Koreana Winter 2017 (Indonesian)

Page 1

MUSIM DINGIN 2017

SENI & BUDAYA KOREA

FITUR KHUSUS

GANGWON

TANAH PEGUNUNGAN Lihatlah Matahri Terbit di Laut Timur; Keajaiban Musim Dingin Gangwon; Tempat Kehidupan yang Tercipta Penuh Kekayaan Alam; Kenangan Pedih Para Pengungsi di Desa Pesisir Sokcho

Provinsi Gangwon

Mitos dan Kenangan

ISSN 2287-5565

VOL. 6 NO. 4

SENI & BUDAYA KOREA 47


CITRA KOREA

Pojangmacha Gerobak Tak Berkuda dan Tak Bergerak Kim Hwa-young Kritikus sastra; Anggota Akademi Seni Nasional


“S

iapa pun yang tinggal di Seoul selama musim dingin tahun 1964 akan menjumpai warung darurat yang muncul di jalanan pada malam hari, jenis warung yang menjual kue ikan dalam sup, burung pipit panggang dan tiga jenis alkohol, tempat Anda memasuki pojok tenda, yang melawan angin dingin yang menyapu jalan-jalan yang beku, sepintas Anda bisa melihat nyala lampu karbid yang berkelap-kelip dalam angin dan seorang pria paruh baya berjaket tentara yang sedang menyiapkan alkohol dan memanggang makanan. Itulah warung tempat kami bertiga bertemu malam itu.” Itu merupakan paragraf pertama novel Kim Seung-ok “Musim Dingin Seoul 1964.” Pojangmacha (secara harfiah “gerobak tertutup”) di Seoul, tidak seperti gerobak di masa American Wild West, tak berkuda dan tak bergerak. Mereka bukan moda transportasi tapi warung darurat atau bistro di pinggir jalan bisa Anda singgahi saat Anda melintas, makan dan minum, lalu bangkit dan pergi. Hal yang istimewa dari gerobak ini adalah tertutup, dan mudah dijangkau karena berada di pinggir jalan. Warung atau restoran pinggir jalan yang muncul hanya di malam hari merupakan bagian yang tak terpisahkan dari lanskap kota Korea. Bertolak belakang dengan kemiskinan yang terdapat pada novel 1964, sekarang ini menunya beragam. Selain kue ikan dalam sup, ada jajaran hidangan yang lezat termasuk hagfish, kaki ayam, iga babi, sosis darah, makanan gorengan, kue beras dalam saus panas (teokbokgi), mie udong – dan lain-lain. Burung gereja panggang yang terkenal tahun 1960-an sekarang telah tiada. Bola lampu listrik telah menggantikan lentera karbit. Alih-alih jaket tentara yang dicelup, peninggalan Perang Korea, terdapat orangorang muda berpakaian jins dan jaket kasual. Dalam drama televisi, pojangmacha menjadi tempat para protagonis laki-laki yang putus asa pergi untuk minum sendiri saat cintanya telah ditolak atau ketika dia mengalami kebangkrutan, dan melintaslah seorang wanita dan kebetulan melihatnya, lalu mencoba menghiburnya saat pemuda itu mabuk dan hampir tidak sadar. Kemudian di layar muncul tulisan “Bersambung,” seolah akan ada perubahan. Bistro pinggir jalan ini, sehingga mudah dijangkau semua orang, menimbulkan nostalgia yang kuat di hati. Tapi bisnis jalanan ini kebanyakan ilegal. Jadi, kadang-kadang, pojangmacha dijalankan di dalam rumah, solusi legal tapi aneh. Pujangmacha memperlihatkan suka duka sejarah modern Korea dengan caranya sendiri. © HANKHAM


Lee Sihyung

Dari redaksi

PEMIMPIN UMUM

Musim Dingin yang Hangat

DIREKTUR EDITORIAL

Kim Gwang-keun

PEMIMPIN REDAKSI

Koh Young Hun

Membaca judul di atas Anda pasti akan bertanya-tanya mungkinkah musim dingin itu hangat. Ketika salju berguguran, mengemuli seluruh wajah kota, orang-orang berjaket tebal, pipi mengeras, jemari membeku, mana mungkin musim dingin itu hangat. Musim dingin bukankah hanya akan membuat segalanya menggigil? Sungguh, jika kita telah menikmati pendakian gunung, berjalan-jalan dengan menaiki kereta, memancing ikan di sungai es dalam berbagai macam festival, dan menikmati secangkir kopi di Gangwon, maka dapat dikatakan kita telah melewati musim dingin yang hangat. Secangkir kopi menjadi senyawa yang menghangatkan di musim dingin. Nah, coba lakukan pengalaman seperti itu, niscaya Anda akan menikmati kehangatan musim dingin di Gangwon. Gangwon sekarang sedang menjadi mata perhatian dunia sebab di provinsi itu akan dilangsungkan perhelatan Olimpiade Musim Dingin Pyongchang 2018, yaitu 9-25 Februari 2018. Gangwon merupakan tanah pegunungan yang penuh mitos dan kenangan. Cara terindah menikmati esensi keindahan musim dingin Gangwon tak lain melalui kegiatan mendaki gunung agar kita merasakan sensasi dingin ke dalam tubuh kita, serta melakukan sport musim dingin yang sangat terkenal. Sambil merasakan sensasi dingin dan secangkir kopi panas, simaklah halaman demi halaman Koreana Edisi Musim Dingin 2017 ini, maka wawasan Anda akan budaya, tradisi, sejarah, dan alam Korea akan semakin diperkaya. Selamat membaca.

DEWAN REDAKSI

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana Edisi Indonesia

Bae Bien-u Charles La Shure Choi Young-in Han Kyung-koo Kim Hwa-young Kim Young-na Koh Mi-seok Song Hye-jin Song Young-man Werner Sasse

DIREKTUR KREATIF

Kim Sam

EDITOR

Ji Geun-hwa, Noh Yoon-young,

PENATA ARTISTIK

Kim Do-yoon

DESAINER

Kim Eun-hye, Kim Nam-hyung,

Park Do-geun

Yeob Lan-kyeong PENATA LETAK

Kim’s Communication Associates

DAN DESAIN

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu Seoul 04035, Korea www.gegd.co.kr Tel: 82-2-335-4741 Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 84 untuk berlangganan. INFORMASI BERLANGGANAN: The Korea Foundation 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea PERCETAKAN EDISI MUSIM DINGIN 2017 Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 © The Korea Foundation 2017 Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation.

SENI & BUDAYA KOREA Musim Dingin 2017

Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.

Diterbitkan empat kali setahun oleh THE KOREA FOUNDATION 2558 Nambusunhwan-ro, Seocho-gu Seoul 06750, Korea http://www.koreana.or.kr

“Terbaring di Tengah Pegunungan” Hwang Jai-hyoung 1997-2005. Lumpur dan media campuran di atas kanvas, 227,3 x 162,1 cm.


© Pyeongchang county

FITUR KHUSUS

Provinsi Gangwon : Tanah Pegunungan, Mitos dan Kenangan

04

FITUR KHUSUS 1

20

FITUR KHUSUS 3

Lihatlah Matahri Terbit di Laut Timur

Tempat Kehidupan yang Tercipta Penuh Kekayaan Alam

Lee Chang-guy

Lee Byung-oh

14

26

FITUR KHUSUS 2

FITUR KHUSUS 4

Keajaiban Musim Dingin Gangwon

Kenangan Pedih Para Pengungsi di Desa Pesisir Sokcho

Choi Byung-il

Song Yeong-man

34

50

FOKUS

DI ATAS JALAN

Penampilan Superorganik Bagai Datang dari Masa Depan yang Jauh

Aroma Bunga Apel dari Seribu Lorong

Kim Nam-soo

Gwak Jae-gu

40

58

WAWANCARA

KISAH DUA KOREA

66

ESAI

Korea Selatan Melaju Bak Busur Panah M. Aji Surya

68

GAYA HIDUP

Sebuah Potret Kehidupan di Ujung Lorong Tambang

Wujud Cinta Yayasan Eugene Bell terhadap Masyarakat Korea Utara

Pesona Perjalanan “Gaya Lama” dengan Kereta Api

Chung Jae-suk

Kim Hak-soon

Park San-ha

46

62

72

JATUH CINTA PADA KOREA

Mantan Diplomat yang Jadi Penerjemah Membawa Sastra Korea Ke Prancis Choi Sung-jin

SATU HARI BIASA

Hidup Bahagia Membuat Rasa Makin Enak Jo Eun

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Dingin Mendekap di Toserba Choi Jae-bong

Aku ke Toserba Kim Ae-ran


FITUR KHUSUS 1 Provinsi Gangwon : Tanah Pegunungan, Mitos dan Kenangan

LIHATLAH MATAHRI TERBIT di Laut Timur Tempat di mana gunung yang tinggi dan curam berbaris-baris dan terbenamnya matahari di laut timur yang biru, tempat dengan pemandangan yang indah yang selaras dengan kehidupan yang tandus, adalah rupa dari Provinsi Gangwon yang terlukis di dalam hati orang Korea. Aroma pedas dari bunga pohon jahe dan bunga soba putih yang bermekaran di bawah cahaya bulan, serta matahari terbit di laut timur yang menghangatkan hati, adalah simbol-simbol dari Provinsi Gangwon yang dikenal secara umum walaupun orang tersebut belum pernah mengunjunginya. Karena mereka sudah merasakan pengalamannya cukup melalui novel dan lagu. Lee Chang-guy Penyair, Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer

4 KOREANA Musim Dingin 2017


SENI & BUDAYA KOREA 5


S

eorang penyanyi mulai bernyanyi sambil memainkan gitarnya di atas panggung sederhana dengan pencahayaan yang temaram. Lagu tersebut berjudul 500 Miles dari ‘Peter, Paul And Mary’. Suasana hiruk pikuk sekejap menjadi senyap dan orang-orang perlahan terhanyut ke dalam lagu tersebut. Di dalam keheningan dan kegelapan, beberapa orang berusaha untuk mengendalikan emosi mereka, sementara beberapa orang lainnya sudah menitikkan air mata. Situasi tersebut terjadi di sebuah kafe yang terletak di sebuah kota kecil di Amerika Serikat yang saya lihat melalui Youtube. Lagu adalah sebuah kompresi dan perluasan dari suatu cerita. Orang-orang di Amerika Serikat menikmati lagu nostagia sebagai bentuk kerinduan akan keluarga dan kampung halaman yang merupakan kompresi dari suka duka dari sejarah modern yang berisikan gambaran singkat dari konstruksi rel kereta, perang sipil, depresi besar-besaran, PHK massal, dan memperluas kembali sentimen universal orang-orang Amerika Serikat. Tidak mengherankan dan tidak sulit bagi orang-orang dari bangsa dan budaya lain untuk saling memahami dan bersimpati tak lama setelah mendengar lagu tersebut dinyanyikan. Hal tersebut terjadi hanya jika kita dapat membuang jauh prasangka. Tema cerita kali ini adalah Provinsi Gangwon. Karena alasan itu lah, pertama-tama saya merekomendasikan lagu berjudul 「Hangyeryeong」 yang diciptakan oleh Ha Deok-kyoo dan dinyanyikan oleh Yang Hee-eun. Jalan Menuju Gunung Geumgang Jika dilihat secara geografis, Provinsi Gangwon dapat disejajarkan dengan Swiss di Eropa. Sama halnya dengan Swiss yang sebagian besar wilahnya berbatasan dengan pegunungan Alpen, Provinsi Gangwon dikelilingi oleh gunung Geumgang dan gunung Thaebaek yang merupakan jantung dari pegunungan Baekdudaegan yang membentang di punggung semenanjung Korea. Pada masa di mana bertani adalah mata pencaharian utama, Provinsi Gangwon adalah tanah yang sulit untuk ditinggali. Di dalam 『Thaekriji』, buku geografi manusia yang ditulis pada akhir kejasaan Joseon, pun sampai dikenal sebagai “tanah yang tidak subur dan berkerikil, sehingga menaburkan benih satu mal (satuan ukur dalam Korea, 1 mal = 18 liter) pun, yang dipanen hanya 12 buah”. Saat ini pun situasinya masih serupa. Bagi orang-orang yang sudah terbiasa menerima tekanan politik dan sosial karena kondisi lingkungan yang demikian, desa pegunungan Provinsi Gangwon dapat menjadi tempat perlindungan. Jika kita kembali mengingat masa di mna negara masih mengumpulkan pajak berupa barang, maka kita dapat membayangkan dengan mudah bagaimana kondisi pada saat tersebut. Di Provinsi Gangwon terdapat dua gudang yang dulu 1 digunakan untuk menyimpan gandum yang disetorkan warga

6 KOREANA Musim Dingin 2017

Di Bongpyeong, tempat kelahir­ an novelis Yi Hyo­seok (1907­ 1942), ada hamparan ladang soba yang luas, seperti dalam cerita­ceritanya. Setiap bulan September, ketika bunga putih penuh bermekaran, kota ini mengadakan festival untuk memperingati novelis tersebut.

sebagai pajak, namun ukurannya lebih kecil jika dibandingkan dengan kapal pengangkutnya atau gudang yang ada di daerah lain. Tidak hanya itu, gandum pajak yang dikumpulkan dari daerah Yeongdong diberi pengecualian sehingga dapat digunakan langsung oleh daerah itu sendiri. Bahkan pada abad ke-17, pajak yang dibebankan kepada tiap-tiap rumah tangga dan pengumpulan beras sebagai ganti barang untuk bayar pajak pun diberlakukan sesuai dengan luasnya lahan yang ditentukan aturan yang berlaku saat itu, sehingga fungsi gudang menjadi berkurang. Beban petani kecil dan tidak memiliki lahan pun menjadi berkurang pula. Periode para cendikiawan konfusianisme yang dulu melakukan perjalanan ke gunung sebagai latihan mental mereka berkuasa, Provinsi Gangwon hanyalah jalan menuju gunung Geumgang. Walaupun sayangnya saat ini ada di utara wilayah gencatan senjata, namun gunung Geumgang adalah gunung yang terkenal sampai-sampai membuat seorang penyair terkenak Cina, Su Shi (atau lebih sering dipanggil So Dongpo), ber-


kata bahwa “saya ingin lahir di Koryeo sehingga dapat melihat gunung Geumgang”. Akan tetapi, gunung Geumgang bukan lah gunung yang mudah untuk dikunjungi oleh orang-orang, bahkan masyarakat Koryeo sekali pun. Jika menggunakan keledai atau tandu, dibutuhkan sedikitnya empat orang harus ikut serta, dan dibutuhkan waktu setidaknya satu bulan jika berangkat dari Seoul. Karena itu lah, memiliki banyak uang pun, belum tentu seseorang dapat ke sana. Walaupun demikian, hal tersebut tidak mengendurkan semangat banyak cendikiawan konfusianisme dan seniman dulu yang merasa harus mengosongkan pikiran mereka untuk alasan tertentu dengan berkunjung dan berekreasi di gunung Geumgang. Karena itu lah, gunung Geumgang dikenal sebagai salah satu tempat yang umum muncul dalam perjalanan kesusastraan Korea, dan isi dari karya sastranya pun banyak menggambarkan kondisi geografis dan pemandangan, serta kekaguman akan gunung tersebut. Sekarang bisa ditebak alasan mengapa seorang pelukis sastra terkenal abad ke-18 bernama

Kang Se-hwang berkata bahwa “mendaki gunung adalah hal yang paling membanggakan sebagai seorang manusia, namun mendaki gunung Geumgang adalah hal yang paling vulgar”. Tidak hal yang lebih istimewa dari itu. Dalam sebuah karya sastra mengenai perjalanan ke gunung Geumgang yang ditulis pada akhir masa kerajaan Joseon oleh penulis yang tidak diketahui namanya, 「Dong Yu Ga」, kemiskinan dalam kehidupan masyarakat Geumgang terlihat sangat jelas selama perjalanan menikmati gunung Geumgang. “Datang dari Cheorwon dan melihat dengan seksama / pemandangan terhampar dan jarang terlihat rumah / bertani dengan sekop bertali karena tanahnya keras berkerikil / di penginapan tidak ada minyak, sehingga menyalakan lampu dengan resin / di sudut kamar membuat cerobong asap dan tungku api dari tanah kemudian membuat api.” Perancis pada masa Napoleon di abad ke-19 pun 85% dari jumlah penduduknya adalah orang miskin, sehingga pda abad tersebut kemiskinan bukan hanya masalah yang dialami oleh

SENI & BUDAYA KOREA 7


“Sambuyeon Falls” (Air Terjun Tiga Aliran) dari “Album Pancaran Semangat Laut dan Pegunungan” (Haeak jeonsin cheop) oleh Jeong Seon, 1747. Tinta dan warna pada sutra, 31,4 x 24,2 cm. Meskipun para ilmuwan Konghucu Joseon sering meng­ anggap Provinsi Gangwon hanya sebuah jalur menuju ke Gunung Kumgang, terkadang mereka akan memperlambat perjalanan di tempat­tempat yang pemandangannya indah. Karena tertarik dengan Air Terjun Sambuyeon di Cheorwon dalam perjalanan menuju gunung yang dirayakan, artis Jeong Seon (1676­1759) berhenti untuk melukis pemandan­ gan tersebut.

© Yayasan Seni dan Budaya Kansong

orang-orang Provinsi Gangwon saja. Akan tetapi, di mata seorang penulis sstra pada abad ke-20 yang merupakan masa penjajahan Jepang, kemiskinan masyarakat Provinsi Gangwon bukanlah hal yang biasa seperti itu. Bunga Pohon Jahe dan Ladang Bunga Soba Penulis novel bernama Kim Yoo-jeong (1908~1937)terlahir dari keluarga kaya yang turun temurun tinggal di sebuah desa kecil di Chuncheon, Provinsi Gangwon, dan dibesarkan di Seoul dan Chuncheon. Dia kembali ke kampung halamannya ketika usianya 22 tahun, setelah dirinya masuk menjadi korps elit di Seoul. Di antara jeda waktu tersebut banyak terjadi perubahan. Kedua oraang tuanya meninggal lebih cepat dan kakak laki-laki yang menggantikan orang tuanya mengurus rumah malah menghabiskan harta dengan hidup berfoya-foya. Dia yang sudah kehilangan biaya hidup dan sekolah, bahkan sampai tiba-tiba sakit karena merasa sangat sakit hati, ketika kembali ke kampung halamannya berpikir untuk menuntut kakaknya agar memberikan harta yang menjadi haknya. Akan tetapi, yang mengganggu dirinya yang tengah lelah

8 KOREANA Musim Dingin 2017

tubuh dan perasaan bukan seberapa banyak harta warisan yang bisa ia terima, namun jika musim semi tiba nanti orang-orang yang tinggal secara sederhana di kampung halamannya, khususnya para wanita Provinsi Gangwon yang “lahir di alam yang keras” tanpa “bunga Dongbaek” (Lindera obtusiloba , bunga pohon jahe dalam dialek Provinsi Gangwon) yang bermekaran dan memerahkan gunung Geumbyeon. Dia yang ingin memajukan kampung halaman dan penduduknya, membangun sebuah rumah kecil di atas bukit, kemudian mengumpulkan para pemuda di desanya dan membuka sekolah malam. Pada suatu hari ia mendengar cerita dari seorang wanita dari suatu daerah bahwa ada Deulbyeongi (wanita yang berkelana ke sana kemari seperti orang gipsi dan menjual minuman keras dan senang menggoda) yang selama beberapa hari tinggal di rumahnya kemudian menghilang. Saat mendengar cerita tersebut, ia pun memutuskan untuk menjajaki jalan sebagai penulis yang menjadikan kesulitan yang terjadi di masa tersebut menjadi suatu pekerjaan rumah dan telah menyelesaikan karya pertamanya yang berjudul「berkelana ke desa di gunung」.


Kemudian, ia menggambarkan dan mengkarikaturkan setiap pria yang ia jumpai menjadi karya sastranya seperti pria yang memimpikan kemewahan dengan lebih memilih menjadikan istrinya Deulbyeongi dibandingkan bertani(「Isrti」), pria “lebih memilih setahun menderita dan menggali emas dibandingkan hanya menerima dan makan kacang beberapa seom (satuan dalam korea, 1 seom = 180 liter)” (「Menggali ladang kacang demi emas」), para pria lari dari hutang dan gagal panen, dan “menggandeng istri yang berusia muda kemudian mengajaknya berkelana dari gunung ke gunung lainnya untuk mencari tempat hidup yang lebih baik” (「Gerimis」). Karyanya tersebut telah membuat sastra modern Korea telah mengalami kenaikan satu tahap. Jika sastra Kim Yoo-jeong terinspirasi dari kehidupan desa petani yang semakin hari semakin mengalami kemunduran karena eksploitasi dan sewa lahan pertanian akibat kolonialisme Jepang, Lee Hyoo-seok (1907~1942) membangun dunia yang berestetika dan semakin meninggalkan realita seiring dengan semakin keras dan bahanya kehidupan pada saat itu. Dia yang lahir di Bongpyeong, Pyeongchang-gun, menulis karyanya yang berjudul「Membakar Daun Kering」 yang isinya merasakan aroma kopi yang baru saja dipanggang dari bau daun kering yang dibakar, menghias pohon natal ketika musim dingin tiba, dan pikiran untuk mulai bermain ski, pada tahun berikutnya setelah pecahnya perang Sino-Jepang. Hal yang khusus dari sastranya adalah teori sastranya yang berbunyi “walaupun manusia begitu rendah dan menjijikan, sastra memiliki daya tarik yang indah untuk dilihat”, menjadi tanda tetap melangkah walaupun saat itu tekanan kuat dari kolonialisme Jepang yang mempropagandakan ‘Naeseon Ilche (Korea Jepang Satu)’. Karena alasan itu lah, banyak dari mereka perlu mempertimbangkan karya Lee Hyo-seok yang diperhitungkan sebagai maestro kesusastraan Korea, yang berjudul 「Ketika Bunga Soba Mekar」, diletakkan di mana di antara realisme awal dan kepolosan usia senja. “Jalannya sekarang terletak di lereng gunung. Di tengah malam, di keheningan terdengar suara bulan yang seperti binatang seolah dalam genggaman, dan daun-daun kedelai dan jagung basah dan menghijau. Lereng gunung semua tertutup oleh hamparan kebun bunga soba yang bunganya mulai bermekaran seperti garam yang bertaburan, terlihat menakjubkan di bawah hangatnya sinar rembulan. Istana besar yang merah lembut seperti aroma dan langkah keledai pun ringan.”(「Ketika Bunga Soba Mekar」) Masyarakat Provinsi Gangwon mendirikan ‘Desa Sastra Kim Yoo-jeong’ di kampung halaman Kim Yoo-jeong, dan juga mendirikan ‘museum sastra Lee Hyo-seok’ di tanah kelahirannya di Bongphyeong sehingga sastra dan kehidupan mereka berdua dapat dikenang.

Jalan Air, Jalan Bersalju, dan Jalan Tol Jalur menanjak Provinsi Gangwon berada di ketinggian 1.000 m di atas permukaan laut. Aliran air Provinsi Gangwon berasal dari gunung yang tinggi dan sebagian besar bermuara pada sungai Han. Sampai periode 1930-an, sungai Han digunakan untuk memindahkan hasil hutan dari gunung tinggi di Provinsi Gangwon yang wilahnya berada di dataran tinggi. Kayu di daera Inje dan Yanggu yang berada di bagian utara melalui sungai Bukhan, sedangkan kayu dari wilayah Jeongseon, Phyeongchang dan Yeongwol yang berada di bagian selatan melalui sungai Namhan kemudian turun ke bawah. Dari Inje sampai Chuncheon membutuhkan waktu satu hari penuh, sedangkan dari Chuncheon sampai Seoul membutuhkan waktu satu minggu sampai dengan 15 hari. Para pemilik rakit kayu yang mengayuh rakitnya di jalur air tersebut menciptakan dan menyanyikan lagu berjudul 「Arirang Rakit」,yang merupakan lagu Arirang Provinsi Gangwon namun liriknya diubah, untuk menghilangkan rasa lelah dan kebosanan saat bekerja. Di atas rakit tersebut, setiap hari barang-barang seperti porselen berkualitas baik dari daerah Bangsan – Yanggu, obatobatan herbal, kayu bakar dan lainnya, dikirim menuju Seoul. Sungai Bukhan adalah jalur transportasi penting untuk kapal pengangkut garam Seoul melintas dan juga rute dari Seoul ke Chuncheon dan juga sebaliknya. Rute menuju Segok pun tentu saja menggunakan jalur ini. Di bagian muara sungai Bukhan pada awal tahun 1940an dibangun sebuah tanggul untuk pembangkit listrik tenaga air. Dari muara sungai itu lah listrik kemudian dialirkan ke Provinsi Gangwon. Di Naerincheon di mana rakit berbaris dan orangnya menyanyikan lagu, entah sejak kapan terdengar suara kegembiraan dari para pemuda yang menikmati kegiatan rafting . Jika jalur air Provinsi Gangwon dimanfaatkan untuk berbagai hal, lain halnya dengan jalur salju adalah jalur yang tidak produktif yang tidak ada interaksi. Berjalan di jalur bersalju Provinsi Gangwon yang tingginya hingga selutut lebih membuat kesal dan putus asa dibandingkan dengan makan roti yang dibasahi air mata. Jalan tersebut adalah jalan menuju pertapaan untuk menebus dosa dan kemunduran. Hwang Suk-young pada novelnya yang berjudul 「Jalan ke Sampho」 menceritakan perjalanan tiga tokoh utama yang hanyut dalam gelombang industrialisasi, menyusuri jalanan bersalju untuk menuju tempat yang disebut Sampho. Lalu pada film berjudul 「Jalan Bersalju」 yang menceritakan kehidupan Wianbu (para wanita yang menjadi budak sex pada masa kolonialisme Jepang) digambarkan para wanita yang sedang dalam perjalanan ke rumah dengan latar belakang hutan pohon betula di puncak gunung yang tertutup salju tebal. Seperti itu lah gambaran dari jalur salju di Provinsi Gangwon. Setelah jalur dari Pangyo sampai Wonju Saemal dibuka

SENI & BUDAYA KOREA 9


Secara geografis, Provinsi Gangwon dapat disejajarkan dengan Swiss di Eropa. Sama halnya dengan Swiss yang sebagian besar wilahnya berbatasan dengan pegunungan Alpen, Provinsi Gangwon dikelilingi oleh gunung Geumgang dan gunung Thaebaek yang merupakan jantung dari pegunu­ ngan Baekdudaegan yang membentang di punggung semenanjung Korea.

pada tahun 1971, pada tahun 1975 jalan tol Yeongdong yang melintasi daerah Saemal, Hoeseong, dan Gangneung dibuka sehingga membuat jalur gunung Provinsi Gangwon mulai digunakan masyarakat sebagai jalur untuk naik gunung tanpa melihat kondisi cuaca. Pada tahun tersebut pula sebagian pantai di laut barat yang pernah digunakan sebagai wilayah militer, mulai dibuka sebagai pantai rekreasi. Lagu dari Song Changsik yang berjudul 「Berburu Paus」yang dimasukkan dalam film berjudul「The March of Fools」 banyak dinyanyikan oleh para pemuda tahun 1970an sambil diiringi gitar akustik. Lirik yang menonjol dari lagu ini adalah “Ayo, pergi, ke laut timur”. Ketika libur panjang musim panas tiba, pergi ke pantai di laut timur dengan menaiki kereta, bis,ataupun menyetir mobil melewati jalan tol sambil membawa peralatan kemah lengkap adalah kemewahan tersediri bagi para pemuda di masa tersebut. Penyelesaian pembangunan Yongphyeong Ski Resort yang menjadi pusat olah raga musim dingin di Korea di Daegwallyeong yang tertutup salju, pun terjadi ditahun yang sama dengan penggalian untuk jalan tol Yeongdong. Pada musim panas tahun lalu di puncak arena ski diadakan sebuah acara untuk mendoakan kesuksesan pelaksanaan olimpiade musim dingin Pyeongchang tahun 2018. Jalan Menuju Laut Timur Suatu hari di bulan desember tahun 2016, penyanyi Han Young-ae yang diundang pada acara penyalaan lilin yang dihadiri lebih dari 2 juta orang, dengan suaranya yang rendah dan berat menyanyikan lagu berjudul 「Negaraku Bangsaku」 yang lirik awalnya berbunyi “Lihatlah, Matahari yang terbit di laut timur / bersinar di kepala seseorang / Di dalam pertarungan yang berdarah-darah / Di atas kita yang mendapatkan kemurnian yang berharga”. Para tahun 1970an, orang yang menulis lirik lagu ini adalah Kim Min-ki menciptakan lagu berjudul 「Embun Pagi」 yang

10 KOREANA Musim Dingin 2017

Pantai timur Provinsi Gangwon memiliki banyak tempat indah yang mem­ perlihatkan pemandangan matahari terbit yang indah di atas laut. Bagi orang Korea, Laut Timur bukan hanya sekadar air, tetapi juga tempat yang mengingatkan akan pentingnya sejarah, dan tempat bersantai untuk membebaskan diri dari keterbatasan kehidupan sehari­hari.


dinyanyikan sebagai simbol lagu kepahlawanan oleh orangorang Korea ketika berstatus mahasiswa. Sedangkan lagu berjudul ă€ŒBerburu Pausă€? ditulis oleh Choe In-ho yang merupakan penulis novel pendatang baru yang sedang berada di puncak popularitas pada masa itu. Akan tetapi, jalan tol Yeongdong yang dinilai sebagai simbol industrialisasi yang membawa kemajuan ekonomi, atau sebagai produk kediktaktoran pembangunan, secara kebetulan memiliki keterkaitan dengan masa yang digambarkan pada lagu-lagu tersebut, sehingga menjadi ironi dalam sejarah. Semua jalan yang melintasi Provinsi Gangwon bertemu di laut timur, sehingga bagi orang-orang Korea laut timur bukan

hanya sekedar laut yang ada di bagian timur saja. Itu adalah suatu kepercayaan tersendiri. Karena itu lah, setelah melewati jalanan menanjak menuju Baekdudaegan seperti Daegwallyeong, Hangyeryeong, dan Misiryeong kemudian melihat langsung laut timur, saya jadi dapat memahami dan merasakan bagaimana besarnya keinginan orang-orang yang merasakan kebebasan dari rasa sesak dan permasalahan sehari-hari yang menjadi beban di hati, dan orang-orang yang rela terjaga sepanjang malam menyusuri jalan tol Yeongdong hanya untuk melihat matahari terbit di hari pertama tahun baru di laut timur. Penyetelan lagu telah selesai. Sekarang saatnya untuk mendengarkan lagu.

