fosil. Hal ini tentu bertentangan dengan usaha-usaha untuk mengurangi emisi gas karbon dalam rangka mencegah efek dari perubahan iklim. Lalu, akankah Indonesia menjadi negara selanjutnya sebagai kontributor penambah emisi gas rumah kaca dengan pembangunan aerotroprolisnya? 2. Polusi Pada masa awal dunia penerbangan (awal abad ke-20), pengaruh buruk aktivitas bandara terhadap lingkungan dan fasilitas umum lainnya tidak banyak mendapat perhatian. Keluhan terhadap isu lingkungan sangat jarang terjadi. Perubahan dramatis terhadap dampak lingkungan akibat pembangunan dan pengoperasian bandara baru terjadi pada akhir 1960-an. Hal 55


tersebut dipicu oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap masalah lingkungan dan semakin buruknya kondisi lingkungan suatu bandara. Terlebih adanya kenaikan aktivitas penerbangan dan adanya pesawat-pesawat terbang besar bermesin jet. Salah satu dampak yang biasa terjadi pada suatu bandara dan mungkin dampak yang paling sukit dikendalikan adalah kebisingan. Kebisingan didefinisikan sebagai bunyi yang berlebihan atau tidak diinginkan. Suatu penelitian yang dilakukan di sekitar Bandara Heathrow, London, Inggris menunjukkan bahwa kebisingan akibat paparan sejumlah pesawat terbang merupakan salah satu faktor paling penting yang memengaruhi tingkat gangguan pada masyarakat. Dampak negatif kebisingan terhadap kesehatan manusia dapat terjadi dalam jangka panjang (kronis) dan sulit bahkan mungkin tidak dapat dipulihkan kembali, misal diantaranya adalah gangguan jantung dan stroke. Penduduk yang tinggal di sekitar bandara dan di bawah jalur takeoff dan landing, bahkan para pelancong dan pengguna jasa penerbangan di kota bandara tentu tak luput menjadi korban kebisingan aktivitas penerbangan. Fase operasi penerbangan yang memerlukan perhatian khusus karena menimbulkan polusi di bandara adalah taxi (pergerakan pesawat antara apron dan landasan pacu) atau dalam keadaan idle, take off (lepas landas), climb out (terbang menanjak dari lepas landas sampai ketinggian 1000 m), approach (ancangan untuk mendarat dari ketinggian 1000 m sampai pesawat terbang menyentuh landasan), dan landing (mendarat). Untuk kebanyakan pesawat bermesin jet, laju emisi polutan karbon monoksida dan uap air paling besar terjadi dalam kondisi taxi atau idle dan laju emisi nitrogen oksida paling besar terjadi ketika pesawat lepas landas. Penguapan bahan bakar dan tumpahan yang terjadi ketika pengisian dan dari tangka bahan bakar dapat menimbulkan penambahan jumlah polusi udara yang signifikan. Sebanyak 25% polutan lainnya dihasilkan dari kendaraan paa penumpang, pekerja dan tamu bandara. Polusi lainnya juga disebabkan pemakaian bahan bakar minyak oleh ground service equipments. Banyaknya polusi-polusi udara yang telah disebutkan di atas dapat menimbulkan berbagai permasalahan kesehatan yang sangat serius, termasuk penyakit saluran pernapasan dan beberap jenis kanker. Polusi air umumnya berupa limbah, dapat terjadi secara langsung, dari pembangunan dan pengoperasian bandara dan secara tidak langsung, dari pengembangan lahan yang terdampak atas kehadiran bandara. Limbah ini 56


berasal dari persiapan pembuatan makanan, pencucian dan penggunaan toilet. Polusi air yang lebih berbahaya dapat disebabkan oelh aktivitas overhaul pesawat terbang. Polutan ini berupa zat kimia beracun dari pengelupasan cat dan pengecatan chrome bagian mesin-mesin. Zat kimia pengendalian serangga di area bandara, pembuangan salju dan es, tetesan bahan bakar dan oli di runway, taxiway, dan apron, serta busa dari pemadam kebakaran akan menjadi polutan yang berbahaya apabila terlarut oleh air dan terbawa hingga ke saluran drainase. Saat ini Indonesia masih berjuang dengan permasalahan polusi yang ada dan bahkan tak kunjung usai. Dan lagi kini ditambah dengan rentetan potensi polusi dari pembangunan aerotropolis? Sudahkah fasilitas pengolahan limbah kita memadai? 3. Ekslusivitas Pada kenyataannya, suka atau tidak suka, pembangunan aerotropolis dibangun untuk kepentingan kalangan minoritas tertentu saja. Yaitu elitis-elitis dengan kebutuhan tingkat pergerakan yang tinggi dan juga menuntut waktu yang singkat. Dan sudah tentu untuk mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih tinggi mengingat area sekitar bandara adalah area yang strategis –sehingga akan berpengaruh pada harga-harga kebutuhan hidup juga –dan dipenuhi fasilitas-fasilitas kelas atas. Para pelancong aerotropolis juga besar kemungkinan tidak mengerti suramnya realita dibalik pembangunan kota bandara tersebut seperti kemiskinan penduduk lokal, kerusakan ekosistem, dan hal lain di luar jendela pariwisata. Para pelancong tersebut tidak berhadapan ataupun berinteraksi langsung dengan penduduk setempat –di mana seharusnya bandara menjadi pintu gerbang untuk mengenalkan potensi suatu daerah –dan mereka seakan lupa atas apa yang telah diruntuhkan untuk sebuah akses yang cepat dan nyaman ke tujuan yang mereka inginkan. Pengalaman mereka akan potensi kekayaan budaya setempat di kota bandara hanya sebatas melalui ritel, iklaniklan, dan representasi lainnya yang kurang menggambarkan kehidupan lokal (baik itu seni, budaya, maupun keanekaragaman hayati) sesungguhnya. Apakah potensi masyarakat Indonesia dengan berbagai adat dan budayanya akan berakhir di lembaran brosur, papan reklame, ataupun rekaman video yang terdapat di fasilitas bandara saja? Semoga tidak. 4. Alih Fungsi Lahan dan Konflik Agraria 57


