Halaman Halaman 14 10
SUARA NTB Senin, 19 Januari 2015
Tenun Gedogan Pringgasela
Bertahan di Tengah Ketatnya Persaingan Pasar Internasional Tenun gedogan adalah warisan industri tradisional Lombok yang hingga kini masih coba dipertahankan oleh para generasi berikutnya. Seiring perjalanan waktu dan pesatnya perkembangan zaman, tenun gedogan dihadapkan pada ketatnya persaingan internasional. DINAMAKAN tenun gedogan, karena proses pembuatannya yang menggunakan cara-cara, peralatan dan perlengkapan yang masih sangat sederhana dan tradisional. Di antaranya batang (kerangka alat tenun), belide atau pemadat kain tenunan, pengahen, tutuk, jajak, penggun, penengol (semua istilah Sasak), nama-nama alat tersebut dibuat, dibakukan langsung dari nenek moyang atau sang penemunya. Setiap merangkai benang menjadi kain, prosesnya dengan menghentakkan antara alat yang satu dengan lainnya yang terbuat dari kayu. Dari hentakan-hentakan itulah kemudian menimbulkan suara ketukanketukan (gedogan dalam bahasa Sasak). M. Maliki, Ketua Kelompok Perajin Sentosa Sasak Tenun Pringgasela, Lombok Timur kemudian mengulas sejarah turun temurun tentang tenun gedogan. Pringgasela menurutnya menjadi salah satu daerah pencipta pertama tenun gedogan, sekitar 2 abad yang lalu. Memang tidak ada sejarah tertulis tentang keberadaan tenun gedogan, termasuk angka tahun dimulainya proses menenun, karena banyak di antara penenun waktu itu tidak bisa baca tulis. Tetapi, dari salah satu hasil tenunan yang diyakini pertama kali dibuat dan diperkirakan usianya di atas 200 tahun, kini masih disimpan. Hasil tenunan pertama itu diantaranya berupa selendang-selendang dan kain panjang. Disebut usianya di atas 200 tahun, karena sudah disimpan oleh beberapa generasi.
Lantaran usianya yang cukup tua itulah, kain-kain itu dikeluarkan pada waktu-waktu tertentu (upacara adat). Bahkan, oleh keyakinan masyarakat setempat, kain tenun gedogan pertama itu diyakini bisa menjadi syarat untuk mengobati berbagai jenis penyakit. Tenun gedogan, dalam sejarahnya dibuat karena pada zamannya, masyarakat Pringgasela dulunya menjadi petani penghasil tanaman kapas. Sehingga muncullah ide, bagaimana kapas-kapas yang dihasilkan itu bisa menjadi benang dan dibuat kain. Dalam cerita turuntemurun juga, akhirnya diciptakanlah alat tenun tradisional itu, dan masih dipertahankan hingga kini. Dulunya kain tenun gedogan adalah pekerjaan sampingan masyarakat setempat, karena hasil tenunannya hanya untuk memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat di Pringgasela waktu itu. Lama kelamaan, karena keunikannya itu, kain tenun gedogan diminati oleh masyarakat antardesa. Seiring perkembangan zaman, tahun 80-an, kain tenun Pringgasela mulai dikembangkan dan diarahkan untuk dikomersilkan. Di tahun 90-an, nama kain tenun kian memasyarakat. Setelah warisan itu menjadi industri yang dikomersilkan. Tentu menjadi peluang bagi masyarakat, dari sisi ekonomi. Sehingga, banyak masyarakat yang tadinya menjadikan kegiatan menenun sebagai kegiatan sampingan, dan lebih memilih menjadi petani. Kini berbalik arah, membuat kain tenun gedogan kini menjadi mata pecaharian utama.
(Suara NTB/bul)
TUNJUKKAN - Ketua Kelompok Perajin Sentosa Sasak Tenun Pringgasela, Lombok Timur M. Maliki menunjukkan kain tenun gedogan yang berusia di atas 200 tahun. Terlebih pemerintah juga turut peduli mendukung keberadaan industri tradisional ini. Seiring perkembangannya lagi, industri tenun ini juga berkembang di beberapa daerah di NTB, di antaranya di Lombok Tengah, bahkan Sumbawa.
