Literaksi #1

Page 1


Jurnal Kumpulan Tulisan

LITERAKSI #1/maret 2016

Kementrian ***** ***** ***** *** ****** (Katanya sih belum disahkan)

Kabinet KM-ITB 2016/2017

1


2


“Tidurlah jika kau yakin bahwa di atas bantal terdapat mimpi-mimpi tentang kemajuan Nusantara. Tapi jika tidak, bangkitlah untuk membaca dan berdialektika!�

3


Pengantar Edisi Perdana Pernah dengar bahwa pena lebih tajam daripada senjata? Pepatah itu bukanlah sebuah candaan. Pena merupakan simbol dari budaya menulis dan tak bisa dipungkii bahwa peradaban manusia ini sesungguhnya dibangun oleh tulisan, atau lebih tepatnya: Literasi! Dengan menulis lah pengetahuan dan kebijaksanaan dibangun. Dengan menulislah sejarah dikisahkan, Dengan menulislah pemikiran diabadikan. Dengan menulislah manusia berkembang hingga sampai di titik ini. Tak ada alasan apapun yang bisa dijadikan hambatan untuk menulis. Kau hanya butuh gagasan, sedikit waktu luang, dan media penulisannya, maka kun fayakun, jadilah ia sebuah tulisan. Selebihnya apa? Bangun dengan konsistensi dan militansi yang tak pernah putus, maka literasi akan memperlihatkan kekuatannya yang sesungguhnya sebagai senjata utama seorang intelektual. Kemahasiswaan di ITB secara general saat ini tengah mengalami sebuah epidemi penyakit yang akut sebagai akibat dari perkembangan teknologi. Ya, penyakit itu adalah hipoliterasi, ketika teknologi membuat budaya literasi semakin tenggelam dan bahkan hilang. Akibatnya apa? Banyak! Intelektualitas kita terkikis sedikit demi sedikit, digantikan oleh paradigma preneur-preneur dan orientasi kerja. Lantas apalah artinya perguruan tinggi bila budaya literasi sebagai budaya utama intelektualitas semakin hilang? Kita tahu mahasiswa dengan tetek-bengek teorinya mengenai potensi, posisi, peran atau semacamnya dikatakan harus bergerak dan melakukan sesuatu untuk masyarakat. Tapi dengan apa? Bingung? Ya, zaman ini memang mengaburkan semua identitas, namun bukankah seminimalminimalnya pergerakan adalah cukup melalui literasi? So, daripada kebanyakan teori terkait mahasiswa harus ini itu, gerak ini itu, mengapa tidak diam sejenak di depan laptop dan mulai menuliskan gagasan-gagasanmu?

Menteri ***** ***** ***** *** ****** (Katanya sih belum disahkan)

PHX

4


Daftar Konten

#1: Dari Titik, Ke Garis ............................................................................................... 6 Arsiptektur, Pencarian Jati Diri Mahasiswa .......................................................... 12 Menolak Pembangunan “Instan” Kereta Cepat Jakarta-Bandung..................... 20 Jurnal Aksi: 01. Menolak Pembangunan Instan Kereta Cepat............................ 38 “Menyembunyikan” PKL ......................................................................................... 48 Sebuah Episode Baru, Drama Politik Jokowi: Papa Minta Ampun… ............... 52 RUU Arsitek : Dari Kacamata (Calon) Perencana. ............................................... 62 Antara Intelektual dan Sebuah Institut 4 ............................................................... 70 Tahun 2020 Indonesia Bebas Sampah..................................................................... 80 Balada Korupsi Indonesia ........................................................................................ 84 Momentum National Oil Company saat Era Harga Minyak Rendah ............... 98

5


#1: Dari Titik, Ke Garis Audhina Nur Afifah

“Buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk rusaknya perusahan nasional dan multinasional yang menguras kekayaan negeri.� - Bertolt Brecht, Penyair Jerman

6


“Halah, gue nggak suka politik-politikan. Ribet.” Kalimat tersebut sepertinya adalah kalimat yang paling sering saya dengar sejak SMA. Dari dulu, saya memiliki tendensi lebih ke ilmu-ilmu yang tak pasti namun sesungguhnya menyangkut harkat hidup orang banyak. Dimulai dengan membaca Islam: A Short History oleh Karen Armstrong, sebuah buku yang menceritakan sejarah perkembangan agama dengan sangat komprehensif, yang bahkan walau tidak berisi banyak tentang fundamental semacam fikih atau syariah, namun justru menjadi buku yang paling mencerahkan akan agama saya sendiri. Saya mulai berpikir, bahwa masyarakat sebagai jantung budaya memang ‘dipermainkan’ oleh aspekaspek keilmuan non-logis dalam kehidupannya. Sehubungan dengan kalimat di atas, memberi pencerdasan politik, menurut saya, adalah hal yang cukup menyebalkan. Karena politik seakan mempunyai kapita selekta, cuma isu seksi saja yang mendapat spotlight dan pembahasannya direpetisi sampe hilang nyawa. Karena kebanyakan pendidikan politik yang komprehensif diberikan dengan metoda yang formal (dan hanya tersampaikan pada orang yang memang ingin tahu); di kelaskelas, di seminar-seminar, di jurnal ilmiah, di media cetak. Karena para pendidik melupakan bahwa sesungguhnya para korban politik kebanyakan adalah orang yang tidak bisa membaca, rabun akan sebabnya, tidak kenal siapa pelaku yang merampok hak-haknya. Pun para orang yang seharusnya terdidik, egonya terlalu tinggi sehingga lupa bahwa diam juga sebuah bentuk kejahatan. Tentu saja dengan kalimat sakti “Gue sih bodo amat sama politik, nggak ngaruh juga buat hidup gue.” yang menurut bayangan Bertolt Brecht dikatakan sambil membusungkan dada. Hanya ada satu cara untuk membangunkan mereka, yaitu melempar langsung politik ke wajahnya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini, didikan pertama yang saya dapat adalah diversitas dan kebebasan berekspresi. Dosen mata kuliah Rupa Dasar 3D saya pernah berkata, bahwa kami ini anak ajaib, diberi satu soal jawabannya beda semua. Saya dibentuk dengan metode berpikir kreatif yang cenderung parsial dan spontan, menjadikan impuls dan persepsi adalah hal yang utama. Saya dididik untuk memoles kerangka dan sistem kerja teknis dengan finishing yang memanjakan psikologis, memanusiakan

7


manusia, serta dituntut untuk bisa menyampaikan substansi dalam kurun waktu sekian detik; tentu saja melalui aspek-aspek visual. Memoles? Tipu-Tipu Dong? Istilah propaganda (berasal dari bahasa Latin modern: propagare yang berarti usaha seorang ahli cocok tanam dalam mengembangkan atau memekarkan) pertama kali muncul dari sebuah komite Gereja Katolik Roma yang bernama Congegratio de Propaganda Fide (Congregation for the Propaganda of the Faith). Nama ini muncul pada saat kepemimpinan Paus Gregorius XIII pada tahun 1572-1585. Pada saat itu, istilah ‘propaganda’ belum diasosiasikan sebagai konotasi negatif. Propaganda Fide dibentuk untuk menyebarkan misi agama sekaligus mengawasi kegiatan misionaris agama Katolik Roma di Italia maupun di negara-negara lain. Alasannya, masyarakat yang tidak mengenal ajaran Katolik tidak akan pernah memeluk agama tersebut. Tak kenal maka tak sayang. Karena tujuannya untuk penyebaran agama, maka propaganda dinilai berkonotasi positif. Penggunaan istilah propaganda mulai memiliki pergeseran makna saat Perang Dunia I. Propaganda menjadi bentuk umum untuk war poster. Rangkaian pesan yang berisi pembentukan opini dengan cara menampilkan fakta pilihan atau lebih dikenal dengan istilah cherry picking, mempromosikan kebohongan yang bertujuan untuk manipulasi persepsi, memengaruhi pendapat dan kelakuan masyarakat atau sekelompok orang. Propaganda tidak menyampaikan informasi secara obyektif, tetapi memberikan informasi yang dirancang untuk memengaruhi pihak yang mendengar atau melihatnya. Namun label negatif yang diusung propaganda tidak serta merta membuatnya dihindari. Lenin dan Joseph Goebbels dengan chill dan bangga mendeskripsikan aksinya sebagai aktivitas untuk ‘melipat-lipat’ opini publik secara manipulatif.

8


(i) Mein Kampf, sebuah buku legendaris yang ditulis seorang Fuhrer Jerman di penjara; (ii) Propaganda USSR yang diprakarsai Stalin, salah satu propaganda dengan pengaruh paling kuat di Perang Dunia II; (iii) Propaganda yang dikeluarkan U.S. Army untuk WW I & II.

Menurutnya Jacques Ellul, ada yang disebut tipe propaganda politik dan tipe propaganda sosiologi. Yang pertama, beroperasi melalui imbauanimbauan khas berjangka pendek. Bisaanya melibatkan usaha-usaha pemerintah, partai atau golongan berpengaruh untuk mencapai tujuan strategis atau taktis. Sementara yang kedua, tipenya berangsur-angsur, merembes ke dalam lembaga-lembaga ekonomi, sosial dan politik. Melalui propaganda, publik diinsepsi dengan suatu cara hidup atau ideologi. Hasilnya, suatu konsepsi umum tentang masyarakat yang dengan setia dipatuhi oleh setiap orang kecuali beberapa orang yang dianggap sebagai “penyimpang (deviants)�. Namun, bagian paling menyenangkan adalah dari propaganda adalah, alat ini sungguh berguna merubah sekedar kerumunan menjadi massa dalam waktu yang relatif singkat. Provoke! All propaganda must be popular and its intellectual level must be adjusted to the most limited intelligence among those it is addressed to. Consequently, the greater the mass it is intended to reach, the lower its purely intellectual level will have to be. - Adolf Hitler, Mein Kampf chapter VI.

9


Provoke! adalah sebuah nama skill yang dimiliki oleh Swordman dalam game MMORPG Ragnarok Online. Sebagai sebuah job yang mengandalkan pertarungan jarak dekat, Swordman menggunakan skill ini untuk memancing sekaligus membuat lengah lawannya. Deskripsi skill ini adalah sebagai berikut: Lowers the enemy DEF and VIT DEF by (5+5*SkillLV)% and increases their ATK by (2+3*SkillLV)%. Undead property and Boss monsters are not affected. Logika skill ini adalah melengahkan lawan namun dengan konsekuensi membuatnya lebih dekat. Kondisi lengah ini akan sangat menguntungkan karena insepsi pemikiran akan lebih mudah masuk ke alam bawah sadar.

General Aggression Model. From Anderson, C.A., Anderson, K.B., 2008. Men who target women: specificity of target, generality of aggressive behavior. Aggressive Behavior 34, 605–622 The General Aggression Model (GAM; Anderson and Bushman, 2002) adalah teori proses agresi yang paling banyak digunakan sampai saat ini. Merupakan model kognitif-biososial yang dirancang untuk menggambarkan efek jangka panjang maupun jangka pendek dari berbagai variabel dalam agresi. Teori ini menjelaskan bukan hanya perilaku agresif yang aversif dan negatif dengan menggabungkan pengetahuan dari disiplin lain di psikologi. Metode ini dapat digunakan untuk provokasi yang positif dalam usaha menumbuhkan mass awareness.

10


Gambar sampul dari notes ini adalah Beat The Whites karya El Lissitzky (1920) seorang seniman, desainer, tipografer, fotografer dan arsitek kelahiran Rusia yang dipercaya merancang propaganda untuk Uni Soviet. Karyanya banyak terpengaruh oleh aliran Bauhaus dan Konstruktivisme. Bentuk geometris yang abstrak dan palet warna yang subtle ini menceritakan tentang Revolusi Rusia (1917). Lingkaran putih merepresentasikan orang-orang dari rezim lama, dan segitiga-segitiga merah merepresentasikan komunis bergerilya memanipulasi opini. Karya ini mendeskripsikan secara implisit battle plan Uni Soviet untuk kemenangan komunis. Sesuai yang dikatakan Hitler di atas, semakin banyak massa yang akan dituju, sederhanakanlah pesannya. Ada banyak sekali literasi-literasi menarik yang dihasilkan oleh teman-teman sekitar saya. Literasi tersebut merupakan buat pemikiran baik dari teman-teman individu, lembaga, ataupun gabungan lembaga yang dipersatukan dalam rumpun kajian. Namun sayang, ternyata budaya membaca sepertinya belum sekental itu terjadi di institusi ini. Penyampaian substansi lagi-lagi masih banyak dinikmati oleh orang-orang yang memang ingin tahu saja. Maka dari itulah, saya memutuskan untuk menjejalkannya dengan menginterupsi, mengintervensi, dan mengajak berinteraksi. Lagipula ngapain sih Din lu ngurusin politik? Ya buat lu-lu ini, orang yang malas ngomongin tapi sebenarnya jadi korban politik. Jangan lupa bermain Referensi • • • • • •

Ellul, Jacques. Histoire de la Propagande. Paris, P. U. F. 1967 Warburton, Wayne A. Social Psychology of Agression. Macquarie University, NSW, Australia. Elsevier Ltd. 2015 Hitler, Adolf. Mein Kampf. Walton, Douglas. What Is Propaganda, And What Exactly Is Wrong With It?. University of Winnipeg, Winnipeg, Kanada. 1996 Marlin, R. R. A. Propaganda and the Ethics of Persuasion. International Journal of Moral and Social Studies. 1989. El Lizzitsky: The Artist and The State. Irish Museum of Modern Art. http://www.imma.ie/en/page_237015.h... 11


Arsiptektur, Pencarian Jati Diri Mahasiswa Aditya-Finiarel Phoenix

“... arsip -sekecil apa pun- mampu bergulir dalam berbagai kesempatan, menciptakan rangkaian akumulasi pengetahuannya sendiri, ketersebaran dan kemudahan aksesnya, sehingga informasi arsip tersebut memiliki “nafas” yang lebih panjang sebagai bagian dari sejarah masyarakatnya.” Anna Mariana, “Menghidupkan Arsip, mencipta Wacana”, dalam Arsipelago

Tanpa perlu melihat ke kalender, kita ketahui bahwa saat ini kita tengah berada di tahun 2016 Masehi, setelah 108 tahun sejak berdirinya organisasi pemuda Boedi Oetomo, 88 tahun berlalu sejak dirumuskannya sumpah pemuda, 71 tahun sejak dirumuskannya proklamasi, 51 tahun sejak ditumbangkannya PKI, 38 tahun sejak dimandulkannya kebebasan akademis dengan NKK-BKK, dan 18 tahun sejak jatuhnya orde baru dan mulainya era reformasi. Ada apa dengan 2016? Tidak ada yang bisa menjawab pada dasarnya, karena selayaknya membaca novel, kita tidak akan pernah paham keseluruhan kisah sebelum mencapai akhir dari cerita, tapi minimal, kita bisa memahami apa yang telah terjadi dari awal kisah hingga titik dimana kita tengah membaca. Tapi tentu, bila kita langsung membuka halaman tengah novel dan memulai membaca, kita akan merasa bingung pada kisah yang sesungguhnya terjadi, dan hanya bisa menerka-nerka. Terperangkap dalam Kebingungan 12


Ada yang pernah menonton film dari tengah-tengah? Bingung bukan? Nah, itulah yang terjadi apabila di masa kini kita tidak punya pemahaman cukup terkait apa yang terjadi di masa lalu, ketika kita seakan memulai membaca suatu kisah dari tengah-tengah, tanpa mencoba memahami keseluruhan kisah dari awal. Dalam konteks khusus di kemahasiswaan, tahun 2010-an, atau mungkin bahkan 2000-an alias paska reformasi, adalah masa ketika kemahasiswaan tengah bingung, tak paham apa yang ia harus lakukan, tak mengerti apa yang tengah terjadi. Hingga apa? Well, lihatlah kondisi saat ini. Dunia kemahasiswaan tengah diliputi ragam tanda tanya terkait begitu banyak anomali yang membingungkan pada masa kini. Permasalahanpermasalahan dari sukar tercapainya kuorum, partisipasi anggota, hingga arah dan metode pergerakan menjadi makanan keseharian yang pada akhirnya cenderung menghasilkan kebuntuan. Berbagai gejala apatisme mulai bermunculan dan memperlihatkan bahwa dunia kemahasiswaan menjadi dunia yang sudah tidak menarik lagi bahkan oleh mahasiswa sendiri. Kuantitas dan kualitas pergerakan mahasiswa sebagai yang dianggap taring sesungguhnya mahasiswa pun mengalami penurunan secara gradual dari tahun ke tahun. Padahal, dengan begitu banyaknya permasalahan yang meliputi lingkungan kita, dari yang paling dekat sekitar kampus, hingga jauh meluas ke tataran nasional, kita tidak bisa memalingkan muka begitu saja dan menjadi orang buta munafik yang berbicara lantang terkait perubahan namun mata tidak melihat apa-apa. Kita bisa akui bersama bahwa dengan adanya perkembangan teknologi digital yang begitu pesat, globalisasi, dan beragam kondisi lainnya, secara perlahan kondisi sosial politik ekonomi sosial budaya kita sekarang mengalami transformasi menuju keadaan yang belum bisa kita cerna dan terka. Maka tentu ragam pertanyaan yang membayangi dunia kemahasiswaan saat ini tidak bisa dijawab dengan mudah, mengingat kita hanyalah suatu eksistensi yang lantas berhadapan dengan suatu zaman tanpa ada persiapan dan perbekalan apapun. Terlalu banyak klaim dan asumsi yang muncul tanpa ada penyelidikan lebih lanjut sehingga kita tidak pernah bisa menjawab semua pertanyaan yang ada tanpa bekal yang lengkap. Dari mana bekal jawaban ini kita bisa dapatkan? Satu kunci utama adalah sejarah. Eksistensi Bentukan Sejarah

13


Bisa saja memang, putuskan rantai sejarah, dan mulailah mendefinisikan semuanya cukup berdasarkan keadaan saat ini. Kita bisa mengatakan sekarang adalah era inovasi, era kewirausahaan, era ini, era itu, dan langsung mendefinisikan ulang bahwa cukup kemahasiswaan adalah apa yang bisa kita lakukan saat ini, bukan apa yang harus kita lakukan. Tapi tentu, kita tidak bisa menafikan suatu fenomena alamiah yang mana suatu eksistensi membentuk identitasnya melalui masa lalu, ketika esensi perlahan mengeras menjadi sebuah jati diri. L'existence precede l'essence, kata Sartre. Eksistensi ada terlebih dahulu sebelum munculnya esensi. Terlepas dari dialektika terkait opini eksistensialis ini, ambillah makna bahwa memang semua eksistensi terus menerus membentuk esensinya melalui pengalaman-pengalaman yang ia lalui. Seperti halnya setiap manusia tentu terbentuk dari pengalaman hidupnya sejak kecil. Bayi itu lahir terlebih dahulu untuk kemudian perlahan membentuk identitasnya, esensi yang menjadi jati dirinya. Terkait ini, tentu mahasiswa bukanlah makhluk yang baru lahir kemarin sore.Asal mula eksistensi mahasiswa sebenarnya tidak bisa ditentukan dengan pasti, walau mungkin bisa abil titik ketika sejak Muhammad Yamin mengusulkan nama itu mengingat betapa beliau sangat mengagungkan peran pemuda terpelajar dalam membangun bangsa. Atau, bisa saja kita menganggap asal mula eksistensi mahasiwa adalah Kongres Pemuda II yang mana terciptanya Sumpah Pemuda sebagai simbol bersatunya pemuda untuk membangun bangsa, walau memang nama mahasiswa belum dimunculkan pada saat itu. Darimanapun asalnya, yang jelas, mahasiswa sudah memiliki sejarah yang tidak bisa dikatakan singkat. Tahun demi tahun terlewati selagi identitas mahasiswa terbentuk dengan sendirinya melalui kegiatan-kegiatan dan perjuangan-perjuangan yang mereka lakukan. Identitas ini tidak hanya terbentuk dari dalam dunia kemahasiswaan sendiri, namun juga terbentuk dari luar dengan paradigma-paradigma umum terhadap kemahasiswaan yang juga mulai terpatri. Maka tentu saja, istilah-istilah bahwa mahasiswa adalah agen perubahan, penjaga nilai, dan semacamnya bukanlah identitas yang melekat tanpa sebab. Memakai identitas tersebut tanpa memahami konteks dan sebabnya hanya akan menghasilkan sebuah identitas kosong, eksistensi tanpa jati diri. Sayangnya, pemahaman kita tentang sejarah kemahasiswaan masih cenderung bolong-bolong dan tidak utuh. Kita hanya secara parsial 14


mengetahui peristiwa-peristiwa yang terjadi tanpa memahami keseluruhan konteks pada kisah. Mengingat dunia ini berada dalam jaring-jaring kompleks keterkaitan, semua hal yang ada pada suatu titik waktu bisa menjadi penyebab terjadinya sesuatu pada waktu itu. Ketika berbicara mengenai terbentuknya KM ITB misalnya, dari kondisi sosial masyarakat, kondis perpolitikan dunia, keadaan perekonomian, keadaan kampus, siapa saja yang berperan, kebijakan apa saja yang eberlaku, apa saja yang terjadi pada sekitar waktu itu, semua menari bersama takdir untuk kemudian menciptakan KM ITB dengan konsepsinya yang kita agung-agungkan hingga saat ini, bukan sesuatu yang sim salabim muncul begitu saja. Memahami suatu konteks peristiwa yang tidak utuh hanya akan mengakibatkan kekeliruan pemikiran seperti post hoc ergo propter hoc pasti terjadi, sebuah fallacy yang hanya mengaitkan sebab dan akibat suatu peristiwa hanya dari urutan terjadinya peristiwa tersebut. Relasi antar kuasa pada setiap elemen dalam satu kerangka waktu sejarah harus diteliti secara komprehensif dan dilihat secara holistik untuk memahami keutuhan kisah. Untuk itu, sangat diperlukan kelengkapan pemahaman kita mengenai sejarah sebelum klaim-klaim dan asumsi-asumsi dangkal muncul. Arsip, Media Ingatan Masa lalu tidak berlalu begitu saja tanpa meninggalkan jejak, walau hanya sekedar ingatan-ingatan pelakunya. Terkadang, sebagian dari ingataningatan itu tertuang dalam beragam dokumen yang memang sengaja diciptakan sebagai bukti kebenaran adanya ingatan itu. Nota-nota pembelian, laporan pertanggungjawaban, proposal, koran, majalah, foto, hingga catatancatatan kecil memang diciptakan sebagai media kristalisasi ingatan dalam bentuk materi berkonten agar tidak hanya jadi milik pelaku ingatan. Namun sayangnya, semua media yang kemudian ku sebut sebagai arsip itu hanya menjadi formalitas kaku yang sekedar dimanfaatkan begitu saja tanpa ada proses penyimpanan dan perapihan terstruktur. Kesadaran terhadap pentingnya arsip bisa ku katakan terlihat sangat minim di KM ITB. Hal ini bisa dinilai dari betapa sulitnya melacak beragam dokumen paling tidak hingga 10 tahun ke belakang. Hal ini patut disayangkan karena buruknya pengarsipan inilah yang menjadi penyebab utama butanya kita terhadap sejarah. Mungkin bisa saja kita mendapat ceritacerita dari alumni-alumni atau pelaku terkait untuk mengetahui apa saja yang 15


