Literaksi #2

Page 1


Jurnal Kumpulan Tulisan

LITERAKSI #2/april 2016

Kementrian Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan Kabinet KM-ITB 2016/2017 1


2


“Tidurlah jika kau yakin bahwa di atas bantal terdapat mimpi-mimpi tentang kemajuan Nusantara. Tapi jika tidak, bangkitlah untuk membaca dan berdialektika!�

3


Pengantar Edisi Kedua

Menulis bukanlah sekedar menulis. Menulis bukan hanya agar tulisannnya dibaca, bukan hanya menjadi formalitas ilmiah. Ia adalah proses yang sakral dan luhur. Dengan menulislah peradaban terbangun, karena dari proses ini semua gagasan, ide, dan pengetahuan terkristalisasi dan terabadikan. Maka ketika diskusi tercipta, obrolan terungkap, pemikiran tersampaikan, tunggu apa lagi untuk menuliskan semuanya? Karena itu lah, setelah keluarnya sebuah booklet kumpulan tulisan edisi pertama bulan lalu secara informal (karena kabinet belum diresmikan), berbagai tulisan kembali dikumpulkan dan dirapihkan untuk kembali mengutuhkan diri menjadi sebuah booklet yang siap baca. Mengapa ini penting? Karena tanpa ada pengumpulan dan perapihan, semua tulisan itu hanya akan tercecer tak beraturan di dunia maya secara terpisah-pisah, yang bisa akan tenggelam dengan mudah tertimpa ribuan informasi baru tiap harinya. Mengingat akhir-akhir ini isu mengenai PKL sempat terbawa walaupun tidak terlalu hangat, maka isu itulah yang mungkin menjadi tema umum booklet ini. Walau tentu saja, beragam bahasan lain tetap tercantum untuk siap memberi wawasan dan pandangan baru bagi siapapun yang ingin membacanya. Terakhir, selalu ingatlah bahwa seminimal-minimalnya aksi adalah dengan literasi, seminimal-minimalnya pergerakan adalah dengan tulisan. Ketahuilah bahwa orang-orang besar dunia menjadi besar karena tulisantulisannya, atau tulisan-tulisan mengenainya. Tanpa adanya tulisan, pemikiran, budaya, momen, hingga peradaban apapun akan lenyap dalam sejarah. So, mari berliteraksi!

Menteri Pusat Studi Arsip dan Kajian Kebijakan PHX 4


5


Daftar Konten

Atas Nama .................................................................................................................... 8 Lempar Peraturan, Meledak, dan Lupakan........................................................... 10 “Dekrit Ironi� Pembangunan Jawa Barat .............................................................. 16 Menuju Proyek 35.000 Megawatt ............................................................................ 24 Romansa dan Politik Korporasi............................................................................... 28 (sem)Bunyikan dan Bina(sakan).............................................................................. 32 Ketika Kepentingan Mengambil Alih ..................................................................... 38 The Obscurity of National Gasoline Price Tag ...................................................... 42 Ke Mars ....................................................................................................................... 48 Mengapa PKL Bandung Bergerak? ......................................................................... 50 Sejarah Panjang Perjalanan Blok Masela ................................................................ 60 Antara Intelektual dan Sebuah Institut 5*.............................................................. 70 "Sekilas Tentang KBU" .............................................................................................. 82 Ada Apa dengan Pangan Kita? ............................................................................... 86

6


7


Atas Nama Rizqi Ramadhan

Tercengang aku akan sesuatu yang mengganjal pikiran Entah itu dariku ataupun kawan-kawan Mereka sebut itu ketetapan Yang lahir dari para representasi di himpunan

Ketika masyarakat membutuhkan bantuan Tertindas atas kesewenang-wenangan aparat Di situ harusnya mahasiswa hadir memberikan uluran tangan Bukan duduk berdiam layaknya para konglomerat

Tapi apa daya, kita terhambat pengatasnamaan Atas nama? Atas nama siapa sehingga memberi bantuan pun dilarang, pikirku. Atas nama rakyat kah? Atau atas nama orang berkepentingan? Jadilah kita kaku membisu.. Terbelenggu. Kembali menjadi manusia berhati beku

Pengatasnamaan mahasiswa katanya. Mahasiswa yang mana kutanya? 8


Mahasiswa yang memihak masyarakat? Atau yang dalam lindungan korporat? Oh mahasiswa yang terkungkung logika dan data-data empiris Adakah penderitaan rakyat kalian dengar dan lihat? Adakah kalian sadari keringat mereka terkuras dan air mata pun telah habis?

Tapi ingat kawan, amanah sebagai mahasiswa adalah pertanda Bahwa kita bagian dari pergerakan perjuangan bangsa ini Dimana jalan penuh rintang masih panjang terbentang dimanapun kita berada Mari bulatkan tekad ‘tuk berjuang bersama. Mari bergerak, atas nama nurani

9


Lempar Peraturan, Meledak, dan Lupakan. Soal Perda K3 Yulida Rachma

Rangkaian ceritera tentang PKL Ganesha. (Mozaik #1) Pada tahun pertama saya di Kampus Ganesha, tugas OSKM lapangan saya adalah wawancara penduduk sekitar dan saat itu, saya mendapat narasumber dari salah satu PKL di depan kampus saya tercinta ini. Ternyata, mereka berasal dari tempat tinggal yang sama dengan saya. Bahkan anaknya yang saat itu kelas sekian SMA (maafkan hamba, saya lupa), ingin menginjakkan kaki di kampus yang sama dengan saya. Ibu itu bilang, dia adalah satu-satu anaknya yang cukup pintar. Saya berdoa yang terbaik untuk anaknya. PKL atau pedagang kaki lima yang mendapatkan penghasilan dari berdagang seharian, dan menyiapkan dagangan saat malam atau pagi buta itu, salah satunya ada 5 meter dari kampus kita. Mereka menjadi bagian tak terpisahkan. Seakan menjadi tradisi yang sudah mengakar sejak lama. Tempat kita mengobrol sampai lama dengan teman, berinteraksi langsung dengan pedagangnya. Atau, kalau sudah langganan lama, bisa juga ngutang (Ini faktor 10


kedekatan dengan pedangang dan keberanian. Hati-hati ketagihan!). Semua kegiatan manusiawi ini, ternyata dianggap monster oleh yang dituan agungkan Bapak Walikota, baik di rezim Dada Rosada sampai rezim Ridwan Kamil. Di rezim Bapak Dada Rosada, sebenarnya sudah diberlakukan Peraturan Daerah No. 11 tentang Pelaksanaan K3 (Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan). Saat itu hebohnya hanya sesaat, hangat-hangat tahi ayam. Mungkin yang paling diingat adalah larangan berjualan bagi PKL di titik tertentu. Karena beberapa kali PKL digusur. (Mubarok, 2014)

Tentang Peraturan K3 Peraturan K3 ini dalam setahun direvisi sekali. Awalnya adalah Perda No. 3 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3) yang diundangkan tanggal 8 April 2005 lalu diundangkan kembali menjadi Perda No.11 Tahun 2005 pada tanggal 24 Oktober 2005 dengan alasan ketentuan sanksi dalam Perda 3/2015 memiliki kepastian hukum, sehingga perlu penyempurnaan. Menengok soal sanksi ini, sungguh sangat menarik. Disebutkan pada BAB VIII Ketentuan Sanksi Pasal 49 ayat 1 huruf a sampai ppp. Ya, p nya tiga kali. Sangat lengkap sekali bukan? Subtasnsi perda tersebut mengatur ketertiban jalan, fasilitas umum, jalur hijau, lingkungan,sungai, saluran air, sumber air, penghuni bangunan, tunasosial, anak jalanan, udara, dan sampah, merupakan soal biaya penegakan hukum. Pertanyaannya, apakah hal peraturan semacam ini dapat berjalan dan/atau berlaku dengan baik? Mbah Fuller yang dielu-elu kan sebagai mengungkapkan setidaknya memenuhi delapan hal:

guru

besar

filsafat,

1.

Harus/telah ada

2.

Harus diumumkan (diundangkan)

3.

Peraturan tersebut tidak boleh berlaku surut

4.

Apa yang diatur harus jelas dan terperinci dan dapat dimengerti masyarakat

5.

Tidak mengandung norma yang tidak mungkin dijalankan 11


6.

Tidak bertentangan dengan peraturan lain

7.

Tidak diubah-ubah dalam jangka waktu tertentu

8.

Harus terdapat kesesuaian antara tindakan pejabat hukum dan peraturan yang telah dibuat.

Pada poin nomor 4, dapat dilihat kasatmata dengan ditemukannya banyak pelanggaran. Pelanggaran ini dapat diartikan bahwa pertama, masyarakat mengerti substansi perda, tetapi sengaja melanggar, bisa karena niat buruk atau karena terpaksa. Kedua, masyarakat mengetahui adanya perda tetapi belum mengerti substansi perda. Ketiga, masyarakat tidak mengetahui keberadaan perda tersebut. Tiga hal ini juga berkaitan dengan poin nomor 5, bahwa peraturan tersebut tidak mengandung norma yang tidak mungkin dijalankan. Ini beberapa kutipan dari Perda K3 dari Pasal 49 ayat 1: xx. menggelandang tanpa pencaharian didenda 250 ribu. yy. mengamen, mencari upah jasa dari pengelapan mobil didenda 250 ribu. zz. membuat gubug untuk tempat tinggal di bawah jembatan, di atas jembatan penyeberangan dan taman-taman serta fasilitas umum lainnya didenda sejuta. Nyap nyap! Mungkin untuk anak-anak yang iseng ngamen, nggelandang, jual rumah sendiri buat bikin gubug bisa. Tapi bukankah mereka melakukan itu bukan karena keinginan mereka sendiri? Kalau kau tanya kemana juga, tak akan mereka mau untuk jadi seperti itu. Pastilah memilih bisa sekolah dan kerja yang lebih layak. Ada juga perturan yang tidak bisa dilaksanakan karena tidak tersedianya perangkat pendukung: c. angkutan umum berjalan di luar ruas jalan yang telah ditetapkan, atau berhenti di luar tempat pemberhentian didenda 250 ribu.

12


Wong ya tempat pemberhentiannya secara fisik ngga jelas yang mana, lalu kalau melanggar mekanismenya lalalala nya gimana juga tidak jelas. Terus daerah-daerah yang terindikasi pelanggaran juga tidak ada petugasnya. Sekalinya ada petugas, entah dia ada surat kuasa resmi atau tidak. Huftina. Mbah Fuller berkata bahwasanya kegagalan mewujudkan salah satu dari delapan hal tersebut dapat tidak hanya dapat menyebabkan timbulnya sistem hukum yang buruk, tetapi bisa dikatakan, semua itu tidak bisa lagi disebut hukum. Ah, seriuslah. Pembahasan K3 sudah sepanjang ini. Peraturan K3 untuk PKL Setelah berlelah dengan K3, sedangkan untuk PKL sendiri, sebenarnya melanggar peraturan di Pasal 49 ayat 1: bb. berusaha atau berdagang di trotoar, jalan/badan jalan, taman, jalur hijau dan empat-tempat lain yang bukan peruntukannya tanpa mendapat ijin dari Walikota didenda sejuta. Dan mereka dianggap akan melanggar peraturan lain terkait K3: g. merusak trotoar, selokan (drainase), brandgang, bahu jalan (berm) yang ada di sekitar bangunan didenda sejuta. Karena menganggap jj. mendirikan kios dan/atau berjualan di trotoar, taman, jalur hijau: melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman, atau jalur hijau didenda sejuta. y. mempergunakan daerah milik jalan selain peruntukan jalan umum tanpa mendapat ijin dari Walikota didenda 5 juta. nn. mendirikan bangunan pengairan tanpa ijin untuk keperluan usaha didenda 5 juta. 13


ee. mengangkut muatan dengan kendaraan terbuka yang dapat menimbulkan pengotoran jalan didenda 5 juta. aa. mengotori dan merusak perkerasan jalan, drainase, jalur hijau dan fasilitas umum lainnya didenda 10 juta. o. tidak menyediakan prasarana dan sarana pengolah limbah didenda 50 juta. pp. mengubah aliran sungai, mendirikan, mengubah atau membongkar bangunanbangunan di dalam atau melintassungai, mengambil dan menggunakan air sungai untuk keperluan usaha yang bersifat komersial tanpa ijin didenda 50 juta. qq. membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan/atau cair ataupun berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai didenda 50 juta. blah blah blah Kalau melihat proses pengolahan perda, pemerintah sebenarnya ingin membuat masyarakatnya ingin sadar dengan sendirinya. Tapi kalau tetiba kamu ditengah jalan disuruh bayar denda karena tidak menyeberang lewat zebra cross, kamu mikir apa? “Ini Singapura ya? Kok ngga pernah denger ada peraturan ini.� atau “Mau nipu ya?� Aih, bayangkan dengan jumlah PKL yang sekarang di Bandung itu ya, sudah 26.490 biji tahun 2005. Anggaplah PKL dapat melakukan semua tindak pelanggaran di Perda K3 ini. Maka, Pemerintah Daerah dapat uang: 178 000 000 x 26 490 = 4 715 220 000 000 Wow! 1 Tera!

14


Hukum yang tidak pernah dijalankan pada dasarnya telah berhenti menjadi hukum —  Paul Scholten

Hull, semudah itu kah membuat peraturan? Ini soal manusia yang diatur, juga untuk mengatur sang raja kota tata laku dan tata ucapnya. Jangan katakan ini peraturan bikinan rezim Bapak Dada. Kenyataannya Hyang Tuan Bapak Emil juga terlibat dalam struktur pemerintahan rezim Pak Dada. Sebuah tata laku masyarakat dibuat secara formal, tetapi tidak dilaksanakan, dan digunakan. Jangan katakan semua ini tidak bisa diprediksi atau diramalkan. Kalau dipikirkan lebih dalam lagi, aku yang masih belajar hukum berapa pertemuan juga sudah tahu, ini mengeluarkan uang yang tak sedikit. Sunk cost all over again. Seriuslah!

Sumber 

Perda Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan (K3). Dapat diakses melalui http://portal.bandung.go.id/assets/download/perda_k3.pdf

Perda Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan. Dapat diakses melalui http://portal.bandung.go.id/assets/download/perda_no11.pdf

Rachmantyo, A Dwi. 2013. Apa Kabar Perda K3? http://nasional.kompas.com/read/2009/08/28/1355093/.Apa.Kabar.Pe rda.K3

15


“Dekrit Ironi” Pembangunan Jawa Barat Dari Kereta Cepat, hingga Mobil Baru untuk Wakil Rakyat Luthfi Muhamad Iqbal

Belum meredanya polemik transportasi generasi baru yang menghubungkan Jakarta-Bandung, yang oleh Gubernur digadang-gadang sebagai solusi percepatan pembangunan wilayah Jawa Barat, namun secara prosedurnya masih banyak terdapat kejanggalan; Rakyat Jawa Barat harus sudah menerima kado baru yang kurang menyenangkan dari elite daerahnya sendiri: Sejumlah usulan pengadaan mobil Fortuner untuk ‘kepentingan dinas’ wakil rakyat, anggota DPRD Jawa Barat.

Hidup Adalah Udunan: Untuk Siapa? Bulan April-Mei setiap tahunnya memang menjadi bulan “basah”, karena di bulan-bulan inilah perencanaan rancangan Kebijakan Umum (KU) APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) disusun. Dimana, sejumlah uang yang dibayarkan oleh pembayar pajak (taxpayers), dan Pendapatan Asli Daerah yang telah dikumpulkan, dan diredistribusi ulang ke daerah-daerah, akan ditentukan nasibnya: kemanakah anggaran tersebut mengalir setahun kedepan? Kalau menurut pendapat pak wali, kang Emil, bahwa Hidup adalah Udunan, itulah konsep Gotong Royong yang juga diperkenalkan oleh bapak bangsa kita, untuk dapat membangun kemandirian bangsa. Bagaimana pajak yang dibayarkan dapat digunakan untuk pembangunan kesejahteraan, pembangunan ekonomi, pembangunan modernisasi, yang dapat mempercepat, mengakselerasi proses mobilisasi vertikal masyarakat menuju kehidupan yang lebih sejahtera. Maka dari uang itu pula-lah, dibangun jalan-jalan, dibangun pasar-pasar, dibangun sekolah, rumah ibadah, puskesmas, taman kota, dan berbagai program pembangunan lainnya, supaya hak-hak dasar warga sebagai manusia dapat diakses seluas-luasnya, dan diraih seadil-adilnya, tanpa terkecuali. Proses alokasi sumberdaya dan redistribusi kesejahteraan atas nama keadilan 16


sosial inilah yang diwujudkan melalui proses politik yang berlandaskan pada sila keempat pancasila: Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan. Yang kemudian, merasionalisasikan keberadaan sebuah struktur perwakilan rakyat baik di pusat maupun di daerah, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. DPRD inilah, yang mewakili masyarakat melalui institusi partai politik (sebagai wujud himpunan kepentingan sebagian masyarakat yang diwakili), menjadi unsur penyelenggara check and balances sebagai konsekuensi pelaksanaan demokrasi di daerah baik kota maupun provinsi, dengan tiga fungsi: legislasi, anggaran dan pengawasan. DPRD mengawasi eksekutif daerah, membahas dan memberikan persetujuan mengenai anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) serta membentuk peraturan daerah bersama kepala daerah. Namun, ternyata Anggaran Mobil Dewan ini telah masuk kedalam APBD 2016, sebesar Rp 50 Milyar. Sehingga Anggota Dewan hanya perlu mengirim surat permohonan pinjam pakai mobil dinas kepada Biro Pengelolaan Barang Daerah (PBD) Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat [2].

Membuka Tabir ‘Pengelolaan Aset Daerah’ Provinsi Jawa Barat: Sebuah Kemewahan yang Direncanakan dengan Baik Berdasarkan informasi yang didapat dari berbagai media [1] [2] dan diklarifikasi secara resmi oleh Ketua dan anggota DPRD [3] dengan berbagai keterangan yakni: 1.

