SUARA NTB Sabtu, 2 November 2013
JENDELA SASTRA
Halaman 14
Cerpen
Detu Tuan Oleh : Budi Afandi
Sudah hampir sepekan ayah gelisah. Tak sekalipun beliau meninggalkan rumah. Kerjanya hanya keluar masuk bilik kecil di samping bilik pemandian. Ibu pernah bilang, hanya bilik itu yang cukup tenang bagi ayah, untuk memikirkan perkara-perkara pelik. EINGATKU ayah mulai tampak gelisah setelah kedatangan Detu Tuan beberapa malam lalu. Detu Tuan begitulah dia disebut, bangsawan kaya raya penguasa wilayah yang kami huni. Luas lahan miliknya terbilang tak berbatas. Karenanya seluruh penduduk menggantungkan hidup darinya. Kecuali beberapa keluarga, termasuk keluargaku, yang memiliki beberapa petak lahan. Ibu pernah bilang, lahan yang kini kami miliki, pun beberapa keluarga lain, dulunya milik Detu Tuan. Namun karena ada sedikit jasa, Detu Tuan memberikan lahan itu sebagai hadiah. Detu Tuan memang dikenal royal, tidak jarang dia memberi berbagai rupa hadiah pada pekerjanya yang dianggap rajin. Selain royal, dia juga dikenal adil, tidak hanya pada warga, tapi juga pada ketiga istrinya. Itulah mengapa, hingga kini keluarganya hidup dengan suka cita, selalu tampak damai. Terlepas dari suka cita dan damai keluarganya, selalu saja ada rasa tidak nyaman datang padaku jika terbayang Detu Tuan dengan ketiga istrinya. Seolah ada bagian dari diriku yang tak mau menerima keadaan itu. Aku pernah meminta ayah menjelaskan perihal pilihan hidup Detu Tuan. Tapi bukannya tercerahkan, penjelasan ayah justru membuatku makin tak mengerti. “Menjadi bangsawan tidaklah mudah. Apalagi bagi yang nantinya akan menjadi pemimpin, tempat rakyat menggantungkan harapan. Mereka sangat menyadari itu, karenanya sekuat tenaga mereka berusaha melatih diri memahami orang lain. “Ketahuilah anakku. Wanita adalah makhluk luar biasa, sangat sukar dimengerti. Ketangguhan seorang wanita, bisa jadi mengalahkan ketangguhan seratus, seribu bahkan mungkin sejuta pria. Itulah kenapa seorang pria, khususnya bangsawan kita, berusaha menundukkan banyak wanita untuk menunjuk-
kan ketangguhan mereka dalam memimpin. Jika mereka berhasil memahami dan mengendalikan istri-istrinya dengan baik. Besar kemungkinan, mereka juga mampu memahami dan mengendalikan rakyatnya dengan baik. Itulah yang pernah Detu Tuan katakan.” Penjelasan ayah tidak bisa kuterima. Membuat wanita terdengar hanya menjadi seperti alat bagi petarung untuk menguji ketangguhan. Ayah jadi terdengar seperti hanya ingin membenarkan pilihan Detu Tuan. Tapi aku tidak berani membantahnya, karena bagaimanapun, bangsawan yang saat itu kami bicarakan adalah sahabat terbaiknya sedari muda. Cerita kedekatan ayah dan Detu Tuan sudah kerap kudengar. Karenanya tak heran jika Detu Tuan sering bertandang ke rumah kami. Jika sudah di rumah, keduanya akan berlamalama di bilik kecil dekat bilik pemandian. Aku cukup beruntung, karena ayah mengerti perasaanku pada Detu Tuan. Beliau tidak pernah mencoba membuatku berada dalam jarak cukup dekat dengannya. Sehingga tidak perlu berlelah-lelah aku menyembunyikan ketidaksukaanku. Perihal kedekatan keduanya, ibu pernah bertutur. Demikian ceritanya; “Semasa muda ayahandamu dan Detu Tuan Muda dikenal sangat dekat. Ayahandamu adalah kakak seperguruannya, yang berjanji menemani Detu Tuan Muda dalam tiap perjalanan. Keduanya melalui banyak pertarungan untuk mendapatkan kehormatan sebagai pendekar. Cerita-cerita mengatakan, banyak pertarungan dimenangkan Detu Tuan Muda sebab adanya ayahandamu. Sahabat yang selalu sedia menjadi tembok tebal bagi keris, pedang dan semua kesaktian yang hendak menyasar Detu Tuan Muda. “Pada satu masa, Detu Tuan Muda terpikat pada seorang wanita, putri bangsawan dari negeri seberang. Sayangnya, pertemuan Detu Tuan Muda dengan sang putri sangat terlambat. Ketika itu sang putri dikabarkan akan dinikahkan dengan seorang bangsawan lain. Maka mu-