SENI & BUDAYA KOREA 11


Festival Musik Daegwallyeong Pyeongchang Menggambarkan Kebudayaan Provinsi Gangwon Ryu Tae-hyung Kolumnis Musik

Festival Musik Daegwallyeong Pyeongchang yang ditetapkan sebagai festival musik internasional, pertama kali diselenggarakan pada tahun 2004 di Yongpyeong Resorts. Festival ini adalah bechmarking dari Festival Musik Aspen di Amerika Serikat yang diadakan dengan tujuan sebagai festival musik musim panas yang menggabungkan unsur pertunjukan dan pendidikan. Aspen adalah sebuah desa hantu yang misterius berpenduduk 6.000 jiwa, namun sejak diadakannya festival musik pada tahun 1949, kota tersebut tumbuh menjadi kota festival musik ternama di Amerika Serikat. Dengan model seperti itu, pengajar di sekolah musik Juilliard, Kang Hyo, dan Sejong Soloists, mencetuskan penyelenggaraan festival musik serupa. Ak an tetapi, Festiv al Musik Daegw ally eong Pyeongchang yang diadakan di tempat dengan ketinggian 700 m di atas permukaan laut, setiap tahunnya selalu mengganti temanya sehingga dapat menarik banyak penikmat musik untuk pergi ke Pyeongchang. Festival ini memilih tema yang fokus dari dunia musik dalam dan luar negeri, dan setiap tahunnya diadakan secara konsisten. Tidak hanya musik klasik, festival ini juga secara berkelanjutan memperkenalkan lagu-lagu debut dunia, Asia, Korean dan sebagainya, serta lagu-lagu terkenal dalam sejarah musik dan lagu modern eksperimental, sehingga membuatnya mendapatkan penghargaan. Sejak tahun 2010, Alpensia Concert Hall yang merupakan aula khusus untuk pertunjukan musik klasik, dibuka untuk umum, sehingga menciptakan lingkungan yang nyaman untuk dapat menikmati pertunjukan musik. Di tahun ini, pertunjukan Distinguished Artist Series mencatatkan rekor karena seluruh tiketnya habis terjual. Setiap tahun para arti dan profesor musik handal selalu berpartisipasi, dan 1 Š Yayasan Seni dan Budaya Gangwon

12 KOREANA Musim Dingin 2017


2

keikutsertaan para musisi terkenal dunia pun terbuka luas. Sejak festival ke-8 di tahun 2011, cellist bernama Chung Myung-wha dan violinist bernama Chung Kyung-hwa bersama-sama memimpin orkestra musik. Festival Musik Daegwallyeong Pyeongchang tahun

berbagai perusahaan dari Provinsi Gangwon seperti misalnya perusahaan kopi Terarosa, turut memperkuat festival ini. Di sisi lain, sejak bulan Februari tahun 2016 Festival Musik Musim Dingin Pyeongchang juga diselenggarakan.

ini yang mengangkat lagu-lagu Rusia melalui tema ‘Lagu

Sebagai bagian dari proyek khusus olimpiade, Provinsi

Sungai Volga’, menjadi event simbolis pertunjukan opera

Gangwon dan Kementerian Kebudayaan, Olah raga

yang diadakan di Music Tent yang baru dibuka tahun

dan Pariwisata bekerja sama sebagai tuan rumah,

2012. Festival yang berawal dari konser berorientasi musik

sementera Gangwon Cultural Foundation berperan

kamar (chamber music) tersebut, telah berkembang hingga

sebagai pengawasnya. Festival Musik Musim Dingin

dapat menampilkan pertunjukan opera berskala besar.

Pyeongchang pertama selain menampilkan para solois

Para musisi muda, termasuk art director muda Son Yeol-

pemenang kompetisi Tchaikovsky dan chamber music,

eum, menampilkan pertunjukan ensemble, dan harmoni

juga menampilkan penyanyi Jazz Nah Youn-sun, gitaris

yang tercipta dari para musisi yang berbeda usia dan

Ulf Wakenius dan musisi Jazz lainnya yang berpartisipasi

negara pun sangat solid. Khususnya di tahun ini, di antara

sehingga membuat acara ini memiliki genre.

para penonton, perwakilan kelompok seni nasional yang berpartisipasi untuk Benchmarking luar biasa banyaknya.

Pada Festival Musik Musim Dingin Pyeongchang banyak orang yang datang untuk bermain ski kemudian

Festival Musik Daegwallyeong Pyeongchang

mengetahui adanya pertunjukan musik membuat mereka

menciptakan keselarasan antara para musisi handal dengan

mendatangi acara tersebut, sehingga jumlah tiket yang

sekolah-sekolah musik. Sebenarnya, para siswa tidaknya

terjual melebihi perkiraan.Festival Musik Daegwallyeong

mengambil kelas master dari para master musik saja,

Pyeongchang dan Festival Musik Musim Dingin

namun mereka juga menyaksikan pertunjukan, makan,

Pyeongchang membuat kita mengingat Provinsi Gangwon

jalan-jalan bersama, atau bahkan bertemu di kedai kopi.

dengan dua kata kunci, yaitu ‘bersih’ dan ‘budaya’.

Kehadiran dua music director Chung Myung-wha dan Chung Kyung-hwa pun memancarkan sinarnya. Keduanya ahli dalam pemilihan repertoar dan penempatan artis. Dana sponsor dan dukungan dari para sponsor penting dan hubungan berkelanjutan dengan mereka, adalah know how dari terlaksananya Festival Musik Daegwallyeong Pyeongchang. Pada perhelatan kali ini, Yamaha memberikan sebanyak 40 piano, sehingga dimungkinkan untuk berlatih piano di berbagai tempat di Alpensia. Bersama dengan sponsor dari perusahaan penerbangan,

1. Dipimpin oleh Konduktor Zaurbek Gugkaev, Orkestra Marinsky dan KelompokOpera St. Petersburg, Rusia, menampilkan opera Sergei Prokofiev “Cinta Tiga Jeruk” di Kemah Musik Alpensia. Berdasarkan drama abad ke­18 dengan judul yang sama oleh penulis drama Italia Carlo Gozzi, opera tersebut dipertontonkan perdana di Korea dalam Festival Musik PyeongChang 2017. 2. Dalam seri Artis Ternama dari Festival Musik Pyeong­ Chang 2017, pemain cello Chung Myung­wha, Luís Claret dan Laurence Lesser (dari kiri) bermain “Requiem” karya David Popper, dengan pianis Kim Tae­hyung.

SENI & BUDAYA KOREA 13


FITUR KHUSUS 2 Provinsi Gangwon : Tanah Pegunungan, Mitos dan Kenangan

KEAJAIBAN MUSIM DINGIN Gangwon

Tempat terbaik untuk menikmati musim dingin di semenanjung Korea adalah provinsi Gangwon. Kita tidak hanya dapat menikmati olahraga musim dingin seperti ski, tetapi juga bisa melakukan trekking di atas jalanan bersalju. Di samping itu, Festival Ikan Trout Gunung Hwacheon yang telah diakui sebagai festival internasional beserta festival-festival lainnya juga turut memberikan pengalaman yang menyenangkan bagi para pengunjungnya. Choi Byung-il Treporter wisata dan rekreasi surat kabar Hankuk Gyeongjae. Ahn Hong-beom Fotografer

14 KOREANA Musim Dingin 2017


Janggundan (Altar untuk Dewa Umum) merupakan satu dari tiga altar yang dibangun untuk menyembah surga di atas Gunung Taebaek di zaman kuno. Pada hari pertama Tahun Baru, banyak orang naik ke sini untuk menyaksikan matahari terbit dan berdoa untuk keberuntungan di tahun depan. Mendaki sampai puncak tidak mudah, tetapi pohon­pohon yang tertutup salju indah tercipta jadi jalur hiking yang populer, terutama di musim dingin.

M

usim dingin merupakan musim terbaik untuk mengunjungi Gangwon walaupun tidak ada alasan untuk tidak mengunjungi tempat ini di musim lainnya. Dan cara yang paling menarik untuk menikmati esensi keindahan musim dingin Gangwon adalah melalui kegiatan mendaki gunung atau trekking di mana kita dapat merasakan keindahan alam dengan seluruh tubuh kita. Karena saya tahu betapa besarnya pesona gunung di musim salju, saya pergi mendaki Gunung Taebaek tanpa ragu ketika salju turun dengan lebat tahun lalu. Gunung Taebaek selalu dipenuhi warna merah muda bunga Azalea yang bermekaran di musim semi dan bunga-bunga liar yang tidak diketahui namanya tumbuh membentuk taman surga di gunung ini pada musim panas dan gugur. Namun Gunung Taebaek tetap saja paling indah saat musim dingin di mana salju-salju putih menempel di tiap ranting bagaikan bunga salju. Meskipun hawa dingin menembus pakaian, tapi jika bukan saat mendaki di musim dingin, kapan dan di mana lagi kita dapat melihat pemandangan salju di atas ranting yang terbang tertiup angin bagaikan gerombolan ikan? Meskipun demikian, jarak ke puncak Gunung Taebaek harus ditempuh dengan menyusuri jalan gunung yang ditumpuki salju hingga pergelangan kaki mencapai 4 kilometer. Jarak ini hanya perlu waktu tempuh dua jam di musim panas. Tetapi di musim dingin dengan salju menumpuk, pendakian tersebut dapat memakan waktu sampai 4 jam. Area yang biasa disebut “kkaltakgogae ” (yang berarti jalan menanjak yang membuat pendakinya kehabisan nafas) baru bisa dicapai ketika nafas kita sudah terengah-engah dan bagaikan tersumbat di pangkal leher kita. Namun gunung tidak hanya memberikan penderitaan saja. Setelah melewati altar Cheonjedan, maka seterusnya akan diikuti dengan punggung gunung yang cukup landai. Saat mendinginkan keringat yang terus nmengalir walaupun di tengah musim dingin, punggung pegunungan Baekdu mulai terlihat dari sela-sela hutan. Pendakian gunung musim dingin yang dimulai dengan pemandangan salju kini semakin dekat dengan puncak gunung dan berakhir di tempat habitat pohon Jumok (pohon yew). Pohon yew yang berdiri tegar menahan sayatan angin dingin itu mendekap nyawa hijau yang akan lahir di dalam tubuh kurusnya. Mungkin karena itulah orang-orang zaman dulu mengatakan habitat Jumok ini sebagai “hidup seribu tahun, mati pun hidup seribu tahun”. Pemandangan Gunung Taebaek yang diselimuti salju atau pemandangan jalan Kuil Woljeongsa di Pyeongchang pada saat salju turun juga bagaikan sebuah karya seni. Jika kita berjalan melewati jalan pohon cemara yang dikelilingi oleh padang salju yang menutupi langit dan bumi tanpa setapak jejak kaki apapun, maka sekeliling kita akan menjadi begitu sunyi dan damai. Kesunyian yang tidak dapat diungkapkan sepenuhnya melalui

© Kantor Provinsi Gangwon, Pengembangan Pariwisata Korail

SENI & BUDAYA KOREA 15


sebuah kata ‘sunyi’ ini bersemayam di sini. Bahkan di sini kita merasa seakan-akan salju merendam segala suara dan bunyi di sekeliling kita. Apabila kita lihat pemandangan Kuil Woljeongsa berhujankan salju yang turun kembali ke bawah jubah para bhikku yang sibuk berjalan ke sana- kemari di pagi buta, maka berarti kita telah melihat setengah dari pemandangan musim dingin di provinsi Gangwon. Festival Musim Dingin Sebagai Pengusir Stres Jika tidak berani mendaki gunung di musim dingin, Anda bisa mengunjungi Gangwon saat periode festival musim dingin ketika berbagai macam festival terbuka di sini. Inti dari Festival Salju Gunung Taebaek yang dibuka setiap bulan Januari adalah patung es yang berukuran raksasa, namun memiliki bentuk yang sangat mendetail dan mencerminkan perkembangan zaman. Jika Anda mengunjungi Festival Salju Gunung Taebaek, Anda akan menemukan patung-patung es bernilai seni karya para pemahat es ternama di Korea. Pada bulan Januari 2018, berbagai macam patung es akan dipamerkan untuk merayakan Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang. Di festival ini bukan hanya pamerannya saja yang menarik. Di sini juga terdapat lapangan kereta luncur plastik yang mencekam, pelosotan es yang selalu menjadi favorit anak-anak, dan juga kafe berbentuk rumah salju Eskimo tempat di mana pasangan kekasih atau keluarga dapat mengobrol bersama. Bagi pengunjung yang datang sekeluarga, mereka dapat mencoba pengalaman naik kereta salju yang ditarik oleh anjing-anjing, atau pengalaman naik motor salju di ladang pohon pinus di depan wilayah penginapan Gunung Taebaek. Kita dapat melepaskan stres keseharian kita hingga tak tersisa dengan berlari menaiki kereta salju mengelilingi lapangan salju yang ditarik oleh anjing Siberian Husky . Berbagai macam pengalaman menggunakan salju dan es membuat para pengunjung lupa akan waktu. Bagi orang-orang yang gemar memancing juga dapat merasakan kenikmatan memancing pada musim dingin di Hwacheon, Gangwon. Sejak dulu Hwacheon merupakan daerah yang berkembang dalam bidang aktivitas es karena air beku di sini lebih tebal dan padat kadar kebekuannya. Festival Ikan Trout terutamanya telah melahirkan kembali daerah Hwacheon menjadi kiblat bagi pariwisata musim dingin. Festival ini dibuka setiap bulan Januari hingga Februari di daerah Hwacheon, Irwon. Kini festival ini telah melampaui status sebagai wakil festival musim dingin di Korea, dan termasuk dalam empat besar festival musim dingin di dunia yang juga meliputi Festival Es dan Salju Harbin di Cina, Festival Salju Sapporo di Jepang, serta Karnaval Musim Dingin Quebec di Kanada. Festival ini selama 11 tahun berturut-turut telah mencetak lebih dari satu juta pengunjung dan bahkan muncul dalam buku pelajaran Korea. Pada tahun 2011, CNN (Amerika Serikat) memperkenal-

16 KOREANA Musim Dingin 2017

kan Festival Ikan Trout Hwacheon dengan sebutan “Tujuh Keajaiban Musim Dingin (7 wonders of winter)”. Selama festival berlangsung, terdapat berbagai macam kegiatan seperti memancing ikan trout di sungai es, menangkap ikan trout dengan tangan telanjang, naik kereta salju, dan sebagainya. Ikan hasil tangkapan kita dapat langsung dimasak di restoran yang telah disediakan di sekitar lokasi festival. Ikan trout merupakan bahan makanan mewah yang konon disampaikan bahwa ikan ini digemari oleh para taois di Cina karena kekayaan gizinya, sementara di Jepang digunakan sebagai hadiah yang dihaturkan kepada kaisar mereka. Selama festival berlangsung, budaya menghidupkan “lentera pembimbing menuju dunia tempat para taois hidup” juga diadakan bersama. Di malam yang sunyi, sungai Hwacheon yang dihujani cahaya bintang dan lentera yang bergantungan di sekitar pasar bersinar terang menerangi langit malam. Festival Ikan Trout Pyeonchang juga cukup terkenal meskipun skalanya lebih kecil daripada Festival Ikan Trout Hwacheon. Festival ini berlangsung cukup panjang dari akhir bulan Januari sampai akhir bulan Februari setiap tahunnya di pinggir kali Odaecheon. Selain program seperti memancing ikan di sungai es, menangkap ikan dengan tangan telanjang, memancing sekeluarga, dan sebagainya; juga terdapat berbagai permainan musim dingin seperti kereta luncur salju, rafting salju, bobsled, kereta es, dan lain-lain. Romantisisme Perjalanan Kereta Cara lain untuk menikmati daya tarik musim dingin Gangwon adalah dengan menaiki kereta. Begitu kita menaiki kereta, maka rasa dingin yang menyayat kulit pun akan menjadi sebuah keromantisan. Jika kita duduk di kursi kereta yang nyaman sambil memandang salju yang berjatuhan di luar jendela, maka badan kita akan menjadi begitu hangat dan hati yang kering akan menjadi lembut. Setiap kali kereta berhenti sejenak di stasiun persinggahan, tidak ada yang bisa menahan kita untuk tidak kembali pada keluguan masa kecil kita. Saat saya menaiki kereta musim dingin di suatu hari, orangorang dengan muka merah berkerumun di depan platform. Dengan mengesampingkan segala kecemasan untuk menyetir di atas jalanan es atau kekhawatiran menaiki subway yang penuh dengan orang-orang, saya menaiki “kereta salju jalur lingkar (loop line)” yang hanya beroperasi dari bulan Desember hingga akhir Februari. Perjalanan ini adalah perjalanan satu hari di mana kita dapat melihat lembah bersalju dalam perjalanan yang bermula dari stasiun Seoul ke stasiun Chujeon, stasiun Seungbu, dan stasiun Danyang. Pemandangan padang salju yang berbeda dengan kota langsung menarik perhatian saya begitu meninggalkan Seoul. Salju yang menumpuk di atas atap, di pinggiran sawah, dan


Kereta Laut berjalan di sepanjang Pantai Timur. Kereta wisa­ ta memiliki tempat duduk bertingkat yang memungkinkan penumpang melihat laut dengan jelas. Š Pengembangan Pariwisatea Korail

di tepi anak sungai begitu indah. Kereta ini bergerak pelan di antara pemandangan-pemandangan itu dan setiap kereta ini berlaju butir-butir salju ikut beterbangan. Duduk bersama teman sambil memakan kimbab dan berbagi cemilan setelah sekian lama waktu berlalu, saya teringat akan kenangan perjalanan kereta api di masa lalu. Kira-kira telah berapa lama waktu bergulir? Di luar jendela, kereta ini melewati desa yang terselubung oleh salju dan memperlihatkan pemandangan dunia salju yang secara otomatis mengundang decak kagum. Perhentian pertama kereta ini adalah stasiun Chujeon. Dengan ketinggian 855 meter di atas permukaan laut, stasiun ini adalah stasiun tertinggi yang dapat dilewati oleh rel kereta di Korea. Setelah melewati 4,5 kilometer terowongan Jeongam selama delapan menit, stasiun Chujeon menampakkan wajahnya. Nama stasiun ini berarti “berdiri di tempat tumbuhnya pohon Lespedeza �. Tempat ini memiliki rata-rata suhu yang rendah sehingga memiliki musim dingin yang lebih panjang.

Pemandangan atap yang tertutup salju, serta sawah dan sungai yang diselimuti salju menghangatkan hatiku. Kereta itu berjalan pelan, namun tetap saja roda itu menyrempotkan wsalju saat ia melaju. SENI & BUDAYA KOREA 17


Resor Ski Yongpyeong di Pyeongchang, Dibangun pada tahun 1975, merupakan resor ski pertama di Korea dan kiblat kegiatan rekreasi musim dingin. Begitu musim ski dimulai di awal musim dingin, pemain ski dan pemain papan saljuberkumpul di sini dari seluruh penjuru negeri.

Kereta saya berhenti di stasiun ini selama kurang lebih 20 menit. Ketika saya turun sejenak di sela waktu pemberhentian itu, udara dingin menyentuh muka saya. Secangkir Kopi di Musim Dingin Provinsi Gangwon Tidak ada minuman lain yang sesuai dengan pemandangan musim dingin selain kopi panas. Namun sebenarnya saya tidak mudah untuk percaya bahwa Gangneung menjadi pusat berkembangnya usaha kopi sejak beberapa tahun yang lalu. Kemudian saya baru mulai bisa mengerti mengapa Gangneung dinamakan demikian setelah mengunjungi Gangneung dan menemukan bahwa segala sesuatu mengenai kopi terdapat di tempat ini. Dari museum kopi, perkebunan kopi bahkan pabrik kopi juga terdapat di sini. Festival kopi diselenggarakan di sini sejak tahun 2009, sehingga tidak berlebihan bila Gangneung disebut sebagai “kiblat kopi” di Korea. Saat ini terdapat sekitar 200 kafe kopi di sini dan toko-toko ini menghasilkan nilai tambah lebih dari 200 milyar won per tahun. Perjalanan wisata kopi ke Gangneung dimulai dari pelabuhan Gangneung yang baru-baru ini berubah nama menjadi pelabuhan Anmok. Pantai Anmok yang dijuluki “pantai kopi” memiliki lebih banyak kafe kopi daripada rumah makan ikan sesuai dengan julukannya. Selain itu, di sepanjang pantai Anmok, terdapat mesin kopi otomatis. Meskipun kita bisa berpendapat bahwa rasa kopi mesin otomatis sama saja di mana-mana, namun setiap mesin dikatakan memiliki bahan dan campuran yang berbeda sehingga memiliki rasa yang sedikit berbeda juga. Dulu terdapat lebih dari seratus mesin kopi di sepanjang pantai ini. Tapi kini hanya tinggal puluhan mesin saja yang bertahan di sini. Sebagai gantinya, kafe kopi yang menjual secangkir kopi dari biji kopi hasil panggangan sendiri dan diseduh dengan hand drip memenuhi pantai ini.

18 KOREANA Musim Dingin 2017

Kafe untuk kopi tetes (drip coffee) yang terkenal di Gangneung adalah kafe Bohemian. Pemilik kafe ini adalah Park I-chul yang berperan besar dalam perubahan Gangneung menjadi mekahnya kopi seperti sekarang ini. Pak Park yang merupakan campuran Korea dan Jepang merupakan salah seorang dari empat orang barista ternama dalam sejarah barista di Korea. Dua di antaranya telah meninggal dunia dan seorang lainnya telah pindah ke Amerika. Jadi kini hanya Pak Park yang tinggal di Korea. Maka tidak berlebihan jika Pak Park dikatakan sebagai penyebar minat akan kopi dengan membuka kafe kopi di Gangneung dan mendidik muridnya satu demi satu. Tempat kopi tetes ternama lainnya adalah Terrarosa. Kafe yang dijuluki “pabrik kopi” ini dibuka pada tahun 2002 saat pertandingan sepak bola dunia World Cup berlangsung di Jepang dan Korea. Tempat ini menjual biji kopi dari Etiopia sampai Guatemala, memperlihatkan betapa dalamnya kecintaan mereka terhadap kopi. Bongbong Bangatgan yang terletak di tengah kota Gangneung, Myeongju-dong juga merupakan kafe kopi yang harus dikunjungi. Pemilik kafe ini membeli gudang penggilingan dan kemudian memenuhi aroma ruangan ini dengan aroma kopi. Tepat di sebelahnya terdapat tempat untuk mencoba kopi dan ruang untuk membaca buku-buku mengenai kopi yang menarik perhatian pengunjungnya. Jika kafe-kafe ini meningkatkan kualitas kopi di Gangneung, maka tokoh utama yang memperluas budaya kopi di sini adalah coffee cupper – yaitu pencicip seduhan kopi – pertama di Korea yang membuat panggangan dan campuran biji kopi khusus untuk industri kopi. Jika kita telah menikmati pendakian gunung, berjalan-jalan dengan menaiki kereta, memancing ikan di sungai es dalam berbagai macam festival, dan menikmati secangkir kopi di Gangwon, maka dapat dikatakan kita telah melewati musim dingin yang hangat.


Gangneung yang terletak di tengah pesisir pantai timur Provinsi Gangwon merupakan tempat kelahiran tokoh-tokoh sejarah dan terkenal dengan banyaknya warisan budaya lama. Namun kini tempat yang dulunya memiliki daya tarik klasik ini mendapat identitas baru bersamaan dengan munculnya sebutan baru Gangneung sebagai kiblat kopi. Semua itu dimulai dari mesin penjual kopi otomatis. Pada tahun 1980-an beberapa mesin penjual kopi ini diletakkan di Pantai Anmok yang terletak di tepi Gangneung. Kemudian rumor mengenai keenakan kopi ini menyebar dan jumlah orang yang datang mengunjungi pantai ini hanya untuk meminum kopi semakin bertambah sehingga jumlah mesin kopi pun ikut bertambah. Baru pada tahun 2001-lah sebuah kafe kopi berlantai tiga yang berdindingkan kaca memasuki pantai ini. Orang-orang terheran ketika melihat kafe berpenampilan

1. Choi Geum­jeong, direktur Museum Kopi di Wangsan­myeon, Gangneung, memerik­ sa pameran. Demikian juga CEO Coffee Cup­ per, dia mengabdikan diri untuk mempro­ mosikan budaya kopi. 2. Kawasan sekitar Pelabuhan Gangneung dan Pantai Anmok merupakan “jalan kopi” yang terkenal dengan sekitar 200 kafe, menjadikan kota pelabuhan itu sebagai kiblat kopi Korea. Kedai kopi mulai tum­ buh di sini pada awal tahun 2000­an.

