2019 Koreana Winter(Indonesian)

Page 1

MUSIM DInGIn 2019

seni & BuDaya Korea

FiTur KHusus

BUSAN

Pelabuhan Puisi dan Gairah Gemuruh busan bagaikan sebuah Puisi; Pasar Jagalchi, dialog Kebisingan dan Keheningan; Kenangan ibu Kota Masa Perang; Kota Film dalam Kesemarakan infrastruktur

BUSAN

voL. 8 no. 4

ISSN 2287-5565


CiTra KOrea

Gimjang


Pewarta Musim Dingin Kim Hwa-young Kritikus sastra; Anggota Akademi Seni Nasional

P

© imagetoday

ada suatu masa ketika hanya selembar daun musim gugur merah masih tersisa di cabang, rumah masa kecilku mulai penuh dengan persiapan musim dingin. Kubis yang padat hingga ke dalam dibawa dari kebun sayur dan ditumpuk di halaman. Kemudian kubis itu dipotong men­ jadi dua, bagian dalam terlihat kuning megah, dan ditempatkan di sebuah bas­ kom besar untuk ditaburi garam. Perayaan kimjang, pembuatan kimchi musim dingin, dimulai dengan aroma pedas dari bumbu berembus di sekitar rumah. Kimchi merupakan makanan simbolis di meja makan Korea dan ikon budaya Korea. Ini adalah makanan fermentasi yang dirancang oleh nenek mo­­ yang sebagai cara makan sayuran sepanjang musim dingin. Kaya akan bakteri asam laktat, kimchi melahirkan berbagai rasa yang berbeda saat matang. Ketika kubis napa (baechu) diasinkan, sayuran itu mempertahankan kese­ garannya sementara enzim dalam air asin merangsang respons kimiawi dengan serat untuk memulai fermentasi. Bumbu, kombinasi bahan nabati dan hewani, termasuk potongan lobak tipis, bawang putih, daun bawang, bubuk cabai merah, makanan laut asin, cumi-cumi segar dan kacang pinus, mengubah kimchi menjadi makanan yang diawetkan sempurna. Kimchi yang disiapkan dengan demikian disimpan dalam cangkang tembikar yang dikubur di tanah dan digu­ nakan untuk dimakan selama bulan-bulan musim dingin. Namun dewasa ini, kimchi disimpan dengan lebih nyaman di lemari es kimchi berteknologi tinggi. Terdapat lebih dari 200 jenis kimchi, berbeda menurut resep daerah dan keluarga. Paprika merah ditambahkan ke resep kimchi pada pertengahan abad ke-18 dan kubis napa yang digunakan saat ini sebagai bahan utama merupa­ kan varietas unggul yang diperkenalkan ke Korea pada akhir abad ke-19. Kim­ chi menjadi makanan internasional yang terkenal setelah Olimpiade Seoul 1988. Ekspor kimchi dimulai pada tahun 2000, dan pada bulan Desember 2013, budaya kimjang kuno yaitu membuat dan berbagi kimchi di akhir musim gugur hingga awal musim dingin dimasukkan dalam Daftar Budaya Warisan Budaya Tak-Benda Kemanusiaan UNESCO. Namun, saat ini, alih-alih membuat kimchi sendiri, banyak orang membeli kimchi yang dikemas dalam kantong plastik di supermarket atau memesann­ ya secara online. Tetapi setiap kali musim kimjang tiba, aku masih merindukan masa lalu ketika aku akan menundukkan kepalaku jauh ke belakang hingga tengadah ke langit, menunggu bibiku meletakkan beberapa kimchi yang baru saja dibuat tepat ke mulutku.


Dari Redaksi

Pemimpin Umum

Lee Guen

Dari Busan Membangun Kemitraan bagi Perdamaian

Direktur Editorial

Kim Seong-in

Pemimpin Redaksi

Koh Young Hun

Dewan Redaksi

Han Kyung-koo

Benjamin Joinau

Jung Duk-hyun

Kim Hwa-young

Kim Young-na

Koh Mi-seok

Charles La Shure

Song Hye-jin

Song Young-man

Yoon Se-young

Direktur Kreatif

Kim Sam, Kim Sin

Editor

Ji Geun-hwa, Ham So-yeon

PENATA aRTISTIK

Kim Ji-yeon

Desainer

Kim Nam-hyung, Yeob Lan-kyeong

Tim Penerjemah

Koh Young Hun

Kim Jang Gyem

Evelyn Yang

Lee Yeon

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana tiba di Pang­ kalan Angkatan Udara Gimhae, Busan, Korea Selatan pada 23 November 2019 yang lalu, untuk menghadiri rangkaian acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN-Korea Selatan. KTT yang memperingati 30 tahun kemitraan ASEAN dan Korea Selatan bertemakan “Kemitraan bagi Perdamaian, Kesejahteraan bagi Semua”. Selama di Busan, Presiden RI tersebut mengadakan pertemuan bila­teral dengan Presiden Korea Selatan Moon Jae-in dan dengan beberapa CEO Korea Selatan. Tentu ini pertemuan yang luar biasa. Sungguh menarik fitur khusus Koreana Musim Dingin 2019 kali ini meng­ angkat tema Busan. Busan sebagai kota terbesar kedua setelah Seoul memiliki banyak keistimewaan, misalnya pantai-pantainya yang indah, kota pelabuhan yang selalu hidup, pusat perfilman, dan sebagainya. Karenanya sungguh masuk akal jika Busan dipilih sebagai tempat penyelenggaraan KTT ASEAN tersebut. Busan juga muncul sebagai latar dalam cerita pendek “Hari-Hari di Mildawon” karya Kim Dong-ni, seorang sastrawan terkemuka dalam seja­­rah sastra Korea. Cerita pendek ini layak untuk dibaca sebab mengisahkan harihari kehidupan seniman, entah itu pelukis, sastrawan, pemusik, dan sebagainya. Suka duka hidup seniman dipaparkan secara apik. Jangan lupa membaca pula perdebatan antara fakta dan fiksi dalam film. Perdebatan itu muncul dipicu oleh kritik pengamat bahwa film-film Korea yang bersumberkan sejarah, banyak yang menyimpang dari fakta sejarah tersebut. Degresi fakta sejarah itu lahir karena kepentingan popularitas lebih ditonjolkan daripada nilai historisnya. Sambil membayangkan guguran salju di musim dingin, selamat menjelajahi Koreana dari halaman depan hingga halaman terakhir. Anda pasti terpaku pada setiap kalimat yang memberikan informasi tentang Korea secara gamblang dan jernih, sambil membangun kemitraan dalam perdamaian.

Shin Soyoung

Lee Eun Kyung

Penyunting

Tengsoe Tjahjono

Penata Letak

Kim’s Communication Associates

dan Desain

44 Yanghwa-ro 7-gil, Mapo-gu

Seoul 04035, Korea

www.gegd.co.kr

Tel: 82-2-335-4741

Fax: 82-2-335-4743

Harga majalah Koreana per-eksemplar di Korea W6.000. Di negara lain US$9. Silakan lihat Koreana halaman 88 untuk berlangganan.

Koh Young Hun Pemimpin Redaksi Koreana edisi Bahasa Indonesia

Percetakan Edisi Musim DINGIN 2019

seni & budaya korea Musim Dingin 2019

Samsung Moonwha Printing Co. 10 Achasan-ro 11-gil, Seongdong-gu, Seoul 04796, Korea Tel: 82-2-468-0361/5 © The Korea Foundation 2019 Diterbitkan empat kali setahun oleh The Korea Foundation 55 Sinjung-ro, Seogwipo-si, Jeju-do 63565, Korea http://www.koreana.or.kr

Pendapat penulis atau pengarang dalam majalah ini tidak haurs selalu mencerminkan pendapat editor atau pihak Korea Foundation. Majalah Koreana ini sudah terdaftar di Kementerian Budaya, Olahraga, dan Pariwisata(No. Pendaftaran Ba 1033, 8 Agustus 1987), Korea sebagai majalah triwulanan, dan diterbitkan juga

“Gunung Merah” Choi So-young 2019. Denim di atas kanvas. 46 x 46 cm.

dalam bahasa Inggris, Cina, Prancis, Spanyol, Arab, Rusia, Jepang, dan Jerman.


fitUr khUsUs

Busan: Pelabuhan Puisi dan gairah 04

FITUR KHUSUS 1

22

FITUR KHUSUS 3

Gemuruh Busan Bagaikan Sebuah Puisi

Kenangan Ibu Kota Masa Perang

Kim Soo-woo

Choi Weon-jun

16

30

FITUR KHUSUS 2

Pasar Jagalchi, Dialog Kebisingan dan Keheningan Lee Chang-guy

36

FOKUS

Monster, Cyborg, Antara Harapan dengan Keputusasaan Utopia

FITUR KHUSUS 4

Kota Film dalam Kesemarakan Infrastruktur Jeon Chan-il

50

JATUH CINTA PADA KOREA

66

HIBURAN

Pelintas Batas

Fakta dan Fiksi dalam Film

Choi Sung-jin

Lee Hyo-won

54

68

Moon So-young

42

WAWANCARA

Menghadirkan Suasana Alam di Kota

DI ATAS JALAN

Miryang: Kota Lama dan Universal

KISAH DUA KOREA

Melatih Kaum Muda untuk Reunifikasi Kim Hak-soon

Luka dan Harapan Diterjang Perang

Lee Chang-guy

Choi Jae-bong

62

Kim Dong-ni

Lim Hee-yun

46

PERJALANAN KESUSASTRAAN KOREA

Hari-Hari di Mildawon

SATU HARI BIASA

Pemandu Istana dan Kisah Masa Lalu Kim Heung-sook


FiTUr KhUSUS 1

Busan: Pelabuhan Puisi dan Gairah

Gemuruh Busan Bagaikan Sebuah Puisi Busan, yang adalah kota pelabuhan terbesar Korea Selatan dan merupakan kota terbesar kedua setelah Seoul, adalah sebuah kota festival yang menggelar berbagai acara budaya dan seni, menjadikannya sebagai tempat wisata yang kaya atraksi dan kuliner. Berkat kelebihan geograďŹ s yang dimilikinya, keterbukaan dan hibriditas sejak lama telah menjadi daya tarik Busan. Imijaninasi dan kepekaan kota laut ini gemilang dengan dinamika unik di dalamnya. Kim Soo-woo Penyair

4 Koreana Musim Dingin 2019


Pantai Haeundae merupakan tujuan liburan musim panas paling populer di Korea dengan lebih dari 10 juta wisatawan tahunan. Selain matahari dan ombak, jalur pejalan kaki di tepi pantai, festival, dan fasilitas rekreasi serta hiburan menarik pengunjung sepanjang tahun. Di sisi lain, kondominium tinggi yang mewah merupakan properti hunian paling mahal setelah Seoul. Š Organisasi Pariwisata Busan

seni & budaya Korea 5


Pulau Oryuk

Pantai Haeundae

6 Koreana Musim Dingin 2019

Pusat Kapal Pesiar Teluk Suyeong

Pusara Peringatan PBB

Jembatan Gwangan


Gang Toko Buku

Pantai Gwangalli

Yeongdo

Pusat Bioskop Busan

Desa Budaya Gamcheon

Jembatan Pelabuhan Busan

Aula Memorial Ibukota Darurat

Pecinan

Pasar Jagalchi

Š Ahn Hong-beom

seni & budaya korea 7


G

aris pantai Busan dari Laut Timur ke Laut Selatan yang berjarak 300 kilometer adalah garis yang halus dan kuat. Air biru kelam dari Laut Timur memasuki Laut Selatan dan menjadi memudar. Banyak orang telah menyusup ke dalam kurva liris alami ini. Demikianlah mereka yang mengistirahatkan tubuh dan pikiran mereka di pantai lahir kembali dan tumbuh dengan kepekaan dan imajinasi laut. Keseharian di Busan terasa seperti hadiah, kapan pun, di mana pun. Ada banyak pantai dan dermaga, dan karena banyak derma­ ga ada banyak desa pelabuhan dan mercusuar. Ada banyak tempat memancing dan pasar ikan yang indah. Ada pelabuhan kelas dunia, dermaga, sejumlah tebing dan jembatan berbatu di seberang laut. Karena itu, cara orang memimpikan Busan dan suara-suara orang Busan dalam memanggil orang juga beragam.

Berbagai Rupa Busan

Termasuk pantai Haeundae yang paling ramai dikunjungi, Busan memiliki tujuh pantai dengan pasir putih yang berkilau. Di ujung timur adalah Pantai Limrang, dan di barat adalah Songdo, pantai per­ tama Korea dengan 100 tahun sejarah, dan Dadaepo, yang terkenal dengan air mancur air terbesar di dunia. Bukan cuma itu saja. tebing batu yang menakjubkan berpadu dengan laut biru seperti Igidae, Taejongdae, dan Mooldae senan­ tiasa menunggu datangnya pengunjung. Tebing-tebing yang tetap mempertahankan kealamiannya ini memiliki hutannya sendiri, yang

penuh dengan flora dan fauna yang berharga. Laut dapat kita temui jika berjalan hutan hijau terlihat lebih dalam dan lebih indah. Pemandangan malam Busan sambil berpesiar santai di laut yang indah tentulah akan menjadi kenangan romantis. Selain itu, Busan memiliki sekitar 60 dermaga. Dermaga adalah tempat di mana air sungai menca­ pai laut. Memancing sembari menikmati cakrawala di dermaga mencari menciptakan emosi tersendiri. Mengunjungi Desa Haenyeo di dermaga pusat kota untuk menikmati laut dengan makanan laut segar yang baru saja ditangkap dan dibersihkan segera oleh haenyeo tua merupakan kesenangan istimewa. Sementara jembatan indah yang menciptakan garis-garis mempesona melintasi laut di luar pusat kota menjanjikan perjalanan yang menyenang­ kan. Dengan mengikuti Jembatan Gwangan, Jem­ batan Pelabuhan Busan, dan Jembatan Namhang, kita akan mengarah ke Songdo, yang membentuk ujung selatan Busan. Di sana, kita bertemu dengan pelabuhan yang indah di mana crane dan kontain­ er-kontainer bertemu di Pelabuhan Busan, yang juga merupakan tempat di mana kapal datang dan pergi silih berganti. Jika kita pergi lebih jauh mele­ wati Jembatan Eulsukdo, kita akan mencapai ujung barat Busan.

Hibriditas dan Kepribadian Kreatif

Laut berbicara kepada kita dengan berbagai rupa. Karena itu, siapapun yang berdiri di depan laut akan menemukan ombaknya mereka sendiri dan mendapatkan imajinasi yang dia butuhkan sebagai hadiah. Bagi orang muda, laut adalah tempat jiwa muda bergejolak, dan bagi orang yang kesepian bagai seorang kekasih. Laut mengajarkan sum­ ber kehidupan kepada mereka yang lelah ber­

1. Pusat Kapal Pesiar Teluk Suyeong selesai pada tahun 1986 dan secara resmi dibuka pada tahun 1988. Perlombaan kapal pesiar pada Asian Games 1986 dan 2002 serta Olimpiade 1988 diadakan di sini. 2. Pulau Oryuk (berarti “lima-enam pulau”) di mulut Teluk Busan adalah penanda simbolis dari Busan dan Situs Pemandangan Nasional No. 24. Di antara pulaupulau itu, hanya Deungdaeseom (Pulau Mercusuar) yang dihuni.

1 © Image Today

8 Koreana Musim Dingin 2019


2 © Kota Metropolitan Busan (Fotografer Kwon Jeong-uk)

juang dalam kehidupan yang berat, dan keteduhan bagi mereka yang sedang dirudung amarah. Laut menjadi tempat hidup bagi para peker­ ja, sebuah kisah cerita untuk seorang penulis, dan jalan panjang untuk kapten. Laut merupakan pencerahan bagi mereka yang menyadarinya, dan kepada orang yang gemar belajar, sebagai tempat yang membuat mereka selalu penasaran. Dari peninggalan-peninggalan zaman Neolitikum yang masih ada kita bisa mengetahui bahwa Busan memiliki sejarah panjang desa-de­ sa nelayan. Penduduk desa-desa nelayan di sepanjang garis pantai tetap memegang kepercayaan animisme, adat Mago dan kepercayaan

pada Raja Naga. Desa-desa nelayan yang te­nang ini berubah menjadi ruang hidup bagi banyak orang untuk makan dan hidup, membuatnya menja­ di kota besar. Kota ini bergeliat mengikuti perjalan­ an sejarah modern. Selama masa kolonial Jepang, kota ini menjadi tempat di mana kapal pemerintah Jepang membunyikan pluit keberangkatan, dan saat Perang Korea pecah, tempat inilah yang menjadi saksi kedatangan pelarian dari berbagai daerah. Di tempat ini jugalah pasukan tentara yang diperban­

seni & budaya korea 9


Setiap kali orang datang berbondongbondong bak ombak, Busan harus menyediakan akomodasi dan hidangan untuk mereka. Dan setiap kali juga kota ini memberikan segalanya. tukan di Vietnam dan kapal penangkap ikan laut yang tak terhitung jumlahnya berangkat dan kembali. Setiap kali orang datang berbondong-bondong bak ombak, Busan harus menyediakan akomodasi dan hidangan untuk mereka. Dan setiap kali juga kota ini memberikan segalanya. Demikianlah laut Busan telah mempelajari keterbukaan dan inklusivitasnya melalui sejarah yang pan­ jang. Busan menerima pendatang asing yang membawa budaya me­­ reka, membuat budaya di Busan menjadi heterogen. Berbagai budaya yang berbaur inilah yang menjadi aspek utama dari “Jiwa Busan”. Nama lain untuk “budaya heterogen” adalah “toleransi”. Kemurah­­an hatilah yang telah menanggung semua kesulitan. Kemu­ rahan hati ini jugalah yang menjadi kekuatan yang menciptakan rakyat dan juga budaya populer. Orang-orang Busan yang dinamis dan kreatif telah menjadi faktor utama dalam budaya populer seperti permainan rakyat, lagu-lagu pop, film, festival dan sebagainya.

Imajinasi yang Diajarkan oleh Laut

Daerah pegunungan merupakan bait puisi lain yang dimiliki oleh Busan. Jika melihat ke bawah ke arah laut dari Sanbokdoro, di mana atap dan tangki air bertemu berentetan, kita akan dapat menemukan Busan yang lain. Setelah Perang Korea usai dan masa industrialisasi, kota berkembang membuat orang-orang tak mampu harus ke gunung untuk membangun rumah gubuk. Saya tidak bisa melupakan laut malam yang saya lihat dari desa pegunungan Youngdong. Karena lahir di sana, sejak kecil saya me­nyaksikan lautan lepas pantai Busan lewat jendela-jendela yang retak. Suatu hari, sebuah kapal besar ditambatkan di laut malam. Betapa indahnya lampu-lampu yang ditumpahkan oleh kapal itu pada laut malam, berurai-urai bak benang perak dan emas. Suatu hari kapal itu pergi, dan sebuah kapal baru datang di sebelahnya. Demikianlah saya mempelajari tentang dalam dan luasnya dunia. Kehidupan saya sebagai seorang penyair dan pengelana bermula dari imajinasi yang diajarkan oleh laut. Laut dari lereng gunung desa miskin selalu terlihat jauh dan dalam. Ketika Anda melihat dari desa pengunungan melewati jalan berkelok-kelok, laut seperti pintu yang harus dibuka untuk dapat kelu­ ar. Di Busan, laut seperti sejuta pintu. Pintu biru selalu siap untuk dib­ uka kapan saja untuk menuju ke mana saja.

10 Koreana Musim Dingin 2019

Kota Budaya yang Semarak

Di Busan, laut bukanlah tempat penantian melain­ kan pintu kreatif yang perlu didekati dan dibuka. Festival dinamis berlangsung dalam suasana laut yang dibukakan oleh pintu biru ini. Festival Film Internasional Busan, Busan Biennale, Festival Seni Laut, Festival Batu Internasional Busan, Festival Teater Internasional Busan, dan Festival Sastra Laut Internasional telah mendapatkan ketenaran di luar negeri dan banyak acara lain yang digelar.


Pulau seluas 14,15 km² yang terletak di lepas pantai selatan Busan, Yeongdo melindungi para pengungsi Perang Korea. Pada 2011, pekerjaan renovasi di pulau itu menciptakan Huinyeoul Maeul (Desa Jeram Putih), yang sekarang menjadi lokasi terkenal film dan drama TV. Pulau Tsushima di Jepang terlihat dari tanggul setinggi 3 meter di sini. © Kota Metropolitan Busan (Fotografer Kwon Gi-hak)

Festival daerah juga beraneka ragam. Di Jagalchi Festival, Fes­ tival Yongsin dan perayaan untuk menghibur roh-roh ikan diada­ kan untuk mengingatkan kita akan sejarah panjang Busan yang mengandalkan laut sebagai dasar kehidupan. Festival Pasir Hae­ undae menghadirkan berbagai karya pasir dari seniman dalam dan luar negeri. Festival kembang api menghiasi garis pantai Gwangal­ li dengan kembang api yang fantastis setiap malam musim gugur. Di sisi lain, pertunjukan B-Boy yang lahir pertama kali di Taman Yongdusan menunjukkan semangat dan gejolak Busan. Semangat dan gejolak inilah yang menciptakan semangat Busan dalam mengembang­

kan budaya Busan. Demikianlah seni non-mainstream pluralistik seperti seni independen dan budaya kri­ tik di berbagai bidang, dan bekerja sebagai kekua­ tan kreatif untuk membangun identitas Busan. Hari ini pun, laut Busan penuh de­­ngan kilau. Kilauan cemerlang tersebut adalah puisi yang mengge­ ma dalam suara yang dalam, hangat, dan kuat, memba­ wa riak tak terlihat yang datang gulung menggulung.

seni & budaya korea 11


Lukisan Hangat yang Dilukiskan dengan Celana Jins Kim Soo-woo Penyair

C

hoi So-young adalah seorang seniman yang men-

saya dapat menciptakan karya yang lebih besar.

ciptakan wujud pemandangan Busan de­ngan

bahan-bahan unik. Laut, gunung, awan, dan jalanan

Anda dinilai sebagai seniman yang paling ahli da-

semuanya dilukisnya dengan kain jins. Kehangat­an

lam mengekspresikan Busan. Menurut Anda apa

terasa di kota yang diciptakan oleh kain biru.

ciri khas Busan?

Pertama-tama, saya ingin bertanya mengapa

halaman saya, Busan. Ada banyak tempat untuk

Anda memilih kain perca jins sebagai bahan

dikunjungi sepanjang hari, yang merupakan salah

lukis­an.

satu dari kekuatan kota ini. Gunung, sungai, dan laut

Jins sangat sesuai dipakai oleh tua muda, pria wa­

selalu menyambut pengunjungnya. Waktu kecil, saya

nita. Banyak orang mengenakan jins di negara mana

selalu bermain di pasir pantai Haeundae, dan sejak

pun, terlepas dari kesenjangan sosial dan perbe-

saat itulah saya menyukai warna biru cakrawala yang

daan. Tentu saja ada jins mewah, tetapi sebenar­nya

tak berujung. Pekerjaan saya halus dan detail, tetapi

jins tidak terikat oleh status sosial. Jadi saya pikir

hasilnya bundar dan sederhana serta memberikan

dengan menggunakan jins saja saya bisa berkomu-

kehangatan. Sama seperti laut yang saya cinta itu.

Tentu saja lautnya. Saya sangat mencintai kampung

1 © Kantor Berita Yonhap

nikasi dengan dunia. Jins juga bagus untuk mengekspresikan tema ramah alam seperti laut, gunung,

Dewasa ini, masyarakat bersifat sangat kom-

dan rumah. Saya mulai mencoba memakai jins dari

pleks dan keras. Nilai apa yang paling dibutuh-

tahun kedua saya di universitas, dan semakin lama

kan generasi sekarang?