terjadi di masa lalu, namun hal tesebut tidak bisa menjamin terjaganya makna karena distorsi pemahaman antara yang bercerita dan pendengar. Selain itu, dokumentasi langsung pada masa terjadinya peristiwa, dengan cerita yang disampaikan jauh hari setelah peristiwa terjadi akan sangat berbeda perspektifnya. Apabila sejarah hanya disampaikan dari mulut ke mulut, distorsi yang terjadi akan terus membesar hingga mungkin pada suatu titik, sejarah itu benar-benar putus atau maknanya berubah jauh dari yang sesungguhnya. Arsip sebagai “frist hand knowledge� merupakan emas bagi yang sadar betapa pentingnya mengingat sejarah. Sayangnya, pemahaman kita terhadap arsip begitu sempit sehingga hanya cenderung dijadikan formalitas dalam berkegiatan. Atau disisi lain, arsip dijustifikasi seolah-olah hanya urusan para sejarawan yang bergelut dengan masa lalu. Padahal setiap manusia pada dasarnya adalah sejarawan, setiap manusia mencipta ingatan dan merefleksi ingatan-ingatan sebelumnya. Bedanya hanyalah pada seberapa rapih kita merapikan ingatan tersebut dalam pendokumentasian yang konsisten dan pengaturan dokumen yang terstruktur. Sempitnya pandangan terhadap arsip ini juga cenderung disebabkan paradigma umum kita yang melulumelihat sejarah secara ideologis dan moralis, yang mana sejarah hanya dikaitkan pada konsep yang lebih besar seperti nasionalisme. Padahal, pada dasarnya sejarah hanyalah kumpulan ingatan yang perlu kita refleksi untuk memaami keadaan masa kini dan siap untuk menghadapi masa depan. Literasi, Sang Arsi(p)tek Arsip pada dasarnya adalah kristalisasi ingatan dalam bentuk materi, entah itu tulisan, foto, video, atau artefak-artefak lainnya.Di antara semua materi tersebut, memang hanya tulisan yang bisa mengejawantahkan makna ingatan dengan lebih jelas ketimbang lainnya, selain tentu tulisan lebih efisien dan praktis untuk disimpan. Tulisan merupakan bentuk paling sederhana tuangan ide dan gagasan. Bahkan bisa dikatakan tanpa adanya tulisan, pemikiran apapun tidak punya media lain untuk diabadikan. Itulah kenapa peradaban sesungguhnya dibangun oleh dua tindakan dasar: membaca dan menulis. Dua tindakan dasar ini lah yang kemudian disebut keberaksaraan atau literasi. Tanpa ada budaya literasi yang baik, segala sesuatu akan mudah ditelah oleh waktu, hilang dalam sejarah. Literasi adalah proses pengabadian kisah 16


dan sejarah agar terus bisa menjadi titik tolak untuk berkembang selanjutnya, karena jelas bahwa dengan literasi, setiap peristiwa, gagasan, dan pemikiran selalu tertuang dan terkristalisasi dalam arsip-arsip tulisan. Maka bukanlah omong kosong ketika Pram menyatakan bahwa menulis adalah bekerja untuk keabadian. Dari sini juga kita bisa lihat bahwa kualitas dan kuantitas arsip adalah parameter yang baik terkait majunya peradaban, karena itu akan menentukan seberapa terbangun budaya literasi pada suatu masyarakat. Kemahasiswaan sendiri pun merupakan suatu bentuk masyarakat yang memiliki sejarahnya sendiri. Seharusnya dengan literasi yang baik, kita bisa memiliki banyak pedoman untuk memahami identitas kemahasiswaan yang sesungguhnya. Dari beberapa segi, tidak bisa ku katakan bahwa literasi di dunia kemahasiswaan masa lalu buruk, karena beberapa arsip yang kutemukan menunjukkan kualitas literasi yang dihasilkan cukup mengagumkan. Namun yang perlu diperhatikan di sini adalah kerapihan danusaha untuk menjaga dan menyimpan arsip-arsip literasi tersebut. Hingga akhirnya sekarang, semua hasil literasi itu tercecer dan hanya menyisakan kepingan-kepingan puzzle sejarah yang kita pahami secara parsial. Melihat keadaan masa kini, yang mana budaya literasi menurun terus menerus sebagai akibat logis dari kemajuan teknologi, patut dikhawatirkan bahwa kita tidak bisa mewariskan banyak arsip untuk menjadi kristalisasi kisah dan pembelajaran untuk generasi berikutnya. Dari sekian banyak mahasiswa S1 di ITB saat ini, bisa dihitung dengan mudah jumlah mereka yang memiliki semangat untuk menulis. Padahal, sesungguhnya tidak ada yang sulit dari menulis, karena sekedar catatan harian pun, dengan bahasa seinformal mungkin, tetap akan menjadi emas di masa mendatang kelak sebagai sebuah arsip sejarah yang mengisahkan kejadian di masa lalu. Di sisi lain, kesadaran kita untuk merapihkan setiap dokumen yang dihasilkan dari setiap kegiatan dan mewariskannya secara utuh ke generasi berikutnya pun masih minim. Entah bagaimana kelak di masa mendatang, hubungan generasi-generasi berikutnya dengan sejarah semakin jauh atau bahkan putus sama sekali.

17


Gambar utama pada halaman depan arsip tabloid Boulevard edisi IV, Februari 1994, yang menyiratkan salah satu cuplikan sejarah terkait perayaan sumpah pemuda oleh DEMA pada 1971 Sebuah Ajakan Kita memang sudah cukup lama berada dalam kebingungan, namun apakah akan terus bertahan seperti ini? Tentu kita sudah cukup jenuh dengan permasalahan-permaslahan klasik terkait kemahasiswaan, atau jenuh dengan kesalahan-kesalahan yang terus terulang tiap tahunnya, seakan tengah berada dalam paradoks, kutukan kemahasiswaan. Lantas bagaimana? Terkait ini, aku punya dua solusi: (1) lengkapi sejarah kita dengan pengumpulan dan pelacakan arsip-arsip sebagai first hand knowledge da n dengannya kita bisa menganalisis semua relasi kuasa yang tercipta hingga kemudian membentuk paradigma kemahasiswaan pada masa kini, dan (2) budayakan kembali literasi sebagai media pengejawantahan ingatan dan pembelajaran, untuk kemudian dirapihkan bersama arsip-arsip lainnya agar kelak di masadepan, generasi penerus tidak sebuta kita sekarang terkait apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu. Dua hal ini adalah upaya pengarsipan, bagaimana arsip masa lalu terkumpulkan, dan bagaimana arsip masa kini terwariskan. Aku pribadi telah memulai proyek pengarsipan sejak pertama kali menyadari betapa banyak arsip HIMATIKA ITB yang tercecer dan melihat betapa dari semua arsip yang ku temukan, pandanganku terhadap sejarah perlahan dicerahkan dan diluruskan. Sejak saat itu aku mulai mengumpulkan 18


sebanyak mungkin arsip untuk kemudian aku digitalisasi, rapihkan, dan simpan secara terpusat. Proyek pengarsipan ini lebih lanjutnya akan menjadi sebuah riset sejarah yang akan sangat membantu kita semua mendefinsikan ulang identitas kita sebagai mahasiswa, bagaimana kita bergerak, dan apa sesungguhnya peran kita terhadap masyarakat. Menghidupkan arsip tentu bukanlah hal yang mudah. Melacak masa lalu sendiri tentu bukan segampang membalikkan telapak kaki. Mengingat begitu buruknya pengarsipan kita, terlalu banyak arsip-arsip yang tercecer kemana-mana, entah di alumni, dosen, perpustakaan, bekas-bekas koran, organisasi, dan lain sebagainya. Apalagi, umur kemahasiswaan tidaklah muda lagi, membuat begitu besar rentang sejarah yang harus kita lengkapi agar paradigma kemahasiswaan kita bisa utuh. Mengumpulkan semua itu dan kemudian melengkapi sejarah kita yang bolong-bolong adalah sebuah perjalanan yang panjang bila dilakukan olehku sendiri. Mungkin bisa, tapi akan membutuhkan waktu bertahun-tahun, yang mana hingga riset ini selesai, bisa jadi kemahasiswaan kita sudah benar-benar berevolusi ke bentuk yang benar-benar berbeda. Maka dengan ini, meneruskan ajakan kawan saya Haris yang telah melakukan hal yang sama 2 tahun yang lalu, aku mengajak Kabinet KM ITB, Kongres KM ITB, HMJ-HMJ, Unit-unit kegiatan mahasiswa dan siapapun individu yang memiliki kesadaran yang sama terkait hal ini, untuk menjalankan dan mendukung proyek pengarsipan ini bersama-sama, agar kita dapat lebih paham sejarah kita sendiri, identitas kita sendiri, untuk dunia kemahasiswaan yang lebih baik. Selain itu, marilah bersama-sama juga tingkatkan budaya literasi, tuliskan apapun yang bisa dituliskan, lalu arsipkan dengan baik, kumpulkan, rapihkan, dan kalau bisa publikasikan secara kolektif, bukan sekedar dibiarkan tercecer di dunia maya. Insya Allah, generasi di masa depan yang akan mendapatkan manfaatnya. Salam Pembebasan! (PHX)

19


Menolak Pembangunan “Instan� Kereta Cepat JakartaBandung Luthfi Muhammad Iqbal

Merayakan Tahun Infrastruktur 2016: Kawal Pembangunan, Tanpa Pencitraan!

Ilustrasi Kereta Cepat Indonesia

Latar Belakang Meskipun tidak tercantum dalam RPJMN 2014–2019, pembangunan kereta cepat bukanlah sebuah proyek kemarin sore, perencanaanya sudah tercantum dalam dokumen rencana induk perkeretaapian nasional (RIPNAS 2030) yakni Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 43 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional, sebagaimana diamanatkan pada UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian. Dalam tataran kebijakan, Kereta Cepat ialah salah satu bentuk dari pembangunan modernisasi di Indonesia untuk meningkatkan peran kereta api sebagai angkutan massal di daerah perkotaan dan layanan angkutan antarkota yang menghubungkan pusat pusat kegiatan nasional (PKN) serta akses

20


ke Pelabuhan dan Bandara dalam mendukung angkutan barang dan logistik nasional. Atas dasar kebijakan tersebut, diturunkanlah program pembangunan kereta api cepat menjadi salah satu program utama dengan trase Merak —  Jakarta — Surabaya — Banyuwangi, yang ditetapkan untuk memperlancar perpindahan orang pada koridor tersebut dan mengurangi beban jalur pantai utara jawa barat yang sudah overload, dengan didukung oleh pengembangan sistem produksi, pengoperasian, perawatan dan pemeliharaan kereta api cepat dengan kemampuan sumber daya dalam negeri.

Pola Perjalanan (Desire Line) Penumpang dan Barang Pulau Jawa 2030, Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Kementerian Perhubungan (2011) Modernisasi adalah satu instrumen untuk meningkatkan layanan transportasi perkeretaapian supaya lebih efisien, karena penggunaan teknologi usang menimbulkan high cost economy dibandingkan teknologi yang terbaru. Arah modernisasi teknologi perkeretaapian harus diarahkan kepada teknologi sarana angkutan perkeretaapian yang berdaya angkut massal, kecepatan tinggi, hemat energy dan ramah lingkungan. Namun, untuk mengusahakan modernisasi berkedaulatan, dan menolak kontrol intelektual sebagai bentuk baru kolonialisasi-imperialisasi, modernisasi harus diiringi dengan proses alih teknologi, dimana kita tidak hanya sebagai pemakai teknologi modern, namun juga sebagai pengembang teknologi tersebut.

21


Peta Rencana Jaringan Kereta Api Cepat (High Speed Train) di Pulau Jawa, MerakBanyuwangi, Rencana Induk Perkeretaapian Nasional Kementerian Perhubungan (2011) Perkembangan Proyek Kereta Cepat Indonesia Proposal Badan Kerjasama Internasional-Jepang (JICA) mengenai proyek kereta api cepat sudah diajukan dari mulai tahun 2008, dengan kecepatan 300km/jam menggunakan teknologi Shinkansen yang merupakan teknologi kereta cepat pertama di Asia, menghubungkan dua pusat kegiatan nasional yakni Jakarta-Surabaya. Kemudian, Tiongkok, masuk kedalam persaingan pada April 2015. Dengan alasan fokus membangun infrastruktur di luar jawa, proyek ini dibatalkan dan disubstitusi dengan proyek kereta api semi cepat, dengan kecepatan dibawah 300 km/jam, dengan struktur kerjasama yang diharapkan ialah B to B, perusahaan ke perusahaan, bukan B to G, perusahaan ke pemerintahan atau G to G, pemerintahan ke pemerintahan. Dikabarkan Tiongkok melakukan penstrukturan kembali bentuk kerjasama, sedangkan Jepang tidak, sehingga pada pertengahan September 2015 Kontrak kerjasama dipercayakan kepada Tiongkok untuk menggarap proyek Kereta (Semi) Cepat Jakarta — Bandung, dengan syarat tidak ada APBN yang digunakan dalam pembangunan proyek ini, juga tidak ada jaminan pemerintah apabila proyek ini mangkrak atau berhenti di tengah jalan. Selain itu, belajar dari proyek Monorail Jakarta, kementerian perhubungan memberikan ultimatum, yang apabila proyek ini mangkrak, konsorsium penggarap proyek ini mesti mengembalikan lingkungan pembangunan kembali seperti semula, tidak dibiarkan begitu saja. 6 Oktober 2015, pemerintah mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) nomor 107 tahun 2015 tentang percepatan penyelenggaraan prasarana dan

22


sarana kereta (semi) cepat Bandung-Jakarta, dan menunjuk empat BUMN dalam satu konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN menjadi salah satu pelaksana proyek kereta api (semi) cepat ini, yakni PT Wijaya Karya (sebagai pimpinan konsorsium), PT Kereta Api Indonesia, PT Jasa Marga, dan PT Perkebunan Nusantara VIII. Pada Pasal 4 ayat 2 ditegaskan sumber dana tidak akan mendapatkan bantuan dari APBN, dan juga tak ada pemberian jaminan dari pemerintah. Dalam aturan ini juga dicantumkan mengenai penugasan kepada kementerian yang berkaitan dengan proyek ini, termasuk penyesuaian berbagai rencana tata ruang wilayah (RTRW) di daerah yang dilewati oleh proyek ini, yakni Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, Kota Bandung. Sedangkan untuk RTRW Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi yang dilewati tidak turut dicantumkan dalam perpres tersebut. Pada tanggal 16 Oktober 2015 China Railway International Co.Ltd menandatangani kontrak kerjasama dengan PT Pilar Sinergi BUMN sebagai pertanda dimulainya komitmen kerjasama pembangunan kereta cepat, dengan disertai persetujuan 75% dana komitmen pembangunan dari total sebesar 74 Trilyun Rupiah yang didukung oleh China Development Bank. Sebuah nominal proyek yang lebih tinggi dibandingkan dengan tawaran Jepang yang hanya sebesar 64 Trilyun Rupian (memiliki perbedaan 10 Trilyun Rupiah). China menyanggupi pembangunan dengan waktu tiga tahun, dan bisa mulai operasional pada tahun 2018 atau 2019 awal. Sedangkan Jepang menargetkan pembangunan dalam waktu lima tahun yakni 2018–2023, dengan waktu operasional pada tahun 2023. Pada tanggal ini pula, penantian dan persiapan tujuh tahun yang dilakukan Jepang terhadap proyek Kereta Cepat di Indonesia, menjadi sia-sia. Pada tanggal 8 Januari 2016, Presiden membentuk Peraturan Presiden (Perpres) No 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, yang pada pasal 25 berbunyi: pemerintah dapat memberikan jaminan pemerintah pusat terhadap proyek strategis nasional yang dilaksanakan oleh Badan Usaha atau pemerintah daerah yang bekerja sama dengan badan usaha. Hal ini bertentangan dengan Perpres 107 tahun 2015 soal percepatan penyelenggaraan pembangunan kereta cepat Bandung-Jakarta. Pada tanggal 21 Januari 2016, Presiden meresmikan upacara groundbreaking di lahan perkebunan teh di Walini, Kabupaten Bandung Barat milik PT Perkebunan Nusantara VIII, dengan keadaan 11 dokumen yang 23


menjadi syarat untuk izin membangun gagal dikumpulkan oleh konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China/KCIC meliputi Desain Pengembangan, Ilustrasi Teknis, Data Lapangan dan Spesifikasinya. Menurut informasi yang diberitakan, perusahaan ini hanya mengantongi izin membangun di 5 kilometer pertama dari total proyek yang dikerjakan. Pembahasan Detail Proyek Kereta Cepat Bandung-Jakarta Pada tahun 2008 dilakukan analisis kelayakan 700 km Jakarta-Surabaya, namun biaya proyek mencapai 2.1 trilyun yen, akan sangat memberatkan pemerintah Indonesia, sehingga pemerintah Indonesia meminta kajian ulang seksi Jakarta Bandung dengan kemungkinan perluasan seksi BandungCirebon, sebagai bagian dari proyek Jakarta-Surabaya. Dilakukan perbandingan jalur antara rute pantai sepanjang 207.3 kilometer dan rute Bandung sepanjang 256 kilometer sebagai berikut:

Peta Rencana Jalur Seksi I Jakarta — Cirebon, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Secara rute lebih pendek dan memiliki profil elevasi yang lebih datar rute pantai utara jawa dibandingkan dengan rute Bandung. Rute Bandung memiliki profil elevasi yang sangat bergelombang dan akan banyak dibangun terowongan seperti pada gambar berikut ini:

24


Profil Elevasi Jalur Kereta Cepat: Rute Bandung (Atas) Rute Pantai Utara Jawa (Bawah), (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Akan tetapi, rute Bandung memiliki keunggulan yakni terhubung dengan kota terbesar ketiga se Indonesia, yakni Bandung, dan berpotensi menghubungkan kawasan Industri Karawang dengan Kawasan terpadu Bandar Udara Internasional Jawa Barat, Kertajati, Majalengka, sehingga rute Bandung memiliki potensi permintaan (demand) yang lebih tinggi dibandingkan dengan rute pantai utara jawa barat (coastal route). Adapun Jakarta-Bandung-Gedebage merupakan proyek tahap awal dari proyek Jakarta-Cirebon yang merupakan bagian dari proyek Jakarta-Surabaya yang merupakan bagian dari rencana kereta Cepat Merak-Banyuwangi.

25


Tabel Deskripsi Alternatif Seksi dan Rute, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Menurut kajian perbandingan antara tiga opsi tersebut, secara topografi, keterpaduan antar moda dan resiko bencana, secara lengkap dapat dilihat pada table berikut ini:

Tabel Kajian Perbandingan Karakteristik Rute dan Seksi, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Untuk analisis keekonomian tariff antar wilayah asal dan tujuan, dapat dilihat pada table berikut dibawah ini:

Tabel Tarif Keekonomian Jakarta-Cirebon Rute Bandung, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Adapun analisis perkiraan pertumbuhan permintaan baik untuk rute bandung, maupun rute pantai utara adalah sebagai berikut:

26


Tabel Proyeksi Pertumbuhan Permintaan 2020–2050, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Dapat dilihat pada ilustrasi diatas, bahwa proyeksi permintaan 2020–2050 yang tertinggi adalah jalur Jakarta-Cirebon, dengan kepadatan tertinggi pada seksi Jakarta Bandung, namun perbedaannya kurang signifikan dengan rute Jakarta-Gedebage yang hanya berbeda 20 ribu penumpang pada tahun 2020 dan 50 ribu penumpang pada tahun 2050. Adapun analisis sosial-lingkungan terkait pelaksanaan proyek ini dapat dilihat pada grafik dibawah berikut ini:

Grafik pengurangan Emisi CO2 akibat Substitusi Kendaraan Bermotor berbasis Jalan Raya dan Kereta Api Konvensional kepada Kereta Api Cepat Ramah Lingkungan, 27


Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Dengan disubstitusinya jenis pergerakan dari kereta api konvensional dan moda berbasis jalan raya kepada kereta cepat akan mengurangi emisi karbon perharinya. Dapat dilihat pada tabel diatas bahwa pengurangan emisi dengan scenario rute bandung lebih besar 10 kali lipat dibandingkan dengan pengurangan emisi karbon melalui scenario rute pantai utara. Isu lingkungan lainnya ialah mengenai penggunaan lahan hutan cadangan dan hutan produksi, serta daerah rawan longsor. Namun isu ini dapat diselesaikan apabila proyek ini telah dilengkapi oleh dokumen Analisis Masalah dan Dampak Lingkungan (AMDAL) dan penggunaan teknologi yang mutakhir. Selain isu lingkungan juga terdapat isu sosial. Bahwa proyek ini akan menggusur masyarakat dalam rentang yang tidak sedikit. Terdapat 1200 hingga 3000 rumah tangga yang mesti digusur untuk melakukan pembangunan kereta api cepat ini. Kecuali jika pembangunan dilakukan di jalur kereta api eksisting ataupun jalan tol secara layang/elevated. Berikut detail akuisisi lahan dalam hektar dan rumah tangga yang harus digusur dalam tiga scenario jalur dalam dua rute berbeda:

Tabel Akuisisi Lahan dan Penggusuran Akibat Pembangunan Kereta Api Cepat, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Evaluasi Proyek Pembangunan Kereta Cepat Berdasarkan studi preliminer/pendahuluan terkait analisis kelayakan ekonomi (Economic Feasibility Analysis) maupun analisis kelayakan finansial (Financial Feasibility Analysis) ditemukan bahwa pengurangan waktu tempuh dan biaya operasional memiliki dampak pada perekonomian nasional, bisa dilihat pada skor EIRR atau Economic Internal Rates of Return yang positif untuk scenario rute bandung, khususnya Jakarta-Bandung-Gedebage.

28


Tabel Analisis Kelayakan Ekonomi dan Analisis Kelayakan FInansial, Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Namun untuk Financial Internal Rates of Return (FIRR) ada pada taraf yang rendah dan kurang menguntungkan apabila tanpa dukungan pemerintah. Dengan bantuan partisipasi 50% pada investasi awal, baik dengan sistem Build-Operate-Transfer maupun sistem Konsesi, FIRR untuk jalur Jakarta-Bandung-Gedebage sebesar 8.6%, adapun apabila proses perancangan dan pembangunan awal dilakukan oleh pemerintah dengan sistem DesignBuild-Lease, maka FIRR mencapai 15.8%. Hal ini menandakan bahwa proyek menjadi layak baik secara financial maupun secara ekonomi apabila terdapat dukungan dan jaminan dari pemerintah.

