












Sejak konsepsi KINTAKA, tradisi dan transformasi merupakan dua hal yang begitu esensial. Sebagai media independen dengan misi menginspirasi lewat narasi terkurasi, KINTAKA percaya bahwa tradisi adalah fondasi krusial yang membentuk konteks dan legasi. Maka dari itu, kami berkomitmen menjadi pustaka gaya hidup lintas masa yang menyoroti subjek dan objek secara menyeluruh: mengupas masa lalunya, mempresentasikan masa kininya, dan mengkaji masa depannya.
Di sisi lain, transformasi menjadi solusi KINTAKA dalam menghadapi tantangan media cetak di tengah gempuran digitalisasi. Lewat inovasi format multisensori yang dapat Anda baca, dengar, dan tonton kami mentransformasi pengalaman mengakses konten gaya hidup yang menjanjikan fleksibilitas bagi para individu modern berkehidupan dinamis.
Dengan spirit yang sama, para jenama gaya hidup pun menjadikan tradisi sebagai inti dari identitas mereka Semacam DNA yang membedakan mereka di tengah arus tren yang cepat berubah. Namun, status ikonis saja tidaklah cukup. Untuk menjaga kesetiaan dan antusiasme para pelanggan, bahkan jenama yang telah melegenda pun perlu terus bertransformasi.
Adaptasi menjadi sebuah keharusan, terutama dalam lanskap industri yang sangat kompetitif, di mana evaluasi tidak pernah berhenti dan standar kualitas terus ditingkatkan. Maka dari itu, kami mengusung tema ‘Transformasi Dalam Jejak Tradisi’ untuk edisi ke-2 majalah KINTAKA dengan sorotan pada individu dan jenama terpilih yang mengilustrasikan bagaimana transformasi bisa tumbuh dari refleksi dan pengembangan yang berkelanjutan.
Sebagai representasi sempurna dari tema yang kami usung, lini perhiasan Coco Crush kreasi CHANEL menghiasi sampul majalah ini. Selama satu
dekade terakhir, sang ikon membanggakan transformasi konsisten melalui perilisan berbagai iterasi yang tak hanya semakin rupawan, tetapi juga menyuguhkan keserbagunaan yang kian adaptif baik untuk mendukung seni padu padan sebagai penyempurna penampilan, maupun desain berfitur inovatif yang mengoptimalkan pemakaiannya. Semua itu dilakukan sembari berpijak pada penghormatan abadi terhadap Gabrielle “Coco” Chanel yang menjadi sumber inspirasi tanpa batas bagi sang koleksi.
Dalam segmen KARYA, temukan kurasi produk yang menghadirkan terobosan bukan sebagai respon
terhadap zaman semata, melainkan sebuah budaya yang lahir dari kesadaran untuk tetap autentik sekaligus terus relevan. Mulai dari pembahasan mendalam mengenai evolusi ragam mobil swakemudi yang ramah lingkungan, produk keramik dengan sentuhan kontemporer dari Arta Derau, hingga mahakarya Technogym yang beralih dari sekadar alat kesehatan menjadi mitra gaya hidup mewah.
Beralih ke segmen PERSONA, Salvita De Corte dalam balutan busana dan perhiasan CHANEL dari koleksi Spring/Summer 2025 menunjukkan bahwa transformasi tidak selalu berarti perubahan besar-besaran. Dalam ketenangan yang bersahaja, ia menavigasikan kehidupan multiperannya dengan semangat untuk senantiasa tumbuh menjadi versi terbaik. Simak juga wawancara kami dengan dua seniman kawakan, Sanchia Hamidjaja dan Darbotz, yang menyeimbangkan idealisme dan komersialisme dalam setiap proyek kolaborasi mereka dengan jenama lintas latar belakang.
Segmen CERITA yang berfokus pada dampak menampilkan Chopard dan Mazaraat yang mendemonstrasikan bahwa merangkul standar terbaik bertaraf internasional menjadi lebih bermakna karena tetap berpijak pada akar tradisi. Simak juga perbincangan menarik kami dengan visioner di balik Brightspot Market, Leonard Theosabrata, tentang seni merangkai autentisitas dalam membangun jenama penggagas kultur tanpa ragu-ragu.
(Atas) Di halaman 62, Salvita De Corte berbagi tentang seni merangkai diri di tengah kehidupan multiperannya (Kanan) Temukan kreasi keju dan mentega lokal berstandar internasional karya Mazaraat di halaman 122
Lewat berbagai narasi dalam edisi ini, kami mengajak Anda menyelami bagaimana transformasi dan tradisi bisa berjalan beriringan. Bukan sebagai dua kutub yang bertentangan, melainkan sebagai kekuatan yang saling menghidupi. Semoga setiap kisah yang kami hadirkan dapat menginspirasi Anda untuk terus berkembang, tanpa kehilangan akar dan arah. Selamat menikmati perjalanan multisensori Anda selanjutnya dalam setiap teks, audio, dan video yang kami rangkai khusus untuk Anda.
Penerbit
IRWAN MUSSRY
Manajer Redaksi ERIKA TANIA
Eksekutif Editorial CHARLENE ATALIE
SAPA KAMI
Pemimpin Redaksi
SHANNON HARTONO
Eksekutif Periklanan NETANYA GABRIELLE
Multimedia Kreatif KRISTY G. LANTANG
Manajer Bisnis AMELIA WIDHARATNA
Eksekutif Editorial Senior ARINTA WIRASTO
Eksekutif Media Sosial ATHIRAH NURFILZAH
Informasi Berlangganan: kintaka@time.co.id Periklanan dan Kolaborasi: netanya.gabrielle@time.co.id
DITERBITKAN OLEH
TIME INTERNATIONAL PUBLICATIONS
PT Komunikasi Perkasa Internasional Centennial Tower lantai 28, Jalan Gatot Subroto Kav. 24-25. Jakarta 12930
Fotografer / DERAI
AURYN H. GAUTAMA @auryngautama
Videografer / DERAI
RAJA IBNU FADERI @crymeariverrs
Fotografer / DERAI
BRIAN VALENSKA @briannathanielv
Penulis
GIVANIA DWI CITTA @givaniadc
Fotografer / DERAI
REYNALDO TJANDRA @reynaldotjandra
Video Editor CALVIONITA @calvionita
Videografer / DERAI HELENA WIJAYA @helenawijaya
Penulis VIANA DIEN-IGAH @vianaigah
Videografer / DERAI
DIMITRI ISNANTA @dimitrizuniar
Videografer IGN R. BRAMANTYA @bramsky.bramsky
AURYN HERMAN GAUTAMA
Pria humoris yang gemar mengubah momen canggung menjadi tawa.
BRIAN NATHANIEL VALENSKA
Fotografer muda yang selalu antusias untuk melakukan eksplorasi kreatif.
CALVIONITA
Video Editor di ranah kampanye konten finansial sekaligus pencinta dunia visual.
DIMITRI ZUNIAR ISNANTA
Videografer yang selalu melihat sesuatu dengan perspektif mendalam.
DWI LUKITA
Penulis yang gemar bercanda dan dijadikan bahan bercanda.
GIVANIA DWI CITTA
Seorang ibu dan penulis lepas yang bergairah pada topik seputar gaya hidup dan perempuan.
HELENA WIJAYA
Pegiat seni yang sedang menekuni elemen audio dan visual.
IGN RADITYA BRAMANTYA
Sineas yang menjadikan mode, budaya, dan seni tradisional sebagai inspirasi.
RAJA IBNU FADERI
Pria yang mengekspresikan emosi dan ide melalui gambar yang bergerak.
REYNALDO TJANDRA
Pendiri DERAI Studio yang memiliki kepekaan tinggi dalam menangkap keindahan hidup.
VIANA DIEN-IGAH
Pendiri Prefinite Communications yang sudah lama berkecimpung dalam industri hospitalitas.
SURAT EDITOR
Pengantar dari Pemimpin Redaksi
REDAKSI
Kenali sosok-sosok di balik setiap lembar yang Anda baca
KONTRIBUTOR
Deretan persona kreatif yang membantu kami mewujudkan makna dan cerita
SAMPUL
Satu dekade jejak evolusi lini perhiasan
CHANEL, Coco Crush
006
008
009
016
150 DIREKTORI
Temukan detail seputar jenama yang Anda baca di edisi ini
FOKUS 024
Rangkuman inovasi terkini dari berbagai industri gaya hidup
FOKUS 036
Berkenalan dengan dua aksesori teknologi anyar dari Samsung
FOKUS 040
Menelusuri proses pembuatan keramik penuh makna Arta Derau
SIKLUS 044
Menelusuri evolusi mobil tanpa pengemudi dari masa ke masa
IMAJI 050
Mengapresiasi transformasi desain produk teknologi
TELITI 056
Menyoroti simfoni superior dari Devialet Astra Opéra de Paris Dual
TELITI 058
Mahakarya desain dan teknis dari
Technogym: Kinesis Personal
SUDUT PANDANG 062
Seni merangkai diri: transformasi peran Salvita De Corte
KOLEKTOR 070
Dedikasi Suherli di balik koleksi Harley-Davidson miliknya
SUDUT PANDANG 076
Wajah baru industri perhotelan dari pandangan Viana Dien-Igah
SUDUT PANDANG 082
Eksplorasi gaya bersama Jonathan Andy, sosok kreatif di balik estetika album Maudy Ayunda
SUDUT PANDANG 088
Diskusi soal idealisme dan komersialisme bersama Sanchia Hamidjaja dan Darbotz
SUDUT PANDANG 094
Membuka babak baru Zenith bersama Benoit de Clerck
IMAJI 100
Ketika gaya eklektik bertemu dengan sentuhan futuristik
FOKUS 110
Kultur kolaborasi ala gerai toko roti artisan, BRAUD
WAWASAN 116
Membangun jenama penggagas kultur menurut Leonard Theosabrata
WAWASAN 122
Perjalanan menggugah dari jenama keju artisan asal Indonesia: Mazaraat
WAWASAN 128
Merangkai masa depan limbah tekstil melalui inisiatif Pable
WAWASAN 134
Kelana impresif sarat teknologi tinggi di Tiongkok
KATA KINTAKA 140
Siapakah yang lebih pintar di masa kini, manusia atau teknologi?
JURNAL 144
Integrasi harmonis antara presisi dan etika di manufaktur Chopard
TRIVIA 152
Bisakah Anda mencari serba-serbi dalam edisi kedua KINTAKA?
Tidak banyak motif yang mampu merangkum paradoks seanggun quilt kreasi CHANEL. Motif yang terbentuk dari jajaran persegi diagonal ini memancarkan nuansa subtil namun tegas, terstruktur tapi tetap dinamis, klasik sekaligus terasa modern. Di tangan para artisan CHANEL, motif quilt bukan sekadar elemen estetika melainkan bahasa visual yang kaya makna, simbol dari pendekatan desain yang penuh presisi namun tetap humanis.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Erika Tania
FOTOGRAFI
Dok. CHANEL PENULIS
VIDEOGRAFI
Dok. CHANEL
Coco Crush lahir dari warisan simbolik itu, namun berkembang menjadi sesuatu yang lebih intim dan personal. Sebagai koleksi perhiasan, lini ini berhasil meraih keseimbangan yang jarang tercapai: cukup berkarakter untuk dikenali sebagai karya ikonis dari sebuah jenama tersohor dalam hal ini, CHANEL namun cukup bersahaja untuk menjadi bagian dari ekspresi diri seharihari. Satu dekade sejak pertama kali diperkenalkan, Coco Crush membuktikan bahwa kekuatan sebuah desain justru terletak pada kemampuannya menjembatani berbagai kontras, tanpa kehilangan identitas.
Penyanyi sekaligus ambasador CHANEL, Jennie, tampil memikat dalam kampanye Coco Crush 2025—mewujudkan semangat kebebasan, keanggunan, dan individualitas khas sang rumah mode (dok. CHANEL)
Identitas CHANEL tentunya tidak luput dari sosok Gabrielle “Coco” Chanel. Lebih dari sekadar perancang busana, ia adalah sumber ide tanpa batas dan seorang ikon yang tak pernah kehilangan relevansi.
Motif quilt yang kini menjadi DNA Coco Crush sebenarnya telah memikat Gabrielle jauh sebelum rumah modenya berdiri. Pada 1906, saat masih muda dan hidup berdampingan dengan dunia pacuan kuda milik kekasihnya, Étienne
Balsan, Gabrielle menemukan daya tarik estetika yang kuat pada selimut pelana dan jaket para joki.
Pengalaman visual itu begitu membekas dalam memorinya yang kemudian menginspirasi Gabrielle untuk mengadopsi pola grafis tersebut ke berbagai aspek dalam hidupnya mulai dari desain interior di kediamannya, kreasi busananya di era 1920-an, maupun tas 2.55 nan legendaris yang ia rilis pada tahun 1955.
Dalam kampanye Coco Crush 2024, Amandla Stenberg aktris asal Amerika Serikat yang dikenal lewat perannya sebagai Rue dalam film The Hunger Games (2012) menampilkan gaya personalnya melalui seni menumpuk gelang Coco Crush (dok. CHANEL)
Sejak saat itu, motif quilt menjadi warisan desain CHANEL yang melintasi zaman: jejak visual dari masa lalu yang terus menemukan relevansi dan makna baru dalam lanskap mode masa kini. Tak hanya muncul dalam ragam kreasi tas dan dompet, motif ikonik ini turut diaplikasikan pada jaket, sabuk, sepatu, aksesori teknologi, koper, bahkan produk kecantikan di tangan para artisan CHANEL modern.
Coco Crush menjadi salah satu interpretasi modern dari warisan tersebut. Untuk pertama kalinya, motif quilt diterjemahkan pada material emas nan berharga. Hadir dalam susunan garis silang yang tegas, motif ini berpadu dinamis dengan kontur perhiasan yang cembung, menawarkan daya pikat dualitas yang khas.
Perhatian ekstra terhadap setiap lekuk dan sudut mencerminkan craftsmanship istimewa para artisan di CHANEL Fine Jewellery Creation Studio—yang memastikan tiap perhiasan Coco Crush mampu menangkap dan memantulkan cahaya dengan sempurna.
Di tengah dunia mode yang bergerak begitu cepat, sepuluh tahun adalah usia yang monumental. Berkat kecerdasan desain Coco Crush yang tak lekang oleh waktu, koleksi ini tak butuh validasi terus-menerus dari tren.
Dalam linimasanya sendiri, Coco Crush berevolusi dalam ritme yang tenang namun pasti mengikuti intuisi, bukan arus. Setiap pembaruan dalam koleksi ini terasa seperti bab baru dalam narasi yang berkelanjutan: senantiasa setia pada motif quilt, namun tak ragu berevolusi dengan eksploratif.
Pertama kali diperkenalkan pada April 2015, Coco Crush hadir sebagai edisi terbatas yang terdiri dari lima cincin dalam ukuran besar dan kecil, serta sebuah cuff dalam pilihan emas putih 18 karat dan sebuah material anyar: emas beige 18 karat.
Berada di antara spektrum tona emas kuning dan merah muda, emas beige karya CHANEL dikreasikan sebagai penghormatan kepada preferensi sang founder, Gabrielle, terhadap warna hangat sekaligus sejumlah produk sukses yang mengusung warna beige serupa: setelan tweed, benang jahitan pada karya rajutan, dan sepatu dwiwarna ikoniknya.
Dalam tahun-tahun berikutnya, Coco Crush terus berevolusi tanpa kehilangan esensinya. Tahun 2016 membawa sentuhan dramatis dengan hadirnya berlian dalam pola konstelasi dan simbol singa lagi-lagi tribut terhadap Gabrielle dan kini, astrologinya yang menghiasi cuff mewah.
Setahun kemudian, koleksi ini semakin berani dengan desain anting asimetris, gelang yang lebih ramping, serta lebih banyak permainan berlian yang membuat koleksi ini makin dinamis dan penuh karakter. Pada 2018, Coco Crush mengukuhkan posisinya sebagai koleksi yang terus tumbuh dengan menambahkan kalung rantai dua susun dan cincin emas dwiwarna.
Tahun 2019 menjadi momentum bagi kreasi cincin Coco Crush lewat kehadiran iterasi cincin dua jari dalam kombinasi emas kuning dan emas putih 18 karat yang memperluas cakupan ekspresi koleksi ini.
Di tahun 2025. CHANEL memperkenalkan teknik pavé baru yang menghiasi garis-garis quilt dengan berlian secara diagonal, menciptakan efek seolah batu-batu itu tersebar alami di atas emas (dok. CHANEL)
Untuk pertama kalinya, Coco Crush mengintegrasikan batu rubi ke dalam desainnya yang muncul di liontin berbentuk huruf “C” dan gelang huruf “O”, menciptakan permainan visual dari nama “COCO” ketika dikenakan bersamaan (dok. CHANEL)
Beralih ke tahun 2020, CHANEL menghadirkan cincin versi mini yang lebih ramping dan ringan, sehingga semakin ideal untuk ditumpuk. Selain itu, Coco Crush juga menghadirkan terobosan ear cuff tanpa kait yang menjadi jawaban bagi penggemar anting tanpa banyak tindik telinga.
Evolusi berlanjut pada 2021 dan 2022, ditandai dengan perilisan cincin Toi et Moi bersiluet serupa huruf C, serta susunan berlian baru yang menghiasi satu jajar kubus quilt pada bagian tengah cincin maupun gelang.
Pendekatan lebih personal terhadap warisan sang rumah mode diaplikasikan pada tahun 2023 lewat kemunculan gelang rantai berbentuk “C” dan “O” yang jika dirangkai dapat mengeja nama “COCO.”
Di tahun 2024, CHANEL Fine Jewellery Creation Studio membanggakan inovasi Coco Twist pengait tak kasat mata yang dapat berotasi pada iterasi gelang mini untuk kemudahan pemakaian dan keindahan kian maksimal.
Kini, di 2025, Coco Crush membuka babak baru yang lebih berani. Untuk pertama kalinya, koleksi ini mengintegrasikan batu rubi ke dalam desainnya sebuah warna flamboyan yang muncul di liontin berbentuk huruf “C”
dan gelang huruf “O”, menciptakan permainan visual dari nama “COCO” ketika dikenakan bersamaan.
Tidak hanya itu, CHANEL juga memperkenalkan teknik pavé baru yang menghiasi garis-garis quilt dengan berlian secara diagonal, menciptakan efek seolah batu-batu itu tersebar alami di atas emas padahal sejatinya, setiap detail adalah hasil keterampilan teknis tingkat tinggi.
Dalam segala bentuk dan versinya, Coco Crush tak pernah statis. Ia tumbuh, berubah, dan bebas dari definisi konvensional tentang perhias-
an dan segala tren yang ada di dalamnya. Seperti Gabrielle Chanel yang hidup dengan autentisitas, Coco Crush menghadirkan semangat individualitas yang tak tergoyahkan.
Meskipun, “crush” biasanya diasosiasikan dengan ketertarikan sesaat— cepat datang, cepat berlalu koleksi ini justru membuktikan sebaliknya. Dengan daya tarik yang semakin kuat dari tahun ke tahun, Coco Crush bukan lagi sekadar koleksi yang memikat mata, tetapi juga menggugah rasa mengundang kita untuk mengenakannya lagi dan lagi, dalam setiap momen, dalam setiap versi diri.
Ulasan mendalam mengenai produk lintas industri. Mulai dari rilisan terkini, hingga kreasi klasik yang tak lekang oleh waktu.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Givania Diwiya Citta
VIDEOGRAFI
Calvionita
Marye Anne Fox, seorang perempuan dengan banyak gelar ‘pertama’ dalam dunia akademik, pernah berkata, “Kebangkitan inovasi selalu dimulai dengan pertanyaan: Kenapa tidak?”
Ungkapan ini mencerminkan bagaimana inovasi sering kali lahir dari rasa ingin tahu yang mendalam dan tercermin dalam berbagai produk di berbagai industri.
Sejatinya, inovasi memang menjadi kunci keberlanjutan bagi banyak bisnis, sekalipun telah melewati masa keemasannya. Sebab, terobosan yang sejati tidak terikat oleh waktu dan mampu tetap relevan sepanjang zaman.
Seperti yang dituturkan oleh Steve Jobs, “Inovasi bukan hanya tentang produk, melainkan cara kita berpikir.” Pemikiran inilah yang mendasari bagaimana sebuah inovasi dapat menjadi warisan dan tetap eksis, meskipun dikelilingi oleh temuan kontemporer lainnya.
Gerakan inovatif yang kadang melampaui batas pengetahuan kita justru menjadi sebuah tombak keberhasilan. Inilah esensi dari berpikir di luar kotak. Seperti yang dikatakan oleh Walt Disney, “Jangan takut untuk menjadi berbeda dan menghadapi tantangan baru.” Mari telusuri berbagai inovasi prominen yang memberikan perspektif baru dan faedah bagi lanskap gaya hidup.
KARYA
Dalam dunia horologi, pencapaian besar sering kali lahir dari tantangan teknis yang tampaknya mustahil diatasi. Salah satu inovasi paling monumental dalam riwayat pembuatan jam tangan lahir pada akhir abad ke-18. Saat itu Abraham-Louis Breguet, seorang maestro horologi, menghadapi permasalahan mendasar pada jam saku: waktu menjadi tidak akurat akibat efek gravitasi.
Menjawab tantangan tersebut, pada tahun 1795, Abraham-Louis menciptakan tourbillon, sebuah mekanisme revolusioner yang dirancang untuk menyeimbangkan efek gravitasi terhadap balance wheel dan escapement. Dengan menempatkan komponen utama jam dalam sebuah sangkar yang berputar melawan arah gravitasi, ia memastikan akurasi penunjuk waktu tetap terjaga, terlepas dari posisi jam saku saat digunakan.
Penemuan ini tak hanya menjadi terobosan teknis, tetapi juga mendefinisikan standar baru dalam presisi waktu.
Sepanjang abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tourbillon menjadi simbol keunggulan dalam dunia horologi. Bahkan, diadopsi oleh hampir seluruh produsen jam saku terkemuka. Patek Philippe, Vacheron Constantin, dan berbagai manufaktur Swiss lainnya berlomba-lomba mengintegrasikan teknologi ini ke dalam koleksi mereka, menjadikannya sebuah simbol keterampilan dalam seni pembuatan jam tangan.
Namun, memasuki abad ke-20, dominasi teknologi quartz mengubah lanskap industri horologi. Mesin jam elektronik yang lebih akurat dan efisien menggeser mekanisme mekanis, membuat fungsi tourbillon beralih menjadi simbol adikarya ketimbang kebutuhan teknis.
Di era modern, tourbillon bertahan sebagai salah satu komplikasi horologi paling prestisius objek koleksi yang sangat dihargai dan terus berevolusi. Manifestasinya pun beragam. Sang pelopor, Breguet, menyuguhkan
pilihan klasik nan bersahaja lewat Classique Tourbillon Extra-Plat 5377 dengan estetika off-centered dan kombinasi tiga motif guilloché pada bagian dial
Interpretasi kontemporer lainnya membanggakan kompleksitas desain dan kemutakhiran teknis yang eksploratif. Mulai dari Hublot MP-05 LaFerrari Sapphire dengan tourbillon vertikal yang bercadangan daya sampai 50 hari, Vacheron Constantin Les Cabinotiers 'Berkley Grand Complications' dengan tourbillon yang diintegrasikan bersama 62 komplikasi lainnya, hingga Bulgari Octo Finissimo Ultra Tourbillon yang merupakan jam tangan tourbillon tertipis di dunia dengan ketebalan hanya 1.85 mm saja!
Lebih dari sekadar inovasi teknis, tourbillon adalah bukti bahwa keahlian dan presisi horologi melampaui waktu. Di tengah era digital, ia tetap berevolusi sebagai simbol eksklusivitas, keterampilan, dan keindahan mekanis yang tak lekang oleh zaman.
Tiffany & Co. tergabung dalam ekosistem blockchain eksklusif yang dapat mengenkripsi identitas digital setiap guna memastikan keaslian dan menjamin keetisan setiap materialnya (dok. Tiffany & Co.)
Lahir dari kebutuhan terhadap keamanan, transparansi, dan keberlanjutan dalam rantai pasok perhiasan, inovasi blockchain muncul sebagai paradigma baru yang diadopsi oleh para produsen. Teknologi ini tak hanya menjadi instrumen untuk memperkuat kepercayaan pelanggan, tetapi juga wujud komitmen bisnis terhadap praktik yang sepantasnya.
Penerapannya berkisar dari memastikan autentisitas berlian, batu permata, dan emas, hingga menjamin bahwa bahan baku diperoleh dari sumber yang etis dan bebas konflik masih ingat isu yang digambarkan dalam film Blood Diamond (2008)? Semua ini dapat diakses melalui
pemindaian kode QR atau pelacakan nomor seri perhiasan.
Meski awalnya teknologi blockchain dikembangkan untuk sektor keuangan lewat Bitcoin dan cryptocurrency, namun sifatnya yang transparan dan bersifat desentralisasi turut menjadi solusi untuk mengatasi tantangan dalam industri perhiasan. Berkat inovasi blockchain, perjalanan perhiasan dari tambang hingga ke tangan pelanggan dapat dilacak secara lebih akurat dan lebih sulit untuk dipalsukan dibandingkan metode sertifikasi tradisional.
Blockchain juga mencatat setiap transaksi dalam buku besar digital yang tidak dapat diubah, memastikan
bahwa perhiasan tidak diperdagangkan secara ilegal. Selain itu, produsen juga dapat membuktikan komitmennya terhadap praktik pertambangan berkelanjutan. Inilah ekosistem yang lebih aman bagi seluruh pemangku kepentingan dalam industri perhiasan.
Di lanskap global, Tiffany & Co., Bulgari, dan Cartier tergabung dalam AURA Blockchain Consortium ekosistem blockchain eksklusif yang diprakarsai oleh LVMH serta sebagian dari grup Richemont. Koalisi ini bertujuan mengenkripsi identitas digital setiap perhiasan guna memastikan keasliannya serta menjamin penggunaan bahan baku yang diperoleh secara etis.
Sementara itu, Pandora berkolaborasi dengan IBM untuk mengembangkan sistem pelacakan rantai pasokan berbasis teknologi Augmented Reality (AR). Sistem ini memungkinkan memungkinkan pelanggan menelusuri rekam jejak digital setiap perhiasan Pandora guna memastikan kebebasan dari praktik pertambangan tidak bertanggung jawab.
Dengan milenial dan Gen Z sebagai segmen utama dalam industri perhiasan, inovasi blockchain meredefinisi kemewahan dan menjadi standar alternatif yang menentukan kredibilitas sebuah merek. Tak hanya soal kilau permukaan semata, jenama perhiasan kini juga dinilai dari komitmennya terhadap kejujuran dan integritas yang tak tergoyahkan.
Inovasi material berbahan dasar tanaman semakin mendapat tempat dalam ekosistem fesyen. Inisiatif ini muncul sebagai respon terhadap dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh industri mode. Khususnya akibat dominasi material berbasis komodifikasi hewan seperti kulit, sutra, wol, dan bulu dalam proses produksi.
Hadirnya inovasi material berbahan dasar tanaman diharapkan dapat menjadi solusi untuk mengurangi jejak karbon dan limbah industri mode, sekaligus mendorong transisi menuju praktik yang lebih etis dengan mengurangi ketergantungan pada material berbasis hewan.
Dalam laporannya pada tahun 2022, Material Innovation Initiative (MII) mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 150 jenama di industri gaya hidup mayoritas berasal dari sektor mode telah bermitra
dengan perusahaan rintisan yang berfokus pada pengembangan material berbahan dasar tanaman. Lebih menggembirakan lagi, sejumlah rumah mode papan atas turut mengadopsi langkah inovatif ini.
Contohnya, Stella McCartney yang mengadopsi Mylo kulit alternatif berbahan jamur dalam kreasi Mylo™ Falabella Bag yang merupakan tas berbahan dasar jamur pertama di dunia. Sementara itu, Hermès berkolaborasi dengan MycoWorks dalam mengkreasikan Sylvania material serupa kulit yang terbuat dari hasil biofabrikasi jamur dan kemudian dikaryakan menjadi Victoria Bag.