2 12 Koreana Musim Dingin 2019

3


Saya pikir, semua orang perlu menjaga diri sepenuh­ nya. Artinya, betul-betul mencoba menjadi diri sendiri. Walau bagi orang lain terlihat sepele dan kecil, adalah penting untuk menjaga citra diri kita sendiri. Karena orang yang pandai menjaga dirinya sendiri pasti akan dapat menjaga orang lain. Ketika kita memiliki dunia kita sendiri, wajah kita akan selalu berseri. Saya senang ketika saya merasa, ‘Saya bisa melakukannya. Kalau dilakukan, pasti bisa’. Entahlah itu lolos masuk ke perguruan tinggi atau berhasil menggelar pameran pri­ badi, rasa puas saat berhasil mencapai sesuatu itulah yang menjadi dunia kita. Mungkin karena itu, Anda dapat menciptakan karya yang dapat membuat orang lain merasakan kekuatan pikiran Anda. Anda baru saja menyertai Pameran Seni Internasional Korea. Apa rencana Anda untuk masa depan? Saya akan berwisata untuk sementara waktu. Kemudian saya ingin mengejar kualitas hidup melalui yoga, meditasi, vegetarisme, dan hiking. Bagi saya, menumpuk materi atau kehormatan tidak terlalu penting. Saya selalu memikirkan cara menjadi diri sendiri tanpa terhanyut oleh prestasi atau ketenaran.

1. Menggunakan denim daripada cat sebagai bahan utamanya, Choi So-young membawa kampung halamannya di Busan ke atas kanvas. Lebih dari 10 tahun yang lalu, ketika dia berusia 20-an, salah satu kolase denimnya menghasilkan ratusan ribu dolar di pelelangan Christie di Hong Kong. 2. “Membuka Langit.” 2019. Denim di atas kanvas. 73 x 53,3 cm. 3. “Lorong Makanan II.” 2014. Denim di atas kanvas. 116,5 x 91 cm. 4. “Jembatan Yeongdo II.” 2013. Denim di atas kanvas. 160 x 81,5 cm. 4 seni & budaya korea 13


S

ay Sue Me adalah grup surf rock yang beraktivitas di Bu-

Siapa musisi atau panutan yang memberi pengaruh

san. Choi Su-mi (vokal, gitar ritme), Kim Byung-kyu (gitar

sampai terbentuknya band ini?

ritme), Ha Jae-young (bass), Kim Chang-won (drum) adalah

Kami semua mendapat pengaruh dari Pavement dan Yo La

empat orang yang tergabung dalam band pada 2012 setelah

Tengo. Baru-baru ini, setelah bertemu langsung dengan Yo

minum bir di Nampo-dong, Busan. Sampai belum lama ini

La Tengo, kami jadi lebih salut pada mereka.

mereka berlatih di sebuah lokakarya di Pantai Gwangalli dan tampil terutama di bar-bar di Busan, tetapi kini mereka

Apa kekuatan Busan dibandingkan dengan daerah lain?

melakukan perjalanan keliling panggung dunia.

Mungkin bisa dikatakan warna asli yang tidak menurut mode zaman. Tidak peduli apa musik yang disajikan band

Bagaimana laut lepas Gwangalli memberi pengaruh

lain, tidak peduli apa tren yang sedang digemari, kami tetap

pada musik Say Sue Me?

bertahan pada musik kami.

Ada saat-saat ketika kami seakan terperangkap oleh dinding yang tidak terlihat ketika sedang mengerjakan lagu atau

Bagaimana rasanya Elton John ketika dia memperkenal-

memainkan lagu. Kalau sedang begitu, kami berjalan-jalan

kan “Kota Tua” Say Sue Me?

di sepanjang Pantai Gwangalli membawa sekotak ayam

Pada awalnya, kami tidak menyadari betapa hebatnya itu.

goreng dan bir, kemudian bersantai di pantai berpasir. Ten-

Baru setelah melihat siaran tersebut, kegembiraan dan ke-

tunya istirahat untuk menyegarkan suasana hati adalah hal

banggaan berkobar sekaligus.

yang berlaku untuk semua aktivitas penciptaan. Dan dalam hal tersebut rasanya kami dianugerahi keistimewaan yang

Bagaimana proses pembuatan sebuah lagu?

besar berkat pantai Gwangalli.

Pertama, Byung-gyu merekam demo dan memperde­

“Oleh Elton John? Waktu itu rasanya seperti mimpi.” Ryu Tae-hyung Kolumnis Musik

14 Koreana Musim Dingin 2019


1

2 © Kantor Berita Yonhap

© Hung Shu Chen

ngarkannya untuk semua anggota band. Kemudian, jika

budaya seperti ini berkembang juga di Korea sehingga

dianggap cukup baik, Su-mi akan menambahkan liriknya.

anak-anak pun dapat datang bersama orang tuanya un-

Setelah itu sambal merekam rekaman utama, lagu terse-

tuk menyaksikan pertunjukan.

but terus diedit sampai selesai. Apa rencana seterusnya? Bagaimana rasaanya saat mendapat undangan un-

Album baru keluar pada awal Oktober lalu. Ini adalah

tuk tampil di luar negeri?

single ganda dengan dua lagu berjudul ‘Your Book’ dan

Perbedaan yang paling besar adalah bahwa penonton di

‘Good People’. Dari 3 hingga 13 Desember, kami akan

kota-kota tempat kami tampil itu berkumpul tua muda,

mulai tampil di Toronto, Kanada dan kemudian di Chica-

pria wanita, tanpa ada batasan apapun. Walaupun per-

go, San Francisco, dan Seattle. Tahun depan, kami beren-

tunjukannya diadakan pada hari biasa dan bukan akhir

cana untuk merilis album lengkap ketiga kami.

minggu pun, tetap ramai yang datang. Mudah-mudahan

1. Say Sue Me tampil di SXSW, salah satu festival musik terbesar di dunia, yang diadakan pada Maret 2018 di negara bagian AS di Texas. 2. Gitaris ritme dan penyanyi Choi Su-mi di atas panggung di Festival Musik Megaport yang diadakan pada Maret 2019 di Kaohsiung, Taiwan. 3. Rekaman Say Sue Me (dari kiri): album studio pertama “Kami Sudah Sadar” (2014), EP “Malam Musim Panas yang Besar” (2015), album studio kedua “Di mana Kami Bersama” (2018), ganda sisi A “Hanya Bercanda / B Pencinta” (2018), EP “Natal, Ini Bukan Masalah Besar” (2018), dan ganda sisi A “Bukumu & Orang Baik” (2019).

3 © Electric Muse

seni & budaya korea 15


FiTUr KhUSUS 2

Busan: Pelabuhan Puisi dan Gairah

Pasar Jagalchi, Dialog Kebisingan dan Keheningan 16 Koreana Musim Dingin 2019


Pasar Jagalchi, pasar tradisional representatif kota Busan, adalah daya tarik wisata bagi banyak penduduk dan wisatawan. Nampo-dong, lokasi pasar itu berada, adalah desa nelayan yang indah dengan bebatuan besar di laut. Pasar tersebut terbentuk oleh nelayan yang menjual hasil laut hasil tangkapan kapal nelayan kecil, dimulai dari satu kedai diikuti munculnya kedai berikutnya di pantai, sampai akhirnya pada awal 1970-an itu menjadi pasar formal. Lee Chang-guy Penyair, Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer

Pasar Jagalchi, yang terletak di selatan Pelabuhan Busan, terletak di sebuah bangunan berbentuk burung camar dengan luas 4.841 m² dan memiliki sekitar 700 kios di dalam dan luar ruangan. Tokotoko di lantai dasar menjual makanan laut segar sedangkan lantai dua berupa restoran. Pasar ini semula merupakan kios tanpa izin yang didirikan di pantai yang ditutupi kerikil. Pedagang kaki lima mengumpulkan dana untuk membangun pasar, yang secara resmi dibuka pada tahun 1972.

acob Fabricius, yang baru­baru ini ditunjuk sebagai direk­ tur pameran Busan Biennale 2020, dalam sebuah wawan­ cara dengan sebuah surat kabar harian mengatakan bahwa ia ingin mendekorasi ruang kota Busan sebagai ruang pameran. Sebagai pusat utama, ia memilih Pasar Jagalchi. Ketika ditanya ala­ sannya, ia menjawab, “Energi kegiatan pasar, pelabuhan tempat kapal­kapal besar dan mesin­mesin bergerak, lorong­lorong yang sempit dan miring” serta “cara orang menyisiki ikan kemudian memperdagangkannya seolah menampilkan ‘kehidupan di belakangn panggung’ itu menarik bagi saya”. Panitia lantas memberikan nilai tinggi untuk penemuannya terhadap identitas Busan dalam adegan kehidupan yang dinamis. Selain itu, pujian tambahan diberikan terhadap gagasan membawa seni dari atas panggung dan membawa orang untuk menemukan kembali kota Busan melalui pameran partisipatif dan eksperimen­ tal yang melibatkan ruang kehidupan orang­orang Busan. Direktur seni asal Århus, Denmark, yang baru beberapa kali berkunjung ke Busan, ternyata dapat membaca dengan tepat apa yang diharapkan oleh lebih dari 3,4 juta orang di Busan dan juga cara mendekati mereka untuk bisa membuat mereka mengerti. Coba kita bayangkan bagaimana dia bertemu dengan Busan. Jelas bahwa kota ini tidak memberikan pandangan istimewa hanya baginya. Tentunya dia memulainya sebagai seorang wisatawan biasa yang memperluas pandangannya tentang Busan dengan terus mengoreksi prasangka yang dimilikinya. Mari kita coba telusuri jalan yang rasanya pernah dilaluinya itu.

Jalan Menuju Pasar

Jika bepergian ke kota yang asing, daripada membuang­buang energi dengan menyelonong ke sana kemari, lebih baik pergi ke

seni & budaya Korea 17


tempat yang agak tinggi di sekitar kota terseut untuk melihatnya dari atas. Dengan begitu, kita akan dapat dengan cepat dan efisien meli­ hat geografi dan budaya kota tersebut. Jacob Fabricius juga tentunya menerima rekomendasi ini dan naik ke Busan Tower, yang berbentuk mercusuar yang dibangun setinggi 118 meter di atas Gunung Yong­ dusan. Dia mungkin pusing sedikit saat menaiki observatorium untuk melihat gunung yang tegak berdiri di seberang lautan. Dan iapun tentu­­nya berusaha mencari Pulau Tsushima Jepang di sisi kanan Youngdo, yang kabarnya terlihat jika hari cerah. Mungkin juga dia teringat pada kampung halamannya ketika dia melihat jalan berliku di sela-sela rumah-rumah yang berderetan di antara bukit-bukit curam. Kemudian, tentunya ia berjalan menuruni bukit seolah menyeli­ diki jalan setapak lereng gunung Yongdusan menuju pelabuhan di mana kapal-kapal besar dan kecil datang silih berganti di bawah ka­kinya. Tentulah Pasar Jagalchi, yang selalu menjadi tempat tujuan utama wisatawan, yang menjadi tempat tujuannya. Pada kunjungan keduanya, dia mungkin pergi ke pasar tersebut dengan kereta bawah tanah dari stasiun Busan, sama seperti orang Busan umumnya. Ada tiga stasiun dari Stasiun Busan ke Stasiun Pasar Jagalchi. Mungkin ia berpikir bahwa berinteraksi langsung dengan orang, menyaksikan ekspresi wajah, dan mendengarkan percakapan walaupun tidak bisa mengerti adalah cara yang paling tepat untuk merasakan Busan. Sekalipun tahu bahwa pasar itu berjarak sekitar 30 menit ber­ jalan kaki dari Stasiun Busan, tetapi tentunya ia baru melakukannya dalam kunjungan ketiga. Saya mencoba membayangkan ia berjalan melalui gang-gang Chinatown dalam satu blok ke jalan menuju Dae­ cheong-dong. Bagi wisatawan yang menyukai suasana eksotis, jalan itu terkesan tidak umum dan buruk. Namun, kameranya tentulah

sibuk di sepanjang jalan, berpikir bahwa jalan itu berisi pemandangan panjang kehidupan masa lalu orang-orang Busan yang berkutat bertahan hidup. Cara mana pun yang diambil, bukan tanda jalan yang memberi tahu bahwa pasar sudah dekat. Bau amis ikan yang khas akan membangunkan bahasa indera penciuman manusia pada umumnya. Pasar Jagalchi mengacu pada semua toko dan kios yang berjajar di antara pertokoan dan laut, dari pasar ikan kering di bawah Jembatan Yeongdo sampai pasar subuh di Chungmu-dong. Festival Pasar Jagalchi, yang diadakan setiap tahun di musim gugur, juga termasuk di dalam­ nya. Frasa yang mengingatkan kita pada kata-kata Caesar, “Datanglah! Lihatlah! Belilah!” menerang­ kan secara singkat dan jelas suasana festival terse­ but. Pedagang menggelar acara yang riuh rendah dan memukau selama berhari-hari dan berma­ lam-malam, termasuk acara menari dan menyanyi, menangkap ikan dengan tangan dan acara menci­ cipi makanan gratis.

Pusat Gelora Energi

Jika Anda merupakan wisatawan yang baru perta­ ma datang, pastilah Anda ingin berkeliling meli­ hat-lihat pasar dan merasakan pasar penjual hasil laut terbesar Korea. Fabricius tentunya mulai men­ jelajahi pasar mulai dari sebelah Jembatan Yeongdo

1

18 Koreana Musim Dingin 2019


1. Sebuah lelang sedang berjalan lancar di pasar bersama dari lima koperasi perikanan yang berbasis di Busan. Setiap pukul 4 pagi dan pukul 10 malam kecuali Sabtu diadakan kelelangan ikan segar.

3

© Busan Metropolitan City (Photographer Ahn Jun-kwan)

2. Pedagang biasanya memulai hari kerjanya pada pukul 8 pagi sampai larut malam. Pasar menjadi mata pencaharian bagi banyak wanita yang pasca Perang Korea, dibiarkan mengurus keluarga mereka. “Jagalchi ajimae” ini telah menjadi simbol ketabahan dan keuletan.

2

di ujung timur. Anda akan mengidentifikasi sumber bau kerikil di Pasar Jagalchi saat Anda berjalan di sekitar pasar ikan kering di mana aroma laut mere­ sap. Ikan teri, cumi-cumi, udang, berbagai jenis fillet ikan, rumput laut, kerang, dan makanan laut kering lainnya berada dikerjakan oleh ujung jari para pedagang yang sibuk dan rajin. Tempat ini justru selalu bergairah sepanjang hari. Pada larut malam hingga subuh, lampu-lam­ pu menyala seperti siang hari dan pelelang­an ikan segar yang baru ditangkap dari lepas pantai dim­ ulai. Ketika pelelangan mulai, Anda bisa melihat ikan-ikan berjejer di lantai berair, mata dan ger­ ak-gerik pedagang yang lebih energik, dan para wisatawan yang beringsut kian kemari karena mereka tidak ingin ketinggalan tontonan apa pun. Entah dari mana, rasanya pernah saya baca beri­ ta tentang setoran berjumlah lebih dari 200 miliar won setahun di tempat ini. Setelah melewati Pasar Suhyup, sebuah ba­ ngunan besar menghalangi laut. Untuk menebak niat arsitek yang mendesain bangunan itu, Anda harus melewati bagian dalam bangunan dan keluar ke laut melalui pintu keluar yang terbuka. De­­ngan

3. Ramai pembeli dan pedagang di gedung Pasar Jagalchi. Pasar ini merupakan salah satu objek wisata yang terkenal di Busan.

demikian barulah Anda bisa melihat seluruh gambaran bangunan, yang berbentuk seperti burung camar putih yang memandang ke laut dari pusat kota. Jika Anda baru pertama kali memasuki gedung terse­ but, tentunya Anda akan dikejutkan oleh pemandangan yang tak ter­ duga. Bagi beberapa orang, mungkin gedung itu akan mengingatkan mereka pada perut paus tempat Kakek Zepetto menyalakan lilin, dan bagi beberapa orang lainnya mungkin terkesan seperti interior kapal selam raksasa yang ditempatkan dengan baik. Lorong samping yang sempit dibatasi dengan toko-toko tak berujung dengan ukuran dan interior yang sama. Yang lebih menarik adalah ikan dan kerang hidup yang memenuhi akuarium yang berjejeran. Ikan dan kerang ini langsung dibersihkan begitu tawar-menawar antara pedagang dan pembeli sele­ sai. Perjuangan terakhir si ikan mempertahankan hidupnya dan gerak­ an tangan sigap dari para pedagang yang menyisiki dan menyajikan ikan tersebutlah yang menjadi ‘energi bergelora’ yang disaksikan oleh Fabricius. Jika mau, Anda bisa menyantap ikan segar yang baru saja Anda pilih di restoran di lantai dua. Fabricius mungkin saja secara tidak sengaja berbicara dengan seorang tamu yang duduk di sebelahnya. Kalau Anda adalah seorang asli Busan, yang sudah lama tinggal di luar kota Busan karena bekerja atau karena alasan lain, Anda mung­ kin direkomendasikan untuk mencoba masakan hasil laut lainnya, seperti belut bakar dan kerang. Dari ibu pemilik toko yang penasaran

seni & budaya korea 19


Para wanita berjongkok di dermaga sepanjang hari dan menjual ikan yang telah mereka ambil hari itu untuk bertahan hidup dan menghidupi keluarga, membesarkan dan menyekolahkan anak-anak mereka.

20 Koreana Musim Dingin 2019

“Relatum – Gerbang Sempit” oleh Lee Ufan. 2015. Plat besi, 220 x 320 x 3 cm; batu, 100 x 100 x 100 cm. Seri “Relatum” Lee menyandingkan bahan-bahan buatan dan alami sebagai metafora bagi masyarakat industri versus alam.


dan suka mengobrol, percakapan pendek sudah cukup untuk menge­ tahui bahwa cikal bakal pasar Jagalchi bermula di lepas pantai berke­ rikil 100 tahun yang lalu, dan bahwa para pedagang kaki lima akhir­ nya dapat mengumpulkan uang melalui berbagai kesulitan sejak 50 tahun yang lalu. Seorang penerjemah profesional akan meringkas “Kalau tidak ada di Pasar Jagalchi, berarti tidak bisa ada di pelosok Korea manapun” menjadi “orang Busan memiliki kebanggaan luar biasa terhadap Pasar Jagalchi”.

Menjadi Rumah Baru

Rasanya tidak perlu penjelasan panjang lebar tentang bagaimana pen­ duduk suatu negara yang kehilangan kedaulatan dan terjajah menjal­ ani kehidupan mereka. Yang jelas, nelayan lokal dengan perahu-per­ ahu kecil mulai berjualan ikan yang ditangkap di lepas pantai Mong­ dol. Kemudian ikan-ikan itu didagangkan lagi di ibu kota kolonial Jepang. Itulah awal dari terbentuknya Pasar Jagalchi. Tidak sedikit dari Haenyeo (wanita penyelam penangkap hasil laut) yang datang dari Jeju untuk mengadu nasib. Baru pada musim gugur inilah patung Haenyeo didirikan di Yeongdo, untuk memperingati jejak Hanyeo pertama dari Jeju. Setelah kemerdekaan berkat kekalahan para penguasa kolonial Jepang, orang-orang Korea yang tertahan di Jepang selama penjajah­ an kembali ke Korea. Para pengungsi akibat Perang Korea juga ber­ kumpul untuk bertahan hidup selama Perang Korea. Lalu apa alasan mereka menjadikan Busan kampung halaman baru mereka? Sejak dulu, kata orang ada banyak ikan di laut Busan, sehingga cukup punya satu jaring ikan saja sebagai sumber mata pencaharian. Spesies ikan telah banyak berubah akhir-akhir ini, tetapi pada musim dingin abad ke-20, ketika ikan cod dan herring melimpah, daerah ini penuh oleh kapal-kapal nelayan dari seluruh dunia. Bahkan dalam ‘Jagalchi Vivid Story’ (2011), yang diterbitkan oleh Jagalchi Market Fostering Project, ada catatan tentang 227 rumah tangga berisi 862 orang nelayan Jepang yang bermigrasi dan menetap di Yeongdo seki­ tar tahun 1903 dan 1904, sebelum pendudukan Jepang. Ada lagi alasan lainnya. Prevalensi pasar tidak resmi yang bebas pajak sebelum Korea merdeka dan masih lazim pada zaman modern awal, meningkatkan skala dan kekuatan pasar ikan karena ada pening­ katan cepat dalam pasokan, permintaan dan penanganan produk per­ dagangan yang mudah. Tambahan lagi, banyak orang yang kehilangan tempat bermukim setelah usainya perang yang memisahkan Korea Selatan dan Utara, memutuskan untuk menetap di sekitaran Pasar Jagalchi. Jika Anda seorang pemerhati yang baik, Anda mungkin akan menemukan banyak wanita di Pasar Jagalchi. Orang Busan menye­ but mereka “Jagalchi ajimae”. ‘Ajimae’ adalah dialek Busan untuk kata ‘ajumma(bibi)’. Para wanita berjongkok di dermaga sepanjang hari dan menjual ikan yang telah mereka ambil hari itu untuk bertah­ an hidup dan menghidupi keluarga, membesarkan dan menyekolah­

kan anak-anak mereka. Dengan logat khas Busan yang terdengar kasar, mereka bersaing mendapa­ tkan pembeli, dengan suara tinggi seperti hendak berkelahi yang terkadang terkesan memohon dari­ pada tawar-menawar. Suasana yang terbentuk oleh mere­ka adalah suasana Busan yang terakrab selain suasana di meja makan orang Busan, yang tidak mung­­kin bisa dipisahkan dari syaraf otak orang Korea. Demikianlah, kegiatan Busan Ajimae ter­ cantum juga dalam sejarah dan lokasi pasar, dan banyak orang mengingat Pasar Jagalchi sebagai tempat representatif dan simbolik Busan sejak pasca perang hingga industrialisasi.

Kenyamanan dan Keterikatan

Busan bukanlah kota bangsawan tetapi kota yang biasa-biasa saja. Busan bukan juga kota kemerdekaan, tetapi kota bagi pengungsi. Alih-alih mempertahankan keunggulan, seperti ketertiban dan wewenang, kota ini justru harus menenangkan dan menyelesaikan kebutuhan makan dan hidup yang mendesak dari orang-orang biasa. Di kota di mana Anda harus terus mengisi kekurangan tanpa henti daripada berusaha mempertahankan kesem­ purnaan, perasaan ketika menyelesaikan suatu hari dan berbaring dengan melonjorkan tangan dan ber­ bantalkan lengan tentunya lebih dekat ke keinginan menetap, terikat, dan malu, bukan ketenangan atau kenyamanan. Di pintu masuk Museum Seni Busan, ada karya Tadashi Kawamata, seniman instalasi terkenal di dunia, yang menghiasi pintu masuk dengan kayu limbah yang dikumpulkan dari Busan. Karya terse­ but cukup untuk melambangkan kota Busan, teta­ pi saya sarankan juga untuk melihat dengan cer­ mat karya Lee Woo-hwan di museum yang sama. Keheningan dan ketenangan dari benda-benda yang dapat dengan muda ditemui di Busan, seperti batu dan lempengan besi, berbeda dengan keheningan dan ketenangan yang bisa kita dapat dari gunung yang dalam. Saya membayangkan Pasar Jagalchi. Fabricius berbicara tentang “hubungan” dan “per­ cakapan” yang terbias dalam hiruk-pikuk dan ke­ributan kota tinggi entropi ini. Hening. Sangat hening. Bagaimana rupa Busan yang akan ditemukan Jacob Fabricius pada tahun 2020? Apakah akan berupa jalan setapak atau jalan keluar darurat?

seni & budaya korea 21


FiTUr KhUSUS 3

Busan: Pelabuhan Puisi dan Gairah

Gamcheon-dong di bagian barat daya Busan adalah sebuah desa yang dibentuk pada 1950-an, ketika pengikut Taegeukdo, agama baru yang berakar pada Taoisme, pindah ke lereng bukit dalam kelompok besar. Barisan rumah bertingkat di perbukitan dan lorong-lorong labirin yang melintasinya menciptakan lanskap yang luar biasa.