29


Alternatif Skema Proyek Proposal Jepang: Build Operate Transfer (Atas), Konsesi (Tengah), Design Build Lease (Bawah), Studi Kereta Cepat Jakarta Bandung (Yachio Engineering Co Ltd; Japan International Consultant for Transportation Co Ltd, 2012) Ilustrasi diatas menggambarkan bentuk bentuk skema proyek yang diusulkan Jepang pada proposalnya mengenai kereta cepat Jakarta-Bandung. Apabila menggunakan skema empat kaki barang dan jasa (four scheme of good and services), proyek ini termasuk kedalam pembangunan modernisasi, yang memang tidak bijak dibayar melalui pajak. Karena statusnya yang 30


termasuk kedalam “pembangunan modernisasi�, menjadikan jasa transportasi kereta cepat ini termasuk kedalam Joint Toll Goods and Services, dimana pembiayaannya ditanggung oleh User Charge atau pengguna jasa. Sehingga memang pada dasarnya, pengusahaan kereta cepat ini mesti ditanggung oleh swasta, dan apabila negara ikut serta, tidak boleh ada dana yang bersumber dari taxpayers atau pembayar pajak, yang digunakan untuk membantu proyek ambisius ini. Sehingga baik Built Operate Transfer, Konsensi maupun Design Build Lease ketiganya merupakan Kemitraan Pemerintah Swasta, yang menegaskan bahwa proyek ini bukan proyek public murni, melainkan kerjasama antara pihak private dan pihak public. Temuan dan Kejanggalan terkait Proyek Ternyata dalam perjalanannya, terdapat banyak ketidakjelasan dan kesimpangsiuran dalam pelaksanaan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung ini. Keinginan pemerintah yang “murni bisnis� ternyata bertentangan dengan realita yang ada. Berdasarkan hasil kajian, proyek ini hanya layak apabila terdapat dukungan dan investasi pemerintah dalam proyek tersebut, dalam peraturan presiden nomor 107 tahun 2015 ditegaskan bahwa sumber dana tidak ada yang dikucurkan dari APBN, pemerintah pun tidak akan memberikan jaminan; sedangkan peraturan presiden nomor 3 tahun 2016 berkata Kosebaliknya, dimana proyek kereta api antar kota termasuk kedalam salah satu proyek strategis nasional yang memiliki hak untuk dijamin oleh pemerintah, bahkan memiliki kekebalan untuk dikriminalisasi. Sedangkan resiko proyek kereta cepat ini memang tidaklah sedikit. Contohnya di Taiwan, kereta cepat yang memiliki segmentasi penumpang bisnis dengan biaya tiket yang relatif mahal menghambat penumpang regular (non-bisnis) untuk menggunakan fasilitas kereta cepat tersebut. Jumlah Ridership jatuh dan tidak sesuai dengan perkiraan, sehingga pendapatan yang didapatkan dari kegiatan operasional kereta cepat terbukti tidak mencukupi untuk membayar syarat hutang pelayanan jasa transportasi kereta cepat. Apalagi untuk kondisi Indonesia, dimana jumlah traffic bisnisnya terbatas, apakah masyarakat Indonesia memiliki kemampuan dan keinginan membayar (ability to pay and willingness to pay) dengan tariff minimal Jakarta-Bandung sebesar 220.000 rupiah untuk satu kali perjalanan? Dan dengan asumsi jam operasional kereta cepat dari 06.00 pagi hingga 21.00, dengan perkiraan waktu tempuh selama 35 menit 1 kali perjalanan, sehingga 31


akan ada kurang lebih 13 rit perjalanan per harinya. Apabila kapasitas penumpang 960 satu rangkaian kereta yang terdiri dari 12 gerbong, dengan asumsi persentase Average Load Factor atau tingkat kepenuhan penumpang rata rata mencapai 80%, apakah dalam sehari ada sejumlah 19.749 orang yang bergerak diantara Bandung dan Jakarta menggunakan kereta cepat ini? Dan apakah menguntungkan apabila kereta cepat ini dibangun hanya untuk satu rangkaian kereta, tidakkah terlalu mahal dan kurang menghasilkan profit? Meskipun studi berkata Jakarta-Gedebage proyeksi demand nya mencapai 39.000 penumpang pada tahun 2020, namun melihat preseden kereta cepat Taiwan yang ternyata prediksiridership tidak sesuai kenyataan yang terjadi, apakah proyek ini akan mencapai keekonomian dan investasi pada waktu yang dikehendaki? Secara historis, jalur KA Bandung-Jakarta yakni KA Parahyangan ditutup pada tahun 2010, karena umumnya penumpang dengan daerah asal-tujuan Bandung-Jakarta lebih menghendaki perjalanan point-to-point melalui jalur Tol Cipularang dengan beragamnya moda travel dan shuttle yang sudah tersedia, dengan waktu tempuh relatif cepat bila dibandingkan kereta konvensional dan harganya cukup terjangkau. Adapun dengan rencana kereta cepat yang menghubungkan Halim-Tegalluar, apakah faktor inter/antarmodalitas sudah diperhitungkan dalam perencanaannya? Gedebage baru direncanakan sebagai pusat sekunder kota Bandung, yang apabila belum memiliki perencanaan transportasi multimoda yang terintegrasi, maka penempatan stasiun di tempat yang cukup remote dari pusat distrik bisnis eksisting (PPK Alun-Alun) akan menjadi persoalan baru, dan praktis prediksi ridership akan meleset dari perkiraan. Terlebih lagi dengan adanya ketidakpastian hukum, konflik perpres antara Perpres No 107 tahun 2015 dan Perpres No 3 tahun 2016. Menggunakan asas lex posterior derogate legi priori maka aturan Perpres No 107 tahun 2015 memiliki kedudukan lebih lemah atau terkesampingkan dengan adanya Perpres No 3 tahun 2016 karena keduanya merupakan sejajar, sama sama berkedudukan sebagai Peraturan Presiden. Meskipun apabila menggunakan asas lex spesialis derogate legi generalis dimana Perpres No 107 tahun 2015 mengatur hal yang lebih rinci dibandingkan Perpres No 3 tahun 2016. Namun menggunakan asas lex superior derogat legi inferior maka aturan Perpres No 107 tahun 2015 memiliki kedudukan lebih lemah dibandingkan dengan Peraturan

32


Pemerintah No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara, dalam pasal 65 ayat 3 berisi: “Apabila penugasan tersebut secara finansial tidak menguntungkan, Pemerintah harus memberikan kompensasi atas semua biaya yang telah dikeluarkan oleh BUMN tersebut, termasuk margin yang diharapkan sepanjang dalam tingkat kewajaran sesuai dengan penugasan yang diberikan” Maka Perpres 105 yang mengatur bahwa negara takkan memberikan jaminan dalam proyek ini, bertentangan dengan PP yang lebih tinggi kedudukannya. Dalam hal ini, pemerintah melakukan sebuah inkonsistensi sikap dalam hal pemberian jaminan terhadap proyek yang pada mulanya dipandang sebagai proses murni business to business. Bahayanya, bukan tidak mungkin kedepannya, BUMN yang terlibat bisa digugat ke mahkamah internasional, hanya karena kecacatan hukum negeri sendiri. Kemudian soal seleksi proyek, dan informasi mengenai detail perencanaan proyek yang tidak transparan, hanya karena menjanjikan tidak membutuhkan dukungan dari pemerintah, China International Railway Co Ltd., dipilihlah proposal tersebut, meskipun harga yang ditawarkan China lebih tinggi dibandingkan Jepang, bahkan diduga terdapat penggelembungan dana investasi apabila dibandingkan dengan proyek pembangunan kereta cepat Teheran-Isfahan, di Iran, termasuk ketidakjelasan mengenai kecepatan yang dijanjikan. Dalam diksi yang digunakan dalam aturan legal yaitu “kereta cepat”, tidak sesuai apabila kecepatannya menjadi menengah (medium speed rail) dengan kisaran 200–250 kilometer/jam. Belum lagi 11 dokumen yang gagal dilengkapi pada saat seremoni groundbreaking yang hanya terdapat surat izin membangun 5 kilometer pertama saja, sedangkan desain pengembangan, ilustrasi teknis, data lapangan dan spesifikasinya gagal dilengkapi. Kepada Ibu, Kami Bertanya… Terakhir peran Menteri BUMN yang terlalu mendominasi dalam proyek ini yang menimbulkan pertanyaan. Mengapa bukan Menteri Perhubungan? Mengapa Wijaya Karya yang menjadi pimpinan konsorsium PT Pilar Sinergi BUMN? Mengapa bukan PT Kereta Api, sehingga dengan alasan modernisasi, alih teknologi perkeretaapian dapat diusahakan terjadi? Juga pernyataan jujur dari Menteri BUMN pada rapat paripurna luar biasa DPD di gedung DPD, Senayan, Jakarta: 33


“Dari China itu Engineer, karena Engineer kita belum punya kemampuan di situ” Apakah sebegitu mendesaknya pembangunan kereta cepat ini sehingga lebih baik kita mendatangkan insinyur dari luar untuk membangun infrastruktur negeri ini daripada menunggu waktu sejenak untuk menyiapkan, mematangkan, dan menggunakan sumber daya manusia, putra bangsa sendiri untuk mengembangkan dan mengelola teknologi yang mapan di negeri sendiri? Terimakasih banyak atas pertanyaannya bu, semoga dapat menjadi tamparan bagi pendidikan tinggi dan kementerian terkait yang malah fokus link-and-match dengan kebutuhan industri, bukan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan, termasuk pembangunan modernisasi seperti ini. Melalui tulisan ini, Perkenankan kami untuk bertanya: Apakah Ibu Rini yang terhormat, adalah menteri negara BUMN, Badan Usaha Milik Negara Republik Indonesia, ataukah Badan Usaha Milik Negara Republik Rakyat Tiongkok? Mengapa semangat yang ibu gelorakan dalam pembangunan kereta cepat ini bertentangan dengan Nawacita dan Trisakti yang digaunggaungkan oleh Presiden Jokowi? Dimanakah prinsip Berdikari yang melengkapi unsur Ekonomi? Dimanakah Kedaulatan yang melengkapi unsur Politik? Apakah memang kita, sebagai Indonesia harus rela hanya menjadi objek pembangunan global dan objek perebutan hegemoni serta korban dari kelihaian diplomasi ekonomi negara-negara besar seperti Cina dan Jepang? Apakah kita harus rela hanya menjadi pengguna teknologi modern, bukan turut sebagai pengembangnya? Atau pembangunan ini hanya untuk membuat ibu sebagai Menteri BUMN ‘terlihat’ prestatif dan terhindar dari reshuffle yang telah berhembus dari akhir 2015 kemarin? Bila benar demikian, mungkin alangkah lebih baiknya apabila ibu fokus untuk mempersiapkan BUMN-BUMN agar siap dalam mengelola sektor strategis yang telah lama dikelola asing, dibandingkan menggarap proyek-proyek ini, kecuali apabila ketika tiba saatnya nanti, BUMN kita mendapatkan kesempatan untuk mengelola sektor strategis yang telah dekat habis masa kontraknya, dan ibu lebih suka berkata: “…kita belum punya kemampuan di situ…” Apabila demikian, kami sarankan, lebih baik ibu mundur saja. Sebagai sahabat dekat ibu Megawati Soekarnoputri, mudah-mudahan ibu ingat pernyataan Presiden pertama RI, Ir.Soekarno: 34


“Saya tegaskan kepada anda semua, kolonialisme belumlah mati. Dan, saya meminta kepada Anda jangan pernah berpikir bahwa kolonialisme hanya seperti bentuk dan caranya yang lama, cara yang kita semua dari Indonesia dan dari kawasan-kawasan lain di Asia dan Afrika telah mengenalinya. Kolonialisme juga telah berganti baju dengan cara yang lebih modern, dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, dan kontrol langsung secara fisik melalui segelintir elemen kecil namun terasing dari dalam suatu negeri. Elemen itu jauh lebih licin namun bisa mengubah dirinya ke dalam berbagai bentuk.” Semoga pembangunan kereta api cepat ini bukanlah bentuk Kolonialisme modern dalam bentuk kontrol ekonomi maupun kontrol intelektual atas republik ini, seperti yang disebutkan diatas. Karena pada dasarnya, bukan Pembangunan Kereta Cepat yang kami tolak, karena ini memang bagian dari agenda modernisasi dan peta jalan pengembangan teknologi negeri ini. Justru seharusnya, bagaimana supaya pembangunan modernisasi dan pengembangan teknologi dapat memperkuat kedaulatan bangsa kita di bidang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dus, pembangunan “Instan”-lah yang kami tolak. Pembangunan yang ditujukan bukan untuk tujuan Kesejahteraan ataupun Modernisasi melainkan hanya untuk sekedar Pencitraan. Untuk seremoni peletakan batu pertama pelaksanaan proyek dengan hanya mengantongi perizinan 5 kilometer dari total ratusan kilometer, kata apa yang paling tepat selain “Instan”? Selamat Tahun Infrastruktur 2016, Republik Indonesia! Semoga tidak hanya ‘badan’-nya yang dibangun, Tapi juga ‘jiwa’-nya; Jiwa rakyatnya, jiwa pemimpinnya. Mari Kawal Pembangunan, Tanpa Pencitraan!

Referensi •

Undang Undang No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara

Peraturan Presiden Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Bandung-Jakarta

35


Peraturan Presiden No 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 43 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Perkeretaapian Nasional (RIPNas 2030)

Suhirman, SH., MT., Dr. Kuliah Hukum Perencanaan. Planologi ITB

Pradono, Prof., SE., M.Ec.Dev., Dr.Eng., Binsar P.H.N., Ir., MSP., Dr., Kuliah Ekonomika Infrastruktur Transportasi. Planologi ITB

Patta, Johnny, Ir., MURP., PhD. Kuliah Pembiayaan Pembangunan. Planologi ITB

Patta, Johnny, Ir., MURP., PhD. Kuliah Teknik Evaluasi Perencanaan. Planologi ITB

Study on High Speed Railway Project (Jakarta-Bandung Section) Republic of Indonesia [Dalam Jaringan] tersedia di:https://www.jetro.go.jp/ext_images/jetro/activities/contribution/od a/model_study/infra_system/pdf/h23_result03_en.pdf

China Domestic Companies Build Indonesia High Speed Rail [Dalam Jaringan] tersedia di: http://news.yahoo.com/china-domesticcompanies-build-indonesia-high-speed-rail-074832090--finance.html

Japan Rail Project Loss to China: Why it matters for Abe’s Economic Diplomacy and for China, Forbes [Dalam Jaringan] tersedia di:http://www.forbes.com/sites/stephenharner/2015/10/01/japansrail-project-loss-to-china-why-it-matters-for-abes-economic-diplomacyand-for-chinas/#5f1478332ad2

China’s High Speed Railway Project Indonesia Suspended, South China Morning Post [Dalam Jaringan] tersedia di:http://www.scmp.com/news/china/diplomacydefence/article/1906307/chinas-high-speed-railway-project-indonesiasuspended

Studi Kelayakan Proyek Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung Tahap I [Dalam Jaringan] tersedia di:http://id.scribd.com/doc/262558484/StudiKelayakan-Proyek-Kereta-API-Cepat-Jakarta-Bandung-Tahap-I

36


Ilustrasi Kereta Cepat Indonesia, “Indonesian Bullet Train” [Dalam Jaringan] tersedia di:https://cdn1.artstation.com/p/assets/images/images/000/828/337/l arge/vimardi-ramadhan-roberto-versi-3.jpg?1433978563

Kereta Cepat JKT BDG pakai insinyur China ini Alasannya [Dalam Jaringan] tersedia di:http://finance.detik.com/read/2016/01/29/113108/3130291/4/keret a-cepat-jkt-bdg-pakai-insinyur-dari-china-ini-alasannya

Kereta Api Parahyangan Ditutup [Dalam Jaringan] tersedia di:http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2010/04/100427_p arahyanganstory.shtml

Rini Soemarno tidak Tahu soal Jaminan Kereta Cepat [Dalam Jaringan] tersedia di: http://www.antaranews.com/berita/542695/rini-soemarnotidak-tahu-soal-jaminan-kereta-cepat

DPR Panggil Rini Soemarno Terkait Kereta Cepat [Dalam Jaringan]http://www.rmol.co/read/2016/01/28/233727/DPR-AkanPanggil-Rini-Soemarno--Terkait-Kereta-Cepat-

37


Jurnal Aksi: 01. Menolak Pembangunan Instan Kereta Cepat Luthfi Muhamad Iqbal

“Buta terburuk adalah Buta Politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat dan lain lain semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si Dungu ini tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.� Berthold Brecht

Dengan nama Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang; Dalam usia 10 tahun lebih 1 Bulan, KM ITB masih harus terus belajar untuk bersikap. Seringkali kita gagal memahami, dengan posisi sebagai

38


bagian dari masyarakat sipil yang memiliki kesempatan pada akses-akses terhadap informasi dan ilmu pengetahuan yang mungkin masih terbatas, tentu ada peranan lebih yang juga tersematkan secara atributif, secara otomatis, pada bahu kita sebagai mahasiswa, yang juga bagian dari masyarakat sipil. Seringkali kita gagal memahami, bahwa diamnya orang-orang yang tahu, ialah pengkhianatan, karena ia membiarkan ilmunya, pengetahuannya terbeli. Terkadang kita tidak menyadari, bahwa diam, adalah bentuk sikap kesetujuan secara tidak langsung. Padahal, semestinya apabila kita melihat kemungkaran maka hendaknya kita mengubahnya dengan sekuat kuatnya kuasa yang kita miliki; jika tidak mampu, maka dengan sekuat kuatnya nasihat kita, baik dalam ucapan maupun tulisan; jika tidak mampu juga, maka dengan ketidaksetujuan hati dan perasaan; dan yang demikian adalah selemah lemahnya perjuangan sebagai manusia yang memiliki kesempatan lebih untuk mengakes pengetahuan. Teringat kembali pada sebuah percakapan malam dengan senator HMP PL ITB 2014/2015, kak Lathifah Zahratul Jannah, apakah sebenarnya kemahasiswaan diorganisir dalam bentuk organisasi kemahasiswaan itu ialah sebagai upaya untuk mewujudkan pergerakan mahasiswa yang terorganisir? Lalu bagaimana jika justru mekanisme organisasi malah mempersulit pergerakan yang dilakukan? Dua pertanyaan untuk direnungkan bersama, terutama ditujukan pada rekan rekan senator dan para ketua lembaga himpunan mahasiswa jurusan yang terhormat. Sebuah Otokritik: Aksi Instan Menolak Pembangunan Instan Kereta Cepat? Kronologi Eskalasi dan Aksi Isu pembangunan kereta cepat sudah bergulir dari tengah tahun lalu, 2015. Mulai kembali hangat pada akhir Januari, tepatnya 21 Januari 2016. Rasanya, untuk setiap lembaga himpunan mahasiswa jurusan yang berlangganan surat kabar/harian (dan dibaca), seharusnya tidak ada yang tidak tahu mengenai isu ini, ya tanggal 21 Januari ialah tanggal groundbreaking proyek kereta cepat di tanah PT Perkebunan Nusantara VIII.

39


Sejak bulan Januari, isu ini sempat bergulir di grup ketua lembaga himpunan mahasiswa jurusan masa bakti 2015-2016, dan terdapat berbagai sudut pandang dari berbagai perspektif keilmuan. Pada hari Selasa, tanggal 2 Februari 2016, kami mendapatkan informasi tentang penyelenggaraan Diskusi Publik Kereta Cepat di Gedung DPR-RI yang diselenggarakan oleh Komisi VI DPR-RI, dengan menghadirkan pembicara dan juga audiens dari berbagai latar belakang diantaranya Pakar Analisis Kebijakan Publik, Pakar Transportasi dan Tata Ruang, dan juga dari pihak Politisi maupun Praktisi. Saya, bersama Anugerah Yudha MTI’12, Ega Zulfa MTI’12, Azman Hafid HMP’12 dan Fakhri Guniar MTI’13, berangkat ke Jakarta, dengan tujuan untuk lebih menggali informasi mengenai kejelasan soal isu kereta cepat ini, supaya informasi yang kami terima tidak hanya bersumber dari media saja, ya istilahnya mungkin dapat dikatakan proses Triangulasi Data. Sebenarnya, kami mencoba mengundang perwakilan dari rumpun kajian infrastruktur dan yang mungkin berkaitan dengan proyek ini, namun dari HMP, HMS, HME, HMM dan MTI, hanya dari MTI yang pada akhirnya berkesempatan untuk turut serta. Jum’at 5 Februari 2016 (jika saya tidak salah), kami berdiskusi dengan rekan-rekan BEM SI Jabar dalam sebuah agenda konsolidasi wilayah dan sempat isu ini diangkat, lalu kita sempat sepakat untuk mengadakan sebuah diskusi publik, meskipun pada akhirnya tidak jadi karena harapannya proses inventarisasi isu dapat dilakukan secara partisipatif. Malam harinya, pada saat forum kultural rapat pimpinan, isu ini juga sempat diangkat, namun memang pembahasan sistem keuangan untuk Student Summit sepertinya lebih menarik untuk dibahas pada malam itu. Kami dari Kabinet KM ITB 2016 merencanakan untuk mengadakan Diskusi Publik pada hari Minggu, tanggal 14 Februari 2016, namun karena mesti mempersiapkan Student Summit, dan Musyawarah Kerja internal Kabinet, maka digeser ke pekan depan. Semua lembaga termasuk Kabinet disibukkan oleh pembahasan mengenai hal-hal yang bersifat internal terutama bagian sistem keuangan yang diwacanakan akan dikelola oleh mahasiswa secara terpusat. Seminggu menuju Sebulan Kereta Cepat

40


Minggu, 14 Februari 2016 malam hingga senin dini hari, kami berdiskusi dan bertukar pandangan dengan rekan rekan dari Komune Rakapare yang telah mengadakan beberapa kali diskusi bersama Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Bandung City Watch (BCW), mengenai tanggapannya terhadap proyek kereta cepat. Yang hadir pada saat itu dari kami ialah Aditya HIMATIKA’12, Ega MTI’12, Aziz HMP’13. Darisana kami merasa memiliki pandangan yang cukup sama terkait mempertanyakan kebermanfaatan proyek ini terhadap spektrum masyarakat yang lebih luas, juga terkait prosedur izin terutama mengenai dampak lingkungan yang ditimbulkan dari pengerjaan proyek tersebut. Senin, 15 Februari 2016, kami menghubungi pembicara-pembicara untuk melakukan Diskusi Publik pada hari Minggu 21 Februari 2016 sebagai momentum Sebulan Groundbreaking Kereta Cepat. Kabar Mendadak Selasa, 16 Februari 2016 malam, kami mendapatkan kabar bahwa KM ITB diundang ke Hotel Grand Royal Panghegar, untuk menghadiri Sosialisasi “Manfaat” Proyek Kereta Cepat untuk Pembangunan Jawa Barat; hal ini tentu menjadi kesempatan yang langka karena sosialisasi diisi langsung oleh Menteri BUMN sebagai narasumber, Pada hari Jum’at 19 Februari 2016. Hari Rabu, 17 Februari 2016 malam, kami mengumpulkan rekan rekan perangkat OSKM 2015 untuk berpartisipasi dalam mengawal acara undangan sosialisasi tersebut, karena diharapkan mereka telah siap menghadapi segala kemungkinan dinamisasi lapangan yang terjadi. Pada malam itu pula kami merumuskan pernyataan sikap dan langsung menghubungi PJS Ketua Kongres untuk melakukan proses audiensi Pengatasnamaan KM-ITB untuk kepentingan Pernyataan Sikap yang akan dibawa pada acara sosialisasi tersebut dan juga rencana aksi lapangan apabila ternyata yang diperbolehkan masuk hanyalah sebagian orang saja. Kamis, 18 Februari 2016, forum audiensi struktural bersama Kongres KM ITB untuk memaparkan draf pernyataan sikap dan rencana aksi lapangan sementara karena belum terdapatnya konfirmasi orang yang pasti terkait siapa saja yang bisa berangkat ke forum sosialisasi tersebut. Akhirnya setelah disahkan dengan syarat, kami melakukan revisi pernyataan sikap sambil melakukan propaganda ke lembaga-lembaga himpunan mahasiswa jurusan

41


yang ada di KM ITB sebagai upaya pensuasanaan dan pembukaan pendaftaran terbuka bagi yang berminat ikut ke acara tersebut. Kamis malam, diadakan rapat pimpinan, forum kultural dengan para ketua lembaga himpunan mahasiswa jurusan, namun ternyata yang dapat menjamin massa lembaga juga kehadiran dirinya pada esok hari tidaklah banyak. Detik-detik yang Menentukan Jum’at 19 Februari 2016 dini hari, kami bersiap-siaga untuk kebutuhan aksi lapangan yang berbentuk aksi dan sosialisasi kreatif berupa bagi bagi mie instant sebagai simbol penolakan terhadap Pembangunan Instant Kereta Cepat, yang mencoba menunjukkan bahwa masyarakat lebih membutuhkan mie instant dibandingkan kereta instant, juga wayang-wayang, spanduk, dan cetak keras selebaran pernyataan sikap supaya sikap KM ITB tersampaikan selain kepada stakeholder terkait, juga kepada masyarakat luas. Jum’at 19 Februari 2016 pagi, kami berkumpul sejumlah 30 orang dan berangkat ke Hotel Grand Royal Panghegar menggunakan kendaraan masing masing dan tiba sekitar pukul 09.15 di lokasi. Saat kita mencoba memasuki gedung dan berharap dapat mendengarkan sosialisasi dari Menteri BUMN terkait proyek kereta cepat ini, ternyata kita ditolak oleh satuan pengamanan setempat. Akhirnya Presiden KM ITB 2016, Muhammad Mahardhika Zein berorasi dan membuka aksi lapangan dan sosialisasi kreatif di trotoar depan gedung Hotel Grand Royal Panghegar, setelah membuka aksi, beliau masuk dan mencoba menanyakan hal-hal yang menjadi kegelisahan bersama dalam pernyataan sikap KM ITB. Kami membagi diri menjadi dua kelompok, di sebelah utara dan di sebelah selatan perlintasan sebidang kereta api Jl. Merdeka. Di lokasi, banyak realisasi yang berubah dari yang telah direncanakan karena lalu lintas ternyata cukup padat, tidak seperti yang diperkirakan. Memanfaatkan ditutupnya jalan karena berada di perlintasan sebidang kereta api, kami membagi-bagikan kertas pernyataan sikap dan juga mie instan kepada para pengendara, masyarakat sekitar dan juga pejalan kaki yang melintas. Ada yang membacakan puisi, berorasi, dan bernyanyi, serta menampilkan seni pertunjukan berupa pawai sebaris berbentuk kereta-keretaan sambil bernyanyi demikian:

