TRIBUN KALTIM 11 APRIL 2011

Page 16

JUMAT 11 FEBRUARI 2011

Udin Mulyono Terpilih Aklamasi ! Musorkot III KONI Bontang BONTANG, TRIBUN Mantan Ketua Harian KONI Bontang, Udin Mulyono terpilih secara aklamasi menjadi Ketua KONI Bontang periode 2011-2015, pada Musyawarah Kota (Musorkot) III KONI di Pendopo Rumah Jabatan Walikota, Kamis (10/ 2) kemarin. Udin langsung ditetapkan menjadi Ketua KONI, oleh pimpinan sidang tanpa melalui proses pemilihan. Penetapan ini otomatis dilakukan karena Udin merupakan kandidat tunggal yang mencalonkan diri sebagai ketua menggantikan Andi Sofyan Hasdam. “Tidak ada pemilihan, kami selaku pimpinan sidang langsung menetapkan Udin Mulyono sebagai ketua karena Ia calon tunggal,” ujar MP Simanjuntak, pimpinan sidang Musorkot III KONI Bontang. Munculnya Udin sebagai calon tunggal pada pemilihan ketua KONI sudah bisa diprediksi oleh seluruh peserta. Pasalnya, sebelum dilangsungkan pemilihan, puluhan peserta Musorkot memilih melakukan aksi walk out, keluar dari arena sidang. Para peserta yang WO ini,

mayoritas berasal dari rival Udin Mulyono yakni, kubu Juddin Darwin Simanjutak. “Wajar saja kalau mereka WO, yang jelas sidang tetap berjalan sesuai aturan organisasi. Keputusan yang juga tetap sah karena jumlah peserta yang WO tidak mempengaruhi keabsahan putusan,” papar Simanjuntak. Sementara, ketua terpilih Udin Mulyono saat ditemui usai Musorkot mengaku tidak akan memasalahkan peserta yang memilih WO saat sidang berlangsung. Menurutnya, kejadian WO wajar terjadi dalam organisasi mana pun. Udin sendiri berjanji akan tetap memperlakukan seluruh pengcab secara adil tanpa membeda-bedakan pilihan mereka selama Musorkot berlangsung. “Itu wajar, yang jelas saya berjanji akan tetap berlaku adil. Mereka yang WO akan tetap kita akomodir kepentingannya seperti pengcab yang lain,” ujar Udin. Terpisah, gabungan Pengcab yang WO sepakat tidak mengakui seluruh hasil Musorkot yang dilaksanakan di Pendopo Walikota, termasuk terpilihnya Udin Mulyono sebagai Ketua KONI.

Mereka menilai pelaksanaan musorkot sarat dengan rekayasa dan cenderung dipaksakan sehingga sejumlah poin dalam tata tertib sidang bertentangan dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) KONI. “Semua keputusan yang diambil tidak sah dan inkonstitusional sebab bertentangan dengan AD/ ART KONI,” ujar juru bicara gabungan pengcab yang memilih WO, Frans Micha. Dijelaskan, salah satu poin penting dalam tatib yang bertentangan dengan AD/ ART KONI yakni Pasal 15 ayat 1 huruf d. Dalam ketentuan itu disebutkan bahwa apabila dalam penjaringan calon Ketua KONI Bontang didukung oleh 50 persen plus 1, maka calon tersebut langsung ditetapkan jadi Ketua KONI sekaligus menjadi Ketua Tim Formatur. Klausul ini menurut Frans Micha bertentangan dengan ketentuan dalam AD/ART yang menyebutkan pemilihan dilakukan dengan one delegation one vote, atau satu perwakilan pengcab satu suara. (don)