22 Koreana Musim Dingin 2019


Kenangan Ibu Kota Masa Perang Busan yang menjadi ibu kota sementara Korea Selatan setelah meletusnya perang Korea pada Juni 1950, menjalankan perannya secara nyata sebagai ibu kota hingga perjanjian gencatan senjata berlangsung dan pemerintah kembali ke Seoul pada tanggal 15 Agustus 1953. Para pengungsi berbondong-bondong memasuki daerah sekitar kantor provinsi Gyeongsang Selatan yang ketika itu digunakan sebagai gedung pemerintahan sementara, dan memulai kehidupan rantau mereka karena terpisah jauh dari kampung halaman tanpa batas waktu yang menjanjikan. Jejak duka itu masih tersisa hingga saat ini dan menuntun kita untuk melihat kembali sejarah yang telah berlalu. Choi Weon-jun Penyair, Dosen Pusat Pendidikan Seumur Hidup Universitas Dong-eui Ahn Hong-beom Fotografer

Š Kota Metropolitan Busan (Fotografer Jeong Eul-ho)

seni & budaya Korea 23


M

engenai bagaimana Busan dapat menjadi kota terbe­ sar kedua setelah ibu kota Seoul, sangat berkaitan erat dengan tragedi sejarah modern Korea. Dalam ber­ bagai sisi, perang Korea memberikan alasan penentu dalam perluasan Busan yang pesat. Jumlah penduduk kota Busan yang awalnya ber­ jumlah sekitar 470.000 orang pada tahun 1949 tepat sebelum perang berlangsung, mulai melonjak drastis dengan masuknya para pengung­ si saat kota ini menjadi ibu kota sementara. Pada tahun 1955, yaitu dua tahun setelah gencatan senjata, sebagian besar para pengungsi menetap dan jumlah penduduk Busan mencapai satu juta orang. De­ ngan ini, Busan berubah menjadi sebuah kota yang besar. Para pengungsi diharuskan untuk tinggal di tempat tinggal semen­ tara dan menghidupi kehidupan mereka. Daerah 40 tangga di Joong­ ang­dong yang terletak di dekat stasiun dan pelabuhan Busan merupa­ kan tempat di mana suka duka itu tersimpan. Di sini terdapat patung sosok para pengungsi seperti ibu muda yang sedang menyusui bay­ inya, penjual krupuk beras, dan pengangkut barang yang sedang ber­ istirahat. Seperti yang bisa kita tebak, tempat ini adalah daerah per­ batasan antara kerja dan istirahat. Dengan tangga tersebut sebagai patokannya, bagian bawah tangga menjadi ruang kerja seperti tem­ pat menjual kebutuhan harian, menjual permen karet, menaikkan dan menurunkan barang di dermaga, dan sebagainya. Sementara itu, bagian atas tangga berjejer tenda dan gubuk yang dibangun sebagai tempat tinggal sementara. Tempat lain yang menyimpan duka perang Korea adalah jem­ batan Yeongdo. Bagi para pengungsi, kabar anggota keluarga yang tak dapat diketahui lebih menyengsarakan daripada kemiskinan. Mere­ ka seakan­akan saling berjanji dan mulai menempelkan poster untuk mencari keluarga yang terpisah di sepanjang pagar pengaman jem­ batan, dan menunggu pertemuan kembali dengan keluarga mereka tanpa batas waktu sambil meneteskan air mata. Pulau Yeongdo yang terletak di sebelah Selatan Busan terhubung dengan daratan dengan dibangunnya jembatan penghubung pada tahun 1934.

dan sosial sejarah modern Korea. Alasan tersebut membuat gedung ini ditetapkan sebagai Warisan Budaya Terdaftar (di antara warisan budaya mod­ ern, ini merupakan warisan budaya yang ditetap­ kan dan diurus oleh pemerintah karena nilainya yang tinggi untuk dilestarikan dan dimanfaatkan) ke­41 pada tahun 2002. Mulai tahun 2009, gedung ini digunakan sebagai museum Universitas Dong­a dan menjadi tempat untuk pendidikan pengetahuan sejarah. Selain itu terdapat pula jalanan yang diben­ tuk belakangan ini untuk memperingati makna dan kenyataan sejarah bahwa kota Busan pernah berperan sebagai ibu kota sementara. Di “Jalan Kenangan Ibu Kota Sementara Korea” yang me­ nghubungi kampus Bumin Universitas Dong­a dan Gedung Memorial Ibu Kota Sementara, kita dapat melihat berbagai patung yang mengingatkan kita

1

ibu Kota sementara Pemerintahan

Museum Seokdang di Universitas Dong­a adalah tempat yang dapat membuktikan bahwa Busan pernah menjadi ibu kota sementara. Gedung ini selesai dibangun pada tahun 1925, yaitu ketika peme­ rintahan kolonial Jepang memindahkan kantor Provinsi Gyeongnam dari Jinju ke Busan. Dengan mempertimbangkan bahwa Busan ada­ lah gerbang pelabuhan dan pusat lalu lintas, Jepang memindahkan kantor provinsi untuk meningkatkan efisiensi pemerintahan kolo­ nial. Gedung ini kemudian digunakan sebagai gedung pemerintahan ibu kota sementara saat perang Korea, dan kembali menjadi kantor Provinsi Gyeongnam setelah gencatan senjata. Bersamaan dengan dipindahkannya kantor provinsi ke Changwon, gedung ini digunakan sebagai gedung pengadilan negeri Busan. Jadi, gedung ini mengala­ mi banyak pergantian nama dan fungsinya dalam perubahan politik

24 Koreana Musim Dingin 2019

© Busan Heritage Night

1. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat tinggal presiden selama Perang Korea ketika Busan merupakan ibu kota darurat Republik Korea. Itu dibangun pada 1920-an sebagai kediaman gubernur provinsi Jepang dan diubah pada tahun 1984 menjadi Aula Memorial Ibukota Darurat. 2. Gang toko buku di Bosu-dong muncul selama Perang Korea ketika pasangan pengungsi dari Korea Utara mulai menjual majalah-majalah tua dan menggunakan buku-buku yang diperoleh dari pangkalan militer AS dan toko-toko rombengan. Gang itu ditempati oleh lebih dari 70 toko buku pada 1960-an dan 1970-an, tetapi sekarang memiliki sekitar 40 toko yang menjual buku bacaan baru dan bekas. 3. Para pengungsi yang tinggal di kota kumuh Jungang-dong akan naik dan turun 40 tangga 40 setiap hari membawa guci air di pundak mereka.


2

Tidak seperti kebanyakan daerah lainnya, di Busan terdapat banyak jalan lintas yang melewati lereng gunung.

3

seni & budaya korea 25


Diciptakan oleh Komando PBB, Pusara Peringatan PBB didedikasikan untuk Pasukan Sekutu PBB yang berjuang dan kehilangan nyawa mereka dalam Perang Korea. Dibangun pada bulan April 1951, makam ini menarik pengunjung dari dalam dan luar negeri, dengan bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa dan dari 21 negara peserta dikibarkan sepanjang tahun.

pada masa itu dan kereta listrik yang digunakan saat itu. Gedung Memorial Ibu Kota Sementara tersebut awalnya diba­ ngun sebagai tempat tinggal gubernur Provinsi Gyeongnam pada masa kolonial Jepang, dan digunakan sebagai tempat tinggal presiden saat Busan menjadi ibu kota sementara. Kini tempat ini menunjuk­ kan identitas kota bersejarah dan kewibawaan Busan sebagai ibu kota sementara yang berhasil mengatasi krisis negara saat perang Korea. Di sini terdapat patung lilin presiden pertama Korea Selatan, Rhee Syngman, dalam ukuran yang sebenarnya beserta ruang kerjanya yang sama seperti saat itu. Selain itu, terdapat sejumlah barang yang memberikan gambaran sekilas kehidupan orang-orang pada saat itu, termasuk artikel rumah tangga, replika gubuk, dan ruang kelas untuk anak-anak pengungsi, dan kios-kios dari Pasar Gukje.

Jalan Lereng Gunung

Tidak seperti kebanyakan daerah lainnya, di Busan terdapat banyak jalan lintas yang melewati lereng gunung. Karena total panjangnya yang ber­ jarak 65 kilometer, Busan sampai-sampai disebut sebagai “Kota Jalan

26 Koreana Musim Dingin 2019

Gunung”. Alasan terdapat begitu banyak jalan lin­ tas tersebut adalah karena para pengungsi yang memerlukan tempat tinggal secepat mungkin mulai membangun tenda dan gubuk di gunung. Mengiku­ ti jalan yang tersebar bagai jala pembuluh darah itu, rumah-rumah kecil berdempetan memenuhi ruang tersebut, dan di sela-sela rumah terdapat lagi ganggang kecil berbelit bagaikan labirin. Di sini, para pen­ gungsi menjalankan kehidupan getir mereka. Seiring berlalunya waktu, tempat yang menyimpan peman­ dangan perih ini kini menjadi tempat yang banyak dikunjungi oleh para wisatawan. Salah satu tempat yang terkenal adalah Desa Budaya Gamcheon. Jika kita menaiki jalan tanjakan Gamcheon dari Rumah Sakit Busan, di sebelah kanan jalan ini ter­ bentang pemandangan desa yang bertangga-tangga. Para penganut agama baru Taegeukdo yang mengung­ si ke daerah ini saat perang membangun kampung


yang disebut desa Taegeukdo, dan desa ini adalah prototipe Desa Budaya Gamcheon. Penduduk Busan juga menyebut tempat ini “desa kereta”. Pada malam hari, jendela rumah beratap ini memancarkan cahaya lampu. Jika dilihat dari jauh, rumah-rumah yang berje­ jer horizontal ini terlihat bagaikan kereta malam yang sedang berlaju, sehingga dinamakan “desa kereta”. Ke mana pun kita pergi di desa ini, kita dapat menemui persimpangan gang-gang dan tangga-tang­ ga yang saling bertemu di jalan bertanjak. Gang-gang menghubungkan rumah-rumah secara horizontal dan tangga menghubungkan gang-gang secara vertikal. Sekarang desa ini telah berubah menjadi desa seni dan budaya dengan tetap melestarikan kebersihan desa ini dan menempatkan karya seni di beberapa tempat umum sebagai bagian dari usaha pembaruan perkotaan. Tempat ini juga merupakan tempat tujuan yang direkomendasikan oleh media massa luar negeri seperti “Le Monde” dan CNN.

Pasar Terbuka

Para pengungsi yang harus bertahan menjala­ ni kehidupan tanpa harapan dan tidak berujung di kota asing ini dapat tetap teguh menjaga keluargan­ ya dalam keadaan yang suram karena adanya pasar. Bagi mereka, pasar-pasar Busan yang memberi­ kan sesuap nasi ini adalah tempat terukirnya ber­ bagai kisah lama masing-masing orang. Terutama di sekitar Pasar Gukje dan Pasar Bupyeong Kkang­ tong dijual barang-barang saat perang Jepang dan barang keperluan sehari-hari yang diam-diam diambil dari angkatan tentara Amerika saat perang Korea, sehingga pasar ini juga disebut sebagai “pasar terbuka”. Pasar Gukje muncul sebagai pusat mode di negara ini, menjual barang bekas yang dikirim dari negara lain sebagai barang bantuan. Pasar mendapatkan nama Gukje (“Internasional”) karena diketahui bahwa hampir semua jenis barang asing dapat ditemukan di sini. Setelah perang, transak­ si ilegal pasokan militer terjadi di Pasar Bupyeo­ ng Kkangtong, pasar publik pertama Korea. Nama Kkangtong (“Kaleng”) berasal dari fakta bahwa ia menjual banyak makanan kaleng yang diselun­ dupkan dari pangkalan militer AS yang dipasang di kota selama perang. Vendor yang berurusan den­ gan pasokan militer A.S. di sini disebut “pedagang Yankee” dan mereka mendapat untung besar dari

penjualan kembali minuman, rokok, dan produk makanan yang dibeli dari wanita yang tinggal dengan tentara Amerika. Pasar Bupyeong Kkangtong terkenal sebagai tempat kelahiran masakan representatif Busan. Eomuk (kue ikan) Busan yang terkenal lahir di sini, dan doeji gukbap (sup nasi babi) juga dikembangkan di sini selama perang. Selain itu, pedagang akan menyiapkan semacam sup kental dengan sisa makanan yang diambil dari pangkalan militer AS, meletakkan segala sesuatu di dalam panci dan merebusnya ber­ sama-sama. Disebut “sup babi” atau “sup PBB,” itu akan menjadi pendahulu budae jjigae (secara harfiah “sup militer”). Mengandung sosis, ham, dan daging lainnya, itu adalah sumber protein yang ber­ harga bagi para pengungsi.

Gang Toko Buku

Gang toko buku Bosu-dong yang dijejeri dengan dempetan toko-toko buku sepanjang 150 meter merupakan gang toko buku terbesar di Korea ketika itu. Selama masa perang, para mahasiswa yang belajar di kelas sementara yang terbuat dari papan kayu dan tenda di pegunung­ an Gudeoksan, gunung belakang Bosu-dong, dan di Yeongdo dapat ditemui dengan mudah. Sekolah yang disebut “Universitas Himpunan Masa Perang” ini merupakan gabungan dari beberapa universitas yang ada di Seoul oleh otoritas pendidikan ketika itu. Oleh karena itu, gang di daerah Bosu-dong yang merupakan jalan menuju sekolah selalu ramai dan secara otomatis terbentuklah gang toko buku. Ketika itu sangat sulit mencari dan membeli buku pelajaran dan buku-buku lainnya karena situasi penerbit yang kurang baik akibat perang. Oleh karena itu, toko-toko jalanan buku bekas banyak ter­ bentuk di antara orang yang ingin menjual bukunya dan yang ingin membeli buku tersebut. Toko-toko jalanan inilah yang satu per satu menetap dan membentuk gang toko buku Bosu-dong. Saat itu, para cendekiawan harus menahan air mata dan menjual buku kesayangan­ nya untuk dapat membeli sesuap nasi. Dengan buku-buku yang ter­ kumpul seperti inilah kini gang ini menjadi gudang ilmu Busan dan simbol gang budaya. Taman Memorial PBB (UN Memorial Cemetery in Korea) ada­ lah tempat yang secara langsung memanggil kembali kenangan saat perang. Sebagai tempat peristirahatan abadi tentara UN yang gugur saat perang Korea, di sini berbaring korban perang sebanyak 2.297 orang dari 11 negara seperti Inggris, Turki, Kanada, Australia, Belan­ da, dan lain-lain. Seperti Auschwitz di Polandia dan Taman Memori­ al Perdamaian di Hiroshima Jepang, taman ini adalah tempat penting yang menunjukkan betapa berharganya perdamaian dan nilai kebe­ basan kepada semua orang yang mengemban bekas luka perang dan menjalani kehidupan zaman sekarang. Di sekitar Taman Memori­ al PBB, terdapat Taman Perdamaian PBB, Taman Patung PBB, dan Gedung Memorial Perdamaian PBB yang memangku harapan untuk keharmonisan dunia, perdamaian, dan peristirahatan tenang bagi seluruh umat manusia.

seni & budaya korea 27


Hidangan Masa Perang

Jika kita bertanya kepada penduduk Busan masakan daerah mereka, sebagian besar akan menjawab “sop babi” dan “mi gandum” tanpa ragu-ragu. Namun masakan-masakan yang mewakili Busan ini sebenarnya tidak memiliki sejarah yang lama karena kedua masakan itu adalah masakan yang dibuat ketika perang Korea. Kedua masakan ini lahir dari penerimaan dan penggabungan budaya makan para pengungsi yang datang dari berbagai daerah.

Mi Gandum

Mi gandum (milmyeon) adalah masakan yang di­ buat dengan mengenang mi dingin yang sering dima­

kan di kampung halaman oleh pengungsi dari Korea Utara. Berhubung sangat sulit mendapatkan gandum hitam ketika itu, para pengungsi membuat mi ini dengan tepung gandum yang didapat dari kiriman barang bantuan. Dengan kata lain, mi dingin dari gandum hitam diganti menjadi mi dari tepung gandum. Mi tepung gandum yang dapat dimakan dengan harga separoh dari mi gandum hitam ini awalnya dianggap sebagai makanan pengganti saja. Seiring berlalunya waktu, mi tepung gandum dimasak dengan ciri khas Busan yang memberikan rasa pedas, asin, dan merangsang cita rasa yang kental sehingga berubah menjadi masakan kampung halaman Busan. Meskipun ada sedikit perbedaan di setiap rumah makan, mi tepung gandum dimasak dengan campuran tepung gandum dan pati. Kemudian di atas mi ini, diberikan kuah berkaldu yang telah agak dibekukan. Kuah ini dimasak de­ ngan merebus tulang sapi, sayur-sayuran, dan beberapa bahan obat tradisional Korea. Sama seperti mi dingin lainnya, mi ini dapat dinikmati dengan atau tanpa kuah dingin. Mi dingin berkuah dengan gumpalan kecil es-es yang renyah sang­ at segar ketika dikunyah karena tekstur mi yang lembut tetapi juga kenyal. Mi dingin tanpa kuah dimakan dengan mengaduk serbuk cabe yang merah seperti sifat khas orang Busan, daun bawang, bawang putih, bawang bombai, dan sebagai­ nya. Rasanya yang pedas tapi juga manis ini memberikan cita rasa khusus di musim panas, di mana kadang orango r an g m e n g a t a s i panas mereka de­ ngan rasa panas.

© Kota Metropolitan Busan

28 Koreana Musim Dingin 2019

Milmyeon, salah satu ciri khas Busan, ditemukan oleh para pengungsi perang dari Korea Utara selama Perang Korea. Mi yang dibuat dengan tepung terigu dan tepung kentang disajikan dalam kaldu dingin.


Sop babi adalah hidangan lokal terkenal yang dikembangkan dengan mengadopsi beragam selera dan kebiasaan pengungsi dari seluruh negeri. Nasi yang dimasak dan irisan daging disajikan dalam kaldu tulang babi dengan saus di sisinya.

© Kota Metropolitan Busan

Sop Babi

Sop babi yang mewakili masakan Busan memang paling lezat dimakan dengan cara memasukkan nasi ke dalam kuah berkaldu

babi yang dilengkapi dengan isi daging babi. Sop ini dinikmati dengan memasukkan kucai, bawang putih, cabe hijau pedas, bawang bombai, kimchi, dan sebagainya menurut selera ke dalam sop, dan dimakan panas-panas. Sop babi Busan yang kita temui sekarang adalah sop babi yang telah disempurnakan dengan merefleksikan budaya masakan dari berbagai daerah. Awalnya, sop babi Busan dihidangkan dengan kuah, daging babi, dan nasi dalam satu mangkuk. Namun bersamaan de­ngan menetapnya penduduk dari luar Busan, sop ini menerima budaya masakan dari ber­ bagai wilayah. Pertama-tama, jika kita perhatikan jenis kuahnya, terdapat berbagai kuah seperti kuah yang putih pekat, agak putih, dan jernih. Kaldu putih pekat dibuat dengan cara merebus tulang babi sehingga rasa kuahnya kental dan gurih. Kuah ini mirip dengan kuah sargasum (gulfweed) di Pulau Jeju dan tonkatsu ramen di Kyushu – Jepang. Kaldu yang agak putih di­ buat dengan merebus seluruh kepala babi dan isi perut babi. Kaldu yang menjadi bentuk pa­ ling standar ini dikembangkan oleh pengungsi dari Korea Utara dan memiliki rasa gurih yang mendalam. Kaldu jernih dibuat dengan hanya merebus daging utuh tanpa lemaknya saja. Cara masak ini berasal dari provinsi Gyeongnam bagian Barat dan menghasilkan rasa yang segar. Jenis-jenis sop babi Busan pun beragam. Sop babi yang hanya berisikan daging babi, sop nasi sundae(usus babi atau sapi yang diisi dengan mi sohun dan berbagai bahan lainnya) yang dilegkapi dengan daging babi dan sundae, sop nasi isi dalaman babi, sop nasi campuran yang berisi daging dan isi dalamannya seperti usus babi, baekban (hidangan berupa nasi, sop, dan berbagai lauk pauk) daging babi yang menghidangkan nasi, kuah, dan dagingnya secara terpisah, mi sop babi yang menggantikan nasi dengan mi, dan sebagainya. Hal ini menyiratkan bahwa masakan babi di berbagai wilayah telah menetap sebagai “sop babi” di Busan.

seni & budaya korea 29


FiTUr KhUSUS 4

Busan: Pelabuhan Puisi dan Gairah

Kota Film dalam Kesemarakan Infrastruktur

Festival Film Internasional Busan ke-24 dibuka pada 3 Oktober 2019 di Pusat Film Busan. Tempat eksklusif festival dan inti dari infrastruktur film Busan yang luar biasa, pusatnya adalah kompleks dari dua bangunan empat lantai dan bangunan sembilan lantai. Itu selesai pada tahun 2011.

30 Koreana Musim Dingin 2019


Busan menjadi “kota film” bukan hanya karena Festival Film Internasional Busan saja. Adanya Cinematheque yang menayangkan film yang tidak dapat ditonton di bioskop biasa, Komisi Film Busan yang merupakan komisi film kedua di Asia, Asosiasi Kritikus Film Busan yang bergerak dengan caranya sendiri, dan lain-lain – semua instansi dan organisasi yang menunjukkan keterampilan profesionalnya di setiap bagian inilah yang menjadikan Busan sebagai sebuah kota film. Jeon Chan-il Kritikus Film, Ketua Asosiasi Kritik Konten Budaya Korea

P

ada bulan September 2017, terbit sebuah buku bermakna me­ ngenai Busan. Buku itu adalah buku humaniora ketiga berju­ dul “Infrastruktur dan Festival Budaya Busan” yang disusun oleh Institut Nasional Ilmu Humaniora dan Sosial Universitas Nasional Puk­yong. Buku ini berisikan penelitian dan saran mengenai puisi, novel, drama, film, dan seni Busan. Saya mendapat tema bagian film dan turut menulis dalam buku tersebut dengan judul “Infrastruktur Film Busan dan Festival Film Internasional Busan”. Ketika itu saya bertanya kepada diri saya sendiri. Apakah Busan bisa berubah dari “lahan budaya yang tandus” menjadi “kota pusat budaya” seperti apa yang diharapkan dalam kata pengantar buku ini? Jawaban saya akan pertanyaan ini penuh dengan keragu­raguan. Hingga saat itu saya masih berpendapat bahwa perubahan drastis itu adalah sebuah “misi mus­ tahil”. Akan tetapi, sambil menyiapkan tulisan itu, mendadak pikiran saya berubah. Setidaknya begitulah dalam bidang perfilman. Artikel saya sekarang ini merupakan hasil perkembangan dari tulisan yang saya sebut tadi. Seperti yang saya akui tadi, sebelum menulis untuk buku humaniora tersebut, saya tidak pernah mempertimbangkan infras­ truktur perfilman Busan secara serius. Ungkapan “Film Busan” terdengar seolah­olah itu merujuk hanya ke Festival Film Internasional. Tetapi saya menyadari bahwa hal itu merupakan kesalahpahaman: kota ini menawar­ kan lebih banyak fasilitas dan institusi publik terkait film. Contoh langsun­ gnya adalah pemindahan instansi perfilman seperti Komisi Film Korea dan Komite Pemeringkatan Media Korea dari Seoul ke Busan pada tahun 2013. Meskipun ruang lingkup aktivitas instansi­instansi ini melampaui Busan dan mencakup seluruh Korea, namun fakta bahwa mereka adalah inti infrastuktur perfilman Busan tidaklah berubah. Tentu saja berkat kedua badan tersebut nilai perfilman Busan menjadi setingkat lebih tinggi. Namun, jika ada yang bersikeras mengenai lokalitas dan faktor ruang dan tempat Busan, maka kita dapat memberikan contoh lain selain dua instansi di atas. Badan­badan itu adalah Cinematheque Busan dan Pusat Sinema Busan yang bergerak dengan BIFF sebagai pusatnya, Komisi © NewsBank

seni & budaya Korea 31


1 © Kota Metropolitan Busan

Film Busan, Penghargaan Asosiasi Kritikus Film Busan, dan lain-lain. Semuanya adalah aset berharga perfilman yang layak mendapatkan sebutan “Nomor 1 di Korea” atau yang setara dengannya.