Hanya unsur pimpinan DPRD yang memiliki hak mendapatkan kendaraan dinas setara dengan Eselon II. Sehingga, anggota dewan hanya mendapat fasilitas pinjam-pakai (adalah penyerahan penggunaan barang antara Pemerintah dengan Pemerintah Darah dan antar Pemerintah Daerah dalam jangka waktu tertentu tanppa menerima imbalan dan setelah jangka waktu tersebut berakhir, diserahkan kembali ke pengelola [4]). Bukan berarti semua anggota dewan akan mendapatkan kendaraan dinas.

2.

Usulan “Fortuner” ini baru berada di tataran usulan anggota dewan, belum merupakan sebuah keputusan DPRD. Dan setiap tahunnya Biro Pengelolaan Barang Daerah Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat 17


memang menganggarkan anggaran untuk kendaraan dinas untuk keperluan Organisasi Perangkat Daerah (OPD), dalam hal ini termasuk juga DPRD. 3.

Kendaraan pinjam-pakai DPRD Provinsi yang dibeli seharga Rp. 16 milyar pada tahun 2009 lalu saat periode 2008–2013 sudah dinilai tidak layak, apalagi untuk berpergian jauh untuk medan berat, hanya cocok untuk didalam kota saja. Karena sering terkendala di tengah jalan, sehingga anggota dewan tidak dapat menjalankan tugasnya secara optimal, dan berpengaruh pada kinerjanya. Terutama untuk yang dapil (daerah pemilihannya) jauh dari pusat kota, dan harus melewati jalan bebatuan

Sehingga, menurut klarifikasi konferensi pers ketua DPRD menanggapi isu mobil fortuner untuk dewan, memang pada dasarnya anggaran tersebut dianggarkan setiap tahunnya oleh Biro Pengelolaan Barang Daerah, Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Barat. Namun, terdapat kontradiksi antara keterangan konferensi pers diatas bahwa hanya unsur pimpinan DPRD yang berhak mendapatkan kendaraan dinas dengan aturan yang berlaku. Dalam Bab VI Perencanaan Kebutuhan dan Penganggaran, Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah, Pasal 9 Ayat 5 [4] disebutkan bahwa: “Standarisasi Sarana dan Prasarana Kerja bagi Anggota DPRD disejajarkan dengan Pejabat Eselon II yang diatur lebih lanjut oleh Gubernur” Sehingga menurut Perda Provinsi Jabar No. 6 Tahun 2008 ini, bukan hanya unsur pimpinan, namun Anggota DPRD memiliki standar sarana dan prasarana kerja yang sejajar dengan pejabat Eselon II. Barangkali inilah landasan mengapa pada akhirnya Anggota DPRD mengusulkan Fortuner baru sebagai bagian dari pelaksanaan hak dan tanggung jawabnya terutama yang dijelaskan dalam pasal 10 poin c, pasal 30 poin i, j, k, PP 16 tahun 2010 [5]: •

menyampaikan usul dan pendapat

menyerap dan menghimpun kunjungan kerja secara berkala

menampung dan masyarakat; dan

aspirasi

menindaklanjuti

18

aspirasi

konstituen dan

melalui pengaduan


memberikan pertanggungjawaban secara kepada konstituen di daerah pemilihannya.

moral

dan

politis

Meskipun dalam poin lainnya, yakni pasal 30 poin d dan e, dinyatakan bahwa anggota DPRD [5] wajib: •

mendahulukan kepentingan negara pribadi, kelompok, dan golongan;

di

memperjuangkan peningkatan kesejahteraan rakyat;

atas

kepentingan

Dekrit Ironi, Pembangunan Jawa Barat Genap sudahlah, isu ini menyempurnakan sebuah “Dekrit Ironi”Pembangunan Jawa Barat. Sebuah seruan bahwa Pembangunan di Jawa Barat saat ini, sedang memasuki keadaan darurat, keadaan yang bertentangan dengan yang diharapkan, yang ditandai oleh adanya fenomena-fenomena berikut ini: Demokrasi Elit (DE-) Apakah kita sebagai konstituen mengetahui bahwa ternyata wakil rakyat kita memiliki hak sarana dan prasarana kerja setara pejabat Eselon II? Bahkan sejak 2008 telah dibakukan secara legal dalam bentuk Peraturan Daerah? Apakah dengan fasilitas yang tersedia, aspirasi dan informasi yang disampaikan menjadi lebih lancar? Bahkan saya tidak yakin sebagian dari kita mengetahui siapa Anggota Dewan yang mewakili kepentingan kita, mewakili daerah pemilihan dimana kita berada. Lalu bagaimana praktik Demokrasi dapat diwujudkan? Apakah kita sebagai rakyat menghendaki uang pajak yang kita bayarkan dibelanjakan mobil baru untuk kelancaran kinerja bapak dan ibu anggota dewan yang terhormat yang mewakili kita? Lalu darimana usul tersebut muncul, apabila bukan dari konstituennya? Ya, demokrasi yang terselenggara hari ini, terpusat pada kehendak dan permainan para elit, yang bahkan tidak mencerminkan sama sekali aspirasi dari rakyat yang diwakilinya. Kecuali ada anggota dewan yang dapat menjelaskan rakyat Jawa Barat bagian sebelah mana yang secara ikhlas dan sadar mengamini usulan pengadaan mobil baru untuk optimalisasi kinerja mereka, selain saudara, kerabat dan keluarga mereka.

19


Ketimpangan vs Kesejahteraan Rakyat(-KR-) Gaya hidup yang ditampilkan oleh standar pejabat eselon II yang hendak dituntut sebagai bagian dari hak yang dijamin dalam peraturan perundang undangan oleh sebagian anggota DPRD sangat kontras dengan keadaan yang terjadi saat ini. Tentunya ini melukai sangat dalam, perasaan masyarakat Jawa Barat. Slogan Gemah Ripah Repeh Rapih, yang menjadi perlambang daerah Jawa Barat sebagai daerah yang kaya raya yang didiami oleh banyak penduduk yang rukun dan damai, terlihat kurang relevan dalam kasus ini. Bagaimana penduduk yang banyak ini hidup rukun dan damai melihat kejadian seperti ini? Bagaimana penduduk yang banyak ini tinggal diam di daerah yang kaya raya, tapi harus menerima nasib menjadi orang miskin di tengah-tengah kekaya-rayaan daerah Jawa Barat? Jawa Barat yang pada tahun 1996 memiliki rasio gini sebesar 0.356, dilaporkan meningkat hingga ke tingkat 0.411 pada tahun 2013 lalu [6]. Padahal di tahun yang sama (2013), Produk Domestik Regional Bruto Jawa Barat mencapai Rp 1.258.914.480,0 dengan laju pertumbuhan 11,58% per tahun, diatas rata-rata nasional yang sedang melambat [7]. Sebuah potret pembangunan yang semakin memperlebar jurang ketimpangan. Jangan-jangan yang terjadi selama ini bukanlah Pembangunan Jawa Barat, melainkan Pembangunan di Jawa Barat. Sebagai contohnya, maraknya alih fungsi lahan di Kawasan Bandung Utara, yang semestinya menjadi kewenangan Provinsi, hanya menguntungkan segelintir pihak pemodal yang memiliki akses terhadap cabang-cabang produksi, sedangkan masyarakat setempat harus rela berebut air tanah dengan menara-menara apartemen yang telah sedang dan akan dibangun menjulang tinggi. Infrastruktur dan Transportasi (-IT) Menjadi sangat miris rasanya, melihat pola laku anggota dewan yang mengusulkan kendaraan sebesar 50 milyar, dengan alasan tidak optimalnya kinerja karena mobil dinas yang usang (padahal baru berusia 5 tahun, dan dibeli menggunakan uang rakyat sejumlah 16 milyar 2009 lalu) untuk melaksanakan tugas mencapai daerah pemilihan (dapil) yang jauh dari ibukota dan bermedan buruk, seperti jalan rusak, bebatuan dan lain sebagainya. Anggota Dewan, yang tidak setiap hari menggunakan jalanan tersebut saja meminta 100 mobil Toyota Fortuner, lalu bagaimana dengan nasib 46 juta jiwa lebih [7] penduduk Jawa Barat yang tersebar diseluruh wilayah, yang setiap harinya harus beraktivitas melalui jalanan tersebut? Berapa jumlah mobil yang dibutuhkan supaya keadilan dapat tercipta bukan hanya Anggota DPRD 20


dengan Pejabat Eselon II saja, tetapi juga antara rakyat dengan wakilnya? Bagaimana tidak hancur, menurut data tahun 2014, hanya 45,27% dari total panjang jalan 22.751,155 km yang berkondisi baik, sedangkan sisanya (lebih dari 50%) berkondisi sedang, rusak ataupun rusak berat. Semestinya sebagai wakil rakyat, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat memperjuangkan pemerataan pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana jalan, kereta api, serta angkutan antar wilayah, supaya masyarakat dapat mengandalkan transportasi umum, mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dan akan meminimalkan kemacetan yang merugikan perekonomian. Apabila jalanan baik, angkutan memadai, dan menjangkau seluruh wilayah, maka Anggota DPRD bisa menjalankan tugasnya lebih optimal, dan lebih efisien, karena dana yang dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan transportasi tidak hanya di pinjam-pakaikan secara terbatas oleh Anggota DPRD, melainkan juga seluruh rakyat Jawa Barat tak terkecuali, yang menggunakan sarana prasarana tersebut. Bukan malah dengan alasan kondisi jalanan buruk, medan berat, sehingga Anggota DPRD memiliki justifikasi atau pembenaran untuk mendapatkan mobil dinas baru.

Epilog Kisah ini, melengkapi sekuel sebelumnya dengan topik serupa tapi tak sama, “Sesat Pikir Pembangunan di Jawa Barat� yakni proyek pembangunan kereta cepat, yang katanya mengedepankan pembangunan berorientasi transit (Transit Oriented Development/TOD) tapi tidak berhenti di hierarki stasiun terpadat (Gambir-Stasiun Bandung) malah di daerah pinggiran (urban outskirt) Tegal Luar dan Halim. Jelas-jelas ini sebuah proyek pengembangan properti, dimana para pembelinya bukan hanya sebagai end user untuk dipakai bermukim, tapi juga untuk berinvestasi di sektor properti. Terlebih lagi prosesnya yang tidak sesuai prosedur pada umumnya, tanpa basa-basi, lahan warga setempat dipatoki tanpa pemberitahuan kepada otoritas lokal, beberapa waktu lalu. Apabila memang benar apa kata Pak Gubernur, bahwa, TOD yang dibangun nantinya adalah sebuah kota baru, bukan sebuah permukiman mewah baru[8]; Adakah jaminan untuk sejumlah sekitar 300.000 keluarga berumah tidak layak huni [7] yang tersebar di kabupaten dan kota di Jawa 21


Barat untuk mendapatkan solusi berupa rumah tinggal yang layak huni di titik-titik kota baru tersebut, sehingga Jawa Barat dapat menjadi provinsi pelopor yang mencapai zero slum (nol kumuh) pada 2019 nanti? Atau harapan tersebut hanyalah angan-angan kosong? Dari tulisan ini, besar harapan untuk kita semua memaknai bahwa isu ini tidak hanya terbatas menjadi kesalahan Anggota Dewan semata; Bahwa isu ini adalah kesatuan polemik pembangunan di Jawa Barat, yang secara tersistemkan bermasalah. Dimana satu cerita dengan cerita lainnya saling terkait. Bahwa terdapat peran Gubernur, terdapat peran Sekretariat Daerah, terdapat peran Kepala Biro Pengelolaan Barang Daerah, termasuk juga peran pembiaran yang kita lakukan sebagai Masyarakat Jawa Barat, sehingga peraturan yang bertentangan dengan kehendak kita semua, yang membenarkan kemewahan gaya hidup yang diusulkan dapat lahir dan menjadi perisai bagi usulan-usulan yang melukai hati dan perasaan rakyat Jawa Barat seperti hari ini. Dekrit Ironi Pembangunan Jawa Barat ini dituliskan untuk dapat menularkan kegelisahan kepada rekan-rekan semua, dan terlebih lagi jika dapat mengilhami sebuah pergerakan yang lebih luas. Semoga Nurani kita tetap Menyala!

Sumber [1]

http://www.merdeka.com/peristiwa/polemik-fortuner-dprd-jabar.html

[2]

https://m.tempo.co/read/news/2016/04/06/058760376/sering-mogokjadi-alasan-dprd-jawa-barat-ingin-mobil-mewah

[3]

http://dprd.jabarprov.go.id/about/news/read/2016/04/06/ketuadprd-jabar-usulan-kendaraan-dinas-sesuai-dengan-peraturan.html

[4]

Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Barang Milik Daerah http://www.bphn.go.id/data/documents/08pdprovjabar006.pdf

[5]

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Daerah www.kpu.go.id/dmdocuments/PP_16_2010.pdf 22


[6]

Rasio Gini Jawa Barat terhadap Provinsi-provinsi lain di Indonesia http://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1493

[7]

Jawa Barat Dalam Angka 2015

[8]

http://www.jabarprov.go.id/index.php/news/16187/2016/02/25/Renc ana-Pembangunan-KA-Cepat-Jakarta-Bandung-Sudah-Ada-di-PerdaJabar

23


Menuju Proyek 35.000 Megawatt Muhammad Satria AJK

Indonesia adalah negara yang besar, memiliki luas wilayah Âą1.919.000 dengan 17.504 pulau yang tersebar. Dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta jiwa, Indonesia berada pada letak geografis yang strategis dengan diapit oleh 2 benua dan 2 samudera. Berada pada lempeng aktif dengan banyak gunung berapi membuat Indonesia memiliki sumber daya alam dengan jumlah besar. Cadangan gas alam yang mencapai 185,8 triliun kaki kubik sekitar (1,5% cadangan dunia), cadangan batu bara 5,7 miliar ton (sekitar 3% cadangan dunia), panas bumi 27.000 MW (sekitar 40% cadangan dunia), minyak bumi 8,6 miliar barel (1% cadangan dunia) [1]. Dengan cadangan yang sebanyak itu Indonesia pada tahun 2015 memproduksi sekitar 225 TWH (Terra Watt per Hour) [2], sedangkan proyeksi kebutuhan listrik sebesar 36.787 MW. Kebutuhan listrik Indonesia diperkirakan akan terus meningkat, bahkan diproyeksikan pada 5 tahun 24


kedepan dibutuhkan tambahan produksi sekitar 35.000 MW [3]. Kebutuhan ini diprediksi karena berkembangnya ekonomi, kebutuhan, dan untuk pemerataan listrik. Sejak era Jokowi-JK, pembangunan infrastruktur sangat diutamakan karena dianggap sebagai dasar untuk pertumbuhan kesejahteraan dan ekonomi. Selain itu pembangunan yang merata pun dimulai dari pembangunan waduk, bandara, pelabuhan, kereta api dan lain sebagainya. Untuk menyokong pembangunan infrastruktur tersebut pastinya dibutuhkan pasokan energi listrik yang besar. Oleh karena itu dicanangkanlah proyek 35.000 MW. Proyek 35.000 MW ini diperlukan untuk memenuhi kebutuhan listrik Indonesia dalam 5 tahun ke depan. Saat ini, kapasitas pembangkit listrik di Indonesia baru 50.000 MW sedangkan pada tahun 2019 kemungkinan kebutuhan listrik mencapai 70.000-80.000 MW. Dalam proyek ini 10.681 MW akan dikerjakan oleh PLN, dan 25.904 MW dikerjakan oleh swasta [4]. Megaproyek ini memiliki beberapa keuntungan yaitu diperkirakan dapat menyerap sekitar 650.000 tenaga kerja langsung, 3 juta tenaga kerja tidak langsung, dan 20 juta orang mendapatkan manfaat ekonomi langsung. Selain itu menggunakan komponen lokal 40% (setara dengan 440 triliun rupiah), peningkatan konsumsi batubara 80-90 juta/tahun, dan mendongkrak permintaan baru gas sekitar 1.100 BBTUD (Billion British thermal Unit per Day). Total kebutuhan dana dalam proyek ini sekitar 132.155 miliar USD. Proyek besar ini diharapkan dapat meningkatkan rasio elektrifikasi sebesar 97% pada tahun 2019. [5]. Dimulai sejak bulan Mei tahun 2015, sudah banyak investor yang menyanggupi penyelesaian beberapa proyek. Bahkan di Gorontalo, pada Februari 2016 listrik sudah bisa dialirkan menuju rumah warga. Dengan masuknya listrik sekitar 50 MW akan meningkatkan rasio elektrifikasi hingga 84,4% [6]. Juga di salah satu investor pembangkit listrik geothermal menyanggupi pembangunan di NTT yang diperkirakan akan selesai pada akhir tahun 2019. Pembangkit listrik yang sudah dimulai oleh pihak PLN yaitu di provinsi Banten, Gorontalo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, Sumatera Utara, dan wilayah perbatasan dengan total ada 8 proyek dan yang akan dilaksanakan sekitar 27 proyek. Sedangkan yang sudah dimulai

25


oleh pihak swasta sekitar 21 proyek dan tersisa 53 proyek dengan hanya 14 proyek yang dilakukan di Pulau Jawa [7]. Sayangnya, sekitar 60% (21.000 MW) dari total 35.000 megawatt pembangkit listrik akan dibangun di wilayah Jawa dan Bali, wilayah Sumatera akan kebagian 9061 MW (25,5%), Sulawesi mendapatkan jatah sebesar 2574 MW (7.2%), sedangkan wilayah Kalimantan akan mendapatkan 1881 MW (5.3%), sementara itu wilayah Nusa Tenggara, Papua dan Maluku, masingmasing hanya akan mendapatkan 665 MW (1.9% ), 317 MW (0.9%), dan 241 MW (0.7%) [8]. Pada proyek ini juga, energi baru terbarukan (EBT) yang ramah lingkungan hanya mendapatkan bagian sekitar 25% dari total proyek yakni sekitar 8.750 MW [9]. Selain itu masalah izin yang berbelit dan masalah klasik yaitu pembebasan lahan menjadi penghambat proses. Proyek ini kemungkinan memang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing pulau. Pada permasalahan EBT bisa disebabkan biaya yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan yang masih cenderung mahal. Selain itu pembangkit listrik dengan energi baru terbarukan tidak menghasilkan listrik yang lebih besar dari energi fosil, sedangkan saat ini kebutuhan pasokan listrik sangat besar. Mungkin kedepannya energi baru terbarukan akan mulai banyak dibangun secara bertahap. Kita berharap proyek ini bukanlah sekedar megaproyek yang manis diawal, tetapi bermanfaat untuk semua rakyat Indonesia. Semoga proyek ini dapat berjalan dengan baik, lancar dan transparan. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan dan pemerataan pasokan listrik di berbagai daerah. Sehingga Indonesia tidak lagi “Jawasentris� tetapi menjadi “Indonesiasentris�.