42


“Naik kereta cepat tut... tut... tut... Siapa hendak tuntut? Ke Bandung, dari Jakarta Yang boleh naik cuma yang kaya Ayo kawanku lekas naik! Kereta ku dibuat buru-buru... Naik kereta cepat wush... wush... wush... Siapa hendak tuntut? Ke Bandung, dari Jakarta Yang boleh naik cuma yang kaya Ayo kawanku lekas naik! Kereta ku tak indahkan AMDAL...” Sekitar hampir dua jam kita melakukan aksi di Jl. Merdeka, Aksi sengaja dibawakan dengan cara-cara yang menyenangkan, bahkan ada beberapa adik adik di SD sekitar lokasi yang ikut bernyanyi dan berbaris membentuk keretakeretaan bersama rekan rekan massa aksi. Selain KM ITB, terdapat juga rekan rekan dari Komune Rakapare, Walhi, yang juga menolak pembangunan kereta cepat. Aksi ditutup dengan orasi dari Muhammad Mahardhika Zein yang memaparkan hasil dari sosialisasi yang ternyata forumnya telah disetting sehingga pihak yang kontra terhadap proyek hanya mendapatkan satu kesempatan untuk bertanya dan memberikan tanggapan (dari rekan rekan Walhi), namun pernyataan sikap KM ITB dan undangan untuk memberikan pernyataan secara terbuka dalam diskusi di kampus ITB telah diterima oleh Ibu Rini Soemarno, dan memberikan kontak juru bicara menteri BUMN untuk memfollow-up tindak lanjut. Setelah menegaskan kembali pernyataan sikap KM ITB, aksi diakhiri dengan menggemakan Salam Ganesha bersama-sama. Kemudian beriringan pawai ke arah utara dan mengadakan evaluasi sebelum pada akhirnya berangkat untuk menunaikan ibadah Shalat Jum’at. Semoga dengan penjelasan diatas ini dapat menjadi titik terang, bahwa perjalanan aksi kemarin tidaklah tiba-tiba saja terjadi. Kami mengakui banyak kekurangan baik dalam hal persiapan maupun pelaksanaannya, semoga menjadi evaluasi bagi kami kedepannya. Refleksi Aksi “Turun Ke Jalan”: Bagian dari Proses Redefinisi Pergerakan Kemahasiswaan “Be the Change that You Want to See in the World” Terkadang, kita memandang sebelah mata gerakan berbentuk aksi massa menggunakan metode turun ke Jalan. Tidak sedikit dari kita menilai bahwa banyaknya diversifikasi jenis metode gerakan yang ada menyingkirkan metode lapangan. Memandang bahwa cara cara tersebut konvensional, tidak kreatif, mengganggu masyarakat dan membahayakan. Padahal setiap warga 43


negara, secara perorangan ataupun kelompok, bebas menyatakan pendapat sebagai perwujudan hak dan tanggungjawab berdemokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini dijamin di dalam UndangUndang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Muka Umum (yang tentunya hierarki hukumnya lebih tinggi dibandingkan TAP Kongres KM ITB) Namun nyatanya tidak jarang, alam pikiran kita yang justru masih bernuansa orde baru, tidak siap untuk menggunakan hak dan tanggungjawab berdemokrasi, tidak siap memasuki realita reformasi, di usianya yang padahal sudah 14 tahun ini. Citra buruk metode aksi turun ke jalan, boleh jadi karena rekan-rekan yang kreatif tidak ada dan menjadi bagian dari aksi tersebut. Boleh jadi karena rekan-rekan yang santun tidak turut serta menjadi bagian dari aksi tersebut. Boleh jadi karena rekan-rekan yang peduli terhadap lingkungan serta kenyamanan orang lain tidak turut serta menjadi bagian dari aksi tersebut. Sehingga terciptalah aksi yang mungkin ada dalam benak pikiran beberapa rekan-rekan sekalian, aksi lapangan yang diwarnai bentrokan dengan aparat, menghalangi kendaraan dan membuat kemacetan, meninggalkan banyak sampah dan menghasilkan polusi asap dari ban yang dibakar. Puji syukur, aksi 19 Februari kemarin, berjalan dengan tertib dan damai, beberapa dari kami sun tangan kepada pihak aparat kepolisian yang berjaga di lokasi dan dihadiahi “puk-puk� semangat dan himbauan untuk tetap damai dan sesuai aturan dalam menyatakan pendapat di muka umum, bahkan tidak jarang disambut hangat oleh pengendara yang secara proaktif meminta selebaran. Partisipasi adik adik SD dalam tepukan tangan semangat kepada kami dan partisipasi dalam seni pertunjukkan kereta-keretaan sambil melantunkan lagu kereta api yang telah dimodifikasi menjadi kereta cepat pun menunjukkan bahwa aksi ini cukup menyenangkan dan tidak membahayakan. Rekan-rekan yang aksi juga tidak meninggalkan sampah dan juga tidak menghalangi para pengguna jalan raya karena orasi maupun hiburan dalam bentuk puisi maupun seni pertunjukan memanfaatkan momen kereta yang melintas. Mie Instan sebagai simbol penolakan Mahasiswa ITB terhadap pembangunan instan kereta cepat pun disambut dengan baik oleh masyarakat.

44


Namun aksi ini bukanlah titik akhir perjuangan kita dalam menggugat keinstanan proyek kereta cepat ini, itikad baik perlu diusahakan dengan baik pula, Jika kedepannya proyek tetap dilanjutkan dan rekan-rekan dari Walhi jadi menempuh jalur hukum untuk menggugat hal ini melalui PTUN, kami siap berdampingan dalam satu koalisi untuk mengusahakannya apabila Kongres KM ITB menyetujui. Sehingga untuk membangun citra aksi mahasiswa yang berjalan dan berdampak baik bagi masyarakat umum, tentu perlu diniatkan dengan baik dan dilakukan dengan baik pula, aksi mahasiswa yang baik tidak akan terjadi apabila hanya dikritiki dengan baik dan dimaki dengan baik saja. Sepakat bahwa perlu banyak studi mengenai metode-metode pergerakan dan relevansinya terhadap zaman, namun apabila kepedulian terhambat pengemasan gerakan, akan sampai kapan kita terus-menerus terdiam dan berdiskusi? Epilog: Ucapan Terima Kasih dan Permohonan Maaf Sebesar-besarnya, kami ucapkan permohonan maaf kepada rekan rekan ketua lembaga himpunan mahasiswa jurusan, apabila dalam proses persiapan aksi ini kami dirasa “melangkahi� posisi rekan rekan sebagai unsur pimpinan di KM ITB. Semoga kedepannya, melalui pelibatan rekan rekan, akan berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah massa yang terlibat dalam aksi-aksi yang akan dilakukan oleh KM ITB. Juga terima kasih dan mohon maaf kami ucapkan kepada Kongres KM ITB 2016, terkhusus pada Komisi Pengawas dan PJS Ketua Kongres, Yehezkiel David HMTM Patra’13 atas kepercayaan rekan-rekan sekalian dan atas ketidaksempurnaan kami dalam merencanakan dan mengeksekusi proses pengatasnamaan KM ITB dalam pernyataan sikap kemarin. Sebesar-besarnya terimakasih kami ucapkan kepada para penjaga pintu perlintasan kereta api, satuan pengamanan gereja katedral St.Peter, rekan rekan sesama massa aksi dari Komune Rakapare dan Walhi, semoga perjuangan kita dapat menemui titik akhir sebagaimana yang diharapkan; Juga khususnya pada rekan rekan perangkat, massa aksi dan juga para Senator yang mengawasi: Agam, Ardhi, Fauzan, Luthfi Jr, Arya, Yudha, Munjin, Ulwi, Taro, Zaky, Adit dan Adit, Ega, Farah, Lubbi, Iban, Afif, Fadly, Nunu, Safa, Wira, Ali, Gigih, Noris, Abdiel, Bayu, Azmi, Faris, baik mewakili

45


lembaganya maupun sebagai individu, serta rekan rekan yang terlibat dalam persiapan aksi yang tidak bisa diucapkan satu persatu. Apabila yang karena turun aksi, ada dari rekan-rekan yang meninggalkan kelas kuliah; Ketahuilah, hal tersebut bukan bentuk pengguguran tanggungjawab kita semua sebagai mahasiswa. Hindarilah melakukan titip absen atau yang mencederai integritas akademik kita sebagai mahasiswa, gunakanlah hak 20% ketidakhadiran kita di ruang kelas untuk memaksimasi tanggungjawab kita sebagai mahasiswa. Karena yakinlah, tanggungjawab kita sebagai mahasiswa bukan hanya ada di ruang-ruang kuliah, bukan hanya terletak pada bangku-bangku kuliah, tapi juga di luar ruang-ruang kampus, di tempat-tempat terbuka, di jalanan, menggunakan landasan kebenaran ilmiah dan pancasila untuk menyuarakan suara-suara masyarakat yang disenyapkan pengusaha dan penguasa melalui media yang berkepentingan, untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat yang dikesampingkan, untuk mempertajam kepedulian dan rasa empati serta membangun kepemimpinan kolektif di lapangan, untuk mengupayakan terjadinya sebuah perubahan menuju keadaan yang lebih baik. Karena kebenaran takkan menang tanpa diperjuangkan; Karena kebenaran ilmiah takkan tegak tanpa keberanian ilmiah. Semoga nurani tetap menyala di kampus ITB; Panjang umur, Kemahasiswaan!

Referensi: •

Dokumen Pernyataan bit.ly/PRKC2016KMITB

Sikap

46

tersedia

[dalam

jaringan]

di:


47


“Menyembunyikan� PKL Carlos Tondok

“Ya, beberapa hari ke depan kemungkinan kami akan direlokasi.� kata pedagang jus di depan Masjid Salman.

Dagangannya telah selesai dibereskan, dan gerobak sudah siap untuk berangkat kembali ke rumah. Pada malam itu kudapatkan sebuah sudut pandang baru yang benar-benar berbeda dan jarang kudengar. PKL merupakan masalah abadi. Selama masih ada kota yang terus berkembang dan masih ada masyarakt yang hidup di ambang garis kehidupan. Daya tarik yang memikat, menjadi candu bagi setiap orang-orang yang menghirup aroma kesuksesan yang tidak didapatkan di daerah asal. Berduyun-duyun, yang banyak diantaranya tidak memiliki kesiapan yang matang dari segi keahlian maupun finansial. Jelas mereka yang datang akan didepak oleh penduduk kota yang lebih berkompeten, dan menjadikan pendatang bekerja dalam sektor informal. Yang paling mudah diakomodir tentunya berdagang keililing. 48


Sebagai pedagang informal, target pasar tentunya berada di kawasan yang ramai. Tidak mungkin pedagang pendatang ini menjajakan jajanannya di pinggir kota, dibawah flyover, di lantai 8 gedung parkiran. Karena tidak mungkin ada yang mau bersusah payah membeli teh kemasan seharga 4000 ribu dengan usaha sebanyak itu, lebih baik belanja di mini market. Ya, maka itu muncul lah kumpulan pedagang ini di depan pintu kampus kita ini. Sebenarnya kedatangan penduduk ini akan merambat menuju permasalahan permukiman (squater, pemukiman kumuh) tapi itu lain kali saja. Kedatangan pendatang ini tentunya tidak membuat indah dan memberantakan tatanan kota yang telah diperuntukan oleh pemerintah. Namun jika hanya mengusir mereka karena menyalahi aturan itu sama saja bodoh karena sama saja perlakuaan ini seperti mengusir kucing dari meja belajar. Pemerintah tidak mengusir kucing-kucing secara begitu saja, namun pemerintah telah melakukan pengalokasian tempat dimana PKL boleh berdagang dan boleh tidak berdagang yang lebih dikenal sebagai zonasi. Hijau, kuning, dan merah. Bingung juga sebenarnya penulis menulis ini semua, karena langsung saja kusebut bahwa jalan Ganesha adalah zona merah dimana pedagang tidak boleh memarkir gerobaknya. Tapi dimana kami bisa beli seblak dan jasuke, apakah kami harus jalan 4 km ke zona hijau di taman yang jauh disana ? Pandangan bahwa PKL ada karena mereka ingin hidup dan bertahan dari garis kemiskinan, menurutku pandangan ini masih belum tepat. Dari beberapa orang yang kutanyi dari pedagang di jalan Ganesha, sesuatu memelekan mataku bagaiman bisa berdiri untuk memandang sebuah penilaian. Yakni : “kami berjualan disini tidak hanya untuk sekedar hidup, tapi kami juga punya harapan. Kami sadar bahwa kami melanggar peraturan, namun usaha ini kami lakukan untuk mengeluarkan generasi mendatang kami dari kemiskinan. Kami tidak ingin anak-anak kami berjualan seperti kami.� Ya, mereka juga memikirkan masa kedepannya, memikirkan secara jangak panjang. Dan menjadikan pekerjaan mereka sebagai karya kehidupan untuk generasi mendatang. Mereka juga punya harapan lain, bahwa nanti kelak anak mereka bisa menggunakan toga dan menjadi orang yang lebih berguna bagi orang banyak.

49


“Saya punya harapan bahwa seseorang yang bisa memberi dampak baik ke orang banyak lahir dari PKL, karena merekalah yang mengerti perjuangan yang kami alami rasakan” kurang lebih begitulah kata-katanya. Sebentar lagi ada isu bahwa mereka akan direlokasikan, jika benar, maka.. Nantinya jalan Ganesha akan tertata rapih dan indah.. Namun pasti terasa sepi.. Semoga saja relokasi ini memang berdasarkan pertimbangan yang matang, dan relokasi ini hendaklah disertai dengan pengawasan dan pelatihan bagi pedagang2 di dalamnya. Jangan sampai relokasi ini hanyalah langkah untuk menyembunyikan PKL ke tempat yang tidak jelas, dan menyembunyikan mereka… ya sekedar untuk membuat kawasan Ganesa jadi “Indah”. Jangan disembunyikan, tapi relokasikan dengan arti sesungguhnya. Lapar… Di saat rindu ingin makan nasi telor dadar Sedap Malam.

50


51


Sebuah Episode Baru, Drama Politik Jokowi: Papa Minta Ampun… Luthfi Muhammad Iqbal

Revolusi, Mental Kemana?

Revolusi Mental, merupakan jargon yang diutarakan oleh Presiden Joko Widodo pada saat kampanye kurang lebih dua tahun lalu; yang secara harfiah didefinisikan sebagai gerakan seluruh rakyat Indonesia bersama Pemerintah untuk memperbaiki karakter bangsa menjadi Indonesia yang lebih baik. [1] Namun dalam pikiran selintas, frasa “Revolusi Mental” sulit dipisahkan dari sebatas pandangan iklan satu halaman penuh, berwarna, yang rutin dimuat dalam harian Kompas selama kurang lebih satu semester kebelakang. Iklan ini disponsori oleh Kementerian Koordinator Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan, dengan nominal uang yang tidak sedikit, yakni sebesar: 149 Milyar Rupiah [2], yang barangkali sepersekianpersen-nya turut masuk juga ke kampus kita, Institut Teknologi Bandung, dengan jubah “Lomba Poster Revolusi Mental: Budaya Antre” pada Desember lalu, sebagai strategi penyerapan anggaran di akhir tahun.

52


Ekspresi apa yang dapat menggantikan ungkapan ini: Mengerikan! Kegagalan strategi pada penggunaan APBN 2015 di bidang pemberdayaan manusia dan kebudayaan ini boleh jadi menjadi hulu dari semua soal yang hadir kedepan muka kita mahasiswa, yakni pemotongan anggaran riset dan pendidikan tinggi yang nominalnya mencapai Rp 3 Triliyun Rupiah[3]; Pengurangan ini diperparah dengan semakin banyaknya jumlah universitas yang berstatus PTN (Perguruan Tinggi Negeri) sehingga dana BOPTN (Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri) harus dibagi secara merata, sehingga jumlah BOPTN yang diterima oleh PTN menjadi semakin sedikit [4]. Inilah rupanya kawan, yang menyebabkan beasiswa PPA dan BBM di kampus ITB dicabut. Inilah rupanya kawan, yang menyebabkan UKT (Uang Kuliah Tunggal) di berbagai kampus seperti UI, UGM, harus naik tahun ini. Inilah rupanya kawan, yang menyebabkan kampus kita, ITB harus mencari cara untuk mendapatkan uang demi menutupi biaya operasionalnya tanpa harus menaikkan UKT, yang katanya, salah satu caranya ialah menaikkan harga sewa kantin Bengkok menjadi 200 juta, sehingga para pedagang yang semulanya berdagang dan menyewa di kantin ITB, memilih untuk tidak memperpanjang kontraknya, dan kita mahasiswa harus kehilangan salah satu alternatif pilihan makan siang dengan harga yang relatif terjangkau di dalam kampus; atau setidaknya kita harus bersabar menunggu hingga semester mendatang, dengan menu yang entah apa dan harga yang entah berapa mahalnya. Cukup tergambar? Mungkin harus dituliskan demikian agar pembahasan mengenai Revisi UU KPK ini menyentuh kita mahasiswa, agar pembahasan mengenai rencana UU inisiatif pemerintah tentang Pengampunan Nasional ini jadi berhubungan dengan kita. Yang ternyata, penghapusan beasiswa PPA/BBM, kenaikan UKT, bahkan hingga ditutupnya kantin Bengkok, ada hubungannya dengan pemerintah yang kurang memiliki visi yang kuat dalam mengarahkan masa depan riset dan pendidikan tinggi, kurang memiliki visi yang kuat mengenai pemberdayaan manusia dan kebudayaan, sehingga tak perlu heran pagu anggaran APBN untuk kemenkoan PMK ini turun drastis pada 2016 ini.

53


Ya, ini soal omong kosong Revolusi Mental, yang ternyata hanyalah Revolusi Mentah. Sepotong puzzle peristiwa yang diduga saling berkaitan satu sama lain dari yang level makro hingga yang level mikro. Drama Politik Episode III: Papa Minta Ampun! Sudah muak rasanya, sebagai manusia Indonesia, disuguhkan dengan Sinepol (sinema politik) yang tiada henti. Dimulai dari akhir semester lalu dengan cerita Papa Minta Saham, yang menjerat tumbal segar ketua DPR, Setya Novanto dari jabatannya; Disusul dengan cerita Mama Minta Cepat, soal intrik Menteri Rini dalam Pembangunan Kereta Cepat Indonesia-China, pada awal tahun ini; Hingga episode terbaru ini Papa Minta Ampun. Plot ceritanya bisa ditebak seperti tontonan murahan. Polemik yang dipertentangkan antara rakyat dan wakilnya (DPR) mengenai isu Revisi UU KPK yang diduga sebagai upaya pelemahan KPK (dokumen terkait dapat dilihat di bit.ly/KAPAK); Hingga tiba-tiba sang tokoh utama, juru selamat, satria piningit, yang tidak lain tidak bukan, Presiden Joko Widodo, muncul, dan memutuskan bersama pimpinan DPR, untuk menunda pembahasan Revisi UU KPK ini sampai waktu yang tidak ditentukan. Heroik! Halo bapak Pahlawan, mengapa bapak tidak sejak awal memutuskan menunda pembahasan RUU KPK ini? Mengapa isu ini seperti secara sengaja “digoreng” dulu supaya matang kecoklatan konflik antara masyarakat dengan para wakilnya? Supaya “isu” lain terkesan tertutupi. Sehingga keputusan bapak yang Heroik ini seperti bentuk ejawantah dari kehendak “rakyat” yang terlihat seperti dukungan terhadap aksi/upaya penyelamatan KPK? Manajemen Isu yang sangat baik dari bapak dan tim, kami salut pak! Apresiasi! Sayangnya, beberapa berita positif di harian, mengenai Pengampunan Nasional belakangan ini, malah membuat teman-teman di ITB dan saya curiga: Ada apa gerangan? Mengapa Pak Jokowi ini sangat kebelet seperti ingin buang air kecil, supaya RUU Pengampunan Pajak segera dibahas?[5] Apa isinya? Apa dampaknya? Yah, sepertinya sebuah babak baru sinepol segera dimulai: Papa Minta Ampun! Kini, papa minta supaya RUU Pengampunan Pajak yang diusulkan pemerintah ini segera dibahas oleh DPR. Ada apa dibalik ini semua? Apa dan Mengapa, Pengampunan Pajak?

54


Ronald J. Fisher (2005) dalam tulisannya mengenai pengampunan pajak menyebutkan bahwa, Pengampunan Pajak ialah program yang menawarkan pengurangan sanksi finansial maupun legal pada para taxpayers atau pembayar pajak yang berkenan untuk membayarkan sejumlah kewajiban pajaknya pada masa lalu, secara sukarela. Program pengampunan pajak ini memang menjadi kebijakan yang umum dan lumrah diambil oleh pemerintah baik negara maju maupun negara berkembang, untuk meningkatkan jumlah pembayar pajak, karena sangat ampuh dalam menghimpun dana secara cepat dan dalam jumlah besar [6][7]. Biasanya, kebijakan pengampunan pajak ini diambil dalam rentang periode yang terbatas, kesempatan sekali, dan diikuti dengan periode penegakkan hukuman dan sanksi pelanggar wajib pajak secara tegas tidak lama setelah kebijakan pengampunan pajak ini dikeluarkan. Namun tak jarang kebijakan ini diambil dalam rentang waktu tertentu, berulang kali, sebagai tindakan penyelamatan dan peningkatan pendapatan jangka pendek (short term revenue gain) terutama dalam keadaan kesulitan fiskal yang serius. Meskipun Dubin et. al (1992) menyimpulkan bahwa tidak ada buktinya, negara yang memberlakukan program pengampunan pajak mengalami tekanan fiskal, justru banyak negara yang tidak mengalami tekanan fiskal memberlakukan program ini sehingga mendapatkan besaran yang lebih tinggi. [8] Umumnya, kebijakan pengampunan pajak ini biasanya dikeluarkan untuk dengan tiga tujuan: •

Meningkatkan pendapatan jangka pendek

•

Meningkatkan pendapatan jangka panjang, melalui perubahan perilaku pembayar pajak, yang biasanya menghindari kewajiban pajak (tax evaders) supaya memenuhi kewajiban pajaknya

•

Mendapatkan informasi mengenai pembayar pajak yang selama ini menghindari kewajibannya untuk pemenuhan dimasa mendatang, juga informasi umum mengenai tindakan penghindaran pajak untuk mengantisipasi penegakan aturan wajib pajak kedepannya Menimbang Dampak Pengampunan Pajak?

55


Meskipun demikian, Leonard dan Zeckhauser (1987) menyebutkan bahwa berbagai dampak luar biasa yang ditimbulkan oleh kebijakan pengampunan pajak ini, tetap saja melambangkan pelemahan upaya penegakan wajib pajak. Beberapa pengamat, menyebutkan tidak dapat menerima program ini, karena melangkahi legitimasi aturan mengenai hukum dan perpajakan secara umum. [9] Semestinya, masyarakat membayar pajak sebagai bagian dari kesadaran sebagai warga negara. Namun dengan adanya kebijakan pengampunan pajak ini, tersirat sebuah pesan bahwa kekuatan kesadaran membayar pajak itu tidak dibutuhkan, karena perilaku penghindaran pajak adalah hal yang biasa dan dapat dengan mudah diampuni, kebijakan ini dapat menyebabkan pengurangan kepatuhan untuk meningkatkan besaran pajak, dan sangat bergantung pada mekanisme penegakan patuh pajak yang tidak efisien. Selain itu, mungkin memang ada itikad untuk mengubah suatu kesetimbangan baru, sebuah lapisan masyarakat yang jujur, dan hukuman yang lebih berat bagi para penjahat pajak. Namun, tidak ada jaminan bahwa program ini akan berjalan dengan baik. Belum lagi, hanya ada dua dari empat skenario yang merupakan program kebijakan pajak yang mungkin diaplikasikan untuk menciptakan sebuah kondisi perpajakan yang lebih baik.