Tak ketinggalan, Ralph Lauren juga bermitra dengan perusahaan rintisan, Natural Fiber Welding, untuk mengembangkan Mirum kulit alternatif yang dibuat dari limbah
organik dan gabus. Beberapa material ramah lingkungan lain yang turut dimanfaatkan oleh jenama global mencakup Piñatex (serat nanas) yang digunakan pada Vegan Sneakers oleh Hugo Boss dan Demetra (bahan vegan berbasis serat tumbuhan) dalam koleksi tas Horsebit 1955 dan sepatu kets karya Gucci.
Di lanskap lokal, bahan seperti serat rami dan tenun berbasis serat alami semakin diperhitungkan, terutama mengingat kekayaan hayati Indonesia yang melimpah. Desainer lokal seperti Chitra Subyakto telah mengadopsi penggunaan tencel (serat kayu eukaliptus), kapas organik, dan pewarna alami dalam koleksi Laut Kita oleh Sejauh Mata Memandang. Dengan pergeseran industri menuju produksi yang lebih etis tanpa mengorbankan estetika maupun kualitas, siapa yang bisa menolak daya tarik inovasi ini?
Ekshibisi Warna-Warna Vol. II (2024) merupakan hasil kolaborasi berbagai yayasan seni di Indonesia untuk menyoroti inklusivitas, kreativitas, dan keberagaman dari seniman komunitas difabel maupun publik non-difabel (dok. Instagram @andienaisyah)
Jika membahas konsep inklusivitas dalam seni, kita perlu merujuk kembali pada perjuangan kesetaraan dan hak-hak sipil yang mengemuka sejak era 1960-an. Dalam ranah seni rupa, gerakan inklusivitas mulai mendapatkan tempat melalui karya-karya yang merefleksikan isu sosial, terutama yang menyoroti keterbatasan ruang ekspresi bagi kelompok minoritas.
Berkat perjuangan yang berlangsung selama dekade demi dekade, era kontemporer kini menyaksikan munculnya semakin banyak museum dan galeri yang mengakomodasi seniman serta karya yang menjembatani kesenjangan tersebut. Didukung oleh digitalisasi, eksihibisi virtual pun semakin aksesibel.
Kehadiran platform global seperti media sosial juga membuka ruang berekspresi bagi berbagai lapisan masyarakat dan mendorong berkembangnya kesadaran sosial. Alhasil, konsep inklusivitas dalam dunia seni rasanya sudah mencapai masa keemasannya di abad ke-21 ini.
Pada tahun 2024, desa bersejarah Mougins di Prancis menjadi saksi dibukanya Femmes Artistes du Musée de Mougins (FAMM), museum seni pertama di Eropa yang didedikasikan untuk memamerkan karya seniman perempuan dari seluruh dunia.
Selain itu, The Museum of Modern Art (MoMA) di New York dan Tate Modern di London keduanya dikenal sebagai institusi seni paling berpengaruh dalam bidang seni kontemporer mengusung program seni inklusif yang dirancang khusus bagi komunitas minoritas serta penyandang disabilitas.
Di ranah seni Tanah Air, Yayasan Dialogue Seni Budaya berkolaborasi
dengan Yayasan Andien Aisyah, Yogya Disability Arts, Open Arms – Yayasan Selasar Sunaryo, Tab Space, British Council: Yayasan Filoksenia, dan Dwi Tunggal dalam menggelar ekshibisi Warna-Warna Vol. II (2024). Pameran ini menjadi selebrasi keberagaman, menampilkan karya seniman dari komunitas difabel maupun publik non-difabel.
Meski semakin banyak yayasan seni yang menaungi seniman penyandang disabilitas sebuah perkembangan yang patut diapresiasi keberadaan lembaga serta acara seni berskala besar di Indonesia tetap diperlukan untuk memastikan inklusivitas yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Museum MACAN, misalnya, pernah mengadakan program Forum Pendidik yang membuka ruang diskusi mengenai pendidikan seni inklusif. Sementara itu, sejak 2022, ArtJog telah menyediakan tur dengan pendampingan khusus bagi komunitas tunarungu dan tunanetra, menegaskan komitmen terhadap aksesibilitas dalam dunia seni.
Di panggung global, wacana inklusivitas dalam seni juga mendapatkan ruangnya sendiri. Salah satu perwujudannya terlihat pada Tribeca Festival 2024. Berkolaborasi dengan rumah mode CHANEL, festival ini mengangkat seniman dengan visi merayakan keberagaman identitas, latar belakang, serta perspektif yang unik.
Lewat medium visual dan sinematik, mereka menghadirkan narasi yang merefleksikan dinamika pertukaran budaya secara mendalam. Sebuah terobosan yang tidak hanya patut dinantikan, tetapi juga selayaknya diapresiasi dan didukung sebagai langkah maju bagi ekosistem seni yang lebih inklusif.
DESAIN: PENDEKATAN
VERNAKULAR
Seiring terjadinya globalisasi yang mendominasi lanskap desain, warisan budaya perlahan terkikis. Pada dekade 1950-an hingga 1980-an, muncul gelombang inovasi yang bertujuan mempertahankan tradisi sebagai bentuk perlawanan terhadap arus industrialisasi. Salah satu arsitek paling kontroversial di era modernisme adalah Frank Lloyd Wright yang justru mengutamakan desain organik selaras dengan alam, serta mengintegrasikan unsur budaya Amerika dalam karyanya.
Sementara itu, di lanskap desain Indonesia, Yori Antar arsitek generasi kedua di Han Awal & Partners
Architects dikenal atas dedikasinya dalam melestarikan warisan arsitektur tradisional Nusantara. Salah satu pencapaiannya adalah konservasi rumah adat Mbaru Niang di Wae Rebo yang berhasil merevitalisasi identitas budaya lokal. Upaya pelestarian ini bahkan meraih penghargaan Award of Excellence dalam UNESCO AsiaPacific Awards 2012.
Inovasi dalam preservasi tradisi di dunia desain terus berevolusi hingga kini. Arsitek seperti Andra Matin dan Realrich Sjarief mengadaptasi teknik serta material tradisional, lalu menerapkannya ke dalam arsitektur kontemporer dengan dukungan teknologi
IH Residence
garapan Andra Matin memperkenalkan
arsitektur vernakular khas
Indonesia kepada dunia (dok. Andra Matin)
masa kini. Pendekatan tersebut tidak hanya memastikan kelangsungan warisan budaya di era modern, tetapi juga mendorong desain yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Penggunaan material alami dari wilayah Indonesia tidak hanya mendorong ekonomi berkelanjutan dan pemberdayaan perajin lokal, tetapi juga mempertimbangkan aspek lingkungan. Sumber daya terbarukan seperti bambu dan rotan yang tumbuh cepat dan mudah diperbarui tanpa merusak ekosistem meningkatkan efisiensi energi dalam desain.
Tengok IH Residence karya arsitektur dari Andra Matin yang mengangkat konsep arsitektur vernakular dari rumah adat, ukiran kayu, dan tata ruang tradisional. Dalam ranah desain interior, terdapat karya Studio Air Putih yang konsisten memadukan konsep tropis serta material lokal ke dalam desain modern. Contohnya adalah kantor arsitek Batu Bata yang memberikan kesan melebur dengan bangunan, sekaligus nuansa tropis khas Indonesia.
Perhatikan pula karya perabot Cynthia Margareth yang menerjemahkan filosofi masyarakat Tabanan, Bali, ke dalam koleksi furniturnya dengan nuansa menentramkan. Selain itu, karya perabot Hendro Hadinata mengadopsi gaya hidup masyarakat sekitar Sungai Musi dan Pulau Kemaro yang sarat unsur tradisional Sumatra Selatan. Keduanya bukan sekadar furnitur, melainkan medium naratif yang menghadirkan kearifan lokal ke dalam wacana desain kontemporer Indonesia.
Dorongan untuk mengadopsi kendaraan listrik tidak selalu berjalan mulus. Ketika mobil listrik pertama kali diperkenalkan di Indonesia, respon yang muncul pun beragam. Ada yang menerimanya dengan antusias sebagai langkah menuju masa depan yang lebih ramah lingkungan. Ada juga yang masih meragukan kesiapan infrastruktur. Di sisi lain, sebagian calon pengguna lebih mempertimbangkan faktor harga dan kenyamanan dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil.
Kabar baiknya, umpan balik terhadap kendaraan listrik kini semakin positif di kalangan konsumen yang lebih luas. Penerimaan ini didorong oleh kebijakan pemerintah serta peningkatan infrastruktur di luar kotakota besar. Selain itu, inovasi lain juga berperan dalam memperluas adopsi kendaraan listrik, terutama di negara berkembang. Salah satunya adalah pendekatan psikologis yang dirancang secara strategis untuk meningkatkan efektivitas adopsi teknologi ini.
Narasi tersebut menempatkan mobil listrik bukan sebagai teknologi baru semata, melainkan simbol kebanggaan nasional merepresentasikan Indonesia sebagai bangsa yang maju dan berorientasi pada keberlanjutan. Seperti yang pernah disampaikan Presiden RI ke-6 Joko Widodo dalam indonesia.go.id, Tanah Air kita memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 30%. Dengan potensi ini, Indonesia memiliki peluang besar untuk menjadi produsen utama kendaraan listrik berbasis baterai.
Kesadaran akan emisi dan energi berkelanjutan mendorong persepsi positif terhadap kendaraan listrik, terutama di kota berpolusi tinggi, seperti Jakarta. Gaikindo mencatat lonjakan penjualan mobil listrik di Indonesia pada 2024 naik 177,32% dari tahun sebelumnya hingga mencapai 23.045 unit.
Mari lihat manifestasi dari narasi psikologis di balik meningkatnya adopsi kendaraan listrik di Indonesia. Misalnya, Hyundai yang meluncurkan kampanye Driving Meaningful Innovation pada 2021 untuk menyoroti dua model andalannya: KONA Electric dan IONIQ Electric.
Kampanye ini menekankan pengalaman berkendara yang bermakna melalui komitmen terhadap lingkungan, serta kesadaran penuh dengan mengoptimalkan pancaindra. Teknologi canggih, seperti fitur berkendara
otonom dan Bluelink yang menghubungkan kendaraan dengan perangkat pintar menjadi bagian dari narasi ini.
Ada pula Mini Electric yang mengusung desain klasik sekaligus menonjolkan teknologi nol emisi karbon bagi kalangan urban yang mengedepankan gaya hidup modern, eksklusivitas, dan kesadaran ekologis. Narasi psikologi semacam ini semakin mengukuhkan visi kendaraan listrik sebagai bagian dari masa depan yang berkelanjutan.
BOGA: MOLEKULER
Siapa yang tak ingat era 2010-an, ketika tren gastronomi molekuler mulai merambah Indonesia? Teknik seperti spherification, emulsi, dan penggunaan nitrogen cair menjadi bagian dari eksplorasi kuliner yang memungkinkan para koki menciptakan tekstur serta tampilan hidangan yang inovatif.
Namun, tahukah Anda bahwa konsep gastronomi molekuler telah dikembangkan sejak 1980-an oleh ilmuwan Nicholas Kurti dan Hervé This? Inovasi yang menggabungkan ilmu fisika dan kimia dalam dunia kuliner ini terus beresonansi hingga kini, menarik perhatian para penikmat gastronomi di seluruh dunia.
Tak hanya menghadirkan presentasi hidangan yang sempurna untuk era media sosial, gastronomi molekuler juga mengubah pengalaman bersantap menjadi eksplorasi sensorik yang penuh kejutan.
Gastronomi molekuler berfokus pada inovasi dalam mengubah tekstur, rasa, dan bentuk makanan. Teknik spherification yang menciptakan bola cair meledak di mulut, emulsi yang menghasilkan saus berbusa dengan sensasi ringan, serta nitrogen cair yang membekukan hidangan seketika dengan efek asap dramatis, menjadi beberapa metode paling populer dalam eksekusinya.
Dalam kancah kuliner Indonesia, gastronomi molekuler tetap relevan meski pasarnya tersegmentasi. Namaaz
Dining di Jakarta, dipimpin oleh koki Andrian Ishak sejak 2012, menjadi restoran pionir dalam menyajikan gastronomi molekuler dengan hidangan khas Indonesia. Hingga kini, mereka terus menghadirkan inovasi dengan menu baru di setiap musimnya.
Contohnya, koki Andrian mengubah opor ayam menjadi sehelai kertas dengan teknik dehidrasi dan hidrokoloid. Campuran bahan dikeringkan hingga renyah tanpa mengubah cita rasanya. Saat disantap, lembaran ini larut di mulut, menghadirkan rasa opor ayam yang familier dengan sensasi tak terduga.
Sedangkan, di lanskap kuliner internasional, Tapas Molecular Bar di Mandarin Oriental, Tokyo, dikenal karena
Hidangan keripik balado dalam presentasi kaca transparan oleh Namaaz Dining, Jakarta (dok. Instagram @andrianishak)
menggabungkan teknik gastronomi molekuler dengan konsep omakase. Salah satu hidangan khasnya, Chupa Tapas, menghadirkan pâté foie gras dalam bentuk lolipop, menawarkan pengalaman bersantap yang inovatif dan mengejutkan.
Dengan teknik pembekuan, foie gras dibentuk menjadi bola kecil sebelum dicelupkan ke dalam karamel cair panas, menciptakan lapisan luar yang renyah. Saat disantap, tekstur garing ini segera berpadu dengan kelembutan foie gras di dalamnya, menghadirkan kontras mengejutkan yang menggugah indra.
Sejak asisten virtual menjadi bagian dari produk teknologi, interaksi antara pengguna dan teknologi kini berkembang pesat. Terlebih dengan integrasinya ke dalam IoT (Internet of Things)—ragam perangkat elektronik yang terhubung ke internet dan saling bertukar data asisten virtual hadir layaknya penghuni baru dalam ruang privat penggunanya.
Kehadiran asisten virtual kian melekat dalam dinamika keseharian kita. Mulai dari pertanyaan praktis, seperti “Siri, perlukah saya membawa payung hari ini?” hingga instruksi produktif, “Hei Google, pandu saya meditasi selama 20 menit,” maupun refleksi filosofis,
“Alexa, apa arti kehidupan?” Teknologi ini tidak lagi sekadar penyedia informasi objektif, melainkan juga menciptakan pengalaman yang membangun rasa kepemilikan dan menimbulkan pertimbangan etis dalam penggunaannya di masa depan.
Perjalanan asisten virtual menuju integrasi dalam kehidupan seharihari berawal dari konsep kecerdasan buatan (AI) yang dikembangkan sejak 1950-an hingga 1980-an. Salah satu tonggak penting terjadi pada 1966 dengan lahirnya ELIZA, chatbot pertama yang dirancang untuk meniru percakapan seorang terapis. Meski masih terbatas dalam
untuk mampu mengenali bahasa alami sang pengguna dan
pemahaman konteks, ELIZA menjadi awal mula pengembangan teknologi percakapan berbasis AI yang terus berevolusi hingga kini.
Pada 1987, Apple memperkenalkan Knowledge Navigator, konsep asisten virtual dengan antarmuka suara dan kecerdasan buatan. Seiring kemajuan teknologi ponsel dan komputer, asisten virtual berkembang dengan kemampuan mengenali bahasa alami, melayani melalui suara, teks, dan visual, serta mengontrol perangkat IoT.
Era keemasan asisten virtual dimulai pada 2010-an, ditandai dengan peluncuran Apple Siri, Amazon Alexa, Google Assistant, Microsoft Cortana, dan Samsung Bixby yang semakin memperkuat peran AI dalam kehidupan sehari-hari.
Di Indonesia, peran asisten virtual pun telah dimanfaatkan dalam skala personal hingga profesional. Dalam bisnis e-commerce, seperti Tokopedia dan Shopee memanfaatkan chatbot berbasis AI untuk layanan pelanggan, mulai dari menjawab pertanyaan hingga memfasilitasi transaksi.
Sementara di sektor perbankan, chatbot seperti VIRA dari Bank BCA dan MITA dari Bank Mandiri membantu nasabah dalam pengecekan saldo hingga transfer, menjadikan interaksi finansial lebih efisien dan responsif.
Dalam hal personal, asisten virtual seperti Google Assistant di Spotify dan YouTube memungkinkan pemutaran lagu atau video hanya dengan perintah suara. Google Home dan Amazon Alexa semakin banyak diadopsi untuk mengontrol rumah pintar, sementara Microsoft Copilot membantu profesional dengan fitur penulisan surel hingga analisis data, meningkatkan efisiensi kerja. Kehadiran asisten virtual kini tak lagi sekadar mempermudah, tetapi juga mengoptimalkan keseharian.
Sebelum mengkritisi dampak negatif pariwisata massal seperti degradasi lingkungan, ketimpangan ekonomi lokal, dan eksploitasi budaya perlu diakui juga perannya dalam meningkatkan kesejahteraan banyak negara, terutama pasca-Perang Dunia II. Namun, kini saatnya inovasi berikutnya mengambil peran utama: pariwisata berkelanjutan.
Sejak ilmuwan dan aktivis lingkungan didukung oleh PBB melalui United Nations World Tourism Organization (UNWTO)—mendorong pariwisata berkelanjutan, konsep ini menjadi inovasi dalam industri perjalanan. Tujuannya jelas: menyeimbangkan dampak sosial, lingkungan, dan ekonomi yang ditimbulkan oleh pariwisata massal. Konferensi Rio de Janeiro 1992 pun menjadi tonggak penting yang meningkatkan kesadaran global akan urgensi pelesir berkelanjutan.
Memasuki era 2000-an, berbagai negara mulai menerapkan kebijakan ekowisata, pariwisata berbasis komunitas, dan hotel hijau sebagai upaya menuju keberlanjutan. Di Indonesia, NIHI Sumba menjadi contoh nyata dengan inisiatif pelestarian lingkungan, seperti daur ulang air, pengembangan pertanian organik, dan pengomposan dalam sistem operasional resornya.
SOL by Meliá Benoa Bali beralih ke Liquefied Natural Gas (LNG) sebagai alternatif LPG untuk mengurangi jejak karbon. Sementara itu, Nikoi Island mengadopsi prinsip keberlanjutan dengan memanfaatkan panel surya sebagai pemanas air serta menerapkan sistem daur ulang air untuk mengolah limbah secara mandiri.
Meski bisnis akomodasi telah menerapkan praktik bertanggung jawab, ekosistem pariwisata berkelanjutan tetap memerlukan dukungan dari berbagai pihak sebagai sistem pendukungnya.
Agensi pelesir digital seperti Airbnb, Tiket.com, Ecobnb dari Italia, dan Socialbnb dari Jerman turut berperan dalam mendukung ekosistem pariwisata berkelanjutan dengan menawarkan akomodasi yang menerapkan praktik ramah lingkungan, pengelolaan energi dan limbah, serta pelestarian keanekaragaman hayati secara bertanggung jawab. Inovasi dalam sektor pariwisata telah menjadi tolok ukur baru dalam menghadapi tantangan global, menuntut adopsi pendekatan yang lebih modern dan berkelanjutan.
pengomposan dalam lingkungan internal resor (dok. NIHI)
Pascapandemi, tren berolahraga berkembang menjadi gerakan yang lebih personal dan bermakna— menyalurkan jiwa aktif melalui komunitas olahraga yang semakin solid, maupun ajang yang bersifat rekreasi maupun kompetitif. Inovasi ini tidak hanya muncul dari inisiatif individu, tetapi juga dari level akar rumput, seperti Indorunners, Gowes Indonesia, hingga Supreme Court Jakarta.
Perusahaan pun turut berperan dalam mendorong inovasi ini, baik untuk karyawan maupun publik. Mereka menghadirkan program olahraga, menyediakan benefit keanggotaan pusat kebugaran, hingga menggelar ajang olahraga rutin, seperti Borobudur Marathon yang diinisiasi oleh Bank Jateng.
Selain itu, inovasi dalam kesejahteraan juga berdampak pada sektor lain, termasuk pariwisata. Tahun 2025 diprediksi menjadi era turisme atletik, seiring dengan meningkatnya minat terhadap liburan berbasis olahraga. Laporan Accor menunjukkan pencarian terkait “liburan berolahraga” meningkat 50% dalam setahun terakhir, menandakan tren ini semakin diminati.
Tren ini pun mendorong bisnis perhotelan untuk menghadirkan fasilitas bagi tamu yang berorientasi pada gaya hidup sehat. Misalnya, Chiva-Som Hua Hin di Thailand menawarkan lapangan golf dalam program retretnya, lengkap dengan paket latihan. Sementara Ayana Midplaza Jakarta menyediakan lapangan tenis dan
Pandemi mendorong gagasan kesejahteraan pada hampir seluruh lapisan masyarakat dalam gaya hidup aktif berolahraga, seperti maraton berbasis komunitas (dok. Pexels)
squash bagi para tamu yang ingin tetap aktif selama menginap.
Laporan Understanding Indonesia’s Sports Trends dari Populix pada tahun 2025 mengungkap bahwa dari 1.030 responden: 94% aktif berolahraga, dengan 44% memilih lari dan 56% lainnya menggemari bulu tangkis. Bahkan, 47% responden mengaku tertarik mencoba olahraga baru, seperti tenis padel. Data statistik ini selaras dengan survei Kementerian Kesehatan RI yang menunjukkan
lebih dari 50% masyarakat Indonesia menjalani gaya hidup lebih aktif pascapandemi.
Pada akhirnya, inovasi tak selalu berupa produk konkret, tetapi juga perubahan pola pikir, kebiasaan, dan sistem yang meningkatkan kualitas hidup. Gerakan inovatif dalam menyalurkan jiwa atletik ini bukan sekadar tren, melainkan perubahan positif yang membawa kesejahteraan. Kini, saatnya kita bergerak dan merasakan faedahnya.
Topik-topik seputar kesejahteraan hidup yang selama beberapa tahun terakhir ramai diperbincangkan telah mencapai momentumnya dan bertransformasi dari sekadar tren menjadi bagian integral dalam rutinitas sehari-hari. Tak lagi terbatas pada diskusi di forum kesehatan atau ruang praktik psikologi, perhatian terhadap keseimbangan fisik, mental, dan emosional kini hadir dalam berbagai aspek kehidupan modern.
Mulai dari kerabat yang mulai rutin melakukan meditasi, hingga figur publik yang membangun citra diri melalui pola makan sehat. Semua ini mencerminkan pergeseran nilai yang signifikan bahwa keseimbangan fisik dan mental sudah menjadi prioritas utama dalam dunia gaya hidup. Meski begitu, kesejahteraan perlu didukung oleh sarana yang memadai untuk mengoptimalkan implementasinya. Berkat perkembangan aksesori teknologi, kini hal itu dapat diwujudkan dengan lebih mudah.
Raksasa teknologi asal Korea Selatan, Samsung, memahami pentingnya menciptakan produk yang mendukung kualitas hidup. Sebagaimana aksesibilitas bukanlah konsep baru bagi jenama yang telah melakukannya sejak tahun 1999 dengan merilis SPH-WP10, ponsel berbentuk jam tangan pertama yang diproduksi secara komersial di dunia.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Samsung
VIDEOGRAFI
Dok. Samsung PENULIS
Seiring waktu, Samsung terus berperan aktif dalam merancang inovasi berkelanjutan demi menciptakan pengalaman hidup yang lebih cerdas dan terhubung. Temasuk di antaranya adalah dua terobosan anyar yang diperkenalkan pada tahun 2024 silam, Galaxy Ring dan Galaxy Watch Ultra.
Lantas, apa yang membuat kedua penawaran ini tampil menonjol di tengah maraknya aksesori teknologi di pasaran? Jawabannya terletak pada perpaduan antara inovasi fungsional dan estetika desain yang mampu mengikuti ritme hidup modern serba cepat, penuh tuntutan, namun tetap mengedepankan ekspresi personal. Berikut ulasan mendalam dari KINTAKA.
PENUH DAYA
Cikal bakal aksesori teknologi bermula dari pedometer sederhana yang berfungsi sebagai penghitung jumlah langkah. Dewasa ini, evolusinya dilengkapi oleh berbagai fitur untuk memantau kesehatan secara komprehensif.
Rupanya Samsung memiliki pendekatan berbeda untuk menyederhanakan kompleksitas teknis, yaitu dengan mentransformasi ukuran aksesori teknologi ke dalam wujud yang paling efisien.
Galaxy Ring hadir dalam rupa cincin bermaterialkan titanium tingkat 5 dengan bobot seberat 2,3 gram saja. Namun, jangan terkecoh oleh penampilan mungilnya. Dengan ketahanan air hingga 100 meter, kapasitas baterai hingga 7 hari, serta solusi kesehatan yang cerdas, Galaxy Ring jelas tidak bisa diremehkan.
Kemutakhirannya tercermin dari beragam fungsi berfaedah untuk meningkatkan pengalaman pengguna. Di antaranya adalah sinyal bio optik untuk memantau detak jantung dan suhu tubuh, akselerometer untuk melacak aktivitas dalam waktu nyata, hingga monitor siklus tidur fitur favorit saya.
Monitor siklus tidur milik Galaxy Ring menyuguhkan analisis mendalam mengenai kualitas istirahat, seperti lamanya waktu yang dibutuhkan hingga tertidur, fase tidur ringan, tidur lelap, dan variabilitas denyut jantung.
Data yang dikumpulkan akan diolah dengan sistem kecerdasan buatan Galaxy menjadi Energy Score harian. Wawasan terpersonalisasi ini diperbarui setiap hari di aplikasi Samsung Health untuk memberikan rekomendasi sesuai algoritma gaya hidup Anda.
Hasilnya? Anda dapat menjaga ritme aktivitas yang sepadan dengan tingkat energi pada hari itu, sekaligus mengidentifikasi langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas tidur.
Kesejahteraan sejati tak hanya datang dari tidur yang berkualitas. Ia juga tumbuh dari tubuh yang aktif bergerak, aliran darah yang lancar, serta dinamika fisik yang terus dijaga. Berbanding lurus dengan format kebugaran yang semakin bervariasi, tuntutan akan perangkat yang mampu mendukung performa secara optimal turut mengemuka. Tidak hanya dari komunitas olahraga urban nan kasual seperti padel dan golf tetapi juga dari pegiat aktivitas ekstrem.
Setelah sukses menjawab kebutuhan perangkat kebugaran lewat seri Galaxy Watch, Samsung kini menghadirkan Galaxy Watch Ultra. Versi terbaru tersebut dirancang dengan tampilan tangguh untuk menunjang aktivitas luar ruang.
Sorotan pertama yang patut dibicarakan adalah program Multi-Sport yang mengizinkan pengguna untuk memodifikasi program latihan sekaligus memantau performa di setiap sesinya secara mudah. Selain itu, jam
tangan ini juga dibekali oleh sistem navigasi Dual Frequency GPS yang mampu mendeteksi lokasi secara presisi dan merekam rute yang telah ditempuh.
Fitur ini menjadi semakin penting untuk kegiatan di alam terbuka dengan keterbatasan sinyal dan saat risiko tersesat perlu diantisipasi. Samsung juga melengkapi jam ini dengan fungsi
Galaxy Watch Ultra hadir bermaterialkan titanium dengan tiga pilihan warna, yaitu perak, abuabu, dan putih (dok. Samsung)
sirine hingga 85 desibel yang dapat diaktifkan hanya dengan menekan tombol instan selama lima detik.
Selain fitur-fitur pendukung aktivitas, Galaxy Watch Ultra juga membawa elemen khas jam tangan olahraga, seperti case berukuran besar (47 mm) dan material titanium logam ekstra kokoh yang menghadirkan kesan tangguh tanpa mengintimidasi.
Bagi penggemar olahraga air, fitur Water Lock dapat diaktifkan melalui Quick Button untuk mengeluarkan sisa air dari perangkat (dok. Samsung)
WAJIB BELI
JIKA ANDA
PERTIMBANGKAN
DULU JIKA ANDA
Memiliki gaya hidup dinamis dan memedulikan kesejahteraan. Tidak gemar menggunakan aksesori dalam kegiatan sehari-hari.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Dwi Lukita
FOTOGRAFI
Dok. Arta Derau
VIDEOGRAFI
Dok. Arta Derau
Kata “derau” memiliki arti bising atau gemuruh, sebuah refleksi dari kehidupan modern yang begitu pekat dengan hiruk-pikuk narasi setiap hari. Banyak orang kemudian terdorong untuk memoles diri sebaik mungkin demi mencuri atensi. Tapi itu bukan jalan yang dipilih Arta Derau. Alih-alih sibuk menutupi celah, studio keramik asal Bali ini justru merayakan ketidaksempurnaan. Mereka secara sukarela tenggelam dalam dunia domestik yang kerap terlewatkan; melahirkan imajinasi yang intens, autentik, dan sepenuhnya manusiawi.