Peran Perintis

Cinematheque adalah tempat penyimpanan arsip film dan juga tempat untuk memutar dan menonton arsip simpanan tersebut. Cinematheque Busan dimulai sebagai Cinematheque pertama Korea yang memi­liki fasilitas teater di dalam Pusat Kapal Pesiar Teluk Suyeong di Dis­ trik Haeundae pada tahun 1999, dan memulai aktivitas yang sebenar­ nya sejak bulan Mei 2002. Biasanya film klasik yang sulit ditemui di bioskop-bioskop umum atau film seni berkualitas tinggi dan film independen ditayangkan di sini. Mulai tahun 2007, Cinematheque juga berperan sebagai penyimpan arsip film dan berada di garis depan dalam meningkatkan pengamatan masyarakat umum akan film de­­ ngan menyediakan berbagai macam program pendidikan. Cinematheque Busan kemudian pindah ke Pusat Film Busan yang dibuka pada bulan Oktober 2011 dan membuka aktivitasnya yang kedua hingga sekarang. Pusat Sinema Busan – dengan gedungnya yang terkenal di dunia sebagai hasil rancangan dan desain dari peru­ sahaan arsitektur Austria Coop Himmbelblau – merupakan kontribu­ tor pertama yang berperan dalam peluncuran kembali BIFF dan Cinematheque. Komisi Film Busan juga merupakan salah satu badan yang mem­ bentuk inti infrastruktur perfilman Busan. Badan ini adalah komisi khu­ sus film kedua di Asia dan pertama di Korea yang dibentuk pada tahun 1999 oleh Kota Metropolitan Busan dengan tujuan memberikan layanan jasa administrasi praktis untuk pemroduksian film. Ketika BFC terben­ tuk sebagai respon dari renaisans film Korea di akhir tahun 1990-an, beberapa komisi media saling bersaing terbentuk dalam upaya yang lain. Saat ini terdapat 13 komisi film regional di Korea termasuk Busan. BFC yang berperan sebagai perintis komisi film di Korea telah men­

32 Koreana Musim Dingin 2019

dukung kegiatan syuting sebanyak 1.303 buah film hingga Desember 2018. Selain itu, BFC juga beru­ saha memperluas industri perfilman melalui Studio Syuting Film Busan dan Cinema House Hotel in Busan yang menyediakan lingkungan pengambilan gambar yang nyaman, Pusat Usaha Media Busan yang membina perusahaan bidang film dan media daerah, Akademi Film Asia Busan yang memberikan pendidikan khusus bidang perfilman, serta melalui Pusat Industri Media yang mendidik dan mengem­ bangkan tenaga kerja kreatif dan menarik perusahaan yang berhubungan dengan film dan media di Busan dan daerah ibu kota.

Mengobarkan Jejak Independen

Jauh sebelum lembaga-lembaga dan prakarsa-pra­ karsa ini, terbentuklahlah Asosiasi Kritikus Film Korea (KAFC), yang sekarang dikenal sebagai organisasi kritikus film terkemuka di Korea. KAFC didirikan pada September 1950 di Busan, yang saat itu merupakan ibukota sementara Republik Korea. Itu diikuti pada tahun 1958 oleh Asosiasi Kritikus Film Busan (BFCA), kelompok kritikus regional independen pertama di negara itu. BFCA bertujuan untuk mempromosikan budaya film yang kaya dan bersemangat melalui tinjauan film domestik dan asing, membimbing masyarakat untuk mengembangkan apresiasi yang cerdas dan terlibat dalam penelitian dan kegiatan lainnya. Asosiasi ini menyelenggarakan Anuge­rah Film Buil pertama, yang dibuat oleh Busan Ilbo, sebuah


Ungkapan “Film Busan” terdengar seolah-olah itu merujuk hanya ke Festival Film Internasional Busan (BIFF). Tetapi saya menyadari bahwa hal itu merupakan kesalahpahaman.

xxi,"

unho

© "E g

r blo

Nave

surat kabar harian lokal, pada tahun yang sama. Ula­ san dan rekomendasi kelompok yang menyeluruh dan objektif terhadap film berkualitas telah berkontribu­ si pada pengembangan sinema Korea dan secara sig­ nifikan meningkatkan apresiasi dan pemahaman publik terhadap film. Pada tahun 2000, BFCA mulai memberikan peng­ hargaan filmnya sendiri, yang dikenal karena cita­ rasa daerahnya yang kuat dan kecenderungan yang tidak konvensional. Ini dapat ditafsirkan sebagai kecenderungan yang disengaja terha­ dap karya-karya regional atau non-mainstream, sangat berbeda dengan Penghargaan Pilihan Kritik KAFC yang lebih berorientasi pada formasi. Sebagai contohnya, dalam Penghargaan Asosiasi Kri­ tikus Film Korea ke-20 pada tahun 2000, film “Permen Pepermin” karya sutradara Lee Chang-dong – yang menceritakan kesengsaraan seseorang berkaitan dengan tragedi sejarah modern Korea dan disusun dengan plot yang unik – meraih tempat pertama. Sementara itu, dalam Penghargaan Asosiasi Kritikus Film Busan yang pertama pada tahun yang sama, anugerah utama diberikan untuk film “Oh, Sujeong!” karya sutradara Hong Sang-soo. Selain itu, Asosiasi Kritikus Film Korea memberikan “Peng­ hargaan Sutradara” kepada Lee Chang-dong, sementara Aso­ 2

1. Penggemar film menonton pemutaran Festival Film Internasional Busan ke-24 di BIFF Square, tempat terbuka di pusat kota tua Nampo-dong. Alun-alun ini menjadi tuan rumah acara-acara utama festival sampai 2003 ketika tempat utama dipindahkan ke Haeundae.

3

2. “Transformasi Burung-Perempuan (Mirage).” Ralf Volker Sander. 2012. Baja tahan karat, 10,2 × 4,6 × 2,6 m. Patung di Dureraum Square, Pusat Film Busan dipilih dari banyak pelamar internasional. Dilihat dari depan, patung itu berbentuk seperti perempuan, tetapi dari samping, menyerupai burung camar. 3. Kerumunan pemandu sorak pada penampilan di luar yang diadakan di Pusat Film Busan sebagai bagian dari Festival Film Makanan Busan 2017.

© Pusat Sinema Busan, Ferstival Film Makanan Busan

seni & budaya korea 33


1 © Pusat Film Busan

1. Siswa Akademi Film Pusat Film Busan belajar tentang produksi video. Akademi ini menawarkan lebih dari 50 kursus setiap tahun bagi para pembuat film yang bercita-cita tinggi. 2. Film hit sutradara Yeon Sang-ho 2016 “Kereta ke Busan” direkam di Studio Film Busan. dikelola oleh Komisi Film Busan, lokasi ini memiliki dua studio indoor dengan luas lantai 826m² dan 1.653m². 3. Busan merupakan rumah bagi banyak lokasi film. Beomildong muncul dalam banyak film populer, termasuk “Teman” karya Kwak Kyung-taek (2001), “Hidup yang Rendah” karya Im Kwon-taek (2004) dan “Ibu” karya Bong Joon-ho (2009). 4. Sebuah adegan dari “Gangster Tak Bernama: Kekuasaan Waktu”, sebuah film 2012 yang disutradarai oleh Yoon Jongbin. Pengambilan gambar di galangan kapal Yeongdo milik Industri dan Konstruksi Berat Hanjin.

2 © Next Entertainment World

siasi Kritikus Film Busan memberikan penghar­ gaan tersebut kepada sutradara Bae Chang-ho yang menyutradarai film “Kekasihku” yang belum dike­ nal secara luas oleh masyarakat. Kecenderungan ini juga tidak berubah pada tahun lalu. Asosiasi Kri­ tikus Film Korea memilih film “1987: When the Day Comes” buah hasil sutradara Jang Joon-hwan – yaitu cerita tentang masyarakat yang mengharapkan demokrasi politik de­­ngan latar belakang perlawanan di bulan Juni 1987 – sebagai karya terbaik. Semen­ tara itu, Asosiasi Kritikus Film Busan memberi­ kan penghargaan tertingginya kepada dokumentasi “Pembantu Kejahatan” yang menyoroti cerita para korban penggusuran yang mati terbakar saat proses pembangunan kembali daerah Yongin di Seoul pada tahun 2009. Di samping kedua badan di atas, terdapat ba­­ nyak organisasi dan kelompok yang membangun

34 Koreana Musim Dingin 2019

infrastruktur perfilman di Busan. Di antaranya adalah “Asosiasi Film Independen Busan” yang secara resmi didirikan pada tahun 1999 beserta “Festival Film Independen Busan” yang diselenggarakan oleh asosiasi tersebut dan menyongsong penyelenggaraannya yang ke-21 tahun ini, “Anugerah Film Buil” yang tidak kalah dari penghargaan film dalam negeri manapun dalam hal penilaian yang adil dan jujur, “Festival Film Pendek Internasional Busan” yang memulai perkem­ bangannya dengan Festival Film Pendek Korea pada tahun 1980 dan kini menyongsong penyelenggaraannya yang ke-36, dan lain-lain. Namun bukan hanya itu saja. “Jalan Film” di Haeundae menyambut penduduk Busan dan pendatang dari dalam dan luar negeri. Di “Texas Street” yang terletak di seberang Stasiun Busan, rumah makan pang­ sit “Jang Seong Hyang” yang muncul dalam film “Old Boy” karya sutradara Park Chan-wook masih tetap merangsang selera makan para pengunjungnya. Di jalan Daecheong-ro Jung-gu, Museum Film Busan melambai-lambaikan tangannya mengundang para pengun­ jung. Oleh karena itu, Busan cukup memenuhi syarat untuk disebut sebagai kota film.


Hasil-Hasil Festival Film internasional Busan Tahun ini menandai penyelenggaraan ke-24 Festival Film Interna© Moon Jin-woo

3

sional Busan (BIFF), yang membuahkan hasil yang mengesankan dan wawasan berharga tentang arah masa depan pefilman. Festival ini membuktikan keunggulannya sebagai acara film utama Asia dengan pemutaran 299 film dari 85 negara, di antaranya 118 film perdana dunia (95 film layar lebar, 23 film pendek) dan 27 film perdana internasional (26 film layar lebar, 1 film pendek). Hasil lain yang patut kita perhatikan adalah bahwa dalam sejarah BIFF, tahun ini untuk pertama kalinya film dari Asia Tengah menjadi film pembuka festival ini. Film itu adalah film “Pencuri Kuda. Jalan Waktu” yang disutradarai bersama oleh Lisa Takeba dari Jepang dan Yerlan Nurmukhambetov dari Kazakhstan yang pernah menerima penghargaan “Aliran Baru” di BIFF ke-20 pada tahun 2015 melalui karyanya berjudul “Pohon Kenari”. Namun memang benar terdapat kegelisahan yang tidak mengenakkan hati mengenai masa depan festival film yang telah mencapai tingkat internasional ini. Meskipun telah mengindari topan

4 © Showbox

yang diramalkan akan datang dan didukung dengan cuaca cerah selama festival berlangsung, namun jumlah peserta yang datang hanya mencapai 189.116 orang. Padahal ini merupakan festival kedua yang diselenggarakan oleh tim eksekutif yang dirombak ulang tahun lalu. Angka pengunjung tersebut juga berkurang sebanyak 6 ribu orang dibandingkan tahun lalu yang bahkan bertepatan dengan datangnya angin topan. Mungkin hal ini dikarenakan BIFF masih belum bisa terbebas dari efek lanjutan sebagai hasil dari bentrokan politik mengenai penayangan film dokumenter “Diving Bell”. Film dokumenter ini berisi tentang tragedi tenggelamnya kapal Sewol yang berlayar dari Incheon dan tenggelam di laut lepas Jindo sebelum sampai di tempat tujuan. Tragedi ini menewaskan ratusan orang, dan 300-an penumpang di antaranya adalah siswa-siswi SMA yang sedang berlayar untuk wisata studi. Kita harus mengamati lebih dulu apakah pertanda yang tidak mengenakkan hati ini hanyalah kemunduran sementara atau contoh dari kegelisahan jangka panjang. Namun tidak perlu dikatakan lagi bahwa kita memang harus menyiapkan analisis mengenai penyebab dan rencana pencegahannya.

© Festival Film Internasional Busan

Sutradara David Michôd (paling kanan), aktor utama Timothée Chalamet (kedua dari kanan) dan anggota kru lainnya dari film “Raja”, film yang banyak dibicarakan di Festival Film Internasional Busan 2019, berfoto dengan penonton bioskop.

seni & budaya Korea 35


FOKUS

Monster, Cyborg, Antara Harapan dengan Keputusasaan Utopia Lee Bul menghasilkan karya yang mencerminkan narasi pribadi dirinya dalam studi humanisme mengenai kritik sosial yang tajam, kesadaran historis, dan utopia. Walau sekilas aneh dan mengerikan, karya-karyanya juga memberikan kesan khidmat yang dapat memesona penikmat seni. Karya-karya ini sudah mulai menjadi perhatian di panggung dunia sejak lama. Mari kita lihat dunia karya dan jejak langkah terbaru Lee Bul yang dianugerahi Piala Ho-Am dari Yayasan Ho-Am pada bulan Mei lalu. Moon So-young Kepala Bagian Budaya di Harian Jungang

“Bersedia Menjadi Rentan - Balon Metal V3.” 2015–2019. Kain taffeta nilon, poliester dengan aluminium foil, kipas, kabel elektronik, cermin polikarbonat. 230 x 1000 x 230 cm. Instalisasi terlihat di sektor “Encounters”, 2019 Seni Basel Hong Kong.

36 Koreana Musim Dingin 2019


Atas seizin Studio Lee Bul dan Lehmann Maupin, Galeri PKM, Galerie Thaddaeus Ropac

seni & budaya korea 37


G

aleri Hayward di London mengadakan pameran spe­ sial bertajuk “Lee Bul: Hancur pada Juni” sampai Agustus tahun lalu untuk menyambut ulang tahun ke-50 galeri tersebut. Setelah dipamerkan di pameran berskala besar, yang memperlihatkan 30 tahun masa aktif Lee Bul sejak akhir tahun 1980an sampai sekarang, sekitar 100 karya itu kemudian dipindahkan ke Museum Martin-Gropius Bau di Berlin untuk dipamerkan di pameran bertajuk “Lee Bul: Hancur pada September” tahun lalu sampai Januari. Tahun ini jejak langkah Lee Bul juga terus bergerak maju. Pada Maret, karya-karyanya disorot cahaya kepe­ rakan di pintu masuk lantai satu Pusat Pameran Hong Kong atas permintaan Art Basel Hong Kong yang me­rupakan festival seni terbesar di Asia. Karya instalasi berjudul Bersedia Jadi Ren­ tan – Balon Metal 2015~2016 ini per­ nah dipamerkan di Galeri Hayward dan Martin-Gropius Bau, dan saat itu

sa­­ngat terkenal, sehingga sering dija­ dikan latar belakang foto para peng­ unjung. Karya ini kemudian dikenal sebagai inspirasi dari tema Art Basel Hong Kong 2019, yakni Hingga Kini Kita Bangkit. Kegiatan paling bermakna bagi Lee Bul tahun ini adalah partisipa­ sinya dalam La Biennale di Venezie yang ke-58. Ia pernah berpatisipa­ si dalam acara yang sama pada tahun 1999 sebagai wakil Korea dan berha­ sil mendapatkan penghargaan khu­ sus. Undangan dan keikutsertaannya tahun ini berhasil menjadikannya seni­ man Korea pertama yang diundang dua kali ke pameran utama La Biennale di Venezie. Lee Bul dinobatkan sebagai seniman yang patut diperhatikan dunia internasional mungkin berkat rasa sim­ pati dan takjub akan keaktifannya meng­­­ ungkapkan isu-isu secara provokatif.

Avant-Garde dan Penyimpangan

Saya pertama kali bersentuhan de­­

ngan karya Lee Bul bukan melalui galeri seni, melainkan melalui sebuah majalah mode yang diterbitkan pada akhir tahun 1990-an. Sebuah foto besar terpampang di dua halaman majalah; foto seorang wanita yang berdiri me­­ ngenakan bodysuit, stocking berjar­ ing, dan jubah sutra dengan hiasan ma­n ik-manik di rambutnya, serta sepatu boots berbahan kulit. Yang paling mencolok adalah kepala tiga boneka anak-anak yang menempel di bodysuit. Sangat aneh, tapi sensual. Sangat mengerikan, tapi konyol. Saat itu saya pikir foto itu hasil pemotretan mode bergaya avant-garde. Beberapa tahun kemudian saya baru tahu bahwa itu adalah foto hasil jepretan seorang seniman untuk dimasukkan ke Hydra: Monumen (1998) yang merupakan karya instalasi balon terkenal di peri­ ode awal masa aktif Lee Bul. ‘Hydra’ adalah ular air berkepala sembilan yang dikalahkan oleh Hera­ kles, pahlawan dalam mitologi Yunani. Dia adalah monster menakutkan yang memiliki kekuatan memulihkan diri dengan cara menumbuhkan dua kepa­ la ketika salah satu kepalanya ditebas. Lee Bul kemudian mengemas Hydra dengan kebudayaan Barat dan Timur yang sudah berasimilasi, serta dengan fantasi Orientalisme untuk mematah­ kan opini kuat publik mengenai wa­­

1. “Hydra II (Monumen).” 1999. Foto dicetak pada vinyl, pompa udara. 1200 × 700 × 600 cm. Instalasi terlihat di “Hot Air,” Pusat Granship, Shizuoka, Jepang.

1 Foto oleh Yasunori Tanioka, Atas seizin Nanjo and Associates

38 Koreana Musim Dingin 2019

2. Dari kiri: “Cyborg W1.” 1998. Cor silikon, pengisi poliuretan, pigmen cat. 185 × 56 x 58 cm; “Monster: Merah Muda.” 1998. Kain, serat fiber, bingkai baja stainless, cat akrilik. 210 x 210 x 180 cm; “Cyborg W2.” 1998. Cor silikon, serat poliuretan, pigmen cat. 185 × 74 x 58 cm; “Cyborg W4.” 1998. Cor silikon, serat poliuretan, pigmen cat. 188 × 60 × 50 cm. Instansi terlihat di “Lee Bul,” Pusat Seni Sonje, Seoul.


2 Foto oleh Rhee Jae-yong, milik Art Sonje Center.

Penjajaran yang unik antara keindahan dengan kengerian, juga kerapuhan dengan kekuatan dapat ditemukan di sebagian karya awal karya Lee Bul.

seni & budaya korea 39


1 Foto oleh Le Pan, Atas seizin Studio Lee Bul

1. Berbekal wawasan sosial dan sejarah yang luar biasa, Lee Bul telah mengembangkan gaya artistik khas yang telah mendapatkan pengakuan global sebagai salah satu seniman paling terkemuka di masanya. 2. “Kemegahan Agung” (detail). 1997. Ikan, payet, kalium permanganat, tas milar.

nita Asia yang dianggap polos. Selain Hydra: Monumen, karya Lee Bul yang tertanam dalam di kepala saya adalah Keagungan nan Megah (1991), yakni seekor ikan mentah yang membusuk perlahan dan dihias sedemikian rupa menggunakan manik-manik. Keagungan nan Megah dipasang di Museum Seni Modern New York di tahun 1997, sebelum akhirnya menjadi topik hangat karena harus diturun­kan tepat sebelum pembukaan pameran seorang seniman Amerika terkenal di lantai atasnya akibat bau menyengat. Di tahun 1998, Lee Bul berhasil men­ jadi finalis Piala Hugo Boss yang diberikan setiap dua tahun sekali oleh Museum Guggenheim, prestasi yang kemudian berhasil membuatnya men­ jejakkan kaki di dunia internasional. Walau bukan konsep yang asing, yang membuat Keagungan nan Megah sangat berkesan adalah dipamerkan­ nya karya yang memperlihatkan pros­ es membusuknya sebuah nyawa, leng­

40 Koreana Musim Dingin 2019

kap dengan baunya yang menyengat di galeri seni yang telah dijadikan tempat suci. Kekuatan sesungguhnya karya ini adalah ketika ikan mulai membu­ suk dan menguarkan bau tidak sedap yang bisa dianggap sebagai tantangan terhadap batasan seni visual yang sela­ ma ini tidak mengikutsertakan indera pencium­­an. Ini dapat dibuktikan de­n­ gan kuat oleh kasus penurunan karya ini oleh Museum Seni Modern New York.

Penyilangan yang Melampaui Batas

Karya Lee Bul di awal dan akhir tahun 2000-an didominasi dengan perco­ baan untuk mematahkan opini publik mengenai adat dan identitas seorang wanita, khususnya wanita Asia yang ia ekspresikan melalui tubuh. Mari kita ambil seri pahatan berjudul Monster (1998) sebagai contoh. Monster-mon­ ster digambarkan memiliki tentakel dengan tekstur lembut dan halus, serta berbentuk seperti gabungan antara berbagai makhluk hidup, termasuk tubuh manusia, gurita, anemon laut, dan akar ginseng. Karya ini membe­ rikan kesan sensual, serta membang­ kitkan rasa jijik, namun mengun­ dang. Monster-monster ini merupakan kostum-kostum yang dipakai seniman

untuk keperluan pentas di luar ruang­ an di sekitar tahun 1990. Lee Bul memakaikan kostum dengan bebera­ pa lengan dan tentakel monster yang menempel ke otot putih kemerahan yang terlihat seperti daging mentah. Karya ini kemudian menyusuri jalan Tokyo selama 12 hari. Pentas jalanan­ nya yang bertajuk Maaf karena Men­ derita – Kalian Kira Aku Anak Anjing di Sebuah Piknik? merupakan gambar­ an akan permasalahan dikotomi dalam berbagai bidang, seperti akal dan kepekaan, lelaki dan perempuan, dan sebagainya. Bersamaan dengan dipamerkan­ nya Monster, Lee Bul juga memamer­ kan set tubuh manusia alternatif ber­ judul Cyborg (1997~2011). Karyakarya ini dipamerkan bersamaan de­­ ngan seperangkat Monster di London dan kemudian di Berlin. Seperangkat Cyborg yang dipengaruhi tren animasi Jepang merupakan robot-robot wani­ ta dengan pinggang kecil, serta dada dan bokong menonjol. Robot-robot tersebut terlihat seperti patung dewi sakral yang seakan dapat mengganti­ kan patung dewi Yunani, tapi mereka digantung di udara dengan sosok yang tidak sempurna karena hanya memiliki satu lengan atau kaki. Perangkat ini dipengaruhi oleh esai terkenal karya Donna Haraway, seorang ahli Biologi sekaligus filsuf feminisme Amerika, berjudul Sebuah Manifesto Cyborg (1985). Cyborg merupakan kependekan dari ‘cyber­ net organism’, yang berarti gabungan antara mesin dengan makhluk hidup. Tidak seperti dalam film-film fiksi ilmiah yang menggambarkan dunia distopia, Haraway memandang iden­ titas cyborg dari sudut pandang posi­ tif, karena melalui cyborg, “kita dapat melampaui perbedaan dan batasan dalam jenis kelamin, ras, dan lainnya, serta memperluas indera perasa yang


kemudian memungkinkan kita mewu­ judkan lingkungan politik baru”. Hara­ way berkata bahwa menyusun ulang batasan dalam kehidupan sehari-hari melalui pendekatan diri dengan kon­ sep cyborg merupakan jalan menuju perwujudan paham politik feminisme. “Alih-alih menjadi dewi, lebih baik aku menjadi cyborg.” Kalimat terkenal itu menjadi penutup esai tersebut. Lee Bul berjalan mengenakan kostum monster bertentakel untuk memperlihatkan identitas cyborg dalam artian luas ‘penyilangan yang melam­ paui batas’. Setelah itu, ada Anagram (1999~2006) yang dianggap sebagai fusi, sekaligus evolusi dari Monster dan Cyborg. Perangkat Anagram semakin memperlihat perluasan makna identi­ tas melalui bentuknya yang merupa­ kan gabungan serangga, tumbuhan, dan mesin. Karya ini juga sangat sesuai untuk menggambarkan Sebuah Mani­ festo Cyborg karya Haraway.