1

modern yang hanya dapat dilihat di kota-kota itu berdiri di tengah desa nelayan yang penuh dengan rumah beratapkan batu tulis. Orang-orang yang hanya pernah meminum kopi

2

manis berisikan gula dan krim susu merasa asing dengan kopi

Gangneung, Lahir Kembali Sebagai Kota Kopi di kafe ini yang penuh dengan aroma khas kopi. Ditambah lagi,

berubahnya Gangneung menjadi kota kopi, pemilik kafe Coffee

harga kopi di sini jauh lebih mahal daripada kopi dari mesin

Cupper, Choi Geum-jeong menjelaskan, “Guru besar kopi Park

otomatis.

I-chu menempati Gangneung pada tahun-tahun awal dan

Mereka yang dulunya menikmati kopi di kedai kopi

mendirikan pabrik kopi di sini. Selain itu pihak pemerintah kota

bernuansa redup dan bergaya kuno berpikir siapa yang mau

juga menyelenggarakan festival kopi setiap tahun. Berbagai

meminum kopi di tempat yang seluruh pejurunya terbuat

macam faktor inilah yang bersatu menciptakan suatu sinergi.”

dari kaca itu sehingga seisi kafe terlihat dari luar, dan mereka

Tetapi bagaimana pun juga tokoh utama yang berperan

berpikir kafe ini akan segera tutup. Namun perkiraan mereka

dalam perkembangan kopi di kota ini adalah Ibu Choi. Ia

meleset. Dalam waktu kurang dari setahun, para pengunjung

membawa dan menanam dua puluh batang pohon kopi dari

mengantre untuk membeli kopi di sini. Kemudian di sekitar

Pulau Jeju pada awal tahun 2000 dan kini menjual bibit pohon

kafe ini bermunculan kafe-kafe lainnya satu demi satu, dan

tersebut. Selain itu ia juga membuka museum kopi pertama

seiring berlalunya waktu Pantai Anmok dan sekitarnya dipenuhi

di dalam negeri dan memperkenalkan budaya kopi kepada

dengan kafe-kafe kopi. Orang-orang dari seluruh pelosok negeri

khalayak luas. Museum kopi yang terletak di Wangsan-myeon

yang datang mengunjungi “jalanan kafe” ini meningkat drastis

ini penuh peralatan langka dan dokumen-dokumen mengenai

dan konon kini penduduk Gangneung bahkan menikmati hand-

kopi dari berbagai negara yang dikoleksi oleh Ibu Choi bersama

drip di rumah mereka.

suaminya selama bertahun-tahun. Di samping itu, museum ini

Nama kafe yang pertama kali dibuka di Pantai Anmok itu adalah “Coffee Cupper”. Sekarang kafe ini telah meluas di

juga memiliki berbagai program pengalaman yang dapat dicoba oleh para pengunjungnya.

Gangneung hingga mencapai enam cabang. Mengenai alasan

SENI & BUDAYA KOREA 19


FITUR KHUSUS 3 Provinsi Gangwon : Tanah Pegunungan, Mitos dan Kenangan

TEMPAT KEHIDUPAN yang Tercipta

Penuh Kekayaan Alam

20 KOREANA Musim Dingin 2017


Di Gangwon-do, yang wilayahnya sebagian besar adalah pegunungan dan memiliki suhu lebih rendah jika dibandingkan dengan wilayah lain di Korea, pertanian dataran tinggi, peternakan dan kehutanan telah dikembangkan secara khusus. Di sini mata kita dapat melihat gunung dan sungai yang indah, lalu laut yang jernih yang terhampar sepanjang garis pantai, menjadi sumber daya industri pariwisata bagi ekonomi lokal. Lee Byung-oh Profesor di Departemen Sumber Daya Pertanian dan Ekonomi Universitas Gangwon Ahn Hong-beom Fotografer

T

opografi dan iklim menciptakan pemandangan kehidupan yang berbeda. Gangwon-do yang berada di ujung utara Korea Selatan memiliki iklim yang lebih sejuk dan gunung yang banyak. 81% dari kese luruhan wilayahnya tertutup oleh pegunungan, sehingga lebih tinggi dari rata-rata wilayah Korea Selatan lainnya yang hanya 63%. Topografinya yang terdiri dari jejeran pegunungan tiada akhir memberikan pengaruh besar pada cara bertahan hidup orang-orang Gangwon-do dan menjadi penyebab munculnya struktur industri khusus yang hanya ada di wilayah ini. Di area pertanian di bagian tengah dan selatan semenanjung Korea, sawah padi lebih banyak atau sama dengan ladang, namun di Gangwon-do yang memiliki banyak gunung didominasi oleh pertanian ladang, serta kekayaan bawah tanahnya yang melimpah. Selain itu, banyak gunung seperti gunung Seorak, gunung Chiak, gunung Taebaek telah dijadikan sebagai taman nasional sehingga membuat industri pariwisata berkembang. Lingkungan alam yang asri tersebut hanya berjarak 1 – 2 jam dari pusat kota sehingga pada musim gugur banyak yang mengunjunginya untuk melihat daun-daun berguguran, dan pada musim dingin datang untuk bermain salju atau bermain ski. Kondisi alam seperti itu lah yang menjadi dasar diselenggarakannya Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang tahun 2018. Akan tetapi, gunung tidak merepresentasikan segala hal di Gangwon-do. Hal lain yang juga membentuk Gangwon-do secara keseluruhan adalah laut timur. Bagi orang-orang yang tinggal di sekitar laut, laut adalah awal kehidupan.

Karena fitur geografisdan iklimnya, Provinsi Gangwon dikenal karena pertanian dataran tingginya. Termasuk kubis dan lobak putih, sayuran yang diproduksi di ladang pada ketinggian 600 sampai 800 meter di atas permukaan laut dijual ke seluruh negeri, menjangkaup lebih dari 90 persen pasar nasional.

Pertanian Dataran Tinggi yang Berkembang di Wilayah Gunung yang Sejuk Gangwon-do memiliki luas wilayah 16.874㎢ atau 17% dari luas wilayah keseluruhan Korea Selatan, dan menempati urutan kedua provinsi terluas setelah Gyeiongsangbok-do. Namun sebaliknya, jumlah penduduknya hanya sekitar 1,55 juta orang atau 3% dari total keseluruhan penduduk, dan menjadi provinsi berpenduduk paling sedikit setelah Jeju-do. Di antara jumlah penduduk tersebutDi antara jumlah penduduk tersebut. Di antara jumlah tersebut, penduduk yang bermatapencaharian sebagai petani adalah 176.000 orang atau 11% dari total penduduk Gangwon-do, dan lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata wilayah lain di Korea Selatan yang hanya 5%. Karakteristik geografis dan iklim wilayahnya mendorong berkembangnya pertanian kering, khususnya pertanian dataran tinggi. Pertanian dataran tinggi yang berada di dataran dengan ketinggian sekitar 600 – 800 meter di atas permukaan laut dimulai ketika para petani dari penjuru negeri membuka lahan pertanian di gunung dengan cara membalak dan membakar pada masa kekurangan makanan dulu. Dari awal musim panas hingga musim gugur, vegetasi hijau yang terhampar luas di lereng gunung menjadi pemandangan yang menakjubkan. Di gunung yang tinggi, sayur-sayuran ditanam di awal musim semi dan akan tumbuh sepanjang musim panas, lalu akan dijual mulai Agustus hingga akhir Septermber. Sayur-sayuran seperti sawi putih, lobak putih, kol, bawang bombay, wortel dan kentang yang sulit tumbuh di musim panas di wilayah bersuhu hangat di Korea, dapat tumbuh dengan baik di gunun Pyeongchang, Gangneung, Jeongseon, dan Taebaek. Sayuran-sayuran tersebut memiliki keuntungan besar di pasar di penjuru Korea dan menjadi sumber pendapatan utama bagi para petani di desa-desa di gunung, walaupun di sisi lain mereka menderita karena kondisi pertanian yang miskin. Pangsa pasar di dalam negeri untuk sawi putih adalah 93% dan kentang

SENI & BUDAYA KOREA 21


1

adalah 32%. Di samping itu, daun lobak atau daun kol yang dkeringkan (siraegi ), dikenal memiliki berbagai kandungan gizi yang menjadi komoditi khas desa Punchbowl di wilayah Yanggu karena mereka terkenal terutama dengan rasanya yang lezat. Karena hampir semua orang Korea makan kimchi (sayuran yang diasinkan, dibumbui dan difermentasikan), sawi putih dan lobak putih sebagai bahan baku utamanya, selalu memiliki permintaan yang besar sepanjang tahun. Pada musim panas dan gugur, area pertanian dataran tinggi Gangwon-do bertanggung jawab untuk memasok kebutuhan sayuran untuk pembuatan kimchi bagi hampir seluruh wilayah di Korea Selatan, sehingga naik turunnya hasil produksi mereka sangat mempengaruhi harga dalam negeri. Dari perspektif kesinambungan, bagaimanapun juga, pertanian dataan tinggi memiliki sejumlah permasalahan. Misalnya, tanah curam yang tinggi di gunung sering mengalami pengikisan selama musim hujan di musim panas sehingga menyebabkan cairan kimia pertanian mengalir menuju sungai. Selain itu, harga sayuran yang fluktuatif menimbulkan transaksi yang spekulatf. Untuk alasan tersebut, banyak yang lantang menyuarakan untuk dilakukan reboisasi pada lahan di tanah yang curam dan menjalankan pertanian yang ramah lingkungan. Baru-baru ini, perubahan iklim telah meningkatkan budi-

22 KOREANA Musim Dingin 2017

daya tanaman yang jarang diproduksi di sini sebelumnya, seperti jelai, apel, kesemek, dan lainnya. Selain itu, nilai tambah tinggi yang tercipta di industri benih telah mendorong pemerintah provinsi untuk memberlakukan peraturan untuk mendukung peternakan guna mengembangkan benih unggul untuk kentang dan berbagai jenis biji-bijian. Kemudian, florikultur dataran tinggi dan budidaya melon dan asparagus juga muncul sebagai komoditas pertanian strategis. Lingkungan Alam yang Diberkati Menghasilkan Kualitas Tinggi Wilayah Gangwon-do tertutup hutan dengan luas 13.716km2 dan lebih luas dibandingkan dengan wilayah lain di Korea Selatan. Akan tetapi, hutan tersebut tidak cocok untuk menghasilkan kayu yang bagus jarena berada di gunung yang curam dan berbatu. Pohon yang banyak tersebar di hutan ini adalah pohon pinus dan pepohonan berdaun lebat, dan produk utama yang dihasilkan hutan ini adalah kacang pinus, jamur pinus, tanaman herbal liar dan sayur-sayuran. Secara spesifik, jamur pinus yang diproduksi di wilayah Yangyang dianggap sebagai yang terbaik di Korea yang dijual dengan harga lebih dari 600.000 won per kg, dan terkadang harganya dapat lebih tinggi dibandingkan jamur yang sama yang diproduksi di wilayah lain. Jamur pinus grade satu memi-


2

liki panjang lebih 8 cm dengan bagian topinya tidak menyembul keluar. Jamur yang baik dipetik dari pohon pinus yang usianya lebih dari 20 tahun, yang tumbuh alami di gunung, biasanya di area yang berada di 7/10 dari ketinggian puncak gunung di mana memiliki sirkulasi udara yang baik dan tanahnya tertutupi oleh tebalnya rontokan daun pinus. Karena jenis lahan seperti ini umum dijumpai di Yangyang, sehingga menjadi tempat yang optimal untuk memproduksi jamur pinus berkualitas tinggi. Kebanyakan dari jamur tersebut langsung dimasukkan ke pendingin begitu dipetik kemudian dikemas untuk diekspor ke Jepang melalui jalur udara. Spesies ternak yang umumnya dibudidayakan di Gangwon-do adalah sapi, babi dan ayam, yang memiliki pangsa pasar di penjuru negeri masing-masing 7%, 4%, dan 3%. Tingkat daging sapi berkualitas tinggi yang diproduksi di Gangwon-do (86%) sedikit lebih tinggi dari rata-rata nasional (84%). Perbedaannya terletak pada pengaruh kondisi iklim dan geografis, serta sebuah hasil dari usaha peningkatan kualitas yang konsisten. Rumput, air dan udara yang bersih, serta temperatur harian yang baik, berkontribusi dalam peningkatan deposisi lemak intramuskular pada sapi, sehingga memproduksi daging sapi berkualitas yang lembut dan gurih. Daging sapi yang dihasilkan di wilayah Hoengseong, Pyeongchang dan Hongcheon dikenal sebagai yang terbaik, bahkan daging sapi

1. Ternak yang berasal dari Korea, disebut hanu, merumput di padang rumput dari akhir Mei sampai pertengahan November, dan di sisa tahun memakan biji­bijian di kendang. Daging sapi Korea yang diproduksi di Provinsi Gangwon terkenal karena rasa dan kelembutannya. 2. Lapangan pengeringan ikan pollack di Yongdae­ri, Inje County, terlihat jajaran pollack kering yang tergantung di rak. Sementara dikeringkan di udara terbuka yang dingin sepanjang musim dingin, ikan itu berubah menjadi kuning keemasan dan dagingnya tumbuh lebih lembut dan lezat.

dari wilayah Hoengseong dan Daegwallyeong, sudah diekspor ke Hong Kong. Tempat Penghasil Utama Pollack yang dikeringan yang Dijual Di Penjuru Negeri Panjangnya garis pantai sepanjang laut timur juga menjadi karakteristik geografis dari Gangwon-do, dengan laut lepasnya yang menghasilkan ikan yang melimpaah. Cumi-cumi adalah mayoritas hasil tangkapannya, sedangkan kerang dan tunicata (sea squirt ) dibudidayakan di tambak. Dahulu, pollack Alaska dapat ditangkap dengan jumlah yang sangat banyak, namun saat ini tidak lagi seiring dengan berubahnya suhu air laut. Lembaga Sumber Daya Perikanan di Kantor Pusat Rim Laut Timut Pemerintah Provinsi Gangwon, mencoba untuk meningkatkan panen pollack dengan cara pelepasan bayi-bayi pallock secara artifisial ke lautan. Pollack Alaska telah lama menjadi ikan favorit banyak orang Korea yang diproses dan dimasak dengan berbagai cara,

SENI & BUDAYA KOREA 23


Berbeda dengan bagian tengah dan selatan semenanjung Korea, di mana proporsi sawah ke ladang kering serupa atau sedikit lebih tinggi, provinsi timur laut pegunungan sangat bergantung pada pertanian kering dan kaya akan sumber alam bawah tanah. Jamur pinus secara khusus terdapat di Wilayah Yangyang, banyak diekspor ke Jepang.

seperti direbus untuk dibuat sup atau semur, dikeringkan atau dikeringkan dan dipanggang. Telur (myeongnanjeot ) dan usus (changnanjeot ) ikan ini juga memiliki rasa yang spesial dan biasa diolah dengan dikeringkan atau diasinkan. Pada masa panen pollack , kota Sokcho memproduksi banyak pollack yang diasinkan dan sebagian besar diekspor ke Jepang Jika pollack dikeringkan pada musim dingin dengan diangin-anginkan di udara luar, dagingnya menjadi lembut dan dapat disimpan untuk jangka waktu lama. Jika sudah keringwarnanya menguning dan disebut sebagai hwangtae (yellow pollack ). Daerah Yongdae-ri di wilayah Inje-gun, terkenal dengan pollack keringnya dikeringkan dengan cara digantung di batang kayu. Saat ini pollack yang diolah di dalam negeri diimpor dari Rusia, dan pollack kering yang dipasarkan ke penjuru Korea lebih dari 70% adalah pollack yang diolah di daerah Yongdae-ri Inje-gun atau Daegwallyeong. Tempat yang terbaik untuk melakukan pengeringan adalah tempat yang memiliki suhu di bawah -10ÂşC pada malam hari di musim dingin dan matahari bersinar sepanjang hari, serta angin

24 KOREANA Musim Dingin 2017

yang kencang dan sedikit salju. Pollack harus dikeringkan secara perlahan, dibekukan dan The fish should be dried slowly, frozen and dicairkan setiap hari sepanjang musim dingin untuk mendapakan kekenalan dan rasa daging yang lezat serta warna kekuningan. Di Korea, banyak keluarga yang menyimpan pollack kering di dapur mereka untuk dimasak menjadi sup dan disajikan untuk suami yang pulang dalam keadaan mabuk. Tempat Liburan untuk Wisata 4 Musim Udara bersih dan pemandangan indah serta kedekatan geografis dengan ibu kota membuat Provinsi Gangwon menjadi populer. Teman, keluarga dan kelompok lainnya mengunjungi peternakan menikmati kegiatan seperti memancing di sungai, memanen tanaman dan sayuran, dan membuat produk makanan olahan, seperti kue beras, kacang beku, sosis dan sejenisnya. Mereka membayar untuk kegiatan itu dan untuk makanan yang dipanen atau diproduksi, yang bisa dinikmati di tempat atau dibawa pulang. Festival pedesaan semakin popular sebagai agrowisata di provinsi ini. Di antaranya: Festival Tomat Hwacheon di musim panas dan Festival Daging Sapi Hoengseong di musim gugur. Keanekaragaman acara menjadi daya tarik sejumlah besar wisatawan. Sejumlah fasilitas eko wisata dibangun di kawasan hutan yang indah sebagai destinasi utama. Hoengseong menyediakan program pengalaman khusus di Pusat Nasional Kegiatan Hutan (Soopchewon). Sementara itu, kota Chuncheon menyediakan fasilitas pembelajaran ekologi - Taman Bunga dan Pohon Provinsi (Hwamogwon), Museum Kehutanan dan Taman Pengalaman Hutan - untuk wisatawan dan mahasiswa dari kota lain, untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai manfaat hutan. Melalui sistem pesanan online pengunjung bisa beristirahat, bersantai dan bermalam di hutan rekreasi yang diciptakan di seluruh provinsi. Akhirnya, Desa Rumah Beratap Papan (Neowa Maeul), terletak jauh di dalam Gunung Sin-ri di tepi Samcheok, memiliki rumah-rumah berarsitektur pribumi. Pemandangannya yang unik menjadikan desa sebagai objek wisata yang populer. Saat ini, lebih dari 170 desa di Provinsi Gangwon menyediakan Program agoiwisata, menyumbang 19 persen kepada negara, dan menarik 2,3 juta pengunjung setiap tahunnya.


Belakangan ini pola makan masyarakat menjadi bergaya barat dan lebih sederhana, sehingga sangat sulit menemukan makanan tradisional pedesaan atau makanan rakyat. Namun, di daerah pinggiran kota Gangneung, terdapat sebuah restoran Korea bernama ‘Seojichogatteul (halaman rumah beratap jerami di Seoji)’ yang menyajikan menu makanan tradisional sesuai dengan resep aslinya, sehingga mampu menarik banyak wisatawan. Restoran yang dibuka pada tahun 1998 oleh nyonya Choi Young-gan berbekal pengalaman dan harapan, kini telah berusia 20 tahun dan dinobatkan sebagai ‘Restoran Korea Tradisional no.1’ oleh Pusat Teknik Agrobudaya Gangneung dan ‘Restoran Keluarga’ oleh badan promosi desa pertanian. Di belakang bangunan Hanok (rumah tradisional Korea) yang saat ini digunakan sebagai restoran, terdapat rumah tradisional

Menghadirkan Kembali Masakan Desa Dulu dengan Hati

pertanian milik keluarga petani besar. Keluarga yang memiliki lahan untuk ditanam tersebut biasanya menyediakan makan siang dan makan malam untuk 20 – 30 orang. Makanan yang disajikan umumnya nasi kacang merah, sup rumput laut, kimchi, tahu, rumput laut goreng, sirutteok, baekseolgi dan lainnya, yang biasanya disajikan bersama dengan Makgeolli (minuman beralkohol dari fermentasi beras).

kuno berusia lebih dari 200 tahun yang dibiarkan bentuk aslinya

Di satu sisi, jilsang adalah makanan yang disajikan

dan masih ditempati oleh anggota keluarga pemilik restoran.

ketika mengadakan jamuan bagi para pekerja yang telah

Di tempat ini, dipenuhi oleh semangat dari Jo In-hwan, yang

berpartisipasi menyumbangkan tenaga yang telah dilaksanakan

merupakan kakek mertua dari nyonya Choi Young-gan yang

pada awal bulan Juli dan juga diadakan sebagai penutup acara.

juga adalah seorang cendekiawan konfusianisme terkenal pada

Pada jilsang, ‘jil’ berarti para pekerja yang bekerja saling tolong

akhir era kerajaan Joseon..

menolong di masa lampau. Meja saji saat tersebut menyajikan

Di rumah tua ini, menggantung figura bertuliskan ‘Yeojaedang’ yang memiliki makna tersebut. Restoran Seojichogatteul menyajikan menu dengan

berbagai makanan sehat dan mencerminkan balasan atas tenaga dari para pekerja yang membantu menanam padi dan harapan agar menjalani musim panas dengan lancar.

nama yang unik, seperti Menanam Padi (motbap), Jamuan

Jika pada jamuan ini ada pekerja bujang yang usianya 20

Setelah Tanam Padi (jilsang), Menyambut Tamu, Hari Bertemu

tahun, maka tuan rumah mengumumkannya kepada para

Ipar, Ulang Tahun Pertama Menantu setelah Menikah, dan

pekerja dan memberikan selamat dengan mengadakan upacara

sebagainya.. Motbap adalah makanan yang dulu disajikan

kedewasaan.

untuk para pekerja ketika melakukan penanaman pada lahan

Saat ini, sajian seperti motbap ataupun jilsang hanya dipandang sebagai menu yang aneh, namun pada masyarakat

Choe Yeong­gan, pemilik Seojichogatteul, sebuah restoran Korea di pinggiran Gangneung, menunjukkan “Jilsang,” sebuah menu bertanda tangan dari restorannya. Bermacam­macam hidangan sehat, makan besar itu disiapkan oleh keluarganya selama be­ berapa generasi untuk para petani di desa tersebut yang menye­ diakan tenaga kerja selama musim bertani yang sibuk.

tradisional yang hidupnya bergantung kepada pertanian, itu adalah bagian dari kehidupan yang dijalani bersama dengan tetangga sekaligus proses alami pertanian dalam satu tahun.

SENI & BUDAYA KOREA 25


FITUR KHUSUS 4 Provinsi Gangwon : Tanah Pegunungan, Mitos dan Kenangan

© Eom Sang-bin

KENANGAN PEDIH PARA PENGUNGSI di Desa Pesisir Sokcho 26 KOREANA Musim Dingin 2017


Sokcho terletak di bawah Garis Demarkasi Militer membelakangi Gunung Seorak dan menghadap ke Laut Timur, dulunya merupakan tanah Korea Utara yang terletak di 38 derajat lintang utara yang membelah dua semenanjung Korea tepat setelah tanah ini merdeka pada tahun 1945. Saat gencatan senjata perang Korea berlangsung pada tahun 1953, Garis Demarkasi Militer bergeser ke Utara dan kemudian wilayah ini menjadi tanah Korea Selatan. Di tanah ini, desa tempat orang-orang tak berkampung halaman yang meninggalkan Korea Utara ketika perang berlangsung masih ada hingga saat ini.

Pengungsi Korea Utara yang melarikan diri ke selatan selama Perang Korea mem­ buat sebuah desa di sepanjang pantai Sokcho menjadi rumah sementara mereka, namun mereka belum dapat mewujudkan impian mereka untuk kembali ke kampung halaman.

Song Young-man Direktur Penerbit Hyohyung Ahn Hong-beom Fotografer SENI & BUDAYA KOREA 27


K

im Eui-jun, ketua dewan kota, menampakkan raut muka mengenang masa lalu setiap muncul pembicaraan mengenai kampung halaman. Pada sebuah pertemuan di suatu malam September lalu dengan Pak Kim di teras rumah makan masakan lokal provinsi Hamgyeong terkenal bernama Shindashin , beliau terlihat begitu muda dan sangat energik. “Meskipun ingatan saya samar karena ketika itu masih lima tahun, tetapi situasi pada hari itu sangat nyata dalam ingatan saya”, kata Pak Kim sambil mengingat kembali peristiwa-peristiwa di masa perang. Ayahnya beserta tujuh saudara laki-laki dan seorang saudara perempuannya berhasil menyeberang ke Korea Selatan. Saat itu bulan Januari 1952, setahun setelah peristiwa evakuasi Heungnam. Konon tiga buah kapal berlayar bersama dari Shinpo menuju Selatan. Dengan kurang lebih 80 penumpang tiap kapalnya, sekitar 250 penumpang berlayar keluar menerobos lautan Pulau Mayang. Namun malangnya, salah satu dari kapal tersebut tenggelam tertembak tentara Korea Utara. Suara Pak Kim terdengar parau saat menyampaikan cerita ini. “Mungkin semua orang yang menaiki kapal itu terenggut nyawanya karena musim dingin yang menusuk ketika itu menjadikan air laut sedingin es. Orang-orang yang bertahan hidup berlayar turun ke Busan, dan kemudian naik lagi hingga ke desa Abai ini hanya dengan berbekal kepercayaan bahwa mereka akan dapat kembali lagi ke kampung halaman mereka. Kini tak terasa 65 tahun telah berlalu.” Kata “Abai” adalah dialek daerah Hamgyong yang memiliki arti “ayah” atau “orang tua”. Desa Abai dinamakan demikian karena desa ini dibangun seusai perang dengan nafas berat oleh para suami yang dulunya hidup dengan pekerjaan laut.

Alamat Rumah di Korea Utara Abadi di Dalam Hati Keluarga Pak Kim tergolong kaya berkat usaha pabrik makanan kalengan milik kakeknya yang cukup besar di daerah Shinpo-eup, kabupaten Bukcheong, provinsi Hamgyeong, yang sekarang merupakan tanah Korea Utara. Namun bagi tentara Korea Utara, masyarakat kelas borjuis menjadi sasaran pembersihan. Alasan ini membuat keluarganya tidak memiliki pilihan lain selain menyeberang ke Selatan. Sebelum ayahnya meninggal dunia, ia memberikan sebuah peta gambaran tangan kepadanya. Pak Kim mengeluarkan secarik kertas yang telah pudar warnanya dari dalam dompet. Di dalamnya tergambar desa kampung halamannya dengan jelas. Di seberang Penginapan Dermaga di daerah Shinpo 2, di sebelah kanan asosiasi nelayan tertera tulisan berbunyi “rumah kita” dengan jelas. Di daerah Shinpo 3 yang terletak di seberang jalan raya, terdapat pangkalan pusat tentara Korea Utara. Pada salah satu sisi kertas itu tertera alamat dan nomor telepon “nomor 727 Shinpo 2, kabupaten Bukcheong, provinsi Hamgyeong Selatan, nomor telp. 331” dalam karakter Cina dengan rapi dan jelas. Meskipun alamat dan nomor telepon itu pasti sudah tidak digunakan lagi saat ini, namun Pak Kim selalu membawa kertas itu di dalam dompetnya. Jika Korea bersatu kembali, Beliau mengatakan bahwa hal yang paling dulu akan ia lakukan adalah membawa kertas ini dan pergi ke kampung halamannya. Sokcho yang merupakan bagian dari kabupaten Yangyang, provinsi Gangwon, diangkat menjadi sebuah kota pada tahun 1942. Ketika itu penduduknya hanya berjumlah sekitar 4.000 hingga 5.000 jiwa. Pada musim dingin tahun 1950, para pengungsi yang turun ke Selatan dan bergerak naik kembali dalam perjalanan evakuasi Heungnam, serta orang-orang

1. Ketika makanan lokal Provinsi Hamgyong dikenal secara nasi­ onal, semakin banyak restoran yang secara khusus menyediakan masakan, dan orang­orang dari seluruh penjuru negeri mulai berduyun­duyun datanguntuk mencicipi hidangan tradisional.

