Bunga Rampai Edisi 2

Page 1

Bunga Rampai

Amanat

i


ii

Amanat Bunga Rampai


Bunga Rampai

Amanat

iii


Quo Vadis Kampus Walisongo Bunga Rampai Oleh SKM Amanat Tim Penyusun: Mohammad Iqbal Shukri, Iin Endang Wariningsih, Riduwan, Agus Salim Irsyadullah, Khalimatus Sa’diyah, Afridatun Najah Layout Ibnu Abdillah Desain Cover Muhammad Hasib ŠCetak: Desember 2019 Alamat Kantor Redaksi: Gedung Pusat Kegiatan Mahasiswa Kampus III Lt. 1 Universitas Islam Negeri Walisongo, Jl. Prof. Dr. Hamka No.3 - 5, Tambakaji, Kec. Ngaliyan, Kota Semarang, Jawa Tengah 50185 Email: redaksi.skmamanat@gmail.com

iv

Amanat Bunga Rampai


Pengantar Tim Penyusun Syukur alhamdulillah kami ucapkan, atas rida Allah buku bunga rampai Quo Vadis Kampus Walisongo ini bisa terbit. Ini adalah kali kedua Surat Kabar Mahasiswa (SKM ) Amanat menerbitkan buku bunga rampai untuk menandai jejak jurnalistik yang dilaluinya. Jika pada bunga rampai yang pertama menandai dasawarsa atau usia yang kesepuluh, maka bunga rampai yang di tangan pembaca ini menandai langkah SKM Amanat yang ke-35 tahun. Berbeda dengan buku bunga rampai yang pertama lebih dominan berisi kumpulan artikel, maka bunga rampai yang ke dua ini berisi karya jurnalistik berita indhept news, dari tahun 1995 sampai 2019. Pelbagai peristiwa yang terjadi dalam sejarah panjang kampus Walisongo ini, terutama sejak tahun 1995 hingga sekarang terrekam dengan baik dalam karya-karya jurnalistik yang diterbitkan dalam bentuk tabloid SKM Amanat. Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo yang luar biasa seperti sekarang ini adalah satu etape perjalanan institusionalisasi kampus ini dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Institusi ini berkembang tidak hanya bangunan fisik, tetapi juga nilai, budaya, dan pelayanan akademiknya yang menandai kualitas

sebagai sebuah universitas. Perjalanan yang menanjak dan berliku menjadi dinamika penting untuk diketahui oleh sivitas akademika, khususnya mahasiswa. Demikian pula dinamika mahasiswa dalam melakukan gerakan-gerakan sosial politik, baik di internal kampus maupun ekternal kampus juga terrekam apik dalam pembeitaan-pemberitaan di SKM Amanat IAIN Walisongo ini. Mahasiswa sebagai agen perubahan sosial (agent of social change), dan sebagai kelompok minoritas kreatif (creative minority), kiprah dan dinamikanya menjadi penting untuk diwariskan pada generasi mahasiswa yang datang kemudian. Semangat dan idealisme mahasiswa yang tidak selalu bercahaya menjadi potret mahasiswa yang bisa diambil pelajaran bagi mahasiswa baru; yang baik lanjutkan, yang buruk tinggalkan! Buku bunga rampai ini kiranya penting dibaca oleh sivitas akademika Kampus UIN Walisongo. Sebab dalam rangka membangun dan mengembangkan perguruan tinggi perlu adanya sinergisitas semua pihak sivitas akademika yakni mahasiswa, dosen, dan birokrat kampus. Bunga Rampai

Amanat

v


Buku bunga rampai ini disusun atas 3 topik, pertama, pemberitaan-pemberiataan yang berkaitan dengan dinamika institusionalisasi kampus Walisongo. Kedua berisi pemberitaan-pemberitaan tentang pelayanan lembaga kampus kepada para mahasiswanya terutama pelayanan akademik. Ketiga, dinamika gerakan mahasiswa dari kampus Walisongo. Sebagaimana kita ketahui bersama kampus walisongo berkembang begitu pesat. Pada saat masih berstatus institut, IAIN Walisongo mempunyai kampus daerah seperti Fakultas Ushuluddin di Kudus, Fakultas Syariah di Pekalongan, Fakultas Tarbiyah di Salatiga, Fakultas Syariah di Surakarta, dan Fakultas Tarbiyah di Purwokerto. Berbagai kampus daerah ini akhirnya harus berdiri sendiri dan berkembang menjadi STAIN, bahkan sekarang telah meningkat statusnya menjadi IAIN. Proses “perceraian” IAIN Walisongo dengan fakultas-fakultas daerah yang diawali dengan isu-isu relokasi telah menuai polemik di internal mahasiswa. Dinamika tersebut salah satunya bisa dilihat dalam laporan yang berjudul “Salatiga Terus Meronta”. Selain itu masih banyak lagi laporan yang berkaitan dengan kelembagaan yang kami rangkum dalam topik “Jejak Perkembangan Institusionalisasi Kampus Walisongo”. Dinamika perkembangan Kampus Walisongo juga tidak bisa dipisahkan fungsi kelembagaan kampus yang berfokus pada pengembangan akademik maupun ketrampilan masiswa. Kampus bukan hanya berkewajiban untuk membangun gedung dan menyediakan fasilitas belajar dan

vi

Amanat Bunga Rampai

berkegiatan saja, melainkan juga upaya untuk meningkatkan intelektual mahasiswa, yang sesuai dengan visi dan kultur kampus Walisongo sendiri. Hal itu tidak bisa dipungkiri dan dipengaruhi dari beberapa faktor, seperti pelayanan akademik, kurikulum, kebijakan dan sistem yang tidak merugikan mahasiswa. Dari semua itu bisa dilihat dalam topik “Pengembangan Mutu Mahasiswa” (Dari kebijakan hingga pelayanan akademik) yang berisi reportase tentang problem-problem yang dihadapi oleh mahasiswa yang mungkin hingga kini masih belum terselesaikan. Disini pentingnya belajar dari sebuah sejarah, keinginan untuk maju juga dibarengi dengan sikap tidak lupa pada sejarah yang ada. Misalnya, laporan “Kemana KKN Dirombak” hingga KKN dengan Sistem Partisipatory Action Research (PAR), tertulis dalam laporan “Dari dan Demi Masyarakat”. Hal ini menggambarkan UIN Walisongo masih meraba untuk menyesuaikan sistem yang sesuai, serta komitmennya untuk menjalankan sebuah kebijakan. Kemudian lanjut pada topik “Dinamika Pergolakan Gerakan Mahasiswa”SKM Amanat menyajikan laporan yang terkait Dinamika Pergolakan Mahasiswa, baik itu mahasiswa dalam menyikapi sebuah persoalan kampusnya. Seperti dinamika mahasiswa dilibatkan dalam keanggotaan senat institut (kala masih IAIN), hingga mahasiswa di ikutkan dalam prosesi pemilihan rektor pada 2006. Meskipun keberadaan mahasiswa dalam pemilihan rektor kala itu tidak luput dari politik transaksional. Problematika tersebut bisa dibaca pada


laporan dengan Judul “Dan Djamil pun Melenggang” dan “Senat Mahasiswa di Tengah Prahara” Dinamika tersebut terus berlanjut pada tahun 2011 yang tertuang dalam isi laporan yang berjudul “Statuta dihujat” yang mana mahasiswa tidak dilibatkan dalam pemilihan dekan. Dinamika perkembangan UIN Walisongo tersebut layak untuk diketahui warga kampus. Sebab masa depan, atau capaian Kampus Walisongo hari ini tidak lepas dari sejarah. Sejarah bukan hanya untuk dikenang, melainkan bisa diambil pelajaran untuk mewujudkan visi Kampus Walisongo yang telah direncanakan. Terkait karya jurnalistik yang kami bukukan ini sejatinya telah mengedepankan dasar-dasar etika jurnalistik, mengedepankan independensi, cover both side, dan lainnya. Tentunya dalam laporan kami tidak hanya mengungkap melalui satu pandang saja. Dalam beberapa laporan juga disertakan pandangan-pandangan yang inspiratif oleh pakar dalam menyelesaikan persoalan. Yang mungkin dirasa masih relevan jika dijalankan pada masa sekarang. Pemberitaan tidak saja menyuguhkan informasi, tetapi juga pembelajaran tentang masa lalu sehingga masa depan dapat dijalani dengan lebih baik. Kliping-kliping berita adalah jejak-jejak sejarah yang mewariskan pengetahuan tentang realitas yang terjadi. Tidak hanya tentang apa yang ditulis dan diberitakan, tetapi bagaimana para aktivis pers mahasiswa yang bergabung di SKM Amanat ini menganyam nilai-nilai dari mantra-mantra sakti jurnalistik

dalam sikap hidup mereka. Idealisme dan kritisisme menjadi ideologinya. Obyektifitas dan independensi dalam menyuarakan kebenaran. Nilainilai ini yang terkadang berlawanan dengan kepentingan-kepentingan pihak-pihak tertentu yang menjadi sasaran pemberitaan. Namun sekali lagi, bagi SKM Amanat, keberpihakan pada kebenaran adalah utama. Penerbitan buku bunga rampai ini tidak saja untuk menambah wawasan dan lebih mengenal Kampus Walisongo. Bunga rampai ini sekaligus sebagai bentuk apresiasi kepada para alumni dan segenap kru SKM Amanat yang hingga pada usia Amanat yang ke 35 tahun tetap eksis dengan karyakarya yang berkualitas, tentunya atas perjuangan berproses dalam mengarungi ruang pers mahasiswa. Atas tersusunnya buku ini, kami tim penyusun, mengucapkan terimakasih banyak kepada para alumni yang telah membantu kami dalam proses penerbitan bunga rampai ini, khususnya mas Joko Tri Haryanto, Siti Alfijah, dan Hasan Aoni Aziz. Tak lupa kami sampaikan terimakasih kepada Rektor UIN Walisongo Prof. Imam Taufiq M. Ag yang senantiasa telah memberikan ruang pers mahasiswa, untuk tetap eksis dalam kampus yang demokratis ini. Semoga buku bunga rampai ini bisa menjadi rujukan dan menuai manfaat bagi sivitas akademika UIN Walisongo dan bagi siapapun yang membacanya. Tim penyusun

Bunga Rampai

Amanat

vii


viii

Amanat Bunga Rampai


Kata Pengantar Rektor UIN Walisongo Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo sebagai perguruan tinggi agama telah mengalami perjalanan yang cukup panjang. Usia UIN Walisongo akan memasuki usia 50 tahun pada tahun 2020. Dalam usia menjelang setengah abad ini tentu UIN Walisongo telah mengalami banyak perubahan. Perubahan-perubahan itu menjadi bukti bahwa kampus ini selalu dinamis dalam menjawab tantangan zaman. Dalam usaha berbenah diri inilah kadang kala menimbulkan dinamika kampus yang menghangat. Salah satunya adalah transformasi IAIN ke UIN. Secara kelembagaan perubahan IAIN menjadi UIN harus dibarengi juga dengan perubahan infrastruktur, kurikulum, dan budaya kampus. Perubahan itu tentunya tidak diamini semua orang, atau bahkan tidak semua warga kampus mudah beradaptasi dengan transformasi kampus kita ini. Sangatlah wajar jika ada ketidaknyamanan ataupun kritik muncul ditengah masa perubahan tersebut. Misalnya saja kebijakan tentang lulusan harus memiliki sertifikat TOEFl IMKA tentu tidak diterima dengan

mudah mahasiswa. Namun kebijakan tersebut harus dipahami sebagai langkah perbaikan untuk menyiapkan lulusan UIN Walisongo agar mampu berkompetisi dengan lulusan universitas-unversitas lain. Masih banyak cerita lain tentang perjalanan UIN selama 49 tahun ini. Ada yang manis, ada juga yang pahit. Kadang mengenakkan, kadang juga membuat gerah. Masa-masa yang bersejarah itu terekam diantaranya dalam kabar berita tabloid SKM Amanat. Sebagai lembaga pers mahasiswa, SKM Amanat memainkan peran strategis dalam desiminasi informasi pada warga kampus Walisongo. Sejauh ini Amanat juga telah membuktikan diri sebagai agen jurnalis yang berkomitmen untuk memberikan informasi yang akurat kepada khalayak. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dari UIN Walisongo, SKM Amanat selalu menyuguhkan informasi penting tidak hanya bagi mahasiswa tapi juga bagi pengambil kebijakan kampus. Tidak sedikit bagaimana isu-isu yang dimunculkan dalam tabloid AMANAT juga menjadi perhatian para petinggi kampus. Bunga Rampai

Amanat

ix


Tulisan dalam bunga rampai ini merupakan rekaman perjalanan UIN Walisongo dari satu perspektif (angel) mahasiswa. Paling tidak ada tiga dimensi yang dipotret dalam tulisan ini. Ketiganya adalah kelembagaan, akademik dan gerakan mahasiswa. Tentunya peristiwa sejarah yang ditampilkan tidak cukup hanya dilihat dari satu sudut saja. Perlu adanya sudut pandang lain untuk melengkapinya sehingga pemahaman kita akan sejarah semakin komprehensif. Namun demikian, apa yang disuguhkan SKM Amanat ini dalam tulisan ini, bisa menjadi jendela awal kita untuk menengok jejak sejarah kampus tercinta ini. Dalam usianya yang ke-35 saya berharap SKM Amanat semakin berkomitmen untuk selalu menjadi sumber informasi yang dapat dipercaya. Di era keterbukaan informasi ini, lem-

x

Amanat Bunga Rampai

baga pers mahasiswa dituntut tidak hanya menyampaikan khabar yang akurat tapi juga bertanggungjawab. Bukan sekedar menyampaikan berita yang bombastis tapi juga berita yang faktual, sesuai dengan kenyataan dan berimbang. Akhirnya, semoga buku bunga rampai ini bisa memberikan manfaat dan kontribusi positif untuk lembaga, UIN Walisongo, menjadi kampus yang berperadaban untuk kemanusiaan (humanity). Semarang, 5 Desember 2019

Prof. Dr. Imam Taufiq, M.Ag.


Daftar Isi Pengantar Tim Penyusun ...................................................................... v Kata Pengantar Rektor............................................................................ ix Prolog..................................................................................................... xiii BAGIAN PERTAMA : JEJAK PERKEMBANGAN INSTITUSIONALISASI KAMPUS WALISONGO Gedung Baru Itu............................................................................... 1 Pembangunan Berkelanjutan............................................................ 5 Tetap Jalan Meski Tanpa Amdal....................................................... 9 Salatiga Terus “Meronta”.................................................................. 13 ‘Benang Basah’ Tri Etika Kampus...................................................... 17 IAIN Menyongsong Milenium Baru.................................................. 21 Quo Vadis Kampus Kita..................................................................... 25 Intelektual IAIN Walisongo Nyaris Tak Terdengar............................. 29 Kenapa Harus Dosen?....................................................................... 33 Sentralisasi UKM Bermasalah.......................................................... 35 Membisniskan Perguruan Tinggi....................................................... 39 IAIN Digoyang OPAK.......................................................................... 45 Membesarkan Guru Besar................................................................ 51 Lahan Basah UIN............................................................................... 57 Terseret Kampus Riset...................................................................... 61 BAGIAN KEDUA : PENGEMBANGAN MUTU MAHASISIWA (Dari Kebijakan Hingga Pelayanan Akademik)

Susah dan Ruwet Dana Mahasiswa.................................................. 67 DOP Batal atau…!.............................................................................. 69 Bertaruh pada UKT........................................................................... 75 Kuliah Online Biar Dibilang Keren..................................................... 79 Bunga Rampai

Amanat

xi


Presensi Harga Mati......................................................................... 83 Pening Dua Bahasa Asing................................................................. 87 Berjuang di Tengah Keterbatasan .................................................... 93 Kemana KKN Dirombak..................................................................... 97 Dari dan Demi Masyarakat............................................................... 101 Cepat Sarjana dengan Semester Pendek.......................................... 105 Beradu ‘Takdir’ di Ujian Akhir........................................................... 107 Aksi Untuk Berbelitnya Pengajuan Skripsi......................................... 113 Lulus Tanpa Skripsi............................................................................ 117 Perpustakaan, Kebal Kritik tak Kunjung Berubah.............................. 119 Selubung Modus Wisata................................................................... 123 Membesarkan UKM.......................................................................... 127 Tersendat Sosialisasi......................................................................... 131 Mengislamkan Mahasiswa UIN ........................................................ 135 BAGIAN KETIGA : DINAMIKA PERGOLAKAN GERAKAN MAHASISWA Mengatasnamakan Stabilitas, Kaburkan Otonomi Kampus.............. 141 Mengapa ABRI Jadi Lembaga Tukang Su’udhan................................ 145 Menggugat Pencemar Otonomi........................................................ 149 Menengok Gerakan Mahasiswa ‘98.................................................. 153 Aksi Datang Diskusi Menghilang....................................................... 159 Mahasiswa Bergerak Militer Menembak.......................................... 163 Mempertanyakan Tanggungjawab ABRI........................................... 167 Dari Pers Sampai Gerakan Mahasiswa.............................................. 173 Forum Komunikasi Persma IAIN Walisongo; Hidup Lalu Mati Lagi.... 177 Dan, Djamil pun Melenggang (Lagi).................................................. 181 Senat Mahasiswa di Tengah Prahara................................................. 187 Statuta Dihujat.................................................................................. 193 Organisasi Ekstra “Mbonceng “ Resitasi........................................... 197 Macan Pantura Tinggal Nama........................................................... 201 Epilog................................................................................................ 207 xii

Amanat Bunga Rampai


PROLOG

35 Tahun SKM Amanat;

Amanat Bukanlah Segalanya, Namun Segalanya Bisa Bermula dari Amanat Siti Alfijah Pemimpin Umum SKM Amanat Era Reformasi 1998

Amanat bukanlah segalanya, namun segalanya bisa bermula dari Amanat. Inilah jargon yang sering didengung-dengungkan oleh para senior kepada para junior dalam proses kaderisasi di Surat Kabar Mahasiswa [SKM] Amanat yang berkedudukan di kampus Universitas Islam Negeri [UIN] Walisongo Semarang. Jargon tersebut bukanlah omong-kosong belaka. Bagi para mahasiswa yang aktif di dalamnya, Amanat bagaikan sebuah kawah candradimuka, di mana mereka menempa dirinya agar mampu mengembangkan skill berorganisasi; mampu mengembangkan kemampuan jurnalistik [menulis, fotografi, desain grafis, layout dan sebagainya]; mampu memperluas wawasan, mempertajam analisis, menelurkan ide-ide cemerlang yang kritis serta mengembangkan kreativitas dan inovasi; mampu memperluas jaringan; serta mempunyai kesempatan

berkarir yang lebih luas dibandingkan mahasiswa lainnya. Dan lebih dari itu semua, aktif di Amanat menjadikan seorang mahasiswa mampu menjaga kemurnian idealismenya. Diakui atau tidak, pengalaman berharga ini telah berhasil mengantarkan para alumni Amanat mencapai kesuksesan karirnya. Selanjutnya, sebagaimana pers mahasiswa di kampus lainnya, dewasa ini Amanat menghadapi tantangan yang tidak mudah. Menginjak usianya yang ke-35 tahun, Amanat dihadapkan pada satu realitas di mana media massa cetak mulai bertumbangan dan punah. Itulah. Zaman telah berubah. Gelombang digitalisasi datang menerjang bagaikan air bah. Namun demikian, kehadiran era digitalisasi ini janganlah dilihat sebagai sebuah hambatan. Aktivis Amanat hendaknya mampu mengkapitalisasi kemampuan terbaiknya, sehingga bisa berBunga Rampai

Amanat

xiii


tahan dan bahkan berkembang sesuai kehendak zaman. Tingkatkanlah skill berorganisasi. Tingkatkanlah kemampuan jurnalistik [menulis, desain grafis, layout dan sebagainya, termasuk fotografi]. Tingkatkanlah wawasan dan mempertajam analisis sehingga mampu menelurkan ide-ide cemerlang yang kritis penuh kreativitas dan inovasi. Jangan lupa memperluas jaringan, termasuk dengan para alumni. Dengan demikian, Amanat mampu bertahan di dunia nyata dengan cara konvensional dengan tetap memproduksi dan menerbitkan tabloid kebanggaan, sekaligus berkibar di dunia maya yang serba digital ini. Go Digital; Suara Amanat adalah Suara Sivitas Akademika

Amanat go digital, itu tidak bisa dielakkan. Berbagai hal, hendaknya segera dipersiapkan. Amanat harus ideal, itu merupakan keharusan. Sebagai salah satu pilar bagi tegaknya demokrasi di kampus UIN Walisongo Semarang, maka Amanat hendaknya mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap berbagai hal yang terjadi. Dalam hal ini, Amanat tidak sekedar berfungsi sebagai alat kontrol sosial saja, melainkan menjadi pusat informasi bagi seluruh sivitas akademika serta menjadi sarana pendidikan dan hiburan. Dalam melaksanakan fungsi strategisnya tersebut, Amanat hendaknya mengacu pada nilai-nilai kenabian; shiddiq, amanah, fathanah, tabligh. Amanat hendaknya

xiv

Amanat Bunga Rampai

selalu jujur dan berkata benar; bisa dipercaya; cerdas; mampu menyampaikan fakta dengan sebaik-baik cara. Lantas, apa saja yang layak untuk disuarakan oleh Amanat? Sebagai pusat informasi serta menjadi sarana pendidikan dan hiburan, maka sudah seharusnya Amanat menyampaikan informasi-informasi yang penting untuk diketahui oleh seluruh sivitas akademika. Dalam hal ini, Amanat bukanlah humas siapapun, namun jika kampus UIN Walisongo atau pihak rektorat, dekanat, BEM, UKM atau mahasiswa berhasil mengukir prestasi yang layak dibanggakan oleh seluruh sivitas akademika, maka Amanat tentu berkepentingan untuk menyuarakan dan mempublikasikannya. Sebagai sarana kontrol sosial, maka, jika Amanat menemukan adanya fakta bahwa kebijakan di tingkat nasional terbukti melemahkan posisi kampus UIN Walisongo, maka Amanat sudah seharusnya menunjukkan keberpihakan terhadap kampus UIN Walisongo. Jika Amanat menemukan adanya fakta bahwa kebijakan kampus UIN Walisongo terbukti melemahkan posisi mahasiswa, maka Amanat sudah seharusnya menunjukkan keberpihakan terhadap mahasiswa. Jika Amanat menemukan adanya fakta bahwa kebijakan di tingkat Badan Eksekutif Mahasiswa [BEM] terbukti melemahkan posisi Unit Kegiatan Mahasiswa [UKM], maka Amanat


sudah seharusnya menunjukkan keberpihakan terhadap UKM. Demikian seterusnya. Suara Amanat adalah suara sivitas akademika. Inilah yang disebut upaya menjaga nilai-nilai idealisme ala mahasiswa. Amanat Teruslah Berjaya

Sebagaimana diketahui bersama, Amanat tidak hanya memproduksi dan menerbitkan tabloid saja. Bulletin dan Majalah Soeket Teki, belakangan ini telah menjelma menjadi karya jurnalistik yang ditunggu-tunggu oleh pembaca setianya. Kali ini, khusus untuk memperingati 35 tahun berdirinya, Amanat mener-

bitkan Bunga Rampai. Kiranya Bunga Rampai ini tidak sekadar menjadi penanda eksistensi belaka, namun mampu menjadi daya dorong bagi seluruh Keluarga Besar Amanat untuk terus-menerus meningkatkan kapasistas dirinya, sehingga lebih siap lagi menjawab tantangan di masa depannya. Dirgahayu 35 tahun berdirinya Amanat. Teruslah berjaya. Amanat bukanlah segalanya, namun segalanya bisa bermula darinya.

Bunga Rampai

Amanat

xv


xvi

Amanat Bunga Rampai


BAGIAN PERTAMA JEJAK PERKEMBANGAN INSTITUSIONALISASI KAMPUS WALISONGO

Bunga Rampai

Amanat

xvii


xviii Amanat Bunga Rampai


Gedung Baru Itu... Tidak sekedarnya, sarana dan prasarana dalam kegiatan belajar mengaiar turut mendukung keberhasilan output mahasiswa. “Dengan semakin lengkapnya sarana dan prasarana, harus dapat meningkatkan semangat kerja dan kedisiplinan yang tinggi dijajaran IAIN. Sebab tujuan prinsip dibangunnya sejumlah proyek gedung di IAIN Walisongo Semarang adalah dalam rangka peningkatan efisiensi kerja karyawan atau dosen, di samping mendorong semangat mahasiswa.” Demikian kata Dirjen Binbaga Islam Depag Dr. Hj. Andi Rosdiana pada pertengahan April 1996 lalu di gedung baru kantor Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang saat meresmikan sejumlah proyek fisik kampus IAIN Walisongo Semarang. Pada kesempatan itu diungkapkan pula oleh Rektor IAIN Walisongo Prof. Drs. H. Achmad Ludjito, bahwa salah satu dari lima faktor keberhasilan pendidikan adalah tersedianya sarana dan prasarana. Karena itu, dengan dibangunnya sejumlah proyek sarana fisik tersebut akan sangat membantu bagi pencapaian tujuan pendidikan. “Selama ini IAIN Walisongo memang

sangat kekurangan ruang kuliah, termasuk kantor fakultas. Tapi dengan diresmikannya sejumlah gedung oleh Ibu Dirjen, kekurangan tersebut telah dilengkapi, “ ujar Ludjito. Menurut pimpinan proyek PTA/ IAIN Walisongo Semarang Drs. H. Zen Yusuf dalam laporannya menjelaskan, sesuai dengan Daftar Isian Proyek (DIP) tahun anggaran 1995/ 1996 Nomor 099/XXV/31/-/1995. Proyek Perguruan Tinggi Agama/ IAIN Walisongo memperoleh dana sebesar Rp 2.561.000.000,-. Dana tersebut untuk proyek-proyek di IAIN Walisongo Semarang, Surakarta dan Purwokerto. Proyek-proyek tersebut meliputi, pengadaan peralatan gedung, pembangunan gedung, pembangunan prasarana lingkungan, renovasi gedung, pengadaan buku, pendidikan dan pelatihan, penelitian, operasional dan pemeliharaan, dan orientasi kurikulum. Sedangkan realisasi pelaksanaan proyek fisik 100 persen berhasil dengan keuangan 99,70 persen dari jumlah anggaran yang ditetapkan. Dan poyek-proyek fisik yang dimaksud: Pembangunan gedung kantor Fakultas Dakwah berlantai II Bunga Rampai

Amanat

1


IAIN WS, masih perlu gedung? (Dok. Amanat)

dengan dana sebesar Rp 400.596.000,Gedung Kantor Fakultas Syariah berlantai I dengan dana sebesar Rp 396.092.000,- Gedung kuliah Fakultas Tarbiyah berlantai II dengan dana sebesar Rp 479.828.000,-. Renovasi gedung Rektorat dengan dana sebesar Rp 98.749.080,-. Semua proyek tersebut berada di Semarang. Di samping itu, pembanguan gedung kuliah Fakultas Syariah IAIN Walisongo di Surakarta berlantai II dengan dana sebesar Rp 463.200.000,. Pembangunan gedung kuliah Fakultas Tarbiyah Salatiga dengan dana sebesar Rp 45.753.000,-. Kemudian pembangunan Talud/prasarana lingkungan dengan dana sebesar Rp 115.610.400,-. Dalam sambutannya Dirjen Binbaga Islam Depag mengatakan, diresmikannya sejumlah proyek fisik tersebut menandakan bahwa IAIN Walisongo Semarang tengah mendapat perhatian khusus dari Depag pusat.

2

Amanat Bunga Rampai

Pengembangan IAIN selama ini mengacu pada Rencana Induk Pengembangan (RIP) 25 tahun, mulai 1995 sampai 2019. RIP tersebut dijabarkan oleh masing-masing IAIN termasuk IAIN Walisongo, menjadi mengembangkan 25 tahun jangka menengah. Ditandaskan pula, indikasi keberhasilannya diletakkan pada 8 bidang pengembangan sebagai kunci sukses IAIN. Yaitu kelembagaan, ketenagaan, kurikulum, perpustakaan, penelitian, penelitian pada masyarakat, kemahasiswaan serta sarana dan prasarana. Dijelaskan pula, untuk pengembangan sarana dan prasarana mengacu pada master plan yang disusun untuk pengembangan IAIN selama 25 tahun yang akan datang. Oleh karena itu pimpinan IAIN dalam pengembangan program-program tahunannya mesti mengacu master plan tersebut. Hal ini dimaksudkan agar tidak acak dalam membangun dan


mengembangkan IAIN. Begitu pula, penyimpangan dari master plan demi pertimbangan sesaat perlu dihindari . Untuk itu, “Hendaknya senat IAIN selalu diikut sertakan dalam pengambilan keputusan.� Acara peresmian sejumlah gedung dan proyek baru tersebut oleh Dirjen Binbaga Islam Depag Dr. Hj. Andi Rosdiana didampingi Rektor IAIN Walisongo, ditandai dengan penandatanganan lima prasasti. Hadir pula ketua Pengadilan Tinggi Agama Jateng, Kakanwil Depag Jateng HD Sunaryo SH, Walikotamadya Semarang (diwakili H. Sukamto. SH), para Dekan dan Dosen

serta ketua lembaga kemahasiswaan di lingkungan IAIN Walisongo Semarang. Pada kesempatan tersebut rektor mengucapkan terima kasih kepada Walikotamadya Semarang Sotrisno Suharto atas bantuan Pemda berupa materiil maupun moril demi pengembangan IAIN selama ini. Reporter: Ida Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 64/Mei 1996

Bunga Rampai

Amanat

3


4

Amanat Bunga Rampai


Pembangunan Berkelanjutan Perkembangan IAIN Walisongo dari waktu ke waktu terus meningkat. Hal itu bisa diamati dari awal berdirinya di Mangunsarkoro kemudian pindah di Kampus I (Jrakah), selanjutnya dimekarkan lagi menjadi Kampus II dan Kampus III (Ngaliyan). Pembangunan sarana fisik berupa gedung perkantoran dan ruang kuliah terus diupayakan sesuai dengan kebutuhan seperti kantor Fakultas Syariah dan Dakwah yang semula menempati ruang kelas untuk kantor, kini sudah memiliki kantor sendiri yang cukup megah dengan halaman yang luas. Seiring dengan pesatnya perkembangan IAIN, menurut rencana, aktivitas di Kampus I akan dipusatkan di Kampus III. Indikatornya adalah rektorat akan segera hijrah di kampus tersebu. Bahkan kini gedungnya sedang dibangun yang menempati areal di sebelah timur masjid YAMP. Menurut Pembantu Rektor I H. Achmadi, keputusan ini diambil karena di Kampus I tanahnya sempit sehingga untuk proyek berskala besar tidak memungkinkan lagi. “Sementara Kampus III memiliki tanah yang luas sehingga sangat tepat apabila ditempatkan di sana dan juga perlu diketa-

hui bahwa di Kampus I akan digunakan untuk program pascasarjana,� katanya. Langkah IAIN merupakan terobosan yang tepat bagi pemekaran kampus, Dari segi sosiologik masyarakat akan ikut merasakan denyut aktivitas masyarakat akdemik dan bisa mempengaruhi sikap mental di lingkungannya. H. Achmadi mengakui, Kampus I memiliki nilai lebih dibanding Kampus III yakni nilai sejarah dan strategis. Sejarah telah membuktikan sejak IAIN di Kampus I banyak mengalami perkembangan yang cukup menggembirakan dan didukung letak yang strategis karena dilalui jalan besar Semarang-Jakarta sehingga memudahkan transportasi. Walaupun demikian, lanjut Achmadi, ada hikmah yang bisa dipetik yakni satu unit kampus yang menyatu: kantor, masjid, dan perpustakaan sesuai dengan hasil rapat rektor IAIN seluruh Indonesia. Program pascasarjana

Sehubungan akan dibukanya program pascasarjana, menurut direktur program tersebut, H. M. Amin Syukur, program pascasarjana yang akan dikembangkan IAIN Walisongo Bunga Rampai

Amanat

5


Kampus IAIN terus berbenah diri

sedikit berbeda dengan yang ada di Yogyakarta maupun Universitas Muhammadiyah di Surakarta. Program pasca yang akan dikembangkan di sini, ingin diprioritaskan pada pengembangan kajian Islam klasik dari aspek sosiologi maupun psikologi, dengan upaya semacam ini diharapkan Islam tidak hanya dipahami sebagai ajaran semata-mata, jadi, Islam itu sesuai dengan kultur masa lalu dan masa sekarang. Meskipun begitu, Amin mengakui ada konsentrasi-konsentrasi tertentu tergantung mahasiswanya. Di waktu yang sama, tengah dibangun laboratorium dakwah di Selatan kampus Fakultas Dakwah. Setelah terlebih dahulu diadakan studi kelay-

6

Amanat Bunga Rampai

akan, melalui seminar yang diadakan beberapa tahun silam dengan pembahasan seputar pentingnya laboratorium tersebut. Ini merupakan upaya untuk memenuhi tuntutan modernitas dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. “Laboratorium itu adalah tempat praktikum bagi mahasiswa Fakultas Dakwah jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI) dan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI),� kata Dekan Fakultas Dakwah, H. Wasit. Menurutnya dengan fasilitas laboratorium itu, sebelum terjun ke lapangan, mahasiswa mempunyai pengalaman pada tingkat keterampilan dan menguasai disiplin ilmu yang dipelajari di bangku perkuliahan se-


cara profesional. Adapun klasifikasi penggunaannya adalah: pada jurusan KPI: ada pelatihan pers, broadcasting radio atau televisi meskipun menggunakan peralatan yang sederhana sesuai kemampuan fakultas. Sedangkan, di jurusan BPI: ada praktik pelayanan konsultasi tentang masalah-masalah keagamaan. Di laboratorium tersebut juga akan dilengkapi dengan prasarana tradisional untuk pidato dan ceramah. Untuk tenaga tutornya sedang ditraining sebelum diserahi tugas sebagai pembimbing praktik. Sementara, baru tahap pembangunan gedungnya dulu, kemudian menyusul di tahun berikutnya DIP peralatan diharapkan turun. Bertambahnya fasilitas modern bagi Fakultas Dakwah konon perta-

ma kali di Indonesia bisa menambah cakrawala pandangan dan mengangkat mutu para civitas academicanya. (selengkapnya baca: “Laboratorium...�) Kampus II

Bagaimana dengan Kampus II? Kondisi tanah yang berbukit dan banyak jurang membuat perawatan di sekitar Kampus II terabaikan. Di jalan masuk kampus banyak rumput liar dibiarkan tumbuh tak teratur. Ada hal yang perlu diperhatikan oleh pihak terkait yakni soal maintenance kampus kurang mendapat perhatian seperti gedung Fakultas Tarbiyah yang cat temboknya yang warnanya sudah memudar. Sejak dibangun sampai sekarang belum pernah dicat kembali termasuk juga Fakultas Ushuluddin.

Foto Gerbang IAIN Tahun 2000 (Dok. Amanat).

Bunga Rampai

Amanat

7


Hal lain yang mendesak untuk segera dilakukan yaitu pembangunan kantor fakultas yang representatif, sekarang ini kantor dipandang terlalu sempit, tidak sanggup menampung seluruh karyawannya bahkan. Ruang dekan terpaksa bersebelahan dengan tata usaha. Dekan Fakultas Ushuluddin, H. Syafii, AMS sangat mengharapkan dibangunnya kantor yang memadai dan pengecatan ruang kuliah yang ini mungkin bisa membawa pengaruh bagi kegairahan mahasiswa untuk kuliah katanya. Walaupun demikian, katanya, pihak fakultas juga akan membantu semampunya karena biaya pengecatan yang cukup mahal.

8

Amanat Bunga Rampai

Hal sama juga dialami Fakultas Tarbiyah. Pembantu Dekan I, H.M. Chabib Toha, terus terang mengaku bahwa kantor yang ada sudah tidak mampu menampung karyawan. Sementara ini mengambil alternatif dengan menggunakan ruang kelas untuk memenuhi hal tersbeut. Sampai saat ini, lanjut Chabib, skala prioritas utama fakultas adalah kantor yang representatif. Reporter: Mary Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 67/Januari 1997


Tetap Jalan Meski Tanpa Amdal Pembangunan gedung IAIN, marak. Sayang, tidak ramah lingkungan, tanpa AMDAL.

Gerbang bagian timur di Kampus I misalnya, sudah karatan dan tidak berfungsi selama beberapa tahun ini. Gedung eks unit pembinaan bahasa (Ubinsa) yang berdiri megah di depan student center Kampus III, kini juga tidak berfungsi. Ini membuktikan, bahwa manajemen pengelolaan dan perawatan bangunan IAIN Walisongo tidak cukup bagus. Salah seorang kawan lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ketika bertandang ke Amanat mengatakan, bangunan-bangunan yang ada di IAIN, tidak mempunyai cita rasa seni, yang membuat bangunan tidak saja megah, tapi juga indah dan enak dilihat.

yang berhasil dikumpulkan Amanat, pembangunan gedung baru tersebut telah diprogramkan pada 2004. Mulai dari rancangan konstruksi bangunan sampai pada pemeliharaannya. Menyongsong UIN? Bego untuk meratakan tanah di pinggir jalan Kampus II, terlihat sibuk beberapa bulan terakhir ini. Rencananya, diatas lahan itu nantinya, akan didirkan parking (plasa). Tak kalah sibuknya, pekerja di Kampus I dan Kampus II yang sering lembur agar pembangunan segera selesai.

Namun apakah artinya cita rasa seni, sense of art sebuah bangunan bagi IAIN. Yang terpenting, dari tahun ke tahun, ada proyek, proyek dan proyek. Entah membangun apa.

Rencana tata bangun IAIN yang sedang gencar tersebut, dapat dilihat dalam miniatur master planning di gedung rektorat Kampus I. Dijelaskan Kepala Biro AUK, Drs. Satriyan Abdurrahman, selain pemuatan plasa (parking), juga menambah ruang kuliah. “Ini merupakan langkah awal konversi ke UIN,� katanya.

Tahun 2005 ini, IAIN Walisongo menggarap proyek mulai dari Kampus I, II, dan III. Menurut informasi

Mengenai pengadaan gedung baru, tahun ini hanya didirikan di Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Bunga Rampai

Amanat

9


Syari’ah, hal itu karena memang dengan beberpaa pertimbangan, semakin bertambahnya mahasiswa di kedua fakultas tersebut serta bertambahnya beberapa prodi dan jurusan.

garan DIPA yang dikeluarkan sebesar Rp. 1.272.727.000 dengan konstruksi bangunan 6 lokal dan 2 lantai, bertempat di depan pusat kegiatan mahasiswa (PKM) lama Kampus III.

Pertimbangan lain, kata Satriyan, di Tarbiyah itu untuk menutupi kekurangan ruang kuliah. Kalau Syari’ah karena alasan penambahan program studi (prodi) baru, yaitu Ekonomi Islam.

Sementara itu, bersadarkan pertimbangan dan evaluasi bangunan gedung kampus A dan C di Kampus I dan gedung D di Kampus II yang sudah melebihi 25 tahun, maka dipandang perlu diadakan peremajaan.

Dalam pembangunan kali ini, dana yang dikeluarkan cukup besar. Pembangunan gedung di Fakultas Tarbiyah, yang tendernya dimenangkan CV. Palang Mas Sejati, mendapatkan anggaran DIPA sebesar Rp. 1.784.995.000 dengan konstruksi bangunan 8 lokal 2 lantai. Gedung Fakultas Syari’ah dikerjakan oleh CV. Bina Arta Perkasa. Ang-

“Gedung-gedung yang telah usang harus direnovasi, biar tidak membahayakan pemakai gedung baik para dosen maupun mahasiswa,” ujar Pembantu Rektor II Nafis Jurnalia ketika ditemui di ruang kerjanya. Adapun besar dana yang harus dikeluarkan untuk renovasi gedung tersebut, adalah Rp. 987.280.000 un-

Pekerja dengan blego sedang meratakan tanah di kampus II. Rencananya, lahan itu hendak dijadikan parking. (Dok. Amanat)

10

Amanat Bunga Rampai


tuk tiga gedung. Sedang tendernya dimenangkan CV. Darma Usaha. Satu yang patut menjadi perhatian, adalah upaya IAIN menjadikan kampusnya agar tidak sekadar seperti perbukitan saja. Yaitu dengan penggarapan proyek cut & field atau taman di Kampus II. “Sampai saat ini, Kampus II hanya terlihat sebagai sebuah perbukitan dan kurang layak sebagai kampus, sehingga akan kami renovasi,” terang Nafis. Tidak ada Amdal

Sayangnya, gedung yang memakan biaya besar itu tidak memeperhitungkan analisis masalah dampak lingkungaan (Amdal)-nya. Padahal, menurut penuturan wakil kepala Dinas Pemukiman dan TATA Ruang (KIMTARU) Jawa Tengah, Ir Subagiyo Loekito, M.Si, pihaknya telah melakukan penelitian tentang proyek pembangunan di Kampus II tersebut. Hasilnya, pembangunan tersebut harus memakai Amdal. Tapi dalam Praktik, tidak semua proyek pembangunan punya Amdal. Kerana itu dipengaruhi oleh ketersediaan dana yang ada. “Jadi terserah kebijakan institusi masing-masing,” ujar Loekito ketika ditemui Amanat di kantornya di Jalan Madukoro 5 Semarang. Pembantu Rektor II Drs Nafis Jurnalia, MA, mengatakan selama ini pembangunan di IAIN tidak ada Amdalnya. “Kami menyerahkan urusan Amdal pada konsultan proyek. Amdalnya jalan atau tidak, kami serahkan pada mereka. Setiap proyek itu mempunyai konsultan pembangunan

yang sekaligus menjadi tumpuan untuk menganalisis dampak lingkungan yang ditimbulkan.” Sementara Sholahudin, ketua Mahasiswa Walisongo Pecinta Alam (Mawapala) menyayangkan maraknya pembanguna IAIN yang tanpa disertai Amdal memadai. Padahal, Amdal adalah filter utama perlindungan lingkungan sebagai bagian dari prosedur perizinan lingkungan. Eksistensi dan fungsi yuridis Amdal telah dikukuhkan dalam UU No.23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). Ketentuan pasal 15 UUPLH diimplementasikan dalam Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (PP AMDAL 1999) berikut seperangkat peraturan pelaksanaannya. Namun, “Sampai saat ini, pembangunan IAIN asal tancap, tanpa memperhatikan amdalnya ataupun berkonsultasi dengan pakar yang berkompen di bidangnya,” sesal mahasiswa yang akrab dipanggil Ucil. Kalau dalam setiap pembangunan tidak menganalisis Amdalnya, lalu bagaimana nasib lingkungan sekitar yang akan terkena imbasnya. Reporter: Amin fauzi Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 105/Oktober 2005

Bunga Rampai

Amanat

11


12

Amanat Bunga Rampai


Salatiga Terus “Meronta” Aksi untuk STAIN digelar lagi, tuntutannya beragam, mulai dari status lembaga sampai status kelulusan.

Tiga ratus orang mahasiswa IAIN Walisongo Salatiga yang tergabung dalam Forum Keperihatinan Mahasiswa Salatigs (FORKEMAS), menggelar aksi mimbar bebas di halaman Auditorium. Aksi yang berlangsung pada hari Selasa dan Rabu (10-11/ 6/1997) sejak pukul 08.00 BBWI itu terutama mengangkat masalah status kelulusan mahasiswa angkatan 1993 sampai 1996 yang serba tak jelas. Apakah mereka akan lulus sebagai mahasiswa IAIN sebagimana saat pertama kali mendaftar ataukah akan lulus sebagai mahasiswa STAIN. Hal ini merujuk pada rencara realisasi Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 yang melarang sebuah perguruan tinggi dengan dua atau lebih fakultas yang sama. Maka, mau tidak mau fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga yang merupakan fakultas cabang dari IAIN Walisongo Semarang harus memisahkan diri dan berubah status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Mogok makan

Yang cukup menarik, kegiatan mimbar bebas ini diwarnai aksi

mogok makan yang dilakukan oleh 8 orang simpatisan. Masing-masing adalah Lukman Hakim, Ali Muntaha, Aris Triharyanto, Ambang Sujana, Riyadhotus Sholihin, Ida Fatmawati, Nurrozi dan Damsik. Dekan Fakultas Tarbiyah, Drs. H. A. Noerhadi Djamal, tidak hadir sampai berakhirnya aksi pukul 12.00 BBWI. Padahal sebelumnya menyatakan berkenan hadir. Sebelum bubar, FORKEMAS yang dikoordinir oleh Singgih Nugroho dan Ali Muntoha membacakan “Pernyataan Sikap” yang berisi tuntutan kepada Mentri Agama untuk memberikan otonomi bagi fakultas cabang untuk memilih passing out (lulus sebagai mahasiswa IAIN). Mahasiswa juga menuntut jajaran Dekanat agar menghentikan segala macam intimidasi, sikap arogansi pejabat kampus, mengembalikan tradisi kebebasan mimbar akademik serta menuntut realisasi janji-janji fakultas kepada mahasiswa. Dalam pernyataan sikap tersebut, mereka mengatakan bahwa perubahan status mahasiswa IAIN menjadi Bunga Rampai

Amanat

13


Giliran Salatiga menggugat STAIN, demo di Solo. (Dok. Amanat)

STAIN akan memberikan dampak langsung kepada mahasiswa, sehingga kebijakan yang berawal dari keinginan pemerintah (Depag) untuk merealisasikan PP No. 30 Tahun 1980 tersebut tidak bisa diterima mentah-mentah oleh mahasiswa. Kebijakan untuk merubah status itu juga dianggap merugikan mahasiswa IAIN Walisongo Salatiga. Kerugian itu antara lain, Pertama; Mahasiswa akan menjadi korban dari sikap “Islamofobia� (ketakutan terhadap Islam) yang diderita pemerintah. Kedua; perubahan status itu terkesan main-main, sampai saat ini belum ada konsep yang jelas dan transparan tentang STAIN. “Fakultas saja masih kebingungan, apalagi mahasiswanya�, ujar mereka. Ketiga; baik Depag maupun fakultas tidak pernah memberi penjelasan pada mahasiswa, jika ini berlanjut

14

Amanat Bunga Rampai

akan memperkeruh suasana. Keempat; mahasiswa merasa dirugikan karena aspirasi mereka sama sekali tidak diperhatikan. Kelima; adanya sikap memasung kebebasan mimbar akademik mahasiswa untuk berfikir, bersikap dan berbicara yang tujuannya untuk menggabungkan persepsi mahasiswa. Keenam; kerugian yang menyang- kut status kelulusan menjadi mahasiswa STAIN, terutama angkatan 1995/1996, bahkan ada isu yang merebak bahwa perubahan status mahasiswa mulai angkatan 1993/1994 sampai angkatan 1995/1996. Hal ini, dipandang oleh mahasiswa tidak sesuai dengan logika. Menurut PR I, Drs. H. Achmadi, mahasiswa justru akan lebih baik dengan status STAIN, dalam arti secara teknis dan administrasi akademiknya lebih gampang. Segala kebi-


jakan akan ditentukan secara mandiri oleh STAIN. Pertanggungjawabannya langsung kepada menteri, dalam hal ini Dirjen. “Kalau sebelumnya kan lewat Rektor (IAIN WS-red),” tegasnya. Secara kelembagaan, sebenarmya STAIN sudah dimulai sejak 1997, dalam Kepres No.11 Tahun 1997, kemudian diikuti kepetusan Menag. Namun, yang menjadi salah satu tuntutan mahasiswa Salatiga adalah peralihan status kelulusan yang dianggap

tidak logis, Achmadi mengungkapkan status peralihan sudah diatur dalam statuta. “Itupun keputusannya dikeluarkan pada STAIN di Salatiga sendiri”, katanya. Reporter: Mahmudi Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 70/Agustus 1997

Tuntutan

1. Kepada Mentri Agama, sebagai penanggung jawab alih status menjadi STAIN a. Harap memberi penjelasan seje las-jelasnya mengenai STAIN b. Harap berikan otonomi kepada IAIN yang diubah menjadi STAIN dalam menentuk passing out maupun cutting. c. Harap menghargai kebebasan kebebasan mimbar akademik, kebebasan berpikir, kemerdekaan berbicara, dan keberanian bersikap dari mahasiswa d. Harap menghentikan sikap-sikap arogansi dari pihak birokrat Departemen Agama. 2. Kepada pihak Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga, sebagai pelaksana kebijakan. a. Untuk mamberikan kelulusan IAIN kepada seluruh mahasiswa yang memang berstatus mahasiswa IAIN dari angkatan 91’ Sampai 96’. b. Untuk menghentikan segala macam intimidasi ke mahasiwa c. Untuk mengembalikan kondisi kampus yang sebenarnya, demokratis, menjunjung nilai-nilai keilmuan dan keilmiahan, dan bukan nilai kekuasaan d. Untuk menghentikan sikap-sikap arogansi dari pihak-pihak birokrat kampus, yang sama sekali tidak manghargai keberadaan mahasiswa e. Kembalikan tradisi kebebasan mimbar akademik di kampus. f. Realisasikan janji-janji yang permah fakultas berikan kepada mahasiswa. Bunga Rampai

Amanat

15


Bila tuntutan ini tidak dipenuhi, maka kami akan melakukan tindakan sebagai berikut: a. Menuntut ke pengadilan, dengan tuntutan: 1. Meminta pertanggung jawaban fakultas secara terbuka kepada seluruh mahasiswa IAIN Walisongo Salatiga, dan masyarakat luas lewat media massa. 2. Menghentikan dengan tidak hormat birokrat kampus yang melakukan tekanan-tekanan kepada mahasiswa, bersikap arogan, menang sendiri, dan tidak mau peduli terhadap aspirasi mahasiswa. 3. Mengembalikan status kemahasiswaan seluruh mahasiswa Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Salatiga dari angkatan 1991 sampai 1996. 4. Mengembalikan kampus yang sehat, demokratis, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan kebenaran, mennghormati kebebasan mimbar akademik, etika keilmuan dan keilmiahan. b. Memboikot 1. Kuliah 2. Ujian 3. Dan Pembayaran registrasi sampai tuntutan dipenuhi .

16

Amanat Bunga Rampai


‘Benang Basah’ Tri Etika Kampus Aplikasi Tri Etika Kampus digugat. Itulah yang terjadi pada Raker Kemahasiswaan di Bandungan, Ungaran.

Dalam kesempatan Raker itu, Pembantu Dekan III Fakultas Ushuludin, Dra. Hj. Sri Suhandjati, mempertanyakan (kembali) realisasi TEK dalam kehidupan sivitas akadamika dikampus. la prihatin melihat prilaku tak etis beberapa mahasiswa yang semakin ‘berani’ manerobos etika Islam. Sebenarnya keluhan terhadap mental terabas mahasiswa ini bukan hanya kali ini. Masa-masa sebelumya sudah banyak keluhan dari karyawan, dosen maupun mahasiswa sendiri. Seorang tenaga akademik mengeluhkan perilaku mahasiswa yang melampaui batas etika, dan ini disaksikannya sendiri. Tidak sedikit mahasiswa menyesalkan perilaku yang tidak etis tersebut. Dan keluhan paling banyak datang dari Satpam, event-event aktivitas dimalam hari, kata Satpam, sering dimanfaatkan (atau diteruskan) dengan ‘mojok’ berduaan. Tidak perlu dijelaskan mekanisme mojok tersebut.

Itu baru sedikit kesaksian yang diungkapkan. Belum lagi pengakuan dari pelakunya sendiri, baik secara vis a vis dengan sesama rekan mahasiswa, maupun pengakuan yang didapatkan dari penelitian, seperti penelitian tentang “Pergeseran Nilai Mahasiswa” yang pernah dilakukan Amanat pada tahun 1995. Sivitas pun kembali melirik TEK, sebab rumusan moral, yang dilegitimasi melalui SK Rektor IAIN Walisongo No 13 Tahun 1994 tersebut, selama ini dianggap cukup untuk memberi arahan dalam bersikap di lingkungan kampus. Lalu mengapa kehadiran TEK, yang terdiri dari Etika Diniyah, Etika Ilmiah, dan Etika Ukhuwah, selama ini bagai angin lalu, tidak memberi imbas sedikitpun dalam peningkatan nilai moral mahasiswa. Penyadaran Contoh yang diuraikan di atas baru dari aspek diniyah (akhlak Islam), belum lagi aspek ilmiah dan Bunga Rampai

Amanat

17


(Dok. Amanat)

ukhuwah. Kurangnya aspek ilmiah bisa dilihat dari rendahnya rasa percaya diri mahasiswa terhadap kapasitas keilmuannya, ini berimbas pada lunturnya tradisi intelektual. Yang terjadi mahasiswa lebih suka menjadi mangsa ‘diktator’ dan gemar nyontek saat ujian semester. Aspek ukhuwah, nampaknya antara mahasiswa dengan jajaran birokrasi belum ada hubungan yang aqual dan demokratis. Terlihat hubungan ketegangan dan feodalistis. Bahkan sesama mahasiswa tidak jarang saling tonjok, demi memperjuangkan kompetensi pribadi dan ‘sekte’nya. Semua itu jauh dari kesan ukhuwah Islamiyah (Etika Ukhuwah). Hal ini diakui Drs. H Wasit, Pembantu Rektor IV bahwa sebuah upaya tidak ada yang seratus persen terlaksana. Demikian juga dengan upaya optimalisasi TEK tidak sesuai hara-

18

Amanat Bunga Rampai

pan. Menurutnya, untuk menuju kesana perlu proses penyadaran semua pihak baik dosen, karyawan ataupun mahasiswa. “Penyebab utamanya adalah belum adanya kesadaran dari masing-masing sivitas akademika IAIN sendiri, betapa pentingnya TEK sebagai landasan segala kegiatan,” ujarnya. Senada dengan Wasit, Drs Chabib Thoha MA, Pembantu Dekan I Fak Tarbiyah mengatakan, belum optimalnya pelaksanaan TEK dikarenakan kurang adanya kesadaran oleh sebagian insan kampus. Ketiga komponen TEK, tandas Chabib, simbiosis yang tidak bisa dipisahkan dan saling mendukung. Pelaksanaan aspek ilmiah tidak boleh mengesampingkan nilai ukhuwah apalagi nilai diniyah atau sebaliknya. Pelaksanaan aspek diniyah biasanya justru dianggap menghambat aspek


ilmiah dan aspek ukhuwah, atau demi primodialisme suksesi menyepelekan nilai diniyah dan ilmiah. “Itu pelaksanaan ukhuwah yang salah, tetapi apabila pelaksanaan ukhuwah untuk dua pilar supaya nilai ilmiyah dan diniyah berkembang adalah suatu bentuk ukhuwah yang melahirkan iklim kampus yang mendukung terhadap nilai religius dan ilmiah,� paparnya. Utopis Harapan untuk mewujudkan TEK sebagai tradisi akan utopis manakala belum ada sosialisasi dan penerapan. Sekarang ini sosialisasi TEK baru secara simbolik. Kalau masuk dikampus II, mata kita akan disuguhi pemandangan yang secara tidak langsung akan mengingatkan kita betapa urgennya landasan TEK. Di kampus Tarbiyah misalnya, berdiri dengan kokoh tugu berlambang TEK ditengah-tengah kolam taman dan di kampus Fakultas Ushuludin juga terpampang jelas tulisan TEK yang besar dengan warna mencolok ditengah-tengah rerumputan taman yang hijau. Indah memang, namun itu hanya label, simbol.

Menanggapi persepsi ini, Chabib Thoha menyatakan, aturan-aturan semisal TEK adalah bagian dari sosialisasi dan tradisi. Jikalau dalam proses awal tidak dibuat aturan yang di-SK kan oleh rektor, bagaimana nilai yang ada bisa bergulir. Menurutnya, seharusnya mahasiswa tidak bersikap apriori sehingga aturan itu bisa dipahami betul dan dilaksanakan semaksimal mungkin. Drs H. Muhtarom menambahkan TEK sebelum di-SK-kan, terlebih dahulu digodok oleh Tim termasuk perwakilan dari mahasiswa. Karena itu, lanjutnya, TEK adalah bagian dari aspirasi seluruh sivitas akademika IAIN Walisongo. Kecuali dari itu, adanya aturan lebih bermanfaat bagi segenap sivitas akademika. Tapi mengapa nyatanya Tri Etika sulit ditegakkan, seperti benang basah? Reporter: Syarif dan Syamsul Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 71/Desember 1997

Bunga Rampai

Amanat

19


20

Amanat Bunga Rampai


IAIN Menyongsong Milenium Baru Milenium baru sudah di ambang pintu. Semua orang bersiap menyongsongnya. Bagaimana dengan IAIN Walisongo? Milenium baru. Sebuah kata yang di penghujung abad ini begitu populer di pendengaran kita. Hampir semua orang membicarakannya. Seolah, konsentrasi massa terfokus pada satu tema besar. Lantas muncullah demam milenium baru. Mulai dari iklan sandal, tema acara televisi, merek makanan ringan, merek handphone, sampai diskusi-diskusi ilmiah, semua coba dikaitkan dengan milenium baru. Sebuah pertukaran waktu, dari hitungan ribuan tahun kedua ke hitungan ketiga. Seperti halnya pergantian abad sebelumnya, kali inipun kesibukan menduga-duga apa yang bakal terjadi, ramai dilakukan orang. Kemudian, berbagai persiapanpun dilakukan. Karena, demikian perkiraan mereka, perubahan besar akan terjadi. Seiring gagap gempita menjelang milenium ini, tak sadar timbullah imajinasi-imajinasi baru terhadapnya. Ada optimisme, ada pesimisme. Terlepas kehadirannya hanya sebatas rotasi waktu yang alamiah, atau

sesuatu yang terlalu dibesar-besarkan (histeria publik), atau memang merupakan sesuatu yang sangat menentukan nasib manusia, yang jelas, berbagai persiapan harus dilakukan. Jika tidak, bersiaplah menanggung resiko. Wacana milenium ke-3 semakin menjadi bahan diskusi yang hangat, karena sistem pasar bebas (global market) menjadi satu bagian tema terpenting dan tak terpisahkan. Yaitu sebuah sistem dalam arena percaturan kompetisi yang demikian global dan melibatkan berbagai bidang kehidupan manusia. Yang tidak mengenal sekat ruang dan waktu. Bersifat lintas negara, lintas budaya. Bercermin dari gambaran di atas, muncul pertanyaan bagi institusi IAIN Walisongo. Mampukah memainkan bola kompetisi secara aktif di medan milenium kelak? Sebagai sebuah lembaga pendidikan, IAIN tidak bisa lepas dari adanya tantangan dan harapan. Melihat corak kurikulum yang Bunga Rampai

Amanat

21


diterapkan IAIN, yang dalam bahasa Dr.H.Abdurrahman Mas’ud, Kepala Puslit disebut ‘melangit’, IAIN menghadapi tantangan yang berat. Dari segi output pendidikan yang dihasilkan, berbagai kalangan civitas akademica dihantui kekhawatiran. Mampukah sarjana lulusan IAIN mengambil peran strategis nantinya? Agaknya, kekhawatiran diatas cukup beralasan. Pasalnya, salah satu gejala yang ditampakkan pada era pasar bebas nanti adalah kecenderungan pada ekonomi pragmatis. Konsekuensinya, peluang dan kesempatan terbesar akan dengan lebih mudah direbut oleh mereka yang memiliki aset skill dan komoditi. Orangorang semacam ini pulalah yang akan tetap survive. Memang, IAIN tidak sendiri. Kekhawatiran dan kegamangan yang sama juga dirasakan oleh institusi lainnya. Hanya saja, frekuensinya berbeda. Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan nasional yang diterapkan selama ini. Tak ayal, yang lebih dominan adalah sikap pesimis. Sistem Pendidikan Nasional yang diterapkan belum benar-benar mengarahkan outputnya dalam menghadapi tantangan dunia riil. Pendek kata, konsep link dan match tidak sampai pada dataran praktik. Nilai keselarasannya menjadi semakin memudar pada percaturan nanti. Hal ini, menurut Abdurrahman Mas’ud, pakar pendidikan IAIN Walisongo, lebih disebabkan oleh sifat pendidikan di Indonesia yang cenderung general, hafalan, dan belum

22

Amanat Bunga Rampai

mengarah pada upaya pemecahan masalah (problem solving). Selain itu, di kalangan mahasiswa, semangat untuk mengadakan penelitian (the spirit inquairy) masih rendah. Lebih parah lagi, gejala yang sama juga menjangkiti para dosen. Demikian disampaikan Abdurrahman pada kesempatan diskusi Prospek IAIN Menghadapi Millenium ke-3 di kantor Tredaksi AMANAT, beberapa waktu lalu. Prospek

Ketika lebih spesifik ditanya tentang prospek dan kesiapan IAIN memasuki milenium ke-3, Wakil Direktur Pascasarjana IAIN Walisongo menegaskan, “Mestinya prospek IAIN dan sarjananya sangat baik. Sayangnya IAIN belum siap.” Ketidaksiapan ini meliputi aspek administrasi dan kurikulum. Karena itulah, demikian Gus Dur profesionalisme harus diletakkan sebagai kunci utama. Termasuk dalam mencari formulasi kurikulum pendidikan yang diterapkan. Lebih jauh tentang kurikulum, Gus Dur menilai dataran ilmu yang diajarkan di IAIN belum membumi. Hanya bersifat ittaqullah. Bahkan, katanya, “ilmu yang diajarkan di bangku perkuliahan hanya bersifat transfer dari teks-teks klasik baik Al Quran maupun Sunnah.” Lebih ironis lagi, setelah dikaji, teks-teks tersebut belum optimal dalam aplikasinya pada kehidupan sehari-hari. “Bagaimana mau profesional kalau miskin implementasi,” tanyanya.