Sumber [1]

http://www.kompasiana.com/dewantara/potensi-energi-diindonesia_5518d09ea33311c011b65922

[2]

http://i57.tinypic.com/11iloir.jpg

[3]

https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/0510_Kebutuhan_Listrik _Indonesia_01_rsz.jpg 26


[4]

https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/0610_Proyek_35.000_M W_rsz.jpg

[5]

http://web.kominfo.go.id/sites/default/files/0910_Dampak_Program_ dan_Pendanaan-01_rsz.jpg

[6]

http://bisnis.liputan6.com/read/2413851/pembangkit-pertamaprogram-35000-mw-mulai-pasok-listrik

[7]

http://finance.detik.com/read/2015/06/23/145227/2950006/1034/inidaftar-mega-proyek-35000-mw-jokowi-rp-1189-triliun

[8]

http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/kontroversi-proyek-35000megawatt/blog/54278/

[9]

http://finance.detik.com/read/2016/02/11/155053/3139659/1034/pro yek-35000-mw-minim-energi-terbarukan-ini-sebabnya

27


Romansa dan Politik Korporasi Roziyan Hidayat

Dalam novel Inferno karya Dan Brown diceritakan tentang sebuah proyek yang bertujuan menyelesaikan masalah yang sedang terjadi di dunia. Beragam masalah yang timbul merujuk pada satu variabel yang mengalami perubahan lebih cepat dari variabel yang lainnya. Variabel itu adalah manusia dan populasinya. Kemudian, Zobrist, tokoh antagonis, yang bunuh diri di awal cerita, menawarkan sebuah solusi yang terlihat tidak menguntungkan masyarakat. Pada bagian awal cerita, pembaca digiring untuk mempercayai bahwa solusi itu berupa semacam virus yang akan menurunkan populasi manusia seperti wabah yang terjadi pada abad pertengahan di Eropa yang mengakibatkan keseimbangan antara jumlah populasi dan sumber daya. Akan tetapi, solusi yang diberikan ternyata adalah virus yang mengacak hereditas manusia dan menyebabkan kemandulan. Solusi yang ditawarkan tokoh antagonis tersebut tidak memiliki dampak yang dapat terlihat langsung. Jika virus itu berhasil dihambat atau dihentikan, populasi manusia diperkirakan akan meledak mencapai angka 8 miliar, sementara variabel yang lain seperti energi dan makanan akan tetap tumbuh pada keadaan yang stagnan. Pengaruh tidak langsung yang disebabkan oleh virus ini tidak terlihat menguntungkan secara ekonomi. Menurut perkiraan, sumber daya energi berbentuk minyak mentah akan habis pada tahun 2047 dan bisa menjadi lebih cepat. Dengan mekanisme pengurangan populasi yang seperti itu, rate yang dihasilkan tidak akan secepat dengan penyebaran wabah penyakit yang langsung membunuh atau perang. Akan tetapi, perang tidak hanya akan mengurangi populasi, melainkan sumber daya yang harus dibuang akan mencapai jumlah yang tidak sedikit. Pada era ini, pikiran akan ‘money is mine, so the resource then’ adalah sebab yang memperparahimbalance antara populasi dan sumber daya. Akibatnya, beberapa hal yang dianggap tidak berpengaruh langsung akan keuntungan pribadi maupun korporasi tidak perlu dipikirkan.Di Indonesia, isu lingkungan yang rusak bukan merupakan prioritas utama yang masuk dalam prioritas pemberitaan atau perhatian. Isu terbaru adalah peluang terjadinya 28


kerusakan hutan mangrove di area pesisir di Teluk Benoa, Bali jika wacana reklamasi Telok Benoa menjadi kenyataan. Di pulau kembarannya, Lombok, pasir-pasir dikeruk sebagai ‘bahan’ yang akan digunakan untuk reklamasi di Teluk Benoa. Saat warga pesisir di Lombok menyatakan keberatannya, Pemangku Kebijakan hanya menjawab, “Kita juga akan menjual angin jika memungkinkan.” Romansa antara dua pulau kembar ini sejatinya telah terjadi karena persamaan budaya, bahasa, dan adat. Keduanya identik, ibarat kakak-beradik yang kembar yang kemudian sering bertutur sapa. Ibarat Dante dan Betreace yang pada akhirnya harusnya berpisah seperti kedua saudara ini yang harus berbeda karena perbedaan kepercayaan. Romansa ini menguat saat isu reklamasi Teluk Benoa kembali menguat ke permukaan setelah forum komunikasi yang berisi perwakilan dari keduanya yang katanya peduli terhadap lingkungan bertemu dan menyatakan sikap penolakan terhadap peraturan pemerintah yang sempat terbit setelah presiden ke-6 memberikan lampu hijaunya kepada korporasi. Dalam promosinya, korporasi dan pemerintah ‘menjual’ isu sedimentasi. Akan tetapi solusi yang ditawarkan berupa solusi yang kontradiktif. Beberapa alasan yang sempat dikemukakan Mangku Pastike saat menyetujui proyek menguntungkan ini adalah untuk menata lingkungan. Lebih lanjut, menurutnya reklamasi akan menjadi salah satu upaya mitigasi bencana khususnya tsunami, menambah luas bali secara geografis dengan menerapkan konsep pembangunan green development. Jika reklamasi dilakukan, hutan mangrove yang mayoritas didominasi jenis Sonneratia spp. yang merupakan jenis yang sensitif terhadap sedimentasi akan mengalami kerusakan. Material yang dibawa akan menyebabkan pendangkalan karena aliran sungai terhalang oleh pulau buatan. Menurut pakar Hidrologi dari Universitas Udayana, I Nyoman Sunarta, jika reklamasi terealisasi akan terjadi perubahan arus laut. Dengan hadirnya marina di Teluk Benoa, arus laut akan terhalang untuk masuk ke Teluk Benoa. Akibatnya, vegetasi mangrove dan biota laut lainnya akan kekurangan pasokan makanan dan nutrisi yang dibawa arus laut. Jika ini terus dibiarkan, nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut akan kekurangan tangkapan dalam jumlah yang signifikan sementara pihak korporat mengeruk keuntungan dengan bangunan yang konon katanya akan menambah laju pertumbuhan ekonomi pada sektor pariwisata dan membuka lapangan 29


pekerjaan yang lebih banyak. Di pulang seberangnya, pengerukan pasir akan menyebabkan kekeruhan dan perubahan pada arus laut dan menyebabkan abrasi. Efek berkelanjutannya adalah wilayah jelajah nelayan untuk mencari ikan akan semakin berkurang. Pihak korporasi menyatakan bahwa hanya segelintir orang saja yang menolak reklamasi ini. Masyarakat kedua pulau yang merasa dirugikan, Bali dan Lombok, menguatkan penolakannya dengan mengeluarkan aspirasinya di tempat yang berbeda seperti dua saudara yang seolah-olah akan selalu sejiwa. Mereka menolak masuk kategori penghuni neraka paling dalam versi Dante Alighieri yang diceritakan Dan Brown dalam Inferno, yaitu orang orang yang memilih netral saat krisis moral sedang terjadi.

30


31


(sem)Bunyikan dan Bina(sakan) Hak Atas Ruang Yulida Rachma

Rangkaian ceritera tentang PKL (Mozaik #2) Dalam sebuah kehidupan, setiap manusia yang baru terlahir tidak akan bisa memilih di mana dan oleh siapa ia dilahirkan. Jika aku bisa memilih, mungkin aku ingin dilahirkan di keluarga yang kaya raya tanpa perlu kerja keras semasa muda. Jika aku bisa memilih, aku tidak ingin lahir di negeri yang hanya ingin memakmurkan perut tiap orang masing-masing. Mungkin aku akan memilih tinggal di Kuba, yang makan, minum, belajar, dan kesehatannya di jamin oleh negara dengan benar. Meski gaji sedikit, setidaknya aku terjamin bisa minum susu setiap hari, makan daging, dan tumbuh sehat. Jika aku bisa memilih, aku tidak akan mau hidup di kota besar 32


yang bapak nomor satunya hanya ingin menghidupi orang dengan KTP yang sama dengannya. Saya lahir dan besar di kota ini. Saya orang Indonesia. Sebenarnya ini adalah mozaik yang membahas tentang peraturan,hukum, undang-undang dan apalah itu istilahnya yang digunakan pemerintah untuk mengatur, menertibkan, menyelesaikan sengketa/pertikaian, menindak, dan harusnya juga untuk mempertahankan hak masyarakat dan sarana mengubah peraturan sesuai “kebutuhan” [1] terkait PKL. Inginnya dalam mozaik ini saya membahas tentang Peraturan Walikota 888 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 04 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima — diundangkan saat rezim Dada Rosada yang kemudian akan saya sebut Perwal 888. Semoga saja tidak melenceng ke hal lain. Karena saya baru saja nonton trailer Rayuan Pulau Palsu. Antara semua rasa jadi satu. Rasanya pengen nyanyi Love Your Self sama What do You Mean-nya Justin Bieber. Ha! Sudahlah. Perwal 888 Peraturan Walikota, secara umum adalah peraturan yang dibuat oleh walikota sebagai pelaksanaan peraturan daerah, dalam hal ini perda 4/2012. Di pasal 2 disebutkan maksud dibuatnya Perwal 888 ini adalah mengatur secara teknis pelaksanaan, penataan, dan pembinaan PKL di Daerah, yang mencakup Perencanaan, Penataan, Pembinaan, Pengawasan, dan Penegakan hukum. Lalu disebut juga bahwa tujuannya adalah menciptakan Daerah yang aman, bersih, dan tertib sekaligus menciptakan Daerah sebagai Kota tujuan Wisata. Sayangnya, saya tidak menemukan definisi aman, bersih, dan tertib dari apa. Sayangnya (lagi) saya belum dapat mengakses naskah akademik (yang entah ada atau tidak) dari Perwali ini untuk pembanding. Doakan saya, lur. Bisa mengakses asal muasal logika pembuatan tiap pasal si Perwal 888 ini. Tapi, biarkan saya sok sok an tentang Perwal 888 yang akan saya jabarkan sebatas logika saya ini: Merah-Kuning-Hijau Tiga warna itu adalah zonasi yang dibuat untuk membuat garis panjang di Kota Bandung. Untuk apa? Biar berwarna vro! Merah itu tandanya ngga boleh sama sekali segerobak pun yang jualan. Kalo di perda 04/2012 cuma 33


ada 4: Jalan nasional, jalan provinsi, militer dan rumah sakit. Kompleks militer sama rumah sakit diberlakukan karena menyangkut jiwa manusia. Kalau ada PKL depan rumah sakit, ada yang mau masuk terus kehalangan karena orang beli, bisa-bisa ngga terselamatkan sebelum sempet di rawat. Kalau militer kan identik sama angkatan bersenjata. Takutnya kalau ada sengketa atau apa malah ada korban. Kalau jalan nasional sama jalan provinsi ini urusannya jaringan supply barang brur. Kalau ada “hambatan samping� bakal bikin macet yang nantinya supply cost tambah membengkak, dsb dsb. (Ini hasil wawancara sama Bapak Wakil Ketua II DPRD Bandung, Pak Haru Suandharu dengan bahasa dikit-dikitlah, disesuaikan) Hambatan samping? Apaan tuh? Hambatan samping menurut MKJI (Manual Kapasitas Jalan Indonesia ) 1997 adalah interaksi antara arus lalu lintas dengan kegiatan di samping jalan raya yang mengakibatkan pengurangan terhadap arus jenuh di dalam pendekatan. Pejalan kaki, penyeberang jalan, kendaraan umum atau kendaraan lain yang naik angkut penumpang ataupun ngetem, kendaraan masuk atau keluar sisi jalan buat parkir dan kendaraan lambat merupakan hambatan samping yang sangat berpengaruh pada kinerja suatu ruas jalan perkotaan. Gampangnya, segala keadaan lingkungan yang bikin suatu mobil melambat jalannya, ato bahkan berhenti bukan karena ingin. Kembali ke pembicaraan awal. Perda bilang 4 alasan, tapi kenapa di Perwal 888 nambah banyak banget buat tempat-tempat lain? Alasannya apa? Wah, saya juga ngga tahu. Makanya, butuh wawancara ke Lapas Sukamiskin dulu ato ngga dapet naskah akademiknya di sekda. Kalau di list jadi seperti ini: Jalan Nasional, 17 Jalan (43 625 meter) Jalan Provinsi, 28 jalan (32 054 meter) Lokasi lain: lokasi 7 titik, sekitar rumah dinas para pejabat Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah, sekolah, jalan tertentu, setiap persimpangan jalan dengan jarak 100 meter dari titik persimpangan, lokasi jalan yang ditetapkan sebagai car free day (CFD), dan kawasan lindung Sebenernya inti dari Perwali ini adalah lokasi merah. Di mana kamu tidak boleh berjualan. kuning untuk kamu boleh berjualan dengan waktu tertentu. Hijau di mana kamu boleh berjualan bebas. Ada banyak, panjang, 34


mungkin “lengkap”. Kalau menurut Penetapan Satuan Gabungan Khusus Penataan dan Pembinaan PKL (2012) zona merah ada 283, kuning ada 217, dan hijau 63. Sedangkan jumlah PKL di Bandung pada tahun 2012 adalah 20 326. Aku tidak tahu apa maksunya. Apa artinya PKL di Bandung ditargetkan hanya berjumlah 63 setelah proses “sapu bersih” oleh truk-truk itu, atau bagaimana. Lalu hal aneh muncul di pasal 29 ayat 2. Bahwa PKL di Bandung yang diperbolehkan ada hanya yang ber KTP Bandung. Mereka tidak memperhitungkan bagaimana orang-orang dengan KTP non-Bandung. Mungkin mudah bagi kamu bilang kalau memang walikota mengurusi penduduknya sendiri. Tapi sebuah kota yang mengesampingkan masalah urbanisasi, di saat kota tersebutlah yang “menarik” kehadiran mereka, bukanlah sebuah pemerintahan kota yang bertanggung jawab. Logika saya seperti ini. Kota melakukan pembangunan. Banyak orang tertarik untuk datang untuk berkunjung. Orang-orang berkumpul. Investasi naik karena melihat pasar. Pencari pekerjaan melihat bisnis yang dapat di dapatkan. Mulai dari makanan minuman merk mahal, menengah, hingga perorangan. Mereka semua melakukan hal sama: berdagang. Mereka memiliki KTP yang berbeda-beda. Tapi hanya KTP orang tidak bermodal tinggi yang dipermasalahkan. Kalau orang yang bahkan tanpa KTP, alias WNA, malah diperlicin surat pembangunannya. Dirikan bangunan di sini dan di sana. Menutup lahan dan mengalihfungsikan lahan. Lalu di Bab VIII Pembinaan dan Pengawasan PKL. Saya yakin belum pernah ada interaksi dalam hal Pembinaan antara pemerintah dengan PKL kecuali sesudah berita mereka akan di “re-lokasi”. Tapi kalau pengawasan. Beuh, saban hari di jabani. Pada akhirnya, sebelnya, banyak orang yang masih bercengkrama di balik perda seperti ini. PKL itu menyalahi aturan. Ada peraturan ini itu bla bla bla lalalaa. Kapan peraturan ini di buat? Dua hari setelah di undangkan Perda nomor 4 tahun 2012, PKL Dayang Sumbi di hancurkan. Ya, bukan di relokasi. Tapi di hancurkan dengan paksa jam 10.00 pagi. Saat masih ada orang makan di dalamnya. Saat barang dagangan mereka masih di sana. Dan kamu melakukan apa? Mengatakan mereka salah, iya?

35


Calon-calon pembuat peraturan, sadarlah! Kamu yang bikin peraturan. Kenapa kamu men-Tuhankan peraturan yang kamu buat sendiri? Kalau peraturannya ngga sesuai, buat apa di taati? Buat apa dijadikan pedoman? Kamu tahulah, hukum bisa disebut hukum bagaimana. Kalau membedakan subyek hukum dan obyek hukum saja masih ngga jelas, mana bisa di sebut hukum. Saya mendeklarasikan peraturan ini tidak berlaku secara sepihak. Begitu pula pengesahan peraturan ini yang juga sepihak oleh mereka. Begitu juga korban jiwa dan raga karena peraturan seperti ini, mari mengheningkan cipta. Untuk orang-orang yang menjualkan makanan dan menyediakan makanan setiap hari di dekat pintu-pintu gerbang untuk kita, mahasiswa. Dan untuk mahasiswa yang tidak pernah hadir di sana saat dibutuhkan. Mengheningkan cipta, mulai. Selesai.

Sumber 

Teori fungsi hukum menurut J.F Glastra Van Loon



Peraturan Walikota Nomor 888 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 04 Tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima .



Kelas pagi Das Kopitol

36


37


Ketika Kepentingan Mengambil Alih Atrian Rahadi

Indonesia, Negeri yang subur, gemah ripah lohjinawi. Seolah-olah biji buah yang terbuang dengan mudahnya tumbuh menjadi tanaman, air yang sangat melimpah, kekayaan alam yang luar biasa, hingga keanekaragaman hayati pun menjadikan iri negara-negara lain. Itulah ungkapan oleh sebagian orang dan mungkin tidak oleh sebagian yang lain. Gemah ripah lohjinawi kini bukan cuma milik rakyat Indonesia, tetapi juga milik orang-orang lain. Masihkah kita disebut tentram, makmur dan sejahtera? Tentunya sepintas jawabannya masih. Namun, coba dilihat dari sudut pandang lain, istilah tersebut mulai luntur dan menghilang untuk mendeskripsikan Indonesia saat ini. Tiada hari tanpa cerita, tiada hari tanpa derita. Layaknya koin yang memiliki dua sisi yang saling berkebalikan dan berlawanan. Tidak sedikit penduduk Indonesia yang pada dasarnya mampu membawa Indonesia menjadi Negara maju. Tidak asing di telinga kita dengan nama B.J Habibie, Ricky Elson, Dr. Warsito, dan masih banyak lagi. Mereka baru segelintir (kalau bisa dibilang) ilmuwan-ilmuwan asal Indonesia, yang memiliki karya dan hak paten yang mendunia dan banyak digunakan oleh negara-negara maju. Indonesia tidak kalah dengan Negara lain. Entah apa yang salah di negeri ini, ketika orang-orang hebat susah bergerak di negeri sendiri. Bahkan keleluasaan para cendekiawan Indonesia terhambat oleh regulasi di negeri sendiri, atau bahkan terhambat oleh kepentingankepentingan politik sehingga akan menguntungkan pihak tertentu. Yang seharusnya negeri ini mampu mengelola kekayaannya sendiri, namun dengan mudahnya perusahaan asing mengelola sumber daya alam Indonesia. Tidak jarang kita temui isu-isu panas yang menyangkut hajat orang banyak, hingga berujung pada kerugian negara dan berdampak langsung pada kesejahteraan rakyat. Ketika suatu program atau proyek, yang awalnya sebuah amanah dari rakyat dan untuk rakyat, berubah menjadi ambisi oleh kepentingan tertentu. Yang mungkin hanya bisa dinikmati orang kaya maupun konglomerat. Ketika itulah nafsu duniawi mengambil alih. Atau mungkin karena kebodohan dan ketidakkritisan kita dalam menghadapi

38


realita saat ini, seolah-seolah kita membiarkan tikus-tikus rakus mengambil alih kekuasaan. Rasanya angin segar akan segera menghampiri negeri ini. Mungkin ada yang sudah mendengar mengenai Blok Masela? Ya, Blok Masela merupakan kawasan kilang LNG yang terletak di laut Arafura, Maluku. Dengan potensi gas bumi yang sangat melimpah, diharapkan dapat meningkatkan penghasilan Negara dan mewujudkan suatu lapangan kerja yang luas bagi rakyat Indonesia, khususnya masyarakat Maluku. Namun bukan Indonesia jika tidak ada masalah. Kegaduhan ini muncul pada tahun sekarang, mengenai posisi kilang LNG dari pengembangan Blok Masela, apakah di darat (OLNG) atau di laut (FLNG). Silang pendapat terjadi antara Menteri ESDM Sudirman Said yang mengusulkan dibangunnya floating liquefied natural gas (FLNG) dan Menteri Koordinator Kemaritiman Rizal Ramli yang mengusulkan dibangunnya Onshore Liqufied Natural Gas (OLNG). Hal ini menunjukkan kekurangharmonisan dalam kabinet. Presiden Jokowi pun akhirnya memutuskan untuk pembangunan kilang LNG di darat atau OLNG. Dalam sudut pandang lain, proyek blok Masela ini menunjukkan bahwa Indonesia masih belum mampu mengelola SDA nya sendiri, yang mana Blok Masela kini dikembangkan oleh Perusahaan Inpex Masela Ltd dan bekerja sama dengan Shell. Banyak berita yang selama ini tersebar bahwa proyek ini akan membuka lowongan bagi para sarjana-sarjana baru Indonesia. Akan membuka peluang kerja bagi ribuan rakyat Indonesia. Akan menjanjikan masa depan yang baik untuk Indonesia. Tetapi, yakinkah kita pernah mencari tau nya secara detail akan rencana di dalamnya? Yakinkah semua diuntungkan dengan proyek besar yang jelas akan berdampak pada Negara kita nantinya? Bersamaan dengan itu, akhir-akhir ini proyek reklamasi Teluk Jakarta atau Pantai Utara Jakarta tengah menjadi sorotan . Yaitu sebuah megapro yek yang supermahal dan dengan keuntungan yang menggiurkan bagi para perusahaan atau pengembang. Bagi yang belum tau, reklamasi adalah pengurukan kawasan air dengan tanah hingga menjadi daratan yang bisa digunakan sebagai lahan untuk berbagai keperluan, seperti kompleks perumahan, perkantoran, atau tempat wisata. Megaproyek yang dimulai sejak tahun 1980-an ini kini sedang terjerat masalah yang besar. Mulai dari perdebatan yang berkepanjangan mengenai dasar hukum kelanjutan proyek ini, hingga kasus korupsi pun turut mewarnai pelaksanaan megaproyek ini. 39


Yang semakin membikin miris yaitu megaproyek yang membutuhkan dana triliunan rupiah ini dipermainkan oleh oknum-oknum tertentu untuk kepentingan mereka sendiri yang melibatkan wakil rakyat dan salah satu perusahaan pengembang proyek ini. Disini saya tidak akan mengkaji tentang mana yang benar dan mana yang salah. Karena yang terpenting, rakyatlah yang menjadi prioritas. Mungkin ada yang menganggap bahwa reklamasi ini cenderung berpihak dan mengutamakan pihak swasta serta mengesampingkan kehendak masyarakat, selain itu juga merusak lingkungan. Bahkan kalaupun sudah jadi, hanya kalangan-kalangan atas saja yang bisa menikmatinya. Ingat, bahwa bumi, air, dan segala kekayaan di dalamnya adalah milik negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Indonesia, sudah berapa masalah berada di pundakmu. Tidak kah kau bosan melihat banyak kasus korupsi menjerat banyak orang, mulai dari rakyat biasa sampai setingkat wakil rakyat. Tidak kah kau bosan melihat unjuk rasa yang setiap hari pasti ada. Mereka yang menuntut hak-hak mereka di depan gedung DPR/DPRD, tidakkah itu menunjukkan kurang tentramnya kondisimu sekarang. Ketika aksi dipandang radikal dan brutal, dan ketika diam seolah-seolah dipandang benar, meski sejatinya tidaklah selalu seperti itu. Ketika pergerakan para intelektual negeri dibatasi hanya untuk kepentingan politik semata. Ketika suatu trobosan inovasi yang mampu membanggakan negeri, karena dirasa merugikan kelompok tertentu, kemudian karya tersebut diklaim gagal. Ketika propaganda golongan tertentu meluas dan meracuni orangorang awam supaya mereka tunduk patuh pada golongan tersebut layaknya budak. Ketika pemikiran-pemikiran kritis dimatikan, karena dapat menganggunggu rencana-rencana halus dengan iming-iming harta. Akhirnya kita mengetahui bahwa kebenaran sulit untuk diperjuangkan karena telatnya kesadaran kita.

40


41


The Obscurity of National Gasoline Price Tag Vincent Bunardi

This writing is based on the outcome from the Institut Teknologi Bandung Student Board Ministry of National Research discussion about the gasoline pricing on March 28th, 2016. The credit of this writing goes to PATRA, student society of petroleum engineering, for hosting this discussion and, especially, Mr. Prayudha Rifqi as the coordinator of the energy sector discussion and alongside Mr. Irul as the speakers. The national gasoline price has been a never ending concern for every people in Indonesia. Gas has been a very precious good for Indonesian yet it is, inevitably, also one of the most sensitive goods in the term of pricing. Gas is very vital for Indonesian since that Indonesia’s majority revenue comes from commodity transactions rather than service inquiries. Moreover, the fluctuating rate of the gasoline price may effect the whole country, even to its smallest component. Based on the energy philosophy, the government has the responsibility to ensure that energy is accessible, available, affordable, sustainable and also simple. Pertamina, alongside with another petroleum companies in Indonesia, is expected to fulfill the national needs of gasoline yet to maintain the price of the gasoline in order to keep aligned with people’s buying power, national profit or loss projection, spending allocation, et cetera. Moreover, it faces external problems such as the declining world economy, the fluctuating rate of crude oil prices, and so on. As far as we know, the pricing of the national gas has been obscure for the citizens. The Student Board Ministry of National Research is trying to find out what aspects are really fundamental in term of controlling the gasoline price.

42


The Importance of Knowing the Basis of the Pricing

Exhibit 1. The Premium Type Gasoline Pricing From Exhibit 1, it can be concluded that the gasoline pricing has barely been in volatility for a long time. The price of the octane 88 gasoline, the most used gasoline by Indonesia citizen, is always increasing.

Exhibit 2. Indonesian Inflation Rate in the past ten years. The increase in gasoline price is really affecting the national inflation rate. From Exhibit 2, it can be known that the increase in gasoline price in the mid 2005 makes a jump in inflation rate by as high as twenty percent. Although that the inflation rate jumped by the time, the government successfully maintained the butterfly effect of the increase and kept the economy for running smoothly. And from the graph also, it can be known that 43


the changes in oil price may be one of the most significant factors that affect the inflation rate in a country. Yet, the good news is that Indonesia do not rely on oil product for its income statement and, thus, Indonesia has the capability to reduce the backfire from oil price increases. However, the changes in oil prices will affect the life of every people in Indonesia.

What are the Challenges on Keeping the Price Steady?

Exhibit 3. National Oil Production vs. Consumption Gasoline is really the backbone of the national energy demand, contributing as high as 37% of the primary energy needs. Keeping up the gasoline price would be very important for Indonesian. In the other hand, Indonesia faces problems on keeping the price steady. Indonesia only reserves 0,5 percent of the world total oil reserves but yet to fulfill the national oil demand up to 1,6 million barrels per day. By the time, Indonesia only has three oil rigs to fulfill all Indonesian oil demand. The problem is Indonesia can not fulfill the in-state demand. The condition made Indonesia to be one of the established oil importers. Elaborating the fact that Indonesia really depends by oil produced from oil exporter countries, theoretically the OPEC.

44


Organization of Petroleum Exporting Countries But we find the fact that most of the oil imported to Indonesia come from Singapore. This is quietly unexpected because Singapore does not have any oil rigs to produce the oil but has oil and offshore companies HQ for Asia Pacific located in Singapore. The fact is ridiculous because it shows the fact that Indonesia is disadvantaged by some countries multilateral agreement.

The impact of being overdependent for such an important good is really obtrusive. For your information, Indonesia is using the Mean of Platts Singapore (MOPS) as the basis of the national oil pricing and it shows how much is the impact from the market in Singapore directly into the national market. We surely can’t find on the reason why Indonesia is using MOPS as the basis for national oil pricing rather than the purchasing power of the Indonesian itself. We believe that the national pricing will be at its best if compared with the Indonesian people purchasing power itself. The government needs to ensure on what should be focused on making the oil price more acceptable by the citizens and the government needs to recalculate how much is the actual price of gasoline per liter. As far as we know, the reason why the government does not use the basic formula of 45


pricing: actual price + retailer profit margin + tax, et cetera is because of the lack of knowledge on finding the actual price per liter for ready-to-consumed gasoline.

Our Recommendations Indonesia faces some external and internal problems on making the price steady but we believe that Indonesia can make major development in such areas: 1.

Improve the National Oil Production Capacity. We believe that the current oil rigs can not fulfill the national oil demand and, with the fact that the oil demand is always increasing, the only solution is to establish more oil rigs. The Ministry of Energy and Mineral Resources of Indonesia has a plan to establish 6 more oil rigs and raise the national production capacity into 3,2 million barrel per day.

2.

Increase older oil rigs efficiency. Operating since 1994, Balongan is the newest oil rig in Indonesia. Yet, the performance of the oil rigs is declining by the time and it is important to enhance their efficiency all over again.

3.

Consider the actual price of gasoline per liter and purchasing power of the citizens. We believe that not having actual price for each liter gasoline produced can be really a missing link of the national oil pricing basis. Moreover, having a big data consists of the actual price, preferred profit margin, and people’s purchasing power can help the government to prioritize the most effective subsidy for the people.

4.

Get advantage in oil trade by making trade partnership another country. If importing cheaper oil from another country can be done, it means that we would have a better oil pricing for Indonesian people.

46


47


Ke Mars Atika Almira

Gusur saja gusur Mereka yang bodoh itu tak pernah tahu Bahwa mereka ada di tanah milik negara Negara yang katanya ada untuk menyejahterakan manusia

Usir saja usir Hingga mereka jauh dari pusat kota yang gemerlap Mereka yang tak punya ilmu dan keahlian hanya layak ada di pinggiran Jauh dari jalur-jalur MRT yang nyaman untuk para eksmud Tak terjangkau dari taman-taman cantik

Biarkan mereka minggir Jika kebodohan mereka meminta untuk tetap bertahan kirim saja alat berat Hancurkan bangunan kumuh yang mereka bangun Kota kita hanya layak diisi bangunan pencakar langit yang mendatangkan uang lebih banyak bagi kota Kota kita masih butuh banyak jalan raya agar mobil-mobil mewah bisa melaju dengan tenang

48


Usir spaja Agar mereka yang tak punya uang dan tak juga memberi pemasukan pajak bagi kota sadar bahwa mereka tak perlu ada di sini Kalau perlu kirim mereka ke Mars Ah, sayangnya mereka terlalu miskin dan juga bodoh untuk itu, untuk bisa pergi dari bumi

49


Mengapa PKL Bandung Bergerak? Luthfi Muhammad Iqbal

Dengan nama Tuhan, yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang; Seringkali kita gagal memahami, bahwa diamnya orang-orang yang tahu, ialah pengkhianatan, karena ia membiarkan ilmunya, pengetahuannya terbeli. Terkadang kita tidak menyadari, bahwa diam, adalah bentuk sikap kesetujuan secara tidak langsung. Padahal, semestinya apabila kita melihat kemungkaran maka hendaknya kita mengubahnya dengan sekuat kuatnya kuasa yang kita miliki; jika tidak mampu, maka dengan sekuat kuatnya nasihat kita, baik dalam ucapan maupun tulisan; jika tidak mampu juga, maka dengan ketidaksetujuan hati dan perasaan; dan yang demikian adalah selemah lemahnya perjuangan sebagai manusia yang memiliki kesempatan lebih untuk mengakes pengetahuan. Jum’at, 15 April 2016 ialah sebulan peristiwa Relokasi PKL Purnawarman ke Parkiran Terbuka BEC, dimana PKL dan relawan dari 50


berbagai komunitas melakukan Aksi menuntut adanya kepastian akan janji yang diberikan sebulan yang lalu. Dengan tagar gerakan #TataDiri #TolakRelokasi, aksi diawali setelah Ibadah shalat Jum’at dengan pemblokiran Jalan Purnawarman, dilanjutkan dengan pawai gerobak ke lokasi Balaikota Bandung, diteruskan aksi diam #OccupyBalkot hingga pada akhirnya dibubarkan secara paksa oleh Polisi featuring Satuan Polisi Pamong Praja Sabtu sore, 16 April 2016 yang mengakibatkan beberapa Gerobak yang digunakan sebagai properti aksi disita, dan mengalami kerusakan. Tuntutannya sederhana: (1) Menagih janji akan perbaikan sarana di lokasi relokasi dan janji promosi sentra PKL purnawarman, serta (2) Memohon izin untuk tetap berjualan di trotoar selagi janji nomor 1 belum dipenuhi. Alasannya sederhana: untuk menyambung hidup para pedagang dan keluarga, yang memang tidak semuanya orang Bandung. Tapi mereka semua orang Indonesia! Semoga dengan ditulisnya tulisan ini, bisa menyembuhkan dilema mahasiswa dalam bersikap dan kenyinyiran kelas menengah yang setengah sadar (pseudoconscious) dalam menanggapi isu PKL yang sedang hangat belakangan ini.

Definisi PKL (What is PKL?) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No 41 tahun 2012, Pedagang Kaki Lima, yang selanjutnya disingkat PKL, adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap. Pada konsiderans dalam peraturan yang sama kegiatan pedagang kaki lima diakui sebagai salah satu usaha ekonomi kerakyatan yang bergerak dalam usaha perdagangan sektor informal perlu dilakukan pemberdayaan untuk meningkatkan dan mengembangkan usahanya; Namun, karena peningkatan jumlah pedagang kaki lima di daerah telah berdampak pada terganggunya kelancaran lalu lintas, estetika dan kebersihan serta fungsi prasarana kawasan perkotaan maka diperlukan penataan pedagang kaki lima.

51


Sehingga tidak bisa digeneralisasi, jika keberadaan PKL di Kota itu melanggar peraturan, karena justru, diakui dalam peraturan perundangundangan dan bahkan kegiatan sektor informal diakomodir dan dilindungi oleh Undang-Undang Penataan Ruang No 26 tahun 2007 Pasal 28.

