Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

Transparency International Indonesia (TII) merupakan salah satu chapter Transparency International, sebuah jaringan global NGO antikorupsi yang mempromosikan transparansi dan akuntabilitas kepada lembaga-lembaga negara, partai politik, bisnis, dan masyarakat sipil. Bersama lebih dari 90 chapter lainnya, TII berjuang membangun dunia yang bersih dari praktik dan dampak korupsi di seluruh dunia.

: . Daftar Isi A. Pendahulan ‧‧‧ 4 B. Persepsi Korupsi ‧‧‧ 5 C. Pengaturan Gratifikasi ‧‧‧ 6 D. Standar dan Praktik Internasional ‧‧‧ 7 E. Manajemen Gratifikasi ‧‧‧ 8 F. Draft Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta ‧‧‧ 10 PENJELASAN ‧‧‧ 12 REFERENSI ‧‧‧ 13

A.

: . Pendahulan Sektor swasta memainkan peranan penting dalam memelihara integritas nasional suatu negara. Tidak hanya integritas negara asal perusahaan tetapi juga integritas nasional negara-negara lain tempat perusahaan melakukan kegiatan (Pope, 2003). Peran yang begitu besar ini tidak diimbangi dengan pengaturan yang memadai tentang pencegahan korupsi di sektor swasta. Sebagai negara berkembang, Indonesia termasuk negara yang paling rentan terjadinya korupsi yang diinisiasi sektor swasta. Lemahnya sistem pengendalian/pengawasan di internal pemerintah dan adanya kepentingan sektor swasta atas kebijakan pemerintah seperti pengadaan, perizinan, dan seterusnya membuka ruang sangat besar terjadinya praktik korupsi.

Data penindakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tren pelaku korupsi didominasi oleh pelaku dengan latar belakang korporasi (swasta). Fakta ini harus diterjemahkan sebagai sumber persoalan dimana korporasi menjadi pihak yang paling rentan melakukan praktik korupsi. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk memperbaiki tata kelola korporasi untuk mencegah terjadinya korupsi. Tingginya tingkat keterlibatan korporasi dalam tindak pidana korupsi harus diimbangi dengan sistem pencegahan korupsi yang memadai. Salah satu yang bisa diadopsi adalah bagaimana mengembangkan sistem pengendalian gratifikasi di internal korporasi.

Dalam praktiknya, sistem pengendalian gratifikasi di korporasi telah mulai diadopsi khususnya oleh korporasi milik negara (BUMN/D). Pembelajaran ini menjadi penting untuk dikembangkan, tidak hanya oleh korporasi milik negara tetapi juga oleh korporasi swasta murni. Tujuannya adalah untuk memastikan tata kelola perusahaan tidak menimbulkan dampak negatif didalam dunia usaha itu sendiri. Sebab praktik korupsi sudah pasti menimbulkan persaingan yang tidak sehat diantara korporasi khususnya yang terkait dengan kompetisi dalam mendapatkan proyek yang dibiayai negara. Karena dalam praktiknya, gratifikasi/suap untuk mendapatkan proyek-proyek pemerintah menjadi modus yang lazim digunakan oleh korporasi.

Sistem pengendalian gratifikasi tentu tidak hanya penting dari sisi penerima saja (pejabat publik, penyelenggara negara). Korporasi sebagai penyumbang terbesar (supply) gratifikasi/suap juga penting untuk membangun sistem pengendalian gratifikasi agar praktik ini juga bisa dicegah dari sumbernya.

4.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

B.

: . Pengaturan Gratifikasi Gratifikasi menurut KBBI adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan (KBBI Online). Menurut Penjelasan Pasal 12B Undang-Undang 20 Tahun 2001, yang dimaksud dengan “gratifikasi” adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan, wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

Dilihat dari perumusannya, gratifikasi bukan merupakan kualifikasi dari tindak pidana korupsi, tetapi hanya merupakan unsur dari tindak pidana korupsi tentang gratifikasi. Rumusan gratifikasi di dalam undang-undang akan dikualifikasikan sebagai dugaan tindak pidana jika gratifikasi yang diterima pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dilaporkan kepada KPK.