1

28 KOREANA Musim Dingin 2017

2. Kim Eui­jun, berasal dari Sinpo­eup, Wilayah Bukchong, Provinsi Hamgyong Selatan, menarik perahuantar­jemput yang disebut gaetbae. Perahu itu dulu merupakan satu­satunya alat transpor­ tasi bagi penduduk desa untuk mencapai pusat kota Sokcho, tapi sekarang sebuah jembatan sudah menghubungkan desa mereka dengan daratan. Meski begitu, perahu tetap menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan.


2

dari provinsi Gangwon Utara dan Hamgyeong – tepatnya dari daerah Goseong dan Tongcheon – yang menyeberang ke Selatan melalui jalur darat sebelum Korea terbagi dua. Semua pengungsi ini berkumpul di daerah Sokcho. Dalam perang sengit yang saling mendesak dan terdesak, kondisi perang bergerak naik ke Utara menerobos ke 38 derajat lintang utara, sehingga para pengungsi berdesak berkumpul di Sokcho yang ketika itu cukup aktif dalam usaha perikanan. Sebagian besar pengungsi yang berkumpul di sini merupakan orang dari daerah Hamgyeong. Awalnya mereka tinggal di terowongan bawah tanah yang dibuat dengan menyusun berbagai macam cangkang seperti kulit kepiting di tanah tempat militer Amerika Serikat ditempatkan. Di sini juga terdapat tenda yang dibuat dengan menggali tanah sedalam pinggang dan dilengkapi dengan atap untuk menahan hujan dan angin sebisanya. Mereka beranggapan tenda sementara ini sudah cukup asal dapat menahan hujan dan angin karena dikatakan akan dapat pulang ke kampung halaman dalam waktu 2 hingga 3 bulan. Dengan cara seperti inilah jumlah penduduk yang berkumpul di sini mencapai dua ribuan kepala keluarga. Masa ini merupakan masa kelam di mana para ayah berlayar menaiki kapal tongkang ikan laut, sementara para wanita duduk tersebar di pelabuhan memisahkan ikan dari jala untuk dapat bertahan hidup.

Lokasi Drama TV Popular Desa Abai yang dulunya adalah laut dangkal di pojok pertemuan Laut Timur dan Danau Cheongcho, kini telah berubah. Sebuah jalan air terbentuk dengan mengeruk pelabuhan Sokcho. Yang muncul ketika ini adalah gaetbae , yaitu sebuah perahu kecil yang berperan sebagai penghubung. Bagi penduduk desa Abai yang mendapat penghasilan dengan menjual tas plastik dan tali di pasar tengah Sokcho, perahu kecil ini adalah tali kehidupan mereka. Sementara itu, masakan khas daerah Hamgyeong di desa Abai perlahan-lahan mulai menyebar dari mulut ke mulut. Bersamaan dengan itu, drama Korea terkenal “Endless Love� mengambil desa ini sebagai latar belakang tempatnya sehingga masakan-masakan khas Hamgyong yang sebelumnya hanya dimasak pada saat hari selamatan seperti sundae Abai (sejenis sosis berisikan mi sohun, sayur, daging babi, dan bahan lainnya), mi dingin berisikan ikan Halibut atau ikan Pollack mentah, dan sebagainya juga mulai ikut terkenal di seluruh Korea. Rumah makan masakan Hamgyeong yang diwariskan turun temurun oleh para wanita di desa ini bermunculan di mana-mana. Sundae Abai, yaitu usus besar babi yang diisi dengan daun lobak kering, daging babi cincang, darah babi, bawang putih, doenjang (kacang kedelai yang difermentasikan), dan bahan-bahan lainnya seketika menarik selera makan orang-orang kota. Ikan Pollack pernah menjadi masakan musiman yang laris

SENI & BUDAYA KOREA 29


sebagai pengganti sosis usus babi ini ketika ikan Pollack banyak tertangkap di laut depan Sokcho. Namun kini hal tersebut hanya menjadi cerita masa lalu karena ikan ini tidak mudah lagi ditemukan di laut Sokcho. Rasa masakan Hamgyeong yang manis-manis asin cocok dengan selera orang-orang muda dari kota yang umumnya menginginkan rasa kental. Ditambah lagi rasa antusias yang muncul saat berwisata sangat pas dengan masakan-masakan yang manis dan asin. Daerah asal cumi-cumi sama sekali tidak menjadi hambatan gairah makan. Kehidupan desa Abai kini berubah dari perahu gaetbae menjadi jembatan. Jembatan Seorak dan Geumgang yang melintasi desa Abai memperlihatkan pemandangan malam yang indah. Perahu gaetbae yang terlalu kecil untuk menampung pengunjung yang kini semakin membanjir diganti dengan perahu yang lebih besar. Perahu gaetbae yang datar dan luas seperti rakit tidak nyaman dinaiki karena para penumpangnya harus menarik tali agar perahu tersebut bergerak. Namun justru inilah yang membuat para penumpangnya antusias. Perubahan yang terjadi di desa Abai bukan ini saja. Belakangan ini pasar tengah Sokcho penuh dengan dakgangjeong (ayam goreng asam-manis). Deretan toko-toko ayam goreng asam-manis yang lebih kuat rasanya daripada sundae Abai memberikan

pemandangan yang hebat. Bisa jadi sundae Abai akan terdesak oleh ayam goreng ini. Desa Abai yang dulunya bernama “kawasan 4 Sokcho” kini memiliki sebuah nama yang utuh, “Cheongho-dong”. Namun jumlah penduduknya banyak berkurang, sehingga hanya sebanyak 240 keluarga yang mempertahankan keberadaan mereka. Generasi pertama penduduk Abai berjumlah sekitar 60-an orang, sementara generasi kedua dan ketiga menetap di Sokcho yang menjadi kampung halaman kedua mereka. Jadi dapat dikatakan sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Sokcho – yaitu sekitar 8 ribuan jiwa – adalah orang-orang yang berasal dari Hamgyeong. Tema “Festival Budaya Para Pengungsi” yang selalu diadakan setiap musim semi terdengar begitu menyedihkan, yaitu: “Kenangan Musim Semi di Kampung Halamanku Tak Terhapus Waktu” Rasa rindu akan kampung halaman yang selalu datang menghampiri setiap hari raya, kini hanya tinggal sebagai sebuah rutinitas kerinduan yang datang dan perlahan memudar bagaikan sebuah kebiasaan bagi mereka. Mungkin perasaan ini muncul karena mereka dipaksakan untuk membuang harapan akan kampung halaman yang tidak dapat dikunjungi lagi.

Danau Yeongnang, terletak di Sokcho barat laut, merupa­ kan tempat wisata populer yang terkenal dengan pe­ mandangannya yang indah sepanjang musim. Namanya berasal dari cerita keempat prajurit muda Silla, termasuk Yeongnang, yang terpesona oleh pemandangan saat berla­ tih untuk mengikuti kontes bela diri.

30 KOREANA Musim Dingin 2017


Rasa rindu akan kampung halaman yang selalu datang menghampiri setiap hari raya, kini hanya tinggal sebagai sebuah rutinitas kerinduan yang datang dan perlahan memudar bagaikan sebuah kebiasaan bagi mereka. Mungkin perasaan ini muncul karena mereka dipaksakan untuk membuang harapan akan kampung halaman yang tidak dapat dikunjungi lagi.

Kenangan, Impian, dan Harapan Guru bahasa Korea saya ketika SMA, Bapak Hwang Geum-chan(1918-2017) adalah seorang penyair kelahiran Sokcho yang dikenal sebagai “Penyair Pantai Timur�. Beliau selalu berusaha untuk menanamkan sensibilitas kemanusiaan kepada murid-muridnya daripada mengikuti buku pelajaran yang sistematis. Kadang-kadang beliau menceritakan kehidupan di depan laut kampung halamannya, Sokcho. Seusai belajar di Jepang dan kembali sebelum Korea merdeka. Beliau pernah tinggal di Seongjin, provinsi Hamgyeong Utara, sehingga cerita mengenai laut yang beliau dengarkan dengan dialek Hamgyeong kepada saya saat berumur belasan tahun terdengar bagaikan nyanyian puisi. Ditambah lagi, pelajaran mengenai “Tembang Gwandong� (Gwandong byeolgok ) karya Jeong Cheol pada tahun 1580 yang menceritakan keindahan pemandangan Paviliun Chongseok di daerah Tongcheon, Danau Samilpo di daerah Goseong, dan Paviliun Cheonggan pada saat pelajaran sastra klasik, semua ini menambah aura gaib yang melampaui dimensi ruang dan waktu. Namun ketika itu bagi saya Sokcho dan Gunung Seorak bagaikan dunia yang tak terjangkau. Tempat itu merupakan tanah nun jauh di balik pegunungan Taebaek. Pada perawalan tahun 1970 saat masa kuliah saya, tepatnya pada suatu musim semi seusai ujian tengah semester, saya ikut menaiki bus menuju Sokcho dari Terminal Dongmajang di siang hari bersama teman saya yang berasal dari Sokcho. Bus kami melewati jalan Hangyeryeong yang berliku-liku dan saat kami tiba di Terminal Sokcho, matahari pun telah perlahan-lahan terbenam melewati jalan Misiryeong. Perjalanan yang memakan waktu setengah hari tanpa istirahat itu membuat kami semua letih. Sekeliling kami perlahan menjadi gelap dan lampu mercusuar Yeonggeumjeong dihidupkan satu demi satu. Di sana kami kembali menaiki bus tujuan Ganseong, dan ketika kami tiba di Gyoam-ri kegelapan telah benar-benar menyeli-

muti pantai dan dermaga. Yang terdengar di sana hanyalah suara angin yang bertiup melalui sela-sela pohon pinus di atas tebing terjal. Ketika itu satu-satunya laut yang pernah saya lihat adalah laut di Incheon yang beberapa kali saya kunjungi dengan mengenakan seragam pelajaran militer. Gambaran mengenai laut dalam ingatan saya hanyalah warna coklat gelap bercampur bau asin-amis, dan terkadang dengan laut biru yang berkerlap-kerlip memantulkan sinar matahari. Faktanya, kami diajari bahwa laut selatan disebut Laut Kuning. Ketika itu adalah zaman di mana televisi dan seragam sekolah berwarna monoton hitam-putih. Mungkin karena itulah ketika subuh di keesokan harinya saya melihat segala spektrum warna biru yang terlihat di antara pohon pinus tinggi dan atap Paviliun Cheonhak, saya dipenuhi dengan perasaan haru. Warna biru monoton yang diajarkan dalam pelajaran seni tidak terlihat di manapun. Saya bertanya-tanya, kira-kira warna apa yang menghiasi Samudra Pasifik Selatan, Samudra Atlantik, dan Laut Tengah yang berada jauh di luar Laut Timur semenanjung Korea ini. Imajinasi saya di awal umur dua puluhan ini begitu bebas dan telah melayang jauh menyeberangi lautan. Perjalanan kembali ke Seoul merupakan sebuah pemandangan bernuansa sastra modern yang berkelanjutan. Bus menuju Seoul hanya beroperasi dua sampai tiga kali dalam sehari, dan di atas jalan kerikil baru yang terbentang ke arah utara, bus kami berlari sambil berderak dan diselimuti dengan debu putih yang dihasilkan oleh mobil depan menuju Ganseong. Bus kami terus berlaju dengan pantai berpasir tanpa dermaga yang tak berujung. Pemandangan pantai di antara Gunung Seorak dan Gunung Geumgang agak menjemukan sehingga memberikan waktu bagi kami untuk beristirahat setelah melihat pemandangan yang begitu memukau. Perjalanan kembali ke Seoul dengan melewati jalan Jinburyeong memakan waktu sehari penuh. Bokong saya tera-

SENI & BUDAYA KOREA 31


sa kebas dan dari dalam hidung saya tercium bau sengit. Sebenarnya, Sokcho dan Goseong sebelumnya merupakan tanah Korea Utara yang tidak dapat dikunjungi di mana Garis Paralel Utara ke-38 berlokasi. Setelah Korea merdeka, Garis Paralel Utara ini dibentuk oleh pihak lain, dan kemudian turun hingga ke daerah Yangyang dan menjadi garis gencatan senjata seusai perang Korea. Para pengungsi dari Korea Utara yang tinggal di sini menyimpan kesedihan dan perihnya perpisahan yang terjadi setelah Korea terbagi dua. Sebelum jalan tol dibangun dengan membuat beberapa terowongan menerobos pegunungan Baekdu, Sokcho yang merupakan kota para pengungsi adalah sebuah daerah yang sulit dijangkau tanpa tekad dan keinginan kuat. Saya membeli mobil pertama di pertengahan tiga puluhan. Setiap musim berganti saya berlaju di atas rute jalan raya nomor 7 menyusuri Pantai Timur hingga ke Observatorium Unifikasi Goseong. Meskipun saya ingin memperlihatkan kenyataan akan tragedi terbelahnya Korea kepada anakanak saya yang baru SD, tetapi hal itu tidak dapat saya lakukan ketika itu. Suasana sekitar Garis Demarkasi Militer itu selalu dipenuhi dengan ketegangan. Pemandangan bagian luar Geumgang dan Danau Samilpo yang dapat dilihat dari observatorium, baru dapat dilihat oleh para pengunjung setelah sekian lama waktu berlalu. Dahulu kami hanya dapat mengunjungi Myeongpa-ri – yang terletak di bagian paling utara Pantai Timur dan dekat dengan garis perbatasan – dan memakan mi gandum hitam dan panekuk kentang di sana, kemudian kembali mengemudikan mobil ke arah Selatan menuju Geojin dengan melewati Daejin. Tetapi Hwajinpo merupakan tempat terbaik bagi anakanak saya untuk merasakan kepedihan akan tragedi terbelahnya Korea. Selain itu Hwajinpo merupakan lokasi studi lapangan yang cocok karena tempat ini merupakan contoh laguna yang terbentuk dari tumpukan pasir yang terdorong oleh arus ombak.

Selain itu di sekitar tempat ini terdapat vila tempat konflik tegang dalam sejarah modern Korea Selatan dan Utara antara presiden pertama Korea Selatan Syngman Rhee, dan pemimpin pertama Korea Utara Kim Il-sung berlangsung. Ditambah lagi, karena garis gencatan senjata terdorong jauh ke Utara, tempat ini selalu diselimuti dengan ketegangan tinggi selama puluhan tahun. Tempat rekreasi musim panas milik sebuah universitas wanita juga terletak di sekitar daerah ini sehingga memberikan sedikit kesenangan bagi para tentara di sela-sela suasana tegang mereka. Hwajinpo adalah wilayah pesisir yang antinomi, campuran antara dua hal yang ekstrim. Sokcho Semakin Mudah Dikunjungi Sokcho menjadi semakin dekat dengan terbentuknya terowongan di bawah jalanan tua Misiryeong, yang dahulu berupa pemandangan batu tebing Ulsan yang memukau tidak dapat dinikmati dengan leluasa di jalanan ini. Gunung Seorak yang dikunjungi di usia paruh baya menjadi sebuah tempat yang setiap lembah dan puncaknya memberikan kehangatan di dalam hati kita. Saya datang mengunjungi Kuil Hwaam di pintu masuk jalan Misiryeong. Lho?! Tulisan di papan petunjuk tidak berbunyi Kuil Hwaam Gunung Seorak, tetapi berbunyi Kuil Hwaam Gunung Geumgang. Kuil Geonbong di Goseong yang saya kunjungi beberapa waktu yang lalu juga berubah nama menjadi Kuil Geonbong Gunung Geumgang. Kuil Geonbong dapat dimengerti mengapa dinamakan demikian karena kuil ini dekat dengan Gunung Geumgang dan merupakan kuil utama yang mengurusi kuil-kuil yang terdapat di Gunung Geumgang dan Gunung Seorak. Tetapi Kuil Hwaam terletak tepat di sebelah Misiryeong. Saya yakin kuil tersebut dinamakan demikian untuk membuktikan bahwa Gunung Geumgang dan Seorak berada dalam satu pegunungan.

1. Museum DMZ di Goseong, yang terletak tepat di sebelah selatan DMZ di ujung utara pantai timur, memiliki ruang pameran permanen mengenai tema perdamaian dan ekologi.

1

32 KOREANA Musim Dingin 2017

2. Rumah bertingkat dua di Hwajinpo ini disebut “Villa Kim Il­sung” karena sebelumnya rumah musim panas itu merupakan bekas rumah pemimpin Korea Utara dan keluarganya. Juga dikenal sebagai “Kastil Hwajinpo,” rumah itu rusak selama Perang Korea dan sejak saat itu dibangun kembali sebagai aula pameran untuk benda­benda yang berkaitan dengan Korea Utara dan keluarga Kim.


2

Legendanya pun ada sangkut-pautnya. Danau Yeongnang yang sering saya kunjungi belakangan ini juga memiliki legenda yang saling berhubungan dengan legenda Danau Samilpo di Geumgang bagian luar. Pada masa Kerajaan Silla, empat pemuda bunga elit yang dikenal dengan sebutan “empat abadi�, sedang menuruni gunung Geumgang untuk mengikuti pertandingan beladiri di Seorabeol (kini disebut Gyeongju) seusai menekuni masa latihan. Mereka adalah Yeongnang, Ansang, Namnang, dan Sullang. Ketika itu Yeongnang terlena akan pemandangan batu tebing Ulsan yang terpantul di atas permukaan air danau yang tenang tak beriak. Ia sepenuhnya lupa akan pertandingan beladiri dan diam duduk di sana sambil menikmati pemandangan tersebut. Karena itulah nama “Danau Yeongnang� terbentuk. Nama Danau Samilpo juga berasal dari keempat pemuda elit ini yang terpukau dengan pemandangan danau tersebut sehingga membuat mereka tinggal di sana selama tiga hari. Saya berjalan mengelilingi Danau Yeongnang yang memiliki jarak keliling sejauh 7, 8 kilometer. Saat musim semi, kita bisa berjalan sendiri tanpa pikiran apa-apa di jalanan yang

penuh dengan bunga sakura yang bermekaran. Di awal musim panas, kita juga bisa berjalan melihat batu karang Beom sambil berbincang-bincang dengan seseorang yang berhati hangat di bawah pohon Zelkova. Kemudian jika melihat siluet batu tebing Ulsan saat matahari terbenam, kita dapat merasakan suasana gaib, seperti apa yang dialami oleh Yeongnang seribu tahun yang lalu. Batu tebing Ulsan dapat dikatakan sebagai asal muasal nama Sokcho, karena nama tersebut terbentuk dari keinginan untuk mengikat batu tebing Ulsan dengan tali dan membawa pergi batu tersebut bersama kita. Mari kita kembali ke pembicaraan Danau Cheongcho. Danau ini memiliki suasana yang sama sekali berbeda. Tempat ini dikelilingi dengan kota-kota sehingga penuh akan mobil, perahu, dan orang-orang yang ramai berlalu-lalang hingga larut malam. Mereka yang ingin menikmati suasana hiruk-pikuk dan makanan-makanan enak dapat berjalan-jalan di sekitar danau ini. Kapal pesiar yang dapat dipinjam selama satu jam dari peminjaman kapal Komarin di tepi danau Cheongcho menuju pulau Jodo juga cukup menyenangkan.

SENI & BUDAYA KOREA 33


FOKUS

PENAMPILAN Bagai Datang dari

Masa Depan yang Jauh

Just Jerk menjadi juara karena memenangkan kompetisi tari terkenal di dunia dan kemudian muncul sebagai kelompok tari pada program TV audisi yang sangat populer di Amerika. Mendapat respon yang luar biasa secara luas baik di luar negeri maupun di dalam negeri. Kelompok tari yang menakjubkan ini menampilkan suatu jenis tarian baru yang belum pernah terlihat sebelumnya dengan menggabungkan hip hop dan gerakan tarian tradisional Korea. Kim Nam-soo Kritik Tari, Dosen, Jurusan Seni Visual, Universitas Seni Nasional Korea

34 KOREANA Musim Dingin 2017


SUPERORGANIK

© STEEZY

SENI & BUDAYA KOREA 35


S

aya pernah mendengar tentang pemandangan yang luar biasa di tepi Laut Cina Selatan. Di seberang langit malam terdapat tirai cahaya berkedip-kedip yang dibentuk oleh sejumlah kunang-kunang. Pemandangan semacam ini seakan menggambarkan “pertunjukan galaksi”, tarian cahaya yang sempurna dengan tempo dan irama yang tidak akan pernah cocok dengan manusia. Tarian superorganik semacam itu layak mendapat apresiasi pada saat kita harus merenungkan kehidupan dan alam semesta yang berada di luar batas kemampuan manusia. Tarian Just Jerk dinamis, terkendali, dan sempurna. Mewujudkan ritme superorganik yang telah lama kita impikan sebagai Homo Sapiens , namun diyakini tidak mungkin dilakukan. Ketika mereka tampil di America’s Got Talent pada tahun 2017, para juri, termasuk Simon Cowell sangat senang, bahkan semangat mengomentari penampilan mereka. Sebuah pepatah lama mengatakan bahwa bahkan Dewa pun cemburu terhadap seseorang yang terlalu sempurna. Para juri di acara tersebut memuji kelompok tersebut, dengan mengatakan bahwa kinerjanya sepresisi mesin. Saya menerima kata “mesin” dengan makna positif. Deskripsinya akurat “sama mesin” dari sudut pandang sibernetika dan juga dari perspektif

cyborg yang mempertentangkan integrasi makhluk lemah dan mesin yang hebat. Penulis fiksi ilmiah asal Inggris Arthur C. Clarke membuat pernyataan dalam kata pengantar untuk “2001: A Space Odyssey” bahwa jumlah orang yang telah hidup di bumi berjumlah 100 miliar, sehingga di belakang setiap orang sekarang ada 30 hantu. Sejarah umat manusia tampak sangat panjang, namun sebenarnya sangat singkat dibandingkan dengan sejarah planet kita yang 4,5 miliar tahun dan 3,5 miliar tahun kehidupan di dalamnya. Just Jerk menunjukkan penampilan yang menggambarkan seolah-olah mereka datang dari masa depan yang jauh, dengan cepat melewatkan evolusi umat manusia. Bertolak belakang dengan retorika besar tersebut, mimpi kelompok tari ini untuk tampil di panggung di Las Vegas terdengar rendah hati dan tulus. Anggota kelompok ini menyebut diri mereka sebagai “penari kutu buku”. Tampaknya, mereka tahu dan hanya mencintai tari. Kebebasan yang Melawan Keseragaman Just Jerk mulai menampilkan tarian unik mereka kepada dunia saat mereka memenangkan Body Rock Dance Competi-

© NBC

1

36 KOREANA Musim Dingin 2017


tion pada tahun 2016. Dengan dasar hip hop , mereka menggabungkan popping , locking , improvisasi, dan tarian tradisional Korea. Bereaksi pada masa yang terus berubah, mereka dengan bebas menggunakan bahasa tarian. Dengan melepaskan posisi seragam atau dogma, mereka memilih esensi beragam genre tarian dari dalam kotak alat koreografi untuk mengungkapkan pemikiran mereka. Kebebasan inilah yang seharusnya menjadi titik fokus untuk mendiskusikan tarian mereka. Menariknya, dari segi koreografi, ciri tarian mereka ditunjukkan dengan ekspresi DNA budaya, atau meme. Dengan menggunakan beberapa tempo dan irama hip hop yang diimpor, Just Jerk memakai kode tarian pertunjukkan tradisional Korea dan drama tarian topeng, dan bahkan lebih jauh lagi, ke arah hwarang Silla kuno. Just Jerk menggunakan waktu dengan sangat kreatif, menyesuaikan dan menggabungkan hip hop dengan budaya para Hwarang zaman kuno, yang menikmati tarian dan nyanyian dari 1500 tahun yang lalu. Dalam hal ini, Hwarang, yang sudah lama menghilang, masih meninggalkan bentuk DNA budaya tanpa disadari oleh masyarakat Korea. Kebangkitan Semangat yang Terpendam Perjalanan ke luar negeri untuk orang Korea menjadi tidak

terbatas pada tahun 1989, dan pada tahun 1996 Korea membuka pasar bagi budaya luar negeri. Selama 30 tahun terakhir sejak saat itu, dalam kebingungan harus bergabung dengan komunitas global, Korea memupuk kemampuan untuk mencerna budaya lain melalui eksperimen dan integrasi berulangulang. Dalam proses penerimaan budaya, tidak semua satu jalan. Budaya bergerak ke dua arah saat Korea mengeksplorasi potensi budayanya sendiri, menolak atau menerima budaya dari luar. Dalam keadaan seperti ini, perlu dicatat bahwa eksperimen dalam tari topeng, pertunjukan di luar ruangan (madang-nori), dan teater rakyat menyebarkan energi baru ke seluruh masyarakat. Artinya, Just Jerk tidak muncul tiba-tiba seperti mutan, namun merupakan hasil identitas budaya Korea

1. Just Jerk yang mengherankan para juridan penonton dengan penampilan baru dan unik mereka di America’s Got Talent pada tahun 2017. 2. Just Jerk memikat penonton dengan koreografi dinamis mere­ ka berdasarkan hip hop dan bercampur dengan berbagai gaya dan genre seperti letusan, kuncian dan tarian tradisional Korea. Tarian kelompok serentak yang menakjubkan.

Š Orsung

2

SENI & BUDAYA KOREA 37


Just Jerk secara cepat memperoleh reputasi setelah memenangkan Kompetisi Body Rock Dance 2016, yang diadakan di San Diego, Kalifornia, Amerika Serikat. © NBC

yang semakin matang dan potensinya dalam proses mengimpor budaya luar negeri. Penari dan koreografer Martha Graham percaya bahwa dia bisa mengekspresikan tema emosional dan “tarian merupakan dunia perasaan” dengan spiritual melalui tariannya. Tarian Just Jerk bukan hanya kreasi beberapa teknisi tarian jalanan; selaras dengan emosi mereka yang selalu berubah, mereka menciptakan gerakan yang sesuai dengan tubuh mereka. Tarian mereka, mencoba mencapai keadaan tanpa pamrih melalui latihan tanpa henti, seperti mengatakan: “Membuat tarian berarti membangkitkan semangat yang tersembunyi pada diri manusia”. Tarian Just Jerk memulai perjalanan baru dan kemungkinan akan terus mencapai tahap baru karena mengalir di antara butiran waktu, mewakili tahap evolusioner dalam upaya Homo Sapiens menyatukan pikiran dan tubuh. Kelompok ini selalu mencoba sesuatu yang baru, seperti kilasan cahaya dalam perjalanan panjang, semoga terus berlanjut ke masa depan.