“Saya memulai Arta Derau dengan niat menciptakan sekaligus mengingatkan soal kebisingan halus yang sebenarnya selalu hadir dalam elemen terkecil kehidupan,” ujar Sekar Puti, seniman sekaligus penggagas Arta Derau. “Saya percaya, karya atau bisnis yang lahir dari kejujuran personal justru punya daya dobrak tersendiri.”
Kalimat kunci “The Rest are Noise” menjadi landasan pemikiran yang selaras dengan napas Arta Derau, yakni keinginan untuk menyaring yang esensial dan menyingkirkan distraksi. Dari situlah lahir progresivitas produk mereka, bukan semata demi tampil beda, melainkan sebagai respon atas rasa ingin tahu terhadap norma yang sudah mapan. Sekar pun menegaskan bahwa semangat pemberdayaan diri selalu berada di garis terdepan dan lebih penting ketimbang sekadar mengikuti selera pasar.
“Ketika memperlakukan Arta Derau sebagai media, pesan yang kami sampaikan mungkin terkesan sederhana. Tapi saya senang membayangkan seseorang melihat karya kami, lalu teringat pada mimpi-mimpi lama yang sempat terlupakan. Di tengah riuhnya keraguan dan tanda tanya di luar sana, sering kali kita lupa bahwa yang paling penting adalah diri kita sendiri,” tambah Sekar. “Saya ingin Arta Derau bertumbuh bersama komunitasnya, menemani setiap langkah mereka.”
Terdapat ikatan emosional antara Sekar dan keramik. Lulusan Ilmu Seni Rupa Murni Institut Teknologi Bandung ini memperoleh dua realisasi penting melalui medium berbahan dasar tanah liat tersebut yang kemudian menjadi titik balik dalam perjalanannya sebagai seniman. “Pada masa awal studi, saya diliputi banyak keraguan. Menjadi seniman terasa seperti beban besar, baik secara sosial, maupun moral,” kenang Sekar.
Saat memilih program studi, ia akhirnya menjatuhkan pilihannya pada Studio Seni Keramik yang menurutnya terasa lebih bersahabat dibandingkan ranah seni murni. “Pengrajin keramik umumnya memiliki tendensi untuk menciptakan karya yang sempurna. Tapi itu bukan saya. Proses membuat keramik sangatlah menyenangkan dan bereksperimen dengan bentuk abstrak justru proses yang terasa membebaskan,” ungkapnya.
Keramik kembali menjadi medium pembebasan saat Sekar menghadapi kegundahan dan ketidakpastian selama kehamilan anak pertamanya. “Beberapa kurator pernah berkata bahwa setelah seorang seniman wanita hamil, maka karyanya selesai,” ceritanya. Namun di tengah proses transformasi hidup tersebut, Sekar justru menemukan benang merah antara potensi kehidupan domestik yang mungkin dijalaninya pasca melahirkan dan keramik itu sendiri.
“Di dalam rumah, tempat seorang ibu banyak menghabiskan waktunya, terdapat begitu banyak elemen keramik: mulai dari genteng, wastafel, kloset, ubin, hingga gelas. Seperti keramik yang kerap luput dari perhatian, peran ibu atau istri pun sering kali kurang dihargai secara profesional. Sebagai seniman keramik, saya menyalurkan kesadaran tersebut dengan mem-
bangun Arta Derau yang mendobrak perspektif ketinggalan zaman itu melalui karya-karya keramiknya,” kisah Sekar semangat.
Nilai keperempuanan ini turut meresap ke dalam filosofi desain Arta Derau, bahkan tampak nyata pada ikon putri duyung yang tengah menjadi favorit baik bagi Sekar maupun audiens. “Saya terinspirasi oleh tokoh putri duyung dalam buku The Little Mermaid (1837) karya Hans Christian Andersen. Bagi saya, ia mempresentasikan sosok yang memiliki otonomi atas dirinya sendiri melalui keputusan-keputusan yang ia ambil,” ungkapnya. Tak heran, karakter tersebut dapat ditemukan dalam berbagai interpretasi, seperti gelas, piring, sendok, hingga wadah perhiasan.
Simbol lain yang menjadi primadona adalah pelangi, terinspirasi dari lagu Starman (1972) karya mendiang David Bowie. “Awalnya, saya melihat pelangi sebagai simbol yang erat kaitannya dengan tahun ‘70-an, era yang mengusung nilai kesetaraan dalam
berbagai perspektif. Ternyata, tema ini sangat relevan dengan audiens saya yang inklusif,” terangnya.
Tak hanya karakter-karakternya yang unik, daya pikat kreasi keramik Arta Derau juga terletak pada perpaduan warna yang seketika menghidupkan ruang tempatnya dipajang. Di balik warna-warna tersebut, tersimpan proses pengembangan yang kompleks. “Eksplorasi warna adalah salah satu hal yang membedakan karya kami. Prosesnya tidak sederhana. Kami harus menakar massa tanah dengan presisi, memahami sedikit ilmu kimia, dan tentu saja, membiarkan imajinasi ikut bermain,” ujarnya.
Kreativitas Sekar juga ia ekspresikan melalui keserbagunaan kreasi keramiknya yang multifungsi, seperti asbak yang dapat dimanfaatkan menjadi wadah dupa dan gelas teh yang bisa beralih fungsi menjadi tempat lilin. “Fleksibilitas keramik Arta Derau merepresentasikan wanita dengan segala perannya di kehidupan masyarakat,” tutur Sekar.
DEDIKASI AUTENTIK
DI SETIAP UKIRAN
Berangkat dari studio seniman yang merambah pasar ritel, Arta Derau memilih strategi produksi dalam jumlah terbatas yang disebar ke berbagai butik multijenama, toko buku, hingga kedai kopi. Setiap tempat diperlakukan secara unik, sehingga koleksi yang tersedia di satu titik tak
akan sama dengan yang lain. Dengan pendekatan ini, Arta Derau mampu menjaga keautentikan goresan tangan dan nilai eksklusif dari tiap karyanya. Langkah ini bijak. Sebab, inovasi di level teknis pembuatan keramik adalah sesuatu yang cukup sulit terlihat bagi masyarakat awam.
(Atas) Unik dan menggemaskan. Karakter putri duyung menjadi ciri khas Arta Derau yang digemari banyak orang (Bawah) Desain cangkir yang terkesan “nyeleneh” justru mengekspresikan kebebasan dan otonomisasi yang selaras dengan visi studio keramik asal Bali ini
“Karya keramik mungkin tampak sederhana pada pandangan pertama, seperti gelas hijau dengan bentuk umum. Namun, di baliknya terdapat teknik putar yang spesifik, jenis tanah yang langka, hingga penerapan glasir seladon dan pembakaran reduksi yang tidak lazim. Selain itu, kami juga meracik sendiri beragam jenis tanah dan mengembangkan teknik pengolahannya secara mandiri. Misalnya, stoneware murni yang kami gunakan dicampur dengan tanah sawah di sekitar studio Arta Derau di Bali agar dapat membentuk karya berukuran besar,” terang Sekar.
Menyelami nilai dan visi Arta Derau terasa seperti ajakan lembut untuk kembali mendengarkan diri sendiri; bahwa dalam riuhnya dunia, kebahagiaan dan kepuasan pribadi tetap layak menjadi prioritas. Setiap langkah Arta Derau ke depan selalu menarik untuk disimak. “Akan ada karakter baru, tentu masih dengan sentuhan jenaka, seperti Gadis Bali dan Bikini Girl yang baru-baru ini kami luncurkan dengan banyak varian, sampai terkesan seperti pasukan Avengers,” pungkas Sekar sambil tertawa. “Intinya, semua yang kami lakukan di sini adalah hal-hal yang bikin kami bahagia.”
WAJIB BELI
JIKA ANDA
PERTIMBANGKAN
DULU JIKA ANDA
Ingin mempercantik koleksi perabotan rumah dengan sentuhan manis nan eksentrik Tidak cermat memelihara barang yang mudah pecah
AKSES KONTEN
MULTISENSORI
PENULIS
Dwi Lukita
VIDEOGRAFI
Calvionita
Bagi mereka yang tumbuh besar di era ‘80-an atau ‘90-an, membayangkan robot dan kendaraan otomatis biasanya hanya akan mengundang senyum simpul. Wajar saja, di masa itu mobil swakemudi masih sebatas fantasi bak film fiksi masih ingat film Total Recall (1990) atau serial televisi Knight Rider (1982) setiap Jumat malam? Faktanya hari ini, memesan tumpangan bisa dilakukan hanya dengan jempol dan teknologi AI makin rajin menyapa di hampir setiap aspek kehidupan. Karenanya, gagasan tentang mobil tanpa pengemudi tak lagi terdengar seperti khayalan seakan hanya menunggu lampu hijau dari regulasi dan kesiapan infrastruktur.
Namun sebelum Google atau Tesla berseliweran di dunia, benih pemikiran tentang otomatisasi mekanis sudah timbul jauh lebih awal. Bahkan sejak abad ke-15, Leonardo da Vinci telah bereksperimen dengan ide tersebut lewat rancangan robot berbentuk ksatria dan kereta dorong yang bisa bergerak sendiri. Ia berpandangan bahwa mesin-mesin tersebut akan menciptakan efisiensi yang lebih tinggi ketimbang tenaga kerja manual. Gagasan yang saat itu mungkin terdengar seperti sihir, kini justru jadi pijakan berinovasi di tengah dunia yang kian dinamis.
Meski begitu, menerjemahkan ide otomatisasi ke dalam sistem transportasi bukan perkara semudah mengganti roda. Tantangan teknis, sosial, hingga etis membuat prosesnya jauh dari instan. Itulah mengapa butuh waktu hingga tahun 1925 bagi dunia untuk menyaksikan eksperimen nyata pertama, yaitu sebuah mobil bernama American Wonder buatan Houdina Radio Control. Mobil ini bisa dikendalikan dari jarak jauh menggunakan gelombang radio. Meski inovasi ini pada akhirnya terbukti belum efektif, ia berhasil membuka jalan menuju masa depan di mana kendaraan bisa melaju tanpa tangan di setir.
“The American Wonder”, mobil besutan Houdina Radio Control yang mengawali perjalanan panjang kendaraan tanpa pengemudi (dok. Motorbiscuit)
DAN TITIK BALIK
Sekitar satu dekade kemudian, impian mobil swakemudi mulai digarap dengan serius. General Motors menjadi salah satu pionir paling vokal. Perannya meliputi menjadi sponsor prototipe karya Norman Bel Geddes dalam pameran Futurama (1939), hingga bekerja sama dengan RCA Labs untuk mengembangkan sistem kemudi otomatis. Teknologi ini menggunakan kabel berpola yang ditanam di jalanan Nebraska pada era 1950-an.
Pada tahun 1977, Laboratorium Teknik
Mesin Tsukuba di Jepang mulai menguji kendaraan yang mampu membaca marka jalan secara otomatis di sirkuit khusus. Sementara itu, di Eropa, proyek Prometheus yang dikembangkan oleh EUREKA menjadi tonggak penting dalam riset serupa pada era ‘80-an.
Kemudian, pada tahun 1995, NavLab 5, mobil semi-otonom hasil penelitian
The Robotics Institute di Universitas Carnegie Mellon, mencatatkan sejarah dengan menempuh perjalanan
5.000 km dari Pittsburgh ke San Diego, di mana 98% perjalanan tersebut dilakukan tanpa campur tangan manusia.
Beragam pencapaian di atas menunjukkan kemajuan yang berarti, namun jika dilihat secara keseluruhan, semuanya masih seperti kepingan puzzle yang belum lengkap. Satu potongan menunjukkan kemungkinan, potongan lain menyimpan potensi. Tetapi belum ada yang benar-benar berhasil menyatukannya. Meski begitu, pergerakannya mulai menarik perhatian banyak pihak secara perlahan tapi pasti. Tak hanya dari industri otomotif, tetapi juga lembaga riset, pemerintah, hingga raksasa teknologi.
Momentum itu benar-benar memuncak pada awal era milenium. Tahun 2004 menjadi titik balik penting ketika DARPA, lembaga riset militer terkemuka milik Departemen Pertahanan Amerika Serikat, menggelar kompetisi akbar bernama DARPA Grand
Challenge. Tujuannya satu: menjembatani antara riset akademik dan penggunaan militer dalam bentuk kendaraan swakemudi.
Setelah eksperimen perdana gagal tidak satu pun kendaraan berhasil menyelesaikan tantangan kompetisi edisi 2005 memberikan hasil yang lebih menjanjikan. Pemenangnya adalah tim dari Universitas Stanford, yang dipimpin oleh peneliti visioner bernama Sebastian Thrun.
Tak lama berselang, Sebastian bergabung dengan Google, dan membantu merancang sistem peta dan navigasi yang kini kita kenal sebagai Google Street View. Proyek ini menjadi awal pengembangan mobil swakemudi Google, yang kemudian dikenal sebagai Waymo (sekarang berada di bawah Alphabet setelah restrukturisasi Google pada 2015). Di sinilah potongan-potongan tadi mulai menyatu, membentuk gambaran utuh dari kolaborasi dunia otomotif dan teknologi.
Seperti kebanyakan temuan lainnya, ia sering kali tidak datang sendirian. Ada resistensi dan perdebatan yang menumpang di jok belakang. Setelah proyek mobil swakemudi Google diumumkan ke publik, geliat pengembangan teknologi serupa pun kian masif.
Salah satu yang paling lantang adalah Tesla, yang pada 2014 memperkenalkan fitur “Autopilot”, sebuah sistem mengemudi semiotonom yang diklaim memungkinkan mobil berpindah jalur, menyesuaikan kecepatan, hingga parkir sendiri.
Sayangnya, peluncuran ini langsung memicu kontroversi. Banyak pihak menilai Tesla terlalu menjual mimpi, padahal sistemnya masih membutuhkan pengawasan penuh dari pengemudi yang siap mengambil alih kapan saja. Ketegangan ini memuncak setelah sejumlah kecelakaan fatal terjadi.
Situasi semakin pelik usai insiden tragis pada Maret 2018 di Tempe, Arizona. Sebuah mobil uji milik Uber, berbasis Volvo XC90, menabrak seorang pejalan kaki bernama Elaine Herzberg. Padahal, mobil itu seharusnya mampu mendeteksi kehadirannya, namun sistem gagal mengidentifikasi Elaine sebagai ancaman yang perlu dihindari.
Serangkaian insiden tadi tentu menimbulkan banyak pertanyaan, bukan hanya dari sisi teknis, tapi juga moral, hukum, dan privasi. Misalnya, jika mobil swakemudi mengalami kecelakaan, siapa yang harus bertanggung jawab? Bagaimana kendaraan tanpa pengemudi
merespon situasi tak terduga, seperti pengendara motor yang menyalip dari kiri?
Isu pun melebar ke ranah privasi. Dengan kemampuannya merekam data terus-menerus, di mana batas antara kenyamanan dan pengawasan?
Pada akhirnya, potensi mobil swakemudi menghadirkan serangkaian imajinasi futuristik yang sulit dibendung. Bayangkan jalanan yang lebih tertib dan bersih dari suara klakson, serta bebas drama parkir paralel. Mobil swakemudi dapat mengantar penumpang, mengirim paket, lalu kembali beroperasi tanpa
harus menganggur di tempat parkir. Tekanan untuk memiliki mobil pribadi pun bisa perlahan memudar. Karena kendaraan di masa depan tak lagi dianggap sebagai objek kepemilikan, melainkan layanan yang dapat diakses sesuai kebutuhan.
Seiring kemajuan teknologi, berbagai negara mulai menyesuaikan ritme. Jerman, Jepang, dan Tiongkok semakin mempercepat legislasi dan membenahi infrastruktur guna mengakomodasi kehadiran swakemudi. Beberapa kota bahkan telah menetapkan zona eksklusif tersendiri. Sementara itu, di Indonesia, uji coba terbatas mulai dilakukan di kawasan teknologi seperti Bumi Serpong Damai. Tampaknya, inilah awal dari cara baru kita memahami ruang, waktu, dan relasi manusia dengan mesin.
Meski sering menuai kontroversi, Tesla dengan fitur semi-otonom Autopilot memperluas kesadaran masyarakat akan teknologi kendaraan tanpa pengemudi (dok.
Pada tahun 1925, Houdina Radio Control meluncurkan American Wonder, mobil yang bisa dikendalikan lewat gelombang radio. Di sisi lain General Motors mensponsori prototipe rancangan Norman Bel Geddes dalam pameran Futurama pada 1939, serta membantu RCA Labs mengembangkan sistem pengendalian otomatis berbasis kabel berpola yang ditanam di jalanan Nebraska pada era 1950-an.
Pada tahun 1995, NavLab 5, mobil semi-otonom yang merupakan proyek dari hasil penelitian The Robotics Institute di Universitas Carnegie Mellon, menorehkan sejarah dengan menempuh per-jalanan 5.000 km dari Pittsburgh ke San Diego, di mana 98% perjalanannya dilakukan tanpa campur tangan manusia. (dok. Navlab)
Peneliti asal Jerman, Ernst Dickmanns, bersama timnya di Universitas Bundeswehr berhasil menciptakan van dengan sistem robotik yang mampu mencapai kecepatan 95,9 km/jam di jalan tanpa lalu lintas. EUREKA memperkenalkan Proyek Prometheus yang berperan penting dalam mengembangkan kendaraan tanpa pengemudi. (dok. MDPI)
Proyek Waymo resmi diumumkan ke publik dengan teknologi LIDAR, radar, dan pembelajaran mesin. Di sisi lain, Tesla meluncurkan Autopilot, yang kian mengangkat popularitas mobil swakemudi di masyarakat luas meski masih semi-otonom. Namun, ide kendaraan tanpa pengemudi mengalami tantangan karena terjadinya kecelakaan mobil uji milik Uber, yang berbasis Volvo XC90, dan merenggut nyawa pejalan kaki. (dok. Waymo)
DARPA Grand Challenge edisi 2005 dimenangkan tim dari Universitas Stanford, yang dipimpin oleh peneliti visioner bernama Sebastian Thrun. Ia lalu bergabung dengan Google dan turut mengembangkan Google Street View yang menjadi cikal bakal Waymo. (dok. IEEE Spectrum)
Pengembangan kendaraan tanpa pengemudi semakin ekstensif. Negara seperti Jerman, Jepang, dan Tiongkok semakin mempercepat langkah legislasi dan membenahi infrastruktur demi mengakomodasi kehadiran mobil swakemudi.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENGARAH KREATIF
FOTOGRAFI
Brian N. / DERAI
VIDEOGRAFI
Helena Wijaya / DERAI
PENATA PRODUK
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Devialet
VIDEOGRAFI
Dok. Devialet
Dewasa ini, cara menikmati musik telah mengalami perubahan signifikan. Tak jarang, kualitas audio dikorbankan demi kenyamanan seperti format MP3 yang dikompresi atau streaming dengan laju bit rendah. Namun, dalam arus digital yang serba instan ini, muncul sekelompok pendengar yang memilih untuk melambat dan meresapi.
Mereka adalah para audiofil bukan sekadar penikmat musik, melainkan pencari pengalaman audio tanpa kompromi yang memperlakukan setiap denting, jeda, dan resonansi sebagai bagian dari narasi artistik yang utuh.
Devialet pun memahami bahwa mendengarkan musik bukan sekadar aktivitas pasif, melainkan pengalaman imersif yang menyentuh sisi emosional. Maka dari itu, jenama asal Prancis ini terus mendobrak batasan melalui perangkat-perangkat yang memadukan kecanggihan teknologi, estetika tinggi, dan nuansa eksklusif dalam satu harmoni.
Alhasil di usia yang relatif muda (tahukah Anda bahwa Devialet baru berusia 18 tahun?), Devialet telah mematenkan lebih dari 200 teknologi. Termasuk di antaranya adalah ADH® (Analog Digital Hybrid) yang menggabungkan kemurnian amplifier analog dengan efisiensi digital, serta SAM® (Speaker Active Matching) yang menjaga akurasi suara.
Teknologi tersebut diterapkan dalam berbagai inovasi Devialet, seperti lini amplifier Expert dan penerusnya bernama Astra. Devialet menyempurnakan iterasi terbaru lewat kemitraan dengan Opéra de Paris yang telah terjalin sejak tahun 2017.
Kolaborasi ini melahirkan deretan mahakarya berlapiskan emas 23 karat karya studio desain ternama, Ateliers Gohard. Kini, sang jenama menyuguhkan kreasi teranyar dari kolaborasi tersebut. Ialah Devialet Astra Opéra de Paris yang membanggakan berbagai pembaruan teknis. Sungguh perpaduan sempurna antara teknologi mutakhir dan kemewahan seni pertunjukan.
PENGENDALI
JARAK JAUH
Remot layar sentuh dengan kenop pengatur volume hingga 1 dB.
KERTAS EMAS 23 KARAT
Digarap dari aluminium yang diukir menggunakan laser dan berlapis kertas emas 23 karat.
Terintegrasi dengan berbagai platform streaming
Dilengkapi dengan berbagai porta masukan, seperti koaksial digital dan analog.
Tumpuk dua perangkat sekaligus untuk menghasilkan suara tanpa distorsi.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Inovasi menjadi kunci dalam menciptakan solusi yang relevan dengan kebutuhan zaman. Dalam ranah olahraga, peralatannya pun senantiasa berevolusi untuk menjawab kebutuhan pengguna yang semakin cermat dan menuntut efisiensi. Lebih dari sekadar daya tahan atau desainnya, performa alat olahraga kini juga diukur dari kemampuannya dalam menyuguhkan pengalaman personal lewat integrasi teknologi.
Bicara pelopor, terdapat satu nama yang telah merevolusi lanskap kebugaran sejak tahun 1983. Technogym adalah jenama asal Italia dengan gagasan inovatif yang tercermin dalam berbagai penawarannya.
Salah satunya adalah Technogym Kinesis yang mengawinkan teknologi mutakhir dan desain prestisius. Alat ini memungkinkan pengguna melakukan lebih dari 200 latihan fungsional dengan satu perangkat saja. Sebagaimana sejumlah lini Technogym lainnya, Kinesis dirancang oleh desainer industrial Antonio Citterio, yang selalu mendobrak batasan.
Dok. Technogym
VIDEOGRAFI
Dok. Technogym PENULIS
Lihat saja katalog Kinesis Personal—lini khusus untuk pemakaian privat yang berdimensi 115 x 170 x 210 cm dalam keadaan terbuka dengan sensibilitas desain yang begitu memukau. Mulai dari tipe Vision dengan lapisan kaca reflektif, Heritage Black dengan sentuhan kayu ek Amerika, dan Heritage Leather yang berlapiskan kulit sapi premium berwarna cokelat keemasan dan cokelat tua. Setiap variannya tak hanya merepresentasikan performa, tetapi juga mempertegas bahwa gaya dan fungsi bisa berpadu tanpa kompromi di berbagai lanskap interior.
KARYA
Layar sentuh responsif untuk mengatur intensitas beban pada kabel hingga 20 tingkat resistensi.
Mengendalikan beban pada kabel yang terpasang pada pegangan magnetik.
KATROL GERAKAN
Mengatur tiga posisi pegangan atas, samping, dan bawah yang dapat dipilih dari berbagai sudut.
Aplikasi terintegrasi dengan lebih dari 750 program latihan untuk memandu sesi latihan.
Sistem kabel sirkuit tertutup berpaten yang memungkinkan gerakan 360°.
TECHNOGYM
KINESIS PERSONAL HERITAGE LEATHER
Wawancara inspiratif serta profil mendalam mengenai sosok-sosok yang membentuk, menggerakkan, dan mengembangkan industri gaya hidup.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENGARAH KREATIF
Erika Tania
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI
VIDEOGRAFI
Ign Raditya Bramantya
PENATA GAYA
Charlene Atalie
PENATA RIAS
Engelina Inez Wibowo
PENATA RAMBUT
Devina Mawarni
LOKASI
Alila Villas Uluwatu
Di tengah lanskap modern yang dibentuk oleh dominasi media sosial, konektivitas instan, dan tekanan akan personal branding, banyak dari kita yang larut dalam hustle culture menjalani berbagai pekerjaan, memegang banyak peran, dan terus bergerak tanpa jeda. Multitalenta menjadi identitas baru; hobi tak lagi sekadar pelarian, tetapi juga ekspresi diri dan bahkan profesi. Super sibuk pun seolah menjadi standar baru kesuksesan.
Sekilas, Salvita De Corte terlihat seperti representasi sempurna dari kelompok tersebut seorang model, aktris, desainer, pelukis, sekaligus ibu dari Tigran, putra semata wayangnya yang berusia 9 tahun. Sebuah kehidupan yang terdengar kompleks dan penuh dinamika. Namun perbincangan kami dengannya di Bali, tempat ia lahir dan dibesarkan, membuka perspektif yang berbeda.
Di usianya yang ke-34 tahun, Salvita justru memancarkan ketenangan yang kontras dengan dunia multiperan yang ia jalani.
Dari sana, kami belajar bahwa seni menjalani hidup dinamis tak selalu soal kecepatan, tetapi tentang bagaimana merangkai keseharian dengan kesadaran penuh.
PERSONA
Dibesarkan di tengah keluarga yang
sarat akan kreativitas mungkin menjadi fondasi dari cara Salvita memandang hidup dengan penuh kepekaan dan fleksibilitas. Ayahnya seorang pelukis, sementara ibunya juga pandai melukis sekaligus membuat pakaian dan perhiasan. Namun lebih dari sekadar mewarisi bakat, Salvita mengingat masa kecilnya sebagai ruang eksplorasi yang penuh kebebasan. Ia tumbuh dalam lingkungan yang membiarkan rasa ingin tahunya berkembang tanpa batas termasuk satu sisi tembok di rumahnya yang secara khusus disediakan untuk ia corat-coret sesuka hati.
“Kebebasan berkreasi adalah sesuatu yang sangat penting dan saya selalu diingatkan untuk mendengarkan intuisi,” ujar wanita keturunan Indonesia, India, dan Jerman tersebut. Bagi Salvita, intuisi bukan sekadar bisikan hati yang datang dan pergi, tapi
semacam radar halus yang terbentuk dari pengalaman, pengamatan, dan ketenangan. Ia menavigasi kehidupannya dengan pesan dari sang ibu, “Luangkan sejenak waktu untuk berpikir dengan tenang, bagaimana perasaanmu yang sebenarnya mengenai hal itu?”
Maka tak heran jika kini, dalam setiap keputusan yang ia ambil baik dalam karier maupun kehidupan personal Salvita selalu memulainya dengan bertanya pada dirinya sendiri: Dari mana datangnya perasaan ini? Mengapa saya merasa seperti ini? Apa yang sebenarnya saya khawatirkan? Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi semacam kompas batin yang menuntunnya kembali ke inti diri. “Menurut saya penting untuk menjaga rasa ingin tahu terhadap diri sendiri,” ungkapnya. Dari proses itu, lahirlah keputusan-keputusan yang lebih jujur dan bijak.
Rasa ingin tahunya yang mendalam kemudian menjadi sumber keberanian yang membawa Salvita menjelajahi berbagai peran dalam hidupnya, termasuk dalam dunia modeling dan akting. Belum genap berusia 10 tahun, Salvita kecil sudah tampil sebagai model pakaian anak milik teman ibunya. Ketika duduk di bangku SMP, atas saran seorang teman, ia bergabung dengan agensi model di Bali dan mulai serius menekuni dunia modeling, hingga wajahnya menghiasi halamanhalaman majalah mode ternama.
Meskipun menikmati dunia modeling, Salvita memiliki impian masa kecil
untuk menjadi aktris. Ia sering membayangkan dirinya sebagai karakter dalam film-film yang ia tonton dan berharap bahwa modeling bisa menjadi batu loncatan menuju dunia akting. Impian itu kemudian terwujud saat ia berusia 16 tahun melalui tawaran untuk berperan sebagai Maya dalam film Lawang Sewu (2007), yang proses syutingnya berlangsung selama liburan musim panasnya di masa SMA.
Namun, pengalaman pertamanya di dunia akting tidaklah mudah. “Walaupun saya sangat bersyukur dengan kesempatan yang diberikan, jujur saja
saya kewalahan selama proses syuting film tersebut. Tanpa pengalaman sebelumnya, rasanya banyak hal yang harus dipelajari dalam waktu singkat,” ungkapnya sembari berefleksi diri. Momen tersebut menyadarkannya untuk berhenti sejenak dan menyelaraskan kembali arah hidupnya.