⁕ ⁕

Unsur lain yang harus dibuktikan dalam tindak pidana gratifikasi adalah; (Wiyono, 2009: 123-124) Pemberian tersebut “berhubungan dengan jabatan”, artinya si pemberi memiliki kepentingan atas jabatan tersebut.

Pemberian tersebut berlawanan dengan “kewajiban atau tugas” dari si penerima. Jadi balas jasa atau imbalan dari si penerima adalah akibat dari pemberian yang diterima, dimana pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut tidak mempunyai kewajiban atau tugas memberikan imbalan atau balas jasa tersebut.

Maka oleh undang-undang ditentukan bahwa setiap gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dianggap sebagai suap. Dalam perkara ini dimungkinkan dilakukannya sistem pembuktian terbalik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12B Ayat (1). Namun dalam Pasal 12C dibuat klausul bahwa Pasal 12B Ayat (1) tidak berlaku jika si penerima gratifikasi melaporkannya kepada KPK dalam jangka waktu 30 hari sejak tanggal diterimanya gratifikasi tersebut. Selanjutnya oleh KPK ditelaah selama 30 hari sejak diterimanya laporan dan menetapkan status gratifikasi tersebut, apakah akan menjadi milik penerima atau atau milik negara (Wiyono, 2009: 126-128).

⁕ ⁕

Dalam tindak pidana gratifikasi dikenal 2 (dua) sistem pembuktian yaitu; Terhadap gratifikasi yang nilainya Rp. 10.000.000 atau lebih pembuktiannya dilakukan oleh penerima.

Terhadap gratifikasi yang nilainya kurang dari Rp. 10.000.000 pembuktiannya dilakukan oleh penuntut umum.

Sistem pelaporan gratifikasi memiliki kelemahan, salah satunya adalah subjek pengendalian gratifikasi hanya ditujukan terhadap pegawai negeri dan penyelenggara negara, tetapi tidak mengatur pemberi gratifikasi (sektor swasta).

Pengawai negeri atau penyelenggara negara wajib melaporkan gratifikasi, tetapi pemberi gratifikasi tidak diwajibkan membuat sistem pencegahan gratifikasi di internalnya. Padahal didalam Pasal 16 huruf (b) angka (1) UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, ada kewajiban bagi penerima gratifikasi untuk mencantumkan pemberi gratifikasi. Pengaturan semacam ini membuka peluang bahwa praktik pemidanaan gratifikasi hanya menyasar penerima gratifikasi tetapi berpotensi menghilangkan peran pemberi.

Dalam praktik pencegahan gratifikasi, hal semacam ini juga terjadi. Sistem pengendalian gratifikasi lebih banyak menyasar lembaga-lembaga negara dan instansi pemerintah. Sementara korporasi-korporasi yang berpotensi besar sebagai pemberi gratifikasi tidak diwajibkan untuk membuat sistem pengendalian di internalnya. Kelaziman korporasi untuk memberikan gratifikasi kepada pengambil kebijakan adalah bentuk lemahnya pengaturan pengendalian gratifikasi di sektor swasta.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

.5

C.

: . Persepsi Korupsi Hasil Survey Persepsi Korupsi 2015 menunjukkan bahwa gratifikasi merupakan salah satu tindakan yang menurut responden—yang berasal dari kalangan bisnis—tidak dianggap salah satu bentuk tindak pidana korupsi (Lihat Transparency International Indonesia, 2015). Dari 1.067 responden, hanya 790 (74.45%) responden yang menjawab bahwa gratifikasi merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi. Responden juga menilai bahwa gratifikasi merupakan salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang lazim terjadi. Dari skor 0-5 (0=Sangat lazim, 5=Sangat tidak lazim), gratifikasi memperoleh skor 2,26.