Cukup memprihatinkan, karena kondisi semacam ini terjadi di IAIN Walisongo. Sebuah institusi pendidikan yang telah berusia 30 tahun. Pengembangan Kurikulum

Senada dengan Abdurrahman adalah Chabib Thoha, MA. Dekan Fakultas Tarbiyah ini melihat tradisi ilmiah yang tidak cukup kuat di kalangan sivitas akademika IAIN. Selain itu, Chabib juga menyoroti masalah watak kedisiplinan yang sangat kurang. adalah Chabib Thoha, MA. Kedodoran yang semacam inilah yang membuat IAIN belum siap menghadapi percaturan mendatang. Namun, demikian diungkapkannya, IAIN harus tetap optimis meskipun jauh dari dataran ideal. Masih ada yang lemahnya tradisi ilmiah, ada banyak tengarai. Diantaranya, selain kurangnya kajian-kajian ilmiah yang secara intensif diadakan di arena perkuliahan formal, maupun sedikit nya frekuensi penelitian yang

dilakukan, juga ditandai oleh kurangnya pengembangan dan pengoptimalan jurusan pada masing-masing fakultas. Disamping itu, rancangan kurikulum yang juga belum mapan, terarah dan menuntut adanya inovasi. Kekurangan inilah yang menjadikan titik ideal masih sulit dicapai IAIN. Mestinya, untuk membangun suatu tradisi ilmiah yang matang, kajian formal (baca; perkuliahan di kelas) hanya mendapatkan porsi 30%. Selebihnya didominasi oleh aktivitas kajian intensif non formal. Selain itu juga diimbangi oleh penerapan kurikulum serta pengembangan jurusan yang lebih terarah di masing-masing fakultas. Agaknya pandangan ketidak siapan IAIN pada milenium baru juga diamini oleh banyak kalangan di IAIN. Dr. Zamachsjari Dhofier, dosen pascasarjana IAIN Walisongo ini mengatakan, “Ya, kita harus realistis kalau IAIN belum sepenuhnya siap, tetapi kita sedang menuju ke sana.�

Sarjana Agama. Siapkah menghadapi millennium baru? (Dok. Amanat) Bunga Rampai

Amanat

23


Solusinya, sebagimana Perguruan Tinggi lain, sudah saatnya IAIN Walisongo mulai lebih konsentrasi pada upaya pengembangan jurusan yang lebih prospektif. Contoh yang ditunjukkan Zamachsjari adalah jurusan politik Islam dan Perbankan Islam pada Fakultas Syari’ah. Semuanya bercirikan Islam, karena Islam menjadi trade mark IAIN. Demikian tambah mantan Rektor IAIN Walisongo ini.

yang sama. Menurutnya, kurikulum hanyalah merupakan rambu-rambu dan bukan hal yang sakral, maka jika dianggap perlu untuk dirubah, Mengapa tidak dilakukan?

Pandangan yang sama datang juga dari Abdurrahman. Katanya, agar mampu bersaing dan memiliki segmen pasar, IAIN lebih mengoptimalkan fakultas dan jurusan. Dan, tidak perlu lagi mendikotomikan antara ilmu agama dan ilmu umum. “Ini sudah saatnya dihapus, Karena mengakibatkan umat Islam lemah,” ujarnya menimpali Zamachsjari. Dia juga mengusulkan adanya mata kuliah lokal kewirausahaan. Hal ini didasarkan pada survei terhadap serjana IAIN yang 75 % dari jumlahnya menerjuni bidang ini.

Kondisi finansial lembaga ini, sangat memprihatinkan. Betapa tidak. Sekedar perbandingan, menurut Chabib Thoha, suplai dana yang dikucurkan Depag untuk menghidupi 14 IAIN di Indonesia sebanding dengan suplai dana yang diberikan Depdikbud hanya untuk satu IKIP. Tentu saja, kondisi ini serba menyulitkan IAIN. Akibatnya, kinerja yang berlangsung di IAIN juga terpengaruh.

Sementara itu, menurut Nafis Junalia, MA, pembantu Dekan I Fakultas Dakwah yang pada tanggal 29 Oktober lalu terpilih menjadi Purek II, kurikulum IAIN Walisongo memang belum sepenuhnya memadai. Sehingga siap untuk ditinjau kembali. “Yang namanya kurikulum akan berubah sesuai dengan kebutuhan pasar,” katanya. Oleh karena itu, rencananya, kurikulum besok tidak hanya mengikuti pola seragam yang telah diputuskan Pusat, tetapi juga diserasikan dengan pembahasan pangsa pasar di daerah. Demikian penegasannya. Dr.Ahmad Rofiq, MA, Dekan Fakultas Syari’ah, memiliki Penilaian

24

Amanat Bunga Rampai

Ketidaksiapan lain

Disamping anggaran kurikulum, masih banyak kekurangan dan ketidak siapan lain yang diidap oleh IAIN Walisongo.

Selain itu, IAIN juga harus merombak birokrasi yang selama ini kurang ideal. Karena untuk ke depan, segala sesuatu harus diselesaikan secara cepat. Agaknya Rektor sudah mencium hal ini. la mengusulkan adanya debirokratisasi. “Birokrasi itu perlu tapi tidak berarti birokratis”, tandasnya. Sungguh masih banyak deretan kekurangan yang harus segera ditutupi, bila IAIN tidak ingin hanya menjadi penonton di suatu etape perjalanan sejarah yang harus dilewati. Reporter : Amel, Yidin, Muhroji, Umar, Irin Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 79/November 1999


Quo Vadis Kampus Kita Forum terbuka bagi Sivitas Walisongo ini berhasil memunculkan banyak fakta, dari sumber anggaran IAIN yang cukup “nggedibyah” sampai “Babehisasi”

Hendak kemana IAIN Walisongo? Demikian pertanyaan besar yang sekaligus menjadi tema Refleksi dan Dialog tentang IAIN yang diselenggarakan oleh SM IAIN Walisongo Semarang beberapa waktu lalu. Acara yang pertama kali diselenggarakan untuk mempertemukan seluruh sivitas Akademika IAIN walisongo dalam sebuah forum terbuka untuk saling mengkritik dan memberikan masukan untuk pengembangan IAIN Walisongo. Bertempat di Auditorium II kampus III, SMI mendatangkan pentolan reformis dan “provokator” IAIN untuk angkat bicara. Nafis Junalia, MA yang menjadi ketua pelaksana Tim Reformasi IAIN mengemukakan tentang persoalan-persoalan anggaran dan birokrasi IAIN. Menurut PD I Fak. Dakwah itu, semula anggaran di IAIN tertutup, kini telah dimulai adanya transparansi anggaran sehingga dapat diketahui bersama, termasuk mahasiswa. “Baru kini transparan, sebelumnya babeh’, sekarang sudah diplot dan jelas,” ungkap Nafis.

Tercatat IAIN Walisongo ini setiap tahunnya mendapatkan dana lebih dari 10 M. Yakni dari DIK-R rutin APBN sebesar 4,9 M, DIK-S harus lewat ACC 44 yang berasal dari SPP mahasiswa 1,3 M, dana proyek 4,5 M dan sumber lain seperti Pemda dan DIKTI. Juga dana-dana lain yang harusnya bisa digali lewat jalinan link. Namun masih menurut Nafis, hal itu tidak dibarengi birokrasi yang profesional. “Program tidak jelas, visi ke depan tidak jelas, pengembangan dosen tidak jelas,” keluh sosiolog yang akrab dengan mahasiswanya ini. Dicontohkan, beberapa doktor yang ada di IAIN ini karena mereka sendiri yang cerdas, dan bukan inisiatif apalagi program IAIN. Demikian juga masalah administrasi, belum ada visi profesional untuk meningkatkan profesionalitas tenaga administrasi sehingga pelayanan ke mahasiswa enak dan rutin. Sedang Muhsin Jamil, SAg. mewakili dosen muda merasakan adan-

Bunga Rampai

Amanat

25


ya gejala yang sama, antara lain beberapa kotra produktif di IAIN dalam peranan sentral, “Terutama dalam pengembangan kualitas dosen,” aku Muhsin. Dosen muda sering harus menjadi relawan untuk mengurusi macam-macam yang seharusnya mengembangkan intelektual dan akademis. Dosen muda sering menjadi tambal sulam dari kebijakan akademis. Dia juga memberi contoh, mata kuliah diampu dosen yang tidak punya otoritas untuk itu, seperti sosiologi dan atropoiogi.

Tradisi akademik juga kurang menguntungkan, jika dilihat dari kepemilikan buku yang masih rendah dan pelatihan yang yang diikuti dosen, demikian diungkap oleh Ka.Puslit IAIN ini.

Namun bagi Muhsin tidak hanya itu saja, hambatan kultural juga menjadi pemicu lemahnya budaya intelektual dan akademis. Kurangnya keseriusan untuk menelaah dan membaca, “Lebih banyak ngobrolnya,” kata, Muhsin yang juga Bos ilham itu.

Dosen yang melakukan penelitian lebih dari 4 kali hanya 40 %, yang kadang-kadang 50 % dan yang tidak pernah sama- sekali 10 %. “Yang terakhir ini mungkin dulu salah masuk,” cetus peneliti yang Direktur Pasca-Sarjana IAIN walisongo.

Lain halnya dengan Sumanto. “Sebenarnya bekal-bekal yang dipunyai IAIN itu cukup, seperti jurnalistik, keilmuan, tetapi sering tidak berani mengungkapkan, inferior, merasa bersalah, lebih bodoh, takut, tidak berani membantah, itu yang menghinggapi mahasiswa sini,” kata Sumanto. “Dan takut kalau membantah, bisa-bisa ni nilainya dikurangi.”

Sedáng Dr. Qodry A. Azizy mengajukan paradigma baru di akademi IAIN, yakni paradigma keadilan, kejujuran dan pelayanan, bukan paradigma kekuasaan dan birokrasi yang tertutup, otoriter dan sok pintar. “Adanya birokrasi ya melayani, bukan lantas merasa berkuasa,” kata Qodry.

Hal ini diperparah lagi dengan dosen yang sering memandang mahasiswa seperti harus anak kecil disuapi. Demikian juga IAIN sudah seharusnya berani untuk lintas sektoral keilmuan dibidang jurnalistik, sosiologi, antropologi dan lain-lain. “Masa di IAIN ini hanya ada satu antropolog saja?!” ungkap Litbang SMI ini.

26

Dalam forum itu, Abdul Djamil, MA mengungkapkan penelitian tentang hubungan kesejahteraan, yang dilihat dari kepemilikan mobil dan handphone, dengan kualitas intelektual ternyata berbanding terbalik. Di fakultas yang lebih rendah kesejahteraannya, doktor lebih banyak. Dan di fakultas yang kesejahteraannya tinggi, dosen terbanyak masih lulusan S1.

Amanat Bunga Rampai

Langkah Pembantu Rektor I di IAIN bukannya tanpa ganjalan. Bahkan kebijakan rektor sendiri sering menghambat. demikian diungkapkan Qodry dalam forum dialog yang sayangnya rektor tidak hadir. Lulusan MacGill ini telah mentargetkan tahun depan IAIN go-nasional dan tahun 2000 akan go-internasional. Revolusi IAIN

Tanggapan pesertapun beragam, tetapi masalah yang telah disoroti


Diskusi, belum membudaya di IAIN Walisongo. (Dok. Amanat)

para “provokator” mereka setuju. Mahasiswa menginginkan dosen yang kualified. “Bagaimana mahasiswa akan pintar kalau dosennya ‘payungan’ semua?” tanya Adib mahasiswa fakultas Syari’ah. Demikian juga Dosen yang sering memindah jam kuliah, sering kosong dan dosen “killer” menjadi keluhan Puji dan Ali. Karenanya menurut Safruddin, mahasiswa Ushuluddin dosen harus memikili mental ideologis intelektual. Bahkan kalau perlu menurut Rustam Aji, mahasiswa Dakwah dosen harus mengadakan penelitian tentang mata kuliahnya. “Jangan sampai ada dosen tidak mutu berada di depan kelas,” kata seorang mahasiswa Dakwah. Unit Pembinaan Bahasa dikritik dalam (UBINSA) pun forum itu belum dapat memberikan perubahan yang

berarti pada ketrampilan berbahasa bagi mahasiswa. Demikian juga perpustakaan, dikritik administrasi tata bukunya yang tidak efektif dan koleksi bukunya yang kurang lengkap. Tentang perpustakaan ini, yang oleh Qodry disebut ‘jantung’ perguruan tinggi, tengah melakukan pembenahan-pembenahan secara bertahap. “Sekarang untuk efektifitas dan ketepatan pemilihan buku dilakukan oleh tim analisis kebutuhan perpus, jadi tidak lagi hanya menerima droping dari pusat,” jelas Ka.Perpus, Irfan Subahar. Beberapa dosen memberikan tanggapannya. Persoalan yang ada di seputar kampus tentang dosen, pelayanan administrasi dan perkuliahan akan beres, jika seluruh sivitas bersama-sama konsekuen dengan tugasnya. Demikian pendapat Taufiq CH dan Abdul Hadi, Dosen Syari’ah. Bunga Rampai

Amanat

27


Ditambahkan oleh Safruddin yang juga Ketua SMF Ushuluddin, jika memang kendala pengembangan IAIN malah datang dari sistem birokrasi, mengapa tidak dilakukan reformasi, kalau perlu revolusi struktural saja. Dialog ini ternyata mendapat tanggapan positif dari banyak kalangan. Bahkan Qodry Azizy, PR I mengidealkan jika pertemuan semacam ini diadakan tiga bulan atau minimal satu semester sekali dan ditindaklanjuti di fakultas serta dipublikasikan hasilnya. Dialog semacam ini akan membuka sekat feodalisme dalam posisi

28

Amanat Bunga Rampai

yang saling terbuka, transparan dan autokritik. “Karenanya harus berani,” demikian kata Abdul Djamil. “Usulan revolusi struktural itu khan, berarti ngajak mengganti pemimpin!” “Tadi Pak Nafis masih belum berani menyebut nama, ‘babeh’, siapa babeh itu, mungkin sekarang perlu segera ada ‘debabehisasi’!” lanjutnya. Nah! Reporter : Jeteha Laporan ini pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 77/ April 1999


Intelektual IAIN Walisongo Nyaris Tak Terdengar Budaya keilmuan belum terbangun di IAIN. Apa yang salah?

IAIN merupakan refleksi dari aspirasi politik Pendidikan umat Islam Indonesia yang juga bertujuan menginternalisasikan nilai-nilai ajaran Islam dan daur kehidupan umat manusia. Selama ini, IAIN banyak menghasilkan pemikir-pemikir muslim, akan tetapi sejauh itu pula orang yang menjadi pemikir yang menjadi kiblat dan keberlangsungnya kehidupan bangsa dan negara dapat dihitung dengan jari. Sangat tragis memang, di kala kita melihat orang-orang yang menjadi pemikir-pemikir Islam bukanlah sepenuhnya dari IAIN akan tetapi, produk dari perguruan tinggi umum atau pesantren, bahkan kebanyakan mereka dari luar negeri. Sebenarnya, kalau kita lihat pada sejarah berdirinya, IAIN merupakan Lembaga yang berusaha menyelesaikan problematika kegamaan yang selama ini cenderung menjadi problematika keagamaan di Indonesia. Hal itu bisa dilihat dari munculnya kasus yang bermotif agama di tanah air tercinta ini.

Sejak IAIN berdiri, problematika keagamaan berupa adanya hubungan antagonis antara sains dan agama, lemahnya managemental keutamaan, etos kerja yang lemah, refleksi keimanan yang hanya sampai pada batas refleksi fitrah, belum menunjukkan refleksi kultural sebagaimana yang dicita-citakan. Demikian juga halnya dengan generasi pemikir. Sampai hari ini, IAIN merupakan salah satu Lembaga perguruan tinggi islam yang diharapkan mampu menghadirkan intelektual plus, ternyata hanya mampu melahirkan sarjana pencari ijazah. Kalaupun ada generasi pemikir yang dibesarkan di IAIN Walisongo khususnya hanya sebatas ada. Artinya, dia tiada vocal menyuarakan aspirasi kecendekiaan bahkan tidak terlalu apresiatif jika, dibandingkan cendekiawan muslim yang dibesarkan di IAIN. Padahal kampus (universitas), adalah sebuah gagasan atau komunitas masyarakat yang diharapkan

Bunga Rampai

Amanat

29


(idealnya) sebagai pemicu terhadap perubahan suatu bangsa. Perubahan pada segala sektor sosial, politik, budaya, agama, ekonomi dll. Istilah popular yang sering kita dengar kampus/ mahasiswa adalah sebagai agent of change. Dan berangkat itu, IAIN dituntut untuk selalu dinamis dan inovatif dalam menyuplai kontribusi pemikiran (ide) demi terciptanya perubahan. Perubahan menjadi sebuah kata yang nihil tanpa adanya temuan baru yang dapat menggantikan temuan (tradisi) lama. Mustahil perubahan akan terjadi jika fungsi kampus hanya sebagai alat reproduksi teks atau ideologi (baca: pemikiran) yang sudah ada/ dominan (Paulo Freire: 1997). Menurut Freire, kampus oleh kelas dominan selalu dijadikan tempat untuk mereproduksi teks/pemahaman mereka yang mapan, sehingga untuk menghindari kejumudan dan pengkultusan terhadap sebuah pemahaman, dibutuhkan tugas tandingan yakni mendobrak kemapanan demi terciptanya sebuah dinamika akademik. Dengan demikian, akan tercipta sebiah dialektika antara teks dominan dengan pemahaman baru. Kelangkaan generasi pemikir yang dilahirkan oleh IAIN merupakan kenyataan sejarah umat islam. Oleh karena itu, IAIN seharusnya menyadari akan arti penting menyiapkan generasi pemikir. Memang kita tidak bisa menutup mata, bahwa ada banyak cendekiawan yang ada dan berkecimpung dalam kultur IAIN. Namun masih dalam ukuran kecil manakala kita ukur den-

30

Amanat Bunga Rampai

gan tingkat populasi mahasiswa dan kekurangan sarjana yang dihasilkan. Kurang mampunya IAIN dalam menyiapkan kader-kader pemikir disebabkan oleh banyak hal. Menurut Umar Natuna, salah seorang alumni IAIN Walisongo yang juga mantan aktivis KSMW, Paradigma dan Amanat, hal ini disebabkan metode pengajaran dan sistem penilaian yang dilakukan masih bermuara pada sistem hafalan atau teks book. Dalam pada itu juga disebabkan oleh suasana lingkungan ilmiah yang kurang mendukung (Amanat, No XXXVI. Tahun VIII). Sedangkan Prof. Dr. H.M Amin Syukur, Dekan fakultas Ushuluddin, menyebut faktor kurangnya pengembangan dan pemikiran di IAIN adalah persoalan iklim, kurikulum, dosen, mahasiswa dan kultur yang belum terbangun. “Ya, memang kurikulum di sini masih mengikuti kultur yang terbentuk sejak lama,� ucapnya. Lebih lanjut, ia juga membandingkan dengan kultur di tempat lain. “Mahasiswa di sini masih bersifat pasif dalam hal keilmuan dan keintelektualan, berbeda sekali dengan Yogya. Kalau di sana ada seminar, pesertanya begitu antusias meskipun tidakmengeluarkan sereceh uang. Tapi di sini, dikaish gratispun masih harus di-obrai (digiring). Mungkin juga terpengaruh dengan letak geografis Semarang yang orientasinya pada industry, sedangkan Yogya adalah kota pelajar. Masih menurut Amin, untuk menumbuhkan kesadaran keintelektualan ini perlu cara yang pasa dalam


Tradisi berdiskusi, belum menjadi budaya bagi civitas IAIN Walisongo. (Dok. Amanat)

kuliah. Seharusya ada dialog antara dosen dan mahasiswa supaya dinamis dan diharapkan menemukan teori-teori baru yang baik dan menarik. Dan dalam dialog itu, mahasiswa dapat mengkritik dosen habis-habisan tanpa takut mendapat nilai E. Namun, Amin tidak sependapat kalau di IAIN belum pernah memberi sumbangan pemikiran baru. Menurut Guru Besar Tasawuf ini, pemahaman tentang tasawuf modern adalah hal yang baru yakni tasawuf modern. Sehingga, tasawuf dapat dilakukan di mana saja dengan berkarya, tidak hanya tinggal di pojok masjid sehari-harinya. Sementara itu, Abdullah Mas’ud, Ph.D, Kapuslit IAIN, melihat persoalan yang menghambat pengembangan berfikir di IAIN adalah sistem Pendidikan yang tidak merangsang krativitas. “Pendidikan kita, masih berorientasi pada ‘what oriented education’. Padahal sistem Pendidikan yang kreatif adalah Pendidikan yang berorientasi pada ‘Why Oriented Education’. Terus terang, baratlah yang berori-

entasi pada mengapa,” tutur alumni UCLA ini. Oleh karena itu, Pendidikan akal, penelitian dan mencari itu penting. Atau yang oleh pakar disebut sebagai ‘Spirit of Inquery’. Dengan sistem hafalan yang akan muncul adalah repetation, sehingga tidak kreatif. “Sebab lain adalah sistem yang diterapkan tidak memberi gerak, karena bersifat instruktif bukan dialog. Tak jarang mahasiswa itu takut pada dosennya, sedang takut itu tidak mendidik maka, harus diubah sistem pengajarannya,” tambah pakar Pendidikan IAIN ini. Ketika disinggung, apakah kemandegan berfikir ini karena pola berfikir yang diterapkan menggunakan pola berfikir ala sunny? Abdurrahman Mas’ud dengan tegas menolak asumsi ini. Menurutnya, tidak salah orang sunny belajar sunny. Mantan wakil direktur Pasca IAIN ini mencontohkan Mu’tazilah yang terkenal rasionalis pada saat khalifah Ma’mun tahun 830 M malah menjadikan Mu’tazilah sebagai agama negara. Bunga Rampai

Amanat

31


“Jadi perlu ada pembaharuan misalnya belajar Sunny (ahlussunnah), selama ini kita terlalu fiqhi dan jarang belajar Sunny dari sejarah,” jelas Abdurrahman Mas’ud. Padahal, pemikir yang maju seperti Gus Dur menganggap bahwa Sunny dalah sebuah ideologi yang dinamis dan tidak macet. Kalau sunny kita jadikan sebagai fiqih atau tauhid, seperti yang kita pelajari, maka itu tidak akan dinamis dan memberi solusi bagi perkembangan zaman,” tambahnya. Namun demikian, ia melihat bahwa IAIN tidak harus berkiblat pada model barat. Yang berkualitas menurutnya adalah harus ada keseimbangan antara why dan what. Keseimbangan antara ajaran agama dan ajaran ilmu sosial juga studi yang bersifat metodologis dengan segi yang normatif. “Kalau tidak, nanti jangan-jangan mahasiswa IAIN tidak jelas dari segi kepribadiannya,” ujar Abdurrahman. Sementara itu, mahasiswa pun yang berkecimpung dan peduli dengan dunia berfikir pun melihat kondisi yang sama. Keadaan yang masih memprihatinkan kala budaya intelektual belum terbangun di kampus ini. “Mengejar IP boleh dan lulus dengan cepat pun sah-sah saja, tetapi tentunya tidak mengabaikan kualitas dan kadar intelektual. Kan lebih memalukan bagi IAIN jika lulusannya tidak bisa berbuat apa-apa di masyarakat,” kata seorang pegiat diskusi, Munif. Dari persoalan kurikulum yang tak usai dibenahi, persoalan kualitas dosen yang masih sering dipertanyakan, aktifitas intelektual dari mahasiswa pun masih kurang mendapat

32

Amanat Bunga Rampai

perhatian dari pihak pimpinan, baik yang di tingkat fakultas maupun institute. Sering kali upaya mahasiswa untuk maju kehabisan energi karena tidak ada dukungan dari atas. Lembaga-lembaga diskusi yang ada di IAIN menjadi minim kegiatan. “Sudah seharusnya pihak pimpinan lebih bisa memperhatikan Lembaga-lembaga kajian yang ada di mahasiswa, karena merekalah yang sebenarnya banyak memberi kontribusi bagi pengembangan dan kebesaran nama IAIN,” ujar seorang aktifis kajian di Fakultas Dakwah. “Jangan hanya untuk dosennya saja, karena toh Lembaga kajian di tingkat dosenpun masih wujuduhu ka adamihi.” Memang demikian, proyeksi Qodry Azizy pada awal menjabat pembantu rektor telah menetapkan prioritas untuk mendongkrak kualitas dosen. Baik melalui jenjang kuliah pasca sarjananya, maupun kajian-kajian di lingkungan dosen. Namun, selama ini kajian yang dimaksud belum banyak terlihat dilakukan. Meskipun Qodry sendiri menegaskan bahwa setiap diskusi yang bersifat ilmiah dapat diikuti oleh siapa saja. Padahal, kualitas dosen sangat mempengaruhi budaya intelektual mahasiswa terutama yang terbangun dari ruang kuliah. Maka, kini bagaimana agar kedua komponen civitas intelektual ini sama-sama terdongkrak, itu yang penting! Reporter: Umar, Dedy, Atik, Ely, Lisin Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 81/Mei 2000


Kenapa Harus Dosen? Sampai saat ini, hanya dosen yang melakukan penelitian. Kapan, pegawai dan mahasiswa bisa terlibat? Siang itu, dua orang pegawai IAIN menuju gedung paling timur Kampus I. Dengan membawa stopmap, keduanya Menaiki tangga, dan masuk ke kantor Pusat Penelitian. Rupanya, mereka mengajukan proposal penelitian. Namun, tak disangka, proposal mereka belum bisa masuk seleksí. Alasannya, mereka berdua, statusnya bukan dosen. Mereka pun mendapatkan saran dari Puslit, untuk memasukkan nama dosen, dalam proposalnya bisa dalam seleksi. Pasalnya, penelitian di IAIN, hanyalah untuk tenaga edukatif atau dosen. Akhirnya mereka pun memasukkan dua nama dosen di IAIN ini. Satu sebagai anggota tim, yang kedua sebagai konsultan. Itulah sekelumit kisah penelitian yang terjadi di IAIN. Hanya untuk dosen. Bukan untuk seluruh civitas akademisi yang ada. Ya, dosen, pegawai, dan mahasiswa. Padahal, Prof. A. Qodri A. Azizy, mantan Rektor IAIN Walisongo, pernah melontarkan gagasannya, dalam bukunya yang berjudul IAIN ke Depan”. Untuk mengupayakan maha-

siswa terlibat dalam kegiatan penelitian. Aziz Hakim, mantan Presiden BEMI, pun prihatin. Aziz menginginkan, penelitian yang dilaksanakan di IAIN, hendaklah jangan dibatasi dosen saja. Mahasiswa dilibatkan. Aziz melihat, sampai saat ini tidak ada alumnus yang skripsinya masuk dan diterbitkan oleh Puslit. Paling-paling hanya penghargaan untuk sarjana dengan predikat skripsi terbaik,” ujar Aziz. Makanya Aziz berharap, pihak IAIN, memberi kesempatan seluas-luasnya kepada mahasiswa dan dosen. Mereka harus diberi kesempatan untuk melakukan penelitian. Tidak Langsung

Semestinya, Dosen bisa mengajak mahasiswa untuk mengadakan penelitian. Misalkan hanya sekadar wawancara maupun mencari data. “Itu bisa memberikan pengalaman dan untuk mengadakan latihan mahasiswa,”ujar Ahmad Faqih, dosen fakultas Dakwah. Memang berdasarkan pedoman penelitian yang dikeluarkan oleh DiBunga Rampai

Amanat

33


rektorat Perguruan Tinggi Agama Islam Depag RI, kualifikasi peneliti, adalah dilakukannya terobosan-terobosan. Di yang bagus, bagi dosen. Sebenarnya bisa dapat diikutsertakannya mana mahasiswa dalam penelitian. “Tetapi kita perlu adanya mekanisme,” jelas Musahadi, Kepala Pusat Penelítian IAIN Walisongo. Menurut Musa, selama ini Puslit, sudah melibatkan mahasiswa tetapi tidak secara langsung. Tapi masih secara parsial. Yakni sekadar hanya membantu peneliti untuk collecting data di lapangan. Tetapi lebih dari itu, padahal menurut Musa, mestinya memang diperlukan adanya terobosan. Yakni melibatkan mahasiswa, tidak hanya collecting data. Tetapi mulai dari dari penentuan topik, penyusunan, sampai desain penelitian. Bah-

(Dok. Amanat)

34

Amanat Bunga Rampai

kan mungkin sampai pada penulisan laporan. “Kita mencoba bernegosiasi barangkali ada peluang atau ada mekanisme tertentu ,” ujar Musa. Sebenarnya Prof. Djamil, Rektor IAIN, pun menyambut baik gagasan tersebut. Cuma, mahasiswa tidak bisa melakukan atas nama mahasiswa. Karena juklaknya masih begitu. Untuk dosen. Tetapi mahasiswa, bisa membantu dosen, secara tidak langsung. Misalnya untuk menganalisis. “Bisa saja bagi mahasiswa yang terampil dan memiliki kemampuan meneliti yang bagus,” ujar Djamil. Jadi, tunggulah, sampai juklak itu ada. Tapi sampai kapan! Reporter: Ani, Mh3t, Olis Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 97/Agustus 2003


Sentralisasi UKM Bermasalah Upaya membungkam kritisisme mahasiswa itu bernama sentralisasi

Sempit. Ukurannya sekitar 4x6 Meter. Dipetak-petak dengan papan. Terletak di belakang Audit II Kampus III. Tempat yang sebenarnya hanya layak untuk kemah dan acara api unggun, pacaran, karena sepinya jika malam telah menyelimutinya. Itulah gambaran gedung baru yang diperuntukkan kantor UKM, seiring dengan kebijakan pemusatan (sentralisasi) kantor UKM di Kampus III. Rencananya itu, sebentar lagi akan terealisasi. Karena bangunan yang jauh dari layak untuk UKM yang ada, sudah 90% penggarapannya. Tinggal finishing, yang tidak memerlakukan waktu lama. Masalahnya, sampai pada tahap gedungnya sudah jadi dan siap di tempati, tidak ada pembicaraan antara pihak rektorat dengan UKM sehingga terkesan tidak ada sosialisasi. Kebjikakan tersebut menurut PR III Drs. Machsin bukannya tanpa alasan. Karena gagasannya bermula dari desakan pihak fakultas yang menginginkan rektorat membangun gedung

bagi UKM, yang selama ini masih menempati ruang kuliah. Prinsipnya, kata Machsin, ruang kuliah tidak boleh dipakai kantor. Disamping itu pihak fakultas merasa terganggu dengan adanya ruang kuliah yang dijadikan kantor UKM. “Pokoknya semua UKM yang menempati gedung kuliah, harus bersiap-siap pindah,� tegasnya. Kurang representatif

Kebijakan yang niat awalnya baik, memunculkan masalah baru ditingkatan aktivis UKM, karena ketidaksepakatan dan kurang sreg dengan kebijakan tersebut. Permasalahan yang paling utama, ketika Amanat survei ke gedung baru adalah tidak representatifnya lokasi, luas dan jumlah ruang yang ada. Padahal, ruangannya hanya 14 ruangan. Sedang UKM yang harus di tampung berjumlah 16. Parahnya, itu belum terhitung BEM dan DPM. Komandan KMBN Heru Wibowo mengeluhkan hal yang sama. Menurutnya, ruangan yang dibuat itu terlalu kecil dan kurang representatif. Bunga Rampai

Amanat

35


Pembangunan gedung baru PKM gegabah. (Dok. Amanat)

“Ruangannya hanya cukup lemari, meja dan kursi saja. Padahal KMBN kan barang (interventarisnya, red) banyak. Mau ditaruh di mana barang-barang itu!” Perasaan kesal dan kecewa juga juga muncul dari Ketua Dewan Perwakilan Mahasiswa Institut (DPMI) Jamal Lutfi, yang juga mahasiswa Ushuluddin ini melihat, adanya sentralisasi akan semakin mempersulit komunikasi dengan pihak Rektorat. Masalah lain yang muncul adalah ruangannya terlalu sempit, yang cuma cukup untuk satu meja dan beberapa kursi saja. “Akan ditempatkan di mana kalau ada tamu datang!” keluhnya. Sementara Khusnul Huda, PU Amanat, membayangkan situasi yang akan membuat stres aktivis UKM jika sentralisasi benar-benar terwujud.

36

Amanat Bunga Rampai

“Bayangkan, ruang depan misalnya, UKM Musik sedang nge-band. Disampingnya Amanat sedang nggarap redaksi. Eh di sebelah teater Mimbar lagi latihan. Apa nggak ramai nantinya!” Menanggapi persoalan tersebut, Machsin hanya mengatakan, bahwa tidak semua UKM pindah ke Kampus III. “Kopma dan Racana masih di tempat semula, karena sudah punya tempat permanen.” Mengebiri mahasiswa

Meski tujuan sentralisasi itu baik, namun protes keras muncul dari sebagian besar UKM, karena keberatan dengan kebijakan tersebut. “Rektorat tidak pernah bicara dan berkonsultasi pada pengurus UKM,” ujar Hendra Suhendra dari Kopma. Ketua DPMI Jamal Lutfi juga menyesalkan kebijakan Rektorat yang


gegabah dan tidak mau berkonsultasi dulu dengan UKM. “Ini semua inisiatif Rektorat. DPMI sebagai wakil mahasiswa pun tidak pernah diajak bicara sama sekali,” sesalnya. Padahal, gedung baru sudah dibangun bahkan hampir jadi serta tidak sesuai dengan kondisi UKM yang ada, tambahnya. Di tanya soal setuju atau tidak DPMI pindah ke PKM, Jamal menjawab, bahwa pada dasarnya DPMI mengikuti keinginan UKM yang lain kalau memang pindah, DPMI siap pindah kalau memang harus tetap, maka DPMI belum pun siap. Lebih lanjut Jamal juga mengeluhkan tentang ruangan yang baru. Menurutnya, DPMI akan cukup susah untuk menemui Rektorat. Juga ruangan sempit yang hanya cukup untuk tempat kursi atau menerima tamu saja. Sementara itu, Syaifuddin, Presiden BEM Syari’ah, bahkan mencurigai itu sebagai upaya pengekangan dan pembungkaman kritisisme dan kreatifitas mahasiswa.

tidak mengikutsertakan mahasiswa dalam memutuskan kebijakan tersebut. “Peraturan itu kan untuk mahasiswa, kenapa tidak melibatkan mahasiswa!. Dan tahu-tahu sudah jadi,” sesalnya. Hal sama dikemukakan Heru. Namun, KMBN siap ditempatkan di mana saja. “Tetapi alangkah baiknya jika kami diajak urun rembuk.” Sementara Rektor IAIN Abdul Djamil ketika di temui Amanat malah heran atas keberatan UKM pindah ke Kampus III. “Kenapa? Mereka menempati gedung selama ini kan darurat. Itu bukan untuk kantor. Dan sekarang di beri kantor permanen tidak setuju. Alasannya apa?” Ia juga menyayangkan persepsi mahasiswa yang menurutnya terlalu negatif thingking. “Seharusnya kan itu mendapat respon positif thingking, bukan sebaliknya,” elaknya.

“Kalau BEM dan semua UKM di Kampus III kan sulit memantau dan mengkritisi kebijakan dari rektorat,” ujarnya.

Sedang perihal sempitnya ruangan Djamil mengatakan, pemetaan di dasarkan dana yang ada. Sehingga wajar ketika tidak sesuai dengan keinginan mereka. “Seharusnya, mereka bisa mensiasati sendiri dengan kondisi yang ada,” tandasnya.

Mahasiswa Syari’ah 99 ini menilai, sentralisasi UKM sepertinya merujuk NKK/BKK pada tahun 70-an.

Reporter : Oliez- Udin

“Mahasiswa digiring lagi ke dalam kampus sehingga melemahkan nalar kritis mahasiswa,” keluhnya.

Laporan pernah dimuat di Tabloid Edisi 99/Februari 2004

As’adul Yusro, Presiden BEMI juga menyayangkan langkah rektorat yang

Bunga Rampai

Amanat

37


38

Amanat Bunga Rampai


Membisniskan Perguruan Tinggi BLU memberikan kemudahan pengelolaan keuangan bagi perguruan tinggi. Namun bayang-bayang komersialisasi pendidikan menghantui mahasiswa. Senin 15 September 2008 lalu, (Undip) Universitas Diponegoro menapaki sejarah baru. Hari itu, salah satu perguruan tinggi terbe- sar di Jawa Tengah ini menyandang status Badan Layanan Umum (BLU). Ini didasarkan pada Surat Keputusan Menteri Nomor 259/KMK.05/2008 yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani. Hari itu juga Universitas Padjadjaran (Unpad) resmi berstatus BLU. Lima hari sebelumnya (10/09/2008), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung berstatus BLU. Menyusul Universitas Negeri Malang dan Universitas Hasanudin juga resmi menjadi BLU pada 24 September 2008. Jauh sebelumnya, pada 2 Juli 2007 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tercatat sebagai perguruan tinggi yang pertama kali menyandang gelar BLU. Susul-menyusul UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (26/02/2008), dan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) bersamaan dengan UIN Malang (31/03/2008).

Tahun 2008 ini, IAIN Walisongo tak tinggal diam. Upaya menuju BLU pun dilakukan. Targetnya, tahun 2009 mendatang IAIN sudah menyandang status BLU. Kabar itu didengar Amanat dari Pembantu Rektor III IAIN Walisongo Semarang, M Erfan Soebahar, pada pertengahan Oktober lalu. “Proposal sudah naik ke kementerian. Ya, diupayakan 2009 IAIN sudah menjadi BLU,� katanya. Peningkatan Pelayanan(?)

Dinamika perguruan tinggi yang kini sedang gencar-gencarnya mengincar status BLU adalah buntut dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004. Sesuai Pasal 1 UU tersebut, BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk melayani masyarakat, berupa penjualan jasa atau penyediaan barang. Kemudian menyusul Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PKBLU). Ini berkaitan dengan sistem Pola Pengelolaan

Bunga Rampai

Amanat

39


Keuangan Badan Layanan Umum (PPKBLU) yang harus dilakukan oleh instansi pemerintah yang berstatus BLU. Secara rinci UU itu menyebutkan tujuan, asas, persyaratan, penetapan, pencabutan, standar layanan, tarif layanan, pengelolaan keuangan dan tata kelola BLU. Reformasi pengelolaan keuangan ini, sesuai PP No 23/2005 bertujuan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Dengan BLU, perguruan tinggi dituntut lebih produktif melayani kebutuhan publik dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum. “Pengelolaan menumbuhkembangkan inovasi, kreatifitas, dan memberdayakan potensi kampus hingga bisa optimal,” kata Abdul Djamil, Rektor IAIN Walisongo saat ditemui Munaseh dan M Saiful Amri, reporter Amanat. Djamil yakin, BLU adalah jalan yang tepat menuju produktivitas kampus. Ini selaras dengan tuntutan UU No 1/2004. BLU berdalil dibentuk dengan prinsip efisiensi. “Yang kita tingkatkan kinerja dan peningkatan pelayanan,” kata Machasin, PR II IAIN Walisongo, penuh nada optimistis. Namun di balik nada-nada optimistis mengenai BLU seperti peningkatan pelayanan dan produktifitas perguruan tinggi besit keprihatinan dirasakan mahasiswa. Setiap kebijakan memang niatnya untuk kebaikan, tapi faktanya sering tak tertepis. Abbas, misalnya, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang sudah mengalami dinamika BLU di universitasnya menyanggah kemajuan yang dijar-

40

Amanat Bunga Rampai

gonkan BLU. “Peningkatan pelayanan yang seperti apa? Tidak ada kemajuan di UIN setelah BLU. Yang ada mahasiswa justru tertekan biaya pendidikan dengan alasan peningkatan pelayanan,” kata Ketua BEMJ PAI UIN Sunan Kalijaga ini. Menanggapi pesimisme yang ada, Djamil meyakinkan, BLU adalah peluang mengoptimalkan kinerja. “Adanya BLU akan memudahkan saya cek dan ricek ketika ada pegawai yang tidak melaksanakan tugasnya,” tegasnya. Fleksibilitas Keuangan

Pasal 2 UUPKBLU menjamin fleksibilitas atau keleluasaan pengelolaan keuangan BLU. Inilah yang membuat beberapa perguruan tinggi kepincut, termasuk IAIN Walisongo. “Keleluasaan itu memberikan peluang kita untuk berkiprah. Dan di BLU banyak peluang kepada kita. Ya, fleksibilitas keuangan itulah,” ujar Erfan. PPKBLU adalah tawaran praktis perguruan tinggi negeri (PTN) dalam hal pendanaan pendidikan. Wajar jika BLU kini dielu-elukan sebagai pola manajemen perguruan tinggi paling ideal. Dinilai tujuan utamanya agar pengelolaan keuangan jalan dinamis. “Berbicara sistem pengelolaan keuangan, pertama harus ada cash flow manage ment (pengelolaan arus kas-Red) yang benar,” kata Susilo Wibowo, Rektor Undip. Cash flow management yang benar itu, lanjutnya, harus disertai kemudahan penggunaan resources atau sumber keuangan. Menurut mantan PR IV Undip ini, BLU sudah menyangkut kedua syarat tersebut.


BLU menjanjikan kemudahan pengelolaan keuangan. Ini terkait “hak istimewa” BLU untuk mengelola pendapatan secara mandiri. Input dari masyarakat, baik berbentuk sumbangan, imbalan layanan barang/jasa, atau hibah, tergolong Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang tidak disetor ke kas negara. BLU hanya berkewajiban melaporkan keuangan kepada pemerintah. Ini berbeda dengan prosedur selama ini; semua PTN menyetor pendapatan ke negara. Setelah semua terkumpul di pundi-pundi keuangan pemerintah, baru kemudian dibagikan kepada masing-masing PTN. Faktanya, memang, PTN tak jarang menelan pil pahit. Sebab dana yang terkucur kerap kali di bawah anggaran belanja yang diajukan PTN. Belum lagi urusan birokasi keuangan yang mbulet. Hingga, menurut pengakuan sumber Amanat, agar pengajuan dana cepat turun harus nyogok komisi keuangan. Tugas BLU adalah menyusun cash flow management yang lebih accountable (terperinci, bertanggungjawab), dan auditable (dapat diperiksa dengan mudah). “Laporan BLU ke Depdiknas dan Depkeu. Dulu hanya satu (Depdiknas-Red), jadi sekarang lebih ketat,” kata Susilo. Ia menambahkan, siapapun dapat mengaudit BLU, baik internal maupun eksternal. Bisnis

Fleksibilitas keuangan juga meniscayakan jalan pintas, atau paling tidak kemudahan, bagi BLU untuk meraup “dana segar”. Beriringan dengan peningkatan pelayanan dan fleksibilitas

keuangan, BLU dipersilakan menjalankan bisnis yang sehat (Pasal 2 UU No 23/2005). “BLU sangat menolong perguruan tinggi dalam memangkas alur birokrasi dengan pemerintah terkait keuangan. Namun jika tidak dikontrol dan terkontrol oleh pemerintah atau pihak yang berkompeten, BLU justru akan mengomersilkan pendidikan,” kata salah satu sumber Amanat yang tak mau disebut identitasnya. Karenanya, menurut mahasiswa Universitas Soedirman ini, BLU harus diaplikasikan dengan arif dan tepat. Pandangan demikian tak keliru, mengingat regulasi BLU yang tampaknya sarat dalil bisnis. Misalnya aturan tentang investasi dan utang-piutang. Pasal 19 UUPPKBLU menyatakan, BLU dapat melakukan investasi jangka panjang di mana keuntungan yang diperoleh termasuk pendapatan BLU. Yang mengagetkan, sesuai Pasal 9 UUPKBLU, BLU diberi hak untuk memungut tarif layanan kepada masyarakat umum, termasuk mahasiswa. Persisnya, tarif adalah imbalan per satuan layanan barang atau jasa yang diberikan perguruan tinggi. Lantas, peningkatan kualitas yanan BLU adalah keniscayaan. Tapi harus dibayar dengan sederet tarif demi tarif pada setiap penggunaan fasilitas dan jasa kampus. Praktisnya, semua aset negara yang termasuk dalam administrasi BLU akan dijadikan jejaring bisnis. Fasilitas di kampus dimanfaatkan untuk menggemukkan pundi-pundi keuangan. Bunga Rampai

Amanat

41


Mahasiswa melakukan unjuk rasa penolakan komersialisasi pendidikan yang akhir-akhir ini menjadi tren kebijakan di Indonesia. Salah satunya adalah pengesahan UU BHP oleh DPR pada 17 Desember. (Dok. Internet)

Efek negatif pemberlakuan tarif sudah dirasakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga selama hampir satu setengah tahun terakhir. Yakni sejak UIN menjadi BLU pertengahan tahun 2007. “Beban mahasiswa bertambah dengan BLU. Sebab setiap penggunaan fasilitas kampus dikenakan tarif,” kata Abbas, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga. Secara langsung, lanjut Ketua BEMJ PAI ini, pemungutan tarif turut mengganggu kegiatan mahasiswa. Berbeda dengan sebelumnya, mahasiswa dapat leluasa menggunakan fasilitas kampus untuk melaksanakan kegiatan tanpa dipungut biaya. Di UIN Sunan Kalijaga, ada beberapa fasilitas vital bagi kegiatan mahasiswa, seperti auditorium, gedung teatrikal, dan gedung multipurpose (serbaguna) yang dikenakan tarif.

42

Amanat Bunga Rampai

Di atas kertas, memang aturan BLU tidak mengutamakan keuntungan. Namun mencermati pasal demi pasal dari PP No 23/2005, tampak celah yang dengan mudah membias ke arah bisnis. Mia Winarti Asgar, mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengamini hal itu. “Mendingan tidak usah BLU. Ujung- ujungnya pada komersialisasi,” tegasnya. Menurut Mia, muara BLU mirip dengan Badan Hukum Milik Negara (BHMN) atau Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang memboboti pembiayaan pendidikan pada mahasiswa. Belum lagi, di UIN Sunan Kalijaga terjadi penambahan biaya pendidikan yang makin menekan mahasiswa pasca BLU. Sejumlah pungutan baru pun diterapkan. Misalnya dana praktikum,


dana pengembangan bahasa asing, dan aplikasi teknologi informasi (Slilit edisi 21 Agustus 2008, bulletin terbitan LPM Arena). Mengenai aturan tarif layanan BLU, Rektor Undip secara mengejutkan mengecam perguruan tinggi yang “rakus” dengan memeras mahasiswanya. “Lho, mahasiswa itu keluarga dewe. Mahasiswa adalah milik kampus juga. Kok malah disuruh bayar,?” sergahnya. Sebab BLU secara legal didorong untuk mencari dana di luar main business (bisnis pendidikan). Menurutnya, BLU harus memanfaatkan peluang bisnis yang luas di luar mahasiswa. Undip sendiri, setelah berstatus BLU besar dalam merencanakan agenda mengembangkan bisnis. Misalnya bisnis aplikasi jaringan internet 4G, radio, pompa bensing restoran, dan rumah sakit. “Jadi setelah BLU, jika bisnisnya jalan maka tidak ada penambahan beban pada mahasiswa,” tuturnya. Bahkan Susilo ber- ancang-ancang menurunkan beban maha-siswa. Bahkan diupayakan SPP gratis.

Negara Bukan Pajak (PNBP). Karenanya BHMN tidak berkewajiban menyetorkan pendapatan itu ke kas negara. Dana itu dikelola secara mandiri untuk biaya operasional kampus. Tercatat ada tujuh PTN yang ditetapkan menjadi BHMN. Yaitu Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Status BHMN masing-masing disahkan Sumatera dengan Peraturan Pemerintah. BLU ditempatkan laiknya lembaga semiotonom pemerintah. Meski pelan-pelan pemerintah mengarahkan kebijakannya menuju otonomi kampus, tapi BLU bukan otonomi penuh. Sebab BLU tetap mendapatkan subsidi dari pemerintah. Tidak seperti BHMN yang jelas-jelas “ditalak” pemerintah.

Semiotonomi Kampus

“Jadi BLU bukan otonomi, tapi fleksibilitas,” tegas Djamil. Di tempat ter- pisah, Machasin memberikan penjelasan. “BLU tetap dapat APBN, enam puluh persen dari total anggaran yang kita keluarkan. Semakin PNBP naik, maka subsidi pun naik.” Terkait persoalan keuangan, tujuan BLU tak jauh beda dengan BHMN ataupun BLU. Yakni mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan.

Sebelum BLU, Badan Hukum Milik Negara (BHMN) mewarnai sejarah otonomi perguruan tinggi. Pendapatan BHMN yang diperoleh dari masyarakat tidak termasuk Penerimaan

Namun, Machasin selaku Ketua Tim BLU IAIN Walisongo mengakui kelebihan BLU. “BHMN itu berat, Mas. Sebab orientasinya bisnis murni, profit oriented,” kata Machasin

Namun, tak semua mahasiswa optimistis menyambut niat baik Susilo. “Mana mungkin SPP turun? Ya kalau bisnisnya jalan. Kalau tidak ya mahasiswa yang akan menanggung beban,” kata Astrianti, mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Undip.

Bunga Rampai

Amanat

43


membandingkan. Sedangkan BLU, tambahnya, antara pengeluaran dan pendapatan diseimbangkan. Susilo juga berpandangan, di atas kertas BHP akan membebani mahasiswa. “Pegawai yang memberi gaji BHP sendiri, bukan negara. Nah uangnya dari mana? Ya itu, mencari bisnis dan meras mahasiswanya,” tandasnya. Enterprising University

Mencermati BHMN, BHP dan BLU, tampaknya satu muara. Bedanya, BHMN dan BHP adalah otonomi penuh. Sedangkan BLU adalah semiotonom atau otonomi tidak total. Tapi, toh ujungnya dapat diendus. Yaitu upaya pemerintah untuk sedikit demi sedikit melepaskan tanggungjawab pembiayaan pendidikan perguruan tinggi. Jargon yang diusung BLU adalah Enterprising University. Yakni pengibaratan sebuah perusahaan pada perguruan tinggi. Dengan semangat itu, BLU leluasa menjualbelikan pelayanan dalam bentuk apapun. Hingga coraknya lebih kental ingin mewiraswastakan perguruan tinggi. Faktanya, praktek bisnis yang berusaha meraup untung pun sudah terendus di sebuah lembaga BLU. Taruhlah UIN Sunan Kalijaga yang mematok harga mahal untuk tiap-tiap contoh dokumen proposal BLU.

44

Amanat Bunga Rampai

Kontribusi yang harus dibayar sebesar 5 juta rupiah per dokumen. Tarif itu bukan jumlah yang sedikit untuk ukuran berkas proposal. Adapun UIN tersebut menawarkan delapan contoh dokumen yang sudah disahkan oleh Depag maupun Depkeu. “Sesuai amanat BLU untuk mengembangkan Enterprising University, kami mohon Bapak/Ibu/Sdr dokumen tersebut untuk memberikan kontribusi sebesar @Rp.5.000.000.” Demikian termaktub dalam surat edaran bernomor UIN.2/1/PR/ KS.01.1/0271/2008 yang sudah ditandatangani oleh Tasman Hamami, Pembantu Rektor Bidang Administrasi Umum UIN Sunan Kalijaga Muhammad Ahlis, mahasiswa Undip semester IX, berharap agar birokrat cerdas melihat peluang bisnis di luar mahasiswa. “Jika tidak, mahasiswa yang akan menjadi lahan bisnis utama,” ungkapnya prihatin. Kekhawatiran Ahlis bukan tanpa alasan. Ia melihat, keberadaan mahasiswa selama ini adalah objek bisnis yang paling jelas bagi perguruan tinggi.

Reporter: Musyafak Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 112/Januari 2009


IAIN Digoyang OPAK DEMA “memenangkan” protes penolakan OPAK. Tapi nada-nada pesimistis pun muncul dari berbagai kalangan

Kesunyian kampus tiba-tiba pecah. Senggang liburan akademik mahasiswa, justru IAIN Walisongo diributkan oleh aksi Kampus yang harihari sebelumnya sepi, protes. sontak terdengar gaduh. Selasa, 15 Juli 2008, nyaring suara megaphone membuat riuh Kampus 3. Sekitar pukul 08.30, di depan Ubinsa, puluhan mahasiswa berkumpul, berbaris membentuk sap-sap. Tangan mereka terkepal dan memegang spanduk. Faqih Yahulloh, sembari meneriakkan yel-yel, menggiring rekan-rekannya menuju Kámpus 1. Sepasukan mahasiswa yang mengenakan jas merah hati kebanggaan almamater dan menamakan diri Aliansi Mahasiswa Pejuang Kedaulatan (AMPK) ini long march menuju kantor Rektorat IAIN Walisongo Semarang. Sesampainya di Rektorat, Faqih, sang Koordinator Lapangan (korlap) mengeraskan suaranya sambil mengacungkan mulut megaphonenya ke pintu Rektorat. “Tolak OPAK, kembalikan PASSKA,” teriaknya melengking, sembari menerabas masuk ke gedung Rektorat.