runglah Detu Tuan Muda, hingga membuat ayahandamu turut merasa. Dalam sebuah kesempatan, berbincanglah keduanya. – “Wahai saudaraku yang senantiasa menemaniku dalam pertarungan di semua dunia. Engkau telah mengetahui, seorang wanita telah berhasil mengambil sebagian semangatku. Bersamaan dengan itu, Sang Pencipta hendak mengujiku dengan rencana memberikannya pada orang lain. Membayangkan semuanya membuat tidurku tidak nyaman, rusak nafsu makanku, bahkan hilang ketenangan saat bersama istriku.” “Wahai saudara dan junjunganku. Begitu tangguh wanita itu hingga mampu mengusik ketenanganmu. Jika demikian penting adanya bagimu, ijinkan saudaramu ini berangkat untuk menguji ketangguhan calon pendampingnya.” – “Maka, dengan restu Detu Tuan, berangkatlah ayahandamu. Ketika ayahandamu tiba di negeri seberang, pesta besar perkawinan sang putri tengah dilangsungkan. Kedatangan ayahandamu dengan keinginan membawa sang putri mengundang kegemparan. Dengan segala kesaktian, ayahandamu berhasil menewaskan pria yang mempersunting sang putri dan membawa sang putri ke hadapan Detu Tuan. Ibu menarik napas panjang lalu melanjutkan ceritanya. “Ketegangan tidak terelakkan, ancam-mengancam berlangsung akibat kejadian itu. Meski demikian, kehormatan adat harus dijunjung. Pria yang mempersunting sang putri tidak mampu mempertahankan kehormatannya sebagai pria, ia kalah dalam pertarungan yang lebih dari sekadar adil. Karenanya sang putri dan keluarganya harus bersuka cita atas Detu Tuan. “Sayangnya amarah bukanlah perkara mudah, terlebih jika sudah membusuk jadi dendam. Demikianlah yang dialami keluarga bangsawan yang anaknya terbunuh. Diam-diam mereka kerap mengirim pembunuh bayaran. “Kemudian dalam sebuah perjalanan dagang, rombongan Detu Tuan dan ayahandamu diserang segerombolan rampok berkesaktian mumpuni. Pertarungan sengit tak terelakkan, Detu Tuan dan ayahandamu terluka parah dan terdesak hingga jauh ke dalam hutan. Berhari-
hari keduanya diburu layaknya binatang, hingga tidak ada lagi pilihan lain bagi ayahandamu untuk menyelamatkan sahabatnya. Maka berkata ayahandamu,” – “Wahai sahabat dan junjunganku, biarkanlah darah telapak tangan kananmu mengalir ke puncak kepalaku. Dengan begitu akan terbuka jalan bagimu untuk keluar dari hutan ini.” – “Detu Tuan yang sangat mengerti kemampuan ayahandamu segera memenuhi permintaan itu. Segera saja darah dituang ke ubun-ubun ayahandamu, mengalir hingga mengenai wajahnya. Begitu darah mencapai wajah, seluruh tubuh ayahandamu berganti rupa menjadi Detu Tuan. Itulah salah satu ilmu pamungkas ayahandamu, Megat Lelendo. Berkat ilmu itu, rampok yang mengejar terkecoh dan Detu Tuan selamat. “Kejadian itu terus terkenang di benak Detu Tuan. Puluhan hari beliau bermuram durja sebab merasa kehilangan sahabat terbaiknya. Namun tak dinyana, ayahandamu kembali bersama seorang wanita yang telah membantunya hingga mengalahkan gerombolan rampok. Kebahagiaan Detu Tuan tak terkira, sebab itu beliau melangsungkan pesta besar-besaran mengawinkan keduanya.” Ibu tersipu lalu mengelus rambutku. “Saat ibu menemukan ayahandamu di hutan, keadaannya begitu memerikan hati, namun keteguhannya membuat pertahanan ibu rubuh. Tak pernah ibu temukan seorang pria yang demikian menghargai sahabatnya.” Itulah sepenggal cerita tentang kedekatan ayah dan Detu Tuan. Cerita yang membuatku tak mampu membayangkan kekuatan hati ayah. Ayah yang masih saja gelisah karena hal yang tak kumengerti penyebabnya. Tepat hari ketujuh sejak perubahan sikap ayah, Detu Tuan bertandang ke rumah. Dia mengenakan pakaian hitam lengkap dengan sapuq, simbol kebangsawanannya. Tidak lupa, sebilah keris bergagang kuning emas di sela kancing depan pakaiannya. Untuk pertama kalinya aku begitu ingin tahu apa yang diperbincangkan keduanya. Namun seperti biasa, mereka langsung menuju bilik lembab dan berlama-lama di sana, hingga