Setelah menyelesaikan SMA, Salvita pindah ke Jakarta untuk fokus menekuni dunia modeling profesional sekaligus memperkaya keluwesannya di hadapan kamera melalui berbagai proyek komersial dan editorial, termasuk perjalanan berkesannya ke Prancis untuk menghadiri pagelaran busana CHANEL sekaligus berkunjung ke Métiers d’Art Atelier milik sang rumah mode di tahun 2018 lalu. Setelah tujuh tahun sejak film pertamanya, wanita berambut ikal ini akhirnya kembali ke layar lebar dan melanjutkan kariernya sebagai aktris hingga telah membintangi 16 film lainnya dan sebuah serial televisi.
(Kiri) Jam tangan Première Édition Originale, CHANEL
(Atas) Anting dan kalung liontin dari koleksi Spring/Summer 2025, CHANEL
"Saya tidak pandai melabeli sesuatu
karena seperti memasukkan hal itu ke dalam kotak. Saya ingin terus
belajar dan mencoba hal-hal baru, tanpa terbatas pada label tertentu."
Di tengah jadwal yang padat sebagai model dan aktris, Salvita selalu punya ruang khusus untuk melukis seolah kegiatan ini adalah napas tambahan yang menyeimbangkan hidupnya. “Saya tidak pernah merasa harus ‘meluangkan waktu’ untuk melukis, karena melukis itu selalu ada,” ungkapnya sambil tersenyum. Sejak kecil, ia memang lebih suka menggambar daripada menulis. Buku hariannya dipenuhi sketsa dan ilustrasi, bukan curahan hati dalam bentuk kata-kata. Ia mengingat masa kecilnya sebagai masa yang penuh coretan: di kertas, serbet restoran, bahkan tembok rumah.
Salah satu kenangan yang paling membekas adalah saat ia dan teman-temannya sering bermain di rumah sahabat ayahnya seorang pelukis juga di mana mereka bebas menggambar dan karya-karya kecil mereka dikumpulkan menjadi bukubuku. Baru-baru ini, Salvita sempat membuka kembali buku-buku itu dan terkejut sendiri melihat betapa liar imajinasinya dulu. “Banyak gambar alien dan pesawat luar angkasa. Ternyata saya cukup nyeleneh juga dari kecil,” katanya sembari tertawa.
Meski tumbuh di lingkungan pelukis, ia tidak pernah diarahkan untuk melukis dengan cara tertentu. Baginya, melukis adalah proses yang sepenuhnya intuitif mulai dari memilih warna hingga menentukan subjek lukisan, semuanya mengalir begitu saja, mengikuti perasaan. “Kadang saya punya gambaran awal, tapi begitu saya mulai melukis, semuanya bisa berubah total,” ujar Salvita.
Titik balik terjadi di tahun 2010, ketika ayahnya wafat. Saat kembali ke studio dan galeri sang ayah, ia merasa ada kehampaan yang tak bisa dijelaskan. “Biasanya saya datang dan melihat ayah melukis, tapi kali ini studio itu kosong. Kuas dan kanvasnya seperti ikut berkabung,” kenangnya. Sejak saat itu, Salvita mulai melukis di sana awalnya sebagai bentuk kedekatan emosional, namun tanpa sadar juga sebagai proses berdamai dengan kehilangan ayahnya.
Selama setahun, ia menghabiskan waktu di studio ayahnya, membiarkan ragam goresan pada lukisannya muncul dari perasaan yang campur aduk. Awalnya, ia banyak melukis
wajah gaya yang mengingatkannya pada estetika khas sang ayah namun wajah-wajah itu bukan sosok tertentu, melainkan perpaduan identitas yang menjadi cara tersendiri untuk terhubung kembali dengan kenangan masa lalu. Ia kemudian bereksperimen dengan bentuk yang lebih abstrak, seperti line doodles yang lahir dari kebiasaan corat-coret sejak kecil.
Ada masa ketika ia hanya melukis dengan cat warna indigo, entah mengapa, warna itu terasa pas. Seiring waktu dan peran hidup yang terus bertambah, lukisannya pun ikut berevolusi. Setelah menjadi seorang ibu, ia mulai melukis lebih dari satu figur dalam satu kanvas. Tak selalu tentang ibu dan anak secara harfiah kadang itu dirinya dan versi kecil dari dirinya sendiri, kadang menjadi ekspresi dari perasaan terhubung, atau justru kebebasan yang baru. Elemen seperti puting yang sering muncul dalam karyanya juga bukan simbol menyusui semata, melainkan lambang dari memberi, merawat, dan kehidupan itu sendiri. Semua itu muncul tanpa direncanakan, tapi karena dirasakan dan mungkin, di situlah letak kejujuran dari karya-karyanya.
NAN ABADI
Sebagai seorang pelukis, karya-karya Salvita dapat ditemukan di Sun Contemporary, sebuah galeri seni di Bali, dan dalam waktu dekat ia akan ikut serta dalam sejumlah pameran seni. Bahkan, ia tengah mempersiapkan studio khusus di Jakarta ruang personalnya untuk berkarya yang sekaligus merepresentasikan keseriusannya sebagai seniman. Meski begitu, ia tidak serta-merta menutup pintu pada dunia akting dan modeling. “Kalau ada proyek yang menarik hati, kenapa tidak?” ujarnya santai. Ada keinginan besar dalam dirinya untuk terus bereksplorasi bukan hanya dalam lukisan, tapi juga pada medium, peran, dan kesempatan lain yang belum sempat ia dalami.
Maka tak heran, Salvita juga cenderung enggan membatasi dirinya dengan label tertentu. Baik dalam seni rupa, akting, maupun modeling, ia merasa lebih nyaman berada di lanskap ekspresi yang terbuka. “Saya tidak pandai melabeli sesuatu,” katanya sambil tertawa kecil. “Label itu seperti memasukkan sesuatu ke dalam kotak. Padahal saya ingin terus belajar, tumbuh, dan mencoba hal-hal baru, tanpa merasa terbatas pada label tertentu.” Dalam proses itu, ia menemukan bahwa diri kita sebenarnya bukan satu sosok tunggal yang statis, melainkan kumpulan versi yang berlapislapis beberapa bersinar lebih terang, beberapa lain tersembunyi, bahkan kadang saling bertentangan.
“Karakter-karakter dalam diri saya banyak yang saling bertentangan,” aku Salvita. “Tapi saya justru melihatnya sebagai sesuatu yang menarik. Kontras itu penting kita bisa lembut dan tegas di saat yang sama, bebas tanpa kehilangan arah. Justru di sanalah letak keseimbangan dan keindahannya.” Pandangan ini terasa selaras dengan filosofi CHANEL yang hari itu membalutnya dalam koleksi Spring/Summer 2025, lengkap dengan jam tangan dan perhiasan untuk sesi foto dan wawancara bersama KINTAKA. Sama seperti bagaimana
sang rumah mode memadukan maskulinitas dan femininitas, kesederhanaan dan kerumitan, Salvita pun merayakan keberagaman sisi dalam dirinya tanpa harus memilih satu dan menghapus yang lain.
Di antara semangatnya untuk terus bertumbuh, Salvita mengingat satu kutipan dari kritikus seni yang begitu membekas: “Saat seorang seniman tidak sedang berkarya, bukan berarti ia malas. Justru itu bagian dari proses kreatif bahkan ketika ia hanya membaca buku di rumah.” Kalimat itu membantunya merangkul momen-momen jeda, mengingatkan bahwa kualitas hidup bukan hanya soal produktivitas, tetapi juga tentang bagaimana memberi ruang bagi bagian-bagian lain dalam diri untuk bernapas.
Dalam perjalanan panjangnya dari depan kamera hingga ke balik kanvas Salvita De Corte bak sebuah karya seni yang tak pernah benarbenar selesai: selalu berubah dan berkembang, namun justru di sanalah letak keautentikannya. Ia tidak terburu-buru untuk mencari bentuk akhir; sebaliknya Salvita menari di dalam spektrum identitas yang luas, tanpa kehilangan jati diri. Seperti kreasi-kreasi ikonis CHANEL yang terus berevolusi, ia menjalani hidup sebagai proses transformasi yang tidak dibatasi oleh peran, profesi, atau ekspektasi orang lain. Sebab baginya, merangkai diri bukan soal tiba di satu titik, melainkan keberanian untuk terus menjelajah, mendengarkan intuisi, dan memberi makna baru pada diri sendiri.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Erika Tania
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI
VIDEOGRAFI
Raja Ibnu F. / DERAI
Kalau jodoh tak ke mana, mungkin hal yang sama bisa dikatakan soal Herli dan Harley-Davidson. Sejak remaja, Suherli yang kini akrab dikenal sebagai Herli Davidson, lengkap dengan akun Instagram @herli_davidson memang seperti ditakdirkan berjodoh dengan motor gede asal Amerika Serikat itu. Kecintaannya tumbuh bukan karena dimanja, melainkan karena ditantang: semua sepupunya sudah memiliki motor sejak SMP, sementara Herli harus bersabar dan menabung sendiri. Tapi justru dari situ semangatnya menggelora. Ia rajin membaca majalah dan koran untuk mengintip dunia motor gede yang saat itu masih terasa jauh.
Motor pertamanya bukan Harley-Davidson, melainkan Honda Shadow 400 cc yang ia modifikasi agar “mirip-mirip”. Barulah di tahun 2005, mimpinya kesampaian: ia membawa pulang HarleyDavidson Ultra Limited. Teman-temannya menyebut motor touring 400 kg tersebut “Superman” gara-gara warna merah dan stiker S, padahal maksudnya Suherli. Saking sayangnya, motor itu diparkir bukan di garasi, tapi… ruang tamu! Kalau orang Indonesia biasanya begitu karena takut maling, Herli punya alasan beda: dia ingin bisa mengelap motornya sambil menikmati penyejuk ruangan sepulang kerja. Semacam waktu berkualitas pribadi versi kolektor motor.
Bagi Herli, Harley-Davidson bukan cuma soal tampang gagah dan suara mesin yang menggelegar. Di balik estetika super maskulin itu, ia justru jatuh hati karena rasa kebersamaan dalam komunitas yang begitu solid. Bersama rekan-rekan sesama penggemar Harley, Herli telah menjelajah jalanan Indonesia dari Jakarta ke Bali, menyusuri keindahan Flores dan Lombok, hingga melaju ke Sabang, Lampung, Manado, dan Makassar. Touring ke luar negeri? Sudah. New Zealand, Amerika Serikat, Italia, Austria, sampai Thailand pun pernah ia jajal, semua demi kepuasan batin dan rasa persaudaraan yang tak tergantikan.
Saking cintanya pada komunitas, Herli bahkan rela merogoh kocek pribadi ketika Mabua, dealer yang menaungi mereka tutup pada 2015. Ia pun mengajukan diri untuk menjadi dealer resmi ke Harley-Davidson Motor Company di Amerika Serikat salah satu dari 11 kandidat asal Indonesia, dan tak disangka, justru dirinya yang terpilih. Bukan karena pengalaman
mendalam di bisnis otomotif seperti kebanyakan latar belakang kandidat lain, tetapi karena niat tulus untuk menjaga api komunitas tetap menyala.
Kini, sebagai Direktur H.O.G Anak Elang Jakarta Chapter dan pemilik dealer Anak Elang Harley-Davidson of Jakarta, Herli berhasil menguasai sekitar 60–65% pangsa pasar Harley
di Indonesia. Kiprahnya tak hanya diakui di dalam negeri, tetapi juga mendapat apresiasi di level regional dari Harley-Davidson Asia Emerging Markets. Di tahun 2023, komunitas yang dipimpinnya meraih penghargaan Runner Up Best CSR Activity dalam gelaran Asia Harley Days.
Tak berhenti di situ, H.O.G Anak Elang Jakarta Chapter juga dinobatkan sebagai H.O.G Chapter of the Year – Market Winner selama dua tahun berturut-turut, yakni pada 2023 dan 2024, dalam acara H.O.G Leadership Meet. Bahkan, ketika Herli berkunjung ke Museum Harley-Davidson di Milwaukee, Amerika Serikat, ia dibuat terharu saat menemukan nama komunitasnya terpajang di Wall of Fame bersama tujuh chapter lain dari berbagai penjuru dunia.
Meski begitu, warisan terbesar yang ingin Herli tinggalkan untuk dunia Harley-Davidson Indonesia bukanlah deretan motor mewah atau pencapaian bisnis semata, melainkan perubahan cara pandang. Ia ingin menghapus stigma bahwa pemilik motor besar identik dengan arogansi. Karena itu, Herli senantiasa mengingatkan rekan-rekannya untuk tetap rendah hati dan tertib, serta mengikuti standar ketat dari H.O.G Anak Elang Jakarta Chapter saat touring demi keselamatan bersama, termasuk pengguna jalan lain.
Sebagai bagian dari komitmennya, dealer milik Herli juga mengadakan safety riding course tahunan, agar para pemula maupun rider berpengalaman tetap terlatih dan paham aturan lalu lintas. Menurut Herli, inilah esensi menjadi rider sejati: bukan sekadar menunggangi motor besar, tetapi juga membawa semangat kebersamaan, tanggung jawab, dan etika berkendara ke mana pun roda berputar.
“Rocker C rilisan tahun 2008 ini telah melalui proses kustomisasi menyeluruh oleh Pare Soemoele. Beliau adalah Wakil Direktur Anak
Elang Harley-Davidson of Jakarta sekaligus pembalap legendaris di era ‘70-an. Kepadanya, saya meminta untuk memodifikasi motor ini agar mencuri perhatian. Oleh karena itu, kami memilih kombinasi warna kuning, hitam, dan sedikit sentuhan perak yang menjadikannya istimewa.
Terdapat detail-detail menarik pada motor ini, seperti knalpot berbentuk serupa trompet, bagian transparan yang menunjukkan oli saat mesin menyala, dan pelek sabit yang saat berputar tampak layaknya bumerang.
Kemudian di tangki bahan bakar, ada emblem HDC 305 karena awalnya saya modifikasi motor ini lantaran punya kafe bernama HDC, pelesetan dari Harley-Davidson Café. Sesungguhnya HDC adalah
singkatan dari Herli dan Cut (nama istri saya). Sedangkan, 305 adalah kombinasi angka favorit saya yang sekilas terbaca seperti ‘BOS’ dan bila dijumlahkan totalnya adalah 8 yang merupakan angka keberuntungan.”
“Harley-Davidson WLA rilisan tahun 1942 ini merupakan motor yang dulu dikendarai oleh militer Amerika Serikat, sehingga muncul juga dalam film Captain America: The First Avenger (2011). Saya memang ingin memiliki motor ini dan kebetulan ada teman yang jual. Waktu itu keadaannya tidak prima, sehingga saya cat ulang, perbaiki mesinnya, dan tambah beberapa aksesori sembari mempertahankan keasliannya.
Saking jadulnya, untuk menghidupkan mesin motor ini masih menggunakan engkol. Selain itu, persneling masih pakai tangan, serta kopling dan rem pun masih di kaki. Oleh karena itu bagi yang tidak terbiasa, mereka akan kebingungan saat mengendarainya. Saya sendiri pernah touring ke Pangandaran dengan motor ini untuk menghadiri acara lima tahunan Komunitas Harley-Davidson Club Indonesia. Sebelum acara tersebut, WLA saya berhasil memperoleh stiker untuk dapat berpartisipasi di Classic Rally dalam rangkaian aktivitas Wingday.”
HARLEY-DAVIDSON CVO ROAD KING
110TH ANNIVERSARY EDITION (2013)
“Saya membeli motor ini sebagai tangan kedua, tidak baru. Pada akhirnya, motor ini pun juga lebih sering dipakai oleh anak saya, Raka. Ia bahkan telah mempersonalisasi CVO Road King 110th Anniversary Edition ini sedemikian rupa. Sepertinya, lebih baik dia yang menjelaskan motor ini,” ujar Suherli seraya mengundang Raka Herza ke dalam sesi wawancara dengan KINTAKA.
“Banyak sekali elemen standar dari motor ini yang sudah saya ubah, seperti penggunaan Baja Designs
pada lampu sein, Ohlins dan Kraus untuk peredam guncangan, Beringer untuk keseluruhan rem, Kraus Fly Moto Style Bars pada setang, serta Rotobox untuk pelek karbon. Bagian pegangan tangan, knalpot, pijakan kaki, dan jok juga sudah saya ganti dengan kiblat gaya Performance Bagger. Berbagai modifikasi tersebut
REPLIKA HARLEYDAVIDSON JD 1914
KARYA ARLEN NESS (2013)
“Saya menghabiskan banyak tenaga, waktu, dan biaya untuk membeli motor ini ketika touring di Sturgis, Amerika Serikat, pada tahun 2013 lalu. Tentunya semua usaha tersebut sangat sebanding karena motor ini
membuat pengalaman berkendara motor ini menjadi mirip dengan model Dyna atau bahkan motorsport daripada kelas touring HarleyDavidson. Oleh karena itu, motor ini juga kami ikut sertakan dalam balap lintasan lurus,” jelas Raka yang menjabat sebagai Direktur di Anak Elang Harley-Davidson of Jakarta.
adalah replika dari Harley-Davidson tipe JD rilisan tahun 1914 yang dibuat oleh legenda di bidang kustom motor, Arlen Ness. Hanya terdapat dua replika dari motor ini di dunia dan saya adalah salah satu pemiliknya.
Menariknya, saya bertemu dengan cicit pendiri Harley-Davidson, Bill Davidson, saat beliau menghadiri H.O.G Officer Training pada tahun 2015 di Bali. Dalam kesempatan itu, saya meminta Bill untuk menandatangani tangki bahan bakar motor tersebut. Saya meyakinkannya dengan menceritakan touring saya di Amerika Serikat sekaligus menunjukkan dokumentasi pembelian motor replika ini.
Mungkin karena Bill tahu betul kualitas buatan Arlen Ness, ia akhirnya bersedia memberikan tanda tangannya yang membuat motor ini semakin istimewa dan akan menjadi warisan turun-temurun di keluarga saya.”
“Kombinasi warna ini sangat jarang dirilis oleh Harley-Davidson dan terdiri dari warna-warna favorit para penggemarnya. Perpaduan merah, hitam, dan perak ditambah logo nomor satu khas sang brand yang menjadi simbol patriotisme membuat motor ini sangat menarik untuk saya koleksi. Saking sukanya, saya memasukkan sendiri motor CVO Road Glide ini ke Indonesia lewat importir umum saat ia rilis di
tahun 2019 karena regulasi pada waktu itu membuat tipe CVO belum bisa tersedia secara resmi lewat dealer
Daya tarik lain motor ini terletak pada performa istimewa dari MilwaukeeEight® 117 yang pada saat itu merupakan mesin terbesar untuk model touring pabrikan dalam jajaran standar Harley-Davidson. Dengan kapasitas mesin di 117 inci kubik atau sekitar
1.923 cc, motor ini memiliki akselerasi yang responsif karena lebih ringan dibandingkan tipe sebelumnya. Oleh karena itu, saya biasanya pakai motor ini untuk berkeliling kota. Sudah banyak teman yang menawar motor ini, tapi saya menolak secara halus dengan membuka harga jual tinggi. Namun, bila ada yang menyetujui harga tersebut, mungkin saja akan saya jual.”
Industri perhotelan terus berkembang untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi tamu dan tren yang terus berubah. Pengalaman menginap yang ditawarkan hotel kini jauh berbeda dibandingkan 5–10 tahun lalu, berkat transformasi signifikan di berbagai aspek. Kemajuan teknologi, peningkatan standar layanan, serta peran media bersama para kreator konten dan Key Opinion Leaders (KOL) kian krusial dalam memikat para calon tamu.
Sebagai industri dinamis, para pelaku perhotelan berlomba meningkatkan kualitas demi memenuhi permintaan pasar yang semakin kompleks. Banyak jenama hotel kini menyesuaikan produk dan layanan mereka agar lebih selaras dengan segmen pasar yang dibidik. Persaingan yang semakin ketat memang mendorong inovasi, namun di saat yang sama, meningkatnya jumlah pelancong turut membuka peluang pasar yang lebih luas.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Viana Dien-Igah
FOTOGRAFI
Dok. Narasumber
VIDEOGRAFI
Kristy G. Lantang
Baik untuk keperluan wisata, perjalanan bisnis, maupun kunjungan keluarga, industri perhotelan di Indonesia terus meningkatkan momentum pertumbuhan, terutama setelah pandemi COVID-19 yang sempat mengguncang sektor ini.
Lebih dari sekadar tempat menginap, bagi sebagian orang, hotel telah menjadi bagian integral dari gaya hidup.
Tren staycation, kebutuhan akan pengalaman eksklusif, serta tuntutan fleksibilitas dalam dunia kerja modern menjadikan perhotelan tidak sebatas sektor jasa, tetapi juga simbol status dan kenyamanan. Lantas, timbul suatu pertanyaan: apakah tren ini hanya bersifat sementara atau justru menandai babak baru dalam pola konsumsi layanan perhotelan?
Sering dengan pergeseran preferensi masyarakat terhadap pengalaman menginap, industri perhotelan pun semakin adaptif dalam merancang layanan yang tidak hanya memenuhi kebutuhan rekreasi, tetapi juga mendukung produktivitas. Hal ini semakin relevan dengan meningkatnya mobilitas profesional, yang turut mendorong pertumbuhan perjalanan bisnis, baik dalam negeri maupun internasional.
Di sisi lain, pertumbuhan industri perhotelan juga didorong oleh strategi pemasaran destinasi wisata yang semakin agresif. Promosi yang melibatkan para pembentuk opini kian memperluas jangkauan, sekaligus membentuk persepsi baru tentang pariwisata. Pada akhirnya, rekreasi pun berkembang menjadi cerminan identitas diri.
Perkembangan ini senantiasa memperkuat sektor perhotelan,
serta memberikan efek domino pada industri terkait, seperti transportasi, infrastruktur, dan ekonomi lokal. Bersama, sejumlah sektor ini menciptakan ekosistem pariwisata yang semakin kompetitif dan berkelanjutan.
Industri perhotelan di Indonesia terus berkembang pesat dengan semakin banyaknya jenama lokal yang mengadopsi standar internasional. Plataran Indonesia, JHL Collection, dan Hotel Tentrem hanyalah segelintir dari banyak contoh yang kian mendapat perhatian dalam beberapa tahun terakhir.
Melihat potensi besar dalam sektor pariwisata, mereka menghadirkan kemewahan dan kenyamanan dengan
Plataran Komodo Resort & Spa, surga tersembunyi di Pantai Waecicu, Labuan Bajo— memadukan keindahan alam dengan budaya dan kearifan lokal (dok. Plataran)
narasi budaya sebagai daya tarik utama. Dengan mengintegrasikan elemen kearifan lokal ke dalam arsitektur, layanan, dan pengalaman tamu, hotel-hotel ini berhasil memenuhi ekspektasi wisatawan domestik dan mancanegara. Di sisi lain, mereka turut berkontribusi dalam hal pelestarian identitas Indonesia dalam lanskap perhotelan global.
Kemajuan teknologi telah merevolusi cara wisatawan memesan akomodasi. Jika dulu agen perjalanan menjadi perantara utama, kini mayoritas wisatawan lebih memilih memesan sendiri melalui platform Online Travel Agent (OTA), seperti Agoda, Booking.com, dan Traveloka. Namun, kesadaran akan biaya komisi yang harus dibayarkan kepada OTA
mendorong sejumlah hotel untuk menggalakkan pemesanan langsung melalui situs resmi mereka.
Berbagai insentif ditawarkan, mulai dari harga lebih kompetitif, fasilitas tambahan, hingga fleksibilitas dalam kebijakan pemesanan. Strategi ini sama pentingnya dengan upaya meningkatkan keuntungan yang juga menjadi cara untuk membangun hubungan lebih erat dengan tamu, mengurangi ketergantungan pada pihak ketiga, dan memper-
tahankan loyalitas pelanggan di tengah persaingan industri yang semakin ketat.
Kemudahan akses informasi melalui internet dan media sosial mendorong wisatawan menjadi semakin kritis dan selektif dalam memilih akomodasi. Mereka datang dengan ekspektasi tinggi, mulai dari tentang fasilitas,
hingga standar layanan. Menanggapi hal ini, sejumlah hotel kini berfokus pada peningkatan kualitas pelayanan, mulai dari pelatihan staf yang lebih intensif, personalisasi pengalaman tamu, hingga penerapan teknologi untuk mengoptimalkan layanan.
Selain lokasi, faktor lain, seperti konsep, kualitas produk, dan kelengkapan fasilitas kini menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pilihan akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan.
Melampaui tempat menginap, hotel telah berkembang menjadi ruang pengalaman yang selaras dengan kebutuhan spesifik tamu. Inovasi fasilitas menjadi kunci utama dalam menarik minat pengunjung. Tengok lantai eksklusif yang ramah anak di Shangri-La Hong Kong yang dirancang untuk kenyamanan keluarga.
Menariknya, perhatian terhadap tamu perempuan mendorong penyediaan
fasilitas khusus, seperti lantai eksklusif bagi pebisnis perempuan, kamar yang lebih dekat ke lobi, serta amenitas tambahan, seperti pengering dan pelurus rambut. Bagi tamu yang ingin menjaga kebugaran, Five Feet to FitnessTM di DoubleTree by Hilton Jakarta-Diponegoro menawarkan kamar dengan peralatan olahraga, memungkinkan mereka berlatih secara privat tanpa meninggalkan kenyamanan kamar.
Beberapa hotel, seperti COMO Metropolitan Singapura kini menerapkan prinsip ramah lingkungan, seperti pengurangan penggunaan plastik sekali pakai, pemanfaatan energi terbarukan, dan program konservasi alam. Inisiatif ini memberikan nilai tambah bagi wisatawan yang semakin peduli terhadap dampak lingkungan dari perjalanan mereka.
Selain itu, Kementerian Pariwisata Republik Indonesia berkomitmen untuk menjadikan sektor pariwisata lebih ramah lingkungan melalui konsep turisme berkelanjutan. Evolusi industri perhotelan terus berlanjut, didorong
(Kiri) Five Feet to Fitness™ hadir dengan Zona Kebugaran di kamar, memungkinkan tamu berolahraga secara privat dengan lebih dari 11 pilihan peralatan (dok. DoubleTree by Hilton JakartaDiponegoro)
(Bawah) COMO Metropolitan Singapore menghadirkan dinding yang terbuat dari botol plastik bekas daur naik di pintu masuk restoran COMO CUISINE (dok. COMO Metropolitan Singapore)
oleh inovasi tanpa henti. Perubahan perilaku konsumen, kemajuan teknologi, dan meningkatnya kesadaran akan keberlanjutan menjadi faktor utama yang menggerakkan perkembangan ini. Dalam persaingan yang semakin ketat, hotel dan pelaku industri harus senantiasa beradaptasi untuk memberikan pengalaman terbaik bagi para tamu, sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi dan pariwisata secara berkelanjutan. Dengan begitu, Indonesia dapat bersaing di panggung internasional, seiring semakin banyaknya jenama hotel Indonesia yang meraih penghargaan global.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Erika Tania
FOTOGRAFI
Ikmal Awfar
Dok. Narasumber
VIDEOGRAFI
Calvionita
Kecil kemungkinannya jika Anda belum pernah terekspos pada setidaknya satu karya visual yang melibatkan Jonathan Andy. Bisa jadi melalui halaman majalah, iklan komersial, video musik, karpet merah, panggung konser, pertunjukan teater, bahkan acara pernikahan. Nama-nama tersohor, seperti Maudy Ayunda, Eva Celia, Tatjana Saphira, dan Tara Basro hanyalah segelintir klien dari daftar panjangnya.
Telah berkiprah di dunia mode selama hampir 15 tahun, Andy menghabiskan separuh usianya untuk menggagas narasi visual yang kuat. Lebih dari sekadar memadupadankan pakaian, ia menjelma menjadi seniman yang menjelajahi beragam medium mulai dari rancangan busana, fotografi, desain set, hingga penyutradaraan. Dengan pendekatan eksperimental dan sensibilitas artistik, ia menciptakan karya yang melampaui batasan fesyen konvensional, mengubah setiap proyek menjadi ruang eksplorasi visual yang orisinal dan sarat cerita.