⁕ ⁕ ⁕ ⁕ ⁕ ⁕

Survey yang sama juga memperlihatkan bahwa belum banyak perusahaan yang mengimplementasikan sistem pengendalian gratifikasi. Dari 1.067 perusahaan yang menjadi responden survey diketahui bahwa: Hanya 672 (63%) responden yang menjawab bahwa perusahaan mereka telah memiliki kode etik yang melarang pemberian dan penerimaan gratifikasi.

Hanya 587 (55%) responden yang menjawab bahwa perusahaan mereka telah memiliki kebijakan dan program anti korupsi.

Hanya 491 (46%) responden yang menjawab bahwa perusahaan mereka telah memiliki sistem pencegahan korupsi yang terinternalisasi kedalam manajemen risiko perusahaan.

Hanya 427 (40%) responden yang menjawab bahwa perusahaan mereka telah memiliki sistem pelaporan pelanggaran (whistle-blowing system).

Hanya 427 (40%) responden yang menjawab bahwa perusahaan mereka telah membuat laporan mengenai implementasi program anti korupsi kepada publik.

Hanya 405 (38%) responden yang menjawab bahwa perusahaan mereka telah menyelenggarakan pelatihan anti korupsi secara rutin.

Hasil Survey Persepsi Korupsi 2015 yang telah disebutkan diatas menegaskan bahwa masih banyak korporasi yang belum memiliki sistem pengendalian gratifikasi dan perangkat-perangkat pendukung sistem pengendalian gratifikasi.

Walaupun belum banyak korporasi yang memiliki sistem pengendalian gratifikasi, 7 dari 10 pengusaha yang diwawancarai menyatakan bahwa mereka berkomitmen untuk memberantas korupsi. Selain itu, 6 dari 10 pengusaha menyatakan bahwa perlu adanya standar anti korupsi bagi korporasi. Komitmen tinggi yang berasal dari kalangan pengusaha harus disambut dengan baik oleh regulator. Langkah yang perlu diambil adalah membentuk standar sistem pengendalian gratifikasi di korporasi.

Pengaturan pengendalian gratifikasi yang telah ada di lembaga-lembaga negara, instansi pemerintah, dan sebagian korporasi negara dapat dijadikan sebagai acuan dalam pembentukan sistem pengendalian gratifikasi di korporasi. Hal ini penting untuk menghilangkan disparitas diantara institusi-institusi yang berkelindan didalam praktik suap/gratifikasi.

Keberadaan UK Bribery Act, FCPA, dan OECD Anti Bribery Convention memberikan prakondisi bagi MNC untuk mengembangkan manajemen gratifikasi secara lebih baik. Mengacu pada good practices, pengelolaan gratifikasi di sektor swasta setidaknya mencakup tiga fungsi: pencegahan, penindakan, dan penanganan.

Dalam fungsi pencegahan perusahaan swasta dapat melakukan hal-hal berikut: 1. menyampaikan komitmen terbuka untuk tidak melakukan gratifikasi aktif- pasif. 2. memiliki kebijakan dan standar yang jelas tentang gratifikasi, 3. menyelengarakan komunikasi dan training, 4. memiliki komite etik, 5. melakukan analisa risiko dan due dilligence, dan 6. memiliki standar kontrak.

Sementara itu, dalam fungsi penindakan perusahaan setidaknya memiliki hal berikut: 1. mekanisme pelaporan, 2. kebijakan nonretaliasi, 3. fungsi penasehat, 4. fungsi kepatuhan, 5. mekanisme verifikasi dan audit, dan 6. pengawasan internal.

Untuk fungsi penanganan perusahaan setidaknya memiliki 1. mekanisme pelporan mandiri, 2. investigasi, 3. pembelajaran, 4. sanksi/disiplin pegawai.

6.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

D.