Keadaan Alamiah dan Sebab-musabab keberadaan PKL? (The Nature and Causes of PKL) Jika dilihat dipermukaan secara mikro, kekumuhan, kemacetan, ketidakindahan, pengambilan hak pejalan kaki ialah dampak dari keberadaan PKL. Namun, apabila ditarik ke tataran makro, PKL ialah dampak dari fenomena Urbanisasi semu (Pseudourbanization). Semua soalnya ada di desa. Tingkat upah desa rendah, keragaman peluang kerja di desa rendah, menyebabkan tekanan kemiskinan pada masyarakat perdesaan, sedangkan homogenitas perekonomian perdesaan, kurang dapat menyerap tenaga kerja yang ada, sehingga akan sulit bagi mereka untuk melakukan mobilisasi vertikal (pindah kelas), merangkak meraih kehidupan yang lebih sejahtera. Maka dari itulah, mereka melakukan mobilisasi horisontal (migrasi) ke kotakota untuk mendapatkan kesempatan kerja yang lebih beragam dengan upah yang lebih tinggi. Akan tetapi, keterbatasan kapasitas keahlian mengakibatkan mereka kesulitan untuk menembus sektor formal yang modern, sesuai standar kota, sehingga keberadaan mereka (para migran) melahirkan sektor informal perkotaan yang kian membengkak. Fenomena ini menjadi tantangan bagi pemerintah kota yang berusaha menciptakan kota yang nyaman, bersih, indah karena harus berbenturan dengan kepentingan sejumlah tenaga kerja yang terlempar dari kawasan perdesaan. Hal yang menjadi paradoks ialah, disatu sisi tren global menuju kearah pembangunan kota yang inklusif (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/SDGs No-11: Membangun Kota Inklusif, Aman, Berketahanan dan Berkelanjutan), pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan program pembangunan untuk mengurangi kemiskinan, pemerintah daerah melakukan penertibanpenertiban terhadap ekonomi informal. Dalam lingkup lokal, sektor informal masih dipandang sebagai black economy, tidak resmi, mengganggu ketertiban kota, dan dianggap merusak pranata formal. 52


Pengaturan PKL Bandung (PKL Bandung Regulation) Terdapat dua sistem pemanfaatan ruang, yaitu pemanfaatan ruang yang didasarkan pada kepastian hukum yang berupa peraturan Zoning (Regulatory System) dan pemanfaatan ruang yang proses pengambilan keputusannya didasarkan pada pertimbangan lembaga perencanaan yang berwenang untuk masing-masing proposal pembangunan yang diajukan (discretionary system). Penataan PKL: Regulatori atau Diskresi? Dengan adanya Perda No 18 tahun 2011 tentang RTRW Kota Bandung 2011-2031, Pasal 50 Rencana Kawasan Budidaya meliputi ruang untuk sektor informal (poin g.); Pasal 52, Rencana pengembangan kawasan perdagangan dan jasa juga meliputi sektor informal (poin c.); Pasal 57 Pengembangan ruang sektor informal dibatasi di ruang publik yang diperbolehkan dan tidak (poin a.) terdapat kewajiban dan insentif bagi sektor formal paling kurang 10% untuk kegiatan informal (poin b.) hanya diperbolehkan pada lokasi dan waktu tertentu sesuai yang ditetapkan (poin c.) dan pembatasan gangguan terhadap K3 (ketertiban, kebersihan dan keindahan kota). PKL sebagai salah satu bentuk kegiatan informal pemanfaatan ruangnya menggunakan pendekatan sistem Regulatory, dimana sektor informal diatur di tempat yang diperbolehkan dan yang tidak. Keberadaan Peraturan Daerah no 4 tahun 2011 tentang Penataan PKL yang dilengkapi oleh Peraturan Walikota no 888 tahun 2011 menegaskan aturan yang lebih rinci tentang zonasi merahkuning-hijau dari tempat yang dilarang, diperbolehkan bersyarat, dan diperbolehkan, sehingga semakin menegaskan bahwa sistem yang dipakai ialah Regulatory. Sedangkan pada Perda K3 Pasal 37 poin d. Setiap orang dilarang berusaha atau berdagang di trotoar, jalan/badan jalan, taman jalur hijau dan tempat yang bukan peruntukannya tanpa mendapatkan ijin walikota. Disini Walikota menjadi pemberi pertimbangan izin yang menjadikan pendekatan pemanfaatan sarana yang disebutkan diatas menggunakan pendekatan Discretionary atau diskresi. Sehingga wajar, apabila trotoar diberikan bebatuan bundar sebagai street furniture and decoration meski mempersempit ruang bagi pejalan kaki, tapi apabila mendapat ijin walikota, menjadi tidak bertentangan dengan Peraturan. Atau dibangun pos polisi yang memakan bagian Damija (Daerah 53


Milik Jalan) tanpa ada sempadan bangunan seperti di pengkolan simpang atau pos Satpol PP di Purnawarman yang berada di tengah-tengah jalur pejalan bagi disabilitas, asalkan mendapat ijin walikota, maka boleh-boleh saja. Lalu bagaimana supaya para PKL mendapat ijin walikota untuk berusaha di trotoar? Mereka sebenarnya bisa saja sesuai dengan peraturan asalkan mendapat ijin walikota. Mungkin karena mereka melanggar keindahan, sehingga ijin tersebut tidak bisa dikeluarkan oleh Walikota, wallahu’alam. Peraturan Zonasi PKL: the Impossible Zero Growth Kebijakan Zero Growth ialah mengatur supaya tidak ada penambahan jumlah PKL, dan untuk di zona merah ialah menjadi tidak ada sama sekali. Tapi dari asal mula penetapan zonasi dalam Perda No 4 tahun 2011 maupun pada Perwal No 888 tahun 2012 masyarakat umum tidak berhak tahu apa alasannya. Pada tanggal 12 April 2016 kami mencoba meminta keterangan dokumen Naskah Akademik Perwal No 888 tahun 2012 ke Bagian Hukum dan HAM Sekretariat Daerah Kota Bandung, namun dengan alasan inventarisasi dan pengarsipan yang kurang baik, NA tersebut dinyatakan sudah digudangkan dan sulit dicari. Keesokan harinya 13 April 2016, kami mencoba meminta keterangan dokumen Naskah Akademik Perda K3 2005 dan Perda No 4 Tahun 2011 ke Bagian Persidangan dan Arsip Sekretariat DPRD Kota Bandung, NA tersebut dinyatakan tidak untuk diketahui publik karena hanya sebatas pertimbangan dalam penyusunan Perda, karena bisa jadi berlainan dengan Perda yang disusun dan berpotensi menimbulkan polemik. Cukup tau. Dalam hal ini, terkadang kita secara setengah sadar berkata “Ngapain kita ngebela PKL, mereka melanggar Aturan!� Tapi apakah kita yakin peraturan yang dibuat itu benar? Peraturan mana yang dirujuk? Zero Growth PKL, yang ditetapkan menjadi landasan kebijakan, tidak mungkin tercapai, tanpa adanya pendekatan yang lebih komprehensif yakni: Zero Growth Urbanization itu sendiri. Bagaimana? Menahan laju migrasi desa-kota ke Bandung, menjalin kerjasama antar daerah supaya Bandung juga dapat turut berkontribusi menumbuhkan kegiatan-kegiatan di desa-desa sekitar, menciptakan lapangan kerja baru dengan upah yang layak, supaya tidak perlu ada penambahan PKL. Sulit? Tentu! Kompleks? Sangat! Planning the Misunderstanding 54


Penetapan zonasi dipandang tidak efektif, karena gagal melihat persoalan yang ada. Pembeli PKL itu tidak secara alami direncanakan, melainkan keputusan yang spontan dari perilaku melihat-lihat (sightseeing), rekreasi, dan daya tarik untuk membeli, kualitas medium-rendah, harga murah, dan interaksi transaksi kelas menengah bawah yang memiliki batasan atau limitasi daya beli. Sehingga relokasi ke tempat baru itu seringkali mendapatkan penolakan karena karakter ruangnya berbeda dengan sifat interaksi kegiatan distribusi PKL yang memiliki kekhasan konsumen seperti yang dijelaskan diatas. Di 2012, dalam peraturan, ditetapkan 283 zona merah, 217 zona kuning, dan 63 zona hijau untuk menempatkan PKL. Sedangkan zona hijau sendiri di tempatkan di lokasi-lokasi yang cenderung sepi dan tidak ada daya tarik. Sedangkan jumlah PKL (Februari 2016) ada sebanyak 20.326 jiwa. Sehingga ada sebanyak 330 PKL di setiap zonanya yang harus ditempatkan, atau 75 PKL setiap zona jika zona kuning juga digunakan.

Konteks Persoalan: PKL Purnawaman Dalam Peraturan Walikota 888 Tahun 2012 Pasal 20 dijelaskan Zona Kuning dibagi berdasarkan waktu dan tempat, diperbolehkan berdagang dengan ketentuan untuk hari minggu, waktu berdagang dibatasi pukul 4-10 WIB, sedangkan untuk aneka komoditi dibatasi mulai jam 10-18 WIB. Menariknya, Jalan Purnawarman masuk ke Zona Kuning Aneka Komoditi, (Pasal 22, Poin 232). Jadi bila begitu apa yang sebenarnya dilanggar oleh mereka? Toh di perwal tersebut PKL Purnawarman ialah ZONA KUNING! (meskipun seperti keterangan yang telah penulis jelaskan diatas, landasan naskah akademik baik Perda dan Perwal tidak dipublikasikan kepada masyarakat luas, sehingga penentuan zonasi pun apa landasannya tidak dapat diketahui dengan baik)

Persoalan, Alternatif, dan Rekomendasi Umum Kebijakan (General Problem, Alternative and Recomendation of PKL Policy) Lesson Learned dari peristiwa ini diantaranya telah diterangkan dalam hasil Kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Administasi Internasional 55


Lembaga Administrasi Negara tentang kebijakan Pengelolaan Sektor Ekonomi Informal Perkotaan 2007: Persoalan Kebijakan •

Keberadaan sektor informal semakin meningkat, pada tahun 2007, sekitar 70% tenaga kerja berada di sektor informal

•

Modernisasi sektor perdagangan dan jasa semakin mendesak keberadaan pasar tradisional dan sektor informal. Revitalisasi seringkali menggeser lokasi strategis pedagang asalnya. Kios di dalam pasar yang sudah direvitalisasi berubah fungsi jadi gudang, dan pedangan menjual secara kaki lima di depan pasar

•

Relokasi PKL yang dilakukan oleh Pemda kurang mendapatkan respon PKL, karena dengan pendekatan Designer Knows Best, Government Knows Best, Planner Knows Best strategi relokasi itu sendiri kurang melibatkan PKL sejak dalam proses perencanaan, sehingga kurang sejalan dengan kebutuhan PKL, dan menimbulkan konflik dan penentangan

Alternatif Kebijakan •

Berkaitan dengan pengembangan sektor informal, peran pemerintahan nasional dan lokal dalam hal aktivitas usaha semestinya (1) mempromosikan hubungan positif dengan ekonomi informal, dengan paradigma ekonomi informal inilah tempat persemaian pertunbuhan ekonomi yang dinamis dan dapat dimanfaattkan dan dirawat untuk menguntungkan para pekerja (2) menekan efek negatif dari informalisasi (3) menciptakan transisi dari status informal menjadi formal (formalisasi sektor informal), misal menyediakan insentif kredit apabila berstatus formal supaya memudahkan permodalan dan tidak terjerat hutang kepada rentenir

•

Kebijakan pemerintah harus peka terhadap karakteristik dan aspirasi para pelaku ekonomi informal tersebut. Semestinya pilihan kebijakan tidak mengurangi peluang perolehan penghasilan PKL. Kebijakan relokasi, kenyataannya seringkali mengurangi penghasilan PKL. Karena kebijakan yang ada cenderung parsial, permisif dan elitis, maka semestinya pelaku sektor informal lebih dilibatkan dalam proses pembuatan kebijakan kota, dengan demikian maka sebetulnya ada 56


kebutuhan untuk menggeser paradigma kebijakan dari pemindahan lokasi ke pendidikan dan integrasi struktural •

Perlu adanya penciptaan forum stakeholder pembangunan perkotaan untuk meningkatkan partisipasi dan akses ke proses pengambilan keputusan, supaya dapat dihasilkan bentuk penataan dan pembinaan yang sejalan dengan kepentingan berbagai pihak

Keberadaan usaha kecil dan sektor informal yang merupakan salah satu diantara bentuk dari ekonomi kerakyatan, keberadaanya di era otonomi daerah merupakan potensi yang harus digali dan dikembangkan karena dapat menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang masif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana tujuan pembangunan daerah

Ekonomi informal adalah penyangga distorsi sistem ekonomi. Peranannya sangat penting, sehingga harus diselesaikan dengan politik dan kebijakan ekonomi yang tepat diantaranya menciptakan kebijakan yang ramah bagi ekonomi informal, aturan main yang ramah terhadap pelaku ekonomi, kecil maupun besar, program perkuatan keterampilan, keuangan dan manajemen, dan lain sebagainya Rekomendasi Kebijakan

Strategi relokasi harus melibatkan PKL dari mulai perencanaan

Pemerintah sebagai pengembang publik, meredistribusikan sumber daya perkotaan secara berkeadilan (Equitable Urban Resource Distribution)

Kebijakan pengembangan ekonomi informal harus lebih diarahkan pada pemberdayaan ekonomi rakyat

Memaksimalkan sumberdaya lokal

Pembentukan infrastruktur pendamping yang membantu pelaku sektor informal dalam menghadapi lembaga pembiayaan (rentenir), mengadopsi teknologi dan mengakses pasar luas

Lembaga penjamin kredit dari pemerintah daerah, atau inovasi pembiayaan lainnya seperti mudharabah (bagi hasil) yang memungkinkan ekonomi informal mendapatkan akses terhadap kredit 57


(Program Kredit Melati yang diluncurkan RK semestinya sudah menutupi kendala ini) •

Penggunaan teknologi yang berbasis pengetahuan lokal bekerjasama dengan perguruan tinggi, sehingga ketergantungan terhadap teknologi berbiaya tinggi harus segera diakhiri

•

Pemda harus menyediakan informasi bagi pelaku sektor informal terkait peluang pasar dan pemanfaatan teknologi supaya dapat mengakses pasar nasional dan internasional bukan hanya pasar lokal

Rekomendasi Sikap 1.

Mendesak Pemerintah Daerah dan DPRD Kota Bandung untuk MENINJAU KEMBALI Peraturan Daerah Kota Bandung No 03 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan; Peraturan Daerah Kota Bandung No 4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima; Peraturan Walikota Bandung No 888 Tahun 2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kota Bandung No 4 tahun 2011 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima dengan melibatkan peran serta PKL dalam perumusan kebijakan yang baru

2.

MENGAWAL Setiap proses relokasi atau penataan PKL supaya dilaksanakan melalui proses komunikatif, partisipatif, dan memperhatikan karakteristik dan aspirasi para PKL selaku pelaku ekonomi informal

Epilog Semoga Warga Bandung, tidak buta, terjebak pada lamunan dan citra Kang Emil bukan nabi ke-26, dan sebagai Walikota tentu beliau tidak bisa bekerja sendiri Perlu ada masyarakat yang tetap mengingatkan, tetap kritis dan solutif mengawal pembangunan kota kita, bukan menjadikan pak Wali jadi Lupa Diri! dengan segala pemujaan dan pengkultusan Bapak tidak perlu melanggar peraturan demi kemanusiaan, Bapak hanya perlu membuat peraturan baru yang lebih ramah kemanusiaan :’) 58


Semoga nurani tetap menyala untuk mengawal #BandungJuara Referensi •

www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2007_26.pdf

http://www.un.org/sustainabledevelopment/cities/

http://penataanruang.pu.go.id/bulletin/index.asp?mod=_fullart&idart= 122

bit.ly/PKLBandung

http://article.sapub.org/10.5923.j.ijas.20160602.01.html#Sec3

http://www.vtpi.org/tdm/tdm133.htm

http://www.makingpolicypublic.net/index.php?page=vendor-power

*Foto Cover: PKL di kota Seoul, menunjukkan pembagian yang harmonis antara ruang trotoar bagi PKL, pejalan kaki dan bahkan tidak mengganggu jalur disabilitas (y)

59


Sejarah Panjang Perjalanan Blok Masela Prayudha Rifqi Safiraldi

Gambar 1. Peta Blok Masela (Sumber: www.kompasiana.com) Jauh di tenggara bumi pertiwi ini ternyata terdapat ladang gas yang sangat besar! Blok Masela namanya, berada di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan berbatasan langsung dengan negara tetangga Australia. Blok ini terletak di Laut Arafura dengan luas kurang lebih 4.291,35 km², letaknya sekitar 800 km sebelah timur Kupang, Nusa Tenggara Timur atau sekitar 400 km di utara kota Darwin, Austalia, dengan kedalaman laut mencapai 500–800 meter.

60


Kegiatan Eksplorasi Awal INPEX Ltd, perusahaan raksasa minyak dan gas asal negeri matahari, mendapatkan hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi di Blok Masela melalui penandatanganan kontrak Masela PSC (Production Sharing Contract) pada tanggal 16 November 1998. Kontrak blok ini akan berakhir pada tanggal 15 November 2028. INPEX menggandeng perusahaan besar lainnya untuk melakukan eksplorasi blok ini, yaitu Shell Ltd. Kelak, eksplorasinya akan dikelola oleh gabungan INPEX (65%) dan Shell (35%). Kegiatan eksplorasi migas ini diserahkan melalui anak perusahaanya, INPEX Masela Ltd, yang didirikan pada tanggal 2 Desember 1998. Kegiatan eksplorasi pertama yang dilakukan adalah survey seismik 2D yang dilakukan pada tahun 1999. Dari hasil survey seismik 2D tersebut, INPEX menemukan indikasi adanya jebakan hidrokarbon. Sehingga, pada tahun 2000 dilakukan pengeboran sumur eksplorasi pertama yaitu sumur Abadi-1 dan ditemukan Lapangan Abadi yang terletak di tengah-tengah struktur Abadi. Kedalaman laut pada lapangan ini sekitar 450 meter dan total kedalaman pemboran 4.230 meter. Dari tes uji kandungan sumur Abadi-1 ini, yang dilakukan pada batu pasir Formasi Plover, dialirkan gas sebesar 25 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) dan 260 BOPD (barel minyak per hari). Pada tahun 2001 diadakan kegiatan eksplorasi kedua yang diawali dengan survey seismik 3D, dilanjutkan dengan kegiatan pengeboran tahap kedua dengan dua sumur delineasi, Abadi-2 dan Abadi-3 pada tahun 2002. Sumur Abadi-2 terletak lebih kurang lebih 13,5 km sebelah timur laut sumur Abadi-1, di bor pada kedalaman laut 580 meter dan total kedalaman pemboran 3.986 meter. Dari tes uji kandungan sumur Abadi-2 ini, yang dilakukan pada batu pasir Formasi Plover, dialirkan gas sebesar 18,6 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) dan 150 BOPD (barel minyak per hari). Sumur Abadi-3 terletak lebih kurang 16,5 km sebelah barat daya dari sumur Abadi-1,di bor di kedalaman laut 423 meter, dan total kedalaman 4.032 meter. Dari tes uji kandungan sumur Abadi-3 ini, yang dilakukan pada batu pasir Formasi Plover, dialirkan gas sebesar 13,8 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) dan 266 BOPD (barel kondensat per hari). Setelah melakukan berbagai kajian, pada tahun 2007–2008 kembali diadakan kegiatan pengeboran tahap ketiga dengan empat sumur delineasi, Abadi-4, Abadi-5, Abadi-6, dan Abadi-7.