Introspeksi Sejarah dan Zaman

Lee Bul yang mengeskplorasi keter­ kaitan antara tubuh manusia dengan tekanan sosial melalui Cyborg, mulai memperlihatkan perubahan lain de­­ ngan seperangkat Mon Grand Récit (2005~sekarang). Set ini dibuat dengan motif bangunan dan temuan terkenal beraliran modern di awal abad ke-20 yang mengarah ke Utopia. Namun, ia juga menorehkan pemandangan seperti reruntuhan, sehingga terciptalah kesan kegagalan mimpi akan utopia. Karyakarya ini menyimbolkan era baru dan kemajuan teknologi di satu masa dan memiliki motif seperti pesawat Hin­ denburg yang memicu malapetaka atas kasus meledaknya di tahun 1937. Perangkat ini dipamerkan di pamer­ an Seri Zaman Modern Museum Seni Modern dan Kontemporer Nasional: Lee Bul pada tahun 2014. Dalam perangkat Mon Grand

Récit, Lee Bul memasukkan peng­ alaman pribadinya ke dalam kondi­ si sosial Korea yang mengalami perubah­­an tajam. Ia mengintrospek­ si sejarah dan zaman atas dasar fokus pada pernyataan filsuf Jean-François Lyotard mengenai keraguan dan keti­ dakpercayaan atas ‘Grand Narrative’ era modernisme. Menurut kolumnis pameran Museum Seni Modern dan Kontemporer Nasional, “Seniman menyadari kemustahilan grand na­­ rrative dan terus menyimpan kisah-ki­ sah ‘kecil’ yang tidak terselesaikan dan sempurna atau terdiri dari serpi­ han-serpihan.” Kolumnis itu menam­ bahkan, “Jejak kebusukan di kisah sejarah, kegagalan idealisme di paham modernisme. Walau begitu, penikmat seni masih dengan sengaja mengharap­ kan hal-hal tidak masuk akal di era modern untuk muncul di keseharian dan pemikiran pribadi mereka.” Perangkat Cyborg berhasil meng­ gambarkan harapan dan keputusasaan akan keinginan untuk mewujudkan utopia dengan menaklukkan batasan dan kontradiksi pada umat manusia melalui kekuatan teknologi. Bersa­ ma set tersebut, karya-karya lain dan perangkat Mon Grand Récit yang memicu perubahan besar sampai awal tahun 2000-an telah memperlihatkan sesuatu yang berbeda dari sisi luar, tapi masih terhubung ke sisi dalam. Seperti yang dipaparkan Stephanie Rosenthal, perencana pameran di London dan Berlin tahun lalu, setengah dari karya awal Lee Bul memperlihatkan “pen­ jajaran unik antara keindahan de­­­ngan kengerian, serta kerapuhan dengan kekuatan”. Penjajaran tersebut tidak menggambarkan defeatisme (paham untuk menyerah tanpa perlawanan), melainkan menyimbolkan keberadaan harapan dan keputusasaan secara berkesinambungan.

2 Foto oleh Robert Puglisi, Atas seizin Studio Lee Bul

seni & budaya korea 41


WaWaNCara

Menghadirkan suasana alam di Kota

1. Desainer taman Oh Kyung-ah memandang keluar dari Institut Desain Taman Oh Kyungah, paviliun rumahnya di Sokcho, Provinsi Gangwon.

Penulis naskah siaran berita peraih penghargaan, Oh Kyung-ah, meninggalkan karirnya untuk belajar merancang taman. Semua dilakukannya demi hidup sehat dan bahagia. Kini, ia bekerja merancang taman di permukiman padat di kota dan merasakan kedamaian ketika oase berwarnanya menyambut siapa saja yang datang. Lim Hee-yun Reporter Budaya, The Dong-A Ilbo Ha Ji-kwon Fotografer

42 Koreana Musim Dingin 2019

1

2. Dalam paviliun, Oh kadang-kadang membuka kelas tentang hortikultura dan desain taman.


“S

aya hanya pergi sebulan dan semuanya kacau. Sebaiknya saya segera bekerja.” Setelah lama jauh dari rumah karena mengun­ jungi anak perempuannya yang bekerja di Kenya, hal pertama yang dilakukan perancang taman Oh Kyung-ah ketika pulang adalah mempersiapkan dirinya untuk bekerja di taman. Taman di sekeliling rumahnya di Sokcho, sebuah kota pelabuhan di pantai timur Provinsi Gangwon, seluas sekitar 660 meter persegi dan berisi lebih dari 100 spesies tanaman yang berbe­ da. Ia dapat dengan mudah menyebutkan nama tanaman itu dalam bahasa Korea dan bahasa Latin. Oh mengubah rumahnya menjadi “Institut Desain Taman Oh Kyung-ah.” Di sini ia mengajar desain taman dan hortikultura. Ketika tidak sedang memperkenalkan horti­ kultura, Oh merancang proyek bergengsi berskala besar; di antaranya “Taman Benih” untuk Pameran Taman Interna­ sional Teluk Suncheon tahun 2013, dan yang terbaru adalah taman atap di sebuah pusta perbelanjaan besar di Bucheon, Provinsi Gyeonggi.

Ingin Sehat dan Bahagia

Lim Hee-yun: Jadi, dulu Anda penulis naskah di radio? Oh Kyung-ah: Saya belajar bahasa dan sastra Prancis di bangku kuliah dan bekerja di bidang penyiaran segera setelah saya lulus. Kecuali cuti melahirkan, saya bekerja tanpa jeda dari tahun 1989 sampai 2005. Lim: Pada tahun 2003 Anda mendapatkan penghargaan sebagai “Penulis Tahun Ini” dalam Penghargaan Dunia Hiburan MBC. Apa yang membuat Anda tiba-tiba berubah haluan merancang taman justru pada saat Anda sedang di puncak karir? Oh: Saya harus mempersiapkan sekitar 10 halaman A4 skrip siaran setiap hari. Seiring waktu, kapasitas dan kreativi­ tas emosional saya terkuras habis. Tubuh saya juga tidak mau berkompromi. Saya makin sering sakit sinusitis dan batuk terus-menerus. Lalu, suatu hari saya mengendarai mobil melintasi Jembatan Mapo dan melihat langit di atas Yeouido hitam karena asap. Saat itu, saya ingin punya pekerjaan yang

2

membuat saya lebih sehat dan bahagia sampai tua. Lim: Dan itu yang membuat Anda bekerja di pertamanan? Oh: Ya. Saya dibesarkan di sebuah rumah yang punya halaman. Bunga-bunga yang berbeda mekar setiap musim dan ada pohon bunga mawar merambat yang tumbuh menu­ tupi dinding. Setelah saya menikah, saya mulai meng­ geluti bidang pertamanan ini. Setelah pulang dari beker­ ja, saya meletakkan tas di ruang tengah dan bergegas ke taman. Suami saya mengatakan, “Ketika memegang peker­ jaan penyiaran, kamu sangat tajam dan ketus; tapi ketika berada di taman, ekspresi dan cara kamu bicara menjadi lebih lembut dan enak didengar.” Saat itulah saya berpikir ingin memiliki pekerjaan kedua yang berhubungan de­­ngan taman. Saya mencari informasi online dan menemukan bidang desain taman ini. Meskipun menulis menjadi peker­ jaan saya, dulu saya tidak pernah memperoleh penghargaan dari bidang ini; tapi saya memperoleh banyak penghargaan dari bidang seni. Jadi, ketika saya tahu ada pekerjaan yang menggabungkan taman dan desain, saya merasa pekerjaan itu tepat buat saya. Saya segera mulai mengurus aplikasi untuk program itu di Inggris. Saat itu saya berusia 38 tahun. Lim: Pasti itu bukan keputusan yang mudah. Bagaimana rasanya ketika sampai di sana? Oh: Kelas-kelasnya sangat cocok untuk saya, tapi sangat berat mengurus segala sesuatunya sendiri. Suami saya ting­ gal di Korea dan saya membawa dua anak perempuan saya yang baru lulus sekolah dasar. Bahasa Inggris saya masih sangat kurang, dan itu membuat saya stres bahkan hanya ketika akan membuka rekening di bank. Namun, setelah mereka masuk sekolah dan saya mempersiapkan kebutuhan mereka, setiap harinya terasa seperti episode yang mengalir begitu saja. Ketika membuka mata di pagi hari, saya ber­ tanya-tanya apa yang tidak akan berjalan dengan baik hari itu. Barangkali tujuh tahun saya tinggal di Inggris itu adalah

seni & budaya korea 43


1. Oh Kyung-ah menciptakan taman ini dengan mendayagunakan sebuah wadah yang dibuang di pusat kota Seoul sebagai tempat bagi warga yang selalu bergegas di ibu kota. 2. Taman halaman di Klinik Joongang OB & GYN di Sokcho. Karena ruang tidak mendapatkan sinar matahari, maka tanaman seperti pakis, lumut dan hosta berbunga dipilih dengan cermat untuk desain. 3. Sebuah sketsa untuk Art Garden Rest Spot, yang diikutkan dalam Pameran Desain Kehidupan Seoul 2014 dengan dukungan Kelompok Finansial Hana.

1 © Wang Gyu-tae

Oh: Saya mendapat banyak pertanyaan mengenai bagaimana merawat tanaman dan menjaganya supaya tidak mati. Namun, tanaman bisa mati karena banyak sebab, bah­ kan ketika orang yang merawatnya tidak melakukan sesuatu yang salah Sekali pun. Anda tahu, tanaman yang tumbuh di kota itu diambil dari habitat aslinya. Artinya, tanaman mana

2

Pelarian dalam Ketenangan

Lim: Akhir-akhir ini Anda juga mengisi acara. Apa yang sangat ingin diketahui oleh peserta? 3

44 Koreana Musim Dingin 2019

© Monthly Gardening

masa paling sulit dalam hidup saya. Lim: Bagaimana rasanya belajar desain taman? Oh: Saya tidak tahu banyak mengenai tanaman, jadi tiba-tiba mendalami desain adalah sesuatu yang tidak mung­­ kin. Setelah berkonsultasi dengan pembimbing saya, saya memutuskan menjadi keryawan magang selama satu tahun. Saya bergabung dengan tim di Taman Kew di London, taman botani modern tertua di dunia, sebagai tukang kebun magang. Sampai hari ini, waktu satu tahun itu masih saya rasakan sebagai aset terbesar saya. Lim: Apakah sangat berbeda antara perancang taman dan tukang kebun atau perancang lanskap? Oh: Perancang taman punya peran yang sangat berbeda. Tugas perancang taman adalah mendesain semua ruang selain gedung, yang merupakan tanggung jawab arsitek. Mulai me­­ rencanakan jumlah semak dan tanaman, mempertimbangkan warna tanaman dan tekstur daun. Perancang taman mende­ sain sebuah ruang sehingga bahan konstruksi bangunan dan tanaman menciptakan harmoni yang indah. Jika perlu, ia bisa mengajukan permintaan khusus untuk pot atau patung yang sesuai dengan taman, dengan memberikan penjelasan khusus kepada tukang pot dan seniman. Bisa dikatakan perancang taman adalah seseorang yang menciptakan tampilan dan rasa keseluruhan suatu tempat dan sekitarnya.


pun tidak akan mampu hidup seperti yang tertulis dalam ensiklopedia. Bagi mereka yang ingin menanam tanaman di rumah, saya menyarankan mereka mencobanya tanpa perlu khawatir tanamannya akan mati. Lagi pula, harga tanaman sangat terjangkau di Korea. Lim: Sebagian besar penduduk tinggal di kota dan mereka tinggal di apartemen yang tinggi. Bukankah sedikit berlebihan menanam tanaman di lingkungan yang seperti itu? Oh: Sama sekali tidak. Tanaman sangat penting bagi kesehatan mental. Dilihat dari banyaknya komentar online yang mereka berikan akhir-akhir ini, sebagian besar orang memiliki emosi yang sangat kurang baik. Ahli kesehatan mental di seluruh dunia sangat merekomendasikan berke­ bun. Mereka mengatakan bahwa melihat tanaman yang baru muncul dari tanah menghasilkan hormon penyembuh di dalam tubuh, sama seperti hormon yang dihasilkan keti­ ka orang tua melihat anak-anaknya berjalan untuk pertama kali. Beberapa tahun lalu, Asosiasi Kesehatan Inggris bah­ kan menyarankan berkebun sebagai terapi yang secara resmi dianjurkan untuk pasien. Dalam beberapa kasus, bekerja di taman dua kali seminggu, dua jam sehari, lebih efektif da­ripada minum beberapa dosis obat pereda sakit atau obat penenang. Lim: Saya dengar Anda baru-baru ini mengerjakan taman atap sebuah pusat perbelanjaan besar di Provinsi Gyeonggi. Sepertinya taman atap makin populer belakangan ini. Oh: Pusat perbelanjaan itu baru saja dibuka, jadi masih banyak bahan bangunan di sekitarnya; tapi setelah kami menanam beberapa tanaman, mulai ada kupu-kupu dan lebah beterbangan di sana seolah selama ini mereka bersembunyi. Jadi, bukan berarti tidak ada kupu-kupu dan lebah di kota, tapi cara hidup kita yang membuat kita tidak pernah bertemu dengan mereka. Baru-baru ini, makin ban­ yak iklan mencoba menarik konsumen dengan cara mem­ buat taman. Area yang sangat memerlukan taman adalah wilayah yang padat di kota, dengan konsentrasi gedung-ge­ dung tinggi. Di Kabupaten Yangyang ini, populasinya sebanyak 20.000 orang. Secara kasar jumlah itu sama den­ gan jumlah penghuni di beberapa kompleks apartmen di kota besar. Menurut saya, orang-orang itu tidak selalu merasa nyaman secara emosional karena mereka tinggal bersama di tempat sempit. Walaupun hanya di lahan sisa yang tidak luas, membawa alam ke kota sangat penting bagi kesehatan semua orang.

“Bukan berarti tidak ada lagi lebah dan kupu-kupu di kota. Cara hidup kitalah yang membuat kita tidak pernah bertemu dengan mereka.” Rencana-rencana yang Menyenangkan

Lim: Apakah Anda pergi ke semua taman terkenal setiap kali mengunjungi sebuah kota? Oh: Ya. Ketika memesan tiket pesawat, saya bahkan mengusahakannya supaya bisa mampir di kota yang punya taman khusus. Sekarang, ketika saya ke Kenya, saya mampir sebentar di Thailand untuk mengunjungi Taman Tropis Nong Nooch. Beberapa kali saya mengunjungi lokasi wisata terke­ nal dan tidak menginjakkan kaki sama sekali ke pantai karena saya sibuk melihat-lihat taman. Ada juga taman-taman yang indah di Dubai, sebuah tempat yang sering saya pilih untuk berganti penerbangan. Lim: Apakah ada taman khusus di Korea yang Anda rekomedasikan untuk dikunjungi? Oh: Banyak sekali. Di antaranya Taman Tenang Pagi di Gapyeong, Provinsi Gyeonggi; Taman Jade di Chuncheon, Provinsi Gangwon; Taman Seomi di Kabupaten Namhae dan Oedo Batania di Geoje, Provinsi Gyeongsang Sela­ tan. Taman Seomi merupakan taman bergaya Inggris yang terdiri dari tanaman herbal, yang sangat jarang di Korea, jadi saya sangat sering pergi ke sana. Tentu saja, taman-ta­ man Korea tradisional juga sangat indah, seperti Soswae­ won di Damyang, Provinsi Jeolla Selatan atau Seyeonjeong di Bogildo, Kabupaten Wando dan Seoseokji di Kabupaten Yeongyang, Provinsi Gyeonsang Utara. Lim:Apakah Anda punya rencana khusus di masa depan? Oh: Tahun ini saya menghabiskan waktu terlalu banyak bekerja jauh dari rumah. Tahun depan saya ingin menikma­ ti lebih banyak waktu di Sokcho dan berada di taman saya lebih lama. Saya juga ingin meluangkan waktu memberi­ kan sentuhan akhir pada “Pondok,” kafe taman yang saya buka awal tahun ini. Saya ingin menulis buku untuk pem­ baca muda. Saya ingin membuat serial yang mengkombi­ nasikan cerita anak dengan pengetahuan dasar mengenai taman. Dalam hal pertamanan, lebih awal belajar lebih baik.

seni & budaya korea 45


Kisah Dua Korea

Melatih Kaum Muda untuk Reunif ikasi

Pendeta Ben Torrey melatih kaum muda Korea Selatan untuk secara efektif bersatu kembali dengan Korea Utara. Misinya, melalui doa dan kerja keras, melanjutkan hubungan yang sudah lebih dari 100 tahun antara keluarga Amerikanya dan Korea. Kim Hak-soon Jurnalis, Profesor Tamu Jurusan Media Universitas Korea Heo Dong-wuk Fotografer

46 Koreana Musim Dingin 2019


S

amsuryong yang terletak di ketinggian 950 meter di atas permukaan laut di pegunungan Taebaek di Provinsi Gangwon secara harafiah berarti Tiga Saluran Air, yaitu Sungai Hangang yang mengalir ke arah barat, Sungai Nakdonggang yang mengalir ke arah selatan dan Sungai Osipchon yang mengalir ke arah timur. Sedang­ kan sebuah anak sungai sedang dibuat untuk arah utara. Ini adalah proyek “Sungai Keempat” yang direncanakan oleh Pendeta Ben Torrey. Sungai Keempat itu melambangkan su­­ ngai yang mengalir dari selatan untuk penyatuan kembali semenanjung Korea. Pendeta Torrey meyakini bahwa warga Korea Sela­ tan yang berumur 20-30-an atau generasi milenial akan me­nyaksikan reunifikasi Korea. Namun mereka belum siap menerima reunifikasi, maka sejak thaun 2010 ia mengoper­ asikan proyek “Sungai Keempat” untuk mempersiapkan ge­­ nerasi reunifikasi itu dengan keterampilan dan pengetahuan. Proyek ini mulai di Pusat Samsuryong di Taebaek kota yang pernah menjadi pertambangan batu bara, sekitar 200 kilometer sebelah tenggara Seoul. Pusat Samsuryong itu mencakup Sekolah Sungai Kehidupan, sebuah SMP alternatif dan Pusat Pemuda Tiga Samudra. Sekolah itu dikelola oleh istri pendeta Torrey, Liz dan berfokus pada pembinaan “agen rekonsiliasi dan reunifika­ si”. Para siswa diajari pentingnya kerja sama dan membantu orang lain, permulaan kebiasaan yang signifikan dari kom­ petisi yang mengerahkan seluruh tenaga di sekolah stan­ dar. Pusat Pemuda itu disediakan untuk siswa SMP sampai mahasiswa dengan bertujuan untuk menumbuhkan semangat dan membangun kebugaran fisik mereka. “Paling penting untuk melatih kaum muda sebagai pemim­­pin masa depan yang akan dibutuhkan ketika Korea muncul di komunitas internasional sebagai negara yang kuat dan bersatu,” kata pendeta Torrey. “Tentu saja Korea Selatan penuh dengan pemuda-pemu­ di cerdas. Namun sayangnya, mereka tidak hanya kurang tertarik, tetapi juga tidak memahami pemuda Korea Utara, ”lanjutnya. “Bahkan setelah kedua Korea bersatu, ber­­bagai masalah akan muncul dalam proses penyatuan dua ma­­ syarakat yang berbeda atau risiko akan timbul dari perbe­

Pendeta Ben Torrey menamakan dirinya Dae Youngbok setelah ayahnya, Pendeta Reuben Archer Torrey III, menyebut dirinya Dae Chon-dok. Pendeta Torrey dan istrinya pindah ke Korea pada tahun 2005. Saat ini, ia fokus pada pengembangan “agen rekonsiliasi dan penyatuan” sambil melaksanakan proyek “Sungai Keempat”, dalam persiapan untuk penyatuan Korea.

daan pandangan dunia, pandangan nilai, budaya dan peng­ gunaan bahasa. Kita perlu melakukan persiapan bulat mulai sekarang seperti kita telah belajar dari penyatuan Jerman serta runtuhnya Tembok Berlin. Kita harus mempersiapkan masa­lah tersebut secara hati-hati. Proyek Sungai Keempat hanya untuk misi itu.”

Warisan Keluarga

Pendeta Torrey adalah generasi keempat dari keluarga Tor­ rey yang terhubung dengan Korea. Pendeta Reuben Archer Torrey, Sr.(1856-1928), kakek buyutnya, mengunjungi Korea ketika dia bekerja misionaris di Tiongkok. Pende­ ta Reuben Archer Torrey, Jr.(1887-1970), kakeknya, juga seorang misionaris di Tiongkok membantu merekonstruk­ si gereja-gereja Korea setelah Perang Korea. Pendeta Reu­ ben Archer Torrey III, ayahnya, bekerja di gereja Anglikan dan membangun kembali Seminari Teologi Santo Mikhael, pendahulu Universitas Gereja Anglikan di sebelah barat daya Seoul. Ia mendirikan Biara Yesus, 6 kilometer dari Tae­ baek untuk menciptakan komunitas pertapaan. Pendeta Ben Torrey adalah anggota Gereja Syro-Chal­ dean di Amerika Utara, ayahnya adalah seorang pendeta di Gereja Anglikan, kakeknya adalah pendeta Gereja Presbi­ terian dan kakek buyutnya adalah pendeta Gereja Kongre­ gasional. Pendeta Torrey dilahirkan di provinsi Massachusetts Amerika Serikat pada tahun 1950 dan dibesarkan di Korea dari umur 7 sampai 19. Ia tinggal di tenda militer besar sela­ ma 6 bulan dengan 10 pemuda Korea selama mereka mem­ bantu ayahnya sampai pertama kali gedung Biara Yesus dipersembahkan pada tahun 1965. Ayahnya membeli tanah di luar Taebaek menurut saran umat jemaat Gereja Anglikan setempat.