Proyek-proyek aerotropolis adalah kota-kota instan yang dibangun dengan templat standar yang sudah ada. Hal tersebut sangat-sangat berlawanan dari konsep pembangunan kota di mana seharusnya semua elemen dalam masyarakat setempat dilibatkan untuk berpartisipasi di dalamnya. Dalam kelangsungannya, aerotropolis memiliki derajat wewenang perencanaan dan pelaksanaan yang bisa dibilang sangat bebas. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat setempat kekurangan (dan bahkan tidak memiliki) kuasa untuk mengatur dan mengawasi perencanaan, pengembangan, dan pelaksanaan suatu kota bandara. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa bandara membutuhkan lahan yang luas apabila ingin berkembang lebih lanjut menjadi sebuah aerotropolis. Akan tetapi, tidak semua bandara pada awalnya memiliki lahan yang cukup sehingga diperlukan adanya pembebasan dan alih fungsi lahan di sekitar bandara. Selain itu, developer pun cenderung untuk mengincar tanahtanah pertanian maupun habitat margasatwa disekitar bandara yang belum dikembangan. Sehingga tak jarang muncul permasalahan-permasalahan sosial yang membuat warga setempat pada akhirnya menjadi korban pembangunan. Sebagai contoh, Pemerintah Nepal memagari lahan seluas 80 km2 yang akan digunakan untuk pembangunan Bandara Kathmandu II. Lahan yang sebagian besar luasannya adalah hutan tersebut merupakan tempat tinggal bagi Suku Tamang yang termarjinalkan. Dan kini mereka pun semakin terpojok karena harus menghadapi problema relokasi dan ketidakpastian kelangsungan hidup mereka ke depan. Di Istanbul, pembangunan aerotropolis untuk menyokong bandara baru (ke-tiga di kota tersebut sebagai penyambung Selat Bosphorus) seluas 77 km2 menuai protes dari para warganya akibat tidak adanya sosialisasi ke masyarakat mengenai alih fungsi lahan yang dulunya merupakan kawasan perhutanan, pertanian, dan danau. Kehilangan tempat tinggal dan lahan bercocok tanam menjadi ancaman serius bagi tidak kurang dari 10000 anggota Suku Maasai akibat pembangunan aerotropolis di sekeliling Bandara Kilimanjaro yang diklaim mencapai luasan 110 km2. Unjuk rasa ribuan petani yang terancam kehilangan lahan di Andhra Pradesh, India, untuk melawan pembangunan aerotropolis 60 km2 membuat pemerintah setempat akhirnya sepakat untuk mengurangi lahan aerotropolis sebesar 20 km2. Berbagai ungkapan tidak setuju sudah dinyatakan oleh masyarakat terdampak. Pun jenis lahan dan pola hidup masyarakat pada contoh-contoh di atas tidaklah jauh berbeda dari Indonesia, lalu akankah 58


Indonesia kehilangan jati dirinya sebagai negara agraris akibat maraknya alih fungsi lahan pangan menjadi landasan pacu? Haruskah para petani turun ke jalan untuk menuntut hak hidup mereka yang terampas akibat hasrat developer? 5. “Pundi Ekonomi” Seluruh proyek aerotropolis diklaim sebagai mesin pertumbuhan ekonomi yang mampu menumbuhkan dan menyebarkan kesejahteraan ke daerah yang lebih luas di sekitarnya. Sebenarnya, industry penerbangan sudah mendapat keuntungan dari kebebasan membayar pajak atas bahan bakar untuk penerbangan internasional dan bebas dari bea belanja. Kemudian secara khusus akan didirikan juga kawasan perdagangan bebas atau biasa kita sebut sebagai ‘kawasan ekonomi khusus’ yang pada akhirnya muncul permintaan untuk dibebaskan dari pajak ataupun subsidi lainnya dengan dalih meminimalkan ongkos perdagangan internasional. Walaupun pada kenyataannya permintaan khusus tersebut tak jauh dari strategi untuk mempercepat pertumbuhan korporat serta memaksimalkan keuntungan. Dan pada kenyataannya pula bahwa infrastruktur penyokong di mana aerotropolis tidak dapat mengusahakan sendiri seperti jaringan jalan, suplai air dan listrik, dan akses komunikasi keseluruhannya dibiayai oleh dana publik dari pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Dan ketika permintaan bebas pajak di atas dikabulkan, maka jadilah aerotropolis menjadi suatu negara kecil dengan aturan mereka sendiri. Peningkatan kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi yang digadanggadang akan menyebar hingga keluar kawasan aerotropolis pada akhirnya juga akan kembali lagi difokuskan untuk kota bandara tersebut saja. Pengunjung akan dibuat menggunakan waktunya selama mungkin berada di kawasan bandara dengan dimanjakan oleh berbagai fasilitas yang ada. Bahkan penduduk sekitar pun akan ‘terpaksa’ mengikuti para pengguna jasa penerbangan untuk menggunakan mal dan pusat hiburan yang ada di dalam aerotropolis. Sehingga hasil yang terjadi adalah pengurasan ekonomi masyarakat setempat, bukan malah meningkatkannya. Lalu bagaimanakah masyarakat setempat di luar aerotropolis dapat menikmati imbas positif adanya kawasan ekonomi tersebut?