38 KOREANA Musim Dingin 2017

Just Jerk menunjukkan penampilan yang menggam­ barkan seolah­olah mere­ ka datang dari masa depan yang bertolak belakang de­ ngan retorika besar tersebut, mimpi kelompok tari ini un­ tuk tampil di panggung di Las Vegas terdengar rendah hati dan tulus.


Tahun 2016, bukan kali pertama Just Jerk berpartisipasi

Sung Kami semua punya pekerjaan lain, jadi tidak ada waktu

dalam Body Rock Dance Competition. Kelompok ini telah ikut

untuk berkumpul pada siang hari. Kami bertemu sekitar tengah

beberapa kali sebelumnya, namun gagal untuk meraih gelar

malam dan berlatih sampai pukul 5 dini hari. Kami tidur sedikit

juara. Meski begitu, penampilan spektakuler mereka mendapat

di pagi hari setelah latihan selesai. Siang dan malam menjadi

banyak perhatian, dan akhirnya pada usaha ketiga mereka,

terbalik, dan bioritme tubuh terganggu hingga mempengaruhi

mereka mendapat gelar juara. Target yang mereka inginkan

kesehatan kami. Akan tetapi, kami bisa tahan karena kami

telah tercapai pada saat itu karena mereka dipanggil untuk

bahagia saat menari.

berdiri di panggung tersebut.

KOREANA Tidakkah menurut Anda kelompok ini terlalu

Sung Young-jae, pemimpin kelompok tari ini, mulai

banyak?

belajar menari saat menjadi siswa SMA dan berlatih menjadi

Sung Dengan memiliki banyak anggota, energi yang kami

petinju. Tinju terasa keras dan tubuhnya terasa sakit, tapi

hasilkan bisa menjadi eksplosif, dan karena masing-masing

menari memberinya kegembiraan dan rasa pencapaian baru.

memiliki kekuatan sendiri, kami dapat menunjukkan

Menyadari bahwa menari adalah apa yang benar-benar ingin

keberagaman yang jauh lebih banyak. Tidak

dilakukannya dan apa yang dia sukai, dia mengubah arah dari

pernah membosankan. Tentu saja, memiliki

tinju menjadi menari.

anggota yang lebih sedikit akan memiliki keuntungan saat melakukan gerakan

KOREANA Kapan Anda memulai kegiatan ini? Berapa banyak

yang lebih halus. Sebagai pemimpin, agak

anggota pada saat itu?

sulit memenuhi minat dan dukungan yang

Bekerja Bagus Karena Anda Suka, Bekerja Keras Karena Anda Cinta Wawancara dengan Sung Young-jae, Pemimpin Just Jerk Š Just Jerk

Sung Saya bosan menari sendiri. Itu tidak menyenangkan,

dibutuhkan setiap anggota. Saya

jadi saya membujuk Choi Jun-ho untuk bergabung dengan

pikir kami mengatasinya dengan cukup baik.

saya. Hanya kami berdua pada tahun 2010. Setelah itu, kami

KOREANA Apakah Anda sedang mempersiapkan pertunjukan

menambah tiga anggota lagi dan menari bersama sebagai

saat ini?

kelompok yang terdiri dari lima orang sampai tahun 2014. Pada

Sung September lalu, kami tampil di New York pada acara

tahun 2015, kami memilih anggota ‘keluarga Just Jerk’ melalui

"PyeongChang 2018 at the Met: Celebrating the Winter

sebuah audisi, dan sekarang kami berjumlah 13 orang. Tiga

Olympic Games for Peace" untuk mempromosikan Olimpiade

adalah wanita, yang menari dengan sama kuatnya.

Musim Dingin PyeongChang. Kami sekarang merencanakan

KOREANA Apakah para anggota merupakan penari

berbagai pertunjukan domestik dan luar negeri, dan ingin

profesional?

mempromosikan Korea dan Just Jerk di seluruh dunia. Pada

Sung Mereka semua tampil sebagai penari tapi bekerja di

akhir tahun, kami dijadwalkan tampil dalam berbagai upacara

bidang yang berbeda. Dari profesor, koreografer, dan seniman

penghargaan dan acara televisi.

hingga pelatih dan pemusik, pekerjaan mereka bervariasi.

KOREANA Jenis tarian apa yang Just Jerk targetkan?

Hampir 26 tahun, saya merupakan salah satu anggota

Sung Tidak ada bingkai set. Kami tertarik pada berbagai genre

kelompok yang lebih tua. Sebagian besar anggota lebih muda

dan berlatih secara luas. Secara eksternal, kami ingin melakukan

dari saya. Usia mereka rata-rata sekitar 23 tahun.

pertunjukan yang dapat dinikmati khalayak luas. Kami ingin

KOREANA Semua orang memiliki pekerjaan yang berbeda.

menawarkan kesenangan terus menerus dengan tantangan

Kapan waktu Anda berlatih?

yang berbeda.

SENI & BUDAYA KOREA 39


WAWANCARA

SEBUAH POTRET KEHIDUPAN di Ujung Lorong

TAMBANG Seniman Hwang Jai-hyoung dikenal karena kepiawaiannya memotret realitas suram penambang batu bara dan suasana dingin di ujung lorong tambang yang ditampilkan dalam lukisan yang sangat menawan. Untuk bisa menangkap ruh kehidupan mereka sepenuhnya dan meruntuhkan pembatas antara seni dan realita, ia hidup bersama para penambang di kota tambang Taebaek di Provinsi Gangwon dan menjadi seorang “seniman penambang�. Chung Jae-suk Penulis Editorial dan Reporter Budaya Senior, The JoongAng Ilbo Ahn Hong-beom Fotografer

40 KOREANA Musim Dingin 2017


“Potret Buruh Tambang”, 2002. Minyak di atas kanvas, 65 ×53 cm.

SENI & BUDAYA KOREA 41


D

engan tangannya yang gemuk, Hwang Jai-hyoung menyambut hangat seraya berterima kasih karena saya datang dari jauh untuk menemuinya. Saya lihat jenggotnya yang lebat dan baju kerja hitam yang dikenakannya. Tubuhnya kekar dan tegap, tampak sangat maskulin. Ada ungkapan bahwa tangan mencerminkan siapa pemiliknya. Dari jabat tangan kami, saya merasakan seolah sudah lama mengenalnya. Seniman dari kota tambang itu berkulit hitam legam, tapi matanya sangat bercahaya. Ia menjadi penambang untuk melukiskan kehidupan mereka yang bekerja keras di bawah tanah. “Di ujung lorong tambang, harapan kami bersinar seperti bintang,” katanya. “Ketika pindah ke Taebaek bersama keluarga saya pada tahun 1982, saya tidak menyukai atmosfer yang datar dan dingin, tapi sekarang saya merindukan itu semua,” lanjutnya. “Kota ini mengalami beberapa perubahan besar selama lebih dari 30 tahun terakhir dan melihat itu semua saya ingin mengisahkannya dalam sebuah cerita. Beberapa orang menanyakan kepada saya apakah ini waktunya saya meninggalkan tempat ini. Namun, saya bukan orang yang berpaling begitu saja ketika selesai mengerjakan sesuatu.”

Ujung Lorong Tambang, Sebuah Tempat Keputusasaan Hwang menelusuri kenangan dan jejak mereka yang seharusnya tak terlupakan itu. Kata untuk ujung lorong tambang dalam bahasa Korea adalah makjang , yang juga digunakan dalam konteks negatif yaitu sebuah situasi yang buntu. Mengenai hal ini, ia mengatakan, “Bukankah Seoul seperti jalan buntu ketika orang-orang kehilangan harapan? Pengangguran yang putus asa tak berbeda dari para penambang batu bara.” Selama beberapa dekade, Hwang menyelenggarakan pameran dengan judul yang sama, “Debu untuk Digenggam, Tanah untuk Berbaring.” Ini adalah sebuah metafor untuk mereka yang memegang debu di tangan mereka tapi tidak punya tanah untuk membaringkan tubuh mereka, dan masa-masa sulit bagi mereka mendapatkan kehidupan yang layak. “Ketika saya lulus kuliah jurusan seni murni, saya lihat kembali diri saya. Saya sadari selama ini saya hanya berperan sebagai seniman, yang tidak peka mengenai apa yang terjadi dalam masyarakat,” kata Hwang. “Sepertinya saya harus melihat sendiri dan mengalami langsung industrialisasi yang terjadi. Saya menyaksikan kehidupan pekerja yang termarjinalkan secara sosial yang hidup di batas kota, dalam kawasan pabrik seperti Guro-dong dan Garibong-dong. Mereka yang tidak diterima di sana menuju ke kota-kota tambang. Saya ingin meniakkan batasan Seni Minjung (Seni Rakyat) di tahun 1980an. Dalam arti luas, ujung (makjang ) dalam sebuah tam-

42 KOREANA Musim Dingin 2017

bang adalah tempat keputusasaan. Sebuah tempat yang tidak hanya ada di kota tambang Taebaek, tapi juga di tempat lain ketika tidak ada lagi harapan untuk kehidupan yang layak di tempat kerja, di jalan, atau di rumah. Saya pergi ke Taebaek karena ingin bertemu dengan para penambang, yang terabaikan, tapi berjuang bangkit dalam keadaan mereka.” Studio seni Hwang yang terletak di permukiman penduduk di dekat Pusat Seni dan Budaya Taebaek ini punya langit-langit tinggi yang membuat suasana kedamaian memenuhi tempat ini, seperti “suaka lukisan.” Ruang kerjanya penuh kenangan makan dengan kotak makan siang di tambang gelap di bawah cahaya lampu pengaman, menghirup udara yang pekat oleh debu batu bara, dan terowongan yang sering kali terasa bagaikan di dalam rahim seorang ibu. Ada beberapa kaleng cat yang bertumpuk merapat ke dinding dekat pintu. Saya ingat pernah berkata suatu waktu, “Ada kalanya saya membeli cat kapanpun saya punya uang.” Gelombang emosi menguasai saya ketika saya membayangkan derita yang dialami seniman miskin dengan hasrat melukis yang besar dan masih harus memikirkan apa yang akan ia makan, namun sangat ingin membeli cat. “Para Penambang itu Menginginkan Keringat Saya, Bukan Karya Seni Saya” “Menurut saya, disintegrasi kelompok aktivis di tahun 1980an terjadi karena kurangnya daya tahan dan gagalnya integrasi antara teori dan praktik,” kata Hwang. “Ketika pertama kali saya menginjakkan kaki di Sabuk di Kabupaten Jeongseon, Propinsi Gangwon, saya tahu saya tidak bisa hanya berpangku tangan saja. Para penambang di sana tidak menginginkan karya seni saya, tapi mereka menginginkan keringat saya. Saya berpikir apakah lukisan saya sepadan dengan hasil galian mereka. Saya menyelenggarakan acara seperti pembuatan mural dan melukis bersama masyarakat, dan mengadakan kamp seni, untuk menunjukkan tekad saya terhubung dengan para penambang itu. Saya mengekspresikan harapan saya melalui lukisan, berdiri bersama mereka yang terlupakan, tapi berjuang bangkit dalam keadaan mereka.” Pada tahun 1982, Hwang mendapatkan pekerjaan di pertambangan Gujeol-ri di Jeongseon. Penambang tidak diperbolehkan bekerja memakai kacamata, jadi Hwang, yang menderita rabun jauh itu, harus memakai lensa kontak sepanjang hari. Tak lama setelah itu, ia menderita radang selaput mata akut karena ada debu batu bara yang masuk di sela antara mata dan lensanya. Dokter sudah memperingatkan bahwa ia bisa buta sewaktu-waktu. Setelah tiga tahun bekerja di pertambangan, ia terpaksa berhenti. Orang-orang yang ditemuinya di sana menjadi subjek karyanya. Karya seni dan kehidupannya berjalan beriringan. Dari seorang pemerhati, ia lahir kembali menjadi


“Cucuran Hitam”,1996­2008. Batubara dan media campuran di atas kanvas, 193,9 × 259,1 cm.

pekerja dan seniman tambang. Namun, para penambang yang menjadi alasan ia menjadikan Taebaek sebagai rumah kedua dan penambang perempuan yang memeluknya dengan kasih sayang seorang ibu dan mengijinkannya memulai kehidupan di kota itu perlahan menghilang. Kekuatan uang dan tirani kapitalisme menyedot kekayaan tanah di sana. Menjelang tahun 2020, semua pertambangan akan ditutup. Atraksi turis menarik para pelancong ke wilayah itu, tapi penduduk yang kurang beruntung tak punya tempat untuk membaringkan tubuh mereka. Hwang mengatakan ada masanya ketika ia berhenti melukis dan minum soju , minuman keras ala Korea. Ia menyuarakan

keluhannya dalam lukisan “Ny. Kwon, Penambang Batu Bara,” sebuah potret penambang perempuan dengan wajah tertutup debu batu bara dan mata bercahaya. “Saya ingin melukiskan cahaya di mata ibu saya, tapi itu tidak mudah,” kata Hwang mengenai lukisan itu. “Mata yang penuh kasih sayang dan air mata itulah yang kita perlukan untuk bertahan di dunia ini. Saya cenderung melukis gunung dan pohon akhir-akhir ini. Setelah tinggal selama lebih dari 30 tahun dengan orang-orang yang terus berjuang dalam hening tanpa mengeluh seperti sebuah pohon, saya ingin kuas saya menjadi sekop atau kampak mereka.”

SENI & BUDAYA KOREA 43


“Makanan”, 1985. Minyak di atas kanvas, 91 ×117 cm.

Lukisan-lukisan yang menumpuk di studio seninya adalah testimoni dan catatan perjuangannya sebagai seniman penambang. Dalam “Es Hitam,” Hwang menggunakan debu batu bara untuk melukis wajah penambang tua dengan banyak kerutan di sana-sini. Jalan berkelok dalam lukisannya “Puncak Gunung Dumundong” yang ditampilkan dengan garis tebal dari debu kekuningan adalah sebuah metafor untuk segala belitan dan kelokan dalam hidup kita. Ketika ia merasa cat minyak terlalu lembut dan bercahaya, ia mulai menggunakan campuran debu dan butiran batu bara untuk mencapai tekstur lebih kasar. Ia percaya cara ini membuat lukisannya lebih hidup. “Apa yang membuat saya secara serius berkontemplasi mengenai bahan yang saya pakai adalah pertemuan dengan penambang Kim Bong-chun, korban bencana di pertambangan Hwangji pada tahun 1980. Tanda namanya tertulis “Hwangji 330.” Yang menjadi saksi hidupnya adalah kerutan di wajahnya. Tidak ada yang lebih baik dari membuat potret diri dengan itu,” kata Hwang. Hwang menggunakan bahan dari tanah dan objek sehari-hari yang ditemukan di desa tambang batu bara — seperti sertifikat kematian seorang penambang yang meninggal karena penyakit yang menyerang paru-parunya serta kayu lapis dan kawat dari rumah penambang yang sudah tidak ditempati — untuk menghormati kenangan dan mereka yang tidak lagi berada di sana. Karyanya seperti “Bus,” “Membuat Briket,” “Makan” and “Ambulans,” memperlihatkan bahwa ia adalah seniman yang melalui perjalanan hidupnya bersama para pekerja itu.

44 KOREANA Musim Dingin 2017

Manusia sebagai Media Seni Seniman ini menggunakan bahan baru dalam karyanya akhir-akhir ini: rambut manusia. Kanvas lebar dengan lukisan dengan rambut manusia sebagai medianya memenuhi studio seninya dengan energi baru. Rambut yang dulu ada di kepala seseorang kini berada di kanvasnya. Sehelai rambut memang lemah, tapi jika jumlahnya banyak akan menjadi kuat dan mampu memberikan energi yang memukau penikmat lukisan itu. Dalam 150 tahun sejarah seni realis, karya seni yang dibuat dengan cara ini mungkin hanya satu-satunya. “Suatu hari, seorang guru menghampiri saya dan bicara mengenai masalah keluarganya, yaitu konflik yang dialaminya dengan ibu mertuanya. Saya merinding mendengar ceritanya. Setelah ia melahirkan, ibu mertuanya memasak sup rumput laut. Namun, ketika ia akan menikmati suapan pertamanya, ia melihat ada rambut dalam supnya. Sejarah manusia mengenai dominansi dan subordinasi hadir bersama dengan gambaran rambut itu dan tiba-tiba memberi saya inspirasi. Menurut saya, selama manusia masih ada, kita tidak akan bebas dari usaha unjuk kekuatan,” kata Hwang. Karya lama Hwang, seperti “Potret Seorang Penambang,” diproduksi ulang dengan menggunakan rambut. Proses penciptaan sketsa sederhana dan menempelkan rambut ke kanvas sangat sulit. “Bagaimana gerakan rambut itu menciptakan alunan dan ritmenya sendiri yang bisa membuat saya merinding,” katanya. Awalnya, ia menggunakan rambutnya sendiri, tapi itu tidak cukup, ia harus meminta istri dan anak perempuannya mendonasikan rambutnya. “Menyentuh rambut orang-orang yang Anda sayangi memunculkan perasaan kembut,” Hwang mengatakannya sambil menjepit rambut itu dengan tangannya, dan menambahkan, “Saya harap lukisan-lukisan yang belum dibuat dalam seni Barat ini membantu menampilkan identitas saya sebagai seorang seniman Korea.” Hwang menampilkan karyanya dengan menggunakan rambut itu dalam pameran tunggal di Pusat Seni Gana pada bulan November. Rekannya sesama seniman berkomentar, “Sungguh sebuah kejutan yang revolusioner.” Ia juga mempertunjukkan sebuah karya baru: seri “Keheningan yang Dalam” yang menampilkan keindahan alam Danau Baikal dalam batu grafit. Seniman itu, yang pernah sangat terpuruk, berdiri menghadap danau yang menjadi saksi lahirnya peradaban sepuluh juta tahun lalu. Keduanya adalah akhir dunia di mana cahaya kehidupan lahir dari kegelapan. Apa yang dilihat dan digambarkannya di sana? Seperti wajah-wajah dalam “Wajah Ibu” dan “Rumah Ayah,” katanya dengan pandangan yang memudar. “Hidup tidak akan berhenti selama masih ada cinta.”


“Saya tahu bahwa saya tidak bisa hanya menjadi penonton. Para penambang di sana tidak memerlukan kesenian saya; mereka membutuhkan keringat saya. Saya berpikir soal cuaca, sapuan kuas saya menampilkan bobot yang sama dengan penggalian mereka.”

Hwang Jai­hyoung menetap di kota pertambanganba­ tubara Taebaek pada tahun 1982, dan sejak saat itu tmengabdikan karirnya untuk melukis kehidupan keras para penambang.

SENI & BUDAYA KOREA 45


JATUH CINTA PADA KOREA

MANTAN DIPLOMAT YANG JADI PENERJEMAH Membawa Sastra Korea ke Prancis Jean-Noël Juttet suka membaca sejak kecil. Kecintaan kepada sastra membuatnya berhasil meraih gelar doktor dalam bidang seni dari The University of Lyon 2 dan meniti karir sebagai diplomat, yang menyebarkan budaya Perancis ke negara-negara lain. Saat ini, ia sedang memperkenalkan sastra Korea kepada bangsanya di Perancis dan ke seluruh dunia. Choi Sung-jin Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Ahn Hong-beom Fotografer

P

ada tahun 1991, Jean-Noël Juttet, atase kebudayaan di Kedutaan Perancis di Seoul, mengakhiri masa jabatannya selama enam tahun di negara ini. Namun, Juttet sudah jatuh cinta pada negara ini, karya sastra dan warganya, khususnya kepada seorang perempuan. Ia merasa sedih, bahkan “jahat”, harus berpisah dengan mereka. Jadi, ia memilih tinggal di Korea — menetap selamanya. Inilah alasan salah satu duo penerjemah karya sastra paling berhasil itu terbentuk. “Maksud Anda, apakah saya benar-benar jatuh cinta kepada Korea? Ya, tentu saja. Jika tidak, mengapa saya memilih menikmati masa pensiun di sini, bukan di desa sunyi dan damai di pesisir pantai Perancis?” Juttet balik bertanya. Untuk menjaga hubungan dengan Korea dan temanteman Korea-nya, Juttet tetap membaca karya sastra Korea dan menerjemahkan serta memperkenalkan karya-karya itu kepada negara asalnya. Perjumpaannya dengan Choi Mi-kyung, rekan kerja dan pasangan hidupnya, adalah faktor yang sangat menentukan.

Tiga Daya Tarik Besar Juttet mengatakan ada tiga sifat orang-orang Korea membuatnya menetap di negara ini. Pertama, orang Korea punya hasrat besar. “Orang Korea bekerja sangat keras dan berpikir positif mengenai pekerjaannya,” kata pensiunan diplomat itu. “Ini sangat berlawanan dengan orang Perancis, yang agak pasif dalam bekerja dan kurang

46 KOREANA Musim Dingin 2017

berani meningkatkan beban kerjanya.” Kedua, orang Korea ramah. “Orang Korea membuka diri kepada orang asing dengan mudah. Ini jelas berbeda dibanding orang Jepang, yang sangat baik namun berhati-hati dan tertutup,” kata Juttet. Ketiga, orang Korea murah hati. “Orang Perancis sedikit lebih kikir, enggan membuka dompet ketika makan di luar dengan orang lain,” katanya. “Di Korea, orang berlomba membayar dalam kesempatan seperti itu. Kadang-kadang, mereka sudah membayar makanan saya sebelum saya menyadarinya.” Namun, sebagai orang yang tinggal lama di Korea, Juttet punya beberapa nasihat. “Ini mengenai sesuatu yang tidak saya sadari ketika pertama kali saya bertugas di sini sebagai diplomat, karena dulu sebagian besar orang yang saya temui kaum terpelajar,” katanya. “Namun, ketika saya sudah tinggal di sini lebih lama, saya melihat ada yang membuat tidak nyaman yaitu ‘kekerasan’ dalam hubungan sosial.” Juttet menyebut “budaya mengemudi” orang Korea sebagai salah satu contohnya. “Mereka yang mengendarai mobil impor besar seperti BMW, Porsche atau Maserati, sering kali mengabaikan rambu lalu lintas bahkan di jalur pejalan kaki. Barangkali karena tidak peduli dan abai terhadap hak orang lain,” katanya. “Lebih buruk lagi, bahkan mereka cenderung merendahkan orang yang lebih miskin, suatu hal yang saya lihat sebagai bagian dari ideologi Confusius yang mendominasi masyarakat Korea sejak Dinasti Joseon.”


Stephen Linton, pendiri dan ketua Yayasan Eugene Bell, berbicara dengan pasien tentang pengo­ batan tuberkulosis saat berkunjung ke Korea Utara.

SENI & BUDAYA KOREA 47


Dari Diplomat Menjadi Penerjemah Ada banyak aksioma mengenai penerjemahan. Sebuah peribahasa Italia mengatakan “Penerjemah adalah pengkhianat.” Bagi pembaca dan penyunting, penerjemah adalah profesi menjanjikan yang memungkinkan karya sastra nasional menjadi kekayaan sastra dunia — atau sastra untuk semua orang. “Ini pekerjaan yang menantang,” kata Juttet. “Kami harus berpikir bagaimana memberi nyawa kepada kalimat-kalimat indah yang ditulis oleh penulis asli dengan mencari padanan dalam bahasa lain. Dalam proses ini, penerjemah harus mengerahkan kemampuan menulis dan menuangkan seluruh perasaannya menyusun kalimat yang sama sekali baru.” Menurut Juttet, penerjemahan bukan hanya menyampaikan makna leksikal suatu kalimat tapi juga bagaimana seorang penerjemah memakai kemampuan menulisnya untuk menghasilkan kalimat terbaik dalam bahasa lain. Masalah lain dalam dunia penerjemahan, khususnya penerjemahan karya sastra, adalah apakah penerjemah harus lebih menguasai bahasa asal atau bahasa sasaran. Duo penerjemah Juttet-Choi memakai “cara ketiga”. Intinya, Juttet lebih berperan sebagai penyunting atau penyelia dibanding penerjemah. “Mi-kyung memilih buku yang akan diterjemahkan, lalu menerjemahkannya dan memberikannya kepada saya, dan saya menulis ulang dalam bahasa Perancis yang lebih halus. Saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa ketika mengalihbahasakan karya penulis Korea yang sangat bagus itu ke dalam bahasa Perancis yang indah,” kata Juttet. Orang lain mungkin ingin tahu apakah format ini, yang lebih mirip lomba lari berpasangan dengan kaki kiri orang pertama diikatkan ke kaki kanan orang kedua, punya daya saing. “Cara ini tidak mudah, tapi punya banyak keunggulan,” jelas Juttet. “Dengan menggabungkan kemampuan kami berdua,

kami bisa bersinergi. Kami bisa menangkap makna teks asal dengan sensibilitas dua orang. Sesuatu yang sangat dipahami oleh Mi-kyung, yang merupakan penutur jati bahasa Korea, dapat digambarkan dan diinterpretasikan oleh penutur jati bahasa Perancis.” Bisa juga menjadi topik menarik dalam konferensi akademi, tambahnya. Kinerja mereka berdua sudah terbukti. Pada tahun 2011, Choi dan Juttet menerima Hadiah Utama dalam Penghargaan Karya Sastra Terjemahan Korea ke-10, sebuah kompetisi dua tahunan yang diadakan oleh Lembaga Penerjemahan Karya Sastra Korea, untuk karya mereka pada tahun 2009, Shim Chong , fille vendue , edisi bahasa Perancis untuk Shim Cheong , yang ditulis oleh penulis kenamaan Hwang Sok-yong. Pada tahun 2000, Sisi Lain (The Reverse Side of Life ), sebuah novel yang ditulis oleh Lee Seung-u dan diterjemahkan oleh Choi and Juttet, menjadi finalis kategori sastra asing dalam penghargaan sastra Perancis, Prix Femina. Ruang Pribadi Tumbuhan (The Private Lives of Plants ), karya lain Lee, yang lebih dikenal di Perancis daripada di Korea, menjadi novel Korea pertama dalam koleksi di Éditions Gallimard, penerbit karya sastra penulis terkenal seperti Jean-Paul Sartre, Albert Camus, Ernest Hemingway dan André Gide. Hadiah Adalah Bonus, Bukan Tujuan Sebenarnya, penghargaan bukan tujuan utama mereka. “Sangat menyenangkan bagi kami menerima penghargaan karena memilih buku dan menerjemahkannya dengan baik,” kata Juttet. “Namun, tujuan kami adalah menerjemahkan sebanyak mungkin karya sastra dengan kualitas yang bagus. Hadiah itu nasib baik.” “Tidak semua karya yang menerima penghargaan itu bagus dan karya yang tidak mendapatkan penghargaan itu jelek,

Staf medis Korea Utara membongkar kotak obat yang dibawa oleh Yayasan Eugene Bell dari sebuah truk. Semua kotak obat­ obatan dan persediaan medis dihiasi dengan nama­nama donatur Korea Selatan dan Amerika.

