Pernyataan Sikap ALIANSI SEPETAK BERSAMA Usut Tuntas, Tangkap dan Adili Perampasan Tanah Petani di Karawang
Perampasan tanah oleh korporasi yaitu PT. Sumber Air Mas Pratama (SAMP) yang sahamnya telah diakuisisi oleh PT. Agung Podomoro Land terhadap tanah petani di tiga desa, yaitu Wanakerta, Wanasari dan Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang melahirkan konflik agraria serta kesengsaraan bagi petani yang tergabung dalam Serikat Petani Karawang (SEPETAK). Proses perampasan tanah yang berkedok eksekusi lahan oleh Pengadilan Negeri (PN) Karawang yang dikawal oleh 7.000 aparat kepolisian dengan persenjataan lengkap diwarnai aksi kekerasan oleh aparat serta intimidasi terhadap para petani hingga hari ini. Pada saat itu 9 petani dan 4 buruh yang melakukan aksi menolak eksekusi ditangkap, 10 buruh, 5 petani dan 1 mahasiswa luka-luka, 1 petani di antaranya luka tembak serta puluhan lainnya luka-luka. Warga luka karena tembakan water cannon, gas air mata dan peluru karet. Selain itu pengrusakan terhadap rumah-rumah, tanaman dan pohon para petani semakin menjadi-jadi. Sedikitnya 5 rumah sudah dirusak meskipun pihak perampas tanah yaitu PT.SAMP/PT Agung Podomoro Land tidak memiliki alas hak apapun di atas tanah rakyat. Terdapat cacat prosedur eksekusi pada selasa, 24 Juni lalu, yaitu tim juru sita tidak bisa menunjukan batas-batas areal yang akan dieksekusi. Proses eksekusi ini sangat cacat karena obyek yang dieksekusi tidak jelas dan tidak sesuai dengan amar putusan, masih ada putusan yang tumpang tindih dan masih berjalan perkara di Pengadilan. Dalam hal penunjukan batas, orang yang ditunjuk bukan orang yang berkompeten yaitu bukan pemohon eksekusi atau orang yang dikuasakan untuk menunjuk batas-batas. Tindakan eksekusi yang cacat prosedur juga dilindungi oleh aparat kepolisian dengan tindakan kekerasan terhadap warga yang mempertanyakan mengenai eksekusi yang cacat prosedur. Eksekusi yang cenderung dipaksakan memunculkan dugaan aparat kepolisian “main mata� dengan perusahaan. Kini pasca perampasan tanah secara brutal menyebabkan, 420 KK petani atau sekitar 1.200 jiwa di atas areal yang dirampas yaitu 350 Ha terancam hidupnya, terancam keadilan, kehidupan ekonomi, sosial dan politiknya. Di lahan seluas 350 Ha adalah desa definitif yang mempunyai perangkat desa, fasilitas umum, fasilitas sosial dan ada masyarakat sebanyak kurang-lebih 420 KK yang dominan bekerja sebagai petani. Di atas lahan tersebut secara nyata ada lahan pertanian produktif berupa padi persawahan, palawija, buah-buahan dan kayu keras milik para petani. Warga juga memiliki alas hak berupa Girik/IPEDA, sertifikat tanah dan bangunan serta bukti pembayaran pajak berupa SPPT.