Waspada, Senin 20 Juni 2011

Page 15

Opini

WASPADA Senin 20 Juni 2011

B5

AS Kembali Ke Emas Dan Perak Klarifikasi PDAM Tirtanadi Sehubungan dengan pemberitaan SKH Waspada 15 Juni 2011 halaman B-5 kolom 5-7 judul “Distribusi PDAM Macet Tiga Kali Sehari,” berikut ini kami sampaikan beberapa hal yang harus diluruskan terhadap isi pemberitaan tersebut sebagai berikut: 1. Pendistribusian air di Kota Berastagi berjalan lancar dan tidak benar terjadi kemacetan pendistribusian air tiga kali dalam sehari seperti yang diberitakan Harian Waspada. 2. PDAM Tirtanadi Cabang Berastagi dalam melayani pelanggan tidak diskriminatif dan memperlakukan semua pelanggan sama sesuai dengan ketentuan yang berlaku di PDAM Tirtanadi. Jadi, tidak benar kalau PDAM TIrtanadi lebnih mengutamakan pelanaggan hotel di Gunung Sinabung dan Gunung Sibayak. 3. Pendistribusian air di Jalan Perwira saat ini memang belum dapat dilayani selama 24 jam karena ada beberapa jeda waktu yang diperlukan untuk mengisi Reservoir Gundaling yang mensupply wilayah Jalan Perwira dan Jalan Kolam. 4. Sampai saat ini wilayah Jalan Lau Gendak belum termasuk daerah pelayanan PDAM Tirtanadi Cabang Berastagi, jadi PDAM Tirtanadi tidak bertanggungjawab terhadap pendistribusian air diwilayah tersebut. 5. Kepala Cabang PDAM Tirtanadi di Kota Berastagi sejak 01 April 2011 dijabat oleh M Kasim Sebayang, S.Kom bukan oleh M Nuh Siregar, SE. Demikian disampaikan, kami harapkan agar klarifikasi ini dapat diterbitkan di SKH Waspada agar tidak terjadi kesalahpahaman. Atas perhatiannya diucapkan terimakasih. Ir Amrun Kepala Divisi Public Relations

Kesenjangan Pendidikan Untuk menjadi siswa di Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI), mungkin hanya mimpi bagi orang miskin. Siapa sih yang tidak ingin mesuk ke sekolah berkualitas tinggi? Di RSBI, proses pembelajarannya menerapkan teknologi, menggunakan dua bahasa, dengan sarana dan prasarana yang terus ditingkatkan. Tapi, bagi yang bukan berasal dari keluarga berkantong tebal, tak usahlah berharap terlalu banyak. Harian Waspada Jumat (17/6) di rubriik Medan Metropolitan halaman B1 membeberkan, untuk masuk ke sekolah RBSI harus mengeluarkan biaya mencapai jutaan rupiah hingga puluhan juta rupiah. Padahal, banyak siswa dari keluarga kurang mampu, tapi sebenarnya memiliki kecerdasan luar biasa. Tentunya mereka tidak akan mungkin masuk ke sekolah RSBI karena biayanya begitu tinggi. Kalau memang begini adanya, tidakkah sekolah bertaraf internasional hanya menyebarkan kesenjangan pendidikan? Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Utara Syaiful Bahri menyebutkan, RSBI bukan semata-mata untuk orang berada saja. Namun diakuinya, untuk mendukung peningkatan kualitas di sekolah tersebut, perlu adanya partisipasi masyarakat seperti dunia usaha serta orangtua siswa. Dikatakannya, semua orang baik yang mampu atau tidak mampu, bisa masuk ke sekolah RSBI. Tentunya dengan cara bersaing. Anak yang tidak mampu, kata dia, bisa masuk, karena pemerintah telah menyiapkan dana Bantuan Operasional Manajemen Mutu (BOMM) dan bantuan beasiswa miskin. Itulah memang teorinya. Tapi, benarkah teori ini sesuai dengan kenyataan? Benarkah anak dari keluarga kurang mampu bisa masuk ke sekolah RSBI? Dari mana pula mereka bisa menyediakan uang jutaan atau puluhan juta rupiah sebagai uang masuk, seperti dibeberkan Waspada. Rosna Stabat