48 KOREANA Musim Dingin 2017


“Kini, mereka tahu lebih banyak tentang Korea dan minat mereka mengenal negara ini meningkat pe­ sat, seperti yang terlihat dari banyaknya anak­anak muda Perancis yang belajar bahasa Korea.”

bukan?” tanyanya. Namun, menurutnya, Hadiah Nobel Sastra adalah pengecualian. “Tentu hebat jika penulis terkenal Korea seperti Hwang Sok-yong atau Lee Seung-u menerima hadiah itu,” kata Juttet. Namun, ia ragu apakah Hadiah Nobel itu suatu penghargaan yang signifikan, karena banyak pemenang yang karyanya dilupakan. Ia juga mencatat ketimpangan kesempatan penulis dari kelompok bahasa atau wilayah yang berbeda. “Banyak penulis berasal dari wilayah yang berbahasa Inggris, Spanyol, Perancis, dan China, dan Korea adalah negara kecil yang baru mulai tampil di kancah budaya dunia akhir-akhir ini saja,” katanya. Kesenjangan juga terjadi di antara kelompok bahasa besar. “Misalnya, penerbit Perancis cenderung merasa novel dari wilayah berbahasa Anglo-Amerika lebih penting dibanding yang lain,” tambahnya. Inilah alasan mengapa Juttet berpikir untuk menerjemahkan lebih banyak karya sastra Korea, dan mendorong penerjemah muda melakukan hal serupa. “Makin banyak buku Korea yang kita temukan di bagian buku-buku Asia atau Korea di selutruh dunia, makin mendekatkan Korea menuju Hadiah Nobel,” katanya. Ketika ditanya perbandingan sastra Korea dengan karya dari negara Asia atau Barat, Juttet menjawab dengan hati-hati, jelas sekali terlihat kekhawatirannya. “Saya sudah membaca banyak karya penulis klasik Jepang dan menyukainya, tapi merasa kecewa membaca karya penulis kontemporer,” katanya. “Saya lebih menyukai penulis Korea dan menurut saya karya mereka lebih bernilai sastra dibanding karya penulis Jepang.” Ia juga berpikir sastra Korea relatif lebih muda dibanding sastra Barat, karena negara ini baru mengimpor bentuk sastra modern dewasa ini.

“Sekarang, banyak yang sudah berubah. Penulis Korea sering bepergian ke luar negeri dan perguruan tinggi lokal sudah mulai memperkenalkan ‘penulisan kreatif’ dan mata kuliah serupa,” kata Juttet. “Anda akan menemukan sedikit perbedaan antara novel Korea dan Perancis kecuali kata-kata benda tertentu dalam novel Korea seperti kimchi dan soju .” Pasangan Rumahan Juttet menghabiskan sebagian besar waktunya di malam hari dan akhir pekan menyunting pekerjaan Choi. Ia juga mengajar para penerjemah, termasuk mahasiswa Perancis yang menerima beasiswa dari pemerintah Korea, di Lembaga Penerjemahan Karya Sastra Korea selama tujuh jam dalam satu minggu.“Sebagian besar hidup saya adalah mengurus rumah tangga,” kata Juttet. “Karena Mi-kyung sangat sibuk mengajar di Ewha Womans University dan bekerja sebagai interpreter di konferensi internasional, saya mengerjakan sebagian besar urusan rumah tangga, seperti membersihkan rumah, belanja, mengurus binatang peliharaan dan berkebun. Hidup saya yang terdiri dari dua peran ini — resmi dan tidak resmi — sangat sepi dan menyenangkan.” Kemudian ia menambahkan bahwa pekerjaan rumah tangga favoritnya adalah menyetrika. Salah satu hal baik mengenai hidup tenang ini adalah ia punya banyak waktu untuk membaca, kata Choi. Keduanya tipe orang yang suka di rumah, Juttet dan Choi tidak banyak bertemu orang, Korea atau Perancis, di luar lingkaran pekerjaan. Sebaliknya, pasangan yang sudah tinggal lama di Seongbuk-dong, sebuah wilayah tua di ibukota, itu saling menyapa dengan tetangga mereka ketika berjalan di sekeliling rumah atau ke pegunungan di dekat mereka. Kemampuan berbicara bahasa Korea Juttet masih terbatas. Ketika ditanya alasannya, ia mengatakan, “Saya mencoba belajar bahasa Korea ketika pertama kali datang di Korea, tapi setelah itu saya sadar saya tidak memerlukannya. Terlalu banyak orang Korea di sekitar saya yang berbicara bahasa Perancis dengan sangat baik.” Sebagai orang yang berperan sebagai jembatan sastra dan budaya antara Korea dan Perancis, Juttet melihat perkembangan kedua negara itu sebagai sesuatu yang sangat bagus. “Sebelumnya, sebagian besar orang Perancis berpikir Korea adalah negeri yang jauh di Asia Tenggara atau sekitarnya. Kini, mereka tahu lebih banyak tentang Korea dan minat mereka mengenal negara ini meningkat pesat, seperti yang terlihat dari banyaknya anak-anak muda Perancis yang belajar bahasa Korea.” Juttet melanjutkan, “Saya salut dan iri dengan kemampuan berbicara bahasa Korea mahasiswa Perancis di kelas saya, sebuah fenomena yang saya harapkan makin meningkat di tahun-tahun mendatang.”

SENI & BUDAYA KOREA 49


DI ATAS JALAN

Aroma

BUNGA APEL dari Seribu Lorong Nama Daegu berarti “bukit besar� dan sesuai namanya di kota ini banyak terdapat lorong yang saling terhubung di atas bukit. Setiap lorong punya sejarah dan kisahnya sendiri. Bukit Cheongna yang mengingatkan kita pada Montmartre di Paris dan Gyesan Cathedral yang bergaya Barat di puncaknya yang merupakan simbol arsitektur masa awal masuknya Kristen ke Korea membentuk semacam museum outdoor yang menapaki jejak periode modern awal di Korea. Gwak Jae-gu Penyair Ahn Hong-beom Fotografer

50 KOREANA Musim Dingin 2017


Daegu pernah memiliki begitu banyak kebun buah apel sehingga setiap bukit tampak ditutupi oleh bunga apel putih di musim semi, dan apel Daegu diketahui paling lezat di negara ini. Di bawah pengaruh perubahan iklim, bagaimanapun, zona budidaya apel telah bergeser ke utara dan kebun apel telah hampir hilang dari pemandangan Daegu.

SENI & BUDAYA KOREA 51


S

aya berumur sekitar tujuh tahun saat itu, ketika mengikuti karyawisata sekolah. Sangat menyenangkan bagi kami pergi menjelajahi situs-situs sejarah sebelum menyelesaikan sekolah menengah atas. Tujuan terakhir wisata kami waktu itu adalah Gyeongju, ibukota wilayah Silla kuno. Sebelum bus menuju ke kota itu, kami melihat sebuah bukit yang tertutup oleh pohon apel yang tak terhitung banyaknya. Saat itu musim semi dan bunga apel sedang bermekaran. Ketika saya membuka jendela, angin bertiup dan kelopak putih terbang ke segala penjuru. Saat itulah saya mengerti bahwa istilah “mandi bunga” bukan hanya khayalan. Setelah bus melaju menembus kelopak yang berguguran, kami sampai ke Gyeongju. Namun, sampai saat ini yang tepatri dalam ingatan saya bukan peninggalan bersejarah di kota kuno itu melainkan pemandangan bunga apel putih yang terbang ditiup angin di sekitar bukit. Kota di sisi bukit itu adalah “Daegu.” Walaupun sudah lama berlalu, bagi saya Daegu masih berarti aroma bunga apel. Bunga apel yang menutupi bukit dan rumah-rumah yang ada di antara pepohonan sungguh pemandangan yang melahirkan sentimen puitis bagi saya. Empatpuluh lima tahun sudah berlalu dan Daegu sudah banyak berubah. Kota ini sudah menjadi kota besar dengan 2,5 juta penduduk, dan karena pengaruh pemanasan global kebun apel itu sudah

menghilang. “Melancong ke Era Modern: Ribuan Lorong dan Ribuan Kisah” Ketika saya sampai di kota Daegu, terlihat sebuah slogan. Slogan ini terpancang di pintu masuk setiap lorong seperti sebuah tanda kota. Setiap slogan mencantumkan nama yang berbeda, seperti “lorong sepatu,” “lorong percetakan,” “lorong jeroan” and “lorong iga sapi.” Ada perasaan hangat tentang bagaimana ribuan lorong dan kisah kesehariannya menjadi tema wisata kota itu. Jalan-jalan yang Menyatu dengan Sejarah Modern Penduduk lokal Daegu biasa mendaki bukit Cheongna. Nama ini berarti “bunga Boston ivy kebiruan,” dan di sini dapat dijumpai bangunan modern Korea, termasuk gereja, sekolah, dan rumah sakit. Bangunan-bangunan ini tergolong aneh dan tidak biasa pada jamannya, dengan bata merah dan eksteriornya yang berbalut bunga ivy hijau yang sangat menarik perhatian. Mereka menyebut bukit itu Montmartre dan sangat menyukainya karena alasan itu. Park Tae-jun (1903-1986), seorang komposer yang lahir di Daegu, menulis sebuah lirik lagu (gagok ) “Kenangan tentang Seorang Teman” (“Dongmu saenggak ”). Ada kisah di balik

1

52 KOREANA Musim Dingin 2017


lagu itu. Park jatuh cinta kepada seorang gadis dari Sekolah Sinmyeong. Ia mengatakannya kepada Lee Eun-sang (19031986), seorang penyair sijo , yang menulis lirik lagu di tahun 1922. “Hatiku bagaikan Bukit Cheongna/Wahai temanku si bunga lili/Ketika engkau mekar dari hatiku/Semua kesedihan akan sirna.” Kalimat ini membekas mendalam di hati banyak orang Korea yang mengalami cinta pertama. Lagu ini disukai oleh seluruh negeri. Di puncak Bukit Cheongna ada rumah-rumah yang dulu merupakan tempat tinggal para misionaris asing yang datang ke Korea di akhir abad ke-19. Salah satunya adalah Switzer House dan di kebunnya ada bekas pohon apel pertama yang dibawa ke Korea dari Amerika Serikat. Woodbridge O. Johnson, direktur pertama Rumah Sakit Dongsan, membawa pohon apel dari Missouri pada tahun 1899 dan menanamnya di kebun itu. Meski pohon aslinya sudah tidak ada lagi, anak-anaknya menjadi cikal bakal apel Daegu dan oleh karenanya pohon ini merupakan pohon apel dengan sejarah yang dalam dan kaya. Apel merah sebesar buah plum sangat indah dilihat. Terdapat ruas jalan yang disebut “Jalan 91 Anak Tangga” atau “Jalan Pergerakan Kemerdekaan 1 Maret” yang menghubungkan Bukit Cheongna dengan pusat kota. Pada tanggal 1 Maret 1919, bangsa Korea di seluruh negeri bangkit melawan kolonial Jepang dalam sebuah pergerakan kemerdekaan. Pada saat itu, mahasiswa di Daegu memakai jalan itu untuk berlari melalui hutan dan masuk ke kota dan memperjuangkan kemerdekaan. Untuk menghindari polisi Jepang, konon mahasiswa laki-laki berpakaian seperti pedagang dan mahasiswa perempuan membawa ember seolah-olah akan pergi mencuci baju ke sungai. Anak tangga itu menuju ke jalan besar dan di seberangnya berdiri Gereja Katedral Gyesan. Gereja yang dibangun pada tahun 1902 dengan gaya Gotik itu merupakan bangunan bergaya Barat pertama di Daegu dan salah satu katedral tertua di Korea. Ketika kami sampai, di sana sedang ada misa. Suara pendeta dan sinar matahari yang menembus jendela kaca patri sangat hangat dan menyenangkan. Pada tanggal 5 Mei 1984, Paus Johannes Paulus II mengadakan misa di sini untuk mengenang 103 martir Katolik. Tak seorang pun menyangka bahwa 82 tahun setelah katedral itu dibangun, Paus sendiri yang memimpin misa di tempat itu.

2

Bukan Lorong yang Panjang Di lorong di sebelah Katedral Gyesan Cathedral ada sebuah rumah tua milik “penyair rakyat” Yi Sang-hwa (1901-1943).

1. Taman Rumah Switzer, dibangun sekitar tahun 1910, memiliki keturunan pohon apel pertama yang pernah dibawa ke Korea dari Amerika Serikat. Misionaris Amerika Martha Switzer pernahtinggal di rumah tersebut. Dia dimakamkan di Taman Kasih di dekat­ nya.

Akankah musim semi datang ke tanah ini Yang dicuri dan kini menjadi tanah orang lain? Bermandikan cahaya matahari, aku berjalan seolah dalam

2. Katedral Gyesan, yang dibangun dengan gaya Gothic pada tahun 1902, merupakan bangunan bergaya Barat pertama Daegu dan contoh arsitektur kuno Kristen Korea yang luar biasa.

SENI & BUDAYA KOREA 53


1

mimpi sepanjang jalan Membelah sawah seperti belahan rambut Tempat langit biru dan tanah hijau bertemu. Ini adalah bagian awal puisi Yi Sang-hwa “Akankah Musim Semi Datang ke Tanah Ini?”, sebuah puisi yang menggugah hati banyak orang Korea, yang bermimpi mengenai kebebasan dan kemerdekaan. Kekaisaran Jepang menutup majalah sastra Gaebyeok (Awal yang Besar), yang memuat puisi itu, sebuah indikasi ketakutan mereka akan karya sastra itu. Lorong itu menuju ke Lorong Jin, atau Jingolmok dalam bahasa Korea, yang merupakan dialek Daegu untuk kata Gingolmok, berarti “lorong panjang.” Ketika warga lokal Daegu mengatakan, “Sampai jumpa di sana,” kata “di sana” umumnya diartikan Gingolmok. Namun, berlawanan dengan namanya,

54 KOREANA Musim Dingin 2017

1. Pasar obat herbal di Daegu, menurut sejarah berada sejak tahun 1658, merupakan pasar herbal terbesar di bagian selatan Korea. 2. Penyair Yi Sang­hwa (1901­1943), yang dikenal luas karena karya­ karya yang mengekspresikan perlawanan terhadap pemerintahan kolo­ nial Jepang, tinggal di rumah ini selama empat tahun dari tahun 1939. Sekarang ini menjadiperingatan yang didedikasikan untuk kehidupan dan karya penyair.

lorong ini tidak begitu panjang. Sangat berbeda dari loronglorong di Varanasi di India yang sangat menyesatkan, atau Medina di Fez, Maroko, yang merupakan situs Warisan Sejarah Dunia UNESCO. Barangkali, ini ada kaitannya dengan status orang-orang yang menjadikan lorong ini sebagai rumah mereka. Di Varanasi, rumah penduduk sangat padat berjajar di sepanjang lorong tapi Gingolmok adalah rumah bagi para siswa


Kini, lorong tradisional yang dulu dipenuhi pe­ dagang obat ini mem­ buat anak­anak muda dan para pelancong menghabiskan waktu di sana berkat hadirnya ke­ dai kopi dengan interior yang menawan. Lorong ini menjadi lorong yang tak ditemukan di bagian lain di dunia, dengan aroma obat herbal ber­ padu dengan wanginya kopi. Tak ada tempat seperti ini bahkan di Varanasi atau Medina di Fez, Maroko.

Confucius yang merupakan kelas atas di Daegu. Saya ingat pertama kali datang ke Varanasi. Dengan gagasan besar menggambar sebuah “peta labirin,” saya memasuki lorong yang menuju krematorium. Hujan angin memporak-porandakan sebagian lorong itu, kurang dari satu meter lebarnya, dan membuat aromanya sangat menyengat. Setiap lima menit, prosesi membawa mayat ke krematorium melewati lorong itu. Suara mereka berdoa memohon kepada Dewa Shiwa sangat menyayat. Dan untuk beberapa alasan, ada banyak sapi di sana. Ketika seekor sapi berhasil melewati lorong, tak ada yang bisa dilakukan kecuali berdiri merapat ke dinding, menunggu sapi itu lewat. Itulah saat saya melepaskan mimpi saya menggambar sebuah peta maze. Pengalaman melancong saya yang paling modest, saya menyadari bahwa tidak ada yang menyamai kasar dan kejamnya kota Varanasi.

Kebahagiaan di Pasar Tua Dari Gingolmok saya pergi menuju pasar obat herbal yang dikenal dengan nama Yangnyeongsi, sekitar sepuluh menit berjalan kaki. Orang-orang Daegu menyebutnya “lorong obat.” Dari pintu masuknya, aroma obat herbal menyengat hidung. Kebanggaan warga lokal sangat terlihat dalam kelakar mereka, “Berjalan melewati lorong itu akan menyembuhkan Anda.” Aroma obat herbal masih dianggap eksotik oleh orang Barat. Aroma unik setiap bahan ramuan ini mengusir energi buruk dalam tubuh kita. Dalam hal itu, mereka yang tinggal di dekat pasar adalah orang-orang yang bahagia. Ketika kita terserang flu atau gangguan pencernaan, berjalan menyusuri pasar obat selama satu atau dua jam akan meringankan gejalanya. Bagaimana mungkin mereka tidak bahagia? Pasar itu menjaga tradisi penjualan obat setiap musim semi dan musim gugur, yang dimulai pada tahun 1968. Pada jaman keemasannya, pasar ini sangat terkenal di dunia internasional, menarik banyak pedagang bukan hanya dari China dan Jepang tapi juga dari Arab. Kini, lorong tradisional yang dulu dipenuhi pedagang obat ini membuat anak-anak muda dan para pelancong berhenti berkat hadirnya kedai kopi dengan interior yang menawan. Lorong ini menjadi lorong yang tak ditemukan di bagian lain di dunia, dengan aroma obat herbal berpadu dengan wanginya kopi. Bahkan, tak ada tempat seperti ini di Varanasi atau Medina di Fez, Maroko. Bagi pelancong yang tidak punya sensitivitas khusus terhadap wangi-wangian, pasar obat Daegu sayang untuk dilewatkan. Berikutnya, saya menuju ke Pasar Seomun. Sesampainya di sana, saya tahu pasti bahwa saya berada di pasar terbesar di bagian selatan semenanjung Korea, dengan deretan toko yang

2

SENI & BUDAYA KOREA 55


menjual buah dan sayuran, pakaian, ikan dan makanan kering. Saya membeli cumi kering dan menikmatinya dalam perjalanan. Namun, sejauh apa saya berjalan, tampaknya pasar ini tidak ada ujungnya. Kebahagiaan mengunjungi pasar tradisional datang dari membeli barang yang Anda inginkan setelah berargumen sedikit dengan penjualnya. Saya ingat peristiwa yang saya alami di Grand Bazaar di Istanbul. Pasar yang didirikan pada abad ke-15 ini punya 5.000 pedagang dan semua yang dijual di sana punya nuansa tradisional. Barang rumah tangga, perabot, pakaian, sutra, kerajinan perak dan karpet menunjukkan desain dan pola bergaya Abad Pertengahan. Di pasar itu, saya membeli karpet yang dibuat dengan tangan. Karena tidak mau repot membawanya kesana-kemari, saya mengatakan kepada penjualnya bahwa saya hanya akan membelinya jika ia bisa mengirimkannya dengan selamat ke Korea. Ketika mendengar hal ini, ia membuka sebuah kotak dan mengambil segepok kontrak lama. Saya terpana melihat kontrak dari abad ke-15 dan 16, dan di tiap kontrak itu ada gambar tengkorak dan sebuah frasa menyeramkan “Taati kontrak ini atau mati.” Saya punya keyakinan tentang kontrak saya segera setelah saya melihat kontrak-kontrak itu. Dan, dua minggu setelah saya kembali ke Korea, sebuah paket berisi karpet datang ke rumah saya. Mengenang Seorang Penyanyi yang Meninggal dalam Usia Muda

Pasar Bangcheon didirikan oleh pengungsi Perang Korea dan mereka yang berasal dari Korea Utara tidak bisa pulang. Mereka mengatakan bahwa pasar itu berisi lebih dari 1.000 pedagang pada saat puncak keramaiannya, dan semua pedagang itu punya kisah fantastik. Pasar itu mengalami pasang surut dan menjadi tempat bagi kaum miskin dan rakyat jelata. Namun, dewasa ini, mereka ingin menyelamatkan pasar itu dan membuat sebuah acara untuk mengenang penyanyi Kim Kwang-seok. Di sebuah lorong sempit yang hanya memuat tiga atau empat orang berdiri beradu pundak merapat satu sama lain, dibuat mural berisi kutipan dan lirik lagu untuk menghormati Kim dan lagunya. Ada juga panggung outdoor tempat lagu Kim dipentaskan, yang suaranya memenuhi lorong itu. Kim Kwang-seok adalah salah satu penyanyi kebanggaan Korea. Lagunya menenangkan jiwa rakyat Korea yang menderita di bawah diktator militer dan penguasa dan membantu kami hidup di masa sulit itu. Anak-anak muda berusia 20 tahun menyanyi “Surat dari Seorang Serdadu” ketika mereka melaksanakan wajib militer, dan “Usia Tigapuluh” adalah lagu favorit ketika mereka memasuki usia 30an. “Kisah Sepasang Orang Tua” adalah lagu penuh kesedihan mengenai pasangan yang hidup dalam kesulitan. Rencana mengenang Kim Kwang-seok, yang hidup dan musiknya besar di lorong-lorong di Pasar Bangcheon tempat ayahnya membuka toko, mendulang sukses besar karena pasar itu kini menarik pengunjung yang seolah tanpa henti datang dari seluruh penjuru negeri untuk mengenang penyanyi itu.

Batu Topi di Gunung Palgong

Tempat Kunjungan di Daegu

Seoul 290km Daegu

Jingolmok (Lorong Panjang)

Observatori Gunung Apsan Lorong Kecil di Anjirang

56 KOREANA Musim Dingin 2017


Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa pasar itu adalah tanah keramat untuk penggemar Kim Kwan-seok garis keras. Tidak hanya orang Korea yang bersimpati dengan hidup dan musik penyanyi yang meninggal di usia 32 tahun itu. Pelancong dari Asia Tenggara, China dan Jepang adalah pemandangan yang biasa di sana. Ketika malam tiba, saya bersiap ke lorong gopchang (jeroan sapi atau babi) di Anjirang. Saya tertarik dengan nama “Lorong Anak Muda” yang tertera di peta wisata Daegu. Siapa yang tidak ingin kembali ke masa muda? Mereka yang saat ini masih muda datang ke pasar ini dengan bergandeng tangan, sedangkan mereka yang tak lagi muda datang ke sini karena rindu akan masa lalu. Saya terpana ketika sampai di lorong itu. Saya terpesona dengan begitu banyaknya restoran yang menyajikan jeroan sapi atau babi. Lorong di pasar ini mungkin lorong khusus menjual hidangan gopchang terbesar di dunia. Namun, saya tidak bisa masuk ke restoran yang sangat ramai dan makan di sana seorang diri. Menurut saya, “Datang bersama teman untuk minum

Sebuah prasasti untuk Kim Kwang­seok merupakan tempat yang populer di Pasar Bangcheon, tempatdia mengha­ biskan masa kecilnya. Mural yang merupakan penghor­ matan kepada kehidupan dan nyanyian penyanyi tersebut, membuat gang sempit itu dipenuhi arus pengunjung yang tanpa henti.

dan ngobrol penuh kehangatan” adalah kesan pasar ini di mata dunia. Di dalam peta, saya menemukan “lorong pasar malam dokkaebi ” di Gyo-dong. “Baiklah, itu tujuan saya berikutnya,” saya berkata kepada diri sendiri. Jika saya pergi ke sana barangkali akan saya temukan beberapa dokkaebi kesepian (mirip monster buruk rupa) untuk makan malam bersama. Baru memikirkan bertemu dan berteman dengan beberapa dokkaebi yang saya lihat di buku cerita anak saja sudah membuat saya senang. Daegu adalah kota dengan banyak lorong. Aroma bunga apel tiba-tiba menyeruak dari kisah tanpa akhir yang mengisi lorong-lorong itu.

SENI & BUDAYA KOREA 57


KISAH DUA KOREA

Š Yayasan Eugene Bell

Wujud Cinta Yayasan Eugene Bell terhadap

MASYARAKAT KOREA UTARA Ketegangan dan konflik antar Korea berulang memasuki tahap yang lebih berbahaya karena uji coba nuklir dan rudal Korea Utara akhir-akhir ini. Namun dalam keadaan seperti itu masih ada sebuah organisasi sipil yang tetap memberikan bantuan kemanusiaan ke Korea Utara. Organisasi tersebut ialah Yayasan Eugene Bell yang didirikan oleh Stephen Linton, cicit Eugene Bell, pada tahun 1995 untuk memperingati 100 tahun kegiatan misi Eugene Bell, seorang misionaris Amerika Serikat. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu di Jurusan Media dan Komunikasi Universitas Korea

58 KOREANA Musim Dingin 2017


M

eskipun hubungan antar Korea maupun hubungan antara Korea Utara dan Amerika Serikat sangat mendingin, Stephen Linton, pemimpin Yayasan Eugene Bell dan delegasinya tetap mengunjungi Korea Utara dua kali setiap tahun. Tahun ini pun bukan pengecualian. Dia bersama dengan delegasi asing termasuk dokter mengunjungi Korea Utara dengan membawa obat-obatan dan peralatan medis pada bulan Mei dan November. Lantaran pengobatan penderita Tuberculosis (TB) di Korea Utara yang parah lebih penting daripada masalah diplomatik atau politik. Tindakan ini didasarkan keyakinan, “bantuan kemanusiaan harus bersifat apolitis maupun non-ideologis, tidak peduli apakah hubungan antar Korea itu baik atau buruk.” Linton, seorang Korea yang di dalam hatinya senang menggunakan nama Korea ‘Inseban’ memimpin upaya penanggulangan TB di Korea Utara sejak 20 tahun yang lalu. Alasannya terdapat banyak penderita TB di Korea Utara sehingga Kementerian Kesehatan Korea Utara menegaskan bahwa masalah kesehatan pertama adalah TB, kedua juga TB, dan ketiga pun TB. Linton yang melakukan kegiatan bantuan pangan untuk Korea Utara sejak tahun 1995 mulai memperhatikan penanggulangan TB setelah menerima permintaan resmi Kementerian Kesehatan Korea Utara. Pada tahun 1997, Choi Chang-sik, seorang pejabat Kementerian Kesehatan Korea Utara mengirim surat, “Tolong berikan bukan hanya bantuan pangan tetapi pengobatan TB.” kepada Linton. Korea Utara yang berada dalam ‘masa-masa sulit’ karena sangat kekurangan pangan secara langsung meminta bantuan pengobatan TB. Sampai saat ini, Linton pernah mengunjungi Korea Utara lebih dari 80 kali, di antaranya lebih dari 50 kali hanya untuk pengobatan penyakit TB. Jumlah biaya bantuan medis untuk Korea Utara termasuk obat-obatan dan peralatan medis selama 20 tahun tercatat 5.100 dolar AS (578 biliun Won). Peralatan medis termasuk kendaraan inspeksi sinar-X, mesin diagnostik sinar-X, mikroskop, paket kamar operasi dan sebagainya. Berkat usaha bantuan medis yang aktif telah mengobati lebih dari 250 ribu penderita penyakit TB dari tahun 1997 sampai tahun 2007. Pengobatan Pasien Multidrug Resistance TB Walaupun Linton dan Yayasan Eugene Bell sudah berusaha, keadaan pasien TB di Korea Utara masih kurang baik. Baik musim dingin yang lebih dingin daripada Korea Selatan maupun lingkungan kehidupan yang anggota keluarga tinggal di satu kamar sempit mempercepat penularan TB. Orang yang

Jean­Noël Juttet telah membantu membuat sastraKorea dikenal di seluruh dunia dengan menerjemahkannya ke bahasa Prancis. Dia mengatakan bahwa dia tertarik oleh semangat, keterbukaan dan kemurahan hati orang­orang Korea.

tua maupun perempuan muda yang baru melahirkan bayi juga sering terinfeksi TB. “Jika melahirkan bayi, kekebalan tubuh perempuan melemah sehingga lebih sulit merawat bayi,” katanya. Situasi makin memburuk karena semakin banyak pasien TB-MDR yang susah disembuhkan dengan obat biasa. Pasien TB-MDR adalah pasien yang mengalami resisten terhadap obat TB. Di Korea Utara terdapat sekitar 4.000-5.000 pasien baru TB-MDR setiap tahun. Virus TB-MDR kebal terhadap berbagai obat sehingga tidak mudah diobati. Pasien TB biasanya sembuh 90% ketika minum obat selama 6-8 bulan. Akan tetapi pasien TB-MDR harus minum obat yang 100 kali lebih mahal sekurang-kurangnya selama satu setengah tahun sampai 2 tahun. Tingkat kesembuhan juga rendah. “Kurang lebih 20 dolar AS diperlukan untuk satu orang pasien TB biasa tetapi kira-kira 5.000 dolar AS termasuk biaya obat diperlukan untuk satu orang pasien TB-MDR,” jelasnya. Kesehatan pasien TB-MDR yang perlu minum obat mahal selama jangka panjang menjadi fatal jika melewatkan masa pengobatan tersebut. Jikalau TB-MDR menjadi TB-XDR, proses pengobatan menjadi lebih sulit dan tingkat kematian juga meninggi. Katanya, bila pasien TB-MDR putus pengobatan, dia bisa menderita penyakit TB-XDR dalam waktu singkat. Oleh sebab itu bantuan pengobatan untuk pasien TB-MDR di Korea Utara harus dilakukan setidaknya setiap 6 bulan. Pasien TB-MDR baru bisa sembuh lewat pengobatan sungguh-sungguh sekitar selama 2 tahun. Oleh karena itu, Yayasan Eugene Bell mulai mengutamakan pengobatan pasien TB-MDR di Korea Utara sejak tahun 2007. Dalam proses ini, mereka akhirnya mempunyai suatu program pengobatan penyakit TB-MDR yang terbesar di dunia. Ratusan pasien dan dokter Korea Utara mempelajari cara pengobatan pasien TB-MDR. “Pada tahun 2008, kami mulai mengambil sampel dahak dari 19 orang pasien yang berpotensi tertular. Enam bulan kemudian, kami membawa obat-obatan TB-MDR ke Korea Utara untuk pasien TB dengan BTA (bakteri tahan asam) positif. Program ini telah berkembang sehingga lebih dari 1.500 pasien bisa diobati kapan saja. Sekarang kami bisa memeriksa dan mengobati pasien di mana saja.” Sekitar 10 orang delegasi termasuk Linton tinggal di Korea Utara selama 3 minggu setiap 6 bulan untuk menanggulangi penyakit TB. Namun 3 minggu ini “Tidak cukup untuk kegiatan sepenuhnya,” katanya. “Kami mengunjungi 12 sanatorium selama 21 hari. Kami memeriksa pasien baru, menganjurkan pasien untuk rawat inap, mengecek keadaan pasien lama dan memberikan obat kepadanya.” Menurut Linton, berkat perawatan setia seperti itu tingkat kesembuhan TB-MDR tercatat 76%. Mencengangkan karena rata-rata tingkat kesembuhan dunia TB-MDR adalah 45%.