“Entah mengapa, sejak dulu saya selalu tertarik pada segala hal yang berkaitan dengan kreativitas. Saat kelas 6 SD, saya aktif menggambar komik hingga akhirnya bergabung dengan kelompok manga di sekolah,” ingatnya dalam nostalgia. Namun, titik balik yang benar-benar mengantarkan Andy pada gemerlap dunia mode terjadi di masa kecilnya, saat ia kerap ikut ibunya bekerja sebagai pemilik salon di rumahnya di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta.
“Seperti biasa, salon tempat ibu saya bekerja menyediakan banyak majalah untuk menghibur pelanggan yang sedang menunggu atau menjalani perawatan. Karena bosan, saya pun ikut-ikutan membaca majalahmajalah tersebut. Dari situlah kekaguman saya terhadap dunia busana perlahan tumbuh. Saya tertarik pada ide mentransformasi penampilan seseorang. Awalnya, saya bereksperimen dengan Barbie milik teman dan boneka kertas yang diberikan baju kertas juga,” kisahnya sembari tertawa.
Pada usia 16 tahun, Andy mengikuti kelas tari hip hop dan terlibat sebagai penari latar dalam produksi video musik. Alih-alih fokus pada proses syuting, Andy remaja justru terpesona oleh dinamika kerja seorang penata busana yang bertanggung jawab atas penampilan sang musisi. Kesempatan emas pun datang ketika ia dipercaya menjadi asisten penata busana tersebut dalam proyek selanjutnya: video musik untuk grup Ungu dan ST12, hingga iklan komersial untuk jenama piza dan minuman ringan.
“Saya dibayar Rp250 ribu dengan masa persiapan sekitar dua minggu hingga satu bulan untuk setiap proyek,” kenangnya. Usaha dan dedikasi itu pun berbuah manis. Andy kemudian bergabung sebagai penata busana di salah satu stasiun televisi besar, SCTV, di mana ia menangani penampilan para presenter acara Eat Bulaga! Indonesia (2012) selama beberapa musim. “Meski pada awalnya pengalaman kerja saya tidak sepenuhnya mencerminkan karakter gaya yang saya sukai, saya tetap sangat bersyukur atas semua pengetahuan teknis yang saya peroleh dari setiap proyek,” ujarnya sambil berefleksi.
Kesempatan baru membawa Andy menapaki karier di dunia ritel, dimulai sebagai Sales Assistant di butik multijenama 707, lalu berlanjut
sebagai Visual Merchandiser di pusat perbelanjaan Galeries Lafayette. Namun, kedua peran tersebut tidak berlangsung lama. “Jujur saja, waktu itu saya masih dalam proses pencarian jati diri. Sekarang saya menyadari bahwa saya tipe orang yang sulit fokus bila mengerjakan sesuatu yang tidak saya sukai. Jadi, wajar kalau saat itu saya tidak bertahan lama,” ujarnya kontemplatif.
Perjalanan Andy seolah kembali ke titik awal ketika sang penggemar fanatik majalah mode itu akhirnya diterima bekerja di industri media. “Sebagai penata busana, gaya saya benar-benar terasah saat bekerja di media. Di majalah musik, JUICE, saya banyak terpapar gaya street sedangkan pengalaman saya di ELLE Indonesia mengajarkan saya esensi penampilan yang timeless namun tetap dinamis. Karakter-karakter tersebut masih sangat terasa dalam karya saya hingga kini,” cerita pria kelahiran tahun 1994 tersebut.
Peran Andy sebagai direktur kreatif untuk sampul album Eva Celia (2023) diapresiasi oleh AMI Awards 2024 dengan penghargaan Grafis Album Terbaik (dok. Narasumber)
Sejak tahun 2017, Andy mengarungi industri kreatif Tanah Air sebagai pekerja lepas. Bermula sebagai penata busana dan pengarah gaya untuk jenama fesyen lokal serta selebriti, kini ia telah menjajaki berbagai peran kreatif dalam spektrum produksi yang kian luas. Bahkan, ia telah meraih sejumlah pengakuan salah satunya terpilih dalam jajaran Hypebeast Next 100 yang dipersembahkan oleh OPPO.
“Bocoran, ya selain memperbanyak portofolio melalui test shoot, kunci penting di awal karier sebagai penata gaya lepas adalah memiliki banyak teman fotografer. Ketika mereka sudah nyaman bekerja dengan kita, biasanya mereka akan mengajak kita terlibat dalam proyek-proyek mereka. Klien pun umumnya lebih dulu menghubungi fotografer dan mempercayakan mereka untuk membentuk tim produksi lainnya,” ungkapnya.
Melihat setiap karya Andy terasa seperti menaiki wahana pemacu adrenalin penuh kejutan dan sensasi visual. Karya-karyanya menampilkan kekayaan tekstur dan detail yang mungkin tak terbayangkan bisa harmonis ketika dipadankan, namun nyatanya tampil apik dan meninggalkan impresi yang kuat.
Layaknya seorang seniman sejati, Andy menghadirkan autentisitas yang menggugah para penikmat karyanya untuk menginterpretasikannya lebih dalam. Baginya, pekerjaan sebagai penata gaya bukan sekadar soal tampilan yang menawan, melainkan juga hasil dari pertimbangan matang termasuk keseimbangan antara karakter klien dan permintaan personal mereka.
“Menentukan konsep yang pakem sangat penting saat memulai suatu proyek, sehingga dapat mengetahui apa saja elemen yang perlu dipersiapkan. Sebagai contoh, ketika menata busana untuk penyanyi, saya perlu mengetahui genre lagunya. Untuk lagu ceria, saya akan menyiapkan busana yang terlihat apik saat banyak pergerakan namun tetap nyaman dipakai. Sedangkan bila lagunya lebih klasik, saya biasanya fokus pada penampilan lebih anggun,” jelasnya.
Lebih dari itu, pengalaman Andy bekerja di majalah juga memberinya perspektif yang semakin mendalam terhadap pentingnya hasil akhir yang menyeluruh dalam penataan busana. “Pemilihan siluet dan material juga ditentukan oleh lokasi, waktu, serta pencahayaan yang tersedia saat proses dokumentasi berlangsung. Menurut saya, penting untuk memikirkan hingga ke hasil dokumentasi agar setiap momen dapat menghasilkan narasi yang holistik,” tuturnya.
Andy mengakui bahwa menata busana untuk selebriti memiliki kompleksitas tersendiri dibandingkan dengan model karena ia bertanggung jawab memastikan karakter sang selebriti
tidak pudar setelah gaya mereka ditransformasi olehnya. “Ketika merancang suatu penampilan, penting untuk menemukan keseimbangan. Jangan sampai semua elemen tampil mencolok secara bersamaan. Kita harus menghargai karakter klien dan justru mengoptimalkannya meskipun melalui pendekatan baru bukan malah menghapusnya,” tegasnya.
Kepiawaian dan perfeksionisme Andy dalam menata busana sebelumnya terbatas pada penampilan selebriti untuk acara karpet merah atau pertunjukan panggung, termasuk pagelaran musik dalam acara jamuan makan malam pemimpin G20— kemudian berkembang ke arah kreatif lain, seperti sampul album dan produksi video musik. Sejumlah nama, seperti Andien Aisyah, Isyana Sarasvati, Yura Yunita, Maudy Ayunda, hingga Eva Celia telah mempercayakan kreativitas Andy untuk menyempurnakan visual karya mereka.
“Salah satu produksi yang paling berkesan adalah album eponim Eva Celia (2023), yang mengusung konsep barang bekas. Bukan hanya material album yang terbuat dari bahan daur ulang, tetapi juga semua pakaian yang tampil dalam setiap foto promosinya. Beberapa di antaranya terbuat dari celana denim, jam, bahkan kaleng soda bekas,” kisahnya tentang album yang meraih penghargaan Album Grafis Terbaik di ajang AMI Awards 2024 tersebut.
Kecenderungan Andy untuk mengeksplorasi ragam material merupakan salah satu keistimewaannya. Tak hanya bergantung pada busana, aksesori, dan dekorasi yang tersedia di pasaran, Andy justru lebih sering mewujudkan visinya dalam benak, baik secara mandiri maupun melalui kolaborasi dengan desainer. Kompetensi ini mengantarkannya pada posisi Direktur Kreatif untuk ‘Special Sequence’ dalam film Dear David (2023), di mana ia menghidupkan imajinasi karakter Laras, yang diperankan oleh Shenina Cinnamon, melalui desain set dan busana sarat fantasi.
“Saya suka menantang diri sendiri dengan mencoba hal-hal baru. Menurut saya, sebagai pelaku kreatif, sangat penting untuk terus bereksperimen tanpa khawatir akan hasil yang kurang memuaskan. Selalu lebih baik untuk memulai, mencoba, dan bila gagal, belajar dari pengalaman tersebut, daripada terus tertambat pada satu titik,” tutup pria yang selera dan intuisi kuatnya jelas tidak lahir dari referensi Pinterest semata, melainkan dari pengalaman, pengamatan, dan keberanian untuk mendobrak batasan.
Sebagai Direktur Kreatif dan Penata Busana untuk ‘Special Sequence’ pada film Dear David (2023), Andy menggagas desain set dan busana dalam imajinasi karakter Laras (dok. Narasumber)
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Brian N. Valenska / DERAI
VIDEOGRAFI
Helena Wijaya / DERAI
LOKASI
Casa Leña Jakarta
Seiring berkembangnya industri kreatif dan samarnya batasan antara seni murni dan selera pasar, pertarungan antara idealisme dan komersialisme menjadi semakin relevan. Bagaimana seniman tetap setia pada visi mereka saat dihadapkan pada tuntutan tren? Dua nama yang patut disoroti dalam konteks ini adalah Sanchia Hamidjaja dan Darbotz. Meski datang dari latar belakang berbeda, keduanya memiliki benang merah serupa: sama-sama mengawali karier dari dunia agensi yang kerap diwarnai permintaan dan revisi tiada henti dari klien. Namun, dari pengalaman tersebut justru timbul dorongan kuat untuk berkarya dalam ruang seni tanpa batas.
Sanchia adalah seorang seniman visual yang menemukan identitas artistiknya saat menempuh studi Desain Grafis di Australia. Melalui eksplorasi cat air, ia melahirkan sepasang karakter anjing hitam dan putih yang kemudian menjadi karya debut dalam pameran perdananya The Yin and Yang Dogs (2011). Kini, ia mengekspansi ekspresi seninya melalui komik Problema Nona sejak 2011 bersama Mar Galo untuk menyuarakan isu gender, menciptakan ilustrasi penuh imajinasi sebagai Direktur Seni HEI Schools, serta merancang cendera mata lewat proyek Winty Pals dan Poi Sepoi.
Darbotz, di sisi lain, adalah seniman urban asal Jakarta yang dikenal lewat karakter monster ikonis hasil eksplorasinya di ruang publik. Berawal dari kebiasaan menggambar sejak kecil hingga bereksperimen dengan cat semprot di masa SMA, Darbotz menjadikan dinding-dinding kota sebagai kanvas berekspresi. Karya-karyanya tidak hanya menampilkan kekuatan visual yang khas, tetapi juga mencerminkan dinamika kota, keresahan sosial, dan identitas personal yang terus berkembang.
Berkat kekuatan artistik yang tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga sarat akan makna, kedua seniman ini kerap diajak berkolaborasi dalam proyek komersial bersama berbagai jenama. Meski demikian, layaknya seniman sejati, mereka mampu menjaga integritas artistiknya bahkan ketika harus berhadapan dengan industri yang sering kali mengutamakan apa yang “terjual” daripada apa yang “berarti.” Kepada KINTAKA, Sanchia dan Darbotz berbagi pandangan seputar idealisme yang kerap bersinggungan dengan komersialisme.
Bagaimana Anda mendefinisikan gaya ilustrasi Anda dan perkembangannya dari waktu ke waktu?
Darbotz: Kreasi yang saya kembangkan selalu mencerminkan karakter berani. Di saat baru mulai mencoretcoret tembok jalanan, kebanyakan pemain mural lainnya cenderung menggunakan palet warna-warni. Namun saya justru memilih pendekatan berbeda dengan warna hitam dan putih yang akhirnya menjadi ciri khas Darbotz. Selain itu, garis-garis pada gambar saya pun sering kali tidak lurus. Toh, saya percaya bahwa semua karya tak harus men-capai kesempurnaan.
Sanchia: Pendekatan desain saya lebih fleksibel dan terus berubah seiring waktu. Semuanya tergantung peristiwa hidup atau observasi sehari-hari saya, khususnya terhadap kompleksnya kehidupan Jakarta. Selain itu, gaya ilustrasi saya selalu berkembang sesuai medium yang saya eksplorasi. Mulai dari cat air, tinta India, hingga sablon manual yang kini sedang saya tekuni. Semua tergantung subjek dan amplifikasinya melalui medium tertentu. Mungkin tidak seikonis Darbotz yang konsisten dengan warna hitam dan putih, tetapi di situlah letak kebebasan saya dalam berkarya.
Ilustrasi gedung karya Sanchia menjadi ekspresi personalnya terhadap kehidupan kota yang dinamis
Seperti bapak dongeng Indonesia yang ia idolakan, Pak Raden, Sanchia pun selalu menyematkan narasi ke dalam karya-karyanya
Bagaimana Anda melihat lanskap seni di Indonesia saat ini?
Sanchia: Menurut saya, skema seni Indonesia sudah terbentuk dengan matang. Realisasinya pun terlihat pada berbagai komunitas yang menaungi para seniman dan pekan seni, seperti JICAF, Art Moments, serta Art Jakarta.
Darbotz: Betul sekali, lanskap seni Indonesia kini jauh lebih semarak dibandingkan dulu. Jika sebelumnya seni dianggap sangat spesifik dan hanya melibatkan segelintir pelaku, kini ekosistemnya tumbuh pesat dan lebih inklusif. Berbagai disiplin pun sudah memiliki komunitasnya masing-masing mulai dari ilustrator hingga seniman stiker. Sebagai veteran, saya turut berbahagia menyaksikan transformasi ini, serta munculnya generasi seniman baru.
Sanchia: Ya, terutama dengan teknologi yang semakin mendukung evolusi ini. Konsumennya pun menjadi semakin bervariasi. Dulu rasanya saya membuat pameran hanya untuk kalangan sendiri. Saat ini, seni telah berkembang menjadi medium lintas disiplin yang menjangkau berbagai sektor.
Seberapa besar peran komunitas dalam perjalanan dan perkembangan karier seni Anda?
Darbotz: Sebagai salah satu pendiri tembokbomber.com, saya melihat peran komunitas sangat besar dalam perjalanan seni saya. Tembok Bomber dimulai pada tahun 2002 sebagai forum kecil untuk memperkenalkan seni jalanan di Indonesia yang pada saat itu ekosistemnya masih sporadis. Pada tahun 2005, saat seni jalanan mendapatkan perhatian luas, komunitas kami turut andil dalam menjaga keberlanjutannya. Bagi saya, komunitas menjadi ruang untuk diskusi, regenerasi, dan pertumbuhan.
Sanchia: Saya juga tumbuh bersama komunitas, mulai dari sepeda hingga sepatu roda. Di sana, saya bertemu banyak seniman wanita kreatif, seperti Marisa Sukarna, Sari (The White Shoes & The Couples Company), Liunik, Ykha Amelz, dan Ruth Marbun. Lingkungan yang suportif ini sangat berperan dalam perkembangan seni saya. Baru-baru ini, saya bergabung dengan Canvas Confluence Collective yang baru saja menggelar pameran sablon di Ashta, sejalan dengan ketertarikan saya terhadap medium tersebut khususnya sejak dikenalkan oleh JICAF. Di Asia Tenggara, geliat komunitas juga terus tumbuh lewat berbagai festival di Manila, Bangkok, dan Vietnam, membuka peluang kolaborasi lintas negara.
Bagaimana Anda menjaga agar karya tetap relevan di tengah ramainya perkembangan industri?
Darbotz: Dengan berupaya untuk memperluas koneksi dan berteman dengan para seniman muda Indonesia. Saya selalu terbuka pada peluang kolaborasi atau bahkan hanya untuk bertukar pikiran. Penting bagi saya untuk tahu apa yang sedang terjadi di dunia mereka mulai dari tren hingga fenomena baru. Pasalnya selain menjadi pelaku, saya juga penikmat seni yang gemar mengoleksi karya kerabat sesama seniman atau nama-nama tersohor di industri yang saya lakoni ini. Berkolaborasi dengan seniman baru atau jenama berspirit muda, kenapa tidak. Saya sadar, agar tetap relevan, kita harus beradaptasi dan terbuka pada perubahan agar tidak tenggelam di permukaan.
Sanchia: Saya pun melihat pentingnya menjaga relevansi lewat koneksi dengan sesama pelaku seni. Tapi bagi saya pribadi, momen kembali ke dunia korporat setelah lebih dari 12 tahun sebagai seniman lepas dan jeda sebagai ibu justru menjadi titik balik. Di situ saya menemukan kembali ruang aktualisasi dan peluang kolaborasi lintas generasi. Dari sana, muncul perspektif baru yang menyegarkan cara saya berkarya. Bagi saya, menjadi relevan tak hanya soal mengikuti tren, tetapi juga membuka diri pada perubahan ritme hidup dan terus berkembang bersama lingkungan sekitar.
Bagaimana Anda mengintegrasikan ciri khas ke dalam setiap karya untuk klien di masa kini?
Sanchia: Setelah melalui perjalanan karier yang panjang, saya bersyukur kini punya privilese untuk memilih klien yang selaras dengan pendekatan visual saya. Biasanya saya mengobservasi calon kolaborator terlebih dahulu mulai dari gaya, hingga prinsip kerja agar prosesnya lebih mulus dan revisi bisa diminimalkan (tertawa). Dengan begitu, mereka pun terdorong untuk masuk ke dalam visi yang saya bawa.
Darbotz: Menariknya, hampir semua kolaborator datang karena memang mencari gaya khas saya. Bahkan saat mencoba keluar dari gaya tersebut karena ingin bereksplorasi, mereka justru meminta saya kembali ke ciri familier yang biasa saya buat di tembok jalanan. Proses menjadi cepat karena sudah melekat dalam diri saya. Tentunya kemudahan ini bukan datang tiba-tiba, melainkan hasil dari perjalanan panjang yang saya lewati.
Adakah preferensi tertentu saat mengambil proyek kolaborasi komersial?
Darbotz: Sekarang, saya lebih tertarik berkolaborasi dengan sesuatu yang unik dan di luar kebiasaan. Menggambar di medium lazim, seperti kaos atau tembok sudah tidak terlalu menantang. Jika ada proyek idealis yang tak harus komersial tapi menawarkan pengalaman baru, saya justru lebih bersemangat mengerjakannya. Salah satu mimpi saya adalah menggambar di badan pesawat besar. Lebih mengagumkan lagi bila pesawat itu membawa misi bermakna, misalnya mengantar atlet Indonesia ke Olimpiade.
Sanchia: Saya memiliki visi yang serupa, meskipun bukan pesawat, melainkan kereta. Saya ingin karakter desain saya menjadi simbol yang sangat besar di suatu negara. Sebagaimana karakter-karakter Sanrio yang begitu dicintai di Jepang. Selain itu, sejak kecil, mimpi saya adalah membangun taman hiburan yang dapat dinikmati siapapun dari berbagai kalangan.
Kolaborasi dengan Toko Kopi Tuku dirasa sangat beresonansi dengan DNA visual Sanchia dan pandangannya terhadap lanskap urban (dok. Toko Kopi Tuku)
Instalasi bola raksasa hasil kolaborasi Darbotz dengan Compass di Urban Forest Cipete (dok. Compass dan Mahavisual)
Lantas, kolaborasi apa yang paling berkesan bagi Anda?
Darbotz: Salah satu yang paling berkesan bagi saya adalah dengan jenama sepatu, Compass. Meskipun sudah pernah berkolaborasi dengan jenama sepatu lainnya, proyek ini terasa istimewa karena saya dapat berdiskusi langsung dengan Aji Handoko Purbo, sang pendiri. Bersama, kami memformulasikan ide-ide radikal hingga tiba ke konsep kampanye 360 derajat dan berhasil menjual habis kolaborasi tersebut. Selain mengkreasikan sepatu, kami juga menciptakan instalasi bola raksasa berkarakter monster khas saya dan menggelindingkannya di ajang Car Free Day, serta memamerkannya di Urban Forest Cipete.
Sanchia: Kolaborasi saya dengan Toko Kopi Tuku sejauh ini adalah yang paling menggugah. Baik dari segi DNA visual maupun pesan yang ingin mereka angkat, yaitu tentang Jakarta dan kawasan Cipete. Saya juga terkesan bahwa Tuku yang juga bekerja sama dengan Uniqlo dalam proyek ini berhasil menghadirkan kecintaan terhadap produk
lokal dengan cara yang sangat merakyat. Tak heran, mereka mampu menciptakan ikatan emosional yang begitu kuat di seluruh Indonesia.
Jadi, bisakah seorang seniman bertahan idealis di tengah gempuran komersialisme?
Darbotz: Bisa saja, tapi harus siap lapar (tertawa). Bagi saya, bekerja adalah cara untuk membiayai idealisme. Karena seideal apa pun kita, tetap ada kebutuhan yang harus dipenuhi bahkan untuk membeli alat gambar sekalipun dibutuhkan dana. Karenanya, saya akan tetap mengambil berbagai proyek selama memungkinkan saya untuk terus berkarya dengan cara sendiri.
Sanchia: Selama tetap autentik dan jujur pada diri sendiri bahwa karya yang dibuat memang keinginan pribadi, bukan ikut-ikutan tren itulah bentuk idealisme. Saya percaya bahwa karya yang lahir dari kejujuran akan berdampak lebih jauh.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Zenith
VIDEOGRAFI
Dok. Zenith
Sebagaimana evolusi Zenith yang terus berlanjut di bawah kepemimpinan sejumlah sosok visioner sejak diakuisisi oleh konglomerat produk mewah LVMH Group pada 1999 mulai dari
Jean-Claude Biver, Jean-Frédéric Dufour, hingga Julien Tornare. Estafet tersebut kini diteruskan oleh Benoit de Clerck, yang ditunjuk sebagai CEO pada 2024.
Jauh dari istilah ‘anak kemarin sore’, Benoit adalah sosok kawakan yang telah berkecimpung selama 25 tahun di dunia horologi. Ia memulai kariernya di TAG Heuer yang kemudian menjadi fondasi dari pengalaman mumpuninya di IWC, Roger Dubuis, Baume et Mercier, dan Panerai. Berbekal wawasan luasnya, ia membawa sensitivitas pasar yang tajam dan krusial untuk membaca kebutuhan konsumen masa kini.
Perspektif yang ia bawa bukan semata baru, melainkan teruji dan adaptif dalam mempertahankan legasi sekaligus menjaga relevansi Zenith di tengah gempuran modernisasi. Salah satu perwujudannya adalah peremajaan Calibre 135 yang diluncurkan bertepatan dengan hari jadi ke-160 sang jenama. Sebagian besar mungkin lebih mengenal Zenith berkat El Primero, movement kronograf otomatis berfrekuensi tinggi yang begitu sinonim dengan sang jenama. Faktanya, Calibre 135 tidak kalah menakjubkan berkat ratusan penghargaan yang disabetnya dalam kategori kronometri.
Sumbangsih strategi seperti inilah yang kami nantikan dari Benoit. Kami yakin, pembaruan movement ikonis tersebut hanyalah satu dari segenap batasan lainnya yang menunggu untuk didobrak. Kepada KINTAKA, Benoit de Clerck menuturkan persepsinya seputar visi dan komitmen Zenith terhadap kesempurnaan yang tak tergoyahkan.
PERSONA
Setahun telah berlalu sejak Anda resmi memimpin Zenith sebagai CEO. Apa visi utama Anda saat baru bergabung dan bagaimana implementasinya sejauh ini?
BC: Sedari awal, saya mengemban misi yang sederhana namun bermakna. Ialah menumbuhkan rasa cinta terhadap Zenith, sebagaimana saya mencintainya. Langkah pertama dalam mewujudkan hal tersebut adalah meningkatkan kesadaran terhadap DNA Zenith dan nilai-nilai yang kami junjung. Tentu saja setiap strategi harus tetap autentik dan berlandaskan komitmen kami pada inovasi. Selain itu, menjadi pengikut arus tidak pernah ada dalam kamus Zenith. Kami selalu ingin menjadi pelopor dengan menghormati warisan para pendahulu sekaligus menyusun masa depan. Ambisi utama saya adalah memastikan bahwa legasi Zenith tak hanya bertahan, namun terus bertransformasi untuk 160 tahun mendatang.
Dalam lanskap industri yang kian kompetitif, apa esensi yang membuat Zenith tetap menonjol dan tak tergantikan oleh pemain horologi lainnya?
BC: Menurut saya, kekuatan Zenith terletak pada kepiawaian mumpuni yang didemonstrasikan oleh para artisan dalam manufaktur kami di Le Locle, Swiss. Seluruh jam tangan Zenith ditenagai oleh movement yang kami konsepsikan, kembangkan, dan rakit secara mandiri. Pendekatan terintegrasi secara vertikal ini memberi kami keleluasaan untuk mendorong batasan dalam hal presisi dan reliabilitas.
Apakah makna perkembangan bagi Zenith dan sejauh mana peran tradisi dalam membentuk masa depannya?
BC: Semuanya adalah tentang upaya untuk mencapai kesempurnaan. Sejatinya, prinsip ini memang telah ditanamkan oleh pendiri Zenith, Georges Favre-Jacot, sejak konsepsinya di tahun 1865. Ia memiliki visi konkret untuk menciptakan jam tangan berkualitas tertinggi, yang diwujudkan dengan mendirikan manufaktur terintegrasi pertama di Le Locle, Swiss. Pendekatan ini senantiasa menjadi pakem yang memandu kami menetapkan standar baru dalam dunia horologi, khususnya yang berkaitan dengan inovasi, performa, dan keterampilan yang terus diasah.
Hal ini menjadi semakin berarti karena seluruh pengerjaan jam tangan Zenith masih dilakukan di gedung yang sama tempat perjalanan kami dimulai. Tahun ini, kami merayakan 160 tahun perjalanan tiada henti dalam ranah pengembangan produk. Inilah wujud dari komitmen kami untuk bertransformasi sembari menghormati legasi yang mendefinisikan Zenith.
Bisakah Anda ceritakan tentang lini terbaru
El Primero dan bagaimana Zenith menjaga keseimbangan antara tradisi dan inovasi?
BC: El Primero 3600 pertama kali diperkenalkan pada tahun 2019 saat disematkan dalam iterasi Chronomaster 2, lalu disempurnakan melalui peluncuran Zenith Chronomaster Sport (2021). Kedua kreasi ini bukan sekadar peremajaan desain, melainkan juga penanda bagi babak baru El Primero yang telah memasuki generasi ketiga.
Dilandasi oleh legasi Calibre 3019 PHC dan El Primero 400, pengembangan terbaru ini dari El Primero 3600 mempertahankan sejumlah elemen ikonis yang menjadi ciri khas kedua pendahulunya tersebut. Mulai dari frekuensi 5 Hz, tingkat presisi hingga sepersepuluh detik, hingga arsitektur komponen yang serupa. Namun, kini hadir dengan cadangan daya hingga 60 jam lamanya.
Dengan demikian, El Primero bukan hanya sebuah tonggak pencapaian bagi Zenith, melainkan juga pusaka dalam riwayat pembuatan jam tangan. Sejak tahun 1969, El Primero telah menjadi tolok ukur dalam hal akurasi sebagai movement kronograf otomatis pertama di dunia. 50 tahun berlalu, El Primero bertahan menjadi satu-satunya movement dari era keemasan horologi yang masih terus diproduksi dan disempurnakan hingga kini. Ini adalah sebuah bukti nyata akan relevansinya yang tak lekang oleh waktu dan representasi sesungguhnya dari keandalan Zenith.
El Primero adalah movement kronograf otomatis pertama di dunia dengan presisi sepersepuluh detik yang terus menerus disempurnakan sejak tahun 1969 hingga kini (dok. Zenith)
Berkat kegigihan Charles Vermot, seorang pembuat jam tangan yang bekerja di manufaktur terintegrasi Zenith, movement El Primero masih eksis hingga kini (dok. Zenith)
Bagaimana perampingan koleksi Zenith memengaruhi strategi pengembangan produk dan proses kreatif secara keseluruhan?