Four Possible Tax Policy Program (Leonard and Zeckhauser, 1987) Bisa dilihat hanya opsi A dan D yang akan sesuai dengan yang diharapkan. Di antara tetap tidak memberikan amnesti/pengampunan seperti 56


opsi A, atau mengurangi sanksi dalam jangka pendek dan meningkatkan sanksi jangka panjang. Sedangkan meningkatkan sanksi tanpa batas waktu akan berdampak pada semakin banyaknya tax evaders. Adapun memberikan amnesti secara jangka panjang pun akan berdampak pada tidak tegaknya peraturan wajib pajak. Lantas, bagaimana Rencana Undang Undang Pengampunan Nasional yang diusulkan Pemerintah? Tinjauan Kritis RUU Pengampunan (Pajak) Nasional Latar belakang yang dicantumkan dalam Draft RUU Pengampunan Nasional ini dikeluarkan sebagai bentuk kebijakan yang diberikan pemerintah dalam mendorong rekonsiliasi nasional dan meningkatkan kepatuhan dan kesadaran masyarakat dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Meskipun secara teoretis diatas, menurut Leonard dan Zeckhauser (1987) justru pengampunan pajak ini akan menanggalkan rasa sadar membayar pajak, dan mengkhianati para warga negara yang selama ini telah patuh pajak. Logika yang dibawa pemerintah dengan mengajukan RUU Pengampunan Nasional ini ialah untuk mengembalikan harta kekayaan negara yang dibawa lari keluar negeri sebagai hasil money laundering atau kegiatan pencucian uang oleh para pelaku kejahatan dan kegiatan ekonomi bawah tanah di dalam negeri, supaya “para penjahat� tersebut secara sukarela membayarkan wajib pajaknya, tanpa terkena sanksi finansial maupun sanksi legal. Kejahatan yang disebut-pun sangat luar biasa beragam jenisnya. Meliputi: tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pembalakan liar, tindak pidana perikanan dan kelautan, tindak pidana di bidang pertambangan, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana kepabeanan dan cukai, tindak pidana perjudian, dan tindak pidana penanaman modal. Dengan disahkannya UU ini, cukup membayarkan sejumlah nominal pajak yang diwajibkan, segala kesalahan yang telah merugikan bangsa dan negara ini akan dimaafkan oleh hak amnesti Presiden yang dijamin oleh Pasal 14 UUD 1945 hanya untuk sejumlah “receh� dari para mafia dan penjahat besar untuk membayar pembangunan infrastruktur dan hutang-hutang baru, yang belum tentu juga akan terbayar semuanya. Belum lagi, sebanyak 11 Bab dan 21 Pasal yang tertera dalam Draft Rencana Undang Undang Pengampunan Nasional, tidak mencantumkan kerangka waktu batas waktu berlakunya Undang Undang Pengampunan 57


Nasional ini, hanya dijelaskan berlaku mulai 30 hari setelah disahkan. [10] Sehingga dipastikan dalam skema Box 4 diatas, kita dengan RUU Pengampunan Nasional ini berada dalam skenario C. Dari segi moral dan agama, dengan sistem perpajakan yang bersifat melting pot, dimana seluruh dana dicampur-aduk-kan dari berbagai sumber [11], kebijakan tax amnesty ini akan berpotensi untuk mencampurbaurkan sumber dana yang berasal dari hasil kejahatan tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana pembalakan liar, tindak pidana perikanan dan kelautan, tindak pidana di bidang pertambangan, tindak pidana di bidang perbankan, tindak pidana kepabeanan dan cukai, tindak pidana perjudian, dan tindak pidana penanaman modal (yang termasuk kedalam demerit/sins goods and services) untuk pembangunan dimana dana tersebut akan bermuara di belanja sosial, kesehatan, pendidikan, dan lain-lain yang tentunya jadi tidak berkah bahkan haram dalam perspektif agama (islam). Dus, Kebijakan ini hanya akan menjadi wahana rekonsiliasi nasional para mafia, dan menjadi bentuk kemunduran rezim perpajakan nasional. Terlebih lagi menyongsong implementasi Automatic Exchange of Information pada tahun 2018, sebagai komitmen bersama sebagai negara G20 dan kelompok negara OECD; maka semakin jelas, terdapat indikasi bahwa kebijakan ini adalah selimut baru bagi para penjahat supaya kesalahan di masa lalu diampuni baik secara financial maupun legal sebelum pada akhirnya, informasi rahasia bank untuk kepentingan perpajakan akan dibuka dan para mafia tersebut akan terancam hukuman pidana maupun financial (denda) yang sangat besar apabila tetap dalam Skenario A. [12] Istirahat dalam Damai, Revolusi Mental “Heh, negara ini enggak diatur oleh preman. Sudah berkali-kali saya bilang. Ingat itu!� - Luhut Binsar Panjaitan [12] Abang Luhut yang saya hormati, cobalah teriakkan hal tersebut juga bukan hanya pada warga yang ada di lokalisasi Kalijodo saja. Tolong teriakkan hal itu pada bapak Presiden Jokowi, pada ibu Puan Maharani, dan bapak Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. Tegaskan bahwa negara ini enggak diatur preman. Maka RUU Pengampunan Pajak pesanan premanpreman besar ini juga jangan sampai mengacaukan peri kehidupan berbangsa dan bernegara yang kita jalani. Jangan sampai bapak ini double standard, 58


hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jangan sampai pengesahan RUU tersebut melukai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Katanya revolusi mental adalah perubahan dalam cara kita berpikir dalam bertindak dan bekerja menghadapi keadaan tertentu. Dan jujur saja, saya sebagai masyarakat, sebagai mahasiswa bingung menghadapi bapakbapak dan ibu-ibu sekalian kalau seperti ini, yang mengkhianati semangat integritas dan gotong royong dalam membangun sistem perpajakan yang baik dan berkeadilan. Bapak Jokowi bilang bahwa banyak permasalahan yang terjadi di negara kita saat ini, mulai dari rakusnya pejabat yang memperkaya diri sendiri, pelanggaran HAM, hingga perilaku sehari-hari masyarakat seperti tidak mau antre dan kurang peduli terhadap hak orang lain. Apabila Bapak, sebagai Presiden RI mengampuni para penjahat fiskal tersebut, bukankah justru bapak sendiri yang mengampuni perilaku rakusnya pejabat dan juga penjahat yang memperkaya diri sendiri? dan Bapak juga yang kurang peduli terhadap hak orang lain yang selama ini sudah patuh menjalankan kewajibannya membayar pajak? Istirahat dalam damai Revolusi Ternyata engkau memang tidak pernah hadir di Selain pada selembar harian, seharga 149 milyar rupiah.

Mental! Indonesia,

Referensi •

[1] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://revolusimental.go.id/

[2] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/02/10/151344726/Ini.Pe njelasan.Menteri.Puan.atas.Tambahan.Rp.149.Miliar.untuk.Revolusi.Ment al.

[3] — — — . 2016. Budget in Brief: APBN 2016. Direktorat Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan RI. Tersedia [Dalam Jaringan] di:http://www.kemenkeu.go.id/Publikasi/informasi-apbn-2016

[4] — — — .2016. Catatan Seminar ITB Road to 2025: Regulasi dan Arah Gerak Pendidikan Tinggi di Indonesia. Tim Majelis Wali Amanat Wakil Mahasiswa ITB (MWA-WM ITB). Tersedia [Dalam Jaringan]

59


di:http://ganecapos.com/2016/02/itb-goes-to-2025-bicarakan-arahgerak-perguruan-tinggi/ •

[5] Tersedia [Dalam Jaringan] di:http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/makro/16/02/24/o31o g5383-jokowi-minta-ruu-pengampunan-pajak-segera-dibahas

[6] Cordes, Joseph J., Robert D. Ebel, Jane Gravelle. 2005. The Encyclopedia of Taxation & Tax Policy. The Urban Institute

[7] Ronald J. Fisher. 2005. Tax Amnesty. Michigan State University

[8] Dubin, Jeffrey A., Michael J. Graetz, Louis L. Wilde. 1992. State Income Amnesties: Cause. The Quarterly Journal of Economics. California Institute of Technology, Yale Law School.

[9] Leonard, Herman B., Richard J. Zeckhauser. 1987. Amnesty, Enforcement, and Tax Policy. Tax Policy and the Economy, Volume 1. p. 55–86. MIT Press. Tersedia [Dalam Jaringan] di:http://www.nber.org/chapters/c10929

[10] ] — — — .2015. Rancangan Undang Undang Pengampunan Nasional. Pemerintah Republik Indonesia. Tersedia [Dalam Jaringan] di:www.antikorupsi.org/sites/antikorupsi.../093312.PDF

[11] Patta, Johnny. 2014. Materi Perkuliahan Pembiayaan Pembangunan. Teknik Planologi ITB

[12] Tersedia [Dalam Jaringan] di: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/11/17/221900426/Men keu.Tax.Amnesty.Harus.Dilakukan.Sebelum.2017

[13] Tersedia [Dalam Jaringan] di:http://nasional.kompas.com/read/2016/02/16/14144601/Luhut.Heh .Negara.Ini.Enggak.Diatur.Preman.Ingat.Itu.?utm_source=WP&utm_med ium=box&utm_campaign=Kpopwp

60


61


RUU Arsitek : Dari Kacamata (Calon) Perencana. Galih Norma Ramadhan

Sikap dan perbuatan kami jelas, MENOLAK dengan tegas!

Karena berhasil merencanakan, belum tentu merencanakan keberhasilan (Ramadhan, 2016)

Latar Belakang 31 Desember 2015, MEA (Masyarakat Ekonomi Asean) resmi dibuka. MEA menjadi tonggak bagi negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk melepas sekat-sekat administratif, bertransformasi menjadi sebuah borderless region. Perdagangan bebas menjadi semangat yang melatarbelakangi cita-cita terbentuknya sebuah kawasan dengan perpindahan barang, uang, dan manusia yang lebih murah, mudah, dan cepat. Perdagangan bebas dinilai dapat menjadi katalis kemajuan bangsa. Rumusnya sederhana: Kebebasan memacu persaingan dan persaingan memacu peningkatan kualitas sumber daya manusia dan produk (yang tidak mampu atau tidak berkesempatan bersaing? Entah). Hal ini tentu menjadi dua mata pisau, tantangan yang sifatnya potensial ketika SDM dan produk kita 62


mampu mengungguli SDM dan produk asing, atau malah menjadi ancaman yang serius ketika SDM dan produk kita gagal bersaing (dan pemerintah juga gagal menjamin kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, ketika proteksi terlambat atau tidak tepat sasaran). Hampir dua bulan berjalan, mungkin banyak dari kita yang tidak merasakan adanya dampak yang signifikan dengan dibukanya gerbang kebebasan bertajuk MEA ini. Faktanya memang MEA (yang baru seumur jagung ini) tidak secara langsung dan secepat itu merasuk dan mentransformasikan segenap sektor perekonomian dan tatanan masyarakat kita. Dengan sederet program pembangunan yang tertuang dalam nawacita dan janji-janji politik Presiden Jokowi, Indonesia menjadi ladang subur bagi sektor keinsinyuran yang telah memiliki payung hukum dengan hadirnya UU Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran dengan cakupan pengelolaan SDA, kelautan, pertanian, kedirgantaraan, pembangunan fisik, dan lain sebagainya. Sebuah payung hukum seperti ini merupakan langkah strategis dalam menjamin praktik insinyur yang lahir dari bumi pertiwi agar dapat bersaing dan berkembang. Kaitannya dengan praktik keinsinyuran yang telah memiliki legalitas, menjadi menarik ketika kita melihat salah satu praktik keinsinyuran terkait yang tengah ramai (meskipun tidak seramai pewartaan revisi UU KPK) dan menjadi salah satu RUU dalam prolegnas prioritas (Program Legislasi Nasional) di tahun 2015 (Alhamdulillah 3 RUU berhasil ‘goal’, dari total 40 RUU) yang kemudian masuk lagi dalam prolegnas prioritas tahun 2016. Sudah semestinya kita sebagai warga negara yang baik, mengawasi praktik legislasi yang sedang berjalan di Dewan Perwakilan, yang terhormat. Terlebih bagi siapapun yang memiliki kepentingan dan yang bersinggungan secara praktik di tataran lingkup kerja. Yang menjadi pertanyaan, mengingat MEA yang sudah menyapa, apakah RUU Arsitek ini sudah sesuai dengan yang diharapkan? RUU Arsitek, Kabarmu kini. 14 April 2015, terhitung sudah 301 hari RUU Arsitek menjadi bola panas yang kian menggeliat di meja para wakil kita anggota Dewan, yang terhormat. Setelah menjadi salah satu prolegnas prioritas tahun 2015 (meski gagal disahkan di tahun yang sama), di tahun 2016 status RUU ini pun belum berubah. Pada awalnya RUU ini merupakan usulan dari Fraksi Partai 63


Kebangkitan Bangsa dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang diusulkan tertanggal 2 Februari 2015 dibawah komisi V, bidang infrastruktur dan perhubungan. Draft RUU dengan 11 BAB dan 57 pasal yang selesai disusun tanggal 14 April 2015 ini kemudian dibawa ke meja persidangan komisi V (dihadiri 8 anggota), Dewan Perundang Undangan (DPU), dan Sekretariat Jenderal (Setjen) pada tanggal 22 April 2015 dengan pertimbangan secara filosofis berdasarkan sila 2 dan 5 pancasila, landasan sosiologis dengan hadirnya MEA, dan landasan yuridis dimana belum adanya UU Arsitektur di Indonesia (satu-satunya yang belum memiliki payung hukum setingkat UU di ASEAN). Secara garis besar, RUU ini mencakup: 1.

Ketentuan Umum

2.

Azaz dan Tujuan

3.

Layanan Praktik Arsitek

4.

Persyaratan Arsitek

5.

Arsitek Asing

6.

Hak dan Kewajiban (Arsitek dan pengguna jasa arsitek)

7.

Kelembagaan Arsitek (Dewan Arsitek Indonesia)

8.

Pembinaan

9.

dan Ketentuan Pidana

10. Ketentuan Peralihan 11. Ketentuan Penutup Pembahasan berikutnya, pada tanggal 26 Agustus 2015 dengan diadakannya Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara komisi V, pakar, praktisi, dan perwakilan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI). Satu hal yang menjadi poin penting dalam diskusi kali ini adalah adanya kekhawatiran RUU Arsitek ini tidak akan berumur lama ketika disahkan sebagai UU. Seperti yang dikemukakan oleh Bapak Dr. Ir. Baskoro Tedjo, bahwa para ahli planologi dapat melakukan judicial review. Tentu sebuah kekhawatiran yang serius mengingat posisi beliau sebagai arsitek dan perwakilan IAI, bukan dari pihak planner (yang tentu tidak turut diundang).

64


Hingga tulisan ini dibuat, kabar terakhir menyebutkan bahwa posisi RUU ini tengah digodok di Badan Legislasi (Baleg) dan sedang dalam tahap harmonisasi. Dari Pihak Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) sendiri juga tengah bergerak dalam mengawal RUU ini, melalui diskusi dengan IAI dan juga upaya lewat ranah legislatif. Yang menjadi pokok permasalahan adalah mengenai BAB III tentang layanan praktik arsitek, dimana menyebutkan bahwa: Pasal 4 (1)

Layanan Praktik Arsitek berupa penyediaan jasa profesional terkait dengan penyelenggaraan kegiatan Arsitek.

(2)

Lingkup layanan Praktik Arsitek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat meliputi dan tidak terbatas pada: a.

perencanaan kota dan tata guna lahan;

b.

perancangan kota dan kawasan;

c.

penyusunan studi awal;

d.

perancangan bangunan gedung dan lingkungan;

Dimana yang menjadi soal adalah domain perencanan wilayah dan kota, seolah-olah termasuk kedalam ruang lingkup arsitek. Ketika kita melihat bab penjelasan sendiri hanya pernyataan cukup jelas yang tertulis. Tentu kita bertanya-tanya, apa saja kompetensi yang harus dimiliki seorang perencana? dan apakah kompetensi tersebut dimiliki lulusan sekolah arsitektur? Planologi dan Kompetensi Perencana Dalam tataran definisi, perencanaan wilayah dan kota atau disebut juga planologi dapat dipahami sebagai sebuah ilmu penataan ruang yang sifatnya siklik, mulai dari rencana, eksekusi, pengawasan, hingga evaluasi berdasarkan pertimbangan kebutuhan, dimensi, dan sumberdaya. Terlepas dari definisi, dalam praktiknya seorang perencana memiliki produk yakni dokumen rencana atau disebut juga RTRW. Dalam penyusunan dokumen perencanaan sendiri, tentu seorang perencana harus memiliki pengetahuan tentang bagaimana seharusnya 65


penataan sebuah ruang dilakukakan, seperti acuan dari Undang-undang dan juga peraturan Kementerian Pekerjaan Umum (PU). Sehingga kita dapat mengetahui pertimbangan apa saja yang perlu diperhatikan, penggunaan ilmu tata kota nya, dan kurikulum sekolah perencanaan seperti apa yang dapat memenuhi standar kompetensi seorang perencana. Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Permen PU No 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota, ada banyak pertimbangan yang menuntut adanya pengetahuan dan kompetensi seperti bagaimana cara penghitungan, analisis, dan dimensi kebutuhan sarana prasarana (transportasi, jalan, irigasi, drainase, sanitasi dsb), pengetahuan dan penataan guna lahan, pertimbangan aspek kependudan dan proyeksi kependudukan kedepan, optimalisasi sumber daya alam, mitigasi bencana, analisis lingkungan,regional analysis, kaitan dengan daerah hinterland, hierarki perundang-undangan, juga aspek politik dalam konteks pelaksanaan perencanaan (termasuk pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi), dan lain sebagainya tergantung dengan wilayah perencaan. Karena dalam praktiknya setiap wilayah yang akan direncanakan, pasti memiliki ciri khas dan pasti proses analisis keruangan dan prosuk rencananya bakal berbeda dengan yang lainnya. Melihat kebutuhan yang sedemikian kompleksnya, seorang calon perencana yang lahir dari rahim sekolah perecanaan, mendapat bekal yang sedemikian rupa disusun berdasarkan kompetensi yang dibutuhkan sebagai calon perencana. Dalam planologi (dalam hal ini ITB) di awal kami diajarkan mengenai statistik, pengolahan peta, geologi, lingkungan, ekonomi, pola keruangan dan juga kependudukan. Kemudian juga mengenai infrastrukur, perumahan, dan hukum. Di tahun kedua lebih membahas dalam skup yang berbeda yakni desa dan perkotaan. Menjelang tahun akhir suguhan mata kuliah yang lebih abstrak seperti pembiayaan, manajemen, evaluasi, dan juga politik. Selain itu terdapat beragam mata kulaih lain yang bisa diambil seperti aspek kebencanaan, perencanaan pesisir, dan lain sebagainya. Untuk mengintegrasikan metadisiplin ilmu yang telah diajarkan sebelumnya, disediakan studio. Mulai dari studio proses perencanaan, studio kota, studio infrastruktur, dan juga studio perencanaan wilayah. Di dalam studio seorang calon perencana dikenalkan bagaimana gambaran kerja dari seorangplanner. Baik dari pencarian data dan dokumen, survei lapangan, juga pengolahan dan analisis data hingga terbentuknya dokumen rencana. 66


Melihat bahwa kompetensi yang dibutuhkan planner sangat sukar bila tidak diajarkan dikelas dan dikuasai para calon perencana. Maka harusnya domain perencanaan memang terpisah dari layanan praktik arsitektur. Meskipun terdapat titik temu antara arsitektur dan planologi seperti dalam perancangan site plan, tetap saja cara berpikirnya berbada. Jika arsitek lebih kepada harmoni, estetika, kenyamanan, humanis, skala, gambar dan sebagainya, maka perencanaan memiliki perspektif berdasarkan kebutuhan, dimensi, sumber daya dan sebagainya. Sehingga, seorang perencana haruslah memiliki kompetensi dibidang perencanaan, bukan domain seorang arsitek bila berbicara masalah perencanan kota dan land use, dan juga perencanaan kota dan kawasan. Lulusan sekolah arsitektur jelas belum memiliki kompetensi disana. Rekomendasi Sikap HMP Pangripta Loka ITB adalah MENOLAK substansi RUU Arsitek pada BAB III pasal 4 tentang layanan praktik arsitek, dan mengusulkan alternatif perubahan berdasarkan diskusi IAP tanggal 14 Februari 2016, yakni sebagai berikut: (a)

Menghapuskan pasal 4 ayat 2 (a), karena perencanaan kota dan tata guna lahan membutuhkan kompetensi perencana kota sebagai disiplin yang terpisah dengan arsitektur.

(b) Merubah redaksional dalam RUU tersebut, yaitu:

(c)

(i)

Pada ayat 2 huruf a “perencanaan kota dan tata guna lahan� diganti menjadi Arsitek dapat membantu Perencana Kota dalam hal Perencanaan Kota dan tata guna lahan.

(ii)

Pada ayat 2 huruf b “perancangan kota dan kawasan� menjadi Arsitekbersama dengan Perencana Kota melakukan perancangan kota dan kawasan

Membuat lembar penjelas yang berisi deskripsi lebih lanjut mengenai BAB III pasal 4 ayat 2 RUU Arsitek.

(d) Perubahan nomenklatur menjadi RUU Arsitek dan Perencanaan Kota, karena dalam perencanaan kota memiliki peran yang berkaitan. Epilog

67


Pada akhirnya upaya kita semua untuk turut mengawal pembentukan UU Arsitektur, merupakan sebuah langkah menjaga berlangsungnya demokrasi yang sehat. Hal ini membutuhkan konsistensi dan juga rasa saling terkait dengan konten yang menjadi polemik hingga saat ini. Tidak hanya dari IAP, dosen, ataupun para perencana yang berkecimpung di pemerintahan, tapi juga mahasiswa yang merupakan bibit-bibit yang ke depan bakal menentukan bagaimana potret perencanaan di negara kita. Tidak lain adalah untuk menjaga suluh idealisme kita, bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah harapan dan tujuan kita bersama. Jangan lupa, meskipun perencana masih dianggap banyak mengandunglocal content (public domain) dan dinilai belum perlu didorong sebagai bagian dalam kesepakatan ASEAN, namun perjuangan mewujudkan RUU Perencanaan harus tetap kita perjuangkan. HMP! HMP! HMP! Salam Satu Jiwa Perencana!

Referensi •

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 06 Tahun 2011 tentang Pedoman Penggunaan Sumber Daya Air

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Analisis Aspek Fisik, Ekonomi, serta Sosial Budya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2011 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Dan Peraturan Zonasi Kabupaten/Kota 68


Draft RUU Arsitek tanggal 14 April 2015

Notulensi Rapat Ikatan Ahli Perencanaan 14 Februari 2016

Rachmat, Yulianti Shanty, ST., MT., M.Sc., Ph.D. Kuliah Studio Proses Perencanaan. Planologi ITB

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. 2015. Program Legislasi Nasional 2015–2019. http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas-long-list diakses 17 Februari 2016

SAPPK ITB. 2013. Struktur Kurikulum 2013 Prodi http://sappk.itb.ac.id/?p=5572 diakses 17 Februari 2016

SAPPK ITB. 2013. Struktur Kurikulum 2013 Prodi http://sappk.itb.ac.id/?p=6345 diakses 17 Februari 2016

Anonim. 2015. RUU Arsitek — Rapat Komisi 5 dengan Deputi Perundangundangan Sekretariat Jenderal DPR. http://wikidpr.org/rangkuman/ruuarsitek-rapat-komisi-5-dengan-deputi-perundang-undangan-sekretariatjenderal-dpr diakses 17 Februari 2016

Anonim. 2015. RUU Arsitek — Rapat Komisi 5 dengan Pakar, Praktisi dan IAI. http://wikidpr.org/rangkuman/ruu-arsitek---rapat-komisi-5-denganpakar-praktisi-dan-iai diakses 17 Februari 2016

Maulana, Alvaryan. 2015. Sekolah Perencanaan, di persimpangan Jalan.https://www.facebook.com/notes/alvaryan-maulana/sekolahperencanaan-di-persimpangan-jalan/10153696659252645 diakses 17 Februari 2016

69

Arsitektur PWK

S1. S1.