59


Penutup Berbagai permasalahan yang terjadi akibat pembangunan aerotropolis sudah penulis coba dipaparkan di atas. Semoga pemikiran-pemikiran tersebut dapat menjadi pertimbangan dan bahan pemikiran selanjutnya bagi para pembaca sekalian. Kini tinggal lah kita untuk melingkar, berdiskusi, dan mencari solusi terbaik. Solusi yang hendaknya menguntungkan bagi rakyat, bukan berpihak pada segelintir korporat dengan embel-embel ekonomi yang meningkat. Karena sejatinya perencanaan, pembangunan, dan pengembangan infrastruktur itu adalah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan semangat; Ayo maju terus! Hidup rakyat Indonesia! Wallahu a’lam bishshawab

Referensi: - Rose Bridger (2013), Plane Truth: Aviation’s Real Impact on People and the Environment, Pluto Press http://www.academia.edu/6540734/Dampak_Bandara_Terhadap_Ling kungan, diakses Selasa 19 Juli 2016 pukul 10.15 http://m.dw.com/id/penerbangan-dan-perubahan-iklim/a-1578593, diakses Selasa 19 Juli 2016 pukul 09.30 cover photo by: instagram.com/rizqrama

60


Kesetaraan dalam Film Zootopia dan Novel Animal Farm: Sebuah Review Receh

Kadang saya melihat perjuangan atas nama kesetaraan hanya sebagai usaha menjatuhkan pihak yang ada di atas dan mendongkrak pihak yang ada di bawah. Bukan sebagai perjuangan untuk menggapai kebaikan dengan kesetaraan. Bahkan ada saja pihak yang kebablasan mendongkrak pihak yang di bawah, kemudian menindas pihak yang sudah dijatuhkan dari atas. Inikah yang ingin disampaikan George Orwell dalam novel Animal Farm? "All animals are equal. But some animals are more equal than others."

61


Novel tersebut memang sangat ekstrim dalam menyimbolkan tokoh-tokoh dalam sejarah seperti Marx, Lenin, Trotsky dan Stalin. Babi revolusioner yang menggunakan slogan kesetaraan babi bijak, malah menjadi penindas yang lebih menyeramkan. Kepercayaan hewan di peternakan yang sama hanya dijadikan batu loncatan saja. Mungkin benar adanya perilaku keledai yang tidak peduli dengan revolusi. Siapapun yang berkuasa pasti begitu-begitu saja.

Tapi saya tidak memungkiri indahnya konsep kesetaraan kok. Tanpa bermaksud merendahkan kebaikan dari sistem yang berhierarki, saya percaya bahwa praduga tidak berdasar dan stereotype dalam hierarki sosial ataupun ekonomi jelas memiliki potensi efek negatif yang tidak sedikit. Film Zootopia dapat menyajikan efek negatif itu dalam bentuk yang mudah dicerna. Rubah yang dicap sebagai penipu dan dianggap tidak setara oleh pramuka, sulit mendapatkan kesempatan untuk menjadi pramuka. Sama halnya dengan kelinci yang hanya dianggap cocok bekerja di pertanian, sulit diterima penuh menjadi polisi. Dombapun dinomorduakan dalam pemerintahan kota dibanding singa. Menemukan korelasinya dengan kehidupan nyata? Mantap. Setelah menonton film yang sangat manusiawi-hewani ini, sedikit banyak saya menemukan keindahan di balik tiap karakter yang disebutkan tadi. Kelinci yang terlihat begitu idealis, menghargai kesempatan yang sama untuk tiap hewan di Zootopia, ternyata bisa 'kepleset' juga saat diwawancara mengenai kasus ekstrim (beberapa predator mendadak menjadi buas). Ia mengatakan mungkin ada sesuatu yang bersifat 'bawaan' dari DNA predator, di depan rubah temannya sendiri. Untungnya kelinci ini sadar akan kesalahannya dan segera memperbaikinya. Sedangkan rubah adalah korban stereotype yang sempat menyerah pada keadaan. Terlepas dari penampilan, sebetulnya rubah ingin menjadi hewan yang berprofesi jujur. Pengalaman masa kecilnya lah yang membuat ia tidak memiliki banyak pilihan hidup. Dipermalukan oleh anggota pramuka sejak kecil membuatnya menyerah memperjuangkan hak mendapat kesempatan yang sama seperti hewan lain. Tertindas oleh praduga tak berdasar, rubah akhirnya menjalani hidup seperti apa yang sudah menjadi stereotypenya.