Siapkan Musorkot Tandingan TERPILIHNYA Udin Mulyono sebagai Ketua KONI Bontang periode 2011-2016, bakal mendapat batu sandungan. Pasalnya, sebanyak 15 Pengcab yang memilih walk out pada Musyawarah Kota (Musorkot) III KONI Bontang, Kamis (10/2) berencana menggelar Musorkot tandingan. “Kami tidak mengakui seluruh hasil Musorkot termasuk terpilihnya Udin Mulyono, untuk itu kami akan menggelar Musorkot luar biasa,” ujar juru bicara gabungan 15 Pengcab, Frans Micha, saat menggelar konfrensi pers usai melakukan WO. Menurut Frans Micha, musyarawah tandingan akan segera dipersiapkan guna

memilih pengurus KONI secara konstitusional tanpa adanya rekayasa. Untuk itu, upaya pertama yang akan dilakukan adalah menggalang dukungan dari semua pengcab yang ada di Bontang. Selanjutnya meminta rekomendasi dari KONI Provinsi Kaltim, sebelum menggelar hajatan musyawarah tandingan. “Jadi namanya Musorkot luar biasa karena Musorkot yang baru digelar ini kami anggap inkonstitusional,” katanya. Selain menggelar Musorkot tandingan, Frans juga meminta agar Pemkot Bontang tidak menggelontorkan sepeserpun dana pembinaan untuk KONI, hingga terbentuk pengurus yang sah. “Kami minta

pemerintah tidak mencairkan dulu anggaran untuk KONI sebelum masalah ini selesai, tuntas,” katanya. Pendapat senada disampaikan oleh Ketua Ikatan Pencak Silat Indonesia (IPSI) Bontang, Juddin Darwin Simanjuntak. Juddin yang sebelumnya dianggap sebagai rival kuat Udin Mulyono mengaku sangat kecewa dengan pelaksanaan Musorkot yang dinilai sarat rekayasa. Terpisah, Ketua KONI terpilih, Udin Mulyono, mengaku tidak akan terpengaruh dengan rencana Musorkot tandingan yang diwacanakan oleh gabungan pengcab yang WO. Ia juga mengaku tidak menghalangi rencana itu. (don)

17

KTE Beri Fee Rp 24 Miliar ! Selisih Perhitungan Pajak Rp 197 Miliar SANGATTA, TRIBUN Lanjutan sidang kasus dugaan korupsi dana hasil penjualan saham 5 persen di PT Kaltim Prima Coal (KPC) kembali digelar di Pengadilan Negeri Kutim, Kamis (10/2). Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan empat saksi. Namun karena panjangnya proses pemeriksaan saksi, hanya dua saksi yang menyampaikan persaksian. Keempat saksi yang dihadirkan adalah Dita Satari dan Tatang M Tresna (konsultan pajak Ditara Saidah Tresna), Hendra (PNS kantor pajak), dan Riyadi Yunara (mantan Direktur Keuangan PT KTE). Keempatnya juga telah menjadi tersangka dalam kasus ini pada perkara yang lain. Mereka juga telah ditahan di Lapas Tenggarong. Riyadi Yunara, menyatakan bahwa KTE pernah memberikan fee (komisi) sebesar Rp 24 miliar kepada konsultan pajak Ditara Saidah Tresna (DST), yang dikelola Dita dan Tatang.

Belakangan diketahui Riyadi dan Hendra juga menjadi komisaris pada konsultan pajak tersebut. Fee Rp 24 miliar diberikan secara terpisah. Yaitu Rp 5 miliar pada tahap awal kerjasama antara KTE dan Dita Satari (secara pribadi, bukan atas nama DST, red). Dana tersebut digunakan untuk operasional awal. Sedangkan dana Rp 19 miliar diberikan pada tahap kedua. Dana tahap kedua ditransfer pada tanggal 9 Februari 2010 kepada DST melalui rekening Dita. Setelah dicecar pertanyaan majelis hakim, Riyadi menegaskan bahwa uang Rp 5 miliar dan Rp 19 miliar tersebut merupakan fee DST untuk mengurus pajak KTE. Ia pun mengaku mendapatkan bagian dari DST sekitar Rp 300 juta dari Rp 5 miliar, dan Rp 813 juta dari Rp 19 miliar. Fee diberikan karena telah ada perjanjian antara KTE yang diwakili Anung Nugroho dengan Dita Satari tanggal 14 Agustus 2009. Dalam