SENI & BUDAYA KOREA 59


Oleh karena itu orang-orang Korea Utara mengatakan bahwa mereka bisa sembuh di sanatorium Eugene Bell walaupun terinfeksi TB-MDR. Selain bantuan obat-obatan dan peralatan pengobatan, Linton dan Yayasan Eugen Bell berhasil luar biasa di bidang pendidikan untuk pasien TB dan staf medis. Melalui program pengobatan penyakit TB di Yayasan Eugene Bell, ribuan orang Korea Utara bisa mengetahui secara teliti apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan jika mereka terinfeksi TB. Bahkan Linton sendiri tampaknya hampir menjadi ahli TB dengan membantu mengobati pasien Korea Utara. Kami Hanyalah Utusan Katanya Linton sendiri pernah terkena penyakit TB dua kali waktu kecil. Oleh sebab itu, dia sangat memahami penderitaan pasien TB. Keluarga Linton sangat memahami penyakit TB. Lois Linton, ibu Linton mendirikan Pusat Rehabilitasi TB Kristen Suncheon ketika penyakit TB merajalela di daerah Suncheon setelah banjir pada tahun 1960. Dia melakukan kegiatan penanggulangan penyakit TB selama 30 tahun. Ibu dan anak laki-lakinya membangun hubungan khas melalui melakukan kegiatan pengobatan penyakit TB di Korea Selatan dan Korea Utara. Linton menyelidiki secara teliti hasil penggunaan peralatan medis dan obat-obatan. Dia juga rajin meningkatkan transparansi distribusi. Yayasan Eugene Bell dijalankan dengan sumbangan pribadi maupun pemerintah dari Korea Selatan dan Amerika Serikat. Saat ini, 85% dari semua penyumbang adalah warga Korea Selatan. Orang-orang Korea Utara sebagai penerima sumbangan juga mengetahui hal tersebut. Yayasan Eugene Bell berdisiplin mengunjungi semua rumah sakit 2 kali setahun dan mengumumkan semua nama penyumbang. Tidak ada tulisan ‘Yayasan Eugene Bell’ di kotak obat TB yang dibeli oleh penyumbang dan diantarkan oleh yayasan. Nama penyumbanglah tertulis di kotak obat. Linton mengatakan bahwa Yayasan Eugene Bell merupakan sebuah perutusan dan ia hanya seorang utusan, seraya menyatakan bahwa ia bukan seorang pahlawan. “Kami hanya berperan sebagai seekor kedelai atau seorang kurir. Kami hanya mengangkut dan mengelola obat-obatan dan peralatan medis. Bangsa Korea sendiri menyumbang uang untuk kegiatan medis, melakukan pelayanan pengobatan, dan mendapat manfaatnya. Yayasan Eugene Bell dan saya mulai menyingsingkan lengan karena uluran kasih sayang orang Korea Selatan sulit disampaikan kepada Korea Utara.” jelasnya. “Hal yang paling sulit adalah memperoleh kerja sama dari Pyongyang, Seoul, dan Washington pada waktu yang sama.” tambahnya. “Meskipun ketegangan antar Korea sering mempengaruhi bantuan terhadap Korea Utara, kami tidak khawatir karena

60 KOREANA Musim Dingin 2017

“Kami hanya mengangkut dan mengelola obat­obatan dan peralatan medis. Bangsa Ko­ rea sendiri memberikan sum­ bangan uang untuk kegiatan dan mendapat manfaatnya. Yayasan Eugene Bell dan saya mulai menyingsingkan lengan karena uluran kasih sayang warga Korea Selatan sulit disampaikan kepada Korea Utara.”


Karya sastra yang diterjemahkan oleh Jean­Noël Juttet, mantan atase budaya di Kedutaan Prancis di Seoul, dan istrinya, Choi Mi­kyung, pro­ fesor di Sekolah Pascasarjana Penerjemahan dan Interpretasi Universi­ tas Ewha. Profesor Choi yang pertama menerjemahkan karya tersebut dan Juttet merevisi dan menulis ulang terjemahannya.

ada banyak penyumbang yang memperhatikan proyek kami,” katanya. Pada tahun yang lalu, jadwal perjalanan ke Korea Utara terganggu karena uji coba nuklir Korea Utara. Terjadi kemunduran dalam pengantaran obat-obatan untuk pasien TB-MDR karena kesimpangsiuran mengenai persetujuan pemerintah Korea Selatan dan untuk jadwal pengiriman obat-obatan ke Korea Utara. Namun “Tahun ini semuanya berjalan lancar sesuai dengan jadwalnya,” kata Linton. Dia membawa obat-obatan untuk 6 bulan setiap saat mengunjungi Korea Utara. Namun jika ada gangguan pada jadwal perjalanan ke Korea Utara, para pasien TB-MDR tidak bisa diobati pada waktu yang tepat. Oleh karena itu, Linton berharap pemerintah Korea Selatan meluncurkan sejenis izin untuk kelompok bantuan kemanusiaan terhadap Korea Utara. Cinta Turun-Menurun Keluarga Linton Terhadap Korea Linton pertama kali mengunjungi Korea Utara pada tahun 1979 saat Kejuaraan Tenis Meja Dunia di Pyongyang. Setelah

itu, dari tahun 1992 sampai tahun 1994 dia pernah bertemu dengan pemimpin Korea Utara, Kim Il-sung tiga kali sebagai interpreter dan penasihat pendeta Billy Graham. Dia, seorang profesor universitas Columbia, mendirikan Yayasan Eugene Bell pada tahun 1995 untuk memperingati 100 tahun kegiatan misi Eugene Bell di Korea Selatan, kemudian mulai membantu Korea Utara dengan bantuan pangan. Eugene Bell, kakek buyut Linton, merupakan seorang misionaris Amerika Serikat yang melakukan misi di daerah Jeolla pada tahun 1895. William Linton, kakeknya Linton menikah dengan Charlotte Bell Linton, anak perempuan Eugene Bell, kemudian melakukan kegiatan misi di wilayah Jeolla. Ketika William Linton bekerja sebagai kepala sekolah di Sekolah Shinheung Jeonju, dia pernah diusir pemerintah Jepang karena menolak memberikan penghormatan di tempat suci Shinto. Setelah kemerdekaan, dia datang lagi ke Korea dan mendirikan universitas Hanman. Selain itu, dia memimpin Pergerakan Manse di Gunsan, Jeollabuk-Do pada tahun 1919 dan memperkenalkan Pergerakan 1 Maret ke Amerika Serikat. Linton dilahirkan di Philadelphia, Amerika Serikat pada tahun 1950 dan dibesarkan di Suncheon, Jeollanam-Do, Korea dengan ayahnya, Hugh Linton, seorang misionaris. Dia tamat jurusan filsafat di universitas Yonse dan memperoleh gelar doktor di bidang studi banding Korea Selatan dan Korea Utara di universitas Columbia. Setelah itu dia menjadi profesor dan wakil direktur Pusat Studi Korea di Institut Asia Timur di universitas Columbia. Dia menjelaskan alasan mengapa dia menjadi seorang aktivis untuk membantu Korea Utara; “Sebagai penganut agama Kristen, saya tidak percaya individu mengubah dunia. Hal yang penting adalah mempraktikkan cinta terhadap tetangga.” Linton mengatakan, “Kami hanya melakukan apa yang harus dilakukan oleh orang yang percaya kepada Tuhan,” bila ditanya cinta turun-menurun keluarganya terhadap Korea selama 4 generasi dari pendeta Eugene Bell. Dia menegaskan, “Walupun saya harus pensiun dari jabatan profesor universitas, saya akan terus membantu pasien-pasien TB di Korea Utara.” Dia ingin mengucapkan terima kasih kepada para pihak terkait dengan berkata “Proyek ini mustahil dilakukan tanpa pengorbanan para penderma dan staf medis Korea Utara.”

SENI & BUDAYA KOREA 61


SATU HARI BIASA

HIDUP BAHAGIA Membuat Rasa Makin Enak Dalam laporan “Toko Franchise Berdasarkan Klasifikasi Industri” tahun 2016 yang disampaikan oleh Lembaga Mediasi Perdagangan Korea, tercantum bahwa ada sejumlah 24.453 kedai ayam goreng di negara ini, yang berada di urutan kedua setelah toko swalayan sebanyak 30.846 buah. Di tempat ketiga adalah kedai yang menyajikan hidangan Korea, tapi jumlahnya sangat sedikit yaitu 19.313 buah. Banyak pemilik bisnis memilih membuka kedai ayam karena usaha ini tidak memerlukan keahlian khusus. Namun, dalam pasar dengan banyaknya pebisnis di bidang yang sama (red ocean market ), meski sebuah bisnis tidak memerlukan “ketrampilan” khusus, tetap saja membutuhkan “prinsip” khusus supaya berhasil. Jo Eun Penyair, Penulis Cerita Anak Ha Ji-kwon Fotografer

K

etika kehidupan kantor makin keras, banyak orang ingin mengundurkan diri. Pada saat itu mereka membayangkan membangun bisnis sendiri dan berpikir jika tidak ada atasan yang menekan mereka, mereka bisa melakukan segala yang mereka inginkan. Mereka ingin memperbaiki hidup mereka dan membuat teman-teman mereka iri. Ada juga pemikiran “Sebelum semuanya terlambat!” Dalam praktiknya, itu tidak mudah. Memulai bisnis berarti mengatasi keraguan dan kegelisahan yang besar. Tingginya angka wirausaha di Korea menunjukkan fakta bahwa bagi banyak orang kehidupan kantor tidak menyenangkan dan tidak ada banyak pekerjaan bagi mereka yang pensiun dini. Dengan pasar domestik yang stagnan di tengah pertumbuhan yang rendah dan resesi, memulai bisnis sendiri tidak menjamin akan sukses. Pikiran seperti ini membuat Jeong Cheol-sun, yang menjalankan usaha franchise ayam goreng, menjadi salah satu dari

62 KOREANA Musim Dingin 2017

mereka yang sukses. Intinya, ia bahagia. Ia punya motto keluarga “Lakukan dengan kemampuan terbaikmu di tempatmu berada” yang diabadikan dalam sebuah pigura terpajang di dinding rumahnya. Ia lahir pada tahun 1960, dan sudah memnjalankan bisnis ayam goreng selama duapuluh tahun. Ternyata, pengalaman dan gagasan yang ia miliki saat itu dituangkan dalam kebijakan perusahaan franchise -nya . “Saya sering ke kantor pusat dalam peran saya sebagai gubernur dan duduk satu meja dengan pemilik, presiden dan direktur perusahaan. Di kantor pusat, mereka membuat panduan setelah mengadakan survei mendalam, dan saya aktif terlibat di dalamnya dari awal. Saya sudah menerima banyak penghargaan.” Dalam sebuah acara di Jeju International Convention Center , perusahaan mencarter sepuluh pesawat untuk membawa seluruh peserta ke pulau tersebut, dan Jeong Cheol-sun mendapatkan penghargaan


tertinggi. Seluruh keluarganya diundang hadir dan mereka menemaninya ke panggung untuk menerima hadiah. Tn. dan Ny. Jeong sangat terkenal dalam franchise karena mereka tampil dari waktu ke waktu dalam iklan televisi yang dipasang oleh perusahaan. Barangkali karena mereka hidup positif, berolah raga secara teratur, banyak tersenyum, dan aktif berpartisipasi dalam aktivitas masyarakat lokal, keduanya punya wajah yang berseri-seri. Setelah menghabiskan waktu seharian bersama mereka, saya lihat senyum cerah pasangan itu makin mirip satu sama lain. Rahasia Rasa yang Enak: Sebuah Aturan Unik Setelah bekerja di sebuah perusahaan di Seoul selama lebih dari sepuluh tahun, suatu hari Jeong Cheol-sun sadar bahwa ia tidak punya masa depan sebagai pekerja kantor. Saat ia berpikir keras bagaimana membuat perubahan dalam hidupnya, kakak ipar laki-lakinya yang bekerja sebagai pegawai

negeri di Gongju meninggal dengan tiba-tiba. Kakak perempuan Jeong menjanda dan pindah ke Seoul dan mereka berdua membuka resoran barbeque galbi . Namun, karena keduanya tidak punya pengalaman menjalankan bisnis, usaha itu hanya bertahan selama tiga bulan sebelum akhirnya ditutup. Ini berarti Jeong mengalami kepahitan dalam bisnis restoran di awal usahanya. Pengalaman pahit itu adalah alasan ia memilih membuka kedai franchise . Ia pikir dengan dukungan kantor pusat ia bisa menjalankan bisnisnya dengan sedikit lebih aman. Ia memutuskan mengubah penyewaan video yang sudah dijalankan istrinya selama tujuh tahun menjadi kedai ayam goreng. Tapi itu bukan keputusan yang mudah. “Ada sebuah kedai ayam panggang tepat di sebelah toko video istri saya, sehingga saya sangat raguragu. Bagi mereka, jika toko video berubah menjadi kedai ayam, mereka akan punya pesaing tepat di sebelahnya. Namun alasan yang membuat akhirnya

Jeong Cheol­sun dan istrinya, yang mengelola warung ayam goreng waralaba di daerah Seochon di Seoul, tidak pernah kehilangan senyumannya meski kehidupan sehari­hari mereka melelahkan.

SENI & BUDAYA KOREA 63


Ada asumsi bahwa “semua makanan waralaba rasanya sama.” Intuisi hebat Ny. Jeong dalam memasak berperan besar dalam membuat ayam gorengnya lebih enak. saya mengambil keputusan ini adalah karena saya pikir ‘ayam panggang’ dan ‘ayam goreng’ adalah dua makanan yang berbeda. Sekarang, orang-orang hampir tidak bisa membedakan keduanya, tapi dulu dua makanan itu sangat berbeda. Sampai sekarang, kami masih bertetangga dan menjadi teman baik.” Di restoran Jeong, selain ayam goreng, dijual juga pizza dan beragam makanan pendamping seperti stik keju, dan bir. Namun, ayam masih menjadi primadona dengan sekitar 80-90% dari penjualan keseluruhan. Setelah menjalankan restoran ayam gorengnya selama bertahun-tahun, salah satu hal yang didengarnya dari pelanggan adalah “Walaupun mereknya sama, yang saya beli di tempat lain rasanya tidak

1

64 KOREANA Musim Dingin 2017

seenak di sini.” Bagi Jeong, komentar dari pelanggan seperti ini merupakan pujian yang luar biasa. Tentu ayam goreng Jeong menerima pujian bukan tanpa usaha. Ia dan istrinya berusaha mengatasi asumsi umum bahwa “semua makanan waralaba rassanya sama.” Intuisi Ny. Jeong yang tajam dalam memasak sangat berperan dalam membuat ayam goreng mereka lebih enak dibanding lainnya. Selain itu, ada juga aturan yang sangat dipatuhi oleh Jeong untuk mendapatkan produk dengan rasa terbaik, yaitu memanaskan minyak hingga 2℃ lebih tinggi dari yang tertera dalam manual yang disediakan oleh perusahaan. Cara ini meningkatkan kerenyahan ayam gorengnya. “Meski semua orang punya manual yang sama dari kantor pusat, tak dipungkiri bahwa rasanya akan sedikit berbeda di tiap restoran. Sama halnya ketika Anda memberi bahan yang sama kepada beberapa ibu rumah tangga dan meminta mereka membuat kimchi , mereka pasti tidak akan membuatnya dengan rasa yang sama persis. Dan, lebih dari itu semua, kualitas minyaklah yang akan mengubah rasa ayam goreng. Minyak zaitun yang kami gunakan sekitar empat kali lebih mahal dibanding minyak goreng biasa dan alasan rasa ayam goreng menjadi kurang enak adalah tidak sering mengganti karena merasa sayang harus membuangnya. Anak laki-laki saya lahir seki-


tar waktu kami buka restoran pertama kali dan kini ia sudah hampir lulus sekolah menengah. Saya selalu menggoreng ayam dalam minyak baru sehingga saya tenang ketika ayam ini dimakan juga oleh anak saya.” Memasak makanan dengan keyakinan bahwa harus berkualitas baik demi anak Anda sendiri; level kepedulian dan perhatian ekstra ini tampaknya menjadi rahasia rasa enaknya. Tapi itu belum semua. “Di kantor pusat, mereka melakukan riset berkesinambungan untuk melengkapi setiap restoran dengan resep terbaik, tapi ketika ketika sedang ramai, sangat mungkin mereka mengabaikan manual secara detil. Misalnya, Anda seharusnya menyapukan saos ke permukaan setiap ayam, dan jika Anda mencoba menghemat waktu dengan menuangkan saos itu dan mencampurnya dengan ayam, rasanya akan kurang enak. Tidak peduli sesibuk apa, kami harus tetap berpegang pada panduan itu. Itulah rahasia mengapa ayam kami enak.” Resep Rahasia untuk Bahagia: Puas dengan Apa yang Anda Punya Wilayah Seochon tempat Jeong Cheol-sun membuka restorannya dulu sangat sepi. Namun, kini tempat ini sudah berada di jangkauan radar media sebagai pusat budaya, sehingga menjadi sangat ramai. Namun, restoran Jeong belum sepenuhnya beradaptasi dalam atmosfer perubahan ini. Setelah bekerja keras selama bertahun-tahun, ia sudah stabil dalam secara finansial, dan mampu membeli rumah dua lantai yang sebelumnya mereka sewa untuk keluarganya yang berjumlah lima orang, dan mereka sudah tidak memerlukan apa-apa lagi. Dengan berlokasi di dekat Gwanghwamun, yang menjadi tempat demo-demo besar, salah satu ciri wilayah Seochon adalah tempat ini menjadi sangat terpengaruh oleh peristiwa-peristiwa semacam itu. Ketika barikade bis polisi anti huru-hara dibuat untuk menghalangi para demonstran, layanan pesan antar Jeong tidak bisa melintas dan ia hampir tidak bisa menerima pesanan. Jeong berharap konflik politik dan sosial akan mereda dan rakyat Korea menjadi lebih stabil. Rakyat Korea sangat suka ayam goreng sehingga setiap restoran pasti menyajikan menu ayam. Jeong Cheol-sun berpikir ini karena “harganya ringat buat dompet” dan “porsinya besar, cara memotong ayam menja-

2 1. Mengambilbahan makanan, membersihkan, memasak dan me­ layani pelanggan, Jeong dan sekitarnya hampir tidak punya waktu untuk beristirahat. Mereka bekerja sepanjang tahun, jarang libur sehari pun. 2. Mereka percaya bahwa hanya dengan menggunakan minyak terbaik dan menggoreng ayam dengan cermat yang akan mereka konsumsi saat memasak untuk anak­anak mereka sendiri merupakan rahasia rasa dan kunci sukses.

di potongan yang nyaman dipegang, dan renyah ketika Anda gigit” membuat ayam goreng makin populer. Jeong mengatakan bahwa selama bekerja sendiri kesehatan fisiknya menurun. Setelah membuka restoran pada pukul 11 siang, ia dan istrinya tak henti bekerja sepanjang hari: membersihkan, menyiapkan bahan-bahan, memasak, melayani pelanggan, menerima pesanan, dan mengirimkannya. Dari pukul 5 sore hingga 9 malam ketika sebagian besar pesanan datang, mereka harus bekerja sambil berdiri. Banyak sekali yang harus dilakukan dan kesibukan itu baru berhenti sekitar pukul 1 dini hari. Mereka hampir tidak pernah libur, sehingga mereka sangat lelah. Namun, Jeong selalu puas dengan keadaan itu. “Tempat kami tidak seperti restoran terkenal yang untuk makan di sana para pelanggan harus antre panjang. Kami hanya restoran yang memberikan pelayanan sama dengan franchise lain dengan ayam yang relatif lebih enak. Itu saja. Dan itu cukup.” Demikianlah. Jeong Cheol-sun tahu dengan tepat posisi bisnisnya dan pada level kesuksesan mana ia merasa puas. Inilah alasannya mengapa ia selalu tersenyum.

SENI & BUDAYA KOREA 65


ESAI

KOREA SELATAN MELAJU BAK BUSUR PANAH M. Aji Surya Minister Counsellor KBRI Seoul

H

ampir dua tahun berada di negeri ginseng, hati saya makin senang saja. Banyak hal baru yang dijumpai dan menginspirasi bangsa lain. Bagi warga Korea (Selatan), semua yang terjadi tanah ini bisa jadi merupakan hal yang biasa (jamak) dan tidak terlalu istimewa. Namun di mata orang asing seperti saya, negeri kimchi sangatlah spesial. Inilah bangsa yang punya kesadaran tinggi untuk bangkit dalam mengejar semua ketertinggalan. Tanpa disadari (atau sangat disadari), ma syarakat Korsel telah bermetamorphosis dengan luar biasa dan melakukan lompatan peradaban yang sangat dahsyat. Semua itu didorong oleh budaya inovasi yang secara sistematis dijaga dan terus dilanjutkan secara berkesinambungan. Bila itu tidak berhenti, bukan tidak mungkin, masyarakat Korsel menjadi

66 KOREANA Musim Dingin 2017

bangsa yang unggul di dunia. Di antara yang mengagumkan di negeri kimchi ini adalah budaya persaingan yang ketat dan cepat. Inilah turunan budaya phali-phali yang begitu terkenal. Meski sebagian warga terlihat agak sinis (mungkin karena lelah), namun tanpa kerja cepat mereka tidak akan pernah mengejar ketertinggalan. Akan berada di belakang. Kecepatan bertindak dan tidak terlalu bertele-tele dalam implementasi menjadi ujung tombak perkembangan peradaban. Terdapat salah di sana-sini adalah hal yang biasa namun yang penting kemudian diperbaiki sambil jalan. Yang perlu digarisbawahi, phali-phali merupakan sebuah keharusan dalam persaingan saat ini yang makin ketat, baik mereka yang sudah maju apalagi yang masih tertinggal di belakang. Kompetisi yang bisa diibaratkan dengan lomba


Formula 1 tersebut memberikan pelajaran bahwa bagi mereka yang tertinggal satu detik di setiap lap, pada garis finish ia akan berada hampir satu menit dari sang pemenang. Mau tidak mau, memacu kecepatan merupakan keharusan tanpa alasan apapun. “Push and push” sepanjang pertandingan. Manakala masih kalah, maka ada kesemoatan untuk perbaikan dan inovasi sebelum race berikutnya. Perbaikan disinilah yang kemudian bisa diartikan sebagai inovasi. So, kata kuncinya adalah cepat dan inovasi. Dan sepertinya, Korea Selatan senantiasa berada dalam suasana dan semangat “bertanding” sehingga menghasilkan banyak hal baru dan mengalami lompatan peradaban seperti yang saya tulis dimuka. K-pop bagi saya bukan hanya sebuah persaingan anak muda belaka, namun sebuah pembangunan peradaban dan refleksi kehidupan di Korea itu sendiri. Di dalamnya ada spirit berkompetisi, bersaing, menang dan kalah, inovasi serta menuju masa depan yang gemilang. Anak-anak muda yang begitu terbiasa dengan kompetisi ala K-pop dipastikan akan menjadi anak muda yang maju dan terhormat. Apapun capaiannya ia telah memberikan kontribusi bagi masyarakatnya menjadi bangsa unggul di antara bangsa lain di dunia. Bagi mereka yang malas dan tidak mau bersaing, pasti akan tergilas oleh zaman tanpa bisa mengelak. Demikian juga industri mobil yang ada di sini. Sangat jelas memberikan banyak makna seperti kemandirian, self confidence, dan teknologi yang relatif canggih. Meski masih relatif tertinggal jauh dari produk Jerman, namun pertumbuhan teknologinya semakin mapan. Dari hari ke hari ekspansi yang dilakukan memberikan harapan “hegemononi pasar” di masa datang. Sungguh luar biasa. Saat ini, kemanapun kita pergi, rasanya produk otomotif Korea Selatan banyak ditawarkan. Apakah di Eropa, Amerika ataupun Rusia. Sangat ekspansif dan masif. Penuh strategi dan tanpa kompromi. Ini lagi-lagi (bisa jadi) sangat terkait dengan budaya phali-phali. Di sisi lain, Korea Selatan sangat piawai dalam urusan poles memoles. Jujur saja, Korsel ini kalah

cantik dibanding banyak negara, namun karena kemasannya begitu apik maka kemudian diperebutkan oleh banyak pihak. Inner beauty inilah yang sangat menarik untuk dikaji oleh siapapun. Saya menduga, selain hal-hal di atas, masyarakat Korsel juga pandai mengkapitalisasi masa lalu untuk kemajuan masa depan. Sejarah atau persaingan kekinian diaduk-aduk sedemikian rupa demi bangkitnya semangat pantang menyerah, kerja keras dan inovasi. Jujur, tidak semua bangsa memiliki etos ini. Dalam prediksi saya, andaikan saja Korsel tetap konsisten seperti sekarang, maka ia akan menjadi leading country di Asia atau bahkan bukan tidak mungkin menjadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang sangat disegani baik oleh negara berkembang maupun negata maju sekalipun. Semua itu akan makin menjadi lebih nyata lagi manakala Korea Selatan tidak segan-segan untuk melakukan transfer of technology kepada banyak negara termasuk ASEAN. Di kala banyak negara maju relatif pelit berbagi ilmu, Korsel sebaiknya tidak segan-segan melakukan “sharing” dan “caring” bagi mitra-mitranya. Riset memang tidak pernah murah, namun teknologi juga tidak pernah mandeg, sehingga berbagi ilmu bukan sebuah kebijakan yang salah. Hubungan antar bangsa yang dijalankan oleh Pemerintah Korsel saat ini juga sangat baik dan memberikan banyak kesempatan untuk maju. Konsep kerjasama dengan Korea Utara yang fleksibel menunjukkan kematangan dari kebijakan luar negeri. Apalagi sekarang menjadikan ASEAN sebagai mitra yang sejajar dengan beberapa negara besar. Ini lagi-lagi hanya menunjukkan kematangan Pemerintahan Korsel saat ini dalam menggapai dan memenangkan persaingan di masa depan. Di akhir tulisan ini saya ingin menyatakan bahwa masyarakat Korsel sekarang dalam kondisi yang tepat (on the right track). Mereka telah membangun sebuah sistem yang sangat kompetitif dalam rangka mendapatkan nilai plus di tengah globalisasi yang semakin ketat. Saya sangat berharap, Korsel terus maju bersama masyarakat internasional serta senantiasa mendorong perdamaian di muka bumi yang semakin tua ini.