Aksi ini menuntut Rektor menetapkan format PASSKA (Pekan Studi dan Sosialisasi Kampus). Hal ini terkait dengan penolakan Dewan Mahasiswa pada SK Dj. Nomor I/254/2007 yang secara teknis merubah format orientasi kampus. SK tersebut menginstruksikan orientasi kampus menjadi OPAK (Orientasi Pengenalan Akademik), bukan PASSKA. AMPK yang dimotori oleh DEMA, SEMA, MPM, dan MPMF menilai bahwa SK Dirjen tersebut mengintervensi kegiatan kemahasiswaan. Pasalnya, sesuai aturan, pelaksanaan OPAK dipandegani oleh Rektorat, Karyawan, Dosen, dan Mahasiswa. Pasal-pasal lain yang menjadi penolakan adalah, OPAK meniadakan Orsenik yang selama ini menjadi ajang pembibitan bakat dan minat mahasiswa IAIN Walisongo. Agak lama korlap berorasi di gedung Rektorat sampai jam menunjuk pukul 10.00, Machasin menyambangi mereka. Pembantu Rektor II ini berusaha meredam pendemo, tetapi penjelasannya yang sekilas tentang OPAK tidak diterima. Bunga Rampai

Amanat

45


Tak berselang lama, Pembantu Rektor III, Erfan Soebahar, datang menemui. Perdebatan agak sengit dengan PR II berlangsung di lobi pintu gedung. Namun tidak lantas permintaan pendemo dikabulkan. AMPK masih bersikukuh untuk bertatapan langsung dengan Rektor. Akhirnya, sekitar pukul 14.00, Abdul Djamil selaku Rektor IAIN Walisongo datang memberikan penjelasan kepada mahasiswa. Di hadapan para pendemo, Djamil menyatakan bahwa orientasi kampus yang akan dilaksanakan akhir Agustus nanti mengikuti format OPAK. “Ini sudah menjadi keputusan Dirjen,” katanya. Kedua belah pihak yang terlihat ngotot pada pendapat masing-masing. Karena tidak tercapai kesepakatan, pendemo tetap menduduki gedung para pejabat tinggi itu. Namun kemudian mereka membubarkan diri setelah dijanjikan audiensi oleh pihak Rektorat pada Kamis, 17 Juli 2008. Aksi protes ini merupakan buntut dari Lokakarya PASSKA 2008 yang diadakan DEMA pada 30 Juni di Auditorium I Kampus 1. Pasalnya, keputusan hasil Lokakarya ini yang kemudian diajukan ke Rektorat sebagai bahan pertimbangan tidak ditanggapi dengan baik. “Rektorat kurang merespon banding yang kita ajukan,” kata Abdullah Hadzik, Ketua Dema pada tanggal 5 Juli. Ketika Erfan dikonfirmasi Amanat pada tanggal 7 Juli, Rektorat akan menetapkan OPAK dalam pelaksanaan orientasi kampus. Guru Besar Ilmu Hadits ini menyangkal dasar mahasiswa memaksakan PASSKA. Padahal

46

Amanat Bunga Rampai

sudah ada keputusan baru (SK Dj. No. I/254/2007) yang mengaturnya. “Bagaimanapun juga, OPAK harus dilaksanakan sesuai dengan SK Dirjen itu,” katanya. Sekedar ganti nama

Tanda-tanda penolakan OPAK semakin keras dari pihak DEMA, MPMI, SEMA MPMF, HMJ, maupun SEMA. “Jika Rektor menetapkan OPAK, kami semua akan mengundurkan diri,” kata Achwan Achadi, salah satu pengurus DEMA. Sesuai yang dijanjikan, Kamis 17 Juli audensi antara Rektorat dan perwakilan mahasiswa dilaksanakan. Pertemuan di Ruang Sidang Rektorat itu berlangsung alot. Sementara AMPK kembali melakukan demonstrasi di halaman gedung Rektorat, seperti dua hari sebelumnya. Erfan Subahar bersikukuh menjalankan OPAK, sementara mahasiswa ngotot PASSKA sesuai lokakarya. Hadzik mengusulkan opsi yang menurutnya win-win solution. Yaitu, namanya bisa saja OPAK, tetapi teknisnya sesuai lokakarya PASSKA 30 Juni 2008. Namun pihak Rektorat tak goyah. Mengetahui audensi dead lock, pendemo di luar gedung beringas. Gertak sambal pun terjadi. Pendemo menumpuk ban bekas dan kayu di pintu masuk gedung tiga lantai itu. “Ayo bakar, gedungnya sekalian,” celetuk keras salah seorang pendemo beringas. Tapi urung, ban bekas dan kayu tadi akhirnya dibakar di halaman Rektorat. Sementara pendemo terus menduduki gedung pejabat tinggi IAIN di


Jalan Walisongo Km. 3-5 Semarang itu. Disaksikan aparat kepolisian dan para wartawan cetak maupun elektronik Melihat aksi yang makin mengkhawatirkan, akhirnya Rektorat mengambil “jalan tengah”. Yaitu memutuskan OPAK sebagai nama orientasi kampus tahun 2008. Akan tetapi teknis pelaksanaannya sesuai keputusan Lokakarya PASSKA yang diselenggarakan 30 Juni 2008. Adapun kesepakatan Lokakarya PASSKA 2008 seperti pedoman pelaksanaan PASSKA tahun-tahun sebelumnya. Walhasil, pelaksanaan OPAK tahun ini tak banyak berubah. Adapun bentuk kegiatan OPAK terdiri dari Stadium General, Diskusi kelompok (studi kasus), kegiatan Orsenik, UKM Expo. Minim dukungan UKMI

Namun, “kemenangan” DEMA atas dikabulkannya tuntutan, bukan berarti semua stakeholder yang ada menyatakan dukungan penuh. Nada pesimistis pun muncul dari berbagai kalangan, khususnya Unit Kegiatan Mahasiswa Institut (UKMI). Kegagalan PASSKA tahun lalu, ternyata masih menghujam di sanubari sebagian aktivis kampus. Transparansi keuangan tahun lalu yang samar-samar, misalnya, menjadi pertimbangan yang masuk akal. Juga masalah siapa yang “untung” dan siapa yang “buntung” saat PASSKA, mengemuka kem- bali menjelang pelaksanaan OPAK. Ulil Absor, misalnya, punggawa UKM Musik merasakan bahwa UKMUKM yang adahanya dimanfaatkan.

“Kami hanya menjadi fasilitator untuk kesuksesan PASSKA, tapi jerih payah tidak dihargai,” kata mahasiswa yang akrab disapa Emen ini. Ia masih mengenang getir tahun lalu, bahwa Paswa (Paduan Suara) pembukaan PASSKA yang ditanganinya tidak mendapatkan anggaran. Padahal latihan-latihan yang dijadwalkan membutuhkan dana konsumsi. Lantas, untuk OPAK tahun ini Ulil bersepakat memboikot dengan tidak meminjami peralatan. Kekecewaan serupa terlontar KSR. Menurut pengakuan Hudayana, keberadaan UKMI dalam orientasi mahasiswa baru hanya dipandang sebelah mata. “Panitia hanya dijadikan kacung saja,” katanya. Lebih dari itu, jerih payah tim kesehatan yang dikerahkan KSR tidak mendapatkan apresiasi apa-apa. Parahnya, sisa peralatan dan obat-obatan diminta oleh BEM kembali. Hal ini serupa dengan pengakuan Naili Rosyada, pengurus Kempo. “Ketika selesai ditarik lagi, padahal peralatan seperti itu tidak mungkin dipakai BEM, katanya. Padahal, menurut pengakuan keduanya, fasilitas yang dimiliki UKM tersebut minim. Laiknya Musik, kali ini KSR tidak akan mendatangkan tim kesehatan. “Kecuali ada kesepakatan terlebih dahulu, agar tidak dibohongi seperti kemarin,” tegas Lukman Hakim menambahi. Sebenarnya, masih banyak kritik pesimis terhadap OPAK kali ini yang muncul UKM-UKM di lingkungan institut. Termasuk dalam masalah pengkaderan, UKM Fakultaslah yang diuntungkan. “Gimana mau dapat kader

Bunga Rampai

Amanat

47


Pembantu rektor III, Erfan Soebahar memberikan tanggapan terhadap aksi penolakan OPAK oleh AMPK yang dimotori oleh DEMA, MPMI, SEMA. MPMF, dan HMJ (Amanat/ Sutarjo)

potensial ka- lau yang menangani pembibitan aja UKM Fakultas?” kata Emen prihatin. Ketika ditantang mengenai keluhan- keluhan UKM, Ketua DEMA beralasan. Menurutnya, hal ini disebabkan miskomunikasi antara UKM dan BEM. “Kali ini, diupayakan UKM tidak ada dirugikan,” tegas Hadzik yakin. Mantan Ketua PMII Rayon Tarbiyah ini menjanjikan pemberian uang lelah maupun uang perawatan/ peminjaman alat untuk UKM yang telah memberi sumbangsihnya untuk OPAK, juga akan memfasilitasi pertemuan antara UKM Fakultas dan UKM Institut untuk membahas masalah pengkaderan. Mengenai barang yang dibeli di OPAK, rencananya, akan dikumpulkan dahulu sebagai bukti LPJ. “Terserah barang itu nanti disepakati untuk apa,?” ujar Hadzik.

48

Amanat Bunga Rampai

Transparansi

“Pertanyaan” justru terbesit dari beberapa kalangan, mengapa DEMA sampai bersikeras dengan format PASSKA. Padahal, PASSKA yang minim intervensi dan pantauan adalah hal rawan. Ditakutkan kalau penolakan konsep OPAK yang baru saja berlalu merupakan upaya mempolitisasi kegiatan kemahasiswaan oleh kelompok- kelompok yang berkepentingan. “OPAK tanpa campur tangan proyek besar buat EO-nya, ya emaneman lah dilepas,” kata Yuli Hartanti, mahasiswi Tadris Kimia sambil mengembangkan bibir. Belum jelas, aspirasi mahasiswa yang mana yang diperjuangkan. Pelakasanaan PASSKA pada tahun-tahun sebelumnya patut dijadikan pelajaran. Tentunya bagi pembuat kebijakan kampus. Terutama untuk masalah keuangan


yang selama ini digelontorkan dengan mudah oleh Rektorat, tetapi LPJ dari panitia pelaksana terseok- seok. Kepanitiaan OPAK (meskipun teknisnya PASSKA) dilaksanakan secara kolaborasi yang terdiri dari Pelindung, Penanggungjawab, Penasehat, Pemantau, SC, dan OC. “Penanggungjawab umum didapuk oleh PR III, sedangkan penanggungjawab operasional ditangani DEMA, SC, dan OC,” kata PR III. Untuk mengantisipasi hal-hal buruk, tentunya PR III mempunyai amanat besar untuk mensukseskan OPAK. Khususnya, pertanggungjawaban keuangan dari penanggung jawab operasional secara riil. Karenà dana OPAK berasal dari iuran sebesar Rp. 120.000 per mahasiswa baru. Juga, tim pemantau yang dipercayakan kepada Dekanat per fakultas harus kerja di lapangan. Meski begitu, kepanitian operasional harus mengakomodasi semua

stakeholder, termasuk UKMI. Seperti diungkapkan Khoerul Huda ketua WSC, susunan panitia didominasi oleh Dema daripada UKM. Format Orsenik yang telah langgeng, pun menuai kritik tersendiri. PASSKA (Orsenik) dicemaskan oleh kalangan UKM dengan adanya pendoktrinan mahasiswa baru di fakultas masing-masing. “Dalam Orsenik, mahasiswa menjadi fanatik pada fakultas masing-masing, bahkan mengarah pada bentrok fisik,” kata Huda. Oleh karenanya, transparansi keuangan menjadi hal vital, terlebih untuk hajat sebesar OPAK. Hal ini diharapkan untuk meminimalisasi penyelewengan seperti yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Reporter: Sutarjo Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 111/Agustus 2008

Bunga Rampai

Amanat

49


50

Amanat Bunga Rampai


Membesarkan Guru Besar Peran guru besar dinanti untuk menumbuhkan iklim akademis dan intelektual. Disayangkan jika mereka minim karya dan kurang berbaur di masyarakat. Tepuk tangan hadirin bergemuruh usai Ghazali Munir membacakan pidato bertajuk Reaktualisasi Teologi Islam Abu al-Hasan al- Asy’ari. Dalam sidang senat terbuka di Auditorium 2 kampus 3, Ghazali Munir dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Teologi. Ia adalah guru besar ke-21 yang dikukuhkan di IAIN Walisongo Semarang. 27 Desember 2009 itu adalah momentum penting bagi karir akademik Ghazali. Menurutnya, tidak sembarang orang bisa meraih gelar besar itu. Demi mencapainya, Ghazali menjalani perjuangan yang tidak enteng. “Berbagai penelitian dan penulisan karya ilmiah harus selesaikan,” tuturnya. Warisan Intelektual Islam Jawa adalah karya terakhirnya sebagai syarat memenuhi guru besar. Sri Suhandjati Sukri, Guru Besar Ilmu Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Ushuluddin juga mengakui hal itu. “Memang tak mudah untuk bisa menjadi seorang guru besar,” tegasnya.

Setidaknya, lanjut alumnus program doktoral IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga) Yogyakarta 2003 ini, Angka Kredit berkisar 850-1200 poin harus diperoleh melalui penelitian, jurnal, buku, serta pengabdian masyarakat. Peraih gelar Guru Besar Ilmu Hadits, Erfan Soebahar menyatakan, calon guru besar harus melewati seleksi kinerja akademik meliputi pengajaran, penelitian, karya ilmiah, dan pemberdayaan masyarakat. “Yang tak kalah penting adalah ketatnya aturan,” ujarnya. Pasal 48 ayat 3 pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen menyaratkan, untuk menduduki jabatan profesor harus memiliki kualifikasi akademik doktor (S3). Guru Besar Ilmu Arsitektur dan Perkotaan Universitas Diponegoro (Undip), Eko Budiharjo berpendapat, selain persyaratan akademik, aspek moralitas dan perilaku calon guru besar harus teruji baik. “Kepribadian menjadi tolok ukur yang harus dipertimbangkan,” tegasnya. Bunga Rampai

Amanat

51


Pengukuhan

Gegap gempita pengukuhan guru besar acapkali menarik perhatian. Pengukuhan menjadi ajang sosialisasi tercapainya gelar profesor. “Pengukuhan hanya sebagai ritual, untuk mensosialisasikan adanya guru baru besar besar dengan bidang keahliannya,” terang Eko yang pernah menjabat sebagai Rektor Undip ini. Bahkan, lanjut Eko, di beberapa universitas atau perguruan tidak diadakan pengukuhan. Salah satunya Institut Teknologi Bandung (ITB). Di ITB, setelah mendapat SK Mendiknas, secara otomatis sudah menjadi guru besar meski tanpa pengukuhan. Hal ini diamini Mujiyono Abdillah, Guru Besar Ilmu Metodologi Studi Islam Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo. Ia berdalih, pengukuhan adalah inisiatif pribadi guru besar. “Tanpa dikukuhkanpun, asalkan SK dari pemerintah sudah turun, maka sudah disebut profesor,” tandasnya. Guru besar yang menggeluti Fikih Lingkungan ini menambahkan, pengukuhan hanya bersifat seremonial saja. Di IAIN Walisongo, satu-satunya guru besar yang tidak menjalani pengukuhan adalah Djamaludin Darwis. Menurut Djamal, pengukuhan bukan hal wajib, melainkan budaya kampus sebagai perwujudan rasa syukur. “Pengukuhan guru besar tidak hanya mengundang kolega dan teman, tapi juga pejabat,” imbuhnya. Biaya pengukuhan seorang guru besar tidaklah murah. “Saya dulu habis sekitar lima puluh juta,” ujar Mujiyono.

52

Amanat Bunga Rampai

Namun, ada komponen tertentu yang disediakan secara cuma-cuma oleh IAIN. “Masalah tempat, pencetakan buku orasi dan tenaga administratif tertentu disediakan oleh IAIN,” jelas Abdul Djamil, Rektor IAIN Walisongo. Wajib Mengajar

Pada prinsipnya, tanggungjawab guru besar adalah menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Yaitu dharma pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat. Berdasar itulah, guru besar masih bertugas mengajar. “Guru besar yang tidak menjabat di lingkungan akademis harus mengajar mahasiswa S1 sekurang-kurangnya 6 SKS,” ujar Muhibbin, Pembantu Rektor I IAIN Walisongo. Di samping itu, secara teknis sar bertugas membimbing dan memantau perkembangan keilmuan calon doktor atau dosen muda. “Membimbing dosen muda dalam bentuk bimbingan karir dan studi adalah tugas guru besar,” tandas Erfan. Dalam pengajaran, sebagian mahasiswa memiliki pandangan berbeda mengenai guru besar dibanding dosen biasa. Seperti diakui Abdul Aziz, mahasiswa Fakultas Tarbiyah, profesor memiliki wawasan lebih luas dan referensi yang lebih dari cukup. “Kalau dihitung, saya pernah diajar empat profesor dan cara mengajar mereka tak jauh berbeda, lebih runtut dan jelas dibanding dosen biasa,” ujar mahasiswa Pendidikan Agama Islam (PAI) angkatan 2006 ini. Lain lagi Muhammad Faizun, mahasiswa Tafsir Hadits Fakultas


Senat IAIN Walisongo, palang pintu awal dalam pengajuan gelar guru besar bagi dosen yang sudah memiliki kualifikasi akademik S3 (Doktoral). (Dok. Amanat)

Ushuluddin angkatan 2009, menilai cara mengajar profesor tidak berbeda dengan dosen biasa. “Bedanya, pen-tashih-annya lebih jelas,” kata maha- siswa asal Demak ini. Intensitas pertemuan guru besar dengan mahasiswa mendapat perhatian. Faris Zaini Mubarok, mahasiswa Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah semester VIII, menganggap belum ada guru besar di fakultasnya. Sebab kenyataannya guru besar tidak mengajar sesuai bidang keahlian. “Ditambah lagi, profesor jarang nongol di fakultas,” lanjut Faris. Mahasiswa aktif di Walisongo Sport Club (WSC) ini berharap, guru besar mampu menularkan ilmunya kepada mahasiswa secara maksimal. Suhandjati mengaku, memang seharus- nya tugas utama guru besar adalah di fakultas. “Tapi tak jarang

kami (guru besar-Red) mendapat tugas ke luar dari institut,” jelasnya. Beban mengajar mahasiswa S1 sebobot 6 SKS memang tidak banyak. Tetapi tugas mengajar mahasiswa pascasarjana membuat guru besar lebih banyak bergulat di pascasarjana. Belum lagi memenuhi kewajiban menulis untuk jurnal, buku, atau karya ilmiah lain yang diakui menyita banyak buat waktu. Mahasiswa juga menyayangkan profesor yang enggan terlibat aktivitas ilmiah di luar bangku kuliah, misalnya diskusi. Menurut Yayan M Royani, Presiden Dewan Eksekutif Mahasiswa IAIN Walisongo, guru besar seyogyanya tidak menjaga jarak dengan mahasiswa. “Profesor harus bisa membaur dengan mahasiswa baik di dalam maupun di luar perkuliahan,” ujar mahasiswa asal Tasikmalaya ini. Bunga Rampai

Amanat

53


Minim Penelitian

Selain mengajar, guru besar mempunyai tanggungjawab penelitian demi mengembangkan bidang keilmuan yang ditekuninya. Penelitian tidak hanya dilakukan sebelum menjadi guru besar, setelah dikukuhkan. guru besar diharapkan lebih produktif menghasilakan karya. Menurunnya hasil karya guru besar, menurut Mukhsin Jamil, Kepala Pusat Penelitian (Puslit) IAIN Walisongo, bisa disebabkan karena beberapa hal. “Salah satunya mungkin mereka sudah merasa dalam zona aman,” tuturnya. Bahkan, kata Mukhsin, selama dia menjadi Kapuslit, belum pernah ada guru besar yang mengajukan proposal penelitian ke Puslit. “Dalam hal penelitian, kedudukan profesor dan dosen tidak ada bedanya, sama-sama peneliti,” tandasnya. Terkait hal tersebut, Muslich Shabir, Guru Besar Sejarah Peradaban Islam Fakultas Syari’ah mengatakan, ada dua hal yang menyebabkan guru besar tidak mengajukan proposal penelitian ke Puslit. “Selain memberi kesempatan pada yang lebih muda, jika proposal penelitian ditolak tentu muncul rasa malu,” ujar pria yang pernah menjadi Kepala Balitbang Depag Semarang ini. Penelitian menjadi salah satu tolok ukur produktifitas seorang guru besar. Di samping itu, karya dalam bentuk buku, artikel ilmiah di jurnal, atau karya tulis ilmiah lainnya, menjadi salah satu indikator penilaian integritas seorang profesor. “Secara teori, guru besar yang pasif atau tidak menghasilkan karya baru

54

Amanat Bunga Rampai

maka jabatan profesor bisa dicopot,” ungkap Amin Syukur, Guru Besar Tasawuf Fakultas Ushuluddin. Ia menambahkan, seharusnya profesor mengeluarkan ide baru dalam bentuk tulisan, pengabdian masyarakat, dan menulis di jurnal internasional. Produktifitas seorang guru besar juga berpengaruh terhadap tunjangan kehormatan. Pasal 1 ayat 7 Peraturan Pemerintah PP) Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, menegaskan bahwa tunjangan kehormatan merupakan tunjangan yang diberikan kepada dosen yang memiliki jabatan akademik profesor. “Pemberian tunjangan kehormatan sewaktu-waktu dihentikan apabila guru besar yang bersangkutan tidak lagi produktif,” kata Abdul Muhayya, Dekan Fakultas Ushuluddin. Wasino, Guru Besar Sejarah Sosial Universitas Negeri Semarang menyinggung, banyak guru besar yang tidak produktif melakukan penelitian dan menerbitkan karya. Selain etos keilmuan yang kurang, tata aturan menyuburkan hal itu. Di antaranya, kata Wasino, diperbolehkannya guru besar menjabat sebagai dekan, atau memiliki jabatan ganda. “Sebaiknya profesor tidak usah menjabat saja,” tambahnya. Beban mengajar juga melemahkan fokus penelitian. Ia membandingkan, di luar negeri, profesor memiliki hak cuti mengajar dalam masa penelitian. Ini demi menghindari benturan waktu antara mengajar dan meneliti. Wasino juga menyayangkan, pemerintah leb-


ih menggalakkan riset eksakta dengan melibatkan subyek peneliti dari luar kalangan perguruan tinggi. Niscaya hal ini adalah bentuk diskriminasi. Sementara sedikit sekali riset di bidang sosial dan agama. Kendala lain, adalah pembayaran anggaran riset yang telat sehingga riset sering kali terhambat dan tidak optimal. Keharusan Mengabdi

Berlandaskan Tri Dharma Perguruan Tinggi, pengabdian memiliki porsi besar yang harus dilaksanakan guru besar. Bahkan, menurut Sudharto, mantan Rektor IKIP PGRI Semarang, lebih menekankan peran guru besar pada pengabdian masyarakat. Ia menilai, selama ini banyak karya-karya penelitian yang hanya selesai untuk guruan tinggi. Sementara, kini perguruan tinggi hanya menjadi “menara gading”. “Perlu dipikir ulang, sebenarnya pengembangan ilmu dan perguruan tinggi itu kembalinya untuk siapa?” tegasnya. Padahal, ia menambahkan, ilmu adalah fenomena empirik, untuk kemudian dilakukan tahapan pengambilan keputusan hingga menjadi universal, meski sebenarnya berbasis fenomena lokal kemasyarakatan. Peran pengabdian menuntut profesor berkecimpung lebih inten di masyarakat. Misal di berbagai aktivitas sosial maupun keagamaan. “Saya juga ikut arisan, kerja bakti, rapat warga, bahkan mengisi khotbah Jum’at,” tanggap Ahmad Rofiq, Guru Besar Ilmu Hukum Islam Fakultas Syari’ah. Rofiq menjelaskan, pengabdian kepada masyarakat bisa diwujudkan

melalui organisasi atau lembaga sosial. Ketua Lembaga Amil Zakat Infak dan Sadaqah (LAZIS) Masjid Agung Jawa Tengah ini menambahkan, guru besar selain bisa berteori ilmiah juga harus bisa mempraktikkan demi kemaslahatan umat. Jabatan Fungsional

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, Pasal 3 ayat 1 menjelaskan, profesor adalah jabatan fungsional tertinggi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Jabatan fungsional itu menimbulkan anggapan yang berbeda-beda. Merujuk itu, Muhibbin membenarkan, profesor adalah jabatan akademis yang ketika sudah pensiun maka gelar itu tidak berlaku lagi. Sementara, Erfan menanggapi lain. Ia menilai, pensiun bukan batas akhir jabatan profesor. “Jabatan profesor dapat diperpanjang jika seseorang yang bersangkutan masih produktif dalam bidangnya,” tuturnya. Eko Budiharjo angkat bicara soal ini Tidak seharusnya produktifitas guru besar mandek lantaran adanya batasan usia atau pensiun,” imbaunya. Tak sebatas melaksanakan Tri Dharma, timbal balik pada almamater juga merupakan kewajiban. Bagi Amin Syukur, sumbangsih pemikiran yang dituangkan dalam bentuk buku merupakan bentuk pengabdiannya pada perguruan yang mengukuhkannya. Bunga Rampai

Amanat

55


Achmadi, Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah, mempunyai cara sendiri untuk menunjukkan dedikasinya terhadap lembaga yang mengukuhkan. Menurutnya, menunjukkan rasa cinta terhadap almamater adalah salah satu hal penting yang harus dimiliki guru besar. “Guru besar harus menunjukkan komitmen dengan membela dan memperbaiki IAIN jika ada pandangan miring terhadap instansinya,” ungkapnya. Sebagai bentuk kecintaan terhadap al- mamater, Amin Syukur, Guru Besar ilmu Tasawuf memanjangkan langkah untuk menjalankan programnya yaitu mengembangkan hal-hal yang bersifat sufistik di masyarakat luas. Pengawasan

Di Indonesia, nyaris tidak ada pengawasan ketat terhadap guru besar. Wasino, memandang, selama ini tidak ada sanksi dan monitoring dari pemerintah maupun perguruan tinggi terkait kinerja guru besar. Sehingga banyak guru besar yang “mandul” namun tetap tenang menyandang gelarnya. Akan tetapi, peraturan baru yang diberlakukan mulai tahun 2010 se-

56

Amanat Bunga Rampai

hubungan dengan peran guru besar, menurut Muhibbin, dirasa lebih ketat. Ia menyatakan, sekarang ini, guru besar diwajibkan menerbitkan buku setiap tahun dan mengajar mahasiswa S1, minimal 3 SKS bagi yang menjabat di wilayah akademik dan 6 SKS bagi yang tidak mempunyai jabatan. Guru besar juga wajib mengisi jurnal internasional yang terakreditasi. “Kita lihat saja tahun ini, mana guru besar yang produktif dan mana yang tidak produktif, bagi mereka yang tidak produktif, mungkin gelarnya bisa dicopot,” tandasnya. Teknisnya, menurut Suhandjati, ada formulir khusus dari Diknas untuk diisi besar tiap 2 tahun sekali. Ini sebagai mekanisme monitoring bagi para guru besar. Ini cukup efektif untuk mengetahui sejauh mana guru besar menjalankan Tri Dharma Perguruan Tinggi selama pemerintah mengawasi dengan serius dan memberlakukan sanksi yang tegas. Reporter : Nanik Kurniawati dan Suhardiman Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 114/Mei 2010


Lahan Basah UIN Dibayangi ketakutan kehilangan mahasiswa, IAIN Walisongo mengerahkan upaya konversi menjadi UIN. Pergeseran khitah jadi taruhan.

Pengalaman sejarah pengembangan pendidikan membeberkan, syahwat politik sangat dominan. Guru Besar Ilmu Pendidikan Islam Ahmadi, dalam buku Dekonstruksi Pendididkan Islam (2005) menengarai adanya kecenderungan politis-ideologis yang dipayungi dengan landasan teologis ketika umat Islam beramai-ramai mendirikan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) tanpa studi kelayakan akademis. Kini di seluruh Indonesia terdapat 14 IAIN, 34 STAIN, dan ratusan PTAIS, khusus di Jawa Tengah (Jateng) ada 25. Pelonjakan jumlah PTAI ini meniscayakan kompetisi ketat dalam memperebutkan calon mahasiswa. Walhasil, masing-masing berusaha memperkuat branding. IAIN Walisongo tak luput dari syahwat tersebut. Paling tidak, berawal diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 1997 yang memperbolehkan fakultas di daerah berdiri sendiri menjadi STAIN. Sebelum itu, IAIN Walisongo masih “gagah� karena merupakan

satu-satunya PTAIN di Jateng. Apalagi, IAIN memiliki cabang fakultas di beberapa daerah. Antara lain, Fakultas Syariah di Pekalongan, Fakultas Tarbiyah di Salatiga, Fakultas Ushuluddin di Kudus. Pasca diterbitkannya keppres itu, masing-masing fakultas di daerah tersebut memerdekakan diri dari IAIN berubah menjadi STAIN. Menyusul kemudian, Fakultas Tarbiyah di Purwokerto serta Fakultas Ushuluddin dan Syariah Surakarta turut mendeklarasikan diri sebagai STAIN. Perubahan itu membuat IAIN gelisah. Pendirian STAIN di daerah berimbas pada penurunan jumlah mahasiswa IAIN. Mantan pembantu Dekan I Fakultas Syariah IAIN Walisongo Musahadi menuturkan, pasca perubahan itu, IAIN mengalami penurunan jumlah mahasiswa yang tajam. Jika disiplin keilmuan yang ditawarkan IAIN dan STAIN sama, kecendrungan orang daerah akan memilih perguruan yang lebih dekat (STAIN) karena pertimbangan efBunga Rampai

Amanat

57


esiensi. Bayang-bayang kehilangan mahasiswa menghantui IAIN. Itulah yang dikhawatirkan Rektor IAIN Walisongo Muhibbin. Ia merasa lima STAIN di daerah mengepung IAIN. IAIN, katanya harus memberikan perlayanan berbeda dengan STAIN jika ingin tetap eksis. Kekhawatiran Muhibbin itu belum terbukti. Nyatanya animo masyarakat untuk masuk ke IAIN masih relatif tinggi. Bahkan, terakhir ada kecendrungan meningkat. Terutama semenjak IAIN membuka Program Studi (Prodi) Tadris di Fakultas Tarbiyah. Amanat (Edisi 113/2009) mengadakan jejak pendapat untuk mengetahui motif calon mahasiswa mendaftarkan diri ke IAIN. Hasilnya, 79,9 % responden menempatkan Fakultas Tarbiyah sebagai pilihan utama ma-

suk IAIN, disusul Fakultas Syariah dengan 16,3%, Fakultas Dakwah 2,4%, dan Fakultas Ushuluddin 1,6%. Data itu menunjukkan, terjadi ketimpangan dengan perbandingan yang sangat tajam antar fakultas dalam menarik calon mahasiswa. Fakultas Tarbiyah mengalami penggemukan pendaftar. Sebaliknya, terjadi pendangkalan pendaftar di Fakultas Dakwah dan Ushuluddin. Lebih spesifik, kebanyakan calon mahasiswa mendaftarkan diri di Fakultas Tarbiyah dengan mengambil Prodi pendidikan umum (Tadris). Prodi umum lebih menjual dibanding Prodi agama. Meski telah diberi kewenangan melebarkan mandat dengan membuka beberapa jurusan tadris (non agama), IAIN tak puas diri. Prodi

Rancangan bangunan UIN Walisongo kampus I. (Dok. Amanat)

58

Amanat Bunga Rampai


umum itulah yang digadang sebagai “embrio” kelahiran UIN yang meniscayakan pendirian Prodi-prodi umum baru lebih banyak. Kejar IDB

Dalam Surat Keputusan (SK) Direktorat Perguruan Tinggi Islam (Dipertais) Kemenag Nomor Dj.I/440/2010 disebutkan, salah satu indikator penilaian dalam instrumen kapasitas kelembagaan organisasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) adalah sarana dan prasarana. Yaitu, dengan bobot nilai 7%. Standar ini berkenaan dengan kemampuan perguruan tinggi dalam pengadaan dan pemanfaatan sarana prasarana pada tingkat istitusi dan setiap satuan yang ada di perguruan tinggi. Dalam pemenuhan prasarana, IAIN selama ini mengandalkan dana dari anggaran rutin pemerintah yang relatif kecil. Padahal, pembangunan infrastruktur untuk mendukung tercapainya konversi UIN membutuhkan dana besar. “Kalau pakai dana rutin Kemenag, lama,” ujar panitia konversi Musahadi. Maka, IAIN Walisongo mau tak mau harus mencari sumber lain untuk memenuhi target pembangunan. Salah satunya, dengan menggandeng Islamic Development Bank (IDB). Seperti dipaparkan Direktur Pendidikan Tinggi Islam Machasin, bank yang memiliki induk perusahaan di Jeddah Arab Saudi itu memang memiliki daya pikat tersendiri bagi IAIN dibanding lembaga bank lain seperti Word Bank. “Bunga ringan dan mudah dicairkan,” ujar Machasin.

IAIN sebenarnya telah mengajukan dana ke IDB sejak 2003. Proposal itu bahkan telah memasuki tahap akhir blue book Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan tinggal menunggu keputusan akhir. Namun, berbarengan dengan gagalnya upaya konversi saat itu (2005), harapan membawa pulang dana IDB turut pupus. Tahun 2009, bersamaan dengan mencuatnya kembali semangat konversi ke UIN, IAIN kembali mengajukan dana ke IDB. “Pengajuan dana IDB dan konversi UIN didesain satu paket,” jelas Musahadi. Dalam proposal yang diajukan ke IDB, IAIN Walisongo mengajukan estimasi dana sebesar US$ 35,340,000, atau lebih dari 300 Milyar rupiah. Uang itu akan digunakan untuk membiayai pembangunan gedung-gedung baru. Di antaranya, pembangunan gedung fakultas baru, Fakultas Saintek dan Fakultas Sosial Humaniora. Machasin menilai motivasi IAIN berubah menjadi UIN di samping didasari tujuan ideal, menghilangkan dikotomi keilmuan juga didorong motif perolehan dana. Sebab IAIN selama ini menghadapi persoalan dana untuk mengembangkan institut. Ini tak lepas dari keterbatasan alokasi dana yang diberikan permerintah terhadap perguruan tinggi Islam di bawah naungan Kemenag. Ia membandingkan, alokasi dana untuk empat belas IAIN di bawah naungan Kemenag setara dengan alokasi dana untuk satu institut saja di bawah naungan Kemendiknas. Perubahan menjadi universitas memberikan kesempatan IAIN untuk Bunga Rampai

Amanat

59


mendapatkan alokasi dana lebih dari pemerintah karena mengembangkan prodi umum. Status UIN juga akan memudahkan IAIN untuk mendapatkan pinjaman dana dari IDB. Machasin mengungkapkan, IDB tak mau memberikan pinjaman perguruan tinggi Islam jika masih berstatus IAIN. IAIN dipandang tak memiliki prospek ekonomis karena hanya mengembangkan program studi agama (ukhrowi). Makanya, IDB lebih suka memberikan pin-

60

Amanat Bunga Rampai

jaman pada perguruan tinggi berlabel universitas karena mengajarkan pengetahuan umum yang memiliki orientasi ekonomi yang jelas. “Namanya juga Bank, ingin investasinya cepat pulih, kalau belajar ngaji kapan pulihnya?� pungkas Machasin. Reporter : Abdul Arif Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 116/Juli 2011


Terseret Kampus Riset Cita-cita menjadi kampus riset mulai digaungkan. Namun, atmosfernya belum terasa, semangat meneliti perlu ditanamkan sejak dini. Sebagai bagian dari Tri Dharma Perguruan Tinggi, penelitian menjadi hal yang tak terpisahkan dari agenda akademik sivitas kampus, termasuk mahasiswa. Itulah yang melatarbelakangi Universitas Islam (UIN) Walisongo menetapkan visi menjadi kampus riset. Iktikad ini sudah dicanangkan sejak UIN masih berstatus Institut Agama Islam (IAIN) melalui terbitnya Surat Keputusan (SK) Rektor IAIN Walisongo Nomor 10 Tahun 2014 tentang visi, misi, dan tujuan IAIN Walisongo. Visi tersebut adalah “Perguruan Tinggi Islam Berbasis pada Kesatuan Ilmu Pengetahuan untuk Kemanusiaan dan Peradaban”. Rektor UIN Walisongo Muhibbin Noor menjelaskan untuk menanamkan visi misi itu, ia menghimbau kepada seluruh dosen agar menyampaikan visi tersebut kepada mahasiswa setiap kali memasuki ruang perkuliahan. “Penanaman visi sejak dini penting, agar mereka tahu kemana arah dan tujuan kampus ini,” papar Guru Besar Fakultas Syari’ah UIN Walisongo itu. Menurut Muhibbin, banyak madzhab perguruan tinggi riset di dunia ini. Salah satunya yaitu jumlah

mahasiswa pascasarjana (S2) lebih banyak daripada mahasiswa sarjana (S1). Namun, pria yang menjabat rektor selama dua periode ini menilai pandangan ini tidak mungkin bisa diterapkan di Indonesia. Mengingat, perhatian masyarakat terhadap pendidikan masih minim. Sehingga populasi mahasiswa pascasarjana (S1) dan (S2) belum imbang. “Maka dari itu, UIN lebih memilih menghasilkan penelitian yang di publikasikan melalui jurnal internasional” ujarnya. Untuk mengejar target menjadi kampus riset di 2038, menurutnya banyak hal yang perlu ditingkatkan mulai dari infrastruktur, kualifikasi dosen, kapasitas input mahasiswa, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, sejak 2013 UIN sudah mengirim dosen-dosen ke luar negeri untuk mendalami riset di kampus ternama. Di antaranya Mesir, Australia, Amerika Serikat, dan Malaysia. Muhibbin menyebt langkah itu sebagai investasi berbasis sumber daya manusia (SDM). Dengan upaya itu, besar kemungkinan akan terjadi diantara dosen dengan luar. Harapannya, dosen mampu melaksanakan riset berkelas internasional.

Bunga Rampai

Amanat

61


“Sepulang dari sana mereka dapat membawa atmosfer riset di kampus” ucapnya. Belajar Dari Undip

Sama halnya dengan UIN, Universitas Diponegoro (Undip) Semarang juga memiliki visi kampus riset. Hanya saja sudah digaungkan sejak lama, yaitu sejak 2005 silam. Rektor Undip Yos Johan Utama mengatakan, untuk menjadi kampus riset semua hal yang berhubungan dengan universitas harus berbasis riset, mulai dari kebijakan, bahan pengajaran, bahan pengabdian, dan produknya. Sejak awal penetapan visi, Undip sudah memiliki banyak produk. Baik berupa penelitian maupun karya ilmiah. Produk yang telah dihasilkan juga menjadi rujukan bagi peneliti lain. Hasil penelitian di Undip diseminarkan dan dipublikasikan secara luas. Publikasi dilakukan hingga ke selutuh dunia, melalui jurnal internasional yang terindeks Scopus dan Thompson. “Tak kurang dari 700 karya ilmiah dosen telah masuk jurnal internasional. Sedangkan yang masuk jurnal nasional sudah ribuan. Karena semua dosen di Undip diwajibkan membuat karya ilmiah,” infonya. Yos menambahkan, penelitian yang produknya berupa teknologi dibuatkan prototipenya. Setelah itu dilakukan hilirisasi penelitian yang selanjutnya dikembangkan ke wilayah industri. “Seperti tangan robotik, kaplar penahan peluru, penghisap asap, dan lain sebagainya,” sebutnya.

62

Amanat Bunga Rampai

Undip punya cara jitu untuk mendorong dosen maupun mahasiswa aktif dlam penelitian, yaitu mendorong untuk terlibat aktif dalam event lomba karya ilmiah berskala nasional. Yos menuturkan antusiasme mahasiswa dalam Pekan Ilmu Nasional (Pimnas) cukup tinggi. “Sebagai penghargaan terhadap mahasiswa yang menang tingkat nasional Undip membebaskan biaya SPPnya,” tutur Yos. Tak hanya itu, visi menjadi kampus riset pun di implementasikan dalam kegiatan perkuliahan. Ilmu pengetahuan harus terus dikembangkan melalui kegiatan riset. “Jadi ada update ilmu pengetahuan,” tambahnya. Persiapkan Amunisi

Menurut Ketua Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat (LP2M) Sholehan, saat ini UIN Walisongo tengah memperbaiki kuantitas dan kualitas penelitian yang dimiliki. Karena visi menjadi universitas riset tidak bisa dicapai dalam waktu yang singkat. Sejumlah tahapan telah LP2M dilalui. Di antaranya melaksanakan pelatihan untuk melahirkan sumber daya manusia (SDM) berkompeten. “Pelatihan terkait penelitian terus diselenggrakan untuk menunjang kualitas dosen” katanya Dari segi kuantitas, lanjut Sholehan mulai tahun 2013 UIN melalui LP2M telah menyediakan dana penelitian yang bisa diakses oleh dosen dan mahasiswa.


Visi-misi UIN Walisongo yang termaktub di Buku Laporan Rektor Tahun 2015. (Dok. Amanat)

“Sehingga dengan upaya ini diharapkan kuantitas penelitian di UIN dapat meningkat”, harapnya” Menurut Peneliti Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Agama Kota Semarang, Joko Tri Hariyanto untuk mempersiapkan visi riset idealnya semua dosen punya jiwa meneliti. Jadi pengajaran yang dilakukan tidak hanya bersumber dari buku saja, melainkan juga hasil dari penelitian. “Bagaimana mengembangkan materi dan metode pembelajaran keilmuan yang berbasis riset jika tidak meneliti?” tanyanya. Selain SDM, hal yang perlu diutamakan juga tentang target tercapainnya visi tersebut. Menurut Joko target 2038 dirasa terlalu lamban. Karena jika visi sampai melebihi 20 tahun, akan terlalu tua dan termakan zaman. Organisasi/lembaga yang sehat seharusnya secara kontinu melakukan pembaharuan. “Apakah, mau berjalan dengan cara keong atau kancil, itu sebuah pilihan,” tambah Joko.

Ushuluddin dan Humaniora, temuan terkait humanisme bisa dilakukan sebagai pengembangan pengayaan akademik. Sehingga, kampus bisa menjadi tempat rekayasa sosial untuk mengaplikasikan teori yang ada di kampus kepada masyarakat. Joko menambahkan, hal yang sama juga harus berlaku di disiplin kelimuan yang lain. Karena dengan penelitian teori-teori yang ada di kampus bisa diverifikasi. Sebab, sebuah teori bisa diketahui masih bisa diperlakukan atau harus ada koreksi, dengan adanya riset sama halnya dengan penelitian untuk pemberdayaan masyarakat bisa saja nanti dilakukan. “Seperti dulu, usulan adanya penelitian partisipatori di Kuliah Kerja Nyata (KKN). Jadi, selain ada aspek pengabdian, KKN juga bisa digunakan sebagai ajang penelitian,” tutupnya. Reporter : Machya Afiyati Ulya Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 125/ April 2016

Maka dari itu, harus ada kebijakan yang integral. Misalnya untuk Fakultas Bunga Rampai

Amanat

63


64

Amanat Bunga Rampai


BAGIAN KEDUA PENGEMBANGAN MUTU MAHASISWA (Dari kebijakan hingga pelayanan akademik)

Bunga Rampai

Amanat

65


66

Amanat Bunga Rampai


Susah dan Ruwet Dana Mahasiswa Persoalan klasik yang sering kali menimpa UKK/UKM ketika merealisasikan peogram kerjanya adalah sulitnya memcairkan dana. Meskipun sudah tercantum di dalam matrik kegiatan, toh kadangkala uang tetap saja sulit mengucur dari atas. Apalagi untuk event kegiatan yang menelan biaya mahal. Banyak keluhan berkaitan dengan hal tersebut. Sahli Rais, Ketua SMI periode 1996-1997, misalnya, kecewa karena selama satu semester pertama, SMI disibukkan dengan pencarian pinjaman untuk melakukan kegiatan, sebab DPP belum bisa diambil. Masalah yang ada beberapa persoalan belum diselesaikan oleh SMI periode sebelumnya. Keluhan senada juga disampaikan oleh Agus Susilo, Ketua PSHT periode 1996-1997, ketika mengambil DPP untuk acara Reformasi PSHT. “Bagian Keuangan bilang, kas lagi kosong. Tapi anehnya setelah saya melapor ke pihak Rektor (Dr. Zamachsyari Dhofier), keesokan harinya uang bisa turun,” Close manajemen yang masih dipertahankan ini, katanya akan mengundang curiga mahasiswa.

Namun, ketika dikonfirmasikan kepada Sub Bag. Keuangan, dikatakan bahwa karena keruwetan ini antara lain disebabkan oleh mahasiswa yang tidak bisa membedakan antara tahun anggaran dan tahun akademik. Mosi tak percaya

Sahli Rais mengakui bahwa kontrol keuangan yang dilakukan tersebut sebenarnya hal yang wajar. “Salah mahasiswa juga sih, kurang profesional. Misalnya SPJ kegiatan terbengkalai. Sehingga menimbulkan mosi tak percaya dari birokrat kampus,” ungkapnya. Hal ini dibenarkan oleh Drs. Abdul Basith, Kasubag Kemahasiswaan, yang menyayangkan seringnya keterlambatan SPJ kegiatan. Padahal, ujarnya lebih lanjut, keterlambatan ini justru menyulitkan mahasiswa sendiri. Bila SPJ terlarut-larut atau bahkan ada yang sampai berbulan-bulan, maka bagian keuangan pun tidak bisa membuat SPJ. Akibatnya uang di Koperasi Pegawai Negeri (KPN) belum bisa diambil. “Oleh karena itu ada kebijakan antisipatif yang ditempuh. Bila proposal yang

Bunga Rampai

Amanat

67


Kegiatan mahasiswa terbentur dana (Dok. Amanat)

masuk telah di ACC. Dana baru diberikan 75 persen sisanya baru diberikan setelah SPJ,” tandasnya. Ia juga menolak adanya sinyalemen mosi tak percaya pada mahasiswa. “Ah, itu hanya perasaan mahasiswa saja. Sebenarnya pihak Rektorat percaya saja tapi kadang mahasiswa malah tidak bisa dipercaya,” katanya. Sayangnya, masih kata Basith, meskipun pengurus baru selalu mengatakan ‘Pak jangan samakan kami dengan pengurus dahulu’ tapi pada akhir kepengurusan sama saja, semrawut. Tentang kasus yang ditolaknya proposal kegiatan yang diajukan, seperti dialami Panitia OSPEK Fakultas Tarbiyah. Ia menjelaskan bahwa penolakan ini disebabkan tidak tercantumnya kegiatan tersebut di matrik kegiatan. Hal ini dibenarkan oleh Ketua Panitia OSPEK Fakultas Tarbiyah, Uswatun Hasanah. “Memang benar, OSPEK tahun lalu tidak diperoleh

68

Amanat Bunga Rampai

DPP sepeserpun karena, tidak tercantum dalan matrik kegiatan.” Jalan keluarnya, kata Basith, harus dilakukan ralat program atau menggantikan dengan program lain yang tidak jalan. Prosedural

Maka dari itu. Drs. Abdul Basith herharap agar mahasiswa introspeksi, tepat waktu. Bila SPJ tepat waktu, dana juga akan turun tepat waktu, harus ada penyesuaian antara kegiatan dengan program. Hal serupa diungkapkan Yusuf Hasyim, aktivis mahasiswa (kini Ketua Umum SMF Tarbiyah), menurutnya mahasiswa juga harus menguasai aturan main birokrasi. “Asal prosedural, pasti lancar,” ucapnya dengan mantap. Tapi toh masih lebih banyak yang menemui ‘kerikil’. Nah, kan. Reporter : Alfi dan Handa

Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 69/1997


DOP Batal atau…! Tingkah Sudargono, mahasiswa Fakultas Tarbiyah 2003 nampak lain dari biasanya. Selasa kemarin, dia nampak tertunduk lesu di pojok kamar kos-kosannya di kawasan Ringinwok. Matanya memerah, sembab karena habis menangis. Kepada salah satu Kru SKM Amanat, mahasiswa asal Batang yang seluruh kebutuhan kuliahnya dibiayai oleh sang kakak ini mengaku bingung, karena sebentar lagi harus menyediakan dana untuk SPP. Namun bukan masalah SPP yang dia risaukan. Sebab, paling tidak kakaknya telah menyiapkan dana 300 ribu untuk membayar biaya SPP semester ini, sebagaimana yang tertulis dalam brosur saat ini pertama kali masuk di IAIN. Yang menjadi sumber kekalutannya justru pembayaran di luar SPP. Sebab, jika kakak angkatannya hanya dibebani sekitar 50 ribu, mulai tahun ini dia bersama mahasiswa angkatan 2003 yang lainnya harus membayar hampir dua kali lipat dari SPP seharusnya. Dalam selebaran tentang mekanisme pembayaran SPP yang dikeluarkan rektorat disebutkan, bahwa selain membayar SPP sebanyak 300 ribu, mereka juga diwajibkan untuk menyetor dana berlabel Dana Operasional Pendidikan (DOP) sebesar 200 ribu.

“Pimpinane IAIN wes gak nggenah, rak ngerti mahasiswane kere-kere tapi tetep diperes!” umpatnya penuh kejengkelan. Hal sama juga dirasakan mahasiswa Fakultas Syariah angkatan 2003 Slamet, yang juga mengaku tidak habis pikir dengan keputusan petinggi IAIN tersebut. Slamet mengaku kebingungan untuk menjelaskan kepada orang tuanya. Sebab, sejak awal orang tuanya sudah tahu bahwa biaya setiap semester hanya 300 ribu yang jika ditambah dengan berbagai pungutan lain diperkirakan hanya 350 ribu. “Saya mau ngomong gimana dengan orang tua. Jangan-jangan nanti justru dianggap berbohong,” tuturnya lirih. Sementara pihak IAIN nampaknya tidak mau tahu dengan berbagai masalah yang dialami mahasiswa. Rektor IAIN Walisongo Prof. DR. Abdul Djamil,MA. menyebutkan, keputusan membebani mahasiswa dengan DOP tersebut sudah menjadi keputusan yang dipikir masak-masak. PengamBunga Rampai

Amanat

69


bilan keputusan tersebut juga sudah sesuai dengan institusi tertinggi yakni rapat senat. Terlebih, alasan klasik bahwa kenaikan tersebut telah disadari dengan pertimbangan banyak hal. “Kenaikan itu sebenarnya sudah dirancang tiga tahun yang lalu, namun karena dirasa belum memungkinkan, baru tahun ini dilaksanakan,” tegasnya. Menurut Djamil, saat ini dana memang sangat dibutuhkan untuk membiayai operasional gedung dan berbagai kebutuhan lainnya. Sementara dana yang selama ini dibayar oleh mahasiswa sejumlah 300 ribu, sangat tidak mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan kampus yang semakin lama semakin banyak. “Secara umum dana tiga ratus ribu sangat tidak optimal, kan harus lihat inflasi nilai tukar rupiah juga,” tambahnya. Ke depan, dana tersebut rencananya akan digunakan untuk optimalisasi proses pembelajaran secara keseluruhan. Diantaranya untuk membiayai program internet bagi mahasiswa yang saat ini sudah ada di Perpustakaan Institut. Selain itu, juga untuk memperbaiki fasilitas yang ada di ruang kuliah seperti Over Head Projector (OHP) di setiap ruangan kelas, white board dan sebagainya. Tak ayal, kebijakan yang tidak bijak dan cenderung memberatkan tersebut mendapat reaksi keras dari mahasiswa. Dua lembaga mahasiswa di tingkat institute, Badan Eksekutif Mahasiswa Institut (BEMI) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Institut (DPMI) yang merupakan representasi mahasiswa dengan tegas menolak pungutan dana DOP. Demikian juga

70

Amanat Bunga Rampai

dengan BEM empat fakultas, kompak untuk menolak penarikan tersebut. Presiden BEM IAIN As’adul Yusro kepada salah satu Kru SKM Amanat dengan tegas menyatakan menolak penarikan DOP. Dia Bersama Presiden BEM fakultas mengaku telah melakukan klarifikasi dengan pihak rektorat serta meminta pihak rektorat untuk membatalkan penarikan dana tersebut. BEM mengaku tidak bisa menerima penarikan tersebut karena dianggap terlalu mahal dan sangat membebani mahasiswa. “Jelas mahasiswa tidak akan mampu membayar dana tersebut, wong bayar yang tiga ratus saja mahasiswa banyak yang harus bon dulu,” tuturnya. Yusro meminta supaya pihak rektorat mempertimbangkan banyak hal dalam memutuskan masalah yang berhubungan dengan tarikan mahasiswa. Sebab menurutnya, latar belakang ekonomi sebagian besar mahasiswa IAIN adalah menengah kebawah. Sehingga jika nantinya dana yang dibebankan kepada mahasiswa terlalu tinggi, maka dikhawatirkan mahasiswa tidak sanggup membayar dan akhirnya drop out. Lalu bagaimana jika pihak rektorat tetap ngotot untuk menarik dana tersebut? Yusro kembali menandaskan pihak BEM akan tetap menolak penarikan dana tersebut. Mahasiswa Syariah angkatan ‘99 ini mengancam jika usahanya lewat jalur perundingan gagal, maka satu-satunya jalan yang akan ditempuh adalah menggelar aksi massa dari angkatan 2003 yang didukung oleh seluruh mahasiswa sebagai bentuk solidaritas. “Kita tunggu saja sampai Februari, jadi atau


(Dok. Amanat)

tidak tarikan dana itu. Biar nanti kami tegaskan langkah selanjutnya,” tegas Yusro saat itu. Hal yang sama juga disampaikan ketua DPMI, Jamal Lutfi. Menurutnya pembayaran dana DOP sangat mengagetkan mahasiswa. Sebab, sebagian mahasiswa baru belum tahu jika dana DOP diberlakukan setiap semester, sehingga mereka pun kaget dengan biaya tersebut. Pihaknya juga akan terus berusaha supaya pihak rektorat meninjau kembali penarikan dana tersebut. Jamal mengatakan, jika nantinya pihak rektorat tetap bersikukuh menarik dana tersebut, maka dia menyerahkan sepenuhnya kepada mahasiswa. “Jika mahasiswa angkatan 2003 mampu untuk membayar, maka akan kita biarkan. Namun jika nantinya banyak yang mengeluh akan kami tindak lanjuti,” ujarnya.

Lalu, tindak lanjut macam apa yang akan dilakukan? “Kalau DOP tetap berjalan, maka dalam hal ini DPM, BEM dan beberapa UKM akan mengadakan kontrol serius terhadap dana tersebut. Caranya dengan melakukan audit keuangan IAIN. Sebab ada indikasi dana-dana tersebut digunakan untuk kepentingan para pejabat. Diantaranya untuk membeli mobil baru setiap fakultas,” tuturnya. Namun nampaknya jalur perundingan yang akan ditempuh oleh BEM dan DPM akan mentok di tengah jalan. Pasalnya, pihak IAIN sudah tidak mau lagi mendengar masukan dari perwakilan mahasiswa tersebut. Abdul Djamil sendiri menyatakan bahwa keputusan tersebut sudah final dan tidak akan berubah. Sebab peraturan tersebut sudah berlangsung satu semester dan tidak ada masalah. Mahasiswa juga dianggap sudah tahu

Bunga Rampai

Amanat

71


semenjak semester awal semenjak masuk ke IAIN jika dikenakan dana tambahan DOP sebesar 200 ribu persemester. “Kalau mereka merasa keberatan, kami persilahkan untuk tidak usah kuliah ke IAIN karena mahal,” tegasnya. Hal yang sama juga dikatakan Pembantu Rektor II, Drs. Nafis Junalia MA. Menurutnya keputusan tersebut sudah melalui jalan yang seharusnya. Dan mahasiswa baru juga sudah tahu dengan ketentuan pembayaran DOP persemester. Sehingga kalau dari dulu dianggap berat, tidak usah membayar. Lalu bagaimana jika ada yang tidak bisa membayar? “Ya itu resiko. Kalau memang enggak kuat ya, tidak usah kuliah,” ujarnya. Tak ayal, pernyataan itupun mendapat sorotan tajam dari BEM. As’adul Yusro menyebut bahwa pernyataan tersebut tidak selayaknya, tidak pantas dikeluarkan pejabat IAIN. “Sebab itu menunjukkan mereka sudah tidak lagi punya aspek humanisme,” tandasnya. Menurutnya, kalau mahasiswa menolak untuk bayar SPP maka sah saja IAIN mengeluarkan mahasiswa tersebut, karena itu sudah merupakan keputusan negara. Namun, tidak dengan pembayaran DOP. Sebab DOP merupakan kebijakan lokal yang masih bisa ditawar dengan keadaan. “IAIN tidak bisa berlaku seperti yayasan yang menarik dana semaunya sendiri saja,” tandasnya. Lalu bagaimana dengan angkatan 2003? Akankah mereka akan membayar tarikan dana tersebut? Beberapa mahasiswa angkatan 2003 yang ditemui Kru SKM Amanat

72

Amanat Bunga Rampai

kompak untuk menolak membayar tersebut, walau resikonya mereka harus dikeluarkan. Mahasiswa Fakultas Tarbiyah 2003, Sudargono mengaku, kondisi keluarganya tidak mampu untuk membayar dana yang cukup besar tersebut. Sebab selama ini yang membiayai kuliahnya adalah kakak, karena orangtua sudah tua dan tidak bekerja lagi. “Sehingga tarikan dana yang jumlahnya hampir sama dengan biaya SPP tersebut sangat memberatkan,” ujarnya. Dia juga mangaku sudah siap jika nantinya pihak IAIN mengeluarkan kebijakan untuk mencabut statusnya sebagai mahasiswa IAIN. “Sebab penarikan dana tersebut memang sudah diluar kemampuan saya dan kakak saya,” ujarnya. Hal yang sama juga disampaikan mahasiswa Fakultas Syariah 2003, Attan Navaron. Menurutnya, DOP merupakan bentuk pembebanan kepada mahasiswa 2003. Apalagi kebijakan tentang panarikan dana DOP tidak disosialisasikan sejak awal. Sebab, walaupun pada semester awal dia dan mahasiswa 2003 yang lain telah membayar dana tersebut, setahu mereka itu hanya untuk semester awal. Dengan tegas, Attan mengaku akan menolak pembayaran dana tersebut. Bahkan jika pihak rektorat tetap ngotot untuk menarik dana DOP, ia bersama angkatan 2003 akan melakukan aksi besar-besaran. “Sebab, ini jelas mencekik leher mahasiswa, dan kalau dibiarkan pihak IAIN tentu akan menindaklanjuti dengan berbagai pungutan yang lain. Jelas inikan membunuh mahasiswa secara perlahan,” tandasnya.


Attan juga mengaku dengan resiko terberat, dicoret dari daftar mahasiswa IAIN. Namun IAIN perlu berpikir dua kali untuk mengeluarkan para mahasiswa 2003. Sebab ini hubungannya dengan pertaruhan citra lembaga. “Nama IAIN tentunya akan menjadi buruk jika sampai nanti ada pemboikotan dari mahasiswa 2003,” ujarnya. Libatkan Senat?

Salah satu alasan yang digunakan pihak rektorat untuk ngotot tidak merubah keputusan karena sudah diputuskan di tingkat senat, yang berarti juga sudah melibatkan mahasiswa. Sekretaris Senat IAIN Drs. Suriadi, kepada Kru SKM Amanat mengatakan bahwa, keputusan tentang pembayaran DOP tersebut telah disepakati pada tanggal 25 Juli 2003. “Itu sudah diputuskan dalam rapat formal seluruh anggota senat. Jadi sudah sesuai aturan,” ujarnya. Menurut Suriadi, pertimbangan senat dalam penarikan DOP karena melihat kenaikan inflasi. Selain itu, dalam masa otonomi daerah ini IAIN juga harus mulai bisa menghidupi dirinya sendiri. Ditambah lagi, volume kegiatan IAIN dan kebutuhan ke depan memang selalu mengalami kenaikan, sehingga harus diimbangi dengan peningkatan anggaran. “Dan menurut saya, kenaikan itu cukup signifikan dan perkembangannya secara komprehensif,” tandasnya. Tapi benarkah semua anggota senat sudah dilibatkan dalam penarikan DOP tersebut? Ternyata tidak. Mantan Presiden BEM IAIN Walisongo M. Aziz Hakim, dan mantan Ketua

DPMI Musyafa’ Rusydi, yang disebut-sebut ikut menyetujui keputusan tersebut, justru membantah. Walaupun mengaku tidak punya data yang valid, Aziz merasa tidak pernah terlibat pembahasan dalam penentuan DOP. Bahkan, Aziz tidak pernah tahu dengan pembahasan dana tersebut. Sehingga menurutnya, keputusan itu bukanlah keputusan senat. “Seingat saya, tidak pernah ada pembahasan tentang DOP itu, apalagi mengenai nominalnya. Sehingga saya merasa itu bukan keputusan resmi senat,” tandasnya. Aziz juga menambahkan, dia telah berkoordinasi dengan beberapa anggota senat yang lain. Mantan Pembantu Dekan Dakwah yang juga anggota senat Drs. Zein Yusuf MA,, saat dihubungi ternyata juga mengaku tidak tahu adanya pembahasan dana tersebut. “Saat saya tanyakan tentang dana tersebut, beliau justru terkejut dan mengaku tidak tahu,” tuturnya. Aziz yang saat ini masih berstatus sebagai mahasiswa Fakultas Syariah angkatan 98 berpendapat, selayaknya pihak rektorat meninjau kembali keputusan tentang dana DOP tersebut. Sebab, walaupun dalam perspektif pengelola tarikan dana tersebut sudah menjadi kewajiban, namun bagi mahasiswa tarikan tersebut sangat memberatkan. Hal yang sama juga dikatakan mantan ketua DPMI Musyafa’ Rusydi. Ia mengaku pernah mengikuti pembahasan tentang penarikan dana DOP. Namun, pembahasan tersebut tidak sampai pada pembahasan jumlah dana, apalagi ketetapan penarikan Bunga Rampai

Amanat

73


persemester. “Sehingga keputusan tersebut tidak sampai pada jumlah apalagi ditarik persemester,” ujarnya. Misi Rahasia

Penolakan elemen mahasiswa terhadap tarikan dana mahasiswa tersebut nampaknya sudah sewajarnya. Pasalnya, selain dianggap memberatkan mahasiswa, diduga ada misi lain pasca penarikan dana tersebut. As’adul Yusro melihat, ada rencana-rencana ke depan yang akan dilakukan oleh pihak rektorat jika nantinya DOP berjalan lancar-lancar saja. Disinyalir, penarikan dana tersebut ke depan akan dilanjutkan dengan penarikan dana-dana lain dalam jumlah yang besar pula. Hal tersebut terlihat dengan ngototnya pihak rektorat untuk hanya menarik dana dari angkatan 2003. Menurut Yusro, pihak BEM sebenarnya telah memberikan solusi kepada rektorat untuk menanggulangi besarnya biaya yang diperlukan kampus untuk memenuhi kebutuhan kampus. Caranya, menurut Yusro, dana yang dibutuhkan tersebut dibebankan kepada seluruh mahasiswa. “Dalam hitungan saya, jika dibebankan kepada seluruh mahasiswa maka maksimal setiap mahasiswa hanya dibebani biaya 20 ribu. Itu hasilnya akan sama dengan hasil dari pembayaran mahasiswa baru yang 200 ribu perorang,” tuturnya. Dengan begitu, menurut Yusro mahasiswa menjadi tidak terlalu terbebani.