Panggilan

Pendeta Torrey pulang ke Amerika Serikat pada tahun 1969 untuk kuliah. Setelah lulus universitas, ia datang kembali ke Korea dengan istri pada tahun 1978. Meskipun memban­ tu merancang dan membangun bangunan di daerah Sam­ suryong selama setahun, ia tidak berniat untuk menetap di Korea. Pada tahun 1979 ia pulang ke Amerika dan bekerja sebagai ahli IT di perusahaan swasta Aetna Life and Casual­ ty dan Andersen Consulting. Pada tahun 1994 ia mendirikan The King’s School, sebuah sekolah misionaris di Connecti­ cut dan menjabat sebagai dekan sekolah maupun direktur pembinaan sekolah sampai tahun 2004. Inspirasi untuk Sungai Keempat muncul di upacara pemakaman ayahnya, yang lebih dikenal dengan nama Kore­

seni & budaya korea 47


Kurikulum Sekolah Sungai Kehidupan mencakup studi

Korea Utara selain mata pelajaran sekolah menengah regu­ ler. Sekolah ini mengajarkan perbedaan bahasa, sejarah dan sistem sosial antara kedua Korea. Oleh karena itu perpus­ takaan penuh dengan buku-buku tentang Korea Utara. Pendeta Torrey mengatakan sistem pendidikan Korea Selatan yang sangat kompetitif tidak cocok untuk mema­ hami dan berempati pada kondisi Korea Utara. “Di masa depan,” katanya, “orang yang dapat memahami dan ikut merasakan sakit orang lain dan yang bisa berkomunikasi dengan orang yang terbelakang akan dapat menjadi pemim­ pin. Kami mengajarkan bagaimana cara menumbuhkan semangat kerja sama dan menbangun kerja sama daripada bersaing. Unsur yang paling dasar reunifikasi Korea adalah kerja sama.” Kerja juga merupakan komponen kurikulum utama se­ suai dengan ajaran St.Benediktus yang menekankan perlun­ ya “bekerja dan berdoa atau ora et labora (bahasa Latin)” Setiap Rabu pagi, banyak tugas menunggu, baik di Sekolah Sungai Kehidupan, Pusat Pemuda Tiga Samudra dan Peternakan Tiga Samudra, maupun Biara Yesus yang berfungsi sebagai tempat tinggal Pendeta Torrey serta

1

2

anya, Dae Chon-dok, pada tahun 2002. Seorang teman lama mendiang mengatakan, “Ada empat sungai di Taman Eden tetapi hanya tiga sungai di Samsuryong.” Pendeta Torrey langsung mengerti perkataan itu dan me­­ nyadari Biara Yesus perlu sungai keempat yaitu air kehidupan yang mengalir ke arah Utara. Ia masih ingat ayahnya berdoa selama 20 tahun untuk mendirikan sebuah fasilitas pelatih­ an kaum muda untuk menyiapkan reunifikasi semenanjung Korea. Setelah upacara pemakaman, dia menyadari betapa eratnya hubungan antara impian ayahnya dan diri sendiri. Ia merasa semangat yang membara untuk memenuhi impian anyahnya. Bertekad untuk mempersiapkan pembukaan Korea Utara, ia memberitahui pihak Biara Yesus bahwa ia akan ber­ gabung dengan komunitas Biara Yesus pada tahun 2003. Biara Yesus segera menunjuknya sebagai direktur Pusat Pemuda Tiga Samudra. Pendeta Torrey dan istrinya datang kembali ke Provinsi Gangwon pada tahun 2005. Dua putra dan satu putri mereka tetap tinggal di Amerika Serikat.

Kelas dan Tugas

“Kami mengajarkan bagaimana menumbuhkan semangat kerja sama dan bagaimana membangun kerja sama daripada bersaing. Unsur yang paling dasar reunifikasi adalah kerja sama.” 48 Koreana Musim Dingin 2019


3

1. Pastor Torrey berbicara di depan kelas di ruang kapel di Pusat Samsuryeong di Taebaek, yang sebelumnya merupakan kota pertambangan batu bara yang sedang terkenal di Provinsi Gangwon. 2. Pendeta Torrey menjelaskan kepada siswa arti daerah aliran sungai Samsuryeong (“Tiga Saluran Air”), sumber aliran yang mengalir ke bawah ke arah timur, barat dan selatan. 3. Biara Yesus, 10 menit berkendara dari Pusat Samsuryeong merupakan komunitas persekutuan Kristen interdenominasi yang dibangun oleh Pendeta Reuben Archer Torrey III.

sebagai komunitas pertapaan antar-denominasi Kristen. Ini bertujuan untuk mengajarkan bagaimana cara memeliha­ ra ternak kepada petani Korea Utara. Tugas tersebut meli­ puti pembersihan, perkebunan, pemangkasan rumput liar dan cabang-cabang pohon, penyemaian rumput, pencucian pakaian dan sebagainya. Peternakan itu membentang di lahan seluas sekitar 500.000 meter persegi. Lahan itu dipinjam oleh Pende­ ta Reuben Archer Torrey III dari Dinas Kehutanan Korea. Peternakan itu menjadi ruang kelas terbuka sehingga alam

dan kerja menyatu secara harmonis. Pendeta Torrey percaya bahwa orang belajar bagaimana cara bekerja sama melalui kerja. Ketika masih remaja, ia memotong kayu selama empat tahun untuk membantu ayahnya membangun Biara Yesus dan hari ini ia masih membelah kayu bakar. Sekitar 60 orang tinggal bersama di Biara Yesus. Pengun­ jung dapat memesan kunjungan dari Senin sampai Rabu. Di sana mereka akan bekerja dan makan bersama, bermeditasi lebih dari tiga kali sehari, dan berdoa untuk orang lain bukan untuk diri mereka sendiri. Para penunjung harus menyerah­ kan ponsel ke Biara Yesus. Biaya akomodasi tidak ada karena Biara Yesus didanai oleh sumbangan. Tentu saja pengunjung bisa memberi persembahan sesuai keinginannya. Pada Mei 2019, Pendeta Torrey mulai memperluas komunitas Samsuryong dan saat ini ia mengumpulkan uang untuk memperluas proyek Sungai Keempat. Ia percaya bahwa Tuhan akan memberinya sebanyak yang dibutuhkan. Ia lebih khawatir tentang konflik dan perpecahan di dalam gereja dan masyarakat Korea Selatan. Ia menegaskan “Kita harus menyatukan kembali masyarakat Korea Selatan ter­ lebih dahulu demi reunifikasi nasional.”

seni & budaya korea 49


JATUH CINTA PADA KOREA

U

ngkapan “sebuah negara yang dekat tapi jauh” sudah lama dipakai Korea dan Jepang ketika mereka menggambarkan satu sama lain. Seniman Hitomi Sakabe sangat setu­ ju. Dua negara ini, menurutnya, berbeda dari negarane­gara yang bertetangga lainnya, dan tidak ada lagi yang lebih menarik selain karakter nasionalnya. Perbedaan ini merupakan alasan utama menga­ pa Sakabe tidak pernah kembali ke Jepang meskipun Jepang memiliki sejarah lukisan modern yang lebih panjang dan mendapat perhatian publik lebih besar dalam seni murni dibanding Korea. “Dibanding Korea, masyarakat Jepang jauh lebih stabil dan terarah, yang hampir tidak pernah berubah. Korea lebih dinamis dan penuh vitalitas,” katanya. “Sementara Jepang lebih unik dengan caranya sendiri, Korea lebih terbuka terhadap dunia dan masyarakat­ nya bisa hidup bersama orang asing dengan lebih baik dibanding orang-orang Jepang.” “Saya merasa Jepang terlalu tertutup dan kolot,” katanya, dan menambahkan bahwa jika tinggal di Jepang, ia mungkin tidak bisa bekerja. “Sebagian besar perempuan Jepang menerima status quo dan kurang termotivasi bekerja dibandingkan perempuan Korea.”

Akar yang Semakin Dalam

Karena perasaan campur aduk masyarakat Korea terha­ dap Jepang, termasuk kebencian yang mendalam, orang Jepang yang tinggal di Korea mungkin merasa tidak nyaman. Namun, setelah tinggal di Korea lebih lama dibanding di Jepang, Sakabe baik-baik saja. Ia sangat mengerti Korea dan kini ia justru merasakan kejutan budaya ketika kembali ke kampung halamannya.

Sakabe lahir di Tokyo dan tumbuh di sebuah kota kecil di pesisir dekat Nagoya di bagian tengah Jepang. Ia datang ke Korea pada tahun 1996 bersama orang tuanya ketika duduk di kelas tujuh. Ia lulus dari Seko­ lah Menengah dan Sekolah Menengah Atas Seni Sun­ hwa di Seoul, mendalami lukisan dan desain modern, dan memperoleh gelar doktor dari Universitas Nasi­ onal Seoul dalam bidang ilmu desain. Sakabe menikah dengan laki-laki Korea, seorang pekerja IT yang ditemuinya ketika kuliah dan mereka mempunyai dua anak yang dilahirkan pada tahun 2010 dan 2015 masing-masing. Setelah kelahiran anak per­ tamanya, Sakabe mulai menggambar ilustrasi untuk buku anak-anak. Ia sudah menghasilkan banyak buku bergambar dan mengadakan pameran lukisan di bebe­ rapa negara. Ia lebih menyukai garis-garis lembut yang dibuatnya dengan tangan dibanding garis lurus de­­ngan bantuan komputer dan karya seninya menonjolkan sosok utuh dan hangat dan pemandangan penuh warna yang membangkitkan memori masa kecil. Sakabe menyebut dirinya seorang “pelintas batas” atau “orang pinggiran” dan mengatakan era sekarang memerlukan banyak ketrampilan. “Dalam masa yang memerlukan kemampuan beragam, saya mencoba memperluas cakupan pekerjaan yang bisa saya laku­ kan. Masa depan yang tidak pasti memaksa saya men­ jajal tantangan-tantangan itu.” “Seandainya saya seorang pelukis, perancang, atau ilustrator penuh, tentu akan lebih sederhana karena saya hanya memilih tema dan mempelajari­ nya dari aspek yang berbeda. Karena saya tidak bera­ da di posisi yang bisa berkonsentrasi pada satu hal saja, saya menyeberang ke area yang berbeda untuk

Pelintas Batas Hitomi Sakabe tiba di Korea ketika masih remaja dan sampai sekarang ia jauh dari kampung halamannya, Jepang. Selama berada di Korea, seniman yang juga berprofesi sebagai dosen ini telah melintasi banyak batas dan selalu berhasil di setiap situasi. Choi Sung-jin Editor Eksekutif, Korea Biomedical Review Heo Dong-wuk Fotografer

50 Koreana Musim Dingin 2019


Hitomi Sakabe, yang mengajar desain grafis di Artech College Universitas Keimyung, juga bekerja sebagai ilustrator untuk buku anak-anak. Libur semester dan jam setelah sekolah dikhususkan untuk membuat lukisan dan ilustrasi.

seni & budaya korea 51


mengembangkan diri saya.” Sakabe mengatakan tema dan minat utama­nya adalah “menyimpan kenangan,” atau menangkap momen saat ini. Orang dan sedikit mengenai hidup sehari-hari, seperti corak pakaian, adalah subyek favoritnya. Ia adalah dosen di Departemen Desain Komunikasi Visual Universitas Keimyung di Daegu, yang disebutnya “Nagoyanya Korea.” Dua kota itu memiliki kesamaan peran sejarah dan industri bagi negara masing-masing. “Ketika di kampus, saya men­ coba mengajar mahasiswa saya sebaik-baiknya,” kata Sakabe. Liburan panjang, libur antarsemester, dan waktu setelah jam kantor dipakainya untuk melukis dan mengerjakan ilustrasi. Seniman favoritnya ada­ lah Henri Matisse. Ia menyukai ambien riang dan menyenangkan dalam karya pelukis Prancis ini.

Realitas yang Layak Direnungkan

Saat ini, hubungan antara Korea dan Jepang berada di titik rendah karena perbedaan pendapat mengenai perbuatan Jepang pada masa perang. Ini menjadi ma­­ salah dalam hubungan kedua negara karena memori yang menyakitkan dan amarah yang membara tidak akan pernah bisa terkubur begitu saja. Ketika Sakabe belajar sejarah Korea bersama teman-teman Korea di bangku sekolah menengah atas, baik guru maupun siswa menyebut orang-orang Jepang dengan “Japs.” Menurutnya, Korea dan Jepang hampir tidak bisa menganggap negara asing biasa saja satu sama lain karena masa lalu mereka. “Banyak orang Jepang, ter­ masuk saya, yang tinggal di Korea lama, pasti merasa berdosa.” Sakabe mengakui ia kadang-kadang merasa se­­ perti orang asing di negara yang sudah ditingggali­ nya selama lebih dari dua dekade ini. “Tidak semua­ nya begitu, tapi banyak orang Jepang menganggap orang Korea kasar, sementara orang Korea mengang­ gap orang Jepang menyembunyikan perasaan me­­ reka yang sebenarnya. Namun, menurut saya, baik orang Korea maupun Jepang adalah orang-orang yang menarik, walaupun dengan cara yang berbeda.” Ia mencontohkan hubungan antara generasi tua dan ge­­ nerasi muda di kedua negara. “Misalnya, orang Korea menganggap umur sangat penting. Di Korea, pemilik toko yang lebih tua sering kali tidak memperlakukan

52 Koreana Musim Dingin 2019

pengunjung yang lebih muda dengan baik, sedang­ kan di Jepang, bahkan profesor pun memperlakukan mahasiswanya dengan baik.” Meski demikian, Sakabe merasa beruntung anak-anaknya terlahir sebagai warga negara Korea, yang menurutnya menjadi anak-anak yang lebih per­ caya diri, membumi dan positif dalam merespon peru­ bahan dibanding anak-anak Jepang. Sakabe sudah terbiasa dengan cara hidup orang Korea sehingga kadang-kadang ia merasa canggung ketika mengun­ jungi Jepang. “Masyarakat Jepang punya normanya sendiri dan orang-orang cenderung merasa malu keti­ ka mereka menyimpang dari standar ini. Dalam hal ini, Korea cenderung lebih kosmopolitan.”

Sama tapi Berbeda, Berbeda tapi Sama

Ketika ditanya mengenai ketegangan diplomatik antara kedua negara saat ini, Sakabe mengatakan mas­ alahnya tidak bisa diselesaikan hanya melalui politik saja. Beberapa orang Korea yang dikenal­nya bertan­ ya kepada anak-anaknya negara mana yang mereka dukung dalam pertandingan sepak bola antara Korea melawan Jepang, tapi Sakabe dengan empatik me­­ ngatakan hubungan internasional tidak seperti olah­­raga yang hanya menghasilkan satu pemenang saja. “Kita tetangga yang hidup bersama. Orang bisa saja pindah ke tempat lain jika tidak suka dengan lingkung­­annya, tapi negara tidak bisa begitu.” Sakabe mengatakan ia tidak punya rencana besar di masa depan tetapi berharap bisa melanjutkan apa yang dikerjakannya sekarang. “Saya sudah melintasi berbagai batas dan akan melakukannya lagi di masa yang akan datang, yang bisa saja merugikan saya,” katanya. “Sebaliknya, posisi saya sebagai pelintas batas bisa menjadi berkah bagi saya. Kadang-kadang, kita melihat orang-orang yang kurang diperhitungkan justru menjadi orang sukses. Saya menganggap diri saya salah satu dari mereka.” “Kami semua ingin terhubung dengan orang lain dan membentuk komunitas, besar atau kecil. Kami ingin orang lain menyadari kehadiran kami. Kami berbeda tapi sama, sama tapi berbeda,” tulis Sakabe dalam sampul kumpulan esai bergambarnya yang berjudul Tahap demi Tahap, Kehidupan Terus Berjalan.


1

2

3

1, 2, 3. Buku bergambar “Waktu Hebat di Kota Mama,� yang diterbitkan pada musim panas 2019, menggambarkan anak-anak Sakabe menikmati tempat orang tuanya di Jepang. Ingatan mereka disampaikan melalui foto-foto hangatnya.

“Kita tetangga yang hidup bersama. Orang bisa saja pindah ke tempat lain jika tidak suka dengan lingkungannya, tapi negara tidak bisa begitu.�

seni & budaya Korea 53


Di aTaS JaLaN

Miryang

Kota Lama dan Universal Peran penting Miryang sebagai pusat perdagangan dengan sejarahnya yang panjang membuatnya tidak mudah dilupakan. Di sekitar sungai dengan nama yang sama dengan kota ini, artefak dari masa Paleolitikum dan Zaman Besi dan reruntuhan padepokan para cendekiawan Konfusius menjadi daya tarik bagi banyak pengunjung. Lee Chang-guy Penyair dan Kritikus Sastra Ahn Hong-beom Fotografer

Telaga Wiyang, di bagian barat laut Miryang, adalah bendungan seluas 63.000 m² secara historis berasal dari periode Silla, berguna untuk menyediakan air bagi para petani. Bendungan itu kehilangan fungsinya ketika Bendungan Gasan dibangun di dekatnya pada tahun 1940-an, tetapi menjadi tujuan wisata yang populer, karena pemandangannya yang indah di sekitar Paviliun Wanjae, dibangun pada tahun 1900.

54 Koreana Musim Dingin 2019


seni & budaya korea 55


D

alam adegan pembuka film “Sinar Matahari Rahasia” yang ditayangkan pada tahun 2007, tokoh protagonisnya tanpa sadar membuka per­ cakapan yang membuat kurang nyaman dengan bertanya, “Tuan, tempat seperti apakah Miryang itu?” “Miryang itu tempat seperti apa? Baiklah, menurut saya… Keadaan ekonominya tidak bagus, dan … tempat ini menopang Partai Kebabasan Korea (konservatif), dan … tempat ini dekat dengan Busan, dan kami memakai dialek Busan, dialek yang sedikit cepat. Dulu, populasinya seki­ tar 150.000 jiwa, tapi sekarang menurun menjadi sekitar 100.000 orang…” “Apakah Anda tahu arti nama ‘Miryang’?” “Apa artinya? Siapa yang tinggal di sini karena nama itu? Kami tinggal di sini begitu saja.” “Dalam karakter bahasa Cina, suku kata pertama­ nya berarti ‘rahasia’ dan suku kata kedua bermakna ‘sinar

56 Koreana Musim Dingin 2019

matahari.’ Bagus, bukan?” Tokoh protagonis dan anak laki-lakinya yang masih kecil itu berada di bengkel di luar kota Miryang, kampung halaman almarhum suaminya. Mobilnya sedang diperbaiki. “Anda sedang berwisata?” “Tidak. Saya akan tinggal di Miryang.” Ini film yang sangat menyedihkan: anak laki-lakinya kemudian diculik dan dibunuh. Sebuah tempat dulu sekali orang-orang berkumpul dan membentuk sebuah desa; sebuah tempat yang kondisinya sangat mempengaruhi nasib manusia; sebuah tempat yang memberikan harapan tetapi dapat juga menghadirkan rasa sakit yang luar biasa yang memicu keinginan melarikan diri ketika ada kesempatan; dan sebuah tempat yang menjadi tempat tinggal banyak orang tanpa mampu beralih ke tempat lain. Dengan makna ini, Miryang adalah nama semua kota. Jeon Do-yeon, yang memainkan tokoh protagonis


2

1. Yeongnamnu, salah satu paviliun tradisional yang tinggi dan tertua di Korea, berdiri di tebing tinggi yang menghadap ke Sungai Miryang. Banyak penyair, pelukis dan ahli kaligrafi terkenal dari Dinasti Joseon menyanyikan pujian tentang pemandangan sekitarnya, yang ditulis di atas plakat yang digantung di paviliun.

1

itu, memenangkan penghargaan sebagai aktris terbaik dalam Festival Film Cannes ke-60. Komentar mengenai kemampuannya, seperti “Wow, membuat saya merinding,” masih bisa ditemukan di artikel lama mengenai film yang disutradarai oleh Lee Chang-dong ini.

Kota di Pinggir Sungai

Miryang, sekitar 50 kilometer di bagian utara Busan, ter­ letak di sepanjang dua sungai. Sungai Miryang mengalir ke arah selatan melalui pusat kota. Sungai ini berbelok beber­ apa kali ke arah timur sebelum bertemu dengan Sungai Nakdong, yang mengalir di sepanjang perbatasan selatan Miryang, dan pertemuan keduanya mengalir ke laut. Karak­ ter bahasa Cina ‘yang’ dalam nama Miryang berarti sinar matahari. Namun, ketika dipakai dalam nama sungai, karak­ ter ini berarti bagian utara aliran air. Gunung dan bukit terjal mewarnai keadaan topografi bagian utara Miryang, dan di

2. Berdiri di samping Yeongnamnu adalah Chimnyugak, sebuah bangunan yang merupakan bagian dari wisma yang dulu terletak di sini. Terhubung ke paviliun oleh koridor yang melewatinya.

bagian selatan pusat kota, lembah di sekitar Sungai Miryang merupakan lahan yang sangat subur. Catatan tertulis tertua mengenai Miryang sebagai nama tempat ditemukan di abad ke-3 dalam teks sejarah Cina “Catatan Tiga Kerajaan” (Sanguozhi). Buku ini menyebut­ kan sebuah negara bernama Miri, yang merupakan transkrip­ si Cina lama dari kata kuno bahasa Korea mireu, yang arti­ nya air atau naga, seperti dewa air. Oleh karenanya, inter­ pretasi “Miryang” sebagai “sinar matahari rahasia,” seperti yang dilakukan oleh sutradara Lee Chang-dong merupakan pandangan puitis personalnya mengenai nama itu. Di sisi Sungai Miryang, dapat pula ditemukan jejak manusia dari ribuan tahun lalu. Di bukit yang ada di sebe­ lah utara Bendungan Miryang, yang selesai dibangun pada tahun 2001, sisa-sisa situs Paleolitikum dari 27.000 tahun lalu ditemukan selama pembangunan bendungan. Temuan ini secara dramatis memajukan waktu ditemukannya manu­

seni & budaya korea 57


sia yang menghuni Miryang dari yang sebelumnya diyakini pada abad ke-3 sebelum Masehi. Situs Neolitikum dan Zaman Besi dapat ditemukan berserakan di daerah bekas aliran Sungai Miryang dan di desa Geumcheon juga dapat dijumpai sisa reruntuhan situs agrikultur Zaman Besi. Perlu waktu sepuluh ribu tahun bagi penduduk lokal untuk berpindah dari tempat tinggal­ nya di gunung-gunung menuju ke tanah subur di dekat su­­ ngai. Rumah-rumah mereka berada di bagian atas tanggul alam dan lahan yang menghubungkannya. Mungkin, keti­ ka musim semi tiba, orang-orang dari Zaman Besi meng­ olah tanah dengan bajak batu dan menanam biji-bijian, sor­ ghum dan semacamnya; dan ketika musim gugur datang, me­­nyimpan hasil panen mereka ke dalam tembikar bermotif sisir untuk persediaan selama musim dingin. Dari jejak kehidupan mereka dari masa lalu, yang mera­ sakan pengalaman manis dan pahit sebelum kami, lahirlah “sinar matahari rahasi” ini. Buah pemikiran dan nilai yang dipertahankan oleh nenek moyang kami sudah lama hilang.