: . Standar dan Praktik Internasional Konvensi PBB Antikorupsi (UNODC, 2003: 14-15) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 juga mewajibkan negara peserta untuk mengadopsi sistem pencegahan korupsi di sektor swasta. ⁕ ⁕ ⁕ ⁕ ⁕ ⁕

Pasal 12 UNCAC: Pengembangan standar dan prosedur untuk menjaga integritas badan-badan swasta, seperti konflik kepentingan antara pelaku usaha dengan negara.

Transparansi diantara badan-badan swasta.

Pengendalian audit internal untuk membantu dalam pencegahan dan mendeteksi korupsi.

Catatan dan laporan keuangan wajib tunduk pada prosedur audit yang berlaku.

Pengenaan pidana atas tindakan tertentu, misalnya pembuatan catatan diluar pembukuan, transaksi diluar pembukuan, pencatatan fiktif, penggunaan dokumen palsu, dan seterusnya.

Ada reward bagi sektor swasta, misalnya pengurangan pajak, dan seterusnya.

Praktik di Beberapa Negara

UK Bribery Act Mekanisme

FCPA

Terdapat 6 prinsip yang diterbitkan oleh Ministry US Department of Justice (2012: 56-62) of Justice (2010: 20-31) yang dapat dijadikan memberikan kriteria minimum untuk dijadikan acuan program kepatuhan pengelolaan acuan program kepatuhan. gratifikasi. ⁕ Risk Assessment ⁕ Proportionate Procedure ⁕ “Tone at the Top” ⁕ Komitmen Top Level ⁕ Kebijakan and Standard Tata Kelola Yang ⁕ Penilaian Risiko dan Due Dilligence Jelas ⁕ Komunikasi dan Training ⁕ Pelatihan dan Pendidikan ⁕ Pemantauan dan Evaluasi ⁕ Fungsi Pengawasan Yang Kuat ⁕ Penerpanan Sanksi Bagi Perilaku Tidak Patuh ⁕ Perlindungan Saksi dan Whistleblower ⁕ Pengawasan Internal dan Audit

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

.7

E.

: . Manajemen Gratifikasi

1

2

3

Manajemen gratifikasi dalam korporasi diimplementasikan dengan tujuan untuk membuat gratifikasi yang diterima atau diberikan dapat dikelola secara transparan dan akuntabel oleh korporasi. Dalam manajemen gratifikasi, ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh korporasi: Mempopulerkan istilah gratifikasi netral dan tidak netral kedalam aktivitas korporasi. Perlu diketahui bahwa Pengertian gratifikasi secara umum memiliki makna yang netral. Namun, gratifikasi dianggap tidak netral oleh UU Tipikor karena ditujukan sebagai motor penggerak kejahatan korupsi. gratifikasi tidak netral menjadi akar korupsi ketika memenuhi kriteria, yakni dianggap sebagai suap dan motif pemberiannya berhubungan dengan jabatan dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.

Melarang gratifikasi tidak netral dan mengendalikan gratifikasi. Pengendalian gratifikasi oleh korporasi dapat dilakukan dengan cara menyediakan saluran pelaporan gratifikasi dan pembentukan unit kerja yang bertujuan untuk melakukan verifikasi apakah suatu pemberian dikategorikan sebagai gratifikasi netral atau sebaliknya.

Mengimplementasikan sarana dan prasarana manajemen gratifikasi.

Sarana dan prasarana yang dimaksud dalam poin 3 (tiga) diatas adalah sebagai berikut:

8.

1

Membangun komitmen internal; Komitmen yang berasal dari internal korporasi—terutama komitmen yang berasal dari pimpinan perusahaan (top level commitment)—dibutuhkan bagi manajemen gratifikasi karena pihak internal merupakan unsur utama yang melaksanakan aktivitas bisnis korporasi. Komitmen internal wajib dituangkan kedalam regulasi internal korporasi yang secara jelas dan tegas melarang pemberian dan penerimaan gratifikasi—termasuk sanksi bagi karyawan yang terbukti melakukan gratifikasi, pembentukan unit yang bertugas untuk menerima laporan dan melakukan verifikasi terhadap suatu pemberian, pemetaan titik rawan gratifikasi dalam setiap proses bisnis korporasi, pelatihan internal yang bertujuan untuk meningkatkan pemahaman pihak internal organisasi terhadap dampak negatif dari gratifikasi, dan penerbitan laporan rutin mengenai implementasi manajemen gratifikasi ke publik.