74

Amanat Bunga Rampai

Namun anehnya, pihak rektorat dengan tegas menolak usulan tersebut. Alasannya, kebijakan yang diterapkan oleh IAIN adalah passing out. “Sehingga yang harus membayar adalah mahasiswa baru. Sebab ini untuk memenuhi kebutuhan mereka dan mereka yang akan menikmatinya,” begitu alasan Rektor. Justru hal itulah yang membuat Yusro curiga. Sebab, jika tujuannya hanya sekedar mencari dana, tentu dari mahasiswa angkatan berapapun tidak masalah. “Yang penting kan dana yang diperoleh jumlahnya sama,” terang Yusro. Yusro curiga, jika dalam penarikan dana yang cukup sensasional tersebut pihak mahasiswa tidak ada masalah, maka akan timbul dana-dana lain yang dibebankan kepada mahasiswa. “Kalau begini, kapan masyarakat Indonesia akan bisa menikmati pendidikan,” pungkasnya. Sehingga, tekad Yusro beserta seluruh jajaran BEM fakultas serta saat ini hanya satu, dengan menolak penarikan dana DOP karena memberatkan mahasiswa. Tim Laput Laporan pernah dimuat di Tabloid Edisi 99/ Februari 2004


Bertaruh pada UKT Metode penentuan besaran UKT mahasiswa berdasar data isian. Kesahihan dipertanyakan. Senin (27/1) pagi itu tak seperti hari-hari biasa. Auditorium I IAIN Walisongo Semarang dipenuhi mahasiswa. Sebagian mahasiswa juga lalu lalang di luar gedung. Mereka berharap orang yang ditunggu segera datang. Beberapa waktu kemudian tibalah segerombolan pejabat kampus. Salah satunya Wakil Rektor Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan, Ruswan. Kedua belah pihak pun bertemu. Pertemuan antara mahasiswa angkatan 2013 dengan pimpinan IAIN itu digelar dalam rangka audiensi Uang Kuliah Tunggal (UKT). Sistem baru pembayaran biaya kuliah yang mulai resmi diberlakukan pada semester dua tahun akademik 2013/2014 itu masih menyisakan beberapa keganjalan di kalangan mahasiswa. Audiensi diadakan setelah sebelumnya terjadi demonstrasi menentang pelaksanaan UKT. Meski alot, audiensi berlangsung tertib. Namun, seusai beradu argumen di forum itu, rona kecewa tampak di wajah beberapa mahasiswa.

“Sebenarnya mahasiswa diuntungkan dengan UKT,” kata Ruswan. Adanya penolakan dari sebagian mahasiwa, menurut dia lebih karena ketidaktahuan. Demi BOPTN

Kepala Bagian Perencanaan, Priyono berharap mahasiswa berpikir positif terhadap pemberlakuan UKT. Mahasiswa harus mengerti dan memahami sistem pembayaran kuliah ini. Pemberian BOPTN berkaitan dengan UKT. Kalau tak menerapkan UKT pada tahun akademik 2013/2014, pada tahun selanjutnya IAIN tak akan mendapatkan dana bantuan itu. Kucuran bantuan itu sangat penting, karena menjadi sumber subsidi biaya kuliah mahasiswa. “Seandainya tak memperoleh BOPTN, SPP akan naik,” jelas Priyono. BOPTN ialah bantuan biaya dari pemerintah yang diberikan kepada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) untuk membiayai kekurangan biaya operasional sebagai akibat tidak adanya kenaikan sumbangan pendidikan (SPP) di PTN. Bunga Rampai

Amanat

75


Sosialisasi tak merata

Sebelum diberlakukan, pimpinan IAIN beberapa kali melakukan sosialisasi kepada mahasiswa, dosen hingga pejabat kelembagaan di tingkat institut dan fakultas. “Supaya informasinya tak simpang siur,” ujar Priyono Adapula sosialisasi di tingkat fakultas kepada mahasiswa, terutama dari Ketua Jurusan (Kajur). Sistem UKT menuntut “secara halus” agar menyelesaikan kuliah selama delapan semester. Total biaya diasumsikan dalam empat tahun. Kata Priyono, semakin lama waktu kelulusan, semakin banyak pula subsidi yang diberikan. Kalau ini terjadi bukan mahasiswa bersangkutan saja yang rugi, tetapi juga mahasiswa lain. Pemerintah juga terkena imbasnya karena harus menyubsidi terus-menerus. Ruswan mengamini penjelasan itu. Memang tak ada paksaan mahasiswa agar lulus delapan semester. Hanya saja, ketika tak lulus tepat waktu, subsidi yang diberikan pemerintah kepada PTAIN akan semakin besar. “Mahasiswa itu disubsidi negara lewat BOPTN sekitar Rp 5 juta dalam setahun,” tegasnya. Sayangnya berbagai penjelasan tersebut tak banyak diketahui mahasiswa angkatan 2013. Muhammad Hasan misalnya, berkilah waktu sosialisasi tidak tepat lantaran dilakukan waktu liburan semester. Sebagian mahasiswa tak bisa mengikutinya karena masih berada di rumah.

76

Amanat Bunga Rampai

“Tahu-tahu UKT sudah dilaksanakan, tanpa mengerti apa maksud dari sistem ini,” Hasan menyesalkan. Adanya penolakan dari sebagian mahasiswa turut memengaruhi keikutsertaan mahasiswa dalam sosialisasi UKT. Taruhlah Meirina Miawati, mahasiswi KPI ini sengaja tak menghadiri sosialisasi lantaran terpengaruh saran temannya. Ia malah ikut berdemonstrasi menentang UKT. “Saya pikir UKT hanya akan merugikan dan menyusahkan orang tua mahasiswa,” akunya. Kepada mahasiswa yang kurang paham soal UKT, Priyono menghimbau untuk berkunjung ke kantor Bagian Perencanaan. “Kami terbuka, jika ada mahasiswa yang mau nanya,” ujarnya. Sengkarut pembagian kelompok

Sistem UKT meniscayakan adanya subsidi silang. Besaran dana yang dibebankan kepada mahasiswa persemester berlainan sesuai dengan pengklasifikasian kelompok. Ruswan menjelaskan, dalam membagi kelompok IAIN Walisongo memberlakukan sistem rangking ekonomi tertinggi dan terendah. Untuk 5 persen terendah, masuk dalam kelompok satu. Sementara 8 persen tertinggi dimasukkan kelompok tiga. Pembagian ini bertujuan menyeimbangkan anggaran akibat pemberlakuan UKT. Intinya jumlah mahasiswa yang masuk kelompok tiga harus mampu menyubsidi kelompok satu.


Daftar besaran UKT mahasiswa Angkatan 2014. (Dok. Amanat)

“Semakin besar kelompok satu semakin banyak pula jumlah kelompok tiga,” jawab Ruswan ketika ditanya perihal batas minimal 5 persen untuk kelompok satu. Pembatasan kuota 5 persen untuk kelompok satu menurut Priyono, sesuai dengan kondisi mahasiswa IAIN Walisongo. Rata-rata mahasiswa berada pada tingkat ekonomi menengah ke bawah. “Tak bisa kalau dibandingkan dengan pembagian kelompok UKT di perguruan tinggi lain,” tuturnya. Proses penentuan kelompok UKT menggunakan metode isian yang berasal dari dua sumber. Yakni data isian ketika mahasiswa mendaftar kuliah, dan data isian yang disebar para Kajur sebelum pembayaran SPP semester dua berlangsung. Data isian beirisi sejumlah pertanyaan yang akan diisi mahasiswa sendiri terkait penghasilan orang tua. Metode ini digunakan untuk meng-

etahui tingkat ekonomi mahasiswa. Dari situ rangking ekonomi dapat diketahui. Hasilnya menjadi acuan penentuan kelompok UKT. Kepala Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD) Wenty Dwi Yuniarti mengatakan, dalam penentuan kelompok UKT tahun akademik 2014/2015 persyaratannya akan ditambah. Meliputi kartu keluarga, rekening listrik 3 bulan terakhir, slip gaji atau surat penghasilan orang tua (jika tidak punya slip gaji) dan foto rumah (tampak depan, ruang keluarga, ruang tidur, ruang dapur dan ruang kamar mandi). Wenty menambahkan, verifikasi data mahasiswa angkatan 2013 oleh tim PTIPD mengacu pada dua data yang telah dikumpulkan. Selain itu, hasil survei mahasiswa Beasiswa Pendidikan Miskin dan Berprestasi (Bidikmisi) oleh bidang Kemahasiswaan. Sedangkan bagi calon mahasiswa baru sudah dilakukan verifikasi data pada Selasa 24 Juni 2014.

Bunga Rampai

Amanat

77


“Kewenangan kami hanya sebatas verifikasi,” tegasnya. Hasil pembagian kelompok ternyata menimbulkan beragam ganjalan. Tidak semua mahasiswa puas. Menurut Hasan, telah terjadi kesenjangan sosial antar mahasiswa, lantaran hasil penentuan kelompok tak sesuai harapan. Mahasiswa Siyasah Jinayah itu menilai, metode isian yang dijadikan acuan itu tidak sahih. Sebab tak mampu memberi gambaran akurat mengenai tingkat perekonomian orang tua mahasiswa. Akibatnya, terdapat mahasiswa berekonomi rendah seperti dirinya masuk pada kelompok dua dan tiga, dengan biaya kuliah lebih dari 1 juta per bulan. Sebaliknya, mahasiswa yang kaya justru masuk di kelompok satu yang hanya membayar Rp 400 ribu. “Buktinya, ada mahasiswa dengan uang saku mencapai Rp 1,5 juta per bulan justru masuk pada golongan satu,” ungkap Hasan. Dalam hal ini mahasiswa bisa dengan mudah memanipulasi data. Meski pihak jurusan pernah menyatakan akan melakukan survei langsung ke rumah mahasiswa, sayang janji tinggallah janji. Masih kata Hasan, bagi mahasiswa yang orang tuanya petani atau pekerja serabutan, metode data isian malah menyulitkan. Karena penghasilannya tidak bisa diprediksi setiap bulan. Dliyaul Fahmi berharap pihak fakultas lebih berhati-hati dalam menentukan kelompok. Mahasiswa Tafsir Hadis ini mengatakan, kalau pembagian kelompok jelas, pasti semua akan menerima dengan lapang dada.

78

Amanat Bunga Rampai

Tingkat ekonomi orang tua bersifat fluktuaktif. Dalam rentang waktu empat tahun kemungkinan terjadi perubahan. “Kalau yang miskin jadi kaya tidak masalah, tapi kalau yang kaya jadi miskin lantas bagaimana?” kata Fahmi. Kepala Dewan Pendidikan Jawa Tengah Rasdi Eko Siswoyo menilai, metode terbaik dalam menentukan golongan UKT adalah kunjungan rumah (home visit). Terutama bagi data yang meragukan. Data isian bisa saja diterapkan, namun harus disertai dengan survei home visit. Memang metode ini akan membutuhkan banyak biaya. Namun hasilnya akan lebih sahih. Terkait perekonomian orang tua yang fluktuaktif, Rasdi juga mengusulkan agar pimpinan kampus mengadakan evaluasi tiap tahun. Tidak adil kalau hanya melihat kemampuan ekonomi di semester pertama saja. “Jangan sampai UKT justru memberatkan mahasiswa miskin,” pesannya. Sayangnya, di IAIN Walisongo usulan Rasdi hampir pasti termentahkan. Priyono memastikan tak akan ada peninjauan ulang terhadap pembagian golongan. Peninjauan ulang akan mengubah data di PTIPD sehingga menyulitkan pihak kampus. “Kalau ada mahasiswa yang secara sah terbukti salah masuk golongan, akan kami pertimbangkan untuk mendapatkan beasiswa,” ujarnya. Reporter: Ahmad Muhlisin Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 123/ Agustus 2014


Kuliah Online Biar Dibilang Keren Kuliah berbasis internet marak diterapkan beberapa dosen di Fakultas Tarbiyah. Ditengarai sekedar gaya. Medio 2010 silam IAIN mendapat undangan mengikuti pelatihan “kuliah online” yang diselenggarakan Desentralisazed Baced Education 2 (DBE-2) di bawah naungan United Stated Agency for International Development (USAID) yang bermarkas di Amerika Serikat. DBE-2 memiliki konsentrasi pada penyelenggaraan kegiatan yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan. Meliputi, training berbasis kelompok, menciptakan lingkungan pembelajaran yang aktif dan partisipatif, pengkajian pemforma pendidikan, dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Kuliah online adalah implementasi dari program Pendidikan Jarak Jauh (PII) yang diselenggarakan DBE-2. Menanggapi undangan itu, sepuluh dosen Fakultas Tarbiyah dikirim untuk mengikuti pelatihan yang diselenggarakan selama dua bulan tersebut. Selain IAIN, tiga perguruan tinggi lain di Jawa Tengah yang memiliki program Jurusan Kependidikan seperti Universitas Negeri Semarang turut serta. “Pelatihan dilakukan lewat media online Juga, ungkap Dekan Fakultas

Tarbiyah Suja’i yang juga ikut dalam pelatihan tersebut. Tak terhenti sampai di situ. Usai pelatihan, sepuluh dosen peserta pelatihan berembug. “Percuma dapat ilmu kalau tak diterapkan,” kata Suja’i. Dari situ, inisiatif berawal. Hasil yang didapat dari pelatihan hendak diterapkan dalam sistem perkuliahan melalui model “kuliah online”. Suja’i menilai, mahasiswa Fakultas Tarbiyah sebagai calon guru harus mengetahui model pembelajaran berbasis teknologi sebagai varian metode pengajaran. “Sudah era teknologi, sementara pembelajaran masih manual saja.” Awal semester genap, Maret 2011, gagasan itu terrealisasi. Tujuh dosen alumnus pelatihan menerapkan model kuliah online pada mata kuliah yang diampu. Pertemuan perdana, masa orientasi. Mahasiswa diperkenalkan tata cara menggunakan media online sebagai model perkuliahan. Selanjutnya, proses perkuliahan diadakan lewat media internet tanpa harus hadir di kelas. Presensi mahasiswa pun diBunga Rampai

Amanat

79


ukur dari frekuensi keaktifan dalam online. Tak siap

Metode pembelajaran online mengandaikan perangkat teknologi yang memadai sebagai penunjang proses pembelajaran. Lain halnya dengan Fakultas Tarbiyah yang merintis model kuliah online tanpa diimbangi dengan sarana dan infrastruktur yang memadai. Fakultas memang telah menyediakan area hotspot untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa. Tapi pemanfaatannya minim sebab tidak semua mahasiswa memiliki laptop. Bagi mahasiswa yang tak memiliki laptop pribadi harus menyempatkan waktu mengunjungi Warung Internet (warnet) untuk mengikuti kuliah online Arif misalnya, karena mengikuti kuliah online, mahasiswa Fakultas Tarbiyah angkatan 2008 ini mengaku sering ke warnet. “Kuliah online menuntut saya harus sering update,” tutur Arif. Itu yang membuat mahasiswa seperti Arif merasa keberatan karena harus merogok kocek saat mengikuti kuliah online. Hal itu disadari Suja’i sebagai salah satu kendala. Tapi masalah itu menurutnya bisa diatasi, mahasiswa harus berani “modal” mengingat manfaat yang bakal didapatkan. Pakar Ilmu Komunikasi Universitas Diponegoro Triyono Lukmantoro mengatakan, penerapan kuliah online mestinya diimbangi pemenuhan perangkat teknologi yang memadai. Fakultas harus menyediakan sarana penunjang. Atau, paling tidak tiap mahasiswa dipastikan sudah memi-

80

Amanat Bunga Rampai

liki laptop sendiri. Dengan begitu, mahasiswa dapat leluasa mengakses materi yang disampaikan. “Jika tidak, apalah artinya?” Triyono memandang, penerapan model kuliah online tanpa kesiapan total itu justru akan menjadi bumerang bagi mahasiswa. “Teknologi yang tujuan awalnya untuk memudahkan, malah balik memberatkan.” Rawan kecurangan

Model interaksi dalam perkuliahan online itu mirip dengan model interaksi dalam jejaring maya “facebook”. Dalam penerapannya, dosen mengupdate topik materi dalam dinding status untuk didiskusikan. Selanjutnya, mahasiswa saling memberikan “komentar” atau argumentasi perihal topik tersebut. Standar penilain pun berdasarkan keaktifan dan bobot komentar mahasiswa. Artinya, semakin banyak mahasiswa berkomentar semakin besar peluang mahasiswa untuk mendapatkan nilai tinggi dari dosen. Inilah yang menuntut mahasiswa untuk senantiasa update agar tak ketinggalan materi diskusi. Model kuliah online semacam itu menurut Triyono Lukmantoro beda dari kuliah online yang dipersepsikan selama ini. “Itu bukan kuliah, cuma ngobrol atau chatting biasa.” Dosen tak mengetahui ekspresi dan mimik mahasiswa, begitu sebaliknya. Menurutnya, itu mereduksi mákna interaksi sebagai keniscayaan dalam proses belajar-mengajar. Ter-


Seorang mahasiswa tengah kuliah secara online di salah satu warnet. Kurang tersedianya fasilitas internet di Fakultas Tarbiyyah mengharuskan mahasiswanya online di luar. (Amanat/Farid)

masuk, menyulitkan dosen dalam memberikan penilaian yang objektif terhadap mahasiswa. Sebab, bisa jadi, mahasiswa melakukan kecurangan dalam memberikan jawaban tanpa sepengetahuan dosen. Itu sejalan dengan yang dialami Ahmad Durun Nafis, mahasiswa PGMI angkatan 2008. Ia mengaku bisa langsung copy-paste jawaban dari internet tanpa membaca referensi buku terlebih dahulu. Lebih fatal lagi, banyak temannya terkadang hanya “nitip” komentar kepadanya saat tidak sedang online. Minim Urgensi

Kuliah online yang sebenarnya, menurut Triyono, seperti diterapkan di beberapa perguruan tinggi selama ini, mengandaikan adanya hubungan interaktivitas antara dosen dengan mahasiswa. Semisal, lewat media teleconference. Jadi, meski diperantarai oleh media, dosen masih bisa men-

getahui ekspresi mahasiswa, begitu sebaliknya. Sehingga masih memungkinkan adanya interaksi dan umpan balik secara langsung. Itu pun dipraktikkan saat kondisi tertentu. Semisal, perguruan tinggi itu memiliki hubungan kerjasama dengan lembaga atau universitas di luar negeri untuk meningkatkan mutu pembelajaran. Atau, dosen tamu yang karena kendala jarak dan waktu tidak memungkinkan untuk bertemu langsung dengan mahasiswanya. Teknologi media, menurut Triyono, hanyalah alat untuk menjembatani kendala ruang dan waktu sehingga interaksi masih tetap bisa dilakukan meski dalam jarak yang sangat jauh. Ada faktor “kemendesakan” dan nilai urgensi yang harus dipertimbangkan ketika ingin menerapkan kuliah online. “Jika tak ada hambatan komunikasi, ngapain kuliah online.” Bunga Rampai

Amanat

81


Sujai memandang kuliah online dapat mengatasi problem kesibukan dosen yang tak memungkinkan tatap muka secara langsung. “Waktunya bisa fleksibel.” Padahal, melihat kondisi ketujuh dosen pengampu kuliah online di Fakultas Tarbiyah, mereka termasuk dosen usia muda. Domisili juga tak jauh dari wilayah kampus. Sederhananya, tak ada hambatan komunikasi. Sehingga, sangat memungkinkan untuk melakukan proses pembelajaran secara langsung di kelas. Melihat latar belakang dan model kuliah online di IAIN, Triyono beranggapan, tak ada nilai urgensi dari penerapan kuliah online itu kecuali sekadar “kegenitan” para dosen karena telah mengikuti pelatihan. Ia menilai proyek itu hanya menguntung-

82

Amanat Bunga Rampai

kan dosen, karena punya kesempatan untuk membebaskan diri dari beban struktural atau “bolos” ngajar. “Itu cuma gaya-gayaan saja, biar dibilang modern,” kata Triyono. Pakar komunikasi ini berpendapat, model belajar-mengajar yang paling efektif adalah dilakukan di dalam kelas. Itu meniscayakan proses interaksi secara langsung sehingga transfer ilmu pengetahuan berjalan dengan lancar. Dosen juga dapat melakukan kontrol dan evaluasi secara langsung terhadap mahasiswanya. Reporter : Nazilatun Nihlah Laporan pernah dimuat di Tabloid Edisi 116/Juli 2011


Presensi Harga Mati Sistem presensi online melahirkan masalah baru. Mahasiswa yang absen karena sakit harus berjuang keras memperoleh nilai mata kuliah

Pukul 05.30 WIB, Zaojan Mukhlisun berangkat ke perantauan untuk mencari ilmu di UIN Walisongo Semarang, Jumat (11/11/16). Ia menaiki motor dari tanah kelahirannya, Purbalingga. Nahas, di perjalanan ia mengalami kecelakaan. Kaki kanannya patah. Dalam kondisi itu, ia masih memikirkan soal kuliah. Ia lekas meraih gawai dan berusaha menghubungi temannya untuk menyampaikan izin. Peristiwa itu membuatnya harus absen kuliah. Zaojan pun opname di rumah sakit dan menjalani perawatan selama lebih dari sebulan. Akhir semester tiba. Zaojan belum bisa ke kampus. Ia masih dalam masa pemulihan. Namun, beberapa dosen dan temannya memberitahu bahwa akan ada Ulangan Akhir Semester (UAS). Sejak sakit itu, Ojan begitu biasa ia dipanggil, tercatat tidak hadir lebih dari 25 persen dalam presensi online. Ketidakhadiran Ojan rupanya dihitung laiknya alfa. Ini membuatnya tidak bisa mengikuti UAS karena tidak memenuhi syarat kehadiran yang di-

tentukan. Agar bisa ikut, ia disarankan dosennya untuk membawa surat izin dokter, keterangan operasi, dan opname di rumah sakit. Tidak hanya itu, Ojan juga yang harus bolak-balik ke Semarang mengurus nilai saat liburan. Sebab, ada tiga mata kuliah miliknya yang tidak muncul di Hasil Studi Sementara (HSS). Ojan yang masih mengenakan tongkat itu kembali berjuang mengurus nilai mata kuliah berbekal surat izin. Urusan nilai pun kelar. Mahasiswi Jurusan Pendidikan Matematika Laila Mufarihah juga mengalami nasib yang sama. Laila pada semester tiga bulan November 2016 terkena TBC. Ia harus berjuang berulang kali dilarikan ke rumah sakit. “Semua mata kuliah boleh mengikuti UAS karena sepertinya absen saya ngepas, nggak berangkat empat kali. Cuman ya ada satu mata kuliah yang sepertinya lebih dari itu,� kata Laila. Waktu cetak HSS Laila terkejut. Saat itu ia masih dirawat di RSUP Dr. Kariadi. Nilai mata kuliah Psikologi Bunga Rampai

Amanat

83


Pendidikan tidak tercantum di HSS. Seketika itu ia mencoba menghubungi dosen yang bersangkutan namun tidak ada respon. Ia juga meminta bantuan dari Sekretaris Jurusan, namun hasilnya nihil. “Sakit lagi, akhirnya masuk rumah sakit. Terus kata orang tua, kalau mengulang tidak apa-apa. Karena kondisi badan juga tidak memungkinkan,” jelasnya. Menurut Laila, seharusnya absen mahasiswa diperkuliahan dapat disikapi dengan bijak oleh dosen. Ia merasa diberlakukan tidak adil apabila dalam keadaan sakit tetapi dibebani dengan permasalahan izin yang rumit. “Saya kan izin karena sakit. Benar ada buktinya, kalau bisa untuk orang sakit diberi dispensasi. Sakit bukan kemauan kita dan tidak tahu akan sampai kapan,” katanya. Dispensasi dosen

Menurut Buku Panduan Program Sarjana (S1) dan Diploma (D3) tahun akademik 2015/2016 tentang Hak dan Kewajiban mahasiswa dalam perkuliahan, mahasiswa yang tidak dapat mengikuti perkuliahan wajib menyampaikan surat pemberitahuan/ izin. Perihal ini kemudian diperjelas pada poin ke tujuh mengenai jumlah kehadiran. Mahasiswa wajib mengikuti kegiatan perkuliahan tatap muka sedikitnya 75 persen dari jumlah perkuliahan. Informasi yang berhasil dihimpun Amanat, absen dalam perkuliahan di UIN Walisongo ada tiga macam, yaitu izin, sakit, dan alfa. Ketiganya diang-

84

Amanat Bunga Rampai

gap sama-sama mengurangi presentase presensi. Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Walisongo, Musahadi menyatakan, jumlah tatap muka dalam perkuliahan menjadi dasar presensi. Alasan apapun yang digunakan mahasiswa tetap mengurangi jumlah kehadiran di sistem online. “Sering terjadi ketika dosen mengabsen, mahasiswa tidak mendengar karena ramai. Ini juga menjadi salah satu sebab yang hadir juga bisa ditulis alfa,” ujarnya. Dosen Jurusan Pendidikan Fisika Fakultas Sains dan Teknologi (FST), Fihris mengutarakan alasan sakit disamarkan dengan alfa atau izin memang tidak dikehendaki. Meski demikian, presensi online mengacaukan sistem. “Masih ada solusi. Dapat dijembatani dengan cara mahasiswa meminta disposisi pada dosen yang bersangkutan benar-benar sedang sakit,” ujarnya. Fihris mengatakan, masih ada dosen yang memiliki kebijakan menganggap masuk mahasiswa yang absen karena sakit. Itu dianggap sebagai bentuk toleransi. Namun, kata dia, hakikatnya hal itu dilakukan hanya untuk mempermudah masalah nilai pada akhir perkuliahan. “Tidak masalah misalkan lima kali pertemuan tidak masuk, akan terlihat fluktuasi dan kealamian kuliah. Adapun masalah nilai dosen dapat memberi disposisi untuk ke PTIPD. Apa adanya saja,” jelas Fihris.


Tangkapan layar dosen sedang melakukan presensi online.

Terlepas dari masalah itu menurut Fihris, mahasiswa yang mengikuti perkuliahan kurang dari 16 kali pasti mendapat ilmu berbeda dengan yang mengikuti perkuliahan penuh. Sehingga, semestinya tidak dapat disamakan begitu saja antara keduanya. “Sakit dianggap masuk jika sakitnya dua sampai tiga kali pertemuan saya kira tidak apa-apa. Tapi jika sudah melebihi dari itu, mahasiswa harus diberi treatmaent berbeda. Dia harus mengejar materi yang dia tinggalkan saat tidak masuk,� jelas Fihris. Menurut Fihris, perlakuan khusus bagi mahasiswa yang minim presensi dapat berupa tugas pengganti atau pengayaan. Tugas itu juga diharapkan sebagai sarana mengejar ketertinggalan materi dalam perkuliahan. Ketua PTIPD UIN Walisongo, Wenty Dwi Yuniarti mengungkapkan, masalah sistem presensi tidak sepenuhnya mengekang mahasiswa. Menurutnya, semua permasalahan mempunyai jalan keluar. Sama halnya rekam kehadiran mahasiswa di wa-

li-SIAdik yang memiliki keadaan khusus, tidak dapat mengikuti perkuliahan lebih dari 25 persen. Wenty menyarankan agar dosen menuliskan keterangan pada presensi online sesuai dengan yang ada atau memberi toleransi. Dosenlah yang akan merekam kehadiran mahasiswa, lebih atau kurang dari 75 persen. Dosen yang lebih mengetahui dan paham keadaan mahasiswa pantas diberi keterangan apa pada jurnal absen. Wenty menyontohkan, misalnya ada mahasiswa absen lima kali karena sakit. Sedangkan dosen tahu mahasiswa yang bersangkutan. Dosen bisa menganggap mahasiswa tersebut masuk. “Bukannya mahasiswa dilarang sakit, kejadian ini bisa ditangani dengan alternatif lain. PTIPD terkadang menjadi mediator antara dosen dan mahasiswa,� imbuh Wenty kepada Amanat. Dosen Jurusan Fisika itu menekankan, komunikasi menjadi kunci. Mahasiswa yang bermasalah denBunga Rampai

Amanat

85


gan presensi bisa membicarakannya dengan dosen mata kuliah terkait. “Absen kita komunikasikan. Semua berdasarkan data dan dilakukan konfirmasi dengan dosen dan mahasiwa,� tutur Wenty. Sistem online, kata dia, khususnya yang terkait aktivitas akademik mahasiswa sudah dijelaskan pada awal penerimaan mahasiswa baru. Yaitu,

86

Amanat Bunga Rampai

ketika masa Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK). Dengan demikian, menurut Wenty soal presensi seharusnya tidak menjadi masalah. Reporter: Iin Endang Wariningsih Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 129/ Desember 2017


Pening Dua Bahasa Asing Sejak diberlakukan SK Rektor Nomor 12 Tahun 2012, kemampuan bahasa asing mahasiswa UIN Walisongo semakin kentara. Segenap upaya kampus membumikan dua bahasa, mentah. Penguasaan bahasa mahasiswa UIN Walisongo mulanya cukup ditunjang melalui Progam Intensif Bahasa Arab (PIBA) dan Progam Intensif bahasa Inggris (PIBI) sebagai mata kuliah di setiap fakultas. Hingga lahir SK Rektor Nomor 12 tahun 2012 yang mewajibkan setiap mahasiswa memiliki sertifikat lulus Ikhtibar Mi’yar al-Kafa’ah fi al-Lughah al-Arabiyyah (IMKA) dan Test of Englishas a Foriegn Language (TOEFL) sebelum menyandang titel sarjana. Menurut Musahadi, Wakil Rektor (WR) I Bidang Akademik dan Kelembagaan, SK itu dibuat untuk menjamin standar mutu kemampuan calon alumnus. Kemampuan bahasa Arab dan Inggris dianggap penting di tengah persaingan global. Oleh sebab itu, UIN Walisongo menetapkan learning outcomes (capaian pembelajaran) yang lebih terukur sebagaimana diinstruksikan pemerintah. “Ia (Seorang sarjana- red) harus mampu berbicara sesuai dengan tempat mencari kerja,” katanya saat ditemui Amanat di kantornya, Rabu (21/03).

Peraturan Permerintah Nomor 08 Tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional (KKNI) Pasal (4) Ayat (1) dan (2) menyatakan bahwa capaian pembelajaran yang diperoleh melalui pendidikan atau pelatihan kerja dinyatakan dalam bentuk sertifikat. Sertifikat yang dimaksud bisa berbentuk ijazah atau sertifikat kompetensi. Beberapa tahun berjalan, SK Rektor itu diimplementasikan bukan tanpa problematika. Pusat Pengembangan Bahasa (PPB) sebagai penyelenggara TOEFL dan IMKA selalu dihadapkan problem penumpukan pendaftaran calon peserta ujian, bahkan hingga sekarang. Terhitung, pada April sampai September 2018, sebanyak 7520 mahasiswa telah tercatat sebagai peserta ujian bahasa. Untuk mengurai kepadatan peserta itu, pada awal semester genap 2018 ini, PPB harus manambah jadwal ujian, yang mulanya empat kali dalam sepekan, kini menjadi delapan kali. Tak cukup dengan itu, PPB juga mengadakan ujian kolosal. Untuk TOEFL

Bunga Rampai

Amanat

87


diadakan pada 5-6 Mei dan IMKA pada 12-13 Mei 2018. “Ada sekitar 6000-an pendaftar untuk ujian kolosal. Tercatat dari Mei s.d September 2018,” kata Muhammad Syaifullah, kepala PPB, saat ditemui Amanat di kantornya, Kamis (26/04). Kabar yang berembus, soal TOEFL dan IMKA Grade-nya diturunkan, agar mahasiswa banyak yang lulus. Namun, Syaifullah membantah kabar itu. Ia menegaskan tidak ada penurunan Grade dalam ujian kolosal yang diadakan pada bulan Mei 2018. Fakruddin Aziz, salah satu pembuat soal IMKA mengamini hal itu. Soal IMKA untuk ujian kolosal pada 12-13 Mei, kata Aziz, hanya dikreasikan supaya dapat lebih ditangkap oleh mahasiswa dengan kemampuan yang beragam. “Desain yang saya bikin itu, memang saya kreasikan supaya lebih bisa diterima oleh mahasiswa. Misalnya, saya mengambil topik-topik yang sudah familiar, misalnya topik tentang keseharian atau topik mengenai Islamic studies,” paparnya. Sayangnya, semangat PPB dalam penyelenggaraan tak diimbangi dengan persentase kelulusan dalam setiap ujian. Dari data yang diperoleh Amanat, persentase kelulusan untuk ujian TOEFL dan IMKA sangat rendah. Sepanjang Oktober 2017 sampai Februari 2018, persentase kelulusan TOEFL dari 1489 mahasiswa pada ujian pertama hanya 14 %. Sedangkan untuk IMKA 19,1% dari 1627 mahasiswa. Pada ujian kedua, dari 1129 mahasiswa yang mengikuti TOEFL, persen-

88

Amanat Bunga Rampai

tase kelulusannya hanya 13,3%. Untuk IMKA, dari 1102 peserta ujian, yang lulus hanya 15,9%. Sementara pada ujian ketiga, hasilnya pun tak jauh beda, dari 575 peserta TOEFL, hanya 11.3% yang lulus. Serta untuk IMKA dari 478 mahasiswa, hanya 15.5% yang lulus. Shofiyatul Anis, mahasiswa prodi Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT), menengarai banyaknya mahasiswa yang gagal dalam ujian TOEFL, lantaran pembelajaran bahasa kurang mengarahkan mahasiswa ke penggarapan TOEFL. Sepanjang pengalamannya yang telah gagal tiga kali tes TOEFL, teori yang didapat di kelas berbeda dengan soal yang dihadapi di lapangan. Pada akhirnya, mahasiswa asal Demak ini, terpaksa ikut kursus di PPB sebagai alternatif, lantaran hasil ujiannya kian menurun. “Tes pertama nilai saya 380, tes ke dua 360, dan tes ke tiga 340. Padahal saya rasa soal gak jauh beda,” katanya. Pendapat berbeda dikemukakan Muhammad Yafie. Mahasiswa prodi Pendidikan Agama Islam (PAI) itu, cenderung menyalahkan dirinya sendiri, ketika tidak lulus tes IMKA 4 kali. “Mungkin karena saya kurang belajar saja,” katanya. Rendahnya persentase kelulusan dalam ujian TOEFL dan IMKA disadari sejak lama oleh Syaifullah. Permasalahan ini, menurutnya sangat kompleks. Ia mengeklaim, PPB telah melakukan evaluasi modul pembelajaran dan metode pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa.


Namun, jika ratarata mahasiswa tidak bisa lulus dalam ujian pertama dan kedua, itu menunjukkan kemampuan bahasanya memang rendah. Tanggung jawab pengembangan bahasa asing, lanjut Syaifullah, bukan hanya dilakukan oleh PPB. “Saat mahasiswa tidak lulus ujian satu kali, dua kali, tiga kali itu salah siapa? Ini menjadi tanggung jawab bersama bukan,� katanya, meyakinkan. Sebagai dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Syaifullah pernah diundang untuk mengikuti pelatihan penyusunan kurikulum baru 2015 di fakultasnya. Dalam pelatihan itu, narasumber yang didatangkan menekankan bagaiamana pentingnya menjadikan bahasa asing sebagai kompetensi prodi. Dengan demikian, bahasa Arab dan bahasa Inggris tidak hanya ada di Mata Kuliah Dasar Universitas (MKDU).

Namun, ketika melihat hasil penyusunan kurikulum baru 2015, Syaifullah terkejut karena di fakultasnya, tidak ada satu pun prodi yang mengambil bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai Mata Kuliah Prodi (MKP). Saat Amanat mengecek Buku Panduan Akademik Tahun 2016/2017, dari 36 prodi yang ada di UIN Walisongo, hanya tiga prodi yang mengambil mata kuliah bahasa Arab III dan bahasa Inggris III. Ketiga prodi itu adalah Ilmu Alquran dan Tafsir (IAT), Tasawuf dan Psikoterapi (TP), dan Pendidikan Agama Islam (PAI). Syaifullah tentu menyayangkan hal tersebut. Saat kebijakan universitas mengurangi porsi pembelajaran bahasa. Di tingkat fakultas, peningkatan kompetensi bahasa tidak juga diseriusi. Padahal kemampuan mahasiswa dalam berbahasa asing masih rendah. Bobot mata kuliah bahasa Inggris dan bahasa Arab dalam per-

Mahasiswa sedang mengikuti ujian Bahasa di Pusat Pengembangan Bahasa (PBB). (Dok. Amanat) Bunga Rampai

Amanat

89


jalanannya terus mengalami kemerosotan. Mata kuliah itu pernah sampai diberi bobot delapan SKS, selanjutnya menurun menjadi enam SKS. Kini, dalam kurikulum UIN Walisongo 2015, bahasa Arab dan bahasa Inggris sebagai MKDU turun bobot menjadi hanya empat SKS. “Empat SKS itu mahasiswa dapat apa,” tanyanya. Rizqi Bidasarandi, ketua Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Nadi Walisongo fi al Lughah al Arabiyyah (Nafilah) ikut prihatin dengan kebijkan kampus yang terus mengurangi bobot SKS bahasa, terutama bahasa Arab. Jika hanya mengandalkan mata kuliah bahasa Arab I, II, mahasiswa akan kesulitan lulus dalam tes IMKA. “Pembelajaran dan kedalaman pembahasannya sangat kurang. Apalagi jika kemampuan bahasa Arabnya lemah. Mahasiswa tidak menambah dari luar, itu mustahil,” katanya. Pandangan beda dikemukakan oleh Sahidin Wakil Dekan I Bidang Akademik Fakultas Syariah dan Hukum. Menurutnya, setiap fakultas mempunyai target kompetensinya masing-masing. Ia mencontohkan, kompetensi yang ditekankan di fakultasnya adalah baca kitab kuning. Tidak ada jaminan, kata Sahidin, saat fakultasnya mengambil mata kuliah Bahasa Arab III, mahasiswa akan dapat membaca kitab kuning. Sebaliknya, saat mahasiswa mampu membaca kitab kuning, kemampuan bahasa Arab mereka akan mengikuti. Sedangkan untuk pematangan kemampuan bahasa Inggris mahasiswa, ia menyerahkan tanggung jawab itu kepada PPB.

90

Amanat Bunga Rampai

“Kami bukan prodi bahasa Inggris,” tegasnya. Learning outcomes (capaian pembelajaran) bahasa asing telah ditetapkan birokrasi, sehingga PPB berkewajiban mengawal kebijakan itu. PIBA dan PIBI mestinya diarahkan untuk mencapai kompetensi agar mahasiswa dapat mengerjakan TOEFL dan IMKA. Dosen bahasa, dituntut berkualitas karena menanggung pekerjaan berat. Terlebih bobot mata kuliah bahasa Arab dan Inggris kini hanya empat SKS. “Pengambilan dosen bahasa, jangan asal comot. Tidak hanya misalnya karena lulusan luar negeri lalu disuruh mengajar mata kuliah bahasa Arab dan Inggris. Padahal bidang keilmuannya bukan di bahasa,” katanya. Kurikulum Tersembunyi

Dalam catatan Amanat, kebijakan bahasa kerap berganti. Ketika PPB masih bernama Unit Pembinaan Bahasa (Ubinsa), sempat ada kebijakan matrikulasi bahasa. Matrikulasi merupakan kuliah nol SKS yang diwajibkan bagi mahasiswa baru, khusus bagi yang standar kemampuan bahasa asingnya masih lemah. Ini sekaligus prasyarat pengambilan mata kuliah bahasa Arab I atau bahasa Inggris I. Pada tahun 2010, kebijakan matrikulasi ini tidak lagi sebagai prasyarat pengambilan mata kuliah, namun hanya sebagai kuliah tambahan. Tak berselang lama, kebijakan ini dihapuskan juga, karena tak diminati mahasiswa. Pihak kampus juga sempat memberlakukan kebijakan placement test.


Sistem ini menempatkan mahasiswa sesuai dengan kemampuan bahasannya. Sayang, mulai tahun akademik 2016/2017 placement test tidak lagi diberlakukan. Yang berjalan sekarang, PIBA dan PIBI memukul rata setiap mahasiswa. Tidak ada hirarki kelas bahasa. Musahadi menjelaskan, formula yang dijalankan sekarang ini adalah rumusan seluruh ahli di UIN Walisongo. Memang mulanya terjadi pertarungan gagasan dalam penyusunannya. Ada yang meminta mata kuliah ditambah, ada yang meminta sebaliknya. Namun, setelah dievaluasi, kuliah bahasa itu tidak semua harus dimasukkan dalam kurikulum terstruktur. Ada yang disebut kurikulum tersembunyi. PIBA dan PIBI yang masing-masing berubah menjadi empat SKS, menurutnya telah sesuai dengan kebutuhan seluruh mahasiswa. “Mahasiswa itu kemampuannya beragam. Makanya harus dicari formula pembelajaran yang dapat mengatasi keberagaman tersebut. Format bahasa yang dirancang oleh kampus dicari titik tengah. Mereka yang dari titik ‘nol’ harus dapat mengejar sendiri ketertinggalannya dengan kursus dan lain sebagainya,” paparnya. Musa menyebutnya sebagai kurikulum tersembunyi. Artinya, mahasiswa yang memiliki kemampuan bahasa ‘nol’ harus berusaha mengejar ketertinggalannya sendiri. Mereka dianjurkan untuk mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) bahasa atau kursus bahasa asing di luar jam kuliah.

“Yang penting, you mau berakrobat kayak apapun, skor TOEFL dan IMKA nilainya harus sekian,” katanya. Problem Input

Di lain sisi Syaifullah sadar, UIN Walisongo bukan kampus favorit. Sehingga, jarang lulusan terbaik sekolah yang masuk kampus ini. Apalagi dalam penerimaan mahasiswa baru, kemampuan bahasa tidak menjadi pertimbangan utama penerimaan. Walhasil, banyak mahasiswa yang tidak bisa baca tulis Alquran pun dapat diterima di kampus ini. Ia menceritakan, setiap ujian IMKA, petugas sering membagikan kertas kosong. Peserta ujian diminta untuk menulis surat pendek dalam Alquran. “Banyak mahasiswa yang salah dalam menulis surat-surat pendek dalam Alquran. Hasilnya mengenaskan,” kata Syaifullah. Musahadi tidak menampik, UIN Walisongo memang tidak menentukan standar kemampuan bahasa calon mahasiswa dalam tes masuk perguruan tinggi. Ia berdalih, kemampuan bahasa itu masuk dalam kategori alat, bukan tujuan. “Kemampuan bahasa mahasiswa yang beragam, di jembatani kampus dengan PIB,” kata Musa. Reporter: Aulia’ Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 130/ Mei 2018

Bunga Rampai

Amanat

91


92

Amanat Bunga Rampai


Berjuang di Tengah Keterbatasan UIN Walisongo belum memberikan pelayanan khusus bagi mahasiswa difabel. Cita-cita menjadikan perguruan tinggi inklusi belum terwujud.

Fitriyah Ayu Sari terpaksa harus susah payah saat menaiki tanjakan jalan Kampus II UIN Walisongo. Kondisi fisiknya yang tak seperti mahasiswa kebanyakan membuatnya sering kelelahan. Dia pun terkadang harus berhenti sesekali. Kemudian berjalan lagi ke ruang kelasnya di Fakultas Tarbiyyah dan Ilmu Keguruan (FITK). Hal ini dia lakukan hampir setiap hari sejak awa-awal kuliah di UIN Walisongo hingga sekarang demi memenuhi tanggungjawabnya sebagai mahasiswa. Citra merupakan penyandang tuna daksa. Takdirnya yang tak semujur mahasiswa kebanyakan, mengharuskan dia berjalan hanya dengan satu kaki sebelah kanan. Sementara kaki kirinya harus dibantu. Cacat fisik itu sudah ditanggungnya Citra sejak lahir. Ditemui Amanat pertengahan September lalu, mahasiswi semester tiga program studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) bercerita banyak soal perjalanan kuliahnya

dengan kondisi fisik yang terbatas. Sebenarnya dia amat butuh bantuan ketika berjalan di kampus. Namun, perasaan itu dia pendam. Citra tidak ingin merepotkan orang lain. Kendala Citra dalam menjalani aktivitas perkuliahan tak berhenti sampai di situ. Di kelas dia merasa tidak nyaman. Kursi di kelas tidak mendukung. Citra butuh kursi khusus. Namun, ia menyadari fasilitas kampus untuk mahasiswa difabel memang belum ada. Sehingga ia harus menerima apa adanya. “Tidak ada orang yang ingin lahir dengan kondisi berbeda, tapi apapun keadaannya memang harus diterima dengan lapang dada,� katanya. Citra bercerita, sering merasa minder ketika di kampus. Perasaannya tak nyaman karena pandangan beberapa temannya terlihat berbeda. Dia pun harus terus menata mental agar tetap bertahan dengan kondisinya. Salah satu harapannya, ada seminar-seminar khusus yang diselenggarakan kampus bagi mahasiswa diBunga Rampai

Amanat

93


fabel. Menurutnya, ini penting untuk meningkatkan motivasi agar dia tidak selalu minder dan merasa berbeda dengan yang lain. “Orang seperti saya butuh banyak dukungan. Bukan hanya secara fisik, tapi mental juga,” katanya. Senada dengan Citra, penyandang difabel low vision (kemampuan mata melihat hanya sebagian) Satrio mengaku, sering mengalami kendala di kampus UIN Walisongo. Pengelihatannya yang terbatas membuatnya ekstra hati-hati terutama saat berjalan pada jalan yang berlubang. Dia berharap ada penanganan dari pihak kampus terkait hal itu. “Jalan-jalan yang berlubang perlu segera ditambal dan parkiran yang semrawut dibereskan. Saya susah ketika berjalan,” harap mahasiswa semester tujuh ini ketika ditemui Amanat, Rabu (20/09). Satrio juga menyayangkan, belum ada perlakuan khusus dari pihak kampus bagi mahasiswa berkebutuhan berbeda seperti dirinya. Dia pernah kesulitan ketika menjalani tes Bahasa. Saat itu, ia harus menyewa pendamping dengan uang sendiri. Kesulitan lain dialami Satrio ketika pengisian Kartu Rencana Studi (KRS). Dia harus mencari orang untuk dimintai bantuan. Tidak bisa tidak, hal itu harus dilakukannya karena tidak ada pelayanan khusus bagi difabel. “Seharusnya kampus punya pusat pelayanan khusus difabel seperti di UIN Sunan Kalijaga. Sehingga mahasiswa seperti saya (berkebutuhan berbeda, Red) tidak kesulitan,” jelas Satrio.

94

Amanat Bunga Rampai

Citra dan Satrio hanya dua diantara mahasiswa penyandang disabilitas di UIN Walisongo. Komunitas mahasiswa pemerhati mahasiswa difabel Center For Disability Studies UIN Walisongo (CDS-WS) menemukan setidaknya ada enam mahasiswa berkebutuhan berbeda di kampus UIN Walisongo. Paling banyak di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) yaitu empat mahasiswa, satu mahasiswa low vision dan tiga mahasiswa penyandang tuna netra. Sementara di FITK, CDS-WS menemukan ada satu mahasiswa penyandang tuna daksa. Di Fakultas Psikologi dan Kesehatan (FPK), CDS-WS mendapati satu difabel penyadang tuna daksa. Peduli difabel

CDS-WS merupakan organisasi mahasiswa di UIN Walisongo yang fokus kepada mahasiswa berkebutuhan khusus. Hanya saja, kegiatan yang dilakukan selama ini beru terbatas pada kajian tentang difabel. CDS-WS belum menyentuh pada kebutuhan konkrit mahasiswa difabel, khususnya di UIN Walisongo. Komunitas CDSWS terhitung dini. Baru berdiri tahun ini. Ketua CDS-WS Yayan M. Royani ditemui Amanat (15/10) mengungkapkan, masih sedikitnya jumlah mahasiswa difabel di satu sisi bisa berarti menunjukkan penurunan kualitas kampus. Karena secara tidak langsung UIN Walisongo belum bisa memperhatikan mereka para difabel. Pemerintah Indonesia sebenarnya sudah menunjukkan komitmen dalam melindungi dan memenuhi hakhak penyandang disabilitas dengan


Bercengkerama: Fitriyah Ayu Citra Sari bercengkerama dengan teman sekelasnya di taman FITK, Senin (27/11). (Amanat/M. Iqbal Shukri)

ikut menandatangani Convention the Rights of Person With Disabilities pada 2006 lalu. Konvensi itu bertujuan untuk memajukan, melindungi, dan menjamin penikmatan penuh dan setara semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental oleh semua penyandang disabilitas, dan untuk meningkatkan penghormatan atas martabat yang melekat pada mereka. Menanggapi masalah difabel, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Kelembagaan Musahadi mengakui, mahasiswa difabel di UIN Walisongo memang belum mendapatkan perlakukan khusus. Pihaknya baru bersedia memfasilitasi mereka agar dapat menjalankan tugas dan fungsi kemahasiswaannya. “Gedung-gedung baru yang akan dibangun nantinya akan mudah diakses oleh mahasiswa difabel,� katanya. Kepala Sub Bagian Akademik dan Kemahasiswaan Alimul Huda men-

gatakan, untuk menjadi kampus ramah difabel memang bukan perkara mudah. Dari penelitian dibutuhkan waktu yang lama, misalnya, di Universitas Brawijaya (UB) Malang. Sebelum membuka Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) di kampus itu, terjadi diskusi alot. Perdebatan terjadi menyangkut, apakah disediakan sarana prasarana dulu ataukah penerimaan mahasiswa yang didahulukan. “UB kemudian memutuskan menerima mahasiswa dulu, sedangkan sarana dan prasarana menyusul,� katanya. Untuk menjadi kampus inklusi, kata Huda, perlu banyak persyaratan. Setidaknya ada 4 aspek yaitu, aksebilitas atau pelayanaan baik fisik maupun non fisik, aseptabilitas atau penerimaan lingkungan, akomodasi atau alat yang digunakan untuk membantu, dan kuota khusus yang disediakan kampus untuk menerima difabel.

Bunga Rampai

Amanat

95


“Idealnya pendidikan inklusi segala sesuatunya harus mudah diakses. Jika akses fisik masih terlalu sulit karena terbentur dengan dana dan mengalami proses yang lama,� katanya. Dari empat aspek itu, menurut Huda, setidaknya harus ada aksebilitas non fisik untuk para difabel, misalnya, di UIN Sunan Kalijaga dan Universitas Brawijaya. Di sana sudah ada mahasiswa volunteer yang membantu aktivitas mahasiswa difabel. Selain

96

Amanat Bunga Rampai

itu, di UIN Sunan Kalijaga juga sudah tersedia Pusat Layanan Difabel (PLD). Sementara di UIN Walisongo, fasilitas-fasilitas itu belum terlihat hingga hari ini. Reporter: Khalimatus Sa’diyah Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 129/ Desember 2017


Kemana KKN Dirombak Satu lagi semangat reformasi. Pola KKN yang dianggap kedaluarsa akan dirubah. Bahkan ada ide dihapus. Dengan penuh percaya diri, anak belia yang polos itu berjalan melenggang, dibarengi alunan lagu Bimbo. Songkok hitam plus sarung luriknya menambah wibawa sang anak, meski usianya baru sebelas tahun. Di belakangnya menyusul gadis ‘unyil’ yang cantik lengkap dengan busana muslimahnya. Pemandangan itu mewarnai perlombaan busana muslim, yang diadakan oleh tim KKN IAIN Walisongo. Dan masih banyak lagi aktivitas yang bisa dilakukan oleh peserta KKN. Semua merancang program dan aktivitas yang beragam di tiap posko masing-masing. Di samping kegiatan di tingkat koordinator kecamatan (Korcam). Tengok saja, kawan anda yang tengah ber-KKN, disana ada gawegawe yang variatif, mulai dari kuliah subuh, pengajian remaja, TPQ, pelatihan remaja masjid, Festival Anak Islam, plangisasi, renovasi musholla, mengaspal jalan, sampai pada acara yang kini sedang ngetrend, yaitu bazar sembako. Agaknya pernik-pernik aktivitas tersebut akan segera sirna dari kegia-

tan mahasiswa IAIN Walisongo. Karena riak- riak kegelisahan terhadap rutinitas KKN selama ini semakin menggejala. Ada yang bilang bahwa KKN hanya buang-buang waktu dan duit saja, tidak efektif dan lain sebagainya. Bahkan ada yang membikin plesetan KKN menjadi Kisah Kasih Nyata, dengan merujuk banyaknya kasus cinta yang berawal dari lokasi KKN. Termasuk gagasan yang berkembang dari sivitas Fakultas Tarbiyah. Beberapa dari mereka beranggapan bahwa KKN sudah tidak perlu lagi, karena pada realitasnya Praktek Pengenalan Lapangan (PPL), bagi mereka, lebih KKN ketimbang KKN. Puncaknya kemarin, ketika Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) IAIN Walisongo menyelenggarakan Loka Karya tentang “Mencari Format KKN” (24/8). Dalam acara yang bertempat di Aula II itulah, praktik KKN dievaluasi dan dikritisi habis-habisan. Muncul satu satu niat untuk pola KKN. Perombakan ini, bagi Ketua PPM H Muhibin MA sendiri merupakan Bunga Rampai

Amanat

97


(Dok. Amanat)

hal yang harus dilakukan. Sementara Drs Darmu’in, Staf Dosen Fakultas Tarbiyah memberikan alasan. “Bukan apa-apa. Cobalah pola itu dievaluasi. Apakah cost yang mahal tidak menjadi pertimbangan tersendiri di masa sulit seperti ini. Belum lagi persoalán rasionalisasi jumlah SKS yang dipatok untuk menghargai KKN selama dua bulan yang jumping,” katanya. Hal yang sama juga muncul dari kalangan mahasiswa. Umi Laila, Pimpinan Umum Majalah Idea yang semester lalu KKN menganggap perlunya telaah yang cukup serius tentang pola KKN selama ini. Hal ini karena adanya ketimpangan yang lebar antara idealitas dengan realitas hasil di lapangan. Tawaran

Berangkat dari evaluasi itulah, beberapa usulan untuk mengganti pola

98

Amanat Bunga Rampai

KKN bermunculan. Drs Abdul Djamil, Kepala Pusat Penelitian misalnya, mengusulkan perlunya memperluas sektor sasaran KKN. “Jika selama ini hanya ber-KKN di desa, maka selayaknya, saat ini ruang lingkup ini perlu diperluas ke daerah perkotaan,” usulnya. Lain lagi dengan usulan H Muhibbin, Kepala Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM) IAIN Walisongo. Ia menawarkan konsep KKN yang berkesinambungan. Kalau selama ini, KKN dilaksanakan dengan orientasi melakukan kewajiban dalam rangka penyelesaian perkuliahan di Perguruan Tinggi, dengan sedikit orientasi ikut membangun masyarakat pedesaan. Kini, KKN sudah saatnya berorientasi kepada pembangunan masyarakat dengan program yang terpadu dan berkesinambungan, baik tempat maupun program-programnya.


Wujudnya, demikian tutur Muhibbin adalah dengan program desa binaan. Mahasiswa membantu petugas dan penyuluh desa binaan dalam merealisasikan program- program yang telah disusun, di samping program lain yang belum tercover oleh gram binaan. Sementara itu, Pembantu Rektor IV H Wasit memberikan konsep KKN di dalam Kampus. Programnya, meliputi Pengem- bangan visi akademik secara komprehensif, diskusi/seminar antar-disiplin ilmu, antar-program studi intern IAIN, penelusuran literatur disiplin ilmu tertentu kepustakaan, Klipping koran/majalah yang menyangkut permasalahan-permasalahan tertentu serta membuat komentar-komentar terhadap tulisan-tulisan tersebut, serta penelitian terhadap permasalahan yang muncul di lingkunagn kampus. “Sedangkan untuk pengembangan ketrampilan/skill, bisa dengan Kursus baca Al-Qur’an, bimbingan ibadah, Kursus Khatib, MC, protokolir, pengembangan seni dan budaya Islam, maupun pengembangan usaha kecil,” paparnya sembari memberi usulan.