61


Hasil dari kegiatan eksplorasi awal ini, Inpex menemukan cadangan gas yang sangat besar. Cadangan gas terbukti mencapai 6,7 TCF (triliun kaki kubik). Perkiraan cadangan yang dapat terambil saat itu mencapai 4,6 TCF dan kondensat sebesar 91,02 MMBO (juta barel minyak). Total biaya investasi diperkirakan mencapai US$ 4,99 miliar dan biaya operasi diperkirakan mencapai US$ 4,01 miliar. Sehingga, total biaya yang dibutuhkan untuk mengembangkan lapangan ini adalah sebesar US$ 9 miliar atau jika dirupiahkan akan menjadi 117 triliun rupiah. Angka ini bukan angka yang kecil, jumlah tersebut setara dengan 7 persen Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Pengajuan Pengembangan Proyek Kepada Pemerintah Pada tahun 2010, INPEX menyerahkan rencana pengembangan lapangan (Plan of Development/PoD) tersebut kepada pemerintah melalui SKK Migas. Skema yang diajukan oleh INPEX adalah skema pengekstrasian gas dari perut bumi dan diolah dengan fasilitas Liquified Natural Gas (LNG) terapung. Floating Liquified Natural Gas (FLNG) ini nantinya akan mengolah gas yang diambil tersebut dengan kapasitas sebesar 2,5 MTPA (Million Ton Per Annum). Gas yang telah diekstrak tersebut dapat memenuhi kebutuhan gas dalam negeri dan juga dapat menjadi pendapatan ekspor nasional. Pasar dunia memang sangat terbuka bagi Indonesia, mengingat bauran energi gas memang diramalkan akan bertambah secara eksponensial untuk memenuhi kebutuhan energi. Indonesia tak bisa menghindari bauran ini mengingat mesin–mesin konsumen energi kita adalah teknologi asing yang mengikuti tren dunia.

62


Gambar 2. Ilustrasi Floating Liquified Natural Gas (FLNG) (sumber: www.sbmoffshore.com) Kegiatan Eksplorasi Lanjut Tidak lama setelah Plan of Development pertama diajukan dan disetujui pada tahun 2010, INPEX melakukan kegiatan eksplorasi lanjut. Kegiatan ini dimulai dengan melakukan pemboran tiga sumur deliniasi (Abadi-8, Abadi-9, dan Abadi-10). Hasilnya ditemukan indikasi cadangan tambahan signifikan. INPEX lalu mengajukan sertifikasi besarnya cadangan kepada LEMIGAS dan direspon positif pada tahun 2015 dengan dikeluarkannya sertifikasi cadangan Blok Masela sebesar 10,7 TCF. Nilai cadangan yang bukan main besarnya. Seiringan dengan kegiatan pemboran yang dilakukan pada tahun 2013. INPEX melanjutkan program-program kerjanya yang telah disetujui bersama dengan SKK Migas. Lingkup proyek pengembangan lapangan gas Abadi meliputi pengeboran maksimum enam sumur produksi, pembangunan fasilitas bawah air (subsea development), pembangunan fasilitas pengolahan LNG terapung (FLNG), dan pembangunan fasilitas pendukung atatu logistik di darat (logistic shore base — LSB). Kemajuan Proyek Abadi, sebagai implementasi dari PoD pertama, selama tahun 2014 adalah sebagai berikut:

63


1.

Penyelesaian kajian FEED SURF (Front End Engineering and Design works for Subsea, Umbilical, Riser, and Flowline) pada 29 Januari 2014

2.

Izin lingkungan (AMDAL) diterbitkan pada 24 Juni 2014

3.

Penyelesaian kajian FEED FLNG 2,5 MTPA pada 19 September 2014. Dari hasil FEED didapatkan bahwa:

4.

Perkiraan total biaya investasi dan biaya operasi melebihi nilai dalam persetujuan PoD

5.

Masa pembangunan fasilitas produksi lebih lama dari perkiraan (persetujuan PoD-1)

6.

Rencana produksi diperkirakan mundur dari tahun 2018 menjadi tahun 2022

7.

Memulai pekerjaan FEED logistic shore base (LSB) pada 21 September 2014 dan dijadwalkan selesai pada Maret 2015

8.

Memulai proses pembebasan lahan untuk lokasi LSB

Tampaknya INPEX sangat serius untuk mengerjakan lapangan gas ini. Terlihat dari penyelesaian proyek dan izin-izin terkait yang telah disetujuinya dengan pemerintah. Hanya ada beberapa hal saja yang tidak sesuai yaitu membengkaknya nilai investasi, molornya masa pembangunan fasilitas produksi, serta rencana produksi yang diperkirakan mundur. INPEX tidak akan mungkin mengerjakan proyek-proyek bernilai ratusan triliun rupiah ini jika masa kontrak yang dimilikinya hanya sampai tahun 2028. Mereka hanya menikmati keuntungan bagi hasil selama kurang lebih enam tahun jika mengacu pada rencana produksi awal mereka pada tahun 2022.

Revisi Plant of Development Berangkat dari penemuan cadangan baru yang dilakukan selama selang waktu tahun 2013–2014, INPEX akhirnya memutuskan melakukan revisi PoD pertamanya. Kapasitas LNG yang dibangun akan ditambah menjadi 7,5 MTPA (Million Ton Per Annum). Naik 5 MTPA dari sebelumnya 2,5 MTPA. Wajar saja jika INPEX ingin menaikkan tingkat produksi gas pada lapangan tersebut mengingat cadangannya yang sangat besar. Selain itu, motivasi 64


meningkatkan kapasitas produksi ini hanyalah untuk mengambil keuntungan sebesar-besarnya ditengah deadline kontrak yang akan habis pada tahun 2028. Pemerintah sangat reaktif menanggapi maksud dari INPEX ini. Sejak proses pengajuan Plant of Development yang diserahkan kepada SKK Migas dan diserahkan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said sebagai Menteri ESDM melancarkan semua proses investasi ini sejak awal tahun 2015.

Permasalahan Utama. Permasalahan utama dalam keputusan Blok Masela justru tidak terletak pada perusahaan INPEX sebagai pengelolanya. Permasalahan yang alot dibahas justru terletak pada penentuan jenis kilang LNG itu sendiri, sebuah pabrik pengelolaan gas yang mengekstraksi gas dari perut bumi kemudian mengkapalkannya, yang akan dibangun pada 2020 mendatang. Penandatanganan investasi inilah yang kini tengah menjadi tarik ulur Pemerintah sebagai eksekutif negara yang akan menyetujui nilai investasi bernilai miliaran dollar AS ini. “Permasalahan utama dalam keputusan Blok Masela justru bukan terletak pada pengelolanya, melainkan pada penentuan jenis kilang LNG itu sendiri.” Tentu, Blok Masela akan menjadi sebuah pekerjaan dan proyek yang ‘mengenyangkan’ mengingat nilai investasinya yang besar, hampir senilai investasi yang disodorkan Freeport dalam kegaduhannya beberapa bulan lalu. Oleh karena itu, wajar jika pemerintah masih bimbang, apakah memilih FLNG (Floating Liquified Natural Gas) atau justru meletakkannya di darat menjadi OLNG (Onshore Liquified Natural Gas) dengan menggunakan sambungan pipa bawah laut yang cukup panjang. Kebimbangan ini yang menjadi opini individu setiap menteri dalam Kabinet Kerja karena kedua opsi memang memiliki kelebihan masing–masing. Disamping itu, masa investasi yang tak bisa menunggu lagi membuat Presiden Joko Widodo harus membuat keputusan secepatnya perihal investasi ini.

65


Saling Hitung, Adu Data, dan Saling Klaim yang Terbaik. Takdir berkata lain ketika Rizal Ramli diajak oleh Presiden Jokowi masuk ke dalam kabinet kerja lewat reshuffle jilid pertama. Rizal Ramli dipercaya oleh presiden untuk menggantikan Indroyono Soesilo menjadi Menteri Koordinator Kemaritiman dan Sumber Daya. Telah diatur dalam Peraturan Pemerintah bahwa tugas Rizal termasuk mengkoordinasikan kerjasama dengan menteri ESDM. Menko Rizal dikenal sebagai orang yang kritis terhadap kebijakan meskipun beliau berada di dalam pemerintahan. Terkenal dengan ‘kepretannya’ dan selalu kekeh pada apa yang menurut beliau itu benar. Tak terkecuali Blok Masela ini, beliau memiliki pandangan yang lain terhadap pengembangan blok ini. Berlatar belakang sebagai orang teknik dan ekonomi, Rizal Ramli melihat pengembangan menggunakan fasilitas LNG terapung hanya menjadi percobaan INPEX dan negara-negara besar semata. Menurut Rizal Ramli, fasilitas kilang gas ini sebaiknya justru dibangun di darat dengan menyambungkan pipa panjang di dalam laut menuju kilang yang kelak terletak di pulau terdekat. Masih menurut perhitungan Menko Rizal, fasilitas kilang akan menggairahkan ekonomi sekitar dari pelbagai sektor. Masyarakat pulau tersebut bisa membangun usaha kecil baru. Selain itu, infrastruktur dan pendapatan daerah tersebut akan meningkat drastis sehingga membuat kesejahteraan masyarakat meningkat. Diharapkan kelak Blok Masela dan pulau sekitarnya bisa menjadi ‘balikpapan kedua’, sebuah kota yang menjadi modern berkat industri migas. Apa yang diusulkan Menko Rizal adalah suatu hal baik, namun ternyata hal itu ditepis oleh Menteri ESDM. Sudirman Said yakin bahwa kilang LNG di darat membutuh capital expense atau modal biaya yang lebih tinggi. Biaya investasi onshore beserta pipa laut dalam bernilai 19,3 miliar dolar AS atau 30% lebih mahal dari harga modal konstruksi Floating Liquified Natural Gas (FLNG) yang konon katanya hanya membutuhkan biaya 14,8 miliar dolar AS. Keduanya diasumsikan berkapasitas produksi sama, yakni 7,5 MTPA (Million ton per annum), menurut Amien Sunaryadi yang merupakan Kepala SKK Migas. Selain itu, kesulitan konstruksi juga menghadang karena terdapat palung yang dalam diantara lokasi pengekstrasian gas dengan pulau terdekat. Palung tersebut memiliki cekungan sedalam 1.500 meter ke bawah permukaan Laut Arafura. Selain itu, biaya operasional di darat justru lebih mahal hingga 66


17% atau sebesar 356 juta dolar AS alih-alih biaya operasional FLNG yang sebesar 304 Juta Dollar AS. Menko Rizal tetap bersikeras dan menantang Sudirman Said dengan hitung-hitungannya. Menurut Rizal Ramli, pengembangan dengan menggunakan Onshore Liquified Natural Gas (OLNG) hanya mengeluarkan biaya sekitar 16 miliar dollar AS, bukan sebagaimana angka yang dikeluarkan oleh Sudirman Said yaitu 19,3 miliar dollar AS. Menurut beliau, palung laut yang dalam bukanlah merupakan hambatan utama. Berdasarkan pengalaman yang ada di Teluk Meksiko, Laut Utara, pipa Asia-Afrika, serta pipa gas Laut Hitam Russia-Turki, instalasi pipa panjang ini merupakan hambatan teknis yang sebelumnya telah dikaji dan bisa diimplementasikan. Selain itu, menurut Al Hilal Hamdi, mantan menteri tenaga kerja dan transmigrasi pada zaman Abdurrahman Wahid, dengan menggunakan kontraktor dalam negeri yang sudah memiliki berbagai pengalaman dalam membangun kilang di darat yang umum digunakan, potensi bauran total kandungan dalam negeri (TKDN) bisa mencapai 35% dari total proyek atau setara dengan 5,6 miliar dolar AS. Sedangkan, pembangunan LNG terapung dengan menggunakan kontraktor dalam negeri memiliki pengalaman dan pengetahuan yang minim hanya bisa menghasilkan TKDN sekitar 10% dari nilai proyek atau setara dengan 2,2 miliar dolar AS sehingga sisanya kelak adalah garapan tenaga asing. Hal senada juga diucapkan oleh Dwi Soetjipto. Direktur Pertamina ini menyatakan kesiapannya dalam berpartisipasi dengan Participating Interest hingga 25 persen. Disamping itu, pembangunan LNG Terapung (FLNG) Masela hanya menghasilkan penjualan 4 miliar dolar AS per tahun. Sedangkan jika dibangun di darat, selain menghasilkan 4 miliar dolar AS tadi, akan diperoleh pula tambahan tak langsung berupa penghasilan 5 miliar dolar AS per tahun dari proses gas menjadi industri petrokimia, pupuk, keramik, dll. Pada dasarnya, permasalahan Blok Masela mengerucut pada hitungan harga keteknisan dan kualitasnya. Antara murah namun tak menentu atau lebih mahal namun memiliki manfaat yang dirasa cukup banyak. Sebenanya, penggunaan kilang offshore adalah sebuah lambang kemajuan teknologi tinggi, operasinya tidak sesulit membua pipa sejauh ratusan kilometer jauhnya dari titik lokasi pengekstrasian gas. Selain itu, pengembangan lepas 67


pantai ini dapat menaikkan nilai manfaat kondisi geografis Indonesia yang memang sebagian besar wilayahnya merupakan lautan sehingga bidang perkapalan dan kemaritiman mendapatkan pengalaman lebih. Tetapi, sayangnya sifat kilang mobile ini menghilangkan cita-cita nuansa investasi habis manis sepah dibuang. Setelah semua gas telah terambil, tidak ada bekas yang tersisa bagi masyarakat sekitar blok tersebut.

Presiden Menjawab “Dari kalkulasi, perhitungan, dan pertimbangan — pertimbangan yang sudah saya hitung. Kita putuskan di darat.” — Presiden Joko Widodo Tak disangka-sangka oleh kita semua, Presiden Jokowi memutuskan hal ini semua dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Pasalnya, presiden bukanlah orang yang berlatar belakang sebagai orang perminyakan dan bukan juga berlatar belakang sebagai orang ekonomi. Namun, Jokowi menunjukkan kapasitasnya menjadi orang nomor satu di negeri ini. Terlepas dari perdebatan tentang pengolahan di laut atau di darat, keputusan yang cepat tersebut semata-mata hanya untuk mensejaterahkan masyarakat. Jika proyek ini ditunda-tunda, ketahanan energi gas Indonesia akan terganggu dimasa mendatang. Langkah presiden ini diapresiasi oleh banyak orang, termasuk masyarakat maluku yang memang mayoritas menginginkan pengolahan di darat. Keputusan presiden tersebut telah menghentikan polemik soal model pengelolaan gas di Masela, namun permasalahan tidak berhenti sampai disini. Memang, sudah tidak penting lagi menilai keputusan tersebut tepat atau tidak. Hal yang menjadi penting saat ini adalah pengawalan pelaksaan yang baik. Oleh karena itu, marilah segenap bangsa Indonesia mengawal keberjalanan blok tersebut agar dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi bangsa ini. Majulah bangsaku, Indonesia!

68


69


Antara Intelektual dan Sebuah Institut 5* Aditya Firman Ihsan

Pagi itu awalnya aku cukup heran mengapa Saraga begitu ramai. Awalnya ku kira keramaian itu hanya bersumber dari acara-acara olahraga biasa yang memang cukup sering diadakan di Saraga. Namun seiring kakiku melangkah, ku menyadari bahwa itu merupakan bagian dari rangkaian perayaan ulang tahun ITB ke-57. Terhitung siang kala itu, namun sepertinya acara masih berlangsung ramai dengan ragam pernak-pernik dan tentu saja, makanan. Otak mahasiswaku tanpa pikir panjang memanfaatkan semua momen itu untuk sekedar mengisi perut agar pengeluaran bisa ditekan hari itu. Well, terima kasih ITB yang dalam rangka ulang tahunnya membuatku bisa sedikit kenyang di pagi hari dengan lontong, gule, tahu, dan susunya.

70


Sepertinya, hanya itu rasa terima kasih yang bisa kuucapkan terkait ulang tahun ITB. Selain itu? Entah. Tak ada rasa apa-apa selain formalitas antar bapak-bapak tua di sana. Mungkin memang mahasiswa dirasa tak perlu memaknai ulang tahun perguruan tinggi yang cukup tua ini. Toh apalah refleksi yang bisa mahasiswa berikan, kita tidak banyak tahu menahu apa itu perguruan tinggi selain tempat mendapatkan gelar dan ijazah. Mungkin juga memang ulang tahun cukup menjadi rutinitas budaya tahunan yang cukup dimeriahkan dengan ragam formalitas dan perayaan. Seperti apa sebenarnya aku sendiri tidak tahu, entah aku yang tidak mengikuti atau memang pada dasarnya seperti itu. Yang ku tahu hanyalah sebuah ironi, yang mana seminggu sebelum hura hura ulang tahun itu, ITB memandulkan dirinya sendiri sebagai tempat reproduksi intelektualitas melalui penciptaan kebebasan akademis seluas-luasnya. Ya, tepat seminggu sebelum rangkaian dies natalis, ITB secara terangterangan tidak mengizinkan adanya sebuah diskusi dari mahasiswa yang membahas isu LGBT dengan alasan bahwa isu tersebut kontroversial dan pembicara yang cenderung sepihak, tanpa memberikan tawaran solusi atau alternatif apapun. Ya, jalan ditutup begitu saja. Bahkan ketika akhirnya para mahasiswa mencoba tetap mengadakan diskusi di tempat yang lebih privat pun, acara dibubarkan secara paksa. Yah. Mungkin sudah tidak ada lagi ruang privat di ITB. Tapi terlepas dari hal itu, kejadian tersebut secara tidak langsung memberi banyak refleksi terkait tujuan ITB sesungguhnya selain membanggakan hal-hal yang berbau preuner-preuner. Memang banyak yang perlu direfleksikan dalam dies natalis 57 tahun ITB ini, apalagi belakangan ini ITB cenderung berturut-turut mengeluarkan kebijakan dan larangan yang cenderung sepihak dan sangat rentan dipertanyakan alasannya. Apakah ITB sekarang sudah sesuai dengan tujuan perguruan tinggi sesungguhnya? Terkait hal itu, alangkah menarik bila kita menelisik sebuah catatan cita-cita luhur seorang rektor terkait seperti apa seharusnya kampus ganesha ini. Ya, catatan itu terabadikan hingga saat ini di sebuah tugu yang selama ini hanya jadi latar belakang foto-foto narsis para pengunjung atau bahkan anak ITB sendiri. Entah dibaca atau tidak, mungkin sekarang saatnya mengambil perenungan terhadap tugu itu. Ya, tugu Plaza Widya.