62


Seandainya rubah tidak bertemu dengan kelinci, bisa jadi ia tetap mengubur mimpinya dalam-dalam. Tokoh terakhir yang saya ingin bahas adalah domba. Sebelum plot twist yang semakin mainstream di dunia perfilman, domba hanya terlihat sebagai hewan yang tidak dihargai di pemerintahan kota. Menyedihkan memang, namun tindakan domba selanjutnya menurut saya lebih menyedihkan lagi. Dengan rencana yang rapih, domba menggulingkan singa yang menjabat menjadi walikota pada saat itu. Dan ternyata... hal itu hanya dilakukan demi menjatuhkan pihak yang di atas dan menaikkan derajat diri saja. Apa gunanya memperjuangkan 'kesetaraan' kalau sendirinya menindas hewan lain? Ribet yah kesetaraan. Lebih ribet lagi kalau kamu hidup di dunia yang mengindahkan hierarki sosial dan ekonomi dengan mengatasnamakan efektivitas dan efisiensi. Bukan bermaksud menjelekkan, saya setuju kok dengan beberapa pendapat mbah Adam Smith. Terkadang orang yang menduduki strata terbawah memang masih memiliki standar hidup yang lebih baik, dibanding orang yang hidup di sistem lainnya. Sayang, saya juga tidak bisa memungkiri banyaknya penindasan terselubung si dalamnya.

Jadi kesimpulan review ini apa dong? Nggak ada sih sebenernya, cuma iseng doang. Udah lama nggak nulis sih. Kalau diminta pendapat, yaa saya hanya bisa berpendapat mau sistemnya kayak gimana juga percuma apabila niat orang dalam sistemnya memang ingin menindas aja. Kelihatan kan dari novel dan film yang saya bahas tadi. Mungkin hal terbaik yang bisa dilakukan sekarang hanyalah memurnikan niat untuk memposisikan diri sebagai manusia yang berbeda namun tetap setara, dengan penyesuaian sistem nilai yang dipercaya. Baiklah semoga kesimpulan saya tidak membuat pembaca semakin bingung, soalnya saya juga bingung. Salam Pembebasan!

63


Will There Be A Nuclear War? Lazuardyas Dyas Ligardi

“Unity, justice and freedom. Stand unchanged by wind or frost. Offer peace to friends. And united we shall stand.”

It’s time to get serious. North Korea in 2016 with the ‘explosive sound’ of a hydrogen bomb, declaring that it had developed and successfully tested a powerful nuclear weapon.This destructive force is the same type of weapon that was dropped on Hiroshima and Nagasaki during World War 2. These nuclear-warhead triggered widespread panic from the international community. South Korean President Park Geun-Hye criticized North Korea’s actions as ‘a strong challenge to international peace and stability’, while Russia warned that North Korea’s actions were ‘a severe violation of international law’. Even North Korea’s ally, China, has declared a firm opposition to North Korea’s nuclear program. Ouch, Ha! That’s an irony. Diplomatic correspondents like Jonathan Marcus believe that the latest test is a clear indication that North Korea will stop at nothing to achieve a fully equipped nuclear arsenal. Just hours before North Korea’s nuclear test, former US defense secretary William Perry revealed that the global nuclear weapon 64


risk is greater now than it was during the height of the cold war. Ugh, Hell no!

gotta nuke 'em all! Since 2006 this fascist, isolated barbaric-state has conducted several nuclear bomb tests, with more promised for the future. The UN estimates that North Korea may already have up to 15 nuclear weapons, and it has the capability to increase this stockpile to up to 100 nuclear weapons by 2020. Looks like lil’ Kim just outta of his mind! It’s Devastating. The consequences of a nuclear war would devastate the planet for decades. A study by scientists at UCLA has determined that even a small scale nuclear war would cause millions of instant fatalities, while the resulting firestorms would create a thick-black smoke that would block out the Sun and cause the Earth’s temperature to fall dramatically. Just like Krakatoa tragedies in the 19th century! — I forgot the exact year, sorry. However, North Korea’s claims that it’s developed a huge-devastating bomb have been met with skepticism. The detected blast from January 2016 was 10 times smaller than what would have been expected from an ‘H-bomb’. Experts throughout the world, including Washington D.C.’s Arms Control Association, have stated that it’s more likely that North Korea tested an atomic bomb. 65


What if… War Really Happen? According to United States Arms Control Director Daryl Kimball, a nuclear attack by North Korea would be suicidal, because the world and South Korean forces would have no choice but to end the Kim dynasty. It’s suspected that North Korea’s pursuit of a nuclear weapon program may just be a tactic to move North Korea higher up on the world’s agenda. With no genuine intention to start a nuclear war, Dr. Adam Cathcart suggests that North Korea is using its nuclear program as a bargaining tool. This would allow the country to increase its economy and trading partners, which are currently limited just to China, due to UN sanctions. Somebody Got No-Backup What’s more, North Korea’s threats are considered empty, because China has confirmed that it would refuse to support North Korea if the country started a war. But due to the secrecy of North Korea’s weapons program, the true threat of the country is largely unknown. And with their beloved ‘Supreme Leader’ Kim Jong-un having only ruled for a few years, his political course remains unpredictable. Despite multiple rounds of negotiations with the international community to abandon its nuclear ambitions, it can be assumed that North Korea sees its nuclear weapons as its only means of achieving its undisclosed aims. But while North Korea is a growing danger, this threat is not yet a reality.