2

Membangun komitmen eksternal; Komitmen eksternal dibutuhkan oleh korporasi karena pihak eksternal mempunyai relasi bisnis dengan korporasi. Reputasi yang telah dibangun selama puluhan tahun oleh korporasi dapat runtuh dalam sekejap apabila pihak eksternal tidak memiliki keseragaman komitmen dengan internal korporasi sehubungan dengan larangan pemberian dan penerimaan gratifikasi, dan oleh karenanya korporasi harus mengikat komitmen pihak eksternal. Korporasi dapat melakukan sosialisasi program anti korupsi kepada pihak eksternal, melakukan risk assessment, dan mengaudit pihak eksternal—melalui audit implementasi program anti korupsi—untuk mengukur tingkat komitmen anti korupsi pihak eksternal.

3

Membangun Whistle-Blowing System; Whistle-blowing system merupakan sistem pelaporan pelanggaran yang paling efektif dalam mendeteksi kasus-kasus korupsi yang terjadi di internal organisasi (Martini, 2014: 2). Whistle-blowing system dapat menjadi salah satu sistem yang paling efektif dalam mendeteksi kasus-kasus korupsi—termasuk gratifikasi— karena whistle-blowing mempunyai dua keunggulan, yakni memperkenankan adanya pelaporan tindak pidana korupsi secara anonim dan keberadaan mekanisme perlindungan kepada saksi dan pelapor.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

4

Pencatatan dan pembukuan yang akuntabel; Tujuan diadakannya pencatatan dan pembukuan yang akuntabel adalah agar menjadikan pencatatan dalam pembukuan mampu menggambarkan aktivitas bisnis organisasi secara riil—tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk memberikan gratifikasi, dengan cara melengkapi pencatatan dengan buktibukti yang mendukung representasi aktivitas yang diterangkan oleh transaksi keuangan, dan mengembangkan klasifikasi pembukuan pencatatan terhadap gratifikasi netral atau tidak netral.

5

Penguatan fungsi kepatuhan (compliance) korporasi; Fungsi kepatuhan didefinisikan oleh Bank Indonesia sebagai tindakan atau langkah-langkah yang bersifat ex-ante (preventif) untuk memastikan bahwa kebijakan, ketentuan, sistem, dan prosedur, serta kegiatan usaha yang dilakukan telah sesuai dengan ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku (Bank Indonesia, 2011: 4). Melalui penguatan fungsi kepatuhan, korporasi dapat menjawab tantangan pengelolaan korporasi dalam memitigasi risiko korupsi.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

.9

F.

: . Draft Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta BAB V PERAN SERTA MASYARAKAT DAN DUNIA USAHA

1 2 3

Pasal 15 Masyarakat dan dunia usaha berperan serta dalam upaya pengendalian gratifikasi dengan cara: Tidak memberi gratifikasi kepada Pegawai Negeri dan/atau Penyelenggara Negara; Menolak permintaan gratifikasi dari Pegawai Negeri dan/atau Penyelenggara Negara; dan Mendukung terlaksananya sistem pengendalian gratifikasi.

Pasal 16 Korporasi dan/atau personel korporasi dilarang menjanjikan atau memberikan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara baik secara langsung ataupun tidak langsung.