Dedi Sahputra

Foliopini

dedisahputra@yahoo.com

Sydney Joke Gerimis kecil disertai angin dingin cukup membuat sebagian besar rombongan mengkerut kedinginan. Maka pilihan langsung tertuju pada sebuah cafe tidak jauh dari pintu keluar Sydney International Airport. Teh dan kopi panas menghangatkan tubuh. Dengan cekatan pelayan bule itu menuangkan air hangat ke dalam sebuah gelas bertutup. Dia membiarkan beberapa saat daun teh yang dicelupkan itu larut dan mengendap. Dengan segera kamipun menarik gelas itu untuk segera beranjak. ‘’Guys.., I need that tea cup,’’ kata pelayan itu menahan senyum. Rupanya gelas teh itu masih harus dipindahkan ke dalam gelas campuran aluminium dan kertas itu baru bisa dibawa beranjak. Diiringi tatapan bule-bule itu, kamipun berlalu sambil menahan geli. Ini adalah joke pertama sejak rombongan kami menginjakkan kaki di kota Sydney itu. *** Minibus bermuatan maksimal 15 orang itu melaju kencang membelah kota Sydney. Ada Pemred Waspada H.Prabudi Said, ada aktifis lingkungan Dewi Budiati, ada pejabat pemerintah dan ada para wartawan. Suasana di luar sana cukup dingin, tapi di dalam minibus itu terasa hangat dengan joke-joke dari para penumpangnya. Ketika mobil itu mundur misalnya. Ini mengispirasi Dewi Budiati untuk mengeluarkan joke-nya. Ceritanya di Jakarta, seorang pemilik mobil yang asal Medan akan memarkirkan kendaraanya. Baru saja mobilnya masuk ke areal parkir, datanglah mendekat seorang juru parkir yang asal Solo yang baru seminggu lalu sampai di ibukota. ‘’Trus, trus, trus..,’ kata si tukang parkir yang belum pengalaman itu. ‘’Masih bisa lagi? Jauh kali udah kurasa,’’ tanya si supir. ‘’Masih jauh mas, trus, trus, trus…,’’ si juru parkir mengulangi aba-abanya. Tiba-tiba dari arah bekang terdengar suara gedubrak. Buru-buru si supir turun sambil melihat ke bamper mobilnya. Ternyata bagian belakang mobilnya itu penyok karena menabrak sebuah tiang batas parkir. ‘’Kau bilang trus, trus. Tapi kok nabrak…

Dasar taek,’’ kata orang Medan ini memaki kasar. ‘’Bukan.., Bukan taek mas tapi tunggul,’’ jawab tukang parkir dengan tetap kalem. Seisi minibus itu tertawa. Tak mau kalah, si pejabat pemerintahpun berseru, ‘’Di sini ngantrinya tertib ya. Gak ada yang nyelonong. Kalau kita di kampung sudah pakai nomor urut pun masih ada yang nyelonong,’’ katanya. Diapun mulai mengisahkan: Suatu ketika seorang nenek dari kampung dibawa anaknya untuk mengobati sakitnya di Medan. Singkat cerita sampailah mereka di ruang praktek seorang dokter ternama. Saking ternamanya, tiap malam orang mengantri untuk berobat kepadanya. Si nenek pun harus menunggu. 10 menit, 20 menit, setengah jam, sampai menjelang satu jam si nenekpun mulai tak sabar. ‘’Bah yang lamanya,’’ katanya dalam bahasa daerah. ‘’Sabar ya bu,’’ jawab di anak juga dalam bahasa kampungnya. Cukup sudah, batas kesabaran si nenek sudah habis. Diapun beranjak dari tempat duduknya menuju meja resepsionis tanpa bisa dicegah sang anak. ’’Kok lama kali, dokter macam apa ini?’’ teriaknya kepada gadis penerima tamu. ‘’Ibu nomor urut berapa?’’ tanya si gadis sambil tersenyum. ‘’Bah, untuk apa nomor urut-ku,’’ tanyanya. ‘’Untuk masuk ke dalam ruang dokter bu. Kalau tidak ada tidak bisa masuk,’’ jawab di gadis. ‘’Aku ini sudah tua, untuk apa lagi kau minta nomor urut-ku,’’ katanya seraya berlalu. ‘’Ayo pulang kita. Masak dimintanya numur urut orang tua seperti aku ini,’’ kata si nenek diiringi tatapan heran anaknya. Dia tahu, dalam bahasa daerahnya, urut berarti bokong. *** Banyak sekali cerita konyol yang tidak bisa diceritakan satu per satu. Semuanya kemudian dikisahkan dengan berderai tawa. Begitulah berbagai hal yang konyol, pada saatnya akan menjadi cerita yang gembira.(Vol.236, 20/6/ 2011)