Antara Intelektual dan Sebuah Institut 4 Aditya-Finiarel Phoenix

Mungkin ini hanya rangkuman dan tambahan singkat dari 3 tulisan sebelumnya. Karena sebenarnya wacana mengenai ITB tidak akan merambat terlalu jauh dari bagaimana fungsi ITB sebagai sebuah pabrik intelektual. Keinginan untuk menulis tulisan lanjutan sebenarnya sudah ada sejak obrolanku dengan Pak Hendra terkait semakin minimnya orang-orang yang mengabdikan diri untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Dengan adanya seminar oleh MWA- WM beberapa hai yang lalu, aku memunculkan kembali wacana itu ke pikiranku, walau sebenarnya tidak banyak konstruksi ide yang bisa dilakukan. Yah, semoga bermanfaat saja. Banyak yang bilang bahwa pendidikan merupakan kunci dari berkembangnya suatu bangsa. Tidak bisa dipungkiri memang, pendidikan memegang peranan penting dalam pengembangan manusia, dari keterampilan dasar, pengetahuan, hinggakkarakter. Itulah kenapa wacana mengenai pendidikan sesungguhnya merupakan wacana yang tidak pernah 70


habis terbahas selama bangsa itu masih ingin terus mengembangkan diri. Sudah jelas bahwa proses pendidikan bukanlah proses yang singkat, bahkan bertingkat-tingkat pada praktik formalnya, dari dasar, menengah, hingga tinggi. Jika melihat dari tujuan luhur pendidikan, yakni memanusiakan manusia, tentu mereka yang telah menempuh keselurhan tingkat bisa lebih “termanusiakan� dengan kematangan pikiran maupun karakter yang secara utuh terwujud dalam diri seorang individu. Dari sini lah kemudian muncul istilah intelektual. Ya, kaum yang dikatakan menjadi pemegang arah perubahan. Ada apa dengan kaum intelektual? Sudah banyak wacana bisa dibahas terkait makhluk yang satu ini, termasuk 3 tulisan sebelum ini (bagian 1, bagian 2, bagian 3). Memang cukup menarik bila kita bisa telaah terus menerus mengenai kaum intelektual, mengingat memang bukanlah sebuah kekeliruan bila dikatakan bahwa dari kaum inilah perubahan bisa diciptakan. Setelah mencob membahasnya pada dua tulisan pertama, seperti halnya tulisan ketiga, penulis kali ini tertarik untuk membahas pabrik yang memproduksinya: perguruan tinggi. Mungkin judulnya kelak akan sedikit kurang relevan karena yang saya bahas bukan sekedar sebuah institut, namun perguruan tinggi secara lebih luas, mengingat institut hanyalah salah satu bentuk perguruan tinggi berdasarkan UU No. 12 Tahun 2012. Dilema Pendidikan Tinggi Bila berbicara mengenai pendidikan tinggi, tentu saja apa yang terbayang adalah kampus-kampus dengan beragam macam gambaran dan nama, beserta rangkaian proses kuliah, kegiatan-kegiatan, dan riset-riset. Bayangan tersebut tidak lah salah, walau mungkin bayangan mengenai Academia yang dibangun plato dulu, bisa sangat lah jauh berbeda. Pendidikan tinggi secara sederhana merupakan tingkatan lanjutan proses pendidikan formal dari pendidikan menengah, yakni SMA/SMK dan SMP. Karena tidak ada lagi tingkatan di atasnya, bisa dikatakan bahwa pendidikan tinggi merupakan gerbang terakhir proses pendidikan formal yang dilalui manusia, walau sebenarnya pendidikan tinggi itu sendiri masih berjenjang, dari diploma satu hingga doktoral. Sebagai sebuah gerabang terakhir proses pendidikan, pendidikan tinggi harus bisa menyelesaikan tujuan pendidikan selengkap mungkin pada tataran ini karena tidak bisa lagi ‘menitip’ untuk diselesaikan pada tingkat 71


berikutnya. Setelah melalui pendidikan tinggi, minimal seseorang pasti akan memasuki dunia kerja, atau dunia dimana pembelajaran tidak lagi dibekali pengaman atau pemakluman. Maka demikian tentu beban pendidikan tinggi tidaklah ringan, ia menjadi penentu akhir bagaimana manusia yang kelak membangun negara, apalagi mengingat sesungguhnya manusia yang diharapkan oleh tujuan luhur pendidikan tidaklah mereka yang sekedar cerdas, pintar, ahli, atau terampil pada suatu bidang, namun berkepribadian, berkarakter, dan berbudaya. Namun sayang, hal-hal terakhir inilah yang jarang dilirik, seakan pendidikan karakter terhenti di pendidikan menengah. Paradigma mengenai pendidikan tinggi cenderung bergeser ke arah keterampilan dan pengetahuan ketimbang tujuan sesungguhnya dari apa yang disebut dengan pendidikan. Metode-metode pengajaran di kelas maupun atmosfer yang tercipta di kampus tidaklagi menekankan pembinaan karakter dan budaya, walaupun masih ada serpihan-serpihannya terlihat dalambeberapa kondisi. Peningkatan human capital berbasis pengetahuan dan keterampilan ini menggeser jauh definisi manusia yang seharusnya ‘dimanusiakan’ melalui proses pendidikan. Pembahasan mengenai bagaimana seharusnya pendidikan akan menjadi wacana yang cukup panjang, yang sudah sebagian ku bahas pada tulisan yang lain. Pendidikan selalu mengalami dilema yang sangat besar dengan adanya globalisasi dan kebutuhan-kebutuhan lainnya dalam konteks negara. Kebutuhan tenaga-tenaga terampil dan inovatif yang dibutuhkan untuk pembangunan selalu dibebankan pada pendidikan tinggi, membuat pendidikan semakin hilang arah. Kebebasan dan kebenaran akademis hanya menjadi ‘alat’ dan metode, bukan menjadi hal yang ingin disempurnakan untuk membangun kesadaran manusia seutuhnya. Apakah ini masalah? Pertanyaan itu menjadi semakin kesulitan mencari jawaban. Di sisi lain, tentunya kita akan sangat merindukan pendidikan tinggi menjadi seperti Academia-nya Plato dimana pelajar-pelajar di dalamnya belajar dan berdiskusi sendiri untuk mencapai kesadaran penuh dirinya sebagai manusia yang paripurna, namun dalam sebuah zaman yang semakin kompleks, kebutuhan dalam kehidupan komunal luas setara negara membuat kita mau tidak mau pragmatis dan realistis untuk lebih mementingkan pengembangan kualitas pengetahuan dan keterampilan untuk kemajuan bersama ketimbang idealisme rumit mengenai kesadaran dan kebebasan manusia dalam menggapai kehidupannya. 72


Beban pendidikan tinggi sebenarnya terletak pada lulusannya,karena dari lulusannya lah bisa dinilai apa yang sesungguhnya dicapai dalam proses pendidikan formal tingkat akhir ini. Secara umum, arah lulusan ini bisa dilihat dalam 3P: Politisi, Pengusaha, dan Profesional. Pada dasarnya 3P itu adalah 3 dunia yang ‘punya kuasa’ dalam tataran masyarakat, namun dengan cara yang berbeda-beda. Terkait hal tersebut, pendidikan tinggi, atau perguruan tinggi, memegang kunci yang sangat kuat sebagai tempat dimana kebebasan berpikir diutamakan. Mimbar bebas pemikiran selalu menjadi hal yang sangat ditakuti kekuasaaan apapun. Hal ini pula lah yang membuat kampus ditekan melalui NKK/BKK pada masa orde baru, karena kampus memiliki kekuatan yang tidak bisa diremehkan. Sayangnya, bergeser orde dan zaman, kampus tetap seakan terus ditekan dalam berbagai arah yang berbeda, mulai dari globalisasi, industrialisasi, liberalisasi ekonomi, kemajuan teknologi, dan lain sebagainya. Pada titik akhirnya, kekuatan yang sesungguhnya dimiliki kampus untuk menyeimbangkan 3 dunia tersebut semakin menumpul dengan adanya tuntutan-tuntutan lain yang menyingkirkan tujuan kampus sesungguhnya. Akhir-akhir ini disemarakkan pembahasan mengenai bahwa agar suatu negeri dapat menjadi makmur, paling tidak 2% populasinya merupakan wirausahawan, pembahasan yang membuatenterprenurship menjadi sesuatu yang diagung-agungkan sehingga menjadi fokus pengalih dalam pengembangan diri dan pendidikan. Hal ini terkait dengan pengembangan jiwa-jiwa inovatif dalam rangka mewujudkan kemandirian ekonomi. Tentu ini tidak salah, karena kewirausahaan sendiri merupakan satu dari 3 dunia yang menjadi kunci utama dinamisasi masyarakat, tapi apakah lantas kemudian ia mengalihkan konsentrasi pendidikan tinggi? Entah seberapa signifikan, namun sudah mulai terlihat pergeseran arah di dunia kampus yang mana hal-hal terkait inovasi dan kewirausahaan cenderung lebih diminati ketimbang hal-hal lainnya. Padahal, bila melihat persaingan sesungguhnya di pendidikan tinggi, yang secara sederhana diukur dengan tolok jumlah jurnal yang dipublikasikan, Indonesia masih jauh dari kurang. Hal ini bisa jadi disebabkan fenomena ketika dunia profesional mulai jarang dilirik oleh kalangan mahasiswa sebagai titian karir yang akan dibangun dalam hidupnya. Kerja di suatu perusahaan, atau menciptakan usaha sendiri adalah tren paling utama yang muncul terkait lulusan perguruan tinggi ketimbang fokus di bidangnya, menjadi praktisi atau peneliti untuk kemudian terus menerus memproduksi karya-karya akademis demi 73


meningkatkan kualitas pengembangan ilmu di Indonesia. Jika dalam rangka mengembangkan ilmu saja perguruan tinggi masih belum bisa mencapainya dengan baik, bagaimana dengan tujuan sesungguhnya pendidikan untuk membina dan mendidik karakter bangsa? Untuk bisa meningkatkan kualitas lulusannya sendiri pun, pendidikan tinggi tidak bisa serta merta melihat proses sebagai faktor utama. Karena menjadi tingkatan pendidikan terakhir, pendidikan tinggi sebenarnya mendapatkan ‘sisa’ dari tingkatan-tingkatan sebelumnya untuk diselesaikan. Input peserta didik yang memasuki tingkatan pendidikan tinggi telah melalui tahun-tahun yang berbeda sebelumnya, sehingga adalah sebuah kesulitan besar untuk menyamakan semua masukan yang berbeda-beda ini untuk menjadi keluaran dengan standar yang setara. Itulah kenapa pertanyaan mengenai kenapa seakan-akan kebutuhan sarjana yang berkualitas di Indonesia tidak pernah terpenuhi tidak bisa dilihat sebelah mata hanya dari pendidikan tinggi. Semua itu terkait dengan masukan peserta didik yang memasuki dunia pendidikan tinggi sendiri, kualitas pendidikan tingginya, jumlah kursi yang tersedia, hingga kesadaran untuk menempuh pendidikan. Semua faktor ini cukup sulit terbaca dengan baik karena saling mempengaruhi. Apakah memang jumlah kursi yang tersedia di pendidikan tinggi kurang, atau sebenarnya sudah cukup namun tidak diiringi dengan kesadaran masyarakat untuk menempuh pendidikan tinggi? Atau apakah kualitas pendidikan tingginya yang bermasalah, ataukah masukan peserta didiknya sendiri yang cukup sulit untuk dibentuk sehingga permasalahannya menyeleruh ke semua tingkatan pendidikan? Memang jika melihat permasalahan pendidikan, akan cukup sukar jika hanya melihat secara parsial karena pendidikan sendiri merupakan satu keutuhan proses dari manusia lahir hingga dewasa. Sayangnya, karena merupakan pabrik keluaran terakhir, pendidikan tinggi seakan diberi beban terbesar untuk menyelesaikan semuanya. Padahal di pendidikan tinggi sendiri, perhatian terhadap pendidikan karakter dan budaya sangatlah minim. Seperti yang sudah saya jelaskan pada tulisan saya yang ke-3, perguruan tinggi seperti ITB cenderung ‘pincang’ karena hanya menghasilkan manusia-manusia terampil dan berpengetahuan namun minim kesadaran dan wawasan sosial. Walau sebenarnya secara dilematis hal ini disebabkan oleh faktor-faktor yang juga sulit untuk dihindari dan diselesaikan. Memang akhirnya seperti yang dikatakan seorang dosen, “ITB under pressure”. 74


Mempertahankan idealisme pendidikan di zaman yang semakin maju ini adalah sebuah perjuangan yang tidak mudah. Apalagi dengan adanya MEA, tujuan utama pendidikan semakin terkikis dan terkoyak, membuat Plato mungkin hanya bisa menangis melihat keadaan. Kapitalisasi Ilmu Dilema yang dialami ITB sebagai sebuah institusi pendidikan tinggi memang cukup besar. Apalagi ITB semakin diarahkan menjadi pusat riset dengan dibangunnya fasilitas-fasilitas baru yang terkait dengan pengembangan ilmu. Tentu saja hal ini merupakan hal yang bagus jika melihatnya dalam rangka untuk meningkatkan kualitas riset dan publikasi jurnal di Indonesia. Tapi apakah memang niat baik untuk memajukan riset ini dilakukan dengan semestinya? Salah satu tantangan terbesar dari pengembangan riset di semua negara adalah besarnya dana yang dibutuhkan. Hal itu juga lah yang dialami Indonesia, hingga akhirnya muncullah konsep triple helix yang juga mengarah pada paradigma entrepreneurial university. Triple helix pada dasarnya adalah ide untuk menggabungkan 3P agar tersinergikan dengan baik. Pengusaha alias dunia bisnis dan industri menyediakan modal riset sekaligus berperan untuk mengaplikasikan secara langsung semua hasil riset agar bisa dinikmati oleh masyarakat, profesional alias dunia akademik sebagai penyedia modal manusia, ide, dan invoasi untuk kemudian langsung dikembangkan lebih lanjut oleh industri, dan politisi alias dunia pemerintahan menyediakan regulasi yang dibutuhkan agar dua dunia yang lain bisa terkoordinasikan dengan baik. Namun pada akhirnya dalam interpretasi yang berbeda, hubungan antara dunia industri dan dunia akademik bisa semakin memperjelas bagaimana ilmu semakin terkapitalisasi. Entah apakah Indonesia sudah terjadi sejauh apa, namun yang pada akhirnya terjadi adalah riset cenderung dimodali oleh industri dan bisnis yang mana kelak hasilnya dijadikan paten perusahaan terakit dan menjadi rahasia dagang. Riset yang seharusnya tidak boleh didorong motif mendapatkan laba hanya menjadi idealisme palsu kaum akademis. Mau tidak mau mereka membutuhkan uang, entah untuk dirinya sendiri atau keberjalanan riset tersebut. Mengulang kutipan saya terhadap kata-kata Albert Einstein, “Hampir semua ilmuan adalah orang yang dari segi ekonomi tidak bebas�. Ilmuan adalah pekerjaan yang cenderung dibayar bila 75


hasilpenemuannya bisa digunakan oleh kepentingan terkait, entah oleh industri atau pemerintah. Ilmu semakin direnggut kebabasannya dengan terus dijadikan permainan antar kepentingan. Meski begitu, sebenarnya memang hal seperti itulah yang terjadi pada negara-negara yang telah menerapkan triple helix dengan baik. Riset-riset dikembangkan untuk kelak jadi paten yang diperjualbelikan, yang mana kemudian akan terus memicu inovasi-inovasi baru yang signifikan. Hubungan antara kaum akademis dengan bisnis pun sebenarnya tidak harus terjadi secara institusional. Rekrutmen ilmuan-ilmuan oleh perusahaan-perusahaan untuk pengembangan produknya pun menjadi bagian dari semakin terkekangnya kebebasan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini, seharusnya kampus lah yang menjadi pelindung kebebasan tersebut, namun pada akhirnya tetap saja begitu banyak dilema yang juga akhirnya menekan kampus untuk mengikuti arus peradaban ketimbang bertahan pada idealisme kebebasan pengetahuan. Apa yang dibawa oleh ITB saat ini, sebuah konsep yang dinkenal dengan enterpreneurial university mungkin dianggap sebagai sebuah solusi tersendiri untuk menengahi dilema tersebut. Definisi dari enterpreneurial university (EU) yang dijelaskan oleh ITB sebenarnya tidak cukup jelas menggambarkan apa yang sebenarnya dibangun dari konsep ini. Apa yang tercantum di renstra pendidikan ITB, yang mana menjelaskan sedikit mengenai 3 ciri EU, yakni excellence in teaching, excellence in research, excellence in innovation, sebenarnya tidak mendeskripsikan secara jelas apa yang sebenarnya ingin dicapai dari EU. Memang pendefinisian dari EU bisa sangat beragam bergantung perspektif. Tapi pada intinya, seperti yang dijelaskan oleh National Centre for Entrepreneurship in Education (NCEE) di Inggris, EU adalah konsep yang mengedepankan enterprise sebagai kerangka berpikir untuk ditanamkan pada peserta didik maupun pengaturan riset dan invoasi di perguruan tinggi. Oxford dan Cambdridge sebagai yang telah sukses menerapkan prinsip EU pantas dijadikan cermin dalam hal ini. Kerangka Enterprise yang dimaksud di sini adalah bagaimana kita bisa menjadi penguasa diri kita sendiri, artinya tidak tunduk ataupun berada di bawah yang lain. Dalam dokumen ‘The Entrepreneurial University, From Concept to Action’ yang dikeluarkan oleh NCEE, terjelaskan bahwa “The Enterprise Concept focuses upon the development of the ‘enterprising person and entrepreneurial mindset’. The former constitutes a set of personal skills, attributes,

76


behavioural and motivational capacities (associated with those of the entrepreneur) but which can be used in any context (social, work, leisure etc)�. Dalam konteks pengembangan ilmu dan teknologi, ini diwujudkan dalam pengendalian arah pemanfaatan ilmu dan teknologi oleh kampus agar bisa mandiri tanpa harus bergantung pada industri. Inovasi yang dikembangkan bisa lebih luhur menerapkan kebebasan pengetahuan dan tidak terkontaminasi kepentingan apapun. Kita bisa melihat contoh apa yang dimikili Oxford, yakni Isis Innovastion Limited, sebuah perusahaan transfer teknologi yang sepenuhnya dimiliki oleh Oxford sendiri. Karya dan aset intelektual dalam suatu kampus pun bisa lebih terfasilitasi dan teroptimalkan tanpa harus terkena campur tangan kepentingan sektor privat. Konsep tersebut sebenarnya sudah dicoba diterapkan oleh LIPI, yang mana peneliti-peneliti di sana difasilitasi untuk memiliki paten dan kontrol terhadap karyanya sendiri. Namun, LIPI bukanlah sebuah institusi pendidikan, sehingga tidak ada unsur pengembangan manusia yang terfokus selayaknya perguruan tinggi. Di lingkungan kampus, penananaman konsep entrepreneur pada peserta didik dapat membantu menumbuhkan kemandirian dan kreativitas. Dalam hal ini, konsep luhur pendidikan yang mana seorang manusia seharusnya memiliki kesadaran penuh akan hidupnya sendiri menjadi hal yang pararel bisa diwujudkan melalui penanaman konsep enterprise dalam pengembangan peserta didik. Namun hal yang perlu ditekankan di sini adalah penyeimbangan orientasi dan pemahaman agar tidak adanya kepincangan dalam paradigma berpikir. Walaupun begitu, tetap saja kemurnian ilmu sulit diselamatkan dari kapitalisasi, mengingat konsep entrepreneur ini tetap akan berarah pada komersialiasi dari inovasi-inovasi yang diciptakan oleh individu maupun kelompok di universitas. Kembali pada Kontemplasi Bagaimana ilmu seharusnya bisa jadi hak milik semua orang sepertinya memang hanya idealisme yang kelewat utopis. Apresiasi dari karya tidak sama dengan komersialisasi dari karya tersebut, termasuk karya intelektual. Salah satu yang saya rasakan juga bahwa tekanan dan godaan komersil sebagai nilai tambah yang bisa didapatkan dari terciptanya suatu karya merupakan hal yang sulit dicegah. Dalam tataran karya intelektual seperti jurnal dan makalah, memang pembatasan akses dengan adanya biaya merupakan bagian dari pencegahan plagiarisme. Pada dasarnya memang niat luhur dari adanya hak cipta adalah apresiasi terhadap pencipta, namun 77


sayang bila hal itu berujung pada semakin tidak bebasnya pengetahuan bagi siapapun. Tetap saja hal tersebut adalah hal yang sukar dihindari, seakan memang seharusnya seperti itu. Kapitalisasi akan semua bentuk produk manusia, termasuk ilmu sendiri sudah menjadi hal yang natural pasti terjadi dengan semua pergerakan dunia saat ini. Kampus sebagai sebuah institusi pendidikan mengalami dilema sana-sini di antara menjaga idealisme luhur pendidikan dan kebebasan ilmu dengan kebutuhan pragmatis yang muncul dari berbagai arah tekanan. Apa yang ingin diwujudkan oleh ITB dengan konsep EU mungkin untuk menyeimbangkan dilema tersebut. Mengenai bahwa ide tidak pantas untuk diperjualbelikan pun sangat bergantung perspektif, walau sebenarnya semangat itulah yang selalu dibawa ketika pengetahuan pertama kali berkembang secara sisetematis di Yunani. Yang terpenting sesungguhnya adalah tidak melupakan tujuan sesungguhnya dari proses pendidikan, yaitu bagaimana agar manusia bisa sadar sepenuhnya dengan dirinya sendiri. Kesadaran inilah yang terwujud dalam karakter dan budaya manusia terkait. Melupakan hal-hal krusial seperti ini akan menghasilkan sarjana-sarjana pincang yang hanya akan berparadigma sempit dan nil idealisme kuat mengenai posisinya sebagai manusia. Seperti yang dijelaskan oleh NCEE, “it is the levels of uncertainty and complexity in any environment and the associated threats and opportunities that dictate the need for entrepreneurial response�. Dunia dengan zaman yang semakin maju dan tak menentu lah yang membuat kampus terus terdesak sebagai pejuang terakhir kebebasan ilmu pengetahuan. Itulah mengapa saya sebut semua ini sebagai kutukan peradaban. Karena perkembangan peradaban saat ini hanya akan terus memberi simalakama antara realita dengan idealisme yang seharusnya dijunjung. Bagaimana kelak kita akan bertahan, kita tak bisa mengetahui dengan pasti. Sebagai mahasiswa, toh saya hanya bisa mempertahankan apa yang bisa ku pertahankan dengan semua benteng terakhir idealisme serta melakukan apa yang bisa ku lakukan untuk mewujudkannya. Untuk ITB sendiri? Entahlah. (PHX)