Otonomi Mahasiswa

Dalam operasionalisasi KKN di Kampus, Wasit menegaskan perlunya otonomi penuh bagi mahasiswa untuk memilih programnya. Sedangkan kelebihan dari program ini, yaitu biaya bisa ditekan. Untuk urusan transportasi, biaya hidup, koordinasi dengan PEMDA, misalnya. Selain itu, pelaksanaannya lebih mudah, seperti Koordinasi BP KKN lebih intensif, kesulitan-kesulitan yang muncul cepat diatasi, dan mahasiswa peserta KKN bisa mengambil mata kuliah. Untuk menunjang perombakan pola KKN ini, administrasi juga harus dibenahi. Darmu’in, yang langganan menjadi Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) mengatakan bahwa selama ini, administrasi operasional KKN sangat ruwet, sehingga harus dibenahi. “Yang termasuk harus dibenahi antara lain keterlibatan DPL yang lebih aktif di lapangan dengan ditunjang kesejahteraan yang layak,” demikian katanya. Reporter : Is Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 75/ November 1998

Bukan hanya itu, karena stressing pengabdian, maka di lingkungan kampus, masih menurut Wasit, harus ada program/aksi pengabdian kepada masyarakat kampus, contohnya gerakan kebersihan kampus, penataan landscaping kampus dan penghijauan, Sistem keamanan lingkungan kampus, administrasi akademik dan penataan perpustakaan, pengembangan kemampuan bahasa Arab dan Inggris. Bunga Rampai

Amanat

99


100

Amanat Bunga Rampai


Dari dan Demi Masyarakat Penelitian konvensional selama ini tak melibatkan masyarakat untuk meneliti dirinya sendiri. Participatory Action Research (PAR) dapat menjadi alat pemberdayaan yang sesungguhnya untuk mereka. Di masa sebelum tahun 1987, model-model penelitian di Perguruan Tinggi (sekarang: Pendidikan Tinggi) Indonesia didominasi oleh paradigma konvensional, paradigma yang fungsionalistik. Banyak kalangan pelajar melakukan penelitian dengan metodologi konvensional, orang terpelajar dari kota atau masyarakat urban yang datang ke desa untuk meneliti sebuah masyarakat sekadar mereka jadikan obyek. Semenjak tahun itu pula penelitian Partisipatory Action Research (PAR) seperti yang diceritakan Ahmad Mahmudi yang saat ini menjabat Ketua Dewan Pengurus Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), dimunculkan oleh kalangan ilmuwan kritis ke Indonesia. Penelitian itu berdasar pada paradigma ilmu sosial kritis, dimana tugas dari ilmuan adalah bersama-sama dengan masyarakat menjadi subyek untuk mendialogkan kehidupan dan permasalahan masyarakat tertentu. “PAR bukan untuk melihat semau dan sesuka peneliti, tapi mendialogkan kehidupan masyarakat dalam se-

buah forum,� papar Ahmad Mahmudi yang juga Dosen Penelitain di Pascasarjana Universitas Indonesia. Penelitian konvensional selama ini memang banyak dikritik oleh banyak kalangan ilmuwan modern. Mahmudi menjelaskan, kelemahan penelitian konvensional itu sesungguhnya tidak membuat masyarakat menjadi lebih baik sesuai dengan apa yang dibutuhkan mereka dan tidak memberi ruang bagi masyarakat yang diteliti untuk berkembang. Yang terjadi adalah masyarakat didikte oleh para peneliti, mereka punya kesempatan untuk memahami dan menyelesaikan masalahnya sendiri. “Mereka yang meneliti mendapatkan apa yang mereka inginkan, tapi masyarakat tidak. Parahnya, yangmeneliti itu tahu masyarakat yang diteliti, yang makan, seminar di mana-mana, tetapi yang diteliti tidak terjadi perubahan apa-apa. Itu tidak adil dan merupakan perampokan ilmu pengetahuan,� jelasnya. PAR dalam KKN

Mulai tahun 2003, model penelitian PAR dikenalkan Mahmudi ke Bunga Rampai

Amanat

101


Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) seluruh Indonesia. Ada sekitar 120 PTAI yang dilatihnya melalui para dosen di Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) dari masing-masing kampus termasuk IAIN Walisongo Semarang. Melalui para dosen yang dilatihnya itu, Mahmudi berharap mereka dapat mengajarkannya ke mahasiswa, sehinga penelititan PAR dapat diaplikasikan dalam bermacam kegiatan kampus, terutama Kuliah Kerja Nyata (KKN). KKN ke-60 IAIN Walisongo yang baru saja terlaksana di Kabupaten Demak. Dalam sesi pembekalan sebelum mahasiswa diterjunkan ke Demak, Wakil Rektor I, Musahadi menyampaikan konsep PAR. Hari itu, di dalam gedung Auditorium II Kampus 3 dan bekerja sama dengan UIN Sunan Kalijaga, Pemerintah Daerah Kota Demak, DinasKesehatan Jawa tengah serta diikuti sebanyak 840 mahasiswa. Dalam penyampaiannya, Musahadi menilai, metodologi PAR penting untuk diketahui mahasiswa. Mereka perlu banyak tahu berbagai penelitian yang ada, penelitian selama ini terus berkembang dan metodologi penelitian yang terdahulu belum mampu memberikan pengaruh yang berarti bagi masyarakat. Dilatarbelakangi hal itu, metode penelitian PAR yang dikenal mampu memperbaiki kondisi sosial masyarakat menjadi lebih baik bisa jadi salah satu alat bagi mahasiswa dalam melakukan penelitian dalam KKN. “PAR perlu dibekalkan kepada mahasiswa yang akan melakukan KKN,� kata Musahadi. Pentingnya pemberian materi PAR sebelum melakukan penelitian juga

102

Amanat Bunga Rampai

disampaikan Ahmad Mahmudi ketika ditemui Amanat di kantornya. Sebagai seorang yang saat ini masih aktif melakukan penelitian, ia percaya bahwa dengan menggunakan PAR, besar kemungkinan terjadi interaksi untuk memahami realitas sosial, membangun kesadaran kolektif baru mengenai dunia masyarakat. Atas dasar itulah kemudian muncul tindakan-tindakan lebih mengarah kepada perubahan sosial yang bukan diciptakan peneliti sendiri, tapi perubahan sosial dari masyarakat sendiri. Dan peneliti dari luar tidak lebih hanya sebagai teman untuk mempertanyakan segala hal. Penelitian ini berdasar ilmu pengetahuan yang menghargai berbagai corak macam kehidupan. “PAR itu adalah penelitian yang mendorong partisipasi masyarakat. Peneliti dalam PAR adalah masyarakat dan peneliti itu sendiri. Jadi, penelitian ini mendorong masyarakat untuk meneliti diri mereka sendiri, melakukan tindakan atas dasar temuan mereka sendiri,� paparnya. Mahmudi menegaskan bahwa bagi seorang mahasiswa maupun kaum intelektual lainnya yang melakukan penelitian, mereka tidak berhak mendikte atau merubah kehidupan orang lain sesuai dengan konsep. Yang ada adalah mendialogkan semua dengan masyarakat. Berangkat dari praktek kehidupan sehari-hari yang dialami masyarakat, dan mereka sendiri yang akan menyimpulkan, kemudian itu dipahami hingga memunculkan kesadaran baru untuk menciptakan tindakan- tindakan perubahan ke depan. Dari situ mahasiswa akan tahu, ternyata ada sesuatu yang harus direncanakan bersama-sama masyarakat.


Penerimaan peserta KKN oleh pemerintah daerah Demak. (Amanat/Abdul Arif )

Semisal; ketika merencanakan ini, yang diharapkan ini, yang dilakukan ini, yang teribat ini, sumber daya apa yang dibutuhkan, masyarakat punya atau tidak, kalau tak punya mereka memikirkan bagaimana melakukan itu. “Tidak boleh kemudian, karena idenya bagus dan menarik tapi tak punya dana. Lalu mencoba ke bupati. Itu bukan menguatkan masyarakat, tapi melemahkan. Kecuali melalui diskusi dengan masyarakat terlebih dulu.” jelas Mahmudi. Berpokok Kekuatan Internal

Dalam PAR, yang utama adalah perubahan-perubahan itu bertumpu pada kekuatan-kekuatan internal masyarakat, dan bukan bertumpu pada kekuatan-kekuatan eksternal. Kalau bertumpu pada kekuatan eksternal, maka jadinya “keropos”. Menjadikan masyarakat menjadi peminta-minta, dan hal itu tidak diperbolehkan karena martabat. PAR memperjuangkan apa yang dinamakan derajat kehidupan, pendidikan dan juga martabat masyarakat.

“Jadi tidak boleh, karena mengejar kehidupan, malah mengorbankan harga diri. Harga diri adalah hal yang fundamental,” jelas Mahmudi. Mahmudi menjelaskan, karena PAR itu berbasis internal, maka ia akan terus berjalan meski telah ditinggal pulang peneliti. Kemampuan mahasiswa untuk meneliti dengan model seperti ini sangat terbatas, karena metodologi riset yang dipahami di kampus biasanya adalah konvensional. Yang perlu diperhatikan adalah, apakah penelitian itu mendorong perubahan masyarakat yang lebih kuat atau sesungguhnya menginginkan masyarakat sesuai apa yang diinginkan peneliti? Selain itu, dalam penelitian PAR, hubungan antara mahasiswa dan dosen berubah. Mereka bukan lagi murid dan guru, tapi anggota komunitas untuk memproduksi pengetahuan. “Riset tidak ada hubungannya dengan pangkat atau status. Tapi, riset berhubungan dengan jam terbang” Kata Mahmudi. Bunga Rampai

Amanat

103


Sejak dikenalkannya PAR ke PTAI seluruh Indonesia oleh Mamudi, penelitian itu tidak langsung berkembang dengan cepat karena tidak semua PTAI menggunakan PAR dalam KKN. Hal itu lantaran PAR membutuhkan waktu yang cukup lama, baik dalam memahami konsep PAR maupun saat melakukan penelitian. Pun biasanya memerlukan biaya cukup besar. Integrasi mata kuliah Cukup lambatnya perkembangan PAR di kampus menurut Mahmudi, lantaran metodologi itu belum diajarkan di bangku perkuliahan. Dan juga, tidak semua dosen mengerti PAR. Hal itu bisa dimengerti, karena PAR memang belum dimasukkan ke dalam materi perkuliahan mata kuliah metodologi penelitian. Selama ini, metodologi yang diajarkan hanya sebatas metodologi dalam pembuatan skripsi. Di IAIN Walisongo Semarang, pengintegrasian PAR ke dalam mata kuliah metodologi penelitian memang belum dilakukan. Metodologi yang diajarkan masih konvensional, seperti yang diungkapkan mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Meiwan Dani Ristanto. “Saya tidak tahu apa itu Partisipatory Action Research, karena belum diajarkan dalam kuliah,” kata mahasiswa semester delapan, salah satu peserta KKN ke-60. Ketua Pusat Pengabdian Kepada Masyarakat (PPM), Muhsin Jamil mengatakan, memang harus ada suatu upaya yang mendorong dosen pengampu mata kuliah metodologi penelitian untuk mengajarkan berbagai macam metodologi pengembangan masyarakat yang bisa digunakan

104

Amanat Bunga Rampai

oleh mahasiswa atau pun dosen dalam melakukan pengembangan. “Nanti ketika ada pengembangan kurikulum bisa dicoba untuk mengintegrasikan kepentingan fasilitasi pemberdayaan masyarakat ke dalam kurikulum kita. Nanti kita evaluasi.” papar Jamil. Menurut Staf Balai Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kota Semarang, Joko Tri Hariyanto, problem terkait penelitian di kampus selama ini adalah, kegiatannya berjalan sendiri-sendiri. KKN dan perkuliahan berjalan sendiri-sendiri, sehingga tidak ada keterkaitan. Maka dari itu, penelitian PAR bisa diintegrasikan dengan KKN maupun kegiatan penelitian lainnya. Jadi untuk mata kuliah metodologi, Sistem Kredit Semester (SKS)-nya bisa ditambah, sehingga materi PAR bisa dimatangkan di dalam kuliah. Joko menambahkan, selama ini KKN dilakukan setelah mahasiswa menyelesaikan semua mata kuliahnya, dan selanjutnya mahasiswa tinggal mengerjakan skripsi. Dari itu, Joko mencontohkan langkah alternatif, misalnya; di fakultas dan jurusan tertentu, antara penelitian KKN menggunakan penelitian PAR dengan skripsi bisa dikolaborasikan. “Jadi, laporan KKN PAR bisa ditindaklanjuti sebagai skripsi. Artinya, mahasiswa membuat dua laporan sekaligus, yaitu laporan KKN dan laporan skripsi dari hasil penelitian PAR.” kata Joko.

Reporter : Rohman Kusriyono Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 121/ Februari 2013


Cepat Sarjana dengan Semester Pendek Menjadi sarjana. Itulah kata akhir yang yang menjadi tujuan dari sebagian besar mahasiswa. Sebuah predikat akademik yang diperoleh setelah sekian lama menempuh masa perkuliahan. Walaupun sebagian mereka puas dengan gelar diperoleh menempuh setelah sekian masa banyak yang tidak kesarjanaannya. Disadari atau tidak, IAIN sebagai sebuah institusi pendidikan, ternyata dalam meluluskan mahasiswanya termasuk lambat, dibanding dengan Perguruan Tinggi Negeri lain di Jawa Tengah. Hal ini pernah ditulis oleh LPM Justisia dalam sebuah artikelnya beberapa edisi yang lalu. Dalam artikel tersebut dituliskan, sebagai contoh, setelah melalui penelitian, di fakultas Syari’ah rata-rata kelulusannya sekitar lima setengah tahun. Usia tersebut cukup lama jika dibandingkan dengan perguruan tinggi lain yang rata-rata hanya memerlukan waktu empat setengah tahun. Itu di Fakultas Syari’ah,bagaimana dengan fakultas yang lain, terutama fakultas yang menerapkan program minor. Melihat fenomena diatas, ternyata Institut cukup sigap. Walaupun agak tertinggal dengan perguruan tinggi lain, kini, Institut sedang memper-

siapkan sebuah kiat baru. Yakni Program Semester Pendek. Sebuah upaya untuk mempercepat mahasiswa dalam menyelesaikan proses studi. Program ini akan segera diberlakukan. Rencananya adalah pada masa libur panjang semester genap tahun ini. Dr. Abdul Djamil, MA selaku PRI (bagian akademik) ditunjuk sebagai ketua tim perumus sekaligus penanggung jawab program ini. Djamil menjelaskan, bahwa Program semester pendek merupakan langkah yang diambil Institut dalam rangka deregulasi akademik di Walisongo sebagaimana yang tertulis dalam Pedoman Akademik pasal 49 tentang Pendek semester pendek. Tapi walaupun program ini akan tdijalankan secepatnya, Djamil belum rinci, bagaimana teknik operasionalnya. “Saya belum bisa menjelaskan secara rinci, karena Juknisnya (Petunjuk Teknis red) masih terus digodog dan untuk operasionalisasinya membutuhkan SK Rektor. Persyaratan Ketat

Meskipun demikian, Djamil sepintas menjelaskan, bahwa program ini memerlukan persyaratan ketat. Dia Bunga Rampai

Amanat

105


Semester pendek; Jangan sampai terjebak pragmatism akademik (Dok. Amanat)

menjelaskan, program ini diprioritaskan untuk mahasiswa yang minimal telah menempuh enam smester. Sehingga nanti tidak ada lagi istilah mahasiswa terkena D.O. Karena keterbatasan dosen, tidak mungkin program ini dibuka secara umum. Peserta program ini juga dituntut mengikuti seluruh perkuliahan. Karena sesuai dengan namanya, perkuliahan diadakan hanya selama satu bulan. Jika setiap dua SKS memerlukan 12 kali pertemuan, maka dalam satu minggunya setiap mata kuliah memerlukan tiga kali pertemuan. Lantas bagaimana masalah pendanaannya? Rencananya peserta akan dipungut biaya yang dihitung per SKS. “Dimanapun yang namanya semester pendek itu bayar,� demikian jelas Djamil. Mengenai berapa “harga� per SKS, PR baru ini mengisayarat-

106

Amanat Bunga Rampai

kan antara sepuluh sampai duabelas ribu rupiah. Terakhir dia menegaskan, walaupun tujuannya untuk mempercepat masa kuliah, kualitas akademik jangan sampai di abaikan. Semoga kita tidak terjebak dengan program ini. Hanya karena pertimbangan pragmatis; cepat menjadi sarjana, mahasiswa jadi asik sibuk kuliah, sementara kualitas akademik dan aspek pengabdian masyarakat yang menjadi salah satu pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi menjadi terabaikan. Reporter: irin, ing Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 80/Februari 2000


Beradu ‘Takdir’ di Ujian Akhir Sejumlah mahasiswa mengaku menjadi korban menjelang ujian akhir. Dari prosedur yang dipersulit sampai dipaksa menyerahkan segepok duit.

Bersandar di kursi merahnya, sore itu, raut wajah Muhammad tiba-tiba kelihatan pucat. Ditemui di kosnya, mahasiswa semester XII fakultas Tarbiyah itu tak mampu menyembunyikan kekesalannya atas model birokrasi di fakultasnya. Ia tampak pasrah dengan kejadian yang baru saja menimpanya.

mun, hanya dua mahasiswa mampu mengikuti ujian di kemudian hari.

Sebenarnya, kata Muhammad, jika saja dosen penguji tidak mempersulit urusannya, ia pasti dapat diwisuda April ini. “Saya sudah berusaha mengajukan ujian Munaqasah lagi, tapi kata penguji jangan dulu,” akunya.

Untung tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Nasib mujur sepertinya juga belum mau bersandar di Muhammad dan beberapa kawannya. Meski usaha keras mereka tak beda dengan rekan yang lolos, mereka tetap tak bisa ikut ujian putaran berikutnya. Usaha Muhammad sendiri mentok akibat terganjal prosedur yang dipersulit. Mahasiswa yang mencari biaya kuliah sendiri itu pun harus meratapi kesedihannya di tengah kegembiraan rekan-rekannya.

Ikhwal kasus yang mendera Muhammad itu sebenarnya berawal dari gegernya panen ketidaklulusan di fakultas Tarbiyah awal Maret lalu. Tercatat, dalam sejarah tervaforit itu, sembilan mahasiswa gagal lulus ujian Munaqasah. Dari sederet angka itu, akhirnya ditolerir dengan diikutkan pada ujian putaran berikutnya. Na-

Parahnya, beberapa yang tidak lulus pada ujian pertama, banyak yang terganjal pada persoalan di luar akademis. Seperti yang dibeberkan Musyafa’ Rusdie misalnya. Ketua DPMI (Dewan Perwakilan Mahasiswa Institut) itu harus menelan ‘pil pahit’ saat ujian Munaqasah. Kini, nasibnya segaris dengan Muhammad. Bunga Rampai

Amanat

107


Kasus yang menimpa mahasiswa Tarbiyah semester XII itu dinilai merisaukan. Menurut beberapa sumber di fakultas Tarbiyah menyebutkan, penyebab ketidaklulusan Musyafa’ lantaran Abdul Mutholib, pembimbingnya, merasa ‘selipan’ yang diberikan Musyafa’ kurang ‘mematuhi tarif. “Dosen itu mematok tarif 150 ribu sampai 200 ribu,” ungkap Sekretaris Komisi C DPMI M. Rikza Chamami. Rikza lebih lanjut menambahkan, di satu sisi kemampuan akademik Musyafa’ memang tergolong biasa saja. Namun ia yakin pada kasus Musyafa’, indikasi keterlibatan penguji tak bisa dielakkan. Pasalnya, prosedur di fakultas ini naskah ujian tak diserahkan ke panitia ujian. Melainkan langsung disodorkan ke pengujinya. Kesempatan inilah yang menjadikan ruang bebas terjadinya kongkalikong antara dosen dan mahasiswa. “Meski tidak terang-terangan, penguji Musyafa’ seperti juga yang diakui beberapa lulusan yang pernah mengikuti bimbingannya, seringkali meminta ‘tips’ dari mahasiswa,” tandas aktivis fakultas Tarbiyah itu. Namun hal ini dibantah oleh Dekan Tarbiyah, Drs. Mustaqim. ‘‘Musyafa’ memang tidak siap, karena saya tahu persis itu. Penguji yang keempat-empatnya itu mangatakan tidak lulus,” tegasnya. ketidaklulusannya, tambah Mustaqim, karena memenuhi. faktor antara buku refererensi kurang memenuhi. Mustaqim juga mengelak jika ketidaklulusan Musyafa’ disebabkan dendam politik. “Tidak ada, itu karena memang ketidaksiapan dia. Wong itu bersifat terbuka siapapun bisa meli-

108

Amanat Bunga Rampai

hat. Jadi itu memang objektif. Tidak ada kasus politik,” katanya. Atas kegagalan ini, Musyafa’ pun sadar dengan memperbaiki naskah secepatnya. Konsultasi sudah bolak-balik diikutinya. Tanggal 8 Maret lalu, sebenarnya dipastikan menjadi hari baiknya untuk melaksanakan ujian akhir. “Pak Zubaidi (Waktu itu PD I Tarbiyah) pun menyatakan telah siap,” tandasnya. Namun, lagi-lagi harapan tinggal harapan. Ia gagal lagi menembus tembok besar birokrasi fakultas. Naskahnya batal diujikan lantaran salah satu sang pengujinya (M) selalu sulit ditemui. Untuk menemuinya, katanya, jangan sesekali menanggalkan buah tangan untuknya. Sementara di Ushuluddin, beberapa waktu lalu digegerkan ketidaklulusan Abdu Rouf (mantan Presiden BEMI). Menurut sumber di Ushuluddin, kegagalan Rouf disebabkan bukan masalah kemampuan akademis. Melainkan ada kepentingan pribadi antara Rouf dengan SS, pengujinya. Lantas, keadaaan inilah yang menyebabkan mahasiswa berada di pihak yang lemah. Mereka yang ingin cepat diuji, harus siap sami’na waatha’na di kemampuan akademis. Beragam permintaan penguji harus dikabulkan mahasiswa. Tak ayal, untuk memuluskan jalan agar tak berbelit, banyak mahasiswa yang harus pasrah merogoh koceknya yang juga tak sedikit. Bahkan Irwan Hamzani mahasiswa Jurusan Siyasah Jinayah 99 harus takhluk dengan penguji karena diusir dari majlis ketika sidang Mu-


(Dok. Amanat)

naqasah berlangsung Maret lalu. Tidak jelas penyebab pengusiran itu, apakah tak adanya ‘uang pelicin’ atau sebab lain. Sumber yang dihimpun AMANAT mengatakan, kemarahan penguji justru disulut karena penguji tidak memahami skripsinya. “Cari pembimbing yang lain,” ungkap mahasiswa yang skripsinya berjudul “Konsep Pemerintahan Dalam Perspektif Islam; Studi Analisis Terhadap Pemikiran Tafiyudin Al-Nabbani” menirukan umpatan sang penguji. “Aku pernah enggak melakukannva. karena aku tahu kondisi riil mahasiswa IAIN Walisongo semuanya orang yang kebanyakan tidak punya alias kere,” tegas Fatah Idris, salah satu dosen penguji Irwan ketika dikonfirmasi mengenai keterlibatannya dalam kasus Irwan.

Lebih lanjut, Fatah Idris juga menyatakan tidak pernah menemukan dosen Syari’ah yang meminta uang sebagai pelicin dari mahasiswa. “Mana tega dosen melakukan atau menerima suap dari mahasiswa. Saya rasa tidak ada dosen yang melakukan hal seperti itu,” katanya. Sudah Tradisi

Sementara RS, mahasiswi Tarbiyah ‘98 juga mengakui, pernah memberikan uang atau jajan kepada Abdul Mutholib. Ia merasa, tindakan dilakukannya adalah hal yang wajar. “Masak kita sudah menyita waktu untuk bimbingan kok tidak komo-komo (pengertian),” aku mahasiswi yang lulus April lalu itu. Lain halnya, yang pernah dialami oleh Zaenab, (bukan nama yang seBunga Rampai

Amanat

109


benarnya alumni fakultas Tarbiyah 95). Ia mengalami hal yang tak jauh berbeda. Katanya, pelicin masalah dalam memberikan pembimbingan dengan Pak Tolib itu sudah menjadi tradisi. “Dulu pada masa angkatan saya, ada yang setiap kali bimbingan itu memberikan uang pelicin 50 ribu, bingkisan berupa sarung dan jajan,” ungkapnya. Tak kalah menariknya, tambahnya, tiket transportasi bulak-balik Pemalang- Semarang pun minta ditanggung beres. Sang penguji, Abdul Mutholib, LC ketika dikonfirmasi membantah jika dia telah meminta sesuatu dari para mahasiswa apalagi memberlakukan tarif. “Tidak benar itu,” Namun ia juga mengaku jika sering menerima amplop atau jajan yang diberikan oleh mahasiswa.”Wong dikasih kok ditolak, apa salah menerima pemberian,” jawabnya enteng. Menurutnya, syarat kelulusan bimbingan atau ujian dengannya bukan karena amplop. “Dulu ada yang nggak ngasih apa-apa lulus juga lulus. Kalau nggak ngasih apa-apa nggak lulus, baru berarti saya ngelulusin karena ngasih apa-apa. Tapi kalau nggak ngasih apa-apa ia lulus gimana?” jawabnya mantab. Aksi pasang tarif dan amplop pun tak terhindarkan terus terjadi. Namun tindakan yang menjangkit beberapa oknum dosen pembimbing dan penguji ini ternyata tak lepas dari mahasiswa sendiri. permintaan Di samping sang dosen, memang hasil investigasi AMANAT menyimpulkan, peran mahasiswa justru cukup besar dibanding dengan dosennya. Praktis, yang terjadi bak di pasar gelap. Prinsip yang dipakai tentunya ADS (Asal Dosen Senang).

110

Amanat Bunga Rampai

Ida, mahasiswa Fakultas Tarbiyah 98, mengakui bahwa dirinya tidak merasa kalau pembimbingnya adalah minta disuap. “Sepertinya dia menganggapnya sebagai keluarga sendiri, ya disuruh makan, solat berjamaah bersama-sama dengan keluarganya. Ya terus terang sebagai ucapan terimakasih saya kepada pak Tolib, yang jelas ngasih amplop sama dia besar. Dan itu wajar-wajar saja,” ungkapnya. Namun menurut Ali Imron, mahasiswa fakultas Syari’ah ‘98, pola itu dilakukan ketika mahasiswa mempunyai masalah yang tidak ingin mempersulit mahasiswa itu sendiri. “Sehingga akan pembimbing yang istilah bahasa jawanya tegasnya. ketika mahasiswa menyuap para Tambahnya, sebenarnya hal seneng podo senenge, itu tak akan pernah terjadi kalaupun mahasiswa yang melakukan tindakan kriminal itu diberi sanksi tegas tidak diperbolehkan ujian. “Jika itu (penyuapan-red) terjadi maka yang bersangkutan akan dilaporkan ke kepolisian,” tandas Pembantu Dekan I Fakultas Da’wah, DR. Abdul Hakim, berapi-api. Dengan tegas ia mengatakan, meski sampai kini dirinya belum mendapat laporan ia berjanji akan menindak tegas jika ada mahasiswa atau dosen yang atau melakukannya. Demikian juga Mustaqim yang menyatakan, siap menerima laporan terjadinya penyuapan karena hal itu sangat merugikan iklim akademik. Lanjutnya, ia berjanji akan memberikan tindakan tegas bagi yang melakukannya. “Nanti akan saya bawa ke sidang senat,” tegasnya. Masih Bermasalah Pelaksanaan Ujian Akhir(-


komprehensip dan munaqosah) terbaru, yang disahkan SK Rektor ini tak pelak masih banyak menuai masalah. Belum lagi sistem administrasi ujian yang ujian akhir semrawut. Pembatalan penguji, birokrasi yang berbelit sampai persoalan politik yang tak henti antar dosen penguji. Seperti dilakukan DR. Mujiono yang enggan menjadi penguji beberapa yang enggan menjadi penguji beberapa waktu lalu. Kata mantan Ketua Jurusan Jinasah Siyasah itu, tindakannya dilakukan sebagai bentuk protes saja. “Ya, pokoknya proteslah,” jelasnya singkat. Mahasiswa akhirnya ditakuti kekhawatiran akan menjadi korban persoalan yang kompleks di atas. Belum lagi kelemahan-kelemahan model ujian akhir ini pun selalu muncul di berbagai fakultas. Seperti yang pernah dialami beberapa mahasiswa Syari’ah awal Mei ini. Menurut pengakuan Ahmad, dirinya harus menjadi korban keteledoran dosen penyeleksi judul di jurusan Akhawalush Sakhsiyah. Skripsinya yang telah mencapai bab III harus rela diganti karena menurut dosen pembimbing mengatakan judul yang diajukannya sudah pernah ada yang membuatnya. “Kejadian yang saya alami tak akan terjadi petugas yang menyeleksi judul dengan teliti mengecek dalam data sebelumnya,” ungkapnya dengan penuh kekecewaaan.

Selain Ahmad, nasib lebih memprihatinkan juga dialami Sulis, teman seangkatan Ahmad. Sulis seharusnya sudah diwisuda April lalu. Ia pasrah menuruti permintaan pembimbingnya mengganti skripsinya. Padahal wakti itu, Sulis tengah mempersiapkan ujian Munaqasah karena ia telah mencapai BAB V. Menanggapi kasus yang berkembang di fakultas Syari’ ah tersebut, Dekan Fakultas Syariah, Muhibbin MAg siap memberikan sanksi sesuai prosedur akademik bagi pelanggar. Tidak berbeda dengan dekan-dekan lainnya, Muhibbin juga sepertinya belum mendengar masalah yang muncul di sivitas. Sampai kini, kasus serupa terus berlanjut tak ada titik hentinya. pihak-pihak Sayangnya, seharusnya tanggap dan bertanggunig yang jawab menyelesaikan masalah itu seakan tak mendengar. Sampai kapan? Tim Laput Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 96/ Mei 2003

Bunga Rampai

Amanat

111


112

Amanat Bunga Rampai


Aksi Untuk Berbelitnya Pengajuan Skripsi Merasa birokrasi dipersulit, mahasiswa melakukan aksi solidaritas dan mogok kuliah.

Kalau aksi yang bernuansa politis, sering terjadi di Pekalongan, seperti aksi boikot terhadap kehadiran Rhoma Irama di Buaran, yang berbuntut dengan kekerasan. Sedangkan aksi terhadap birokrasi skripsi, baru kali ini dilakukan oleh mahasiswa IAIN Walisongo Pekalongan yang kini telah berubah statusnya menjadi STAIN. Aksi tersebut disponsori oleh sebagian mahasiswa yang kelulusannya terhambat gara-gara biro skripsi kurang maksimal dalam persiapan pengajuan judul maupun proposal. Tidak sedikit dari mereka yang mengeluh lantaran harus menuggu lama untuk mengajukannya. Keluhan seperti hampir terdengar setiap hari, bahkan sebagian mahasiswa baru yang nota-bane sebagai new comer juga tanggap dan mengerti akan keresahan mereka, mengingat apa yang mereka rasakan saat ini akan menimpanya dikemudian hari. Ibarat bisul yang kian lama kian membengkak, mereka tidak tahan memendam kekesalanya sehingga timbul tekad untuk mengadakan aksi.

Kronologi

Aksi dimulai hari Selasa, 6 Mei 1997 pukul 10.00 BBWI , yang sebelumnya sudah dipersiapkan dengan matang. Mahasiswa berkumpul untuk mengadakan mimbar bebas disertai dengan slogan-slogan yang berisi kritik dan tuntutan. Tuntutan yang diajukan masih dalam seputar skripsi, yaitu agar biaya pengajuan proposal dihapuskan atau ditiadakan. Aksi dilanjutkan dengan demonstrasi yang dilakukan esok harinya yaitu dengan mogok kuliah, bila tuntutan tidak dipenuhi. Nampaknya pihak akademis tanggap dan respon dengan aksi tersebut, maka pada tanggal 7 Mei 1997 pihak akademis mengajak mahasiswa untuk berdialog yang dipimpin langsung oleh Plh Dekan Drs. Rozikin Daman. Dihadapan mahasiswa pihak dekanat menyatakan kesanggupan untuk memenuhi tuntutan mahasiswa tentang pembenahan biro skripsi dan penghapusan uang proposal. Pihaknya akan segera memperbaiki dan menambah Bunga Rampai

Amanat

113


Skripsi kenapa dipersulit (Dok. Amanat)

personil yang akan menangani skripsi, sedang mengenai biaya pengajuan proposal ia menjelaskan bahwa hal itu merupakan hasil persetujuan bersama antara mahasiswa dahulu dengan pihak akademis, yang berkaitan dengan uang lelah (bantuan) untuk dosen biro skripsi. “Apabila mahasiswa sekarang menghendaki biaya tersebut dihapus, pihaknya akan segera menghapus pula,” tegas Rozikin. Aksi singkat tersebut diikuti oleh seluruh KMA yang ada, namun dari KMA 95’ terlihat sangat antusias, meskipun sebagian mereka belum interes dengan hal semacam itu. Hal ini cukup menarik, terutama jika dilihat dari aspek solidaritas. Arifin menengarai, bahwa mereka tidak bermaksud sekedar meramaikan aksi tersebut, melainkan perasaan satu keluarga yang sudah

114

Amanat Bunga Rampai

tertanam dalam hati mereka. “Ibarat orang tua yang salah maka yang muda wajib mengingatkan,” tegas mahasiswa KMK 95’. Rupanya feeling seperti itu, lanjutnya, dapat membuka wacana baru untuk menangkal image yang telah berkembang bahwa mahasiswa IAIN Walisongo Pekalongan mudah untuk direkayasa dan tanpa adanya gerakan politik konstruktif. Hal ini dibenarkan oleh aktifis yang lain, M. Harun, menurutnya aksi itu setidaknya sudah memberikan sedikit gambaran ternyata mahasiswa Pekalongan (IAIN) mampu menggebrak guna memperbarui tatanan dan sistem yang lebih baik, di mana selama ini mahasiswa dipandang kurang kritis terhadap fenomena yang terjadi. Dari sejumlah mahasiswa yang ada, banyak juga dari mereka yang masa bodoh dan tidak mau tahu dengan keadaan yang sedang bergejolak,


karena alasan dari mereka takut terhadap provokasi dari dosen melalui penghancuran nilai, misalnya nilai “A” diganti “E”. “Mungkin setelah terlaksananya dialog tersebut mahasiswa tidak akan takut dan khawatir lagi terhadap anggapan yang selama ini menghantui pada diri mahasiswa secara pribadi,” tegasnya.

bijakan tersebut ditentukan sewaktu statusnya masih IAIN tidak menyalahi peraturan, karena di pusat (IAIN Walisongo Semarang) tidak menentukan kebijaksanaan secara umum. “Asalkan kebijaksanaan itu atas persetujuan bersama (dekan dan mahasiswa-red) saya kira tidak ada masalah,” ujarnya.

Ketika dikonfirmasikan Drs. H. Achmadi, Pembantu Rektor I, mengaku tidak tahu persoalan tersebut. Ia hanya menandaskan bahwa di Pekalongan mempunyai program sendiri, apalagi setelah statusnya menjadi STAIN. Bahkan, tambahnya kalau ke-

A-Vip Laporan dari Karmani Pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 70/Agustus 1997

Bunga Rampai

Amanat

115


116

Amanat Bunga Rampai


Lulus Tanpa Skripsi Skripsi belum berhasil membentuk mahasiswa seperti yang dicitakan. Butuh opsi lain syarat kelulusan. Skripsi merupakan bagian penting dalam proses pencapaian akademik mahasiswa. Karena masuk dalam kurikulum, skripsi wajib bagi mahasiswa yang akan merampungkan studi strata 1 (S1). Hakikatnya, pemikiran mahasiswa dimanifestasikan ke dalam bentuk sebuah karya, yaitu skripsi. “Skripsi sebagai tonggak kehidupan mahasiswa sebagai komunitas akademik,” kata Muhsin Jamil. Namun, sebagian kalangan menilai, penetapan skripsi sebagai kurikulum pada kenyataannya belum berhasil membawa mahasiswa menjadi seperti yang dicitakan. Skripsi kini tak lagi cerminan komunitas akademik. Sebab, banyak skripsi yang menyebar di perguruan tinggi tak lagi asli. Hal itu paling tidak salah satunya ditandai dengan kian maraknya praktik jual-beli skripsi. Melihat kenyataan itu, Ketua IKIP PGRI Semarang Sudharto, menyatakan penetapan skripsi sebagai kurikulum wajib bagi seluruh mahasiswa S1 perlu dikaji ulang. Skripsi sebaiknya tak dijadikan sebagai satu-satunya alat untuk mengakhiri proses kesarja-

naan mahasiswa. Pasalnya, tak semua mahasiswa memiliki kemampuan membuat skripsi. Hal senada diungkapkan Dosen Fakultas Tarbiyah Abdul Mu’ti. Ia menilai, tak semua mahasiswa memiliki kemampuan menulis. Padahal, skripsi adalah karya yang menuntut adanya kemampuan menulis. “Kalau tak bisa menulis, jangan dipaksa menulis,”ujarnya. Opsi Lain

Sudharto mendesak, perguruan tinggi harus memikirkan alternatif selain skripsi untuk mengakomodasi potensi mahasiswa. Yaitu, dengan memberikan opsi selain skripsi terhadap mahasiswa berdasarkan kemampuan atau minat mahasiswa. Mengingat target akademik mahasiswa bukan diukur dari kemampuan mereka membuat skripsi. Tapi, berdasarkan kompetensi mahasiswa sesuai konsentrasinya. “Jurusan keguruan targetnya dapat mengajar secara profesional, itu sudah cukup,” katanya mencontohkan. Di Amerika Serikat yang tingkat Bunga Rampai

Amanat

117


Wisuda, capaian terakhir mahasiswa dalam menempuh gelar kesarjanaan. (Dok. Amanat)

pendidikannya maju, dalam program kesarjanaan, mahasiswa dibebaskan untuk memilih satu dari tiga opsi untuk mengakhiri studinya sesuai dengan minat dan kemampuan mereka. Yaitu, pertama, lewat jalur ujian komprehensif. Kedua, observasi atau report. Indonesia, kata Sudharto, pernah menerapkan sistem serupa. “Dulu mahasiswa diberi pilihan, mau lulus lewat jalur skripsi atau lewat jalur ujian komprehensif,” terangnya. Sekarang, sistem tersebut bisa diterapkan kembali. Atau, jika perlu, ditambah dengan opsi lain disesuaikan dengan minat dan kebutuhan mahasiswa. Selain skripsi dan ujian komprehensif, mahasiswa diberi kesempatan untuk memilih opsi lain seperti melakukan observasi, membuat report kegiatan, atau menggelar pameran karya. Seperti fakultas teknik dan seni kini, tak lagi memberlakukan skripsi. Mu’ti pun menawarkan alternatif lain. Mahasiswa diberi mata kuliah

118

Amanat Bunga Rampai

tambahan yang berhubungan dengan kemampuan profesionalitasnya. Selanjutnya mahasiswa diwajibkan membuat laporan terkait mata kuliah tersebut yang di dalamnya memuat analisis dan unsur temuan (mini research). Tapi tidak diujikan seperti skripsi. Sebab masih satu paket dengan mata kuliah tersebut. Meski semua opsi yang diberikan berbeda, pada dasarnya, setiap opsi tersebut memiliki bobot dan tingkat kesulitan yang sama. Sebab, hakikatnya, semuanya adalah manifestasi pemikiran mahasiswa (karya). Hanya, distribusinya saja yang berbeda karena menyesuaikan dengan kemampuan dan minat mahasiswa. Menurut Mu’ti, karya tak harus berbentuk skripsi. “Atau dibebaskan saja, tidak ada skripsi,” tantang Mu’ti. Reporter: Khoirul Muzakki Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 115/ Februari 2011


Perpustakaan, Kebal Kritik tak Kunjung Berubah Keluhan mengalir, kritik tidak pernah berhenti dilontarkan, tapi sampai sekarang tak ada perubahan yang berarti, siapa yang salah? Semua pasti setuju bahwa Perpustakaan adalah gudang ilmu. Tak pelak adanya perpus bagi perguruan tinggi wajib hukumnya, karena, selain berfungsi sebagai pusat informasi berfungsi pula mendukung referensi yang diajarkan di perkuliahan. Karena Idealnya seorang mahasiswa yang ingin menjadi intelektual tak akan berhasil tanpa didukung oleh fasilitas buku yang cukup, dan salah satu fasilitas bisa didapat di perpustakaan. Tetapi kenapa dengan jumlah mahasiswa yang ribuan itu IAIN Walisongo belum mempunyai koleksi buku yang memadai ? Baik dari segi jumlah maupun keragaman tema buku sekalipun. Sehingga sampai saat ini harapan itu masih sekedar harapan, perpustakaan yang menjadi kebutuhan primer mahasiswa dalam penyediaan buku referensi masih jauh dari cukup. Sering terjadi mahasiswa terlihat bingung dan jengkel bila mencari buku. Padahal tugas kuliah harus segera dikumpulkan, apalagi jika

musim ujian semesteran atau ujian skripsi mahasiswa harus rela berebut meminjam buku. “Koleksi buku Perpus IAIN masih jauh dari memadai,” keluh Nur Maili Afifah, mahasiswi FS’98. Masih banyak keluhan-keluhan senada yang sering dilontarkan oleh mahasiswa. Kelangkaan buku tidak hanya buku-buku baru bahkan buku yang lama juga tidak ada. Selain itu disamping kurangnya buku mahasiswa juga mengeluh, karena kebanyakan buku ada yang didominasi oleh salah satu penerbit. Itupun kebanyakan buku-buku tekstual yang sudah out of date. Sebenarnya sih, Kekurangan ini bukan tidak disadari oleh pihak pengelola Perpustakaan. Adalah Kepala Perpustakaan, Drs. Noer Ali, yang mengakui kekurangan tersebut “Kita sadar bahwa hanya perpustakaan yang dapat beradaptasi dan mengadopsi perkembangan teknologi informasi yang dapat bertahan sebagai pusat informasi,” tuturnya. Namun untuk memulai, lanjutnya, memang sulit, karena itu terkait dengan per-

Bunga Rampai

Amanat

119


siapan SDM yang berkualitas, sarana prasarana yang diperlukan, dan itu perlu biaya yang tidak sedikit. “Lebih lagi, sumberdaya yang dimiliki perpustakaan IAIN, masih sangat minim untuk dapat berfungsi sebagai jantung IAIN. Kualitas sumberdaya manusia, koleksi, fasilitas, sarana Infrastruktur, semua masih sangat kurang memadai,” jelas dosen Fakultas Syari ah ini. Konsisten Terlambat

Tak hanya itu, Di samping persoalan koleksi buku, masalah kedisiplinan petugas Perpus menyangkut jam buka-tutup juga banyak disoroti mahasiswa. Pada pukul 08.30 banyak mahasiswa sudah menunggu di depan pintu Perpustakaan, tapi pintu tak kunjung dibuka. Padahal disana tertulis besar bahwa jam buka 08.00-13.00. Begitu juga dengan waktu penutupan yang seharusnya pukul 13.00, kenyataannya mahasiswa sudah diperingatkan untuk keluar waktu pukul 11.45, dan ini terjadi hampir setiap hari. “Masak saya harus menunggu setengah jam hanya untuk mengembalikan buku, sementara saya juga harus kuliah,” ujar mahasiwa Fak. Dakwah Angk. 97 yang enggan disebut namanya. Kekecewaan yang sama diungkapkan Kholilurrahman mahasiswa Fakultas Dakwah, “Bagaimana mau kondusif untuk pengembangan intelektual, kalau waktunya saja terlalu sempit,” katanya. Masih menurut Kholil, perpustakaan seharusnya dibuka mulai pagi sampai malam agar mahasiswa benar-benar leluasa membaca.

120

Amanat Bunga Rampai

Tentang kedisiplinan ini lagi-lagi keterbatasan person menjadi alasan dari pihak Perpustakaan, disamping tidak adanya anggaran untuk membayar petugas jika mahasiswa menginginkan Perpustakaan buka sampai malam,” Bagaimana kami mau buka pagi kalau petugas yang datang baru sedikit,” kata seorang petugas yang tidak bersedia menyebut namanya. Dia juga mengakui bahwa kedisiplinan petugas terutama mereka yang bertugas di pelayanan lantai dua masih kurang. Banyak Pencuri

Menyangkut kedisiplinan ternyata tidak hanya mahasiswa yang mengeluh, tapi petugas juga memendam unek-unek yang sama. Mereka mengaku kecewa denga beberapa mahasiswa yang mencuri dan menyobek buku Perpus. Kekecewaan ini tidak sekedar dugaan, karena dari beberapa kejadian banyak yang tertangkap basah, ada pula mahasiswa yang melapor sendiri pada pimpinan Perpus. Bentuk pencurian pun beragam, ada halaman yang di sobek beberapa lembar sampai mengambil satu buku lengkap. Tentang sanksi, yang ketahuan biasanya hanya ditegur, dan ringannya sanksi ini mungkin yang membuat mahasiswa tidak pernah jera. “Saya berharap ada sanksi yang jelas dan lebih berat,” kata Drs. Misgiman, Ka. Subag TU Perpus. Untuk mendeteksi hal itu memang sulit. Sebab pengguna Perpus masuk dan keluar dari satu pintu yang berbeda. Yang menarik pernah ada bungkusan paket yang ternyata berisi 16 buah buku, diletakkan didepan Perpustakaan tanpa


ada keterangan siapa pengirimnya dan untuk siapa. Kasus pencurian ini jelas menimbulkan banyak kerugian, kerugian materi dari pihak Perpustakaan. Tidak hanya dicuri untuk yang meminjampun ada yang bermasalah. Pihak perpus pernah mendata bahwa ada sekitar 100 buku lebih yang belum kembali. “Mungkin buku itu masih dipinjam pengguna perpus atau pengguna yang lain,” kata Kasubag lagi. Ketakdisiplinan mahasiswa yang lain adalah menyangkut motivasi mahasiswa Perpustakaan, selama ini banyak mahasiswa yang datang ke perpus tidak untuk membaca tetapi hanya untuk cuci mata dan hanya untuk ngobrol dengan temannya. Bisa dibayangkan bila pada jam-jam sibuk antara jam 09.00-11.30 Perpustakaan terlihat hiruk pikuk oleh mereka yang benar-benar membaca buku, mencari buku atau yang mengobrol semuanya tumpah ruah dan suasana Perpustakaan menjadi tidak nyaman untuk membaca. Lebih lanjut, tentang berbagai kendala yang ada, pihak Perpustakan sangat berharap kepedulian semua pihak terutama pihak penentu kebijakan IAIN Walisongo, karena apapun usaha yang dilakukan Perpustakan tidak akan ada artinya tanpa dukungan pihak IAIN. “Kami menyadari tuntutan yang semakin mendesak, maka sejak tahun 1998 kami sudah menyiapkan strategi ke depan. Diantaranya, pengadaan koleksi buku, baik melalui pembelian melalui atau dari dana proyek Depag, juga penelusuran buku lewat komputer dan legalisasi,” jelas Noer Ali. Tampaknya kita sudah tahu, perso-

Rak perpustakaan, banyak buku yang hilang? (Dok. Amanat)

alan Perpustakaan sebenarnya tidak hanya milik petugas saja, tetapi juga måhasiswa. marilah kita sama-sama ciptakan perpus yang lebih kondusif untuk membaca. Reporter : Lutfil, Siti, Odix, Muslimin Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 82/ Agustus 2000

Bunga Rampai

Amanat

121


122

Amanat Bunga Rampai


Selubung Modus Wisata Kuliah Kerja Lapangan (KKL) menjadi mata kuliah wajib di beberapa fakultas di IAIN. Meski miskin output, KKL ke daerahdaerah wisata tetap dilanggengkan. Sebelum berangkat KKL ke Bali, Abdul Haris meyakinkan diri, ia pasti akan mendapatkan banyak hal dari hasil KKL. Pikirnya, ia dapat menggali banyak pengalaman dan ilmu yang bisa menunjang bidang keilmuannya. Namun, pandangannya meleset usai KKL. Bukan ilmu yang didapat, ia malah lebih banyak mendapatkan pengalaman euforia bersama teman-temannya di objek wisata Bali. “Lha wong berkunjung di objek KKL cuma tiga jam, sisanya plesiran ke Bali.� Kekecewaan Haris bukan tak mendasar. Apalagi, jika merujuk pada pengertian dan tujuan KKL yang sesungguhnya. Dalam buku Pedoman Akademik disebutkan, KKL adalah kegiatan belajar dilakukan oleh mahasiswa untuk menambah wawasan dan mendapatkan pengalaman nyata dari instansi, lembaga atau organisasi yang berkaitan dengan disiplin keilmuan dan kompetensi yang dikembangkan fakultas. Ketua penyelenggara KKL Fakultas Dakwah Nurbini membenarkan, KKL

memang bertujuan untuk memberi bekal mahasiswa tentang kondisi riil di lapangan atau objek institusi sesuai dengan bidang konsentrasi masing-masing. Namun, disingung terkait tradisi KKL Fakultas Dakwah ke Bali, dosen Manajemen Dakwah itu memandang sah-sah saja. Karena telah melalui mekanisme dan prosedur yang benar. Lagipula, keputusan KKL ke Bali bukanlah keputusan sepihak dari pihak penyelenggara, melainkan hasil kesepakatan dengan mahasiswa. “Mahasiswa diberi pilihan, mereka yang memilih sendiri.� Hal itu dibenarkan MH, salah seorang peserta KKL. Mulanya, mahasiswa dikumpulkan oleh pihak panitia untuk membahas dan menentukan daerah tujuan KKL. Panitia telah mengantongi nama-nama daerah yang akan ditawarkan ke mahasiswa. Tersebutlah, beberapa kota tujuan KKL versi panitia yang sudah tidak asing di telinga masyarakat. Yaitu, daerah kawasan wisata seperti, Surabaya-Bali, Lombok, Jakarta-Bandung dan Yogyakarta. Bunga Rampai

Amanat

123


Lewat cara seperti itu, Nurbini memandang keputusan panitia demokratis. Meski, bagi sebagian mahasiswa, seperti MH keputusan itu masih dianggap otoriter. Sebab, mahasiswa hanya dapat memilih opsi yang telah ditentukan panitia. Apalagi, menurutnya, panitia tak bisa bersikap netral. “Peserta lebih digiring ke opsi Surabaya-Bali atau Lombok.” Ketidakadilan itu menurutnya, juga tampak dari penjelasan panitia yang hanya menunjukkan nama kota tujuan KKL saja, tanpa menjelaskan secara rinci objek-objek KKL yang ada di dalamnya. “Padahal, yang terpenting adalah objek KKL nya, bukan kotanya,” tuturnya. Dominansi Wisata

Tak hanya Fakultas Dakwah, fakultas lain seperti Syari’ah juga memiliki tradisi serupa, KKL. Bedanya, Fakultas Syari’ah melakukan kunjungan KKLnya ke Jakarta. Tapi bukan lewat voting seperti di Fakultas Dakwah. Keputusan mutlak ditentukan oleh birokrasi fakultas. Pembantu Dekan (PD) I Fakultas Syari’ah, Abdul Ghofur mengatakan, keputusan Fakultas Syari’ah untuk menyelenggarakan KKL ke Jakarta melalui pertimbangan matang. Artinya, memang hampir seluruh objek pusat yang memiliki kesesuaian dengan bidang konsentrasi Fakultas Syari’ah berada di sana. Ia mencontohkan, misalnya, Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

124

Amanat Bunga Rampai

“Objeknya memang mengharuskan kita ke sana, tak ada alternatif lain,” jelas Ghofur. Meskipun begitu, Abdul Ghofur menambahkan, agar tak menyimpang dari tujuan awal, waktu KKL Syari’ah hanya difokuskan untuk mengunjungi objek KKL. “Usai berkunjung ke objek KKL, kita langsung pulang.” Hal itu dibenarkan Irfani, salah seorang peserta KKL Syari’ah. Jadwal KKL dipadati acara kunjungan ke objek KKL. “Hampir tak ada waktu untuk mampir ke objek wisata.” Berbeda dengan KKL di fakultas Dakwah. Proporsi kunjungan antara objek KKL dan objek wisata tak berimbang. Lebih besar kunjungan wisatanya. Setidaknya, dari sekitar dua belas objek yang dikunjungi, hanya empat objek saja yang merupakan objek KKL murni. Tiga diantaranya (KKL Minor) bertempat di Surabaya. Yaitu, Yayasan Dana Sosial al-Falah, Kementerian Agama, Harian Jawa Pos. Dan, satu di antaranya bertempat di Bali (KKL Mayor). Yaitu, Pondok Pesantren Bina Insani. MH, salah seorang peserta KKL Fakultas Dakwah mengatakan, KKL Dakwah KKL lebih banyak digunakan untuk berwisata ketimbang mengunjungi objek KKL. “Konsentrasi KKL menjadi kabur,” tegasnya. Abdul Ghofur menilai, sesuai dengan targetnya, KKL harusnya mementingkan kualitas tempat tujuan


Suasana Kuliah Kerja Lapangam (KKL) di pulau dewata. KKL tak lagi memiliki taji karena pada praktiknya mahasiswa hanya diajak plesiran ke tempat-tempat wisata. (Dok. Amanat)

KKL. Bukan pada jauh dekatnya tempat tersebut. Demi efisiensi, semakin dekat objek KKL tersebut, semakin bagus. “Dekat asal berkualitas, lebih baik,” tandasnya. la mencontohkan, Fakultas Syari’ah pernah mengadakan KKL ke Bank Indonesia (BI), dan Bank Muamalah di Semarang. Melihat objek KKL yang dikunjungi Fakultas Dakwah, sebenarnya tak sulit menemukan objek serupa di Semarang, atau seputar Jawa Tengah. Semisal, di Semarang juga ada banyak perusahaan komunikasi, lembaga penerbitan surat kabar, atau lembaga amil zakat.

jibkan mengikutinya sebagai bagian dari tanggung jawab akademik. Dengan ketentuan, seluruh biaya dibebankan kepada mahasiswa. Tak ada subsidi anggaran baik dari pemerintah maupun institut. Hal itulah yang membuat sebagian mahasiswa merasa berkeberatan. Hasan Sadili misalnya, mahasiswa jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) itu merasa dilematis saat hendak mengikuti KKL. Beberapa hari menjelang KKL ia diliputi kegundahan karena uangnya belum cukup untuk melunasi biaya KKL ke Bali sebesar 750 ribu.

Output Rendah

“Saya terpaksa berhutang untuk melunasi biaya KKL,” tuturnya.

Di beberapa fakultas di IAIN, seperti Fakultas Dakwah, dan Syari’ah, KKL manjadi mata kuliah wajib sebagai bagian dari kerangka kurikulum dengan bobot 4 SKS. Mahasiswa diwa-

Bagi mahasiswa sepertinya, tak mudah mendapatkan uang sebesar itu. Tapi apa boleh buat, ia harus memenuhinnya sebagai syarat akademik yang mesti dilalui. Hasan menyayangBunga Rampai

Amanat

125


kan sikap panitia penyelenggara yang tak memahami kondisi ekonomi mahasiswa seperti dirinya. “Jika tidak tuntutan kuliah, saya mending tak ikut,” keluhnya. Ia menyarankan, KKL harusnya disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kepentingan mahasiswa, bukan malah membebani. Apalagi, lanjutnya, ia menilai KKL ke Bali tak memenuhi target. “Sudah bayar mahal, tak dapat apa- apa.” Beda halnya dengan Fakultas Tarbiyah. Fakultas Ilmu Pendidikan ini telah lama meninggalkan tradisi KKL. Ruswan, Pembantu Dekan I Tarbiyah mengatakan, mata kuliah KKL sengaja dihapus dalam sistem kurikulum Tarbiyah.

126

Amanat Bunga Rampai

Pasalnya, menurut Ruswan, di samping biaya KKL yang seluruhnya dibebankan terhadap mahasiswa, selama ini, KKL dini lai kurang fungsional. “Antara input (biaya dan output (hasil) tak seimbang.” Menurutnya, KKL lebih terkesan rekreasi ketimbang studi banding. Atas dasar seperti itu, tak salah jika KKL ditiadakan. Pengajar Sejarah Peradaban Islam fakultas Tarbiyah itu mengatakan, KKL baiknya dijadikan sebagai suplemen tambahan, bukan kewajiban. Reporter : Shodiqin dan Jamil Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 115/ Februari 2011


Membesarkan UKM UKM minim peminat. Potensi besar di dalamnya terabaikan.

Diskusi sore itu tampak sepi. Perkumpulan itu hanya diikuti tidak lebih dari lima orang. Padahal, Jika berangkat semua, peserta diskusi mencapai tiga puluhan orang. Itu adalah suasana diskusi salah satu Unit Keguatan Mahasiswa (UKM) yang diadakan saban minggu. Itu salah satu gambaran kegiatan UKM yang semakin “lesu” sebab penurunan anggota. Minat mahasiswa dalam mengikuti organisasi dirasakan sebagian pengurus UKM semakin menurun. Pengurus UKM Kelompok Studi Mahasiswa Walisongo (KSMW) Khoirul Anam mengamini penurunan itu. Mula pendaftaran, diakuinya, jumlah pendaftar cukup banyak, sekitar empat puluh anggota. Namun, dalam perkembangannya, jumlah itu terus mengalami penurunan. “Yang aktif tak lebih dari sepuluh orang.” Hal senada dialami UKM Nafilah. Melihat jumlah pendaftar anggota baru, cukup menggembirakan. Mulanya, ungkap ketua UKM Nafilah Fatmawati Ningsih, pendaftar anggota

baru mencapal ratusan orang. Namun, dalam perjalanannya, jumlah anggota yang aktif hanya tersisa belasan orang. Hal serupa dialami UKM Mimbar. Ketua UKM Mimbar Ahmad Nasiudin mengungkapkan, minat mahasiswa dalam mengikuti UKM sangat kurang. Pada tahun 2011 misalnya, UKM Mimbar hanya mampu merekrut 16 anggota baru. “Yang aktif sekarang tinggal 6.” Fenomena serupa terjadi di setiap UKM. Terutama, UKM yang bergerak di bidang pengembangan intelektual mahasiswa (UKM Penalaran). Semisal, Nafilah, WEC, AMANAT, An-Niswa, dan KSMW. Pragmatis

Gejala penurunan minat mahasiswa sebenarnya sudah dirasakan sejak lama. Penurunan itu disebabkan banyak faktor. Salah satunya, seperti dituturkan mantan Pembantu Rektor III, Erfan Soebahar, disebabkan oleh perubahan paradigma mahasiswa. Menurutnya, pragmatisme menjadi sebab utama penurunan antusiasme mahasiswa dalam mengikuti organisasi. Bunga Rampai

Amanat

127


“Mahasiswa sekarang lebih pragmatis.”

dan jalur lain. Salah satunya dengan mengikuti UKM.

Mahasiswa, tambah Erfan, cenderung menyukai hal yang bersifat praktis. Organisasi, termasuk UKM di dalamnya, tidak menjalankan prinsip “praktis” tersebut. Sebab, di dalamya membutuhkan ketekunan dan proses belajar lama untuk mencapai harapan yang diinginkan.

“Waktu luang dimanfaatkan ikut UKM,” sarannya.