Kolom foliopini dapat juga diakses melalui http://epaper.waspadamedan.com

Oleh Emil W. Aulia Tak hanya Utah dan Virginia, ”gerakan” kembali ke koin emas dan perak terus merambah ke sekujur daratan AS

W

ajah sistem ekonomi Amerika Serikat (AS) masa depan sepertinya akan berubah. Sejumlah kalangan di Negeri Paman Sam itu gencar mengusulkan penggunaan koin emas dan perak sebagai alat transaksi. Negara Bagian Utah menjadi pelopornya. Belum lama ini, sejumlah wakil rakyat di sana menyusun rancangan undang-undang terkait hal tersebut. RUU itu telah lolos hingga ke tingkat Kongres melalui pemungutan suara. Jika RUU itu nanti disahkan maka koin emas dan koin perak akan menjadi alat tukar alternatif bagi rakyat Utah selain uang kertas dolar. Utah tak sendiri. Keinginan memakai koin emas dan perak juga berkumandang dari Negara Bagian Virginia. Disarikan dari berbagai sumber, Virginia malah lebih awal mengajukan proposal serupa. Medio Januari lalu, delegasi Partai Republik Virginia, Bob Marshall meminta Majelis Umum mempertimbangkan pencetakan dan penggunaan koin emas dan perak sebagai alat transaksi alternatif bagi warganya. Tak hanya Utah dan Virginia, ”gerakan” kembali ke koin emas dan perak terus merambah ke sekujur daratan AS. Dilaporkan, selusin negara bagian mulai melirik koin emas dan perak untuk alat transaksi. Ide ini bertumbuh di Idaho, South Carolina, New Hampshire, Tennesse, Indiana, Iowa, Oklahoma, Vermont, Georgia, Missouri dan Washington. Nilai Tukar Dolar Keinginan memakai koin emas

dan perak sebagai alat transaksi muncul setelah mencermati krisis ekonomi yang melanda AS beberapa dekade terakhir. Realitas itu membuka pikiran sebagian rakyat AS meneliti ulang sistem moneter yang mereka pakai pasca-kebijakan Presiden Nixon (1971) yang melepaskan keterikatan pencetakan uang kertas dolar AS dari baku emas dan perak. Dalam ekonomi, ini dikenal dengan sebutan fiat money –dolar dicetak dan diedarkan tanpa sandaran emas dan perak. Dolar diterima sebagai alat tukar (mata uang) karena dipaksakan penggunaannya oleh mekanisme politik hukum negara (legal tender). Seiring penerapannya, sistem itu menunjukkan kelemahan. Hari ke hari, grafik kurs dolar AS cenderung merosot. Dolar labil dan rentan gejolak. Lainnya, soal inflasi. Uang kertas cetakan The Federal Reserve itu terus kehilangan daya belinya dari masa ke masa. Ini membuat sebagian warga AS ketar-ketir. Maklum, uang yang mereka simpan tidak lagi aman sebagai medium pelindung harta. Inflasi telah merampok secara tersembunyi hasil kerja keras mereka yang ditabung dalam wujud dolar AS. Semua kekhawatiran itu juga terangkum dalam pertimbangan pengajuan RUU tersebut. Di situ disebutkan pandangan sejumlah ahli yang memprediksi akan terjadi krisis yang disebut dengan ”kehancuran mata uang akibat hiper-inflasi di masa depan”. Ini sekaligus sinyal bahwa dolar, cepat atau lambat, akan menunjukkan wujud aslinya sebagai selembar kertas biasa, tak berbeda dengan kertas lainnya.