SENI & BUDAYA KOREA 67


GAYA HIDUP

Pesona Perjalanan

“GAYA LAMA”

DENGAN KERETA API

68 KOREANA Musim Dingin 2017


Perjalanan dengan menggunakan kereta api yang berjalan di atas rel menurut jadwal dapat menjadi perjalanan yang tidak nyaman. Kereta api hanya berjalan mengikuti jalur, sehingga tidak mudah untuk mengubah tujuan karena tidak mungkin untuk turun di tengah perjalanan ataupun berbelok dari jalur. Meskipun demikian, jumlah wisatawan yang menggunakan kereta api telah meningkat pesat. Dikarenakan beberapa alasan, para wisatawan telah memutuskan kembali menggunakan alat transportasi kuno yang kurang nyaman ini. Park San-ha Penulis Lepas tentang Perjalanan Ahn Hong-beom Fotografer

Kereta api pariwisa­ ta ‘Haerang’ berlari menelusuri tepi laut. ‘Haerang’yang dijuluki ‘Cruise di atas rel’menawar­ kan pelayanan yang mewah.

D

alam kenangan generasi tua, kereta api bersosok tiga, yaitu: kereta api yang membawa pemuda-pemuda ke kamp pelatihan militer untuk memulai pelatihan militer wajib; kereta api lokal lambat di mana orang-orang menikmati perjalanan menuju tempat perkemahan untuk pelatihan keanggotaan universitas dengan bersenda-gurau bersama teman-teman sambil mengepulkan asap rokok, dan kereta api yang orang-orang naiki untuk mengunjungi kampung halaman ketika liburan. Akan tetapi, kini perjalanan kereta api menampilkan sosok yang berbeda dengan zaman dulu. Saat ini terdapat kereta api khusus yang menyediakan berbagai pelayanan bagi wisatawan untuk berjalan-jalan ke seluruh pelosok negeri. Terdapat sekitar 10 kereta api wisata yang bertema, antara lain “Kereta Api Lembah Baekdudaegan,” “Kereta Api Pemandangan Laut Namdo,” “Kereta Api Jeongseon Arirang,” dan “Kereta Api Emas Laut Barat.” Nama-nama tema itu menunjukkan dengan jelas tujuan kereta api dan apa yang ditawarkannya untuk wisatawan. Sejumah kereta api itu membawa para wisatawan ke berbagai pelosok negeri. Selain kereta api wisata yang bertema, KORAIL juga mulai menjual tiket Naeilro (kombinasi dari sebuah kata bahasa Korea “naeil” yang berarti “besok” dan sebuah kata bahasa Inggris “railroad” yang berarti “rel kereta api”) sejak musim panas 2007. Pada tahun itu, hanya sekitar 8.000 tiket kereta api itu terjual, tetapi penjualan tiket kereta api itu meningkat tiga kali lipat, yaitu sekitar 58.000 tiket pada tiga tahun setelahnya. Hal itu menunjukkan betapa tiket kereta api itu telah menjadi terkenal. Kelebihan Perjalanan dengan Kereta Api Biasanya program perjalanan dengan menggunakan kereta api wisata ada dari mulai perjalanan satu jam sampai perjalanan tiga hari. Orang-orang memilih bukan mobil tetapi kereta api demi merasakan dan menemukan sesuatu yang baru dalam perjalanan. Mereka berjalan menuju peron lalu menemukan “daya tarik pada kelambatan” dalam kereta api wisata. Dalam perjalanan kereta api bertema, wisatawan dapat mengunjungi berbagai objek wisata hanya dengan satu tiket saja. “Kereta Api Lingkar Pedalaman Utama (Kereta-O)” dan “Kereta Lembah Baekdudaegan (Kereta-V)” mulai beroperasi pada tahun 2013. Jumlah penumpang yang menggunakan kedua kereta api itu mencapai lebih dari 100.000 orang hanya dalam kurun waktu 99 hari sejak dibuka. Popularitas kedua kereta api itu ada pada kenyataan bahwa orang dapat mengunjungi sejumlah desa yang biasanya sulit dicapai dan juga dapat mengunjungi berbagai stasiun bersejarah. Kereta Api Perdamaian DMZ (zona demiliterisasi) mulai beroperasi pada tahun 2014. Kereta api ini meraih popularitasnya karena dipandang merupakan cara yang istimewa untuk

SENI & BUDAYA KOREA 69


menjelajahi DMZ yang dikunjungi sekitar 6 juta wisawatan setiap tahun. Kini lebih separuh dari penumpang kereta api ini adalah wisatawan asing. Sementara itu Kereta Api Eksekutif Haerang, sebuah kereta api wisata yang disebut hoteldi-atas-roda mulai beroperasi pada tahun 2008. Kereta api ini memenangkan penghargaan sebagai kereta api premier terbaik di Korea karena memberikan fasilitas mewah dan layanan kelas-atas yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kereta api Orient Express yang beroperasi antara Paris dan Istanbul. Keindahahan Pemandangan yang Menakjubkan Kereta Api -O dan Kereta Api -V yang mulai beroperasi pada tahun 2013 merupakan kereta api kesayangan saya. Kereta Api-O tampak seperti tupai lucu. Nama kereta api ini berasal dari kata “One (Satu)” karena kereta api ini menghubungkan tiga provinsi dari wilayah pedalaman utama Korea, yaitu Provinsi Gangwon, Provinsi Chungcheong Utara, dan Provinsi Gyeongsang Utara. Kereta api itu berjalan dari Seoul menuju ke Chungju melalui Chungcheon, lalu ke Yeongju dan Seungbu, sampai ke Cheoram. Gerbong pertama sampai gerbong keempat dihiasi berdasarkan tema empat musim, yaitu musim semi, musim panas, musim gugur, dan musim dingin. Gerbong ketiga menawarkan tempat duduk terpisah untuk keluarga dan pasangan, sehingga penumpang dapat duduk berhadapan dengan orang terkasihnya. Pramugara/pramugari kereta api ini memberikan hadiah kepada para penumpang ketika mereka menjawab pertanyaan kuis tentang kereta api. Penumpang dapat berpindah kereta dari Kereta Api -O ke Kereta Api -V di stasiun Bundcheon yang berada di perbatasan antara Gangwon dan Gyeongsang Utara. Di stasiun itu, penumpang dapat menikmati suasana natal sepanjang tahun. Hal itu merupakan hasil atas kerjasama stasiun Buncheon dengan stasiun Zermatt di Swiss pada tahun 2013 untuk merayakan hubungan diplomatik kedua negara ke-50 tahun. Stasiun Buncheon dan Zermatt dipilih sebagai stasiun yang mewakili perjalanan kereta api dari masing-masing negara.

Kereta api Perdamaian (Peace Train) mulai beroperasi pada tahun 2014. Kereta api ini menjadi popular sejak dianggap sebagai cara yang lebih istimewa untuk menjelajahi DMZ. 70 KOREANA Musim Dingin 2017

V dari Kereta Api-V berasal dari kata “Valley (Lembah).” Sebagaimana namanya, kereta api berwarna merah ini berjalan melintasi lembah curam sempit. Kereta api ini berjalan antara Buncheon dan Cheoram, berhenti di Yangwon dan Seungbu di Gyeongsang Utara. Warna merahnya memberikan kesan hangat dan bersahabat. Kereta api ini membawa kembali kenangan tentang kereta lokal lambat bernama “Bidulgi (Burung Merpati),” yang saat ini sudah tidak lagi beroperasi. Penumpang bahkan menyukai bunyi kaca tipis jendela kereta api yang berderit selama kereta api berjalan. Kemudian, kipas angin kuno yang berputar perlahan di langit-langit gerbong sebagai pengganti AC juga membawa para penumpang ke masa lalu. Dalam kereta api ini, penumpang teringat akan apa yang penyair Na Tae-ju pernah katakan. Dia menulis dalam sebuah puisi bahwa “Hal-hal kelihatan indah hanya ketika kamu memperhatikannya dari dekat”. Kemungkinan dikarenakan hal ini, kereta api ini berjalan lambat seolah-olah ingin memberikan penumpang kesempatan untuk melihat lebih dekat perubahan alam. Kereta api ini berhenti di stasiun Yangwon di jalur Yeongdong sekitar 10 menit. Penumpang dapat menikmati secangkir aneka macam makgeolli (minuman keras tradisional) setempat dan jeon (dadar sayuran tradisional) untuk memuaskan dahaga dan lapar. Alasan mengapa saya menyukai kereta api ini adalah karena kereta api ini mengizinkan penumpang untuk menikmati keindahan menakjubkan dari balik jendela dan bahwa kereta api ini berhenti di stasiun Seungbu yang menurut saya merupakan stasiun terindah di Korea. Kereta api ini membuat para penumpang merasa seolah-olah mereka memasuki pedalaman atau bahkan masuk ke jantung hutan. Ketika melihat pemandangan dari atas rel tersebut, orang akan kehilangan kata-kata akan keindahan pemandangan yang menakjubkan. Berbagai Pelayanan yang Istimewa Pada tahun 2015, saya mendengar berita bahwa sistem tempat duduk khusus dipasang dalam kereta api wisata bernama Kereta Emas Barat. Yang dimaksud dengan dipasangnya sistem tempat duduk khusus tersebut adalah dipasangnya “ondol” (pemanas pada lantai), sehingga penumpang dapat duduk dengan nyaman atau bahkan dapat berbaring. Tidak ada lagi yang seperti ini di dunia, bukan? Penumpang akan menikmati suasana yang sederhana sekaligus menyenangkan ketika berbaring dengan kepala di atas bantal kayu cemara di dalam ruang ondol hangat, yang tampak seperti ruang keluarga di suatu desa. Selain itu, penumpang juga dapat menikmati cuci kaki untuk melemaskan otot kaki yang kaku. Penumpang dapat beristirahat jika meletakkan kaki lelahnya ke dalam mata air sulfur panas yang dibawa dari Pemandian Air Panas Dogo yang berada di dekat Cheonan, provinsi Chungcheong Selatan. Kereta api ini memberikan


Kereta Api ‘Cruise di atas rel’ Di antara banyak kereta wisata api bertema, terdapat kereta api yang diidamkan banyak orang untuk menaikinya setidaknya sekali dalam hidup mereka. Kereta api itu adalah Kereta Api Haerang yang juga dikenal sebagai ‘Cruise di atas rel.’ Nama Haerang sendiri berarti ‘bersama dengan matahari.’ Kereta api dengan enam orang pramugara/pramugari kereta api ini hanya mengakomodasi sekitar 54 penumpang untuk memberikan penumpang layanan premier. Kamar dalam kereta api ini dilengkapi dengan tempat tidur nyaman dan ruang duduk. Penumpang dapat menikmati bir, anggur, dan minuman segar setiap saat di gerbong makan. Mereka juga dapat mencoba makanan lokal yang lezat di stasiun setiap kali kereta api berhenti. Pramugara/pramugari kereta api ini menawarkan berbagai program hiburan, termasuk pertunjukkan sulap, konser gayageum (alat musik tradisional Korea), dan pertunjukkan vokal a capela . Perjalanan dengan kereta api ini juga menyajikan pemandangan saat matahari terbit dan terbenam kepada para penumpang. Satu-satunya kelemahan perjalanan kereta api yang istimewa ini adalah harga mahal, yaitu sebesar 2,44 juta won untuk perjalanan dua malam

1

2

© Pengembangan Pariwisata Korail

penumpang kesempatan untuk menikmati pemandangan dari bentangan lumpur luas dan cahaya matahari terbenam. Selanjutnya, terdapat juga kereta api yang disukai pasangan muda. Yaitu, Kereta Laut dengan tiga gerbong yang direnovasi dari kereta komuter perkotaan tua yang bernama “Tongil” pada bulan Juli 2007. Kereta api ini memungkinkan penumpang untuk menikmati pemandangan dari Laut Timur yang sama mempesonanya seperti Laut Mediterania. Kereta api yang dimulai dari Jeongdongjin ini berhenti di Mukho, Donghae, Chuam, Pantai Shamcheok, dan Samcheok. Jika turun di Chuam, penumpang dapat menikmati pemandangan menakjubkan dari Chotdaebawi (Batu Batang lilin) di sana. Setiap gerbong dari Kereta Laut memiliki tema sendiri. Di gerbong pertama dan kedua ada dua jalur tempat duduk yang menghadap ke laut sehingga penumpang merasa seolah-olah mereka sedang menyaksikan laut pada layar lebar di ruang bioskop. Hal itu tampak seperti menyaksikan film tentang laut. Penumpang di gerbong nomor 3 ditawarkan pilihan tempat duduk yang saling berhadapan maka mereka dapat saling bercakap-cakap dengan rombangan mereka. Keistimewaan dalam kereta api ini adalah ruang khusus yang dinamakan “Ruang untuk melamar (pernikahan).” Kata orang, jika orang melamar kekasihnya di ruang yang menghadap ke laut, lamarannya pasti akan diterima oleh kekasihnya. Di samping itu, juga terdapat yang menarik yaitu bahwa kereta api ini mempunyai program siaran sendiri. Dalam program siaran itu, DJ membacakan cerita dari para penumpang dan memainkan musik yang mereka minta.

3 1. Wisatawan dapat menikmati lingkungan alam yang indah dengan menaiki kereta api Arirang Jeongseon yang melintasi daerah bebas polusi Gangwon 2, 3. Kereta api O­Train yang berangkat dari Seoul melintasi tempat­tempat wisata yang terkenal yang ada di Provinsi Chungcheong Utara, Provinsi Gangwon, dan Provinsi Gyeongsang Utara.

tiga hari. Selain itu, juga terdapat pelayanan kereta api yang tidak dapat dinikmati jika orang sudah melewati batas usia. Pelayanan itu adalah tiket Naeilro , yaitu sebuah tiket masuk bagi anak muda di bawah atau sama dengan 29 tahun. Tiket masuk kereta api ini menawarkan perjalanan dengan kereta api tanpa batas (kecuali dengan KTX) ke seluruh pelosok negeri, seharga 70.000 won selama 7 hari. Tiket kereta api ini memberikan mahasiswa kesempatan untuk melakukan petualangan perjalanan yang tidak mahal untuk pergi ke mana pun di Korea dengan kereta api selama musim liburan. Tiket Naeilro juga termasuk berbagai kupon diskon untuk penginapan dan restoran di dekat stasiun. Akan tetapi, Anda tidak perlu kecewa jika usia Anda lebih dari 29 tahun. Anda dapat membeli tiket Hanaro seharga 65.000 won untuk menikmati perjalanan dengan kereta api tanpa batas (kecuali dengan KTX) selama tiga hari.

SENI & BUDAYA KOREA 71


PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

KRITIK

Dingin Mendekap di Toserba Toko serba-ada (toserba) ini menjadi latar cerita beberapa penulis. Seperti judulnya, “I Go to the Convenience Store” cerita pendek Kim Ae-ran ini mempertimbangkan hubungan antara toserba dan orang-orang yang sering melakukan interaksi di sana. Melalui media toserba, yang begitu mencerminkan masa-masa yang kita jalani, cerita ini mengeksplorasi anonimitas yang acuh tak acuh terhadap tempat-tempat yang tidak ada identitas masing-masingnya. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh

D

ebut kesusastraan Kim Ae-ran diawali dengan memenangkan Daesan Literary Award for College Students Pertama untuk Mahasiswa Baru, yang berdiri tahun 2002, untuk cerpennya “Dilarang Mengetuk Pintu Rumah Ini.” Kim Ae-ran lahir tahun 1980. Saat berusia 22 tahun, ia menjadi perintis yang menyuarakan kedatangannya di dunia sastra dari gelombang penulis yang lahir tahun 1980-an. Kelompok penulis feminis muda yang membentuk arus yang jelas dalam komunitas sastra Korea saat ini, terutama lahir pada pertengahan hingga akhir 1980-an, dan hanya lima atau enam tahun lebih muda dari Kim Ae-ran, tetapi ada kesenjangan antara keduanya. Debut awal Kim Ae-ran merupakan faktor dalam hal ini, namun dia juga seorang penulis yang tampil mengesankan pada usia muda. “Aku ke Toserba” pertama kali diterbitkan pada tahun Kim Ae-ran memulai debutnya. Cerpen ini masuk dalam antologi cerpen pertamanya “Lari, Ayah, Lari” yang diterbitkan tahun 2005. Tidak seperti judul Penghargaan Akutagawa tahun lalu, “Manusia Toserba” yang diterima penulis Jepang, Sayaka Murata, yang protagonisnya seorang wanita lajang yang pernah bekerja di toko swalayan 24 jam selama 18 tahun, cerita pendek Kim Ae-ran mengamati ruang itu melalui kacamata seorang mahasiswi yang sering berkunjung ke toserba sebagai pelanggan. Sementara karya Sayaka Murata melihat toko dari dalam, Kim Ae-ran memandangnya dari luar. Ceritanya dibuka dengan sebuah pernyataan jujur yang merangkum pentingnya toko swalayan bagi kehidupan protagonis: “Aku ke toserba, paling banter beberapa kali sehari,

72 KOREANA Musim Dingin 2017

setidaknya sekitar seminggu sekali, aku ke sana. Dan tentu saja, seperti juga orang lain, aku selalu membutuhkan sesuatu.” Dengan kata lain, sang protagonis melantunkan pujian pada toko serba ada dan tempat yang sangat diperlukan dalam hidupnya. Kalimat itu muncul lagi di akhir cerita, namun dengan sedikit perubahan: “Dan tentu saja,” menjadi “Dan anehnya.” Perubahan ini muncul dari transformasi kesadaran protagonis terhadap toko. Memang saya akan mengatakan bahwa bagian utama dari cerita tersebut berfungsi untuk menjelaskan proses transformasi itu. Toko itu muncul suatu hari “seperti legenda asal mula yang hilang di kabut waktu” dan menjadi landasan kehidupan modern. Dari sudut pandang protagonis, hal yang mencolok tentang toserba adalah bahwa mereka yang menjalaninya dan sering kali mereka justru “tidak dapat saling mengenal.” Jaminan anonimitas merupakan karakteristik besar kehidupan masyarakat urban modern, dan ini dilihat oleh protagonis sebagai sesuatu positif. Secara umum, para karyawan toko swalayan tidak menceburkan diri ke dalam kehidupan pribadi mereka yang datang dan pergi ke sana, dan jarak itu dirasakan sebagai murah hati. Anonimitas bisa positif atau negatif, tergantung situasinya, dan untuk sekarang protagonis menganggapnya positif. Tetapi itu menjadi jelas dalam perjalanan cerita bahwa hal itu pun tidak selalu terjadi. Di daerah perumahan dekat sebuah universitas tempat tinggal protagonis ada tiga toserba. Di toko pertama, pemiliknya terlalu ramah terhadap pelanggannya: dia bertanya kepada pelanggan tentang kehidupan pribadi mereka dan bersikap seo-


lah-olah dia mengenal mereka. Tokoh protagonis, yang merasa tidak nyaman dengan sikap seperti itu, berhenti mengunjungi tokonya. Kita dapat mengatakan bahwa itu adalah hukuman protagonis karena mengkhianati harapan anonimitas di sebuah toserba. Warung makan di tempat protagonis sering membeli makanan ringan larut malam, juga menjadi subjek boikot karena alasan yang sama. Sedangkan untuk toko yang kedua, ternyata protagonis melawan yang satu karena keributan kecil menyangkut pembelian kondom, yang dari posisi pemilik toko bisa tampak sedikit tidak adil. Pokoknya, dengan itu, sang protagonis menjadi biasa di toko yang terakhir, Q-Mart. Seperti yang diharapkan protagonis dari sebuah toko, pramuniaga laki-laki muda di sana tidak mengeluarkan sepatah kata pun yang memang tidak sepenuhnya diperlukan. Tetapi, bukan pula itu berarti dia tidak ramah. Ia menjadi hampir mekanis, dia selalu menyapa pelanggannya. Sejauh yang diketahui protagonis, “Q-Mart adalah dunia ‘Welcome’ dan ‘Thank you.’” Tapi tak lama kemudian protagonis menyadari bahwa dia salah. Karena mau tak mau, dia memberikan banyak informasi tentang dirinya dan kehidupan pribadinya saat dia sering mengunjungi toko itu. Atas dasar barang yang dia beli, pemuda yang bekerja di toko tersebut dapat mengetahui atau setidaknya dapat menebak selera makanannya, pengaturan hidupnya, hubungan keluarga dan kampung halamannya, bahkan juga soal keteraturan menstruasinya. Penemuan ini bisa dianggap sebagai sesuatu yang sepele, tetapi itu justru merupakan hal yang menarik dan berfungsi sebagai titik balik, sebuah tikungan tajam dalam alur ceritanya. Ketika protagonis menyadari bahwa anonimitas lengkap di toko itu yang sebenarnya tidak mungkin, bahwa, sengaja atau tidak, pada tahap tertentu dari kehidupan pribadi seseorang atau informasi pribadi pasti terbuka, anonimitas seputar hubungan antara karyawan toserba dan protagonis sebagai pelanggan, berputar di kepalanya. Protagonis berpikir, “Dia tidak bertanya apa yang sedang kupelajari. Aku ingin mengatakan kepadanya, “lalu aku mengaku.” Aku penasaran pada pemuda yang tidak mengatakan apa pun selama satu menit dan tiga puluh detik, waktu yang diperlukan untuk memanaskan satu pak nasi di microwave , atau dua puluh detik yang dihabiskan untuk menghangatkan satu kotak karton Seoul Milk,” dan pada akhirnya, ia memutuskan, “Aku tak tahu apa-apa tentang Anda.” Apakah protagonis, si mahasiswi tertarik secara seksual pada laki-laki muda, karyawan toko itu? Tidak, akan lebih tepat jika dikatakan bahwa dia ingin menyelesaikan ketidakseimbangan informasi, dan mengatasi hubungan satu sisi. Dengan situasi yang telah berubah seperti itu, ceritanya kemudian bergerak menuju kejadian yang tampaknya menandai klimaksnya.

© Paik Da-huim

Pada malam Natal, saat jalanan lengang dan orang-orang merayakannya di pusat kota, protagonis menemukan dirinya dalam situasi di mana perempuan itu harus mempercayakan sesuatu kepada seseorang. Setelah berpikir dengan berbagai pertimbangan, orang yang dia kira pemuda karyawan toserba adalah satu dari sedikit orang di lingkungan yang dia lihat secara teratur. Tetapi betapa kelirunya perempuan itu mengira bahwa si pemuda itu benar-benar mengenalnya! Tokoh protagonis, yang menganut anonimitas dari toko swalayan dan “menghukum” pemilik toserba yang tidak merahasiakan namanya, sekarang terjerat karenanya. Setelah semuanya tampak cool , pintar dan mandiri, protagonis menemukan dirinya dalam keadaan bahwa dia tidak dapat mengatasi pemikirannya sendiri. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, akhir cerita menyebarkan kalimat pembuka lagi, namun dengan perbedaan yang halus. Untuk mendapatkan kalimat-kalimat itu, sejumlah episode yang mencerminkan kesadaran tematik cerita tersebut, dan pemikiran protagonis terhadap mereka, diajukan untuk pembaca. Meskipun ceritanya dimulai dengan sambutan anonimitas yang dijamin oleh toko anonim, hal itu hampir berbalik dan berakhir untuk mengomentari efek samping, serta bahaya dan kekejaman anonimitas semacam itu. Di ruang antara “Dan tentu saja” dan “Dan yang anehnya,” ungkapan-ungkapan sederhana untuk menghubungkan kalimat, ada perubahan dalam kesadaran akan semua yang tidak disebutkan namanya. Dengan nada dingin dan acuh tak acuh, protagonis berbicara langsung kepada pembaca: “Jika kita kebetulan pergi ke toserba, lihat baik-baik di sekitar kita. Ketika wanita di samping kita membeli air di toko itu untuk minum pil, dan saat seorang lelaki berada di belakang membeli pisau cukur, mereka harus menggorok pergelangan tangannya, saat anak laki-laki di depan membeli tisu toilet, itu untuk menyeka ibunya yang sakit. Setidaknya kita tidak pernah tahu. Kita kadang-kadang bisa memikirkan hal ini, atau tidak; semuanya sama.”

SENI & BUDAYA KOREA 73


Informasi Berlanqganan

Cara Berlangganan Biaya Berlanqganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb

2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Jepang, Cina, Hong Kong, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Kamboja, Laos, Myanmar,Thailand,Vietnam, Filipina,Malaysia, Timor Leste,Indonesia,Brunei, Singapura) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr

Tanggapan Pembaca

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

84 KOREANA Musim Dingin 2017

* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)


Feminism for All

The Translation Delusion by Tim Parks

Interview with Nobel laureate Le Clézio

Book Reviews & Excerpts

SENI & BUDAYA KOREA 49


Welcome to the Archive of

KOREAN CULTURE & ARTS Koreana Magazine (1987 ~ 2017) www.koreana.or.kr

· Special Feature · Cultural Focus · Heritage · Art Review · People · Travel · Entertainment · Lifestyle · Food · Literature

46 KOREANA Musim Dingin 2017


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.