Jejak Peradaban Zaman Besi

Dengan melihat kerangka perahu yang diambil dari bantaran sungai, sangat mungkin masyarakat zaman dulu memancing di sungai. Mesin kapal, yang dijalankan dengan tenaga angin dan dibuat dengan berbagai peralatan, menunjukkan penca­ paian terakhir dalam peradaban dan teknologi saat itu. Dari waktu ke waktu mereka memakai kapal di Sungai Nakdong. Masyarakat yang punya jiwa progresif dan petualang ini menjalin hubungan dengan wilayah Garak (atau Geumgwan Gaya, yang artinya “Mahkota Emas Gaya”), yang didirikan di wilayah Gimhae di bagian hilir Sungai Nakdong. Sela­

ma 500 tahun mereka menggunakan peralatan dari besi di semenanjung Korea sebagai bagian dari Konfederasi Gaya. Di antara desa-desa yang berada di dekat Sungai Mi­­ ryang terdapat dua desa yang bernama Geumgok, yang arti­ nya “lembah besi.” Di kedua desa ini bisa ditemui bukti-buk­ ti pembuatan peralatan dari besi. Terak, yang merupakan sisa proses pengolahan besi, membentuk bukit di salah satu desa Geumgok itu. Fasilitas untuk seluruh proses produksi besi, dari peleburan sampai pembuangan limbah, ditemukan di desa Geumgok yang lain. Penemuan akses sungai menunjukkan bahwa Miryang mengekspor besi ke wilayah di sekitarnya, dan bahkan ke Jepang dan Cina. Dengan demikian, Miryang punya peran aktif sebagai satu dari 12 wilayah bagian Byeonhan, sebuah konfederasi suku yang ada sampai abad ke-4 di bagiar hilir Sungai Nakdong. Masyarakatnya mengikat lempengan besi yang sudah diolah dengan seutas tali dan menggunakan­

1. Kuil Bueun (Kuil Rahmat Ayah), di kaki Gunung Cheontae, diduga didirikan sekitar tahun 200 untuk mengenang Raja Suro, pendiri Geumgwan Gaya dan ayah dari Raja Geodeung. Kuil itu menghadap ke jembatan Nakdong dan Samnangjin, yang membentang di Sungai Miryang yang berliku. 2. Kuil Maneo (Kuil Sepuluh Ribu Ikan), dianggap sebagai situs suci agama Buddha oleh penduduk Miryan. Konon didirikan oleh Raja Suro. Di daerah sekitar terdapat pagoda batu tiga lantai yang mungkin dibangun pada abad ke-12. 3. Lereng di dekat Kuil Maneo dipenuhi dengan bebatuan yang disebut maneoseok, secara harfiah berarti “sepuluh ribu batu ikan.” Menurut legenda, sekumpulan ikan yang tak terhitung jumlahnya yang mengikuti putra Raja Naga diubah menjadi batu. Area ini telah ditetapkan sebagai Monumen Alam No. 528 sebagai pengakuan atas nilai-nilai akademik dan pemandangannya.

1

58 Koreana Musim Dingin 2019


Sebuah tempat yang kondisinya sangat mempengaruhi nasib manusia; sebuah tempat yang memberikan harapan tapi juga menghadirkan rasa sakit yang luar biasa yang memicu keinginan melarikan diri.

2

nya sebagai mata uang. Byeonhan akhirnya tumbuh menja­ di Konfederasi Gaya, yang dikenal sebagai “kerajaan besi.” Ketika dijajah oleh Kerajaan Silla, Gaya berperan membuat Silla menjadi kerajaan yang sangat kuat.

Warisan Ajaran Buddha

Seperti di bagian lain semenanjung Korea, kuil-kuil Bu­­ddha dapat ditemukan di gunung-gunung yang indah di sekitar Miryang. Di antaranya, Kuil Bueun dan Kuil Maneo, yang punya tempat khusus di hati masyarakat setempat. Kuil Bueun menghadap ke bawah ke Sungai Miryang, yang berkilau di bawah matahari tenggelam, sedangkan Kuil Maneo memiliki pemandangan yang tak akan mudah dilupakan berupa barisan panjang batu hitam yang berjejer rapi di lembah di depan kuil. Penduduk setempat menganggap kedua kuil ini sebagai kuil Buddha yang sakral dari periode Gaya. Buku-buku sejarah mengatakan bahwa Gaya secara resmi menganut ajaran Buddha sekitar abad ke-5, sebelum kerajaan Silla, ketika Kuil Hwanghu dibangun sebagai tem­ pat berdoa memohon kebahagiaan di akhirat bagi Ratu Heo Hwang-ok (Heo Hwanghu, yang artinya “Permaisuri Heo”), permaisuri Raja Suro, pendiri Geumgwan Gaya (43–532). Namun, sejarah lisan mengatakan mereka memeluk ajaran Buddha lebih awal, yaitu pada saat pendirian Gaya. Dika­ takan, “Ketika Raja Suro membangun Kuil Maneo, para biara yang ikut ambil bagian dalam upacara itu menginap di Kuil Bueun.” Jadi, Gaya mungkin sudah mengikuti ajaran Buddha pada abad pertama ketika Ratu Heo tiba dari India. Tidak ada keraguan bahwa ajaran Buddha Gaya berkon­ tribusi sangat besar pada kebesaran Silla untuk membuka dunia baru melalui ajaran Buddha. Sehubungan dengan asal dan pengaruhnya, perayaan untuk memperingati budaya Gaya diadakan sejak periode Silla sampai Dinasti Joseon. Hal yang sama dilakukan juga saat ini. Menurut legenda, ketika Ratu Heo, yang dipercaya

3

sebagai putri India, tiba di Gaya untuk menikah dengan Raja Suro, ia membawa batu yang digunakan untuk membangun Pagoda Batu Pasa. “Memorabilia Tiga Kerajaan” (Samguk yusa) mengatakan, “Batu-batu itu tidak dapat ditemukan di wilayah ini.” Ketika batu pasa di makam Ratu Heo dipindahkan ke Seoul pada bulan Oktober 2019 dalam rangka pameran khusus “Sukma Gaya: Besi dan Tali” di Museum Nasional Korea, yang dijadwalkan sampai tanggal 1 Maret 2020, di­­ adakan ritual khusus berkaitan dengan pemindahan batu itu.

Jalan Nasional Utama

Yeongnam Daero, atau Jalan Raya Yeongnam, merupa­ kan rute jalan darat utama Dinasti Joseon. Jalan ini meng­ hubungkan ibu kota, Hanyang (sekarang dikenal sebagai Seoul), dengan Dongnae di bagian tenggara semenanjung Korea. Miryang menjadi tempat persinggahan di jalan ini, yang menjadi alternatif selain rute laut yang digunakan sela­ ma seribu tahun. Ketika sistem penyatuan wilayah dibuat, jaringan jalan dibangun untuk menghubungkan kota dan kabupaten, dan beberapa di antaranya bahkan sampai ke Cina. Ini menun­ jukkan keadaan hubungan internasional saat itu, khusus­ nya jatuhnya Dinasti Yuan dan menguatnya Jepang. Bajak laut dari Jepang marak di sepanjang pesisir Korea, hampir melumpuhkan transportasi air Joseon yang sudah digunakan sejak lama. Jadi, usaha Joseon untuk mengamankan jaringan jalan ini lahir karena kebutuhan.

seni & budaya korea 59


Kemudian, selama invasi Jepang sampai akhir abad ke­16, jaringan jalan lintas daerah menjadi jalur serangan. Pasukan Jepang mendarat di pelabuhan Busan dan men­ duduki Benteng Dongnae dan dari sana bergerak ke utara melewati Yangsan dan akhirnya ke Miryang, tempat pasu­ kan ini menghadapi tentara Joseon di Jagwongwan, sebuah bangunan pertahanan yang terletak di tempat yang seka­ rang dikenal sebagai Samnangjin. Tempat ini merupakan pos transportasi dan militer penting di jalan antara Dong­ nae dan Hanyang. Pasukan Korea sebanyak 300 orang tidak sebanding dengan pasukan musuh sebanyak 10.000 orang, yang terus menyerang di sepanjang jalan ini menuju ibu kota dalam 18 hari. Peristiwa lain bisa dilihat dalam kisah biara Samyeong­ dang (1544–1610), penduduk asli Miryang, yang memimpin sekitar 2.000 tentara biara dan ikut berperang memperebut­ kan Benteng Pyongyang. Setelah perang, ia menjadi utusan khusus Raja Seonjo dan bepergian ke Edo, yang sekarang dikenal dengan nama Kyoto, tempatnya mengadakan per­ janjian damai dengan Tokugawa Ieyasu, pendiri keshogun­ an yang memerintah Jepang dari tahun 1603 sampai 1867. Dalam perjalanan kembalinya ia membawa serta 3.000 tawanan perang. Patung Samyeongdang, yang juga dike­ nal sebagai Master Agung Seosan Samyeong, kini berdiri di jalur menuju tembok kota Miryang lama, menghadap ke

Pelabuhan Oujin di bagian hilir Sungai Miryang adalah pusat transportasi utama untuk kapal-kapal yang membawa upeti hingga Dinasti Joseon. Pelabuhan itu memiliki gudang tempat biji-bijian dikumpulkan sebagai pajak. Ketika sebuah kereta api dibangun pada awal abad ke-20, pelabuhan itu menjadi penyeberangan feri.

situs Kunjungan di Miryang Telaga Wiyang 1

1

2 Gunung Jaeyak

3 Kuil Pyochung

Sungai Miryang Paviliun Yeongnam 2

Bendungan Miryang

3

4 Pagoda batu di Kuil Maneo

Kuil Bueun 4

5

Seoul 350km Miryang

5 Jembatan Samnangjin

Sungai Nakdong

60 Koreana Musim Dingin 2019


Raya Yeongnam melahirkan banyak pusat aktivitas di Sam­ nang­ri. Kantor­kantor pemerintah, gudang, tempat minum minuman keras, losmen dan toko­toko mulai bermuncul­ an untuk memenuhi kebutuhan para petugas dan pemilik kapal. Namun, keadaan itu berakhir pada tahun 1905 ketika jalur kereta Seoul­Busan dibuka, yang sebagian besar bera­ da di sepanjang Jalan Yeongnam Utama, dan sebuah stasiun dibangun di dekat Samnangjin. Toko­toko itu pindah, men­ cari tempat yang dekat dengan jalur kereta, dan Samnang­ri menjadi desa pelabuhan biasa lagi. Pusat perdagangan baru terbentuk di sekitar Stasiun Samnangjin. Tempat ini muncul dalam novel modern Korea pertama, “Mujeong” yang ditulis oleh Yi Kwang­su (1892– 1950), diterbitkan pada tahun 1917. Bagi penulis, kereta itu secara harfiah merupakan alat yang digunakan individu modern dalam mengendalikan nasibnya.

Karya sastra

arah Sungai Miryang. Menariknya, kurang dari seratus tahun setelah menjadi pemberhentian di Jalan Raya Yeongnam, Miryang dengan teknologi canggih, jalur laut dan sistem sosialnya menjadi basis wilayah bagi cendekiawan Konfusius. Mereka mem­ bentuk faksi sarim kalangan terpelajar, kekuatan penting di belakang Joseon sebagai negara Konfusius. Cendekia­ wan Miryang Kim Jong­jik (1431–1492) dan murid­murid­ nya, yang menjadi pegawai pemerintahan di paruh terakhir abad ke­15, menjadi kekuatan politik baru sebagai pejabat cendekiawan.

sungai dan Transportasi Kereta

Dalam pertengahan abad ke­18, gudang biji­bijian yang digunakan sebagai pajak dibangun di sebuah dermaga di Samnang­ri, atau Desa Samnang. Kapal sungai mengang­ kut biji­bijian itu dengan berlakunya sistem transportasi laut. Situasi politik internasional di sekitar Joseon menjadi stabil dan sistem pembayaran pajak dengan biji­bijian hasil panen dipakai sebagai pengganti pajak serupa. Sistem transportasi sungai dan koneksinya ke Jalan

Sebaliknya, cerita pendek “Dermaga Dwitgimi” (Dwitgimi Naru) yang ditulis oleh Kim Jeong­han (1908–1996) menampilkan kisah yang sangat damai. “Dwitgimi Naru berada di hulu Sungai Nakdong, melewati Samnangjin, tempat anak sungainya, yaitu Sungai Miryang, bertemu arus utama. Jadi, airnya jauh lebih jernih dibanding tem­ pat­tempat lain. Berkat air yang bersih ini sekawanan angsa dan bebek berada di sana sejak awal musim gugur.” Pada saat yang sama, penulis menunjukkan juga masa lalu yang penuh tragedi, dan mengatakan, “Orang­orang yang lemah dan anak­anak laki­laki dan perempuan mereka diharuskan ikut kerja paksa, atau dalam kenyataannya, dipaksa bekerja sebagai budak nafsu tentara Jepang.” Miryang juga merupakan kampung halaman penyair Oh Kyu­won (1941–2007). Ia mengingat dua wajah menge­ nai Miryang. Pertama adalah wajah ibunya, yang mening­ gal ketika ia berusia 13 tahun, dan wajah lainnya adalah ayahnya. Wajah ibunya adalah wajah yang “selalu damai dan menenangkan,” sesuatu yang membuatnya “ingin tidur dan bermimpi,” seolah “seperti di dalam rahim.” Namun, wajah ayahnya seperti “membuatnya tidak bahagia dan menyebab­ kannya kekurangan.” Karena tidak bisa mengatasi konflik psikologisnya, Oh meninggalkan Miryang ketika ia duduk di sekolah menengah pertama dan bersumpah tidak akan per­ nah kembali lagi selama ayahnya masih berada di sana. Oh mengatakan kampung halamannya “seperti tubuh ibu saya dengan rahimnya, sebuah tempat berinkubasi sementa­ ra bagi bahasa alam di dalam rahim dan bahasa kenyataan di luar rahim,” dan ia “berdiri di perbatasan.” Dengan pemak­ naan itu, semua kampung halaman bisa disebut Miryang.

seni & budaya Korea 61


SATU HARI BIASA

Pemandu Istana dan Kisah Masa Lalu Ada kepuasan tersendiri ketika Anda bisa membantu turis yang Anda temui di jalan. Selalu saja ada orang-orang yang seperti itu setiap hari. Pemandu wisata istana Chang Su-young salah satunya. Kim Heung-sook Penyair Heo Dong-wuk Fotografer

62 Koreana Musim Dingin 2019


“S

aya pergi ke Gunung Jiri pertama kali ketika kuliah, dan sangat menyu­ kai gunung itu sehingga saya se­­ ring sekali ke sana. Kadang-kadang, saya ke sana selama dua hari saja. Di lain waktu, saya menikmati satu minggu penuh melakukan pen­ dakian dari satu sisi ke sisi lainnya. Berdiri di puncak tertingginya dan memandang ke laut­ an awan di bawahnya membuat saya merasa seolah-olah segala sesuatu yang membuat saya khawatir dan sakit kepala menjadi tidak penting lagi. Gunung Jiri adalah tempat istirahat buat saya, jadi saya masih sering ke sana.” Chang Su-young lahir di Busan, tetapi kota pelabuhan ini tidak serta merta membuatnya mencintai pantai dan laut. Ia lebih menyukai pegunungan. Hampir semua gunung di Korea Selatan sudah pernah didakinya. Gunung Jiri setinggi 1.915 meter ini merupakan gunung tertinggi kedua setelah Gunung Halla di Pulau Jeju. Gunung ini tidak hanya memberi­ kan kedamaian. Jalur pendakiannya membuat Chang mengubah haluan. Chang belajar bahasa dan sastra Inggris di Universitas Silla di Busan dan setelah lulus, ia mengajar bahasa Inggris di sekolah-sekolah dan lembaga kursus selama lebih dari 10 tahun. Namun, makin lama ia menghabiskan waktu­ nya di gunung itu, makin dalam rasa tertariknya kepada sejarah dan budaya Korea. Pada bulan Juni 2017 ia menjadi pemandu wisata resmi di Istana Deoksu, di pusat kota Seoul.

Sejarah dalam Sebuah Kisah

Istana Deoksu merupakan salah satu dari lima istana kerajaan dari Dinasti Joseon (1392– 1910). Delapan pemandu wisata istana semuan­

Chang Su-young berdiri di luar Junghwajeon (Aula Pusat Harmoni, Harta No. 819), aula tahta Istana Deoksu. Meskipun dia hanya menjadi pemandu istana selama dua tahun, Chang merasa tanggung jawab besar setiap hari.

ya menguasai setidaknya satu bahasa asing. Empat pemandu memberi­ kan penjelasan dalam bahasa Inggris, dua dalam bahasa Jepang dan dua dalam bahasa Cina. Mereka memberikan dua sampai tiga jam tur gratis setiap harinya, masing-masing selama sekitar 50 menit. “Istana Deoksu lebih kecil daripada istana-istana lain dan pengun­ jungnya lebih sedikit. Namun, istana ini memiliki peran yang lebih besar dalam sejarah dibanding istana lain, sehingga Anda harus mengetahui seluruh cerita sejarah Korea untuk bisa bercerita mengenai istana ini,” kata Chang. “Menariknya, istana ini merupakan tempat terjadinya peristiwa seja­ rah yang berhubungan dengan Jepang, sehingga semua pemandu wisa­ ta harus mempelajari hubungan sejarah antara Korea dan Jepang dengan ekstensif,” katanya. “Belakangan ini, selain tentang pengetahuan seja­ rah, menurut saya sangat penting juga menguasai cara menyampaikannya dengan efektif. Ada banyak nuansa dan bagian yang sensitif dalam seja­ rah, jadi Anda harus hati-hati memilih kata dan frasa yang Anda gunakan, dan memastikan kata-kata tersebut tidak menimbulkan salah pengertian.” Awalnya, Istana Deoksu tidak mendapat banyak perhatian. Istana ini merupakan rumah Pangeran Wolsan, kakak tertua Raja Seongjong (ber­ takhta dari tahun 1469–1494). Namun, perang membuatnya masuk ke dalam catatan sejarah. Selama invasi Jepang pada tahun 1590-an, semua istana kerajaan di dalam tembok kota Hanyang (sebagian besar wilayah pusat kota tua Seoul sekarang) terbakar. Namun, rumah lama pangeran, yang menjadi tempat tinggal leluhurnya, selamat. Rumah ini menjadi istana sementara Raja Seonjo (bertakhta dari tahun 1567–1608) ketika ia kembali ke ibu kota. Setelah putranya, Pangeran Gwanghae (bertakhta dari tahun 1608– 1623), menjadi raja, raja baru ini pindah ke Istana Changdeok yang sudah dibangun kembali. Seonjo tetap tinggal di istana sementara ini, yang dinamakan Istana Gyeongun. Pada tahun 1896, Raja Gojong pindah ke Istana Gyeongun setelah mengungsi ke Kantor Kedutaan Rusia ketika kekuatan asing menekan Korea. Tahun berikutnya, ia memproklamasikan lahirnya negara baru, yang disebut Kekaisaran Korea. Ia juga mengganti gelarnya dari raja menjai kaisar, tapi ia hanya memerintah sampai tahun 1907, ketika ia memberikan tahta kepada putranya, Sunjong, di bawah tekanan Jepang. Kaisar baru itu pindah ke Istana Changdeok, tapi Gojong tetap berada di Istana Gyeongun, yang kemudian diganti namanya menjadi Istana Deok­ su, dan dari sanalah ia melihat jatuhnya Kekaisaran Korea dan dimulai­ nya pendudukan Jepang pada tahun 1910.

Turis dengan Minat yang Berbeda-beda

“Sekarang banyak turis asing mengunjungi istana karena mereka ingin me­­ ngenal lebih jauh mengenai sejarah dan budaya Korea dan sebagian dari

seni & budaya korea 63


“Sekarang banyak turis asing mengunjungi istana karena mereka ingin mengenai lebih jauh mengenai sejarah dan budaya Korea dan sebagian dari mereka sudah tahu banyak mengenai itu.” mereka sudah tahu banyak mengenai itu,” kata Chang. Ini semua berkat ekspor budaya Korea seperti K-pop, film dan serial televisi, yang mem­ bangkitkan keingintahuan mengenai negara ini. “Bahkan, ada pengunjung yang mengaju­ kan pertanyaan mendetail, seperti ‘Mengapa Gojong harus mengganti gelarnya menjadi kai­ sar padahal raja dan kaisar sama-sama punya kekuasaan tertinggi?’ Dalam kasus seperti ini, saya menjelaskan bahwa Gojong menggan­ ti nama negara dan gelarnya untuk memperta­ hankan kedaulatan nasional Korea di mata dunia, termasuk Jepang, dengan memproklama­ sikan negara ini sebagai negara yang otonom.” Chang juga merasakan perbedaan interak­ sinya dengan para turis, tergantung negara asal mereka. “Cara orang Jerman terlibat dalam tur sangat mengesankan bagi saya. Mereka sa­­ ngat memperhatikan setiap kata dan menyimak se­o lah-olah sedang melakukan riset. Mere­ ka juga banyak bertanya. Saya pernah melihat pengunjung yang menangis ketika mendengar­ kan kisah yang mengharu biru mengenai istana ini.” Secara umum, makin pendek sejarah neg­ ara tempat mereka berasal, makin tertariklah mereka mengenai sejarah Korea secara mende­

64 Koreana Musim Dingin 2019

tail, kata Chang. “Apakah masih ada keluarga kerajaan di Korea?” adalah salah satu pertanyaan yang paling banyak disampaikan kepadanya. Karena banyak sejarah istana berkaitan dengan hubungan Korea-Je­ pang, pengunjung juga bertanya mengenai hubungan kedua negara ini di masa sekarang. “Saya mengatakan kepada mereka bahwa meskipun hubungan resmi di antara kedua pemerintah tidak begitu baik, ada banyak interaksi di antara orang-orang dari kedua negara. Pemandu dalam bahasa Jepang lebih sensitif mengenai hubungan antara Jepang dan Korea, dan mereka mendapatkan banyak pertanyaan seperti ini.”

Belajar Tak Kenal Lelah

Istana Deoksu dikenal dengan bangunannya yang merupakan perpad­ uan dari beberapa gaya, yang berarti pemandu di sini juga harus paham meng­­enai arsitektur istana, selain sejarahnya. “Bangunan-bangunan di dalam kompleks istana itu sendiri merupa­ kan situs sejarah, jadi Anda tidak akan bisa bicara mengenai sejarah tanpa menyinggung arsitekturnya,” kata Chang. “Pengunjung asing menyimak dengan saksama ketika saya bicara mengenai bangunan istana seperti Junghwajeon, Jeukjodang dan Hamnyeongjeon, yang hancur karena keba­ karan pada tahun 1904 dan dibangun kembali sesudahnya. Beberapa orang bertanya kepada saya dengan takjub ‘Bagaimana mungkin membangun kembali struktur bangunan yang mengagumkan ini dalam waktu sing­ kat?’ Tidak seperti istana lain, Istana Deoksu juga memiliki gedung ber­ gaya Barat modern, sehingga saya harus memiliki pengetahuan mengenai arsitektur semacam itu pula.” Bangunan Korea tradisional dan bangunan bergaya Barat menjadi ciri khas istana ini. Salah satu bangunan bergaya Barat yang paling menonjol adalah Seokjojeon, atau Paviliun Batu, yang dirancang oleh insinyur Inggris J. R. Harding, yang sebelumnya bekerja di Shanghai. Terdapat juga Jeonggwanheon, yang dibangun pada tahun 1900 dan dirancang oleh arsitek Rusia Afanasy Seredin-Sabatin. Gedung ini me­rupakan bangunan yang didirikan di dalam lingkungan istana kerajaan Korea, dan mengombinasikan elemen desain Timur dan Barat.