Tidak terkecuali yang ada di Bali dan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Dalam perkembangannya, di saat hasil-hasil gedogan telah banyak diproduksi, tantangannya selain harus bersaing dengan tenun gedogan daerah
lain merebut pasar. Kain tenun tradisional juga tengah dihadapkan pada berkembang pesatnya industri tekstil. Di mana, berbagai jenis kain dan motif telah mampu diciptakan perusahaan tekstil dalam dan luar negeri, termasuk
dengan harga yang tentu berbeda jauh. “Tapi masih bisa kita bertahan. Tenun gedogan menjadi ciri khas daerah. Yang terpenting generasinya tetap berupaya mempertahankan kelestarian industri tradisional ini,� demikian Maliki. (bul)
Menjual Keunikan
Inilah alat pemintal sederhana yang sebelumnya dipergunakan para penenun di Pringgasela.
Seorang perajin sedang menggunakan kain tenun yang berusia lebih dari 200 tahun. Kain ini digunakan pada acara-acara tertentu.
Seorang perajin sedang menenun kain khas Pringgasela Lombok Timur beberapa waktu lalu.
Selain kain, para penenun di Pringgasela juga membuat tas yang sesuai dengan tren masa kini.
TIDAK memutus harapan untuk mampu bersaing dengan kain produksi perusahaan-perusahaan tekstil dalam dan luar negeri menjadi semangat para penenun gedogan di Pringgasela Lombok Timur (Lotim) adalah berjuang menjual keunikan. Mencipta kain tenun gedogan telah menjadi peluang bisnis dan terbukti telah mampu menopang perekonomian masyarakat penenun. Modal utama telah didapatkan, yakni nama tenun Lombok, telah banyak dikenal secara nasional, bahkan di Jepang, Malaysia, Australia bahkan negara Timur Tengah telah menjadi negeri mitra pemasaran kain tenun. Selain itu, kain tenun yang telah disulap menjadi bahan utama untuk fashion show oleh para perancang busana berkelas internasional, telah mengantarkan hasil produk dari tangan-tangan sederhana ini mendunia. Telah diikutkan pada fashion show di Paris, termasuk fashion show dalam negeri yang banyak mendatangkan perancang-perancang buasana dari berbagai negara di Eropa belum lama ini. Untuk menyesuaikan diri dengan selera zaman, para penenun di Pringgasela tak putus kreativitas. Beberapa motif kemudian banyak dimunculkan, bahkan hingga puluhan motif. Di antaranya motif rang-rang, sari menanti, reragian sundawa, reragian lambe, pucuk rebong, ragi bayan dan banyak lagi motif-motif lainnya yang nama motifnya tetap khas Sasak. Hal itu dimaksudkan untuk tidak melunturkan nama asal daerah yang memproduksinya. Dengan motif-motif itulah yang kemudian menjadi daya tarik kini bagi kain tenun gedogan, itu juga yang membuat kain-kain tenun gedogan ini digandrungi oleh wisatawan dalam dan luar negeri. Harga penjualannya juga masih dipertahankan, bervariasi dari harga Rp 300-an ribu hingga Rp 1 jutaan bagi kain yang ukurannya lebih panjang, warna dan motifnya lebih istimewa. Selain dijadikan sebagai bahan membuat bajubaju dinas khas daerah, fashion show, kain tenun gedogan juga kini dijadikan bahan baku utama untuk pembuatan kulit tas, kulit dompet, tas laptop, tas HP, bahkan taplak meja. Jika bahan baku lainnya ditambah dengan bahan kulit, harganya kisaran dari Rp 15.000 ukuran yang paling kecil dan mendekati Rp 1 jutaan bagi tas perempuan. Khusus di Pringgasela saja, jumlah penenun gedogan kini mencapai 700-an orang. Dengan produksi sebulan diperkirakan sampai ratusan, jika yang ditenun adalah khusus untuk kain. Sebab perhitungan, dengan satu orang penenun, sebulan jika ditekuni akan mampu menghasilkan 2 lembar kain. Selain menjadi kain, beberapa hasil kerajinan lain yang dibuat, berkait dengan tenun gedogan adalah syal, selendang, selimut dan beberapa di antaranya. Itupun tetap dengan mengedepankan motif-motif Sasak agar tidak menghilangkan ciri khasnya.(bul)