66


Stop Crashing Planes: Charlie Munger’s Six-Element System Fajar Nurghifari Aziz

Before we get to Charlie Munger, let’s chat for a minute. We’ve been noticing a problem lately that you might be familiar with or experiencing yourself: The search for wisdom not actually translating into consistently applied wisdom. You read a book, love it, put it down. You read a set of articles, love them, put them down. You’re fired up. And then, a week later, the fire is gone. The learning didn’t make it through. What the hell happened? We’ve come to call this Transmission Loss, the gap between learning and execution. The greater the loss, the less “yield” you’re actually getting from the things you learn. Transmission losstends to be a lot lower in the most practical, repeatable areas of life: If you’re going to be a carpenter, you learn how to properly cut wood and that skill tends to stay with you. If you’re going to be a programmer, you never forget the concept of nested “If-then” statements. It’s as fundamental as breathing. If you’re a pilot, you go through routine maintenance of your skills using aircraft simulators. If you’re a surgeon, you constantly hone and improve the necessary mechanical skills to operate on your patients. These skills, and others like them, are “sticky” and “cumulative.” They’re brought up to fluency and then kept at a high level through repetitive practice. That’s why surgeons and pilots don’t kill many people, why a smart young high school student can build a program unimaginable to us 50 years ago, and why a carpenter doesn’t suddenly forget how to build a strong and stable shelf. The things you learn tend to stick to your ribs over time. But in the “soft” sciences, the kind we often write about, learning doesn’t seem to be as sticky or as cumulative. “Experts” make the same mistakes as “novices.” We learn concepts from The Psychology of Human Misjudgment, or the power of compound interest, or the power of building seamless webs of

67


trust, fall in love with them, and then continue to behave the same way we did before learning them. Investors can be the worst at this: They learn about the dangers of leverage and then invest half their portfolio in debt-ridden high-fliers, or learn about the shortcomings of a metric like EBITDA, but go on using it merrily a week later. Many of us have known a general manager who claimed to love the teachings of Peter Drucker or Warren Bennis or whoever else, but carried on treating people with dictatorial zeal, shocked to see them unmotivated or unproductive. And how many compensation plans do we deal with that totally ignore the basics of human nature? Yet, I strongly suspect their creators were familiar with the concept and principles of personal incentives. It seems that in these “softer” fields, our actions are much harder to match with our education. We don’t always think of it this way, but some of the “surprises” that befall people are the equivalent of a trained pilot pulling back on the stick and expecting the nose of the plane to dive down. *** It’s tempting to think of the main difference between these skills ascomplexity. As in, investing money or managing sales people is morecomplex than flying an airplane or learning to play chess at a high level. That’s partially true and partially not true — flying a plane is obviously not a simple, easily learned task, but at least the laws of physics are invariant. The largest difference I can see between those sticky, cumulative skills and the stuff that regresses easily is that the former have aclear set of fixed/knowable rulesand a process for maintaining fluency, while the latter seemingly do not. Once a pilot has learned the ins and outs of flying a 747, the probability of a mistake is exceedingly low, assuming he keeps up his practice and training. There’s a strong element of If I do this, then that will happen, and that element tends to hold over time. The main risk is that your skills will attenuate over time, which can be solved by a skill maintenance/improvement routine like an aircraft simulator or an M&M conference for medical professionals. You must keep up with newknowledge, sure, but the new stuff tends to be additive,

68


not revolutionary. The fundamentals of building a bridge don’t change a whole lot. In the “human realm”, not only do we lack knowledge of the “rules” by which to operate, but we have no sense of how to stay at the top of our game. Consequently, the equivalent of the highly-trained pilots in the fields of investing, sociology research, business management, sales, economics, elementary education, PR/marketing, and many other soft fields crash the plane time and time again. Any casual reading of the news will provide plenty of examples. So, if you’re a “softie” like most of us, how do you raise your standard? That’s where Munger comes in. *** Charlie Munger addressed the problem in a 50th Reunion speech to his Harvard Law School Class in 1998. What he wanted to know was: How do we get the decision making skills of “broad scale” thinkers — managers, investors, lawyers, negotiators, leaders, politicians, economists, etc. — up to the ability of “narrow scale” thinkers like pilots, engineers, and surgeons? He called it a Strict Six-Element System, pulled from pilot education. (Berkshire Hathaway owns the largest flight school in the world – FlightSafety International.) Here it is: 1) His formal education is wide enough to cover practically everything useful in piloting. 2) His knowledge of practically everything needed by pilots is not taught just well enough to enable him to pass one test or two; instead, all of his knowledge is raised to practice-based fluency, even in handling two or three intertwined hazards at once. 3) Like any good algebraist, he is made to think sometimes in a forward fashion and sometimes in reverse; and so he learns when to concentrate mostly on what he wants to happen and also when to concentrate mostly on avoiding what he does not want to happen.