78


79


Tahun 2020 Indonesia Bebas Sampah Ainun Ahmad Dzikri

Plastik, Mudah namun Bermasalah Plastik merupakan salah satu jenis material yang sering sekali digunakan untuk membungkus makanan ataupun minuman, sebagai tas untuk menyimpan barang yang baru saja dibeli ataupun sebagai bahan bahan rumah tangga yang sering kali dijumpai. Sebuah penilitian mengatakan bahwa jumlah plastik yang digunakan di Indonesia mencapai 1,9 juta ton tiap tahunnya. Lalu apa yang terjadi jika plastik plastik ini sudah tidak terpakai lagi? Maka akan dibuang tentunya, dan disinilah muncul suatu masalah. Plastik merupakan jenis material yang sulit sekali diurai oleh lingkungan, hampir semua plastik membutuhkan waktu ratusan tahun untuk dapat diurai, waktu penguraian yang lama ini membuat plastik justru akan menjadi masalah karena sampah plastik yang dibuang begitu saja membuat sampahnya akan merusak lingkungan, menghambat aliran sungai jika dibuang sembarangan ataupun menutupi sinar matahari di lautan yang dimanfaatkan plankton untuk berfotosintesis, atau bisa jadi tempat berkembang biak nyamuk karena plastik akan sulit terurai dan justru menampung air sebagai tempat berkembang biak nyamuk. Kebijakan lingkungan di Februari 2016 Mulai 21 Februari 2016 kementrian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) mengeluarkan surat edaran nomor S.1230/PSLB3-PS /2016 tentang Harga dan Mekanisme Penerapan Kantong Plastik Berbayar. Dengan surat edaran ini membuat konsumen yang ingin mendapatkan kantong kresek harus membelinya dengan harga minimal Rp 200,00 yang biasanya diberikan secara gratis, hal ini diterapkan guna mengurangi keberadaan sampah plastik yang sulit sekali diurai (butuh ratusan tahun). Dengan surat edaran ini membuat salah satu dari sekian jenis plastik yang beredar di masyarakat telah dikurangi, hal ini merupakan langkah awal yang bagus untuk mengurangi penggunaan jenis plastik yang lainnya, hingga akhirnya di tahun 2020 tidak ada lagi sampah plastik yang terbuang begitu saja. 80


Kebijakan Baru untuk Mencapai Tahun 2020 Indonesia Bebas Sampah Dengan kemajuan ilmu teknik material terdapat banyak sekali terobosan terobosan baru untuk menanggulangi limbah plastik ini, diantaranya adalah dengan menggunakan material biodegradable, jenis material ini biasanya dibuat dari unsur unsur biologi (sari – sari tumbuhan) sehingga sekalipun dibuat seakan – akan menjadi plastik jenis material ini dapat diurai oleh tanah dalam waktu yang lebih cepat (kurang lebih hanya membutuhkan waktu 2 tahun). Sehingga penggunaan material ini tidak akan merusak lingkungan sebagaimana yang terjadi bila kita menggunakan plastik komersial. Selain dengan material biodegradable salah satu cara yang seharusnya pemerintah dapat lakukan adalah dengan membuat suatu kebijakan yang mendukung orang orang di industr kreatif. Karena ditangan orang – orang yang kreatif limbah plastik dapat menjadi barang barang yang bermanfaat kembali (seperti menjadi meja atau kursi plastik) dengan demikian selain dapat mengurangi jumlah limbah plastik di lingkungan, juga menjadi lahan ekonomi yang dapat menunjang perekonomian masyarakat. Hal ini juga mendorong terbentuknya budaya reuse reduce recycle (3R) di masyarakat Indonesia. Dengan membuat kebijakan yang mendukung keberadaan industri kreatif yang mengolah limbah plastik, pemerintah juga akan dapat menambah lowongan pekerjaan yang akan mengurangi pengangguran di Indonesia dan meningkatkan taraf ekonomi di Indonesia sehingga masyarakat di Indonesia dapat menjadi lebih makmur dan sejahtera. Mewujudkan Indonesia Bebas Sampah Untuk mewujudkan mimpi Indonesia bebas sampah di tahun 2020 membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, dari masyarakat yang haruslah memiliki budaya reuse-reduce-recycle, dari perusahaan untuk memproduksi produk yang dapat dengan mudah di urai, serta pemerintah yang memberikan dan melakukan kebijakan. Kebijakan untuk membayar kantong plastik merupakan langkah awal yang baik, kebijakan ini haruslah mendorong kebijakan kebijakan lain yang lebih tegas lagi dalam mengelola sampah plastik. sehingga bersama sama kita dapat mengurangi sampah plastik dan mimpi Indonesia bebas sampah 2020 bukan hanya mimpi belaka namun merupakan sebuah realita. Dalam 81


mewujudkan mimpi ini sebaiknya dilakukan dari lingkup yang kecil terlebih dahulu, dan kota Bandung yang terkenal akan kota kembangnya haruslah menjaga keasrian kotanya dan menjadi pelopor dalam menjaga lingkungan untuk mendorong masyarakat Indonesia untuk bersama sama menjaga lingkungan. Mengingat posisi pemerintah sebagai badan eksekutif Negara, dan mengingat UU18-2008 BAB III mengenai Tugas dan Wewenang Pemerintahan Bagian keempat mengenai wewenang pemerintah kabupaten/kota dengan tulisan ini penulis menyarankan kepada pemerintah kota Bandung untuk: 1.

2.

Membuat suatu kebijakan baru dimana para produsen yang menjual produknya dengan bungkus plastik biasa untuk menggantinya dengan material biodegradable, sehingga limbah plastik di lingkungan dapat dikurangi, karena material biodegradable dapat diurai oleh lingkungan lebih cepat. Memberikan bantuan dan mendukung para pelaku industri kreatif yang memanfaatkan limbah plastik, sehingga dengan demikian masyarakat akan terdorong untuk tidak secara langsung membuang sampah plastiknya, namun disalurkan kepada perusahaan industri kreatif untuk menjadi benda bernilai jual kembali.

Semoga Bandung bisa menjadi kota yang lebih asri dan nama kota kembang sebagai nama lain kota Bandung dan motto kota Bandung yakni “Gemah Ripah Wibawa Mukti� yang berarti “Tanah subur rakyat makmur� menjadi penyemangat warganya untuk menjaga lingkungan demi mencapai kehidupan yang lebih sejahtera.

82


83


Balada Korupsi Indonesia Aditya-Finiarel Phoenix

"Orang yang cemburu sepertiku, jika bercermin membelah cermin. Jika Pemilumenjual suara. Jika tak punya uang-jadi penipu. Jika punya uang-jadi rentenir. Jika menjadi supporter-menyalah-nyalahkan wasit. Jika mencintai-menyakiti. Jika menjadi politisi-korupsi." - Andrea Hirata -

Belum lama ini tengah hangat isu mengenai revisi UU KPK yang menjadi landasan yuridis berdirinya lembaga yang selama ini dipercaya cukup efektif menangkap dan mengadili pesakitan-pesakitan parasit negara. Mungkin memang wacana terkait korupsi adalah wacana yang bisa membuat hati, telinga, dan pikiran gatal sendiri dengan campuran sensasi antara jengkel, sedih, dan bingung disebabkan betapa wacana ini selalu menghiasi beritaberita sepanjang tahun. Kita sebenanrya bisa memandang korupsi ini dengan beragam cara. Memang tidak bisa dipungkiri sistem dan keberjalanan 84


mekanismenya memberi pengaruh yang cukup besar terkait probabilitas terjadinya tindakan-tindakan yang merugikan negara. Itu lah yang menjadi fokus utama isu yang akhir-akhir ini tengah berkembang terkait terancamnya KPK untuk dilemahkan, karena memang keberadaan KPK adalah salah satu bentuk penekanan probabilitas terjadinya tindakan korupsi dari segi sistem. Dengan menyempitkan celah-celah kesempatan untuk melakukan tindak pidana korupsi, niat-niat untuk melakukan itu bisa ditekan. Ya tentu saja, kesempatan adalah sebab utama mengapa manusia bertindak. Perbaikan sistemik dengan adanya KPK tidak perlu dinafikan sebagai salah satu usaha yang signifikan. Tapi sebagai anak matematika yang terbiasa mengabstraksi segala sesuatu, aku mencoba membawa wacana ini ke arah lain, toh pengetahuanku mengenai studi kultural maupun ilmu sosial-politik tidaklah banyak. Sebenarnya, korupsi hanyalah satu dari sekian banyak tindakan yang dikategorikan buruk secara moral dan etika, hanya saja karena pendefinisian kita yang terlalu sempit lah membuat kita menganggap korupsi hanyalah sekedar tindakan yang melanggar hukum, menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dan merugikan negara (definisi korupsi berdasarkan UU Tipikor). Terkait hal tersebut, siapa lagi yang bertugas menanamkan moral dan etika kalau bukan dunia pendidikan? Menelisik Dasar Apa sebenarnya korupsi? Sederhana deh. Pernah lihat di komputer ada istilah “corrupted fileâ€?? Kita bisa mengartikan hal tersebut sebagai berkas yang rusak. Korupsi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris corruption yang berkata dasar corrupt. Secara etimologis, kata ini berasal dari bahasa perancis corruptus, atau lebih jauh lagi dari bahasa latin n corrumpĹ?/corrumpere, yang mana semuanya secara umum bermakna “merusakâ€?. Menarik dari situ, anggaplah bahwa korupsi merupakan tindakan yang secara umum merusak, seperti yang akhirnya dicantumkan pada KBBI Edisi IV yang menuliskan: korup a 1 buruk; rusak; busuk; 2 suka menerima uang sogok; dapat disogok (memakai kekuasaannya untuk kepentingan pribadi). Jadi tindakan merugikan negara hanyalah subhimpunan dari semesta tindakan korupsi. Melihat korupsi secara umum sebagai sebuah tindakan yang merusak memberi jalan untuk mengaitkannya dengan moralitas manusia.

85


Terkait hal tersebut, wacana moralitas bukanlah hal yang bisa dengan sederhana dan singkat terbahas. Ribuan tahun manusia mendiskusikan hal yang sama terkait apa yang baik dan apa yang buruk, dan bagaimana menciptakan keselarasan antar tindakan manusia. Subwacana moralitas yang paling utama mewarnai peradaban adalah apa yang kita kenal dengan kebebasan. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa hasrat manusia paling dasar adalah hasrat untuk bebas, dalam hal apapun. Dengan kebebasan seseorang bisa merasa memiliki hidupnya sendiri secara utuh. Namun sayang, dengan hidup berkelompok, kebebasan seseorang pastilah berbenturan dengan kepentingan orang lain, karena pada dasarnya setiap orang saling memengaruhi satu sama lain. Benturan kepentingan ini lah yang memicu munculnya norma atau tata aturan dalam suatu masyarakat, agar relasi antar kuasa bisa ditata agar lebih teratur. Sudah begitu banyak tata aturan tercipta semenjak manusia mengenal peradaan yang teratur. Semua pada intinya dibangun dengan niatan yang sama untuk menengahi semua kepentingan agar bisa tercipta keteraturan. Sayang, adanya sistem tata aturan tidak sama dengan menekan hasrat manusia untuk bebas. Bahasa lain dari kebebasan sebenarnya adalah kekuasaan, sejauh apa wewenang manusia untuk melakukan sesuatu. Itulah kenapa ketika tata aturan masyarakat sudah terbentuk pun, pertarungan antar kuasa untuk saling memperjuangkan kebebasan kepentingan masingmasing pun tidak akan pernah lepas. Hal ini yang kemudian mendinamisasikan dunia bertahun-tahun hingga saat ini. Usaha mencari keteraturan di tengah hasrat manusia untuk terus memperjuangkan kebebasannya. Bisa saja keteraturan itu diciptakan dengan menyamaratakan semua kebebasan yang dimiliki oleh anggota masyarakatnya. Namun adanya stratifikasi sosial, baik secara formal ataupun kultrual, hal itu tidak dapat diwujudkan. Bagaimana juga membuat tata aturan ketika tidak ada yang menegakkannya? Namun ketika ada yang menegakkan tata aturan, artinya akan ada sekelompok orang yang memiliki kuasa atau kebebasan lebih ketimbang lainnya. Terciptalah kesenjangan, stratifikasi kebebasan manusia dalam suatu kelompok masyarakat, yang mana memiliki banyak bentuk, dari stratifikasi ekonomi hingga stratifikasi pengetahuan. Dari sini pula lah muncul konsep penindas-ditindas, borjuis-proletar, penguasa-jelata, dan lain

86


sebagainya, yang memunculkan ragam memperjuangkan hal yang sama: kebebasan.

ideologi

yang

sesungghnya

Masuk dalam konteks negara, sekarang kita berada dalam kelompok masyarakat bernama Indonesia yang memiliki tata aturan yang tersusun dalam beragam undang-undang dan peraturan. Semua tata aturan, yang berdiri di atas asas Pancasila memang tentu diniatkan untuk mengakomodiasi semua kebebasan dan kepentingan anggota masyarakatnya. Kita semua tahu, satu per satu sistem dicipta untuk menjawab tujuan itu, hingga secara pasti, selalu ada orang-orang yang memiliki kuasa atau kebebasan lebih untuk melakukan sesuatu. Ketika hal ini terjadi, selalu ada kecenderungan manusia untuk memenuhi hasrat dasarnya, yaitu memperluas kebebasan itu, entah dengan keuntungan yang besar, aksesibilitas terhadap sesuatu, atau keleluasan untuk melakukan sesuatu. Tentu saja dengan tata aturan yang sudah dibuat untuk membuat distribusi kebebasan agar seadil mungkin, ketika ada yang keluar dari koridor aturan tersebut dan mendapatkan kebebasan lebih, ada kebebasan dari orang lain yang terambil. Inilah yang menjadi dasar filsafat moral sesungguhnya, atau kalau pakai bahasa OSKM: kebebasan substansial, yaitu bagaimana hak-hak manusia tercipta selama tidak mengganggu hak-hak yang lain. Ketika ambillah contoh seorang pejabat menerobos batas kebebasan untuk kepentingan diri sendiri dengan mengambil untung pada suatu proyek, ada uang yang seharusnya tersalurkan pada orang-orang tertentu menjadi tidak dapat tersalurkan. Ketika orangorang terkait seharusnya bisa menikmati penyaluran uang yang “diambil� secara bebas oleh pejabat tadi, kebebasan orang-orang terkait untuk memanfaatkan penyaluran itu jadi terambil. Penggunaan kebebasan yang berlebih ini cenderung membuat keseimbangan kebebasan yang diatur dalam tata aturan tadi terlanggar, sehingga bisa dikatakan sebauah tindakan yang merusak, yang membuat ia bisa diberi istilah “korupsi�. Memeriksa Akar Dengan semua itu, lantas bagaimana? Ya ketika melihat fenomena korupsi merupakan wacana moralitas , tentu yang harus kita lihat adalah subjeknya, yaitu manusia. Tindakan apapun memang selalu terkait dengan subjektivitas pelaku, yang mana dalam hal ini harus melihat penyebab mengapa pelaku melakukan hal tersebut. Jika mengambil alur siklus dasar, apa yang manusia alami menentukan apa yang manusia pahami, apa yang manusia pahami menentukan apa yang manusia lakukan, dan apa yang 87


manusia lakukan menentukan kembali apa yang manusia alami. Sehingga bertanya mengapa manusia melakukan sesuatu harus ditarik mundur hingga ke seluruh pengalaman hidupnya. Itulah kenapa dalam konteks moralitas, pembunuh paling bejat pun tidak bisa dihukum begtiu saja, karena pasti ada sebab dalam pengalaman hidupnya mengapa ia bisa membunuh, dan tentu saja dengan itu, rehabilitasi adalah hukuman paling manusiawi secara moral. Untuk masalah hukum, banyak pendapat bisa muncul sebenarnya. Misalnya dengan alasan untuk memunculkan efek jera, pelaku korupsi harus dihukum mati walau jelas bertentangan dengan moralitas, yang mana tidak ada manusia yang salah sepenuhnya. Namun terlepas dari hal itu, mungkin yang perlu dipikirkan dalam konteks masyarakat adalah bagaimana mengarahkan pengalaman dan pemahaman masyarakatnya, karena seperti diagram alir tadi, keduanya akan menentukan bagaimana seseorang bertindak, atau secara sederhana, akan membentuk karakter masyarakat. Dengan apa karakter masyarakat dibentuk secara massif? Apa lagi kalau bukan dengan proses pendidikan. Perbaikan sistemik dengan reformasi birokrasi atau penguatan lembaga seperti KPK memang perlu, tapi apakah itu akan memberantas korupsi hingga ke akar-akarnya? Tentu tidak, karena akarnya ada pada sebab musabab kenapa orang-orang bisa dengan mudahnya melakukan tindakan korupsi, tentu hal ini secara jauh melihat bagaimana ia berkembang sejak kecilnya. Seperti halnya bagaimana membersihkan gelas yang terus menerus diisi air kotor, tentu akan sangat sulit untuk memisahkan kotoran yang sudah terlarut dalam air. Cara terbaik adalah dengan mengganti sumber air ke gelas tersebut dengan air jernih hingga semua air kotor itu terdorong keluar dengan sendirinya. Melakukan perbaikan sistemik adalah bagaimana kita membuat saringan agar kotoran yang masuk di gelas bisa tersaring, tapi tentu itu tidak akan menyelesaikan masalah. Lantas ada apa dengan pendidikan di Indonesia saat ini sehingga tetap saja pelanggar-pelanggar aturan terus menerus muncul di masyarakat? Hal ini tidak bisa dijawab secara parsial, karena proses pendidikan adalah proses yang kontinyu dan harus dilihat secara utuh. Kekeliruan pada masa sekolah dasar tidak bisa serta merta dapat diperbaiki pada sekolah menengah, apalagi mengingat alur pembelajaran manusia sangatlah rumit. Selain itu juga, tidak hanya pendidikan formal di sini memainkan peran, namun juga pendidikan informal, dari orang tua dan lingkungan. Tapi 88


apakah sesederhana itu? Tentu saja tidak, karena dalam hal ini pelaku pendidik melibatkan banyak komponen yang mana harus memiliki kesadaran yang sama terkait seberapa jauh batasan pendidikan yang baik ditanamkan. Ketika orang tua memikirkan anak itu harusnya seperti A, dan sekolah memikirkan B, maka pendidikan tidak akan bisa berjalan secara menyeluruh dan optimal. Di sinilah tantangan utamanya, apalagi, ada variabel lingkungan yang tidak terkontrol. Dengan majunya teknologi seperti sekarang ini, sehebat-hebatnya orang tua mencegah pun alur informasi terlalu deras untuk ditahan, kecuali jika tinggal di tengah hutan. Terkait hal itu, penyaringan informasi lebih diperlukan, namun tentu saja membutuhkan usaha yang tidak mudah. Sayang, pada realitanya, dengan beragam sebab, orang tua selalu memberikan kebeasan pada anaknya tanpa adanya pendampingan intensif, terlebih lagi, tidak ada kerja sama yang baik antara sekolah dan rumah karena perspektif pendidikannya yang begitu beragam. Pada intinya, masalah terkait pendidikan ini sudah mengakar sedalamdalamnya hingga ke tataran kesadaran akan pendidikan itu sendiri. Aku cukup yakin lebih dari 50%pelaku pendidik (guru dan orang tua) belum memiliki kesadaran yang utuh terkait pendidikan yang baik seharusnya seperti apa. Dilema ini diperparah dengan adanya komersialisasi pendidikan, yang mana anak-anak cenderung disekolahkan sekedar agar kelak bisa mendapat pekerjaan, bukan karena ilmu. Padahal secara ideal, sekolah (apapun, dari SD hingga PT) punya dua fungsi, yaitu pengajaran intelektual dan pengajaran moral, namun kecenderungannya hanya sebatas pengajaran intelektual itu pun mengalami banyak penyimpangan karena adanya tuntutan-tuntutan lain (selebihnya baca penindasan pendidikan bagian 1 dan bagian 2). Standarisasi yang ada secara nasional pun cenderung penilaian yang mengukur kecerdasan, bukan yang mengukur kebaikan atau karakter. Hal ini mengakibatkan fokus-fokus sekolah hanyalah pada keterampilan dan pengetahuan, bukan pada kebaikan. Ditambah lagi, standar kebaikan orangorang bisa sangat berbeda-beda. Membahas detail terkait banyaknya ironi di dunia pendidikan Indonesia akan menjadi pembahasan panjang tersendiri, karena permasalahanya cukup luas dan kompleks. Maka cukup sekarang mari kita lihat halini dalam perspektif pencegahan tindak korupsi. Mungkin ketika sudah dalam tataran nasional, tindakan ini memang begitu terlihat nyata karena memang lingkupnya sudah sangat besar. Untuk melihat akarnya, kenapa tidak melihat 89


analogi tindakan korupsi dalam tataran nasional ke dalam tataran yang lebih kecil. Kita tentu sudah banyak tahu iklan-iklan anti korupsi yang memperlihatkan bahwa tindakan sederhana seperti menyontek merupakan cikal bakal tindakan korupsi pada tataran yang lebih besar nantinya. Tentu banyak hal-hal kecil lain yang selama ini disepelekan sesungguhnya kelak menjadi tindakan yang berpengaruh cukup besar. Itulah sebenarnya pembentukan karakter tidak bisa dilakukan setengah-setengah, harus utuh dan komplit. Bagai membangun sebuah bendungan yang kokoh, karena ada retak sedikit bisa mengakibatkan runtuhnya keseluruhan struktur. Dalam hal ini memang pendidikan yang bersifat totalitas yang mana pendidik bisa mengawasi, membimbing, dan membina peserta didiknyasepanjang waktu yang mungkin lebih berhasil dalam mencetak karakter secara utuh, ambillah contoh pesantren atau pendidikan militer. Namun itu sendiri pun tidak cukup, karena pada akhirnya mengingat manusia adalah eksistensi yang sangat tidak sederhana, banyak variabellain bisa masuk untuk memengaruhi. Pada tataran mahasiswa sendiri hal ini bisa cukup terlihat, mengingat masukan peserta didik pada pendidikan tinggi merupakan hasil bertahuntahun pendidikan sebelumnya. Walau sebenarnya tidak bisa digeneralisasi secara cuma-cuma, terkadang menjadi tanda tanya tersendiri bagiku ketika melihat perilaku-perilaku sederhana seperti istilah lobbying satpam, mengadakan kegiatan tanpa izin, dana proposal yang digelembungkan, ketidakrapihan arsip, manipulasi surat, mudahnya membolos, titip absen, dan hal-hal lainnya yang sebenarnya pada realitanya hanya menjadi lelucon sehari-hari seakan semuanya adalah kewajaran. Tidakkah ada yang pernah coba membayangkan pada lingkup besarnya , semua tindakan kecil itulah yang menghasilkan tindakan-tindakan penggelembungan dana proyek, kongkalikong antar kepentingan, dan banyak hal-hal lainnya. Pertanyaan sederhana yang mempertanyakan mengapa lulusan ITB masih bisa tejerat kasus korupsi pun bisa ku jawab secara sederhana juga. Idealisme yang terbangun selama jadi mahasiswa tidaklah utuh karena hal-hal sepele dan kecil diabaikan, bahkan justru dianggap wajar dan dijadikan kebiasaan. Kita terlalu jauh memikirkan idealisme yang besar-besar sedangkan idealisme kecil-kecilan seperti tidak menyisakan makanan sebutir nasi pun sering disepelekan. Dianggap tidak relevan? Cih, karakter yang meremehkan hal kecil itulah yang sesungguhnya membuat orang-orang ketika berada di atas awan semakin tidak mampu melihat hal-hal akar rumput. Mungkin ketika kita di sini bisa saja meremehkan pertanggungjawaban 500 rupiah yang mana 90


mungkin hanya 0.0001 % dari total dana sesungguhnya, tapi dalam tataran nasional, 0.0001% itu bisa sama dengan jutaan rupiah. Hal kecil? Ya tentu saja, tapi kebiasaan melihat hal besar membuat kita lupa dengan hal tersebut. Dilema budaya Berbicara pendidikan tidak akan lepas dari membicarakan budaya, karena seperti kata Ki Hajar sendiri, budaya terbentuk dari hasil pendidikan. Sesungguhnya dalam sektor pendidikan sendiri, tiap tahunnya tentu pasti selalu ada penyempurnaan, apa lagi tentu sudah banyak orang-orang yang menaruh perhatian lebih pada dunia krusial ini, walau pada akhirnya pada tataran praktiknya sangatlah sulit untuk diwujudkan. Kenapa? Karena yang berperan penting untuk mewujudkan kesadaran pendidikan yang utuh adalah pendidik-pendidiknya. Sayangnya, dalam lingkup pendidik sendiri pun masih sedikit yang benar-benar sadar akan makna sesungguhnya pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Bisa kita lihat dengan mudah ada berapa banyak guru yang benar-benar ‘mendidik’, ketimbang yang sekedar mengajar. Maka jika ditarik mundur, pendidik-pendidik sendiri masih perlu dibangun kesadaran akan pendidikannya. Namun siapa yang bisa mewujudkan itu? Pada akhirnya semua hanya akan menjadi lingkaran setan tersendiri. Diklat-diklat yang diberikan pada guru pada akhirnya cenderung hanya formalitas yang hanya memberi pengetahuan teknis ketimbang karakter itu sendiri. Lagipula apa yang bisa ditanam pada seseorang yang cenderung sudah melewati bertahun-tahun hidup yang mengeraskan karakter utamanya? Guru-guru itu sendiri pun merupakan hasil pendidikan dengan sistem yang sama. Lingkaran setan? Ya. Asalnya dari mana? Marilah memutar terus lingkaran itu mundur hingga melihat apa yang sebenarnya terjadi. Mengawali lagi dengan pertanyaan , tidakkah merasa aneh ketika Indonesia, yang dikatakan memiliki kearifan lokal yang mengakar secara budaya pada seluruh nusantara memiliki indeks persepsi korupsi pada urutan ke-88 dunia? Apa jangan-jangan kearifan lokal itu hanyalah utopia dari hegemoni masa lalu? Ataukah justru, kearifan lokal itu sendiri yang sebenarnya menjadi penyebab tumbuh suburnya korupsi di negeri ini? Tentu bukan pertanyaan yang mudah untuk dijawab, tapi tentu itu hal yang tidak bisa kita abaikan mengingat sejarah menjadi bagian penting pembentukan identitas. Seperti halnya karakter manusia ditentukan oleh pengalamannya

