
2 minute read
Konten Prank
Jenaka atau Petaka
Siapa nih yang suka scroll TikTok atau YouTube buat nonton video lucu? Pasti banyak dari kita yang suka ketawa bareng teman-teman lihat konten-konten kocak, kan? Nah, kali ini kita mau ngobrolin soal prank. Apa sih yang terjadi ketika lelucon jadi keterlaluan?
Prank, alias lelucon jahil, sudah ada sejak lama. Tapi, dengan adanya media sosial, prank jadi punya panggung baru yang lebih besar. Konten kreator sering pakai prank buat menarik perhatian, terutama dari milenial dan Gen Z. Video-video ini menjanjikan tawa dan kejutan, tapi kadang leluconnya kebablasan!
Kawan Tular Nalar, pernah denger tentang Galih Loss? Influencer TikTok ini sempat jadi sorotan gara-gara video prank-nya yang bikin gerah banyak orang. Salah satu videonya yang paling kontroversial adalah saat dia menawarkan makanan kepada seorang gelandangan, tapi kemudian malah menarik makanan itu sambil tertawa. Parahnya lagi, dia juga bikin prank pura-pura mencuri dari usaha kecil dan melecehkan orang asing di tempat umum. Nggak heran kalau ujungnya dirujak netizen! Banyak influencer dan tokoh masyarakat yang mengutuk aksinya. Mereka bilang, prank-nya Galih sudah kelewatan dan nggak etis. Kontroversi ini bikin kita mikir, prank itu hiburan biasa atau malah bikin orang sakit hati?
Awalnya, Galih sempat berdalih kalau reaksi orang-orang yang ada di videonya itu cuma settingan. Tapi, setelah banyak yang mengkritik, dia akhirnya minta maaf secara publik. Kasus ini jadi contoh penting buat kita semua bahwa prank yang merugikan orang lain bisa punya konsekuensi hukum. Jadi, konten kreator harus hati-hati!
Ternyata, Galih Loss bukan satu-satunya yang kena masalah karena prank. Ada juga kasus YouTuber Ferdian Paleka yang bikin prank kasih makanan berisi sampah ke individu transgender di Bandung. Ferdian pun akhirnya menghadapi konsekuensi hukum dan kecaman publik. Dan yang gak tanggung-tanggung, korban pranknya satu kantor Polisi! Pasti masih ingat kan kasus selebritis Baim Wong? Ujungnya gak jauh dari video klarifikasi dan permintaan maaf, bahkan sampai dipenjara. Walau berakhir “damai”, tapi jejak digital sulit untuk dihapus.
Untuk yang suka bikin konten, kita punya pengaruh besar. Prank memang bisa bikin ketawa, tapi juga bisa menyakiti orang. Membuat konten yang bertanggung jawab itu butuh empati dan kesadaran. Kita harus pastikan bahwa tawa yang kita ciptakan nggak bikin orang lain menderita.
Jadi, Kawan Tular Nalar, yuk kita jadi generasi yang bijak dalam bermedia sosial. Kita bisa kok bikin konten yang seru dan lucu tanpa harus menyakiti orang lain. Ingat, tawa itu lebih berharga kalau datang dari hati yang tulus, bukan dari kemalangan orang lain.