aku tidak sadar kapan Detu Tuan meninggalkan rumah. Esoknya ayah tampak lebih segar. Beliau mulai berbincang seperti hari-hari sebelum kegelisahan datang. Sepertinya kegundahan ayah memang karena Detu Tuan, hingga pertemuan tadi malam telah menyelesaikan semuanya. Menjelang sore hari, ayah ibu memintaku menemani mereka berbincang. “Ananda telah tumbuh menjadi wanita yang hampir utuh. Sudah tiba waktunya ananda menentukan jalan hidup yang ananda inginkan,” kata ayah tiba-tiba. Ibu di sampingnya tersenyum, seolah telah mengerti arah pembicaraan ayah. “Beberapa hari lalu, Detu Tuan datang membawa kabar yang harusnya sangat membahagiakan. Detu Tuan berkehendak agar ananda dikawinkan dengan salah seorang putranya.” Ayah diam sejenak sedang aku lebih dari diam. Tak menentu pikiranku mendengar kalimat dengan kata perkawinan di dalamnya itu. Aku tertunduk. “Detu Tuan berkehendak agar derajat keluarga kita terangkat melalui perkawinan. Dengan begitu, kelak dua keluarga akan semakin mampu saling membentengi dalam menghadapi segala hal.” Ayah diam lagi lalu melanjutkan. “Sekarang angkatlah kepala dan katakan pendapat ananda?” Jantungku yang seperti berhenti sejak ayah menyebut kata perkawinan, seperti hidup kembali ketika ayah mengakhiri kalimatnya. Perlahan aku mencari wajah keduanya, menatap dalam pada mata mereka. Tempat selama ini aku selalu menemukan obat bagi semua kegundahan, obat yang sepertinya sedang tidak di sana. “Berhari-hari ayahanda menepi, menyepikan diri, meninggalkan ibunda dalam sepi. Ayahanda mengurangi istirahat, makan dan bertarung dengan dingin. Hanya untuk sesuatu yang
harusnya bisa ayahanda minta begitu saja. Ananda berasal dari daging ayahanda dan ibunda. Jadi tidak seharusnya ananda menolak apa pun kehendak ayahanda dan ibunda.” Jantungku bergemuruh. Berbagai bayangan bermunculan. Lidahku serasa kaku, tapi aku harus menyelesaikan kalimatku. “Ayahanda meminta pendapat. Meminta kejujuran. Inilah kejujuran ananda. Sesungguhnya untuk pertama kali ini ananda melihat ayahanda tidak yakin dengan kalimat ayahanda sendiri. Mungkinkah ananda meneguhkan diri atas sesuatu yang ayahanda tidak yakini?” Selesailah semua yang ingin aku katakan. Ayah dan ibu terdiam. Keduanya mengulas senyum dan ayah berkata. “Ananda tahu, hubungan ayahanda dengan Detu Tuan melebihi darah persaudaraan. Tidak pernah ayahanda ragu memberikan apapun padanya. Kiranya Detu Tuan meminta sisa nyawa di tubuh renta ini, tidak ragu ayahanda berikan dengan suka cita. Tapi nyawa ananda adalah milik ananda, milik Sang Pencipta dan satu ketika akan diminta kembali beserta semua pertanggungjawaban. “Kewajiban kami atas ananda telah hampir terpenuhi. Hak kami atas ananda sudah hendak tergenapi. Ketahuilah, sepekan ayahanda meminta petunjuk Sang Pencipta atas permasalahan ini. Jadi kiranya maafkan jika nanti keputusan ayahanda, ananda nilai tidak tepat.” Semua berjalan begitu perlahan, ayah mengambil napas seperti ketika ibu menuturkan ceritanya. “Inilah keputusan ayahanda dan telah ayahanda sampaikan pada Detu Tuan. Menjadi istri di antara istri bukanlah hal mudah. Jadi cukuplah ayahanda tetap berharap suatu ketika engkau menjadi satu-satunya istri untuk seorang lelaki.” # Mataram Megat Lelendo = memutus bayangan
Budi Afandi; Lahir di Dusun Bilatepung, Desa Beleka, Lombok Barat, NTB 20 Juni 1983. Menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang. Menulis novel, cerpen dan puisi, beberapa karyanya dimuat Koran Tempo, Bali Post, Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Banjarmasin Post, Lentera Timur, Medan Bisnis, Sumut Pos, Victory News, Pikiran Rakyat, Haluan Padang, Radar Surabaya, Minggu Pagi, Suara NTB dan Koran Kampung. Beberapa sajaknya terhimpun dalam Antologi Penyair NTB : dari takhalli sampai temaram (2012). Cerpennya terhimpun dalam : Badja Matya Mantra (2013). Bekerja di Departemen Kajian Umum Komunitas Akarpohon Mataram.