BC: Kini kami memiliki tiga koleksi utama, yaitu Chronomaster, Defy, dan Pilot. Strategi untuk menyederhanakan katalog penawaran secara tak langsung memberikan struktur yang lebih terperinci bagi seluruh pihak yang terlibat. Mulai dari tim internal, mitra bisnis, pelanggan, hingga pemangku kepentingan lainnya. Di sisi lain, pendekatan terfokus ini juga memungkinkan kami untuk menonjolkan keandalan Zenith sembari menjaga identitas solid dari setiap koleksi. Saya rasa, inilah cara kami memberi ruang bagi kreativitas para artisan untuk terus berkembang.
Bermaterialkan stainless steel dan bezel dodekagonal, Defy Skyline
Chronograph Skeleton hadir dengan ketahanan air 100 meter, serta gelang terintegrasi dan temali karet berwarna senada (dok. Zenith)
Bagaimana perubahan desain Defy Skyline
Chronograph Skeleton dan Chronomaster
Sport Rainbow di LVMH Watch Week 2025 membuka babak baru bagi kedua lini ini?
BC: Defy Skyline Chronograph Skeleton adalah tonggak penting dalam perjalanan koleksi Defy. Pasalnya, ini adalah sebuah kreasi sarat intrikasi dengan kemutakhiran teknis luar biasa. Movement El Primero 3600 yang menenagai jam ini dan tersingkap pada skeleton dial menegaskan karakter sporty sekaligus tingkat presisi yang menjadi ciri khas Zenith. Kehadirannya serta-merta memperkaya koleksi Skyline yang diperkenalkan pada 2022, sekaligus membuka jalan bagi evolusi lebih lanjut pada lini Defy.
Sementara, Chronomaster Sport Rainbow merupakan upaya kami untuk menjadi lebih ekspresif lewat material emas putih yang kami usung dan bezel bertatahkan 50 batu permata beraneka warna. Sentuhan segar ini memberikan nuansa ceria pada katalog Chronomaster, sekaligus tetap mencerminkan spirit inovatif Zenith. Babak baru ini berlanjut dengan Chronomaster Sport Meteorite yang bermaterialkan emas merah muda dan dihiasi oleh safir biru, hitam, serta batu windusari. Meski diproduksi dalam jumlah terbatas, kedua model ini kami anggap sebagai pernyataan prestisius yang sudah sepatutnya menjadi bagian dari koleksi permanen kami.
Bagaimana dengan pesan yang ingin Anda tegaskan lewat peluncuran rilisan baru di ajang Watches and Wonders 2025?
BC: Bertepatan dengan momentum hari jadi yang ke-160 tahun, kami ingin memamerkan keunggulan Zenith seutuhnya. Selain menyingkap koleksi terbaru, kami ingin menjamu para antusias horologi dengan demonstrasi keahlian yang kami banggakan selama lebih dari satu setengah abad.
Puncak selebrasi ini adalah perkenalan dari G.F.J. di ajang Watches and Wonders 2025. Inilah manifestasi sesungguhnya dari upaya untuk mencapai kesempurnaan dalam dunia horologi, sebagaimana diserukan oleh pendiri Zenith. Dengan case platinum, dial lazuardi yang rupawan, dan nama yang dipilih, jam tangan ini menjadi penghormatan nyata terhadap visi Georges Favre-Jacot.
G.F.J juga menandai reinkarnasi Calibre 135 legendaris yang merupakan movement kronometri dengan prestasi terbanyak di dunia sejumlah 230 penghargaan, termasuk lima medali emas berturut-turut di Observatorium Neuchâtel. Setelah disempurnakan oleh para artisan Zenith, kaliber ini memiliki kinerja dan cadangan daya yang semakin prima. Diproduksi secara terbatas sejumlah 160 unit saja, mahakarya ini benar-benar merangkum keterampilan kami dengan segala keistimewaannya. Warisan historis ini kembali hadir dalam bentuk yang relevan dengan zaman, sehingga memberi kesempatan bagi kolektor untuk memilikinya dalam interpretasi modern.
Ditenagai oleh El Primero 3600 SK, movement kronograf generasi terbaru Zenith, Defy Chronograph Skeleton memiliki cadangan daya hingga 60 jam dan frekuensi tinggi 36.000 getaran per jam (5 Hz) (dok. Zenith)
bertahtakan 50 safir bak pelangi (dok. Zenith)
Apa strategi Anda untuk memperluas cakupan inisiatif Horiz-On dalam waktu dekat?
BC: Melalui inisiatif Horiz-On, kami berkomitmen untuk memberi dampak nyata dengan mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam setiap aspek pembuatan jam tangan Zenith. Ke depannya, kami juga ingin berfokus pada penggunaan material berkelanjutan. Baik pada jam tangan, maupun kemasannya selagi meminimalkan dampak lingkungan. Kami juga terus-menerus menegaskan upaya kami dalam hal transparansi rantai pasok dan memastikan bahwa seluruh proses dilakukan secara etis. Dengan demikian, setiap komponen dalam kreasi Zenith merupakan refleksi komitmen kami terhadap praktik industri yang bertanggung jawab.
Menurut Anda, mengapa mengoleksi jam tangan Zenith berbeda dengan mengoleksi penawaran dari rumah horologi lainnya?
BC: Semua jam memang istimewa, tetapi memiliki Zenith sebenarnya setara dengan menjadi saksi kunci dari sejarah luar biasa pembuatan jam tangan Swiss. Setiap penawaran Zenith adalah hasil dari petualangan unik yang diciptakan dari individu bergairah dengan keahlian khusus dan tujuan yang selaras. Terdapat sebuah cerita yang begitu beresonansi dengan saya saat bergabung dengan Zenith, yaitu kisah dari Charles Vermot, seorang pahlawan sejati El Primero.
Selagi krisis kuarsa berlangsung di era ‘70-an, manajemen berbagai rumah horologi memutuskan untuk membuang seluruh rencana dan alat-alat yang digunakan untuk memproduksi movement mekanis. Tetapi Charles secara diamdiam menyembunyikan seluruh peralatan dan cetak biru El Primero di dalam atap manufaktur Zenith.
Alhasil, movement legendaris tersebut berhasil dipertahankan. Dengan memiliki El Primero, Anda bukan hanya memiliki movement yang begitu istimewa, melainkan juga berkontribusi untuk melestarikan pusaka yang menjadi simbol kegigihan Zenith.
IMAJI
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENGARAH KREATIF
Erika Tania
FOTOGRAFI
Reynaldo Tjandra / DERAI
VIDEOGRAFI
Helen Wijaya / DERAI
PENATA GAYA
Charlene Atalie
PENATA RIAS
Arimbi
PENATA RAMBUT
Nusanta Widy
MODEL
Dara Warganegara / E Model The Agency
LOKASI
Astra Credit Companies
Tote
Extra-Large
TENTANG
Kupas tuntas berbagai fenomena, makna, dan dampak di balik dinamika industri gaya hidup.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI PENULIS
VIDEOGRAFI
Dimitri Isnanta / DERAI
Di tengah lanskap boga yang kian berkembang, kompetisi tak lagi soal rasa, melainkan juga pengalaman. Pasangan suami-istri sekaligus pendiri BRAUD, Tamara Alana dan Yoel Wijaya, paham betul akan hal ini dan memutuskan untuk membawa gerai boga mereka ke tingkat selanjutnya. Alihalih terjebak dalam persaingan konvensional, mereka justru merangkul pemain industri lainnya untuk tumbuh bersama.
Hal ini berujung pada sejumlah kolaborasi yang meletakkan nama BRAUD dalam peta gaya hidup domestik. Meski hadir dalam berbagai format, seluruhnya berhasil menyatukan individu berminat serupa. Di negara yang masih memegang erat nilai kolektivisme, tak heran inisiatif ini disambut umpan balik yang positif.
Tentunya, kolaborasi bukanlah satu-satunya hal yang membawanya ke posisi sekarang. Merupakan salah satu pelopor gerai roti artisan di Indonesia, BRAUD hadir di momentum yang tepat ketika pelanggan mulai tertarik untuk mengeksplorasi dan telah lebih teredukasi tentang sourdough yang menjadi penawaran utamanya. Seiring berjalannya waktu, BRAUD senantiasa meramaikan persaingan dengan misi baru, yaitu mengawinkan filosofi kolaborasi dan keterampilan menjadi pengalaman yang lebih dari sekadar roti.
Kisah BRAUD bermula di dapur Yoel Wijaya pada tahun 2014 yang diubah menjadi gerai roti mikro untuk memproduksi sourdough kreasinya. Setelah menikah, Tamara dan Yoel menggabungkan keahlian mereka sang istri di bidang kreatif, sang suami dalam ranah pastry dan membuka gerai pertama BRAUD di Seminyak, Bali pada tahun 2020.
Merintis bisnis tentu memiliki tantangannya sendiri, apalagi bila dimulai di tengah gejolak pandemi. Namun, siapa sangka pembatasan sosial justru menjadi nilai plus bagi Tamara dan Yoel? Dengan banyaknya ekspatriat yang terpaksa menetap di Bali dengan keterbatasan akses, roti artisan yang disajikan di gerai BRAUD justru menjadi solusi. Sebagaimana saya akan mencari sajian khas Indonesia saat terlalu lama jauh dari kampung halaman, mereka pun menemukan kenyamanan dalam roti artisan buatan BRAUD.
Menurut Tamara, ada dua faktor di balik terbentuknya loyalitas pelanggan. Pertama, komitmen BRAUD dalam menyajikan roti artisan yang konsisten melampaui ekspektasi, sehingga berhasil menciptakan permintaan tersendiri di Indonesia, meski tidak memiliki kultur roti sekuat negara-negara Barat.
Sebagai testimoni, saya pribadi pun tidak pernah bisa menolak Sea Salt Rosemary Focaccia yang terlihat begitu menggugah di etalase kaca BRAUD. Meski menderita Sindrom Iritasi Usus (IBS) dan disarankan untuk menghindari gluten, bagi saya roti BRAUD sepadan dengan risikonya.
Hal ini turut membuka peluang bagi BRAUD untuk menjangkau pasar yang lebih luas. Salah satunya adalah saat menghadirkan sesi pop-up di Suasana Kopi, Jakarta, yang kemudian menjadi cikal bakal dibukanya gerai pertama mereka di ibu kota. Tanpa peralatan
roti yang memadai, BRAUD mengubah ruang kantor menjadi dapur lengkap. Tak disangka, antrean sudah mengular sejak 7:30 pagi dan roti habis dalam tiga jam saja!
Faktor kedua adalah sentuhan personal yang selalu disuguhkan BRAUD dalam setiap langkahnya. Berbeda dari tempat lain di mana kebanyakan proses pembuatan roti terjadi di balik layar, BRAUD justru mengundang para tamu untuk merasakan pengalaman yang lebih dekat, mulai dari pengolahan bahan segar hingga produksi dalam skala kecil.
Bahkan sebelum memasuki gerai, aroma roti yang baru keluar dari oven sudah menyapa indra penciuman. “Pelanggan tidak sekadar datang, makan, lalu pergi, tetapi menjadi bagian dari atmosfer hangat BRAUD, sehingga setiap kunjungan terasa seperti pulang ke rumah,” ungkap wanita yang ingin berkolaborasi dengan Carhartt di masa depan.
Kultur kolaborasi di BRAUD dapat ditelusuri hingga tahun 2021 saat angka penyintas Covid-19 sedang melonjak dan ruang gerak menjadi terbatas. Tamara dan Yoel berdiskusi dengan beberapa pelanggan kini menjadi kerabat dekat hingga tercetus gagasan untuk menciptakan BRAUD sebagai wadah kreatif. Hasilnya adalah kolaborasi berkonsep ambil alih dapur perdana oleh para koki dari kolektif boga Jammin’ Chow: Vallian Gunawan, Austin Milana, dan Ryan Tedja.
Sukses meraup antusiasme, BRAUD pun mulai merancang berbagai inisiatif baru. Salah satunya adalah program Sundown Sando, kegiatan melukis mural di jendela-jendela BRAUD Seminyak yang dimeriahkan sesi live music. Selanjutnya, BRAUD kembali menghadirkan konsep ambil alih dapur dengan menggandeng sejumlah restoran ternama ibu kota, seperti Peggy’s Brass Knuckles, Taco Local, dan Pasta Bitte.
Menurut saya, salah satu konsep terunik yang disuguhkan BRAUD adalah dalam program kolaborasi untuk memasarkan minuman anggur natural mereka di gerai Jakarta. Ketimbang menghadirkan pakar minuman
anggur, Tamara memilih teman-teman sesama penikmat untuk berbagi pengalaman. Hasilnya? Program ini sukses membuktikan bahwa ulasan autentik dari orang terdekat lebih berpengaruh daripada promosi formal.
Salah satu inisiatif mengesankan lainnya adalah Weekend Market di BRAUD Uluwatu gerai terbarunya yang
diadakan secara berkala. Pasar kreatif ini melibatkan pelaku industri multidisiplin dalam atmosfer penuh kreativitas. Pada instalasi yang diadakan awal Maret lalu, BRAUD turut menghadirkan Studio Tanda yang dikenal dengan perhiasan berdesain kontemporernya, label mode Tale of Two bertemakan tropis sebagai kolaborator, serta lokakarya interaktif merangkai bunga.
Segenap format kolaborasi yang terus berkembang ini kian mengukuhkan peran BRAUD sebagai wadah komu-
nitas. Bagi Tamara, koneksi memanglah inti dari pengalaman bersantap. Lebih dari sekadar transaksi, interaksi personal dengan tamu menciptakan ikatan yang lebih dalam.
Ia meyakini makanan memiliki kekuatan untuk menyatukan sesama, menjadikan BRAUD sebuah ruang kreatif yang tak hanya memuaskan lidah, tetapi juga hati. Selain itu, kepuasan terbesar untuk Tamara adalah ketika kolaborator, pelanggan, dan orangorang terdekat mengekspresikan
Lokakarya merangkai bunga yang diciptakan sebagai aktivitas interaktif bagi para tamu BRAUD Weekend Market
kebahagiaan mereka terhadap apa yang BRAUD tawarkan. Mulai dari produk, program komunitas, hingga strategi konten. Umpan balik positif dari mereka menjadi bukti nyata perjuangan BRAUD selama ini. Menariknya, Tamara tak merasa kesal jika karyanya ditiru. Justru, ia melihatnya sebagai tanda bahwa apa yang mereka ciptakan disukai banyak orang. Lagi pula, jika karya mereka sampai dijadikan referensi, bukankah itu tanda bahwa BRAUD telah menciptakan sesuatu yang benar-benar bermakna?
komunitas di BRAUD Uluwatu yang disediakan untuk menyebarkan informasi seputar komunitas gaya hidup di Bali
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Erika Tania
FOTOGRAFI
Auryn Gautama / DERAI
VIDEOGRAFI
Dimitri Isnanta / DERAI
Agaknya titel sebagai pelopor subkultur anak muda di Indonesia bukanlah sanjungan berlebihan untuk disematkan pada Leonard Theosabrata. Ia adalah sosok di balik sejumlah inisiatif yang menggairahkan industri kreatif Tanah Air mulai dari Brightspot Market, The Goods Dept, Indoestri Markerspace, hingga Jakarta Creative Hub. Jejak kontribusinya bahkan diakui pemerintah yang mempercayakan Leo untuk menjabat sebagai Presiden Direktur Pusat Layanan UMKM Smesco Indonesia dari Desember 2019 hingga Mei 2024.
Leo memainkan peran penting dalam menghidupkan label-label lokal dan mendorong peningkatan kualitasnya melalui berbagai ekosistem kreatif dan progresif yang ia bangun. Tak hanya menjadi katalis bagi semangat kolaborasi, berbagai inisiatifnya juga menyediakan wadah bagi para kreator muda untuk belajar, bereksperimen, dan tumbuh bersama komunitas. Dengan pendekatan yang visioner namun membumi, Leo memupuk pola pikir baru bahwa menjadi anak muda Indonesia berarti berani mencipta, bersuara, dan berdaya secara kolektif.
Namun, seiring meningkatnya popularitas media sosial dan tren flexing di kalangan anak muda, Leo menyayangkan adanya pergeseran dalam mendefinisikan kesuksesan. Terdapat sejumlah jenama ‘mendadak’ melesat yang muncul bukan karena kekuatan narasi atau ide segar, melainkan karena kemampuan kapital yang besar dan strategi bisnis yang agresif. Bagi Leo, pendekatan semacam ini berisiko melemahkan nyali para kreator yang bertumpu pada keterbatasan. Padahal, justru dari keterbatasanlah sering lahir gagasan paling autentik.
Dalam perbincangan bersama KINTAKA, Leo menekankan bahwa membangun jenama tak harus berangkat dari privilese atau koneksi. Siapa pun bisa memulainya asal mampu merangkai narasi yang bermakna dan menyusun nilai yang ingin diusung. Sebab, bagi Leo, autentisitas bukan sesuatu yang harus dimiliki sejak awal, melainkan dapat tumbuh seiring proses memahami pesan yang ingin disampaikan dan menemukan cara paling relevan untuk menyuarakannya.
CERITA
MERAWAT HASRAT
Berkaca pada latar belakangnya, Leo memiliki ritme kreativitas yang tinggi. Begitu satu gagasan terealisasi, gagasan lain seolah langsung mengambil tempat untuk segera digarap. Bukan sembarang ide pula, melainkan gebrakan yang kerap membuat orang bergumam, “Betul juga ya, seharusnya memang begitu!” Selain dilatari narasi yang kuat, terdapat kebutuhan nyata yang hendak dijawab oleh solusi-solusi relevan yang Leo tawarkan, serta tentunya dalam ciri khas Leo dikemas dengan pendekatan yang modern dan bersahaja.
Ketika ditanya tentang sumber inspirasi dan referensinya, Leo menyebut pengalaman tumbuh besar di era
1980-an sebagai fondasi yang tak tergantikan. Sebagai pria kelahiran 1977, ia merasa beruntung mengalami masa remaja dalam dekade yang kaya akan gaya hidup dan subkultur. Masa ketika informasi belum tersedia instan, sebelum algoritma dan gawai menyodorkan konten secara otomatis. Rasa ingin tahu harus dipupuk lewat pencarian aktif dari majalah impor, siaran radio luar negeri, hingga film VHS yang ditonton berulang kali. Proses ini, meski menuntut usaha, menumbuhkan hasrat eksplorasi yang mendalam serta kepuasan ketika pengetahuan berhasil diperoleh.
Menurut Leo, proses itu yang membuatnya memahami arti passion
(hasrat) sesungguhnya bukan sekadar suka, tapi benar-benar tenggelam dan menyelami. Bagi Leo, passion bukanlah minat yang muncul sesaat atau kegemaran yang instan, melainkan sebuah komitmen mendalam yang menggerakkan seseorang untuk terus belajar, berproses, dan berinovasi, meskipun tantangan datang bertubi-tubi. Namun, sayangnya, ia merasa bahwa definisi hasrat yang semula begitu kuat kini mulai luntur di kalangan anak muda.
Di era digital dengan kemudahan akses informasi seperti sekarang, banyak pengusaha muda yang lebih terdorong oleh tren, popularitas instan, dan keuntungan cepat,
(Kiri) Leo mendedikasikan waktunya untuk mendalami industri alkohol dari nol sebelum merilis MARAK, jenama arak Bali premium terbarunya
(Kanan) Melalui pembina usaha rintisan, Indoestri Teluk Saba, Leo memandu para pengusaha baru dalam meningkatkan skala bisnis mereka
Tumbuh besar di era
‘80-an yang kaya akan gaya hidup dan subkultur, Leo menemukan arti passion yang sesungguhnya
ketimbang kesungguhan untuk menggali dan memahami lebih dalam tentang apa yang mereka lakukan. Akibatnya, banyak proyek atau usaha yang terlihat menggiurkan secara finansial namun kehilangan elemenelemen bermakna yang seharusnya menjadi fondasi mereka.
“Saya pernah berbincang dengan pemilik jenama sepatu yang bahkan tak tahu cara membuat sepatu masuk ke pabrik sepatu pun belum pernah. Tak heran, ia juga tak paham soal bahan-bahannya. Saat saya tanya-tanya tentang produknya, ia pun bingung menjawab. Jadi, mengapa saya harus membeli produk Anda kalau Anda sendiri tidak terlibat dalam riset maupun pengembangannya?” ujar pria yang baru-baru ini menyelami industri alkohol dari nol demi meluncurkan MARAK, jenama arak Bali premium terbarunya.
“Di sisi lain, ada juga sejumlah jenama yang mengklaim berhasil go international lantaran muncul di salah satu papan reklame Times Square di New York. Itu hanya soal membayar sejumlah uang untuk mendapatkan eksposur,” lanjut Leo. “Bukan berarti beriklan itu salah. Namun, di era ini, penting untuk menjaga pemikiran independen agar tetap seimbang dan adil bagi mereka yang baru memulai perjalanannya, tanpa merasa tertekan oleh standar yang tidak realistis.”
Berdasarkan pengamatan Leo, pengusaha muda Indonesia sesungguhnya memiliki banyak peluang untuk mengeksplorasi potensi dan menawarkan sesuatu yang berbeda di pasar global, mengingat kekayaan tradisi serta sumber daya alam yang dimiliki. “Produk berbasis hasil
pertanian dan peternakan adalah kekuatan utama Indonesia. Idealitas yang dimiliki oleh manufaktur lokal yang didukung teknologi dapat menjadi penyeimbang investasi, serta mendorong pertumbuhan pesat dan membuka kesempatan untuk unggul di kancah internasional,” jelas Leo.
Baik di pasar lokal maupun global, Leo menekankan pentingnya memiliki standar kesuksesan yang substan-
sial. Menurutnya, perspektif luas dan sensitivitas terhadap keberagaman sangatlah krusial agar sebuah jenama dapat beresonansi dengan audiens yang luas. “Ini bukan soal modal uang, melainkan seberapa dalam pemahaman Anda tentang apa yang Anda lakukan dan bagaimana kreativitas Anda dalam menyajikannya. Untuk bersaing, dibutuhkan rasa ingin tahu yang tinggi, serta motivasi dan hasrat yang kuat,” kata Leo.
Setelah hasrat dan tujuan membentuk fondasi awal sebuah bisnis, langkah penting berikutnya adalah mengartikulasikan identitas melalui branding. Tak hanya soal konsistensi visual atau strategi pemasaran, branding menjembatani visi personal dengan persepsi publik yang kemudian menjadi dasar bagi koneksi emosional antara sang jenama dengan audiensnya.
“Branding itu semacam taman bermain. Anda bebas bereksplorasi dalam merangkai apapun. Mulai dari latar belakang, nilai, standar, hingga narasi-narasi kampanye yang berpotensi untuk diromantisasi secara kolektif,” terangnya. Leo menyoroti berbagai contoh dari dunia kuliner, seperti siomay berbumbu kacang yang kini dikenal sebagai jajanan khas Bandung. Padahal, hidangan ini merupakan interpretasi seorang pemenang festival Cap Go Meh pada era Presiden Soekarno yang kebetulan berasal dari Bandung.
Pendekatan modern serupa terlihat pada pai susu yang baru populer sebagai oleh-oleh khas Bali di akhir 2000-an. Sementara itu, strategi lebih terencana dijalankan oleh pemerintah Thailand yang menciptakan Pad Thai sebagai solusi krisis beras pascaPerang Dunia II. Hidangan ini kemudian dipromosikan sebagai kuliner nasional melalui program Kitchen of the World pada 2002, seiring upaya memperluas kehadiran restoran Thailand di kancah global.
“Pada dasarnya tidak ada yang 100% autentik di dunia ini, kecuali alam semesta. Semua buatan manusia adalah hasil interpretasi yang dirangkai dan diamini oleh sejuta umat, hingga kemudian menjadi kultur, subkultur, bahkan pakem standar di tengah masyarakat. Oleh karena itu, tidak perlu ragu untuk mulai merangkai versi Anda. Pekerjaan selanjutnya adalah bagaimana menghadirkan pengaruh dan meyakinkan mereka terhadap hasil ‘karangan’ Anda,” ungkapnya.
Itulah mengapa Leo menekankan pentingnya merintis jenama dari hasrat yang kuat dan riset yang matang, sebagaimana kedua hal tersebut menjadi landasan yang membentuk kredibilitas dan integritas dalam branding. Langkah pertama bisa sesederhana menentukan satu kekuatan utama yang ingin ditonjolkan. “Apakah ingin dikenal sebagai yang tercepat, termurah, atau paling premium pilih satu. Bukan soal menjadi segalanya, melainkan menetapkan fokus yang jelas sebagai pijakan awal,” ujarnya.
Branding yang tepat pada akhirnya membentuk identitas yang autentik. “Banyak orang yang bertanya kepada saya bagaimana cara mempertahankan orisinalitas. Sebenarnya sesimpel menjadi diri sendiri saja karena itulah yang paling natural untuk dilakukan. Oleh karena itu saya tidak pernah percaya dengan ungkapan “fake it, ‘till you make it”. Dengan kejujuran dalam proses, ciri khas akan muncul pada
setiap karya Anda dan itu penting untuk dapat bertahan di tengah pasar yang sarat duplikasi,” jawabnya.
Masih dengan semangat berkarya yang konsisten, Leo kini tengah mengembangkan Indoestri Teluk Saba sebuah pembina usaha rintisan yang mendukung keberlanjutan bisnis lokal. “Dulu, bisnis besar memiliki manufaktur sendiri dengan ribuan karyawan. Itu tanggung jawab yang sangat besar dan saya tidak yakin generasi mendatang ingin direpotkan dengan operasional serumit itu,” cerita pria yang juga memilih bekerja bersama tim kecil beranggotakan lima orang di kantor pusatnya, sembari menjalin kolaborasi dengan berbagai mitra di berbagai penjuru Indonesia.
“Kami hadir untuk memandu para pengusaha baru dalam meningkatkan skala bisnis mereka melalui ekosistem yang telah kami bangun. Dengan berbagai bisnis yang nantinya berada di bawah binaan kami, pembelian borongan dari mitra ekstensif kami memungkinkan para pelaku usaha mendapatkan posisi negosiasi yang lebih kuat,” jelasnya.
Selaras dengan reputasi Leo, Indoestri Teluk Saba menjadi manifestasi terbaru dari gagasan-gagasan solutif yang menjadi ciri khasnya: selalu berpikir jauh ke depan, namun tetap berpijak pada realitas. Lewat langkah-langkah praktis, ia menjadikan ekosistem bisnis bukan sekadar wacana, melainkan alat pemberdayaan yang nyata.
WAWASAN
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Mazaraat Artisan Cheese
VIDEOGRAFI
Dok. Mazaraat Artisan Cheese
Di negeri yang kaya dengan ragam rasa mulai dari gurihnya rendang, hingga pedasnya sambal keju jarang menjadi pilihan utama. Meski cukup familier dengan keju, kebanyakan orang Indonesia mengenalnya dalam versi praktis dan pabrikan. Maka, ketika mendengar istilah keju artisan organik, bayangan pun melayang ke rak-rak dingin supermarket premium berisikan produk impor, bukan ladang hijau dan peternakan lokal di Nusantara. Namun, Mazaraat Artisan Cheese (Mazaraat) membalik asumsi itu sepenuhnya.
Pertemuan KINTAKA dengan Muhammad Najmi, pendiri Mazaraat yang akrab disapa Jamie menjadi pengingat bahwa kualitas tak mengenal batas geografis. Pada suatu sore yang tenang di Bel Étage, St. Regis Jakarta, tepatnya di sebuah sudut bernama Cheese Room yang dibuka setiap Sabtu sepanjang tahun 2025 ini, Jamie dan istrinya, Nieta Priscillia, menyambut kami dengan ramah, lalu menyajikan sepotong keju satu di antara lebih dari 100 variasi yang tersedia di sana yang membuka percakapan panjang tentang Mazaraat.
Topik obrolan kami segera bergeser dari soal rasa ke asal-usul Mazaraat yang begitu menggugah. Sebab jenama basis Yogyakarta ini bukan lahir dari ambisi bisnis, melainkan secercah harapan dari proses penyembuhan buah hati Jamie dan Nieta yang saat itu mengalami kebocoran jantung. Mengikuti anjuran dokter, keduanya menempuh pendekatan alami dengan memperbanyak asupan fermentasi seperti keju dan susu kefir dalam upaya pemulihan sang anak.