Ibnu Thalhah membenarkan hal tersebut. Alumnus Surat Kabar Mahasiswa (SKM) AMANAT yang kini bekerja sebagai redaktur Tabloid Cempaka menilai, mahasiswa kini lebih berpikir pragmatis. Mahasiswa lebih berorientasi pada pengejaran nilai kuliah sehingga mengabaikan organisasi. Pengejaran itu tak lain demi memenuhi hasrat pragmatis. “Kuliah cepet lulus, cepet kerja, itu praktis.” Beberapa mahasiswa lebih memilih berfokus pada kuliah, atau bekerja paruh waktu, di banding aktif di UKM. Keduanya dianggap lebih menjanjikan kepraktisan ketimbang mengikuti organisasi. Mahasiswa Fakultas Syariah, Wahyudi misalnya, mengaku tidak mengikuti UKM lantaran alasan sibuk kuliah. Beban tugas perkuliahan menuntutnya untuk fokus terhadap kuliah. “Saya pilih fokus kuliah saja.” Pembantu Rektor III, Darori Amin menyayangkan sikap mahasiswa yang mengabaikan UKM. Menurutnya, untuk mencapai tujuan pendidikan, kuliah saja tak cukup. Mahasiswa dituntut dapat mengembangkan keilmuan

128

Amanat Bunga Rampai

Stagnasi

Minimnya animo mahasiswa mengikuti UKM tak hanya dipengaruhi faktor eksternal. Menurut Ibnu Thalhah, faktor internal juga turut mempengaruhi kemunduran UKM. Semisal, UKM tak memiliki “nilai jual” untuk menarik mahasiswa. Sehingga, mahasiswa lebih memilih mengikuti lembaga atau aktivitas lain yang lebih menjanjikan. “UKM mengalami kemandekan.” Mantan ilustrator harian Suara Merdeka itu menilai, UKM tidak mengalami perkembangan. Padahal, agar mampu bersaing, UKM harus mampu meningkatkan citra. Makanya, UKM perlu membangun kreativitas untuk mendongkrak citra di mata mahasiswa. UKM harus berinovasi.” Hal itu diamini Pembantu Dekan III Fakultas Tarbiyah, Muhammad Ridwan. UKM memiliki peran penting dalam menggait mahasiswa. Menurutnya, tertarik tidaknya mahasiswa dalam mengikuti UKM bergantung dari seberapa besar peran dan manfaat UKM bagi mahasiswa. Terkait hal itu, Kepala Bagian (Kabag) Kemahasiswaan, Priyono mengimbau, UKM perlu melakukan evaluasi agar ke depannya menglebih baik. “UKM seharusnya melakukan evaluasi tahunan,” imbau Priyono.


Beberapa mahasiswa yang tergabung dalam UKM KSMW tengah berdiskusi (Dok. Istimewa). Terhambat Dana

Di sisi lain, UKM sulit mengembangkan diri karena beberapa sebab. Di antaranya, seperti dituturkan ketua UKM Mimbar Nasiudin, karena terhambat dana. Menurutnya, dana yang diberikan pihak birokrasi belum mencukupi kebutuhan UKM. Sering kali, UKM terbentur masalah pembiayaan dalam mengagendakan kegiatan. “Gimana mau berkembang, dananya tidak cukup.” Tak hanya masalah dana. Minimnya fasilitas turut menghambat UKM dalam mengembangkan diri. Menurut Nasiudin birokrasi kurang memberikan perhatian terhadap fasilitas UKM.

Baginya, dana operasional organisasi dari Dana Isian Pengajuan Anggaran (DIPA) sebesar 4,5 juta yang diterima UKM Nafilah tak mencukupi kebutuhan organisasi tersebut selama setahun. Untuk menambal kekurangan, UKM Nafilah biasa mencari dana tambahan dari luar (sponsorship). “Alokasi dana UKM mesti ditambah” harapnya. Banyak Manfaat

Mengikuti UKM bukan merupakan keharusan. Tidak ada peraturan dari kampus yang mewajibkan setiap mahasiswa mengikuti UKM. Mahasiswa punya hak untuk tidak atau aktif mengikuti UKM.

“Fasilitasnya hanya seperti ini,” keluhnya sembari menunjuk gitar yang sudah bopeng.

Meskipun begitu, Muhammad Ridwan menganjurkan pada mahasiswa untuk terlibat dan aktif di dalam UKM.

Sependapat diungkapkan ketua UKM Nafilah, Fatmawati Ningsih.

“Ikut UKM banyak manfaatnya,” sarannya. Bunga Rampai

Amanat

129


Sependapat dengan Erfan Soebahar Guru Besar Ilmu Hadits iní menerangkan. UKM merupakan wadah efektif bagi mahasiswa untuk menempa dan mengembangkan potensi diri, baik dalam keterampilan maupun intelektual.

mpinan, kerja tim, dan komunikasi.

“Aktif di UKM kan gratis, sayang jika tak dimanfaatkan,” kata Erfan.

“Mahasiswa harus multitalenta, karena di era persaingan ini, mengandalkan ijasah saja tak cukup,” tutupnya.

Di samping itu, banyak manfaat lain yang bakal dirasakan mahasiswa ketika mengikuti UKM. Seperti diungkapkan Ibnu Thalhah. Mahasiswa akan mendapatkan ilmu dan pengalaman yang tak didapatkan di bangku kuliah. Di dalam UKM, tambahnya, mahasiswa dapat belajar tentang organisasi yang meliputi, kepemi-

130

Amanat Bunga Rampai

Di samping itu, soft skill yang didapatkan dari UKM dapat digunakan ketika terjun di masyarakat. Misal, untuk mendapatkan pekerjaan sesuai dengan keterampilan yang didapat dari UKM.

Reporter: Rohman Kusriyono dan Ulfa Mutmainnah Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 117/ Januari 2012


Tersendat Sosialisasi Pengelolaan di tangan satu orang. Tak banyak yang tahu dana santunan itu. Dana Mu’awanah itu dana pemerintah untuk keluarga yang ditinggal mati orang tua, kata seorang mahasiswa Fakultas Syariah, Khusni Mubarok. Disoal prosedur pengajuan dana itu, Khusni menjawab: “Semua berkas persyaratan disampaikan kepada Kepala Desa dengan tanda tangan ketua RW setempat.” Pernyataan mahasiswa semester lima itu bertolak belakang dengan keterangan yang disampaikan Pembantu Rektor (PR) III IAIN Walisongo M Darori Amin. Darori mengatakan, dana Mu’awanah dialokasikan untuk mahasiswa yang sedang ditimpa musibah. Dana tersebut dipungut langsung dari mahasiswa setiap semester. Tak ada sosialisasi

Simpang-siur atau minimnya pengetahuan mahasiswa tentang dana Mu’awanah, sebagaimana jawaban Khusni, sebetulnya lumrah. Faktor sosialisasi ditengarai menjadi penyebab tak banyak mahasiswa tahu dana Mu’awanah. Hal itu, sebagaimana dikatakan oleh DS, mahasiswi Fakultas Tarbi-

yah. Mahasiswi yang tak ingin disebut namanya itu baru tahu kalau ada dana santunan untuk mahasiswa. Ia menyayangkan, informasi terkait dana Mu’awanah belum pernah ia dengar. Padahal, beberapa kali ia opname karena tifus. “Kalau saja saya tahu dari dulu,” sesalnya. “Cara meng ajukannya bagaimana?” DS malah balik bertannya. Menurut Darori, dana santunan itu kini ditangani langsung oleh Wakil Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA), Siswoyo. Ia juga menegaskan, sosialisasi Mu’awanah menjadi program DEMA. “Saya hanya mengawal dan mengetahui saja,” tandas Darori. Menanggapi itu Siswoyo mengatakan, pihaknya memang belum pernah melakukan sosialisasi dana Mu’wanah kepada mahasiswa langsung. Dalihmya, keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas (BEMF) sudah mempermudah penyaluran dana itu. “BEMF yang lebih tahu kalau ada mahasiswa kena musibah,” katanya. Bunga Rampai

Amanat

131


Mantan BEM Fakultas Dakwah Aditya Kusuma Wardana membenarkan hal itu. Selama menjabat etua BEM, ia aktif mengawal mahasiswa yang berhak mendapatkan dana Mu’awanah. “Saya ngurusi Mu’awanah paling lama sebulan dan paling cepat seminggu,” katanya. Pria yang dilantik sebagai wakil ketua DEMA pada 23 Januari 2013 itu menegaskan, hal terpenting saat mengawal pengajuan dana Mu’awanah adalah komunikasi antara DEMA dan BEMF. Ia memaklumi jika akhir-akhir ini agak seret lantaran di akhir kepengu rusan DEMA 2012 banyak agenda yang harus diselesaikan. “Saya menyampaikan kepada Siswoyo agar tidak terburu-buru mengurusi dana Mu’awanah. Yang penting tidak terlalu lama,” katanya. Pajabat pun tak tahu

Akhir November lalu, Darori menunjukkan beberapa berkas permohonan dana Mua’wanah yang diajukan mahasiswa. Ia mengatakan, baru tiga bulan terakhir la menyimpan berkas-berkas itu. Sebelumnya, ia mengaku tak pernah mengarsipkan berkas-berkas itu. la menuturkan, beberapa pejabat fakultas sempat mengeluhkan aliran dana Mua’wanah. “Ketika ditangani Siswoyo, awalnya memang bagus. Tapi, akhir-akhir ini seret lagi,” ungkapnya. Darori berharap, kepengurusan DEMA 2013 mampu memecahkan persoalan itu. “DEMA perlu melakukan sosialisasi dana Mua’wanah,” katanya. Ia menyarankan agar agenda seperti OPAK dioptimalkan untuk mengenalkan Mu’awanah. “Sosialisa-

132

Amanat Bunga Rampai

si harus dilakukan di lingkup institut dan fakultas,” tegasnya. Ketika disoal pedoman tertulis dana Mu’awanah, Darori hanya menggeleng. “Saya belum pernah melihat dan membacanya,” katanya. Setahunya, ada tiga kategori mahasiswa yang bisa dibantu dengan dana itu. “Mahasiswa yang orang tuanya meninggal dunia, mahasiswa yang opname, dan mahasiswa yang meninggal dunia, paparnya. Dosen Filsafat Fakultas Ushuludin (FU) itu lantas menyarankan agar mencari kejelasan ke Bagian Akademik dan Kemahasiswaan. Namun sayang, Kasubag Administrasi dan Kemahasiswaan Akhmad Fauzin juga memberikan jawaban yang sama. Fauzin yang baru menduduki jabatan sejak Oktober 2012 itu pun tak banyak tahu pedoman tertulis dana Mu’awanah. Mantan Kasubag Kemahasiswaan Muhaemin pun tak banyak tahu. “Yang mengurus PR III dan DEMA langsung,” jelasnya. “Coba tanyakan kepada PR III dan DEMA,” Muhaemin menyarankan. Dipegang DEMA

Juli lalu, kemahasiswaan mengalihkan penarikan dana non-SPP kepada DEMA. Sejak itu, semua dana kegiatan kemahasiswaan periode 2012, termasuk dana Mu’awanah masuk ke rekening DEMA. Rinciannya, tertera pada sebuah dokumen yang diterbitkan DEMA, 11Juli 2012 lalu. Dokumen yang ditandatangani oleh PR III dan ketua DEMA itu menyebutkan, setiap mahasiswa dipungut Rp 5 ribu tiap semester untuk alokasi dana Mu’awanah. Data dari Sistem Informasi (SI) menunjukkan, mahasiswa aktif se-


mester gasal sejumlah 7284 orang. Jika dikalkulasi, jumlah dana Mua’wanah semester gasal 2012 mencapai Rp 46 jutaan. Dikelola satu orang

Medio Desember lalu, melalui pesan singkat Fauzin mengabarkan jika pedoman dana santunan itu sudah berada di mejanya. Pedoman yang hanya dua lembar itu, baru saja diserahkan oleh Siswoyo kepadanya. Keterangan di pojok bawah bagian kanan lembaran menunjukkan, dokumen itu diterbitkan pada 8 Maret 2012. Menurut pedoman itu, dana Mu’awanah dialokasikan untuk mahasiswa yang tertimpa musibah. Ketentuannya, ada empat kriteria. Pertama, jika mahasiswa atau keluarga kandung mahasiswa meninggal berhak mendapat dana santunan Mu’awanah. Jika yang meninggal mahasiswa, mendapat Rp 1 juta. Jika yang meninggal keluarga kandungnya, mendapat Rp 500 ribu. Syaratnya, mahasiswa mengajukan permohonan kepada PR III/ DEMA dengan menyertakan foto copy (fc) Kartu Tanda Mahasiswa (KTM), fc kartu keluarga, fc surat keterangan kematian dari pejabat berwenang, dan surat permohonan dari BEMF yang diketahui Pembantu Dekan (PD) III dan ketua BEMF. Kedua, mahasiswa atau keluarga kandungnya sakit berhak mendapatkan dana santunan Mu’awanah sebesar Rp 700 ribu atau 40% dari biaya pengobatan. Syaratnya, dengan mengajukan permohonan yang dilampiri fc KTM dan fc kuitansi pembayaran dari rumah sakit.

Ketika ditemui di kampus 1, Siswoyo mengatakan, periode sebelumnya hanya ada dua kriteria penerima dana santunan itu. “Saya mengusulkan dua lagi, yaitu mahasiswa yang tertimpa musibah bencana dan yang kehilangan motor di kampus,” jelasnya. Namun, tambahnya, “Usulan itu belum sepenuhnya disetujui oleh PR III.” Meski begitu, dalam ketentuan tetap ia cantumkan. Disebutkan, bagi keluarga mahasiswa yang tertimpa musibah alam juga berhak mendapatkan dana santunan Mu’awanah sebesar Rp 1 juta. Sedangkan bagi mahasiswa yang kehilangan motor di lingkungan kampus IAIN Walisongo berhak mendapatkan santunan Mu’awanah sebesar Rp 1 juta. Siswoyo mengatakan, pengelolaan dana Mu’awanah hanya di tangan satu orang. Hal itulah yang menurutnya menjadi kendala. Bahkan, baru-baru ini ia mengaku kehilangan dokumen penting terkait penerima dana itu. Di kantor DEMA, Aditya memaparkan rencananya terkait pengelolaan dana Mu’awanah ke depan. Ia optimistis, dengan memperkuat komunikasi dengan BEMF serta UKMI di lingkungan IAIN Walisongo Semarang, pengelolaan dana Mua’wanah bakal lancar. Disoal sosialisasi, ia hanya menjawab masih dalam persiapan. “Minggu depan setelah dilantik, saya langsung beraksi,” katanya optimistis. Reporter : Abdul Arif Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 120/ Februari 2013

Bunga Rampai

Amanat

133


134

Amanat Bunga Rampai


Mengislamkan Mahasiswa UIN Hampir setengah dari total mahasiswa yang diterima berasal dari sekolah umum. Sebagian dari mereka minim pengetahuan keagamaan. Senin itu, matahari baru naik sepenggalan, Habibi keluar dari ruang kelas di gedung H Fakultas Syariah UIN Walisongo Semarang, ia merasa lega keluar ruangan itu. Sebab, selama 1,5 jam mengikuti pelajaran mata kuliah Ulumul Qur’an, pikiran dan hatinya merasa terbelenggu karena sama sekali tidak memahami pelajaran yang disampaikan dosen pagi itu. “Saya banyak tidak paham materi yang disampaikan oleh dosen,” tutur Habibi. Bagi Habibi, banyak istilah baru yang sama sekali asing baginya. Padahal mata kuliah itu termasuk mata kuliah dasar. Sebelum masuk kuliah UIN, ia tidak banyak diajarkan kuliah keagamaan di sekolahnya dulu. Pria itu sekolah di sebuah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di daerah asalnya. Satu-satunya pelajaran agama yang dia dapatkan hanya Pendidikan Agama Islam (PAI). Setali tiga uang, kendala tersebut tidak hanya dialami oleh mahasiswa semester awal, akan tetapi juga dirasakan oleh mahasiswa semester akh-

ir. Mahasiswa semester delapan program studi Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyyah (PGMI), Alif Arfiyansyah mengaku, terpaksa mengulang catu mata kuliah di semester delapan. Lantaran tidak lulus mata kuliah Pembelajaran Bahasa Arab MI. Ia merasa kesulitan dalam mengikuti mata kuliah keagamaan selama tujuh semester sebelumnya. “Dulu, saya juga mengulang mata kuliah bahasa Arab I, karena tidak paham,” akunya. Mahasiswa yang berlatarbelakang sekolah umum tidak hanya Habibi dan Alif. Berdasarkan data Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data (PTIPD) UIN Walisongo, setidaknya ada 1.044 mahasiwa yang berasal sekolah umum pada tahun 2014. Sedangkan mahasiswa yang berlatarbelakang sekolah agama ada 1.736 dari 2.780 mahasiswa yang masuk. Kualitas Mahasiswa Rendah

Minimnya pemahaman ilmu keagamaan para mahasiswa baru itu tidak hanya menjadi kendala mahasiswa dalam proses kegiatan belajar mengajar, pun juga dikeluhkan oleh sejumlah dosen. Bunga Rampai

Amanat

135


Peserta SBMPTN dari berbagai latar belakang sekolah mengikuti tes yang bertempat di Gedung Serba Guna (GSG) UIN Walisongo Semarang. (Amanat/Khoirul Umam)

“Saya lelah sekali ketika ngajar mahasiswa sekarang” tutur dosen Fakultas Syariah, Abu Hapsin saat dimintai tanggapan tentang kualitas mahasiswa saat ini. Menurut pengampu mata kuliah ushul fiqih ini, keragaman mahasiswa yang ada di kampus ini tidak kualitas diimbangi yang baik. Begitu pula dengan semangat belajar mahasiswa yang cenderung mengalami penurunan. Abu menengarai, penurunan tersebut berawal dari penerimaan mahasiswa yang kurang ketat. Banyak calon mahasiswa yang mendaftar bukan menempatkan UIN sebagai pilihan pertama. “Yang masuk IAIN (UIN-red) hanya sisa yang tidak diterima di perguruan tinggi yang baik,” katanya. Oleh karena itu, birokrasi kampus diharapkan menaikkan standar ukuran penerimaan mahasiswa baru, agar memperoleh mahasiswa yang berkualitas. Selain itu, kampus juga perlu memperbaiki kualitas diri untuk

136

Amanat Bunga Rampai

menumbuhkan kepercayaan masyarakat. Senada, Wakil Dekan Bidang Akademik Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) Abu Rohmad mengungkapkan, mahasiswa yang masuk tidak semuanya memiliki kemampuan dasar yang sama dalam bidang kajian keislaman. Bahkan, kompetensi yang lebih rendah pun belum dikuasai secara merata. “Ada yang misalnya sudah hafal 20 juz, ada yang ngaji saja belum lancar,” ungkapnya. Menurut dia, sistem seleksi mahasiswa baru tidak mampu mendeteksi mahasiswa yang memiliki kemampuan minimal. Dosen mata kuliah Hifdzul Qur’an itu mengaku, banyak mahasiswa yang belum tuntas dalam bidang baca tulis Alquran. “BTQ itu syarat, kalau tidak bisa, saya kira ulumul qur’an ulumul hadis blabas itu,” katanya. Padahal, mata kuliah keagamaan yang masuk kategori mata kuliah dasar umum saja ada 11 jenis, seperti


bahasa arab, ulumul qur’an, ulumul hadits, tafsir, dan sebagainya. Belum lagi mata kuliah dasar khusus dan mata kuliah pilihannya. Penggemblengan

Wakil Rektor Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga Musahadi mengatakan, fakultas perlu mengembangkan sistem yang mendukung mahasiswa beradaptasi dengan tradisi keilmuan keislaman. Program pendampingan baca tulis Alquran dan hafalan ayat juga perlu digalakkan. Hal itu dilakukan untuk mencapai kompetensi minimal dari program studí masing-masing. “Kalau ada yang belum bisa alif, ba, ta (huruf hijaiyah-red), berarti harus dibuatkan kamar sendiri oleh fakultas agar bisa,” tegasnya. Ke depan, kampus berencana memaksimalkan ma’had walisongo untuk memberikan pengajaran dasardasar ilmu agama Islam tersebut. Saat ini, ma’had belum bisa menampung lebih dari 1.000 mahasiswa. Musahadi menuturkan, ma’had sedang dalam proses penambahan gedung. Salah satu usaha yang dilakukan ialah, menegosiasi dengan berbagai pihak, termasuk dengan Kementerian Perumahan Rakyat. Hal itu dilakukan untuk mendapat dukungan pembangunan ma’had. Lebih lanjut, Musa menambahkan, ma’had dapat menjadi jembatan terciptanya paradigma Unity of Science. Paradigma itu sesuai dengan visi yang diusung UIN. “Idealnya, mahasiswa baru pada semester 1, 2 semua di ma’hadkan,” tegasnya.

Musahadi menjelaskan, setiap mata kuliah memiliki kompetensi dasar tertentu. Dari kompetensi minimal itu, semua mahasiswa harus memenuhinya. Ia menyarankan, mahasiswa yang kesulitan dalam mata kuliah itu perlu menambah kemampuan sendiri. Hal itu dilakukan agar mahasiswa mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Sedangkan mahasiswa yang sudah menguasai ilmu agama, tetap bisa mengembangkan dirinya pada tingkat yang lebih tinggi. Lebih lanjut, ia menuturkan, mahasiswa bisa mandiri untuk mempelajari suatu materi, kemudian mengajak dosen untuk berdiskusi terkait penemuannya. “Jangan dibayangkan di perguruan tinggi seperti mengajari anak TK dan SD, dosen hanya fasilitator,” tegasnya. Senada, Abu Rohmad memandang program itu sangat penting. Maka, FDK mengembangkan mata kuliah Hifdzul Qur’an meskipun bersifat non sks. Selain itu, fakultas juga telah merancang bimbingan baca tulis Alquran dan tahfidz yang lebih luwes, bukan lagi dalam bentuk mata kuliah. Dalam bimbingan itu, mahasiswa pada tingkatan pertama harus tuntas baca tulis Alquran. Pada tingkat selanjutnya, hafalan ayat dan hadis dakwah, serta doa-doa tematik. Hal itu dilakukan supaya lulusan dapat memenuhi tuntutan masyarakat. “Agar mahasiswa siap di masyarakat,” harapnya. Reporter : Machya Afiyati Ulya Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 124/ April 2015

Bunga Rampai

Amanat

137


138

Amanat Bunga Rampai


BAGIAN KETIGA DINAMIKA PERGOLAKAN GERAKAN MAHASISWA

Bunga Rampai

Amanat

139


140

Amanat Bunga Rampai


Mengatasnamakan Stabilitas, Kaburkan Otonomi Kampus Diskursus antara mahasiswa dengan militer semakin menjadi polemik yang panjang dan menarik. Di masa angkatan 66 militer bergandengan tangan dengan mahasiswa dalam penumbangan Orde Lama, sampai masa Orde Baru mahasiswa sering bentrok dengan militer yang mengatasnamakan stabilitas nasional dan keamanan status quo pemerintah. Berbagai peristiwa tindakan represif militer terhadap mahasiswa dan rakyat pada umumnya, telah terukir lekat dan sulit hilang dari ingatan mahasiswa Indonesia di sepanjang era Orba ini. “Subuh Berdarah� puluhan mahasiswa ISTN Jakarta digebuki oleh aparat keamanan, pembredelan majalah Arena IAIN SUKA Yogyakarta, dibatalkannya diskusi dari pihak Rektorat demi stabilitas dan keamanan pemerintah, seperti dibatalkannya diskusi dengan Sri Bintang Pamungkas oleh Majalah Justisia Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dan berkeliarannya intel-intel dalam setiap diskusi-diskusi yang diadakan di kampus. Masih segar dalam ingatan kita, tragedi Ujung Pandang, reaksi militer

atas demonstrasi mahasiswa tentang SK Walikota Ujung Pandang tentang kebijakan tarif angkutan kota yang dirasa memberatkan. Dengan pembantaian terhadap mahasiswa yang tidak mempunyai senjata oleh militer di Kampus UMl (Universitas Muslim Indonesia) mengakibatkan kematian beberapa mahasiswa dan puluhan mahasiswa terluka di samping kerusakan-kerusakan peralatan dan gedung perkuliahan. Fenomena di atas menunjukkan sebuah phobia dan trauma pemerintah (lewat militer) terhadap kekuatan mahasiswa (Gerakan Mahasiswa) masih lekat. Peristiwa tersebut mengundang aksi solidaritas mahasiswa dari berbagai Perguruan Tinggi di berbagai kota di Indonesia. Senat Mahasiswa IAIN Walisongo Semarang bersama SMF (Sema Fakultas) yang ada di Semarang mengadakan aksi solidaritas di depan perpustakaan pusat dan dilanjutkan dengan salat ghaib bersama di Masjid Walisongo Kampus III. Dihadiri Pembantu Rektor III bersama Kabag Akademik dan Kemahasiswaan, DR. Amin Syukur, MA dan Drs. A. Basith atas undangan Ketua Senat Mahasiswa. Bunga Rampai

Amanat

141


(Dok. Amanat) Depolitisasi Kampus

Demonstrasi sebagai salah satu bentuk dari Gerakan Mahasiswa (GM) Indonesia, “Program dan tindakan politiknya merupakan cerminan dari bagaimana mahasiswa Indonesia memahami masyarakatnya, menentukan pemihakannya serta kecakapan merealisasikan nilai-nilai tujuan dan ideologi,� demikian yang dikatakan oleh Andi Munajat dalam menggagas Sejarah Gerakan Mahasiswa Indonesia. Kemunculannya sebagai reaksi atas ketimpalan struktur suatu masyarakat. Kesenjangan sosial yang melebar, serta reaksi atas kebijakan yang tidak menghiraukan aspirasi dan tuntutan rakyat (masyarakat) menuntut mahasiswa mengambil peran dan bersinggungan dengan penguasa yang melanggengkan status-quonya.

142

Amanat Bunga Rampai

Sehingga artikulasi kekritisan para mahasiswa diartikan sebagai sumber instabilitas yang harus diredam, khawatir membakar dan menggoyang status-quo. Sebuah phobi yang berkepanjangan dalam rezim Orde Baru ini. Memang tidak layak dijadikan alasan secara verbal. Sehingga atas nama kebijakan demi stabilitas nasional dan keamanan, pemberangusan hak politik mahasiswa lewat Normalisasi Kegiatan Kampus (NKK) melalui SK Mendikbud No. 0156/ U/ 1978 dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) dengan SK No. 0230/ U/ 1980. Dan kebijakan tersebut bisa dikatakan berhasil. Dengan begitu banyak siswa menjadi kuliah oriented mengejar IP semata (orientasi sertifikat) demi pangsa pasar kerja yang semakin sempit. Awal Orde Baru, di Indonesia kampus tidak hanya menjadi supli-


ers technokrat dan policy pembangunan ekonomi yang dijalankan oleh rezim, tetapi juga pusat kritik terhadap rencana pembangunan maupun penyalahgunaan kekuasaan yang mengiringi pelaksanaan pembangunan, tandas Sugiono, Staf pengajar FISIPOL dan Pasca Sarjana UGM dalam seminar nasional ‘Peranan Pendidikan Islam dalam Pendidikan Politik di Indonesia’.

selaku ketua Senat Mahasiswa IAIN Walisongo yang menafsirkan NKK/ BKK itu tidak melarang mahasiswa untuk berpolitik tetapi membatasi mahasiswa hanya boleh beraktifitas di dalam kampus. Hal ini menjadikan mahasiswa tercerabut dari akar masalahnya, tambah Yusuf Mars, demonstran dan PU Missi. Akibatnya, mahasiswa semakin tidak peduli terhadap masalah di luar kampus.

NKK/BKK diberlakukan, tetapi tidak diimbangi dengan pemberian otonomi kepada mahasiswa untuk belajar berorganisasi menjadi pemimpin yang mandiri, tidak memungkinkan aktualisasi kedalaman pengetahuan yang didapat secara teoritis.

Menurut Sahli ada pereduksian dalam mengartikan politik sehingga dianggap sebagai sesuatu yang negatif. Ada kesalahan persepsi/ mengartikan bahwa politik artinya berperan di partai, di organisasi-organisasi partai. Sebetulnya politik adalah proses bagaimana manusia mengaktualisasikan dirinya untuk berperan terhadap persoalan kebangsaan dan kenegaraan, berperan dalam masyarakat sesuai dengan kapasitas dan eksistensi diri sebagai mahasiswa yang hidup di masyarakat dan sadar sebagai warga negara Indonesia.

Suara mahasiswa selalu dihadapkan dengan kekuatan militer. Mahasiswa dalam Gerakan Mahasiswa dan hak politiknya yang terpangkas. Bagi Ngarto Februana dalam Gerakan Mahasiswa Kerakyatan, bahwa munculnya kasus-kasus yang menimpa mahasiswa dan mendorong mahasiswa melakukan aksi tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah. Akhirnya muncul sebagai Gerakan Mahasiswa kerakyatan yang mengangkat persoalan student rights dan student walfare, otonomi kampus, kebebasan akademis, dan kebebasan mimbar akademis. “Mahasiswa dilarang berpolitik itu sangat tidak manusiawi, politik di sini dalam arti makro. Mengapa begitu, karena politik adalah kebutuhan dan gejala psikologis manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupannya,” ungkap Sahli Rais

Di situ peran moralitas dan intelektualitas politik mahasiswa “Yang terjadi sekarang banyak para politikus yang tak memiliki moralitas politik, sehingga mengalami arogansi kekuasaan, sewenang-wenang dan suka melakukan penindasan,”. Dan moralitas politik itu dibentuk oleh agama, ideologi (kalau di Indonesia Pancasila), budaya, nilai-nilai yang berkembang. Dari situ mahasiswa membekali dirinya dengan pendidikan politik atau moralitas politik dan menjadi motivator untuk mentransformasi moralitas politik ke masyarakat luas. Bunga Rampai

Amanat

143


Otonomi Kampus

Kampus sebagai entitas dalam dunia akademik, mempunyai otoritas tersendiri dalam segala kegiatannya. Meskipun bukan daerah yang lepas dari berbagai akibat hukum, tetapi juga bukan teritorial yang bebas dimasuki oleh pihak mana pun. Kasus Ujung Pandang, sebagai akibat tidak menjelaskan ABRI dalam memandang suatu kasus. “Kenapa ABRI masuk kampus, kemudian merusak kaca-kaca sampai pecah, itu kesalahan yang sangat fatal. Kampus sebagai lembaga akademik mempunyai otoritas dan independensi ilmiah yang kuat dan otonomi kampus,” kata Sahli. Hal itu menunjukkan bukti bahwa arogansi dan kebesaran ABRI, yang memandang otoritas kampus itu sesuatu yang kecil sehingga tanpa berfikir panjang, langsung masuk tanpa jalur Rektor. Otonomi kampus harus ditegakkan secara jelas, kata Yusuf Mars, “Haram hukumnya militer masuk kampus,” tanpa seijin Rektor sebagai penangung jawab utama kampus. Namun, Rektor mengundang militer untuk menghadapi mahasiswa yang demonstrasi di dalam kampus, menunjukkan bahwa mereka mempunyai kepentingan, sehingga bisa dikata pejabat-pejabat kampus bukan lagi sosok akademisi dan memiliki pemihakan terhadap penguasa. Fenomena Perguruan Tinggi di Indonesia tidak lagi menjadi lembaga akademisi yang betul-betul independen, meskipun tidak melakukan pemihakan terhadap sebuah golon-

144

Amanat Bunga Rampai

gan atau pemihakannya pada nilainilai akademik dan ilmiah. Itu merupakan suatu bentuk bahwa peran pemerintah terhadap suatu lembaga Perguruan Tinggi sangat besar. Kalau di Jerman betul-betul membentuk Perguruan Tinggi sebagai madhab ilmiah, jadinya suci dari intervensi dari luar (termasuk militer). Keberadaan nya wujud dari kebebasan akademik dengan kebebasan ilmiah, sehingga produk yang dikeluarkan bukan ilmuwan yang tekhnokrat untuk kepentingan para penguasa. Yang diperlukan dalam otonomi Perguruan Tinggi adalah membongkar diskursusnya dengan kesadaran kemudian ditemukan konsepsinya sebenarnya. Legalisasi Demonstrasi

Namun di IAIN Walisongo, tidak biasanya PR III turun ke salah satu gelanggang aksi demonstrasi mahasiswanya. Apakah indikasi dibolehkannya demonstrasi? Menurut Sahli, aksi/ solidaritas itu bentuk moralitas politik, bagi mahasiswa itu untuk mengingatkan para politikus yang luput dari nilai-nilai seharusnya. “Demonstrasi yang tidak boleh adalah demo yang dimotori oleh orang luar. Kalau murni mahasiswa sebagai anggota masyarakat, saya kira tidak apaapa. Jangan sampai diojok-ojoki terus diweki duwit teko njobo itu kan rusak,” kata Dr. Amin Syukur, MA selaku PR III. Reporter: Ida Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 65/Juni 1996


Mengapa ABRI Jadi Lembaga Tukang Su’udhan Hari telah beranjak siang, terik matahari mulai memanasi Kampus III IAIN Walisongo Semarang, tiba-tiba suasana yang semula tegang dipecahkan oleh suara megaphone dari dua penjuru. “Saudara-saudara, bergabunglahlah bersama kami untuk melakukan aksi solidaritas atas meninggalnya teman-teman kita di Ujung Pandang karena tindakan militer yang tidak berperikemanusiaan,” begitu bunyi ajakan yang ditujukan kepada mahasiswa. Tidak berapa lama ratusan mahasiswa berkumpul, dilanjutkan dengan pawai mengelilingi kampus. Banyak mahasiswa urung mengikuti kuliah untuk bergabung dengan aksi tersebut. Hari itu, Kamis, 9 Mei 1996, di depan perpustakaan tergelar aksi solidaritas atas meninggalnya tiga mahasiswa Ujung Pandang karena tindakan militer yang telah melampaui batas. Sebelumnya aksi serupa terjadi di Kota Palu, Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung dan beberapa kota lainnya. Tindakan militer yang represif terhadap mahasiswa bahkan telah berani memasuki kampus dengan panser dinilai telah menginjak-in-

jak otonomi kampus. “Kami mengutuk intervensi militer ke kampus,” teriak Yusuf Mars, tokoh mahasiswa IAIN Semarang, yang ditirukan oleh para demonstran serentak. Tragedi, 24 April di Ujung Pandang itu tampak jelas menggambarkan bagaimana militer bertindak memakai logika stabilitas dengan hanya melihat permukaan belaka. Sederet kasus tindakan represif militer sebenarnya telah banyak melahirkan ekses negatif karena banyaknya kekhilafan dalam tindakan itu. Statemen yang selalu muncul setiap kali bentrokan antara militer dan masyarakat maupun mahasiswa adalah mengenai adanya pihak ketiga yang menunggangi. “Saya yakin ada permainan dibelakang ini. Tampaknya ada kelompok tertentu yang punya misi,” kata Kasdam VII Wirabuana, Brigjend Fachrul Razi menanggapi tragedi yang terjadi di Ujung Pandang, sebagaimana dilansir oleh Majalah Forum. Ditunggangi

Mengapa militer selalu menggunakan istilah ditunggangi dalam meBunga Rampai

Amanat

145


lihat kasus-kasus semacam itu? Hal itu dilakukan sebagai pembenar bagi tindakan represif yang dilakukan. Disamping itu menurut MT. Arifin, pengamat politik yang tinggal di Solo, militer belum mampu menangkap hakikat suatu peristiwa. Lebih lanjut, MT. Arifin mengatakan bahwa orang yang mencoba mengaitkan suatu peristiwa dengan hal lain yang dianggap menunggangi atau kambing hitam, berarti mereka menangkap suatu peristiwa hanya secara simplistik. “Sebenarnya keresahan di kalangan mahasiswa perlu diantisipasi oleh kalangan militer dengan cara menangkap isunya, bukan dengan menuduh siapa menunggangi siapa. Kalau ini dilakukan merupakan hal yang tidak arif,� tegasnya lebih lanjut. Banyaknya tuntutan masyarakat terhadap hak-hak mereka belakangan ini menggambarkan adanya kesadaran baru di kalangan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan maupun tuntutan adanya perlakuan yang adil terhadap mereka. Menghadapi situasi semacam ini militer tampak gagap, sehingga dengan amat tergesa-gesa melihat segala sesuatu sebagai fakta yang direkayasa dan ditunggangi pihak ketiga. Kelompok yang paling mendapat sorotan tajam dan selalu dimonitor oleh militer adalah kalangan mahasiswa dan cendikiawan serta aktivis-aktivis LSM, karena mereka mempunyai akses informasi yang lebih baik dari kelompok masyarakat lain. Gerakan-gerakan mahasiswa selalu mendapat pressing ketat, karena militer tahu betul akan potensi yang dimiliki mahasiswa dalam kerangka transformasi sosial. A. Muis, seorang

146

Amanat Bunga Rampai

pakar ilmu komunitas dan hukum mengetahui bahwa aksi-aksi demontrasi mahasiswa itu banyak membuahkan transformasi sosial, bahkan para aktivis gerakan mahasiswa sering berbaur dengan pekerja dan petani untuk mengajukan gugatan sosial pada penguasa. Maka militer sebagai penjaga tapal batas status quo, dengan menggunakan dalih stabilitas menuduh gerakan-gerakan semacam ini sebagai gerakan kiri biru. Bagong Suyanto, lebih melihat bahwa hakikat dari pada gerakan mahasiswa adalah menumbuhkan perubahan sosial dan mendorong perubahan politik. “Ia tumbuh karena adanya dorongan untuk mengubah kondisi kehidupan yang ada untuk digantikan dengan situasi yang dianggap lebih memenuhi harapan,� ujar Dosen Fisip Unair ini. Merasa Tersaingi

Philip Altbach mencatat bahwa di negara mana pun, sebagian dari kelas menengah, mahasiswa akan cenderung bertindak sebagai hati nurani masyarakat. Apabila peran lobi politik dan institusi formal efektif menyalurkan aspirasi masyarakat, maka gerakan mahasiswa akan cenderung memilih pola damai. Namun apabila ketidakadilan dinilai tak kunjung berkurang, maka gerakan mahasiswa akan cenderung radikal. Dalam kacamata pendekatan keamanan hal ini merupakan gangguan atau bahkan ancaman terhadap stabilitas nasional. Dua kerangka inilah yang menjadikan militer harus selalu meletakkan gerakan mahasiswa dalam posisi bersebrangan. Pertama, karena gerakan mahasiswa dianggap sebagai


(Dok. Amanat)

saingan untuk memperoleh simpati rakyat. Kedua, adalah persoalan stabilitas dan status quo atau kemapanan yang ada, di mana militer memegang hegemoni dan mendapat pengabsahan untuk banyak bermain. Budi Susanto, staff Lembaga Studi Realino (LSR) Yogyakarta mengatakan bahwa fenomena tentara-rakyat tak pernah sungguh-sungguh ada dalam sejarah militer Indonesia. Menurut lulusan Universitas Cornell ini, rakyat memiliki konotasi yang sangat politis bagi militer. Sehingga militer mudah khawatir kalau ada anggapan bahwa rakyat terpisah darinya. Kecurigaan pada gerakan mahasiswa, karena mereka punya potensi untuk berbaur dengan rakyat, yang ini tidak bisa dikendalikan oleh militer. Yang dikhawatirkan militer adalah masuknya ide-ide prestisius khas

dari dunia kampus kepada lapisan masyarakat. Karena militer tahu sendiri akan potensi mahasiswa ketika keduanya pernah bahu-membahu menggulingkan rezim Orde Lama. Sesungguhnya kekhawatiran militer itu karena merasa tersaingi oleh sikap independen dari mahasiswa dan kaum intelektual pada umumnya. Gerakan mahasiswa dikhawatirkan menjadi pesaing dalam rangka dekat dengan rakyat. Untuk itu istilah OTB, kiri baru, ditunggangi, selalu dihembuskan dalam menghadapi gerakan mahasiswa agar masyarakat phobi. “Memang ABRI sekarang ini sudah menjadi lembaga tukang su’udlan saja,� kata Hasan Aoni Aziz. Reporter: X-One Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 65/Juni 1996 Bunga Rampai

Amanat

147


148

Amanat Bunga Rampai


Menggugat Pencemar Otonomi Merasa terusik independensinya, mahasiswa melakukan demonstrasi. Siapa mengganggu ketenangan kampus?

Rabu yang cerah, Serikat Mahaiswa Penegak Otonomi Kampus (Sempok), kelompok yang mengaku “atas nama mahasiswa” melakukan aksi menggugat otonomi kampus. Demonstrasi ini menuntut rektor agar menegakkan otonomi kampus. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hafidz Br, Koordinator Lapangan aksi tersebut. “Rektor harus bertanggung jawab menegaknna otonomi kampus,” demikian ungkapnya tegas. Aksi yang semula hanya diikuti oleh puluhan mahasiswa itu mulai bergerak dari Pusat Kegiatan Kampus (PKM) Kampus III pada pukul 09.15. Diteruskan dengan berkeliling ke Kampus Dakwah sambil menggugah simpati para mahasiswa yang mereka lewati. Dari corong megaphone terdengar teriakan-teriakan “Marilah satukan barisan bersama kami”, “Tegakkan otonomi kampus”, “Rektor mana tanggung jawabmu”, yang ternyata memang ampuh untuk menggalang mahasiswa. Selanjutnya, iring-iringan yang jumlahnya semakin mambludak itu berhenti di depan kantor Perpustakaan Institut.

Semakin siang suasana semakin memanas. Massa mahasiswa berjumlah ratusan yang memadati halaman Perpustakaan secara bergantian menyampaikan orasi ditambah yel-yel, slogan-slogan, dan sesekali menyanyikan lagu-lagu perjuangan. Jack, salah seorang simpatisan aksi berulang kali memaparkan komitmennya. “Kita minta sekarang juga kesediaan Rektor untuk dialog,” teriaknya lantang. Ajakan ini digayungsambuti oleh mahasiswa dengan kata “Sepakat”. Panas Pra-Pemilu

Sebenarnya, aksi ini berawal dari kekecewaan mahasiswa terhadap suasana kampus pra-pemilu yang tidak lagi ilmiah dan sarat akan kepentigan politik praktis. Menjelang masa kampanye, Golkar memasang atributnya di depan gerbang masuk Kampus II yang memicu keresahan mahasiswa. Beberapa kali atribut tersebut telah dibersihkan oleh mahasiswa, namun, beberapa kali pula terpasang. Akhirnya, pihak SMI mengambil inisiatif

Bunga Rampai

Amanat

149


Bendera, kehadirannya meresahkan mahasiswa. (Dok. Amanat)

untuk bernegosiasi dengan lurah setempat. Jawaban lurah, sebagaimana diungkapkan oleh Ali Mashar, Sekum SMI adalah “Lurah akan membersihkan atribut paling lambat 30 April�. Tapi, sampai lewat batas waktu belum juga dibersihkan, maka pada siang 1 Mei mahasiswa secara terang-terangan mencabut seluruh atribut. Hal ini oleh pihak kelurahan dan Golkar dianggap tidak prosedural sebab tanah depan kampus bukan milik IAIN, melainkan DPU sehingga boleh dipakai untuk ajang kampanye. Mahasiswa tidak mau menerima dengan argumen meski tanah tersebut milik DPU, tapi tetap lingkungan kampus yang harus bersih dari nuansa politik. Amarah mahasiswa semakin tak terbendung karena sore harinya dua mobil petugas keamanan berkeliaran di kampus. Ditambah, pemaksaan beberapa aktivis pada pukul 21.00 untuk menanam kembali atribut OPP ber-

150

Amanat Bunga Rampai

simbol Beringin itu serta penandatanganan tuntutan untuk meminta maaf. Merespon insiden ini, keesokan harinya seluruh aktivis IAIN Walisongo melakukan rapat koordinasi yang juga dihadiri oleh Purek III, Drs. HM. Amin Syukur, MA. Amin Syukur berharap mahasiswa mau mengalah dengan memenuhi tuntutan Golkar. Tapi, usulan ini ditolak mahasiswa. “Yang kita lakukan sudah prosedural dan ilmiah. Lurah ingkar janji, maka jelas kita tidak bersalah. Karena itu jangan minta maaf,� demikian kata Sumantho. Pemicu lain demonstrasi ini, sebagaimana tercantum dalam kembaran Pernyataan Sikap adalah seiring kosongnya jam kuliah karena dosen yang bersangkutan sedang sibuk berkampanye atau menjadi jurkam OPP. Pernyataan Sikap yang berisi 4 poin ini sekaligus berisi memorandum yaitu, tidak akan memenuhi


permintaan pihak Golkar untuk meminta maaf atas insiden pembersihan atribut OPP tersebut pada tanggal 30 Aril 1997 oleh mahasiswa. “Jangan sampai kita minta maaf,” begitu Elen membaca teks tersebut. Tegas

Setelah Hamdani Muin selaku ketua SMI melakukan negosiasi ke rektorat, maka pada pukul 10.30, Pembantu Rektor III dan Pembantu Dekan III dari keempat fakultas datang ke lokasi untuk berdialog. Namun hal ini disambut dengan rasa ketidakpuasan mahasiswa. “Yang kami inginkan adalah rektor, bukan Purek apalagi PD,” demikian teriak Jack yang disambut dengan gegap gempita oleh massa. Kita tidak akan bubar sebelum rektor datang,” tegas Korlap.

Karena hampir 2 jam rector belum juga datang, maka mahasiswa berniat akan turun ke Kampus I Jerakah, padahal pada jam-jam itu, massa Golkar sedang berkonvoi di sepanjang jalan Boja-Semarang. Akhirnya, tepat pukul 11.15, Rektor Prof. Zamahsyari Dhoief datang yang disambut dengan bacaan sholawat nabi. Akhirnya, ada titik temu antara mahasiswa dengan rektor yaitu untuk bersama-sama mengambil sikap tegas menolak intervensi pihak luar dan mengutuk intimidasi. “Ya, saya akan tegas,” tandas rektor. Reporter: Alfi Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 69/ Mei 1997

Bunga Rampai

Amanat

151


152

Amanat Bunga Rampai


Menengok Gerakan Mahasiswa ‘98 Ribuan mahasiswa menyemut, di kampus, jalan-jalan, gedung DPR/ MPR dan gubernuran. Meradang, menghadang kekuasaaan Orde Baru, sang diktator yang sudah lapuk. Melawan senapan dengan gerakan moral. Adakah formula Martin Luther King diterapkan disini. Dalam lintas sejarah Indonesia, mahasiswalah yang tampil menyelamatkan bangsa dan negara ini. Demikian juga yang terjadi sekarang, mahasiswa berdiri di garda depan untuk mengakhiri kediktatoran rezim Orde Baru. Fenomena itu bisa dilihat beberapa bulan dan minggu menjelang jatuhnya Soeharto 21 Mei lalu, dimana aksi-aksi mahasiswa di berbagai perguruan tinggi semakin marak mimbar bebas dilakukan di mana-mana bahkan sudah menjadi aksi publik dengan menerobos sampai keluar kampus. Melakukan long march hingga mahasiswa harus berhadapan dengan aparat keamanan. Pentungan, tendangan, gas air mata serta tembakan senapan tidak bisa menyurutkan mahasiswa dalam menyuarakan tuntutan. Korban pun berjatuhan dan tidak bisa dihindari lagi. Jatuhnya empat korban korban

mahasiswa sebagaimana yang terjadi di Universitas Trisakti justru memberikan dorongan yang besar bagai mahasiswa di berbagai perguruan tinggi dalam menyuarakan tuntutannya. Tuntutan yang disuarakan mahasiswa saat ini tidak lepas dari persoalan-persoalan yang dihadapi negeri ini, dari krisis ekonomi yang berkepanjangan hingga krisis kepercayaan. Akibat krisis yang berkepanjangan inilah mahasiswa menemukan momen yang tepat untuk menyuarakan tuntutannya. Reformasi total merupakan suatu keharusan bagi mereka karena mereka sudah muak dengan sistem kekuasaan yang diterapkan Oleh rezim Orde Baru. Dalam pandangan Drs Nusa Putra S.Fil. MPd, staf pengajar IKIP Negeri Jakarta, suatu hal yang tak terelakkan karena kondisi-kondisi riil dalam masyarakat mengharuskan mahasiswa untuk terjun menyuarakan kepentingan rakyat. Kondisi riil itu di mana sistem kenegaraan yang dikelola secara salah selama Orde Baru. Pemerintah semasa Orde Baru begitu sentralistis sehingga dalam dataran realita sulit membedakan negara ini berbentuk kerajaan atau republik. Akibat kesalahan tersebut maka terBunga Rampai

Amanat

153


jadilah multi krisis, dan ini menunjukkan bahwa negara ini sedang mengalami sakit yang luar biasa, sehingga penyembuhannya butuh waktu yang panjang. “Untuk itu harus terus menyuarakan kepentingan rakyat, menuntut terjadinya perbaikan sistem kenegaraan,� tandasnya kepada MA. Haq dari Amanat.

“Mahasiswa telah dikondisikan Oleh keadaan dimana rezim penguasa telah mengebiri hak-hak rakyat, rakyat telah mengalami frustasi sosial selama rezim Orde Baru berkuasa. Peranan mahasiswa dalam melakukan gerakan moral sangat penting dalam rangka mempercepat adanya perubahan,� tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan Arbi Sanit, Pakar Politik UI, bahwa ada kemerosotan hidup rakyat yang ditangkap oleh mahasiswa sehingga mereka menyuarakan kepentingan rakyat yang selama Orde Baru telah menjadi korban penguasa. Ini tidak bisa terlepas dari tuntutan intelektual mahasiswa. Jadi sistem kenegaraan yang dijalankan selama ini tidak benar. Tidak memenuhi standar kebenaran. Artinya, penguasa tidak melaksanakan fungsinya dengan baik bahkan memanfaatkan kepenguasaannya itu hanya menurut logika penguasa.

Politisasi dan radikalisasi

Lebih lanjut pengamat politik asal Ul ini memaparkan, secara politik rezim Orde Baru tidak mempunyai legitimasi yang kukuh karena tidak didukung secaca riil oleh rakyat, dukungan yang selama ini digaungkan oleh penguasa adalah dukungan senat yang kesemuanya itu, seperti Pemilu, telah dimanipulasi penguasa. Akibat dari dukungan yang semu tersebut maka imbasnya adalah runtuhnya kepercayaan rakyat pada pemerintah dan ini sebenarnya sudah sejak lama, hanya sekarang mempunyai momen yang tepat untuk menampakkan ke permukaan. Kondisi riil semacam inilah yang melatarbelakangi munculnya aksi-aksi mahasiswa sebagai suara rakyat.

154

Amanat Bunga Rampai

Format politik yang diterapkan Orde Baru telah menciptakan retak-retak di dalam sistem yang dibangunnya sendiri. Retak-retak itulah yang telah membuka peluang munculnya aspirasi-aspirasi perubahan dalam masyarakat. Tumbuh dan membesarnya kehendak-kehendak perubahan terjadi seiring dengan runtuhnya Orde Baru. Persoalannya adalah sampai sejauh mana peluang tersebut mampu dimanfaatkan oleh gerakan mahasiswa untuk secara bersama-sama melakukan perubahan? Pertanyaan ini sangat penting untuk dijawab terlebih dahulu agar peluang tersebut tidak sia-sia dan terjebak pada wish full thinking atau kekeliruan produktif bagi proses demokratisasi. Adalah Dr Onghokham (1976) sejarahwan, menyebut mahasiswa sebagai golongan pemuda yang dalam batas-batas tertentu memiliki kritisisme sebab dibekali analisis yang diperoleh dalam pendidikan dan relatif mendahulukan hati nurani. Sikap kritis ini timbul apabila terjadi kontradiksi dan ketimpangan antara teori yang diperoleh dengan realitas kebangsaan kemasyarakatan. Dalam posisi semacam ini, mahasiswa menempatkan dirinya sebagai kritikus so-


Aksi keprihatinan mahasiswa atas kondisi negara kenapa harus balas dengan lemparan dengan batu, gas air mata, bahkan sampai pada timah panas, sungguh anarkis (Dok. Amanat)

sial, sebagai penggerak suara -suara moral terhadap realitas sosial yang jauh berbeda dengan yang diidealkan. Selaku kritikus sosial, mahasiswa tidak segan-segan bertindak sebagai “parlemen jalanan” untuk melakukan kontrol sosial. Ini terlihat dalam sejarah, mulai dari visi kooperatif yang digalakan kaum terpelajar, termasuk mahasiswa, pada tahun 1908. Tahun 1928, gerakan pemuda dan mahasiswa muncul dengan trade mark “Sumpah Pemuda”. Kemudian muncullah angkatan kemerdekaan tahun 1945 dilanjutkan dengan gerakan untuk menjatuhkan kediktatoran Soekarno yang terkenal dengan angkatan 66, dari gerakan ini lahirlah Orde Baru yang sekarang pun harus dipungkasi oleh gerakan mahasiswa angkatan ‘98 (sekarang) dalam aksi menurunkan rezim Soeharto. Dalam sistem negara demokrasi, menurut Prof Dr Ryaas Rasyid, Rek-

tor Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) Jakarta, rakyat, termasuk mahasiswa, diberi kebebasan untuk menyuarakan aspirasinya, dalam kerangka kontrol terhadap kekuasaana yang mereka nilai sudah tidak demokratis. Kebebasan yang dimaksudkan disini adalah selama tidak melanggar tiga hal, yakni konstitusi hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat. “Pembatasan terhadap kebebasan tersebut berarti penghianatan terhadap sistem demokrasi,” ujarnya ketika ditemui Amanat. Pergeseran paradigma

Menanggapi maraknya gerakan akhir-akhir ini Ryaas berpendapat sekarang telah terjadi politisasi di kalangan mahasiswa hal ini tidak terlihat dalam gerakan-gerakan mahasiswa dalam kurun waktu dua puluh tahun terakhir. Pergeseran ini tidak terlepas dari tiga kecenderungan global yang terus bergulir; Pertama, dalam politik pemerintahan ada parBunga Rampai

Amanat

155


adigma pemerintah yang besar dapat menyelesaikan persoalan. Bergeser ke paradigma pemerintah yang ramping, efektif dan powerful dalam menghadapi berbagai persoalan, small but ejective and pourernul goverment. Jadi Big goverment is over, it is not relevant anymore, is source problem anymore, pemerintah yang besar tidak dapat menyelesaikan masalah, dia adalah sumber masalah. Kedua, pergeseran paradigma sentralisasi ke paradigma desentralisasi. Yang terjadi di lndonesia adalah pemerintahan yang sentralistis. Pengambil keputusan masih berada di pusat. Seharusnya kewenangan-kewenangan yang ada di pusat dikurangi sehingga pemerintah lokal atau daerah akan semakin berperan dan efektif. Yang terjadi selama Orde Baru adalah menumpuknya kekuasaan pada presiden. Ketiga, pergeseran dari negara ke masyarakat. Semasa Orde Baru negara ada di mana-mana mencampuri segala urusan. Terhadap mahasiswa negara menerapkan konsep NKK sehingga mahasiswa terkurung. Tidak ada freedom in action karena negara menghambat kreatifitas mahasiswa. Paling tidak ketiga frame inilah yang banyak mempengaruhi mahasiswa sehingga mahasiswa mengalami politisasi. Terjadinya politisasi dan radikalisasi pada mahasiswa juga diungkapkan Eep Saifulloh Fatah, dosen pasca sarjana FISIP UI, ketika ditemui Amanat di kantor Republika beberapa waktu lalu. Menurutnya politisasi dan radikalisasi di kalangan kampus berjalan dramatis dan jauh lebih cepat bila dibandingkan yang dialami

156

Amanat Bunga Rampai

rakyat. Politisasi yang dia maksudkan adalah adanya kesadaran politik gerakan di kalangan aktivis mahasiswa dan meluas sampai ke tingkat massa, yakni mahasiswa yang selama ini hanya kuliah yang tidak tersentuh terhadap masalah sosial di lingkungannya. Lebih lanjut Eep menuturkan, wujud adanya politisasi di kalangan mahasiswa dapat dilihat daĹ‚am beberapa hal. Pertama, gerakan mahasiswa ‘98 mengalami difersifikasi aksi. Dialog-dialog dilakukan secara intensifdan pada rentang yang lain, pengerahan massa melalui mimbar-mimbar bebas juga dilakukan. Pengerahan massa yang dilakukan mahasiswa di daĹ‚am kampus dilakukan secara besar-besaran, bahkan hingga luar kampus. Kedua, terjadi rekonsolidasi di daĹ‚am kampus secara politik. Sekarang dapat dilihat berbagai kelompok aktivis kampus, senat, unit kegiatan kampus hingga kelompok jamaah masjid sudah saling berkomunikasi. Mereka yang selama ini dikenal sebagai parlemen jalanan mulai menjalin hubungan dengan lembaga-lembaga formal kampus, pada saat yang sama juga menjalin komunikasi dengan kelompok studi yang selama ini kegiatannya intelektual kontemplatif. Jadi, terjalin jaringan komunikasi sehingga terjadi konvergensi massa. Massa mimbar bebas adalah massa yang konvergen, ada kelompok studi, ada massa dari lembaga formal, ada massa dari parlemen jalanan juga dari jamaah masjid. Ini merupakan wujud konsolidasi dalam kampus. Selain itu ada komunikasi yang baik antara kalangan kampus dengan oposisi demokrasi, entah itu dengan


yang namanya nasionalis pelangi seperti Mega dan lain-lain, kalangan LSM ataupun sayap Islam seperti Amin Rais dan lain-lain. Radikalisasi yang terjadi pada mahasiswa, menurut Kepala Divisi Penelitian Ilmu Politik Fisip UI ini, adalah dalam hal tuntutannya, bukan radikal dalam melakukan perusakan karena perusakan semacam itu hanyalah akibat kemarahan massa. Gerakan mahasiswa saat ini lebih lugas, tanpa basa-basi lagi dalam menyampaikan tuntutannya. Dengan tuntutan yang mereka sampaikan, mahasiswa ingin mensosialisasikan apa yang jadi masalah ke rakyat. Di tengah situasi semacam ini maka mahasiswa benar-benar memperjuangkan aspirasi rakyat. Mahasiswa mendefinisikan reformasi dengan reformasi politik, ekonomi, hukum dan lain-lain, sedangkan yang diinginkan rakyat adalah turunkan harga, sediakan bahan pokok.

karena ekonomi, harga kebutulıan pokok meninggalkan jauh dari penghasilan mereka. Kalau pembahasan ini tidak diambil alih mahasiswa maka tidak akan ada penyadaran kolektif rakyat, tidak bisa ditunjııkkan bahwa mahasiswa membela kepentingan rakyat. “Apabıla mahasiswa tidak bisa mengambil alih maka mahasiswa akan tetap sebagai gerakan yang elitis seperti tahun ‘74, ‘78 dan tidak seperti tahun ‘66 walaupun akhirnya pada tahun ‘66 terjadi “kekeliruan politik” yang sangat mendasar di kalangan mahasiswa sehingga mereka dengan cepat terpotong aksesnya dan efektifıtasnya tatkala berhadapan denga rezim hanya dalam waktu tiga sampai empat tahun,” tandasnya. Reporter : MA. Haq, Akar Laporan pernah terbit di tabloid Amanat edisi 73/Juli 1998.