1 2 3 4 5 6 7

1 2 3 4 5 6 7

Pasal 17 Dalam rangka penerapan Sistem Pengendalian Gratifikasi, korporasi yang memiliki kerjasama dengan Instansi Pemerintahan wajib membentuk mekanisme pengendalian gratifikasi yang sekurang-kurangnya meliputi tahapan: Pernyataan terbuka komitmen korporasi untuk menjalankan bisnis secara bersih dengan mengadopsi nilai-nilai tata kelola perusahaan yang baik; Membentuk atau menunjuk unit khusus yang ditugaskan menjalankan mekanisme pengendalian gratifikasi yang terdapat pada bagian yang menjalankan fungsi pengawasan atau kepatuhan; Melakukan identifikasi dan pemetaan titik rawan gratifikasi di lingkungan korporasi; dan Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan pengendalian gratifikasi.

Tahapan Penerapan Sistem Pengendalian Gratifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, b dan c menjadi persyaratan tambahan dalam kerjasama korporasi dengan Instansi Pemerintahan.

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) juga berlaku terhadap korporasi yang mengajukan perizinan terhadap Instansi Pemerintahan.

Ketentuan lebih lanjut tentang sistem Pengendalian Gratifikasi di korporasi dapat disusun sesuai dengan kebutuhan korporasi dengan tetap mengacu pada Peraturan ini.

Pasal 18 Unit khusus sebagaimana dimaksud pasal 17 ayat 1 huruf (c) berwenang dan bertugas; Menerima laporan terhadap dugaan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 16 dari internal atau eksternal korporasi; Melakukan verifikasi dan klarifikasi terhadap laporan sebagaimana dimaksud pada angka 1 sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada korporasi; Meneruskan hasil verifikasi dan klarifikasi pada KPK; Merekomendasikan penghargaan atau sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada korporasi; Melakukan evaluasi secara periodik terhadap pengendalian gratifikasi di lingkungan korporasi; Melakukan sosialisasi pengendalian gratifikasi di internal dan eksternal yang berbentuk; Menjalankan rekomendasi KPK terkait penerapan sistem pengendalian gratifikasi pada korporasi.

Pasal 19 Korporasi selain sebagaimana dimaksud pada Pasal 17 dapat menerapkan Sistem Pengendalian Gratifikasi mengacu pada Peraturan ini.

10.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

BAB VI SANKSI ADMINISTRASI

1 2 3

1 2 3 4

1 2 3 4

Pasal 22 Korporasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dapat dijatuhi sanksi berupa: Pengumuman secara terbuka oleh KPK atau asosiasi yang terkait.

Pemutusan kerjasama sementara oleh Instansi Pemerintahan yang memiliki kerjasama dengan Korporasi paling lama 1 (satu) tahun; dan/atau Pemutusan kerjasama tetap oleh Instansi Pemerintahan yang memiliki kerjasama dengan Korporasi; Pelanggaran dilakukan oleh korporasi jika memenuhi syarat: Dilakukan atau diperintahkan oleh personil pengendali korporasi; Dilakukan dalam mekanisme korporasi; Gratifikasi yang diberikan berasal dari keuangan Korporasi, baik dianggarkan atau tidak dianggarkan secara khusus; atau Dapat menguntungkan korporasi Personel korporasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 tanpa perintah dari personil pengendali gratifikasi dan di luar mekanisme korporasi, dapat dijatuhi sanksi berupa: Alih fungsi atau penempatan personil korporasi pada bagian yang memiliki resiko penerimaan gratifikasi yang lebih rendah; Pencabutan hak memperoleh tunjangan kinerja, insentif, dan/ atau bonus selama 1 (satu) tahun; Penjatuhan skorsing untuk jangka waktu tertentu; dan/atau, Pemberhentian tidak dengan hormat KPK memberikan rekomendasi kepada asosiasi atau Instansi Pemerintahan terkait dengan temuan adanya pemberian gratifikasi yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas oleh korporasi atau personil korporasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara; Asosiasi atau Intansi Pemerintahan wajib menjalankan rekomendasi yang disampaikan oleh KPK;

a b c

Penjatuhan Sanksi pada Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh: KPK dalam bentuk pengumuman terbuka; Asosiasi dalam bentuk pengumuman terbuka dan/atau dikeluarkan dari keanggotaan asosiasi; Instansi Pemerintahan dalam bentuk pemutusan kerjasama secara tetap, pemutusan kerjasama sementara dan/atau pencabutan izin; Penjatuhan sanksi terhadap personel korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan berdasarkan peraturan yang berlaku di korporasi.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