69


4) His training time is allocated among subjects so as to minimize damage from his later malfunctions; and so what is most important in his performance gets the most training coverage and is raised to the highest fluency levels. 5) “Checklist” routines are always mandatory for him 6) Even after original training he is forced into a special knowledgemaintenance routine: regular use of the aircraft simulator to prevent atrophy through long disuse of skills needed to cope with rare and important problems. The need for this clearly correct six-element system, with its large demands in a narrow-scale field where stakes are high, is rooted in the deep structure of the human mind. Therefore, we must expect that the education we need for broad scale problem-solving will keep all these elements but with awesomely expanded coverage for each element. How could it be otherwise? Charlie’s system for those of us in softer realms than piloting, rooted in the deep structure of the human mind, is to develop a multi-disciplinary synthesis and to use it regularly,thinking through problems forwards and backwards, applying mental checklists whenever possible. This means learning the truly important doctrines from the main disciplines and how to synthesize them. It’s only once we assimilate all the tools we need that we stop making so many mistakes. The question of how is clearly the toughest one. Even if we have the will, what is the way? We would argue that practical worldly wisdom falls into a few major buckets — these act as the closest proxy of the fixed/knowable rules we discussed above: Numeracy. The ability to understand and think in numbers and properly quantify. This would included a basic understanding of statistics and its limitations, of probability thinking and its limitations, and basic numerical and quantitative thinking applied to the real world.Human nature. The ability to understand the true nature of the people around you, and of yourself, with heavy consideration given to human psychology.History. The knowledge of what’s come before you in the world.Natural science. An understanding of the physical world around us.Business. An understanding of commerce and finance, concepts we must all regularly deal with unless we plan to live in a monastery.Second-level thinking. The ability to think beyond the “first step” and think through consequences. And then what? 70


These six buckets have humongousareas of overlap, but we find them a useful way to group our various forms of knowledge and file them away. You may lump and organize in a different fashion. And of course, not included here are the narrow “technical” skills — how to write code, how to read an x-ray, and so on. But most important is that we learn to file and synthesize with these buckets, because the world doesn’trespect artificial, if necessary, boundaries. Going back to our discussion above, it’s not just the fundamentals of bridge building that don’t change a whole lot: with “softer” concepts like human nature, business principles, lessons from history and quantitative filtering, the ideas are just as invariant. That leads us to a basic prescription:Read broadly and constantly across the fundamental areas of worldly knowledge, and practice synthesizing with them on a daily basis. Don’t shy away from what you’re not familiar with, attack it instead. Use the buckets as a guide to figure out what you need more of. And as you develop an understanding of the world, constantly seek to file away and apply what you’ve learned, both directly and by studying others vicariously. Munger is clear also on the importance of explaining things in the most fundamental way possible — it’s through the search for more and more fundamental explanations that we improve our filing system. If you’re using a concept from physics, attribute it to physics. If you’re using a concept from chemistry (say,runaway feedback), call it chemistry. If you’re using an economics concept like opportunity cost, file it that way. Cut through faddy, new-age terms and concepts wherever possible in a search for an older, more fundamental way of explaining something. (See: Every management book written in the past twenty years, at least.) Through the process of learning, reducing, filing, andapplying, you’ll eventually feel like an amateur golfer who’s finally taken a few thousand good swings: Hey, this kinda feels comfortable! It isn’t easy, it’s hard. It takes some will and some discipline. But don’t forget to give yourself a break. Don’t worry about achieving this overnight. Just get 5% better every year. That’s plenty to leave your old self in the dust.

71


Polemik Naik Dan Jatuhnya Menteri Energi Sumber Daya Mineral Sebuah Kado Kemerdekaan Ardhi Arsy Wardhana

Sumber gambar: jurnalsulteng.com

Pada Senin, 15 Agustus 2016 terjadi suatu peristiwa penting yang berhasil menorehkan sejarah dalam pemerintahan Indonesia. Malam hari di tanggal tersebut disebutkan oleh Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, bahwa Arcandra Tahar resmi diberhentikan (dengan hormat) dari jabatannya sebagai Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan otomatis menyandang gelar orang paling cepat yang menduduki kursi menteri, yaitu selama dua puluh hari sejak dilantik. Dua hari sebelum “prosesi� penurunan itu, beredar isu melalui beragam media bahwa terdapat indikasi lulusan program doktoral di Universitas Texas A&M ini memiliki dwikewarganegaraan antara Indonesia dan Amerika. Sontak saja Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, 72


mengambil langkah berani untuk segera menurunkan beliau walaupun masa abdinya masih sangat singkat. Mantan Walikota Solo itu pun memberikan jabatan pelaksana tugas (Plt.) di kementerian tersebut kepada sang Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Luhut Binsar Panjaitan. Perubahan taktis ini menyebabkan polemik timbul di berbagai kalangan masyarakat. Hal ini terbukti dari ramainya opini publik baik kontra maupun pro yang lalu lalang di media elektronik dan media cetak. Dari obrolan kecil masyarakat pinggir stasiun sampai mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM melalui rubrik opini salah satu koran harian bersimbol penunjuk arah turut ambil suara merangkai kata. Naik dan turunnya Arcandra Tahar sebagai Menteri ESDM harus diulik lebih dalam karena bermuatan politik yang sarat akan kepentingan dan dapat berujung pada kontraproduktifnya kementerian ini sehingga mengakibatkan redamnya semangat pembenahan pengelolaan sektor energi dan sumber daya mineral. Dari Reshuffle hingga Penunjukkan Plt. Membuka Tabir Kepentingan yang Tersembunyi