Menggunakan koin emas dan perak dipercaya mampu mengatasi dampak buruk fiat money. Disebabkan terbuat dari logam mulia, koin emas dan perak memiliki sejumlah keunggulan dibanding uang kertas. Koin dwi-logam itu bernilai karena bahannya. Bukan seperti uang kertas yang bernilai karena dibubuhkan cetakan angka di atasnya. Grafik juga menunjukkan ketahanan emas dan perak terhadap inflasi. Nilainya stabil bahkan terus menguat. Emas dan perak mampu menjaga daya beli. Beda dengan uang kertas yang nilainya mudah diguncang gejolak, rentan inflasi bahkan manipulasi. Koin Dinar Dan Dirham Aspirasi sejumlah warga AS untuk keluar dari dampak fiat money, beralih ke koin emas dan perak, bukan solusi baru. Umat Islam, jauh-jauh hari sudah memiliki tuntunan lengkap perihal bagaimana tatanan keuangan dijalankan. Dalam Islam, uang mesti terbuat dari emas dan perak. Dalam terminologi Islam, dikenal sebutan dinar dan dirham. Dinar adalah koin terbuat dari emas seberat 4,25 gram (22 karat). Dirham, koin perak murni seberat 2,9 gram. Keduanya digunakan sejak masa kedatangan Rasululah Saw hingga Kekhalifahan Usmani (1921). Selama 1400 tahun, dinar dan dirham digunakan untuk alat menunaikan zakat, sedekah, mahar, tabungan hingga transaksi perniagaan. Allah SWT menciptakan emas dan perak. Dia punya rencana dibalik kuasa penciptaan itu. Menurut al-Ghazali, koin emas dan perak adalah alat transaksi yang memberi keadilan. ”Allah menciptakan dinar (emas) dan dirham (perak) sebagai ’hakim penengah’ di antara seluruh harta sehingga dengan keduanya harta bisa diukur.” Sistem uang kertas yang kini mendominasi dunia sejatinya bermasalah.

Mantan Dirut Bank Muamalat A. Riawan Amin menyebut sistem itu sebagai salah satu pilar keuangan setan (satanic finance) yang menjadi tonggak tegaknya sistem riba moderen. Uang kertas sesungguhnya tidak memiliki nilai selain wujudnya sebagai kertas. Jika uang kertas dirusak atau dibakar maka seketika tidak akan berharga. Bandingkan dengan koin dinar emas dan dirham perak yang sekalipun dibakar atau dirusak, ia senantiasa bernilai karena dari jenisnya memang sudah bernilai. Sistem uang kertas juga menjadi alat kolonialisme moderen. Sistem ini menjadi instrumen penaklukan sebuah negara tanpa perlu pengerahan kekuatan militer. Sebuah negara yang nilai mata uangnya kuat bisa menundukkan negara lain dengan beberapa trik permainan moneter hingga membuat nilai mata uangnya terjungkal. Bila krisis moneter terjadi maka krisis lainnya di berbagai bidang kehidupan gampang tersulut. Kini AS mulai melangkah memilih koin emas dan perak sebagai sistem moneter alternatif. Bagaimana dengan umat Islam Indonesia? Kita tak perlu berkiblat jauh-jauh ke AS. Sudah 10 tahun, dinar dan dirham beredar di Nusantara dan digunakan dalam berbagai aktifitas muamalat sehari-hari, utamanya untuk pembayaran zakat, sedekah, simpanan haji, tabungan pendidikan, mahar dan alat barter sukarela. Koin dinar dan dirham telah hadir sebagai salah satu jalan keluar dari sistem ekonomi ribawi masa kini beserta dampak buruknya. Di atas segalanya, kehadiran kembali dinar dan dirham adalah menjadi jalan awal bagi umat Islam untuk menaati larangan Allah dan Rasul-Nya yang mengharamkan praktik riba. Penulis anggota Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Sumut

Otoriter Dalam Kesantunan Komunikasi Politik Oleh Hari Murti Tindakan-tindakan mereka relatif tak banyak berbeda dengan otoriter yang selalu ingin menang sendiri memaksakan ide-idenya sebagai kebenaran yang absolut