perjanjian tersebut, disebutkan bahwa tim tax services yang dipimpin Dita akan mendapatkan 40 persen dari nilai pajak yang dibebaskan. “Kalau mereka berhasil membebaskan pajak, maka akan mendapatkan fee 40 persen. Bila tidak berhasil, maka tidak dapat,” kata Riyadi. Pangkal upaya pembebasan adalah adanya perbedaan besaran pajak yang diklaim KTE. KTE melalui SPTnya melaporkan pajak yang harus dibayar Rp 13 miliar. Namun Kantor Pelayanan Pajak Bontang, yang membawahi Kutim menyatakan dalam Surat Ketetapan Pajak (SKP) bahwa pajak yang harus dibayar KTE sebesar Rp 210 miliar. Artinya, ada selisih perhitungan pajak sekitar Rp 197 miliar. Perhitungan KPP mengacu pada besaran pajak penghasilan atas transaksi penjualan saham 5 persen dari KTE kepada PT Kutai Timur Sejahtera sebesar Rp 576 miliar

pada tahun 2008. Pada periode 2004 sampai 2007, justru SPT KTE beberapa kali nihil karena vakumnya aktifitas perusahaan. Sedangkan KTE melalui DIta Satari menyatakan pajak yang harus dibayarkan adalah Rp 13 miliar. “Memang ada perbedaan dasar perhitungan. KPP merujuk pada perhitungan saham 5 persen tersebut sudah merupakan milik KTE. Sedangkan kami menghitung saham 5 persen tersebut masih merupakan hak untuk membeli. Jadi pascapenjualan masih harus membayar utang,” kata Dita Satari dalam sesi sidang terpisah. Belakangan KPP Bontang menyampaikan SKP dengan nilai Rp 210 miliar kepada KTE. KTE pun menyatakan sempat menyampaikan keberatan atas SKP tersebut. Namun belum sampai proses keberatan berlanjut, para pihak terkait sudah menjalani pemeriksaan oleh Kejaksaan Agung RI. (khc)

Anung Minta Dokumen Dimusnahkan FAKTA penting disampaikan mantan Direktur Keuangan PT KTE, Riyadi Yunara, dalam persidangan, Kamis (10/2). Riyadi menyatakan bahwa Anung pernah memintanya untuk memusnahkan dokumen perjanjian antara KTE dengan Ditara Saidah Tresna, yang memuat konsideran pemberian fee sebesar 35 persen bilamana DST bisa membebaskan pajak KTE. “Saya diperintahkan Pak Anung untuk memusnahkan dokumen yang berisi perjanjian pemberian fee 35

persen atas pajak KTE yang dibebaskan, karena dikhawatirkan ada masalah di kemudian hari,” kata Riyadi. Ia pun memusnahkan dokumen tersebut dengan alat penghancur kertas. Dokumen yang dimusnahkan itulah yang menjadi dasar pemberian fee sebesar Rp 5 miliar dan Rp 19 miliar. Untuk mengatur transaksi yang telah dilakukan berdasarkan dokumen tersebut, dibuatlah perjanjian baru di tahun 2010 yang justru berlaku mundur di tahun 2009 dan awal 2010.

“Pada tahun 2010 dibuat dua perjanjian setelah dokumen dimusnahkan. Perjanjian ini tanggal pemberlakuannya mundur. Pertama, perjanjian tanggal 12 Maret 2009. Dan kedua, 7 Januari 2010 tentang pembangunan data center dan system oleh DST,” katanya. Perjanjian pertama disebut menghasilkan output biaya Rp 5 miliar, sedangkan perjanjian kedua Rp 19 miliar. Tentang aliran dana, baik Dita maupun Riyadi menjelaskan bahwa dana tersebut juga dialirkan

beberapa pihak KTE, selain mereka sendiri. Dita menyebutkan bahwa ia, Tatang, dan Hendra mendapatkan bagian. Sedangkan Apidian mendapatkan Rp 720 miliar, dan Anung juga mendapatkan aliran, melalui pengacaranya. Namun keterangan tentang aliran dana ini dibantah Anung dan Apidian. Apidian mengatakan memang sempat ada aliran dana Rp 720 juta, namun telah ia kembalikan. Sedangkan Anung membantah bahwa lawyernya saat itu telah menerima dana. (khc)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.