91


sejak lahir, maka karakter Indonesia pun ditentukan dari perjalanan sejarahnya. Terkait hal tersebut, mungkin kita perlu melihat ke belakang bagaimana keadaan dulu ketika belum ada kaum ras kulit putih dari manapun menginjakkan kaki di nusantara. Dulu, masyarakat nusantara secara mayoritas cenderung memegang hukum adat, tidak tertulis dan cenderung bersifat lisan, kebiasaan, tradisi, dan turun-temurun. Walau mungkin ada sebagian kecil kerajaan yang mungkin sudah memiliki catatan tertulis, namun tetap adat lah yang menjadi warna utama. Hal ini juga memang didasarkan pada kecendeurngan pemikiran timur, termasuk Indonesia ,yang lebih menekankan hidup pada moralitas dan kebaikan, ketimbang pemikiran barat yang lebih banyak mempertanyakan eksistensi, metafisis, rasionalitas, dan sebagainya. Lihatlah Cina atau Jepang yang juga memiliki kearifan loka l yang mengakar pada budayanya, yang mana juga sangat menekankan pada moralitas dan kebaikan. Dengan terbiasanya masyarakat nusantara pada hukum adat, yang mana tanggung jawab moral lebih berperan untuk menciptakan ketarturan di dalam masyarakat, yang mana kontrol datang dari sesama masyarkat, atau mungkin raja. Kemudian, datanglah kapal-kapal dari arah barat untuk mencari rempah-rempah, dari portugal, spanyol, lalu belanda, yang akhirnya menjajah nusantara selama 3,5 abad. Tentu saja di sini lah terjadi benturan budaya antara barat dan timur. Begitu kontras perbedaan budaya ini sehingga alkulturasi yang terjadi tidaklah sederhana. Salah satunya aperbedaan itu adalah kecenderungan nusantara yang menggunakan adat dan tradisi sebagai tata aturan dengan kecenderungan barat yang sudah memakai hukum pidana tertulis. Perbedaan sistem hukum ini menciptakan karakter hibrida yang mana masyarkat nusanatara yang cenderung terbiasa melakukan sesuatu karena tanggung jawab moral, menjadi tanggung jawab formal. Efeknya apa? Bisa sangat beragam. Betapa berbahayanya proses alkultasi yang tidak matang sebenarnya tidak bisa dipandang remeh. Lihatlah contoh ketika anakanak desa yang mencoba sok-sokan bergaya urban namun akhirnya malah jadi terlihat aneh. Tidak terbiasanya masyarakat nusantara dengan sistem hukum tertulis lah yang membuat mekanisme kaku birokrasi tidak mudah dipahami dengan baik dan cenderung dilanggar. Terlebih lagi, sifat masyarakat Indonesia yang cenderung kommunal membuat rasa ingin membantu atas dasar pertemanan 92


atau kekeluargaan bisa cukup tinggi. Sayangnya, paradigma barat yang cenderung individualistik perlahan teralkulturasi juga namun dalam bentuk yang tidak sempurna. Akhirnya apa, muncullah pelanggaran-pelanggaran atas nama kepentingan pribadi namun disokong ragam bantuan atas dasar perkawanan. Perhatikan bahwa memang rasa tidak enak untuk menolak permintaan tolong di masyarakat Indonesia bisa lebih besar ketimbang masyarakat luar, khususnya barat. Terbiasanya masyarakat Indonesia terhadap kontrol sosial dengan adanya hukum adat juga membuat rumitnya birokrasi akan mudah diterobos, sedangkan virus individualistik dari barat membuat kontrol sosial ini semakin minim. Jadi sederhananya, budaya yang sudah tertanam kuat di masyarakat melebur dengan budaya yang cenderung berlawanan dengannya secara tidak sempurna. Kearifan lokal tentu terkikis dengan budaya rasionalis barat, namun sifat-sifat dasar komunal seperti hasrat untuk membantu, gotong royong, rasa tidak enak untuk menolak, dan lain sebagainya masih ada, membuatnya terarah ke hal negatif, jadi gotong royongnya dalam hal korupsi deh. Tentu saja apa yang ku gambarkan tadi adalah abstraksi kasar dari yang sesungguhnya terjadi. Proses alkulturasi budaya nusantara dengan budaya barat terjadi cukup rumit mengingat sejarah nusantara juga panjang dan penuh lika-liku. Namun memang apa yang ku lihat adalah proses alkultuasi ini terjadi secara tidak lengkap dan sempurna, membuat rakyat Indonesia jadi “banci�, sudah ikut-ikutan kebarat-baratan tapi tidak bisa move on dari budaya lokalnya. Semangat untuk membangun kembali kearifan lokal jadi hanya semacam formalitas agar ya Indonesia masih ada sesuatu yang bisa dibanggakan lah. Jika memang mau membangun kearifan lokal, blok apapun yang datang dari barat dan bangun segalanya dengan kaki sendiri. Lihatlah jepang yang mana meniti dan mengembangkan semuanya dengan tangan dan kaki sendiri, walau memang menyerap ilmu dan teknologi dari luar, bukan sekedar memasukkan begitu saja tanpa ada saringan, agar budayanya tidak ikut masuk, atau paling tidak tersaring dengan baik. Selain itu, keragaman budaya di Indonesia membuat masyarakat nusantara tidak bisa berjuang bersama untuk mempertahankan budaya yang dimilikinya. Orang sunda tidak akan paham dengan apa kearifan lokal jawa yang harus dijaga, atau sebaliknya. Sedangkan melirik jepang, satu negara cenderung memiliki budaya yang sama, sehingga mereka bisa melestarikannya secara komunal dan massif. Itulah mengapa hingga saat ini, budaya di Jepang tidak terkikis,

93


bahkan mengalami modernisasi juga tanpa harus kehilangan makna dan nilai yang terkandung di dalamnya. Dilema bukan? Apa yang seharusnya menjadi kebanggaan justru bisa jadi yang menyebabkan kehancuran. Prinsip Bhinneka Tunggal Ika hanya menjadi slogan kaku karena Tunggal di sini tidak berada dalam persepsi yang sama. Pancasila yang dibuat dengan semangat menyatukan ragam budaya dalam satu nilai yang sama pun pada praktiknya tidak terhayati dengan baik. Pada akhirnya karena budaya kita begitu beragam dan terpisah-pisah, akan mudah dikikis sedikit demi sedikit, dikontaminasi oleh budaya barat yang akhirnya menghasilkan budaya hibrida yang kit a miliki sekarang, semangat bergotong-royong untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Hukum adat sudah mengikis dan kontrol sosial semakin hilang. Orang-orang semakin sibuk dengan dirinnya sendiri, padahal sifat yang tidak terbiasa dengan hukum tertulis kaku masih ada. Jadi deh semua tindakan korupsi yang kita lihat sekarang. Lantas apa? Sayangnya semua hal ini terjadi layaknya sebuah kewajaran sejarah. Apa yang bisa dilakukan ketika memang faktanya telah terjadi seperti itu? Kita mungkin perlu melihat ke depan baiknya seperti apa. Tapi sayang, melakukan perbaikan melalui dunia pendidikan sendiri untuk meluruskan kembali budaya yang kita miliki dan menanamkan nilai-nilai yang seharusnya, serta membentuk karakter masyarakat pun mengalami banyak dilema seperti yang ku paparkan di atas. Serba salah. Maju kena mundur kena. Di tulisanku yang lain pun, aku menjelaskan betapa merananya Indonesia ini: Jika tidak ingin tertinggal, mau tak mau kita harus mengikuti kompetisi global, namun hal itu akan mengarahkan pendidikan semakin terkomersialisasi dan hanya terfokus pada keterampilan dan intelektualitas semata, namun jika pendidikan ingin diresotorasi ke kodrat sesungguhnya untuk menumbuhkan kembali jati diri masyarakat, yah kita harus siap ditinggal negara-negara yang tengah lomba lari di luar sana. Terkait dilema budaya yang kita hadapi saat ini, marilah ingat kembali apa kata Soekarno: “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu. Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bistik tetapi budak. Tradisi Bangsa lndonesia bukan tradisi tempe. Kita di zaman purba pernah menguasai perdagangan di

94


seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok� Kembali dalam Kontemplasi Yah, memang alangkah lucunya negeri ini. Terlalu banyak dilema yang menghambat kita untuk memperbaiki diri. Tekanan muncul dari beragam arah, tekanan global dari luar untuk terus bersaing, menuntut kita untuk terus menciptakan intelektual-intelektual handal yang terampil dan inovatif, atau tekanan lokal dari dalam untuk memperbaiki mental bangsa, menuntut kita untuk memprioritaskan pembangunan sektor pendidikan agar kembali ke jalur yang benar sebagai sebuah proses memanusiakan manusia demi tegaknya kembali jati diri bangsa. Ketika pada akhirnya kita terus maju bersaing pun, kita tidak berdiri di atas mana-mana, karena jati diri kita perlahan terus mengikis. Terkait hal tersebut, semangat pemerintah sekarang yang mengedepankan kemandirian bangsa dengan trisakti sesungguhnya hal yang patut diapresiasi. Jika berbicara secara khusus mengenai tindakan korupsi, slogan reformasi birokrasi dan revolusi mental adalah konsep yang tidak main-main, karena memang dua itulah kunci perbaikan negara saat ini. Reformasi birokrasi untuk pencegahan tindakan korupsi dari sistem, dan revolusi mental untuk pencegahan tindakan korupsi dari pelakunya. Tap tentu itu adalah konsep ideal. Praktiknya? Luar biasa tidak mudah. Kenapa? Karena yang berperan untuk mewujudkannya haruslah dari semua pihak. Jika semangat itu hanya ada di pemerintah, hasilnya akan nihil. Bagaimana pemerintah mau reformasi birokrasi jika UU KPK aja direvisi seperti itu, pakai ada namanya dewan pengawas lah. Dari masyarakat sendiri tetap saja tidak menghargai birokrasi-birokrasi yang ada dengan banyaknya penyelewengan sistem. Bagaimana juga pemerintah mau revolusi mental jika masih banyak dosen yang meremehkan telat atau ketidakhadiram mahasiswa di kelasnya. Bagaimana pemerintah mau mewujudkan kemandirian jika kesadaran politik rakyatnya tidak dibangun dan justru dibodohi. Kesadaran untuk perbaikan harus ada di semua lini. Aku tidak terlalu mempermasalahkan revisi UU KPK. Kenapa? Karena baunya politis banget. Di sini aku hanya mengabstraksi fenomena korupsi ini lebih luas agar kita sadar bahwa adanya KPK hanyalah satu jalan untuk pemberantasan korupsi Karena ku rasa percuma apabila pendidikan di 95


Indonesia masih seperti sekarang. Koruptor baru akan terus lahir dan bermunculan. Ujung-ujungnya KPK hanya capek sendiri. Absurd. Seperti sisifus yang tidak henti-hentinya membawa batu ke puncak gunung yang akhirnya jatuh lagi. Tidak perlu lah sampai dinamai “Pendidikan AntiKorupsi� karena itu hanya akan jadi formalitas. Toh, yang namanya pendidikan anti-korupsi ya pendidikan secara keseluruhan. Kita tidak bisa melihat kasus adanya tindakan korupsi ini secara parsial saja, karena itu terkait karakter utuh seorang manusia yang dibangun dalam sebuah sistem pendidikan terstruktur dari PAUD hingga PT. Slogan “Berani Jujur� pun hanya akan menyempitkan pandangan bahwa korupsi hanya masalah ketidakjujuran, padahal korupsi adalah secara utuh terkait erat dengan moralitas dan karakter seorang manusia keseluruhan. Lalu apa yang bisa kita lakukan ke depannya? Sebagai mahasiswa ya cukup dengan mendukung pemerintah dengan semangat yang sama, menyebarkan kesadaran yang sama seluas mungkin, di tambah dengan terus membekali idealisme dalam diri agar kelak siap bertarung di medan perang sesungguhnya. Karena toh kampus ini pada akhirnya hanyalah barak-barak pelatihan bagi para tentara intelektual untuk kelak siap bertarung memperbaiki bangsa. Lah tapi kalau barak-nya sendiri melenceng dari tujuan? Hah, itu tentu jadi bahasan lain, ketika kampus sendiri juga kehilangan jati diri. Ya cukup sadari jugalah bahwa banyak tindakan-tindakan kecil sesungguhnya merupakan tunas dari tindakan korupsi. Bukankah ketika kita tidak masuk kelas alias bolos, kita mengorupsi uang orang tua kita yang sudah membayar kita kuliah untukmemasuki kelas tersebut? Apakah kesadaran itu ada di tiap mahasiswa? Ya ketika melihat seperti ini, aku merasa wajar-wajar saja jika satu dari lulusan ITB kelak akan jadi koruptor. Seperti yang ku blang sebelumnya, kebiasaan meremehkan hal kecil lah yang kelak akan menjadi tindakan korupsi pada tataran yang lebih besar. Pentingnya idealisme sekeras mungkin tanpa ada toleransi adalah salah satu bentuk pembentengan diri dari hal-hal tersebut. Apa yang kupaparkan toh bisa jadi tidak sepenuhnya tepat. Tapi kalaupun tidak tepat, semoga memang lebih ada harapan. Karena aku sendiri cenderung pesimistis terhadap semua ini. Terakhir, pada akhirnya semesta tidak terdiri atas atom, tapi terdiri atas kisah, demikian pula Indonesia. Sekarang sebagai salah satu pemain dalam kisah ini, mengapa tidak berusaha 96


berperan lebih? Memang ku akui, sepertinya butuh jiwa yang sangat sangat sangat sangat optimis untuk tetap semangat membangun Indonesia dengan dilema seperti yang ku paparkan di atas. Apakah kita kelak memang akan menjadi bangsa yang besar, seperti yang diimpikan oleh pendahulupendahulu kita, hanya bisa dijawab dalam diri masing-masing. Jadi, renungkanlah! (PHX)

97


Momentum National Oil Company saat Era Harga Minyak Rendah Prayudha Rifqi Safiraldi

Harga minyak belakangan ini mengalami kenaikan dari posisinya $28,91/barel (11/2) menjadi $36,45/barel (10/3) (West Texas Intermediate). Tetapi, harga energi primadona ini telah mengalami penurunan yang cukup drastis hingga 65% jika dibandingkan dengan harga empat tahun lalu (Âą$105/barel). Beberapa pakar menyebutkan turunnya harga minyak ini disebabkan karena kelebihan produksi minyak di Amerika. Amerika telah melakukan revolusi besar-besarnya dalam dunia industri migasnya, revolusi shale oil sejak dekade 90-an telah membuahkan hasil di negaranya saat ini. Akibat kemampuannya memproduksikan shale oil, reserves negara ini bertambah menjadi 39.9 miliar barel dari 25 miliar barel (reserve Indonesia Saat ini sekitar 3,7 miliar barel). Cukup signifikan! Sehingga Negeri Paman Sam tidak perlu impor minyak, bahkan saat ini pemerintah Amerika telah membuat wacana untuk mengekspor minyak untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Ada juga yang berpendapat turunnya harga minyak disebabkan karena permintaan yang menurun dari pasar. Permintaan yang

98


menurun ini dipicu oleh perlambatan ekonomi dunia akibat stagnansi ekonomi yang dialami oleh China dan juga Portugal

t Grafik 1. Harga minyak West Texas Intermediate dalam lima tahun terakhir (sumber: http://www.nasdaq.com/markets/crude-oil.aspx?timeframe=5y) Efek harga minyak rendah ini dirasakan oleh seluruh civitas industri hulu migas baik negara produsen minyak, perusahaan migas, maupun pekerja profesional di industri ini. Berbagai kebijakan telah dilakukan oleh perusahaan agar tetap dapat bertahan. Memotong opex (operating expense) dan capex (capital expenditure) merupakan satu-satunya jalan keluar menghadapi era harga minyak rendah saat ini. Opex dapat dikurangi dengan menurunkan biaya produksi keteknisan seperti mengurangi kegiatan work over (pengerjaan ulang) sumur, enhance oil recovery (peningkatan perolehan minyak), serta tidak adanya penambahan fasilitas produksi. Selain itu, opex dapat dikurangi dengan memotong tunjangan kerja bagi karyawan. Apabila cara-cara tersebut masih dianggap kurang efektif, secara terpaksa perusahaan tentunya akan melayoff karyawan. Capex perusahaan dapat dikurangi dengan memotong biaya investasi perusahaan pada lapangan yang sedang dalam tahap awal pengembangan maupun lapangan eksplorasi yang masih belum berproduksi.

99


Gambar 1. Capital expenditure perusahaan migas dunia sepanjang tahun 2015 (sumber: www.reuters.com) Dampak harga minyak rendah ternyata tidak hanya dirasakan oleh perusahan produsen migas, tetapi juga dirasakan oleh negara-negara yang pendapatan utamanya bertumpu pada penjualan minyak seperti Rusia, Arab Saudi, dan Venezuela. Rusia tengah menghadapi masa resesi ekonomi dimana nilai mata uang negara itu turun pada titik terendahnya dalam satu dekade terakhir. Sejak awal tahun 2015 Rubel mencatat penurunan hingga lebih dari 45%. Keadaan Venezuela tidak jauh berbeda dengan Rusia, neraca perdagangan negatif telah ditorehkan negara tersebut sejak tahun 2014. Jatuhnya harga minyak dalam dua tahun terakhir menyebabkan hilangnya 80% pendapatan negara ini. Bahkan kongres Venezuela menyatakan bahwa inflasi yang dialami negara tersebut mencapai 170% pada kuarter awal 2016. Arab Saudi mencatatkan kabar yang tidak lebih buruk dibandingkan Rusia dan Venezuela. Arab Saudi menggantungkan pendapatan 80% kepada penjualan minyak. Pada dasarnya Saudi Aramco, National Oil Company Arab Saudi, mampu memproduksikan minyak dengan lifting cost $15/barel. Sehingga dengan harga minyak rendah, perusahaan tersebut masih mencatat keuntungan. Tetapi, secara finansial negara, Arab Saudi tidak akan mampu

100


bertahan dengan keadaan ini karena telah mengalami defisit anggaran sebesar 20%.

Grafik 2. Rubel vs U.S. Dollar selama satu dekade (sumber: http://www.xe.com/currencycharts/?from=RUB&to=USD&view=10Y) Bagaimana dengan Indonesia? Pertama, secara umum harga minyak berpengaruh buruk bagi negara net-eksportir minyak seperti yang sudah dipaparkan. Sebaliknya, harga minyak rendah merupakan berita baik bagi negara net-importir, termasuk Indonesia. Namun kesimpulan tersebut harus disikapi dengan hati-hati. Dalam jangka pendek, harga minyak rendah bisa saja baik bagi negara net-importir, namun dalam jangka panjang dapat berbalik mengancam. Harga yang rendah akan membuat kegiatan eksplorasi dan produksi berkurang sehingga produksi nasional cenderung turun dan tambahan cadangan (reserve) tidak ada. Pada saat yang sama, harga minyak rendah mendorong konsumsi membengkak dengan permintaan terus meningkat. Karena itu, dalam jangka panjang kesenjangan antara pasokan/produksi dan permintaan/konsumsi semakin melebar. Ketika harga minyak meningkat, ketahanan energi nasional menjadi sangat rentan. Kedua, penurunan harga minyak menurunkan realisasi Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) karena migas masih memegang peranan sekitar 20 persen dari APBN Indonesia. Namun, penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan oleh pemerintah pada akhir tahun 2014 cukup membantu mengurangi beban APBN. 101


Dampak penurunan harga migas ini sangat terasa pada industri hulu migas. Indonesia saat ini menggunakan sistem production sharing contract (PSC) dengan cost recovery yang akan digantikan oleh pemerintah sebagai pengembalian modal perusahaan dalam mengembangkan lapangan. Akibatnya, ketika harga minyak mengalami penurunan, revenue dari perusahaan juga akan menurun secara drastis. Dampak utamanya adalah menurunnya investasi pada hulu migas. Beberapa kontraktor bahkan sudah memutuskan untuk tidak melakukan perpanjangan kontrak Wilayah Kerja (WK) migas Indonesia. Wilayah kerja yang sudah dipastikan tidak akan diperpanjang antara lain WK Tuban (Petrochina) dan WK East Kalimantan (Chevron). Pertamina sebagai National Oil Company kebanggaan Indonesia tentunya juga mengalami dampak harga minyak rendah. Tetapi pertamina sebagai perusahaan holding pengelolaan migas dapat mengatur keuangannya sendiri baik di bidang hulu maupun hilir migas. Dengan harga minyak yang rendah ini (Âą $35/barel), menurut beberapa pakar perekonomian Pertamina seharusnya cukup menjual BBM RON 88 dengan harga keekonomian ratarata Rp. 4.500,- tetapi kenyataannya saat ini dijual rata-rata Rp. 7.000,-. Hal tersebut menunjukkan margin keuntungan sangat besar didapatkan oleh Pertamina.

Tabel 1. Perbandingan penurunan harga BBM dan perbandingan harga BBM di Indonesia dan Malaysia (sumber: data diolah dari berbagai sumber) Dengan margin keuntungan yang terlampau cukup tinggi dari harga keekonomian, dapat ditarik kesimpulan bahwa strategi bisnis Pertamina saat 102


ini adalah mensubsidi pengelolaan bisnis hulu migas dari hasil keuntungan yang didapatkan pada bisnis hilir migas. Masyarakat Indonesia sebenarnya telah membantu satu-satunya perusahaan migas nasional ini untuk tetap berlayar ditengah badai yang menghantam. Kesempatan ini tidak boleh disiasiakan oleh Pertamina untuk menjaga ketahanan energi nasional. Ini merupakan momen bagi Pertamina dari hanya sekedar "menutup lubang" pada hulu, namun Pertamina harus dapat mengambil kesempatan lebih dengan mengakuisisi wilayah kerja baik yang telah habis masa kontraknya maupun yang dikembalikan oleh kontraktor asing kepada pemerintah. Karena pada dasarnya harga minyak rendah ini hanyalah bom waktu bagi ketahan energi bangsa ini. Majulah Indonesia!

Referensi: •

http://www.iea.org/publications/

•

http://katadata.co.id/berita/2016/01/04/gubernur-bi-peringatkandampak-kejatuhan-harga- minyak#sthash.ugV\A/CMyB.dpuf

•

http://www.breitbart.com/big-government/2015/12/10/shale-oildrillers-write-40-oil-reserves/

103


104


105


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.