S

antun, dari rasa bahasa kita sehari-hari, nilai maknanya terasa lebih tinggi dibanding sopan. Jika sopan dan santun bersatu dilekatkan pada sebuah karakter komunikasi, maka lengkaplah sudah kepribadian seorang individu sebagai insan yang bijaksana, yaitu “lebih bijak untuk sisi/orang yang sana”, bukan “bijak untuk sisi sini”. Dalam politik, sikap santun mungkin memang karakter pribadi seorang politisi sehari-hari tanpa ada kaitannya dengan profesinya sebagai politisi. Sebagian politisi lainnya memilih sikap santun dalam komunikasinya sebab melihat gaya seperti ini seperti magnet bagi simpati dan dukungan. Pada dimensi yang lain, perkembangan sebuah teori selalu melewati tahapan yang disebut tesis, kemudian muncul antitesis sebagai reaksi negatif atas tesis, lalu keduanya bersatu menjadi sintesis. Pada tahap sintesis inilah sebuah teori bukan hanya praktis, juga cukup efisien. Jika dihubungkan dengan gaya komunikasi politik para elite negeri kita sekarang, maka ketika mereka memaksakan kehendaknya dengan bahasa politik yang begitu diplomatis santun, maka sintesis dari teori komunikasi itu telah muncul. Inilah masa komunikasi politik yang saya sebut sebagai masa kesantunan yang otoriter, yaitu sebuah otoriterianisme dengan menggunakan kesopanansantunan sebagai mekanismenya. Orang terbuai, terlena, dan otoritarianisme itu terasa tak ada karena dibungkus dengan kata-kata yang aduhai lemah lembutnya. Saya sangat berusaha membuat judul yang lebih santun lagi dibanding Otoriter Dalam Kesantunan Komunikasi Politik untuk menggambarkan keadaan komunikasi politik sekarang ini, tapi saya tak berhasil karena kita semua menyaksikan mereka yang di atas sana itu hanya empati dengan perasaan rakyat secara komunikasi oral saja. Tindakan-tindakan mereka relatif tak banyak berbeda dengan otoriter yang selalu ingin menang sendiri memaksakan ide-idenya sebagai kebenaran yang absolut. Rakyat hanya diberi pengertian-pengertian dengan bahasa yang eufemistis retoris bahwa apa yang menjadi pertentangan antara pemimpin-pemimpinnya dengan rakyat tentang sebuah topik hanya disebabkan ketidaktahuan rakyat, bukan akibat pemimpinnya yang tidak aspiratif terhadap rakyat. Lihatlah otoriter yang santuan itu. Rakyat protes ada kolam renang di gedung DPR, namun beberapa anggotanya dengan lugas, retoris, dan santun mengatakan kolam untuk penyimpanan air untuk mengantisipasi kebakaran. Dan, di tengah aspirasi keprihatinan rakyat, pembangunan gedung itu pun tampaknya akan terus berjalan seolah menunjukkan ketidakpedulian. Ada yang kena protes karena mengeluarkan pernyataan tak berempati dengan korban bencana, ia malah mengatakan maksud hatinya bukan se-

perti itu. Ya ... ampun, mana ada orang lain bisa tahu isi hati orang kecuali Tuhan dan orang itu sendiri. Tapi ketika kata hati diucapkan ketika memberi klarifikasi, semua menjadi terasa rasional, logis, menyintuh, dan baik-baik saja. Setiap hari, kita melihat sebagian petinggi negeri ini begitu cakap dalam menglarifikasi berbagai hal dengan bahasa yang santun, tetapi tetap bersebarangan dengan rakyat. Ada juga yang selalu memilih sikapnya sendiri sebagai kebenaran dan segera mengatakan bahwa mereka bukan antikritik ketika rakyat mulai gerah dengan kengototannya yang lembut itu. Di sisi lain, ada pula rakyat yang begitu menutup hati ada pemimpinnya dengan bahasa-bahasa sederhana, namun dramatis. Inilah zaman komunikasi santun yang otoriter itu. Dulu, otoritarianisme itu sudah cukup tertutupi dengan kemampuan retorika dalam orasi, tanpa kesantunan yang begitu aduhai lembut nian. Pada Perang Dunia II, kita mengenal diktator seperti Hitler atau Mussolini yang begitu mahir dengan suara yang meledak dan kadang sangat keras. AS bahkan mendirikan sebuah lembaga kajian komunikasi sebagai reaksi kekaguman dan ketakutan pada kemampuan orasi orang-orang seperti Hitler itu. Hitler sangat berpengaruh dan “berhasil” membawa negaranya ke jurang kehancuran dengan kemampuan komunikasi politik yang otoriter, namun retoris yang dimilikinya itu. Pasca-Perang Dunia II, retorika dan propaganda konvensional seperti Hitler mulai tak laku. Mereka para komunikator politik kemudian menyintesiskan metode komunikasi yang instruktif dan kuersif (tesis) dengan persuasif (antitesis) menjadi sebuah metode konvergensif yang menantang ilmu komunikasi untuk memberinya konfirmasi ilmiah. Inilah gaya komunikasi politik para elite kita sekarang, sebuah sintesis dari metode sebelum-sebelumnya. Tapi, fenomena komunikasi ini lebih dulu lahir praktiknya dibanding teorinya sehingga saya tak punya istilah ilmiah umum kecuali menyebutnya sebagai komunikasi politik yang santun, tetapi otoriter. Atas fenomena komunikasi politik sekarang ini, saya merasa sangat nyaman mengutip salah satu syair lagu Ebiet G. Ade untuk menggambarkannya. “Kegaduhan ini begitu sepi”, katanya. Ya memang, kegaduhan politik kita akibat pemimpin-pemimpinnya yang tidak aspiratif begitu sangat tenang di permukaan seolah tak ada masalah dalam demokrasi kita ini. Padahal, di tingkat yang lebih dasar, kita melihat rakyat dan pemimpin-pemimpinnya mulai saling bersikap otoriter dengan bahasa yang lembut. Ada yang membawa kerbau ke lokasi demontrasi, ada yang selalu menyebutnyebut rakyat-rakyat, ada yang menjadi tersangka kasus mafia pajak yang sambil meneteskan air mata malah meminta menjadi staf ahli. Ketika de-