71


Tempat Ini Diberi Nama Plaza Widya Nusantara Melihat baris pertama, akan lengsung terlontarkan petanyaan. Kenapa? Kenapa tempat ini, kampus Ganesha ini, institut terbaik bangsa ini, perlu diberi nama Plaza Widya Nusantara? Lagipula apa itu Plaza Widya Nusantara? Melihat secara bahasa, frase itu campuran. Plaza berasal dari bahasa Spanyol untuk menggambarkan tempat terbuka untuk umum (ruang publik) di perkotaan, seperti lapangan atau alun-alun, sedangkan widya dan nusantara berasal dari bahasa Sanskerta. Widya atau vidya dapat secara langsung diartikan sebagai pengetahuan, sedangkan nusantara merupupakan penggambaran wilayah kepulauan yang membentang dari Sumatra hingga Papua. Untuk nusantara, ia tidak memiliki arti yang pasti pada dasarnya, karena ia secara morfologi merupakan gabungan dari nusa (pulau-pulau) dan antara (dari inggris berarti relasi/inter, sedangkan dari sanskerta berarti laut, seberang, atau luar). Sehingga secara bahasa, sesungguhnya nusantara merujuk pada pulau-pulau luar, atau pulau seberang. Jika melihat sumber asal mula istilah ini muncul, luar yang dimaksud adalah luar jawa, mengingat istilah nusantara tercatat dipakai oleh Gajah Mada dalam sumpahnya yang terkenal, sumpah palapa, untuk menggambarkan wilayah-wilayah di luar pengaruh budaya Jawa namun berada dalam kekuasaan Majapahit. Tak jelas batas-batas wilayah nusantara yang sesungguhnya, namun dalam beberapa deskripsi, seperti yang tertulis pada kitab Negarakertagama, istilah nusantara merujuk pada wilayah gabungan Indonesia, Malaysia, Singapore, Brunei, Timor Leste, dan sebagian filipina saat ini. Namun pada penggunaan modern, secara sempit nusantara hanya dikaitkan dengan wilayah Indonesia saja. Istilah nusantara sesungguhnya penggambaran kewilayahan yang terpisahpisah, yang mana ingin dipersatukan oleh Gajah Mada, sehingga istilah ini menyimbolkan sebuah semangat persatuan yang tinggi. Ketika berkata nusantara, artinya kita berbicara pada suatu hal yang sangat beragam dan terpisah, namun terikat dalam satu nama. Gabungan semua frasa itu bisa menghasilkan makna bahwa nama Plaza Widya Nusantara menyiratkan semacam cita-cita untuk menjadikan suatu tempat sebagai bersatunya perbedaan-perbedaan dari seluruh nusantara atas nama pengetahuan. Plaza Widya Nusantara semacam semangat baru Gajah 72


Mada namun melalui pengetahuan sebagai pemersatu. Bayangkan, demi menuntut ilmu pengetahuan, beragam manusia dari beragam budaya dan daerah berkumpul di satu tempat, bersatu dengan semangat yang sama. Hal ini secara konteks bisa dikaitkan dengan arti nusantara secara sempit, yakni Indonesia, yang mana terpisah-pisah laut dengan beragam budaya berbeda, tetapi butuh persatuan dan kesatuan yang sangat kuat untuk berada di bawah satu nama bangsa. Di sini tersirat jelas harapan untuk menjadikan pengetahuan inisebagai media untuk bersatu. Lantas kenapa kampus ganesha kita ini diberi nama Plaza Widya Nusantara? Terjawablah ia dalam 4 pasal yang menyiratkan tujuan sesungguhnya dari eksistensi perguruan tinggi.

Supaya Kampus Ini Menjadi Tempat Anak Bangsa Menimba Ilmu, Belajar Tentang Sains, Seni, dan Teknologi Pasal pertama dari tugu Plaza Widya ini cukup jelas menggambarkan harapan agar kampus menjadi tempat untuk transfer dan pengajaran ilmu, yang mana ilmu yang dimaksud dikhususkan pada sains, seni, dan teknologi. Hal ini terkait dengan arti Widya sendiri yang bermakna pengetahuan atau kebijaksanaan. Secara gamblang, kampus ITB memang diharapkan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang ingin menimba ilmu. Dalam hal ini, ketika ditambahkan dengan kata Nusantara, tempat menimba ilmu ini dikhususkan untuk anak-anak bangsa di seluruh nusantara. Yang jadi pertanyaan di sini adalah, mengapa hanya dikhususkan pada sains, seni, dan teknologi, ketika ada cabang-cabang ilmu lain seperti sosial, filsafat, politik, dan lainnya? Apakah karena faktor sejarah, maka ke depannya ITB akan terus hanya terfokus pada sains, teknologi, dan seni? Jika melihat sejarah, sebenarnya cikal bakal ITB, yakni THB atau Technische Hoogeschool te Bandoeng, hanya memfokuskan diri pada teknologi saja. Baru kemudian pada 1947, THB dilebur menjadi bagian dari Universiteit van Indonesie te Bandoeng yang memiliki 4 fakultas, yakni Faculteit van Exacte Wetenschap (Fakultas Ilmu Pengetahuan Eksakta), Faculteit van Technische Wetenschap (Fakultas Ilmu Pengetahuan Teknik), Universitaire Leergang voor Lichaamsoefening (Balai Pendidikan Universiter Guru Pendidikan Jasmani), dan Universitaire Leergang voor de Opleiding van Tekenleraren (Balai Pendidikan Universiter Guru Seni Rupa). Setelah sempat bergabung dulu dengan Arsitektur pada 1959, seni rupa dan desain menjadi fokus tersendiri 73


dengan dibuatnya FSRD pada 1984. Melihat dari situ, memang unusr sainsteknologi-seni telah terbangun sejak masa didirikannya Universiteit van Indonesie te Bandoeng, walaupun unsur teknologi lah yang mendasari konsep THB pada awalnya. Pada posisinya saat ini, ITB bahkan sudah tidak sekedar berbicara mengenai sains, teknologi, dan seni lagi. Dengan adanya SAPPK, SBM, dan departemen Sosioteknologi di FSRD, perspektif kampus ini terhadap ilmu seharusnya meluas, walaupun memang belum bisa terintegrasikan dengan baik. Apalagi dengan munculnya wacana diadakannya jurusan ilmu ekonomi dibawah fakultas Ekonomika sebagai usulan dari keputusan rapat pleno Majelis Wali Amanat ITB 30 Januari lalu, kerangka keilmuan di ITB semakin mengalami generalisasi. Bisa saja dengan pikiran positif kita mengatakan memang pengembangan teknologi tidak bisa lepas dari pembahasan ekonomi, namun bila tidak ada integrasi dan komunikasi yang baik antar keilmuannya, jurusan-jurusan tambahan itu hanya akan jadi pelengkap belaka, bukannya pendukung. Pada tulisanku yang lain, terbahas bahwa dengan keadaan ITB yang seperti sekarang pun, ITB sudah menjadi institut yang pincang, karena intelektualitas yang terbangun tidak tersinergikan secara utuh antar seluruh elemen keilmuan. Dalih-dalih enterpreneurial pun dibawa-bawa untuk mengaitkan pengembangan ilmu dan teknologi dengan pengembangan riset dan inovasi yang mandiri untuk kemajuan, walau pada akhirnya berujung pada konsep dan paradigma kapitalisasi ilmu yang semakin menyingkirkan jauh tujuan luhur pendidikan. Apabila memang kampus ini merupakan tempat anak bangsa menimba ilmu. Biarlah mereka menimba ilmu seluasluasnya tanpa perlu paradigmanya diarahkan pada apapun. Usaha ITB untuk memperluas perspektif keilmuannya adalah hal yang patut diapresiasi, namun jangan sampai semua jurusan-jurusan tambahan itu hanya sekedar penghias belaka tanpa adanya dialog ataupun komunikasi yang bisa memperluas perspektif. Bukankah semurni-murninya ilmu hanyalah untuk kebijaksanaan? Bukankah ilmu pada dasarnya adalah bekal kita untuk bisa menjalani hidup dengan lebih arif dan baik? Nama “teknologi� mungkin hanya akan membuat pembelajaran di kampus ini hanya berarah pada pembangunan dan pengembangan, serta terkapitalisasinya ilmu melalui konsep preneurpreneur-an, atau separah-parahnya, penciptaan buruh-buruh baru untuk 74


korporasi raksasa di luar sana. Ya itu hanya mungkin. Semoga aku salah, namun sepertinya memang perlu, ITB berganti nama agar pandangan terhadap kampus ini tidak menjadi stereotip terhadap teknologi saja, namun meluas menjadi tempat untuk belajar ilmu apapun yang bisa dipelajari.

Supaya Kampus Ini Menjadi Tempat Bertanya ,dan Harus Ada Jawabnya Cogito Ergo Sum, kata Descartes setengah milenium yang lalu. Aku berpikir maka aku ada, sebuah klausa terkenal yang dianggap menjadi landasan filsafat modern. Hal ini kemudian diperluas lagi oleh Iwan Pranoto dalam salah satu tulisannya di Kompas menjadi Dubito Ergo Cogito, Cogito Ergo Sum. Ya, semua dikatakan berawal dari Dubito, keraguan. Dari keraguan lah lantas orang-orang berpikir, kemudian proses berpikir itu yang menjadi bukti sederhana eksistensi diri. Aku teringat Aristoteles pernah mengatakan, “satu-satunya doronganku hanyalah rasa ingin tahu�. Salah satu keunikan manusia ketimbang makhluk lainnya aku rasa memang satu ini, rasa ingin tahu, perasaan yang menjadikan manusi a mampu berevolusi dengan begitu pesat hingga dapat mentransformasi zaman dan keadaan menjadi seperti sekarang ini. Dari rasa ingin tahu, manusia pasti akan terdorong untuk mencari tahu, yang mana pengetahuan baru akan terus menciptakan rasa ingin tahu baru, mengingat betapa kompleksnya semesta ini. Lantas darimana rasa ingin tahu ini berasal? Seperti apa yang dikatakan pak Iwan, dari keraguan lah kita kemudian mempertanyakan sesuatu, dan dari pertanyaan-pertanyaan itulah muncul rasa ingin tahu terhadap jawabannya, mendorong kita untuk berpikir. Pengetahuan baru selalu tercipta dalam siklus ingin tahu-mencari tahu ini. Dari sini juga keilmuan berkembang secara gradual sejak manusia mulai mampu bernalar secara sitematis. Sehingga jelas, pencarian ilmu selalu bermula dari bertanya, dan mencari jawabnya. Inilah yang kemudian menjadi pasal kedua Plaza Widya Nusantara. Dari pasal satu, kampus menjadi wadah untuk belajar ilmu, dengan beberapa sumur pasti untuk langsung ditimba, ya melalui kelas, ya melalui dosen. Tapi apakah hanya sumur-sumur saja sumber ilmu di kampus ini? Tentu tidak. Kampus menjadi wadah untuk belajar bukan lah berarti menjadi satu-satunya penyedia ilmu. Kampus seharusnya cukup 75


menciptkan suasana dan fasilitas yang baik untuk tergalinya ilmu lebih dalam lagi, bukannya hanya puas pada sumur-sumur yang sudah ada. Ilmu selalu bersumber dari dorongan untuk bertanya, maka kampus ini sebagai sebuah wadah pembelajaran ilmu, seharusnya juga memfasilitasi segala hal untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan, namun kampus bukanlah penyedia jawabannya. Hal inilah yang menjadi landasan kebebasan akademis, yang mana segala usaha untuk mencari ilmu pengetahuan tidak boleh dibatasi oleh apapun. Kampus sesungguhnya merupakan gerakan moral tempat lahirnya produksi dan reproduksi ilmu pengetahuan apapun. Bahkan pada bentuk klasiknya, Academia dulunya hanya berisi ruang-ruang untuk diskusi bebas. Kelas adalah ruang berdialektika, bukannya tempat penyuapan ilmu dan doktrinasi oleh dosen. Alangkah konyol mengingat beberapa waktu yang lalu diskusi di kampus ini dilarang hanya karena isu yang diangkat cenderung kontroversial dan pembicara dianggap tidak seimbang. Ya ketika dianggap tidak seimbang, datanglah dan seimbangkan, karena sesungguhnya semua sivitas adalah manusia berakal yang bisa berpikir dan berpendapat. Sebagai tempat bertanya dan harus ada jawabnya, seharusnya kampus ini memberikan wadah seluas-luasnya untuk berdiskusi, berdialektika, berkumpul, berkegiatan, dan hal-hal lainnya. Batasan jam malam kampus dan tidak 24-jamnya perpustakaan menjadi contoh ironi dari pasal kedua plaza widya. Lantas bagaimana kami bisa bertaya dan mencari jawaban bila ruang dan waktu untuk mencari jawaban itu terbatasi? Tuntutan-tuntutan akademis membuat otak-otak semakin terarah hanya pada ilmu-ilmu yang disuapi, tidak memberi ruang untuk berkontemplasi, berfilsafat, dan bernalar. Apakah ketika isu cenderung kontroversial, lantas bertanya menjadi terbatasi? Lantas untuk apa tempat ini diberi nama Plaza Widya, tempat berkumpul mencari ilmu? Jadi teringat apa kata Socrates, hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak layak dijalani. Yah, mungkin memang kehidupan kami di kampus ini sudah tidak layak dijalani lagi.

Supaya Kehidupan Kepribadian

di

Kampus

Ini

Membentuk

Watak

dan

Tahapan lebih lanjut dari pembelajaran ilmu dan kebebasan akademis adalah penyempurnaan kedewasaan dan pemahaman sehingga terbentuknya 76


watak dan kepribadian. Terbentuknya watak mungkin memang tidak bisa menjadi implikasi langsung dan penuh dari adanya ilmu, namun ketika kebebasan untuk bertanya dan berpendapat di kampus ini terbuka seluasluasnya, toleransi dan penghargaan antar pendapat akan terbentuk dan menciptakan kerukunan akademis. Terbudayakannya diskusi bebas dengan ragam topik, sekontroversial apapun, akan menciptakan suasana saling menghargai dengan baik dan menghapus watak-watak yang cenderung memaksakan pandangan dan paradigma pada orang lain. Adanya pendapatpendapat menjatuhkan, omongan di belakang, pemaksaan pemikiran, sentimen pemahaman, dan hal semacamnya merupakan indikasi tidak terbentuknya suasana akademis yang baik. Membiasakan diri untuk bermain argumen, bukan sentimen, akan membantu pola pikir untuk tidak menciptakan kekeliruan bernalar atau logical fallacy, terutama Ad Hominem, yang paling sering terjadi. Watak lapang dada, menerima pendapat, dan berpikir positif pun akan terbentuk dengan sendirinya bila suasana akademis bisa diciptakan. Kepribadian-kepribadian lainnya, seperti kedisiplinan, pun harus diterapkan secara intelek, dengan pemberlakuan aturan yang tidak sepihak, membuka wadah aspirasi dan diskusi seluas mungkin, dan komunikasi yang baik antara sivitasnya. Kepatuhan terhadap aturan hanya akan baik terbentuk bila hal itu dilandasi dan didasari dengan pemahaman pribadi untuk melaksanakannya. Namun, hal ini tidak akan bisa tercipta bila cenderung ada unsur tekanan dan ancaman di dalamnya. Apa bedanya kampus dengan negara otoritarian bila seperti itu? Alangkah ironis bila kampus yang seharusnya menjunjung tinggi demokrasi dan kebebasan berpendapat, justru feodal dan semena-mena. Pertanyaannya, apakah itu terjadi di kampus ini? Mungkin belum, atau mungkin juga sudah, tergantung perspektif, namun bila melihat kasus-kasus ketika dunia maya ramai oleh perang sentimen yang cenderung kurang dewasa, seperti pada Pilpres, Pemilu IA, atau yang paling dekat, diskusi LGBT beberapa hari yang lalu, jelas hal-hal tersebut menunjukkan watak dan kepribadian sivitas dan alumninya belum terbentuk dengan baik. Jika melihat dari perspektif lain, perguruan tinggi cenderung dianggap hanya sebagai tempat pengembangan ilmu saja, karena pendidikan karakter sudah dirasa cukup dilakukan hingga sekolah menengah. Inilah paradigma yang keliru. Ini jugalah yang membuat beberapa dosen begitu mudahnya 77


tidak peduli keadaan mahasiswanya, hanya peduli pada pengajaran ilmu ketimbang pembentuka karakter yang diajar. Penerapan-penerapan sederhana dengan dosen menghargai mahasiswanya, tepat waktu masuk kelas, komunikasi yang baik, menegur dengan baik bila ada kesalahan, tidak semena-mena, dan lain sebagainya adalah beragam cara untuk membantu mewujudkan kehidupan kampus yang membentuk watak dan keperibadian. Pembinaan yang baik dalam hal berkegiatan pun menjadi hal yang penting, mengingat banyak hal-hal kecil diremehkan, seperti penggelembungan proposal, padahal menjadi cikal bakal tindakan korupsi di masa mendatang (baca: Balada Korupsi Indonesia). Nusantara ini memilik i kearifan lokal yang beragam, yang seharusnya bisa menjadi karakter utama bangsa ini. Mengapa kampus ini diberi nama Plaza Widya Nusantara, agar tidak sekedar ilmu yang diutamakan, namun juga bagaimana ilmu itu saling bertukar dan diimplementasikan dengan baik melalui diskusi antar beragam suku di nusantara, agar kenusantaraan itu juga menubuh dalam pembelajaran ilmu sehingga kehidupan di kampus ini bisa membentuk watak dan kepribadian. Tapi sayang, pada realitanya? Entahlah. Mungkin memang tidak perlu heran bila kelak satu per satu alumni kampus ini masuk penjara.