Menteri

ESDM:

Pemilihan menteri merupakan hak prerogatif presiden sebagai pembantunya di sektor spesifik. Latar belakang seorang menteri sangat lah krusial karena dapat memengaruhi langkah kebijakan yang akan diambil. Kekosongan kursi Menteri ESDM pascaturunnya Arcandra Tahar memaksa Presiden Jokowi untuk memilih seorang pelaksana tugas sebagai fungsionaris sementara. Presiden memandatkan jabatan ini kepada Luhut Binsar Panjaitan yang juga sedang memangku posisi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya sebagai induk dari kementerian ESDM. Ini artinya, beliau memegang fungsi koordinasi antarkementerian strategis ditambah peran fungsional di sektor energi dan pertambangan. Lengkap sudah. Peran seorang menteri yang cukup mengikat sektor di bawahnya melalui peraturan yang dikeluarkan menyebabkan timbul peluang kekuasaan berlebihan. Hal ini dapat berujung pada abundant power abuse apalagi di sektor strategis seperti kemaritiman, perhubungan, pariwisata, energi dan sumber daya alam. Padahal kekuasaan sebaiknya tidak diberikan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa[1]. Kondisi ini diperparah oleh latar belakang Luhut sendiri yang tergolong sebagai seorangbusinessman di bidang energi dan pertambangan. Melalui unit usaha kelompok bernama PT Toba Sejahtera Group, Luhut Panjaitan mengelola 16 anak perusahaan di bawahnya[2]. Batubara, minyak, gas, dan listrik menjadi 73


komoditas utama dalam siklus ekonomi di bawah perusahaan besutan Luhut ini. Terlebih lagi nama Luhut Binsar Pandjaitan pernah dicatut pada berbagai kasus seperti Panama Papers, april lalu; dan Papa Minta Saham, akhir 2015 lalu. Masih berada pada ingatan kita bahwa Jokowi membawa konsep pembangkit listrik 35000 MegaWatt selama periode kepengurusannya dan juga pemerintah dulu telah mencanangkan kebijakan diversifikasi energi melalui Perpres No. 5 tahun 2006 yang menyebutkan bahwa batubara menjadi komoditas utama energi dengan sumbangan 33% dari total energi nasional. Lalu pertanyaannya ke mana kah proyek-proyek ini akan berlabuh? Dengan kekuasaan yang berlebihan dan kepemilikan sumber daya pribadi yang ada di sektor tersebut, membuat pemilik Institut Teknologi DEL sangat berpotensi untuk memegang jabatan tanpa adanya semangat pembenahan pengelolaan energi dan sumber daya mineral untuk kepentingan rakyat melainkan berpotensi besar memanfaatkan hal tersebut untuk keuntungan diri atau kelompok semata. Energi dan sumber daya alam sebagai salah satu potensi andalan rakyat Indonesia harus lah dipimpin oleh orang yang kredibel dan paham betul kondisi eksisting di lapangan serta memiliki kemampuan manajerial dan pertimbangan yang matang. Selain itu, diperlukan pula keberanian untuk menghadapi campur aduk kepentingan di sektor ini. Terlepas baik atau buruk, perubahan pasti menimbulkan dampak. Perubahan yang begitu cepat di kementerian ESDM menimbulkan instabilitas kepengurusan sehingga akan menyebabkan kerja yang kontraproduktif. Jangankan berpikir untuk membuat dan menjalankan roadmap nasionalisasi seluruh blok migas maupun tambang, adaptasi terhadap perombakan pejabat beserta pola pikirnya yang baru saja sudah memakan waktu panjang. Semakin lama Presiden Jokowi mencari pengganti Luhut selaku pelaksana tugas, maka akan semakin lama pula kementerian ini untuk menjalankan fungsinya secara optimal. Oleh karena itu, diperlukan peningkatan akselerasi pencarian posisi menteri yang kredibel dan memiliki latar belakang jelas serta memiliki semangat pembenahan sektor energi dan sumber daya mineral berlandaskan kerakyatan. Teka-teki Pengambilan Keputusan: Pencopotan Jabatan alih alih Pewarganegaraan Belum jelasnya alasan resmi penurunan Arcandra Tahar menimbulkan banyak pendapat. Sebagian kecil berpendapat ini hanya lah “permainan� 74


