Majalah Sinamar Edisi 90

Page 14

14 Sinamar Majalah Pemkab Lima Puluh Kota

Media Informasi Pelayanan Aparatur dan Publik

LAPORAN UTAMA

Saksi Hidup Perjuangan PDRI Bicara Monas :

“ JANGAN DUSTAI SEJARAH “

A

dalah H. Djafri Dt Bandaro Lubuk Sati,72, salah seorang saksi hidup perjuangan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang kini masih hidup. Melalui organisasi Tentara Pelajar (TP) bentukan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI), Djafri merasakan secara langsung perjuangan Mr. Syafrudin Prawiranegara dalam melanjutkan kemerdekaan bangsa yang telah direbut sejak 350 tahun setelah dijajah Belanda dan Jepang. Mengenakan atasan semi jas warna coklat mudah yang mulai lusuh, seorang lelaki tua, keluar rumah setelah melihat kedatangan Sinamar. Dengan perantara H Safri Jalinus, salah satu tokoh masyarakat Padangjopang yang sangat intens memberikan dukungan kepada masyarakat dalam perjuangan PDRI. Bersamanya, Anton, salah seorang “tim sukses” pembangunan tugu Monumen Nasional (Monas) PDRI di Kototinggi Kecamatan Gunuangomeh. Sejumlah pekerja terlihat tengah mencat rumah adat semi permanen, yang dihuninya. Datuak Lubuak Sati, begitu warga Limbonang dan bahkan staf di Kantor Gubernur Sumbar-tempat terakhir ia mengabdikan diri sebagai PNS, memanggil namanya. Ia adalah salah satu saksi hidup perjuangan PDRI tahun 1948 silam. Ketika memulai bicara, Djafri terlihat banyak diam. Ketika pertanyaan diajukan, apa posisinya dalam perjuangan PDRI. Ia memulainya dari dipindahkannya SMPN 1 Payakumbuh ke Padangjopang kecamatan Guguak tahun 1948. “Disitulah saya sekolah setahun saja,”katanya.

Selanjutnya H Djafri tidak bisa menahan keinginannya menukilkan pengalaman hidupnya kepada Padang Ekspres. “Saya bersama puluhan anak-anak SMP, menjadi tentara pelajar bentukan IPPI. Kamilah yang mengantarkan surat-surat penting dari Padangjopang ke Kototinggi. Karena tidak ada kenderaan, surat-surat rahasia itu dikirim secara estafet dari Padangjopang (salah satu basis PDRI)-Andiang-Limbonang-SeiantuanKototinggi (tempat berkumpulnya pejuang dan Syafruddin Prawiranegara) dengan jarak sekitar 23 km,”katanya. Perjuangan PDRI, kata pensiunan Kepala Bagian Kebudayaan Kantor Gubernur Sumbar itu, lebih banyak dilakukan di Kototinggi. Kalau boleh diistilahkan, ibarat seorang ibu yang akan melahirkan anaknya, rasa sakit sudah mulai terasa di Bukittinggi, disaat Syafruddin yang saat itu menjabat Menteri Kesejahteraan Rakyat sedang berada di Bukittinggi. Karena mendengar Jogjakarta yang saat itu menjadi ibukota RI diserang dan disaat bersamaan tentara Belanda (NICA) juga menggempur habis-habisan tentara diseluruh wilayah nusantara, maka pada tanggal 19 Desember 1948, Syafruddin bersama rombongan termasuk salah satunya Kolonel Syarif Usman yang selalu membawa radiogram, bergerak ke Halaban Limapuluh Kota. “ Di Halabanlah, dibuat ikraq atau kesepakatan, bahwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan harus dilanjutkan. Sifatnya hanya sekedar ikrar kesepakatan. Inilah yang kita istilahkan, ketu

Djafri Dt.Bandaro Lubuk Sati ( ditengah ) (net)

Edisi 90/Tahun XI/Desember 2012

ban mulai pecah. Waktu berada di Halabanpun, pendek, dari pukul 19.00-03.00 dini hari WIB. Setelah itu, para pejuang berpencar. Syafruddin dan rombongan berangkat ke Kototinggi. Setelah berjalan 2 hari, rombongan baru sampai tanggal 21 Desember. Di Kototinggilah, Kolonel Syarif Usman melalui radiogramnya, memperdengarkan kepada masyarakat Kototinggi dan para tentara, Bung Hatta mengumumkan, Jogjakarta telah dikepung, Presiden Soekarno telah tertangkap dan menginstruksikan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi untuk membentuk PDRI. Kalau tidak bisa, maka diistruksikan kepada Mr. Syhrir yang sedang berada di New Delhi India, untuk membentuk PDRI. Itulah kali pertama Syafruddin Prawiranegara mendengar perintah pembentukan PDRI. Sejak saat itulah, perjuangan PDRI dimulai dengan beragam kisah. Inilah yang kita sebut, anak lahir di Kototinggi. Masyarakat Kototinggilah yang berkorban habis-habisan membantu pejuang,”tukuk Djafri yang juga tercatat sebagai salah satu penasehat Raja Negeri Sembilan Malaysia bersama mantan Gubernur Sumbar, Azwar Anas. Lantas ketika ditanyakan pendapatnya, rencana pendirian tugu Monas di Limapuluh Kota, apakah di Halaban atau di Kototinggi. Ketua Pelaksana Forum Silaturahmi Keraton dan Lembaga Adat Nusantara yang pernah digagas Presiden SBY. Djafri terlihat berfikir. Dengan suara agak rendah, ia kemudian mematok kondisi daerah. “Inilah salah satu “peninggalan” Belanda yang tersisa. Politik devide et impera” atau adu domba, masih terpelihara hingga kini. “Saya adalah orang Minangkabau. Saya adalah orang Luak Limopuluah. Kalau ada pilihan, apakah di Halaban atau Kototinggi sebagaimana rekomendasi Bupati Limapuluh Kota, saya tidak berani jawab. Tapi tolonglah arif. Jangan dustai sejarah. Saya tidak akan menjawab harus di lokasi A atau di B. Hilangkanlah sifat adu domba. Selama kita masih di Luak Limopuluah, maka jangan pernah bicara daerah lain. Inilah yang harus ditanamkan kepada masyarakat dan pemuda kita, “harapnya. Selanjutnya soal pilihan lokasi, silakan tim khusus yang dibentuk Kementrian Pertahanan Nasional yang menentukan. Sebelumnya, pemerintah Kabupaten Limapuluh Kota memberikan dua pilihan pendirian tugu Monas yang kabarnya menelan dana Rp20 miliar. Sumber dananya dari Kementrian Pertahanan Nasional. (jonres)


Issuu converts static files into: digital portfolios, online yearbooks, online catalogs, digital photo albums and more. Sign up and create your flipbook.