Stamina Juga Perlu Dijaga

Aktivitas rutin harian Chang sangat menyenangkan. Pengunjung asing yang mengenal Istana Deoksu lebih jauh berkat penjelasannya sangat berarti baginya. Setiap pagi, ia selalu meninggalkan rumah pukul 7.50, lalu naik kereta bawah tanah jalur 2 dan tiba di Istana Deoksu menjelang pukul 8.30, kemudian bekerja dari pukul 9.00 sampai 6.00 sore. Pakaian standar ketika bekerja adalah hanbok, yang menurutnya me­rupakan cara lain memperkenalkan budaya Korea. Hanbok me­rupakan pakaian tradisional Korea yang dipakai pada acara festival, upacara dan perayaan. Pada musim semi dan musim gugur, Chang memakai jeogori


Mengenakan mantel durumagi biru tua di atas blus putih dan rok biru tua, Chang Su-young menjelaskan sejarah dan arsitektur ruang istana ke grup wisata. Selain hari-hari terpanas di musim panas, pemandu istana mengenakan hanbok sepanjang tahun.

(jaket pendek) putih dan chima (rok pan­ jang) biru tua; pada musim panas ia memakai jeogori krem atau biru langit dengan rok biru tua atau biru keunguan; dan di musim dingin ia memakai durumagi (mantel) panjang menutu­ pi seluruh pakaian yang dikenakannya. Tentu saja ada pengecualian. Ketika udara sangat panas para pemandu mengenakan blus lengan pendek dan celana bahan, dan ketika suhu san­ gat rendah mereka memakai mantel panjang dengan palisan penghangat. Berbeda dari orang lain, Chang libur di hari Senin, ketika semua istana di Seoul tutup. Tiga hari dalam semingu ia pergi ke pusat kesehatan untuk berlatih yoga dan pilates setelah beker­ ja, dan pada hari Rabu malam ia mengikuti les piano. “Sebelum menjadi pemandu wisata istana, saya ingin tinggal di Gunung Jiri. Tapi, seka­

rang saya merasa punya ba­nyak pekerjaan di istana ini,” kata Chang. “Saya ingin menjadi pemandu yang lebih baik lagi, dan ada banyak jalan bagi saya untuk mencapainya. Pertama dan yang paling penting adalah pemandu istana harus memiliki kecintaan terhadap Korea dan budaya­ nya. Kemudian, kami harus bisa berkomunikasi dengan baik dalam baha­ sa asing, dan karena kami harus menjalankan tugas meski turun hujan dan salju, kami harus bugar dan sehat. Itulah mengapa saya meluangkan waktu untuk berolahraga.” “Tapi yang paling penting, menurut saya, pemandu istana harus melayani pengunjung dengan hati yang terbuka. Sekarang, saya sedang membaca buku-buku sejarah Korea dalam bahasa Inggris. Setelah peker­ jaan saya selesai, saya ingin sekali mendengar kalimat ini, ‘Tur ini sangat informatif. Setelah mendengar penjelasan Anda, saya ingin datang kem­ bali ke Korea dan mengunjungi istana ini lagi.’” Chang masih mengingat tur pertamanya dengan jelas. “Saya memandu tur yang hanya diikuti satu orang. Ia adalah maha­ siswa dari Chili, dan ia sangat baik. Ketika saya mengatakan kepadanya, ‘Anda orang pertama yang saya pandu berkeliling istana. Suatu kehor­ matan bagi saya memandu Anda,’ ia mengatakan bahwa ia juga mera­ sa mendapatkan kehormatan. Ketika saya bertanya tempat mana yang sebaik­­­nya saya kunjungi ketika saya pergi ke Chili, ia menuliskan daftar yang panjang buat saya.” Chang tidak tahu nama pengunjung itu, tetapi ia berharap suatu saat mahasiswa Chili itu mengunjungi Istana Deoksu lagi. Ia yakin akan bisa memandu dengan lebih baik dibanding dulu.

seni & budaya korea 65


HIBURAN

Fakta dan Fiksi dalam Film

Drama sejarah merupakan bahan utama genre, baik dalam layar lebar maupun layar televisi di Korea, dan seringkali ditemukan percobaan sutradara mengubah tokoh atau peristiwa nyata yang terkenal dalam sejarah. Namun, para penonton tidak selalu menyukai percobaan jika jalan cerita terlalu jauh menyimpang terbawa imajinasi. Lee Hyo-won Penulis Lepas

“T

ulisan Raja” sebuah film yang mengisahkan awal mula penciptaan Hangeul (aksara Korea), menempati posisi kedua daf­ tar film box-office Korea ketika dilun­ curkan pada akhir Juli lalu. Prestasi ini cukup mengesankan jika mengingat bahwa film tersebut bersaing dengan film Hollywood yang dibuat dengan beranggaran tinggi seperti “Aladdin,” “The Lion King,” dan “Spider-Man: Far from Home.” “Tulisan Raja” menimbul­ kan perdebatan kontroversi atas peng­ gambarannya mengenai proses pencip­ taan Hangeul, yakni salah satu pene­ muan yang paling dibanggakan Korea.

Tentang Fakta

Costume drama atau genre drama sejarah adalah hal yang tetap ber­ langsung dalam dunia film dan per­ televisian Korea. “Laksamana: Arus Bergemuruh” (2014) tetap menempati posisi sebagai film yang memperoleh keuntungan paling tinggi sepanjang masa, sementara “Permata di Istana” (atau lebih dikenal sebagai “Dae Jang

66 Koreana Musim Dingin 2019

1 © CJ E

NM

Geum” (2003)) masih diingat sebagai salah satu ikon dari drama televisi dan juga merupakan drama yang diekspor paling banyak. Akan tetapi, yang sela­ lu menjadi bahan perdebatan adalah bahwa dalam film dan drama sema­ cam itu sering terdapat pengubahan signifikan dari fakta dan data sejarah yang telah dikenal baik dan diajarkan di sekolah. Sebagai contoh, meskipun film “Putri Terakhir” (2016) meraih posi­ si baik dalam daftar pertunjukkan film box office dan mendapatkan banyak pujian untuk aktris pemeran utama­ nya, film ini juga dikritik karena diang­ gap terlalu berlebihan dan mencip­ takan informasi fiktif tentang biografi Putri Joseon Deokhye. Demikian pula dengan drama televisi “Mr. Sunshine” (2018) yang berlatar waktu akhir zaman kerajaan Joseon (1392-1910). Terkini, film “Tulisan Raja” sudah diantisipasi banyak orang saat diluncur­ kan tetapi gagal dalam mendapat tang­ gapan baik dari para penonon. Hal terse­ but jelas menggambarkan bahwa penon­

ton Korea hanya bersedia mengikuti cerita yang disajikan dalam film asal­ kan cerita itu sesuai dengan apa yang dikenal dan dipercayai mereka. Sebe­ tulnya film tersebut tampaknya memili­ ki semua unsur yang diperlukan untuk menjadi film terlaris, termasuk seorang aktor terbaik, Song Kang-ho yang me­­ merankan tokoh hebat Raja Sejong, yakni seorang pemimpin yang dihormati karena telah berjasa dalam menciptakan Hangeul pada awal abad ke-15.

Mengabaikan Raja Bijaksana

Terdapat berbagai pendapatan ten­ tang akting Song sebagai Raja Sejong dalam film ini. Sebenarnya tidak ter­ hitung karya yang menggambarkan kebijaksanaan Raja Sejong dan keber­ hasilannya yang terbesar atas pencip­ taan Hangeul yang didasari atas kecin­ taannya terhadap rakyat dan harapan­ nya untuk berbagi pengetahuan dengan masyarakat. Sesungguhnya penciptaan Hangeul dinilai sebagai prestasi Raja Sejong yang luar biasa. Hal itu teruta­ ma dikarenakan aksara bahasa Manda­


3

1, 4. “Penyamaran” dirilis pada 2012, adalah kesuksesan box office besar dengan interpretasi imajinatif dari badut yang menggantikan raja dan menjadi penguasa yang baik hati. 2, 3. “Tulisan Raja” dirilis dengan harapan tinggi pada musim panas 2019, dikritik karena distorsi sejarah yang bisa dibilang sangat parah.

2

4

© Megabox Plus M

rin yang dipakai pada zaman itu sangat rumit dan sulit untuk dipelajari rakyat jelata sehingga telah lama dikhususkan hanya untuk kalangan elit pemerintah­ an di masyarakat yang bersifat sangat hierarki pada zaman kerajaan Joseon, sedangkan Hangeul yang diciptakan Raja Sejong adalah aksara yang terjang­ kau oleh rakyat. Akan tetapi, “Tulisan Raja” memindahkan fokus dari Raja Sejong kepada rumor yang cukup ter­ kenal, yaitu seorang biksu yang konon melibatkan diri dalam penciptaan sistem aksara Hangeul. Raja Sejong dipresentasikan sebagai komisaris dari penciptaan Hangeul tersebut dengan berkeinginan kuat dan mengawasi seti­ ap langkah penciptaan dengan cermat, tetapi perannya tetap saja hanya sebagai peng­­­a mat. Film ini menggambarkan biksu Sinmi sebagai orang yang mem­ berikan ide unik mengenai titik dan garis yang menyusun komposisi fonetik dari Hangeul. Di samping itu, di dalam film ini biksu Sinmi tidak hanya digam­ barkan sebagai seorang ahli linguistik, tetapi juga sebagai seorang berwibawa

dan tidak takut untuk mengkritik bah­ kan terhadap seorang raja besar.

Perpindahan Fokus

Ini bukan pertama kalinya sebuah film Korea memperkenalkan penoko­ han yang tidak takut untuk berbicara kejujuran pada penguasa. “Penyama­ ran” (2012) yang menyatukan kisah “Pangeran dan Orang Miskin” dengan cerita Putra Gwanghae, yakni seorang penguasa abad ke-17 yang kontrover­ sial. Film tersebut adalah film yang tetap menempati salah satu dari posi­ si dalam 10 film Korea Top sepanjang masa. Bintang Hallyu Lee Byunghun memerankan peran ganda sebagai sang raja dan seorang rakyat jelata yang direkrut sebagai tubuh pengganti ketika sang raja menghadapi ancaman pembunuhan. Film itu dimulai dengan suasana lelucon dari perilaku seorang pelawak yang bersusah payah untuk mempelajari protokol dan norma ker­ ajaan yang ketat. Namun, pada akhir­ nya ia berubah menjadi pemberani dan tidak segan menggencarkan perubahan

demi orang yang ditindas. Kunci Kesuksesan dari film terse­ but adalah pesan di dalamnya yaitu orang biasa pun, ketika diberikan ke­­ sempatan, dapat menjadi seorang pemimpin sejati dibandingkan seorang raja tirani. Para pengamat film men­ jelaskan bahwa dari sudut pandangan hiburan murni, “Tulisan Raja” juga berdasarkan naskah yang menjajarkan dua karakter yang saling berlawan­ an. Namun adegan yang biksu Sinmi berani menyalahkan Raja Sejong tidak membawa efek katarsis tetapi mem­ buat para penonton yang memili­ ki pemahaman mendalam mengenai sejarah tersinggung, meskipun pada awal film ini disebutkan “film ini mer­ ekonstruksi secara sinematis salah satu rumor yang berkaitan dengan penciptaan Hangeul.” Hal itu menun­ jukkan bahwa dunia hiburan bisa saja mendapat inspirasi dari sejarah tanpa batasan, tetapi tampaknya ada batasan dari toleransi dari sentimen publik ter­ hadap interpretasi atau pengolahan inspirasi dalam dunia hiburan.

seni & budaya korea 67


PerJaLaNaN KeSUSaSTraaN KOrea

KRITIK

LUKA DAN HARAPAN DITERJANG PERANG Busan dianggap sebagai tempat perlindungan paling aman selama Perang Korea (1950–1953). Sejumlah karya sastra yang bercerita tentang ibu kota pada masa perang itu, penuh gambaran para pengungsi yang berjuang setiap hari untuk bertahan hidup, sehingga membentuk genre “sastra pengungsi.” Karya-karya ini menegaskan tekad para pengungsi untuk bertahan hidup dan sekaligus gambaran keputusasaan dan kesia-siaan mereka. Choi Jae-bong Reporter, The Hankyoreh

P

erang Korea adalah konflik internecine yang bagi segenap bangsa itu meninggalkan luka yang sungguh menyakitkan. Para penulis, termasuk di antara mereka, yang merasakan luka perang yang lebih dalam. Secara khusus, Retret 4 Januari 1951, ketika pasu­ kan ROK dan PBB yang bergerak ke utara ke perbatasan Korea­Cina, terpaksa mundur karena Serangan Tahun Baru Cina, meninggalkan Seoul dan lebih jauh ke selatan lagi, menjadi tema bagi banyak novel dan puisi, yang kemudi­ an dikenal sebagai “sastra pengungsi.” Dalam hal ini, ter­ masuk cerita pendek Kim Dong­ni (1913–1995) “Evakuasi Hongaria” (1955) dan novel Gong Ji­young (1963–) “Tang­ ga Biru Menjulang” (2013) yang menggambarkan evakua­ si besar­besaran warga sipil Korea Utara pada akhir 1950 dari Hungnam, sebuah kota pelabuhan di pantai timur Korea Utara; dan cerita pendek “Orang Korsel dan Orang Korut” (1996) karya Lee Ho­cheol (1932–2016), penduduk asli Wonsan di Korea Utara yang kabur ke selatan. Berdasarkan definisi yang lebih tepat, sastra pengung­ si merujuk pada karya­karya yang berurusan dengan orang­ orang yang meninggalkan Seoul dan pindah ke Daegu atau Busan pada saat Retret 4 Januari. Pengungsi berbon­ dong­bondong ke kota­kota selatan ini tanpa persiapan. Me reka harus menghadapi masalah dasar hidup dengan tangan kosong, mencari makanan dan tempat tinggal. Hal tersebut terjadi terutama di kota pelabuhan Busan, kota terbesar kedua Korea Selatan di ujung tenggara semenanjung, tempat banyak pengungsi berkumpul dan menjalani kehidupan sehari­hari dalam keadaan putus asa, tak terkecuali penulis. Setelah tiba di sana, mereka yang

68 Koreana Musim Dingin 2019

tidak dapat menemukan tempat tinggal harus memba­ ngun pondok di lereng gunung dan menunggu perang bera­ khir sampai mereka dapat kembali ke Seoul. Dalam cerita pendek “Tidur Musim Dingin” (1958) karya Kim Yi­seok (1914–1964), seorang penulis kelahiran Pyongyang yang datang ke Selatan, situasinya digambarkan sebagai berikut: “Angin yang bertiup dari utara sepanjang hari, terasa meng­ guncang gubuk yang berdiri di tengah lapangan, merobek­ robek papan dan teriakan, seolah­olah hendak meniup atap seng saat menyapu kamar kami.” Tidak mudah menemukan tempat tinggal, apalagi di rumah seseorang yang sekadar punya hubungan jauh. Ceri­ ta pendek “Akrobat” (1952) karya Hwang Sun­won (1915– 2000), juga seorang penulis yang berasal dari Utara, adalah sebuah karya otobiografi yang secara realistis menggambar­ kan kesulitan yang dihadapi bersama keluarganya di Daegu dan Busan. Di kedua kota itu, mereka tinggal di rumah kena­ lan, tetapi menghadapi penghinaan dan tekanan tanpa tedeng aling-aling dari keluarga itu, akhirnya mereka terpaksa pergi atau dipaksa harus pergi. Hwang, menyesalkan ketidakmam­ puannya sebagai kepala keluarga yang kehilangan tempat tinggal yang harus melihat anak­anaknya mencari uang untuk menyiapkan makanan di atas meja, membandingkan situa­ si keluarganya dengan situasi kelompok akrobat: “Pierrots mudaku, aku hanya berharap nanti, ketika engkau punya grup akrobat, engkau sendiri dengan Pierrots mudamu sendiri, engkau tidak akan mengulangi adegan dan prestasi ini.” Lee Ho­cheol, setibanya di Busan dari Korea Utara, mulai bekerja di dermaga dan kemudian mencari nafkah di sebuah pabrik pembuat mie dan sebagai petugas kebersih­


an, masih belajar sastra sementara itu. Dia membuat debut sastranya dengan cerita pendek “Meninggalkan Rumah” (1955), yang dimulai dengan penggambaran seorang pe­ ngungsi yang tinggal di atas kereta api barang: “Mobil ang­ kutan tempat dia menginap selama satu malam, menghilang pada malam berikutnya. Dia harus pindah dari satu gerbong ke gerbong lain dalam beberapa kali setiap malam.” “Hari Kehujanan” (1953), sebuah cerita pendek karya penulis lain dari Korea Utara, Son Chang­seop (1922­2010), menceritakan situasi Dong­uk yang pergi ke Busan bersa­ ma saudara perempuannya Dong­ok selama Retret 4 Januari dan menyewa rumah kumuh, seperti yang diamati teman­ nya Won­gu. Hujan yang turun tanpa henti sepanjang cerita melambangkan batas­batas realitas yang memerangkap dan melecehkan saudara kandung. Jika seseorang harus memilih karya sastra paling menonjol dari era ini dari penulis yang tinggal di Busan, “Hari­Hari di Mildawon” karya Kim Dong­ni (1955) tentu harus dimasukkan. Cerpen ini menggambarkan penulis asli dengan nama yang sedikit berubah, memberikan gambaran tentang kondisi sosial dan suasana di kalangan sastrawan di Busan pada masa perang. Menurut Sejarah Dunia Sastra Korea yang ditulis kritikus Kim Byeong­ik (1938–), tokoh utama cerita ini, Lee Jung­gu, didasarkan pada penulis Lee Bong­gu (1916–1983). Pada tahun 1950­an, ketika banyak tokoh sastra biasa berkumpul hampir setiap hari di daerah Myeong­dong Seoul, Lee Bong­gu tidak pernah kehilang­ an kendali dirinya, tidak peduli berapa banyak dia minum, mempertahankan cara­caranya yang halus, yang memberi­ nya julukan “Pangeran dari Myeong­dong.” Jo Hyeon­ sik mencontoh kritikus Cho Yeon­hyeon (1920–1981) dan Ms. Gil pada novelis Kim Mal­bong (1901–1962). Penyair Busan, Jo Hyang (1917–1985) dan novelis Oh Yeong­su (1909–1979), masing­masing muncul dalam karya ini sebagai Jeon Pil­eop dan Oh Jeong­su. Penyair muda ber­ masalah, Park Un­sam, yang merasa sedih karena terpisah dari kekasihnya dan dihantui kecemasan akan kelangsung­ an hidupnya, didasarkan pada Jeong Un­sam (1925–1953); hanya nama keluarga yang berubah. Penyair muda lainnya, Jeon Bong­rae (1923–1951), yang tidak muncul dalam kisah ini, memilih bunuh diri, yang menunjukkan situasi tanpa harapan dan keadaan pikiran para penulis pengungsi pada waktu itu. Sang tokoh protagonis, Lee Jung­gu, mencapai Busan dengan kereta terakhir yang meninggalkan Seoul pada 3 Janu­ ari, sehari sebelum retret. Di Busan, ia membuat markasnya di kedai kopi Mildawon di Gwangbok­dong, tempat para seniman dari Seoul berkumpul. Di sana ia bertemu dengan sesama penu­

© Encyclopedia of Korean Culture

“Mildawon adalah ruang yang melambangkan persahabatan yang terbukti kuat bahkan di tengah cobaan dan kesengsaraan”. lis dan memecahkan masalah tempat tidur dan menemukan makanan dan minuman. Karena tokoh dalam novel itu hampir identik dengan orang­orang yang sebenarnya, Mildawon juga merupakan tempat yang nyata di dekat Gwangbok­dong Rota­ ry. Sejarah Dunia Sastra Korea karya Kim Byeong­ik men­ jelaskan pentingnya ruang ini sebagai berikut: “Kedai kopi di atas kantor Asosiasi Budaya Nasion­ al di Gwangbok­dong adalah tempat peristirahatan bagi para penulis yang tidak punya tempat tujuan, alamat kontak untuk rekan­rekan yang sulit ditemukan, kantor untuk penu­ lis yang tidak punya tempat untuk bekerja, dan cukup sering ruang pameran untuk puisi bergambar.” Sang tokoh protagonis berkata kepada dirinya sendi­ ri, “Dengan serentetan kematian dan perpisahan sebelum­ nya dan di belakangnya, mengembara bersama orang­ orang yang kelaparan di kiri­kanan, lalu apakah aku masih tetap ceria karena secangkir kopi dan wajah­wajah yang akrab?” Mildawon adalah ruang yang melambangkan persa­ habatan yang terbukti kuat bahkan di tengah cobaan dan ke­ sengsaraan. “Hari­Hari di Mildawon” dengan setia mendo­ kumentasikan kegembiraan dan kesedihan yang dialami para penulis selama masa­masa putus asa akibat perang.

seni & budaya Korea 69


Informasi Berlangganan

Cara Berlangganan Biaya Berlangganan

Isi formulir berlangganan di website (www.koreana.or.kr > Langganan) dan klik tombol “Kirim.� Anda akan menerima faktur dengan informasi pembayaran melalui E-mail.

Daerah

Biaya Berlangganan (Termasuk ongkos kirim melalui udara)

Edisi lama per eksemplar*

Korea

1 tahun

25,000 won

6,000 won

2 tahun

50,000 won

3 tahun

75,000 won

1 tahun

US$45

2 tahun

US$81

3 tahun

US$108

1 tahun

US$50

2 tahun

US$90

3 tahun

US$120

1 tahun

US$55

2 tahun

US$99

3 tahun

US$132

1 tahun

US$60

2 tahun

US$108

3 tahun

US$144

Asia Timur

1

Asia Tenggara dsb

2

Eropa dan Amerika Utara 3

Afrika dan Amerika Selatan 4

US$9

* Pemesanan edisi lama ditambah ongkos kirim. 1 Asia Timur(Cina, Hong Kong, Jepang, Makau, dan Taiwan) 2 Asia Tenggara(Brunei, Filipina, Indonesia, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, Timor Leste, Vietnam,) dan Mongolia. 3 Eropa(termasuk Russia and CIS), Timur Tengah, Amerika Utara, Oseania, dan Asia Selatan (Afghanistan, Bangladesh, Bhutan, India, Maldives, Nepal, Pakistan, dan Sri Lanka) 4 Afrika, Amerika Selatan/Sentral (termasuk Indies Barat), dan Kepulauan Pasifik Selatan

Mari bergabung dengan mailing list kami

Jadilah orang pertama yang mengetahui isu terbaru; maka daftarkan diri Anda pada Koreana web magazine dengan cara mengirimkan nama dan alamat e-mail Anda ke koreana@kf.or.kr

Tanggapan Pembaca

Tanggapan atau pemikiran Anda akan membantu kami meningkatkan daya tarik Koreana. Kirimkan komentar dan saran Anda melalui E-mail ke koreana@kf.or.kr.

* Selain melalui majalah web, konten Koreana tersedia melalui layanan e-book untuk perangkat mobile (Apple i-books, Google Books, dan Amazon)


ENCHANTING SHORT STORIES FROM KOREA

RU SS IAN

Korean Contemporary Short Stories, published by the Korea Foundation. Selections from Koreana, Korea’s flagship magazine on art and culture. Enjoy these literary gems in Indonesian, Russian, Thai and Vietnamese!

TH AI

VIE TN AM ES E

2017 ENGLISH

2018 RUSSIAN

IND ON ES IAN

(2n de dit ion )


“If you want to know a country, read its writers.” Aminatta Forna, The Memory of Love (2011)

READ KLN, READ KOREA Reading a country’s literature is one of the best ways to gain insight into its culture, values and perceptions. Korean Literature Now is the world’s only English-language quarterly that brings you the best of Korean fiction, poetry, interviews, book reviews, essays, and more. Become better acquainted with Korea and its literature through KLN.

@KoreanLitNow Inquiries: koreanlitnow@klti.or.kr

www.KoreanLiteratureNow.com


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.