kepentingan elit politik. Mayoritas mengatakan hal tersebut terjadi karena kewarganegaraan ganda yang dipegang oleh beliau. Padahal jika ditelaah, untuk kasus ini sesuai dengan UU No. 12 tahun 2006 tentang Kewaganegaraan, seorang warga negara Indonesia yang sudah kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia dapat memperoleh kewarganegaraannya lagi dengan melalui proses pewarganegaraan[3]. Berarti sesungguhnya Presiden Jokowi memiliki opsi untuk melanjutkan jabatan Arcandra Tahar berdasarkan proses dan prosedur yang terdapat pada Undang-undang tersebut. Namun, pertanyaannya adalah kenapa dalam kasus ini, presiden yang terhormat lebih memilih opsi pemberhentian? Bukan mendesak untuk mengurus proses pewarganegaraan. Jika jawabannya untuk menghindari perdebatan dan desakan publik maka menandakan alasanreshuffle menteri Sudirman Said dengan Arcandra Tahar tidak memiliki alasan yang kuat untuk dilakukan. Semakin lama pemerintah mengemukakan alasan utama beserta buktinya dalam penurunan menteri ESDM terakhir akan semakin berkembang opini publik yang beragam disertai tambahan informasi lain yang tidak jelas asal muasalnya. Justru sebaliknya, tindakan seperti inilah (pemberhentian dengan alasan yang simpang siur) yang menimbulkan pertanyaan dari masyarakat. Kebijakan 20 Hari Penuh Kontroversi: Dari Penunjukkan Pejabat Struktural hingga Perpanjangan Izin Ekspor Dalam masa jabatannya yang hanya dua puluh hari, Arcandra Tahar membuat kebijakan seperti penunjukan dan pelantikan pejabat struktural termasuk kepala SKK Migas, dan perpanjangan izin ekspor konsentrat PT Freeport Indonesia tepatnya pada tanggal 8 Agustus 2016[4]. Sesuai dengan UU No. 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara, konsentrat harus dimurnikan di dalam negeri sampai kadar tertentu untuk meningkatkan nilai tambah. Walaupun di tataran undang-undang berkata demikian, Peraturan Menteri ESDM No. 5 tahun 2016 malah membahas tentang tata cara dan persyaratan pemberian rekomendasi pelaksanaan penjualan mineral ke luar negeri hasil pengolahan. Peraturan yang berada di bawah undang-undang ini kabarnya menjadi peraturan yang menggiring keinginan perusahaan untuk mempercepat pembangunan smelter atau fasilitas pemurnian. Peraturan ini dipakai bersamasama untuk melanggar perundangan di atasnya walaupun di sisi lain juga mendorong pengadaan tempat pemurnian. Turunnya menteri ESDM terakhir memberikan gambaran telah terjadinya pelanggaran atau ketidaksesuaian terhadap sesuatu (entah itu undang-undang ataupun kemauan presiden) yang 75


tidak disebarkan oleh pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa selama menjabat sebagai menteri, segala kebijakan, keputusan dan sikap politik diambil dalam keadaan dimana menteri tersebut masih dinyatakan berkewarganegaraan ganda (apabila memang benar demikian), dan berpotensi disusupi kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Maka, sudah sewajarnya apabila kebijakan yang ada turut ditinjau ulang atau bahkan turut dibatalkan juga bersamaan dengan turunnya orang yang mengeluarkan kebijakan. Simpul Ikat Tepat atau tidaknya kebijakan yang diambil oleh pemerintah seharusnya dipikirkan matang-matang karena menjadi tanggung jawab bersama sebagai warga negara. Pertimbangan tokoh yang akan menduduki kursi menteri vital dan strategis itu mesti dilirik dari berbagai segi dari mulai latar belakang sampai visi ke depan yang ingin dicapai. Pengambilan keputusan ini selain harus diambil secara tepat juga perlu ditentukan secara cepat karena penundaan waktu menyebabkan instabilitas berkepanjangan dari kinerja kementerian. Pengambilan kebijakan yang diputuskan oleh Arcandra Tahar saat menjadi menteri pun harus ditinjau ulang karena terindikasi penyalahan tata urut perundangan. Akhir kata, penilaian terhadap kasus ini harusnya dikembalikan kepada rakyat Indonesia dengan cerdas setelah mengetahui seluruh alasan dan pengakuan (YANG SAAT INI TERTUTUP) sebenar-benarnya dari pemerintah.

Referensi [1] Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama hal 281 [2] Toba Bara Sejahtera, Admira Baratama Nusantara, Indomining, Trisensa Mineral Utama, Kutai Energi, (Toba Coal and Mining); Energi Mineral Langgeng, Fairfield Indonesia, (Toba Oil and Gas); Pusaka Jaya Palu Power, Kertanegara Energi Perkasa, (Toba Power); Perkebunan Kaltim Utama I, Tritunggal Sentra Buana, Admira Lestari, Toba Industri, Smartias Indogemilang, Rakabu Sejahtera, Kabil Citra Nusa (Toba Perkebunan dan Kehutanan); Toba Pengembang Sejahtera (Toba Industri dan Infrastruktur) [tersedia di: www.bisnis.com/industry/read201311103/44/184423/inilah-16perusahaan-milik-luhut-pandjaitan] 76


[3] Pasal 31 Undang-undang No.12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan [4] www.tempo.co/read/news/2016/08/08/090794116/freeportperoleh-izin-ekspor-selama-5-bulan

77


78


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.