PUISI PUISI - Yogi S Memeth
INAK* PAH dalam ruang kepalsuan, inak pah menari. nyeri yang mampir pada anak-anaknya dilipat, rapi. dalam kesengajaan tak benar tahu mereka darah dan mimpi pembakar perempuan itu, ia hanya ingat perapatan sebagai mimpi yang mesti dirampungkan *ibu Lombok Timur .12
PUSAT KOTA di pusat kota, bulan tumpah. pada mabuk terencana tubuh kehilangan ruh kita, alfa luar-dalam— Lombok Timur .feb 12 Yogi S Memeth, lahir di Lombok Timur. Berkegiatan di Komunitas Rabu Langit, sekarang aktif kuliah di FKIP Unram. Beberapa karyanya pernah termuat di Antologi Bersama Komunitas Rabu Langit “Kepompong Api”, antologi “Ayat-Ayat Ramadan” dan lainnya semisal koran Bali Post dan lain-lain.
REPERTOAR - Angsa Angsa Liar disadur dari novel Jhung Chang yang dipentaskan Habitat Capung di Warjcak.
Repertoar ”Angsa Angsa Liar” Habitat Capung Mataram (Suara NTB) Selasa 22 Oktober 2013 lalu, kelompok seni ‘Habitat Capung’ Mataram mementaskan sebuah repertoar anyar berjudul, “Angsa Angsa Liar’. Pentas ditampilkan dalam bentuk Musikalisasi, berlangsung di Warung Jack Taman Budaya NTB. Menurut front man Habitat Capung, WS. Irawan, naskah pentas musikalisasi itu lahir dari bacaan novel Jung Chang berjudul Angsa Angsa Liar. Novel yang berkisah perempuan yang hidup dan besar di tiga generasi. “Dari mulai neneknya, ibunya dan dirinya sendiri,” kata Sentot,
sapaannya, menjelaskan singkat soal isi pentas yang digagasnya. Bagi Habitat Capung, musikalisasi ini lebih menyoroti bagaimana Jung Chang bergelut dengan berbagai ideologi kekuasaaan. Ia ingin sedikit menjelaskan, makna dari repertoar tersebut, lebih kepada keinginan mengingatkan, bahwa tiga generasi pun dirasa tidak cukup bagi seorang manusia dalam menemukan ideologinya. Musikalisasi ini diiringi antara lain; Ipank pada Bas, Aan pada lead guitar, Iching pada khahon dan Ary Julian pada instrument tiup dan gesek, dan dirinya sebagai lead vocal dan rytem. (ars)
Puisi pada Repertoar ANGSA-ANGSA LIAR (ide dari novel karya Jhung Chang) CINTA dan BAPA. Jiwa tak akan pernah sama. saat duduk dan bicara, cinta... Yang kumengerti, sesuatu kerap terjadi menjelaskan waktu. Merasa cemburu, Memaafkan laku Atau mencuri pandang ke arahmu. Ketika jiwa bersentuhan, Membantah kenyataan. Pada yang dimengerti, cinta adalah, bapa sendiri.
(Suara NTB/ars)