.11

: . PENJELASAN Pasal 17 Ayat (1) Yang dimaksud kerjasama dengan instansi pemerintahan adalah hubungan hukum antara korporasi dengan Instansi Pemerintahan untuk melakukan hal tertentu, baik yang dianggarkan oleh keuangan negara atau keuangan daerah ataupun kerjasama yang dibentuk melalui perjanjian lainnya, seperti: dalam pengadaan barang dan jasa, kerjasama BOT (build, operate and transfer), kerjsama di bidang insfrastruktur, kerjasama di sektor pertambangan, sektor perminyakan dan bentuk kerjasama lainnya.

Huruf a Yang dimaksud dengan tata kelola korporasi yang baik atau good corporate governance (GCG) adalah suatu sistem yang dirancang untuk mengarahkan pengelolaan perusahaan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran, untuk pencapaian penyelenggaraan kegiatan usaha yang memperhatikan kepentingan setiap pihak yang terkait dalam penyelenggaan kegiatan usaha, berlandaskan peraturan perundang-undangan dan praktek yang berlaku umum.

Huruf b – Huruf e Cukup jelas Ayat (2) Cukup jelas Ayat (3) Penerapan Sistem Pengendalian Gratifikasi ditempatkan sebagai persyaratan bagi korporasi dalam mengajukan segala bentuk perizinan, lisensi atau sejenisnya yang diterbitkan oleh Instansi Pemerintahan.

Pasal 18 Yang dimaksud Korporasi juga mencakup asosiasi atau kumpulan dari korporasi dalam bentuk perusahaan group.

12.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

: . REFERENSI Bank Indonesia. 2011. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 13/2/PBI/2011 tentang Fungsi Pelaksanaan Kepatuhan Bank Umum. Diakses melalui http://peraturan. bkpm.go.id/jdih/userfiles/batang/PBI_132_2011.pdf KBBI. Gratifikasi. Diakses melalui http://kbbi.web.id/gratifikasi Martini, Maira. 2014. Best Practices and Challenges for Whistle-Blowing Systems in Multinational Companies. Diakses melalui http://www.transparency.org/files/ content/corruptionqas/Best_practice_and_challenges_for_whistleblowing_ systems_in_multinational_companies_2014.pdf Ministry of Justice. 2010. The Bribery Act 2010: Guidance. Diakses melalui https://www.justice.gov.uk/downloads/legislation/bribery-act-2010-guidance. pdf Pope, Jeremy. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional. Jakarta Transparency International Indonesia. 2015. Survey Persepsi Korupsi 2015: 11 Kota. Diakses melalui http://riset.ti.or.id/indonesia-corruption-perception-index/ United Nations Office on Drugs and Crime. 2003. United Nations Convention against Corruption. Diakses melalui https://www.unodc.org/documents/ brussels/UN_Convention_Against_Corruption.pdf U.S. Department of Justice. 2012. A Resource Guide to the U.S. Foreign Corrupt Practices Act. Diakses melalui https://www.justice.gov/sites/default/ files/criminal-fraud/legacy/2015/01/16/guide.pdf Wiyono, R. 2009. Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Usulan Pengaturan Gratifikasi Sektor Swasta

.13

Transparency International Indonesia Jl. Amil Raya No. 5, RT. 01 RW. 04 Pejaten Barat, Pasar Minggu, Jakarta ― 12510. t e

021-2279 2806, 021-2279 2807 info@ti.or.id

www.ti.or.id

@TIIndonesia