Beruntung, keduanya dapat memanfaatkan keterampilan membuat keju yang mereka peroleh dari sebuah kursus singkat dan kemudian berkembang menjadi hobi untuk tujuan mulia tersebut. Pada tahun 2015, keju tersebut secara tak sengaja dicicipi oleh Janti Wignjopranoto, seorang penyintas kanker sekaligus penggagas Pasar Kamisan di Yogyakarta. Terkesan oleh cita rasanya, Janti pun mengundang mereka untuk bergabung dalam pasar organik mingguan tersebut. Respon positif pelanggan lantas menjadi dorongan kuat bagi pendirian Mazaraat secara resmi.
Dengan awal perjalanan penuh makna yang telah berlanjut selama satu dekade, Mazaraat senantiasa bertransformasi menjadi simbol pemberdayaan komunitas dan keberlanjutan. Tak hanya membangun ekosistem di industri produk olahan susu domestik, namun juga menyisipkan visi berintegritas ke dalam setiap aspek bisnisnya.
Sebagaimana produksi dan prasarana pembuatannya dilakukan di Indonesia, pemanfaatan rempah lokal pun menjadi kekuatan Mazaraat dalam memperkaya karakter keju artisannya. Saat ini, katalog Mazaraat mencakup 22 jenis keju, namun empat di antaranya memiliki makna paling personal, yaitu dinamai dari anak-anak Jamie dan Nieta sebagai wujud cinta. Khayya (si sulung) untuk camembert Crottin de Chavignol, Athan (anak kedua) untuk triple cream camembert dengan jamur putih, Ibra (anak ketiga) untuk blue cheese, dan Alpine untuk Swiss Appenzeller yang terinspirasi dari Aideen (si bungsu).
Selain itu, ada juga keju yang tak kalah berartinya bagi Jamie: Tomme de Merapi. Keju ini mengadopsi teknik pembuatan Tomme de Savoie, namun namanya diubah oleh koki kenamaan William Wongso, mengingat asal usulnya berasal dari susu sapi yang merumput di tanah subur sekitar Gunung Merapi. Keistimewaannya terletak pada rumput yang tumbuh di atas abu vulkanik, memberi sang keju karakter mineral yang semakin kaya seiring waktu.
Variasi eksklusif lainnya adalah Tomme de Andaliman dengan sentuhan merica Batak dari Brastagi. Merupakan rempah liar yang tumbuh alami dan tak bisa dibudidayakan, sensasi pedas Andaliman memberi kejutan rasa yang belum pernah ada
(Atas) Ragam tipe mentega yang ditawarkan oleh ekspansi lini Naaya (dok. Mazaraat Artisan Cheese) (Bawah) Mazaraat memiliki presensi di St. Regis Cheese Room dan terlibat dalam program santap tengah pagi dan berbagai lokakarya kreatif tentang keju (dok. Mazaraat Artisan Cheese)
sebelumnya pada tipe keju tersebut. Ada juga Tomme de Kluwek yang lahir dari kecintaan Jamie dan Nieta terhadap masakan khas Jawa Timur, Rawon. Dengan eksperimen unik, mereka menyuntikkan rasa fermentasi kluwek ke dalam keju. Hasilnya? Rasa umami yang begitu menggoda lidah, sehingga tak heran Tomme de Kluwek berhasil terjual ludes dalam kurun waktu dua jam saja saat dibawa ke ajang Boutique Fairs Singapura.
Melihat penerimaan pasar dan penawaran keju yang semakin matang, Mazaraat memutuskan untuk berekspansi ke produk olahan susu baru: mentega di bawah label bernama Naaya. Produk ini tak hanya memperkaya portofolio Mazaraat, tetapi juga menjadi penanda transformasi citra ke tahap selanjutnya.
Seiring dengan meningkatnya skala produksi dan variasi penawaran, tentunya tidak mudah untuk menjaga kualitas dan keberlanjutan bisnis. “Mulai dari proses, suhu, hingga kelembapan, setiap keju punya kebutuhan yang berbeda. Semakin banyak jenisnya, semakin kompleks tantangannya,” ujar Jamie. “Karena itu, strategi kami ke depan adalah mengembangkan sistem produksi terdesentralisasi dengan menggandeng koperasi-koperasi lokal,” lanjutnya dengan nada optimis.
Selain empat keju bernama anak-anak Jamie dan Nieta yang tetap menjadi inti produksi Mazaraat di Yogyakarta, jenis keju lainnya kini dikembangkan
di berbagai daerah. Sejak tahun 2023, Cheddar dan Colby diproduksi di koperasi Setia Kawan, Pasuruan, sementara Emmental diproses di Sumatra Barat melalui kemitraan dengan peternak lokal. Begitu juga dengan produk mentega Naaya yang diproduksi di Bogor.
Keputusan Mazaraat untuk berekspansi ke produk mentega bukan tanpa tantangan, sebagaimana fokus sang jenama sejak awal memanglah terletak pada keju. “Investasi dan pendekatan dalam mengelola keju dan mentega sangat berbeda,” ujar Chief Marketing Officer Mazaraat, Ardani Yusuf Prawira. “Meski menantang, kami memilih untuk melangkah ke depan berkat
Salah satu mitra peternakan Mazaraat di Yogyakarta yang menjamin kualitas susu sapi melalui praktik grass-fed dengan memberikan pakan rumput segar sebagai sumber nutrisi utama (dok. Mazaraat Artisan Cheese)
perpanjangan tangan yang mendukung kami mendirikan pabrik di Bogor, mengelolanya, dan menangani distribusi secara daring,” pungkasnya.
Selain meningkatkan efisiensi, alokasi produksi di berbagai lokasi juga menjadi keunggulan strategis bagi Mazaraat. Indonesia, dengan sinar matahari sepanjang tahun, memiliki lebih dari 400 jenis tanaman hijau endemik yang ideal sebagai pakan sapi dan kambing perah. Praktik dan lokasi geografi ini sesuai dengan konsep terroir yang menggambarkan bagaimana iklim, tanah, jenis pakan, dan suhu saling berpadu untuk membentuk karakter rasa suatu produk pangan, termasuk keju artisan Mazaraat.
DARI HULU
Tak berhenti sampai di situ, produksi terintegrasi Mazaraat juga dimungkinkan berkat pendekatan dari hulu ke hilir yang terdiri dari lima klaster dengan pemangku kepentingannya masing-masing. Kelimanya adalah pakan ternak, peternakan, pemrosesan, distribusi dan perdagangan, serta relasi pelanggan. Jamie sendiri fokus pada departemen pemrosesan karena Mazaraat dijual secara mandiri pada awal berdirinya.
Bagi Jamie, kendala terbesar adalah saat berkutat dengan departemen peternakan yang bukan menjadi keahliannya. “Kami sempat beternak 15 ekor kambing, tetapi hanya dibutuhkan waktu dua bulan untuk menyadari bahwa 10 di antaranya kekurangan gizi, dan lima lainnya mengalami disorientasi seksual. Akhirnya kami mengoptimalkan prosesnya dengan memindahkan kambing-kambing tersebut ke peternak sapi perah yang
selama ini menjadi pemasok susu sapi Mazaraat,” ujar Jamie.
Berangkat dari pengalaman tersebut, ia lalu menyadari pentingnya membudidayakan para peternak lokal yang menjadi mitranya di Pasuruan, Solok, Kudus, dan Yogyakarta. Hal ini dilakukan dengan mengedukasi mereka agar memiliki tingkat pemahaman yang sama terhadap kualitas produksi. “Saya memiliki harapan tinggi pada peternak muda untuk menghasilkan keju terbaik. Bahkan, kami juga memberangkatkan mereka ke Selandia Baru, Belanda, atau ke mitra kami di Denmark, Arla, untuk transfer pengetahuan,” tutur Jamie ketika ditanya tentang upaya yang dilakukan. “Hal yang saya tanamkan adalah bahwa mereka harus memiliki kualitas untuk menjadi rebutan dari para ibu yang sedang mencari menantu,” lanjutnya sembari tertawa.
Karena menguasai penggunaan teknologi dan platform digital, para peternak muda dinilai lebih produktif ketimbang generasi orang tua mereka. Urgensi strategi budidaya ini juga dilatari oleh menipisnya jumlah peternak di berbagai daerah Indonesia. Sebagai ilustrasi, 70% peternak di Jawa Timur umumnya sudah berusia di atas 50 tahun. Jika isu ini luput dari perhatian, empat tahun lagi Indonesia akan krisis peternak. “Bisa saja saya pindah ke Selandia Baru yang memiliki banyak susu. Tetapi selama masih banyak harapan, saya akan tetap bermukim dan mendorong ekosistem ternak di dalam negeri,” tutup Jamie.
Sejatinya, harapan tersebut juga dilandasi oleh visi Mazaraat yang lebih masif. Ke depannya, Jamie ingin mencetak Sumber Daya Manusia yang memenuhi standar Mazaraat. Karena tujuan sang jenama akan bergeser dari fokus produksi menjadi entitas yang mampu melakukan kurasi, standardisasi, dan sertifikasi untuk menjadi yang terdepan dalam hal pembuatan keju artisan.
Sejumlah upaya membangun ekosistem inklusif tersebut pun perlahan sudah direalisasikan. Pertama adalah dengan mengajak berbagai pemangku kepentingan untuk bergabung sebagai bagian dari sistem yang saling menguntungkan. Hal ini juga mencerminkan praktik yang dapat ditelusuri dari hulu ke hilir. Upaya tersebut kemudian dilembagakan secara hukum melalui
Koperasi Multi Pihak Gapura Bumi Mandiri pada akhir tahun 2024— berbasis pada kesamaan kepentingan, bukan sekadar kegiatan.
Ekosistem tersebut kini mencakup distributor yang berkembang menjadi importir, serta pelaku industri pangan. Jaringan koperasi pun kian meluas, mengukuhkan ekosistem yang sejak 2019 tumbuh dari rantai kecil menjadi kolaborasi antardaerah yang solid. Kini, Koperasi Setia Kawan di Jawa Timur, Koperasi Mandiri Farm di Bogor, dan Koperasi Sirukam di Sumatra
Barat turut bergabung dalam ekosistem Mazaraat.
Selain itu, Mazaraat juga bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada untuk mengembangkan pabrik keju berskala mikro di dalam Pusat Studi Pangan dan Gizi mereka. Fasilitas pelatihan dan laboratorium yang ada di situs ini juga memungkinkan seluruh keju Mazaraat untuk memenuhi kualitas tertinggi dan memenuhi standar Halal, BPOM, serta HACCP.
Dari kisah yang dibagikan Jamie, tergambar jelas bahwa Mazaraat merupakan manifestasi kasih sayang yang dimulai dari keluarga, meluas ke komunitas, dan menjangkau mereka yang membutuhkan. Sebuah bisnis yang berakar pada empati, lalu bertumbuh menjadi integritas. Pada akhirnya, citra rasa terbaik kerap lahir dari niat paling tulus.
WAWASAN
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Arinta Wirasto
FOTOGRAFI
Dok. Pable
VIDEOGRAFI
Dok. Pable
Tahukah Anda bahwa Indonesia diprediksi akan menghasilkan 3,9 juta ton limbah tekstil pada tahun 2030? Jumlah yang memprihatinkan ini tidak hanya mencerminkan masalah konsumsi berlebih, tetapi juga lemahnya sistem pengelolaan limbah di Tanah Air yang belum berpihak pada keberlanjutan. Pertanyaannya, sampai kapan kita akan terdiam sementara limbah pakaian terus mencemari lingkungan?
Berangkat dari keresahan serupa, Aryenda Atma yang akrab disapa Atma, akhirnya menghadirkan sebuah solusi berkelanjutan bernama Pable. Meski begitu, upaya-upayanya belum terwujud secara optimal, sebab masyarakat belum sepenuhnya tersadar akan urgensi isu ini. Alhasil terdapat kesenjangan dalam pola pikir terkait konsumsi ramah lingkungan.
Mungkin, salah satu hal yang melatari resistensi masyarakat adalah karena mereka sudah merasa kewalahan dengan isuisu prominen lain yang tidak kalah pentingnya hari ini. Mulai dari pemanasan global, pergolakan politik, serta ketidakstabilan ekonomi. Di tengah kompleksitas itulah, inisiatif berkelanjutan yang diusung Pable menjadi semakin krusial dan bermakna.
Menariknya, Pable juga menerapkan pendekatan yang lebih bersahabat. Alih-alih menyebarkan narasi yang menakutkan, mereka merangkul masyarakat untuk melihat perspektif sebaliknya. Menurut Atma, jika ingin berkontribusi, banyak sekali langkah yang bisa diambil. Tak harus besar, aksi sekecil apa pun akan memiliki dampak signifikan selama dilakukan secara konsisten.
Di samping segala tantangannya, Atma percaya bahwa potensi untuk membentuk ekosistem keberlanjutan di Indonesia tetap ada. Dengan spirit tersebut, Pable hadir bukan hanya sebagai solusi konkret, tetapi juga sebagai ajakan untuk merenungkan kembali pola konsumsi. Sebuah ajakan untuk mulai dari hal-hal sederhana dari rumah, dari diri sendiri, dari sekarang.
Kisah Pable bermula pada tahun 2020, saat Atma tanpa memiliki latar belakang di industri mode atau tekstil— menemukan sebuah fenomena yang membuka matanya. Saat menemani suami ke Surabaya untuk mencari fasilitas pergudangan, ia melihat sebuah depot penuh dengan tumpukan limbah tekstil. Temuan sederhana ini kemudian memantik beberapa pertanyaan yang mendorongnya untuk mencari tahu lebih lanjut. Bagaimana
limbah tekstil ini bisa terkumpul? Dari mana asal-usulnya? Siapa saja pihak yang terlibat?
Keingintahuan tersebut lalu melatari pendirian Pable untuk memaksimalkan potensi daur naik dan mengedukasi masyarakat tentang ekonomi sirkuler. Lewat slogan We Are Circular yang mengadopsi metode produksi rantai tertutup, Pable berusaha memberi kesempatan kedua pada limbah
tekstil dan pakaian bekas pakai. Sebelum membahas prinsip sirkuler, perlu disadari bahwa pola konsumsi masyarakat saat ini baik dalam bentuk makanan maupun pakaian sering kali berujung pada limbah yang menumpuk di akhir siklus pemrosesan. Bahkan, sering kali membludak di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Fenomena ini merupakan konsekuensi dari pola konsumsi berlebihan yang didorong oleh tiga prinsip ekonomi linier: mengambil, menggunakan, lalu membuang. Di sisi lain, ekonomi sirkuler bertanggung jawab untuk memastikan bahwa siklus hidup material berjalan secara berkelanjutan. Secara garis besar, Pable membagi strategi penerapan prinsip ini melalui dua program utama bernama Pabtex dan Pabmove.
Pabtex dikonsepsikan untuk menjual tekstil daur ulang yang dikelola secara terintegrasi oleh Pable. Mulai dari penyortiran material, pengolahan residu, pemotongan, pemrosesan menjadi serat benang, hingga penenunan menjadi produk terbarukan. Hasil tekstil tersebut kemudian dijual oleh Pable secara bisnis ke bisnis, maupun ke konsumen akhir agar dapat dimanfaatkan kembali sebagaimana mestinya. Termasuk di antara penawaran Pabtex adalah kain Sekir, Lungsi, dan Malet yang digarap dari limbah plastik dan tekstil, serta Pakan yang tercipta sepenuhnya dari residu kain katun.
Selain itu, Pable juga memahami bahwa hasrat tanpa tujuan adalah usaha sia-sia. Dengan demikian, Pabmove dikonsepsikan sebagai bukti bahwa We Are Circular bukanlah sebuah klaim semata. “Pabmove adalah program yang saya banggakan karena selaras dengan isu-isu terkini yang harus dituntaskan dan misi utama Pable. Melalui inisiatif ini, semakin banyak orang memahami dan mempercayai nilai yang ingin kami sampaikan,” tuturnya.
(Atas) Uniform Disposal Program, memberi kesempatan kepada para perusahaan untuk mem-pertanggungjawabkan limbah seragam yang diproduksinya (dok. Pable) (Kanan) Atma adalah seorang pegawai korporat yang tidak mengetahui apapun tentang dunia mode, hingga kunjungan ke sebuah depot tekstil di Surabaya mengubah segalanya (dok. Pable)
Termasuk di antara dua agenda
Pabmove adalah Uniform Disposal Program dan Dropbox. Menariknya, program pengelolaan seragam bekas ini lahir dari pengalaman pribadi Atma saat masih bekerja sebagai pegawai korporat. Ia menyaksikan sendiri bagaimana kaos dan seragam baru selalu diberikan kepada pegawai setiap kali ada peluncuran produk, pertemuan, atau acara lainnya. Setelah pindah ke Surabaya dari Jakarta, ia menyadari bahwa seragam-seragam korporat tersebut sudah menumpuk dalam dua koper.
Fakta yang saya dapatkan ketika melakukan riset Uniform Disposal Program ini, ternyata sebuah perusahaan menghasilkan sekitar 2.0003.000 unit seragam yang berisiko tidak terpakai lagi karena terus diproduksi
ulang demi memperbarui citra perusahaan,” ujar Atma. Dengan demikian, Uniform Disposal Program ini hadir sebagai jawaban untuk mengatasi tiga masalah sekaligus: pembuangan seragam yang tidak digunakan, tercemarnya identitas perusahaan, dan dampak negatif terhadap masyarakat.
Sementara itu, program kotak donasi Dropbox yang diletakkan di sejumlah titik strategis Jakarta bertujuan untuk meningkatkan pemahaman seputar konsumerisme. “Kami percaya bahwa masyarakat berhak memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai limbah tekstil dan daur ulang. Harapannya, perubahan perilaku konsumen tidak lagi berpusat pada gaya hidup konsumtif, melainkan cara berpikir dan bertindak yang lebih berkelanjutan,” ujar Atma.
Jenama mode Lekat mengusung tekstil daur ulang
Sekir, Suri, dan HBone dari Pable dalam koleksi yang
dirilis di Plaza Indonesia Fashion Week 2024 (dok. Lekat)
Komitmen Pable untuk menciptakan ekosistem berkelanjutan tidak hanya terwujud melalui daur ulang tekstil, tetapi juga dalam program pemberdayaan penenun di Desa Karangrejo, Pasuruan. Pilihan Pable untuk berkolaborasi dengan komunitas lokal dalam proses manufaktur bukan untuk berinvestasi membuat garmen sendiri. “Kami menyadari bahwa untuk mengatasi tantangan sampah tekstil, inklusivitas adalah kunci utama, dan kami tidak bisa melakukannya sendirian,” ujar wanita yang sebelumnya berkarier di sektor otomotif dan teknologi informasi ini.
Pemberdayaan tersebut berfokus pada peningkatan produktivitas tanpa mengganggu prasarana yang ada, sekaligus pengembangan keterampilan penenun lewat transfer informasi. “Berkunjung ke rumah para penenun itu bak memasuki museum dengan
Koleksi kapsul yang diluncurkan oleh Pable dalam kolaborasinya dengan Open Quarter dan Galih Richardson (dok. Open Quarter)
berbagai mesin tua yang dikreasikan dari mesin giling padi dan suku cadang bekas motor Suzuki,” kenang perempuan yang terpilih sebagai Her World Woman of the Year 2022 tersebut.
Awalnya, mereka hanya terbiasa menenun motif kotak-kotak untuk serbet. Namun, Atma melihat potensi besar untuk menciptakan corak baru. Setelah memperkenalkan desain dari Inggris dan Italia, para penenun justru antusias untuk bereksperimen dan akhirnya berhasil menciptakan kain dengan motif serupa. Atma mengakui bahwa ini adalah peran inklusif yang dimainkan oleh Pable menjembatani pengetahuan dan keterampilan dunia luar dengan komunitas di desa yang berlokasi di Jawa Timur tersebut.
Sejak 2021 hingga 2024, Pable aktif mengedukasi konsumen melalui kampanye ekspresif, termasuk kolaborasi
dengan Joyland Festival di Bali dan Jakarta, serta instalasi seni di Museum Nasional Indonesia. Lewat karya kolaborasi tersebut, Pable mengajak publik melihat limbah tekstil dengan perspektif terbuka sembari menciptakan ruang dialog agar pertanyaan kritis muncul secara alami.
Pada 2024, Pable mulai merambah pasar global lewat koleksi kapsul di Pitti Uomo, Italia, bersama Galih Richardson dan Open Quarter. Kolaborasi ini menjadi langkah awal memperkenalkan material daur ulang dari limbah lokal Indonesia dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) 100% melalui desain yang relevan untuk pasar internasional.
Dengan semua upaya mulia tersebut mulai dari riset material, edukasi publik, hingga konsistensi dalam menjalankan praktik sirkuler tak
heran bila Pable mengantongi berbagai penghargaan dan apresiasi. Pertama adalah penghargaan Best Design Award 2022 dalam ajang Good Design Award yang diinisiasi oleh Kementerian Perdagangan.
Penghargaan ini membuka kesempatan bagi Pable untuk mewakili Indonesia dalam ajang internasional G Mark yang berlangsung di Jepang. Di tahun 2023, Pable dianugerahi penghargaan The Best Impact Entrepreneur oleh Yayasan Sari Lestari. Selanjutnya, Pable juga berhasil memperoleh sertifikasi Recycled Claim Standard (RCS) 100 dari Textile Exchange di bulan Februari 2025. Namun, apresiasi hanyalah permulaan dari perjalanan panjang menuju perubahan sistemik.
Di balik sejumlah tonggak pencapaiannya, tantangan yang lebih besar masih menanti Pable. Menurut Atma, Pable tidak bisa menjadi satu-satunya katalis perubahan dalam industri daur ulang tekstil. Peran serta dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari konsumen hingga pemerintah, sangat diperlukan untuk mempercepat pengurangan limbah tekstil dan memastikan keberlanjutan upaya yang telah dilakukan.
Di tingkat konsumen, penting untuk menjadi lebih kritis dalam membeli pakaian terutama dari label mode cepat dan mempertimbangkan siklus hidupnya setelah tidak terpakai. Dari sisi pemerintah, kebijakan untuk melacak ketertelusuran material seharusnya menjadi prioritas, sebagaimana yang telah diterapkan di negara-negara maju seperti Australia, Amerika Serikat, dan Britania Raya.
Di Indonesia sendiri, pemerintah telah menetapkan target Tingkat Input Material Sirkular sebesar 2% dan
Tingkat Daur Ulang sebesar 12%, dan menambah Tingkat Daya Guna untuk mendorong transisi pengoptimalan ekonomi sirkuler dalam hal pangan, ritel, elektronik, tekstil, dan konstruksi. Meskipun tantangan tetap ada, termasuk maraknya impor material yang menekan pelaku lokal, Atma menaruh harapan besar pada kebijakan tersebut.
Di tengah kompleksitas persoalan ini, Pable hadir layaknya pahlawan masa kini yang tidak menunggu keadaan membaik, tetapi justru bergerak lebih dulu untuk menciptakan perubahan. Dalam kontribusinya, Pable tidak sekadar menghadirkan solusi, tetapi juga mengajak masyarakat untuk ikut menyusun narasi baru: bahwa industri tekstil bisa berubah, asalkan semua pihak bersedia menciptakan perubahan nyata bersama.
(Atas) Pable dan Indosole berkolaborasi menciptakan sandal revolusioner dari ban bekas dan kain daur ulang (dok. Pable) (Bawah) Instalasi ‘Ambyar’ memiliki filosofi bahwa jika penggunaan kain terus berlangsung tanpa kendali, maka limbahnya bisa mengalir deras bak air terjun (dok. Pable)
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Dwi Lukita
VIDEOGRAFI
Calvionita
Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, citra Tiongkok acap kali terbatas pada gambaran kultur tradisional yang kental, sebagaimana tercermin dalam film-film silat klasik atau opera sabun bergenre romansa. Pandangan ini menggambarkan Tiongkok sebagai negara yang sangat berakar pada tradisi, namun terkesan kurang modern. Khususnya bila dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya, seperti Jepang atau Korea Selatan, yang lebih dikenal dengan kemajuan teknologinya.
Tetapi ini tahun 2025, dan Tiongkok telah bertransformasi menjadi magnet wisata yang menarik perhatian begitu banyak pelancong. Bukan hanya dari wilayah Asia, namun juga Eropa dan Amerika. Bagaimana bisa? Untuk menjawabnya, kita hanya perlu menaiki mesin waktu dan kembali ke sepuluh tahun lalu.
Kala itu, Tiongkok baru memperkenalkan program ambisius bernama Made in China 2025 yang bertujuan menggeser model ekonomi lama mereka dengan menjadikan teknologi dan inovasi sebagai motor utama negara. Hasilnya? Selain lahirnya raksasa teknologi seperti Alibaba dan Tencent, transformasi ini turut merambah sektor pariwisata. Kota-kota di Republik Rakyat Tiongkok kini menyuguhkan lanskap sejarah dan budaya yang dielevasi dengan pengalaman futuristik nan menakjubkan.
Alih-alih terjebak dalam spekulasi atau cerita viral, mari menelisik lebih dalam fenomena teknologi mutakhir yang menjadikan Tiongkok sebagai pelopor inovasi. Dengan kemajuan pesat di sektor kecerdasan buatan dan Internet untuk Segala (IoT), Tiongkok kini memimpin revolusi industri baru, yang turut mengubah tatanan hidup masyarakat.
Inovasi membuat dinamika masyarakat Tiongkok berlangsung begitu cepat. Mereka tidak takut gagal, asalkan terus bergerak maju (dok. Pexels)
Di Tiongkok, teknologi telah meresap begitu dalam ke kehidupan sehari-hari, mengubah cara kita berinteraksi dengan dunia sekitar. Aktivitas sederhana seperti membeli makanan, berbelanja kebutuhan rumah tangga, atau memesan transportasi, kini bisa dilakukan hanya dengan beberapa sentuhan di layar ponsel. Meskipun Anda sudah familiar dengan konsep seperti berbelanja daring atau memesan taksi lewat aplikasi, Tiongkok sukses menyempurnakannya ke tingkat yang lebih mutakhir.
Sentimen tersebut turut dibagikan oleh Intan Hannes, seorang pelajar yang mengalami langsung betapa terintegrasinya teknologi dalam kehidupan sehari-hari saat menempuh studi di Universitas Nottingham, Ningbo. Menjelang keberangkatannya pada tahun 2022, ia sempat diliputi kekhawatiran terkait keterbatasan akses terhadap platform pencarian Google, sehingga terpikir untuk membawa beberapa prasarana dari Indonesia sebagai antisipasi.
Namun, setibanya di sana, kekhawatiran Intan seketika sirna begitu ia mengalami langsung kemudahan yang ditawarkan oleh aplikasi Taobao. Lebih dari sekadar tempat belanja daring, Taobao menjadi pusat kendali aktivitas yang menghubungkan pengguna dengan berbagai layanan tanpa perlu berpindah platform.
Aplikasi belanja
daring Taobao berjasa memudahkan keseharian masyarakat Tiongkok (dok. Taobao)
“Di Indonesia, setiap kali berbelanja daring, selalu ada berbagai pilihan metode pembayaran. Namun, di Tiongkok, hampir semuanya terintegrasi melalui dua aplikasi utama: Alipay dan WeChat. Kedua aplikasi ini berfungsi layaknya kunci yang dapat menyelesaikan hampir semua kebutuhan sehari-hari,” ujar Intan.
Pengalaman Intan semakin kaya ketika ia menyambangi kota Shenzhen, yang kerap disebut sebagai Silicon Valley versi Tiongkok. Seperti halnya pusat riset di kota San Fransisco tersebut, Shenzhen juga telah menjadi rumah bagi sejumlah perusahaan teknologi terkemuka dan berkembang pesat dalam hal inovasi.
Intan menyaksikan langsung bagaimana teknologi tidak hanya hadir dalam bentuk produk-produk mutakhir, tetapi juga dalam bidang jasa. Salah satu pengalaman yang paling berkesan adalah ketika ia
memesan makanan secara daring. Di Shenzhen, pengantaran makanan tidak lagi melibatkan kurir manusia, melainkan dilakukan oleh perangkat drone. Sungguh sebuah inovasi yang semakin mengubah lanskap layanan pengantaran dengan efisiensi dan kecepatan luar biasa.
Setelah pesanan tiba, makanan langsung diantarkan ke kios khusus yang terletak di pinggir jalan. Pengguna hanya perlu memindai barcode dan melakukan identifikasi sederhana. Dalam hitungan detik, makanan siap disantap tanpa harus menunggu atau bertemu langsung dengan penjual.’