Supaya Lulusannya Bukan Saja Menjadi Pelopor Pembangunan, tetapi Juga Pelopor Persatuan dan Kesatuan Bangsa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, semurni-murninya ilmu sesungguhnya adalah untuk membangun kebijaksanaan, untuk membekali hidup agar bisa memahami keadaan dan bertindak dengan baik. Ketika kemudian ilmu dapat diimplementasikan untuk pembangunan dan penciptaan teknologi sebenarnya hanyalah poin plus dari ilmu itu sendiri. Memang, sejak revolusi industri, ilmu semakin tercoreng nama baiknya dan mengalami pergeseran makna jauh dari tujuan luhur sesungguhnya. Itulah mengapa sekarang paradigma kelulusan adalah bagaimana kelak dengan ilmu itu, kita bisa bekerja, atau dalam pikiran yang lebih idealis, bagaimana kelak ilmu itu bisa membantu pembangunan bangsa. Tapi apakah ilmu hanya untuk itu? Dari definisi pendidikan sebagai proses memanuisakan manusia, intelektual sebagai produk utama perguruan tinggi seharusnya sudah 78


mendekati manusia seutuhnya, dalam artian manusia yang telah matang dan memiliki kesadaran penuh terhadap dirinya sendiri sebagai makhluk yang bebas dan berkehendak. Tentu dalam hal ini, mengingat 3 pasal sebelumnya, intelektual hasil lulusan pendidikan tinggi seharusnya berilmu, berwawasan luas, dan berwatak serta berkepribadian, yang mana dengan itu, tidak hanya pembangunan lah yang bisa diberikan pada bangsa, namun persatuan dan kesatuan. Masuk ke pasal terakhir, di sinilah alasan utama ada kata “nusantara� pada frase Plaza Widya Nusantara. Nusantara sebelumnya bisa diartikan sebagai istilah untuk wilayah yang terpisah –pisah dengan beragam budaya yang berbeda-beda. Meskipun begitu, wilayah-wilayah ini berada dibawah satu nama bangsa: bangsa Indonesia. Tentu butuh rasa persatuan yang sangat tinggi untuk bisa menyatukan semua perbedaan-perbedaan itu, yang menjadi mimpi utama Gajah Mada. Maka diberilah kampus ini nama Plaza Widya Nusantara. Agar apa? Agar rasa persatuan itu bisa diwujudkan melalui proses pendidikan yang dilalui di dalamnya, dengan ilmu dan wawasan yang luas, rasa lapang dada, toleransi, dan penghargaan terhadap semua pendapat, kedewasaan dalam berargumen, mencari kebenaran, dan berkehidupan, serta watak dan kepribadian yang luhur, baik, dan kuat. Tentu masih rendah bila kampus ini hanya dianggap sebagai tempat penyedia pekerja, tempat berkembangnya teknologi dan ilmu pengetahuan, tempat dihasilkannya pembangun-pembangun bangsa. Kampus ini harus bisa lebih jauh dari itu. Seperti yang diimpikan Gajah Mada dalam Sumpah Palapanya. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya persatuan dan kesatuan bangsa bukan hanya angan-angan. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya tidak ada lagi saling caci maki dan pendapat yang menjatuhkan di dunia maya. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya pertengkaran politik bersifat membangun, bukan sekedar konflik kepentingan yang tidak dewasa. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya tidak ada lagi konflik antar suku dan agama. Dengan kehidupan yang dilalui di kampus ini, seharusnya semua pemimpinnya akan berada dalam satu suara ketika berbicara terkait kesejahteraan bersama, ketika berbicara terkait kebahagiaan rakyat yang direnggut, ketika berbicara terkait sumber daya yang dirampok, atau ketika berbicara tentang tata aturan yang adil dan membangun. Ah, tapi sayang. Mungkin aku sedang bermimpi. 79


Bangun! Maka aku lihat dengan mataku di kampus ini, sentimen tumbuh dengan kesuburan, ketidakpedulian dan keapatisan menjadi kewajaran, kepentingan luar menjadi pegangan, kegiatan dilatarbelakangi keuntungan, melanggar aturan dianggap kewajaran, kebebasan diberi keterbatasan, prospek kerja menjadi tujuan, korporasi menjadi buruan, kewirausahaan menjadi kebanggaan, afiliasi mendasari keyakinan, dan.... Sudahlah, aku tak kuat lagi. Mungkin aku terlalu pesimis dan berpikir negatif. Sepertinya aku lebih baik tetap bermimpi saja, dan lihatlah! Di pojok sana sekelompok mahasiswa lagi berdiskusi dengan asiknya, di pojok yang lain buku-buku melimpah ruah diserbu sekelompok mahasiswa lainnya dengan mata haus akan ilmu, di tempat lainnya lemari penuh dengan karya tulis mahasiswanya memperindah pandangan, kelas-kelas diperhangat dengan pikiran-pikiran yang jernih dan penuh rasa ingin tahu, para ateis, agnostik, dan religius mengobrol santai sambil meneguk kopi hangat, perpustakaan terbuka selebar-lebarnya sepanjang waktu, beragam kegiatan seni dan olahraga memenuhi setiap sudut dan menghiasi telinga dengan keributan yang menyejukkan. Inilah Plaza Widya Nusantara!

*Bagian kelima dari rangkai tulisan tentang intelektualitas ITB

80


81


Sekilas Tentang KBU Wika Maulany Fatimah

Menurut Perda No.1 Tahun 2008, Kawasan Bandung Utara (yang selanjutnya disebut KBU) adalah kawasan yang meliputi sebagian wilayah kabupaten Bandung Kota Bandung, Kota Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat dengan di sebelah Utara dan Timur dibatasi oleh punggunng topografi yang menghubungan puncak Gunung Burangrang, Masigit, Gedongan, Sunda, Tangkubanparahu, dan Manglayang. Sedangkan di sebelah Barat dan Selatan dibatasi oleh garis kontur 750 mdpl. Terasa asing?

Ya, bahkan ITB masuk ke dalam KBU. KBU memiliki fungsi dan peranan penting dalam menjamin keberlanjutan perkembangan kehidupan di Cekungan Bandung. Daerah Kawasan Bandung Utara merupakan daerah perbukitan yang memiliki fungsi kawasan resapan air dan berpengaruh cukup besar bagi tata air Cekungan Bandung, terutama bagi daerah bawahannya. KBU juga memiliki pesona panorama yang indah dan terkenal dengan banyak lokasi hits untuk dijelajah. Sebutlah Tangkuban Perahu, 82


Punclut, Tahura, dan lokasi wisata lainnya. Sayangnya, dengan bertambahnya nilai strategis lahan, pembangunan di daerah tersebut juga meningkat; Proyek-proyek pembangunan seperti apartemen, resort, dan hotel kian menjamur. Pembangunan memang tetap diperlukan demi keberjalanan ekonomi dan pemenuhan potensi pada wilayah KBU. Namun, pembangunan pada daerah konservasi seperti KBU memiliki teknis dan prosedur tertentu dalam pemanfaatan ruangnya. Syarat dan ketentuan teknis dalam pemafaatan ruang di KBU harus sesuai dengan Rencana Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Peraturan Gubernur Jawa Barat No. 58 Tahun 2011. Ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu Koefisien Dasar Bangunan (KDB), yaitu perbandingan antara luas bangunan dengan luas lahan, serta Koefisien Dasar Hijau (KDH), yaitu angka persentase berdasarkan perbandingan antara luas lahan terbuka untuk penanaman tanaman dan/atau peresapan air terhadap luas lahan. Wilayah KBU dikategorikan sebagai wilayah pedesaan yang artinya memiliki KDB maksimal 20% (15% pada kawasan tertentu) dan KDH minimal 76% (82% pada kawasan tertentu). Penjelasan sederhananya, bila lahan memiliki 20% KDB dan 765 KDH, berarti dari 100% luas lahan yang ada, hanya 20%nya yang diizinkan untuk digunakan dalam pembangunan, sedangkan 76% dari lahannya haruslah berupa lahan hijau, seperti daerah resapan. Pemanfaatan ruang di KBU ditekankan agar sesuai dengan konservasi daya dukung dan daya tamping lingkungan. Izn pemanfaatan ruang di KBU (izin lokasi, IPPT, Izin Perencanaan, Izin Mendirikan Bangunan) diterbitkan oleh Bupati atau Walikota. Sebelum Bupati dan Walikota enerbitkan Izin Pemanfaatan Ruang di KBU, perlu terlebih dahulu mendapatkan surat rekomendasi dari Gubernur. Ekomendaso dari Gubernur mencakup semua luasan yang dimohon, hanya diberikan kepada lokasi yang belum terbangun dan renovasi bangunan lama yang sudah berizin. Masalah muncul ketika akhir-akhir ini banyak proyek yang berjalan terasa ganjil. Pembangunan 3 apartemen di daerah KBU kemudian mendjadi polemik. Sebab seperti dilansir oleh Kompas.com pada tanggal 1 April 2015, ketiga apartemen tersebut yakni The Maj Hotel &Residence Jalan Dago Bandung, Dago Beach Apartemen Komplek Citra Green Dago, dan Galery Ciumbuleuit 3, jalan Ciumbuleuit, Bandung, ternyata tidak memiliki ijin rekomendasi dari Gubernur, demikian kondisi ketika disidak oleh Bapak Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mizwar. Berlanjut dari hal tersebut, sudah 83


berapa banyakkah pembangunan yang tidak mengantongi ijin rekomendasi dari Gubernur namun tetap berlanjut? Bagaimana penegakkan hukum untuk proyek-proyek illegal tersebut? Bagaimana peran pengawasan yang seyogyanya ada masyarakat? Bagaimana pula proyek-proyek tersebut bisa berjalan padahal tanpa menagntongi ijin rekomendasi Gubernur? Apakah ada permainan orang dalam? Kemudian bagaimana pula dengan keberlanjutan proyek-proyek illegal tersebut? Pertanyaan-pertanyaan tersebut bersifat praduga dan tidak akan memiliki jawaban yang pasti tanpa dijawab langsung oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Namun sebagai civitas academia, ada jenis-jenis pertanyaan yang dapat kita jawab dengan pasti. Bagaimana tinjauan pembangunan di KBU, yang merupakan daerah hulu, sehingga dapat membahayakan daerah di hilir dan bukannya daerah-daerah hulu saja? Apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kerusakan yang telah terjadi? Melalui pendekatan hidrologi, kita akan menjawab bagaimana pembangunan di daerah KBU dapat menyulitkan masyarakat di bagian hilir Bandung. Pertama, dalam membangun system drainase ada yang bernama debit rencana. Debit rencana inilah yang kemudian menentukan lebar, kedalaman, dan umur drainase yang akan dibangun. Debit rencana dipengaruhi oleh 3 hal, yaitu intensitas hujan, luas wilayah, dan koefisien limpasan. Apa itu koefisien limpasan? Koefisien limpasan adalah penentu besarnya air hujan yang tidak terserap ke dalam tanah. Missal koefisien limpasan daerah hutan adalah 0.2 maka hanya 20% dari banyaknya air hujan yang turun yang tidak terserap tanah dan dialirkan di permukaan. 80% sisanya dapat terserap oleh tanah. Sebaliknya, daerah pemukiman dan perkotaan memiliki nilai koefisien limpasan yang lebih besar. Ini berarti lebih banyak air dialirkan di permukaan dibandingkan dengan air yang terserap tanah. Kembali ke kasus, debit rencana pada bagian hulu dan hilir kemudian dapat ditentukan dengan pertimbangan 3 aspek tadi. Perlu diingat bahwa pembangunan drainase direncanakan untuk bukan 5 atau 10 tahun,tetapi untuk 50 atau 100 tahun. Dari 3 aspek yang telah disebutkan, hanya luas wilayah yang merupakan variable tetap. Sisanya, yaitu intensitas hujan dan koefisien limpasan. Meski curah hujan bersifat acak, intensitas hujan dapat diketahui dengan pendekatan statistik. Maka pembangunan pun sedari awal akan mengacu pada intensitas hujan ekstrim yang mungkin terjadi, yang telah disusun 84


menggunakan data-data curah hujan yang didapat dari stasiun hujan hingga 10 tahun ke belakang dalam sebuah kurva, yang disebut kurva IDF. Sehingga, satu-satunya yang tidak dapat diprediksikan perubahannya karena kota akan terus berkembang adalah nilai koefisien limpasan. Maka, dengan banyaknya pembangunan dan konversi lahan di daerah hulu, dalam kasus ini KBU, maka koefisien limpasan akan berubah menjadi lebih tinggi. Akibatnya, debit meningkat dan melebihi kapasitas yang dapat ditampung oleh saluran drainase yang telah dirancang dan terjadilah banjir. Seperti yang dapat dilihat bahwa di daerah Dago dan Lembang sendiri sudah banyak lahan terbuka yan dialihfungsikan sebagai bangunan dan buka lagi sebagai lahan terbuka. Di daerah padat kosan seperti Cisitu pun sering mengeluhkan adanya banjir. Ironisnya, dalam diatur bahwa pembangunan di daerah konservasi seperti KBU, wilayah terbangunnya tidak boleh melebihi 25% dari total lahannya. Namun, seperti yang dilihat pada gambar 1, daerah padat seperti Dago dan Lembang sudah terkategori merah dan Koefisien Wilayah Terbangunnya sudah di ambang 25%. Namun tercantum pula pada Pergub no.21 Tahun 2009, bahwa pembangunan dalam wilayah konservasi dapat melebihi angka 25% asalkan daya dukung lingkungannya memungkinkan. Yang kemudian dipermasalahkan adalan bagaimana menghitung bahwa daya dukung lingkungan masih memungkinkan? Bagaimana tinjauan dokumen AMDAL tiap proyek hingga menyatakan aman melakukan pembangunan? Bagaimana pula transparansi dokumen tinjauan lingkungan dari tiap proyek? Berita terbaru, sekitar tanggal 24 Maret 2016 kemarin, akan dilakukan reevaluasi peraturan daerah mengenai Kawasan Bandung Utara. Diharapkan revisi tersebut dapat menyelamatkan, memulihkan, mengendalikan, dan menertibkan KBU, sesuatu yang jelas-jelas gagal dilakukan dengan hanya mengandalkan perda yang lama (Perda No.1 Tahun 2008). Sebagai civitas academia, membela sesuatu harus dengan pendekatan ilmiah. Dari situlah kita kemudian dapat memperjuangkan apa yang kita anggap benar dengan penjabaran fakta dan kalkulasi berdasarkan dasar-dasar ilmiah.

85


Ada Apa dengan Pangan Kita? Ilmiasa Saliha

Mari kita perhatikan apa yang ada di piring kita saat kita makan. Seporsi nasi dengan ayam goreng, sayur bayam, sambal, kecap, lengkap dengan kerupuknya. Ditambah dengan es teh manis dan air putih yang menjadi pelepas dahaga dan keseretan kerongkongan seusai makan, tentu nikmat sekali rasanya. Lantas pernahkah kita memikirkan dan merenungkan dari mana asal semua makanan yang kita makan? Bahan-bahan mentah yang digunakan seperti beras, daging ayam, minyak goreng, bayam, cabai, kedelai, dan daun teh, pernahkah kita memikirkan dari mana datangnya? Apakah kita bersikap masa bodoh dengannya dan menganggap semuanya baik-baik saja? Kalau begitu, mari kita bangun, buka pikiran, dan buka hati untuk lebih peduli terhadap apa yang kita konsumsi sehari-hari ini. Food From Nowhere Berbagai jenis makanan yang kita makan itu, datangnya dari manamana, dari tempat-tempat yang kita tidak tahu secara pasti bagaimana proses pembuatannya, atau bisa kita sebut “food from nowhere.� Berasnya dari Thailand, minyak gorengnya dari Australia, bayamnya dari Malaysia, kedelainya dari Vietnam, dan daun tehnya dari China. Lantas, apa yang dari kita sendiri? Well, rupanya kita hanya menjadi konsumen produk-produk mereka. Miris? Yah, begitulah kenyataannya. Masih Kelaparan? Menurut data statistik terbaru dari FAO, ada 925 juta jiwa kelaparan di dunia, dan 98 % nya berada di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Tiga perempat darinya tinggal di pedesaan, dan pendapatan pokok masih tergantung pertanian untuk memenuhi kebutuhan pangan. Urbanisasi besar-besaran membuat ledakan jumlah penduduk di kota-kota besar, masalah kemisikinan, dan pengangguran menjadi polemik yang biasa di masyarakat perkotaan. Menurut data FAO pada tahun 2006-2008, Indonesia memiliki total populasi lebih dari 224,7 juta jiwa, dengan presentase kelaparan 13% yaitu sekitar 29,7 juta jiwa masih mengalami kelaparan atau food insecurity. Padahal, Indonesia merupakan negara dengan diversitas 86


hayati terbesar di dunia di samping Brazil. Kalau kita googling, banyak sekali fakta-fakta kekayaan Indonesia. Sudah cukup banyak. Sudah cukup bosan mendengarnya. Masalahnya adalah, mengapa Indonesia dengan potensi pangan yang begitu dahsyatnya masih saja banyak yang kelaparan? Rupanya masalahnya bukan terletak di fasilitas yang alam berikan kepada kita. Alam sudah sangat baik. Masalahnya adalah, karena kita tidak mau bersyukur. Bersyukur di sini mestinya di-action-kan dengan cara berusaha memanfaatkan semua fasilitas tersebut dengan baik dan merawat juga menjaganya supaya dapat menjadi sumber pangan yang bermanfaat secara sustainable. Masalah pangan, ini tidak bisa disepelekan. Karena segala permasalahan negara bisa selesai kalau perut-perut penduduknya terasa nyaman. Kalau kata novelis asal Ceko, Franz Kafka, ”As long as you have food in your mouth, you have solved all questions for the time being.” Pangan bukan saja merupakan kebutuhan, ia merupakan tradisi dan mengandung banyak esensi di dalamnya. Kata Louise Fresco, petinggi di Unilever Global, ”Food, in the end, in our own tradition, is something holy. It’s not about nutrients and calories. It’s about sharing. It’s about honesty. It’s about identity.” Jadi, kalau ingin melihat kemajuan suatu bangsa, lihatlah kemampuannya dalam memenuhi kebutuhan kualitas pangan di negaranya sendiri. Lantas bagaimana solusinya? Kuncinya satu yang harus kita tanamkan di mindset kita: bersyukur. Setelah itu kita action-kan dengan cara membangun pertanian yang food-producer-oriented untuk memenuhi kebutuhan perut-perut penduduk kita. Kita harus mandiri. Jangan mengandalkan negara lain terus. Kalau bisa, justru kitalah yang harus memberi (ekspor) kepada negara lain. Mari kita ubah mindset kita tentang petani, hormati mereka, beri mereka gaji yang besar dan motivasi yang kuat. Berdayakan mereka dengan teknologi-teknologi yang sudah kita buat. Tidak ada kata terlambat. Kita tanam dan pupuk terus usaha, kita lalu mudahmudahan hasil manisnya bisa kita dapatkan di kemudian hari.

87


88


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.