ngan rasio kita berpikir maling harus ditangkap maling juga, permintaan itu masuk menjadi bahasa politik yang sopan walaupun tidak santun. Alamiah Ilmu itu bersifat aplikatif. Agar seseorang bisa mencapai tujuannya, maka ia harus mengaplikasikan ilmu dan meninggalkan cara-cara tradisionalnya. Dalam kita berkomunikasi, kita sering terjebak dalam tradisi dan sesekali juga melaksanakan teori ilmiahnya. Artinya, sikap alamiah dalam berkomunikasi terkadang harus ditinggalkan ? Tidak! Ia harus dikombinasikan dengan komunikasi yang ilmiah. Dengan begitu, komunikasi politik menjadi berenergi. Pemimpin itu memang mengatur dalam komunikasinya, kalau perlu dengan sedikit memaksa jika diperlukan. Nah, di sinilah komunikasi yang alamiah dan ilmiah itu harus bersatu untuk memunculkan energi sehingga rakyat bisa membedakan mana pemimpin yang mengatur dan mana yang otoriter. Pemimpin yang mengatur memberi klarifikasi yang sederhana dan membumi dalam konfirmasinya ketika mendapat penolakan. Pemimpin yang otoriter menjawab dengan menambahi nuansa keotoriterannya dalam komunikasi. Sedangkan pemimpin yang santun dalam keotoriterannya sulit dipahami komunikasinya. Maka, dibutuhkan karakter alamiah dan setara dengan kemampuan komunikasi rakyat dari pemimpin da-

lam berkomunikasi. Tidak perlu sepenuhnya menjadi seperti apa yang ada dalam buku atau terlalu bersikap antiilmiah karena sikap itu tidak alamiah juga. Lakukan saja komunikasi politik dengan apa adanya karena itu justru akan membuat komunikasi politik seorang pemimpin mencapai tujuannya, yaitu perobahan pengetahuan, sikap, dan tindakan rakyat. Komunikasi politik yang santun saja, tetapi tidak aspiratif dengan rakyat, menjadi seperti apa yang dikatakan Ebiet G. Ade, “Kegaduhan ini begitu sepi”. Minim sekali titik temu antara rakyat dengan pemimpinnya dalam kesantunan komunikasi. Lalu, untuk apa semua itu. Lihatlah, aspirasi rakyat tidak neko-neko, sekedar ingin menggunakan dana negara untuk yang lebih penting dibanding membangun gedung DPR. Bukankah yang kita lihat sekarang ini adalah aspirasi rakyat tentang wakilnya harus kalah oleh kesantunan argumentasi mereka yang mendukung pembangunan gedung ? Maka, sebaiknyalah mendengarkan aspirasi rakyat dalam komunikasi politik. Santun perlu, sopan apalagi. Namun, jangan sampai kesantunan itu hanya sekedar santun, tanpa mau sinkron dengan rakyat dalam tindakan. Lama-lama, kesantunan yang semu akan dianggap rakyat sebagai semiotik semata. Penulis adalah pemerhati komunikasi politik. Alumnus STIK “Pembangunan” Medan


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.