Inovasi tersebut bukanlah soal mengejar prestise atau mengikuti tren teknologi terkini. Tiongkok benarbenar menanggapi tantangan zaman dengan solusi yang berorientasi pada aksesibilitas, serta efisiensi kehidupan masyarakatnya.
Fenomena ini bukan terjadi secara kebetulan, melainkan merupakan bagian dari visi besar Tiongkok dalam membentuk ekosistem digital yang menyatu dalam setiap lini kehidupan. Pendekatan yang sistematis terhadap integrasi teknologi ini juga diyakini oleh Wilson Huang, yang sejak kecil sudah sering berkunjung ke Tiongkok untuk urusan pekerjaan mengalami dan menyaksikan langsung perubahan pada negeri Tirai Bambu tersebut. Beliau berpendapat, bahwa di balik kenyamanan dan efisiensi tersebut, terdapat ambisi kuat untuk mem-
bangun infrastruktur berbasis Internet untuk Segala (IoT) di ruang publik dan ranah personal.
“Sebagai ilustrasi, beberapa klub malam memiliki aplikasi kencan tersendiri seperti Tinder, di mana pengunjung bisa saling terkoneksi dengan mudah. Dari segi keamanan, Tiongkok dikenal dengan sistem pengawasan yang sangat canggih, sehingga banyak yang enggan melakukan pelanggaran hukum karena sadar akan konsekuensi seriusnya,” tutur Wilson.
Sebagai pelaku bisnis keluarga di bidang impor mesin, Wilson memiliki pandangan yang cukup tajam terhadap perkembangan industri di Tiongkok. “Menurut saya, masyarakat Tiongkok sebenarnya tidak terlalu sering membicarakan kecerdasan buatan layaknya di Indonesia. Teknologi AI di sana lebih banyak dimanfaatkan dalam konteks perusahaan besar,” lanjutnya.
Alih-alih fokus pada narasi seputar teknologi canggih, Wilson justru menyoroti keberanian pemerintah Tiongkok dalam mendorong kemajuan inovasi. “Mereka tidak ragu untuk berinvestasi secara agresif di berbagai sektor, seperti manufaktur, pendidikan, dan infrastruktur. Setahu saya, dana yang dialokasikan ke sektorsektor tersebut bisa mencapai sekitar Rp4 Triliun bila dikonversi. Selain itu, mereka pun tidak pernah takut gagal, yang penting terus bergerak maju.” tutup Wilson.
Kemutakhiran di Tiongkok tidak hanya tercermin dalam produk dan jasa, tetapi juga dalam desain urban dan lanskap kota. Chongqing yang sering disebut sebagai kota distopia adalah contoh sempurna penggabungan infrastruktur futuristik dengan kondisi alam yang dramatis. Dengan populasi lebih dari 30 juta jiwa, kota ini memiliki jaringan transportasi canggih, seperti sistem kereta bawah tanah yang luas, bangunan yang saling terhubung melalui jembatan udara, serta teknologi smart city untuk mengelola lalu lintas dan memantau masalah dengan cepat.
Meskipun kota ini mengalami perkembangan pesat, daya tarik alam dan budaya tetap terpelihara. Seperti halnya banyak kota di Tiongkok, meskipun kemajuan teknologi membentuk wajah kota, rasa hormat terhadap alam dan sejarah tetap menjadi bagian integral dari identitasnya. Hal ini tercermin dalam pilihan destinasi wisata yang diminati banyak orang, termasuk Intan dan Wilson.
Ketika ditanya mengenai tempat yang paling ingin mereka kunjungi kembali, keduanya justru mengarahkan pilihannya pada destinasi yang berakar kuat pada alam dan kebudayaan. Intan merasa Hangzhou adalah kota yang sangat nyaman. Sementara itu, bagi Wilson, kunjungannya ke Huangshan meninggalkan kesan mendalam. Ia juga pernah mengunjungi Bukit Salju di wilayah Yulong, serta daerah Yinan
yang berbatasan dengan Kamboja semuanya ia anggap sebagai tempat yang memukau.
Barangkali benar, kemajuan teknologi dengan segala pro dan kontranya akan membawa peradaban menuju efisiensi dan kenyamanan yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Namun, dalam konteks pariwisata, satu hal yang tak lekang oleh waktu adalah ketertarikan manusia terhadap akar kebudayaan yang autentik.
Teknologi mungkin mengubah cara kita menjalani hidup sehari-hari, tetapi jiwa sebuah perjalanan tetap berada pada eksplorasi yang lebih dalam, meresapi budaya keindahan alam yang melampaui inovasi. Dewasa ini, Tiongkok menawarkan keduanya: pemandangan yang memanjakan mata sekaligus menggugah pikiran.
Eksterior Beijing National Stadium menawarkan desain bak kandang burung nan futuristik (dok. TransIndus)
Rasanya pantas untuk membawa pertanyaan ini ke ranah yang paling filosofis. Mulai dari era filsuf kuno seperti Plato, hingga teoretikus media Marshall McLuhan, banyak yang membahas siklus kehidupan. Pembahasannya berkisar dari awal mula manusia menciptakan “alat”, hingga evolusinya dalam membentuk, mengubah, dan mendefinisikan gaya hidup kita. Jadi, siapakah yang membentuk siapa?
Sejatinya, inisiasi teknologi selalu berawal dari kegelisahan manusia untuk memajukan atau mempermudah kehidupan.
Tentunya, konteks “mempermudah” ini pun bervariasi, bergantung pada ide dan imajinasi penciptanya. Inovasi yang bertahan akan mengubah sesuatu yang awalnya hanya konsep di kepala seseorang menjadi utopia kolektif tentang cara menjalani hidup.
Lihatlah bagaimana dalam lima tahun terakhir, gaya hidup kita kian dipenuhi perangkat berpredikat “pintar”. Kesadaran akan kesehatan fisik dan mental kian meningkat pascapandemi, mendorong berbagai jenama merilis inovasi serupa. Selain kesehatan, ragam fitur serba bisa yang seakan memensiunkan profesi asisten pribadi juga menjadi fokus dari terobosan tanpa batas dari para inovator teknologi.
AKSES KONTEN MULTISENSORI
PENULIS
Dwi Lukita
VIDEOGRAFI
Kristy G. Lantang
Tak heran jika segenap individu kini mengandalkan Apple Watch untuk mengukur detak jantung, jumlah langkah harian, hingga kualitas tidur. Sementara itu, sebagian lainnya sudah terbiasa mengatur jadwal lampu dan penyejuk udara di rumah berkat LG ThinQ Living. Sisanya? Tinggal berbincang dengan Siri atau Google Assistant untuk kebutuhan lainnya.
Fenomena ini mengisyaratkan narasi positif tentang meningkatnya kualitas hidup manusia. Dari segi kesehatan, teknologi pintar membantu kita lebih sadar akan faktor dan aktivitas fundamental yang sebelumnya terabaikan. Dalam konteks keseharian, gawai pintar dianggap mampu menciptakan hidup yang lebih teratur, nyaman, dan memuaskan.
Puncaknya, kini penggunaan Artificial Intelligence (AI) semakin marak. “Akal imitasi” ini tak sekadar membantu, tetapi juga mampu berperan sebagai apa pun yang dibutuhkan. Baik menjadi rekan kerja dan konsultan bisnis, maupun kamus berjalan bahkan teman curhat.
Kini, Anda bisa dengan mudah meminta ChatGPT menyelesaikan berbagai tugas kerja dasar. Mulai dari menulis dokumen, hingga menciptakan ide konten, semua dilakukan dengan cepat dan efisien. Bagi sebagian orang, hasil kerja mesin tersebut patut diperhitungkan. Lebih dari itu, beberapa aplikasi berbasis AI kini mampu merekayasa gambar, ilustrasi, suara, dan video. Teknologi ini dikenal dengan istilah deepfake
Banyak yang memprediksi bahwa AI akan merevolusi kehidupan profesional bahkan personal dalam skala besar. Salah satu tandanya adalah semakin banyak perusahaan yang mengadopsi AI sebagai jargon pemasaran mirip dengan tren Metaverse beberapa waktu lalu.
Namun, pada titik inilah pertanyaan utama tulisan ini menjadi kian relevan. Ketika kita semakin menggantungkan banyak aspek kehidupan pada teknologi pintar, muncullah sejumlah kegelisahan. Apakah AI akan menjadi lebih pintar daripada kita? Apakah pekerjaan kita akan sepenuhnya digantikan oleh robot? Meskipun terdengar seperti plot klise film fiksi ilmiah, ketakutan ini mencerminkan bahwa nilai eksistensi manusia mulai dipertanyakan.
Sejumlah media dan jurnal penelitian mulai mengangkat narasi bernada kontra terhadap fenomena teknologi pintar. Dilansir dari The Wall Street Journal, ketatnya persaingan perangkat pintar justru mendorong sebagian jenama merilis produk dengan fitur yang tidak praktis, tidak penting, bahkan terkesan dipaksakan.
Apple Watch Series 10 dibekali sensor kian canggih yang dapat memantau kualitas tidur, menganalisis detak jantung, hingga memperkirakan jadwal ovulasi (dok. Apple)
Wacana ini mengantarkan kita ke masalah yang lebih serius, yakni privasi dan keamanan data. Victoria Turk, seorang jurnalis dan penyunting senior di media basis San Fransisco, WIRED, menyampaikan kekhawatirannya di surat kabar
The Guardian. Menurutnya, kita tak perlu percaya mitos bahwa gawai pintar selalu merekam ucapan untuk keperluan iklan.
Sebab, tanpa itu pun, data yang dikumpulkan secara sukarela dari jam tangan pintar dan perangkat rumah sudah cukup bagi pengiklan untuk memahami kebiasaan kita secara detail. Kembali bicara AI, Anda barangkali sudah sering mendengar bagaimana AI turut memanaskan polemik di berbagai sektor kreatif. Khususnya dalam hal keaslian, hak cipta, dan kekayaan intelektual.
Di sisi lain, penggunaan AI yang berlebihan juga dikhawatirkan melemahkan keterampilan sosial dan mengaburkan konsep identitas. Memang, hubungan manusia dan teknologi ibarat pelukis di hadapan kanvas kosong. Kadang mengintimidasi, tetapi ketika waktunya tiba, kita
Dengan fokus pada pengembangan model bahasa yang lebih efisien, DeepSeek asal Tiongkok menghadirkan alternatif yang kompetitif di industri AI global (dok. Reuters)
Melalui aplikasi LG ThinQ, pengguna dapat mengatur perangkat rumah tangga lewat ponsel pintar mulai dari kontrol jarak jauh, hingga pemantauan energi (dok. LG)
bisa membuat sesuatu yang penuh arti. Perkembangan pesat teknologi akan selalu membawa disrupsi yang tak bisa dihindari.
Oleh karena itu, manusia tidak pernah benar-benar bisa memprediksi perubahan apa lagi yang akan terjadi, atau sejauh mana potensi AI dan gawai pintar ini di masa depan. Menilik kembali pemikiran filsuf di paragraf pembuka, alangkah penting untuk menyadari bahwa sepintar apa pun teknologi, ia tetap diciptakan sebagai penunjang hidup manusia semata.
Mungkin ini bukan sekadar soal teknologi, melainkan tantangan zaman tentang bagaimana kita memegang kendali dan mengenali diri sendiri.
Pada akhirnya, teknologi tidak akan pernah benar-benar ‘lebih pintar’ dari kita. Meskipun mereka sangat ahli dalam membuat manusia merasa sedikit lebih bodoh. Namun, dengan kehadiran AI yang mampu mengambil alih tugas-tugas sehari-hari, bukankah Anda justru memiliki lebih banyak waktu untuk berefleksi?
AKSES KONTEN MULTISENSORI
Erika Tania
Dalam lanskap industri horologi yang begitu menjunjung tinggi warisan, Chopard tidak hanya membanggakan kekayaan legasinya sejak tahun 1860, tetapi juga berdiri tegak sebagai salah satu dari sedikit maison yang tetap beroperasi secara independen hingga kini, di bawah kepemimpinan keluarga Scheufele. Kemandirian ini memungkinkan Chopard memiliki kebebasan kreatif dan inovatif untuk tetap setia pada visi orisinalnya, tanpa tekanan dari korporasi eksternal.
Pada tahun 1978, maison ini melangkah lebih jauh dengan mendirikan sistem produksi internal yang terintegrasi secara vertikal. Di tiga fasilitas manufaktur di Swiss, setiap proses mulai dari pengolahan material, produksi, hingga perakitan akhir merupakan cerminan dari keahlian lintas generasi dengan komitmen kuat terhadap keberlanjutan.
Bila dua fasilitas manufakturnya di Fleurier berfokus pada produksi movement satu didedikasikan untuk koleksi L.U.C, dan satu lagi untuk koleksi lainnya, seperti Alpine Eagle, Mille Miglia, dan Happy Sport fasilitas di Meyrin yang kami kunjungi bertanggung jawab atas produksi komponen non-movement, serta perakitan kreasi jam dan perhiasan. Dalam manufaktur ini juga terdapat smelter emas etis milik Chopard dan lokakarya komplikasi tinggi khusus untuk jam tangan bersertifikasi Poinçon de Genève.
FOTOGRAFI
Dok. Chopard PENULIS
VIDEOGRAFI
Dok. Chopard
Didirikan pada 1974, fasilitas Chopard seluas 26.000 meter persegi di Meyrin sekitar 20 menit dari pusat Jenewa berfungsi sebagai kantor pusat sekaligus manufaktur. Tur dimulai dengan melewati koridor panjang yang dipenuhi iklan lawas dan foto selebriti yang mengenakan karyanya selama ini. Sebuah prolog sempurna untuk mengapresiasi evolusi Chopard selama ratusan tahun legasi yang membentuk reputasi sang maison menjadi yang kita ketahui kini.
CERITA
Chopard telah berkomitmen menggunakan 100% emas etis dalam produksi seluruh jam tangan dan perhiasannya sejak Juli 2018 (dok. Chopard)
Begitu memasuki smelter emas Chopard, kami begitu terkesan oleh suasananya yang sederhana dan bersahaja. Jika bukan karena batangan emas yang terletak di atas meja, seseorang bisa saja mengira tempat ini adalah lokakarya biasa. Namun di sinilah Chopard memproduksi sekitar 50 kg emas etis setiap harinya.
Terdapat seorang artisan terampil dengan hati-hati mencampur butiran emas mentah untuk menciptakan berbagai warna emas. Untuk menghasilkan emas merah 5N khas Chopard, ia mencampur 6 kg emas murni, 1,5 kg tembaga, dan 0,5 kg
paduan logam lainnya. Untuk emas kuning, ia mengurangi kandungan tembaga dan menambahkan lebih banyak perak.
Sementara untuk emas putih, sang artisan menggunakan paladium. Campuran tersebut kemudian dilebur dalam tungku vakum yang dipanaskan dengan koil induksi hingga 1.000°C. Setelah mencair, campuran emas dituangkan ke dalam cetakan untuk membentuk batangan yang kemudian direndam dalam air dingin agar mengkristal. Terakhir, batang emas dipres menggunakan mesin rol hingga menjadi batangan 8 kg dengan kekerasan 210 Vickers.
Setiap batangan emas memerlukan waktu satu jam untuk diproduksi dan diberi nomor satu per satu. Sampelnya kemudian dikirim ke bagian Precious Metals Control (PMC) untuk sertifikasi, guna memastikan bahwa material tersebut memenuhi standar produksi.
Sesuai dengan dedikasi Chopard terhadap keberlanjutan, material sisa seperti potongan atau lipatan di ujung batangan akan dikembalikan ke smelter emas untuk dilebur kembali, menciptakan proses daur ulang yang bertanggung jawab.
Sejak Juli 2018, Chopard dengan bangga berkomitmen menggunakan 100% emas etis dalam produksi seluruh jam tangan dan perhiasannya. Sang maison mendefinisikan emas etis sebagai “emas yang berasal dari sumber bertanggung jawab dan telah diverifikasi memenuhi standar lingkungan dan sosial terbaik secara internasional.”
Selain itu, sejak 2023, Chopard juga mengintegrasikan LucentSteel™ dalam semua jam tangan mewah berbahan bajanya paduan logam yang terdiri dari 80% baja daur ulang. Selain lebih ramah lingkungan, bahan ini juga menawarkan daya tahan lebih tinggi serta tampilan lebih mengilap dibandingkan baja biasa.
Setelah memperoleh persetujuan dari tim kontrol kualitas, material emas maupun baja etis dihidupkan melalui berbagai tahap produksi. Proses dimulai dengan pencetakan, di mana emas etis atau LucentSteel™ dibentuk menjadi komponen jam dan perhiasan. Mulai dari case hingga pengait temali, setiap bagian melalui proses pengepresan berkali-kali untuk menjamin akurasi bentuk nan presisi.
Langkah berikutnya adalah finishing atau pemberian sentuhan akhir, di mana setiap bagian dipotong, diberi minyak, dan dipoles dari semua sisi dan sudut, menggunakan berbagai teknik yang mencerminkan keahlian istimewa dari artisan Chopard.
Sebagai contoh, kami ditunjukkan proses finishing pada bracelet Alpine Eagle. Karena desainnya yang rumit dengan banyak mata rantai persegi kecil, proses finishing menggunakan tangan bisa memakan waktu berharihari. Beberapa artisan berbeda bertanggung jawab atas bagian tertentu dari bracelet yang dengan piawai menerapkan sentuhan akhir baik dipoles, maupun satin untuk mencapai keseimbangan antara tekstur dan kilau.
Setelah disempurnakan dengan cermat, bagian-bagian ini akhirnya dirakit menjadi jam tangan dan perhiasan Chopard yang rupawan beberapa di antaranya dihiasi berlian dan/atau ragam permata berharga lainnya yang disematkan dengan ketelitian tinggi di lokakarya khusus. Setiap tahap perakitan dilakukan dengan perhatian ekstra terhadap detail, memastikan setiap komponen memenuhi standar ketat maison dalam hal keahlian, daya tahan, dan presisi desain.
untuk hasil yang maksimal (dok. Chopard)
Diperlukan setidaknya 17.000 jam untuk mengembangkan Calibre L.U.C 08.01-L yang mengantarkan L.U.C Full Strike pada penghargaan tertinggi di GPHG 2017 (dok. Chopard)
Perjalanan kami di fasilitas ini hampir selesai dan tidak ada penutup yang lebih sempurna daripada kunjungan ke lokakarya komplikasi tinggi tempat jam tangan bersertifikat Poinçon de Genève karya Chopard dibuat.
Di antara mahakarya tersebut adalah minute repeater pertama dari sang maison, yaitu L.U.C Full Strike nan legendaris, yang memenangkan penghargaan tertinggi Aiguille d’Or di Grand Prix d’Horlogerie de Genève (GPHG) tahun 2017. Hari itu, kami mendapat kesempatan langka untuk melihatnya dari dekat sebuah momen yang benar-benar magis bagi pengagum karya horologi.
Menurut pembuat jam yang kami temui, minute repeater milik Chopard berbeda dari yang lain karena menggunakan mekanisme tombol tekan unik yang dapat langsung mengaktifkan lonceng untuk menunjukkan jam, perempat jam, dan menit.
Saat ia memperagakan mekanisme lonceng, kami terpukau oleh suara yang sangat jernih dan tajam berkesinambungan tanpa jeda antar lonceng. Meski ditenagai oleh
movement yang sangat kompleks, case jam ini tetap tampil elegan dari segi proporsi tidak terlalu tebal atau besar namun tetap memberikan keindahan akustik yang optimal.
Performa luar biasa tersebut adalah kinerja Calibre L.U.C 08.01-L. Faktanya, hanya dua pembuat jam di Chopard yang memiliki keahlian untuk membuat minute repeater ini dari awal hingga selesai sebuah proses yang memakan waktu sekitar satu bulan per jam tangan. Setelah selesai, setiap jam tangan diperiksa kualitas suaranya secara langsung oleh Karl-Friedrich Scheufele, Co-President Chopard.
Selaras dengan slogannya yang berbunyi “artisan of emotions”, Chopard merangkai hasrat dan presisi dalam setiap level produksinya mulai dari pemilihan material yang bijak hingga sentuhan akhir yang penuh keahlian dengan kontrol kualitas yang ketat dan kolaborasi bermakna antar para artisan ahli. Komitmen teguh ini telah menempatkan sang maison sebagai pelopor dalam dunia pembuatan jam tangan dan perhiasan, serta mendefinisikan ulang arti kemewahan dengan integritas.
ALILA VILLAS ULUWATU
Jalan Belimbing Sari Tambiyak
Pecatu, Kuta Selatan, Bali
Tel: (0361) 848 2166
ANAK ELANG
HARLEY-DAVIDSON® OF JAKARTA
Jl. Raya Kebayoran Lama No. 1
Kebon Jeruk, Jakarta Barat
Tel: (021) 533 4000
ARTA DERAU
@artaderau
AYANA MIDPLAZA
Jl. Jenderal Sudirman Kav. 10-11
Tanah Abang, Jakarta Pusat
Tel: (021) 2510 888
BELL & ROSS
Pacific Place, Jakarta Level Ground, Unit G-88A
Tel: (021) 5140 2711
BRAUD®
BRAUD® Artisan Bakery
Jalan Morotai No. 45
Denpasar Barat, Bali
Tel: 0822 378 101 11
BRAUD® Cafe
Jalan Mertanadi No. 62 Kerobokan, Bali Tel: 0821 473 966 09
BRAUD® General Store
Jalan Senopati No. 34
Jakarta Selatan Tel: 0821 243 281 72
BREGUET
Tersedia di butik The Time Place
BRIGHTSPOT www.brightspotmrkt.com
CASA LEÑA
Jl. Hang Lekir 2 No. 30
H/2, Jakarta Selatan Tel: 0811 9630 8196
CHANEL
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1, Unit 88
Tel: (021) 299 24 023
CHOPARD
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1, Unit 182B
Tel: 021 2992 4350
CHRISTIN WU
www.christinwu.com
COMO METROPOLITAN
SINGAPORE
30 Bideford Road
Singapura
Tel: +65 6233 3888
DEVIALET
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 3, Unit 39
Tel: (021) 299 22 859
DOUBLETREE BY HILTON
JAKARTA DIPONEGORO
Jl. Pegangsaan Timur No.17
Cikini, Jakarta Pusat
Tel: (021) 5095 5800
FENDI
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1 No. 66-71
Tel: 021 2992 3755
Plaza Senayan, Jakarta
Level 1, Unit 117-119
Tel: 021 5790 0159
THE GOODS DEPT•
Pondok Indah Mall 1, Jakarta
Level 2, Unit 321
Tel: (021) 7592 0997
HARMAN KARDON
www.harmankardon.co.id
HEWLETT PACKARD www.hp.com/id
HERMÈS
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1, Unit E002-E006A
Tel: (021) 2992 3998
HOTEL TENTREM YOGYAKARTA
Jl. P. Mangkubumi No.72A
Cokrodiningratan, Yogyakarta
Tel: (0274) 641 5555
HUBLOT
Tersedia di butik The Time Place
HUGO BOSS
Pacific Place, Jakarta
Level Ground, Unit 22
Tel: (021) 5140 0586
HYUNDAI
Jl. Tulodong Atas II
Senayan, Jakarta Selatan
Tel: 0817 9037 773
INDOESTRI
TELUK SABA
Ratu Plaza Lantai 23
Jl. Jenderal Sudirman, Tanah Abang, Jakarta Pusat
INTIME
Grand Indonesia, Jakarta
West Mall, Unit G19
Tel: 021 2358 1208
Mal Kelapa Gading 3, Jakarta
Level Ground, Unit G-42
Tel: 021 4584 8977
Central Park, Jakarta
Level Ground, Unit G-117B
Tel: 021 5698 5156
ISSHU www.igotisshu.com
JHL SOLITAIRE GADING SERPONG
Jl. Gading Serpong Boulevard
Blok S No.5, Tangerang
Tel: (021) 3950 3000
MARAK
ITDC Nusa Dua
Bali Collection, Unit A4
Tel: 0818 2253 92800
MAZARAAT ARTISAN CHEESE
@mazaraatartisancheese
MINI COOPER
Jl. Sultan Iskandar Muda
No. 8, Jakarta Selatan
Tel: 0822 9889 9498
MOIE LIVING
Pacific Place, Jakarta
Level 1, Unit 119A-121A Tel: 021 5790 5371
MOIEHAUS
Regent Residences Level 56, Jakarta Tel: 0822 9999 6643
Ashta District 8, Jakarta Level GF, Unit 28 Tel: 0822 9999 6643
MUSEUM MACAN www.museummacan.org
NAMAAZ DINING
Jl. Brawijaya VIII No.6A
Kebayoran Baru, Jakarta Selatan Tel: 0811 1557 798
NATALIA KIANTORO www.nataliakiantoro.com
NIHI SUMBA
Hoba Wawi, Wanokaka Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur Tel: (0361) 757 149
OPPO www.oppo.co.id
PABLE www.pable.id
PANDORA
Plaza Indonesia, Jakarta Level 2, Unit B-64 Tel: 021 2992 3896
PATEK PHILIPPE
Plaza Indonesia, Jakarta Level 1, Unit 35-38 Tel: 021 3192 6632
PLATARAN KOMODO
Labuan Bajo, Komodo Manggarai Barat Nusa Tenggara Timur Tel: 0811 3900 2121
POI SEPOI @poisepoi
SAMSUNG www.samsung.com/id
SEAN & SHEILA www.seansheila.com
SEJAUH MATA MEMANDANG
Jl. Kemang Utara IV No. 48 Bangka, Jakarta Selatan Tel: 0812 1287 0072
SEPATU COMPASS® www.sepatucompass.com
SHANGRI-LA HONG KONG
64 Mody Rd, Tsim Sha Tsui
Hong Kong Tel: +852 2721 2111
SOL BY MELIA BENOA BALI
Jl. Pratama, Benoa, Kuta Selatan, Bali
Tel: (0361) 771 714
STELLA MCCARTNEY
www.stellamccartney.com
STUDIO AIR PUTIH @BATUBATA
Jl. Cilenggang 2 No.6, Serpong, Tangerang Selatan Tel: (021) 5315 3773
STUDIO HENDRO HADINATA
Gedung Skynindo
Jl. Dr. Susilo Raya No.23
Jakarta Barat
SUN CONTEMPORARY
Jl. Pantai Pererenan No. 133B, Bali Tel: 0822 6634 9911
TAG HEUER
Central Park, Jakarta
Level Ground, Promenade 002
Tel: 021 2920 0422
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1, Unit 129–130
Tel: 021 2992 3990
Senayan City, Jakarta
Level Ground, Unit G-53
Tel: 021 7278 1601
23 Paskal, Bandung
Level 1, Unit 58A
Tel: 022 6318 5001
TATE MODERN
www.tate.org.uk
TECHNOGYM
Jl. Gunawarman No. 77
Jakarta Selatan
Tel: (021) 509 55 728
TESLA www.tesla.com
THE TIME PLACE
Pacific Place, Jakarta
Level Ground, Unit 12A-B
Tel: 021 5140 2796
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1, Unit 165–168
Tel: 021 310 7715
Plaza Senayan, Jakarta
Level 1, Unit 122–128B
Tel: 021 572 5759
Tunjungan Plaza 4, Surabaya
Level UG, Unit 30–37
Tel: 031 532 7991
TIFFANY & CO.
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1, Unit 001A
Tel: 021 2992 4345
TORY BURCH
Pacific Place, Jakarta
Level Ground, Unit 31A-31B
Tel: 021 5140 2796
Plaza Indonesia, Jakarta
Level 1, Unit 121A-121B
Tel: 021 310 7715
Plaza Senayan, Jakarta
Level 1, Unit 158C
Tel: 021 572 5759
ZENITH
Tersedia di butik The Time Place
5. Sisa pakai yang berpotensi mencemari lingkungan
6. Platform belanja daring dari Tiongkok
7. Salah satu pionir inovasi dalam industri otomotif
8. Julukan untuk penggemar fanatik kualitas suara
9. Karakter ciri khas Darbotz
1. Roti asam alami hasil fermentasi ragi liar
2. Pendekatan arsitektur berbasis kearifan lokal
3. Metode tak kasat mata yang tahu selera Anda, bahkan sebelum Anda menyadarinya
4. Teknologi penyimpanan data terdesentralisasi dan terenkripsi
6. Istilah mengenai pengaruh lingkungan terhadap karakter rasa hasil pertanian