Masalah rakyat yang menyentuh sekarang ini, lanjutnya, bukan sekedar reformasi, masalah mereka sekarang adalah hidııp mereka tercekik

Bunga Rampai

Amanat

157


158

Amanat Bunga Rampai


Aksi Datang Diskusi Menghilang Ketika badai krisis melanda negeri ini, mahasiswa dengan kepekaan sosialnya ramai menggelar aksi menuntut reformasi. Kampuspun sepi dari diskusi. Ada kemiripan antara Gerakan mahasiswa Angkatan 66’ dengan 98’? Ada fenomena menarik dalam dinamika kampus –gerakan mahasiswa- akhir-akhir ini (Angkatan ’98), terutama jika ditarik garis kemiripan dengan Gerakan mahasiswa Angkatan ’66. Yakni, mahasiswa sama-sama terkondisi dalam aksi demonstrasi yang massif turun ke jalan-jalan.

Demikian pula di Kampus IAIN Walisongo. Kampus ini dilanda wabah yang sama. Diskusi, seminar atau kegiatan yang sejenisnya jarang dijumpai. Lembaga Semi Otonom (LSO) yang secara khusus membidangi masalah ini pun jarang menggelar event tersebut.

Sekarang ini, terjadi pergeseran orientasi Gerakan mahasiswa yang semula manis di kampus, sibuk dalam kelompok-kelompok kajian, sekarang berubah menjadi heroik dalam aksi demonstrasi yang marak.

Alfi, Ketua Lembaga Perontakan (LPO) Fakultas Tarbiyyah, yang khusus konsentrasi pada masalah-masalah kajian, membenarkan atas kondisi tersebut. Menurutnya, hal itu dikarenakan atmosfir perpolitikan di Indonesia yang diselimuti krisis saat ini, menuntut mahasiswa untuk melakukan protes-protes bersama rakyat sebagai kritik atas kebijakan pemerintah dalam penyelenggaraan negara.

Sebelumnya, mahasiswa yang suka aksi (demonstran) dianggap mahasiswa yang aneh. Aksi dianggap suatu hal yang tabu. Kini, anggapan itu berubah. Justru mahasiswa yang tidak ikut demonstrasi dicap mahasiswa ‘banci’ dan gagap politik. Sekarang kampus tidak lagi menjadi ajang kajian epistemologis baik symposium, diskusi maupun bedah buku. Kegiatan semacam itu sudah mulai langka, tergusur oleh aksi-aksi demonstrasi. Khususnya aksi yang menuntut reformasi dan turunnya Soeharto.

Hampir senada dengan Alfi adalah pernyataan Hakim, aktivis Forum Sajian Ilmiah (Forsi) Fakultas Syari’ah. “Mahasiswa sekarang harus mensinergikan kekuatannya bersama rakyat untuk menuntut reformasi, sehingga wajar kalau diskusi-diskusi di kampus akhir-akhir ini intensitasnya berkurang,” katanya. Bunga Rampai

Amanat

159


Ketika dimintai tanggapannya, seorang mahasiswa yang tidak mau disebutkan namanya, berpendapat bahwa bagaimanapun alasannya, yang jelas mahasiswa harus melancarkan aksi kritik terhadap kebijakan pemerintah, khususnya dalam mengatasi krisis. “Sikap tegas itu harus diambil di samping sebagai sikap politik mahasiswa juga dalam rangka ikut menciptakan sejarah perpolitikan di Indonesia. Karena bagaimanapun momen pada saat ini sangatlah tepat,� tegasnya. Dalam kenyataannya, kini kegiatan-kegiatan mahasiswa memang lebih diramaikan oleh maraknya aksi dengan berbagai isu dan tuntuta yang diangkat, baik yang dikomandoi oleh kelompok structural; dalam hal ini SM IAIN, maupun oleh kelompok yang lain. Dalam pengamatan Amanat pada dua bulan terakhir ini, tercatat banyak aksi yang dilakukan secara intensif oleh para mahasiswa. Pada tanggal 2 Maret, sekelompok mahasiswa yang mengatasnamakan diri Serikat Mahasiswa IAIN Walisongo, menggelar aksi di depan gedung perpustakaan institute. Aksi yang diikuti oleh ratusan mahasiswa ini diisi dengan mimbar bebas. Aksi ini hanya berlangsung sekitar tiga puluh menit karena mendadak ada aparat keamanan, yang datang terdiri dari polisi dan CPM. Satu hari berikutnya, aksi kembali digelar. Kali ini cukup ramai karena di samping massanya lebih dari 300 orang, juga dijaga ketat oleh aparat.

160

Amanat Bunga Rampai

Namun, aksi tetap berjalan lancar. Aksi diakhiri dengan pembacaan statemen yang berisi; Pertama, Selesaikan krisis ekonomi dengan kebijakan yang memihak pada rakyat. Kedua, Lakukan reformasi politik yang sehat dan demokratis. Ketiga, Laksanakan SU MPR 1998 tanpa tekana dari pihak manapun. Aksi berikutnya bertepatan dengan diadakannya wisuda (18/4), sehingga suasana kampus cukup ramai. Massa yang banyak itu dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh para demonstran untuk menggelar aksi. Di pertigaan Kampus III, mereka menggelar aksi dengan tuntutan yang sama. Aksi yang mengatasnamakan diri sebagai “Masyarakat IAIN untuk perubahan� diwarnai dengan pembakaran patung yang dinisbatkan sebagai Wiranto Aris Munandar (Mendikbud), sebagai protes atas pernyataannya bahwa, mahasiswa yangberdemonstrasi adalah sama dengan melakukan politik praktis di dalam kampus. Aksi ini semakin marak ketika para wisudawan ikut menyampaikan orasi. Senat Mahasiswa Institut (SMI) pun tak mau ketinggalan. Pada tanggal 23 April, dengan bantuan Senat Mahasiswa Fakultas dengan skala formal mengadakan Aksi Keprihatinan Nasional yang turut didukung oleh para dosen di depan gedung perpustakaan institut. Aksi ini diikuti tidak lebih dari seribu mahasiswa yang sebagian memakai jaket almamater. Dalam aksi ini, massa terpecah menjadi dua bagian. Yang sebagian menginginkan turun ke jalan untuk long march ke kampus I, sedang lain-


Dominasi : Maraknya demonastrasi mendominasi aktivitas Mahasiswa.(Dok. Amanat)

nya bersikukuh untuk tetap di dalam kampus. Tapi akhirnya semua massa aksi turun ke jalan dan nyaris bentrok dengan aparat. Aksi yang sedianya akan ditutup dengan Istighozah akhirnya tidak jadi.

dengan orasi yang menghujat tindakan represifitas aparat. Dilanjutkan dengan long march ke kampus I sambil mengusung keranda. Aksi yang sama juga dilakukan senat mahasiswa Fakultas dakwah.

Pada tanggal 12 Mei, kembali SMI menggelar aksi keprihatinan nasional. Aksi kali ini sangat massif, diikuti sekitar empat ribu mahasiswa yang dipusatkan di depan gedung pascasarjana. Dalam aksi ini sempat terjadi insiden. Mahasiswa yang menginginkan long march ke gedung DPRD, bentrok dengan aparat pengacau.

Berdasar fenomena di atas, maka selanjutnya pertanyaan paling mendasar yang muncul adalah, apakah sebenarnya yang mendasari mahasiswa sehingga mahasiswa rela meninggalkan aktivitas perkuliahan di kampus dan tampil di garda terdepan mempelopori aksi-aksi tuntutan reformasi bersama rakyat?

Dari pihak mahasiswa banyak yang menjadi korban represifitas aparat. Lima orang luka-luka, seorang ditusuk dengan bayonet petugas, ratusan orang terkena gas air mata. Rencananya insiden ini akan diusut sampai tuntas. Pada tanggal 14 Mei, sekitar tiga ratus mahasiswa mengadakan shalat ghaib mengenang enam mahasiswa USAKTI yang gugur sebagai pahlawan reformasi dalam insiden 12 Mei di Kampus USAKTI. Aksi sendiri diawali

Dari rentetan aksi tersebut, menunjukkan kecenderungan mahasiswa di IAIN Walisongo belakangan ini mengarah pada Gerakan aksi yang praktis. Tapi tentunya tidak bijaksana pula jika harus meninggalkan diskusi dan kajian secara total. Bagaimanapun, diskusi sebagai tradisi intelektual sangatlah penting sebagai landasan paradigma epistemologis. Reporter: Eshaen Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 73/ Juli 1998 Bunga Rampai

Amanat

161


162

Amanat Bunga Rampai


Mahasiswa Bergerak Militer Menembak

Sepanjang sejarah, gerakan mahasiswa selalu dihadang dengan senjata. Uniknya, mahasiswa tetap menyuarakan demokratisasi. Bagaimana di era Habibie? Tak lari dikejar. Tak melawan dipukuli. Tak bersenjata ditembaki. Itulah sikap militer di lapangan ketika menghadapi mahasiswa yang melakukan aksi. Tengok saja ‘‘Tragedi Trisakti”, 12 Mei lalu. Empat mahasiswa tewas diterjang peluru yang dimuntahkan oleh militer secara membabi buta. Atraksi ‘kegagahan’ militer juga didemonstrasikan saat menghadapi gelombang demonstrasi sepanjang Februari-Mei lalu. Dengan gas air mata, pentungan dan tusukan belati, militer (waktu itu) melumuri tangannya dengan darah mahasiswa yang sedang aksi. Di Sulawesi Selatan, seorang mahasiswa mati ditembak militer, ketika demonstrasi menentang “kewajiban memakai helm” pada tahun 1988. Masih di wilayah yang sama, kita juga diingatkan tentang tragedi “Makassar berdarah”, April 1996, di mana mahasiswa didrel begitu saja oleh militer, hingga menyebabkan tiga mahasiswa tewas, hanya karena tidak sependapat dengan SK Wali kota Ujung Pandang tentang kenaikan tarif angkutan

umum. Peristiwa tersebut juga telah merendahkan otonomi kampus. Belum lagi kekerasan-kekerasan berdarah yang dialami para demonstran dalam kasus-kasus yang bersinggungan dengan kekuasaan, misalnya kasus Malari, Dema, Marsinah, Kedung Ombo, Golput, PRD serta lainnya. Dan masih banyak lagi tragedy berdarah akibat kekejaman militer kepada kaum intelektual, baik di dalam maupun di luar kampus. Tragedi yang sekaligus menambah daftar kelam kejahatan politik Orde Baru yang memang selalu diwarnai dengan darah dan nyawa dalam memaksakan kebijakannya. Jika ditelusuri, kekerasan dan pembunuhan terhadap intelektual muda (baca: mahasiswa) selama Orde Baru, bukan hanya terjadi pada peristiwa di atas saja, masih banyak lagi kasus serupa yang bisa diselidiki. Bahkan Orde Baru sendiri, meminjam istilah Dr George Aditjondro; dibangun di atas mayat seorang mahasiswa UI, Arief Rachman Hakim. Bunga Rampai

Amanat

163


(Dok. repro rekaman mei). Alat politik

Menurut pengamat militer, Salim Said, seringnya kekerasan fisik yang dilakukan ABRI, karena di masa Orde Baru ABRI sudah menjadi alat politik penguasa. Dalam analisa Aditjondro, militer telah berkembang menjadi alat dari partai yang memerintah, bukan lagi anak kandung rakyat. Partai yang memerintah itu sendiri telah menyempit menjadi alat pelestari kekuasaan suatu oligarki, yaitu persekongkolan segelintir keluarga yang menguasai seluruh ekonomi Indonesia. Militer, demikian Aditjondro, mengalami metamorfosa dari suatu perang gerilya menjadi pendudukan di daerah-daerah yang jadi potensi gerakan separatis. Di era Orde Baru ada yang tidak ditolerir ABRI yaitu; sikap anti pancasila dan UUD 45, menghina presiden, dan

164

Amanat Bunga Rampai

merongrong pemerintah, baik makar maupun separatisme. Galibnya, semua itu hanya didasarkan pada interpretasi pihak ABRI saja. Dalam prakteknya memang, kata ZA Maulani, pengamat militer, semua perlawanan di era Orde Baru selalu diselesaikan dengan peluru. Misalnya dalam meredam gerakan separatisme di Aceh, Timor Timur dan Irian Jaya, militer tidak segan-segan menumpahkan darah, sehingga tak terbilang rakyat yang jadi korban kebejatan militer, baik yang diperkosa, dibunuh maupun dikubur hidup-hidup (lihat kasus Aceh). Padahal, kata Salim Said, yang terjadi di sana sekedar ketidakpuasan terhadap pemerintah yang tidak bisa mendistribusikan hasil ekonomi secara merata di daerah. Pengerahan militer yang berlebihan di tiga wilayah tersebut justru membuat rakyat marah.


Hal yang sama diterapkan terhadap mahasiswa, dinamika mahasiswa dalam lingkungan sosialnya selalu ditangkap dari dimensi doktrinal di atas, sehingga ABRI menilai demonstrasi yang dilakukan akan mengganggu pemerintahan dan merongrong pemerintah. Maka seperti biasanya, ABRI menghadapi mahasiswa sebagai musuh, sehingga harus dihadapi dengan kekuatan senjata. Dengan begitu, seolah ABRI ingin mengatakan bahwa dalam situasi tertentu musuh ABRI adalah mahasiswa. Realitasnya, di mana ada komunitas aksi yang melibatkan mahasiswa, selalu diawasi, dicurigai dan setiap saat siap menyergap aktifis mahasiswa dengan tindakan koersif. Era reformasi

Ketika harapan banyak ditambatkan pada pemerintahan transisi. Lalu bagaimana dengan pola represifitas militer terhadap mahasiswa, adakah perubahan dibanding dengan Orde Baru? Tampaknya masyarakat tidak banyak melihat perbedaan yang berarti antara Habibie dengan Soeharto, guru besarnya. Pasalnya, pola represifitas ala Soeharto terhadap aksi demonstrasi, masih dipakai Habibie. Yaitu pola kekerasan aparat untuk meredam kritik terhadap penguasa, termasuk kritik yang dilakukan mahasiswa melalui demonstrasi. Sebagaimana diketahui, sampai kini aksi demonstrasi menolak Habibie masih marak dilakukan mahasiswa, sehingga Habibie pun kian merasa terusik kedudukannya. Akhirnya, belum lama ini, Habibie menginstruksikan kepada ABRI un-

tuk menindak tegas para demonstran. Terhadap jajaran perwira tinggi ABRI, ia megatakan bahwa aksi unjuk rasa akhir-akhir ini cenderung agitatif dan provokatif. Bukan hanya itu, upaya memulai represifitas juga dibawa ke sidang kabinet bidang Polkam. Hasilnya, Menkeh Muladi, manakut-nakuti dengan ancaman pasal makar bagi lawan-lawan politiknya, serta upaya pemberlakuan Perpu nomor 2/1998, yang akhirnya dicabut kembali karena ditentang rakyat. Jurus selanjutnya adalah pemberian ‘cap komunis’ kepada aksi mahasiswa, sebagaimana yang dikatakan Menhankam Pangab Wiranto. Korban perdananya adalah Forkot (Forum Kota) dan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Sementara itu, mesti sudah era reformasi, pada saat berhadapan dengan ABRI, mahasiswa sering merasa kehilangan hak kebebasan untuk bersuara. Dalam menghadapi aksi, ABRI hanya menggunakan pendekatan keamanan, yakni hanya menuntut mahasiswa segera bubar, tanpa memberi hak bicara. Memang benar yang dikatakan Bennedick Anderson, bahwa demokrasi susah ditegakkan dalam institusi militer. Hal ini disebabkan dalam tradisi militer hanya mengenal satu garis komando yang harus segera diselesaikan. Reporter : Encus, Irin Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 75/November 1998

Bunga Rampai

Amanat

165


166

Amanat Bunga Rampai


Mempertanyakan Tanggungjawab ABRI Sampai saat ini, ABRI masih menjadi sasaran hujatan dari berbagai kalangan. Benarkah ABRI yang harus bertanggung jawab atas insiden-insiden itu? Ataukah hanya untuk mendistorsi peran yang sudah mapan?

Sejak kerusuhan di Situbondo dan Banyuwangi Jawa Timur beberapa bulan silam, rupanya menandai bobroknya pemerintahan. Terbukti, kerusuhan susulan pun muncul beruntun, bak benang panjang tak berujung. Apalagi menjelang detik-detik pemilu Juni, menampakkan belang yang sebenarnya. Buktinya, aparat (ABRI) tak becus mengatasinya. Lihat, Ketapang, Kupang, Ambon, demikian juga masuk deretan kampium panas, Sambas, Sanggauledo (Kalimantan Barat). Kerusuhan yang semula penyebabnya hanya persoalan sepele akhirnya menjelma menjadi persoalan yang rumit. Bahkan ada garis merah, terkesan kerusuhan-kerusuhan tersebut karena persoalan SARA. Sementara, adapula pengamat menengarai kalau insiden-insiden tersebut terjadi akibat dari pertarungan elit politik (terutama di tubuh Militer). Hingga mengabaikan kepentingan rakyat.

Tak pelak, perlakuan tidak simpatik ini membuat beberapa daerah tingkat I gerah, segera melepaskan diri dari beban berat militer. Menjawab pertanyaan Amanat, Ketua FPP DPR RI, Drs. Zarkasi Nur memastikan, kerusuhan-kerusuhan yang melanda beberapa kota di Indonesia ini berawal dari persoalan politik. “Maka selama ini yang memegang itu siapa? Saya kira bisa mengerti semua,� ungkapnya. Kemudian, ia meminta untuk mewaspadai terhadap gerakan pro status quo sekarang ini. Ungkapan senada juga datang dari Pdt. Sularso Sopater dan KH Ali Yafie. Ia menilai, kerusuhan yang terjadi serentak ini ada yang merekayasa. Lanjutnya, politik adalah bidang kekuasaan. “Barangkali orang tidak siap untuk melepaskan kekuasaan. Untuk mempertahankannya ia menggunakan segala cara,� katanya seperti dikutip Tempo.

Bunga Rampai

Amanat

167


Sedangkan KH Ali Yafie mengatakan, faktor agama akhirnya dijadikan tumbal untuk kepentingan politik. “Mungkin karena sudah kehabisan akal di sektor Iain. Ada kekuatan-kekuatan dari orang beragama yang sedang berkuasa ingin memanfaatkannya untuk mendapat pembenaran dan pelanggengan kekuasaan.” Yang jelas, hikmah dari kekuasaan rezim Soeharto telah memunculkan ketidak puasan masyarakat, berujung pada keresahan sosial. “Perbedaan status sosial, ekonomi, etnisitas, dan kemudian di pertajam oleh profokator yang merupakan bagian dari sengketa elit politik,” tandas Ketua Umum PP. Muhammadiyah, Prof. Dr. Syafi’i Ma’arif kepada Amanat di kediamannya Perumahan Nogotirto Indah No. 64 beberpa waktu lalu. “Namun itu saya rasa oknum, bukan kebijakan ABRI. Wong mereka juga gamang dengan permasalahan mereka,” tambahnya. Sedangkan pemerintah, lanjut Syafi’i, sekarang ini ada keragu-raguan dalam penegakan hukum. Selama dua rezim berkuasa selama ini, etika politiknya sama saja. “Oleh sebab itu kalau ada kekuatan-kekuatan politik yang mewarisi kelakuan itu, ya itu yang harus dilawan,” ujar Guru Besar IKIP Negeri Yogyakarta yang juga wakil ketua DPA itu. Akhirnya, disintegrasi pun mengancam. Terbukti, tuntutan Rakyat Aceh Merdeka, Deklarasi Daulat Riau, Timor leste, bangkitnya isu RMS, serta Irian meluncur ke presiden B.J. Habibie.

168

Amanat Bunga Rampai

Tanggungjawab

Lantas, “Mana peran keamanan?” Saat kalimat pertanyaan dari rakyat itu sering meluncur ditengah-tengah kepongahan mereka, ternyata fakta berbicara lain. Sederet kerusuhan yang terjadi, ternyata ditemukan oknum-oknum ABRI yang diduga profaktor. Lihat saja di Kerawang, Kasus Ninja dan Dukun Santet yang berujung pada pembunuhan Kiai di Situbondo, serta Ambon. Sementara, kasus satu belum terselesaikan, muncul insiden baru yang tak kalah ngerinya. Barangkali perang etnis di Sambas. Ribuan nyawa melayang dan ribuan pengungsi membajiri tempat-tempat yang dirasa masih aman. Sedangkan pemerintah, masih sibuk membentuk tim-tim investigasi yang ternyata tak jelas kepentingannya. Komnas HAM pun tak tahu harus berbuat apa dan “LSM-LSM” diam seribu bahasa saat insiden melanda daerah yang notabene komunitas tertentu. Padahal, ribuan nyawa dan rumah telah melayang berikut struktur dan budaya masyarakat ikut musnah terpanggang api nafsu amarah. Fenomena itulah, yang membuat gerah sejumlah tokoh masyarakat. Ketua DPP PAN Amien Rais misalnya. Ia menilai, situasi tersebut merupakan ancaman yang sangat berbahaya terhadap stabilitas nasional. “Pemerintah Habibie kemudian ABRI dibawah Wiranto maupun Polri tidak boleh mengelak dari tanggungjawab terhadap keamanan nasional,” katanya kepada wartawan.


Ia menganggap aneh tentang insiden-isiden yang terjadi di tengah-tengah stereo intelegen ABRI yang makin canggih. Maka tak heran, bila muncul mosi tak percaya kepada manuver-manuver ABRI untuk memulihkan keamanan. Ide meminta intervensi moral kepada negera “Paman Sam” untuk meyelesaikan persoalan bangsa pun digulirkan. Meski muncul pro-kontra, persoalan pun sedikit terjawab. ABRI, tampaknya mulai agresif. Buktinya, team ABRI yang dikirim ke Ambon telah menampakkan hasilnya. Sementara, AS mulai agresif menguak kekayaan Mantan Presiden Soeharto, keluarga beserta kroninya yang tersimpan di beberapa kota Amerika Serikat. Mengapa ABRI tak kunjung dapat menyelesaikannya? “Logikanya gampang, mereka itu memang berusaha menciptakan isu-isu dan kerusuhan di beberapa tempat di saat dwi fungsinya digugat oleh rakyat. Kemudian, dari itu akan muncul opini masyarakat ternyata tanpa militer masyarakat sipil kisruh. Lha, ini membuka peluang lagi kepada militer untuk memegang kendali pimpinan lagi,” tutur salah satu fungsionaris DPD Partai Keadilan ketika ditemui Amanat di kediamannya. “Jadi sebenarnya ada ketakutan, wong mereka telah berkuasa selama 32 tahun, sulit itu dihilangkan,” tambahnya. Malah, Amien rnenganggap, keadaan menjadi lebih kacau bila militer diperkuat di suatu daerah tertentu. “Bila Suatu daerah diperkuat dengan kekuatan militer yang cukup besar, di situlah justru keadaan men-

(Dok. repro fotomedia)

jadi, lebih kacau dan lebih parah,” katanya kepada Amanat saat jumpa pers Tablik Akbar di DPD PAN Kudus beberapa waktu silam. Barangkali ada benarnya, pendekatan kekusaan yang dilakukan oleh ABRI sejak pemerintahan Orde Baru telah menyimpan rasa sakit hati yang sangat mendalam bagi rakyat. Padahal, sejak proklamasi kemerdekaan RI, bangsa yang memendam potensi konflik ini belum terselesaikan sepenuhnya. “Sekarang, tokoh-tokoh ABRI harus mengubah pendekatan itu. Itu tidak mudah,” demikian komentar Staf Pengajar IAIN Yogyakarta, Dr. Abdul Muni Mulkan kepada Amanat.

Bunga Rampai

Amanat

169


Zarkasi, pun tidak keberatan bila ada tudingan yang mengarah pada keterlibatan ABRI. Hanya saja menurutnya, belum ada data-data kuat tentang keterlibatan ABRI. Hal tersebut ditambah lagi kesan lambat ABRI dalam menyingkap sebab-sebab kerusuhan. “Memang benar demikian. Maka sangat disesalkan, kok_gerakan pemerintah dan ABRI begitu lambat sehingga korban begitu besar. Tetapi, setelah dikirim pasukan yang besar dari Jawa, kan bisa mereda. Di sinilah terlihat betul, andai kata begitu cepat diantisipasi, saya kira korban tidak begitu banyak,” tuturnya. Sulit tampaknya, mencari sebab pasti mengenai kenyataan sikap ABRI yang demikian itu. Penderitaan demi penderitaan terus saja mengganas, sedangkan keberadaan ABRI sudah tidak dapat diharapkan. Benarkah, karena keterlibatannya yang mengakar pada kekuatan sosial dan politik membuat ABRI membuta? Menurut Mantan Asisten Sosial Politik ABRI, yang kini menjadi anggota Majelis Pertimbangan (MPP) DPP Partai Amanat Nasional, Suwarno Adiwijoyo, suksesnya pembangunan ekonomi justru mengakibatkan gaji ABRI dan pegawai negeri bawah kehidupan rata-rata. Di lain pihak, juga menimbulkan dampak meningkatnya tuntutan dan harapan yang lebih meningkat. “Faktor ini mendorong mereka untuk mencari imbahan, misalnya melalui korupsi, kolusi, dan nepotisme,” tulisnya dalam Gatra. Demikian juga, lantaran telah mendapatkan kenikmatan di era Orde

170

Amanat Bunga Rampai

Baru, mereka juga cenderung mempertahankan kekuasaan Soeharto sebagaimana Orde Lama: Bung Karno didorong untuk berkuasa secara tak terbatas. “Upaya itu mendorong presiden berkuasa atas nama semua lembaga untuk negara, yaitu dengan mengeluarkan keputusan presiden untuk mengangkat anggota MPR (Keluarga Besar ABRI) dan Korp Pegawai Repulik Indonesia (Korpri) harus memilih Golkar. Bahkan segala keputusan dan penetapan kepemimpinan di daerah harus digodog melaui tiga jalur, yakni Depdagri, pimpinan ABRI, dan Pimpinan Golkar,” ungkapnya. Bahkan, dalam penanganan kasus-kasus di nusantara ini, katanya, ABRI cenderung mengedepankan operasi intelejen dan operasi tempur ketimbang operasi teritorial yang sering digembar-gemborkan di media massa selama ini. Mantan Gubernur Lemhanas, Letnan Jenderal (purnawirawan) Sayidiman Suryahadiprojo dalam wawancara dengan wartawan sebuah majalah terbitan dari Jakarta mengakui, ada yang kebablasan dalam mengimplentasikan Dwifungsi ABRI selama masa kepemimpinan Soeharto. Dampaknya, ABRI dapat berbuat hal-hal yang tak sesuai dengan etika ABRI. Oleh karena itu, ia menyarankan ABRI melakukan evaluasi, baik peran pertahanan dan keamanannya maupun peran sosial politiknya. Sudah barang tentu berbeda dengan Sayidiman, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto kepada wartawan


secara apologis menilai, paradigma baru itu bermaksud mengurangi peran ABRI, sehingga tak selalu harus di depan. “Menduduki” menjadi “Mempengaruhi” dan ABRI, katanya mau berbagi peran dengan non militer. Polri Lepas Bahkan, sikap reformis yang ditunjukkan oleh sebagian petinggi-petinggi ABRI, pun masih terkesan setengah-setengah. Pendapat mereka pada umumnya, kondisi krisis ini dampak dari reformasi. Itu, pun belum ada yang tercapai. Sudah barang pasti, mahasiswalah yang menjadi sasaran cemoohan. Maklum, saat itu memang mahasiswalah yang menjadi panglima reformasi. “Omong kosong memperbaiki ekonomi. Omong kosong menegakkan hukum, malah banyak demo dan anarkhi,” ucap Pangdam IV Diponegoro yang baru, Brigjen Bibit Waluyo dalam sebuah seminar di Auditorium II IAIN Walisongo beberapa waktu lalu. Meskipun begitu, pihaknya mengaku tetap konsisten menegakkan reformasi. Barangkali, pejabat seperti Bibit Waluyo inilah salah satunya yang belum faham betul mengenai reformasi. Sedangkan, ucapan itu ia lontarkan jauh hari setelah peristiwa Mei kelabu yaitu persis pada pelepasan Polri dari

ABRI (1/4). Lantas bagaimana komitmennya melaksanakan demokrasi? Tampaknya, belum seratus persen kepercayaan muncul dari masyarakat. Buktinya, beberapa kasus mengenai prilaku oknum-oknum ABRI yang masih over acting cukup meresahkan masyarakat. Data yang masuk pada acara orientasi jurkam PKB Jateng di PHI silam, mengindikasikan kepercayaan yang diharapkan masih jauh dari harapan. “Dari laporan jurkam daerah-daerah banyak oknum militer yang mengintervensi masyarakat pada wilayah politik, bagaimana preposisi ABRI ini,” ungkap salah satu fungsionaris DPW PKB, Sumanto pada salah satu acara seminar di IAIN Waliongo beberapa waktu lalu. Karenanya, menurut Cornelis Lay, perlu ada perbaikan politik yang cepat. “Entah pemilu yang dipercepat atau diulang. Bagi saya pemilu kemarin adalah sudah cacat,” Nah. Reporter : Akar, Haq dan Munif Laporan pernah dimuat di tabloid Amanat edisi 77/ April 1999

Bunga Rampai

Amanat

171


172

Amanat Bunga Rampai


Dari Pers Sampai Gerakan Mahasiswa Sejak dulu, pers dan gerakan mahasiswa menjadi kekuatan ampuh untuk melawan penguasa otoriter. Dan, ketika parlemen tidak memainkan fungsinya sebagai wakil rakyat, pers dan gerakan mahasiswa kembali mengambil peran ini. Membangun kekuatan oposisi adalah sebuah keniscayaan untuk mengkonsolidasikan proses transisi menuju demokrasi. Demikian kata Zaim Sajdi, Pemimpin Redaksi tabloid Adil. Karena dalam proses transisi tak jelas akan kemana arah negara; masa yang disebut meminjam istilah Eep Saifullah Fatah, Pengamat politik dari UI sebagai pasca otoritarianisme ini adalah bukan lari jarak pendek atau sprint melainkan lari marathon, karena transisi itu tidak linier mengarah ke demokrasi tetapi bisa memutar dan berbalik kembali ke otoritarianisme baru (Eep/1999). Pada titik inilah mencuat kebutuhan yang tak terhindarkan, yakni membangun oposisi yang solid dan permanen, dan idealnya tidak semua partai besar terlibat dalam koalisi, kata Prof. DR. Nurcholis Majid yang akrab dipanggil Cak Nur ini, tetapi apa lacur semua partai tereduksi dalam pemerintahan, sehingga tidak ada satu pun partai yang menjadi oposan, sehingga Prof. DR. Arief Budiman ketika di wawancarai oleh Amanat mengatakan, “Kalau sekarang saya kira

oposisi sangat dihindarkan oleh Gus Dur, dan dia berhasil,” kata staff pengajar Mellbourne University Australia ini. Sehingga harapan oposisi hanya terletak pada model oposisi ekstraparlementer, tetapi sejauh mana bargain dari ekstra parlemen ini, dan apakah efektif? “Efektif,” kata Bambang Widjojanto, “Sekarang saya tanya memang selama ini partai politik beroposisi? Dalam sejarah Indonesia tidak ada partai politik beroposisi. Coba dong cek. Tak ada, jadi kalau sekarang mereka tidak beroposisi ya memang sudah sejak dulu mereka tidak beroposisi. Yang beroposisi kan non-government itu.” Ketua YLBHI ini juga mengatakan, “Selama ini kalau mau fair siapa yang membongkar kekuasaan orde baru? Apa orang dalam? Tidak, kekuatan massa rakyat yang direpresentasikan oleh kekuatan kekuatan mahasiswa. Itu konkret, factual, kalau anda tanya seberapa kuat? Kuat! Kalau itu diorganisir dan ada momentum yang tepat,” ujar pria yang suka bicara lugas ini. Bunga Rampai

Amanat

173


Bahkan Arief mengatakan, efektivitas dari out sider ini sangat kuat. “Efektifitasnya sangat kuat, dan oposisi dari luar saya kira banyak. Oposisi itu akan selalu ada dimanapun juga, kalau dulu ditekan represi, sekarang tanpa represi, saya kira oposisi akan selalu muncul. Dan, karena oposisi yang dari partai dipotong Gus Dur maka, oposisi formal tidak ada, tetapi informalnya banyak terutama pers,” kata mantan dosen UKSW ini. Dan memang, ada beberapa elemen penting yang menjadi fungsi kritik dan kontrol, jika Lembaga kontrol resmi tidak berfungsi, diantaranya adalah mahasiswa, pers, dan LSM. Pertama, sejak dulu gerakan mahasiswa selalu menjadi agen perubahan. Sejarah membuktikan bagaimana efektivitasnya Gerakan ini. Soekarno tumbang karena Gerakan mahasiswa yang terkenal dengan Tritura-nya itu. Soeharto lengser juga karena Gerakan mahasiswa dengan memasuki gedung DPR/MPR. Habibie ditolak laporannya karena desakan mahasiswa. Meski Gerakan mahasiswa selalu berhasil, pertanyaannya adalah, apakah mahasiswa harus turun ke jalan? Menjawab pertanyaan ini, Prof. Miriam Budiharjo menjelaskan bukan berarti Gerakan mahasiswa tidak efektif. Tapi jangan sampai demonstrasi yang dilakukan mahasiswa dapat menimbulkan kekerasan. Mahasiswa menentang ABRI karena melanggar HAM, tapi ketika berdemonstrasi, mahasiswa menimbulkan kekerasan yang juga melanggar hak ketenangan orang lain. Meriam menambahkan, bahwa mahasiswa harus tetap selektif, jangan semua masalah diselesaikan den-

174

Amanat Bunga Rampai

gan demonstrasi. Silahkan pilih isu lingkungan atau DPR, jadi lebih spesifik. Di samping itu, mahasiswa harus tetap kuliah. “Ingat mahasiswa adalah calon pemimpin bangsa, kalau mereka tidak sekolah, bagaimana nanti jadinya,” tambah staff pengajar pada Fisipol UI. Untuk mengontrol pemerintah, harus ada kritik, baik dari masyarakat, kelompok professional, LSM atau mahasiswa. Tapi, untuk mahasiswa, carilah kritk yang masuk akal, karena mahasiswa adalah elemen masyarakat yang terpelajar,” papar Miriam lagi. Untuk itu, mahasiswa yang telah membuktikan kekuatannya sebagai agent sosial of control harus tetap menjaga garda terdepan reformasi, kritis terhadap pemerintah siapapun yang menjadi penguasa. Peranan pers

Kedua, setali tiga uang dengan Gerakan mahasiswa, pers sebagai pilar demokrasi keempat selalu dinamis mengikuti perubahan zaman. Dan, karena perannya yang kritis dan menyajikan informasi secara obyektif, menjadikan pers dan Gerakan mahasiswa menjadi partner yang solid dalam menumbangkan penguasa yang tiran. Mahasiswa dengan pergerakannya dan pers dengan sajian informasinya, menjadi symbiosis mutualisme ampuh yang dianggap sebagai “perong-rong”pemerintah yang tidak demokratis. Karena kekritisannya inilah tidak hanya aktivis mahasiswa saja yang mengalami intimidasi, pers pun mengalami nasib sama. Sehingga karena perannya yang vital ini sejak zaman Belanda, pers terus


Kebebasan pers pada masa lalu selalu menjadi momok bagi penguasa (Dok. repro Adil).

menerus diawasi dan ditekan. Pers selalu diikat oleh undang-undang. Sebagaimana yang pernah ditulis dalam Majalah Tempo dalam edisi mileniumnya, pada tahun 1856 misalnya, Reglement op de Drukwerken diberlakukan di Hindia Belanda. Menurut aturan sensor preventif ini, media cetak yang harus diterbitkan harus dikirim ke kepala pemerintahan dimana pers terbit. Tak jauh beda, pada tahun 1906 meski peraturan Reglement op de Drukwerken diganti, pers tetap dibawah pengawasan represif dengan menyetorkan paling tidak setelah 24 jam terbit. Dalam perkembangannya, pada tahun 1918 ranjau hukum pers masuk dalam KUHP, dan wetboek van stafrecht yang bersifat karet diberlakukan di Hindia Belanda, pada pasal 154-157 tentang delik penebaran kebencian juga pasal 207 dan 208 tentang delik terhadap negara, serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Berita Bohong. Pada zaman penjajahan jepang, pers tetap diawasi. Ada UU Nomor 16

yang memberlakukan izin terbit, preventif dan menempatkan penasehat Jepang di kantor pers pribumi. Alih-alih pasca penjajah berakhir, ternyata pers tetap tidak berubah nasibnya. Selalu saja ada peraturan yang memasung pers. Pada tahun 1956, lewat keputusan Jendral AH Nasution, ada pengendalian pers. Pada tahun 1960 Menpen membentuk badan pembinaan dan pengendalian pers untuk mengatur pers. Dan pada tahun 1961 ada pengaturan tentang pengendalian pers untuk swasta. Edward C. Smith melihat dalam kurun waktu 1952 sampai September 1965 pers mengalami politisasi dan ideologisasi oleh Soekarno dan PKI. Terjadinya 561 tindakan anti pers seperti interogasi, peringatan, penyitaan percetakan, penahanan pemenjaraan, pembatasan perjalanan, serta pemberedelan. Pada zaman Soeharto, pers mengalami nasib yang tragis. Soeharto mengeluarkan undang-undang pers yang baru, pada tahun 1984 lembaga SIT (Surat Izin Terbit) diganti dengan SIUPP (Surat Izin Penerbitan Pers) dan menjadikan PWI (Persatuan WarBunga Rampai

Amanat

175


tawan Indonesia) sebagai satu-satunya wadah wartawan yang diakui pemerintah. Buntutnya, karena dianggap tidak sepaham dengan pemerintah, maka Detik, Tempo, Editor dibredel. Ketiga media tersebut hanyalah beberapa contoh korban dari banyaknya pers yang dibredel. Maka tak salah jika kemudian Daniel Dhakidae (1991) menamai kehidupan pers pada masa orde baru sebagai “The rise of capital and the fall of political journalism” (Eep: 1999). Data-data tersebut menunjukkan bahwa sejak dulu pers selalu mengalami refresifitas negara. Penguasa tidak terima jika karena berita-berita yang disampaikan oleh pers menjadi bola salju yang menggelinding dan menciptakan gelombang besar people power. Roda tak selamanya di bawah kata pepatah, sehingga meski sejak dulu pers selalu ditekan, suatu saat pers akan bangkit dan menjadi salah satu pilar demokrasi. Dan buah itu tampaknya mulai bisa dinikmati sekarang. Pers secara bebas mengungkap fakta dalam laporan-laporannya secara kritis dan tajam. Sehingga meski pers dibungkam, ia akan tetap menjadi oposisi yang efektif karena keberadaannya diperlukan untuk memberikan peringatan terhadap pemerintah. Sekarang pers boleh bicara apa saja. Kalau dicermati, kebebasan tersebut merupakan satu bentuk peran oposisi. Di samping pers dan Gerakan mahasiswa, Arif Budiman juga menyinggung pentingnya peran LSM (NGONon Government Organization). Dia melihat, ada rangkaian kerja yang

176

Amanat Bunga Rampai

sangat bagus antara LSM, pers, dan mahasiswa. Pers sebagai penyaji informasi yang objektif, LSM bertindak sebagai pengontrol (whatch) yang sekaligus memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan mahasiswa. Sementara, mahasiswa akan segera merespon. “Jadi nanti akan ada protes, kritik, demonstrasi yang akan dilakukan oleh mahasiswa melalui informasi LSM,” lanjut pria yang pernah dideportasi dari Indonesia oleh pemerintah orde baru ini. Dan sebenarnya masih banyak elemen-elemen lain yang tak kalah penting dan punya peranan yang signifikaan terhadap berlangsungnya demokratisasi baik secara personal maupun Lembaga. Semoga dengan berseraknya oposisi akan menjadi kekuatan solid yang mampu menjaga demokrasi dari rongrongan para penguasa lalim. Karena kehadiran oposisi jelas merupakan kebutuhan mendesak. Sebab, kata Eep S. Fattah oposisi sebagaimana ditulis Ghita Lonescu dan Isabel de Madriaga dalam Opposition (1982) adalah “Pemerhati, pengontrol dan evaluator perilaku dan kinerja negara”. Dan dimana pun, negara membutuhkan oposisi sebagai sparing parnernya. Reporter : Wuri, Laporan Rodji, Manyuan, Amel Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 80/ Februari 2000


Forum Komunikasi Persma IAIN Walisongo; Hidup Lalu Mati Lagi 23 tahun perjalanan pers mahasiswa (Persma) IAIN Walisongo, empat persma tumbuh dalam satu civitas akademik, sayangnya semua berjalan sendiri-sendiri tanpa ikatan tanpa komunikasi, siapa berani memulai? Berbekal semangat dan satu mesin ketik manual, 23 tahun lalu, beberapa mahasiswa Fakultas Dakwah nekat menerbitkan majalah mahasiswa. Memang nekat karena pada awal penerbitan, mereka benar-benar dari nol, belum punya bekal jurnalistik yang cukup apalagi bekal modal atau fasilitas. Keberanian mereka memang layak diacungi jempol, karena sampai beberapa edisi penerbitan, selain berkutat dengan tema-tema tulisan yang akan mereka terbitkan, pengelola benar-benar peras keringat untuk menghidupi majalahnya. Bahkan, tak jarang mereka sering “bantingan” menguras kocek sendiri. Pada awal terbit, sebenarnya belum layak disebut majalah, lebih pas disebut bulletin karena baru berupa tulisan dengan lay out sangat sederhana dan belum dicetak tapi difotokopi. Seperti diceritakan salah satu Founding Father Majalah MISSI, Drs. Satriyan Abdurrahman kepada MISSI majalah tertua di IAIN. “Dulu itu kalau lembur susah, karena belum ada listrik apalagi kalau

hujan, di kampus satu atapnya sering bocor,” kenangnya. Cerita serupa juga dialami oleh empat persma lainnya, majalah Justisia misalnya, yang kelahirannya dibidani oleh Lembaga Kajian Mahasiswa Fakultas Syari’ah (FORSI), juga mesti bantingan untuk biaya operasional sebelum akhirnya menarik dana mahasiswa. Sampai sekarang persoalan dana masih tetap menjadi kendala. Hal ini diakui oleh Pemred EDUKASI, majalah mahasiswa Tarbiyyah yang semula bernama CITRA, Saifuddin Alia yang terpaksa mengaborsi beberapa kegiatan karena dana seret turun. Uniknya, aktivis persma tetap bertahan hidup-kadang dengan napas kembang kempis- walau dililit banyak persoalan. Sampai awal tahun 80-an, IAIN Walisongo baru mempunyai tiga majalah fakultas, yaitu MISSI, EDUKASI, dan JUSTISIA. Begitupun, budaya menulis di IAIN dirasa masih sangat gersang. Berangkat dari keprihatinan ini ditambah ketidakberdayaan IAIN Bunga Rampai

Amanat

177


untuk mengirim delegasi pada lomba karya ilmiah yang diselenggarakan majalah Manunggal UNDIP pada tanggal 14 Agustus 1984, akhirnya mahasiswa yang aktif di jurnalistik sepakat untuk mendirikan persma tingkat institute yang diberi nama Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat. Aktivitas non jurnalistik

Memang, produk persma adalah majalah/tabloid dan kadang-kadang bulletin, tapi sungguh itu bukan kerja yang mudah karena untuk menerbitkan satu media dibutuhkan banyak agenda pendukung. Tengok saja majalah JUSTISIA yang punya ELSA dan SKM AMANAT yang punya Lingkar Be-Empat, forum dimana tarung wacana dan diskusi periodic untuk pendalaman tema berlangsung. Atau majalah MISSI yang bekerja sama dengan Lembaga Studi Pers dan Informasi (LeSPI) untuk mengadakan pelatihan jurnalistik bagi pengelolanya. Diskusi, pelatihan jurnalistik, memang telah menjadi kebutuhan primer bagi persma sebagai modal untuk belajar menulis professional. Hasilnya, memang tidak selalu memuaskan, karena semua toh tetap kembali pada masing-masing aktivis. Walaupun harus diakui, banyak mantan aktivis persma yang gemilang berkarir di pers umum. Untuk mahasiswa, semua persma punya agenda tahunan yang berbeda. Ada Temu Pembaca, Dialog dengan dekanat/institute atau polling dengan sampel mahasiswa. Semua itu sangat penting artinya untuk mendongkrak kualitas. Selain itu, forum untuk internal persma juga tidak dilupakan. Sarase-

178

Amanat Bunga Rampai

han tentang Pers Islam se-Jateng dan DIY tahun 1998 yang diselenggarakan majalah MISSI pada ulang tahun ke-20 misalnya, atau Penataran Penerbitan dan Loka Karya (PENTALOKA) persma PTAI se-Indonesia pada tanggal 4-7 Februari 1992 yang digelar SKM AMANAT. Dalam forum yang diikuti 39 peserta dari persma IAIN se-Indonesia itu, berhasil disusun pokok-pokok pikiran tentang persma PTAI serta kurikulum pelatihan persma PTAI. Komunitas bersama

Namun, sukses menjalin komunikasi di tingkat nasional ternyata belum menjamin sukses di kandang sendiri. Inilah yang dialami persma IAIN Walisongo. Sampai beberapa bulan setelah PENTALOKA yang melahirkan Forum Kerjasama Penerbitan Mahasiswa IAIN, di kampus IAIN Walisongo sendiri, selain tukar hasil penerbitan, hubungan antar persma pun masih beku. Kebekuan itu berjalan bertahun-tahun. Walaupun secara personal sesama aktivis persma kerap bertemu, tapi secara kelembagaan belum ada ikatan sama sekali. Sampai pada tahun 1992, kebekuan itu pecah oleh kasus penganiayaan dan pembunuhan wartawan BERNAS, Fuad Muhammad Syarifuddin (Udin). Berawal dari keinginan mengungkapkan rasa solidaritas terhadap kematian Udin sekaligus seruan menghargai profesi wartawan, aktivis persma IAIN Walisongo berdiri dibawah satu nama yaitu Serikat Persma IAIN Walisongo (SPMW) menggelar aksi di kampus III pada tanggal 29 Agustus 1996. Kesepakatan untuk membentuk SPMW memang bersifat incidental.


Aksi forum komunikasi perma walisongo saat aksi solidaritas kematian udin (Dok. Amanat)

Akibatnya, setelah aksi selesai, selesai pula aktivis SPMW. Aktivitas bersama baru dimulai lagi pada tahun 1997 dengan kesadaran bahwa dalam aktivitas persma sehari-hari ada sesuatu yang kurang yakni, ikatan dan jaringan komunikasi sesama persma IAIN Walisongo. Maka, pada tanggal 27 Juni 1997 di hall SKM AMANAT, persma IAIN Walisongo minus LPM IDEA dari Fakultas Ushuluddin dialog bersama tentang kebutuhan komunikasi juga membangun ikatan moral. Dialog yang dihadiri Qodri A. Azizy, Purek III saat itu akhirnya menyepakati satu forum komunikasi antar persma IAIN Walisongo dengan nama Forum Komunikasi Pers Mahasiswa IAIN Walisongo (FK-PMW). Hangat-hangat tahi ayam, barangkali sebutan inilah yang paling pas untuk menggambarkan aktivitas bersama persma IAIN Walisongo. Tak lain karena keakraban FK-PMW hanya terwujud pada beberapa kegiatan

diantaranya refleksi bersama pada Hari Kemerdekaan RI tahun 1998. Setelah itu, sampai sekarang FK-PMW sepi aktivitas. Padahal, menyitir ungkapan M. Tri Muda’I, mantan Pemred Majalah IDEA, “Tanpa komunikasi, persma akan terus digasak suprastruktur komunikasi massa. Itu bisa dimulai dengan mengangkat isu-isu yang sama dengan angle berbeda,� ujarnya. Untuk tidak sekedar hidup, banyak agenda mesti diselesaikan dan komunikasi antar persma utamanya persma IAIN Walisongo, adalah agenda mendesak agar persma dinamis, solid dan mendapat tempat layak dalam civitas academica IAIN Walisongo. Lantas, siapa berani memulainya? Reporter: Ibud, Amal, Odix Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 81/ Mei 2000

Bunga Rampai

Amanat

179


180

Amanat Bunga Rampai


Dan, Djamil pun Melenggang (Lagi) Lewat proses yang alot dan melelahkan, Abdul Djamil berhasil mengungguli Amin Syukur dan Muhibbin. Untuk empat tahun ke depan, Djamil akan memasinisi IAIN Walisongo.

Senin Wage, 13 Nopember 2006 pukul 09.00 WIB, lantai 2 Auditorium I Kampus I IAIN tampak sesak. Para pejabat teras IAIN berkumpul dan dengan hikmat mengikuti sebuah acara ‘penting’ yang diselenggarakan Senat Institut yaitu Rapat Senat Terbuka Pemaparan visi, misi dan program Bakal Calon (Balon) Rektor IAIN Walisongo 2006-2010. Dalam kesempatan tersebut, Ketua Tim Persiapan Pemilihan Rektor (Pilrek) Dr. Ahmad Gunaryo M.Soc.Sc. menjelaskan, diantara 19 dosen dan guru besar yang berhak mencalonkan diri menjadi balon, hanya tiga orang yang menyatakan diri berkompetisi untuk jabatan pemimpin tertinggi di PTAIN terbesar di Jateng ini. Mereka adalah Mantan Dekan Syari’ah Prof. Dr.Muhibbin, M.Ag, Rektor lama Prof. Dr. Abdul Djamil, M.A. dan mantan Dekan Ushuluddin Prof.Dr. H. M. Amin Syukur, MA. Dua hari kemudian, pada 15 Nopember 2006, Pilrek digelar. Bertempat di Ruang Sidang Senat Institut di

Gedung Rektorat Kampus I, lewat sebuah proses yang kompetitif dan sarat trik-intrik, Abdul Djamil mampu mempertahankan ‘kursi’ Rektor IAIN Walisongo Semarang untuk empat tahun ke depan. Jika dibanding empat tahun lalu, Pilrek kali ini terasa lebih mendebarkan. Kala itu, Djamil yang sebelumnya sudah Pgs (Pejabat Pengganti Sementara) Rektor (mengisi posisi rektor lama; Prof. Dr. A. Qodry Azizy,M.A. yang diangkat menjadi Dirgen Bagais Depag Pusat. Red) digadang-gadang oleh banyak kalangan akan menang mudah waktu Pilrek. Hasilnya pun tak meleset dari dugaan. Djamil duduk menjadi orang nomor satu IAIN Walisongo dengan angka (17:5:0) atas Dr.Mukhoyar dan Dr. Abdul Hadi (dulu belum Profesor. Red). Sedang pada pilihan rektor kali ini, Djamil mendapat ‘perlawanan’ sengit dari ‘koleganya’ sendiri di Fakultas Ushuluddin; Amin Syukur. Dari 35 suara Anggota Senat Institut, 18 suara Bunga Rampai

Amanat

181


mendukung Djamil, 17 suara lainnya ikut Amin Syukur. Sedang balon lain, Muhibbin, tidak mendapat satu suara pun. Djamil melenggang sebagai rektor IAIN Walisongo Semarang untuk kedua kalinya, hanya dengan selisih satu suara dari Amin Syukur. Penggembira

Selain kompetisi Dua Guru Besar Fakultas Ushuluddin tersebut, masuknya Muhibbin dalam bursa Pencalonan Rektor, memunculkan spekulasi tersendiri. Indikasinya, bisa dilihat dari perolehan suara. Mantan Dekan Syari’ah ini tidak mendapat satu suara pun, padahal lelaki kelahiran Demak ini mempunyai hak suara. Banyak pihak menganggap, keikutsertaan Muhibbin hanya sebagai calon penggembira sekaligus pelengkap agar Pilrek bisa digelar. Dalam aturan, Pilrek dapat dilaksnakan, jika ada balon minimal tiga dan maksimal enam. Jika syarat ini tidak terpenuhi, Pilrek harus ditunda. Kepada Kru SKM Amanat, Doktor lulusan UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta ini pun mengakui hal tersebut. “Saya nyalon untuk memenuhi kuota batas minimal, biar Pilrek cepat selesai. IAIN masih banyak PR yang harus dikerjakan,” terang jebolan Futuhiyyah ini santai. Sayangnya, isu yang beredar bercerita lain, Ahli Hadits ini disuruh mengalah kepada Abdul Djamil. Kompensasi buatnya adalah Pembantu Rektor II. “Kalau Pak Hibbin ngalah, katanya sih mau dikasih PR II,” terang salah satu Anggota Senat Institut yang namanya tidak mau dikorankan.

182

Amanat Bunga Rampai

Sejauh ini, berdasar penelusuran SKM Amanat, isu di atas bukan isapan jempol belaka. Oleh banyak pihak, Muhibbin disebut-sebut menjadi kandidat tunggal Pembantu Rektor (PR) II IAIN Walisongo, menggantikan pendahulunya, Drs. H. M. Nafis Junalia,MA. Namun isu ini ditepis Muhibbin. “Ah, itu pikiran yang ngawur. Saya ga da deal seperti itu. Lagian, yang menentukan pembantu rektor, itu senat, rektor hanya mengusulkan,” sanggah Muhibbin. Terpecah dua?

Kemenangan Djamil yang tipis dan tidak adanya suara bagi Muhibbin, praktis membuat Senat Institut terpecah menjadi dua, 18 suara pro Djamil dan 17 suara mendukung Amin Syukur. Proporsi suara seperti ini bak buah simalakama. Disamping menghebohkan, juga mengkhawatirkan. Pasalnya, jika management conflict gagal diterapkan, disamping riskan, bukan tidak mungkin ke depan bisa menjadi bumerang bagi IAIN Walisongo. Tentu saja, Djamil akan menghadapi dilema. Satu sisi, ia dituntut mengangkat pendukungnya. Tapi meniadikan keberadaan kubu lawan, amat riskan. Apalagi, jika ahli Tasawuf ini sampai cuci gudang. Isu yang beredar mangatakan, selama periode empat tahun lalu, Abdul Djamil lebih menerapkan politik cuci gudang dibanding akomodasi. Salah satu indikasinya banyak guru besar IAIN yang nganggur dan tidak mengajar di Pascasarjana. Hal ini, bukan lantaran mereka tidak memadai kapa-


(Dok. Amanat)

sitas intelektualnya, tetapi lebih karena alasan politis. “Dulu, mereka (guru besar yang tidak dipakai tenaganya. Red) adalah musuh-musuh politik Pak Djamil,” ujar salah satu guru besar yang tak mau disebut namanya. Bagaimana dengan empat tahun ke depan? “Semua terserah Pak Djamil, akomodasi atau ‘cuci gudang’ mempunyai risiko masing-masing,” terang Angota Senat Institut Drs. Musahadi, M.Ag. ketika dimintai komentar. Bagi Musahadi, dibanding cuci gudang, politik akomodasi secara moral memang lebih baik. Sayangnya, ada kendala psikologis yang berat untuk itu. “Apalagi jika rivalitas yang terjadi, mempunyai tingkat gesekan yang dalam.” Ujarnya. Kendala politik akomodasi, lanjut Musa disamping butuh waktu, juga harus ada transformasi visioner. Dan, dalam dataran riil, hal ini sering kali gagal. Konsekuesi logisnya, rek-

tor akan mengalami kesulitan menjalankan programnya. Padahal, “Rektor kan harusnya mempunyai kabinet yang sehati,” tegas Musa. Namun, menurut Kepala Puslit IAIN Walisongo ini, cuci Gudang juga berisiko tinggi. Pasalnya, menafikan realitas politik dan cenderung melanggengkan rivalitas. “Semua terserah rektor, apapun pilihannya mestinya dimaklumi,” ungkap Musa santai. Hal berbeda diungkapkan mantan Presiden BEMI 2003/2004, As’adul Yusro,S.Hi. Menurutnya, demi kemaslahatan bersama, rektor terpilih hendaknya menerapkan politik akomodatif. Harapannya, semua pihak bisa diajak berjuang bersama demi memajukan IAIN Walisongo. “Ini bisa dibahasakan mengikat lawan,” ujar Yusro. Beberapa guru besar yang sekaligus Anggota Senat Institut, ketika ditemui Kru SKM Amanat juga menyarankan agar rektor terpilih lebih Bunga Rampai

Amanat

183


memilih akomodasi dibanding cuci gudang. “Kalau Pak Djamil berfikir orientasi kelembagaan, baiknya merealisasikan politik akomodatif, apalagi, selisih suaranya cuma satu. Harusnya beliau lebih bijak dalam melihat potensi IAIN,” terang salah satu guru besar yang enggan menunjukkan jati dirinya ini kalem. Seakan tak mau ketinggalan, Presiden BEM IAIN Walisongo, Fauzan Nihayah juga mengatakan hal senada. Baginya, rektor terpilih mesti mengakomodasi seluruh komponen yang ada. Pasalnya ke depan untuk membangun IAIN yang lebih berkualitas, butuh sumbangsih semua pihak. “IAIN adalah tanggung jawab seluruh civitas academika,” ujar mahasiswa asal Pati ini mantap.

Komentar yang menyejukkan muncul dari Unatul Hasanah, menurutnya “pertengkaran” antar birokratIAIN Walisongo mestinya segera disudahi. Baginya, akomodasi lebih baik dari pada cuci gudang, “Kapan baiknya IAIN, kalua pejabatnya berantem terus,” terang Mahasiswa Fakultas Tarbiyah angkatan 2003 tersebut.

Di tengah ingar-bingar kepentingan politik berbagai pihak, mahasiswa biasa mempunyai cara pandang tersendiri. Bagi A. Nurul, lebih baik Rektor cuci gudang dan merangkul teman dari pada orang lain. Harapannya, agar kerja Rektor lebih gampang. “Meski demikian, saran dan kritik mesti ditampung untuk kebaikan bersama,” terang mahasiswa Fakultas Syari’ah asal Banten ini santai.

Apapun pilihan politik Abdul Djamil, menurut Pembantu Rektor III IAIN Walisongo, Drs. H. Machasin,M. Si., tidak akan memunculkan perpecahan di IAIN Walisongo. Macahsin yakin, dalam demokrasi kampus, tak ada oposan karena kalah menang adalah hal biasa. “Saya rasa anggota senat tidak akan berfikiran sedangkal itu,” terang mantan aktivis Menwa itu kalem.

Sedang bagi Sujarno, cuci gudang merupakan pilihan terbaik, karena hal ini konsekuensi logis dari politik. “Dari pada nanti jadi duri dalam daging, kan kacau,” lanjut Mahasiswa Ushuluddin ini sedikit serius.

Sebaiknya, lanjut Machasin, “semua pihak menerima kenyataan yang ada. Karena bila masih mengedepankan egoisme masing-masing kelompok, maka dampaknya, hanya akan merugkan IAIN,” tegas Dosen Ilmu Dakwah tersebut.

Ada juga komentar berbeda. “Lebih baik akomodasi saja, kan kasihan, masak kalah langsung dibiarkan. Pasti timbul gesekan yang lebih besar,” takut Izza Pratiwi, mahasiswi asal Pekalongan.

184

Hal senada diungkapkan Saechul Anwar, secara moral, sebaiknya Rektor terpilih melakukan akomodasi. Pasalnya, kubu lawan pasti juga mempunyai visi lain yang berguna bagi IAIN Walisongo. Manfatatnya, “Nuansa politis juga bisa diminimalisir,” ujar mahasiswa asal Purwodadi ini mantap sambal menganggukkan kepalanya.

Amanat Bunga Rampai

Bagaimana dengan sang rektor terpilih? Ditemui beberapa jam setelah menang, Djamil hanya menjawab diplomatis. “Status saya masih sebagai calon, belum rektor, jadi gak


etis kalua bicara hal-hal yang bersifat gege mongso. Kita lihat saja nanti,” jelas pengurus Masjid Agung Jawa Tengah itu tegas. Bumbu Pilrek?

Tentu saja, yang namanya politik, entah di lembaga pemerintahan maupun akademik, pasti penuh trik dan intrik. Isu money politic, tak jarang pula ikut mewarnai. Telepon dan SMS dari tim sukses masing-masing calon juga ikut “merayu” pelaku Pilrek IAIN Walisongo kali ini. Tidak hanya rayuan dan iming-iming, hujatan dan kecaman juga ikut “berseliweran”. Tentu saja, dialamatkan ke kubu lawan. Bahkan, Anggota Senat Institut, Fauzun Nihayah yang seharusnya dianggap netral karena mewakili mahasiswa, tidak luput dari “getah” buah politik yang sedang granum-ranumnya. Pasca pemilihan, Presiden BEMI ini mendapat banyak kiriman SMS yang tidak pantas. Adalah nomor liar 08566062574 yang menusuk hati aktivis berbobot itu. “Saya sampai tidak doyan makan dan tidak bisa tidur, terlalu berat bagi saya diberlakukan (dikirimi SMS.Red) seperti ini. Kenapa proses demokrasi harus seperti ini, apalagi ini dalam wilayah kampus, sangat tidak manusawi,” ujar Fauzun prihatin sembari menunjukkan isi SMS kepada Kru SKM Amanat.

pa yang lebih kejam dengan nomor 081390754406 sebagai perantara. “Sangat tidak pantas, seorang akademisi mengirim SMS sekasar dan setak senonoh itu kepada sejawatnya,” ungkapnya. Tidak hanya Zein Yusuf, Dr.H. Abu Hapsin, M.A. yang tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan Pilrek, juga mendapat SMS serupa. “Sudahlah jangan terlalu dibesar-besarkan, namanya juga politik praktis, ntar hilang sendiri,” jawab dosen yang gelar doktornya diperoleh dari University of Mahidol, Thailand ini santun. Ya, Pilrek telah usai. Walaupun dipenuhi dengan berbagai “penyedap”, teka-teki orang nomor satu IAIN Walisongo akhirnya terjawab sudah. Tentang hal ini, Mantan Calon Rektor IAIN Walisongo, Muhibbin hanya berpesan, “Sudahlah jangan diperpanjang lagi. Jangan ada golongan ini atau itu. Harus dipahami, disini adalah dunia perguruan tinggi. Lebih baik kita fokus ke mahasiswa, masih banyak yang harus kita kerjakan,” tandas mantan Dekan Syari’ah tersebut tegas. Reporter : G-penk Pujiyanto Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 108/Februari 2007

Tak hanya Fauzun, Dekan baru Fakultas Dakwah, Drs. H.M. Zein Yusuf, M.M. juga mendapat SMS seru-

Bunga Rampai

Amanat

185


186

Amanat Bunga Rampai


Senat Mahasiswa di Tengah Prahara Pilrek telah usai. Tapi, pilihan politik senat mahasiswa memunculkan tanda tanya. Terakomodirkah kepentingan mahasiswa? Pagi itu, 15 November 2006, tak seperti biasanya Fauzun enggan mengangkat telepon genggamnya. Padahal, dua Hp miliknya tak berhenti berdering sejak tengah malam. Bahkan, SMS-SMS yang masuk pun tak digubrisnya. Hari itu, dua Hp miliknya benar-benar “dicuekin”. Ya, pagi itu, pas hari H pilihan rektor. Bagi tim sukses 2 calon rector IAIN Walisongo, Fauzun benar-benar bak gadis cantik nan molek. Telepon dan SMS mereka berisi “pinangan” tak berhenti merayu Fauzun. Tentu, iming-imingnya pun tak sembarangan. Mulai dari tawaran beasiswa S2 sampai urusan pekerjaan. Tapi, sang presiden tak bergeming. Baru setelah pilrek kelar digelar, ia menyambangi telepon genggamnya. “BEM Independen,” ujar sang presiden tegas. Ketika ditanya maksud independent, ia hanya berkata, “pilihan berdasar pembacaan yang logis dan tak ada tendensi politis,” jawab Fauzan bergaya diplomatis.

Tetapi, kabar di luar presiden bercerita lain. Fauzun tak lagi netral. Sejak awal, ia sudah terlibat deal dengan salah satu calon. Sehingga, waktu Pilrek, tanpa ragu Fauzun memberikan suaranya untuk Abdul Djamil. “Tentu ada kompensasi yang sebanding untuk itu,” ujar narasumber Amanat yang tak mau disebutkan Namanya (sebut saja TH. Red). Saat ini, menurut TH, beasiswa dari Pemprov Jateng sudah menunggu presiden dan kebinetnya. Bahkan, ke depan, urusan pekerjaan juga bukan sesuatu yang mesti dipusingkan sang presiden. Saat dikonfirmasi Amanat, isu tersebut langsung ditepis Fauzun. Bahkan, sang presiden malah merasa menjadi korban isu-isu yang beredar. Tak sekedar “fitnah” yang menimpanya, dua hari pasca Pilrek usai, SMS berisi umpatan kata-kata kotor, kecaman dan ancaman pun kerap menyambangi telepon genggam Fauzun. “Saya sampai nangis kalau membaca

Bunga Rampai

Amanat

187


SMS itu,” ujar Fauzun sembari memperlihatkan isi SMS. Kepada Amanat, Fauzun mengakui pernah diajak “rapat” oleh tim sukses dari 2 kubu calon rektor. Tetapi, ajakan tersebut sering ia tolak, lantaran khawatir berimbas pada pilihan politiknya. “Kalau tentang beasiswa itu sangat tidak benar. Silahkan dicek, kalau ga percaya tanya temen-temen BEM. Saya terakhir dapat beasiswa itu semester 7 yang lalu,” ungkapnya. Lain dengan presiden mahasiswa yang “sibuk” menjelang Pilrek, kolega Fauzun; ketua DPMI, Agus Umar terlihat “adem ayem” saja. Pasalnya, sejak proses awal Pilrek, ia ditengarai sudah menjatuhkan pilihan pada kubu Amin Syukur. Sehingga, tim sukses calon lainnya sudah tak lagi berminat meminangnya. Walau begitu, kabar yang beredar mengatakan, ia akan diberi “sesuatu” kalau calon pilihannya melenggang ke kursi rektor. Kompensasinya sama seperti koleganya; Presiden BEM IAIN Walisongo. Ditemui Amanat di tempat kosnya, ketua DPMI ini memberikan pilihan politiknya kepada Amin Syukur. Tapi, menurut mahasiswa Fakultas Dakwah ini, keputusannya tak semata berdasar pembacaan terhadap kualitas calon rektor yang ada, tapi juga berlandas polling yang disebar DPMI. Ceritanya, jauh-jauh hari sebelum Pilrek, DPMI menyebar 1300 lembar kuisioner. 1000 lembar untuk mahasiswa, sisanya karyawan. Hasilnya, mayoritas responden menginginkan perubahan di IAIN.

188

Amanat Bunga Rampai

“Intinya itu. Selama ini IAIN hanya membangun gedung, tapi kualitas dan manajemennya tidak diperhatikan,” tandas Umar tegas. Tapi tentang isu beasiswa, seakan tak mau kalah sigap dengan presiden BEM, ketua DPMI ini pun menepisnya. “Seumpama pak Amin jadi rektor, saya nanti dapat apa bisa dibuktikan,” ujar Agus Umar enteng. Entah siapa yang benar, yang pasti isu “politik dagang sapi” presiden BEM dan ketua DPMI makin nyaring terdengar. Sayangnya, sampai saat ini, Amanat kesulitan melacak kebenaran isu tersebut. “Ya lihat saja nanti, kalau beberapa bulan mendatang ada beasiswa berarti isu tersebut bukan isapan jempol semata,” ujar TH enteng. Di samping “rame” dengan isu money politic, Pilrek kali ini juga diramaikan dengan banyaknya Lembaga yang ikut “nimbrung” mewarnai gawe empat tahunan ini. Tentu saja, keterlibatan mereka juga sarat kepentingan akan jatah “kue” kekuasaan. Mulai dari organisasi kemasyarakatan, sebut saja NU dan sejenisnya, sampai Lembaga alumni organisasi ekstra seperti KAHMI turut ambil bagian. Kompensasinya pun beragam, mulai dari “bantuan” dalam bentuk nominal uang sampai “jatah” kursi pembantu rektor. Sebut saja, jabatan pembantu rektor (PR) III yang selama ini “diberikan” kepada anggota Muhammadiyah, kali ini harus rela “diisi” oleh salah satu anggota organisasi ekstra kampus lantaran partisipasinya “mengegolkan” salah satu calon rektor.


Bahkan, tak hanya itu, pentolan partai politik juga ikut mewarnai Pilrek. Abdul Kadir Karding, S.Pi misalnya, pimpinan Dewan Tanfidz PKB Jateng yang selama ini dikenal akrab dengan Addul Djamil, disebut-sebut ikut menggunakan pengaruhnya untuk mewarnai Pilrek. Dan hasilnya? “Karding sukses;” ujar narasumber Amanat yang minta dirahasiakan Namanya. Kepentingan mahasiswa?

Pilrek telah usai. Teka teki orang nomor satu IAIN Walisongo pun terjawab sudah. Tapi, “pilihan politik” dua senat mahasiswa memunculkan tanda tanya. Idealnya, sebagai wakil mahasiswa, mereka dituntut action bagi kepentingan mahasiswa dan IAIN Walisongo ke depan. Dibanding Pilrek empat tahun lalu, polah senat mahasiswa sekarang sangat “bertolak belakang”. Kala itu, Aziz Hakim, presiden mahasiswa periode 2001/2002, lebih memilih walk out. Alasannya, tuntutannya Aziz Hakim tak dikabulkan senat. Tuntutannya berbunyi; agar Pilrek ditunda, proses-proses pra pemilihan diulangi, dan seluruh prosesi Pilrek dilakukan secara terbuka dan bisa disaksikan oleh seluruh civitas academica. Tak tanggung-tanggung, di samping walk out, Aziz Hakim bersama FORMACI (Forum Mahasiswa Cinta IAIN. Red) pun menggelar aksi. Toh, walau usaha Aziz Hakim dan elemen mahasiswa kandas. Setidaknya, mereka sudah menunjukkan “kekuatan” mahasiswa di mata rektor. Seharusnya, presiden BEM dan ketua DPMI adalah kawan seiring se-

jalan. Apalagi, saat gawe empat tahun ke depan. Awal sebelum Pilrek, presiden BEM dan ketua DPMI “akur” kala menolak SE revisi statute yang menolak keterlibatan mahasiswa dalam prosesi Pilrek. Lalu, menjelang debat kandidat calon rektor, mereka masih seiya sekata. Lewat rapat gabungan BEM, DPMI serta BKM Fakultas, lahirlah rekomendasi kontrak politik antara mahasiswa dengan semua calon rektor, tanpa kecuali. Sayangnya, hanya Amin Syukur dan Abdul Djamil yang bersedia tanda tangan. Muhibbin menolak dengan berbagai alasan. Tapi anehnya menjelang Pilrek, mereka “terpecah” dan asyik dengan “pilihannya” sendiri-sendiri. Tak ada rencana walk out atau aksi tuntutan mahasiswa kala Pilrek berlangsung. Seakan proses Pilrek diloloskan tanpa kawalan yang berarti. Padahal, sebagai Lembaga politis, BEM dan DPMI mempunyai akses untuk memobilisasi mahasiswa. Tentang hal ini, Fauzun menilai kontrak politik yang digalangnya bersama elemen mahasiswa sudah cukup untuk mengawal Pilrek. Baginya, kalau sudah ditandatangani oleh calon rector, kontrak politik itu legal dan bisa ditagih kapan saja, “Isinya menyangkut nasib mahasiswa dan Lembaga kemahasiswaan,” ujarnya. Kenapa tak walk out? Fauzun hanya menjawab, “Memilih atau tak memilih adalah hak,” ujarnya enteng. Mahasiswa Syari’ah ini menceritakan, sehari sebelum Pilrek dihelat, selama lima jam, mulai pukul 20.00 sampai Bunga Rampai

Amanat

189


Kepentingan mahasiswa, terakomodirkah dalam Pilrek kali ini? (Dok. Amanat)

01.00 malam, ia bersmaa kabinetnya melakukan pembacaan terhadap semua calon rektor. “Masing-masing calon kita SWOT kelemahan dan kelebihannya dari berbagai sisi,” ujarnya. Memang, rapat malam itu tak berbuah kata sepakat, lantaran banyak “argumentasi dan kepentingan” dari para Menteri kabinetnya. Tapi, Fauzun merasa sudah punya bekal untuk menentukan pilihan. Baginya, mending memilih salah satu calon dibanding harus walk out. “Siapapun yang jadi, toh mau tak mau kita juga harus menerimanya,” imbuhnya. Alasan yang hampir sama juga dikemukakan Agus Umar. Terpenting bagi ketua DPMI ini, pilihannya berdasar argumentasi yang logis dan merupakan aspirasi mahasiswa

190

Amanat Bunga Rampai

sendiri. “Pilihan itu berdasar polling dari mahasiswa,” tandasnya. Kini, prahara Pilrek sukses dihelat. Ibarat pepatah tak ada makan siang gratis. Begitu pula dengan “aktor-aktor” politik Pilrek kali ini. Tentu saja, selalu ada kompensasi bagi sebuah keputusan politik. Entah, siapa yang untung dan bunting dalam suksesi kepemimpinan IAIN Walisongo ini. Tapi, banyak pihak yang menyayangkan sikap politik senat mahasiswa. Bagi Fatahudin Latif, Pilihan politik senat mahasiswa, baik BEM maupun DPMI kurang tepat. Alasannya, pembacaan mereka terlalu dini, karena calon-calon rektor yang ada saat ini cenderung stagnan dalam hal pengembangan IAIN Walisongo; yakni intelektualisme, seni, dan olahraga. “Mending sikap yang diambil Aziz Hakim waktu Pilrek empat tahun lalu,” ujar mantan Sekjend BEM ini.


Simak pula komentar As’adul yusro, bagi mantan presiden BEM ini, kepentingan mahasiswa terpinggirkan dalam Pilrek kali ini. Parahnya, hal itu lantaran “polah” senat mahasiswa sendiri.

3. Mengembangkan Lembaga kemahasiswaan IAIN Walisongo Semarang supaya tetap eksis dan mampu berkompetisi dengan kembaga kemahasiswaan universitas lainnya.

“Entahlah, saya heran dengan pembacaan mereka waktu Pilrek,” tandas Yusro dengan mata nanar.

4. Memberikan apresisasi kepada aktivis mahasiswa dan mahasiswa yang berprestasi.

Mungkin, zaman memang sudah berubah Yus.

5. Memberikan ruang berekspresi bagi para alumni berprestasi yang mampu mengangkat nama baik almamater.

Isi kontrak Politik: 1. Bersedia mengambil segala kebijakan yang berpihak pada kepentingan mahasiswa. 2. Memberikan dukungan sepenuhnya kepada Lembaga kemahasiswaan (BEM, DPM, dan UKM) baik tingkat institut maupun tingkat fakultas secara moral dan material, serta penambahan dana DIPA.

6. Transparansi dana Lembaga IAIN Walisongo setiap tahun yang dipublikasikan di media (minimal media mahasiswa). Reporter: Muhammad Oliez Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 108/ Februari 2007

Bunga Rampai

Amanat

191


192

Amanat Bunga Rampai


Statuta Dihujat Perubahan isi statuta tak disosialisasikan. Mahasiswa berontak menuntut dilibatkan dalam Pilderek Pagi, sekitar jam 10 (12/11) Fakultas Ushuluddin yang biasanya terlihat tenang tiba-tiba geger. Puluhan mahasiswa memaksa merengsek masuk gedung dekanat yang saat itu sedang terjadi prosesi pemilihan dekan. Beberapa demonstran meneriaki agar pemilihan dekan dihentikan. “Mahasiswa harus dilibatkan dalam proses pemilihan dekan,” teriak seorang orator dalam demonstrasi itu. Sebagai birokrat di IAIN Walisongo menganggap demonstrasi itu tindakan “memalukan”. Beritanya tersiar massif di media massa membuat birokrasi mengambil sikap. Ya, beberapa mahasiswa yang menjadi motor demonstrasi dipanggil dan diberi penjelasan perihal perubahan aturan statuta IAIN Walisongo. Pembantu Rektor (PR) III Erfan Soebahar mengatakan, demonstrasi mahasiswa itu salah sasaran. Sebab, statuta dibuat oleh Kementerian Agama (Kemenag), bukan IAIN. “Kenapa demonya ke IAIN?”, katanya. Rupanya, tak seluruh mahasiswa melunak setelah mendapatkan penjelasan. Sebagiannya tetap kukuh

pendirian. Menuntut diberi hak suara dalam Pemilihan Dekan dan Rektor (Pilderek). Sebagai tindak lanjut, sekitar sebulan kemudian, diadakanlah pertemuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) tingkat Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) se-Indonesia. Dalam agendanya, salah satunya merumuskan rancangan peninjauan ulang statuta yang dinilai diskriminatif. Rencananya, rumusan itu akan diajukan Kemenag sebagai bahan aspirasi untuk ditindaklanjuti. Pada dasarnya, tuntutan mereka sama. Meminta agar mahasiswa dilibatkan dalam anggota senat dan diberi hak suara dalam proses Pilderek. Problem statuta

Statuta merupakan kumpulan aturan dan pedoman penyelenggaraan Pendidikan. Meliputi aspek kelembagaan, kepegawaian, kemahasiswaan, keuangan, perlengkapan, serta sarana dan prasarana kegiatan akademik. Pedoman itu adalah hasil keputusan Menteri Agama sebagai acuan dalam penyelenggaraan program kampus. Bunga Rampai

Amanat

193


Erfan menganalogikan statute dengan kitab suci yang tak bisa diganggu gugat. “Kita harus menjalankan syari’at yang ada di dalamnya,” tegasnya. Tuntutan mahasiswa sebenarnya bukan tanpa dasar. Empat tahun lalu (2006), mahasiswa, diwakili ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA), dan ketua Senat Mahasiswa Institut (SMI) dilibatkan dalam anggota senat. Konsekuensinya, mereka diberi hak untuk ikut “campur tangan” dalam urusan rumah tangga IAIN, termasuk berpartisipasi dalam Pilderek. Keputusan Rektor IAIN yang melibatkan mahasiswa dalam anggota senat saat itu mengacu pada Keputusan Menteri Agama (statuta) Nomor 59 Tahun 2003. Disebutkan dalam statuta bagian kelima pasal 25 ayat ketiga tentang penetapan senat. Isinya: (3) Senat terdiri atas guru besar, rektor, pembantu rektor, dekan, direktur pascasarjana, wakil dosen, dan unsur lain yang ditetapkan senat. Ayat tersebut pada akhirnya menjadi kontroversial. Sebab, di situ tak dijelaskan secara eksplisit apa makna dari “unsur lain”. Walhasil, ayat “mutasyabihat” tersebut memicu timbulnya tafsir yang beragam. IAIN Walisongo menafsiri kata frase itu dengan memasukkan beberapa elemen kampus. Seperti, Pusat Pengabdian Masyarakat (PPM), Pusat Penelitian (Puslit), dan perwakilan dari mahasiswa (DEMA dan SMI). “Itu adalah hasil ijtihad IAIN sendiri,” terang Erfan. Kebijakan tersebut dimksudkan untuk memberi akses mahasiswa

194

Amanat Bunga Rampai

agar dapat turut andil besar dalam menetukan arah kebijakan institut. Menurutnya, hanya IAIN Walisongolah yang menerjemahkan “unsur lain” dengan memasukkan unsur mahasiswa di dalamnya. Di kampus lain, tidak ada kebijakan seperti itu. Lima tahun pasca Keputusan Menteri Agama Tahun 2003, sekitar pertengahan tahun 2008, turun Keputusan Menteri Agama (statuta) Nomor 38 Tahun 2008. Praktisnya, statuta terbaru itu turun mengggantikan statuta lama (2003). Meski tak jauh berbeda dengan statute lawas, namun ada beberapa perubahan isi pasal di dalamnya. Di antaranya, perubahan pasal tentang penetapan senat. Ayat tentang “unsur lain” sebagaimana tertera di statuta 2003 tetap ada. namun, ada sedikit perubahan. Jika dulu, kata “unsur lain” tak dijelaskan secara eksplisit maknanya. Di statuta 2008 dipertegas dan dijelaskan secara eksplisit makna unsur lain melalui penambahan ayat selanjutnya. Ayat itu berbunyi: (5) Anggota senat dari unsur lain adalah individu atau tokoh masyarakat yang mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi peningkatan mutu institut. Erfan mengatakan, individua tau tokoh masyarakat yang dimaksud bukan dari mahasiswa. Melainkan orang luar yang punya kontribusi terhadap pengembanagan IAIN Walisongo. Penegasan ayat tersebut, menurut Erfan, menutup kemungkinan IAIN untuk tetap memasukkan mahasiswa dalam “unsur lain”.


Puluhan mahasiswa melakukan aksi demonstrasi terkait perubahan statuta di gedung dekanat Fakultas Ushuluddin. (Dok. Amanat)

“Jika melanggar statuta, kita bisa ditindak,” katanya. Menengok sejarah

Sebenarnya, bukan hanya unsur mahasiswa saja yang kini tak dilibatkan dalam anggota senat. Usnur lain seperti PPM dan Puslit juga tak lagi dilibatkan. Katua PPM Darmuin, mengaku tak keberatan dirinya tak dilibatkan lagi dalam anggota senat. Seperti halnya pihak birokrat lainnya, alasan Darmuin cenderung normative. Ia menilai, keputusan senat untuk tak melibatkan unsur lain sudah tepat karena sesuai prosedur yang telah ditetapkan dalam statuta. Darmuin meyakinkan, orangorang yang saat ini terpilih untuk duduk di anggota senat sudah layak dan kredibel. “Kita percayakan saja kepada mereka.” Tuturnya. Berbeda dengan PPM dan Puslit

yang tak mempersoalkan perubahan kebijakan tersebut, sebagian mahasiswa tetap ngotot agar bisa dilibatkan dalam anggota senat. Menurut pengakuan Erfan, setidaknya sudah empat kali pasca pemilihan dekan, ada beberapa mahasiswa mendatanginya untuk melobi tuntutan mereka. Erfan tak bergeming. Jawabannya tetap sama seperti proses sebelumnya, “Kita hanya menjalankan aturan dari atas,” Meski jawaban kalangan birokrasi perihal perubahan kebijakan penetapan senat normative. Sebagian pihak menilai, sebenarnya ada pertimbangan logis lain yang menyebabkan IAIN emoh melibatkan mahasiswa dalam proses Pilderek. Yaitu, terkait pengalaman sejarah. Hal itu dapat ditilik di Amanat Edisi 108 (2006). Saat itu, IAIN menoreh sejarah dengan melibatkan mahasiswa menjadi anggota senat dan

Bunga Rampai

Amanat

195


diberi hak suara dalam proses pemilihan rektor. Kebijakan yang semula dimaksudkan bisa mengakomodasi dan memperjuangkan hak mahasiswa berbalik menjadi boomerang.

menurutnya tak pernah diajak diskusi sebelumnya terkait perubahan mekanisme Pilderek. Menurutnya, birokrasi cenderung tertutup dan menjaraki mahasiswa.

Senat dari kubu mahasiswa yang saat itu diwakili oleh Ketua BEM Institut Fauzun Nihayah malah menjadi “bulan-bulanan” para kandidat. Karena memiliki hak suara, ia diperebutkan calon dengan barbagai cara. Mulai mengancam, intervensi, sampai rayuan beasiswa S2. Syahdan, organisasi ekstra pun turut mengintervensi sehingga kubu mahasiswa pecah. Akhirnya, proses pemilihan rektor tak kondusif.

“Statuta turun 2008, tapi kenapa baru disosialisasikan sekarang,” keluhnya.

Minim sosialisasi

Sejak statuta Nomor 38 Tahun 2008 yang mengalami banyak perubahan isi diturunkan, tak banyak mahasiswa yang tahu. Puncaknya, saat Pemilihan Dekan (Pildek) lalu, mahasiswa berontak karena tak lagi dilibatkan dalam anggota senat seperti dulu. Minimnya sosialisasi terkait perubahan isi statuta disinyalir sebagai penyebab timbulnya kesalahpahaman mahasiswa dalam memahami statuta. Erfan menangkis, sejak statuta 2008 itu turun, sudah dilakukan sosialisasi. “Tapi, sosialisasi hanya ditujukan kepada DEMA dan SMI,” jelasnya. Berbeda dengan yang diungkapkan koordinator aksi demonstrasi Pildek di Fakultas Ushuluddin. M. Maftuh, ia mengatakan, mahasiswa baru diberi tahu soal perubahan isi statuta dua minggu sebelum pemilihan dekan berlangsung. Mahasiswa

196

Amanat Bunga Rampai

Terkait hal itu, mantan Rektor Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Eko Budiharjo menilai, protes mahasiswa terajdi karena sosialisasi tak dilakukan secara maksimal. Apalagi, itu menyangkut hajat mahasiswa. Ia berpendapat, jika sosialisasi dengan melibatkan banyak mahasiswa dilakukan secara maksimal dan terbuka, niscaya tak terjadi fenomena mahasiswa protes atau demo. “Mahasiswa harusnya diajak bicara sebelumnya,” usul eko Sebelumnya, tambahnya mencontohkan hanya bisa dilakukan dialog terbuka untuk menapung aspirasi mahasiswa. Selain sebagai medium sosialisasi, hal itu juga untuk menjaga komunikasi birokrat-mahasiswa agar tak ada kesan ditutup-tutupi. “Jika tidak ada niatan jelek kenaoa ditutup-tutupi? Harusnya terbuka saja dan mahasiswa diajak bicara,” saran Eko Reporter: Farid Helmi, Ahmad Syifaus Starif Tulisan pernah dimuat di Tabloid Amanat edisi 115/ Februari 2011


Organisasi Ekstra “Mbonceng “ Resitasi Penyaluran resitasi OPAK dinilai kurang transparan. Kepentingan organisasi ekstra kampus turut menumpang. Senin itu, sekitar 2.500 mahasiswa baru IAIN Walisongo tumpah ruah di halaman Fakultas Syariah untuk mengikuti acara Orientasi Pengenalan Akademik Kemahasiswaan (OPAK) tahun 2013. Tepat pukul enam pagi, rangkaian acara pun dimulai, dua jam lebih awal dari rencana yang dijadwalkan semula. Jeda waktu itu digunakan panitia untuk mengumpulkan resitasi (penugasan) yang dibawa mahasiswa baru. Resitasi merupakan bentuk penugasan yang diberikan kepada mahasiswa baru dalam setiap acara OPAK di IAIN Walisongo. Resitasi ini bermacam-macam bentuknya, tergantung kesepakatan panitia. Kepala Sub Bagian Kemahasiswaan dan Alumni IAIN Walisongo Ahmad Fauzin mengatakan, resitasi merupakan bentuk pengembangan diri yang diimplementasikan dalam penugasan. Sedikitnya ada tiga poin penting yang harus diperhatikan dalam resitasi: rasa bertanggung jawab, kedisiplinan, dan respon terhadap pemerintah.

“Resitasi harus disesuaikan dengan pola pengembangan akademik,” Fauzin menekankan. Menurut ketua OPAK institut Ahmad Munazib, resitasi yang dibebankan kepada mahasiswa baru bertujuan mengajari mereka untuk memupuk ketaatan kepada aturan. “Menumbuhkan budaya ikhlas berbagi kepada sesama,” katanya. Dijelaskan Munazib, resitasi tahun ini adalah beras 0,5 kilogram, 2 bungkus mie instan, kantong plastik untuk tempat sampah, koran untuk salat dan buku bacaan. Tak cuma di tingkat institut, mahasiswa baru juga dibebani resitasi saat mengikuti OPAK di fakultas. Baik OPAK di Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), Fakultas Syariah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), maupun Fakultas Ushuluddin (FU), resitasi yang dibebankan kepada peserta OPAK berupa makanan dan minuman untuk persediaan latihan dan pelaksanaan Orientasi Seni Ilmiah dan Ketrampilan (Orsenik). Hanya saja jenisnya berlainan. Bunga Rampai

Amanat

197


Sedangkan untuk Fakultas Ushuluddin, ada resitasi tambahan berupa buku bacaan. “Bukunya nanti disalurkan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ushuluddin,” tutur ketua OPAK Fakultas Ushuluddin Abdul Rosyid. Minus Transparansi

Sayangnya tak banyak mahasiswa paham penyaluran resitasi yang sudah terkumpul pada panitia. Mahasiswa Fakultas Ushuluddin Iin Solehan, misalnya, mengaku tak tahu resitasi mau dikemanakan. Kata Iin, panitia hanya memberi informasi bahwa resitasi akan disalurkan untuk bantuan sosial. “Namun, hingga kini tidak ada laporan dari panitia terkait penyalurannya,” katanya. Penyaluran resitasi pun menyulut rasa penasaran Muhammad Iqbal Ar-ruzzi. Mahasiswa Fakultas Syariah ini pernah menanyakan masalah itu kepada panitia. Sayangnya, ia tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan. Ia sempat dijanjikan untuk diikutkan ketika penyaluran resitasi dilakukan. Tapi janji hanya tinggal janji. Munazib mengakui, selama ini memang tidak ada pemberitahuan resmi terkait penggunaan resitasi. Ia berasumsi, mahasiswa baru sudah faham penggunaan resitasi. “Nanti kalau ada mahasiswa yang tanya, akan kami jelaskan,” tambahnya. Jumlah resitasi yang terkumpul pun tak diketahui rinci. “Kesalahan saya tidak pernah menghitung jumlah resitasi itu,” kata Wakil Ketua OPAK 2013 Ahmad Amiruddin. Ketika OPAK berlangsung, Amir hanya mengum-

198

Amanat Bunga Rampai

pulkan resitasi di kantor Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA). Jika ditaksir dari jumlah mahasiswa, resitasi yang terkumpul adalah sekitar 1,25 ton beras, 5000 bungkus mie instan, dan 2500 buku. Sebelum disalurkan, Munazib menjelaskan, resitasi yang terkumpul ketika OPAK institut dibagi untuk panitia institut dan empat fakultas. Terbatasnya kepanitiaan di tingkat institut menjadi alasan untuk melibatkan panitia fakultas. Sementara, untuk tempat bakti sosial terserah masing-masing panitia fakultas. Namun Amir menyayangkan pola pembagian tersebut. Sebab sejak awal tidak ada kesepakatan soal itu. Menurutnya, pembagian ini terkesan sembunyi-sembunyi. Masalah kemudian timbul tatkala ada pembagian resitasi yang diserahkan di empat fakultas. Diakui Amir, sejak awal memang tidak ada koordinasi antar panitia terkait penyalurannya. Ujungnya arah penyaluran resitasi pun tidak jelas. Jatah panitia institut sendiri akhirnya disalurkan pada bakti sosial di Desa Sendang Sekucing, Kendal. Disunat Orsenik

Persoalan penyaluran resitasi di tingkat fakultas lebih ruwet. Beberapa fakultas justru menyunat resitasi. Mantan ketua BEM Fakultas Dakwah Dawam Mahfuz menjelaskan, resitasi dari institut digunakan untuk kebutuhan Orsenik karena minimnya dana. Barulah sisanya untuk bantuan sosial. Penyaluran pertama dilakukan pada tanggal 29-30 November 2013 di Desa Wonoplumbon, Mijen, Sema-


Koptu Suyoni RT 02 RW IV Wonosari, Mangkang, pada 10 September 2013. Di Fakultas Syariah, sebagaimana dikatakan mantan BEM Syariah Siham Muhammad, jatah resitasi dari institut sudah disalurkan melalui UKM Jami’atul Quro’ wal Huffadz (JQH). Tetapi ketika Amanat mengkonfirmasi hal itu, ketua UKM JQH Rois menampik. “Saya tidak menerima resitasi itu. Saya juga merasa tidak pernah diajak kerjasama oleh panitia OPAK,” sanggah Rois. Diboncengi Oraganisasi Ekstra

Masalah resitasi tak berhenti di situ. Penyaluran resitasi ternyata bukan atas nama mahasiswa baru. Amir sendiri mengakui, penyaluran resitasi di tingkat institut disalurkan atas nama Paguyuban Keluarga Mahasiswa IAIN Walisongo yang mewadahi semua anggota UKM institut.

Buku resitasi OPAK yang masih tersisa di kantor DEMA. (Amanat/Ahmad Muhlisin)

rang. Yang kedua pada tanggal 14 November 2013 di Auditorium 2 kampus 3. Pun begitu di Ushuluddin. Penanggungjawab resitasi Fakultas Ushuluddin Zainal Abidin mengatakan, sebagaian besar resitasi jatah dari institut habis untuk latihan Orsenik. Sisanya baru dititipkan kepada BEM Tarbiyah untuk bantuan sosial. Di Tarbiyah sendiri, resitasi disalurkan ke Panti Asuhan Darul Hadlonah di Jl.

Hal yang sama juga terjadi di Tarbiyah. Telusuran Amanat di Panti Asuhan Darul Hadlonah, ditemukan bahwa penyaluran resitasi ditumpangi salah satu organisasi ekstra kampus. Ridaul Maghfiroh, pengurus panti tersebut, menjelaskan bahwa bantuan dari IAIN Walisongo diserahkan atas nama BEM Tarbiyah dan salah satu organisasi ekstra. Hal itu dikuatkan oleh salah seorang pengajar di panti tersebut yang juga menjabat Kepala Bagian Rumah Tangga IAIN Walisongo Ahmad Munif. “Kalau enggak salah ada BEM dan teman-teman dari ekstra,” kata Munif. Di Fakultas Dakwah pun demikian. Baik bantuan sosial di Desa Wono-

Bunga Rampai

Amanat

199


plumbon maupun di Auditorium 2 Kampus 3 ditumpangi oleh organisasi lain yang bukan atas nama mahasiswa baru IAIN Walisongo. Nasib resitasi buku malah lebih tidak jelas. Sebagian besar buku raib tak diketahui ke mana arahnya. Seorang sumber, sebut saja jelita, mengungkap resitasi buku bacaan yang sedianya untuk perpustakaan mahasiswa angkatan 2013 ternyata sudah tidak utuh lagi. Buku itu sudah menyebar ke beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) dan juga organisasi ekstra yang mempunyai basis massa kuat di kampus. “Kami malah ditawari untuk mengambil buku-buku itu,” terang Jelita yang juga panitia OPAK. Di sebuah basecamp organisasi ekstra yang ditelusuti Amanat, ternyata memang terdapat sederet buku tertatata rapi di rak. Pada halaman-halaman judul pada buku-buku tersebut terdapat bubuhan keterangan nama mahasiswa baru selaku pengumpul resitasi. Percobaan “Monopoli”

Tahun 2013 lalu, resitasi OPAK telah disediakan Koperasi Mahasiswa (Kopma). Kepala Bidang Usaha Kopma Ismawati menjelaskan, baik resitasi institut maupun fakultas tersedia di Kopma. Semula berawal dari inisi-

200

Amanat Bunga Rampai

atif Kopma yang lantas disahuti oleh panitia OPAK. “Kerjasama dengan panitia OPAK masih sebatas lisan saja. Sifatnya belum mengikat, karena tidak berupa Nota Kesepakatan (MoU),” aku Isma. Mekanismenya, panitia OPAK menginformasikan ke Kopma resitasi apa saja yang dibebankan kepada mahasiswa baru. Praktis tugas Kopma adalah menyiapkan bahan-bahan resitasi untuk dijual ke mahasiswa. “Nanti ada bagi hasil 20% dari laba bersih yang diberikan kepada panitia OPAK,” ungkapnya. Sayangnya, lanjut Isma, kurangnya koordinasi dari panitia memyebabkan proyek penyediaan resitasi tidak berjalan sesuai rencana. Hal itu lantaran informasi dari panitia kepada mahasiswa baru sangat minim. Akibatnya masih terdapat sekitar 40% barang yang tidak terjual. Reporter : Ahmad Muhlisin Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 122/Februari 2014


Macan Pantura Tinggal Nama Berbagai julukan pernah disematkan untuk aktivis IAIN (sekarang UIN) Walisongo. Kini mereka dikenal sebagai apa dan siapa? Ban bekas, meja dan kursi kayu tergeletak di tengah jalan. Beberapa saat kemudian, seorang mahasiswa menumpahkan bensin, lalu melempar api berkobar. Kemacetan parah tercipta di sepanjang jalur utama Pantai Laut Utara (Pantura). Tak jauh dari sana, ratusan mahasiswa bergerombol membentuk barikade. Tangan mereka saling berpegangan. Seorang di antaranya berdiri di depan massa dan berteriak lantang, “Turunkan harga BBM.� Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa IAIN Walisongo terus menyuarakan tuntutan penolakan terhadap rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Jumat 30 Maret 2012. Selang ratusan aparat kepolisian dari Polrestabes Semarang datang. Mereka menyemprotkan gas air mata dan water canon yang menghujani demonstran. Massa membalas dengan lemparan batu. Kericuhan tak dapat dihindarkan. Demonstran kocar-kacir dan berlarian. Sebelumnya, mereka juga melakukan aksi mogok

makan di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah. “Banyak teman kami yang pingsan dan dilarikan ke rumah sakit akibat gangguan pernafasan,� ujar Mohammad Mushonnifin mengenang demonstrasi yang ia ikuti enam tahun silam, saat ditemui SKM Amanat Rabu (10/04). Aksi serupa pernah juga dilakukan mahasiswa pada tahun 2013 dengan mengangkat isu sama, penolakan kenaikan BBM. Meskipun kala itu, aksi tak sebesar sebelumnya, namun, Mushonnifin mengeklaim jika mahasiswa IAIN Walisongo adalah satu-satunya di Jawa Tengah yang melakukan aksi penolakan. Menurut Mushonnifin, aliansi mahasiswa lintas perguruan tinggi sebelum tahun itu masih solid. Tetapi tahun setelahnya, aliansi mahasiswa lintas kampus tak lagi satu pandangan, sehingga kekuatannya berkurang. Karena sering aksi turun ke jalan, mahasiswa IAIN Walisongo dicap dengan berbagai julukan, mulai Bunga Rampai

Amanat

201


Unjuk rasa massa Aliansi Mahasiswa IAIN Walisongo menyuarakan tuntutan penolakan terhadap rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM), Jumat 30 Maret 2012. (Dok. Istimewa).

“tukang demo” hingga “macan pantura. Tetapi sejak konversi UIN pada 19 Desember 2014, aksi serupa tak terlihat lagi. Aksi demonstrasi yang berujung blokade jalur pantura, terakhir terjadi pada, Senin 2 Desember 2014. Aksi itu pun bukan mengatasnamakan organisasi internal kampus, melainkan organisasi ektstra. Fokus Isu Kampus

Lima tahun belakangan ini, Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) sebagai perwakilan mahasiswa justru lebih fokus mengurusi persoalan internal kampus. Berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat seperti luput dari perhatian. Muhammad Afit Khomsani, KetuaDema UIN Walisongo (2017), men-

202

Amanat Bunga Rampai

yayangkannya. Semangat pergerakan untuk memperjuangkan serta memperbaiki keadaan mestinya tidak boleh pudar. Tahun boleh berganti, generasi telah beralih, tetapi semangat itu mestinya tetap membara yang diimplementasikan dalam beragam cara. “Julukan macan pantura pernah kami dapatkan. Namun lambat laun julukan itu memudar,” ungkapnya, saat ditemui di Perpustakaan Universitas, Selasa (02/04). Aksi yang dilakukan aliansi mahasiswa IAIN Walisongo tersebut adalah bentuk penyikapan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat. Dema menjadi garda depan yang mewakili suara mahasiswa dan masyarakat di hadapan pemerintah.


Sayang, pantauan Amanat, sikap kritis organisasi intra kampus atau Dema dalam mengawal isu sosial maupun kebijakan publik memudar dalam beberapa tahun belakangan. Peran itu masih diambil oleh mahasiswa, namun yang berafiliasi dengan organisasi ekstra kampus, semisal Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Kesatuan Aksi Mahasiswa Musim Indonesia (KAMMI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Dema kini cenderung lebih fokus mengawal isu internal kampus atau kebutuhan yang berhubungan dengan mahasiswa, ketimbang isu luar. Hasil penelusuran SKM Amanat, pada tahun 2013 aksi pergerakan masih mewarnai dinamika perguruan tinggi, semisal aksi penolakan kenaikan harga BBM dan aksi pengawalan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jateng 2013. Namun pada 2015, aksi serupa nyaris tak tampak. Ahmad Lutfi Ketua Dema UIN Walisongo 2015 mengakui, pada masanya, kepengurusannya lebih memfokuskan kegiatan akademik mahasiswa, serta mengawal isu seputar kampus. Kepengurusan Dema selanjutnya yang dipimpin Muhammad Rizky Prasitya (2016) memberi sedikit perubahan. Dema saat itu terlibat dalam pengawalan isu Semen Kendeng serta ikut mengawal kasus pembredelan majalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Lentera Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Sayang, peran

Dema kala itu hanya bersifat partisipatif. Pengawalan kasus Semen Kendeng masih dilanjutkan kepengurusan Dema UIN Walisongo tahun 2017. “Sebab kami masih fokus pada problem kampus yang harus di benahi, ditambah karena konversi dari IAIN ke UIN, banyak yang harus di urusi” katanya Tetapi pada masa kepemimpinan Syarifuddin Fahmi sebagai ketua Dema 2018, pengawalan kasus yang bersentuhan langsung dengan masyarakat hampir tidak ada. Kepengurusan hanya difokuskan untuk mengawal isu seputar mahasiswa. Organisasi tak jalan

Pryo Ihsan Aji Ketua Dema UIN Walisongo 2019 mengakui, gerakan Badan Eksekuitif Mahasiswa (BEM) di lingkup Perguruan Tinggi di Semarang sedang vakum. Baik dalam ranah diskusi maupun aksi. Di antara penyebabnya, jalinan komunikasi dengan kampus-kampus lain kurang. Pertemuan antar aktivis kampus jarang dilakukan. Mereka lebih sibuk dengan urusan masing-masing di kampus. Padahal, BEM di Kota Semarang sudah memiliki wadah untuk saling koordinasi dalam mengangkat isu bersama bernama BEM Semarang Raya. Alih-alih melakukan pergerakan, kepengurusan organisasi itu bahkan tidak jelas. “BEM Semarang Raya sampai saat ini belum ada pertemuan, dahulu pas 2018 hanya satu kali. Membentuk ketua koordinator, namun sekarang ketuanya malah tidak ada. Kepengurusannya juga belum jelas” jelasnya, Rabu (02/06)

Bunga Rampai

Amanat

203


Perkumpulan BEM tingkat provinsi Jawa Tengah hingga nasional kurang lebih kondisinya sama. Di Jawa Tengah, terdapat wadah BEM Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Sayangnya, organisasi itu pun tidak memiliki kegiatan yang jelas, kecuali sebatas untuk menjalin silaturahim antar kampus.

lembaga. Sebagaimana slogan Dema tahun ini yakni “Kabinet Sinergi Energi”.

Di tingkat nasional, terdapat setidaknya dua organisasi yang mewadahi BEM seluruh Indonesia, yakni Forum BEM Nusantara dan BEM Seluruh Indonesia (SI). BEM Nusantara beranggotakan aktivis BEM Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dan PTKIN. Sedangkan anggota BEM SI lebih pada BEM PTN. Mereka aktif grup Whatsapp. Di situ, isu publik dibahas, hingga rencana aksi dan penggalangan dana. Tetapi aksi nyata dari wacana-wacana yang terlontar itu tak kunjung terlihat.

Dalam perjalanannya, organisasi mahasiswa intrakampus yang diwakili oleh Dewan Mahasiswa (Dema) memosisikan diri sebagai “pengontrol” kebijakan pemerintah. Prinsip ini sudah ada sejak era awal terbentuknya organisasi mahasiswa pada 1950-an. Kala itu, Dema menjadi wadah belajar berpolitik karena berfungsi sebagai student government. Semangat untuk belajar berpolitik lebih diutamakan dibanding semangat berpolitik praktis.

Inilah yang menurut dia menjadi satu di antara alasan Dema minim gerakan dalam mengawal kebijakan isu-isu luar kampus. Dalam menyikapi problem sosial, Dema UIN Walisongo, melakukan cara lain dengan membuat pamflet yang diunggah ke media sosial Instagram.

Dalam buku Patah Tumbuh Hilang Berganti: Sketsa Pergolakan Mahasiswa dalam Politik dan Sejarah Indonesia (1908-1998) (1999), umumnya mahasiswa di era itu melihat dirinya sebagai the iron stock, calon pengisi pos-pos birokrasi pemerintahan Indonesia yang baru dibangun. Kegiatan-kegiatan mahasiswa kebanyakan diisi kegiatan seperti piknik, olahraga, jurnalistik, dan klub belajar. Ketika realitas berbeda dengan teori yang didapatkan, mereka memilih melakukan serangkaian aksi untuk mengubah keadaan.

“Misalnya kemarin kita kerja sama dengan Sema membahas isu mengenai korupsi di Kemenag, tetapi kita tidak membuat kajian disitu. Hanya membuat pamflet-pamflet untuk diunggah di media saja,” kata mahasiswa jurusan ekonomi Islam tersebut. Setengah perjalanan periode masa jabatan, Dema UIN Walisongo rupanya belum pernah mengadakan diskusi umum, dengan alasan lebih menginginkan terjalinnya silaturrahmi antar

204

Amanat Bunga Rampai

“Belum ada fokus ke masalah isuisu nasional. Kita intensnya lebih ke membuka ruang relasi dengan lembaga-lembaga yang lain,” pungkasnya. Pasang surut

Di antara aksi pergerakan mahasiswa yang menonjol terjadi pasca-G30S. Gerakan itu efektif mempreteli kewibawaan politik Presiden Sukarno hingga memuluskan lahirnya Orde Baru. Sejak itu pula, gerakan


mahasiswa menjadi identik dengan gerakan politik. Di masa Orba, gerakan mahasiswa berlanjut dengan meletusnya Malapetaka 15 Januari 1974 (Malari), berlanjut Gerakan Mahasiswa tahun 1977/1978, hal itu sebagaimana dikutip dari laporan tirto.id yang berjudul Riwayat Gerakan Mahasiwa : Dari Dema hingga BEM (07/02/2018) Ditemui di kediamanannya Jalan Ngasinan Nomor 9, Purworejo Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, Hasan Aoni Aziz mantan aktivis 90-an mengungkapkan, pada masa itu yang muncul ke permukaan adalah isu pembangunan. Ada du model pembangunan yang diterapkan rezim Soeharto, yaknidevelopmentalisme dan westernisme. Developmentalisme adalah pembangunan negara dengan mengoptimalkan kekuatan pasar dalam negeri serta pengenaan tarif barang impor yang tinggi. Adapun westernisme merupakan model pembangunan yang bergantung pada teknologi Eropa Barat dan pemerintahan liberal. Westernisme cenderung ditolak, sementara develeopmentalisme lebih diterima. “Hal itu menumbuhkan pandangan pemerintah bahwa, apa pun yang menghambat pembangunan akan disingkirkan. Termasuk kritisisme mahasiswa,� kenang aktivis IAIN Walisongo ini, Sabtu (16/03).

dayaan menerbitkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 yang dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi mahasiswa sebagai kaum intelektual yang harus kembali pada tradisi keilmuan. Kebijakan ini dikenal sebagai Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) yang berasal dari inisiatif Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Daoed Joesoef. Sejak itu, Dewan Mahasiswa di kampus-kampus dibubarkan. Sebagai gantinya adalah Senat Mahasiswa yang tidak lagi memiliki fungsi eksekutif. Paling tinggi hanya ada di tingkat fakultas. Hingga mahasiswa mendapat angin segar untuk kebangkitan pergerakan mereka. Juli tahun 1990, Mendikbud Fuad Hasan Mengeluarkan SK No. 403/U/1990 tentang Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT). Surat ini menghapus SK. No. 0156/U/1978. Pada masa inilah gerakan mahasiswa mulai hidup kembali . Aktivis tahun 90-an menjadi pionir dari gerakan reformasi. “Mahasiswa hari ini harus menjawab dua hal, sebelum berlangsungnya gerakan mahasiswa. Pertama, siapa musuhnya? Kedua, apa tantangannya?� tandas Hasan. Reporter: Mohammad Iqbal Shukri Laporan pernah dimuat di Tabloid Amanat Edisi 132/Agustus 2019

Serangkaian paket kebijakan pemerintah digelontorkan. Untuk meredam suara kritis dari kampus, Kementerian Pendidikan dan Kebu-

Bunga Rampai

Amanat

205


206

Amanat Bunga Rampai


EPILOG

Reportoar Amanah Perubahan Sosial dalam Reportase Hasan Aoni Aziz

Mantan redaktur SKM Amanat, pegiat Omah Dongeng Marwah

Para sejarawan memburu laporan peristiwa yang terjadi di Jawa akhir abad 19 untuk mendapatkan profil sang penemu kretek bernama Haji Djamhari. Sebelum ditemukan, ia tak lebih seperti seorang aktor dalam kisah fiksi. Tak juga satu sejarawan mengenal bahkan sekedar wajahnya sampai sebuah riset yang dipimpin Dr Edy Supratno, sejarawan dari Omah Dongeng Marwah, menemukan sosoknya pada 2016. Mencari sosok H. Djamhari seperti berburu jarum dalam tumpukan jerami. Ia disebut oleh Ong Ho Kam, Amen Budiman, Solikin Salam, Lance Castle, Margana, Mark Hanusz sampai Van Der Rijden sebagai penemu kretek. Bacalah laporan mereka dalam berbagai buku dan berita media. Tidak satu pun yang menggambarkan sosok H. Djamhari secara lengkap mulai data lahir, foto, kehidupan keluarga hingga jejak terakhirnya. Seperti polisi yang sesekali menggunakan jasa “orang pintar” dalam menelisik kasus dark number, Edy Supratno menempuh juga jalur itu, karena tertutupnya jejak historia yang menghubungkan ke sumber. Nihil.

Dan sepi merambat ke sekujur harapannya. Di ujung keputusasaan oleh waktu, ia menemukan satu kata yang membuat semangatnya muncul kembali. “Zou”, kata dalam Bahasa Belanda yang artinya “kira-kira”, telah menjawab keraguan Edy Supratno terhadap perkiraan tahun hidup H. Djamhari seperti ditulis Rijden dalam laporan industri di Jawa saat pendudukan Belanda akhir abad 19. Dalam reportase berjudul “Rapport betreffende eene gehonden enquete naar de arbeidstoestanden in de industrie van strootjes en inheemsche sigaretten op Java...” (1936), Rijden menulis “zou 1890”. Periode itu setelah dikomparasi dengan masa hidup, H. Djamhari belum lahir. “Zou” ditemukan dalam tumpukan laporan Rijden saat Edy berada di Leiden dan memastikan sang penemu lahir awal abad 20, bukan akhir abad 19. Makna kata itu memengaruhi konstruksi data yang selama ini dikumpulkan, dan menyemangati kembali untuk melanjutkan riset. Di tempat peristirahatan terakhir H. Djamhari di Tasikmalaya ia pergi: bertemu anak Bunga Rampai

Amanat

207


dan familinya, cucu-cucu, kisah, ruang bekas kantor kontraktor, foto dalam figura, juga pusara. Dari dia kini dunia mengetahui telah ditemukan pembuat pertama lintingan tembakau rajang dicampur cengkeh dan rempah, yang di masa awal hanya dibungkus kawung dari daun jagung dan belakangan disebut kretek. Reportase Rijden dan kata “zou” telah berhasil mengubah fiksi menjadi fakta. Setahun kemudian hasil riset tentang H. Djamhari diterbitkan Ifada Jogjakarta. Buku ini mendapat anugerah salah satu riset historiografi terbaik 2017 dan dipamerkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan di Frankfurt Book Fair, Jerman dan Beijing Book Fair, China pada 2017. Hikayat pencarian data melalui laporan Rijden adalah contoh betapa sangat berartinya laporan sebagai dokumentasi historiografi di tengah sedikitnya informasi yang dapat dikumpulkan. Dalam jurnalistik, dokumentasi yang dilaporkan Rijden disebut reportase, baik melalui indepth atau feature news. Proses berliku yang sempat mendepak semua anggota team di tubir jurang putus asa. Penerbitan buku bunga rampai yang dikompliasi dari reportase yang pernah diangkat tabloid mahasiswa UIN Walisongo “Amanat” kurun 19952019, merupakan upaya historiografi yang patut dihargai. Melalui penerbitan ini pembaca bisa mengetahui tingkat perhatian mahasiswa terhadap suatu peristiwa pada kurun itu, baik di lingkungan kampus maupun di luar kampus.

208

Amanat Bunga Rampai

Sebagai pers sekaligus mahasiswa, para pegiat pers mahasiswa (persma) Amanat adalah pribadi yang terlibat. Berbeda dengan pers komersial yang membuat jarak objektifitas, sekaligus – untuk sebagian besar pelaku pers komersial yang bukan pegiat, tak lebih mereka sekedar pekerja pers atau pewarta belaka. Sebaliknya bagi persma, karena posisinya yang terlibat, melaporkan kebijakan kampus dan kemahasiswaan di surat kabar mahasiswa sama seperti membela diri sendiri. Perbedaan lain dibanding pers komersial adalah sikap kritis persma oleh pengaruh pemberontakan jiwa muda mahasiswa setiap menemui ketimpangan. Kritisisme yang diselipkan dalam laporan-laporan dengan periode kepengurusan dan kepemimpinan rektor yang berbeda, menggambarkan tingkat perbedaan interaksi, tensi, dan kritisisme sekaligus menunjukkan dinamika pergelutan aktivisnya terhadap kebijakan di setiap periode. Seberapa perhatian aktivis terhadap isu-isu yang berkembang melalui laporan itu menjadi bahan penelitian yang sangat berharga. Dalam skema perubahan sosial, peran Amanat seharusnya bisa menjadi “The Fourth Estate” (kekuatan keempat) setelah trias politika dalam gerakan mahasiswa di (dan dari) kampus UIN Walisongo. Tapi, apakah ia demikian? Perlu riset tersendiri seperti Francois Raillon melakukan pada mingguan mahasiswa UI “Mahasiswa Indonesia” (MI). Raillon dalam buku Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia (1989), memotret detail gerakan mahasiswa dalam merespon kebijakan Orde Baru.


Meski laporan yang dimuat MI cukup lengkap, Raillon masih perlu membuka data pendukung dalam mengukur keterlibatan politik mahasiswa terutama kasus gerakan reformasi politik di Indonesia tahun 1966. Seperti buku The Army and Politics in Indonesia (Harold Crouch), Analisa Lengkap dan Latarbelakang Peristiwa 15 Januari 1974 (Arifin Marzuki), The Smiling General: President Soeharto of Indonesia (O.G. Roeder), Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa (Yozar Anwar). Mengapa MI? Karena ia wajah yang dipenuhi riasan laporan tentang sikap mahasiswa terhadap kebijakan politik Orde Baru (Orba). Sebagian besar wartawannya juga pengritik kebijakan Pemerintah Orba, antara lain Rahman Tolleng. Selain itu, karena laporan MI terlengkap. Tidak kurang dari 800 artikel MI kurun 1066-1974 diteliti Raillon. Series informasi yang tak putus di tengah media komersial saat itu tiarap menghindari ancaman pembreidalan. Setelah periode Raillon, nyaris momentum perubahan sosial politik oleh persma tidak lagi terdengar, kecuali beberapa, antara lain persma Arena UIN Sunan Kalijaga (1993), dan secuil persma dengan kadar pengaruh di lingkup lokal. Tumbuhnya media komersial baru, perubahan politik Orba oleh tekanan politik luar negeri, munculnya tokoh-tokoh publik di luar kampus, mulai berperannya lembaga trias politika, telah menggantikan peran kritisisme persma di kemudian hari.

gan data riset? Ada beberapa isu yang menurut saya patut diteliti lebih lanjut dan kemungkinan akan remarkable. Antara lain soal reportase “Pelepasan IAIN cabang Salatiga, Kudus, Purwokerto, Pekalongan dan Surakarta dari UIN Walisongo” pada periode sekitar 1994, “perubahan IAIN menjadi UIN dalam kerangka perubahan epistemologi ilmu Islam dan pasar”, “KKN PAR dan lemahnya peran perubahan sosial kampus”, juga “Keringnya peran intelektual UIN Walisongo dalam perubahan sosial keagamaan”, dll. Hadirnya internet yang mulai menyingkirkan perhatian publik pada media cetak merupakan tantangan besar persma jika ia masih ingin dibaca dan jadi picu perubahan sosial. Era industri 4.0 yang sangat cepat, ringkas, instan, dan padat harus diadaptasi pegiat persma. Satu-satunya jalan adalah menerbitkan kanal virtual yang dikelola secara aktif, rutin dan series, dan tentu, tak boleh asal-asalan. Menjadikan Amanat sebagai toko berita online nomor satu yang mengangkat persoalan kampus dan peristiwa sosial di sekitarnya secara deference dibanding pers komersial maupun nitizen lain adalah kewajiban kifayah Amanat dan persma di masa depan. Sebuah repertoar amanah dalam perubahan sosial melalui reportase. Salam dongeng!

Apa yang menarik dari bunga rampai ini dalam konteks kepentin-

Bunga Rampai

Amanat

209


210

Amanat Bunga Rampai


Bunga Rampai

Amanat

211


212

Amanat Bunga Rampai


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.